Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia, dewasa ini
menjadikan banyak orang melakukan berbagai bentuk tingkah laku untuk
memenuhinya. Keterdesakan yang mengekang seseorang tidak jarang memaksa
orang yang bersangkutan untuk melakukan segala cara dan menghalalkan
berbagai bentuk. Hal itu ditandai dengan maraknya kasus pungutan liar yang
meramaikan daftar pemberitaan media setiap harinya. Di sisi lain, mereka yang
menginginkan urusannya menjadi lebih cepat, lebih lancar dan dapat dituntaskan
sesuai keinginan, tidak segan-segan untuk membayarkan sejumlah bayaran kepada
pihak yang memiliki kewenangan menyelesaikan urusan yang dimaksud. Bentuk-
bentuk perilaku kotor yang kerap kali terjadi di tengah-tengah masyarakat ini kian
hari kian menimbulkan dampak yang semakin memburuk.
Suap-menyuap adalah salah satu tindakan seseorang dimana orang tersebut
memberikan harta atau uang kepada orang lain dengan tujuan orang yang
menerima harta atau uang tersebut dapat membantu orang yang memberi uang
agar mencapai suatu tujuan yang ingin ia capai. Masalah suap adalah salah satu
masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyakat. Pada umumnya suap
diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Suap dapat juga disebut
sebagai uang sogok atau uang pelicin. Uang pelicin pada umumnya digunakan
untuk memuluskan jalan dari berbagai hal, agar segala sesuatu yang dianggap
hambatan dapat teratasi sesuai harapan sang penyuap.
Dan mengingat persoalan suap-menyuap ini semakin menjadi-jadi di
dalam kehidupan kita. Sebagai contoh, orang yang berperkara, lalu ia berusaha
memberikan sejumlahuang kepada hakim agar pihaknya dimenangkan dalam
perkara tersebut. Di antara bentuk lain yang juga menggejala adalah suap yang
dilakukan oleh calon kepala desa, kepala kabupaten, bahkan juga calon anggota
DPR kepada konstituen, untuk memilih dirinya. Praktik ini lebih dikenal sebagai
money politic atau politik uang. Namun hal tersebut termasuk juga ke dalam
kategori suap.

1
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian risywah
2. Krakteristik risywah
3. Pandangan Al-Qur’an tentang risywah
4. Unsur-unsur di bolehkannya risywah
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti yang sesungguhnya tentang risywah
2. Agar dapat lebih memahami tentang apa itu risywah dan bentuk-bentuk
dari risywah tersebut
3. Dengan mengetahui isi kandungan Al-Qur’an yang membahas hukum dari
boleh atau tidaknya mengerjakan risywah tersebut
4. Sebagai bahan kajian dari di perbolehkannya praktek risywah tersebut di
ranah-ranah tertentu
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat pembuatan makalah ini adalah :
1. Mampu menganalisa dan Memahami tentang permasalahan Risywah
2. Dapat digunakan sebagai bahan pengajaran di bidang Tafsir Ayat Ekonomi
Islam maupun di bidang penelitian-penelitian lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian risywah
Secara etimologi kata risywah berasal dari bahasa Arab"‫ "رشا – يرشو‬yang
masdar atau verbal nounnya bisa dibaca "‫"ررشوة‬,"‫ "ررشوة‬atau "‫"ررشوة‬, (huruf ra’nya
dibaca kasrah, fathah atau dammah) berarti "‫"الجغل‬, upah, hadiah, komisi atau
suap. Ibnu Mansur juga mengemukakan penjelasan Abdul Abas tentang makna
kata risywah yang mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat "‫رشا‬

2
‫ "الفففرح‬anak burung merenggek-renggek ketika mengangkat kepalanya kepada
induknya untuk disuapi.1
Adapun definisi yang sederhana secara terminologis risywah yaitu sesuatu
yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut harus
dapat menolong orang yang memberi. Maksudnya, sesuatu yang dapat berupa
uang ataupun harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan meraih
sesuatu yang diinginkannya.2 Dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.
Di Indonesia risywah tersebut lebih dikenal dengan istilah politik uang
atau dalam bahasa Inggrisnya di kenal dengan money politics yakni penggunaan
uang untuk mendapatkan posisi atau perolehan dukungan dalam mencapai
kekuasaan baik berupa jabatan strategis di pemerintahan maupun kemenangan
dalam suatu pemilihan umum.
Politik uang secara teoritis dapat dilkakukan oleh setiap yang memiliki
kepentingan terkait dengan perbuatan tersebut. Setiap orang dimaksud bisa orang
yang sedang berperkara di pengadilan, kejaksaan maupun kepolisian, orang yang
sedang mengikuti atau mengikuti lelang atau tender di istana pemerintah, bisa
juga orang yang sedang mengurus perizinan di suatu instansi pemerintah orang
yang mengikuti fit proper test untuk menduduki jabatan strategis tertentu di
pemerintahan, bisa juga oleh calon atau pasangan calon yang terdaftar dalam
pemilu kepala daerah (Pilkada), bisa juga calon atau pasangan Capres/Cawapres
yang terdaftar dalam Pemilu presiden (Pilpres), bisa juga calon senator yang
terdaftar dalam calon anggota DPD dalam Pemilu anggota DPD, bisa juga calon
kepala desa yang terdaftar dalam Pemilu kepala desa (Pilkades) dan seterusnya.
Pelaku-pelaku ini adalah pelaku utama dalam politik uang dan lain-lain.3
Disisi lain suap di pahami sebagai hadiah atas wujud apresiasi kedekatan
dan kecintaan yang obyektif. Namun seringkali orang berbuat risywah dengan
dalih memberi hadiah. Bahkan hari ini marak Hadiah kepada pegawai, khususnya
pegawai pemerintah, atau gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,
1
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah, (TK: Badan Litbang Dan Diklat Dapartemen Agama Ri, 2009), Hlm. 106.
2
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi Program
Studi Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), Hlm. 47.
3
Harun Al-Rasyid, Fikih Korupsi Analisis Politik Uang Di Indonesia Dalam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), Hlm. 42-43.

3
yakni meliputi pemberian uang, barang rabat(diskon), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Dalam dunia pendidikan fenomena risywah bisa
terjadi antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan wali siswa terutama
berkaitan dengan perolehan nilai dan kelulusan.
Seringkali pula orang tidak faham dan tidak bisa membedakan antara
risywah dengan hadiah. Memang salah satu langkah dan tipu daya setan adalah
mengubah nama sesuatu yang haram dengan nama yang menggiurkan seperti riba
dengan bunga, risywah dengan hadiah atau parcel, penzina dengan “Pekerja”
seperti istilah PSK dll. Sehingga banyak yang melakukan risywah dengan dalih
memberi hadiah. Memang kalau kita tidak hati-hati bisa terjebak karena bedanya
memang sangat tipis.4 Pada mulanya suap kadang-kadang di prakarsai berbentuk
hadiah (tanpa pamrih), tetapi dikemudian hari ingin mendapatkan imbalan untuk
memihak kepadanya (suap).
Suap amat berbeda dengan hadiah, yang pada dasarnya hadiah diberikan
bukan karena pamrih. Hadiah merupakan sesuatu yang diberikan kepada/oleh
seseorang tanpa syarat apapun. Artinya, tidak ada ikatan tertentu untuk
mendapatkan/ memberi hadiah. Inilah salah satu kalimat yang menjadi pembeda
antara suap dan hadiah, yaitu ikatan karena adanya syarat. 5 Hadiah di berikan di
karenakan ada prestasi/semacamnya dan tidak ada unsur syarat lainnya (ikhlas).

B. Krakteristik risywah
Dalam pemaparan al-Syaukani secara jelas mengatakan bahwa bila ada
seseorang yang menganggap ada bentuk bentuk-bentuk risywah tertentu dan
dengan tujuan tertentu diperbolehkan maka hal itu harus disertai dengan alasan
dan dalil yang bisa diterima. Sebab, dalam hadis tentang terlaknatnya para pelaku
risywah tidak sisebutkan tentang jenis dan kriteria-kriteria risywah.6
Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat pemberi
risywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, 7 yaitu:
4
Bahgia, Risywah Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Tindak Pidana
Suap (Dalam Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 1, No. 2, 2013), Hlm. 156.
5
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi Program
Studi Ekonomi Islam. Hlm. 48.
6
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011), Hlm. 92.
7
Wawan Trans Pujianto, Risywah Dalam Perspektif Hukum Islam, Dalam Jurnal Hukum
Dan Ekonomi Syariah, Vol. 03, No. 2, 2015. Hlm, 272-273.

4
1. Risywah untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil.
Risywah (suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau
membenarkan yang batil adalah suatu tindakan yang sangat merugikan dan
dosa. Karena haq itu kekal dan batil itu sirna. Maksudnya adalah bahwa
sesuatu yang haq (benar) adalah suatu kebenaran yang hakiki, sedangkan
sesuatu yang batil adalah suatu yang dosa. Praktik suap ini haram hukumnya,
karena mengalahkan pihak yang mestinya menang dan memenangkan pihak
yang mestinya kalah.
2. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman.
Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah
satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau kebatilan serta
kezaliman. Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap untuk maksud diatas,
dosanya adalah untuk yang menerima suap. Para Ulama telah bersepakat
mengenai hukum risywah yang sedemikian ini, karena dilakukan untuk
kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh
pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di
Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka
memberinya uang dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan
perjalanannya.
3. Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan.
Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas
keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa orang
yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah. Salah satunya dengan
memberi suap kepada pejabat tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan
jabatannya atau untuk mendapatkan pekerjaan. Misalnya si A ingin menjadi
guru di sekolah XXX dengan cara memberi uang kepada kepala sekolah
sejumlah Rp. 10.000.000,-
Di antara bentuk muamalah yang mengandung kezhaliman terhadap orang
banyak adalah suap (risywah). risywah termasuk dosa besar paling berbahaya
yang dapat menimbulkan kehancuran ekonomi, politik, sekaligus sosial. Suap
menjadi bukti nyata lemahnya komitmen beragama dan merajalelanya kerusakan
moral dan penyewelengan perilaku hak dalam suatu masyarakat sosial.
Hukum perbuatan risywah disepakati oleh para ulama adalah haram,
khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau
menyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapi, para ulama menganggap halal

5
sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka menuntut atau memperjuangkan
hak yang mesti diterima oleh pihak pemberi suap atau dalam rangka menolak
kazaliman, kemudaratan, dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pemberi suap.8
Risywah merupakan muamalah yang amat di larang dalam agama, karena
risywah termasuk kedalam kategori memakan harta orang lain secara batil, yakni
apa yang di terima oleh para hakim dan para pekerja berupa uang risywah (uang
sogok) dan hadiah (pemberian). Risywah dan hadiah yang diterima oleh para
hakim dan para pekerja adalah dinilai sebagai pemberian yang haram. Rasulullah
saw. bersabda:
‫هررداريا اولرعممارل رغلروولْل‬.
“Hadiah yang diberikan kepada para pekerja pemerintah adalah
belenggu”.
Pekerja pemerintah ialah orang-orang yang bekerja di dalam suatu
jaewatan pemerintah untuk mengurus urusan rakyat.9
Banyak di temukan permaslahan tentang suap yang cenderung lari dari
kebenaran, karena candu-candu persoalan meteri telah membudaya dalam umat
ini. Segala sesuatu dilakukan demi kepentingan pribadi dan urusan duniawi,
sehingga suap yang jelas-jelas haram di ubah kemasannya menjadi layaknya
sebuah hadiah. Orang yang menerimapun dengan senang hati mengambil apa
yang diberikan, meskipun telah di sebutkan dalil yang menunjukkan haram dan
dosa bagi pelakunya. Salah satu dari dampak yang sangat penting untuk dijadikan
renungan adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para
pelaku dan lembaga yang mengelola urusan umum, baik bersifat swasta maupun
pemerintah.
Hal menarik dalam masalah suap-menyuap adalah dikaitkan dengan
penghasilan yang di anggab layak bagi seorang hakim, di jelaskan Muhammad bin
Isma’il al-Kahlani al-San’ani bahwa suap secara ijma’ dinyatakan haram, baik
diberikan kepada hakim atau petugas atas nama sedekah maupun diberikan bukan
kepada keduanya. Pendapatan yang biasa diperoleh seorang hakim terdiri dari
empat macam; suap, hadiah, gaji, dan rezeki.10
Secara umum, unsur-unsur perilaku suap meliputi:

8
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Hlm. 100.
9
Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama Dan Wasiat Imam, (Semarang: Cv Toha Putra
Semarang, 1993), Hlm. 367.
10
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Hlm. 96-97.

6
1. Pertama, adanya penerima suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari
orang lain baik berupa harta, uang maupun jasa supaya mereka melaksanakan
permintaan si penyuap.
2. Kedua, pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta, uang atau jasa
untuk mencapai tujuannya.
3. Ketiga, suapan,yaitu harta, uang atau jasa yag diberikan sebagai sarana untuk
mendapatkan sesuatu yang diminta.11
4. Keempat, broker, yaitu perantara antara pihak pertama dan kedua .
5. Kelima, saksi, yaitu orang yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan
para pihak yang dimaksud.12
Dari kelima unsur-unsur perilaku suap tersebut dapat di ketahui bahwa
merka merupakan dalam kategori yang di laknat secara langsung oleh Nabi
Muhammad saw. dalam hadits nya yang di riwayatkan imam Ahmad bahwa:
“Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, orang yang disuap, dan orang
yang menghubungkan, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya.”
C. Pandangan Al-Qur’an tentang risywah
Dalam hukum positif ataupun hukum Islam, secara umum risywah adalah
suatu yang dilarang (haram). Dalam hukum positif, risywah dilarang karena akan
merugikan orang lain, misalnya dalam perkara di pengadilan, salah satu pihak
menyuap hakim dengan sejumlah uang yang cukup besar untuk dimenangkan
kasusnya, maka ini menjadi haram karena hakim akan memberikan putusan yang
tidak berdasar pada berita acara persidangan yang ada dan akan menguntungkan
pihak yang melakukan suap.
Landasan hukum untuk anti risywah terdapat dalam beberapa ayat Al-
Qur’an antaranya adalah:
1. Surat Al-Baqarah: 188.
     
       
   
Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa,padahal kamu mengetahuinya”(Q.S. Al-Baqarah: 188).13
11
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi Program
Studi Ekonomi Islam. Hlm. 47-48.
12
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah. Hlm. 106-107.
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989).

7
a) Ma’na mufradat
Laa ta’kul(uu): Merupakan fi’il nahy, berasal dari kata akala-ya’kulu-laa
ta’kul artinya makan, menelan, menggunakan (harta),
meng-habiskan (umur).
(Laa) tudl(uu): Juga fi’il nahy, dari kata dalaa-yadlii-laa tudl(uu) arti
aslinya mencari, mengambil/membawa timba untuk
mencari air, dalam ayat ini berarti membawa (urusan)
harta kepada hakim dengan cara dosa sehingga dapat di
maknai sebagai suap.14
b) Tafsir Ayat
Pada Q.S al-Baqarah ayat 188 ini, Allah melarang hukum memakan
atau mempergunakan harta orang lain dengan cara yang batil atau dengan
cara yang tidak sah, “walata’kulu amwalakum bainakum bilbathili.” Para
ahli tafsir menuliskan yang dimaksud bilbathili yaitu cara-cara yang tidak
dibenarkan secara syara’. Seperti memakan riba, pencurian, penipuan,
zalim dan cara bisnis amoral lainnya.15
Menurut imam al Maraghi bahwa larangan Allah dalam ayat ini
(janganlah kamu makan harta diantara kamu) maksudnya adalah
janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lainnya.
Menghormati harta orang lain selainmu berarti menghormati dan menjaga
haratamu. Sama halnya dengan merusak harta orang lain adalah sebagai
tindak pidana terhadap masyarakat (umat) yang mana engkau adalah salah
satu dari anggota masyarakat itu. Selain itu banyak hal yang dilarang
dalam ayat ini seperti memakan riba karena riba adalah memakan harta
orang lain tanpa imbalan dari pemilik harta yang memberikannya.
Termasuk yang juga dilarang adalah harta yang diberikan kepada hakim
(pejabat) sebagai suap dan lain-lain.16
c) Asbabunnuzuul
Sebab turunnya ayat ini yaitu sebagaimana diriwayatkan bahwa
Ibnu Asywa’ al-Hadhrami dan Imri’il Qais, terlibat dalam suatu perkara

14
Asrori, Tafsir Al-Asraar Bhan Kultum Pengajian, (Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012),
Hlm. 3-4.
15
Dwi Suwiknyo, Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi Program
Studi Ekonomi Islam. Hlm. 49.
16
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) Dan Perbedaannya Dengan Hadiah Dalam
Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat Dan Hadis Tentang Risywah), Dalam Jurnal Al
Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, Vol. 4, No. 07, 2016. Hlm. 435.

8
tentang tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti. Maka
Rasulullah SAW menyuruh Imri’il Qais sebabgai terdakwa yang ingkar
supaya bersumpah. Ketika Imri’il Qias akan melaksanakan sumpah itu,
turunlah ayat ini. Intinya adalah melarang membawa perkara kepada
hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian dari harta orang lain
dengan cara batil, dengan cara memberi suap atau juga sumpah palsu,
“watudlu biha ilalhukkami lita’kulu fariqan min amwali an-nasi
bil’itsmi.” Terlebih, pihak yang bersangkutan telah mengetahui
kebenarannya bahwa sesungguhnya dia ada dalam posisi yang salah,
“wa’antum ta’lamuna.” Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,
“La’anallahu rasyi walmurtasyi fi hukmi.” Yang artinya, “Allah melaknati
penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.”(HR. Tirmidzi, Ahmad,
dan Ibnu Hiban).17
d) Kandungan Ayat
Ayat ini memberikan beberapa peringatan keras dalam pengelolaan
harta.
1) Pertama, pengelolaan harta tidak dibolehkan tercampuri harta orang
lain dengan cara batil.
2) Kedua, tetap memaksakan perpindahan kepemilikan harta orang lain
dengan cara suap atau sumpah palsu di depan hakim.18
3) Ketiga, larangan dalam ayat ini bersifat umum. Al-Qurtuby
memasukkannya dalam kategori tersebut antara lain: riba, penipuan,
ghashab (menggunakan hak orang lain tanpa ijin), pelanggaran hak-hak,
apasaja yang menyebabkan pemilik harta tiudak senang dan yang
dilarang oleh syari’at/hokum dalam bentuk apapun.
4) Keempat, suap dapat di kategorikan sebagai korupsi karena
memberikan harta (tanpa hak) dengan harapan dapat merubah yang
batil menjadi hak atau sebaliknya, sehingga tidak ada keadilan. penyuap
dan yang disuap, dilaknat oleh Rasulullah saw.19
2. Surat Al-Maidah: 42
       
        

17
Ibid. hlm. 50.
18
Ibid. hlm. 51.
19
Asrori, Tafsir Al-Asraar Bhan Kultum Pengajian, Hlm. 4-5.

9
        
    
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari
mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang adil”(Q.S. Al-Maidah: 42).20
a) Makna mufradat
‫اكلون للسحت‬ :(Banyak harta yang haram) makna ( ‫ )السحت‬adalah harta
haram. Karena itu ia menghilangkan ketaatan dan
menghapus pahalanya. Pendapat lain mengatakan ia adalah
uang suap.
‫وان حكمت‬ :(Dan jika kamu memutuskan perkara mereka) Jika anda
memilih untuk memutuskan perkara mereka (hakim).
‫فاحكم بينهم بالقسط‬ :(Maka putuskanlah (perkara itu) bersama mereka dengan
adil) Yakni dengan penuhkan yang telah Allah perintahkan
kepadamu (adil).21
b) Tafsir Ayat
Dalam menafsirkan ayat ini Imam ath Thabari berkata, ”Allah SWT
berkata dalam ayat ini seraya menjelaskan bahwa yang demikian itu
adalah sifat-sifat orang Yahudi yang Aku (Allah swt) sifatkan padamu
wahai Muhammad saw. Sifat mereka senantiasa banyak mendengar
perkataan batil dan dusta. Di antara mereka saling berkata, “Muhammad
saw seorang pendusta dan bukanlah seorang nabi. Diantara mereka ada
yang berkata seraya berdusta, “Sesungguhnya hukum pezina yang telah
menikah (muhsan) di dalam Taurat adalah dicambuk dan tahmim (bukan
dirajam), dan selainnya dari kedustaan dan mereka menerima risywah
dari hal tersebut.”22
Imam al Qurtubi ketika menafsirkan surat al Maidah ayat 42
berkata, “Dan tidak ada perbedaan hukum dikalangan para salaf bahwa

20
Departemen Agama Ri, Al-Qur’an Dan Terjemahnya.
21
TafsirWeb, Surat al-Maidah ayat 42, https://tafsirweb.com/1926-surat-al-maidah-ayat-
42.html. Diakses pada 01 Oktober 2019.
22
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) Dan Perbedaannya Dengan Hadiah Dalam
Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat Dan Hadis Tentang Risywah), Hlm. 436.

10
melakukan risywah untuk menolak yang hak atau dalam perkara yang
dilarang merupakan riyswah(suht) yang haram”.23

c) Asbabunnuzuul
Imam Ath Thobari menyebutkan riwayat dari Qotadah berkaitan
dengan ayat ini. “Bahwasanya ayat ini (turun) berkaitan dengan para
hakim kaum Yahudi yang senantiasa mendengarkan kedustaan serta
menerima uang suap”. Wahbah Zuhaili mengatakan, "Ayat ini turun
berkenaan dengan orang-orang Yahudi. Seorang hakim dari kalangan
Yahudi, jika didatangi oleh orang yang mengadukan perkaranya dengan
membawa risywah (suap/sogok), maka mereka memenangkan orang
tersebut dan berpaling dari lawannya. Maka hakim itu seyogyanya sedang
memakan as-suht (uang haram), dan mendengar perkataan dusta.24
d) Kandungan Ayat
1) Pemakan riba dan yang diharamkan telah menjadi sifat orang-orang
yahudi
2) Tolak ukur dalam Islam ialah pelaksanaan keadilan tanpa membedakan
kawan dan lawan atau kaya dan miskin. Karena itu, kepentingan pribadi
dan ancaman dari pihak lain tidak boleh mempengaruhi penilaian ini.25
Illat dilarangnya politik uang adalah beruipa illat mustanbathhah karena
tidak dinyatakan secara tegas dalam nash, tetapi bukan berarti tidak ada illat
didalamnya.
D. Unsur-unsur di bolehkannya risywah
Pendapat yang berkembang di kalangan para ulama tentang
diperbolehkannya suap untul memperjuangkan hak dan menolak ketidakadilan ini
tampaknya bukan berdasarkan pada teks hadis tentang risywah yang berbunyi "
‫ "لعففن افف الراشففى و المرتشففى‬Allah mengutuk penyuap dan yang disuap, tetapi
pijakan mereka dari atsar atau riwayat-riwayat para sahabat dan tabi’in yang
ketika itu melakukan praktek penyuapan dalam konteks seperti ini. Di antara
riwayat dimaksud adalah apa yang dikemukakan oleh al-Baghawi bahwa

23
Bahgia, Risywah Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Tindak Pidana
Suap (Dalam Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 1, No. 2, 2013), Hlm. 159-160.
24
Bahgia, Risywah Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Tindak Pidana
Suap. Hlm. 172.
25
Febbyaristya, Penjelasan Surah Al-Maidah Ayat 41-42,
https://www.google.com/amp/s/febbyaristiya.wordpress.com/2016/11/20/penjelasan-surah-al-
maidah-ayat-41-42/amp/. Diakses pada 01 Oktober 2019.

11
diriwayatkan dari al-Hasan, al-Sya’bi, Jabir bin Zaid dan ‘atha, sesungguhnya
mereka berpendapat bahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketika dia
mendayagunakan / mengatur diri dan hartanya (untuk melakukan penyuapan)
pada saat dia terancam dengan ketidakadilan.26
Hukum asal dari risywah adalah haram, dan dibolehkan pada kondisi dan
saat tertentu dengan syarat sebagai berikut. 27
1. Darurat; Yang dimaksud dengan keadaan dharurat mempunyai dua pengertian
yaitu khusus dan umum.
a. Darurat dalam pengertian khusus merupakan suatu kepentingan esensial
yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang
membuat kematian.
b. Darurat dalam pengertian umum dan lebih luas merujuk pada suatu hal
yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan dasar syariah.
Dalam bahasa Imam Syatibi sesuatu itu disebut esensial, karena tanpanya,
komunitas masyarakat akan disulitkan oleh kekacauan, dan dalam
ketiadaan beberapa diantara mereka, manusia akan kehilangan
keseimbangannya serta akan dirampas kebahagiaannya di dunia ini dan
kejayaannya di akherat nanti.
Dapat diamati bahwa perhatian utama dari definisi darurat menurut imam
Syatibi adalah untuk melindungi tujuan dasar syaria, yaitu menjaga agama,
nyawa, keturunan, akal, kesehatan, menjaga dan melindungi kemulian serta
kehormatan diri.
Adapun darurat tersebut memiliki syarat-syarat yang harus di penuhi
diantaranya:
a. Darurat itu harus nyata bukan spekulatif atau imajinatif.
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali
hal tersebut.
c. Solusi itu (dalam hal ini risywah yang diambil) harus tidak menyalahi hak-
hak sacral yang memicu pembunuhan, pemurtadan, perampasan harta atau
bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin.
26
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah. Hlm. 113.
27
Bahgia, Risywah Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Tindak Pidana
Suap, Hlm. 162-163.

12
d. Harus ada justifikasi kuat untuk melakukan rukhsoh/keringanan tersebut.
e. Dalam pandangan para pakar, solusi itu harus merupakan satu-satunya
solusi yang tersedia.
2. Untuk mengambil kewajiban dan hak yang hilang saat di dzalimi.
3. Tidak berlebihan dan menjadi kebiasaan.
4. Untuk Mendapatkan maslahah rojihah (riil) bukan dzoniyyah (perkiraan).
5. Tidak menghalalkan hal tersebut, namun mengingkarinya dan senatiasa
beristighfar dan berdoa kepada Allah karena pada dasarnya cara itu haram.
Selain itu, tindakan risywah juga merupakan dari tindak pidana korupsi,
meskipun secara umum korupsi tidak hanya sebatas pada masalah risywah saja,
melainkan juga berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang (pengkhianatan)
secara umum, termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang yang ada unsur
suapnya atau tidak ada unsur suapnya
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang alasan mengapa ada satu jenis suap
yang di anggap halal bagi pihak pemberi dan haram bagi penerima suap. Dalam
Majmu’ fatawa-nya mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal bahwa Rasulullah pernah memberikan sejumlah uang kepada orang
yang selalu meminta-minta kepada beliau.
Atas dasar hadis ini, muncul pendapat tentang adanya salah satu bentuk
suap yang bisa dibenarkan, yaitu suap yang dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan agar bisa memperoleh hak yang mestinya ia terima, atau dalam rangka
menolak kemudaratan, ketidakadilan, dan kezaliman yang mengancam atau
mengganggu diri pelaku.28 Selama keadilan belum di tegakkan, maka boleh lah
melakukan suap asal dengan takaran-takaran yang sudah di sebutkan di atas.
Tidak dipungkiri risywah memang penyakit mentalitas rendahan yang
telah menjamur di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam sejak dulu telah
melarang praktik-praktik risywah dalam kehidupan. Karena hal tersebut sangat
berbahaya oleh karena itu wajib di cari solusi untuk memberantasnya. Tentunya
solusi tersebut didasarkan pada konsep bahwa penjagaan lebih baik dari pada

28
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Hlm.102.

13
pengobatan (al wiqayatu khairun minal ‘ilaj). Diantara solusi yang bisa ditempuh
dalam rangka meminimalisir risywah adalah melakukan penjagaan.29
1. Memulai dari diri sendiri.
Sebelum melakukan perubahan, hal pertama yang harus dirubah
adalah diri kita sendiri yaitu dengan menegakkan nilai-nilai Islami dalam
setiap pribadi muslim. Jika nilai Islami telah menancap pada pribadi muslim
maka dengan mudah praktek risywah bisa di minimalisir dalam kehidupan.
2. Memberikan penyuluhan pada masyarakat akan bahaya risywah.
Masyarakat harus senantiasa dibina dan disadarkan bahwa praktek
risywah adalah suatu tindakan yang merugikan banyak pihak. Selain
merupakan bentuk kedzaliman, ia juga merupakan cermin moralitas yang
rusak dan kotor. Salah satu wahana dan media yang tepat untuk penyuluhan
masyarakat adalah dengan mengoptimalkan berbagai media dan komunitas
sosial masyarakat.
3. Memberi suri teladan yang baik
Dalam hal ini suri tauladan yang baik di anjurkan terutama bagi para
pe-mimpin karena kepemimpi-nan akan dipertanggung-jawabkan di dunia
maupun di akhirat. Praktik risywah yang tercium oleh KPK adalah sebagian
kecil yang muncul di permukaan pejabat pemerintahan. Praktik suap
menyuap dikalangan pejabat yang dipandang sebagai pemimpin rakyat akan
memberikan stimulasi praktik risywah di tataran bawahan. Oleh karena itu,
hendaknya para pemimpin benar-benar memberikan suri teladan yang baik.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk
menaggualangi dan memberantas korupsi di negeri ini sudah jauh lebih baik dan
ideal bila dibandingkan dengan konsep yang masih merupakn doktrin hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab fikih. Berbagai peraturan perundang-undangan itulah
yang merupakan bentuk kongkrit dari konsep takzir yang ditawarkan oleh fikih
jinayah, yaitu sebuah sanksi hukum yang tidak dijelaskan secara tegas mengenai
jenis dan teknis serta cara melaksanakannya oleh Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi,
melainkan diserahkan kepada pemerintah dan hakim setempat.30
29
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) Dan Perbedaannya Dengan Hadiah Dalam
Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat Dan Hadis Tentang Risywah). Hlm. 444.
30
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah. Hlm. 124.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
Risywah yaitu sesuatu (harta/jasa) yang diberikan kepada seseorang
dengan syarat orang yang diberi tersebut harus dapat menolong orang yang
memberi. Disisi lain suap di pahami sebagai hadiah atas wujud apresiasi
kedekatan dan kecintaan yang obyektif. Seringkali pula orang tidak faham dan
tidak bisa membedakan antara risywah dengan hadiah. Memang salah satu
langkah dan tipu daya setan adalah mengubah nama sesuatu yang haram dengan
nama yang menggiurkan seperti riba dengan bunga, risywah dengan hadiah dan
lain sebagainya.
Hukum perbuatan risywah disepakati oleh parah ulama adalah haram,
khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau
menyalahkan yang semestinya benar. Akan tetapi, para ulama menganggap halal
sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka menuntut atau memperjuangkan
hak yang semestinya diterima oleh pihak pemberi suap atau dalam rangka
menolak kezaliman, kemudaratan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh pemberi
suap.
Penulis tetap menganggap bahwa dalam bentuk seperti ini suap tetap tidak
baik dilakukan, apalagi dalam suasana bangsa Indonesia yang sedang berusaha
keras memberantas praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang pengaruhnya
sangat merusak seluruh tatanan kehidupan bangsa. Mirip dengan suap, sogok
ataupun gratifikasi sebagai terjemahan dari risywah ini adalah hadiah.

B. Saran
Demikianlah hasil makalah dari kelompok kami, dalam menyelesaikan
makalah ini tentu saja tidak menutup kemungkinan ada beberapa kesalahan-
kesalahan. Oleh sebab itu, kami selaku penulis dari makalah ini mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dari makalah

15
ini, khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi Islam
demi untuk kesempurnaan makalah-makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. 1989. Al-Qur’an dan terjemahnya. Semarang: Toha


Putra.
Al-Rasyid, Harun. 2016. Fikih Korupsi Analisis Politik Uang Di Indonesia Dalam
Perspektif Maqashid Al-Syari’ah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Asrori. 2012. Tafsir Al-Asraar Bhan Kultum Pengajian. Yogyakarta: Daarut
Tajdiid.
Haddad, Habib Abdullah. 1993. Nasehat Agama Dan Wasiat Imam. Semarang: Cv
Toha Putra Semarang.
Irfan, Muhammad Nurul. 2009. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqih Jinayah. TK: Badan Litbang Dan Diklat Dapartemen
Agama Ri.
Irfan, M. Nurul. 2011. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Suwiknyo, Dwi. 2010. Komplikasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku
Referensi Program Studi Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bahgia. 2013. Risywah Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang
Tindak Pidana Suap. Dalam Jurnal Ilmu Syariah. Vol. 1. No. 2.
Haryono. 2016. Risywah (Suap-Menyuap) Dan Perbedaannya Dengan Hadiah
Dalam Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat Dan Hadis Tentang
Risywah). Dalam Jurnal Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial
Islam. Vol. 4. No. 07.
Pujianto, Wawan Trans. 2015. Risywah Dalam Perspektif Hukum Islam. Dalam
Jurnal Hukum Dan Ekonomi Syariah. Vol. 03. No. 2.
Febbyaristya. Penjelasan Surah Al-Maidah Ayat 41-42.
https://www.google.com/amp/s/febbyaristiya.wordpress.com/2016/11/20/p
enjelasan-surah-al-maidah-ayat-41-42/amp/. Diakses pada 01 Oktober
2019.
TafsirWeb. Surat Al-Maidah Ayat 42. https://tafsirweb.com/1926-surat-al-maidah-
ayat-42.html. Diakses pada 01 oktober 2019.

16

Anda mungkin juga menyukai