Anda di halaman 1dari 9

GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

Disusun Oleh:

Achdian Yusuf Dwi Yudhianto

(195020200111056)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN MANAJEMEN

KELAS BE/2019

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada setiap pilkada maupun pemilu, masih banyak kejadian – kejadian
yang menyimpang dari aturan baku, seperti tindak money politik atau tindak
golput. Golongan putih merupakan kelompok masyarakat yang tidak mau
melibatkan diri dalam suatu pemilihan seperti pemilihan umum atau
pemilihan presiden, dan kepala daerah lainnya. Pemilihan sikap seperti ini
punya alasan tersendiri diantaranya ketidakadaaan calon yang sesuai dengan
kriteria menurut mereka atau calon-calon yang ada tidak memenuhi kriteria
yang diinginkan. Ada juga yang tidak merasa bermanfaat untuk memberikan
hak pilih. Menurutnya memberikan hak pilih ke tempat pemberian suara
(TPS) hanya menghabiskan waktu saja. Melakukan aktivitas sehari-hari
menurutnya lebih bermanfaat dari pada berangkat ke TPS.
Golput memang bukanlah nama calon atau nama sebuah partai di
Indonesia, namun golput selalu ikut andil dalam Pemilihan Umum dari masa
ke masa baik dalam pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, maupun pemilu
presiden. Fenomena golput semakin menguat pada tahun 90-an, dimana partai
golongan karya (Golkar) sebagai salah satu partai peserta pemilu yang bukan
dari unsur parpol, menjadi single majority.
Partisipasi dalam pemungutan suara merupakan bentuk kesadaran
yang dimiliki oleh masyarakat dalam proses. Namun tidak dapat dipungkiri,
partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan lima tahun
sekali, mengalami pasang surut. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya
golongan putih dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Sikap
masyarakat seperti ini menjadi bermasalah dalam suatu demokrasi kalau
jumlahnya semakin banyak. Hal ini sangat terkait dengan legitimasi
proses pemilihan. Semakin banyak jumlah golput maka legitimasi
terhadap pemilihan tersebut semakin lemah, sementara jumlah golput yang
semakin sedikit maka pemilihan itu akan semakin baik. Dengan
demikian ada kemudaratan kalau jumlah golput semakin banyak. Apakah
sikap golput seperti ini dibenarkan dalam ajaran Islam. Permasalahan ini
akan diuraikan pada pembahasan berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum golput dalam pemilu menurut perspektif islam?
2. Bagaimana penggunaan hak pilih dalam pemilu berdasarkan fatwa MUI?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hukum golput dalam pemilu menurut perspektif islam.
2. Mengetahui penggunaan hak pilih dalam pemilu berdasarkan fatwa MUI.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Golput Menurut Perspektif Islam


Pemilu beserta hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraannya pada
dasarnya merupakan aktifitas politik (siyasah). Perlakuan Islam terhadap urusan
politik berbeda dengan perlakuannya dengan perlakuannya terhadap urusan
Aqidah dan Ibadah. Urusan politik, karena sifatnya yang bisa berubah dan selaras
dengan perkembangan zaman diatur oleh Islam dengan pola pengaturan yang
sifatnya hanya berupa garis-garis besar.
Ketika Nabi SAW wafat, kaum Muslim tidak mendapatkan wasiat apapun
dari beliau tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin
politik kaum muslimin sepeninggal beliau, dan tidak juga wasiat tentang
bagaimana prosedur pemilihan pengganti beliau itu. Agaknya beliau
menyerahkan urusan tersebut kepada proses-proses pemecahan masalah yang
harus dilakukan oleh kaum muslimin sendiri melalui jalan yang telah diajarkan
oleh agamanya, yaitu jalan musyawarah. Prinsip musyawarah dimuat dalam al-
Qur’an Q.S Syura:38
ُ ‫ص ٰلوۃ َ ۪ َو اَمۡ ُرہ ُۡم‬
‫ش ۡو ٰری بَ ۡینَ ُہ ۡم ۪ َو ِم َّما َرزَ ۡق ٰن ُہ ۡم ی ُۡن ِفقُ ۡون‬ ۡ َ‫َو الَّذ ِۡین‬
َّ ‫است َ َجاب ُۡوا ِل َر ِب ِہ ۡم َو اَقَا ُموا ال‬
Artinya : ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka.”
Berdasarkan prinsip penyelesaian masalah bersama melalui jalan
musyawarah, islam meletakkan tanggung jawab kepada kaum muslimin untuk
mengelola urusan mereka yang penting melalui prosedur-prosedur yang
melibatkan aspirasi segenap anggota masyarakat. Melalui musyawarah, setiap
masalah yang menyangkut kepentingan umum dapat ditemukan jalan keluar
yang sebaik-sebaiknya setelah semua pihak mengemukakan pandangan dan
pikirannya.
Pemilu tidak lain adalah bentuk musyawarah yang diikuti oleh orang
banyak, yang diselenggarakan untuk membentuk lembaga-lembaga penting
dalam negara dan pemerintahan, yakni lembaga kepemimpinan atau
kepresidenan dan lembaga perwakilan atau parlemen. Tentang pembentukan
pemerintah atau penegakan kepemimpinan negara, para ulama hukum Islam
sepakat bahwa hal ini merupakan kewajiban kifayah bagi umat Islam, yakni
kewajiban yang tuntutan pelaksanaannya dihadapkan pada komunitas
muslimin secara kolektif. Jika ada sebagian mereka yang melaksanakan
kewajiban itu, maka seluruh anggota komunitas dipandang sudah
melaksanakan kewajiban itu, maka seluruh anggota komunitas dipandang
sudah melaksanakan. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka
mereka semuanya berdosa. Berdasarkan pandangan ini, maka kondisi
kekosongan pemerintah tidak boleh terjadi di dalam komunitas muslimin.
Jika membentuk pemerintah menurut Islam adalah fardu qifayah,
sedangkan pemilu adalah wasilah (media) untuk membentuk pemerintah itu,
maka hukum menyelenggarakan pemilu adalah juga fardhu kifayah. Jika
pemilu itu fardhu kifayah, maka yang pokok adalah bagaimana pemilu itu
terselenggarakan dengan sah, maka gugurlah kewajiban kifayah itu dari
perspektif Islam, sikap sebagaimana pemilu untuk golput atau sengaja tidak
melibatkan dari dalam pemilu untuk memberikan suara adalah boleh dan bisa
toleransi sepanjang hal itu tidak membawa akibat pada gagalnya
penyelengaraan pemilu. Akan tetapi, jika sampai menyebabkan kegagalan
dalam pemilu, yang berarti pula menyebabkan gagalnya upaya pembentukan
pemerintahan, maka golput seperti itu dilarang.
Bisa juga Golput dari perspektif Islam ini didekati dari sisi yang lain.
Seperti telah dikemukakan, Islam tidak mengatur soal-soal politik dengan pola
pengaturan yang rinci. Islam menyerahkan pengaturannya kepada kaum
muslimin melalui jalan musyawarah. Aturan-aturan yang melalui musyawarah
bersifat mengikat dan wajib dipatuhi, termasuk aturan-aturan teknis tentang
ihwal penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, peraturan perundang-
undangan tentang pemilu yang dihasilkan melalui kesepakatan dalam forum
musyawarah merupakan hukum atau norma yang berlaku bagi masyarakat
untuk dijalankan sebagai kontrol sosial.
Dengan pendekatan ini, hukum Golput dalam perspektif Islam adalah
tergantung bagaimana ketentuan-ketentuan pelaksanaan pemilu yang
dihasilkan melalui musyawarah. Jika menurut ketentuan yang disepakati itu
Golput dibolehkan, maka bolehlah Golput menurut Islam. Begitu juga kalau
menurut ketentuan yang disepakati itu Golput dilarang, maka haramlah
Golput menurut Islam.
Terkait dengan ini, Undang-Undang tentang pemilu di Indonesia, yang
merupakan hasil musyawarah para wakil rakyat di parlemen, membolehkan
pada pemegang hak pilih untuk memilih menjadi golput dalam pemilu.
Berhubungan putusan musyawarah itu mengikat, maka dari perspektif Islam
golput dalam pemilu di Indonesia pada dasarnya adalah boleh. Tentu saja,
sebagaimana telah dikemukakan, kebolehan ini adalah sebatas manakala sikap
Golput tersebut tidak menyebabkan gagalnya upaya pembentukan pemerintah
melalui pemilu.
Tindakan golput memiliki pengertian luas, diantaranya:
Pertama, tidak menentukan pilihan. ini merupakan tindakan yang sia-
sia, bagaimana seorang yang datang ke bilik suara (TPS) tanpa mencoblos
satu di antara kandidat kepala daerah. bisa juga dia mengosongkan surat suara
dan partisipasinya seakan dianggap sebagai formalitas belaka. Hal ini serupa
dengan peristiwa tahkim, di mana sifat aliran qadariyah pada saat itu tidak
memihak kepada Ali RA. maupun Muawiyah. Sifat ini sama dengan istilah
“cari aman”.
Kedua, mencoblos lebih dari satu pilihan. Golongan ini termasuk
dalam orang-orang yang bimbang dalam bertindak maupun bersikap. Padahal
jelas Rasulullah saw. Bersabda :
(‫دع ما يريبك إلى ما ال يريبك (رواه الترميذي‬
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak
meragukanmu.”
Anjuran untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan adalah bagian
dari syariat islam. Tidak hanya dalam hal pemilihan kepala daerah, terlebih
pada urusan ibadahpun sangat diwanti-wanti agar terhindar dari sifat bimbang,
sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusu’ dan khidmat.
Ketiga, tidak memilih karena alasan sedang merantau. Budaya
masyarakat Indonesia dalam upaya untuk menyambung hidup yaitu dengan
cara bekerja di luar daerah (transmigrasi). Jika pada persyaratan pemilih
disesuaikan dengan KTP asal, maka berapa juta jiwa yang tidak bisa ikut
memilih pemimpin karena tersebar di berbagai daerah dan KTP tersebut tidak
bisa digunakan di daerah tempat mereka bekerja.
Masalah ini harus ditangani secara serius agar semua masyarakat bisa
berpartisipasi hajat demokrasi ini tanpa terkecuali. Jika sampai hari ini tidak
diperhatikan, maka hal seperti ini dapat dipastikan menjadi kecacatan di tiap
periodenya.
Firmat Allah dalam surat An-Nisa ayat 59 :
ْ ‫سو َل َوأُو ِلي‬
ْ ‫األم ِر ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِفي ش‬
ٍ‫َيء‬ ُ ‫الر‬َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِطیعُوا‬ َّ ‫َیا أَیُّ َها الَّذِینَ آ َمنُوا أ َ ِطیعُوا‬
)٥٩( ‫ن ت َأ ْ ِویال‬ َ ْ‫اآلخ ِر ذَلِكَ َخی ٌْر َوأَح‬
ُ ‫س‬ ِ ‫اَّللِ َو ْالیَ ْو ِم‬
َّ ‫سو ِل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللاِ َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Jika melihat sisi isi kandungan pada Ayat ini yaitu sebuh perintah bagi
kaum muslim agar menaati putusan hukum, yang secara hirarkis dimulai dari
penetapan hukum Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah perintah-
perintah Allah dalam AlQur’an, dan taatilah pula perintah-perintah Rasul
Muhammad, dan juga ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh Ulil Amri
pemegang kekuasaan di antara kamu selama ketetapan-ketetapan itu tidak
melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Jika terdapat perbedaan pendapat tentang sesuatu masalah yang tidak
bisa dipertemukan, maka kembalikanlah kepada nilai-nilai dan jiwa firman
Allah, yakni Al-Qur’an, dan juga nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul dalam
bentuk sunahnya, maka yang demikian itu adalah sebagai bukti jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Mayoritas para ulama menafsirkan kata ulil amri yaitu pemerintah.
hasil konsesus menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut
sistem demokrasi, Maka taat dan menghormati terhadap kebijakan pemerintah
bukan hal biasa melainkan perintah Negara dan Agama untuk rakyatnya agar
senentiasa mematuhi Pemerintah secara seksama.
Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin),
yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Menaati
kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya
wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati
pemimpin pun tidak bisa dijalankan.

B. Penggunaan Hak Pilih dalam Pemilu Menurut Fatwa MUI


Fatwa MUI terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu tertuang dalam
buku berjudul “Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975” yang diterbitkan Erlangga.
Hal itu dijelaskan pada halaman 867 dengan bab keputusan Ijtima Ulama
Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009.
Fatwa itu berisi lima point terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu.
Pertama, pemilu dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat – syarat ideal bagi terwujudnya
cita – cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Kedua, memilih pemimpin dalam islam adalah kewajiban untuk
menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
Ketiga, imamah dan imarah dalam islam menghajatkan syarat – syarat
sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur,
amanah, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan
kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.
Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat – syarat
sebagaimana disebutkan dalam butir 4 atau tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Dalam fatwa itu, MUI juga memberikan dua rekomendasi, yaitu :
Pertama, umat islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan
wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan
sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat
meningkat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepemimpinan dalam islam sangatlah penting. Oleh karena itu jika
ada pemimpin yang dianggap memenuhi kriteria, bukanlah sebagai umat
islam dan warga negara yang baik kita harus ikut andil dalam memilih
pemimpin.

B. Saran
Dalam setiap pelaksanaan pemilu, masih banyak terdapat masyarakat
yang melakukan golput. Hal ini dikarenakan karena kurang tahunya dengan
para calon pemimpin atau kurang sreg dengan para calon. Oleh karena itu,
penulis menyarankan sebelum memang benar – benar ingin golput, coba
memikirkan lagi tentang kriteria para calon pemimpin yang bisa dilihat dari
syarat – syarat yang dikeluarkan oleh Fatwa MUI.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Surabaya, Cu


Jaya Sakti, 1989.

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008


Tentang Pemilu.

Sanai, Arbit, Partai, Pemilu Dan Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan
Ke I, 1997.

Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta,
Ui Press, Cetak Ke V 1993.

Tebba, Sudirman, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 1993.

Pulung, J. Suyuti, Fiqh Siyasah, Jakarta, Gaya Garafindo Persada Utama, 1994.

Putra, Fadillah, Partai Politik Dan Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Cetakan Ke 2, 2004.

Toriquddin, Moh. Relasi Agama Dan Negara. Malang: UIN-Malang Press, 2009.

Khaeruman, Badri, Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, Jakarta, PT


Nimas Multima, 2004.

Rais, M.D, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai