“Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur Rumah Adat Sunda
pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan”
Dosen:
Prof. Ir. Agus Budi Purnomo MS, PhD
Asisten Dosen:
Dr. Ir. M. Bambang Susetyarto, MT
Nama/NIM:
Filea M B
052 001 600 084
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2018
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................................ 3
1.4Kerangka Pemikiran.............................................................................................................. 7
C.Tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui beberapa studi kasus antara lain ........... 23
2
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
proposal ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikiran.
Dan harapan kami semoga proposal ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat terealisasikan .
Penyusun
3
Judul:Penerapan Konsep Arsitektur Neo-Vernakular dalam Desain Arsitektur Rumah
Adat Sunda pada Outlet Souvenir Oleh-oleh Khas Priangan
Bab I
Pendahuluan
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari pulau-pulau,
sehingga banyak suku dan budaya yang tercipta (ILMC, 2018). Setiap pulau terbagi lagi
menjadi banyak wilayah dan dari berbagai wilayah tersebut tercipta kebudayaannya masing-
masing (Ghea, 2014). Hal tersebut membuatnegara Indonesia menjadi salah satu negara di
dunia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam (Ghea, 2014). Budaya tersebut
termasuk budaya adat istiadat, tarian, musik, seni, kerajinan tangan, makanan, bangunan
rumah adat, dan lain-lain (ILMC, 2018). Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan
banyaknya pengaruh luar yang masuk ke Indonesia, banyak keanekaragaman budaya di
Indonesia yang hampr hilang atau bahkan sudah dilupakan (ILMC, 2018). Generasi muda
sekarang harus diingatkan lagi mengenai kebudayaan Indoesia(Subagyo, 2014). Banyak
anak-anak muda yang semakin lama semakin melupakan dan bahkan tidak tahu beberapa
kebudayaan Indonesia(Subagyo, 2014). Dalam hal ini dalam bentuk makanan tradisional
Indonesia (Ghea, 2014). Makanan tradisional Indonesia adalah semua jenis makanan yang
dibuat dan diolah asli dengan menggunakan bahan lokal dari daerah setempat di negara
Indonesia dan dengan cara pengolahan yang beragam serta bervariasi, juga memiliki ciri khas
daerah setempat (Ghea, 2014). Makanan tradisional tersebut terdiri dari makanan utama,
makanan ringan/ jajanan dan minuma yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah tersebut
(Ghea, 2014). Makanan tradisional, khususnya makanan ringan atau jajanan tradisional khas
Indonesia mulai tergeser oleh makanan-makanan dari luar Indonesia (Ghea, 2014). Ada
beberapa contoh jajanan luar Indonesia yang sering kita temui dan konsumsi seperti,
sandwich, hamburger, pizza, pasta, dan masih banyak lagi makanan luar Indonesia yang
masuk ke Indonesia(Subagyo, 2014).Hal ini menunjukkan telah terjadinya pergeseran antara
makanan tradisional dengan makan yang berasal dari luar Indonesia(Subagyo, 2014). Dengan
begitu, jajanan tradisional akan semakin tergeser hilang dan mungkin tidak bisa dinikmati
lagi oleh masyarakat Indonesia sendiri(Subagyo, 2014).
4
Salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan keanekaragaman jajanan
tradisional adalah Provinsi Jawa Barat (Ghea, 2014). Jawa Barat mempunyai sebutan atau
nama lain yaitu Priangan atau Parahyangan(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat, 2009). Priangan (Parahyangan) adalah sebutan nama istilah atau julukan untuk
gabungan dari 10 kabupaten dan kota yang berada di seluruh Jawa Barat(Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009). Priangan (Parahyangan) terdiri dari dua, yakni
Priangan Barat (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cimahi dan
Kabupaten Sumedang) dan Priangan Timur (Garut, Kota Tasikmalaya, Kabupaten
Tasikmalaya, Banjar, dan Ciamis). Daerah Priangan merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan objek (tujuan) wisata. Daerah
Priangan ini, memiliki banyak tempat wisata alam yang indah dan belum terlalu populer di
masyarakat umum, sehingga keindahannya masih terjaga dan tidak dipenuh sesak oleh para
pengunjung(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009).Hal ini yang
membuat para wisatawan tertarik datang. Keanekaragaman makanan tradisional mulai dari
jajanan hingga makanan berat, makanan basah hingga makanan kering, serta bermacam-
macam produk kerajian tangan banyak terdapat di daerah Priangan ini pengunjung (Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2009). Banyak makanan tradisional khas
Priangan yang memiliki nilai bersejarah dan cerita unik bagi masyarakat Priangan sendiri
(Ghea, 2014). Ada beberapa contoh jajanan tradisional khas Priangan seperti Opak,
Rangginang Ketan, Seroja, Kelontong, Rangginang Oyek, Sagon, Awug, Colenak, Boroyot,
Combro, Ladu, Serabi, Peuyeum, Cireng, Kue Ali, Lotek, Karedok, nasi timbel, serabi,
oncom, dan masih banyak lagi makanan tradisional khas Priangan yang sudah jarang kita
temui di dunia kuliner (Okavianawati, 2009). Produk kerajinan tangan pun beragam, seperti
bordir, batik, payung geulis, kelom geulis, produk anyaman, produk yang terbuat dari kulit,
tas Endong, dan lain sebagainya. Faktor yang membuat makanan dan produk kerajian
tersebut dilupakan adalah banyaknya produk yang dikemas dengan bagus dan dijual di tempat
dengan bangunan yang dinilai unik pula oleh konsumen(Darsiharjo, Caturwati, Rustiyanti, &
Lilis sumiati, 2009).
Terdapat beberapa outlet /sentraoleh-oleh yang menjual makanan dan produk kerajinan
tradisional khas Priangan ini, namun tempatnya kurang mengekspos kebudayaan Jawa Barat,
sehingga dinilai tidak unik dan menarik bagi masyarakat bahkan bagi para
wisatawan(Darsiharjo, Caturwati, Rustiyanti, & Lilis sumiati, 2009). Oleh karena itu,
dianggap perlu untuk mendesain suatu outlet /sentra oleh-oleh makanan tradisional khas
Priangan agar dapat lebih tertata dan menarik antusias konsumen masyarakat serta dapat
5
mengekspresikan ragam budaya daerah Jawa Barat, sehingga layak untuk dijadikan salah satu
tempat perkunjungan wisata kebudayaan Jawa Barat. Hal tersebut diharapakan membantu
dalam melestarikan kebudayaan Indonesia, dalam hal ini khususnya mengenai makanan dan
produk kerajinan tradisional khas Priangan dengan citra baru yang kekinian (Okavianawati,
2009).
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang menempati wilayah provinsi Jawa Barat atau
tatar Sunda/ tatar Pasundan/ Parahyangan/ Priangan (Anwar & Nugraha, 2002). Dari Suku
Sunda inilah cikal bakal kebudayaan Jawa Barat dibentuk termasuk dalam hal arsitektural
yang memiliki filosofi, makna, dan karakteristik kebudayaan khasnya tersendiri (Salura,
2008).Karakter dari masyarakat tradisional Suku Sunda dapat dilihat dari tradisi dan budaya
yang terbentuk dalam pemukimannya yang masih menjaga kearifan lokal mereka (Salura,
2008). Salah satunya adalah rumah tradisional yang berbentuk panggung, menggunakan
bahandari alam, dan memiliki gambaran pola penataan yang memiliki fungsi dan nilai
simbolik khusus (Salura, 2008). Hal tersebut nantinya akan diterapkan ke dalam konsep
bangunan outlet sentra oleh-oleh Priangan yang akan dirancang, yakni bangunan bertemakan
arsitektur tradisional namun telah dipadupadankan dengan konsep arsitektur modern.
Sesuai dengan konsep yang telah diuraikan sebelumnya, perancangan outlet/ toko oleh-
oleh khas Priangan ini salah satunya memiliki konsep budaya. Untuk pengembangan dari
konsep tersebut tema perancangan yang dipilih adalah menggunakan pendekatan arsitektur
neo vernakular (Neo Vernacular Architecture). Tema ini diharapkan dapat menjadi landasan
dasar dalam perancangan serta sebagai nilai keunikan yang mewarnai keseluruhan hasil
rancangan.
1.2Rumusan Masalah
1. Menciptakan sebuah sarana outet sebagai upaya melestarikan kebudayaan
Indonesia di tengah maraknya arus globalisasi
2. Bagaimana penerapan arsitektur vernakular di tengah arsitektur modern tanpa
kehilangan jati dirinya pada masa kini
6
vernakular dengan mengangkat citra baru yang kekinian tanpa menghapuskan nilai filosofi,
makna, dan karakteristik khas kebudayaan Sunda.
1.4Kerangka Pemikiran
7
Bab II
Studi Teori
8
2.2 Konsep Rumah Etnik Sunda
2.2.1 Pola Penataan Kampung
Setiap perkampungan yang ada di tanah Sunda memiliki pola pemukiman yang berbeda-
beda. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan keadaan kondisi alam yang ada. Pola
kampung tradisional dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Anwar & Nugraha, 2002) :
a. Pola linier
Pola linier adalah kelompok pemukiman yang setiap rumahnya berdiri sejajar lurus.
Bentuk ini bersifat fleksibel karena mengikuti berbagai macam keadaan. Penempatan
posisi setiap rumah pada pola linier disesuaikan dengan kondisi alam sekitar, seperti
keadaan topografi atau sistem masyarakt yang berlaku. Posisi rumah-rumah pada
kampung berpola linier memanjang (linier) mengikuti kondisi yang ada, seperti
mengikuti aliran sungai, alur jalan raya, atau alur tepi pantai.
Gambar 2.1 Ilustrasi Pola Kampung Linier (Anwar & Nugraha, 2002)
Gambar 2.2 Posisi Pemukiman Pola Linier (Anwar & Nugraha, 2002)
b. Pola terpusat
Pola terpusat adalah kelompok pemukiman yang mengelilingi sebuah area terpusat
yang luas dan dominan, seperti alun-alun, balai desa, lapangan terbuka, dan lainnya.
Area ini berupa ruang publik sebagai penyatu rumah-rumah yang ada. Kampung yang
9
perumahan penduduknya berkelompok di sekiatr alun-alun atau lapangan terbuka
dapat membentuk pola kampung yang terpusat.
Gambar 2.3 Ilustrasi Pola Kampung Terpusat (Anwar & Nugraha, 2002)
Gmabar 2.4 Posisi Pemukiman Pola Terpusat (Anwar & Nugraha, 2002)
c. Pola radial
Pola radial memadukan kelompok pemukiman linier dan terpusat. Kelompok
pemukiman ini menempatkan rumahnya seperti jari-jari. Perancagannya disesuaikan
dengan kebutuhan, fungsi, dan kondisi di sekitarnya. Biasanya rumah diletakkan
memanjang, tetapi memiliki titik yang dijadikan pusat arah.
Gambar 2.5 Ilustrasi Pola Kampung Radial (Anwar & Nugraha, 2002)
10
2.2.2 Arsitektur Rumah Sunda
Rumah tradisional suku Sunda memiliki konsep arsitektur natural atau kembali kepada
alam yang menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar pada arsitekturnya (Anwar &
Nugraha, 2002). Alam merupakan sebuah potensi yang seharusnya dihormati dan
dimanfaatkan secara tepat dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut
tercermin pada sebutan bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat
tinggal bagi masyarakat Sunda. Istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara halus
rumah atau tempat tinggal orang Sunda (Salura, 2008).
Konsep rumah panggung pada masyarakat Sunda juga merupakan adaptasi dari
kosmologi Sunda yang mebagi jagat raya dalam tiga tingkatan berikut ini (Wessing, 1978):
Buana nyungcung, yaitu tempat para dewa
Buana panca tengah, yaitu tempat manusia dan makhluk lainnya
Buana larang, tempat orang yang sudah meninggal
11
menyimpan hewan ternak (Anwar & Nugraha, 2002). Rumah tradisional suku Sunda
biasanya dibangun di atas permukaan tanah sekitar 40-60 cm (Anwar & Nugraha, 2002).
Rumah dilengkapi pula dengan tangga masuk yang disebut golodog dan teras depan.
Sementara bentuk atap atau suhunan tergantung letak geografis dan kebutuhan rumah yang
akan dibangun (Anwar & Nugraha, 2002).
12
permukaan tanah atau yang umum mereka lakukan yakni dikubur sebagian di dalam tanah.
Berdasarkan hasil analisis terhadap persyaratan bangunan tahan gempa, fondasi yang
digunakan ini sudah memenuhi persyaratan.
Gambar 2.8 Fondasi Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)
Gambar 2.9 Jenis Struktur Fondasi UmpakRumah Etnik Sunda (Maknun, Busono, &
Nuryanto, 2018)
b. Lantai
Untuk lantai rumah, masyarakat etnik Sunda menggunakan tiga jenis lantai, yaitulantai
palupuh, papan, dan bilik. Namu, kebanyakan masyarakat etnik Sunda tersebut menggunaan
lantai bambu (palupuh), terbut dari bambu yang sudah dibelah. Alasan pembuatan lantai dari
pelupuh agar udara yang melewati kolong rumah dapat masuk ke ruang-ruang, selain itu
dengan menggunakan lantai bambu, tingkat kelembaban dalam rumah akan berkurang.
13
Gambar 2.10 Lantai pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)
Gambar 2.11 Lantai papan kayu dan Palupuh pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha,
2002)
c. Dinding, Pintu, dan Jendela
Dinding, pintu, dan jendela memungkinkan udara dapat melewatinya. Dinding bangunan
terbuat dari anyaman bambu (bilik). Selain itu, pintu dan jendela juga mempunyai daun pintu
dan daun jendela tunggal. Materialnya terbuat dari kisi-kisi bambu yang dapat ditembus
udara. Hal ini membuat suasana dalam rumah tetap nyaman.
14
Gambar 2.12Dinding, Pintu, dan Jendela pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha,
2002)
d. Rangka rumah
Masyarakat etnik Sunda menggunakan kayu atau bambu sebagai rangka rumah mereka.
e. Plafon
Plafon selain sebagai penghias langit-langit rumah, juga berfungsi sebagai tempat untuk
menyimpan barang, kerangka plafon terbuat dari susunan bambu bulat dan di atasnya
diletakan pelupuh sebagai bahan penutup plafon
Gambar 2.13Plafon pada Rumah Etnik Sunda (Anwar & Nugraha, 2002)
f. Penutup atap
Untuk penutup atap rumah, masyarakat etnik Sunda biasanya menggunakan material ijuk
atau alang-alang. Alasan pemilihan ijuk sebagai material atap karena ijuk dapat menyerap
panas dengan baik sehingga idak menimbulkan suasana gerah dalam rumah. Tritisan pada sisi
depan rumah mempunyai panjang 2 meter. Hal ini membuat dinding bangunan tidak
langsung terkena cahaya matahari
15
Gambar 2.14Atap, Tristisan, dan Penutup Atap pada Rumah Etnik Sunda (Anwar &
Nugraha, 2002)
Gambar 2.15 Bentuk atap model jolopong (Anwar & Nugraha, 2002)
b. Tagog anjing/ jogog anjing
Bentuk atap bangunan rumah ini mirip dengan bentuk atap badak heuay, tetapi di
bagian sambungan tidak dilebihkan ke atas. Model ini juga mirip dengan jolopong,
hanya saja sudut kemiringan masing-masing sisi atapnya berbeda. Bentuk atap ini
seolah seperti anjing yang sedang berjongkok.
16
Gambar 2.16 Bentuk atap model tagog anjing/ jogog anjing (Anwar & Nugraha, 2002)
c. Badak heuay
Bentuk atap bangunan rumah yang tidak memiliki bubungan sehingga sekilas seperti
badak yang sedang menguap
Gambar 2.17 Bentuk atap model badak heuay (Anwar & Nugraha, 2002)
d. Perahu kumureb/ perahu nangkub
Bentuk atap bangunan rumah yang seperti perahu terbalik. Model ini mirip dengan
model atap limasan.
17
Gambar 2.18 Bentuk atap model perahu kumureb/ perahu nangkub (Anwar &
Nugraha, 2002)
e. Capit gunting
Bentuk atap bangunan rumah yang di setiap ujung atas, pertemuan kasau antara dua
sisinya, dibuat saling menyilang sepeti gunting.
Gambar 2.19 Bentuk atap model capit gunting (Anwar & Nugraha, 2002)
f. Julang ngapak
Bentuk atap bangunan rumah yang sisi kanan dan kirinya lebih melebar ke samping
dan lebih landai
Gambar 2.20 Bentuk atap model julang ngapak (Anwar & Nugraha, 2002)
18
2.3 Arsitektur Neo-vernakular
2.3.1 Pengertian konsep arsitektur neo-vernakular
Kata Vernakular berarti bahasa daerah atau bahasa setempat, sedangkan kata Neo berasal
dari bahasa Yunani dan digunakan sebagai fonim yang berarti baru. Sehingga neo-vernakular
dapat diartikan sebagai bahasa setempat yang diucacpkan dengan cara baru.Arsitektur neo-
vaskular adalah suatu penerapan elemen arsitektur yang telah ada, baik fisik (bentuk,
konstruksi) maupun non-fisik (konsep, filosofi, tata ruang) dengan tujuan melestarikan unsur-
unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh sebuah tradisi yang kemudian sedikit
atau banyaknya mengalami pembaruan menjadi suatu karya yang lebih modern tanpa
mengesampingkan nilai-nilai tradi budaya daerah setempat (Mentayani & Ikaputra, 2012).
Berkut merupakan perbandingan arsitektur tradisional, vernakular, dan neo-vernakular
(Rogi, 2011) :
No Perbandingan Tradisional Vernakular Neo-Vernakular
1. Ideologi Terbentuk oleh tradisi Terbentuk oleh tradisi Penerapan elemen
yang diwariskan secara turun temurun tetapi arsitektur yang sudah
turun-temurun, terdapat pengaruh dari ada, kemudain sedikit
berdasarkan kultur dan luar baik fisik maaupun banyak mengalami
kondisi lokal non-fisik, bentuk pembaruan menuju
perkembangan arsitektur suatu karya yang lebih
tradisional maju atau modern
2. Prinsip Tertutup dari perubahan Berkembang setiap Arsitektur yang
zaman, terpaut pada waktu untuk bertujuan melestarikan
suatu kultur kedaerahan merefleksikan unur-unsur lokal yang
dan mempunyai lingkungan, budaya dan telah terbentuk secara
peraturan serta norma- sejarah dari daerah empiris oleh tradisi dan
norma keagamaan yang dimana arsitektur mengebangkannya
kental tersebut berada. menjadi suatu karya
Transformasi dari suatu yang lebih modern.
kultur homogen ke Kelanjutan dari
situasi yang lebih arsitektur vernakular
heterogen
3. Ide Desain Lebih mementingkan Ornamen sebagai Bentuk desain lebih
fasad atau bentuk pelengkap tidak modern
19
ornamen sebagai suatu meninggalkan nilai-nilai
keharusan setempat tetapi dapat
melayani aktivitas
masyarakat di dalamnya
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Arsitektur Tradisional, Vernakular, dan Neo-Vernakular
Berdasarkan tabel 2.1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa aliran arsitektur post modern
(termasuk neo-vernakular) merupakan arsitektur yang menggabungkan antara tradisional
dengan non-tradisional, modern dengan non-modern. Apabila dijelaskan dalam timeline
arsitektur modern, vernakular berkedudukan pada posis modern awal lalu berkembang
menjadi neo-vernakular pada masa modern akhir (Rogi, 2011).
Arsitektur neo-vernakular adalah salah satu paham atau aliran yang berkembang pada era
post modern yaitu aliran arsitektur yang muncul pada tahun 1960-an. Menurut Charles A.
Jenck terdapat enam aliran yang muncul pada era post modern, di antaranya adalah
historisicism, straight revivalism, neo-venacular, contextualism, metaphor, dan post modern
space(Jenck, 1960 dalam Brush, 1991).
Semua aliran yang berkembang pada era post modern tersebut, termasuk neo-vernakular,
memiliki sepuluh ciri-ciri arsitektur sebagai berikut (Budi A Sukada, 1988 dalam Paluruan &
Tore, 2011):
1. Mengandung unsur komunikatif yang bersikap lokal dan populer
2. Membangkitkan kembali kenangan historik
3. Berkonteks urban
4. Menerapkan kembali teknik ornamentasi
5. Bersifat representasional (mewakili seluruhnya)
6. Berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain)
7. Dihasilkan dari partisipasi
8. Mencerminkan aspirasi umum
9. Bersifat plural
10. Bersifat ekletik
Sebuah karya arsitektur yang memiliki enam atau tujuh dari ciri-ciri di atas sudah dapat
dikategorikan ke dalam arsitektur post modern (neo-vernakuler).
Dalam proses mengeksplorasi gedung bangunan modern-vernakular di Indonesia
terdapat empat model pendekatan yang harus diperhatikan terkait bentuk dan makna dalam
merancang bangunan tradisional yang lebih kekinian. Berikut empat model pendekatan
tersebut (Erdiono, 2011):
20
1. Bentuk dan maknanya tetap
2. Bentuk tetap dengan makna yang baru
3. Bentuk baru dengan makna tetap
4. Bentuk dan maknanya baru
Pada pendekatan nomor tiga, bentukan arsitektur neo-vaskular dapat muncul karya baru
namun tidak mengubah paradigma awal.
21
Gambar 2.21 Letak kamar mandi di luar rumah Kampung Naga (Anwar & Nugraha, 2002)
Area Parkir
Kendaraan
22
Bab III
Metode Penelitian
B. Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan metodologi kualitatif ,karena konsep awal dari
penelitian ini telah ada dan tinggal dikembangkan saja.Sesuai dengan fokus utama
peneltitian berupa arsitektur dan budaya suku Sunda di Kampung Naga dengan
penerapannya di toko oleh-oleh atau souvenir di masa kini.Sampel dari penelitian ini
merupakan masyarakat suku Sunda di Kampung Naga dan sekitarnya.Metode
pelaksanaan surveinya berupa:
a.) Teknik pengisian kuisioner tertulis
b.) Teknik Observasi langsung
c.) Teknik komunikasi langsung
C. Tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui beberapa studi kasus antara
lain :
Studi literatur : diperuntukan untuk mendapatkan data-data arsitektural yang terkait
dengan standar, regulasi, maupun topik-tema yang digunakan beserta kaidah-
kaidahnya
Studi lapangan : digunakan untuk memperoleh data yang tidak terbuka dalam
literatur. Data ini diperoleh dengan cara pengamatan lapangan, wawancara, foto
langsung di lokasi proyek yang hendak dibangun
Studi banding : menggunakan obyek pengamatan yang serupa berdasarkan obyek
pengamatan dari seumber yang berbeda yang akan digunakan sebagai perbandingan
23
dengan obyek pembahasan yang akan dibahas, serta pencarian mengenai tema yang
terkait
24
Membahas tentang kekuatan struktur banguna outlet souvenir khas Priangan ini,
penanggulangan keselamatan seperti kebakaran, kriminal, dan keselamatan pengguna
bangunan.
Bab IV
Organisasi Pelaksana
25
Daftar Pustaka
26
Maknun, J., Busono, T., & Nuryanto. (2018). Disaster-friendly sundanese traditional building
construction. IOP Conference Series : Materials Science and Engineering Volume 128,
Conference 1.
Mentayani, I., & Ikaputra. (2012). Menggali Makna Arsitektur Vernakular : Ranah, Unsur,
dan Aspek-Aspek Vernakularitas. Lanting Journal of Architecture, Volume 1, Nomor 2 , 68-
82.
Okavianawati, P. (2009). Jajanan Tradisional Asli Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa.
Paluruan, R. H., & Tore, R. (2011). Tendensi Electism Dalam Arsitektur Post Modern. Media
Matrasain Volume 8, Nomor 2 , 107-115.
Rogi, O. H. (2011). Arsitektur Vernakular : Patutkah Didefinisikan? Jurnal Sabua, Volume 3,
Nomor 2 , 32-39.
Salura, P. (2008). Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: CSS Publishing.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wessing, R. (1978). Cosmology and Social Behavior in a West Javanese Settlement. Athens,
Ohio: Ohio University Center for International Studies.
27