Anda di halaman 1dari 4

Khutbah Jumat: Islam Melarang Keras Politik Uang

Khutbah I

Dalam Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf
populer adigum, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin melainkan petunjuk bahwa
betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan
berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman, tidak kacau.

Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul
imâmah) dilangsungkan. Khulafaur Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai
khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan
massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman
bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan
masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah
persoalan ijtihadî, yakni olah pikir sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan
kemaslahatan di zamannya.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu.
Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk
menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu, semisal tidak menghalalkan
segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.

Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil,
aman, dan sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau segelintir kelompok.
Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan tujuan akhir (ghâyah), politik seyogianya tak perlu
dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Mekanisme one man one vote (satu orang satu suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat
pemimpin berlomba-lomba meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan instan pun kadang
ditempuh: tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money politics) agar pilihak warga
jatuh pada dirinya.

Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat.
Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasulullah ‫ ﷺ‬melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu
orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad)

Dari keterangan ini tampak bahwa doa politik uang (risywah) tak hanya diterima oleh para politisi, tapi juga
tim sukses dan konstituen yang suaranya diperjual-belikan.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama pada 2012 di Cirebon, Jawa
Barat, pernah menyoroti kasus politik uang yang kian menjamur di republik ini. Melalui sejumlah referensi
yang kokoh, forum Munas NU menetapkan sejumlah jawaban atas beberapa pertanyaan.

Pertama, apakah pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi
meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, termasuk kategori risywah?

Jawabannya adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik
pemberian si politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar
seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan
politik.

Kedua, sudah lazim kita dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan
sedekah dari harta miliknya. Jika terbesit tujuan agar penerima memilih calon tertentu, apakah termasuk
kategori risywah?

Jawabannya: pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon
tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan
untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon
tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara
dua maksud tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula
lenyapnya keutamaan tersebut.

Ketiga, bagaimanakah hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi
tidak secara lisan?

Jawabanya adalah haram bila penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah.
Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat
mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya.

Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi
memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama
dengan memakan harta haram.

Keempat, apakah penerima risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana
ia diharamkan menerima risywah?

Apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian
risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya
semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya
mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi
syarat. Sedangkan menerima risywah tetap haram.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Tiap umat Islam memikul kewajiban untuk menyelamatkan dirinya dari mengonsumsi harta haram, baik
karena substansinya haram atau cara mendapatkannya yang haram. Banyak dalil yang menunjukkan tentang
ancaman bagi jasad yang kemasukan barang haram. Misalnya:
Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih utama baginya.” (HR
Ahmad)

Secara logis, barang haram akan berdampak secara rohani pada kualitas perbuatan. Umumnya, tukang makan
uang haram akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang haram pula. Demikianlah, maksiat itu terus
bermunculan, bertumpuk-tumpuk, hingga mengantarkannya pada kerugian di kehidupan akhirat kelak.

Lebih-lebih uang suap. Keharamannya dibarengi dengan “cap laknat” dari Allah dan rasul-Nya. Artinya,
uang suap bukan hanya menimbulkan dosa, tapi juga menjauhkan diri kita dari rahmat, kasih sayang Allah ‫ﷻ‬.

Khutbah II

Anda mungkin juga menyukai