Oleh:
20151033031172
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
I
HASIL PENELITIAN
Oleh:
201510330311172
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah SWT penulis panjatkan karena berkat rahmat, karunia
OVALBUMIN” dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah
proposal usulan penelitian ini, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
usulan penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah di
berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis,
Muhammad Arfan Umar
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
• Bapak dr. H. Rizalul Umar, Sp.B, MARS., Mama Hj. Andi Sitti Baderiati
Zzaman, S.Kom, Puang Nenek Hj. Andi Hadtijah, adik adik Ibrahim Ashri,
Amin Rusdi, Farras Iskandar, sepupu sepupu dari Puang Andi Ichlas Siradju,
dan seluruh keluarga tersayang atas limpahan dukungan, do’a, dan motivasi
yang menjadi semangat penulis untuk menyelesaikan karya tulis akhir ini.
• dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG, selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran UMM
atas kesediaan waktu dan penyampaian ilmu yang sangat bermanfaat bagi masa
• dr. Sri Adila Nurainiwati, Sp.KK, selaku Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran
UMM dan sekaligus dosen wali penulis yang senantiasa bersabar dalam
• dr. Indra Setiawan, Sp.THT-KL, selaku Wakil Dekan III, yang penuh semangat
vii
• dr. Desy Andari, M. Biomed., selaku pembimbing 1, atas kesabaran, keikhlasan,
• Prof. Dr. dr. Djoni Djunaedi, Sp. PD, KPTI, FINASIM, selaku penguji tugas
akhir ini, atas segala masukan dan arahan yang dengan tulus ikhlas diberikan
sehingga dapat bermanfaat dalam pengerjaan tugas akhir ini, serta kesediaan
• Adnexa Miftah Firdausy, Alim Muhaimin, Baiq Intan Febriyeni Puteri, Rifqatul
Faiqah, Safira Putri Herdiana dan, Sarah Beauty Nabila yang telah memberikan
mengingatkan penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini dengan baik tanpa
dan teman teman lainnya yang telah memberikan berbagai bentuk dukungan
• Rifqatul Faiqah, Vico Mardenanta, Faiq Shabri Maulana, dan Aji Muthiah Nur
Azizah, teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini atas segala bantuan dan
kerjasamanya.
viii
• Sejawat FK UMM angkatan 2015, Metacarpal15, atas dukungan, bantuan, dan
Indonesia yang barokah, professional, sukses dunia akhirat, dan selalu diberikan
badan pengurus inti dan Justice Rangers yang selalu menginspirasi penulis
seutuhnya.
• Seluruh staf TU, Mears, dan laboran, Mas Nyono, Ibu Patma, Pak Joko dan Mas
• Semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung, terima kasih
ix
ABSTRAK
Latar Belakang: Alergi merupakan reaksi imun yang berlebihan terhadap suatu
zat yang dapat merugikan bagi tubuh. Penebalan bronkus merupakan salah satu
manifestasi akibat dari pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast saat terjadi
pajanan alergen. Apel (Malus sylvestris) mengandung quercetin dalam kadar
tinggi dapat mencegah reaksi alergi dengan menghambat degranulasi sel mast.
Tujuan: Mengetahui pengaruh perasan apel Malang (Malus sylvestris) terhadap
ketebalan dinding bronkus tikus jantan putih yang diinduksi ovalbumin.
Metode: Penelitian eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design.
25 ekor tikus sampel dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok normal, kelompok
kontrol positif, dan tiga kelompok perlakuan. Selain diinduksi ovalbumin (secara
intraperitoneal dan inhalasi) kelompok perlakuan juga diberikan perasan apel
dengan kadar 15%, 20% dan 25% (3ml/hari). Pengamatan menggunakan
mikroskop cahaya perbesaran 400x.
Hasil Penelitian dan Pembahasan: Hasil uji ANOVA didapatkan pengaruh yang
bermakna (p: 0,000). Hasil uji Post Hoc didapatkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05) pada kelompok perlakuan 15%, 20%, dan 25% (3ml/hari). Hasil uji
regresi linier didapatkan RSquare masing masing 0,856 dan 0,817 (perasan buah
apel memberikan pengaruh 85,6% dan 81,7%) pada bronkus primer kiri dan
kanan. Berkurangnya ketebalan dinding bronkus tersebut dikarenakan kadar
quercetin dalam perasan buah apel dapat menstabilkan membran sel mast
sehingga tidak terjadi pelepasan mediator inflamasi.
Kesimpulan: Perasan apel Malang (Malus sylvestris) berpengaruh terhadap
berkurangnya ketebalan dinding bronkus tikus yang diinduksi ovalbumin.
Kata Kunci: Perasan Apel Malang, Dinding Bronkus, Ovalbumin, Reaksi Alergi
x
ABSTRACT
Umar, Muhammad Arfan. 2019, "The Effect of Apple Juice (Malus sylvestris) on
White Rats (Rattus norvegicus strain wistar) Bronchial Wall Thickness
Induced by Ovalbumin" Final Project of the Faculty of Medical,
University of Muhammadiyah Malang. Advisor: (I) Desy Andari,* (II)
Meddy Setiawan.**
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGUJIAN…………………………………………………………v
KATA PENGANTAR……………………………………………………………vi
ABSTRAK ...........................................................................................................x
ABSTRACT ........................................................................................................xi
xii
1.4.2 Manfaat Klinik ..........................................................................5
xiii
3.2 Hipotesis .......................................................................................26
xiv
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA...………….……..42
BAB 6 PEMBAHASAN…………………………………………………….47
7.1 Kesimpulan………………………………………………............54
7.2 Saran……………………………………………………………...55
DAFTAR PUSTAKA………………………………......................................56
LAMPIRAN………………………………....................................................59
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 2 Rerata kadar quercetin di beberapa pengolahan dan varietas apel ................10
Tabel 5. 1 Grafik Rerata Ketebalan Dinding Bronkus Tikus dalam Milimeter .....42
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 5 Mekanisme reaksi alergi mulai dari kontak hingga reaksi ................20
xvii
DAFTAR SINGKATAN
BB : Berat badan
BR-1 : Broiler 1
Ig E : Imunoglobulin E
IL : Interleukin
O2 : Oksigen
OVA : Ovalbumin
Th2 : T-helper 2
xviii
BAB 1
PENDAHULUAN
terhadap bahan lingkungan yang tidak berbahaya sehingga dapat merugikan bagi
tubuh. Pajanan berulang alergen terhadap orang yang telah tersensitisasi dapat
memicu serangan imun yang bervariasi. Mulai dari reaksi ringan hingga reaksi
berat bahkan dapat mematikan (Sherwood, 2014). Insidensi kejadian alergi terus
pada tahun 2011 prevalensi alergi terus meningkat hingga 30 - 40% populasi
dunia. Setidaknya ada lebih dari setengah populasi di amerika (54,3%) mengalami
alergi dan hal mencakup reaksi alergi pada umumnya seperti hay-fever, asma,
dermatitis atopik, dan alergi makanan. (Owen, Punt, & Stanford , 2013)
Salah satu penyakit dengan manifestasi klinis dari alergi yaitu asma.
berbagai tingkatan umur, mulai dari kelompok umur <1 tahun hingga kelompok
diberikan pada pasien asma sendiri terbagi menjadi dua kategori, yaitu jangka
waktu yang panjang dan pada saat serangan akut. (Infodatin, 2015)
1
Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh
Antigen Presenting Cell (APC) (Baratawidjaja, 2006). Hasil olahan alergen oleh
T-helper 2 (Th2) (Nairn & Helbert, 2002). Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan
interleukin (IL) 4 dan IL-13 yang memacu sel B (sel-sel plasma) untuk
dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi
(Sell, 2001). Imunoglobulin E yang terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan
mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan
prostaglandin. Faktor kemotaktis seperti IL-5 dan Tumor Necrosis Factor (TNF) α
juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor kemotaktis ini akan
dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas & Lichtman, 2003). Infiltrasi sel-
sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada dinding bronkus (Sundaru &
Sukamto, 2006).
napas mengacu pada perubahan stuktur yang kronis dan irreversibel yang didasari
hipersekresi mukus, pembentukan plug mukus, hipertrofi dan hiperplasi otot polos
2
saluran napas yang berakibat penebalan dinding saluran napas dimana
Salah satu alergen yang sering kita jumpai yaitu ovalbumin. Ovalbumin
(OVA) merupakan protein utama dari putih telur avian, yaitu sekitar 60-65% dari
seluruh putih telur dan protein yang pertama kali dapat diisolasi dalam bentuk
yaitu penggeseran respon imun hewan coba ke arah TH2 dominan (Abbas,
senyawa fenolik utama dalam jenis apel Malang dan kandungan terbesar dalam
mg/100 g apel malang segar adalah Sianidin (2,44 mg/100g) , Epicatekin (6,07
menghambat produksi dan pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya. Itu
3
stimulan, serta merelaksasi otot polos terutama pada otot polos bronkus dan
Maka dari itu, berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk
histopatologi bronkus.
Berdasarkan latar belakang di atas, secara garis besar dapat dirumuskan masalah :
ketebalan dinding bronkus pada tikus jantan galur wistar yang diinduksi
ovalbumin ?
Malang (Malus sylvestris) terhadap ketebalan bronkus pada tikus jantan galur
b. Kadar terbaik dari perasan apel Malang pada reaksi alergi yang
4
c. Meneliti hubungan perasan apel Malang dengan ketebalan dinding
bronkus.
terhadap gambaran ketebalan dinding bronkus pada tikus jantan galur wistar yang
diiunduksi ovalbumin.
pemberian perasan buah apel Malang (Malus sylvestris) terhadap alergi di saluran
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apel
Kata apel berasal dari Inggris yaitu apple. Apel adalah buah yang banyak
dikonsumsi orang di seluruh dunia, bukan hanya untuk pencuci mulut tapi juga
untuk menambah gizi pada tubuh. Apel merupakan tanaman buah tahunan yang
dari Eropa dan Australia. Buah ini masuk ke Indonesia pada tahun 1934 dan
memiliki beberapa varietas apel unggulan antara lain: Rome Beauty, Manalagi,
Anna, Princess Noble dan Wangli atau Lali jiwo (Shatikah, 2010).
dalam penyebaran buah apel dengan membeli apel dari Eropa dan membawanya
hanya dapat hidup subur di daerah yang mempunyai t emperatur udara dingin.
sedangkan apel lokal di Indonesia terkenal berasal dari daerah Malang, Jawa
Timur dan berasal dari daerah Gunung Pangrango, Jawa Barat (Shatikah 2010).
6
2.1.2 Taksonomi Apel
tahunan yang tumbuh didaerah dengan iklim sub tropis. Kedudukan tanaman apel
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Familia : Rosaceae
Genus : Malus
Grade Buah Apel Selama ini merupakan standar mutu yang berlaku untuk
apel berdasarkan berat, ukuran dan jumlah per kilogramnya, yang terdiri 4 grade
yaitu Grade A = 15.90% (3-4 buah/kg), Grade B = 45.20% (5-7 buah/kg), Grade C
= 29.60% (8-10 buah/kg) dan Grade D = 7.00% (11-15 buah/kg). Buah apel yang
7
berukuran sangat kecil (krill) dan broken/cacat/rusak tidak dimasukkan
dalam kelas A sampai D sejumlah 2.30%. Setiap grade dari buah apel memiliki
ukuran yang berbeda beda. Grade A memiliki ukuran paling besar dan grade D
memiliki ukuran paling kecil. Sedangkan yang rusak atau cacat dimasukkan
dalam grade E. Secara umum grade E tidak memiliki ukuran yang spesifik karena
apabila grade A sampai D rusak atau cacat dimasukkan dalam grade E. Ukuran
diameter dari masing-masing grade adalah sebagai berikut, grade A 7-8 cm, grade
Jenis-jenis apel yang umum dan mudah ditemui di pasaran antara lain:
a. Red delicious berasal dari Amerika, kulit agak tebal, warna kulit merah
hati bergarisgaris, daging buah lunak, berair dan rasa manis sedikit asam
(Han, 2011).
matang dengan aroma kuat, tekstur sedikit liat dan kandungan air kurang,
daging buah berwarna putih kekuningan, bentuk buah sedikit bulat dengan
ujung dan pangkal berlekuk dangkal, kulit buah berwarna hijau muda
kekuningan saat matang. Diameter buah antara 4-7 cm dan berat 75-160 g
c. Apel Rome Beauty, perpaduan antara rasa manis dan rasa asam, berwarna
merah semburat hijau segar dengan tekstur daging keras (Han, 2011).
8
d. Apel Fuji merupakan tanaman buah tahunan berasal dari Asia Barat yang
beriklim sub tropis. Apel dapat tumbuh di Indonesia setelah tanaman apel
ini beradaptasi dengan iklim Indonesia, yaitu iklim tropis (Baskara, 2010).
Warna kulit buah merah jambu kekuningan, tekstur daging buah renyah
apel yang telah mengalami pengolahan (juicing dan blending) lebih rendah
dibandingkan apel dalam bentuk segar, sedangkan kadar quercetin jus apel
(blending). Selain itu, rerata kadar quercetin pada varietas apel impor (Fuji dan
9
Red delicious) pada masing-masing perlakuan lebih rendah dibandingkan
rerata kadar quercetin pada varietas apel lokal (Rome beauty dan Manalagi).
Tabel 2.2 Rata – rata kadar quercetin pada beberapa pengolahan dan varietas apel
Jenis Pengolahan Varian Apel Rata – rata kadar quercetin
(mg/L)
Apel segar Rome Beauty 477,96 ± 11,27
Manalagi 406,57 ± 7,78
Red Delicious 206,54 ± 8,42
Fuji 272,89 ± 8,28
Jus apel (Juicer) Rome Beauty 242,96 ± 8,80
Manalagi 185,22 ± 9,91
Red Delicious 98,85 ± 8,99
Fuji 133,90 ± 6,25
Smoothie (Blending) Rome Beauty 136,66 ± 4,84
Manalagi 118,12 ± 6,09
Red Delicious 55,80 ± 1,69
Fuji 86,12 ± 8,68
Hal ini dapat terjadi karena pada proses pengolahan terjadi proses
penambahan air (pada proses blending) yang tentunya akan mempengaruhi kadar
quercetin yang terkandung dalam buah apel itu sendiri. Selain itu, adanya paparan
oksigen yang menyebabkan terjadinya proses enzimatis pada apel yang diolah
juga dapat mempengaruhi kadar quercetin yang terkandung. Hal inilah yang
menyebabkan kadar quercetin pada apel segar lebih tinggi daripada apel yang
diolah (Cempaka et all, 2014). Handayani dan Sulistyo, 2008, menjelaskan bahwa
10
senyawa flavonoid sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan
apabila teroksidasi, strukturnya akan berubah dan fungsinya sebagai bahan aktif
akan menurun. Pada jus apel kadar quercetinnya lebih tinggi dibandingkan dengan
smoothie apel karena pada jus apel terjadi proses penyarian semua zat gizi yang
terkandung dalam apel dan penghalusan semua bagian buahnya. Sedangkan pada
smoothie apel, tidak terjadi proses penyarian (pembuatan perasan) dan tidak
semua bagian buah dapat dihaluskan seperti bila menggunakan juicer karena pisau
yang digunakan juga berbeda, sehingga diduga terdapat kandungan quercetin yang
masih terikat dengan material dinding sel, dan akhirnya menyebabkan kandungan
perasan) buah apel pada proses juicing berbeda dengan pengecilan ukuran yang
terjadi pada proses blending . Proses penyarian yang dilakukan melalui proses
oksigen, sedangkan pada proses blending apel mengalami pengecilan ukuran dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghaluskan jaringan dan serat
buah sehingga kontak dengan oksigen akan jauh lebih lama juga. Hal ini
11
2.1.5 Kandungan Buah Apel
juga mengandung flavonoid tambahan yang tidak terdapat pada daging buah
seperti quercetin glycosides dan cyanidin glycoside (Wolfe dan Liu, 2003). Di
12
menghambat autooksidasi dalam menetralisasi radikal bebas (Panovska et al.,
reaksi inisiasi pada reaksi berantai pembentukan radikal bebas dalam konsentrasi
yang sangat kecil, yaitu 0,01% atau bahkan kurang. Karakter utama senyawa
2001).
memiliki kadar kuersetin yang jauh lebih tinggi (340.99 ± 4.9 mg/L). Sedangkan,
diantara kedua bentuk pengolahan yang dilakukan, perasan apel memiliki kadar
kuersetin yang lebih tingi dibandingkan dengan jus apel (Cempaka et all, 2014).
modern yang ingin segalanya serba praktis, perasan buah sangatlah tepat untuk
13
Perasan buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang
Estiatih, 2015).
2.3 Bronkus
2.3.1 Anatomi
Bronkus adalah jalan udara pada traktus respiratorius yang menghubungkan
antara udara dengan paru - paru. Bronkus terbagi menjadi 3 percabangan yaitu
dari trakea dan merupakan bagian dari ekstrapulmonal. Fungsi bronkus sendiri
sama menyambungkan trakea denga paru paru juga sebagai kaliber penyaluran
udara ke dalam paru paru, bronkus primer terbagi menjadi bagian kanan dan
kiri.Bronkus bagian kanan lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal dibanding
bronkus bagian kiri. Bronkus bagian kanan bercabang menjadi tiga bagian yang
menyalurkan oksigen melalui tiga jalur yaitu superior, middle/media, dan inferior.
Percabangan bronkus ini disebut juga bronkus sekunder kemudian bronkus tersier
dimana bronkus ini merupakan bagian dari intrapulmonal sehingga fungsi dari
bronkus ini melembabkan udara yang masuk dan juga menopang paru paru.
Bronkus bagian kanan ini di vaskularisasi oleh vena azygos dan juga arteri
pulmonalis dextra. Bronkus bagian kiri lebih kecil tetapi lebih panjang. Bronkus
14
bagian kiri hanya memiliki dua bagian yang menyalurkan oksigen yaitu
bagian inferior dan bagian superior. Bronkus bagian kiri divaskularisasi oleh arteri
"
15
Seluruh traktus pulmonar dilapisi oleh sel epitel yang memiliki fungsi penting
untuk menjaga fungsi normal dari sistem respirasi. Sel ini bisa berfungsi sebagai
seperti sel otot polos dan sel inflamatori. Sel epitel yang melapisi trakea dan
bronkus utama terdiri dari sel bersilia, sel goblet, sel serous, sel Clara, brush cells,
pulmonary neuroendocrine cells (PNECs), dan sel basal (Gambar 3).7 Bentuk dari
sel bersilia adalah kolumnar dengan permukaan yang diliputi oleh silia. Setiap sel
bersilia pada saluran pernapasan bagian proksimal memiliki kurang lebih 200-300
silia yang diameternya ± 250 nm dan panjangnya ± 6 µm. Fungsi utama dari sel
bersilia adalah untuk menjalankan transpor mukosiliar. (John Wiley & Sons Ltd,
2008)
2.3.2 Histologi
kecuali susunan tulang rawan dan otot polosnya. Lapisan mukosa terdiri dari
lapisan sel-sel epitel silindris berlapis semu bersilia dengan lamina propria yang
tipis (dengan banyak serabut elastin). Sedangkan tulang rawan bronkus berbentuk
lebih tidak teratur daripada tulang rawan trakea. Bagian bronkus terbagi menjadi 3
bagian yaitu primer, sekunder dan tersier. Sebagai bronkus yang paling besar,
16
mengecilnya lumen pada bronkus sekunder dan tersier, cincin tulang rawan
bagian dari bronkus ini akan merupakan bagian dari intrapulmoner. Dibawah
epitel, dalam lamina propria bronkus tampak adanya lapisan otot polos (SM) yang
terdiri dari anyaman berkas otot polos yang tersusun menyilang. (Horst R.
Konrad, 2017)
2.4 Hipersensitivitas
serius. Oleh Coombs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat
kelas yaitu :
17
1. Tipe I : Mastosit mengikat Ig E melalui reseptor Fc. Ikatan antara antigen
mediator.
respon sitoksik sel K (sebagai efektor ADCC) dan atau sel melalui aktivitas
komplemen.
" "
Tabel 2.4 Perbedaan antara reaksi hipersensitivitas I, II,III, dan IV. (Rifai, 2011)
18
2.4.1 Mediator alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi, yang termasuk sel
mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil
mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
Mediator tersebut adalah histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan
heparin. Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap
alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi
alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast
atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan
sistem nukleotida siklik yang meningkatkan rasio cGMP terhadap cAMP dan
masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan
dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
meningkatkan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Bila terjadi sistemik
pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat
19
"
Gambar 2.5 Mekanisme reaksi alergi mulai dari kontak hingga reaksi (Utari, 2010).
Keterangan : Gambar menunjukkan proses yang dimulai dari adanya alergen / antigen yang
ditangkap oleh makrofag (salah satu antigen presenting cell / APC) yang akan mengirimkan
sinyal untuk dibawa ke limfosit T terutama T helper. Limfosit akan mengenali dan
memerintahkan sel B (limfosit B) untuk menghasilkan IgE untuk menempel di mast sel.
Apabila terjadi kontak terhadap alergen lagi, alergen langsung terikat IgE yang sudah
menempel di mast sel yang akan memicu pelepasan histamine.
kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu
serta diproses oleh Antigen Presenting Cells (APC) di dalam endosom. Kemudian
kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan
Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat
sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B
menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor
20
IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil. (Utari,
2010)
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami
alergen yang sangat dipengaruhi oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak
lokus gen. Individu atopi mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada
sirkulasi darah demikian juga level eosinofilnya jika dibandingkan orang normal.
asma dan alergi serbuk bunga. Faktor genetik dan lingkungan masing-masing
berkontribusi 50% pada kejadian penyakit alergi seperti asma. Umumnya setiap
etnik mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap suatu penyakit. Gen yang
mengkode kerentanan terhadap asma dan atopi dermatitis berada pada kromosom
21
Gen lain yang terlibat pada asma dan dermatitis atopi terletak pada
(Rifai, 2011).
Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam berbagai
penelitian adalah binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan tikus
(Rattus norvegicus L.). Hal ini disebabkan karena secara genetik, manusia dan
kedua hewan uji tersebut mempunyai banyak sekali kemiripan. Jenis mencit dan
tikus yang paling umum digunakan adalah jenis albino galur Sprague Dawley dan
galur Wistar, seperti terlihat pada Gambar II.9. Kedua jenis hewan tersebut sering
digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian dan pelatihan medis pada
digunakan dalam bidang gizi, terutama untuk mempelajari hubungan antara nutrisi
22
Jika dibandingkan dengan tikus betina, tikus jantan lebih banyak digunakan sebab
"
"
Sel epitel Bronkus Epitel silindris berlapis semu Epitel silindris berlapis bersilia
bersilia
" "
23
Kingdom : Animalia
Divisi : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Tikus putih atau yang lebih dikenal dengan tikus albino ini lebih banyak dipilih
karena tikus yang dilahirkan dari perkawinan antara tikus albino jantan dan betina
mempunyai tingkat kemiripan genetis yang besar, yaitu 98%, meskipun sudah
lebih dari 20 generasi. Bahkan setelah terjadi perkawinan tertutup di antara tikus
albino ini, mereka masih mempunyai kemiripan genetis yang sangat besar yaitu
24
BAB 3
Pemberian
Degranulasi sel mast Ovalbumin dengan
dan basofil menggunakan
Nebulizer
: menghambat
: diteliti
25
Pemberian ovalbumin yang disuntikkan secara intra peritoneal pada
hewan coba akan menyebabkan makrofag sebagai salah satu APC untuk
masuk ke sirkulasi darah sehingga dapat berikatan dengan reseptor di sel mastosit
(sel mast) dan basofil hal ini disebut fase sensitisasi. Pada saat kontak ulang
berikatan dengan IgE yang telah berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau
spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos
perasan perasan apel degranulasi sel mast dan pelepasan mediator histamin dapat
3.2 Hipotesis
26
BAB 4
METODE PENELITIAN
Test Control Group Design, yaitu rancangan penelitian yang hasil penelitiannya
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua tikus putih jantan (Rattus
UMM.
4.3.2 Sampel
27
Tabel 4.1 Rumus penentuan jumlah sampel
Annova Minimum Maximum
Application
Design n/grup n/grup
One-way G r o u p
10/k +1 20/k+1
Annova Comparasion
Keterangan :
k : Jumlah kelompok
n = 10/k +1
n = 10/5 +1
n=3
n = 20/k +1
n = 20/5 +1
n=5
karena untuk mengantisipasi jika ada tikus yang drop out selama
28
juga akan digunakan oleh peneliti lain. Maka jika dijumlahkan pada
penelitian ini digunakan kurang lebih 25 sampel. Baik tikus cadangan dan
tikus perlakuan diberi perlakuan yang sama dan pada waktu yang sama.
sampling.
2. Kriteria Eksklusi
29
2. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah
4.3.6.2.Variabel Terikat
buah apel yang di juicer seutuhnya lalu diambil bagian yang paling cair
dari hasil jusnya tersebut dengan spuit. Pemberian perasan apel ini
30
b. Ovalbumin
dan 2 mg Al(OH)3 dalam 0,2 cc normal salin secara ip pada hari pertama,
c. Dinding Bronkus
Tebal dinding bronkus yang akan diukur mulai dari mukosa hingga
batas tepi tulang rawan hialin bronkus primer dextra dan sinistra dimana
adalah kaliber jalan udara pada sistem pernapasan yang membawa udara
ke paru paru. Skala pada variabel ini adalah numerik yaitu skala rasio.
4.5.1 Alat
a. Juicer
b. Timbangan hewan
c. Kandang hewan
31
e. Timbangan analitik
f. Sekam
g. Pisau
h. Gelas ukur
i. Labu takar
j. Spuit injeksi
k. Spuit oral
l. Kassa
m. Pipet
n. Handscoon
o. Tissue
p. Pipet mikro
q. Nebulizer
r. Microscope
4.5.2. Bahan
c. aquadest
d. normal salin
e. AL(OH)3
f. NaOH
32
g. pakan standar BR-1
secara intraperitoneal pada hari pertama, hari ke-tujuh dan hari ke-
pada hari ke- sembilan belas dan hari ke-dua puluh dua.
ke- sembilan belas dan hari ke-dua puluh dua. Serta diberikan sari
33
apel 3ml dengan kadar 25% peroral, hari ke-15 sampai hari ke-22.
ke- sembilan belas dan hari ke-dua puluh dua. Serta diberikan sari
buah apel 3ml dengan kadar 20% (v/v) secara peroral pada hari
ke- sembilan belas dan hari ke-dua puluh dua. Serta diberikan sari
buah apel 3ml dengan kadar 25% (v/v) secara peroral pada hari
Pada hari pertama, hari ke-tujuh dan hari ke-empat belas dilakukan
34
intraperitoneal. Selanjutnya sensitisasi ulangan pemberian
selama 30 menit pada hari ke- sembilan belas dan hari ke-dua puluh dua.
Kemudian, hari ke- lima belas sampai hari ke- dua puluh dua perlakuan,
tikus kelompok III, IV dan V diberikan sari apel secara per oral dengan
kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kelompoknya. Pada hari ke- dua
primer.
2. Aklimatisasi
BR-1 yang diberikan 1 kali sehari. Jika ada sisa makanan, maka
sisanya dibuang lalu diganti dengan yang baru. Tikus juga diberi
berat badannya.
35
Tanuwijaya, 2014). Sehingga dilakukan konversi dosis dari manusia
berikut ini.
Mencit
Tikus
Marmot
Kelinci
Kucing
4,0 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,9 1,9 6,1
Kera
12,0 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 1,0 1,0 3,1
Anjing
70 kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
Manusia
(Anggara, 2009)
36
4 200
" = = x = 3 ml
x 150
37
buah apel dan 100ml untuk aquadest, kemudian
coba.
yaitu sebesar :
dengan cetirizine.
gumpalan.
38
diambil dengan jalan pembedahan di Laboratorium
KESIMA Malang.
tersebut.
39
4.7 Alur Penelitian
Adaptasi hewan coba
Pengelompokan hewan
Hari 1– 14
pakan - Pada hari ke-1, ke-7 dan ke-14
- Pada hari ke-1, ke-7
standar diinduksi ovalbumin 70 µg dan
dan ke-14 diinduksi
BR-1 (15 14 mg Al(OH)3 dalam 1,2 cc
ovalbumin 70 µg dan
gram) dan normal salin secara i.p
14 mg Al(OH)3 dalam
air minum. 1,4 cc normal salin
secara i.p
Pengumpulan data
Analisis data
40
4.8 Analisis Data
menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, uji ANOVA, uji post hoc
persebaran data.
(pemberian sari buah apel 3 ml, dengan kadar 15%, 20%, 25%)
3. Uji Post Hoc merupakan uji kelanjutan dari uji ANOVA, digunakan
41
BAB 5
1. Hasil Penelitian
sebagai sampel termasuk dalam kriteria drop out dikarenakan penurunan berat
badan dan tampak tidak aktif saat masa adaptasi seperti pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Grafik Rerata Ketebalan Bronkus Tikus dalam Milimeter (mm)
K- K+ P1 P2 P3
0,8
0,8
0,7
0,6
0,6
0,5
0,4
0,4
0,2
0,0
42
Keterangan: K- (kelompok normal); K+ (Kelompok kontrol positif) dengan pemberian
induksi ovalbumin secara intraperitoneal dan inhalasi; P1 (Kelompok perlakuan yang diberi
induksi ovalbumin dan diberikan perasan apel malang dengan kadar 15 %v/v); P2 (Kelompok
perlakuan yang diberi induksi ovalbumin dan diberikan perasan apel malang dengan kadar 20 %v/
v); P3 (Kelompok perlakuan yang diberi induksi ovalbumin dan diberikan perasan apel malang
2. Analisis Data
normal pada semua kelompok karena signifikansi lebih dari 0,05. Setelah itu
dilakukan uji homogenitas yang didapatkan hasilnya yaitu 0,421 dimana nilai ini
bronkus tikus jantan putih galur wistar yang dapat dilihat dari adanya perbedaan
Tabel 5.2 diatas menunjukkan data hasil bernilai signifikan karena p<0,05.
ketebalan dinding bronkus tikus jantan putih galur wistar baik kiri maupun kanan.
43
Untuk membuktikan bahwa perbedaan ketebalan dinding bronkus tikus
jantan putih galur wistar pada masing-masing kelompok data bermakna maka
perlu dilakukan uji Post Hoc. Pengujian Post Hoc pada penelitian ini
jantan putih galur wistar pada kelompok kontrol berbeda signifikan dengan
perasan Apel Malang (Malus sylvestris) mulai kadar 15%v/v dapat memberikan
efek terhadap ketebalan dinding bronkus tikus jantan putih galur wistar. Untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh perasan Apel Malang (Malus sylvestris) pada
ketebalan dinding bronkus tikus putih jantan galur wistar dilakukan uji regresi
linier.
44
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.4 diatas dapat diketahui pemberian
perasan Apel Malang (Malus sylvestris) dengan kadar 15%v/v, 20%v/v, 25%v/v
jantan putih galur wistar yaitu p < 0,05 dengan arah korelasi negatif (nilai
koefisien korelasi negatif) .Hasil uji regresi linear memiliki nilai R-square (R2)
pada ketebalan dinding bronkus kiri sebesar 0,856 sedangkan pada dinding
bronkus kanan sebesar 0,817 yang menunjukkan bahwa kadar perasan apel
kanan masing masing sebesar 85,6 % dan 81,7% sedangkan sisanya yaitu 14,4%
dan 18,3% dipengaruhi oleh faktor lain selain kadar perasan Apel Malang.
Y : a + b (X) Keterangan:
bronkus kiri tikus jantan putih galur wistar adalah sebesar 0,959. Kemudian setiap
dinding bronkus kiri tikus jantan putih galur wistar akan berkurang 0,016 mm.
45
Adapun persamaan regresi pada kadar perasan Apel Malang terhadap
Y : a + b (X) Keterangan:
bronkus kanan tikus jantan putih galur wistar adalah sebesar 0,946. Kemudian
ketebalan dinding bronkus kanan tikus jantang putih galur wistar akan berkurang
0,015 mm.
Hasil uji regresi linier sederhana sebelumnya juga didapatkan nilai R untuk
masing masing bronkus kiri dan kanan yaitu 0,925 dan 0,904 dimana nilai ini
sylvestris) dengan ketebalan dinding bronkus tikus jantan putih galur wistar. Dari
sangat kuat antara perasan buah Apel Malang (Malus sylvestris) terhadap
ketebalan dinding bronkus tikus putih jantan galur wistar. (Dahlan, 2014).
46
BAB 6
PEMBAHASAN
perbedaan antar kelompok normal dan kelompok kontrol positif yang berarti
dengan kelompok normal. Hal ini disebabkan karena Ovalbumin yang mampu
merangsang pembentukan respon imun ke arah sel Th2 dimana akan terjadi reaksi
putih telur, yang ketika masuk ke dalam tubuh akan dikenali oleh sel tubuh
sebagai alergen. Sensitisasi dengan ovalbumin baik secara inhalasi, oral, maupun
macam interleukin (IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13) yang dapat meningkatkan tingkat
inflamasi (Prasetyo, 2007). IL-4 merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE
akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE seperti sel mast, basofil dan
eosinofil yang memicu respon awal berupa vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan
spasme otot polos. Apabila tubuh terpajan ulang oleh alergen sel mast akan
prostaglandin, dan leukotrien dimana mediator tersebut dapat memicu reaksi fase
lambat yaitu edema mukosa, sekresi mukus, infiltrasi leukosit, kerusakan epitel,
47
dan bronkospasme.(Baratawidjaja, 2009; Abbas dan Litchman, 2017; Cahiadewi,
perlakuan, dengan nilai signifikansi 0,000 baik pada ketebalan dinding bronkus
kiri maupun kanan. Hal ini menunjukkan bahwa tiap kelompok perlakuan
memiliki perbedaan ukuran ketebalan dinding yang berbeda beda. Ini disebabkan
karena kelompok perlakuan diberikan perasan buah Apel (Malus sylvestris) yang
memiliki kandungan flavonoid yang tinggi. Salah satu flavonoid yang utama
dalam buah apel adalah quercetin. Menurut Cempaka, Santoso, & Tanuwijaya
(2014), perasan buah apel Malus sylvestris mengandung quercetin sebesar 165,23
mg/L.
antara kelompok yang diinduksi ovalbumin dengan kelompok yang diberi perasan
buah Apel (Malus sylvestris) dengan kadar 15% adalah 0,017 untuk bronkus kiri
48
dan 0,010 untuk bronkus kanan dimana ini menunjukan bahwa perasan Apel
Malang (Malus sylvestris) mulai kadar 15%v/v dapat memberikan efek terhadap
ketebalan dinding bronkus tikus jantan putih galur wistar. Quercetin mempunyai
mast tidak terjadi, maka mediator kimia seperti histamin, prostaglandin, dan
leukotrien tidak keluar dari dalam sel mast. Selain itu, quercetin mampu
stimulus histidine decarboxylase (HDC) mRNA terhadap sel mast (Lakhanpal dan
Rai, 2007). Quercetin juga terbukti mampu menurunkan aktivasi dari faktor
TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8. Aktivasi sitokin pada sel mast melalui IgE juga dapat
dimana akan berdampak pada pencegahan terjadinya respon awal dan respon
lanjutan yang mempengaruhi ketebalan dinding bronkus baik kiri maupun kanan
dilakukan juga uji Post Hoc Bonferroni terhadap kelompok normal dengan
kelompok perlakuan dengan kadar 25%v/v untuk mengetahui sampai sejauh mana
49
pengaruh yang diberikan perasan buah Apel (Malus sylvestris) terhadap ketebalan
dinding bronkus dimana didapatkan hasil 0,175 untuk bronkus kiri dan 0,049
untuk bronkus kanan yang berarti perasan buah Apel (Malus sylvestris) dengan
kadar 25%v/v menurunkan ketebalan dinding bronkus pada tikus jantan putih
kelompok normal tidak signifikan untuk bronkus kiri, dan signifikan untuk
(2014) tentang Efek Perasan Buah Apel (Malus domestica) Varietas Red Delicious
Sebagai Anti Alergi Terhadap Respon Anafilaksis Pada Tikus Jantan Galur Wistar
Yang Diinduksi Ovalbumin menunjukkan hasil bahwa perasan buah apel (Malus
domestica) varietas Red Delicious kadar 20% memiliki efek anti alergi terhadap
respon anafilaksis pada tikus jantan galur wistar yang berbeda tidak signifikan.
Hal ini menunjukkan, dengan kadar yang sama yaitu 20%, perasan Malus
sylvestris memiliki efek yang lebih baik dibandingkan perasan Malus domestica
varietas Red Delicious. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan quercetin
pada Malus domestica varietas Red Delicious sebesar 98,85 mg/L, lebih rendah
(ketebalan dinding bronkus) baik yang kiri maupun yang kanan didapatkan hasil
50
kuat pengaruh perasan buah Apel Malang ketebalan dinding bronkus kiri dan
kanan masing masing sebesar 85,6 % dan 81,7%. Bentuk persamaan yang
antara dosis pemberian perasan buah apel dan ketebalan dinding bronkus kiri dan
kanan. Hubungan yang ditunjukkan melalui nilai koefisien pada uji regresi linier
arah (-) atau berkebalikan, yang artinya semakin tinggi dosis pemberian buah apel
Faktor yang dapat berpengaruh dalam penelitian ini namun tidak diteliti terbagi
menjadi faktor eksogen dan endogen. Faktor endogen meliputi faktor genetik dan
stres yang dialami tikus selama proses penelitian berlangsung. Faktor genetik
yang dapat berpengaruh mulai dari ukuran ketebalan normal pada dinding bronkus
setiap hewan coba dan juga kecenderungan genetik untuk reaksi hipersensitivitas,
51
atau yang disebut sebagai atopi. Individu atopik memiliki kecenderungan bawaan
untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap alergen spesifik dan respon terhadap
alergen terjadi secara berlebihan (Ningrum, Suprihati & Santosa, 2016). Stress
yang dialami tikus dapat menyebabkan peningkatan efek supresif pada eosinofil
dan sitokin pro-inflamasi lainnya (Chang, 2010). Secara umum stres akan
imun yang didominasi peranan sel TH2, yang berperan dalam patogenesis (Lufita,
2015). Faktor endogen ini tidak dapat dilakukan intervensi untuk diminimalisir.
coba dalam penelitian. Faktor eksogen ini diminimalisir oleh peneliti dengan
memakai tikus dari lingkungan yang sama dari peternak tikus yang sama,
mengontrol makanan dan minuman serta menempatkan seluruh tikus coba pada
tetap pada suhu 20o - 28oC. Suhu ruangan kurang dari 20oC dapat mempercepat
Pada penelitian ini digunakan perasan buah apel yang harapannya dapat
memberikan efek untuk menurunkan ketebalan dinding bronkus pada tikus jantan
putih galur wistar, karena menurut Cempaka, Santoso, & Tanuwijaya (2014),
52
bentuk pengolahan buah apel (Malus sylvestris) yang memiliki kadar quercetin
tertinggi adalah dalam bentuk perasan atau jus. Sementara, pada penelitian yang
dilakukan oleh Utami (2010) tentang “Perbedaan Daya Hambat Extrak dan
Albicans”, efek yang diberikan quercetin sebagai flavonoid antialergi akan lebih
ekstrak yang dikuatkan sehingga efek yang timbul akan lebih optimal. Tetapi
quercetin dalam ekstrak buah apel (Malus sylvestris), dan kemudahan dalam
buah apel menjadi salah satu pertimbangan peneliti untuk memilih bentuk perasan
daripada ekstrak. Keterbatasan penelitian ini adalah terdapat tikus yang drop out
sebanyak dua ekor tikus pada saat proses pemaparan ovalbumin dengan jalan
inhalasi, hal ini dapat terjadi dikarenakan ketidak mampuan tikus dalam
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Akan tetapi ditemukannya tikus yang
drop out tidak mempengaruhi hasil statistik yang dilakukan karena batas sampel
tiap kelompok yang telah ditentukan yaitu 3 sampel sedangkan 2 sampel lainnya
sebagai cadangan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan yaitu pemberian
53
BAB 7
7.1 Kesimpulan
ketebalan dinding bronkus primer kiri dan kanan pada tikus jantan putih (Rattus
2. Dosis pemberian perasan buah apel (Malus sylvestris) yang berpengaruh untuk
bronkus primer kiri dan kanan tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) yang
diinduksi ovalbumin yaitu 3 ml dengan kadar 15%, 20%, dan 25% dengan kadar
3. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pemberian perasan buah apel
dan kanan tikus jantan putih (Rattus norvegicus strain wistar) yang diinduksi
ovalbumin.
85,6% dan 81,7% menurunkan ketebalan dinding bronkus primer kiri dan kanan
tikus putih jantan (Rattus norvegicus strain wistar) yang diinduksi ovalbumin.
54
7.2 Saran
Dari kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan saran-saran yang
sebagai berikut:
buah apel (Malus sylvestris) terhadap respon alergi tikus dengan parameter lain,
misalnya pada trakea, bronkus sekunder dan tersier, atau mediator kimia seperti
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan ekstrak buah apel
ketebalan dinding bronkus pada tikus jantan putih yang diinduksi ovalbumin.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, 2017, Celluler and Moleculer Immunology. 9th
Ed., Canada: W.B, Saunders Company
Adhi, Galih Y. C., 2015, Pengaruh Sari Buah Apel (Malus sylvestris) Yang
Mengandung Quercetin Terhadap Fungsi Memori Jangka Pendek Tikus
Putih (Rattus norvegicus strain wistar) Yang Diinduksi Diet Tinggi Lemak,
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Guyton & Hall, J.E, 2014, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Indonesia : Saunders,
Elvesier Inc
Hapsari M.D.Y, Estiasih T, 2015, Variasi Proses dan Grade Buah Apel Pada
Pengolahan Sari Apel, Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3, pp.939-949
Iriyanti N., Rustomo B., Rimbawanto E, 2009, Isolasi dan Identifasi Mikroba
Rumen Penghasil Antihistamin “Histamine Methyl Transferase“,
Purwokerto, Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman.
56
Jensen E.N., Buch-Andersen T., Ravn-Haren G. and Dragsted L, 2009, Mini-
Review: The Effects of Apples on Plasma Cholesterol Levels and
Cardiovascular Risk-A Review of the Evidence, Journal of Horticultural
Science &Biotechnology, 84, pp.34-41.
Leasa B.N, 2010, Pemberian Ovalbumin Sebagai Penyebab Alergi pada Marmot,
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Ningrum T.S, Suprihati, Santosa Y.I, 2016, Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit
(curcuma longa) Terhadap Jumlah Eosinofil di Jaringan Paru pada
Penyakit Alergi : Studi Eksperimental Pada Mencit balb/c yang diinduksi
ovalbumin.
Owen J.A, Punt Jenni, Jones P.P, 2013, Kuby: Immunology, North American: W.
H. Freeman and Company
Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. 2011. Introduction and
Executive Summary: Establishing the need to treat Allergic Diseases as a
Global Public Health issue. In: WAO White Book on Allergy.
Rupa P., Schnarr L., Mine Y., 2015, Effect of heat denaturation of egg white
proteins ovalbumin and ovomucoid on CD4+ T cell cytokine production
and human mast cell histamine production, Department of Food Science,
University of Guelph, Guelph, Ontario N1G2W1, Canada, 18, pp. 28-34
57
Siregar S, 2010, Imunitas Humoral. In: Akib, Arwin AP., et al. (ed.) : Buku Ajar
Alergi-Imunologi Anak Dalam Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Smith AJ, Oertle J, Warren D, et al., 2016, Quercetin: A Promising Flavonoid with
a Dynamic Ability to Treat Various Diseases, Infections, and Cancers,
Journal of Cancer Therapy, 2016, 7, 83-95, Scientific Research Publishing
Inc.
Thohiroh A., Zulkarnain I., 2015, Penelitian Retrospektif: Pengobatan Oral pada
Pasien Dermatitis Atopik Anak, Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Soetomo Surabaya, 27, pp. 192
USDA, 2007, USDA Database for the Flavonoid Content of Selected Foods
Release 2.1. 2007.
Utami, Wahyudi D., 2010, Perbedaan Daya Hambat Extrak dan Perasan Rimpang
Lengkuas (Alpinia galangal L) Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember, Jawa Timur.
Uthari LP, 2015, Hubungan Metode Persalinan Dengan Angka Kejadian Alergi
Pada Bayi, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Widjaja MC, 2008, Mencegah & Mengatasi Alergi & Asma pada Balita, Jakarta:
Kawan Pustaka.
58
Lampiran 1. Pengolahan Data dan Analisis Data
A. Bronkus Kiri
59
60
B. Bronkus Kanan
61
62
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan
64
Proses Sensitasi Ovalbumin Intraperitoneal dan Paparan Ulang Melalui Inhalasi
Proses Terminasi
65
Lampiran 3. Surat Keterangan Terminasi Tanaman Apel Malang (Malus sylvestris)
66
Lampiran 4. Keterangan Laik Etik
67
Lampiran 5. Surat Keterangan Selesai Penelitian
68
Lampiran 6. Kartu Konsultasi
69
Lampiran 7. Surat Keterangan Hasil Deteksi Plagiasi
70