Anda di halaman 1dari 27

Proposal Metode Penelitian

“Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur Rumah Adat Sunda
pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan”

Dosen:
Prof. Ir. Agus Budi Purnomo MS, PhD
Asisten Dosen:
Dr. Ir. M. Bambang Susetyarto, MT

Nama/NIM:
Filea M B
052 001 600 084

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2018
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................................ 3

Bab I Pendahuluan .................................................................................................................. 4

1.1Latar Belakang ...................................................................................................................... 4

1.2Rumusan Masalah ................................................................................................................. 6

1.3Tujuan dan Sasaran ............................................................................................................... 6

1.4Kerangka Pemikiran.............................................................................................................. 7

Bab II Studi Teori .................................................................................................................... 8

2.1 Sejarah Arsitektur Sunda ..................................................................................................... 8

2.2 Konsep Rumah Etnik Sunda ................................................................................................ 9

2.2.2 Arsitektur Rumah Sunda ................................................................................................. 11

2.3 Arsitektur Neo-vernakular ................................................................................................. 19

2.4 Morfologi Pemukiman Rumah Adat Sunda di Kampung Naga ........................................ 21

2.5Analisis Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur Rumah


Adat Sunda pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan .................................................. 22

Bab III Metode Penelitian ..................................................................................................... 23

A.Pengertian Metode Penelitian yang Dipilih ......................................................................... 23

B.Metode Penelitian ................................................................................................................. 23

C.Tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui beberapa studi kasus antara lain ........... 23

D.Dalam proses analisis digunakan dua metode yaitu ............................................................ 24

Bab IV Organisasi Pelaksana ............................................................................................... 25

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 26

2
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
proposal ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikiran.

Dan harapan kami semoga proposal ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat terealisasikan .

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih


banyak kekurangan dalam proposal ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan proposal ini.

Jakarta, Juni 2018

Penyusun

3
Judul:Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur Rumah
Adat Sunda pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan

Bab I

Pendahuluan

1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari pulau-pulau,
sehingga banyak suku dan budaya yang tercipta (ILMC, 2018). Setiap pulau terbagi lagi
menjadi banyak wilayah dan dari berbagai wilayah tersebut tercipta kebudayaannya masing-
masing (Ghea, 2014). Hal tersebut membuatnegara Indonesia menjadi salah satu negara di
dunia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam (Ghea, 2014). Budaya tersebut
termasuk budaya adat istiadat, tarian, musik, seni, kerajinan tangan, makanan, bangunan
rumah adat, dan lain-lain (ILMC, 2018). Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan
banyaknya pengaruh luar yang masuk ke Indonesia, banyak keanekaragaman budaya di
Indonesia yang hampr hilang atau bahkan sudah dilupakan (ILMC, 2018). Generasi muda
sekarang harus diingatkan lagi mengenai kebudayaan Indoesia(Subagyo, 2014). Banyak
anak-anak muda yang semakin lama semakin melupakan dan bahkan tidak tahu beberapa
kebudayaan Indonesia(Subagyo, 2014). Dalam hal ini dalam bentuk makanan tradisional
Indonesia (Ghea, 2014). Makanan tradisional Indonesia adalah semua jenis makanan yang
dibuat dan diolah asli dengan menggunakan bahan lokal dari daerah setempat di negara
Indonesia dan dengan cara pengolahan yang beragam serta bervariasi, juga memiliki ciri khas
daerah setempat (Ghea, 2014). Makanan tradisional tersebut terdiri dari makanan utama,
makanan ringan/ jajanan dan minuma yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah tersebut
(Ghea, 2014). Makanan tradisional, khususnya makanan ringan atau jajanan tradisional khas
Indonesia mulai tergeser oleh makanan-makanan dari luar Indonesia (Ghea, 2014). Ada
beberapa contoh jajanan luar Indonesia yang sering kita temui dan konsumsi seperti,
sandwich, hamburger, pizza, pasta, dan masih banyak lagi makanan luar Indonesia yang
masuk ke Indonesia(Subagyo, 2014).Hal ini menunjukkan telah terjadinya pergeseran antara
makanan tradisional dengan makan yang berasal dari luar Indonesia(Subagyo, 2014). Dengan
begitu, jajanan tradisional akan semakin tergeser hilang dan mungkin tidak bisa dinikmati
lagi oleh masyarakat Indonesia sendiri(Subagyo, 2014).

4
Salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman jajanan
tradisional adalah Provinsi Jawa Barat (Ghea, 2014). Jawa Barat mempunyai sebutan atau
nama lain yaitu Priangan atau Parahyangan(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat, 2009). Priangan (Parahyangan) adalah sebutan nama istilah atau julukan untuk
gabungan dari 10 kabupaten dan kota yang berada di seluruh Jawa Barat(Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009). Priangan (Parahyangan) terdiri dari dua, yakni
Priangan Barat (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cimahi dan
Kabupaten Sumedang) dan Priangan Timur (Garut, Kota Tasikmalaya, Kabupaten
Tasikmalaya, Banjar, dan Ciamis). Daerah Priangan merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan objek (tujuan) wisata. Daerah
Priangan ini, memiliki banyak tempat wisata alam yang indah dan belum terlalu populer di
masyarakat umum, sehingga keindahannya masih terjaga dan tidak dipenuh sesak oleh para
pengunjung(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009).Hal ini yang
membuat para wisatawan tertarik datang. Keanekaragaman makanan tradisional mulai dari
jajanan hingga makanan berat, makanan basah hingga makanan kering, serta bermacam-
macam produk kerajian tangan banyak terdapat di daerah Priangan ini pengunjung (Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009). Banyak makanan tradisional khas
Priangan yang memiliki nilai bersejarah dan cerita unik bagi masyarakat Priangan sendiri
(Ghea, 2014). Ada beberapa contoh jajanan tradisional khas Priangan seperti Opak,
Rangginang Ketan, Seroja, Kelontong, Rangginang Oyek, Sagon, Awug, Colenak, Boroyot,
Combro, Ladu, Serabi, Peuyeum, Cireng, Kue Ali, Lotek, Karedok, nasi timbel, serabi,
oncom, dan masih banyak lagi makanan tradisional khas Priangan yang sudah jarang kita
temui di dunia kuliner (Okavianawati, 2009). Produk kerajinan tangan pun beragam, seperti
bordir, batik, payung geulis, kelom geulis, produk anyaman, produk yang terbuat dari kulit,
tas Endong, dan lain sebagainya. Faktor yang membuat makanan dan produk kerajian
tersebut dilupakan adalah banyaknya produk yang dikemas dengan bagus dan dijual di tempat
dengan bangunan yang dinilai unik pula oleh konsumen(Darsiharjo, Caturwati, Rustiyanti, &
Lilis sumiati, 2009).
Terdapat beberapa outlet /sentraoleh-oleh yang menjual makanan dan produk kerajinan
tradisional khas Priangan ini, namun tempatnya kurang mengekspos kebudayaan Jawa Barat,
sehingga dinilai tidak unik dan menarik bagi masyarakat bahkan bagi para
wisatawan(Darsiharjo, Caturwati, Rustiyanti, & Lilis sumiati, 2009). Oleh karena itu,
dianggap perlu untuk mendesain suatu outlet /sentra oleh-oleh makanan tradisional khas
Priangan agar dapat lebih tertata dan menarik antusias konsumen masyarakat serta dapat

5
mengekspresikan ragam budaya daerah Jawa Barat, sehingga layak untuk dijadikan salah satu
tempat perkunjungan wisata kebudayaan Jawa Barat. Hal tersebut diharapakan membantu
dalam melestarikan kebudayaan Indonesia, dalam hal ini khususnya mengenai makanan dan
produk kerajinan tradisional khas Priangan dengan citra baru yang kekinian (Okavianawati,
2009).
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang menempati wilayah provinsi Jawa Barat atau
tatar Sunda/ tatar Pasundan/ Parahyangan/ Priangan (Anwar & Nugraha, 2002). Dari Suku
Sunda inilah cikal bakal kebudayaan Jawa Barat dibentuk termasuk dalam hal arsitektural
yang memiliki filosofi, makna, dan karakteristik kebudayaan khasnya tersendiri (Salura,
2008).Karakter dari masyarakat tradisional Suku Sunda dapat dilihat dari tradisi dan budaya
yang terbentuk dalam pemukimannya yang masih menjaga kearifan lokal mereka (Salura,
2008). Salah satunya adalah rumah tradisional yang berbentuk panggung, menggunakan
bahandari alam, dan memiliki gambaran pola penataan yang memiliki fungsi dan nilai
simbolik khusus (Salura, 2008). Hal tersebut nantinya akan diterapkan ke dalam konsep
bangunan outlet sentra oleh-oleh Priangan yang akan dirancang, yakni bangunan bertemakan
arsitektur tradisional namun telah dipadupadankan dengan konsep arsitektur modern.
Sesuai dengan konsep yang telah diuraikan sebelumnya, perancangan outlet/ toko oleh-
oleh khas Priangan ini salah satunya memiliki konsep budaya. Untuk pengembangan dari
konsep tersebut tema perancangan yang dipilih adalah menggunakan pendekatan arsitektur
neo vernakular (Neo Vernacular Architecture). Tema ini diharapkan dapat menjadi landasan
dasar dalam perancangan serta sebagai nilai keunikan yang mewarnai keseluruhan hasil
rancangan.

1.2Rumusan Masalah
1. Menciptakan sebuah sarana outet sebagai upaya melestarikan kebudayaan
Indonesia di tengah maraknya arus globalisasi
2. Bagaimana penerapan arsitektur vernakular di tengah arsitektur modern tanpa
kehilangan jati dirinya pada masa kini

1.3Tujuan dan Sasaran


Penulisan ini bertujuan untuk menyusun laporan yang akan digunakan sebagai acuan pada
proyek Perencanaan Outlet Oleh-Oleh Makanan Khas Priangan dengan pendekatan arsitektur

6
vernakular dengan mengangkat citra baru yang kekinian tanpa menghapuskan nilai filosofi,
makna, dan karakteristik khas kebudayaan Sunda.

1.4Kerangka Pemikiran

Karakteristik rumah adat Sunda


Topik

Prinsip Desain arsitektur rumah adat Sunda

Perancangan Rumah Adat Sunda pada


Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas
Priangan

Studi Literatur dan Lapangan:

Pemukiman Rumah adat Sunda di


Rumusan Masalah:
Kampung Naga di Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Menciptakan sebuah sarana outlet
Tasikmalaya. Analisis dengan
sebagai upaya melestarikan kebudayaan
metode pendeketan
Indonesia di tengah maraknya arus “Architectural
globalisasi. Programming and
Predesign
Manager” oleh
Bagaimana penerapan arsitektur Robert Hersberger.
vernakular di tengah arsitektur modern
tanpa kehilangan jati dirinya pada masa
kini. Studi literatur
dan lapangan

7
Bab II

Studi Teori

2.1 Sejarah Arsitektur Sunda


Suku Sunda terdapat di daerah barat dari Pulau Jawa yang termasuk ke dalam wilayah
Indonesia. Keanekaragaman dan keindahan panorama alam yang terdapat di tataran (tanah)
Sunda menjadikannya terkenal dengan nama Parahyangan /Priangan yang artinya tempat para
dewa(Ilham & Sotyan, 2012).
Kata Sunda berarti segala sesuatu yang mengandung makna kebaikan. Hal tersebut
tercermin dari karakteristik orang Sunda yang terdiri dari empat hal, yaitu cageur (sehat),
bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas) (Anwar & Nugraha,
2002). Sifat masyarakat Sunda seperti ramah, santun, serta baik antarsesama dan kaum
pendatang masih tetap berlanjut sampai saat ini. Masyarakat Sunda memiliki ikatan
kekeluargaan yang kuat. Kehidupan masyarakat Sunda dipengaruhi juga oleh lingkungan
sekitar. Faktor alam memberikan pengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Contohnya
bahan bangunan untuk tempat tinggal masyarakat Sunda berasal dari sumber daya alam yang
ada di lingkungan sekitar (Salura, 2008).
Arsitektur rumah Sunda dipengaruhi oleh tradisi atau adat istiadat. Rumah tradisional
orang Sunda yang berbentuk panggung memiliki arti bahwa rumah tidak boleh menempel ke
tanah untuk menghormati orang yang sudah meninggal dunia (Anwar & Nugraha, 2002).
Bahan bangunan rumah tradisional Sunda lebih banyak menggunakan bahan dari alam seperti
kayu, bambu, ijuk, dan pelepah daun kelapa. Faktor adat istiadat juga mempengaruhi tatanan
ruang rumah etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002). Di dalam rumah Sunda terdapat
pembedaan ruang berdasarkan fungsi dan pemakai (Alamsyah, 2011). Area depan rumah
seperti teras dan ruang tamu adalah wilayah laki-laki,sedangkan pawon/ dapur dan goah/
gudang gabah adalah wilayah perempuan. Sedangkan ruang tengah bersifat netral tempat
berkumpul semua anggota keluarga (Anwar & Nugraha, 2002).

8
2.2 Konsep Rumah Etnik Sunda
2.2.1 Pola Penataan Kampung
Setiap perkampungan yang ada di tanah Sunda memiliki pola pemukiman yang berbeda-
beda. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan keadaan kondisi alam yang ada. Pola
kampung tradisional dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Anwar & Nugraha, 2002) :

a. Pola linier
Pola linier adalah kelompok pemukiman yang setiap rumahnya berdiri sejajar lurus.
Bentuk ini bersifat fleksibel karena mengikuti berbagai macam keadaan. Penempatan
posisi setiap rumah pada pola linier disesuaikan dengan kondisi alam sekitar, seperti
keadaan topografi atau sistem masyarakt yang berlaku. Posisi rumah-rumah pada
kampung berpola linier memanjang (linier) mengikuti kondisi yang ada, seperti
mengikuti aliran sungai, alur jalan raya, atau alur tepi pantai.

Gambar 2.1 Ilustrasi Pola Kampung Linier (Anwar & Nugraha, 2002)

Gambar 2.2 Posisi Pemukiman Pola Linier (Anwar & Nugraha, 2002)

b. Pola terpusat
Pola terpusat adalah kelompok pemukiman yang mengelilingi sebuah area terpusat
yang luas dan dominan, seperti alun-alun, balai desa, lapangan terbuka, dan lainnya.
Area ini berupa ruang publik sebagai penyatu rumah-rumah yang ada. Kampung yang

9
perumahan penduduknya berkelompok di sekiatr alun-alun atau lapangan terbuka
dapat membentuk pola kampung yang terpusat.

Gambar 2.3 Ilustrasi Pola Kampung Terpusat (Anwar & Nugraha, 2002)

Gmabar 2.4 Posisi Pemukiman Pola Terpusat (Anwar & Nugraha, 2002)
c. Pola radial
Pola radial memadukan kelompok pemukiman linier dan terpusat. Kelompok
pemukiman ini menempatkan rumahnya seperti jari-jari. Perancagannya disesuaikan
dengan kebutuhan, fungsi, dan kondisi di sekitarnya. Biasanya rumah diletakkan
memanjang, tetapi memiliki titik yang dijadikan pusat arah.

Gambar 2.5 Ilustrasi Pola Kampung Radial (Anwar & Nugraha, 2002)

10
2.2.2 Arsitektur Rumah Sunda
Rumah tradisional suku Sunda memiliki konsep arsitektur natural atau kembali kepada
alam yang menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar pada arsitekturnya (Anwar &
Nugraha, 2002). Alam merupakan sebuah potensi yang seharusnya dihormati dan
dimanfaatkan secara tepat dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut
tercermin pada sebutan bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat
tinggal bagi masyarakat Sunda. Istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara halus
rumah atau tempat tinggal orang Sunda (Salura, 2008).
Konsep rumah panggung pada masyarakat Sunda juga merupakan adaptasi dari
kosmologi Sunda yang mebagi jagat raya dalam tiga tingkatan berikut ini (Wessing, 1978):
 Buana nyungcung, yaitu tempat para dewa
 Buana panca tengah, yaitu tempat manusia dan makhluk lainnya
 Buana larang, tempat orang yang sudah meninggal

Gambar 2.6 Kosmologi dalam Rumah Etnik Sunda (Wessing, 1978)


Bentuk arsitektur rumah adat Sunda sama seperti rumah adat lainnya, berbentuk
panggung dengan ketinggian yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya (Alamsyah,
2011). Model rumah yang berbentuk panggung dan tidak langsung menempel ke tanah
bertujuan untuk melancarkan sirkulasi angin, menghindari binatang buas atau binatang
melata masuk ke rumah, dan mengantisipasi banjir (Alamsyah, 2011). Bentuk panggung juga
dibuat untuk menghormati adat yang berlaku di setiap kampung dan sebagai tempat

11
menyimpan hewan ternak (Anwar & Nugraha, 2002). Rumah tradisional suku Sunda
biasanya dibangun di atas permukaan tanah sekitar 40-60 cm (Anwar & Nugraha, 2002).
Rumah dilengkapi pula dengan tangga masuk yang disebut golodog dan teras depan.
Sementara bentuk atap atau suhunan tergantung letak geografis dan kebutuhan rumah yang
akan dibangun (Anwar & Nugraha, 2002).

Gambar 2.7 Rumah Adat Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)


2.2.3 Struktur Bangunan Rumah Etnik Sunda
Struktur rumah etnik Sunda pada dasarnya sama seperti struktur rumah biasa. Di bagian
atasnya terdapat atap, kemudian dilanjut dengan tiang dan dinding sebagai badan banguan,
serta fondasi di bagian bawahnya. Rumah sunda menghindari material dari tanah (termasuk
pada material strukturnya). Menururt kepercayaan adat Sunda, tanah merupakan tempat
tinggal orang yang sudah meninggal. Untuk itu bahan material yang digunakan berasal dari
alam, seperti kayu, bambu, batu, dan ijuk (Alamsyah, 2011).
Berikut spesifikasi dan material yang digunakan pada aplikasi rumah etnik Sunda
(Anwar & Nugraha, 2002):
a. Fondasi
Biasanya masyarakat Sunda menggunakan batu sebagai fondasi. Material batu juga
digunakan untuk tangga dari luar menuju teras (golodog). Menurut kepercayaan masyarakat
Sunda, tiang rumah tidak boleh terletak langsung di atas tanah, oleh karena itu harus diberi
alas yang berfungsi memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut umpak.
Rumah tersebut harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara
keseluruhan dengan dunia bawah dan atas (Buana nyungcung - Buana panca tengah - Buana
larang). Tujuan pembuatan pondasi seperti ini adalah untuk menghindari keretakan pada
kolom bangunan pada saat gempa. Batu atau umpak dipasang dengancara diletakan di atas

12
permukaan tanah atau yang umum mereka lakukan yakni dikubur sebagian di dalam tanah.
Berdasarkan hasil analisis terhadap persyaratan bangunan tahan gempa, fondasi yang
digunakan ini sudah memenuhi persyaratan.

Gambar 2.8 Fondasi Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)

Gambar 2.9 Jenis Struktur Fondasi UmpakRumah Etnik Sunda (Maknun, Busono, &
Nuryanto, 2018)
b. Lantai
Untuk lantai rumah, masyarakat etnik Sunda menggunakan tiga jenis lantai, yaitulantai
palupuh, papan, dan bilik. Namu, kebanyakan masyarakat etnik Sunda tersebut menggunaan
lantai bambu (palupuh), terbut dari bambu yang sudah dibelah. Alasan pembuatan lantai dari
pelupuh agar udara yang melewati kolong rumah dapat masuk ke ruang-ruang, selain itu
dengan menggunakan lantai bambu, tingkat kelembaban dalam rumah akan berkurang.

13
Gambar 2.10 Lantai pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)

Gambar 2.11 Lantai papan kayu dan Palupuh pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha,
2002)
c. Dinding, Pintu, dan Jendela
Dinding, pintu, dan jendela memungkinkan udara dapat melewatinya. Dinding bangunan
terbuat dari anyaman bambu (bilik). Selain itu, pintu dan jendela juga mempunyai daun pintu
dan daun jendela tunggal. Materialnya terbuat dari kisi-kisi bambu yang dapat ditembus
udara. Hal ini membuat suasana dalam rumah tetap nyaman.

14
Gambar 2.12Dinding, Pintu, dan Jendela pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha,
2002)
d. Rangka rumah
Masyarakat etnik Sunda menggunakan kayu atau bambu sebagai rangka rumah mereka.
e. Plafon
Plafon selain sebagai penghias langit-langit rumah, juga berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan barang, kerangka plafon terbuat dari susunan bambu bulat dan di atasnya
diletakan pelupuh sebagai bahan penutup plafon

Gambar 2.13Plafon pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)
f. Penutup atap
Untuk penutup atap rumah, masyarakat etnik Sunda biasanya menggunakan material ijuk
atau alang-alang. Alasan pemilihan ijuk sebagai material atap karena ijuk dapat menyerap
panas dengan baik sehingga idak menimbulkan suasana gerah dalam rumah. Tritisan pada sisi
depan rumah mempunyai panjang 2 meter. Hal ini membuat dinding bangunan tidak
langsung terkena cahaya matahari

15
Gambar 2.14Atap, Tristisan, dan Penutup Atap pada Rumah Etnik Sunda (Anwar &
Nugraha, 2002)

2.2.4 Bentuk Atap Rumah Sunda


Bentuk atap atau suhunan rumah tradisional Sunda memiliki ciri tersendiri yang
disesuaikan dengan keadaan alam, fungsi, dan adat istiadat dari kampung setempat. Bentuk
atap ini menjadi ciri khas rumah adat Sunda. Ada beberapa bentuk suhunan yang ada di
masyarakat Sunda, antara lan sebagai berikut (Anwar & Nugraha, 2002):
a. Jolopong
Atap bangunan rumah yang berbentuk memanjang ke dua sisi, seperti model atap
pelana. Model ini disebut juga suhunan panjang atau gagajahan.

Gambar 2.15 Bentuk atap model jolopong (Anwar & Nugraha, 2002)
b. Tagog anjing/ jogog anjing
Bentuk atap bangunan rumah ini mirip dengan bentuk atap badak heuay, tetapi di
bagian sambungan tidak dilebihkan ke atas. Model ini juga mirip dengan jolopong,
hanya saja sudut kemiringan masing-masing sisi atapnya berbeda. Bentuk atap ini
seolah seperti anjing yang sedang berjongkok.

16
Gambar 2.16 Bentuk atap model tagog anjing/ jogog anjing (Anwar & Nugraha, 2002)
c. Badak heuay
Bentuk atap bangunan rumah yang tidak memiliki bubungan sehingga sekilas seperti
badak yang sedang menguap

Gambar 2.17 Bentuk atap model badak heuay (Anwar & Nugraha, 2002)
d. Perahu kumureb/ perahu nangkub
Bentuk atap bangunan rumah yang seperti perahu terbalik. Model ini mirip dengan
model atap limasan.

17
Gambar 2.18 Bentuk atap model perahu kumureb/ perahu nangkub (Anwar &
Nugraha, 2002)
e. Capit gunting
Bentuk atap bangunan rumah yang di setiap ujung atas, pertemuan kasau antara dua
sisinya, dibuat saling menyilang sepeti gunting.

Gambar 2.19 Bentuk atap model capit gunting (Anwar & Nugraha, 2002)
f. Julang ngapak
Bentuk atap bangunan rumah yang sisi kanan dan kirinya lebih melebar ke samping
dan lebih landai

Gambar 2.20 Bentuk atap model julang ngapak (Anwar & Nugraha, 2002)

18
2.3 Arsitektur Neo-vernakular
2.3.1 Pengertian konsep arsitektur neo-vernakular
Kata Vernakular berarti bahasa daerah atau bahasa setempat, sedangkan kata Neo berasal
dari bahasa Yunani dan digunakan sebagai fonim yang berarti baru. Sehingga neo-vernakular
dapat diartikan sebagai bahasa setempat yang diucacpkan dengan cara baru.Arsitektur neo-
vaskular adalah suatu penerapan elemen arsitektur yang telah ada, baik fisik (bentuk,
konstruksi) maupun non-fisik (konsep, filosofi, tata ruang) dengan tujuan melestarikan unsur-
unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh sebuah tradisi yang kemudian sedikit
atau banyaknya mengalami pembaruan menjadi suatu karya yang lebih modern tanpa
mengesampingkan nilai-nilai tradi budaya daerah setempat (Mentayani & Ikaputra, 2012).
Berkut merupakan perbandingan arsitektur tradisional, vernakular, dan neo-vernakular
(Rogi, 2011) :
No Perbandingan Tradisional Vernakular Neo-Vernakular
1. Ideologi Terbentuk oleh tradisi Terbentuk oleh tradisi Penerapan elemen
yang diwariskan secara turun temurun tetapi arsitektur yang sudah
turun-temurun, terdapat pengaruh dari ada, kemudain sedikit
berdasarkan kultur dan luar baik fisik maaupun banyak mengalami
kondisi lokal non-fisik, bentuk pembaruan menuju
perkembangan arsitektur suatu karya yang lebih
tradisional maju atau modern
2. Prinsip Tertutup dari perubahan Berkembang setiap Arsitektur yang
zaman, terpaut pada waktu untuk bertujuan melestarikan
suatu kultur kedaerahan merefleksikan unur-unsur lokal yang
dan mempunyai lingkungan, budaya dan telah terbentuk secara
peraturan serta norma- sejarah dari daerah empiris oleh tradisi dan
norma keagamaan yang dimana arsitektur mengebangkannya
kental tersebut berada. menjadi suatu karya
Transformasi dari suatu yang lebih modern.
kultur homogen ke Kelanjutan dari
situasi yang lebih arsitektur vernakular
heterogen
3. Ide Desain Lebih mementingkan Ornamen sebagai Bentuk desain lebih
fasad atau bentuk pelengkap tidak modern

19
ornamen sebagai suatu meninggalkan nilai-nilai
keharusan setempat tetapi dapat
melayani aktivitas
masyarakat di dalamnya
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Arsitektur Tradisional, Vernakular, dan Neo-Vernakular
Berdasarkan tabel 2.1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa aliran arsitektur post modern
(termasuk neo-vernakular) merupakan arsitektur yang menggabungkan antara tradisional
dengan non-tradisional, modern dengan non-modern. Apabila dijelaskan dalam timeline
arsitektur modern, vernakular berkedudukan pada posis modern awal lalu berkembang
menjadi neo-vernakular pada masa modern akhir (Rogi, 2011).
Arsitektur neo-vernakular adalah salah satu paham atau aliran yang berkembang pada era
post modern yaitu aliran arsitektur yang muncul pada tahun 1960-an. Menurut Charles A.
Jenck terdapat enam aliran yang muncul pada era post modern, di antaranya adalah
historisicism, straight revivalism, neo-venacular, contextualism, metaphor, dan post modern
space(Jenck, 1960 dalam Brush, 1991).
Semua aliran yang berkembang pada era post modern tersebut, termasuk neo-vernakular,
memiliki sepuluh ciri-ciri arsitektur sebagai berikut (Budi A Sukada, 1988 dalam Paluruan &
Tore, 2011):
1. Mengandung unsur komunikatif yang bersikap lokal dan populer
2. Membangkitkan kembali kenangan historik
3. Berkonteks urban
4. Menerapkan kembali teknik ornamentasi
5. Bersifat representasional (mewakili seluruhnya)
6. Berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain)
7. Dihasilkan dari partisipasi
8. Mencerminkan aspirasi umum
9. Bersifat plural
10. Bersifat ekletik
Sebuah karya arsitektur yang memiliki enam atau tujuh dari ciri-ciri di atas sudah dapat
dikategorikan ke dalam arsitektur post modern (neo-vernakuler).
Dalam proses mengeksplorasi gedung bangunan modern-vernakular di Indonesia
terdapat empat model pendekatan yang harus diperhatikan terkait bentuk dan makna dalam
merancang bangunan tradisional yang lebih kekinian. Berikut empat model pendekatan
tersebut (Erdiono, 2011):
20
1. Bentuk dan maknanya tetap
2. Bentuk tetap dengan makna yang baru
3. Bentuk baru dengan makna tetap
4. Bentuk dan maknanya baru
Pada pendekatan nomor tiga, bentukan arsitektur neo-vaskular dapat muncul karya baru
namun tidak mengubah paradigma awal.

2.4 Morfologi Pemukiman Rumah Adat Sunda di Kampung Naga


Kampung Naga termasuk dalam wilayah Kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Bentuk bangunan rumah di Kampung Naga, baik rumah,
masjid, ruang pertemuan dan tempat menyimpan padi, memiliki kesamaan. Semua rumah
memakai sistem panggung dan memakai material yang terbuat dari alam. Rumah adat yang
terdapat di Kampung Nga termasuk dalam rumah adat Sunda. Ciri khas arsitektur kampung
Naga adalah dinding rumah terbuat dari bilik, bagian atap memakai ijuk, lantai rumah terbuat
dari bambu, pintu rumah terbuat dari rotan. Rumah hanya boleh dikapur, tidak boleh dicat.
Setiap rumah di Kampung Naga tidak boleh memiliki daun pintu di dua arah berlawanan,
karena mereka memiliki kepercayaan bahwa rezeki yang masuk melalui pintu depan tidak
akan keluar lewat pintu belakang. Pemasangan daun pintu secara sejajar dan satu garis lurus
dihindari di Kampung Naga. Rumah harus menghadap ke arah utara atau selatan, serta
mengikuti kontur kemiringan lahan (Anwar & Nugraha, 2002).
Pada umumnya susunan rumah mengelompok, dengan letak rumah satu deret saling
berhadapan terpisah oleh pelataran dengan terdiri dari beberapa deret rumah. Setiap rumah
pada umumnya memiliki pekarangan yang cukup luas tetapi tak ada batas yang jelas antara
luas pekarangan antar rumah satu dengan yang lainnya. Selain terdapat sekumpulan rumah-
rumah dan ruang terbuka jug terdapat bangunan lain seperti masjid, balai pertemuan,
lumbung padi, kandang hewan ternak, serta kamar mandi (Iryana, 2014).
Namun, kamar mandi dan kandang hewan ternak diletak cukup jauh di luar tanah adat.
Di dalam rumah tidak terdapat kamar mandi pribadi. Berdasarkan kepercayaan masyarakat
Kampung Naga, kamar mandi adalah bagian kotor dan tidak diizinkan berada dalam rumah
atau sekitar rumah yang dianggap bersih, bahkan ada beberapa tempat di Kampung Naga
tersebut yang dianggap suci (Iryana, 2014).

21
Gambar 2.21 Letak kamar mandi di luar rumah Kampung Naga (Anwar & Nugraha, 2002)

2.5Analisis Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur


Rumah Adat Sunda pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan
Toko makanan basah dan
kering khas Priangan

Toko kelom geulis dan


Toilet dan anyaman khas Priangan
Mushola

Area Parkir
Kendaraan

Wujud outlet dalam arsitektur Sunda Modern

22
Bab III

Metode Penelitian

Pada penelitian ini pengumpulan data menggunakan metode sebagai berikut:

A. Pengertian Metode Penelitian yang Dipilih


Dalam buku Sugiyono ,Peneltian Kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan
sampel sumber data dilakukan secara purposive. (Sugiyono, 2006)

B. Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan metodologi kualitatif ,karena konsep awal dari
penelitian ini telah ada dan tinggal dikembangkan saja.Sesuai dengan fokus utama
peneltitian berupa arsitektur dan budaya suku Sunda di Kampung Naga dengan
penerapannya di toko oleh-oleh atau souvenir di masa kini.Sampel dari penelitian ini
merupakan masyarakat suku Sunda di Kampung Naga dan sekitarnya.Metode
pelaksanaan surveinya berupa:
a.) Teknik pengisian kuisioner tertulis
b.) Teknik Observasi langsung
c.) Teknik komunikasi langsung

C. Tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui beberapa studi kasus antara
lain :
Studi literatur : diperuntukan untuk mendapatkan data-data arsitektural yang terkait
dengan standar, regulasi, maupun topik-tema yang digunakan beserta kaidah-
kaidahnya
Studi lapangan : digunakan untuk memperoleh data yang tidak terbuka dalam
literatur. Data ini diperoleh dengan cara pengamatan lapangan, wawancara, foto
langsung di lokasi proyek yang hendak dibangun
Studi banding : menggunakan obyek pengamatan yang serupa berdasarkan obyek
pengamatan dari seumber yang berbeda yang akan digunakan sebagai perbandingan

23
dengan obyek pembahasan yang akan dibahas, serta pencarian mengenai tema yang
terkait

D. Dalam proses analisis digunakan dua metode yaitu :


Metode pendekatan yang digunakan dalam memecahkan masalah pada proyek
perancangan outlet oleh-oleh makanan khas Priangan ini mengacu pada buku
“Architectural Programming and Predesign Manager” oleh Robert Hersberger,
2015, yaitu :
a. Human Issues (Permasalahan Manusia)
Beranekaragamnya kebudayaan khas Sunda, kurangnya prasarana yang memadai
sebagai media promosi dalam mengenalkannya pada masyarakat umum
b. Environmental Issues (Permasalahan Lingkungan)
Potensi bangunan outletsouvenir khas Priangan kepada lingkungan sekitar
c. Cultural Issues (Permasalahan Budaya)
Membahas tentang sejarah dan filosofi kebudayaan Sunda dan pengaruhnya pada
perencanaan pembangunan outlet souvenir khas Priangan
d. Technological Issues (Permasalahan Teknologi)
Memperhatikan tentang material, sistem struktur, dan proses pengerjaan sebagai inti
bangunan pada bangunan outlet souvenir khas Priangan sehingga dapat menjadi
tempat yang nyaman dan dapat dengan maksimal dan mudah digunakan oleh segala
pihak yang menggunakan fasilitas tersebut
e. Temporal Issues (Nilai-nilai waktu)
Membahas tentang pertumbuhan bangunan outlet souvenir khas Priangan ini,
perkiraan ke depannya, dan ketetapan fungsi bangunan terhadap waktu dan pengaruh
lingkungan
f. Economic Issues (Permasalahan Ekonomi)
Membahas tentang faktor keuangan yang berpengaruh dalam bangunan outlet
souvenir ini, seperti biaya konstruksi, pemasukan, dan pengeluaran
g. Aesthetic Issues (Permasalahan Estetika)
Memperhatikan tentang penentuan bantuk, dimensi ruang, keindahan fisik bangunan,
dan pesan yang ingin disampaikan dari bangunan outlet souvenir khas Priangan ini
bagi pengunjung maupun masyarakat di sekitarnya
h. Safety Issues (Permasalahan Keamanan)

24
Membahas tentang kekuatan struktur banguna outlet souvenir khas Priangan ini,
penanggulangan keselamatan seperti kebakaran, kriminal, dan keselamatan pengguna
bangunan.

Bab IV

Organisasi Pelaksana

4.1Ketua Peneliti:Filea M Budiarti


Anggota:-Filea M Budiarti
-Taylor
- Asep
4.2Anggaran
NO. Uraian Kegiatan Biaya
1. Personil Rp50.000,00/hari
2. Peralatan:
Laptop 14” Asus Rp5.000.000,00
Connector Rp300.000,00
Software Archicad Rp500.000,00
Kamera Rp800.000,00
Flashdisk Rp150.000,00
Buku Referensi(4 buah) Rp.400.000,00
3. Transportasi Rp300.000,00/bulan
4. Akomodasi -
5. ATK(Alat Tulis Kantor)
Print Kertas A3 Rp200.000,00
Print Kertas A2 Rp.400.000,00
Fotokopi Rp150.000,00
Jilid Rp100.00,00
Burning +Cd Laporan Rp10.000,00
6. Biaya Lain-lain:
Biaya Tak Terduga Rp400.00,00
Jumlah Biaya: Rp8.760.000,00

25
Daftar Pustaka

Alamsyah, S. (2011). Arsitektur Tradisional Rumah Kampung Pulo . Patanjala Jurnal


Penelitan Sejarah dan Budaya Volume 3 Nomor 1 .
Anggie Nur Ilham, A. S. (2012). Tipologi Banguna Rumah Tinggal Adat Sunda di Kampung
Naga Jawa Barat (Building Typology of Sundanese Traditional Houses at Kampung Naga,
West Java). Tesa Arsitektur Journaol of Architectural Discourses Volume 10 Nomor 1 .
Anwar, H., & Nugraha, H. (2002). Rumah Etnik Sunda. Depok: Griya Kreasi.
Barat, D. P. (2009). Data Kampung Adat di Jawa Barat. Diambil kembali dari
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20Adat%20di%
Brush, M. B. (1991). The Role of Historical Elements in Postmodernism : An Attempt to
Converse Through Keystones. Diambil kembali dari
https://repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredi
r=1&article=1334&context=hp_theses
Dr. Agus Subagyo, S. M. (2014). Bela Negara Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi.
Diambil kembali dari
https://www.researchgate.net/profile/Agus_Subagyo2/publication/322343739_BELA_NEGA
RA/links/5a5553a2a6fdcc30f86b9b92/BELA-NEGARA.pdf
Dr.Darsiharjo, P., Caturwati, P. D., Rustiyanti, S., & Lilis sumiati, S. M. (2009).
Pengembangan Potensi Seni Tradisi di Jawa Barat Melalui Pembinaan Sentra-Sentra
Budaya Industri Seni dan Pariwisata. Diambil kembali dari
http://pdfmode.com/view?t=pengembangan+potensi+seni+tradisi+di+jawa+barat+...+-
+Direktori+File+UPI&u=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FFPIPS%2FLAINN
YA%2FDARSIHARJO%2FFILE_1_RINGKASAN_PENELITIAN_PRIORITAS_NASION
AL.pdf
Erdiono, D. (2011). Arsitektur “Modern” (Neo) Vernacular di Indonesia. Jurnal Sabua
Volume 3, Nomor 3 , 32-39.
Ghea, L. (2014, Maret). Perancangan Promosi dan Kemasan Makanan Tradisional Khas
Sunda "Kue Saroja" untuk Generasi Muda Kota Bandung. Diambil kembali dari
http://repository.maranatha.edu/10248/3/1064081_Chapter1.pdf
Hershberger, R. (2015, September 25). Architectural Programming and Predesign Manager.
Diambil kembali dari https://books.google.co.id/books?id=OFWbCgAAQBAJ&pg=SA1-
PA25&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false
ILMC. (2018, Juli 10). Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia . Diambil kembali
dari http://nachabu.ilmci.com/6410/08/keragaman-suku-bangsa-dan-budaya-di-
indonesia.aspx
Iryana, W. (2014). The Mythology of Kampun Naga Community. Al Albab Borneo Journal
of Religious StudiesVolume 3, Nomor 2 , 175-184.

26
Maknun, J., Busono, T., & Nuryanto. (2018). Disaster-friendly sundanese traditional building
construction. IOP Conference Series : Materials Science and Engineering Volume 128,
Conference 1.
Mentayani, I., & Ikaputra. (2012). Menggali Makna Arsitektur Vernakular : Ranah, Unsur,
dan Aspek-Aspek Vernakularitas. Lanting Journal of Architecture, Volume 1, Nomor 2 , 68-
82.
Okavianawati, P. (2009). Jajanan Tradisional Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa.
Paluruan, R. H., & Tore, R. (2011). Tendensi Electism Dalam Arsitektur Post Modern. Media
Matrasain Volume 8, Nomor 2 , 107-115.
Rogi, O. H. (2011). Arsitektur Vernakular : Patutkah Didefinisikan? Jurnal Sabua, Volume 3,
Nomor 2 , 32-39.
Salura, P. (2008). Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: CSS Publishing.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wessing, R. (1978). Cosmology and Social Behavior in a West Javanese Settlement. Athens,
Ohio: Ohio University Center for International Studies.

27

Anda mungkin juga menyukai