Anda di halaman 1dari 5

Nama : Alinda Nurul Rahmatika

NIM : 23021056707253
Prodi : Ekonomi Syariah

LARANGAN GOLPUT DALAM KAIDAH FIQIH


Kam, 18 Januari 2024 | 22:35 WIB

Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024, disebut juga Pilpres 2024, adalah pemilihan umum
kelima di Indonesia yang bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pemilihan dilakukan untuk menentukan pemangku jabatan presiden dan wakil presiden untuk masa bakti
2024–2029 dan akan dilaksanakan pada Rabu 14 Februari 2024. Pemilihan ini menjadi kontestasi politik
untuk memilih presiden baru menggantikan Joko Widodo yang purna tugas dari jabatannya setelah
menjabat dua periode sebagai presiden dan tidak dapat mencalonkan diri lagi berdasarkan konstitusi.
Pemilihan umum ini akan dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan pemilihan umum anggota
DPR RI, DPD RI, dan DPRD di seluruh Indonesia. Sementara pemilihan umum kepala daerah baru akan
dilaksanakan pada Rabu 27 November 2024.

Dalam sudut pandang kehidupan demokrasi terkait memilih pemimpin atau wakil rakyat,
mekanisme yang berjalan di Indonesia ialah melalui penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Secara
konstitusi, negara mengatur setiap warganya untuk menentukan pilihan calon, baik calon kepala daerah,
calon presiden, maupun calon legislatif. Namun pada praktiknya, sebagian orang memutuskan untuk tidak
memilih karena sejumlah alasan, yaitu alasan administratif dan idealisme. Di Indonesia kelompok ini
disebut dengan golongan putih atau golput. Namun, para ulama, khususnya santri dan kiai di pesantren
memegang prinsip kaidah fiqih ketika dihadapkan oleh sebuah pilihan. Kaidah fiqih yang menjadi pijakan
ialah, Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib (sesuatu yang yang menjadi sempurna karenanya,
maka ia menjadi wajib). Tentu saja sebuah negara akan sempurna jika memiliki kepala negara dan
pemerintahan. Dengan demikian, wajib bagi warga negara untuk memilih kepala negara dalam sistem
demokrasi Pancasila yang berkembang di Indonesia.

Banyaknya masyarakat yang mengambil sikap untuk tidak ikut memilih atau yang lazim
(Golput). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan
hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019. Jumlah itu setara dengan 18,02% dari
seluruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang. Jumlah pemilih golput
pada Pemilu 2019 menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah
pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.

Munculnya sikap Golput ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, di dalam undang-
undang negara kita ditegaskan bahwa keikutsertaan untuk ikut memilih hanyalah hak bagi warga negara,
bukan sebagai kewajiban (Undang-Undang No.10/2008, pasal 19 ayat 1). Jika memilih pemimpin
dianggap hanya sebagai hak, bukan sebagai kewajiban, berarti sah-sah saja hak tersebut tidak digunakan.
Kedua, karena sosok yang terpilih tidak pernah membawa perubahan yang signifikan, bahkan terkesan
memperkaya diri sendiri, sehingga memunculkan sifat apatis pada sebagian masyarakat. Ketiga, faktor
paham keagamaan. Menurut paham keagamaannya, sistim pemilu ataupun sistem demokrasi bukanlah
cara Islami dalam memilih pemimpin. Pemilu menurut mereka adalah sistem thaghut (berhala) yang
berasal dari Barat, dan haram untuk ditiru.

Dari kaidah Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fiqih
Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (2017) menjelaskan bahwa agama Islam tidak
hanya mengatur persoalan ibadah semata. Sebab itu, demi menjaga ajaran agama di sebuah tanah air atau
negara serta agar terhindar dari kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, agama menyaratkan adanya
sebuah imarah (kepemimpinan) yang mengatur urusan duniawi dan menjaga agama (hirasatud din wa
siyasatud dunya). Islam mengakui dan menyaratkan adanya kepemimpinan agar pelaksanaan ajaran Islam
bisa ditegakkan dalam keadaan aman. Dalam kaidah fiqih yang lain, manusia tidak berhenti pada level
memilih semata, tetapi juga harus memikirkan kemaslahatan yang lebih luas ketika dihadapkan pada dua
pilihan sulit, terutama bagi yang memegang prinsip golput.

Kaidah yang bisa menjadi pijakan ialah dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih
(menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan). Keburukan untuk tidak
memilih pemimpin ialah dapat membuka pintu bagi orang-orang yang tidak baik untuk menjadi
pemimpin. Jika menurut kelompok golput dua pilihannya tidak baik menurut idealismenya, agama
memberikan panduan untuk memilih yang kejelekannya sedikit. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih ma la
yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa dicapai atau diakukan semuanya, jangan
ditinggal seluruhnya). Kalau menghendaki pemimpin yang sempurna, maka selamanya sebuah negara
tidak akan memiliki pemimpin. Namun, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang terbaik, tapi
setidaknya mencegah orang buruk untuk memimpin. Dalam penjelasan lain, Syaikhul Islam Ali
menegaskan keberadaan pemimpin adalah keharusan (wajib); yang mana keberadaannya tidak sempurna
kecuali dengan suara. Sebab itu, memilih pemimpin menjadi bagian dari ibadah sosial yang merupakan
ejawantah (wujud) atas spiritualitas manusia. Maka golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak
suaranya untuk memilih pemimpin tidak bisa serta merta diterima atas dasar hak asasi.
Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil….” (QS. An-Nisa’ [4]: 58). Ayat ini cukup tegas menunjukkan pandangan
Alquran dalam memilih pemimpin. Ayat ini dapat dianggap sebagai referensi untuk menjawab apakah
memilih pemimpin merupakan hak atau kewajiban. Sasaran ayat di atas ditujukan kepada orang-orang
mukmin agar memberikan amanah kepada orang-orang yang sanggup menjalankannya. Dengan
demikian, memilih pemimpin secara otomatis include ke dalamnya, karena pemimpin adalah orang-orang
yang dianggap cakap dalam menjalankan amanah. Menurut Mahmud al-Nasafi di dalam tafsirnya “Tafsir
al-Nasafi” mengatakan bahwa perintah di dalam ayat ini adalah perintah wajib untuk menjalankan
amanah Allah yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih
pemimpin.

Selain ayat di atas, Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian….” (QS An-Nisa’: 59). Ayat ini menjelaskan
hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah
rakyat. Menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena
jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan. Dengan
demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib. Imam at-Thabari (ahli tafsir) mengatakan,
bentuk ulil amri pada ayat di atas diarahkan pada kekuasaan, setidaknya pemerintah sebagai kekuatan
politik yang fungsinya mengurusi, menangani, dan memerintah masyarakat. Maka makna kepatuhan
dimaksudkan kepatuhan terhadap pemimpin (ulil amri), di mana kepatuhan demikian mungkin terlaksana
bila didahului oleh upaya menegakkan suatu kepemimpinan. Tujuannya tiada lain adalah demi
kemaslahatan masyarakat, yaitu terealisasinya ad-daruriyah al-khamsah (keperluan dasar yang lima;
menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta).

Dalam hal ini Nabi juga bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat
salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Daud). Kalimat “bepergian”
menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu
sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin
hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk
memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti Indonesia
ini.

Berdasarkan ayat dan hadis Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya
adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya.
Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di
antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling
mendekati kesempurnaan. Prosedur mendapatkan otoritas kekuasaan eksekutif dalam negara penganut
sistem demokrasi adalah sah dan konstitusional, legitimit, dan kompetitif. Tidak ada jalan lain kecuali
pemilu. Pemilu, bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar tertentu.

Selain berdasarkan Alquran, dalam kaedah fiqih dikatakan: “al-amru bi as-syai’i amru bi wasailih
(perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan sarananya).” Maksud aplikasi dari kaedah
ini adalah, bahwa memilih pemimpin itu adalah wajib, maka mengikuti pemilu sebagai sarana atau
wasilah memilih pemimpin adalah wajib juga.

Pada tahun 2009, dalam ijtima’ ulama di Padang Panjang Sumatera Barat, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya Golput tersebut. Fatwa ini juga didukung oleh
fatwa MUI yang ada di beberapa daerah bahwa nasabul imam atau mengangkat pemimpin adalah wajib,
walaupun kadang-kadang tidak menggunakan istilah “Golput.” Ini merupakan ijtihad politik dalam
meminimalisir angka dan fenomena Golput. Oleh karena itu, orang-orang mukmin tidak akan pernah
mengambil sikap Golput ketika pemilu, karena mengetahui bahwa memilih pemimpin adalah kewajiban,
bukan sekadar hak. Sebagai kewajiban, maka orang-orang mukmin pasti memilih pemimpin yang terbaik
dari calon-calon yang ada

Kita tidak boleh alergi dengan politik, karena politik hakikatnya adalah mulia. Hanya oknum
tertentulah yang mengotori kemuliaan politik. Sesungguhnya Rasulullah berhasil membangun Kota
Madinah dengan peradaban yang tinggi berkat kepiawaian beliau dalam memainkan politik lobi dan
berdiplomasi dengan Yahudi yang berkuasa di Madinah ketika itu. Walaupun rakyatnya heterogen dan
plural, baik suku, status sosial, maupun agama, beliau berhasil menjadi pemimpin tertinggi di Madinah
ketika itu.

Islam tidak pernah menetapkan satu-satunya model sistem pemilihan kepala pemerintahan secara
defenitif, namun hanya diserahkan sepenuhnya kepada konsensus di sebuah negara yang diatur melalui
konstitusinya masing-masing. Dengan demikian, tidaklah betul anggapan yang mengatakan bahwa sistem
demokrasi atau pemilu ini bertentangan dengan ajaran Islam, sekalipun sistem demokrasi dicetuskan oleh
Barat.

Anda mungkin juga menyukai