Anda di halaman 1dari 4

Siti Nurul Maisurah

40030317060028
Kelompok 6
MAHASISWA BERMENTAL JUARA
Mahasiswa adalah sosok perubahan dan generasi penerus untuk mendorong
kemajuan bangsa. Selain menjadi Agent of Change, mahasiswa juga berperan sebagai Social
Control dimana mahasiswa menjadi penengah antara masyarakat dengan pemerintah. Serta
Iron Stock, mahasiswa harus memiliki sikap tangguh dan akhlak mulia sebagai generasi
penerus. Untuk mewujudkan peran mahasiswa tersebut maka, harusnya mahasiswa memiliki
kepekaan terhadap semua permasalahan yang ada di masyarakat selain itu, memiliki jiwa
sosial yang tinggi juga dapat memberhasilkan sebuah gerakan nasional. Namun bagi saya,
seorang mahasiswa untuk dapat menjadi Agent of Change tidak perlu berdemo ria untuk
merubah masa depan menjadi yang lebih baik. Kita sebagai mahasiswa perlu berkaca
terlebih dahulu, apakah pantas kita menuntut kebenaran apabila dikampus kita melakukan
“titip absen” ke mahasiswa lain? Lalu pantaskah kita menuntut janji pejabat jika kita
mahasiswa masih menyontek saat ujian?
Jika memang benar seorang mahasiswa adalah Agent of Change, mengapa kita harus
repot-repot berteriak ditengah jalan hingga menimbulkan kemacetan jika kita bisa turun
langsung ke masyarakat dan membuat perubahan secara langsung. Bagi saya, mahasiswa
yang peka terhadap masalah sosial dan turun langsung untuk melakukan pendekatan dan
perubahan itu adalah mahasiswa yang bermental juara. Mahasiswa itulah yang dapat disebut
sebagai The Real Agent of Change. Bermental juara bagi saya bukan berarti seorang
mahasiswa harus memiliki rasa haus akan kemenangan tetapi, mahasiswa yang dapat
melakukan contoh yang baik, peka terhadap masalah sosial dan turun langsung ke
masyarakat sehingga dapat melakukan perubahan. Selain itu, mahasiswa bermental juara
ialah mahasiswa yang juga harus cerdas dan memiliki segudang prstasi.
Bersaing atau berkompetisi adalah kemampuan dasar alami seluruh makhluk hidup,
tentu saja termasuk manusia. Kemampuan bersaing ini adalah salah satu fondasi berdiri dan
berkembangnya peradaban manusia. Bahkan kehidupan itu sendiri ditopang dengan
semangat kompetisi yg kuat, sejak awal dimulainya. Dengan demikian, mau diajarkan atau
tidak di sekolah, setiap anak secara alami akan melakukan kompetisi. Nah, daripada mereka
berkompetisi dengan cara2 yg tidak baik, mengapa sekolah tak ajarkan siswa bagaimana
berkompetisi secara baik dan sehat? Yaitu persaingan yg jujur, adil, dan terbuka.
Jelas yang namanya juara itu jumlahnya sedikit karena dibutuhkan orang-orang
istimewa dengan kemampuan lebih untuk bisa meraihnya. Jika semua orang jadi juara,
otomatis juara jadi tak ada artinya. Orang pintar ada karena ada orang bodoh. Orang kaya
ada karena ada orang miskin. Dan seterusnya. Sesuatu yg istimewa dan spesial selalu lebih
sedikit dan lebih berharga dari sesuatu yg biasa-biasa saja. Ini sudah hukum alam.
Ujaran “semua adalah juara” itu menurutku omong kosong dan cenderung sekadar
apologia saja. Buktinya, olimpiade sedunia sejak ratusan tahun lalu, juaranya juga selalu 1
orang di tiap bidang. Dari sini, yg perlu ditanamkan pada siswa dan anak adalah bahwa
menjadi juara (punya prestasi) di suatu bidang itu bagus. Tapi dibutuhkan kerja keras untuk
menjadi seorang juara. Bukan malah kata-kata hiburan bahwa seluruh anak adalah spesial
dan dengan demikian otomatis layak jadi juara. Ini pembohongan dini namanya. Sistem
pendidikan formal dibangun karena ada alasan yg melatarbelakanginya.
Dengan sistem itulah ilmu pengetahuan bisa diterus-kembangkan secara tertata dan
berkesinambungan lintas generasi. Perkara sekarang sistem itu dalam pelaksanaannya di
negeri kita ini menjadi buruk dan amburadul, itu soal lain. Salahkanlah pemerintah kita yg
gagal menyelenggarakannya, bukan menyalahkan sistemnya. Tapi secara umum, dari sistem
pendidikan formal inilah peradaban manusia modern berkembang semakin maju. Seluruh
teknologi yang kita nikmati saat ini, dibangun oleh orang-orang cerdas lulusan perguruan
tinggi. Pendidikan adalah proses transfer ilmu pengetahuan dan informasi dari guru ke siswa.
Karena merupakan proses maka harus ada tolok ukur keberhasilan dari proses yang
dilakukan tersebut.
Inilah mengapa ada penilaian akademik yang menjadi indikator keberhasilan
pendidikan di sekolah. Penilaian yg baik adalah penilaian yang kuantitatif (terukur secara
numerik) agar penilaian bisa dilakukan dengan seobyektif mungkin. Bukan penilaian
kualitatif (non numerik) karena bias subyektivitas bisa mempengaruhi. Jika tak ada tolok
ukur keberhasilan, bagaimana kita akan mengetahui dan menilai proses pendidikan yg
dilaksanakan telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan?
Karena ada penilaian, secara otomatis kompetisi akan terjadi dengan sendirinya. Mau
atau tidak sekolah memberikan peringkat kelas berdasarkan nilai, siswa dengan sendirinya
juga akan saling membandingkan di antara mereka. Bukan tak mungkin orangtua siswa juga
akan saling membandingkan antar anak-anak mereka. Dan itu wajar saja. Kan sudah
kubilang kompetisi itu kemampuan dasar alami makhluk hidup. Jadi, menyembunyikan
peringkat tapi tetap memberi nilai sebenarnya tak ada gunanya. Nah, daripada kompetisi itu
terjadi di luar kendali (yang berpotensi siswa saling bully), lebih baik sekolah jadikan itu
sebagai kompetisi formal yang terkontrol dan terawasi.
Anak usia sekolah dasar punya banyak potensi yg perlu dikembangkan. Di usia seperti itu,
pemilihan fokus pengembangan lebih ke arah potensi-potensi yang bersifat mendasar baik
secara motorik, kognitif, psikososial, dan bahasa. Menurutku, kemampuan berkompetisi
sebagai kemampuan dasar juga perlu diberikan di usia ini. Tentu saja bukan berarti cukup
itu saja. Harus dibarengi juga dengan kemampuan-kemampuan dasar lainnya, seperti
percaya diri, membangun kerja sama, bertoleransi, dan sebagainya. Demikian juga
kemampuan-kemampuan dasar akademik, seperti aritmatika, mengenal alam sekitar, etika
bergaul, menyampaikan pendapat, seni, dan sebagainya.
Setiap orang tentu menginginkan apa yang ditekuninya bisa meraih sukses. Namun
sayangnya tidak semua orang memiliki mental juara untuk mewujudkan impian mereka.
Banyak orang yang menyerah ditengah jalan sebelum mereka mencapai kesuksesan yang
diimpikannya. Hal inilah yang membedakan antara mereka dan yang lainnya, sehingga
sebagian orang mampu berhasil meraih sukses, dan sebagian lagi masih berada pada posisi
yang sama tanpa ada perkembangan pasti.
Oleh karena itu, mental juara harus dimiliki oleh setiap orang jika ingin meraih
sukses. Sebab kesuksesan tidak dapat diraih secara instan atau otomatis, butuh perjuangan
keras untuk dapat menghadapi segala rintangan dan persaingan yang cukup ketat dari
pesaing lainnya. Karena itu pula mental juara perlu ditanamkan sejak dini pada semua
kalangan masyarakat. Agar orang yang ada di Indonesia memiliki mental kuat dan tahan
banting menghadapi segala tantangan.
Daftar Pustaka
Zakiah, Zahra. 2017. Mahasiswa Agent Change Tanya Lagi. Diambil 01 November 2017,
dari https://www.ziliun.com.
Istichomaharani, Ilmaa Surya., Sandra Sausan Habibah. 2016. Mewujudkan Peran
Mahasiswa Sebagai “Agent Of Change, Social Control, Dan Iron Stock”. Diambil
02 November 2017, dari http://ppkn.umpo.ac.id.
Mahasiswa Harus Bermental Petarung. Tanpa Angka Tahun. Diambil 02 November 2017,
dari http://www.korankaltim.com.

Anda mungkin juga menyukai