Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu hal yang bisa menyebabkan kegagalan pada elemen sebuah konstruksi
mesin adalah beban yang bekerja pada elemen mesin besarnya melebihi kekuatan material.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh beban-beban tersebut terhadap kekuatan lelah
material poros, maka diperlukan pengujian material menggunakan benda uji (spesimen) dan
disertai dengan analisa maupun perhitungan secara teliti (Budiman, 2016).
Setiap material yang diuji dibuat dalam bentuk sampel kecil atau spesimen. Spesimen
pengujian dapat mewakili seluruh material apabila berasal dari jenis, komposisi dan
perlakuan yang sama. Pengujian yang tepat hanya didapatkan pada material uji yang
memenuhi aspek ketepatan pengukuran, kemampuan mesin, kualitas atau jumlah cacat pada
material dan ketelitian dalam membuat spesimen.
Untuk mengetahui sifat fisis dan sifat mekanik tersebut perlu dilakukan pengujian.
Pengujian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui berbagai sifat fisis dan sifat mekanis
suatu material. Berdasarkan sifat-sifat tersebut nantinya akan dimungkinkan untuk
menentukan jenis suatu bahan yang tidak diketahui sebelumnya. Pada praktikum kali ini
terdapat 4 pengujian, yaitu :
1. Uji Densitas
Pengujian densitas dilakukan dengan mengukur massa dengan menggunakan
timbangan dan dilanjutkan dengan mengukur volume berdasarkan pertambahan air pada
gelas ukur ketika dimasukkan material uji. Setelah mengetahui nilai densitas suatu benda
maka akan diketahui perkiraan jenis dari material tersebut.
2. Uji Tarik
Uji Tarik dilakukan untuk mengetahui besarnya kekuatan maksimum, tegangan luluh,
dan regangan maksimum dari material uji dari kurva yang didapatkan setelah uji tarik
dilakukan.

1
2

3. Uji kekerasan
Pengujian kekerasan bertujuan untuk mengetahui nilai kekerasan dari masing-masing
spesimen uji. Metode pengujian tergantung pada jenis dari material yang diuji. Pada
praktikum kali ini menggunakan metode Rockwell.
4. Uji Mikrografi
Uji mikrografi bertujuan untuk mengetahui dan melihat struktur mikro pada specimen
uji dengan menggunakan mikroskop optic. Setelah diketahui struktur mikronya sehingga
dapat diketahui jenis dan sifat dari material tersebut.

1.2 Tujuan
Praktikum Sifat dan Struktur Material memiliki beberapa tujuan agar pratikan
mampu mencapai tahap-tahap dalam pratikum, tujuannya sebagai berikut :
1. Mengetahui nilai densitas material uji
2. Mengetahui nilai yield strength, ultimate tensile strength, percent elongation, dan
kontraksi material uji
3. Mengetahui nilai kekerasan material uji
4. Mengetahui struktur mikro pada material uji
5. Mengetahui dan menyimpulkan jenis material yang digunakan dalam pengujian

1.3 Rumusan Masalah


Pada rumusan masalah kali ini praktikan diberi sebuah spesimen dan harus dapat
mengidentifikasi spesimen yang digunakan pada praktikum kali ini. Untuk dapat
mengidentifikasi spesimen kali ini praktikan harus melakukan beberapa uji coba pada
spesimen, beberapa uji coba yang dilakukan pada praktikum struktur dan sifat material kali
ini adalah uji densitas, uji kekerasan, uji tarik, dan uji mikrografi.
Untuk dapat mengidentifikasi spesimen praktikan memakai penggunaan alat
praktikum, mengetahui nilai dari densitas, yield strength, ultimate tensile strength, percent
elongation, kontraksi material, dan nilai dari uji kekerasan. Praktikan juga harus mengetahui
struktur yang dimiliki dari spesimen yang di ujikan.
3

Berdasarkan dari hasil yang didapat dari pengujian yang telah dilakukan, praktikan
mampu membandingkan struktur yang didapat dari pengujian dengan struktur asli dari
material sebenarnya. Sehingga praktikan mampu menentukan struktur dan sifat asli dari
material yang di ujikan.

1.4 Batasan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan nya makan penulisan dan pembahasan
laporan ini memiliki batasan masalah, yaitu:
1. Spesimen uji yang digunakan untuk pengujian adalah logam
2. Pengujian yang dilakukan sesuai dengan ASTM E-8 (uji tarik), ASTM E-18 (uji
kekerasan), dan ASTM E-3 (uji mikrografi)
3. Pengujian dilakukan pada temperatur ruangan
4. Material uji tidak diberi perlakuan panas terlebih dahulu

1.5 Sistematika Penulisan


Laporan praktikum ini terdiri dari 5 bab dengan susunan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi tentang latar belakang, tujuan praktikum, batasan masalah, rumusan
masalah, dan sistematika penulisan
BAB II DASAR TEORI
Dasar teori berisi tentang dasar-dasar yang diperlukan dalam melakukan praktikum, antara
lain: material, uji densitas, uji tarik, uji kekerasan, uji mikrografi, dan perlakuan panas.
BAB III METODOLOGI PENGUJIAN
Metodologi pengujian berisi tentang tahapan-tahapan dalam proses pengujian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahsan berisi tentang data-data dan analisa yang diperoleh dari proses
pengujian.
4

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan dan saran berisi beberapa kesimpulan dan saran dari hasil praktikum struktur
dan sifat material.
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Material
Material adalah segala sesuatu yang mempunyai massa dan menempati ruang.
Ilmu mengenai material mencakupi penelitian, pengembangan, dan aplikasi yang
merupakan bagian dari pendeketan untuk kebutuhan dan unsur (Oshida, 2013).
Secara umum, bahan padat telah dikelompokkan dengan mudah menjadi tiga
kategori dasar: logam, keramik, dan polimer. Selain itu, ada komposit, yang
merupakan kombinasi rekayasa dari dua atau lebih bahan yang berbeda (Callister,
2009). Berikut merupakan pengklasifikasian material:
1. Logam
Material dalam jenis ini tersusun dari satu atau lebih elemen logam (misal:
besi, aluminium, tembaga, titanium, emas, dan nikel), dan seringkali juga tersusun
atas unsur non logam (misal: karbon, nitrogen, dan oksigen) dalam jumlah yang
relatif kecil (Callister, 2009).
A. Logam Ferro
Logam ferro adalah logam besi (Fe). Besi merupakan logam yang penting
dalam bidang teknik, tetapi besi murni terlalu lunak dan rapuh sebagai bahan kerja,
bahan konstruksi dll. Oleh karena itu besi selalu bercampur dengan unsur lain,
terutama zat arang/karbon (C). Logam ferro juga disebut besi karbon atau baja
karbon. Bahan dasarnya adalah unsur besi (Fe) dan karbon (C) , tetapi sebenarnya
juga mengandung unsur lain seperti : silisium, mangan, fosfor, belerang dan
sebagainya yang kadarnya relatif rendah. Unsur-unsur dalam campuran itulah yang
mempengaruhi sifat- sifat besi atau baja pada umumnya, tetapi unsur zat arang
(karbon) yang paling besar pengaruhnya terhadap besi atau baja terutama
kekerasannya. Contoh logam ferro diantaranya yaitu Besi Tuang, Besi Tempa, Baja
Lunak, Baja Karbon Sedang, Baja Karbon Tinggi, Baja Karbon Tinggi dengan
Campuran. Gambar 2.1 merupakan contoh logam ferrous yang mengandung unsur
Fe dan C.

5
6

Gambar 2.1 Logam Ferrous Low-Carbon Steel AISI 1030 (Herman, 2010)

B. Logam non-Ferro
Logam non-ferro ialah jenis logam yang secara kimiawi tidak memiliki
unsur besi atau ferro (Fe), oleh karena itu logam jenis ini disebut sebagai logam
bukan besi (non-ferro). Beberapa dari jenis logam ini telah disebutkan dimana
termasuk logam yang banyak dan umum digunakan baik secara murni maupun
sebagai unsur paduan. Logam non-ferro ini terdapat dalam berbagai jenis dan
masing-masing memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda secara spesifik antara
logam yang satu dengan logam yang lainnya. Keberagaman sifat dan karakteristik
dari logam non-ferro ini memungkinkan pemakaian secara luas baik digunakan
secara murni atau pun dipadukan antara logam non-ferro bahkan dengan logam
ferro untuk mendapatkan suatu sifat yang baru yang berbeda dari sifat asalnya.
Logam non-ferro dapat digolongkan menjadi :
a. logam berat : nikel, seng, tembaga, timah putih dan timah hitam
b. logam mulia/murni : emas, perak, platina
c. logam ringan : alumunium, barium, kalsium
d. logam refraktori/tahan api : molibdenum , titanium, wolfram, zirkonium
e. logam radio aktif : radium dan uranium.
Gambar 2.2 merupakan contoh material non-ferrous yaitu Alumunium, Magnesium
dan Kuningan

(a) (b) (c)


Gambar 2.2 Logam-logam Non-Ferro (a) Alumunium (b) Magnesium (c)
Kuningan (Laskar, 2010)
7

C. Keramik
Keramik adalah senyawa paduan antara unsur logam dan nonlogam.
Komponen keramik yang sering dipakai adalah oksida, nitrida, dan karbida.
Material keramik yang sering digunakan antara lain: alumunium oksida atau
alumina (Al2O3), silikon dioksida atau silika (SiO2), silikon karbida (SiC), silikon
nitrida (Si3N4) (Callister, 2009). Material keramik mempunyai banyak
pemanfaatan, diantaranya berbagai abrasive, pahat potong, batu tahan api, kaca, dan
lain-lain, bahkan teknologi roket dan penerbangan luar angkasa sangat memerlukan
keramik. Gambar 2.3 merupakan contoh-contoh pengaplikasian material keramik
pada suatu benda.

Gambar 2.3 Pemanfaatan Material Keramik pada Suatu Benda (Ceramtec, 2012)

D. Polimer
Polimer adalah senyawa organik yang berbasis kimiawi pada karbon,
hidrogen, dan elemen nonlogam lainnya (yaitu, O, N, dan Si). Jenis polimer yang
sering dipakai adalah plastik dan karet Beberapa polimer umum dan yang sudah
dikenal adalah polietilen (PE), nilon, polivinil klorida (PVC), polikarbonat (PC),
polistiren (PS), dan karet silikon. Polimer memiliki struktur molekul yang sangat
besar, seringkali berbentuk seperti rantai, yang sering memiliki cabang atom karbon
(Callister, 2009). Berikut merupakan contoh ikatan polimer yang terkandung dalam
material bakelit pada Gambar 2.4.
8

Gambar 2.4 Contoh Ikatan Polimer Bakelit (Harinayanti, 2013)

E. Komposit
Komposit merupakan material hasil kombinasi dari dua material atau lebih,
yang sifatnya sangat berbeda dengan sifat masing-masing material asalnya.
Komposit selain dibuat dari hasil rekayasa manusia, juga dapat terjadi secara
alamiah, misalnya kayu, yang terdiri dari serat selulose yang berada dalam matriks
lignin. Komposit saat ini banyak dipakai dalam konstruksi pesawat terbang, karena
mempunyai sifat ringan, kuat dan non magnetik.
Material komposit terdiri dari lebih dari satu tipe material dan dirancang
untuk mendapatkan kombinasi karakteristik terbaik dari setiap komponen
penyusunnya. Pada dasarnya, komposit dapat didefinisikan sebagai campuran
makroskopik dari serat dan matriks. Serat merupakan material yang (umumnya)
jauh lebih kuat dari matriks dan berfungsi memberikan kekuatan tarik.Sedangkan
matriks berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan
akibat benturan.
Pada material komposit dikenal istilah lamina dan laminate. Lamina adalah
satu lembar komposit dengan satu arah serat tertentu, sedangkan laminate adalah
gabungan beberapa lamina. Laminate dibuat dengan cara memasukkan pre-preg
lamina ke dalam autoclave selama selang waktu tertentu dan dengan tekanan serta
temperatur tertentu pula. Autoclave adalah suatu alat semacam oven bertekanan
untuk menggabungkan lamina.
Dibanding dengan material konvensional keunggulan komposit antara lain
yaitu memiliki kekuatan yang dapat diatur (tailorability), tahanan lelah (fatigue
9

resistance) yang baik, tahan korosi, dan memiliki kekuatan jenis (rasio kekuatan
terhadap berat jenis) yang tinggi.

2.2 Uji Densitas


Densitas atau massa jenis adalah perbandingan antara massa bahan dengan
volume. Massa jenis menyatakan kerapatan suatu zat. Massa jenis berbeda-beda
untuk setiap zat yang berlainan. Contohnya, massa jenis air adalah 1 gr/cc (atau 1
ton/m3) artinya ada 1 gram air dalam 1 centimeter kubik air, bandingkan dengan
massa jenis aluminium yang sebesar 2,7 g/cc (atau 2,7 ton/m3); aluminium lebih
rapat daripada air karena dalam volume 1 cm3 yang sama, aluminium bermassa 2,7
gram sedangkan air hanya 1 gram; aluminium lebih rapat daripada air. Pengukuran
densitas dilakukan menggunakan Persamaan 2.1 sebagai berikut:

……………………….. (2.1)

Keterangan:
ρ = massa jenis (kg/m3)
m = massa (kg)
v = volume (m3)

Tabel 2.1 merupakan beberapa bahan atau material dengan massa jenisnya
yang sudah ditetapkan.

Tabel 2.1 Densitas Bahan (Jobsheet Praktikum Sifat dan Struktur Material, 2017)
No. Material Densitas (kg/m3)
1 Alumunium 2700
2 Tembaga 8900
3 Kuningan 8400-8700
4 Besi Cor 6800-7800
5 Baja 7800-8000
6 Stainless Steel 7480-8000
7 Cobalt 8850
8 Chromium 6856
9 Tin 7400
10

Massa jenis suatu zat bergantung pada temperaturnya, jika temperatur zat
tersebut tinggi maka zat akan memuai (volumenya menjadi lebih besar dengan
massa yang tidak berubah), artinya semakin tinggi temperatur maka massa jenis
atau kerapatan suatu zat akan berkurang. Selain bergantung pada temperatur, massa
jenis zat juga tergantung pada tekanan yang dikenai pada zat tersebut, makin tinggi
tekanan yang dikenai padanya maka volumenya akan semakin kecil (dengan massa
yang tidak berubah), maka massa jenisnya akan semakin tinggi seiring
bertambahnya tekanan yang dikenai padanya. Namun untuk beberapa jenis zat,
massa jenisnya tidak terlalu sensitif terhadap perubahan temperatur dan/atau
tekanan.

2.3 Uji Tarik


Salah satu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui sifat mekanis yang
paling umum dilakukan uji tarik. Uji tarik dapat digunakan untuk memastikan
beberapa sifat mekanik material yang penting dalam perancangan. Spesimen cacat,
biasanya patah, dengan beban tarik yang meningkat secara bertahap yang
diterapkan secara uniaksial sepanjang sumbu panjang spesimen (Callister, 2009)
Pada prinsip pengujian tarik adalah batang specimen harus di sesuaikan
dengan standar seperti (ASTM, JIS, DIN, SNI). Batang uji ada yang berbentuk
silindris dan berbentuk plat yang di tarik dengan beban statik sampai putus. Dalam
pengujiaan ini di dapat suatu kurva hubungan beban tarik (F), terhadap
perpanjangan spesimen (ΔL). Kurva ini yang kemudian akan di konversikan
menjadi kurva tegangan vs regangan (T-e) dan digunakan untuk mendapatkan sifat
mekanik logam yang akan di uji. Pada Praktikum Sifat dan Struktur Material 2017,
untuk Uji Tarik menggunakan standar ASTM E-8 sebagai landasan dan acuan untuk
melakukan praktikum uji tarik. Skema pengujian tarik dapat dilihat pada Gambar
2.5.
11

(a) (b)
Gambar 2.5 Skematik Pengujian Tarik (a) Mesin uji Tarik (b) Spesimen uji tarik
(Callister, 2009)
2.3.1 Standar ASTM E-8
ASTM E-8 menjelaskan uji tarik logam seperti baja paduan atau logam.
ASTM E-8 menjelaskan metode pengujian ketegangan untuk menentukan yield
strength, titik elongasi hasil, kekuatan tarik, elongasi, dan reduksi luas produk
logam. Standar ini berlaku untuk bahan logam dalam bentuk apapun. Standar
ASTM E-8 menentukan keuletan dan kekuatan berbagai logam saat material
mengalami tegangan tarik uniaksial.
Mesin uji elektro mekanis atau hidrolik universal yang dilengkapi dengan grip
spesimen yang sesuai, alat bantu, dan software yang mampu mengendalikan laju
regangan dan merekam data tegangan – regangan saat pengujian (Admet, 2017).
Bentuk dan ukuran pengujian tarik menurut ASTM E-8 dapat dilihat pada Gambar
2.6.

Gambar 2.6 Bentuk Spesimen Pengujian Tarik menurut ASTM E-8 (Research
Gate, 2017)
12

2.3.2 Grafik Tegangan-Regangan


Grafik tegangan-regangan merupakan grafik perbandingan antara tegangan
(pada sumbu ordinat) dan regangan (pada sumbu aksis). Grafik tegangan-regangan
didapatkan setelah melakukan pengujian tarik. Grafik Tegangan-Regangan dibagi
dua yaitu Engineering Stress-Strain Diagram dan True Stress-Strain Diagram.
Dapat dilihat pada Gambar 2.7 perbedaan kedua grafik tersebut.

Gambar 2.7 Grafik Tegangan-Regangan (a) Engineering Stress-Strain Diagram


(b) True Stress-Strain Diagram (Hiatt, 2013)

1. Engineering Stress-Strain Diagram


Engineering Stress-Strain Diagram didapat dengan membagi gaya beban
tarik terhadap luas penampang awal dan pertambahan panjang dibagi dengan
panjang awal. Fungsi kurva tegangan-regangan teknik yaitu, memberikan informasi
bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area
awal A0 bernilai konstan pada saat penghitungan tegangan σ = P/A.
2. True Stress-Strain Diagram
True Stress-Strain Diagram didapat dengan gaya beban tarik yang dibagi
dengan luas permuakaan tiap saat dan pertambahan panjang dibagi dengan panjang
tiap saat. Fungsi kurva tegangan-regangan sesungguhnya yaitu memberikan
informasi bahwa luas area aktual akan selalu turun hingga terjadinya perpatahan
dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ = P/A
13

2.3.3 Tegangan
Tegangan adalah reaksi yang timbul diseluruh bagian spesimen dalam rangka
menahan beban yang diberikan. Nilai tegangan ini merupakan perbandingan antara
beban (F) yang diberikan terhadap luas penampang (A). Tegangan dapat
dirumuskan pada Persamaan 2.2 sebagai berikut:

...…………………….. (2.2)

Keterangan:
σ = Tegangan (N/m2)
F = Gaya/beban yang diberikan (N)
A = Luas penampang (m2)

1. Tegangan Luluh (Yield Strength)


Tegangan luluh adalah kekuatan suatu material untuk mengalami deformasi
plastis. Pada keadaan ini ditandai dengan garis diagram tegangan-regangan yang
tidak linier lagi. Nilai besarnya tegangan luluh dapat dihitung menggunakan rumus
pada Persamaan 2.3 sebagai berikut:

………….…………….. (2.3)

Keterangan:
σy = Tegangan luluh (N/m2)
Fy = Beban saat mengalami luluh (N)
A0 = Luas penampang (m2)

2. Ultimate Tensile Strength (UTS)


Ultimate Tensile Strength adalah tegangan maksimum yang dapat ditahan
oleh batang uji sebelum patah. Tegangan maksimum merupakan suatu
perbandingan antara beban maksimum (Fm) yang dicapai selama percobaaan tarik
dan penampang batang mula-mula (A0). Ultimate Tensile Strength dalam grafik
stress-strain dapat dilihat pada gambar 2.8. Untuk menghitung besarnya nilai
Ultimate Tensile Strength menggunakan Persamaan 2.4 sebagai berikut:
14

……………………….. (2.4)

Keterangan:
σu = Ultimate Tensile Strength (N/m2)
Fm = Beban maksimum (N)
A0 = Luas penampang (m2)

Gambar 2.8 Ultimate Tensile Strength pada Grafik Tegangan-Regangan untuk


material polimer (MEAM, 2014)
3. Tegangan Sejati
Tegangan ditentukan oleh beban sesaat yang bekerja pada luas penampang
sesaat. Tegangan sesungguhnya didapat dengan menggunakan data dari kurva
tegangan-regangan sesungguhnya. Adapun perhitungan tegangan sejati
menggunaan Persamaan 2.5 sebagai berikut:

………………………… (2.5)

Keterangan:
σt = Tegangan sejati (N/m2)
Fi = Beban pada titik i (N)
Ai = Luas penampang pada titik i (m2)
15

2.3.4 Regangan
Regangan ialah perubahan relatif ukuran atau bentuk benda yang
mengalami tegangan. Gambar 2.9 menunjukkan sebuah batang yang mengalami
regangan akibat gaya tarik F. Panjang batang mula-mula adalah L0. Setelah
mendapat gaya tarik sebesar F, batang tersebut berubah panjangnya menjadi L.
dengan demikian, batang tersebut mendapatkan pertambahan panjang sebesar
dengan ∆L= L-L0

Gambar 2.9 Regangan (Eandro, 2017)

Besarnya regangan dapat dihtung menggunakan Persamaan 2.6:

…………………….. (2.6)

Keterangan:
e = regangan
L = panjang akhir (mm)
L0 = panjang awal (mm)
2.3.5 Percent Elongation (%EL)
Percent Elongation (%EL) merupakan salah satu ukuran keuletan suatu
bahan. Semakin besar nilai %EL maka daerah regangannya semakin besar sehingga
duktlititasnya juga makin meningkat. Rumus %EL yaitu pada Persamaan 2.7
sebagai berikut:

…………. (2.7)

Keterangan:
%EL = Percent Elongation (%)
L = panjang akhir (mm)
L0 = panjang awal (mm)
16

2.3.6 Modulus Elastisitas


Modulus elastisitas adalah perbandingan antara tegangan (σ) dan regangan
(e). Modulus elastisitas digunakan untuk merepresentasikan kekakuan suatu bahan.
Makin besar nilai modulus elastisitas, maka makin kecil regangan yang dapat
dihasilkan dari pemberi tegangan. Modulus ini ditentukan oleh gaya ikat antar atom.
Kekakuan adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan perubahan
bentuk atau deformasi setelah diberi beban. Kelelahan bahan adalah kemampuan
suatu bahan untuk menerima beban yang berganti-ganti dengan tegangan
maksimum diberikan pada setiap pembebanan. Adapun Persamaan 2.8 adalah
persamaan modulus elastisitas:

………………………….. (2.8)

Keterangan:
E = Modulus Elastisitas (N/m2)
σ = Tegangan (N/m2)
e = regangan

2.3.7 Kontraksi (Necking)


Kontraksi adalah pengerutan atau pengecilan penampang pada batas
penampang. Kontraksi terjadi pada saat dilakukan pengujian tarik pada benda uji
Proses necking dapat dilihat pada Gambar 2.10. Untuk menghitung besarnya nilai
kontraksi menggunakan Persamaan 2.9:

………….………….. (2.9)

Keterangan:
%AR = Kontraksi (%)
Au = Luas penampang akhir (m2)
A0 = Luas penampang awal (m2)
17

Gambar 2.10 Proses Necking (Revision World, 2017)

2.3.8 Deformasi
Deformasi merupakan perubahan bentuk, dimensi dan posisi dari suatu materi
baik dari suatu materi baik merupakan bagian dari alam ataupun buatan manusia
dalam skala waktu dan ruang. Deformasi dapat terjadi jika suatu benda atau materi
dikenai gaya (Taufiq, 2013). Gambar 2.11 menjelaskan mengenai daerah deformasi
pada grafik stress-strain.

Gambar 2.11 Daerah Deformasi (Taufiq, 2013)

1. Deformasi Elastis
Deformasi elastis adalah deformasi atau perubahan bentuk yang terjadi pada
suatu benda saat gaya atau beban itu bekerja, dan perubahan bentuk akan hilang
ketika gaya atau bebannya ditiadakan. Artinya, bila beban ditiadakan, maka benda
akan kembali ke bentuk dan ukuran semula. Contoh deformasi elastis ada pada
penggunaan pegas yang terdapat pada Gambar 2.12.
18

Gambar 2.12 Deformasi Elastis pada Pegas (Adib, 2014)

2. Deformasi Plastis
Deformasi plastis adalah deformasi atau perubahan bentuk yang terjadi pada
benda secara permanen, walaupun beban yang bekerja ditiadakan. Berbeda dengan
deformasi elastis yang saat beban ditiadakan akan kembali ke bentuk semula.
Deformasi plastis terjadi setelah benda mengalami deformasi elastis dan beban
yang bekerja pada benda telah melebihi tegangan luluh, akibatnya benda tidak dapat
kembali ke bentuk semula. Deformasi plastis juga termasuk Teknik pembentukan
logam yaitu bendaing dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Deformasi Plastis pada Proses Bending (SheetMetal, 2015)

2.3.9 Patah
Percobaan tegangan-regangan diakhiri dengan perpatahan. Perpatahan ini
dapat didahului oleh deformasi plastis. Bila ada deformasi plastis, maka kita sebut
perpatahan ulet (ductile fracture) bila tidak diiringi deformasi plastis, disebut
perpatahan rapuh (brittle fracture).
1. Patah Ulet
Patah ulet merupakan patah yang diakibatkan oleh beban statis yang
diberikan pada material, jika beban dihilangkan maka penjalaran retak akan
19

berhenti. Patah ulet ini ditandai dengan penyerapan energi disertai adanya
deformasi plastis yang cukup besar di sekitar patahan, sehingga permukaan patahan
nampak kasar, berserabut (fibrous), dan berwarna kelabu. Selain itu komposisi
material juga mempengaruhi jenis patahan yang dihasilkan, jadi bukan karena
pengaruh beban saja. Biasanya patah ulet terjadi pada material berstruktur bainit
yang merupakan baja dengan kandungan karbon rendah. Contoh patah ulet dapat
dilihat pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Patah Ulet (Rukey, 2015)

2. Patah Getas
Patahan yang terjadi pada material yang getas yaitu tanpa mengalami
pengecilan diameter (necking). Patah getas juga bisa terjadi pada material ulet,
gejala ini disebut transisi ulet-getas (Ductile to Brittle Tension). Hal ini dapat terjadi
karena disebabkan oleh 3 faktor, yaitu :
a. Tegangan 3 Sumbu
Karena keadaan tegangan menjadi rumit terhadap dua atau tiga sumbu
disebabkan oleh pangkal takikan, maka terjadi peningkatan yang mencolok
dari tegangan mulur dan patah getas mudah terjadi.
b. Laju Regangan
Peningkatan tegangan mulur yang sangat ditandai oleh peningkatan laju
regangan yang mengakibatkan patah getas.
c. Temperatur
Semakin rendah temperatur, semakin mudah terjadi patah getas.
Contoh patah getas dapat dilihat pada Gambar 2.14 dibawah ini.
20

Gambar 2.14 Patah Getas (Rukey, 2015)

2.4 Uji Kekerasan


Kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap deformasi plastis atau
dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban
identasi atau penetrasi (penekanan). Uji kekerasan merupakan uji mekanis yang
lebih sering dilakukan daripada uji mekanis lainnya karena beberapa alasan,
diantaranya:
1. Prosesnya sederhana dan biayanya murah, biasanya tidak ada spesimen
khusus yang harus disiapkan, dan aparat pengujian relatif murah.
2. Uji ini tidak merusak spesimen. Tidak ada bagian spesimen yang retak atau
deformasi berlebihan, satu-satunya deformasi adalah sebuah lekukan kecil.
3. Sifat mekanik lainnya sering dapat diperkirakan melalui data kekerasan,
seperti kekuatan tarik.

2.4.1 Faktor yang Memengaruhi Kekerasan


Ada 3 Faktor yang mempengaruhi kekerasan suatu material yaitu:
1. Pengaruh kadar karbon terhadap kekerasan suatu bahan
Pengaruh kadar karbon terhadap kekerasan suatu bahan merupakan sifat
mekanik yang dimiliki baja. Penambahan kadar karbon sangat mempengaruhi
kekerasan, dimana dengan meningkatnya kadar karbon maka kekerasannya
semakin meningkat pula.
2. Perlakuan Panas
Pengaruh perlakuan akan mempengaruhi kekerasan logam tergantung dari
perlakuan apa yang diberikan. Annealing akan menurunkan kekerasan baja.
21

Hardening akan meningkatkan kekerasan baja. Tempering akan menurunkan


kekerasan baja dibawah perlakuan panas Hardening. Normalizing akan
meningkatkan kekerasan baja dibandingkan keadaan awal baja atau baja tanpa
perlakuan panas.
3. Unsur Paduan
a. Karbon (C)
Pada baja karbon biasanya kekerasan dan kekuatannya meningkat
sebanding dengan kekuatan karbonnya, tetapi keuletannya menurun
dengan naiknya kadar karbon. Persentase kandungan karbon akan
memberikan sifat lain pada baja karbon.
b. Mangan (Mn)
Mangan berfungsi untuk memperbaiki kekuatan tariknya dan ketahanan
ausnya. Unsur ini memberikan pengerjaan yang lebih mengkilap atau
bersih dan menambah kekuatan dan ketahanan panas.
c. Silikon (Si)
Silikon untuk memperbaiki homogenitas pada baja. Selain itu, dapat
menaikkan tegangan tarik dan menurunkan kecepatan pendinginan kritis
sehingga baja karbon lebih elastis dan cocok dijadikan sebagai bahan
pembuat pegas.
d. Posfor (P)
Posfor dalam baja dibutuhkan dalam persentase kecil yaitu maksimum
0,04 % yang berfungsi untuk mempertinggi kualitas serta daya tahan
material terhadap korosi. Penambahan posfor dimaksudkan pula untuk
memperoleh serpihan kecil-kecil pada saat permesinan.
e. Belerang (S)
Sulfur dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat mampu mesin.
Keuntungan sulfur pada temperatur biasa dapat memberikan ketahanan
pada gesekan tinggi.
22

f. Khrom (Cr)
Khrom dengan karbon membentuk karbida dapat menmbah keliatan,
menaikkan daya tahan korosi dan daya tahan terhadap keausan yang
tinggi, keuletan berkurang.
g. Nikel (Ni)
Sebagai unsur paduan dalam baja konstruksi dan baja mesin, nikel
memperbaiki kekuatan tarik, sifat tahan panas dan sifat magnitnya.
h. Molibden (Mo)
Molibden mengurangi kerapuhan pada baja karbon tinggi, menstabilkan
karbida, serta memperbaiki kekuatan baja.
i. Titanium (Ti)
Titanium adalah logam yang lunak tetapi biola dipadukan dengan nikel
dan karbon akan lebih kuat, tahan aus dan tahan korosi.
j. Wolfram/Tungsten (W/T)
Paduan ini dapat membentuk karbida yang stabil yang sangat keras,
menahan suhu pelumasan dan mengembalikan perubahan bentuk/struktur
secara perlahan-lahan.

2.4.2 Metode Pengujian Kekerasan


Pengujian kekerasan merupakan pengujian yang paling efektif karena dengan
pengujian kekerasan, dapat dengan mudah mengetahui gambaran sifat mekanis
suatu material. Nilai kekerasan cukup valid untuk menyatakan kekuatan suatu
material (Bondan, 2015).
1. Metode Goresan
Metode goresan dilakukan dengan cara mengukur kedalaman atau lebar
goresan pada benda uji dengan cara menggoreskan permukaan benda uji dengan
material pembanding. Metode goresan menggunakan skala uji yang disebut dengan
skala Mohs yang memiliki 10 skala. Alat uji kekerasan dengan metode goresan
adalah Scratch Tester dapat dilihat pada Gambar 2.15.
23

Gambar 2.15 Ilustrasi Pengujian Metode Goresan (PVD, 2017)

Skala Mohs berisi sepuluh level kekerasan yang masing-measing level


memilki kode kekerasan tersendiri dan dapat dinyatakan dalam satuan kekerasan
lainnya seperti skala Vickers. Nilai skala Mohs dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai Skala Mohs (Danu, 2014)


Skala Mineral Keterangan
1 Talk Sangat lunak, disebut juga batu sabun
2 Gipsum Mudah tergores kuku jari
3 Kalsit Hanya tergores kuku jadi jika searah bidang belahnya
4 Fluorit Tidak tergores kuku jari
5 Apatit Sama keras dengan gigi
6 Feldspar Sama keras dengan baja
7 Kuarsa Dapat menggores kaca dan baja
8 Topaz Dapat memotong kaca dengan mudah
9 Korundum Dapat mengores topaz
10 Intan Benda terkeras

Jadi cara menentukan kekerasan dengan memakai skala Mohs yaitu ketika
suatu material tidak dapat digores dengan kuarsa tetapi dapat digores menggunakan
feldspar, maka nilai kekerasan material tersebut diantara 7 dan 6.
2. Metode Pantulan
Metode pantulan mengukur kekerasan suatu material berdasarkan tinggi
pantulan suatu pemukul dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari ketinggian
terhadap permukaan bernda uji. Semakin tinggi pantulan benda tersebut maka
semakin tinggi kekerasan material uji. Metode ini menggunakan alat uji bernama
24

Scleroscope dengan Skala Shore. Ilustrasi metode pantulan dapat dilihat pada
Gambar 2.16 dan Gambar 2.17 merupakan tabel Nilai Skala Shore pada metode
pantulan.

Gambar 2.16 Ilutrasi Pengujian Metode Pantulan (Matbor, 2015)

Gambar 2.17 Nilai Skala Shore (Matbor, 2015)

3. Metode Lekukan
Metode ini dilakukan dengan penekanan pada material uji oleh penetrator.
Besaran kekerasan ditentukan oleh jenis penetrator, beban yang diberikan, dan lama
waktu penekanan. Metode lekukan terdiri dari:
a. Metode Brinell
Metode ini berupa pengidentasian sejumlah beban terhadap permukaan
material dengan penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan
dengan diameter 10 mm 0,0045 mm dan standar bebannya antara 500 s.d 3000 kgf.
Lama penekanan antara 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan,
ditemper, dan dengan kekerasan minimum 850 VPN (Jobsheet Praktikum Struktur
25

dan Sifat Material, 2017). Skema pengujian metode Brinell dapat dilihat pada
Gambar 2.18

Gambar 2.18 Skema Pengujian Metode Brinell (ME, 2017)

Selanjutnya, nilai kekerasan metode Brinell dapat dihitung menggunakan


Persamaan 2.10:

……………...... (2.10)

Keterangan:
BHN = nilai kekerasan brinell (kg/mm2)
P = beban yang diterapkan (kg)
D = diameter bola (mm)
d = diameter lekukan (mm)
Diameter lekukan diukur menggunakan mikroskop khusus. Diameter lekukan
yang telah diukur tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai HB dengan
menggunakan tabel. Dalam penulisan simbol HB, dilengkapi dengan indeks:
diameter bola, beban, dan waktu pembebanan.
Contoh: 315/50//250/20, artinya:
315 adalah kekerasan menurut brinell
50 adalah diameter bola
250 adalah beban
20 adalah waktu
26

Metode Brinell ini sendiri memiliki kelebihan, diantaranya:


1. Tidak dipengaruhi adanya goresan dan kekasaran permukaan.
2. Dengan bekas tekanan yang besar kekerasan rata-rata dari bahan yang tidak
homogen dapat ditentukan misalnya besi tuang.
Kekurangan dari metode Brinell:
1. Penggunaan beban tunggal yang tidak mungkin untuk seluruh daerah logam
komersial.
2. Sistem pengendalian P/D2 (agar tetap konstan) yang merepotkan
3. Metode pengujian terlalu rumit.
4. Jejak Brinell yang besar ukurannya dapat menghalangi pemakaian uji tersebut
untuk benda uji yang kecil atau pada bagian yang kritis terhadap tegangan
dimana lekukan yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan.

b. Metode Vickers
Metode ini mirip dengan metode Brinell, tetapi penetrator yang digunakan
berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan sudut puncak
136o. Beban yang digunakan biasanya antara 1 s/d 120 kg (Jobsheet Praktikum
Struktur dan Sifat Material, 2017). Skema pengujian Vickers dapat dilihat pada
Gambar 2.19.

(a) (b)
Gambar 2.19 Skema Pengujian Metode Vickers (a) Pengindentasian Vickers
(b) Hasil pengindentasian Vickers (TWI, 2017)
27

Nilai kekerasan Vickers dapat dihitung menggunakan persamaan:


……………..... (2.11)
.

Keterangan:
HVN = Nilai kekerasan vickers (kg/m2)
P = Beban yang diberikan (kg)
D = Diagonal rata-rata (m)
Kelebihan dari metode ini adalah bentuk lekukan diagonal segiempat,
sehingga keakuratan pengukuran panjang diagonal lebih teliti dibanding bentuk
lingkaran pada metode Brinell. Sedangkan kekurangannya memakan waktu cukup
lama, karena adanya dua penanganan yang terpisah yaitu penekanan piramida dan
pengukuran diagonal bekas tekanan.
Metode Vickers ini disebut juga microhardness test. Disebut microhardness
test karena dengan metode ini dapat digunakan untuk mengukur kekerasan material
uji pada titik dengan jarak yang sangat kecil yaitu sampai 10-3 mm. Microhardness
test sering disebut dengan knop hardness testing merupakan pengujian yang cocok
untuk pengujian material yang nilai kekerasannya rendah. Knoop biasanya
digunakan untuk mengukur material yang getas seperti keramik.
c. Metode Rockwell
Pada metode ini penetrator ditekan dalam benda uji. Harga kekerasan didapat
dari perbedaan kedalaman dari beban mayor dan minor. Jadi nilai kekerasan
didasarkan pada kedalaman bekas penekanan. Pengujian kekerasan rockwell
didasarkan pada kedalaman masuknya penekan benda uji. Makin keras benda yang
akan diuji, makin dangkal masuknya penekan tersebut. Metode ini sangat cepat dan
cocok untuk pengujian massal. Karena hasilnya dapat secara langsung dibaca pada
jarum penunjuk (Jobsheet Praktikum Struktur dan Sifat Material, 2017). Gambar
2.20 menjelaskan skema pengujian kekerasan menggunakan metode Rockwell.
28

(a) (b)
Gambar 2.20 Skema Pengujian Metode Rockwell (a) indentor diamond (b)
indentor steel ball (Substech, 2017)

Dalam pengujian kekerasan Rockwell diperlukan keterangan mengenai


kombinasi yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan awalan
huruf pada angka kekerasan yang menunjukan kombinasi beban dan penumbuk
tertentu untuk skala beban yang digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel
2.3.
Tabel 2.3 Skala Kekerasan Rockwell (Callister, 2009)
Skala Indentor Beban Mayor (kg)
A Diamond 60
B 1/16” ball 100
C Diamond 150
D Diamond 100
E 1/8” ball 100
F 1/16” ball 60
G 1/16” ball 150
H 1/8” ball 60
K 1/8” ball 150

Penetapan skala Rockwell saat pengujian kekerasan berhubungan dengan


material yang diuji serta beban mayor yang digunakan. Contohnya saat pengukuran
kekerasan material kuningan dengan metode Rockwell, maka pengukuran dilakukan
menggunakan indentor bola (steel ball) . Saat pengukuran, beban mayor yang sesuai
untuk material tersebut adalah 60 kg dan skala pada dial indikator menunjukkan
angka 73, maka dalam penulisan hasil perhitungan ditulis 73 HRF. Dimana 73
29

adalah nilai kekerasan pada dial indikator, HR menyatakan nilai kekerasan dan F
adalah skala kekerasan Rockwell sesuai tabel skala Rockwell karena material yang
diuji adalah kuningan dengan beban mayor 60 kg .
Pada dasarnya pengujian kekerasan Rockwell (menggunakan beban mayor
dan minor) dibagi menjadi dua tipe yaitu Rockwell dan Superficial Rockwell. Untuk
Rockwell beban minor 10 kg dan beban mayor 60, 100, 150 kg. Untuk Superficial
test beban minor 3 kg dan beban mayor 15, 30, 45 kg. Untuk skala Superficial
Rockwell dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Skala Kekerasan Superficial Rockwell (Callister, 2009)
Skala Indentor Beban Mayor (kg)
15N Diamond 15
30N Diamond 30
45N Diamond 45
15T 1/16” ball 15
30T 1/16” ball 30
45T 1/16” ball 45
15W 1/8” ball 15
30W 1/8” ball 30
45W 1/8” ball 45

Metode Rockwell ini sendiri memiliki kelebihan yaitu:


1. Cepat dan lebih sederhana.
2. Mampu untuk membedakan perbedaan kekerasan kecil pada baja yang
diperkeras.
3. Ukuran lekukan kecil, sehingga bagian yang mendapat perlakuan panas yang
lengkap dapat diuji kekerasan tanpa menimbulkan kerusakan.

Kekurangan metode ini adalah:


1. Skala kekerasan pengukuran yaitu kombinasi antara penetrator yang
digunakan dan beban penekanan yang diizinkan untuk setiap material
berbeda-beda, sehingga harus disesuaikan.
2. Dengan bekas tekanan yang kecil maka kekerasan rata-rata tidak dapat
ditentukan untuk bahan yang tidak homogen.
30

3. Dengan pembesaran dalamnya bekas tekanan yang kecil terdapat kesalahan


pengukuran yang besar.

2.4.4 Nilai Konversi Kekerasan


Saat menguji nilai kekerasan suatu benda bukan tidak mungkin hasil
pengukuran berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor dari
manusia, metode maupun teknik praktikum yang berbeda, sehingga menghasilkan
nilai kekerasan yang berbeda pula. Untuk menyetarakan nilai kekerasan dengan
metoda yang berbeda dapat digunakan tabel konversi kekerasan.
1. Konversi Kekerasan
Data yang paling nyata dari konversi untuk baja, beberapa diantaranya di
tunjukkan dalam gambar di bawah ini untuk Knoop, Brinel, dan Rockwell skala dua,
termasuk didalamnya skala mohs, tabel konversi yang lebih detail untuk beberapa
variasi logam alloy terdapat didalam standar ASTM E-140. Nilai konversi
kekerasan dapat dilihat pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Nilai Konversi Kekerasan (Callister, 2009)


31

2. Korelasi antara nilai kekerasan dan Tensile Strength


Kekuatan tarik dan kekerasan adalah indikator ketahanan logam untuk
deformasi plastis. Jadi, keduanya merupakan proporsi kasar seperti ditunjukkan
pada gambar untuk kekuatan tarik sebagai fungsi HB untuk besi kasar, baja dan
kuningan. Hubungan proporsional yang sama tidak dapat berlaku untuk semua
metal seperti digambarkan pada gambar 2.22 sebagai tanda peraturan utama pada
semua baja HB, dan kekutan tarik berhubungan berdasarkan:

………………….…...... (2.12)

Dimana :
TS = Kekuatan Tarik (MPa)
HB = Kekerasan skala Brinell (HRB)

Gambar 2.22 juga menjelaskan untuk setiap material yaitu Tembaga,


Kuningan, Baja, Baja Cor dan berbagai macam material lainnya
semakin tinggi nilai kekerasan maka semakin tinggi tegangan tariknya.

Gambar 2.22 Grafik Hubungan Kekuatan antara Tarik dengan Kekerasan


(Callister, 2009)
32

3. Hardness Conversion Table


Hardness Conversion Table digunakan untuk membantu mengkonverikan
nilai kekerasan pada satu metode pengujian kekerasan dengan metode lainnya.
Sehingga tidak perlu melakukan pengujian lagi saat ingin mengetahui nilai
kekerasan pada metode yang belum pernah dilakukan. Tabel konversi nilai
kekerasan dapat dilihat pada tabel 2.5
Tabel 2.5 Konversi Nilai Kekerasan (Mitsubishi, 2015)
33

Cara Pembacaan nilai tabel konversi kekerasan dapat dilihat pada Gambar
2.3 dibawah ini.

Gambar 2.23 Cara Membaca Nilai Tabel Konversi Kekerasan (Mitsubishi, 2015)

Pada Gambar 2.23 menunjukkan bahwa bila besarnya nilai uji Vickers
untuk indenter 1, 5, 10, 30 kgf menunjukkan nilai 284 HV seperti pada gambar,
maka nilai tersebut akan sama besarnya dengan 269 HB dengan penetrator bola
standar 3000 kgf. Nilai tersebut juga setara dengan 64.1 HRA, 104 HRB, 27.6 HRC,
45.9 HRD, dan 40 HS.

2.5 Uji Mikrografi


Mikrografi berasal dari dua kata, yaitu “mikro” yang berarti sangat kecil dan
kata “grafi” yang berarti gambar. Mikrografi adalah gambar yang menunjukkan
struktur mikro pada hal ini struktur logam dan paduannya. Pada Praktikum Struktur
dan Sifat Material 2017, Uji Mikrografi dilakukan untuk melihat dan menganalisa
butir-butir dan batas butir yang terdapat pada suatu material. Dari butir-butir dan
batas butir tersebut dapat diketahui sifat dan struktur material yang diuji.
Ada dua macam pengujian struktur kristal yang biasa dilakukan yaitu
pengujian makro dan pengujian mikro.
1. Pengujian Struktur Makro
Salah satu dari pengujian struktur makro dari kristal adalah pengujian
penampang dimana bahan dinilai dari besar butir krital, warna dan mengkilatnya
penampang dari batang uji atau produk yang dipatahkan. Pengujian yang lain
adalah dengan jalan mengetza dan pembesaran struktur kristal, segregasi dan
34

pemisahan cacat kecil setelah memole patahan. Pengujian makro biasanya


dilakukan perbesaran yang besarnya di bawah 50x (George, 1984).
2. Pengujian Struktur Mikro
Struktur mikro adalah struktur dari sebuah permukaan logam yang telah
disiapkan secara khusus yang terlihat dengan menggunakan perbesaran minimum
25x. Pada umumnya kita bekerja dengan reflek pemendaran (sinar), pada pemolisan
atau etsa, tergantung pada permukaan logam uji dipolis, dan diperiksa langsung
dibawah mikroskop atau dietsa lebih dahulu, baru diperiksa dibawah mikroskop.
Adapun beberapa tahap yang perlu dilakukan sebelum melakukan pengujian
struktur mikro, yaitu:
1. Sectioning
Sectioning adalah proses pemotongan spesimen yang panjang menjadi lebih
kecil. Proses pemotongan dapat dilakukan dengan mesin pemotong atau
gergaji.
2. Mounting
Mounting merupakan proses penambahan zat penambah atau pemegang
spesimen agar spesimen mudah dipegang saat melakukan pengelasan atau
pada saat pemolesan. Biasanya zat yang digunakan pada proses mounting
ini adalah Epoxy Resin.
3. Grinding
Grinding merupakan proses penghalusan spesimen menggunakan amplas.
Proses pengamplasan ini bertahap mulai dari yang paling kasar hingga
amplas yang halus.
4. Polishing
Polishing adalah proses pemolesan spesimen agar spesimen memiliki
permukaan yang mengkilau. Pemolesan ini menggunakan Autosol sebagai
bahan pemoles dan menggunakan kain bludru sebagai alat pemoles
spesimen.
5. Attach (etching)
Etching merupakan proses penambahan zat kimia pada spesimen agar batas-
batas butir pada spesimen terkorosi. Spesimen yang sudah diamplas dan
35

dipoles selanjutnya di etching agar zat kimia pada larutan mengkorosi batas-
batas butir.
6. Foto (pemotretan)
Tahap terakhir yaitu pemotretan dengan menggunakan Mikroskop yang
terhubung dengan laptop agar batas-batas butir atau butir dapat diamati
dengan baik.

2.5.2 Diagram Fasa


Diagram fasa merupakan suatu diagram yang menunjukkan fasa dalam
suatu sistem material diberbagai suhu, tekanan, dan komposisi. Diagram fasa
dilandaskan pada laku panas pada suatu logam baik yang terdiri dari suatu fasa atau
lebih. Diagram fasa digunakan untuk:
1. Menunjukkan diagram fasa yang terdapat dalam keadaan seimbang pada
berbagai suhu komposisi
2. Menunjukkan komposisi kimia untuk semua fase berimbang:
a. Dalam daerah fase tunggal, komposisi sama dengan komposisi
paduan.
b. Dalam daerah dua fase, komposisi ditentukan oleh perpotongan
isotherm dengan kurva batas daya larut.
3. Untuk menghitung fraksi kuantitas fase-fase dalam paduan dua fase secara
interpolasi sepanjang isotherm

A. Diagram Fasa Fe-Fe3C


Diagram fasa Fe-Fe3C adalah diagram yang menampilkan hubungan antara
temperatur dan kandungan karbon (%C) selama pemanasan lambat. Diagram fasa
Fe-Fe3C dapat dilihat pada gambar 2.24. Dari diagram fasa tersebut dapat diperoleh
informasi penting, yaitu:
a. Fasa yang terjadi pada komposisi dan temperatur yang berbeda dengan
pendinginan lambat.
b. Temperatur pembekuan dan daerah-daerah pembekuan paduan Fe-C bila
dilakukan pendinginan lambat.
36

c. Temperatur cair dari masing-masing paduan.


d. Batas-batas kelarutan atau batas kesetimbangan dari unsur karbon fasa
tertentu
e. Reaksi-reaksi metalurgis yang terjadi

Gambar 2.24 Diagram Fasa Fe-Fe3C (George, 1984)

B. Diagram Fasa Al-Si


Diagram fasa Al-Si dalah diagram yang menampilkan hubungan antara
temperature dan kandungan Si (%Si) selama pemanasan lambat (ASM Metals
Handbook Volume 9, 2004). Gambar diagram fasa Al-Si dapat dilihat pada gambar
2.25 berikut ini.

Gambar 2.25 Diagram Fasa Al-Si (George, 1984)

Diagram fase diatas menunjukkan diagram fase dari system Al-Si. Ini
adalah tipe eutektik yang sederhana yang mempunyai titik eutektik pada 577 oC,
37

11,7% Si, larutan padat terjadi pada sisi Al. Karena batas kelarutan padat sangat
kecil maka pengerasan penuaan sukar diharapkan.
Paduan Al – Si sangat baik kecairannya, yang mempunyai permukaan bagus
sekali, tanpa kegetasan panas, dan sangat baik untuk paduan coran, sebagai
tambahan ia juga mempunyai ketahanan korosi yang baik, sangat ringan, koefisien
pemuaian yang kecil dan sebagai penghantar yang baik untuk listrik dan panas.
Umumnya dipakai paduan dengan 0,15 % Mg. Paduan yang diberi perlakuan
pelarutan dan dituakan dinamakn silumin γ, dan yang hanya distemper saja
dinamakan silumin β. Paduan yang memerlukan perlakuan panas ditambah dengan
Mg juga Cu serta Ni untuk memberikan kekerasan pada saat panas, bahan ini biasa
dipakai untuk torak motor.
C. Diagram Fasa Cu-Zn
Diagram fasa Cu-Zn adalah diagram yang menampilkan hubungan antara
temperature dan kandungan Zn (%Zn) selama pemanasan lambat (ASM Metals
Handbook Volume 9, 2004). Gambar diagram fasa Cu-Zn dapat dilihat pada gambar
2.26 berikut ini.

Gambar 2.26 Diagram Fasa Cu-Zn (George, 1984)

Karena sistem campuran logam yang lain, larutan padat intermediate


mungkin ditemukan komposisi yang selain dari komposisi keduanya ekstrim,
seperti kasus untuk sistem Cu-Zn. diagram fasanya mulanya terlihat ada beberapa
38

reaksi dan titik-titik yang serupa dengan eutektik yang belum dibahas. Sebagai
tambahan, ada enam larutan padat yang berbeda α dan η serta β, γ, δ dan ε. Tahap
β disebut suatu larutan padat, satu di mana atom Zn dan Cu diposisikan dalam suatu
spesifik pengaturan di dalam sel satuan masing-masing (George, 1984).
BAB III
METODOLOGI PENGUJIAN

3.1 Diagram Alir


Diagram alir Praktikum Struktur dan Sifat Material ditunjukkan pada
Gambar 3.1 di bawah ini

Mulai

Menyiapkan Alat dan Bahan

Mengukur Dimensi Spesimen


(diameter, tinggi, panjang)

Mempersiapkan Instrumen
Pengujian

Mengalibrasi Alat Uji

Uji Densitas Uji Tarik Uji Kekerasan Uji Mikrografi

Tidak
Data Hasil Penelitian

Analisis Data dan Pembahasan

Materialdapat
Material DapatDiketahui
Diketahui
dan Sesuai Literatur

Ya

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir Praktikum Struktur dan Sifat Material

39
40

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. Gelas Kimia
Gelas kimia berfungsi untuk mengukur volume spesimen dengan
memperhatikan pertambahan volume air yang terjadi dan sebagai tempat
pencampuran reaktan yaitu antara NH4OH, H2O2 dan Aquades. Gelas Kimia
digunakan pada pengujian densitas dan mikrografi. Berikut pada Gambar 3.2
ditampilkan gambar dari gelas kimia yang digunakan,

Gambar 3.2 Gelas Kimia (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

2. Timbangan
Timbangan berfungsi untuk mengukur massa dari spesimen yang akan diuji.
Sebelum mengukur massa, timbangan harus dikalibrasi terlebih dahulu. Berikut
pada Gambar 3.3 ditampilkan gambar dari timbangan yang digunakan,

Gambar 3.3 Timbangan (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

3. Vernier Caliper
Vernier caliper digunakan untuk mengukur diameter dan tebal dari
spesimen. Vernier caliper yang digunakan memiliki ketelitian 0,02 mm.
Penggunakan vernier caliper digunakan pada pengujian densitas dan uji
41

tarik.Berikut pada Gambar 3.4 ditampilkan gambar dari vernier caliper yang
digunakan,

Gambar 3.4 Vernier Caliper (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

4. Universal Testing Machine (GD 1100-100)


Universal Testing Machine berfungsi untuk melakukan uji tarik suatu
material. Pada praktikum kali ini, mesin yang digunakan adalah jenis GD 1100-
100. Berikut pada Gambar 3.5 ditampilkan gambar Universal Testing Machine
yang digunakan,

1
3

4
2

Gambar 3.5 Universal Testing Machine (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

Keterangan : 1. Pengunci spesimen atas


2. Pengunci spesimen bawah
3. Pencekam bagian atas
4. Pencekam bagian bawah
42

5. Rockwell Hardness Tester model HR-150A


Rockwell Hardness Tester model HR-150A merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur kekerasan material dengan metode Rockwell.
Berikut pada Gambar 3.6 ditampilkan gambar dari Rockwell Hardness Tester
model HR-150A yang digunakan,

Gambar 3.6 Rockwell Hardness Tester (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

Bagian-bagian Rockwell Hardness Tester Model HR-150A:


a. Dial Gage
Dial Gage berfungsi sebagai penunjuk skala mayor dan minor pada
uji kekerasan. Terdiri dari skala berwarna merah dan hitam. Skala berwarna
merah digunakan saat menggunakan penetrator steel ball, sedangkan skala
berwarna hitam digunakan saat menggunakan penetrator intan. Berikut pada
Gambar 3.7 ditampilkan gambar dari dial gage yang digunakan,

Gambar 3.7 Dial Gage (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

b. Penetrator
Penetrator berfungsi sebagai media pembebanan pada material uji
kekerasan. Terdapat 2 jenis penetrator, yaitu penetrator intan untuk material ferrous
dan penetrator steel ball untuk material non ferrous. Berikut pada Gambar 3.8
ditampilkan gamabr dari penetrator intan dan steel ball yang digunakan,
43

Gambar 3.8 Penetrator intan dan steelball


(Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

c. Anvil
Anvil berfungsi sebagai tempat penahan material uji kekerasan. Berikut pada
Gambar 3.9 ditampilkan gambar Anvil yang digunakan,

Gambar 3.9 Anvil (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

d. Crank Handle
Crank Handle berfungsi untuk memberikan pembebanan mayor pada
material uji kekerasan. Berikut pada Gambar 3.10 ditampilkan gambar dari crank
handle yang digunakan,

Gambar 3.10 Crank Handle (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

e. Reset Motor
Reset Motor berfungsi untuk melepas pembebanan mayor pada material uji
kekerasan. Berikut pada Gambar 3.11 ditampilkan gambar dari reset motor yang
digunakan,
44

Gambar 3.11 Reset Motor (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)


d. Proper Weight
Proper Weight berfungsi untuk memberi variasi pembebanan mayor pada
material uji kekerasan. Pembebanan yang tersedia yaitu 60 kgf, 100 kgf, 150 kgf.
Berikut pada gambar 3.12 ditampilkan gambar dari Proper Weight,

Gambar 3.12 Proper Weight (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

7. Grinder
Mesin grinder merupakan yang berfungsi untuk membantu mengamplas
dengan rata dan searah. Berikut pada Gambar 3.13 ditampilkan gambar dari mesin
grinder yang digunakan,

Gambar 3.13 Mesin grinder (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)


45

8. Polisher
Mesin polisher berfungsi untuk membantu proses pemolesan spesimen
setelah melewati proses pengamplasan. Berikut pada Gambar 3.14 ditampilkan
gambar dari mesin polisher yang digunakan,

Gambar 3.14 Mesin Polisher (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

9. Amplas
Amplas berfungsi untuk menghaluskan permukaan spesimen supaya halus
dan rata.Nomor amplas yang digunakan yaitu nomor 120, 220, 400, 600, 1000,
1500, dan 2000. Berikut pada Gambar 3.15 ditampilkan gambar dari amplas yang
digunakan,

Gambar 3.15 Amplas (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

10. Kain beludru


Kain beludru berfungsi untuk membantu proses pemolesan spesimen
supaya mengkilap. Berikut pada Gambar 3.16 ditampilkan gambar dari kain bludru
yang digunakan,
46

Gambar 3.16 Kain beludru yang telah dipasang pada mesin polisher
(Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

10. Pinset
Pinset digunakan untuk memegang benda uji karena berbahaya apabila
langsung memegang benda uji saat dilakukan etching dan saat pengujian densitas
spesimen. Berikut pada gambar 3.17 ditampilkan gambar dari pinset yang
digunakan,

Gambar 3.17 Pinset (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

12. Gelas Ukur


Gelas ukur berfungsi sebagai tempat untuk mengukur banyaknya reaktan
yang diperlukan, terutama saat mengambil NH4OH sebanyak 5ml, H2O2 sebanyak
10 ml, dan aquades sebanyak 5 ml. Berikut pada Gambar 3.18 ditampilkan gambar
gelas ukur yang digunakan,

Gambar 3.18 Gelas ukur (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)


47

13. Pipet Tetes


Pipet tetes digunakan untuk mengambil NH4OH, H2O2, aquades dan harus
diambil dengan hati-hati karena larutan tersebut bersifat korosif. Berikut pada
Gambar 3.19 ditampilkan gambar dari pipet tetes,

Gambar 3.19 Pipet tetes (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

14. Spidol
Spidol berfungsi untuk membuat tanda pada spesimen yang akan
dilakukan pengujian. Berikut pada Gambar 3.20 ditampilkan gambar spidol yang
digunakan,

Gambar 3.20 Spidol (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

15. Mikroskop Optik


Mikroskop optik berfungsi untuk melihat benda-benda berukuran kecil
(mikroskopik). Pada pengujian mikrografi, mikroskop yang digunakan adalah
mikroskop optik. Berikut pada Gambar 3.21 ditampilkan gambar dari mikroskop
optik yang digunakan,
48

Gambar 3.21 Mikroskop optik (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

16. Kamera Opti Lab


Kamera berfungsi untuk mengambil gambar struktur mikro yang diamati di
bawah mikroskop. Kamera yang digunakan merupakan kamera khusus yang dapat
dipasang pada lensa okuler mikroskop dan mampu menampilkan foto yang diambil
pada komputer atau laptop. Berikut pada Gambar 3.22 ditampilkan gamabr dari
kamera opti lab,

Gambar 3.22 Kamera Optik Lab (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

17. Kamera Dokumentasi


Kamera dokumentasi berfungsi untuk mengabadikan atau membuat
dokumentasi selama kegiatan praktikum berlangsung. Kamera dokumentasi juga
berfungsi untuk mendokumentasikan data yang telah diperoleh selama pengujian.
Berikut pada Gambar 3.23 ditampilkan gambar dari kamera dokumentasi,
49

Gambar 3.23 Kamera Dokumentasi (Laboratorium Metalurgi Fisik,2017)

3.2.2 Bahan
1. Spesimen
Ada 2 buah spesimen dengan jenis material yang sama dan keduanya telah
diberi perlakuan panas. Salah satu spesimen berbentuk silinder panjang dan
digunakan untuk uji tarik, sedangkan spesimen yang lainnya berbentuk silinder
pipih pendek dan digunakan untuk uji kekerasan, uji mikrografi, dan uji densitas.
Berikut pada gambar 3.24 ditampilkan gambar dari spesimen yang diuji,

(a) (b)
Gambar 3.24 Spesimen yang digunakan selama praktikum struktur dan sifat
material, (a) pipih pendek, dan (b) silinder panjang. (Laboratorium Metalurgi
Fisik, 2017)
3. Autosol
Autosol adalah pembersih berbentuk pasta yang berfungsi untuk
mengkilapkan dan menghilangkan atau mengurangi bekas goresan pada permukaan
benda uji setelah melalui proses grinding. Berikut pada gambar 3.24 ditampilkan
gambar dari autosol,
50

Gambar 3.25 Autosol (Laboratorium Metalurgi Fisik, 2017)

4. Reaktan etza
Reaktan etza berfungsi untuk mengkaratkan permukaan spesimen, sehingga
kontras dari butir, batas butir, ataupun fase yang berbeda terlihat jelas. Pada
praktikum kali ini. Reaktan yang digunakan merupakan campuran NH4OH, H2O2,
dan Aquades. Berikut pada gambar 3.25 ditampilkan gambar dari reaktan yang
digunakan,

(a) (b)
Gambar 3.2 Reaktan pengetzaan, (a) NH4OH, dan (b) H2O2 (Laboratorium
Metalurgi Fisik, 2017)
3.3 Pengujian Spesimen
3.3.1 Pengujian Densitas
Pengujian densitas dapat dilakukan dengan langkah yang benar. Berikut
langkah-langkah dari pengujian densitas,
1. Siapkan spesimen untuk pengujian.
2. Mengkalibrasi timbangan sampai angka 0.
3. Menimbang spesimen
4. Mengulangi penimbangan sampai tiga kali untuk memperoleh massa
rata-rata.
5. Mengukur diameter dan tebal spesimen sebanyak tiga kali untuk
memperoleh nilai rata-rata.
6. Menghitung volume spesimen secara manual
51

7. Memasukkan spesimen ke dalam gelas ukur yang sudah diisi air.


8. Catat pertambahan volume air untuk volume spesimen.
9. Hitung densitas spesimen antara volume dalam air dan secara
perhitungan manual.

3.3.2 Pengujian Tarik


1. Ukur diameter batang uji (do , lo).
2. Hidupkan mesin uji Tarik dengan menekan push button on.
3. Pasang spesimen pada upper damping head mesin uji tarik.
4. Atur posisi spesimen menggunakan komputer pengoperasi mesin uji
Tarik sampai mendekati lower damping head.
5. Batang uji harus tercekam dengan baik pada upper dan lower damping
head.
6. Setting nol pada komputer pengoperasi mesin uji Tarik.
7. Klik Start untuk memulai pengujian.
8. Amati dan baca besarnya gaya tarik pada layar monitor (saat maksimum
dan patah) dan perpanjangan (L ) yang dialami benda uji akibat gaya
tarik (maksimum dan patah).
9. Lepaskan spesimen dari alat uji Tarik.
10. Ukur diameter dan panjang benda uji setelah patah (du dan lu).

3.3.3 Pengujian Kekerasan


1. Bersihkan permukaan benda uji dan amplas sehingga kedua permukaan
tersebut benar-benar rata dan sejajar.
2. Pasang penetrator diamond/steel ball sesuai dengan jenis material yang
akan diuji.
3. Pasang benda uji pada kedudukannya (anvil) lalu kencangkan dengan
putar handwheel hingga spesimen menyentuh penetrator dan jarum kecil
pada dial indikator menuju titik merah.
4. Atur dial indicator sehingga jarum besar tepat pada garis indikator C atau
B.
52

5. Tekan handle (15) ke depan untuk pengetesan pembebanan utama. Pada


saat itu jarum panjang akan berputar counterclockwise dan handle (16)
bergerak ke depan secara perlahan.
6. Ketika jarum panjang berhenti, dorong handle (16) untuk menghilangkan
pengetesan pembebanan utama. (tekan handle (15) dan (16) secara
perlahan dan hati – hati)
7. Lakukan pembacaan pada indikator. Untuk pengujian dengan diamond
penetrator, baca pada garis bagian luar indikator (garis berwarna hitam).
Untuk pengujian dengan steel ball penetrator baca pada bagian dalam
indikator (garis berwarna merah).
8. Putar handwheel berlawanan jarum jam untuk menurunkan spesimen.
Lakukan pengujian sampel selanjutnya sesuai prosedur 2 sampai 6
sebanyak 3 kali untuk masing-masing spesimen.
9. Bersihkan dan rapihkan alat uji bila tidak digunakan lagi.

3.3.4 Pengujian Mikrografi


Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian mikrografi adalah
sebagai berikut.
1. Siapkan material yang akan dilihat struktur mikronya, dan peralatan yang
akan digunakan.
2. Pasang amplas pada mesin pemolis, dimulai dari polis yang paling kasar.
Pengamplasan dilakukan dalam keadaan basah untuk menghilangkan
panas dan pengotor dari benda uji. Nomor amplas yang digunakan yaitu
amplas nomor 120, 220, 400, 600, 1000, 1500, dan 2000.
3. Setelah cukup rata, maka ganti amplas dengan amplas yang agak halus yaitu
amplas nomor 1000, kemudian amplas nomor 1500, dan yang terakhir
menggunakan amplas yang paling halus yaitu nomor 2000.
4. Oleskan permukaan yang sudah diamplas dengan autosol, kemudian polis
halus menggunakan kain bludru.
5. Sebelum melakukan pengetzaan, permukaan benda uji harus sudah halus
dan datar.
53

6. Racik reaktan pengetzaan sesuai dengan jenis material yang diuji.


Pengetzaan dilakukan dengan mencelupkan material ke dalam reaktan
selama 15 detik.
7. Cuci benda uji yang telah dietsa dengan aquades kemudian keringkan
sebelum diamati pada mikroskop.
8. Amati material pada mikroskop. Gunakan plastisin supaya spesimen
tidak bergerak.
9. Potret gambar apabila gambar yang diperoleh tampak jelas sesuai dengan
pembesaran pada mikroskop.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Densitas


Dari hasil pengujian densitas didapat jenis material berupa Tembaga.
Tabel 4.1 Hasil pengujian densitas
No Massa Volume spesimen (cm3) Densitas (gr/cm3)
spesimen (gr) (Air) (Manual) (Air) (Manual)

1 60,4 7,5 7,026


2 60,4 7,5 7,085 60,4 60,4
60,4 7,5 7,026 7.5 7,046
3
= 8,053 = 8,572
Mmean =60,4 Vmean = 7,5 Vmean = 7,046

4.2 Hasil Pengujian Tarik


Dari hasil pengujian tarik didapat jenis material berupa Tembaga
Tabel 4.2 Hasil pengujian tarik
No Do Lo Du Lu Fmaks (N) Fyield (N)
(mm) (mm) (mm) (mm)
1 9,14 45.0 5,80 55
2 9.20 45.0 5,70 55.50 18149,167 17920,476
3 9.18 45.0 5,70 55.50
mean 9.17 45.0 5,73 55.30 ΔD = 3,44 ΔL = 6,50

55.30−45
%EL= 𝑥 100% = 22,89 %
45

𝐹𝑦 17920,476
σy = = = 271,49 N/mm2
𝐴0 66,009

66,009−25.77
%AR= 𝑥 100% = 60,96 %
66,009

𝐹𝑚 18149,167
σu = = = 274,95 N/mm2
𝐴0 66,009

54
55

Gambar 4.1 Diagram Engineering Stress-Strain Spesimen

Gambar 4.2 Patahan Spesimen

4.3 Hasil Pengujian Kekerasan


Dari hasil pengujian kekerasan didapat jenis material berupa Tembaga
Tabel 4.3 Hasil pengujian kekerasan
No Nilai Kekerasan (HRA/HRB/HRC)
1 HRF 83.0
2 HRF 87.0
3 HRF 86.0
Mean HRF 85.3
56

4.4 Hasil Pengujian Mikrografi


Dari hasil pengujian densitas didapat jenis material berupa Tembaga dengan
gambar profil sebagai berikut:

Gambar 4.3 Profil hasil pengujian mikrografi pada material

4.5 Identifikasi Material


Dari hasil pengujian densitas, pengujian tarik, pengujian kekerasan, dan
pengujian mikrografi didapatkan material berupa tembaga. Densitas pada hasil
pengujian adalah 8053 kg/m3 sedangkan nilai densitas tembaga adalah 8900 kg/m3.
Pada pengujian tarik tembaga memiliki nilai Yield strength 271,49 N/mm2 dan nilai
Ultimate Tensile Strength 274,95 N/mm2. Berdasarkan ASM nilai Yield strength
dan Ultimate Tensile Strength tembaga adalah 70 N/mm2 dan 220 N/mm2.
Perbedaan dari hasil pengujian densitas dan hasil referensi disebabkan
ketelitian gelas ukur yang kurang terperinci dan saat pengulangan pencelupan
terdapat volume air yang masih menempel pada material dan mempengaruhi
volume. Pada uji tarik terjadi perbedaan antara hasil pengujian dengan referensi
disebabkan kualitas materialnya, pengukuran diameter dan panjang yang kurang
tepat, dan juga pada alat pengujian alat pencengkan kurang erat yang membuat
material menjadi miring. Pada uji kekerasan antara hasil pengujian dan referensi
terjadi perbedaan yang disebabkan pengamplasan yang kurang merata dan
perbedaan kekerasan material yang tidak merata pada setiap titik. Dalam pengujian
kekerasan material tembaga memiliki nilai HRF 85.3. Berdasarkan ASM tembaga
memiliki nilai 83 HRF. Sedangkan dalam uji mikrografi, perbandingan struktur
mikro tembaga hasil pengujian dan sesuai standar ASM dapat dilihat pada Gambar
4.3. Pada hasil pengujian mikrostruktur dari tembaga tidak terlihat jelas.
57

Hal ini dikarenakan kurangnya penghalusan dan pemolesan permukaan tembaga


sehingga permukaannya masih kasar.

(a) (b)
Gambar 4.4 Struktur mikro Tembaga : (a) Hasil Pengujian (100x),
(b) sample 3%Cu pembesaran 100x
2. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum Struktur Sifat dan Material yang telah dilaksanakan
dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
1. Berdasarkan uji densitas yang dilakukan pada material uji, didapat
bahwa material uji merupakan tembaga dengan nilai densitas sebesar
8053 kg/m3
2. Berdasarkan uji tarik yang dilakukan pada material uji, didapat bahwa
material uji merupakan tembaga. Tembaga ini memiliki Yield Strength
271,49 𝑀𝑃𝑎, Ultimate Tensile Strength 274,95 𝑀𝑃𝑎, Elongasi
22,89 %, dan Kontraksi sebesar 60,96 %.
3. Berdasarkan uji kekerasan yang dilakukan pada material uji, didapat
bahwa material uji merupakan tembaga dengan nilai kekerasan HRF
85.3.
4. Berdasarkan uji mikrografi yang dilakukan, struktur mikro dari
tembaga belum terlihat jelas dikarenakan kurang halusnya permukaan
spesimen. Hal ini diakibatkan karena kurangnya penghalusan dan
pemolesan spesimen sehingga masih banyak bekas goresan setelah
proses pengamplasan.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan setelah melakukan praktikum
Struktur Sifat dan Material adalah sebagai berikut:
1. Perlunya persiapan yang lebih matang dalam melakukan praktikum ini
seperti mempelajari setiap detail dari langkah pengujian agar proses
praktikum lebih maksimal dan efisien.
2. Perlunya memperhatikan akan keselamatan kerja praktikum mengingat
dalam praktikum ini menggunakan alat dan bahan yang cukup
berbahaya.

58
59

3. Perlunya koordinasi antar praktikan dengan asisten laboratorium agar


tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan praktikum.
4. Hindari untuk mengotori laboratorium, bermain-main, dan bercanda
selama praktikum sedang berlangsung. Selalu berhati-hati dalam
menjalankan praktikum dan mengembalikan peralatan praktikum yang
telah digunakan pada tempatnya.
5. Perlunya pembaharuan alat-alat praktikum agar kedepannya praktikum
Struktur Sifat dan Material ini dapat berjalan lancar dan tidak ada
halangan yang berarti.
6. Dimohon untuk dapat lebih memperhatikan penjelesan yang diberikan
asisten laboratorium terkait praktikum Struktur Sifat dan Material yang
dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai