A. Data Diskrit
Data diskrit disebut juga data variabel diskrit. Hasil perhitungan atau
membilang merupakan data diskrit. Data ini mempunyai sejumlah nilai yang
terbatas, misalnya; a. Banyak siswa 25 orang
b. Banyak kendaraan 50 buah
c. Banyak ternak 100 ekor
d. dan lain-lain.
Data diskrit juga disebut nilai pengamatan, misalnya: nilai pengamatan terhadap
banyaknya pegawai dalam suatu perusahaan merupakan data diskrit karena nilai
pengamatannya hanya mempunyai jumlah terbatas, yakni bukan merupakan
bilangan pecahan.
Variabel ini juga disebut sebagai variabel kategorial. Jika hanya dua disebut
dikhotom. Contoh: jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika lebih
dari dua kategori maka disebut variabel politom.
B. Data Kontinyu
Data kontinyu disebut juga data variabel kontinyu, yaitu merupakan data hasil
pengukuran. Data ini disebut juga nilai pengamatan kuantitatif kontinyu,
yakni data yang secara teoritis dapat menjalani nilai setiap hari, misalnya;
a. Panjang 7,58m
b. Isi 20,25cm3
c. Berat 26, 65kg
d. Waktu 13/4 jam
e. Dan lain-lain
Secara teoritis nilai-nilai pengamatannya tidak terbatas, tetapi dalam praktiknya
harus dilakukan pengukuran yang setepat-tepatnya, dan ini tergantung pada
ketelitian atau kemampuan dari alat pengukutan yang digunakan.
b. Skala Ordinal
Ciri-ciri skala ordinal adalah:
1. Terdiri dari beberapa kategori
2. Antara kategori yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan.
3. Antara tiap kategori diektahui tingkatannya.
4. Antara tiap kategori tidak diketahui besar perbedaannya. Contoh;
a) Tingkat pendidikan : SD, SMP, SMA, D3, S1, S2, S3
b) Ani terpandai, Anne pandai, dan Anno tidak pandai
Kedua contoh diatas masing-masing ada beberapa kategori. Misalnya
SD, SMP, SMA, D3, S1, S2, dan S3. Tiap kategori dapat dibedakan
dan dapat diketahui tingkatannya, tetapi tidak diketahui secara pasit
berapa besar perbedaan antara masing-masing kategori.
c. Skala interval
Ciri-ciri skala interval adalah:
1. Terdiri dari beberapa kategori
2. Antara kategori yang satu dengan lainnya dapat dibedakan
3. Dapat diketahui tingkatan dan besar perbedaan masing-masing
kategori.
4. Perbedaan antara kategori bukan berdasarkan kelipatannya, contoh:
Jarak Jakarta-Bogor 70km, Jakarta-Bandung 240 km, maka jarak
Bogor-Bandung 170km, yaitu selisih 240-70=170.
d. Skala Ratio
Ciri-ciri skala ratio adalah:
1. Terdiri dari beberapa kategori.
2. Antara masing-masing kategori dapat dibedakan.
3. Dapat diketahui tingkatan dan besar perbedaan masing-masing
kategori.
4. Perbedaan antara kategori berdasarkan kelipatannya atau
perbandingannya. Contoh: Berat induk ayam 3kg, sedang anaknya
1kg, maka berat induk ayam 3 kali anaknya, atau berat anak ayam 1/3
induknya.
2. Distrubusi Frekuensi
A. Pembulatan Angka
Data statistik yang sifatnya kuantitatif pada dasarnya merupakan data diskrit
dan data kontinu. Data diskrit adalah data yang dihasilkan dengan
menghitung, sehingga merupakan bilangan bulat, sedangkan data kontinu
adalah data yang dihasilkan dengan mengukur, sehingga dapat
merupakan bilangan pecahan.
Berikut adalah aturan-aturan pembulatan angka tersebut sebagai berikut.
1. Jika angka dibulatkan lebih besar daripada setengah satuan maka dibulatkan
ke atas satu satuan.
Contoh: 7,564 dibulatkan menjadi dua angka 7,6
8,4501 dibulatkan menjadi 8,5
2. Jika angka yang dibulatkan lebih kecil daripada setengah satuan maka
dibulatkanke bawah atau dihilangkan.
Contoh: 7,548 dibulatkan menjadi dua angka 7,5
8,4401 dibulatkan menjadi dua angka 8,4
3. Jika angka yang dibulatkan sama dengan atau tepat setengah satuan maka
ada dua kasus yang disebut prinsip pembulatan genap”
a. Jika angka sebelumnya angka ganjil maka dibulatkan ke atas satu
satuan,
Contoh: 7,350 menjadi 7,4
8,550 menjadi 8,6
b. Jila angka sebelumnya genap maka dibulatkan ke bawah atau
dihilangkan.
Contoh: 7,250 menjadi 7,2
8,450 menjadi 8,4
B. Notasi Sigma
Dasar matematika yang paling dasar sekali untuk dipergunakan dalam statistik
adalah penggunaan notasi ∑ (baca: sigma) yang artinya penjumlahan. Dalam
statistika penjumlahan ini dinotasikan sebagai berikut:
5
∑ X 𝑖 = 𝑋1 + 𝑋2 + 𝑋3 + 𝑋4 + 𝑋5
𝑖=1
∑ 𝑋𝑖
𝑖=1
61 53 57 35 30 55 46 39 41 63 48 63 41
55 68 55 54 50 42 55 43 51 45 69 44 78
56 51 55 59 52 58 50 45 75 67 50 52 53
57 66 57 64 61 65 53 54 64 54 46
Dari data mentah tersebut maka dapat disusun secara array dari nilai teredah
hingga tertinggi:
30 35 39 41 41 42 43 44 45 45 46 46 48
50 50 50 51 51 52 52 53 53 53 54 54 54
55 55 55 55 55 56 57 57 57 58 59 61 61
63 63 64 64 65 66 67 68 69 75 78
Dari data yang sudah berbentuk array tersebut juga dapat kita ketahui range-nya
yaitu selisih nilai tertinggi dan selisih nilai terendah. Nilai terbesar 78 dan
terendah 30 maka 78.000-30.000=48.000.
Data diatas telah tersusun namun masih belum menyajikan informasi yang
memuaskan karena belum dapat segera melihat mengenai jumlah mahasiswa
yang pengeluarannya, misalnya antara 40 – 50 ribu rupiah. Juga bila datanya
banyak, penyusunan array memerlukan banyak waktu dan tenaga. Untuk itu
data perlu dikelompokan berdasarkan kelas-kelas dan data dalam setiap kelas
dihitung banyaknya atau frekuensinya.
Susunan data yang tiap kelasnya disertai dengan frekuensi disebut tabel
distribusi frekuensi. Berikut contoh:
Tabel 1
Pengeluaran Untuk Pembelian Buku
Mahasiswa STIAMI per Bulan (Ribuan Rupiah)
Pengeluaran (Xi) Frekuensi (fi)
30-39,99 3
40-49,99 10
50-59,99 24
60-69,99 11
70-79,99 2
Jumlah 50
Tabel tersebut disebut tabel distribusi frekuensi sederhana.
a. Jumlah kelas
Jumlah kelas adalah banyaknya kelompok dalam tabel distribusi frekuensi.
Berapa jumlah kelas yang diperlukan dalam suatu rabel, sangat tergantung dari
kebutuhan si pembuat tabel itu sendiri. Storgers membuat patokan untuk
menentukan jumlah kelas berdasarkan jumlah sampel yang diteliti denga rumus
sebagai berikut:
M = 1 + 3,32 log n
Keterangan: m = jumlah kelas yang akan disusun
n = jumlah sampel
Misalnya umlah sampel yang diambil sebanyak 400, maka jumlah kelas yang
diutuhkan sebanyak 1 + 3,3 log 400 = 1 + 3,32 x 2,6 = 9,6. Maka jumlah kelas
yang dibutuhkan 10 kelas.
Persyaratan penentuan jumlah kelas adalah:
a. Praktis
b. Batas kelas mudah diinga
c. Jumlahnya antara 5 sampai 20 kelas
b. Batas kelas (Class Boundary)
Batas kelas adalah angka atau nilai yang membatasi seiap kelas. Pada setiap kelas
ada dua batas kelas, yaitu nilai yang di bawah disebut batas bawah kelas (lower
class) dan nilai yang diatas disebut batas atas kelas (upper class).
c. Interval Kelas
Interval kelas adalah selisih antara batas bawah dengn batas bawah sebelumnya
dari kelas yang berurutan atau selisih antara batas dengan batas atas sebelumnya
dari kelas yang berurutan. Urutan kelas interval disusun mulai dari data terkecil
terus ke bawah sampai nilai data terbesar. Berturut-turut, mulai dari atas, diberik
nama kelas interval pertama (30-39), kelas interval kedua (40-49), kelas interval
ketiga (50-59),...., kelas interval terakhir (90-99).
Untuk menentukan intervalah kelas dapat digunakan rumus:
Range
𝐶𝐼 =
Jumlah kelas
Keterangan:
CI : Interval kelas
Contoh:
Range: 99 – 30 = 69 dibulatkan menjadi 70
Jumlah kelas : 7
70
Interval kelas : = 10, maka interval kelas tersebut 10
7
Catatan: Bila interval kelas merupakan bilangan pecahan maka harus dbibulatkan
ke atas, sehingga nilai pengamatan terbesar dapat terliput dalam interval kelasnya.
b. Jika besar interval tidak ditentukan maka jumlah kelas ditentukan antara
5-20 buah, tergantung kebutuhan atau dihitung dengan menggunakan
rumus Stuges : m = 1 + 3,32 log n
Keterangan: m = jumlah kelas yang akan disusun
n = jumlah sample
5. Hitung frekuensi untuk masing-masing kelas.
Kurang dari 30 0 0
Kurang dari 40 33 3
Kurang dari 50 10 13
Kurang dari 60 24 37
Kurang dari 70 11 48
Kurang dari 80 2 50
Jumlah 50
Berdasarkan tabel 3 diatas, terlihat frekuensi kumulatif kelas pertama (kurang
dari 30) = 0, karena berdasarkan data tidak ada mahasiswa yang pengeluarannya
kurang dari Rp. 30.000. Lalu, pengeluaran yang kurang dari 40, frekuensinya =
3, yaitu frekuensi dari kelas pertama pada distribusi frekuensi sederhana dan
juga frekuensi dari frekuensi kumulatif kelas kedua. Selanjutnya, frekuensi
kumulatif dari kelas ke-3 atau pengeluaran kurang dari 50 adalah
penjumlahandari frekuensi kumulatif sebelumnya atau frekuensi kumulatif
kelas ke-2 dengan frekuensi sederhana kelas ke-3 yaitu 3+10=13; frekuensi
kumulatif kelas ke-4 =13 + 24 =37; kelas ke-5 = 37 + 11 = 48 dst. Kelas terakhir
sama dengan ∑ fi atau jumalh sampel (n).
2. Grafik Batang
Berikut adalah contoh dari diagram batang atau balok dengan data mengenai
pengeluaran uang pembelian buku para mahasiswa STIAMI Depok setiap
bulan.
3. Ogif (Ogive)
Poligon frekuensi kumulatif disebut Ogif dimana penggambaran Ogif ini
hanya menggambarkan distribusi frekuensi kumulatif lebih dari dan kurang
dari. Berikut adalah contoh bentuk grafik Ogive yang mencakup distribusi
frekuens kumulatif kurang dari dan lebih dari dengan data sebelumnya yaitu
mengenai pengeluaran uang untuk pembelian buku mahasiswa STIAMI
Depok perbulan.
4. Hostogram
Yaitu penggambaran secara grafik suatu distribusi frekuensi dari suatu
variabel dimana penggamabaran tersebut menurut dua sumbu yaitu sumbu
datas (axis) dan sumbu tegak (ordinat). Axis menunjukan kelas atau sifat
yang diteliti dari suatu variabel, sedangkan ordinat menunjukan
frekuensinya. Pada hostogram yang dilihat adalah luasnya. Luas ini
menunjukan proporsi atau presentase dari frekuensi taip tiap kels sedangkan
luas seluruh hostogram menunjukan seluruh pengamatn dalam presentase
(100%).
Berikut contoh:
Berdasarkan gambar hostogram diatas, terlihat daerah berupa batang/balok
balok yang dibatasi oleh kelas 30-40 dengan frekuensi sebanyak 3, kelas 40-
50 dengan frekuensi 10, kelas 50-60 dengan frekuensi 24, kelas 60-70
dengan frekuensi 11, dan kelas 70-80 dengan frekensi 2.
6. Poligon
Bila dihubungkan masing-masing titik puncak batang hostogram, akan
terbentuk grafik garis tunggal patah-patah yang melengkung dan membatasi
suatu area. Luas area tersebut dinamakan poligon. Berikut contoh:
Dalam contoh gambar diatas poligon adalah daerah yang dibatasi oleh garis-
garis yang menghubungkan titik-titik tengah masing-masing puncak batang
hostogram dengan sumbu horizontal. Bila jumlah sampel diperbanyak dan
interval kelas diperkecil maka garis patah-patah tersebut akan menjadi
halus. Bila jumlah sampel diperbanyak lagi serta interval semakin kecil lagi
maka garis patah-patah halus berbentuk lengkung tersebut disebut kurva
distribusi normal.
Sumber:
1. Yusri. 2009. Statistika Sosial. Graha Ilmu. Yogyakarta.
2. Silaen, Sofar dan Yayak Heriyanto. 2013. Pengantar Statistika Sosial.
Jakarta: In. Media.