Anda di halaman 1dari 35

Naskah drama

TO’DO’PULI
Karya : Yudhistira Sukatanya.-

KARAKTERISTIK
1. Kumala Gadis yang kukuh pada pendirian dan semakin dewasa setelah berguru
pada Syeh Yusuf.
2. Suryanta Ayah Kumala. Nelayan. Pemuka masyarakat desa. Punya ambisi jadi
lurah karena kehidupan nelayan kian sulit Tujuan hidupnya hanya demi
kebahagiaan Kumala.
3. Mangara Putra Gowa. Patriotik. Teguh pada pendirian. Satu kata dan tindakan.
4. Rambang Pemuda ambisius. Labil dan menghalalkan segala cara guna mencapai
cita-citanya. Dia masih sepupu Kumala.
5. Ronggeng dan Cula Pengawal Rambang.Lugu dan penakut;
6. Romlah Perempuan yang hilang ingatan akibat menanggung malu diperkosa oleh
komplotan Rambang;
7. Beberapa pelaut Tokoh-tokoh seimbang antara rasional dan emosional. Sahabat
Mangara.

LATAR CERITERA
Banten sekitar tahun 1654.
Armada Kerajaan Gowa1 di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu dan
saudaranya, karaeng Galesong, meninggalkan Butta Gowa2 dengan satu tekad di dada.
Terus mengadakan perlawanan terhadap pasukan kompeni Belanda setelah kekalahan
mereka dalam pertempuran laut di perairan Buton. Iring-iringan kapal perang sebanyak
70 buah beserta sekian ribu lasykar tiba di Pelabuhan Banten dengan maksud meminta
bantuan kepada Sultan Banten yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Kerajaan Banten ketika itu tengah dilanda kemelut dengan terjadinya
pemberontakan yang dipimpin putra sultan bernama Sultan Haji. Ia telah dihasut kaki
tangannya yang memihak Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa dibantu menantunya. Syeh
Yusuf (putra Gowa) beserta lasykar yang datang dari Gowa. Sultan Ageng kalah dan
dipenjarakan di Batavia. Lasykar Gowa terusir dan berangkat ke Jawa Timur. Di sana
mereka membantu pergerakan Trunodjojo, putra Raja Madura.

0
BABAK PERTAMA
ADEGAN PEMBUKA

Cahaya : Senja temaram


Sound Effect : Deru ombak
Musik : Resah gendang ditalu satu-satu kemudian beralih irama gendang
pencak/perahu - Irama suling menyayat menyelingi.

SUATU SORE DI BANTEN. MATAHARI BARU SAJA RUNDUK MENINGGALKAN


PUNCAKNYA BERGULIR KE ARAH BARAT DALAM CAHAYA MERAH TEMBAGA. DI
KEREMANGAN CAHAYA ITU PADA BATAS CAKRAWALA NAMPAK KESIBUKAN LUAR
BIASA. ANAK BUAH PERAHU ‘PINISI’ MEMINDAHKAN MUATAN, PETI, TONG AIR
MINUM, DAYUNG, TOMBAK, DAN PERALATAN PERANG LAINNYA. SESEKALI SUARA
PERINTAH NAKHODA DISAMBUT SUARA-SUARA YEL KHAS MAKASSAR MENGISI
KEHENINGAN SENJA ITU. SUARA MEREKA KEMUDIAN HILANG TERBAWA ANGIN.
DI BAHAGIAN LAIN PADA SEBUAH RUMAH BERANJUNGAN DI TEPI PANTAI DEKAT
PELABUHAN ITU. NAMPAK SEORANG GADIS BERAMBUT PANJANG (KUMALA)
MEMPERHATIKAN KESIBUKAN ITU.
MALAM PUN TURUN.
DARI KEGELAPAN ARAH PELABUHAN TERDENGAR MUSIK RAMBANG-RAMBANG
DIMAINKAN OLEH AWAK PERAHU MAKASSAR YANG MEMBUANG LELAH.
(LAGU ‘BOMBANG TALLUA’ TERLAMPIR)

WAKTU BERLALU.

ADEGAN SATU
Cahaya : Kuning lemah, kemudian memfokus Kumala.
Sound Effect : Deru ombak dan angin semilir.
Musik : Suara seruling mengalun sejenak.

KUMALA MENYALAKAN LENTERA YANG KEMUDIAN MENERANGI RUANG DI ANJUNGAN.


SUASANA SEPI TERASA. SEJURUS KEMUDIAN DATANG RAMBANG. ANAK BANGSAWAN
BANTEN ITU DIIRINGI BEBERAPA PENGAWAL. DENGAN LANGKAH YANG LIMBUNG
MEREKA MENDEKATI RUMAH KUMALA. DI PEKARANGAN BAWAH RUMAH RAMBANG
MENYAPA MENGGODA KUMALA.

1
001.RAMBANG:
(MENYINDIR KUMALA SAMBIL MELIRIK) Langit cerah, purnama indah. Dari arah laut
bertiup bayu membawa lagu. Mengapa harus raut duka yang nampak di wajah jelita.
002.KUMALA:
(DIAM TAK ACUH)
003.RAMBANG:
(PENASARAN) Oh sungguh malang, malam begini indah haruslah berisi gundah. Kalau
saja diperkenankan, ingin rasanya aku halau semua duka yang ada. Dan kalau orang
penyebabnya ... heeem (MENEPUK TINJUNYA DENGAN ANGKUH, KEMUDIAN MELIRIK
PENGAWALNYA MINTA DUKUNGAN) biarlah ini jadi hadiahnya.
004. RONGGENG:
(MENARIK GAYA SILAT) Benar, kalau orang yang meronrong biar hamba Ronggeng dan
Cula yang akan menghalaunya . (PAUSE) Sungguh sayang memang, bila malam dengan
perawan jelita dan jejaka gagah perkasa bertemu, namun tak memainkan ceritera
Rama dan Shinta.
005.CULA:
(BERSEMANGAT) Betul, hamba setuju! (IA TERTAWA MENGAMBIL HATI RAMBANG.
LALU MELIRIK SI RONGGENG YANG JUGA MENIMPALI DENGAN TAWA YANG LUCU.)
006. RAMBANG:
Siapa pun pencinta keindahan, pasti setuju, Kumala. Hati siapakah yang tega melihat Si
Wajah Jelita tertutup kabut duka. (TERSENYUM) Kumala, aku datang kepadamu untuk
kesekian kalinya. Mengulurkan tangan. Mengapa tak juga sudi kau sambut?
(MENDESAK) Kalau engkau wanita berbudi sambut dan jawablah.
007. KUMALA:
(SINIS) Terima kasih. Sungguh aku wanita tak memandang mata. Mataku silau
memandang kilau tata krama Tuan yang berbudi. (PAUSE) Berani menantang
kesopanan, bertandang ke rumah seorang gadis yang sedang sendiri menjelang malam.
008. RAMBANG:
Justru kedatangan kami hendak berkawan, bercanda membuang sepi denganmu dara
jelita.
009. KUMALA:
Tapi aku ingin sendiri.
010.RAMBANG:
(MERASA DIBERI PERHATIAN) Sendiri dan melamun? Itu perbuatan sia-sia hai dara
jelita. Tak baik bagi Dinda bermuram durja.
011.KUMALA:
(TEGAS) Itu hakku. Tak seorang pun boleh memaksa apa yang harus kulakukan.
012. RONGGENG:
(MARAH) Sungguh bermulut lancang. Sadarkah engkau tengah berbicara dengan siapa?

2
013. KUMALA:
Aku sadar. Begitukah sikap dan tingkah laku anak bangsawan dan pengawal negeri
bertutur sapa?
014.CULA:
(JENGKEL JUGA) Tajam dan berbisa lidahmu. Tak kusangka gadis sepertimu
memendam racun.
015. RAMBANG:
(MENCEGAH MEREKA) Heh!
016.CULA:
(MERASA TIDAK PUAS) Ular berbisa.
017. KUMALA:
Wanita bisa jadi kejam bagai ular berbisa jika diperlakukan tidak pantas. Rambang
begitukah cara kalian memperlakukan seorang wanita? Huh, pergilah.
018. CULA:
(MENCOBA MENGHALANGI KUMALA YANG HENDAK BERLALU DARI TEMPAT ITU.
NAMUN CEPAT DITENGAHI RAMBANG) Huh, untung dicegah Tuan Muda. Kalau tidak ...

019. KUMALA:
Apa yang akan kau lakukan?
020.CULA:
(TANGANNYA MENINJU ANGIN ) Hup- hup
021.RAMBANG:
(MENATAP KEDUA PENGAWALNYA PENUH WIBAWA) Tenanglah kalian. Sini!
(MEMBISIKKAN SESUATU) Menangkap kijang buruan harus dengan pancingan, taktik
dan kesabaran. Heh pakai otak. Pergilah kalian. (RONGGENG DAN CULA EXIT)
Mengganggu saja. Kumala janganlah tersinggung. Mereka itu memang orang-orang
kasar tak mengerti tata krama menghadapi perempuan.
022. KUMALA:
Pulanglah Rambang. Apa kata para tetangga nanti.
023.RAMBANG:
Tetangga? Owh tak usah bingung dengan mereka. Bukankah kita ini sebenarnya masih
satu keluarga? Lagi pula semua orang di kampung ini mengenal siapa aku. Aku
Rambang sepupumu, bahkan telah dijodohkan denganmu, yang akan kuberi
perlindungan kebahagiaan dan cinta kasih untukmu.
024. KUMALA:
Siapa yang menjodohkan aku denganmu?
025.RAMBANG:
(PASTI) Ketahuilah Kumala. Orang tua kita sekarang ini sementara membicarakan masa
depan serta waktu dan bulan yang tepat bagi pernikahan kita. (TERSENYUM PENUH

3
KEBANGGAAN) Kan kusunting engkau Kumala. Kita kan bersanding di pelaminan yang
bermandikan anggrek putih rupawan.
026 KUMALA:
Siapa yang sudi dipersunting olehmu Rambang? Kalau aku yang engkau harapkan,
soalnya tak akan semudah dugaanmu. Jodohku di tangan Tuhan dan hingga kini tak
seorang pun yang tahu. Jangan harap engkau bisa memaksaku.
027. RAMBANG:
Sekarang boleh saja engkau berkata begitu Kumala. Tapi akan sia-sia kau berkeras
menolak. Percumahlah aku ini anak Adipati yang dituruti semua orang kalau tak dapat
mewujudkan kehendak hati. Tentu kau pun tahu, bagiku segalanya bisa menjadi
mungkin.
028. KUMALA:
(MEMOTONG) Tapi tidak atas diriku.
029.RAMBANG:
(MENGANCAM) Tak seorang pun dapat menampik kehendakku. Tidak juga engkau
kumala!
030. KUMALA:
Sudah demikian besarkah kuasamu?
031. RAMBANG:
Tak lama lagi akan jauh lebih besar. (SEAKAN BICARA PADA DIRINYA SENDIRI) Kalau
pergerakan ini berhasil menumbangkan Sultan Ageng, tentu Pangeran Sultan Haji akan
memberikan kemuliaan dan kekuasaan lebih besar pada ayahku yang menyokongnya.
Lalu aku akan menjadi . . .
032. KUMALA:
(MEMOTONG) Jangan coba menggantang asap. Usia muda akan terbuang percuma.
Sekarang rahasia pengkhianatan kalian yang bersekongkol dengan tentara kolonial
Belanda, telah diketahui rakyat. Sebentar lagi mereka akan bersatu menghadapi
danmenghancurkan kalian. (SINIS) Ambisi yang dipaksakan dengan kurang
pertimbangan akan membawa kekecewaan.
033. RAMBANG:
Ambisiku pasti terwujud. (BERSEMANGAT) Karena untuk mewujudkannya aku bersedia
menempuh cara apa pun. Cita-cita yang besar memang harus dicapai dengan
perjuangan dan pengorbanan yang besar pula. Ingat Kumala, tak ada suatu kekuatan
yang dapat tegak berdiri di hadapan kami dan meriam-meriam Belanda.
034. KUMALA:
Meriam takkan dapat merobohkan keyakinan dan kesetiaan.
035. RAMBANG:
(MENGEJEK) Keyakinan? Kesetiaan? Kesetiaan akan roboh dengan uang emas. Kami
telah bersedia mengorbankan apa saja demi pergerakan menunjang Sultan Haji.

4
036. KUMALA:
Seharusnya Tuan tahu, banyak hal yang tak terbeli dengan uang dan harta.
037. RAMBANG:
Setiap orang akan menyayangi nyawanya. Itulah tawaran terakhir bagi yang menolak.
038. KUMALA:
Tuan mengancam siapa?
039. RAMBANG:
(TEGAS) Siapa saja yang menghalangi keinginanku. Aku anak lelaki yang dibesarkan di
tepi laut, ditempa oleh laut, belajar banyak tentang sikap laut serta cara
menaklukkannya dengan keberanian.
Kini aku telah menjadi laut yang bergelora menggapai pantai cita-citaku. Akan
kuhanyutkan, kuhancurkan, siapa saja yang berani menghalangi gelora keinginanku.
(MENDESAK ) Tapi aku juga tak akan lupa pada siapa-siapa yang telah berjasa bagi
perjuangan ini kelak. Seperti pula aku tak akan lupa pada sikap realistis ayahmu yang
menjodohkan kita. Beliau akan diangkat menjadi lurah di kampung ini sebagai imbalan.
040. KUMALA:
Itu hanya impianmu yang tak mungkin jadi kenyataan.
041. RAMBANG:
(BERANG) Heh, sudah sering kukatakan, tak satu pun yang tak mungkin bagiku. Semua
di atas bumi ini bisa diatur dengan uang. Hanya tinggal taktik.
042. KUMALA:
(BOSAN) Tak mungkin kalian bisa membujuk Ayahku. Dan Ayah tak akan terjeret dalam
taktik kalian. Sudahlah malam telah larut, silakan Tuan pamit.
043. RAMBANG:
(TERSINGGUNG) Kau mengusirku Kumala?
044. KUMALA:
Aku tak berkata begitu, kecuali jika Tuan menginginkannya.
045. RAMBANG:
(KALAP) Tidak, kau tak bisa mengusirku.
046. KUMALA:
Ini rumahku Rambang.
047. RAMBANG:
Aku tidak perduli. Persetan dengan semua itu. Ini daerah kekuasaanku. Kalau pun aku
harus pergi, maka aku akan pergi membawamu malam ini juga. (MENDEKATI KUMALA
DENGAN GANAS DAN BERNAFSU. KUMALA MUNDUR MENGHINDAR.)
048. KUMALA:
Apa yang akan kau lakukan Rambang? (RAMBANG KIAN MENDEKAT. NAFASNYA
MEMBURU. IA TERTAWA MENGANCAM.) Jangan coba beranjak dari tempatmu. Jangan!
Aku akan berteriak agar orang kampung ini bangun menangkapmu.

5
049. RAMBANG:
(MENGEJEK) Berteriak? Berteriaklah! Aku tidak takut. Seluruh isi kampung ini akan
kuhabisi jika berani menghalangi kehendakku. Itu sama dengan menantangku.
Berteriaklah! Berteriak!
050. KUMALA:
(MENGAMBIL LENTERA DAN MENCOBA MELINDUNGI DIRINYA DARI SERGAPAN
RAMBANG YANG MENDESAK. LENTERA PADAM. DAN KEMUDIAN TERDENGAR
TERIAKAN KUMALA) Tolong! Tolong!
HENING BEBERAPA SAAT.
MUSIK MENCEKAM.
CAHAYA : Sangat lemah
Sound Effect : Gelegar petir dan deru ombak
MUSIK : Gendang/Beduk satu-satu dan simbal.

ADEGAN DUA
DARI BALIK GELAP SOSOK-SOSOK TUBUH BERPAKAIAN HITAM RINGKAS MEMBAWA
OBOR BERGERAK DENGAN SANGAT GESIT KE ARAH RUMAH KUMALA. MEREKA
BERHENTI SEJENAK DI HALAMAN RUMAH KUMALA. MEREKA BERTERJAK LANTANG
DARI KOLONG RUMAH.
051. MANGARA:
Hai. Siapa yang membuat keributan di tengah malam. Hentikan.
052. RAMBANG:
(MENEKAN SUARANYA) Hai anak dari seberang, aku anak Adipati negeri ini. Jangan
coba ikut campur urusan orang. Kuperingatkan di negeri orang jangan coba-coba jadi
pahlawan.
053. MANGARA:
Aku anak pancalang dari tepi Sungai Je'neberang, tak suka ikut campur urusan orang.
Tapi bila melihat kejahatan lelaki mengganggu perempuan, rasanya tanganku tak bisa
diam.
054. RAMBANG:
Apa yang bisa kau lakukan jika kau hanya sendiri?
MUNCUL BEBERAPA PELAUT MEMBAWA OBOR PENERANG
055. PELAUT I:
Dia tidak sendiri.
056. PELAUT II:
Yah dia tidak sendiri. Orang bijak banyak berkawan.
057. RAMBANG:
Akan kubunuh kalian.

6
058. PELAUT I:
Silakan Tuan, jika kata bisa dibuktikan. Dari jauh kami datang, dari timur kami
berperang. Jika lawan berdiri menantang, maka mudur kami berpantang.
060. PELAUT II:
Nah silakan Tuan memilih padang yang lapang untuk dipakai berlaga.
061. PELAUT I:
Betul. Tuan boleh pilih siapa saja di antara kami untuk ditantang.
062. MANGARA:
(TEGAS) Tuan kami beri kesempatan untuk menghitung langkah. Mereka ini para
pemberani, lasykar Karaeng Galesong. Badai telah ditantang, perang telah diterjang.
Kematian bukanlah pantang bagi meraka. Mereka orang lelaki yang memilih jalan
kebenaran dan kejujuran. Mereka dapat seganas badai, sekejam lautan, jika melihat
kebathilan menghempang di hadapan.
063. RAMBANG:
(RAGU SEJENAK) Ronggeng, Cula, ke mari kalian. (DENGAN SUARA BERGETAR) Aku
tidak takut pada kalian. Jika kalian memang pemberani tunggu di sini. Tunggulah
pembalasanku. (MENGANCAM KUMALA) Kumala, hati-hatilah. Kali ini aku gagal. Tapi
suatu ketika aku pasti berhasil memilikimu. Jangan lupa itu Kumala.
064. PELAUT II:
(MENGGERTAK) Bangsat, beraninya hanya pada perempuan. Minggatlah sebelum
darahmu yang busuk bersimbah di tanah. Pergi!
065. MANGARA:
Apalagi yang Tuan tunggu? Menunggu kesabaran mereka habis.
066. RAMBANG:
(MELENGUH MARAH MENAHAN MALU) Kalian akan menerima pembalasan akibat
penghinaan ini. Peristiwa menyakitkan ini takkan kulupakan begitu saja. Tunggulah
perhitungan dariku.. (PELAN BERANJAK PERGI)
067. PELAUT I
Pengecut! Perempuan berani diancamnya. Dasar banci!
PARA PELAUT TERTAWA BERGELAK
068. KUMALA:
(KEPADA PARA PELAUT) Terima kasih.
069. MANGARA:
(MENGANGGUK) Tak usah terlalu dipikirkan, tenanglah. (KEPADA KAWANNYA) Ayolah
kita pergi.
070. KUMALA:
(TERPERANGAH SEJENAK) Tunggu, siapa kalian yang telah meninggalkan budi
untukku?

7
NAMUN SUARA KUMALA LENYAP TERTELAN DERU OMBAK YANG MENGGEMPUR TEPI
PANTAI. MANGARA DAN PARA PELAUT MENJAUH PERGI. PANGGUNG GELAP BERSAMA
HILANGNYA CAHAYA OBOR.

ADEGAN TIGA
Cahaya : Remang kembali melalui celah dedaunan.
Sound Effect : Suara binatang malam dan debur ombak.
Musik : Tegang

RAMBANG MUNCUL DARI BALIK SEMAK YANG GELAP, SETELAH PARA PELAUT PERGI.
IA MUNDAR-MANDIR JENGKEL. RONGGENG DAN CULA BELUM NAMPAK DI TEMPAT
ITU. MEREKA PERGI MENINGGALKAN TUANNYA TADI.
071. RAMBANG:
Sial. Sungguh sial nasibku hari ini. Entah apa mimpiku siang tadi, sial. Hampir saja aku
celaka di tangan kunyuk-kunyuk tadi. Ini gara-gara kedua pengawal tolol itu pergi
entah ke mana. Kalau saja mereka ada aku tak mungkin dipecundangi begini rupa.
Malu aku jadinya. Di muka Kumala lagi. Bangsat. (MEMANGGIL DENGAN MARAH)
Ronggeng, Cula. Sungguh naas aku hari ini. Celaka, celaka habislah semua wibawaku.
Habis. Di mana kusimpan muka ini karena malu?
SEJENAK KEMUDIAN DATANG RONGGENG DAN CULA DALAM KEADAAN GONTAI
KARENA MABUK. RAMBANG MENGIBAS-KIBASKAN BAJUNYA KARENA KESAL. ITU
KEBIASAANNYA.
072. RONGGENG:
Tuan Muda ada apa? Nampaknya Tuan Muda uring-uringan gelisah. Ada yang
mengganggu Tuanku? Tunjukkan siapa yang membuat Tuanku kesal biar kepalan ini
yang akan melumat orang itu.
073. CULA:
(MABUK JUGA) Biar aku saja yang menebas batang lehernya.
074. RAMBANG:
(TAMBAH KESAL) Besar mulut, dari mana saja kalian?
075. CULA:
(GUGUP) Eee, jalan-jalan cari angin, Tuan Muda. Ke warung batas desa. Yah sambil
memberi waktu pada Tuanku untuk berkencan dengan Kumala. Kami hanya mengawasi
dari jauh.
076. RONGGENG:
(MELIRIK CULA MINTA DUKUNGAN) Iya Tuanku. Dari pada di sini menjadi santapan
nyamuk-nyamuk sial dan mengganggu kencan Tuan. Kami rasa lebih baik menjauh saja
sambil minum tuak di warung pojok. Jadi saya dan Cula pergi. Emh, bagaimana Tuan
asyik pacarannya? (TERTAWA)

8
077. RAMBANG:
(JENGKEL) Bangsat! Sial, semua sial!
078. CULA:
Apanya yang sial Tuan? Apa cinta Tuan ditolak?
079. RONGGENG:
Kita paksa saja agar dia mau. Kalau menolak kita bawa lari ke rumah Tuan. Bagaimana
Tuan?
080. RAMBANG:
Kalian memang bangsat goblok, yang sepantasnya dihukum.
081. CULA:
(TERNGANGA SEJENAK TAK MENGERTI) Eit, jangan Tuan Muda.
082. RONGGENG:
(MEMBUJUK) Kalau Tuan Muda kecewa atas kelalaian kami menjalankan tugas, kami
mohonkan ampun. Itu semua kami lakukan agar Tuan lebih leluasa bercengkerama.
083. RAMBANG:
(MEMBENTAK JENGKEL) Diam! Kalian berdua, bangsat dungu yang tak berguna.
Tempurung kepala kalian memang kosong. (MENDESAH KESAL) Pelaut-pelaut itu
mempermalukan aku di depan Kumala. Mereka mencorengkan arang di wajahku, tapi
kalian muncul pun tidak.
084. RONGGENG:
(TERSENTAK) Pelaut-pelaut? Pelaut yang mana Tuan Muda? Biar hamba yang
menghajar mereka. Kalau memang tangguh dan bernyawa dua baru dia disebut jagoan
yang bisa lolos dari tanganku.
085. RAMBANG:
(KESAL) Tolol, besar mulut lagi. Kalau pun kalian ada apa yang bisa kalian lakukan pada
mereka yang demikian banyak? Tapi aku harus membalasnya. Ayo segera kumpulkan
kawan-kawan. (BERSEDIH) Kalian harus dihukum.
086. CULA:
Maafkan keteledoran kami Tuan Muda. (IA SEAKAN MENDAPAT AKAL DAN MEMANGGJL
RONGGENG KEMUDIAN BERBISIK) Bagaimana?
087. RONGGENG:
(BERGELAK) Dia pasti senang. Kau sampaikanlah!
088. CULA:
(MEMBUJUK) Tak usah terlalu dipikirkan Tuan Muda. Waktu masih panjang. Mereka
takkan dapatpergi ke mana-mana. Wilayah ini kekuasaan Tuan. Di balik kasur pun
mereka bersembunyi, takkan lolos dari kejaran Tuan.
089. RONGGENG:
Benar. Mau ke mana mereka. Lupakanlah Tuan. Marilah kita bersenang-senang. Di
ujung jalan sana di warung pojok desa. Seorang dara manis menunggu Tuan. Dia anak

9
penjual tuak yang baru pindah ke mari. Si Romlah namanya. Anaknya cantik berlesung
pipit. Senyumnya bagai mawar menantang kumbang. Kalau Tuanku sudi dia bisa
menjadi pengganti Kumala yang angkuh itu.
090. CULA:
Kalau Tuanku berminat, kami bisa mengambilnya sekarang juga. Bagaimana Tuan
Muda?
091. RAMBANG:
Sungguh-sungguh cantik?
092. CULA:
Bukan hanya cantik Tuan, tutur sapanya juga manis.
093. RONGGENG:
Aku mendengar suaranya saja sudah merinding.
094. RAMBANG:
(TERTARIK) Kalau benar demikian bawalah dia ke mari. Atau antarkan saja langsung ke
kamarku.
095. RONGGENG:
Baik Tuan, segera kami antarkan
MEREKA BERANJAK BEBERAPA LANGKAH KEMUDIAN KEMBALI DENGAN KEPALA
MENUNDUK RAGU.
096. RAMBANG:
(MARAH) Kalian menunggu apa lagi? Menunggu tangan ini menghancurkan kepala
kalian yang tolol itu?
097. CULA:
Aduh ampun Tuan Muda. Tapi....
098. RAMBANG:
Dasar orang sial. Otak kalian hanya penuh dengan minta uang, uang lagi.
(MENGELUARKAN KANTUNG UANGNYA DAN MEMBERIKAN BEBERAPA UANG EMAS)
Kerjakanlah dengan cara biasa. Bujuk dan berilah dia uang. Kalau menolak baru
Hemhm. (MELIHAT KEDUANYA BELUM JUGA BERANGKAT IA MARAH LAGI ) Pergilah
bangsat! Apa uang itu belum cukup? Ayo pergilah jalan kaki, pulangnya baru boleh
dapat uang bendi. Awas kali ini jangan sampai gagal. Malam ini sudah terlalu penuh
dengan kekecewaan. (MENOLEH KE RUMAH KUMALA) Kumala kau harus bertekuk lutut
di hadapanku, baru hatiku puas. (MENGHELA NAPAS PANJANG) Hah, kalau saja tak ada
pelaut kunyuk itu, dia pasti sudah dalam genggamanku. Kenikmatan sudah di tangan
terlepas pula dari genggaman. Dasar nasib tak lagi mujur. (PAUSE) Sudah tengah
malam, dinginnya minta ampun. Rasa kantuk ini juga kian memberati pelupuk mataku.
Mudah-mudahan Ronggeng dan Cula berhasil, agar tak sepi malam ini berlalu. Akh
sebaiknya aku pulang duluan. Kutunggu saja mereka di kamarku. Hemh ngantuk aku.
MUSIK MELENTING BEBERAPA SAAT.

10
ADEGAN EMPAT

Cahaya : Sama dengan sebelumnya.


Sound Effect : Bunyi binatang malam dan debur ombak.
Musik : Denting melodi kecapi satu-satu

TERDENGAR AYAH KUMALA MEMANGGIL-MANGGIL. DI JALAN IA BERTEMU DENGAN


RAMBANG YANG BARU BERANJAK PULANG.
099. SURYANTA:
Hai anak muda siapa kau hah? (IA BERDIRI LIMBUNG, TEMPAT TUAK MASIH DI
TANGANNYA)
100. RAMBANG:
Selamat malam Paman, saya Rambang. Kelihatan nikmat tuak rasanya. (TERTAWA)
Paman sudah bertemu dengan Ayah? Emh bagaimana tentang?
101. SURYANTA:
(MEMOTONG) Perjodohanmu? Owh jangan ragu Nak Rambang, Sepupumu Kumala
akan segera menjadi milikmu. (TERTAWA) Lihatlah, Paman merayakan kebahngiaan itu
dengan menghabiskan tuak di warung pojok sana.
102. RAMBANG:
Rupanya saya sudah menggangu kebahagiaan Paman. Saya permisi dulu.
103. SURYANTA:
Mengapa buru-buru, marilah minum barang dua tiga teguk dulu baru pulang. Cuaca
sangat dingin, tuak baik untuk menghangatkan badan.
104. RAMBANG:
Terima kasih paman. Malam sudah larut, saya mau pulang saja.
105. SURYANTA:
Dari mana saja di malam buta begini?
106. RAMBANG:
(KIKUK MENCARI ALASAN) Akh iseng-iseng mencari kepiting di pantai. Tapi kepiting itu
lari bersembunyi ke mari.
107. SURYANTA:
Hati-hatilah, jangan sampai terjepit. Tak baik pengantin bersanding dengan jari-jari
bengkak. Engkau hanya sendiri?
108. RAMBANG:
Tidak Paman, saya ditemani Ronggeng dan Cula. Ia melihat kepiting lain dan
mengejarnya. Paman, saya harus menemui mereka. Permisi.
109. SURYANTA:
Iya, hati-hati. Dalam gelap banyak bahaya. Apalagi di jaman perang begini. Menurut
kabar, di kampung kita telah banyak berkeliaran para perampok dari tanah seberang.

11
Itu menurut laporan polisi rahasia Meneer Belanda kepada ayahmu. Cepatlah pulang.
Sampaikan salamku pada ayahmu, katakan aku selamat tiba di rumah.
110. RAMBANG:
Akan saya sampaikan. (EXIT)
111. SURYANTA:
Anak muda, anak muda. (KEPADA PENONTON) Anak muda ternyata memang sulit
menahan diri. Mungkin tadi dia bermaksud menemui Kumala, tak sabar lagi rupanya.
(MENGHELA NAPAS. MENGETUK PINTU RUMAHNYA DAN MEMANGGIL KUMALA)
Kumala ... Kumala. Bukalah pintu Nak, Ayah pulang. Hai bukalah pintu. Tak inginkah
kau mendengar kabar gembira untukmu? Anakku yang jelita, sebentar lagi kebahagiaan
akan berlimpah di sini. Engkau akan bergelimang kemewahan dan dihormati banyak
orang. (BERSENANDUNG KECIL) Akh rupanya engkau sudah tertidur lelap Kumala.
Terpaksa aku harus meronda lagi di amben ini.
MUSIK PERLAHAN MENYELINGI.
LAMPU KEMUDIAN REDUP.
BABAK PERTAMA SELESAI.

12
BABAK KEDUA

ADEGAN SATU

Cahaya : Lembut pagi hari


Sound Effect : Kicau burung dan suara debur ombak
Musik : Mulai terangkat perlahan suara suling

SURYANTA MASIH TIDUR LELAP DI AMBEN. BERSELIMUT EMBUN PAGI HARI DI


HALAMAN RUMAHNYA. KUMALA NAMPAK PERLAHAN TURUN DARI RUMAH DAN
MENDEKATI AYAHNYA. WAJAHNYA MURUNG, DI BALlK KECANTIKANNYA. SANG AYAH
TERBANGUN KETIKA MENDENGAR ADA SUARA LANGKAH MENDEKAT.
112. SURYANTA:
(DUDUK BERSILA DENGAN MATA MASIH TERTUTUP) Engkaukah yang mendekatiku
Kumala? Oh pasti engkau, aku kenal betul suara langkahmu. (BERDIRI MENYIMAK
ARAH SUARA ITU. MATANYA MASIH TERPEJAM. KEMUDIAN IA BERJALAN KE ARAH
LAUT.) Ke mari, mendekatlah anakku. (BERTERIAK KE ARAH LAUT) Hai laut!
Saksikanlah anakku ini, Kumala, pertama hatiku titisan Dewi Khayangan, pujaan para
Dewata. Hai angin hembuskan kabar pada semesta, roh dan kecantikan Nyai Roro Kidul
nan jelita, telah menjelma ke dalam sukma Kumala. Harumlah kemasyhuran namamu
ke sejagad, jadilah engkau buah bibir kekaguman para pemuda, kebanggaan para
wanita. Oh Gusti Sang Hyang pencipta mayapada. Terima kasih pada kurnia yang
Engkau limpahkan. (PAUSE) Oh Nyai Ageng Lestari istriku. Kalau saja engkau masih
berada di sisiku, tentu bahagia pula di hatimu. Mengapa engkau begitu cepat dijemput
ke Swarga Loka. (MEMBUKA MATA DAN MENGERJAP-KERJAPKANNYA LALU MENATAP
KUMALA DENGAN KAGUM. KUMALA TETAP MURUNG.) Kumala, mengapa engkau
menatap seperti itu anakku? (HERAN) Anakku, jangan menatap aku seperti itu. Ada
apa? Adakah sesuatu yang merisaukan hatimu? Katakan! (BINGUNG KARENA KUMALA
TETAP DIAM) Kumala, mengapa kau tetap membisu? Tak biasanya engkau begini. Apa
yang telah terjadi? Apa yang menyebabkanmu bermuram durja? Oh Dewiku,
permataku, sampaikanlah pada ayahmu. Segala kerisauan membakar tanya di hatiku.
113. KUMALA:
(BERJALAN KE PANTAI, IA MENGELUH) Andai saja ....
114. SURYANTA:
Andai apa anakku?
115. KUMALA:
(SEDIH) Andai saja dapat. Ingin rasanya aku seperti Nyai Roro Kidul itu. Perawan cantik
yang rela dihanyutkan ke laut demi bakti kepada orang tua. Nasibku nyatanya tak jauh
beda dengannya. Dikorbankan demi kedudukan dan kehormatan orang tua. Yah
mungkin berumah di laut ganas lebih tenteram untuk melupakan segala dendam,
kebencian, dengki, dan ambisi. Di laut tak ada kepalsuan. Vang ada hanya kesetiaan

13
menggapai pantai tak kunjung henti. Tak ada yang bisa memaksakan kehendak karena
segala gerak adalah kesepakatan bersama yang harmoni.
116. SURYANTA:
Ayah tak mengerti apa maksud anakku.
117. KUMALA:
Memang. Mengerti hidup sama sukarnya dengan menebak dalamnya laut. Hidup perlu
penghayatan yang jujur. Dengan kejujuran, barulah terang matahari memandang
kedudukan kita.
118. SURYANTA:
(BIMBANG) Jangan berpelak-pelik anakku. Ayahmu tak pernah mengandung maksud
membuangmu ke laut, seperti ceritera Nyai Roro Kidul.
119. KUMALA:
Ayah maafkan Kumala, jika ingin bertanya tentang sesuatu kepada Ayah?
120. SURYANTA:
Tanyakanlah anakku. Curahkanlah segenap tanyamu, akan kusimak kata-katamu.
121. KUMALA:
(TERDIAM SEJENAK) Baiklah. Benarkah Ayah semalam dari ibu kota kabupaten
menemui Paman Surakah?
122. SURYANTA:
Benar. Apa salahnya, dia 'kan Pamanmu?
123. KUMALA:
(TERISAK MENAHAN EMOSI) Dan telah menjodohkan aku dengan Rambang putra
Paman?
124. SURYANTA:
Demi kebahagiaanmu Kumala.
125. KUMALA:
Bukan demi jabatan untuk menjadi lurah di kampung ini? (MENATAP AYAHNYA, LALU
MEMBUANG MUKA MENATAP LAUT)
126. SURYANTA:
Kumala, dengarkan penjelasan Ayah.
127. KUMALA:
Maafkan, Ayah. Jika penjelasan itu akan menjadi kebenaran yang menyakitkan hati,
lebih baik tak usah kudengar. Untuk apa? Aku lebih rela dihanyutkan ke laut daripada
mengikuti kehendak Ayah yang menetapkan hari depanku, tanpa sepengetahuan dan
persetujuanku terlebih dulu. Biarlah segenap kekecewaan hatiku ini akan terbawa
hanyut bersama ombak yang menghempas pantai.
128. SURYANTA:
(BERGETAR BERWIBAWA) Kumala. Kemarin Pamanmu memintaku datang ke rumahnya
di ibukota kabupaten. Kemudian beliau meminta kesediaanku untuk menjadi lurah di

14
kampung kita ini. Ayah pikir, permintaan adikku itu cukup baik. la tak rela melihat
abangnya ini hidup terlunta-lunta. Sekalian pula Pamanmu membicarakan
perjodohanmu dengan anaknya. Rambang cukup gagah, dia masih sepupumu, dan
demi persambungan tali keluarga apa salahnya jika kau menerimanya. Dia lelaki yang
akan mampu melindungimu jika kelak ayah telah tiada. Tidakkah ini baik? Harusnya
engkau bergembira.
129. KUMALA:
(MENATAP AYAHNYA) Ayah!
130. SURYANTA:
Kuharap kau bisa mengerti jalan pikiran Ayahmu ini Kumala. Sebab inilah saat yang kita
lama nanti-nantikan. Sebentar lagi Ayah akan jadi lurah dan orang-orang akan menaruh
hormat padaku. Kebahagiaan segera datang, engkau pun akan disanjung semua orang.
Kumala, Ayah telah bosan menelan kemiskinan ini. Kemelaratan sudah terlalu lama
menyelimuti rumah kita. Lihat Pamanmu Surakah ia ternyata bisa jadi orang
terpandang, bahkan diangkat menjadi bangsawan oleh Pangeran Sultan Haji. Kini ia
mengulurkan tangan kepadaku, mengulurkan kesempatan yang menarik, mengapa tak
kusambut. Kesempatan sudah digenggaman Ayahmu, haruskah dilepaskan lagi?
Kumala, tugasku hanya ringan saja. Semasa perang ini Ayah bertugas melaporkan
setiap orang yang keluar masuk di kampung ini serta mengawasi kegiatan mereka. Kata
Pamanmu siapa tahu di antara mereka terdapat gerombolan pengacau negeri,
pemberontak kerajaan. Nanti kalau perang sudah usai, kita aman damai barulah Ayah
membenahi administrasi desa, menyetor pajak lain-lain. Itul 'kan tugas mulia.
131. KUMALA:
Tugas mulia? Itu namanya bersekongkol dengan pemberontak. Ingat Ayah, Paman itu
dicap sebagai pemberontak karena berkomplot dengan Sultan Haji, untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah. Mereka memaksa rakyat menanam kopi dan
harus dijual hanya pada kompeni. Itulah sebabnya kompeni mau membantu mereka
melawan Sultan Ageng yang berkuasa.
132. SURYANTA:
Sultan Ageng itulah yang semena-mena. Memeras rakyat, mengenakan pajak yang
berat. Pamanmu menantang kesewenang-wenangan itu bersama Sultan Haji. Demi
menyelamatkan rakyat dari penindasan.
133. KUMALA:
Menyelamatkan rakyat dengan bekerja sama dengan para bangsa penjajah. Ini sangat
riskan. Ayah, ketahuilah pajak dinaikkan karena Sultan Ageng perlu biaya untuk
angkatan bersenjata kerajaan yang berperang menumpas pemberontakan Sultan Haji.
Dan juga untuk membiayai pertahanan dari serangan Belanda. Sultan Ageng justru
berperang karena tak tahan melihat rakyat dipaksa menanam kopi yang kemudian
dibeli Belanda dengan harga yang relatif murah.
134. SURYANTA:
Rakyat lalu dipaksa menanggung beban, dibiarkan menderita. Lihat gaya tentara
kerajaan yang menagih pajak, mereka tinggal main sita jika rakyat tak mampu

15
membayar. Rakyat seperti kita juga tak mampu membayar pajak, menanam kopi.
Apalagi menangkap ikan di laut. Ikan-ikan itu tak punya harga lagi. Mereka ngeri
membayangkan ikan-ikan itu menyantap mayat pasukan yang bertempur dan mati di
laut. Lalu bagaimana nasib nelayan seperti Ayah yang hanya menggantungkan harapan
dan hidup dari melaut. Ke mana harus mencari biaya hidup hari ini, esok apalagi lusa.
Sekarang jaman sudah serba susah. Jaman Si kuat menindas Si Lemah. Makanya kita
harus memihak Si Kuat, agar kita ikut kuat. Lihat cara para perompak mempertahankan
hidup, mereka mempertaruhkan segala keberuntungan hidup pada pilihan nasib. Kini
Ayah memilih nasib yang baik, yang bisa menghasilkan uang dan kedudukan.
Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Hari esok harus kita perjuangankan. Agar
lebih berhasil dari hari ini. Ketahuilah perjuangan mempertahankan hidup itu, berat.
Makanya kita membangun landasan yang kuat hari ini.
135. KUMALA:
Perjuangan mempertahankan hidup tidak dengan mengorbankan orang lain,
menghalalkan segala cara. Apa lagi menjual bangsa dan negara kepada bangsa asing.
Ingat Ayah, belanda-belanda itu datang dengan satu maksud, menguasai perda-
gangan, perekonomian, kemudian menguasai pemerintahan. Mereka tentu telah
berhitung untung ruginya, sebelum jauh-jauh datang ke mari. Pertama bertemu
memang mereka mengambil hati, membujuk rakyat.
Tapi kemudian hari memeras mereka. Sadarkah ayah, di mana-mana pergerakan
bangkit melawan Belanda karena mereka tak tahun ditindas? Orang yang cinta
kemerdekaan bangsanya tentu tak sudi tunduk pada kehendak bangsa asing. Kalau saja
maksud belanda-belanda itu baik, mana mungkin di Makassar para pemberani bangkit,
di Halmahera, di Aceh, dan seluruh nusantara. Mereka bertempur untuk membeli
kemerdekaan dengan da rah, harta, dan nyawa. Kemerdekaan mereka bayar mahal.
Ayah, kita harus sejak awal mengusir kaum kolonial itu. Sebab jika mereka sempat
berpijak di tanah sepetak yang kita jual, maka mereka akan mencengkram petak
selanjutnya jengkel demi jengkel dan akhirnya seluruh Negeri Banten ini. Ayah, kita tak
boleh menjual Tanah Air ini sejengkal pun kepada bangsa asing. Kita bisa belajar dari
sejarah tentang bahayanya. Kita tidak boleh membantu Penjajah itu.
136. SURYANTA:
Ayah tidak membantu belanda-belanda itu. Ayah hanya membantu Pamanmu bekerja.
137. KUMALA:
(SENGIT) Itu sama saja. Karena Paman membantu Sultan Haji, dan Sultan Haji
membantu Belanda. Ayah ini mata rantai pengkhianaan atas Tanah Banten. Kita boleh
saja tidak perduli siapa-siapa yang akan berkuasa, namun kita jangan sampai menjadi
kaki tangan yang menyusahkan rakyat.
138. SURYANTA:
Lalu penolakanmu pada Rambang?
139. KUMALA:
Semua orang kenal siapa dia, dan bagaimana perangainya.

16
140. SURYANTA:
Benar, siapa yang tak mengenalnya. Dia pemuda yang punya masa depan cukup cerah.
Jika engkau jadi disunting olehnya, maka dirimu akan berkilau disinari kecerahan
bintangnya.
141. KUMALA:
(KETUS) la berkilau bukan hanya karena kebaikannya, tapi juga karena tingkahnya
yang buruk. Aku pun kini telah disilaukan sinarnya.
142. SURYANTA:
(BERSEMANGAT) Bagus, kau telah disilaukannya. Itu lebih baik. Kobarkan api itu hingga
menjadi surya cahaya yang bernyala-nyala.
143. KUMALA:
Aku bahkan telah dibakarnya.
144. SURYANTA:
Itu pertanda keberuntungan. Itu akan membuka mata orang-orang ai kampung ini,
membuka mata mereka yang selalu dipalingkan dari keluarga kita yang miskin. Kaulah
putriku yang akan mampu mengangkat martabat keluarga dari orang terhina menjadi
orang terhormat. Kita akan punya kebanggaan di masa depan. Kemuliaan.
145. KUMALA:
Kemuliaan di sisi seorang buaya darat? Kebanggaan di tengah kehinaan?
146. SURYANTA:
Kau menuduh sepupumu Rambang sebagai buaya darat? Tidak mungkin. Kita ini dari
silsilah keluarga terhormat dulu. Keturunan Bangsawan yang terbuang hanya karena
kalah berjudi dan jatuh miskin. Turunan kita terhormat dan pantas dihormati.
147. KUMALA:
Seseorang dihormati bukan dari silsilahnya, tetapi bagaimana ia berlaku sopan dan
menghormati orang lain.
148. SURYANTA:
Teorinya memang begitu, dan itu palsu karena hanya di luar, tapi isi hati orang siapa
tahu? Rambang cukup baik.
149. KUMALA:
Yah luarnya, namun hatinya busuk.
150. SURYANTA:
Dari tadi kau menuduh Rambang dengan fitnah yang buruk, dan kau jadikan itu alasan
untuk menolaknya. Mana bukti keburukan Rambang?
151. KUMALA:
(TEGAS) Memang tanpa bukti adalah fitnah. Namun aku punya bukti karena aku
mengalaminya sendiri.
152. SURYANTA:
Tentang Rambang?

17
153. KUMALA:
Ya. Peristiwa malam kemarin adalah salah satu bukti nyata sifat buayanya. Untung
datang para pelaut itu menyelamatkanku dari nafsu kebinatangan Rambang. Sejak itu
rasa hormatku kepadanya runtuh. Juga seperti gadis-gadis di kampung ini siapa lagi
yang sudi diperistri Rambang meski dimandi harta. Apalagi aku.
154. SURYANTA:
(GUSAR) Berani pula dia melakukan perbuatan tak senonoh kepadamu Kumala?
Bajingan!
155. KUMALA:
Dia berani melakukan kepada gadis mana saja. Sudah cukup banyak gadis-gadis yang
jadi korbannya. Sekarang kuminta Ayah membatalkan segera perjodohanku dengan
Rambang.
156. SURYANTA:
(GUSAR) Membatalkan kesepakatanku dengan Pamanmu? Tidak, tidak! Aku bisa malu.
Di mana lagi kusimpan mukaku ini?
157. KUMALA:
Katakan saja pada Paman bahwa aku yang menolak. Bukan Ayah.
158. SURYANTA:
(MARAH) Mana mungkin. Itu tidak bisa. Tidak mungkin aku menarik kata-kata yang
telah kuucapkan.
159. KUMALA:
Jika kata dan keputusan itu salah, sebaiknya diperbaiki sebelum terlanjur. Mengapa tak
mungkin?
160. SURYANTA:
Di mana kusimpan mukaku di hadapan Pamanmu? (MARAH) Di mana? Selama ini Ayah
selalu tepat dengan4 kata-kata. Kata-kataku sudah jadi keputusan. Apakah hari ini akan
berubah? Tidak bisa, tidak!
161. KUMALA:
Mengapa tidak? Kita ini manusia. Semua manusia bisa saja salah dan berubah. (PAUSE)
Sadarlah Ayah. (BERANJAK PERGI)
162. SURYANTA:
(MENCEGAH) Mau ke mana Kumala?
163. KUMALA:
Ke hutan bakau, lalu ke laut menangkap teripang. (BERUSAHA TERSENYUM) Sekarang
musimnya. Air sementara surut.
164. SURYANTA:
(MENATAP KEPERGIAN KUMALA) Kumala anakku. Maafkanlah Ayahmu. Begitu cepatnya
dirimu berubah. Engkau telah dewasa anakku. Kemarin engkau bocah penurut yang
mungil, kini gadis yang matang jiwa dan raga. Betapa banyak kemajuan sejak engkau
belajar pada Syeh Yusuf sepulang beliau dari Mekkah.Begitu terbuka hati dan

18
pikiranmu. Pandanganmu yang luas pada masalah kemasyarakatan begitu matang. Aku
jadi malu pada diriku yang kian tua papa. Pikiranku telah menjadi demikian sederhana
sehingga gampang berbeda karena sangat memetingkan diri. Kemiskinan telah
membekukan otak, membutakan mata, sehingga jarang bertimbang dengan hati.
Kumala, kalau saja ibumu masih ada di sisiku, tak 'kan pemah jadi begini. Ia selalu
menasehatiku sebelum aku menarik suatu keputusan. Sekarang, aku hampir saja
melakukan kesalahan besar. Hampir menjerumuskan anakku sendiri jadi korban ambisi.
(IA KEMUDIAN MENYULUT ROKOKNYA DAN MENGISAPNYA DALAM-DALAM) Oh Gusti
Sang Hyang. Mungkin telah terlalu banyak dan hitam dosa-dosa di dadaku.
Tunjukkanlah jalan yang lurus bagiku. (DERU OMBAK TERDENGAR MENGGANAS. PETIR
MENYAMBAR DI LANGIT.) Oh, pertanda apa ini?

ADEGAN DUA
Cahaya : Merah tembaga, Blits.
Sound Effect : Deru ombak + gelegar petir.
Musik : Resah

SEORANG WANITA BERPAKAIAN COMPANG-CAMPING (ROMLAH) MENANGIS HISTERIS


MENEMBUS HUJAN DAN BADAI. IA BERTERIAK MEMINTA PERTOLONGAN. SURYANTA
MEMPERHATIKAN.
165. ROMLAH:
Oh, tolong (DIA TERJATUH) Tolong!!! ( MENATAP KETA-KUTAN ) Jangan sakiti aku.
Ampun Gusti, ampun ....
166. SURYANTA:
(MENCOBA MENDEKATI) Ada apa Nak? Ada apa?
167. ROMLAH:
(HISTERIS) Berhenti. Kau, kau mau apa? Jangan coba mendekat, aku akan bunuh diri.
Pergi kau pemerkosa, pergi!!! Aku bunuh kau, aku bunuh kalian. (KEMUDIAN IA
MENANGIS TERSEDU) Oh tolonglah aku, tolong!!! Mereka memaksaku. Merajam
tubuhku, merobek bajuku, memperkosaku. (LEMAH)
168. SURYANTA:
(MENYADARKAN) Tenanglah Nak, aku Paman Suryanta. Engkau ingat bukan? Romlah
masih ingat pada Paman? Ke marilah mendekat.
169. ROMLAH:
(TIBA-TIBA MATANYA NYALANG KEMBALI) Tidak, jangan sentuh aku. (MENYERANG
DENGAN BEBERAPA CAKARAN) Pergi kau jahannam. Jangan coba mendekat.
Pemerkosa pergiiiii !! Belum puas kau dengan napsu binatangmu? Kau tidak bisa
membujukku dengan uangmu, jangan harap. (BERTERIAK HISTERIS) Oh Gusti, berikan
aku kekuatan untuk menghadapi mereka. Akan kumusnahkan penjahat-penjahat itu. Oh
Sang Hyang mengapa Kau diam saja? (GARANG KEMBALI) Kalau Engkau hanya diam,
aku sendiri yang akan membunuh mereka. Dengan tanganku sendiri. (MENATAP
19
SURYANTA) Kalau kau berani mendekat, kau akan menerima akibatnya. (KEMUDIAN
BANGKIT PERLAHAN DAN LARI MENJAUH) Kali ini kau selamat. Karena tubuhku terasa
remuk karena letih dan Sang Hyang masih diam membisu. Tapi kalau Dia sudah
berkata kepadaku, Awas!!! Kalian pasti mampus di tanganku. (TERTAWA MELOLONG
TERDENGAR HINGGA KEJAUHAN)
170. SURYANTA:
Kasihan anak itu. Dia gadis cantik yang baru pindah. Siapa pula yang telah
memperkosa, menjahannaminya? Siapa? Ingatannya kini nampak terganggu karena
derita Kasihan dia. (IA MENGHELA NAPAS. LALU MENATAP LANGIT) Oh Gusti pencipta
semesta raya, betapa banyak kejadian hitam di kampung ini! Petaka apa yang bakal
terjadi? (MENGHELA NAPAS. DAN MASUK RUMAHNYA.)

ADEGAN TIGA
Cahaya : Remang biru.
Sound Effect : Suara orang-orang ribut
Musik : Gendang/beduk ditalu satu satu, sesekali diselingi simbal.

DARI BALIK KELAM NAMPAK CAHAYA OBOR BERKEJARAN. KEMUDIAN NAMPAK


ORANG-ORANG BERLARIAN. BEBERAPA LELAKI BERSEMBUNYI DI ANTARA PEPO-
HONAN YANG MENYEMAK. ADA YANG BERLINDUNG DI BAWAH TIANG TANGGA
RUMAH. RAMBANG, CULA, DAN RONGGENG DATANG DENGAN TERGESA. SULUH DI
TANGANNYA DIPAKAI MENYIANGI TEMPAT-TEMPAT GELAP YANG DICURIGAI MEREKA.
(MEREKA NAMPAKNYA BARU SAJA HABIS MERAMPOK) MELIHAT KE KANAN DAN KIRI
DENGAN CERMAT.
180. RAMBANG:
Pasti di sekitar sini. Ayo cari. Jangan biarkan lolos.
RONGGENG MELIHAT GELAGAT MENCURIGAKAN. IA MENDEKATINYA. ORANG YANG
BERSEMBUNYI DI TEMPAT ITU DENGAN KETAKUTAN TIBA-TIBA SAJA MELOMPAT
KELUAR DAN SEGERA BERUSAHA MELOLOSKAN DIRI. KELOMPOK RAMBANG MENCOBA
MENYERGAP MEREKA. KAWAN-KAWAN PELARIAN ITU DATANG MEMBANTU. TERJADI
PERKELAHIAN TAK SEIMBANG. ORANG-ORANG ITU KEMUDIAN MELARIKAN DIRI LAGI.
RAMBANG DAN KAWAN-KAWAN MENGEJAR MEREKA.
SEMUA EXIT.

20
BABAK KETIGA

ADEGAN SATU

Cahaya : Senja merah


Sound Effect : Deru ombak dan suara burung laut
Musik : Syahdu mengiringi

NAMPAK KUMALA PULANG BERSAMA MANGARA. RAMBUTNYA YANG PANJANG


TERURAI MASIH BASAH KARENA AIR LAUT. SETIBANYA DI RUMAH IA LALU
MENJEMUR PAKAIANNYA YANG BASAH LALU MENYALAKAN API, MENGHANGATKAN
BADAN SAMBIL MENATAP PANTAI. DI TEPI PANTAI MANGARA MENATAP OMBAK YANG
BERKEJARAN.
181. KUMALA:
Mengapa hanya diam?
182. MANGARA:
Aku tengah memperhatikan burung-burung camar itu terbang pulang. Yah ia bisa
pulang setelah mengitar pantai dan pergi jauh seharian, karena ia punya rumah. Betapa
bahagianya mereka.
183. KUMALA:
Kapan kalian akan pulang?
184. MANGARA:
(MENGHELA NAPAS) Entahlah. Bagiku semua tak pasti. Mungkm besok, lusa, bulan
depan, atau tahun depan baru kami berangkat. Hidup di pengasingan begini tak ada
kepastian. Perang, nampaknya masih akan lama berkecamuk. Entah kapan akan
berakhir.
185. KUMALA:
Nampaknya telah demikian rindu akan kampung halaman ?
186. MANGARA:
Hati siapa di rantau orang, yang tak rindu kampung tanah kelahiran. Begitu juga kami
merindukan dapat kembali ke Butta Gowa dengan membawa panji kemenangan. Kami
rindu berkumpul sanak saudara, kerabat di seberang sana. Namun kemenangan masih
tinggal setumpuk harapan yang entah kapan datangnya. Setelah kekalahan di perairan
Buton dulu, di Banten ini kami hanya hidup sebagai orang yang kalah dan terusir.
Hanya budi baik Sultan Ageng yang mengembalikan kepercayaan diri kami untuk tetap
bermental prajurit laut yang akan kembali memenangkan perang. (PAUSE) Kami harus
bangkit dan menang.
187. KUMALA:
Siapakah yang kalah dan menang dalam perang sebenarnya? Kedua pihak pasti
memberikan pengorbanan jiwa dan harta. Adakah kemenangan di dalam pengorbanan
yang besar seperti itu? Keduanya sebenarnya kalah karena lebih mengutamakan naluri

21
saling membunuh sesamanya dari pada pikiran. Perang di mana saja telah membawa
petaka. Di Banten atau di Gowa sama saja. Untuk apa sebenarnya perang dan
kekerasan ini? Semua pihak merasa berperang untuk kepentingan rakyat. Tapi
nyatanya rakyat yang menderita. Ketamakan telah menguasai Si Kuat untuk menindas
Si Lemah.
188. MANGARA:
Aku juga tak pernah mengerti itu Kumala. Telah lama aku muak pada peperangan dan
kekerasan. Tapi hal itu selalu ada di sekitarku, melibatkan diriku tanpa dapat kuhindari.
189. KUMALA:
Memang sulit menghindari takdir. Seperti juga sulitnya mengetahui takdir esok hari.
Misalnya kapankah berakhir perang ini?
190. MANGARA:
Perang akan berakhir jika kemerdekaan dan kebebasan sudah datang.
191. KUMALA:
Bagaimana sebenarnya hidup bebas dan merdeka itu?
192. MANGARA:
Mungkin seperti hidup burung-burung yang bebas terbang dan pergi ke mana saja. Ke
pantai bermain ombak menangkap ikan, atau ke ranting pohon berayun-ayun.
193. KUMALA:
Alangkah indahnya jika demikian. Namun adakah kehidupan manusia seperti itu?
Manusia sesuai kodratnya selalu cenderung hidup berkumpul, bermasyarakat. Nah
dalam bermasyarakat itu ada aturan-aturan yang harus ditaati bersama dan itu
membuat kemerdekaan itu kabur kembali.
194. MANGARA:
Kemerdekaan harus dimulai dari hati yang merdeka dan menerima nilai-nilai yang
wajar. Seperti pantai yang tak pernah menyesali mengapa ombak menghempasnya.
195. KUMALA:
Ombak dan pantai menerima nasib. Ombak suka, ombak duka. Ombak hitam, ombak
putih silih berganti berdebur kemudian saling menerima bentuk diri masing-masing, dan
pantai jadi saksi abadi pembauran itu. Ya ombak adalah emosi yang menghempas
pantai yang pikiran dan pertimbangan. Harusnya dekat, harusnya akrab.
196. MANGARA:
Harusnya dekat, harusnya akrab, bersahabat. Betapa indahnya. Mungkinkah semua
menjadi kenyataan?
197. KUMALA:
Mengapa tidak? Ombak dan pantai akrab setelah sering bertemu.
198. MANGARA:
Aku ingin seperti ombak itu, selalu ke pantai menggapaimu. Tapi aku takut ini hanya
dalam mimpi.

22
199.KUMALA:
Mangapa dalam mimpi?
200. MANGARA:
Karena hanya mungkin dalam mimpi. Sejak semula kita bertemu Kumala, aku selalu
menemukanmu dalam mimpiku, mimpi yang selalu kudambakan menjadi kenyataan.
Tapi aku takut kecewa pada mimpiku, karena kenyataan lain terjadi pada peristiwa
malam itu.
201. KUMALA:
Apa yang membuatmu kecewa?
202. MANGARA:
Tentang kenyataan dirimu dan Rambang.
203. KUMALA:
Dia bukan siapa-siapa lagi bagiku.
204. MANGARA:
Tapi bagi kita dia bisa jadi penghalang. Kabarnya telah dijodohkan engkau dengannya,
Kumala.
205. KUMALA:
Kehendak Ayah memang begitu. Tapi itu dulu. Sekarang Ayah telah mengubah
keputusannya sejak mendengar kejadian malam itu. Telah kujelaskan semua
kepadanya. Kini pintu hatiku telah tertutup untuk Rambang.
206. MANGARA:
Akankah tertutup selamanya?
207. KUMALA:
Sampai ada orang lain yang mengetuknya.
208. MANGARA:
Kalau kumiliki kesempatan, ingin aku mengetuknya.
209. KUMALA:
Pintu telah di hadapan. Kunci telah di tangan. Mengapa tak mengefuk dan
membukanya?
210. MANGARA:
Membuka pintu mungkin ada syaratnya?
211. KUMALA:
Benar, yang boleh masuk hanya yang jantan, jujur, dan bertanggung jawab.
212. MANGARA:
(MENGULURKAN TANGANNYA) Kumala, maukah engkau menyambut tangan yang
kuulurkan kepadamu? Kau sangat mempesona.
DARI DALAM SUARA AYAH KUMALA MEMANGGIL-MANGGIL.

23
213. SURYANTA:
Kumala, engkau sudah pulang Nak? Bagaimana hasil tangkapanmu? (PAUSE)
Nampaknya kau sangat ceria hari ini.
214. KUMALA:
Hasilnya lumayam Ayah. Aku menangkapnya dengan tangan. Semua yang terbaik.
215. SURYANTA:
Bagimu memang hanya yang terbaik paling pantas. (MENDEKATI KUMALA DAN
MENATAP MANGARA) Hai Kumala, nampaknya engkau membawa teman.
216. KUMALA:
(MEMANDANG MANGARA) Dia ayahku.
217. MANGARA:
(MENGULURKAN TANGAN) Saya Mangara. Sangat gembira rasanya dapat berkenalan
dengan Bapak. Kami datang dari seberang lautan. Tanah Makassar.
218. KUMALA:
Bang Mangara ini yang menyelamatkanku dari perbuatan jahannam Rambang. Kalau
saja terlambat entah bagaimana jadinya.
219. SURYANTA:
(RAMAH) Oh terima kasih Nak Mangara. Saya senang dengan lelaki pemberani. Mari
silakan masuk ke gubuk karni. Kumala, bagaimana jika kita hidangkan kopi tubruk
untuk tamu kita ini?
220. KUMALA:
Kalau Bang Mangara setuju, boleh saja.
221. MANGARA:
Saya senang pada apa saja.
MUSIK BERDENTANG SEJENAK.

ADEGAN DUA
Cahaya : Senja kian merah
Sound Effect : Musik kejutan
Musik : Simbal kemudian gendang satu-satu

TAK BERAPA LAMA DATANG RAMBANG BERSAMA PENGAWALNYA DAN MENGHARDIK


MENANTANG MANGARA DARI JAUH.
222. RAMBANG:
Mangara, tunggu ! ! !
223. SURYANTA:
(TERSENTAK) Rambang. Berani dia datang ke mari setclah mencoreng arang di
keningku. Kalian mau apa?

24
224. RAMBANG:
Paman, kami datang untuk menangkap anggota kelompok perompak yang telah
mengacau dan menyebar keonaran di kampung ini. Kata orang dia melarikan diri ke
mari.
225. SURYANTA:
Perompak? Di mana mereka?
226. RAMBANG:
Jika semut di pagar orang terlihat. Gajah di depan mata tiada nampak. Jangan coba
bersiasat.
227. SURYANTA:
Jaga mulutmu Rambang.
228. RAMBANG:
Jangan berlagak bodoh Paman. (MENUNJUK MANGARA) Serahkan dia pada kami,
sebelum kami melakukan kekerasan.
229. SURYANTA:
Dia tamuku. Aku wajib melindunginya. Berani kau membuat keonaran di rumahku.
230. RAMBANG:
Pengacau itu harus ditangkap Paman.
231. SURYANTA:
Apa alasanmu menangkapnya?
232. RONGGENG:
Kurang ajar tulang tua ini. Apakah tulang reyotmu cukup mampu melindunginya?
233. CULA:
Jangan-jangan tulang tuamu jadi santapan belatung liang kuburan. Serahkan pengacau
itu pada kami.
234. RAMBANG:
Kalau Paman menunjukkan kerja sama yang baik, maka kami bisa melupakan peristiwa
ini dan tidak akan melibatkan Paman pada urusan selanjutnya. Paman jangan butakan
mata. Dia itu anak buah perompak rombongan Karaeng Galesong yang membantu
Sultan Ageng berperang melawan junjungan kita. Mereka adalah buronan kompeni
yang lari dari Halmahera. Ingat, Paman jangan membuat kekeliruan kecil yang akan
membuat Paman kehilangan kesempatan menjadi lurah di kampung ini. (MENYINDIR
LICIK) Saya masih menghormati Paman, untuk itu saya masih meminta Paman mau
menyerahkannya pada kami.
235. SURYANTA:
Muak aku mendengar khotbahmu yang kosong itu. Bangsat. Masih juga kau berani
memanggilku Paman setelah kau menggoda Kumala malam lalu.

25
236. KUMALA:
Ayah, merekalah pemberontak yang sebenarnya. Perampok harta rakyat, penindas
yang berkomplot dengan Sultan Haji.
237. RAMBANG:
(HILANG KESABARAN) Saya minta ketegasan Paman untuk mengambil sikap.
238. SURYANTA:
Sikapku sudah jelas!
239. RAMBANG:
Jika itu sikap kalian, janganlah menyesal kemudian hari. Dan karena kalian telah berani
membela buronan itu di depan kami, tentu sadar pula akan segala akibatnya.
240. MANGARA:
(MAJU) Tangkaplah aku jika kalian memang punya kepandaian dan keberanian.
241. RONGGENG:
Sombong, dia harus dihajar agar tahu siapa kita.
242. CULA:
Mulutnya harus dihancurkan.
243. MANGARA:
Jangan hanya di mulut. Cobalah!
244. KUMALA:
Mangara !!!
245. MANGARA:
Tenanglah Kumala. Jangan gusar. Saya bisa membcla diri dari pengecut-pengecut itu.
(MENDEKATI LAWANNYA) Aku anak Makassar, sejak dulu kami pantang bergeser dari
kcbenaran d.in keputusan semula. Yang benar akan dikatakan benar, dan yang salah
harus dikatakan salah. Kehormatan kami hanyalah bila satu kata dan tindakan. Nah
silakan kalian memulai.
246. CULA:
Oh rupanya tikus ini yang punya nyali harimau dan berlagak jagoan di hadapan Tuanku
dulu.
247. RONGGENG:
Tikus ini harus segera dijadikan bangkai.
248. MANGARA:
Apakah kepandaian kalian hanya bcrsilat lidah?
249. RAMBANG:
Jangan angkuh anak muda. Kalau dulu malam kemenanganmu. Maka hari ini harus
menjadi milikku.
250. KUMALA:
Jangan melakukan kekerasan.

26
251. RAMBANG:
Diam! Inilah saatnya kau akan menyaksikan pembalasanku, Kumala. (PADA MANGARA)
Kau telah mempermalukan aku dan tebusannya harus nyawa.
RAMBANG MENYERANG MANGARA DENGAN BEBERAPA PUKULAN YANG SEGERA
DIELAKKAN DENGAN SEMPURNA OLEH MANGARA.
252. SURYANTA:
Kau harus mulai dengan mengalahkan aku Rambang!
253. RAMBANG:
Jangan turut campur!
254. RONGGENG:
(KEBETULAN DEKAT SURYANTA DAN SEGERA MELEPASKAN PUKULAN) Rasakan
kepalamu pemberontak! (TERJATUH KARENA TERLALU BERNAFSU MEMUKUL) Aduh,
berani kau menjatuhkan aku!
255. CULA:
(MEMBANTU RONGGENG) Ayo kita hajar dia.
256. MANGARA:
(MENANGKIS SERANGAN MEREKA DAN KEDUANYA SEGERA TERJAJAR BEBERAPA
TINDAK KE BELAKANG) Jangan hanya berani terhadap orang tua.

ADEGAN TIGA

Cahaya : Merah. Fokus putih pada beberapa pemeran.


Sound Effcct : Geledek menggelegar dan dentum meriam terdengar.
Musik : Resah

MASUK ROMLAH BERLARI DENGAN TAWA HISTERIS. IA MENATAP WAJAH-WAJAH


SATU PER SATU. LALU MENATAP TAJAM PADA KUMALA DAN KEMUDIAN TERPAKU
PADA RAMBANG. IA MENDEKATINYA PASTI. PERKELAHIAN TERHENTI.
257. ROMLAH:
Kau di sini. (TERTAWA MENGANCAM) Akhirnya kutemukan juga engkau bangsat.
(MENENGADAH KE LANGIT) Terima kasih Gusti, Engkau telah berkata, bahkan
mengantar pemerkosa itu datang ke mari. (MENATAP RAMBANG) Kau lupa padaku ya?
258. RAMBANG:
Siapa kau wanita busuk? (MENCOBA MENGHINDAR)
259. ROMLAH:
Perempuan busuk katamu. (TERTAWA KECUT) Kau benar aku kini bangkai busuk akibat
perbuatanmu. Karena kau telah menghancurkan hidupku.
260. CULA:
Minggirlah perempuan gila!

27
261. ROMLAH:
(MENATAP CULA DENGAN GARANG) Rupanya kau ada di sini anjing kurap. Kau pun
akan menerima kutukan yang sama dengan Tuanmu. (MENATAP LANGIT) Oh Gusti, dia
juga di sini. (BERALIH LAGI) Kau harus dipotong tanganmu karena tangan itu telah
kotor memaksa sekian banyak wanita ke jurang kenistaan. Tanganmu harus kuambil.
262. CULA:
(MENAMPAR ROMLAH) Pergi bangsat.
263. ROMLAH:
Aku harus pergi ? Mengapa? Tidakkah engkau mau menikmati tubuhku lagi? Engkau
tidak berani binatang. Nah perkosalah aku di depan mata orang banyak. Ayo!
264. SURYANTA:
Jadi benar mereka!
265. RONGGENG:
Pelacur busuk. Mulutmu busuk menyebar fitnah.
266. ROMLAH:
Oh kau juga di sini buaya darat. Mulutku busuk katamu. Bukankah engkau yang paling
kagum pada mulut dan bibirku? Ayo sekarang lumatlah bibirku. Tak usah berlagak suci.
267. RAMBANG:
(MEMBENTAK) Cukup ceritera bohong itu. Sekarang pergi dari sini.
268. ROMLAH:
Pergi? Bukankah kau yang mengunci pintu kamar dan tak melepasku pergi? Betapa
anehnya dunia. Jangan coba lari dari tanggung jawab kalian. Diriku yang kini berlumur
noda dosa kalian akan kau campakkan begitu saja. (MENANGIS PILU) Kalian harus
membayar dengan darah dan nyawa. (SESUNGGUKAN DAN BERJALAN PELAN
MENDEKATI RONGGENG. RONGGENG TERNGANGA KETIKA PISAU DI PINGGANGNYA
DIRAMPAS. ROMLAH LANGSUNG MENIKAM RAMBANG. RAMBANG TAK SEMPAT MENG-
HINDAR) Ini pembalasanku. (TERIAK LANTANG)
269. CULA:
Tuan Muda awas !!! (BERGERAK KE ARAH ROMLAH, TAPI IA JUGA TERLAMBAT.
LENGANNYA TERSABET PISAU DAN MENGUCURKAN DARAH)
270. RONGGENG:
Tuan Muda terluka.
271. RAMBANG:
Dia menikamku. (TERHUYUNG. WAJAHNYA PASI) Aduh aku basah.
272. CULA:
Ronggeng, tangkap perempuan itu. Aduh lenganku kena!
273. RONGGENG:
Perempuan penyebar kematian. Kau harus mati.

28
274.ROMLAH:
(TERTIKAM. DAN JUGA SEMPAT MENCEKIK LEHER RONGGENG)
275. SURYANTA:
Romlah, hati-hati Nak. (IA TERLAMBAT MENCEGAH)
276. ROMLAH:
Oh Gusti, ia merobek perutku Gusti. Tapi aku telah puas. Dendamku telah terbalas.
(MENENGADAH KELANGIT) Oh Gusti betapa ringan tubuhku rasanya. (BANGKIT LALU
LARI MENJAUH SAMBIL TERTAWA MELOLONG) Aku akan datang kepadamu Gusti.
(EXIT)
MEREKA SEMUA TERPAKU SEJENAK.

ADEGAN EMPAT
Cahaya : Merah suram lalu Blits berkelebat
Sound Effect : Dentum meriam
Musik : Gendang ditabuh resah.

SUARA MERIAM BERBALASAN DARI BEBERAPA PENJURU. RAMBANG BANGKIT. SEMUA


BANGKIT MENYIMAK KEADAAN.
277. RAMBANG:
Mereka telah datang. Kawan-kawan kita datang.
278. CULA:
Belanda-belanda itu datang membantu kita.
279. RONGGENG:
Itu pasti dentam meriamnya, mereka menepati janji.
280. RAMBANG:
Kita akan jadi kuat. Kita pasti disegani lawan-lawan kita. Kita pasti menang. Oh hidup
Ratu Wilhelmina. (MENUDING MANGARA) Kalian tak 'kan dapat lolos dari kampung ini.
Kalian semua harus mati. (KEMUDIAN IA MERASAKAN LUKANYA PERIH) Ronggeng,
Cula. Tolong aku. Lukaku Cula (NAPASNYA SEMAKIN MEMBURU.)
281. RONGGENG DAN CULA:
Tuanku !!! (MEMAPAHNYA BERDIRI)
282. KUMALA:
(CEMAS) Bang Mangara. Pergilah sebelum terlambat.
283. SURYANTA:
Pergilah Nak. Cepat. Mereka segera datang ke tempat ini. Kalau mereka bertiga aku
masih sanggup menghadapinya.

29
284. MANGARA:
(TETAP TERPAKU) Tidak, aku tidak akan pergi Pak. (PAUSE) Ke mana lagi aku harus
pergi? Aku bosan berlari. Aku akan bertarung menghadapi mereka. Di sini aku wajib
melindungi kalian.
BEBERAPA PELAUT SAHABAT MANGARA MASUK TERGESA.
285. PELAUT I:
Mangara, kompeni telah datang dengan meriam lela malela. Kita akan dihancurkannya.
Ayo cepat ke perahu.
286. PELAUT II:
Cepat Mangara, perahu-perahu kita akan segera bertolak ke Jawa Timur. Sultan Ageng
telah kalah. Kita tak mungkin bertahan lagi.
287. RAMBANG:
Kalian tak bisa lolos. Tak akan mungkin. Kalian telah terkepung.
CULA DAN RONGGENG LARI KETAKUTAN KETIKA PARA PELAUT MENDEKATI
RAMBANG.
288. PELAUT I:
Heh pengkhianat bangsa. Kami pergi bukan karena kami takut. Tapi untuk menyusun
kekuatan baru dan bangkit kembali melawan kapan dan di mana saja.
289. RAMBANG:
Perlawanan kalian akan sia-sia.
290. PELAUT II:
Tak ada perjuangan kemerdekaan yang sia-sia. Semua akan dicatat dan dikenang oleh
generasi mendatang.
291. PELAUT I:
Engkau pun akan dicatat dan dikenang selamanya oleh generasi bangsa, sebagai
pengkhianat. (MENIKAM RAMBANG).
292. RAMBANG:
Ronggeng, Cula, jangan tinggalkan aku. Aku akan menghadiahi kalian kekuasaan dan
harta. Ronggeng, Cula!
RAMBANG PERGI MEMBAWA LUKANYA YANG KIAN PARAH. MERIAM BERDENTAM KIAN
GENCAR. PELAUT MEMAKSA MANGARA.
293. PELAUT II:
Mangara, kita tak punya waktu lagi. Ayo!
294. PELAUT I:
Jangan sia-siakan hidupmu.
295. MANGARA:
Tak 'kan sia-sia sahabat. Pergilah. Kematian hanya datang kalau sudah takdir.

30
296. KUMALA:
Pergilah Bang, mereka benar. Kekuatan musuh jauh lebih besar. Jangan berkorban sia-
sia.
297. MANGARA:
Tidak Kumala. Kita juga masih punya kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
Kita punya semangat, ketabahan, dan keberanian. (PAUSE) Aku bersumpah akan
menghadapi mereka dengan pengorbanan apa pun. (KEPADA PARA PELAUT) Kuhargai
rasa persaudaraan kalian, namun kuminta izinkan aku pada keputusanku. Lanjutkanlah
perjuangan kita sampai Tanah Gowa bebas dari cengkeraman bangsa penjajah.
Kibarkan bendera kemenangan di sana. Kini tinggalkanlah aku sahabatku. Ini hanya
salah satu sumbangsih bagi tanah air untuk melawan musuh. Berjuang di sana atau di
sini bagiku sama saja. Perlawananku kumulai lagi dari sini dan tak 'kan pernah berhenti
sampai kemenangan di tangan kita.
298. PELAUT I:
Tapi bertahan di sini adalah bunuh diri, Mangara. Kita masih dapat selamat dan terus
bertempur melawan mereka dalam posisi yang lebih baik.
299. PELAUT II:
Ayolah Mangara. Di laut kita hancurkan mereka.
300. MANGARA:
(PASTI) Jangan lagi paksa aku sahabat. Ini keputusanku. To'do'puliku! (MEMANDANG
JAUH)
301. SEMUA:
Mangara !!!
302. MANGARA:
Selamat jalan. Selamat berjuang.
DENGAN BERAT HATI PARA PELAUT PERGI. SUARA DENTUMAN KIAN DAHSYAT.
LAMPU PERLAHAN PADAM BERSAMA DENTUM BERIKUTNYA.
ADEGAN PENUTUP
Cahaya : Perlahan redup
Sound Effect : Deru ombak kian ganas.
Musik : Genderang dan terakhir ditutup Pakanjara'.
Off Sound : Suara orang yang melagukan Hymne yang sakral.
(Lagu Dongang-Dongang)

TERLIHAT SILHOUETTE ORANG-ORANG MEMBENTUK KOMPOSISI MONUMENTAL DAN


BAYANG-BAYANG
BENDERA BERKIBAR. SESEORANG ANGNGARU MENGUCAPKAN IKRAR KESETIAAN DI
BAWAH BENDERA YANG KIAN BANYAK BERDATANGAN.
CAHAYA PADAM. SELESAI

31
Lampiran 1

LAGU "BOMBANG TALLUWA"

Sitamparammi Kalau Andi……..


Bombanga le’ba kupasang sayang
E Aule pabattu sai
Nakukku dinging-dingingku sayang

Bombang Galluru Kalau Andi


Antappassangi kalenna sayang
E aule tambungi gosse
Tujaiya pa’risi’na sayang

(Dikutip dari lagu karangan B. Manjia)

32
Lampiran 2

Syair Angngaru
I kau anging..............
naki leko' kayu
I rikko anging.............namarunang leko'kayu
Naiyasani madidiyaji nurunang.
I kau je'ne

Naki' batang mam manyu'


Assolongko je'ne.......Nammamanyu batang kayu
Naiyasani Sempo'bonampa nuanyu'.

I kau Jarung.........
Naikambe bannang panjai'
Anta'leko jarung namminawang bannang panjai'
Punna sallang takammaya aruku ridallekannu
pangkai jerakku, cakkalawara arengku
naki sare dawa' eja
Pauangi ana' ri boko
Pasangi ana' tannjari
Tumakkanaya na tanarupai kananna

Dipetik dari "Ikrar" yang diucapkan Pacallaya


dan Kasuwiang Salapanga dalam buku SEJARAH GOWA
oleh Abd Razak Daeng Patunru.

33
Lampiran 3

LAGU "DONGANG-DONGANG"'

Takunjunga bangun turu' galle


naku ginciri' gulingku
kualleanna tallanga natoalia dongang-dongang.....E apami gau.
Kusoronna biseangku galle
kucammpa'na sombalakku
tamammelakka punna taeyai labuang dongang-dongang.....Ia bela karaeng

Terjemahan:
Semula kuperturutkan arus mengalir
kemudi kutancapkan
dan kupilih lebih baik tenggelam daripada surut tanpa hasil
Kudayung sampanku
laju kukembangkan layar
pantang berbelok ke arah lain kecuali arah pantai berlabuh

- Dipetik dari sebagian lagu Makassar "Dongang-Dongang" (NN)


- Dinyanyikan seperti Hymne oleh sebuah koor tanpa musik

34

Anda mungkin juga menyukai