Anda di halaman 1dari 53

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar

Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru
dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok
dari pemikiran Bandura (1962) juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard
tentang belajar meniru (imitative learning). Pada beberapa publikasinya, Bandura telah
mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang
memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini sangat berperan dalam
mempelajari efek dari isi media massa pada khalayak media di level individu.

Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar
sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil
pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana
tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang
memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari
fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain.
Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau
meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

B. Teori Kognisi Sosial

Adapun fondasi persepsi Bandura terhadap reciprocal determinism, memandang bahwa: (a)
faktor personal dalam bentuk kognisi, afektif, dan peristiwa biologis, (b) tingkah laku, (c)
pengaruh lingkungan membuat interaksi yang menjadi hasil dalam triadic reciprocality. Sifat
timbal balik penentu pada fungsi manusia ini dalam teori kognitif sosial memungkinkan untuk
menjadi terapi dan usaha konseling yang diarahkan pada personal, lingkungan, dan faktor
perilaku.

Teori kognitif sosial berakar pada pandangan tentang human agency bahwa individu merupakan
agen yang secara proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan mereka sendiri dan dapat
membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka. Adapun kunci pengertian agency adalah
kenyataan bahwa di antara faktor personal yang lain, individu memiliki self-beliefs yang
memungkinkan mereka melatih mengontrol atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka, bahwa
apa yang dipikirkan, dipercaya, dan dirasakan orang mempengaruhi bagaimana mereka bertindak
(Bandura, Albert. 1986: 25).

Human agency adalah kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses
berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Human agency dikonseptualisasikan dalam tiga cara
utama: 1) autonomous agency, di mana orang merupakan agen yang sepenuhnya mandiri bagi
tindakannya sendiri; 2) mechanical agency, di mana agency tergantung pada faktor lingkungan;
dan 3) emergent interactive agency, yang merupakan model bagi teori kognitif sosial.

Emergent interactive agency didasarkan pada model timbal-balik tiga arah (triadic reciprocality).
Reciprocal artinya hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu: perilaku (behavior),
faktor kognitif dan personal (person), dan pengaruh lingkungan (environment), yang masing-
masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Pengaruh-
pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya dan tidak terjadi secara berbarengan.

Perilaku manusia merupakan hasil interaksi timbal-balik antara peristiwa eksternal dan faktor-
faktor personal seperti kemampuan genetiknya, kompetensi yang dipelajarinya, pikiran reflektif
dan inisiatifnya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan pengaruhnya terhadap
dirinya (self-influence) dan menentukan tindakannya sendiri.

1. Esensi Teori
Bagi bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan
tingkah laku, prinsip itu harus memperthatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau
ditolak oleh paradigma behaviorisme. Definisi Belajar sosial (social kognitif) adalah perilaku
dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik, sebagai hasil reinformecement
maupun reiforcement.

Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya
sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan.
Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling
mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan
interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus
memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.

2. Konsep-konsep Utama dari Teori Kognitif Sosial

Sudah jelas bahwa konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian tentang
obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Jika ada seorang model di dalam
lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan
internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan hiburan, proses
belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model tersebut. Terkadang
perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling.

Modeling atau peniruan merupakan “the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi
perilaku yang langsung dan mekanis (Baran dan Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika
seorang ibu mengajarkan anaknya bagaimana cara mengikat sepatu dengan memeragakannya
berulang kali sehingga si anak bisa mengikat tali sepatunya, maka proses ini disebut proses
modeling. Sebagai tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses modeling dapat juga
terlihat pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru bagaimana
cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski demikian tidak semua
narasumber dapat memengaruhi khalayak, meski contoh yang ditampilkan lebih mudah dari
bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini, teori kognitif sosial kembali ke konsep
dasar rewards and punishments (imbalan dan hukuman) tetapi menempatkannya dalam konteks
belajar sosial.

Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi (inhibitory
effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects). Inhibitory Effects terjadi ketika seseorang
melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu, misalnya penangkapan dan
vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam pembuatan video
porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan mengurangi kemungkinan orang
tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi terkenal itu.

Sebaliknya, Disinhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi
penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya disebuah tayangan kontes adu
bakat di sebuah televisi ditampilkan sekelompok pengamen jalanan yang bisa memenangi hadiah
ratusan juta rupiah, serta ditawari menjadi model iklan dan bermain dalam sinetron karena
mengkuti lomba tersebut. Menurut teori ini, orang juga akan mencoba mengikuti jejak sang
pengamen jalanan.

Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang
sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan seseorang
sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement). Menurut Bandura (1986), vicarious
reinforcement terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome expectations) dan
harapan hasil (outcome expectancies).

Outcome expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang model diberi
penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama jika kita melakukan
perilaku yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh Baranowski dkk (1997: 162), People
develop expectations about a situation and expectations for outcomes of their behavior before
they actually encounter the situation (orang akan mengembangkan pengharapannya tentang suatu
situasi dan pengharapannya untuk mendapatkan suatu hasil dari perilakunya sebelum ia benar-
benar mengalamai situasi tersebut).

Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk outcome
expectancies (harapan akan hasil). Harapan-harapan ini memeprtimbangkan sejauh mana
penguatan tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah imabalan/penghargaan atau
hukuman. Misalnya, orang memang menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang
membintangi video porno memang pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga
mempertimbangkan kemungkinan perilaku yang sama yang dilakukan orang lain dalam video
porno tersebut mendapatkan imbalan misalnya berupa simpati atau bahkan tak diajukan ke
pengadilan karena dianggap sebagai korban, meski pada saat melakukan adegan video porno
tersebut ia dan si artis penyanyi yang dihukum itu sama-sama melakukannya dengan sadar. Hal
ini akan memengaruhi sejauh mana proses belajar sosial akan terjadi.

Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari pembelajaran dalam teori
kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang dikemukakan teori ini
yang akan memengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting
bagi teori ini adalah konsep identifikasi (indentification) dengan model di dalam media.
Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang merasakan hubungan
psikologis yang kuat dengan sang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi. Menurut White
(1972: 252) identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi hingga berusaha menjadi seperti sang
model dengan beberapa kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang anak yang mengidolakan
seorang atlet sepak bola, mungkin akan meniru atlet tersebut dengan cara menggunakan kostum
yang sama dengan atlet tersebut atau mengonsumsi makanan yang dikonsumsi atlet tersebut.

Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang ‘pengamat’ untuk
menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan
perilaku trsebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri (Bandura, 1977a:
191) dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku. Misalnya
dalam kasus tayangan tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah disebutkan di atas.

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua orang akan belajar membuat kue bika,
khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji dan mempunyai keyakinan
bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang sia-sia dan tak perlu karena membelinya
pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini orang tersebut dianggap tidak mempunyai tingkat
efikasi diri yang cukup untuk belajar memasak kue bika dari televisi.

3. Teori Kognitif Sosial dan Media Komunikasi

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah bahwa
proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang menampilkan suatu
perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku tersebut. Melalui pengamatan
ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi jika ia
melakukan perilaku yang sama dengan sang model. Harapan-harapan ini akan memengaruhi
proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang akan muncul. Namun, proses belajar
ini akan dipandu oleh sejauhmana orang tersebut mengidentifikasi dirinya dengan sang model
dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang
model.

Teori Kognitif Sosial juga digunakan dalam aplikasi komunikasi kesehatan masyarakat.
Misalnya untuk kampanye tentang Demam Berdarah, atau Flu Burung digunakan artis terkenal
atau tokoh yang menarik yang karena mengikuti anjuran pemerintah untuk pencegahan, bisa
terhindar dari penyakit tersebut. Pemakaian artis terkenal atau tokoh yang menarik akan memicu
orang untuk lebih waspada terhadap kedua penyakit tersebut.

4. Prinsip-prinsip Teori Albert Bandura

a. Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem
diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri
seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara
bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana
bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara
sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam teori menjelaskan
hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan lingkungan.

Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi perilaku kita, dan perilaku pribadi kita akan
menimbulkan reaksi dari orang lain. Begitu pula dengan lingkungan, keadaan lingkungan sekitar
kita akan mempengaruhi perilaku kita. Keadaan lingkungan akan menimbulkan reaksi-reaksi
tersendiri dari individu tersebut. Yang dapat memberikan stimulus terhadap individu untuk
melakuka sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat, cermati, dalm lingkungan tersebut.
Kemudian reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh individu tersebut akan memberikan penilaian
tersendiri terhadap dirinya sendiri, dan karakteristik dari individu tersebut akan memberikan
penilaian tersendiri dari orang lain. Dari keadaan lingkungan sekitar yang kita lihat dan reaksi-
reaksi dari individu akan memberikan pengaruh terhadap persepsi dan aksi kita akan stimulus
yang diperlihatkan di dalam lingkungan tersebut. Persepsi timbul karena ada stimulus dari orang
lain maupun dari lingkungan sekitar kita.

Dengan demikian, antara behavioral, environment, dan perception sangatlah bergantung satu
sama lain, ketiga komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Namun antar ketiga komponen
itu saling memberikan pengaruh atau saling memberikan perannnya dalam terlaksananya teori
pembelajaran sosial. Komponen-komponen tersebut salimg berhubungan antar komponen yang
lain, dan saling timbal balik, menerima dan memberi. Tidak akan tercipta pembelajaran sosial
jika tidak ada lingkungan, individu, dan aksi reaksi sebagai akibat dari adanya stimulus yang ada.

b. Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/ lambang

c. Kemampuan berpikir ke depan

d. Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami orang lain

e. Kemampuan mengatur diri sendiri

f. Kemampuan untuk berefleksi

5. Pandangan tentang Individu

a. Kemampuan Simbolisasi

Teori kognitif sosial menyepakati peran sentral pada proses kognitif, seolah-olah mengalami
sendiri (vicarious), pengaturan diri (self regulatory), dan refleksi-diri (self-reflective). Dengan
kemampuan luar biasa melakukan simbolisasi, manusia memiliki alat untuk memahami
lingkungan mereka serta menciptakan dan mengatur kegiatan lingkungan pada hampir setiap
aspek. Sebagian besar hal-hal eksternal memengaruhi perilaku afektif individu melalui proses
kognitif daripada secara langsung. Melalui simbol, individu memberikan makna, bentuk, dan
kontinuitas sesuai pengalaman mereka sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain pada
jarak dalam ruang dan waktu.

b. Kemampuan Pengaturan-Diri (Self-Regulatory)

Setiap individu tidak hanya berperan sebagai pihak yang memiliki pengetahuan (knowers) dan
melakukan (performers), namun juga memiliki reaksi-diri sesuai kemampuan mengarahkan-diri
(self-direction). Pengaturan diri terhadap motivasi, afek, dan tindakan sebagian beroperasi
melalui standar internal dan reaksi untuk mengevaluasi perilaku diri sendiri. Standar internal
yang berfungsi sebagai dasar untuk mengatur perilaku individu memiliki stabilitas atau
kemantapan yang lebih besar. Individu tidak cepat berubah menyangkut apa yang dia anggap
benar atau salah, baik atau buruk.

Ketika mengadopsi standar moralitas, individu memiliki mekanisme sanksi internal atas tindakan
melanggar standar pribadi. Pelaksanaan kebebasan moral memiliki dua aspek, pengekangan
dengan menahan diri berperilaku tidak manusiawi dan proaktif dengan berperilaku manusiawi.

c. Kemampuan Refleksi-Diri (Self-Reflective)

Kemampuan merefleksikan diri merupakan atribut lain manusia yang menonjol dalam teori
kognitif sosial. Individu bukan hanya agen tindakan tetapi juga menguji dirinya sendiri (self
examiners). Ketika melakukan verifikasi yang melibatkan refleksi diri, individu menghasilkan
ide-ide serta bertindak terhadap ide tersebut, atau memrediksi kejadian. Empat cara verifikasi
pemikiran, yaitu enaktif atau kemampuan untuk menetapkan sesuatu, vicarious seolah-olah
mengalami sendiri, sosial, dan logis.

Verifikasi enaktif bergantung pada kesesuaian pikiran individu dan tindakan yang dilakukan.
Dalam verifikasi vicarious, individu mengamati transaksi individu lain dengan lingkungan dan
efek yang dihasilkan mengonfirmasi kebenaran pemikirannya. Dalam verifikasi sosial, individu
menguji pandangannya menggunakan apa yang dipercayai orang lain. Dalam verifikasi logis,
individu memeriksa kesalahan-kesalahan pemikiran mereka dengan menyimpulkan dari
pengetahuan.

d. Kemampuan Memosisikan Sebagai Orang Lain (Vicarious)

Teori-teori psikologis secara tradisional menekankan belajar melalui efek dari tindakan orang
lain. Hampir semua perilaku, kognitif, dan afektif belajar dari pengalaman langsung dapat
dicapai dengan cara vicarious atau mengamati tindakan individu-individu lain dan
konsekuensinya bagi mereka. Pembelajaran sosial banyak terjadi dari lingkungan terdekat
seseorang. Namun, informasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, gaya berpikir, dan pola perilaku
juga diperoleh dari simbol-simbol dari media massa. Akibatnya, konsepsi tentang realitas
dipengaruhi pengalaman vicarious melalui apa yang mereka lihat, dengar, dan baca, tanpa
koreksi melalui pengalaman langsung. Semakin besar ketergantungan individu mengenai realitas
pada simbol media massa, semakin besar adalah dampak sosialnya.

e. Konstruksi Sosial Realitas

Representasi televisi terhadap realitas sosial mencerminkan ideologis dalam penggambaran atas
sifat manusia, hubungan sosial, dan norma-norma serta struktur masyarakat (Adoni dan Mane,
1984; Gerbner, 1972). Terpaan berat untuk dunia simbolik ini akhirnya membuat citra televisi
nampak otentik untuk urusan manusia. Televisi membentuk pandangan manusia terhadap realitas
kepercayaan dan konsep akibat penekanan atau penayangan simbol-simbol tertentu.

Beberapa perselisihan tentang yang mewakili teori kultivasi telah muncul terhadap hasil temuan
dari studi korelasional dengan menggunakan indeks global yang didasarkan pada seberapa lama
menonton televisi (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1981; Hirsch, 1980). Penggambaran
media cetak juga membentuk konsepsi sosial yang serupa. Penggambaran melalui pesan ini bisa
mengakibatkan miskonsepsi sosial mengenai pekerjaan, kelompok etnis minoritas, usia, aturan
gender, dan aspek kehidupan lainnya yang dikultivasi melalui simbolisasi stereotype.

f. Dorongan Sosial Terhadap Perilaku Manusia

Tindakan orang lain juga dapat berfungsi sebagai petunjuk sosial untuk perilaku yang dipelajari
sebelumnya bahwa pengamat dapat melakukan tetapi belum melakukannya karena belum cukup
dibujuk, bukan karena pembatasan. Efek dorongan sosial dibedakan dari pembelajaran
observasional dan kurangnya pengendalian diri karena tidak ada perilaku baru yang diakuisisi,
dan proses kekurangan pengendalian diri tidak terlibat karena perilaku elisitasi (berkelompok)
secara sosial dapat diterima dan tidak dibebani oleh pembatasan.

Pengaruh model dalam mengaktifkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku orang lain banyak
didokumentasikan baik pada laboratorium dan studi lapangan (Bandura, 1986). Dengan
demikian, jenis model yang mendominasi dalam lingkungan sosial sebagian menentukan kualitas
manusia, di antara banyak alternatif, secara selektif diaktifkan.

g. Arus Pengaruh Dual-Link Versus Banyak Pola

Mode yang berbeda dari pengaruh manusia terlalu beragam untuk memiliki jalur tetap dari
pengaruh atau kekuatan. Kebanyakan perilaku adalah hasil dari beberapa faktor penentu yang
beroperasi. Dalam kasus perilaku yang tidak khas, biasanya dihasilkan oleh konstelasi penentu
yang unik, sehingga jika salah satu dari mereka tidak hadir maka perilaku tidak akan terjadi.
Tergantung pada kualitas dan koeksistensi penentu lainnya, pengaruh media yang mungkin
subordinat, sama, atau lebih besar daripada pengaruh nonmedia.
Watt dan Van Den Berg (1978) menguji beberapa teori alternatif tentang bagaimana media
komunikasi berhubungan dengan sikap dan perilaku masyarakat. Penjelasan pembanding
termasuk konsepsi bahwa media mempengaruhi orang secara langsung; media mempengaruhi
opinion leaders yang kemudian mengafeksi orang lain; media tidak memiliki efek yang
independen; media membentuk agenda pulik untuk diskusi dengan mendesain apa yang penting
namun tidak mempengaruhi publik; dan akhirnya, media hanya merefleksikan sikap dan perilaku
publik daripada membentuk mereka.

h. Difusi Sosial Melalui Model Simbolik

Diskusi sebelumnya banyak membahas model pada tingkat individu. Sebelumnya juga dicatat,
bahwa keunikan dari model ini adalah kemampuanya mengantarkan informasi terbatas yang
beragam ke banyak orang secara simultan melalui medium model simbolik. Kemajuan yang
pesat dalam bidang teknologi komunikasi mengubah karakter, cakupan, kecepatan dan lokus
(area) dari pengaruh manusia (Bandura, 2001b). Teknologi yang berkembang secara radikal
inilah yang mengubah proses penyebaran (difusi) sosial. Video memungkinkan satelit
telekomunikasi menjadi “kendaraan” yang sangat penting dalam menyebarkan simbol-simbol.
Praktik-praktik sosial tidak hanya secara luas disebarkan melalui masyarakat, tetapi ide, nilai-
nilai, dan perilaku juga dimodelkan secara mendunia.

i. Difusi Model Determinan

Pemodelan simbolik biasanya berfungsi sebagai pengantar yang penting dari inovasi kepada area
yang luas dan berpencar. Hal ini khususnya terjadi pada tingkat awal dari penyebaran. Koran,
majalah, radio dan televisi memberikan informasi kepada masyrakat tentang berita, risiko dan
keuntungan. Ditambah, internet memungkinkan akses komunikasi yang instan ke seluruh dunia.
Adopter awal, adalah mereka yang memiliki akses yang cukup baik terhadap sumber media dan
informasi.

j. Adoption Determinants

Faktor-faktor yang menentukan individu untuk mengadopsi sebuah perilaku Insentif yang
diperoleh dari perilaku tersebut, baik secara material, sosial, maupun hasil evaluasi diri. Adanya
keinginan untuk memperoleh apresiasi sosial dan dorongan status. Seorang individu tidak mutlak
mengadopsi nilai-nilai dari luar, tetapi juga mengolah dan menyesuaikan dengan konsep diri
mereka.

6. Triadic Reciprocai Causation

Kita melihat Skinner meyakini bahwa perilaku adalah fungsi dari lingkungan, yaitu perilaku
utamanya dapat berasal dari dorongan di luar diri seseorang. Ketika kemungkinan dalam
lingkungan berubah, maka perilaku berubah. Akan tetapi, apa yang memunculkan perubahan
dalam lingkungan? Skinner mengedepankan bahwa perilaku manusia dapat memberikan suatu
bentuk kontrol balik terhadap lingkungan, namun ia bersikeras bahwa, dalam analisis final,
perilaku ditentukan oleh lingkungan. Pakar teori lainnya, seperti Gordon Allport dan Hans
Eysenck menekankan pentingnya sifat atau disposisi personal dalam pembentukan perilaku.
Secara umum, para pakar teori ini memegang prinsip bahwa faktor pribadi berinteraksi dengan
lingkungan untuk membentuk perilaku.
a. Sebuah Contoh Triadic Reciprocal Causation

Perhatikan contoh triadic reciprocal causation berikut Seorang anak memohon pada ayahnya
untuk memberikannya potongan kue yang kedua, yang berdasarkan sudut pandang ayahnya,
adalah suatu kejadian dalam lingkungan. Apabila sang ayah secara otomatis (tanpa berpilar)
memberikan potongan kue kedua pada anaknya, maka keduanya akan mengondisikan perilaku
satu sama lain berdasarkan logika dari Skinner.

Perilaku sang ayah akan dikontrol oleh lingkungannya; namun perilakunya kemudian akan
mempunyai efek kontrol balik terhadap lingkungannya, yaitu anaknya. Akan tetapi, dalam teori
Bandura, sang ayah mampu berpikir mengenai konsekuensi dari memberikan atau tidak
menghiraukan perilaku anaknya. Ia mungkin dapat berpikir, “Apabila saya memberikan
potongan kue yang kedua, ia akan berhenti menangis untuk sementara, namun di masa depan, ia
mungkin akan tetap bertahan sampai saya menyerah padanya. Oleh karena itu, saya tidak akan
memberikan kue yang kedua”. Oleh karena itu, sang ayah mempunyai dampak, baik pada
lingkungannya (anaknya) maupun perilakunya sendiri (menolak permohonan anaknya).

Selanjutnya, perilaku anak (lingkungan sang ayah) akan membantu membentuk kognisi dan
perilaku sang ayah. Apabila anaknya berhenti meminta, sang ayah mungkin akan mempunyai
pikiran yang lain. Misalnya, ia mungkin akan mengevaluasi perilakunya dengan berpikir, “Saya
adalah ayah yang baik karena saya melakukan hal yang benar. “Perubahan dalam lingkungan
juga membiarkan sang ayah melakukan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, perilaku
berikutnya akan ditentukan sebagian oleh interaksi timbal-balik dari lingkungan, kognisi, dan
perilakunya.

b. Pertemuan secara Kebetulan dan Peristiwa Tidak Disengaja


Walaupun manusia dapat dan benar-benar melakukan sejumlah kontrol terhadap hidupnya,
mereka tidak dapat memprediksikan atau mengantisipasi semua kemungkinan atas perubahan
lingkungan. Bandura adalah satu satunya pakar teori kepribadian yang dengan serius
memperhitungkan pentingnya kemungkinan dari pertemuan yang kebetulan dan peristiwa yang
tidak disengaja.

Bandura (1998a: 95) mendefinisikan pertemuan yang kebetulan sebagai pertemuan yang tidak
sengaja dari orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Kejadian yang tidak
disengaja adalah pengalaman dari lingkungan yang tidak terduga dan tidak disengaja. Kehidupan
sehari-hari manusia dipengaruhi dalam kadar yang besar atau kecil oleh orang-orang yang
kebetulan mereka temui dan oleh peristiwa-peristiwa acak yang tidak dapat mereka prediksikan.
Pasangan hidup seseorang, pekerjaan, dan tempat tinggal kemungkinan besar merupakan hasil
dari pertemuan yang tidak disengaja, yang tidak direncanakan dan tidak terduga.

7. Agen Manusia

Teori kognisi sosial mengambil sudut pandang yang bersifat agensi terhadap kepribadian, yaitu
manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan kontrol atas hidup mereka (2002b). Agen
manusia adalah esensi dari kemanusiaan. Bandura (2001) yakin bahwa manusia bersifat
meregulasi diri sendiri, proaktif, merefleksikan diri, dan dapat mengatur diri sendiri serta
mempunyai kekuatan untuk memengaruhi tindakan mereka sendiri untuk menghasilkan
konsekuensi yang diinginkan.
Agensi manusia tidak berarti bahwa manusia mempunyai suatu homuncolus yaitu suatu agen
otonom yang membuat keputusan yang konsisten dengan pandangan mereka terhadap diri. Tidak
juga berarti bahwa manusia bereaksi secara otomatis terhadap peristiwa eksternal dan internal
Agen manusia bukanlah suatu benda, melainkan proses aktif dari mengeksplorasi, memanipulasi,
dan memengaruhi lingkungannya untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.

Bandura (2001, 2004) mendiskusikan empat aspek inti dari agensi manusia: intensionalitas, visi,
reaktivitas diri, dan refleksi diri. Intensionalitas merujuk kepada tindakan yang dilakukan
seseorang secara bertujuan. Suatu intensi meliputi adanya perencanaan, tetapi juga meliputi
tindakan, Hal tersebut tidak hanya sebuah ekspektasi atau prediksi mengenai tindakan di masa
depan, namun juga komitmen yang proaktif untuk mewujudkannya (2001: 6). Intensionalitas
tidak berarti bahwa semua rencana seseorang dapat membuahkan hasil Manusia terus mengubah
rencana mereka saat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.

Manusia juga mempunyai visi untuk dapat menentukan tujuan, mengantisipasi kemungkinan
hasil dari tindakan mereka, dan memilih perilaku yang akan menghasilkan pencapaian yang
diinginkan dan menghindari yang tidak diinginkan. Visi memberikan manusia kemampuan untuk
membebaskan diri dari kungkungan lingkungan. Apabila perilaku sepenuhnya merupakan fungsi
dari lingkungan, maka perilaku akan lebih bervariasi dan tidak konsisten karena kita akan terus
bereaksi terhadap beragam stimulus lingkungan. Apabila suatu tindakan ditentukan hanya oleh
penghargaan dan hukuman yang bersifat eksternal, maka manusia akan berperilaku selayaknya
penunjuk angin (Bandura, 1986: 335). Akan tetapi, manusia tidak berperilaku layaknya penunjuk
angin, selalu berganti arah untuk menyesuaikan diri dengan apa pun pengaruh yang kebetulan
mengintervensi mereka saat itu (Bandura, 2001: 7).

.
8. Efikasi Diri

Efikasi diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura membedakan antara
ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai hasil Efikasi merujuk pada keyakinan diri
seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku,
sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi
perilaku tersebut. Hasil tidak boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam melakukan perilaku
tersebut; hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan penyelesaian melakukan tindakan
tersebut Sebagai contoh, seorang pelamar kerja harus mempunyai kepercayaan diri bahwa dia
dapat memberikan performa yang baik saat melakukan wawancara kerja, mempunyai
kemampuan untuk menjawab berbagai kemungkinan pertanyaan, tetap santai dan terkontrol,
serta menunjukkan perilaku bersahabat dengan kadar yang tepat Oleh karena itu, dia mempunyai
efikasi diri yang tinggi mengenai wawancara keria.

Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk


merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu
(Bandura, Albert. 1986: 397). Bandura menggunakan istilah self-efficacy mengacu pada
keyakinan (beliefs) tentang kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan
tindakan untuk pencapaian hasil (Bandura, 1997: 3). Dengan kata lain, self-efficacy adalah
keyakinan penilaian diri berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk sukses dalam tugas-
tugasnya. Menurut Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan faktor kunci sumber tindakan
manusia (human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi
bagaimana mereka bertindak (Bandura, 1997: 25).

Di samping itu, keyakinan efikasi juga mempengaruhi cara atas pilihan tindakan seseorang,
seberapa banyak upaya yang mereka lakukan, seberapa lama mereka akan tekun dalam
menghadapi rintangan dan kegagalan, seberapa kuat ketahanan mereka menghadapi kemalangan,
seberapa jernih pikiran mereka merupakan rintangan diri atau bantuan diri, seberapa banyak
tekanan dan kegundahan pengalaman mereka dalam meniru (copying) tuntunan lingkungan, dan
seberapa tinggi tingkat pemenuhan yang mereka wujudkan (Bandura, 1997: 3).

Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy mempengaruhi pilihan orang
dalam membuat dan menjalankan tindakan yang mereka kejar. Individu cenderung
berkonsentrasi dalam tugas-tugas yang mereka rasakan mampu dan percaya dapat
menyelesaikannya serta menghindari tugas-tugas yang tidak dapat mereka kerjakan. Keyakinan
efikasi juga membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan dikerahkan orang dalam suatu
aktivitas, seberapa lama mereka akan gigih ketika menghadapi rintangan, dan seberapa ulet
mereka akan menghadapi situasi yang tidak cocok (Schunk, 1981: 93).

Keyakinan efikasi juga mempengaruhi sejumlah stress dan pengalaman kecemasan individu
seperti ketika mereka menyibukkan diri dalam suatu aktifitas (Pajares, dan Miller, 1994:193).
Secara eksplisit, Bandura sebagaimana dikutip oleh Pajares, menghubungkan self-efficacy
dengan motivasi dan tindakan, tanpa memperhatikan apakah keyakinan itu benar secara objektif
atau tidak. Dengan demikian, perilaku dapat diprediksi melalui self-efficacy yang dirasakan
(keyakinan seseorang tentang kemampuannya), meskipun perilaku itu terkadang dapat berbeda
dari kemampuan aktual karena pentingnya self-efficacy yang dirasakan.

Efikasi personal didapatkan, ditingkatkan, atau berkurang melalui salah satu atau kombinasi dari
empat sumber: (1) pengalaman menguasai sesuatu (mastery experiences), , (2) modeling sosial,
(3) persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1997). Dengan setiap
metodenya, informasi mengenai diri sendiri dan lingkungan akan diproses secara kognitif dan
bersama-sama dengan kumpulan pengalaman sebelumnya, akan mengubah persepsi mengenai
efikasi diri.
Pengalaman Menguasai Sesuatu Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah
pengalaman menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu (Bandura, 1997). Secara umum,
performa yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan; kegagalan
cenderung akan menurunkan hal tersebut Pernyataan umum ini mempunyai enam dampak.
Pertama, performa yang berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan
kesulitan dari tugas tersebut. Pemain tenis dengan keterampilan yang tinggi akan mengalami
peningkatan efikasi diri yang sedikit saat mengalahkan lawan yang jelas-jelas inferior, tetapi
pemain tersebut akan lebih mengalami peningkatan efikasi diri dengan menunjukkan performa
yang baik menghadapi lawan yang lebih superior.

Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif daripada
yang diselesaikan dengan bantuan dari orang lain. Dalam olahraga, pencapaian dalam tim tidak
meningkatkan efikasi personal daripada pencapaian individu.

Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka
telah memberikan usaha terbaik mereka. Kegagalan yang terjadi ketika kita tidak sepenuhnya
berusaha, tidak lebih memengaruhi efikasi dibandingkan kegagalan saat kita memberikan usaha
terbaik kita.

Keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu
merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan sebelum
mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri
daripada kegagalan setelannya. Dampak keenam dan yang berhubungan adalah kegagalan yang
terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama pada
mereka yang mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
Modeling Sosial Sumber kedua dari efikasi diri adalah modeling sosial, yaitu vicarious
experiertces. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang
mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya kita
gagal Saat orang lain tersebut berbeda dari kita, modeling sosial akan mempunyai efek yang
sedikit dalam efikasi diri kita. Seorang pengecut tua yang tidak aktif yang melihat seorang
pemain sirkus muda yang aktif dan pemberani berhasil berjalan di atas tambang tinggi, akan
diragukan untuk mempunyai peningkatan ekspektasi dalam melakukan ulang hal tersebut

Secara umum, dampak dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan oleh performa
pribadi dalam meningkatkan level efikasi diri, tetapi dapat mempunyai dampak yang kuat saat
memperhatikan penurunan efikasi diri. Melihat seorang perenang dengan kemampuan yang
setara gagal untuk melewati sungai yang bergejolak akan membuat orang yang mengobservasi
mengurungkan niat untuk melakukan hal yang sama. Dampak dari pengalaman tidak langsung
ini, bahkan mungkin dapat bertahan seumur hidup.

Persuasi Sosial Efikasi diri dapat juga diperoleh atau dilemahkan melalui persuasi sosial
(Bandura, 1997). Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang tepat,
persuasi dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan efikasi diri. Kondisi pertama
adalah bahwa orang tersebut harus memercayai pihak yang melakukan persuasi.

Kata-kata atau kritik dari sumber yang terpercaya mempunyai daya yang lebih efektif
dibandingkan dengan hal yang sama dari sumber yang tidak terpercaya. Meningkatkan efikasi
diri melalui persuasi sosial dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk
dicoba berada dalam jangkauan perilaku seseorang. Sebanyak apa pun persuasi verbal dari orang
lain tidak dapat mengubah penilaian seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk berlari 100
meter dalam waktu di bawah 8 detik.
Menurut Bandura sebagaimana dipublikasikan dalam Wikipedia bebas 12 January 2009
menyatakan ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu penguasaan atau
pengalaman yang menetap, pengalaman yang dirasakan sendiri, bujukan sosial, dan keadaan
psikologis atau emosi. Keempat sumber tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, penguasaan atau pengalaman yang menetap. Penguasaan atau pengalaman yang
menetap adalah peristiwa masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai
faktor terpenting pembentuk self-efficacy seseorang. Kesuksesan meningkatkan nilai efikasi dan
pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi karena refleksi kurangnya usaha atau keadaan
eksternal yang tidak cocok. Perasaan efikasi yang kuat mungkin dapat dikembangkan melalui
pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan, orang cenderung menganggap asal
kegagalan pada beberapa faktor eksternal seperti usaha yang tidak cukup atau strategi yang tidak
tepat.

Usaha dalam melaksanakan tugas merupakan faktor lain yang mempengaruhi efikasi. Ketika
seseorang mengeluarkan usaha yang besar dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit,
kesuksesan tidak akan dengan kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan
akan meruntuhkan self-efficacynya (Nichols, dan Miller, 1984:185-218). Sebaliknya, performan
yang rendah dengan derajat usaha yang lemah memiliki sedikit dampak pada keyakinan self-
efficacy seseorang, tetapi kesuksesan dengan sedikit usaha membawa performansi mereka pada
tingkat selfefficacy yang tinggi.

Kedua, pengalaman yang rasakan sendiri. Seseorang terkadang membuat judgement tentang
kemampuannya sendiri dengan memperhatikan orang lain yang mengerjakan tugas tertentu yang
serupa. Kesuksesan orang lain mengindikasikan bahwa mereka sendiri dapat mengerjakan tugas
yang sama, sementara kegagalan orang lain mungkin mengidentifikasi mereka tidak
mengerjakan tugas. Orang membuat perbandingan dengan orang lain dalam hal usia, jenis
kelamin, ras, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, penandaan etnik, dan prediksi kemampuan
sendiri mereka dalam mengerjakan tugas.

Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman yang dialami sendiri terhadap self-efficacy,
Schunk dan Hanson (1985: 313-322) menyelidiki bagaimana self-efficacy anak-anak dan prestasi
mereka dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap model teman sebaya (peer models). Siswa
yang memiliki pengalaman berupa kesulitan dalam pengurangan belajar (learning subtraction)
dikelompokkan secara random, dan setiap kelompok, baik yang mengobservasi demonstrasi
teman sebaya atas perolehan keterampilan pengurangan (subtraction skills), yang mengobservasi
model guru yang mendemonstrasikan operasi pengurangan (subtraction operations), maupun
yang tidak mengobservasi model sama sekali. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa baik model
teman sebaya dan model guru menghasilkan self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang
lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang tidak mengobservasi model sama sekali. Model
teman sebaya membawa self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih tinggi dari pada
model guru.

Meski tidak sebesar pengaruh seperti pada mastery experinece (past experience), modeling ini
berpengaruh sangat kuat pada self-efficacy ketika seseorang, terutama sekali, tidak meyakini
dirinya sendiri. Kesimpulan ini juga dicapai oleh Keyser dan Barling (1981: 205-230).
Dibandingkan dengan anak-anak lain, anak-anak yang lebih muda lebih mempercayakan
modeling sebagai sumber informasi berkenaan dengan keyakinan self-efficacy mereka. Keyser
dan Barling mengasumsikan bahwa pemenuhan performan sendiri anak-anak mungkin tercapai
lebih mempengaruhi sebagai sumber self-efficacy seperti anak yang menjadi lebih tua. Argumen
ini didukung oleh Wang dan Richarde (1987:647-658) yang melaporkan bahwa performansi
secara signifikan mempengaruhi keyakinan self-efficacy kelas empat, dan tidak pada keyakinan
self-efficacy kelas dua.
Ketiga, bujukan sosial. Penilaian diri (self-appraisals) atas kompetensi sebagian didasarkan pada
opini (penilaian) lain yang signifikan yang agaknya memiliki kekuatan evaluatif. Orang yang
dibujuk secara verbal yang memiliki kemampuan untuk memenuhi tugas yang diberikan adalah
lebih mungkin tetap melakukan tugas lebih lama ketika dihadapkan pada kesulitan dan lebih
tetap mengembangan perasaan self-efficacy. Peningkatan keyakinan yang tidak realistik atas
self-efficacy seseorang bergandengan dengan kegagalan ketika mengerjakan tugas, akan tetapi,
hanya akan kehilangan kepercayaan pembujuk dan lebih jauh mengikis self-efficacy yang
dirasakan seseorang. Persuasi sosial ini berkenaan dengan dorongan/keputusasaan.

Persuasi positif meningkatkan self-efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self-


efficacy. Secara umum lebih mudah menurunkan selfefficay seseorang dari pada
meningkatkannya. Dalam rangka menguji pengaruh penilaian yang akurat terhadap keyakinan
self-efficacy siswa, Schunk (1981: 93-105) melakukan studi terhadap anak-anak usia 9 hingga 11
tahun. Umpan balik yang benar ditemukan untuk meningkatkan perasaan self-efficacy anak-anak
yang telah mengalami kegagalan yang amat sangat dalam matematika. Selain itu, Keyser dan
Barling mencatat bahwa kegiatan yang terus menerus daripada menunda atau umpan balik yang
sebentar-sebentar berkenaan dengan kecukupan performan adalah berpengaruh pada keyakinan
self-efficacy siswa (Keysers dan Barling, 1981: 39).

Keempat, keadaan psikologis atau emosi. Biasanya, dalam situasi yang penuh tekanan, umumnya
orang menunjukkan tanda susah, guncang, sakit, lelah, takut, muak, dan seterusnya. Persepsi
seseorang atas respon ini dapat dengan jelas mengubah self-efficacy seseorang. Keputusan self-
efficacy pribadi seseorang dipengaruhi oleh perasaan dibanding dengan penggerakan yang
sebenarnya atas pemunculan dalam situasi yang mengandung resiko.

Selain itu, termasuk dalam aktivasi psikologis, suasana hati (mood) juga mempengaruhi perasaan
self-efficacy, karena suasana hati menggerakkan memori seseorang. Kesuksesan dan kegagalan
masa lampau disimpan sebagai memori. Suasana hati positif menggerakkan pemikiran atas
prestasi masa lalu, sedangkan suasana hati negatif menggerakkan memori atas kegagalan masa
lalu.

Kesuksesan di bawah suasana hati positif menghasilkan tingkat self-efficacy yang tinggi.
Kegagalan di bawah suasana hati negatif, bagaimana pun, membawa keyakinan self-efficacy
yang rendah. “Orang yang gagal di bawah suasana hati yang gembira menaksir terlalu tinggi
kemampuan mereka. Orang yang sukses di bawah suasana hati yang sedih menaksir terlalu tinggi
kemampuan mereka (Bandura, Albert. 1997: 113).

Bandura (1986) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung
dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. Status dan
otoritas tentu saja tidak identik. Sebagai contoh, saran dari seorang psikoterapis kepada pasien
fobia bahwa mereka dapat naik ke dalam lift yang penuh, akan lebih mungkin meningkatkan
efikasi diri daripada dukungan dari pasangan atau anak seseorang. Akan tetapi, apabila
psikoterapis yang sama memberitahukan pasien-pasien bahwa mereka mempunyai kemampuan
untuk mengganti saklar lampu yang rusak, pasien ini mungkin tidak akan mendapatkan
peningkatan efikasi diri kegiatan ini. Selain itu, persuasi sosial juga paling efektif saat
dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan seseorang untuk
berusaha dalam suatu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses baik pencapaian
tersebut maupun penghargaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan efikasi di masa
depan.

Kondisi fisik dan emosional Sumber terakhir dari efikasi adalah kondisi fisiologis dan emosional
dari seseorang (Bandura, 1997). Emosi yang kuat biasanya alun mengurangi performa saat
seseorang mengalami ketakutan yang kuat. kecemasan akut, atau tingkat stres yang tinggi
kemungkinan akan mempunyai ekpektasi efikasi yang rendah.
Teori kognitif sosial menganggap bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci yang
mempengaruhi self-regulated learning (Schunk, 1986:11, Zimmerman, 1986: 307-313). Dalam
mendukung asumsi ini, persepsi self-efficacy pebelajar ditemukan berhubungan dengan dua
aspek kunci pengulangan timbal balik (reciprocal loop) pada umpan balik yang diajukan, yaitu
penggunaan strategi belajar dan evaluasi diri. Pebelajar dengan self-efficacy tinggi memiliki
kualitas strategi belajar yang lebih baik dan memiliki monitoring diri yang lebih terhadap hasil
belajar mereka daripada pebelajar yang memiliki self-efficacy rendah. Beberapa penelitian
menemukan bahwa persepsi self-efficacy pebelajar secara positif berhubungan dengan hasil
belajar sebagai ketekunan tugas, pilihan tugas, aktivitas studi yang efektif, dan prestasi akademik
(Thomas, et. al. , 1987: 344-364).

9. Efikasi Kolektif

Bentuk ketiga dari agen manusia adalah efikasi kolektif. Bandura (2000) mendefinisikan efikasi
kolektif sebagai “keyakinan yang dimiliki manusia mengenai efikasi kolektif mereka untuk
mencapai hasil yang diinginkan” (him. 75). Dengan perkataan lain, efikasi kolektif adalah
kepercayaan orang-orang bahwa usaha mereka bersama akan membawa suatu pencapaian
kelompok. Bandura (2000) mengajukan dua teknik untuk mengukur efikasi kolektif Pendekatan
pertama adalah dengan mengombinasikan evaluasi individual dari dua anggota mengenai
kemampuan pribadi mereka untuk melakukan perilaku yang dapat menguntungkan kelompok.
Sebagai contoh, para aktor dalam suatu drama akan mempunyai efikasi kolektif yang tinggi
apabila mempunyai keyakinan terhadap kemampuan pribadi mereka untuk dapat memainkan
peranan dengan baik.
Pendekatan kedua yang diajukan oleh Bandura adalah untuk mengukur kepercayaan yang
dimiliki setiap orang mengenai kemampuan kelompok untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Sebagai contoh, para pemain bisbol mungkin memiliki kepercayaan yang rendah
terhadap masing-masing rekan satu timnya, namun memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa tim
mereka akan memberikan performa yang cukup baik. Kedua pendekatan yang sedikit berbeda
atas efikasi kolektif ini memerlukan teknik pengukuran yang berbeda.

Bandura berpendapat bahwa individu berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya
melalui efikasi diri individual, tetapi juga efikasi kolektif. Efikasi kolektif adalah keyakinan
masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial
tertentu. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah gaya
hidup manusia.

C. Struktur Kepribadian

1. Sistem Self (Self System)

Tidak seperti Skinner yang teorinya tidak memiliki konstruk self, Bandura yakin bahwa
pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat
dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self
diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Saling determinis menempatkan semua hal saling
berinteraksi di mana pusat atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis
yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman
mekanisme dan seperangkat fungs-fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku.
Pengaruh self tidak otomatis atau mengatur tingkah laku secara otonom, tetapi self menjadi
bagian dari interaksi resiprokal.

a. Regulasi Diri

Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi
lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Balikannya dalam
bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan
hampir tercapai strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri.

Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi
proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing
tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat
memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dipakai untuk mengevaluasi tingkahlaku internal.
Tingkahlaku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan faktor internal.

b. Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama faktor eksternal memberi
standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-
pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru anak-
anak belajar baik-buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui
pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan
standar yang dapat dipakai untuk menilai prestasi diri.
Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).
Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan intensif yang berasal dari
lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya kerja sama; ketika orang
dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu
menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

c. Faktor Internal dalam Regulasi Diri

Faktor internal dalam regulasi diri dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura
mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal.

2. Efikasi Diri (Self Effication)

Pembentukan self-efficacy sangat penting bagi human agency. Self-efficacy bukan sekedar
mengetahui apa yang harus dilakukan. Untuk melaksanakan suatu kinerja secara terampil, orang
perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan rasa percaya akan kemampuan diri untuk
menggunakan keterampilan tersebut. Keyakinan tentang self-efficacy berbeda dengan ekspektasi
tentang konsekuensi respon. Bandura (1986: 391) mendefinisikan self-efficacy sebagai a
judgement of one’s capability to accomplish a certain level of performance (penilaian tentang
kemampuan diri untuk melaksanakan suatu kinerja pada tingkat tertentu).

Ekspektasi konsekuensi respon adalah keyakinan tentang kemungkinan konsekuensi yang akan
dihasilkan oleh perilaku tersebut. Misalnya, keyakinan bahwa anda dapat meloncat setinggi dua
meter merupakan keyakinan (efficacy). Akan tetapi, antisipasi anda tentang pengakuan
masyarakat bahwa anda mampu meloncat setinggi dua meter adalah suatu ekspektasi
konsekuensi respon. Konsekuensi respon merupakan konsekuensi dari perbuatan itu, bukan
perbuatan itu sendiri.

Tingkat penguasaan (magnitude), generalitas, dan kekuatan adalah tiga dimensi penting dari
ekspektasi efikasi (Bandura, 1977). Ekspektasi efikasi dapat bervariasi menurut tingkat kesulitan
tugas yang harus dilaksanakan, misalnya keyakinan bahwa anda dapat melaksanakan dengan
baik tugas yang mudah tetapi tidak tugas yang sulit. Generalitas artinya tingkat generalisasi
ekspektasi penguasaan di luar situasi perlakuan tertentu. Yang dimaksud dengan kekuatan adalah
daya tahan ekspektasi tentang penguasaan pribadi (personal mastery) meskipun mengalami
berbagai kegagalan.

Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara
lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan
keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura
menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efiksasi diri, dan harapan hasilnya disebut
ekspektasi hasil.

a. Efiksasi diri atau ekspektasi (self effication-efficacy expectation) adalah persepsi diri sendiri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi dari berhubungan
dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.

b. Ekspektasi hasil (outcome expectations) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah
laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.
.

Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau
salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda
dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya
dapat dicapai. Sedangkan efikasi menggambarkan ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya
mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar profesional. Namun ekspektasi
hasilnya bisa rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung pada daya tahan jantung pasien,
kemurnian obat antibiotik, sterilitas dan infeksi, dan sebagainya.

Orang bisa memiliki ekspektasi hasil yang realistik (apa yang diharapkan sesuai dengan
kenyataan hasilnya), atau sebaliknya, ekspektasi hasilnya tidak realistik (mengharap terlalu
tinggi dari hasil nyata yang dipakai). Orang yang ekspektasinya tinggi (percaya bahwa dia dapat
mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistik (memperkirakan hasil
sesuai dengan kemampuan diri). Orang itu akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas
sampai selesai.

Perubahan tingkah laku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi (efikasi
diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau
diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai
sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience),
persuasi social (social persuation) dan pembangkitan emosi (Emotinal/Physiological states).

3. Fungsi dan Dampak Keyakinan Self-Efficacy


Keyakinan tentang self-efficacy turut menentukan cara orang berperilaku. Konsepsi tentang self-
efficacy turut menentukan pilihan perilaku, misalnya menentukan apa yang harus dikerjakan.
Keyakinan memiliki efikasi dapat mendorong orang untuk melakukan kegiatan, sedangkan
keyakinan bahwa tidak memiliki efikasi dapat membuat orang menghindari kegiatan yang
sesungguhnya dapat memperkaya pengalamannya. Keyakinan yang berlebihan tentang efikasi itu
bersifat disfungsional. Akan tetapi, keyakinan efikasi yang mungkin paling fungsional adalah
yang sedikit melewati apa yang dapat dilakukan orang pada suatu saat tertentu.

Keyakinan efikasi juga turut menentukan berapa besar usaha yang harus dilakukan dan berapa
lama orang dapat bertahan dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan. Keyakinan yang kuat
tentang self-efficacy dapat memperkuat daya tahan orang bila menghadapi tugas yang sulit. Di
samping itu, keyakinan efikasi mempengaruhi pikiran dan perasaan orang. Orang yang
memandang dirinya tidak memiliki efikasi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan
cenderung membesar-besarkan defisiensi pribadinya, menjadi mudah patah semangat dan
menyerah bila menghadapi kesulitan. Sebaliknya, orang yang memiliki keyakinan kuat bahwa
memiliki efikasi, meskipun mereka mungkin akan turun semangatnya untuk sementara bila
mengalami kegagalan, tetapi cenderung akan tetap memikirkan tugas yang sedang dihadapinya
itu dan akan memperbesar usahanya bila kinerjanya hampir mencapai tujuan.

Dalam perjuangan yang membutuhkan daya tahan, keyakinan akan self-efficacy sangat berperan.
Teori behaviorisme tradisional harus menjawab pertanyaan bagaimana organisme yang mampu
memprediksi masa depannya tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dirinya
sendiri. Sesungguhnya orang dapat menciptakan masa depannya sendiri, bukan sekedar
meramalkannya.
Keyakinan akan self-eficacy dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan-keterampilan
yang diperlukan untuk tugas-tugas yang kompleks, sedangkan keyakinan akan inefficacy dapat
menghambat perkembangan tersebut.

Keyakinan akan efikasi dapat dihadapkan pada disinsentif dan kendala kinerja. Orang mungkin
memiliki subketerampilan yang diperlukan dan self-efficacy, tetapi tidak memiliki insentif untuk
menggunakannya. Juga, orang yang memiliki efikasi mungkin tidak memiliki sumber keuangan
dan materi yang memadai sehingga tidak dapat mengaplikasikannya.

Memiliki keyakinan efikasi yang akurat untuk keterampilan kognitif kadang-kadang sulit, karena
sering kali apa yang dibutuhkan tidak selalu tampak jelas dari apa yang dapat teramati dengan
mudah. Kadang-kadang keyakinan efikasi orang itu tidak akurat karena kegiatan kognitifnya
kurang tepat, misalnya tidak mampu mempersepsi umpan balik dan ingatannya tidak baik.

4. Sumber-sumber Informasi Self-Efficacy

Empat sumber informasi yang penting untuk self-efficacy adalah: (1) pengalaman melalui
perbuatan langsung (enactive attainment), (2) pengalaman tak langsung (vicarious experience),
(3) persuasi verbal (verbal persuasion), dan (4) keadaan fisiologis (physiological state). Setiap
metode perlakuan dapat dipergunakan dengan satu atau lebih dari sumber-sumber ini.

a. Pengalaman Keberhasilan
Pengalaman keberhasilan pribadi merupakan sumber ekspektasi efikasi yang paling fundamental.
Keberhasilan akan mempertinggi ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan yang berulang-ulang
akan memperendahnya. Bila sudah terbentuk, keyakinan efikasi yang tinggi itu cenderung
menggeneralisasi, terutama pada situasi yang serupa dengan situasi ketika keyakinan itu
dipertinggi.

b. Pengalaman Tak Langsung

Ekspektasi efikasi dapat berubah setelah mengamati orang lain dan melihat konsekuensi positif
dan negatif dari perilaku orang itu baginya. Ekspektasi efikasi yang dibentuk melalui modelling
pada umumnya lebih lemah daripada ekspektasi yang dibentuk melalui keberhasilan
melaksanakan suatu tugas.

Modelling mempengaruhi keyakinan efikasi dalam dua cara. Pertama, pengamat menarik
inferensi dari keberhasilan dan kegagalan model. Melihat orang yang serupa dengannya
mencapai keberhasilan melalui usaha keras akan mempertinggi keyakinan pengamat terhadap
kemampuannya sendiri. Sebaliknya, melihat orang lain mengalami kegagalan, meskipun
usahanya keras, akan menurunkan keyakinan pengamat tentang efikasi-nya sendiri dan
motivasinya pun akan menjadi lemah.

Kedua, model yang kompeten akan mentransmisikan pengetahuan dan mengajarkan kepada
pengamat keterampilan dan strategi yang efektif untuk mengatasi berbagai tuntutan lingkungan.
Dengan belajar keterampilan yang lebih baik, keyakinan orang tentang self-efficacy-nya akan
meningkat.

c. Persuasi Verbal
Persuasi verbal, seperti saran dan nasihat, dapat juga mempengaruhi self-efficacy. Persuasi dapat
berhasil baik bila membujuk orang untuk berusaha cukup keras agar mencapai keberhasilan,
yang pada gilirannya akan mempertinggi keyakinan efikasi-nya. Akan tetapi, mempertinggi
keyakinan efikasi yang tidak realistis, yang tidak didukung oleh pengalaman keberhasilan,
mungkin akan lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya.

d. Keadaan Fisiologis

Keadaan fisiologis dan afektif dapat berpengaruh terhadap efikasi dalam tiga cara. Pertama, bila
orang sedang tegang dan cemas, keadaan fisiologis atau tingkat emosinya dapat berpengaruh
negatif terhadap ekspektasi efikasi-nya. Tingginya tingkat emosi biasanya memperburuk kinerja
dan karenanya akan menurunkan tingkat ekspektasi efikasi. Pendekatan yang menurunkan
tingkat emosi dapat mempertinggi keyakinan efikasi maupun kinerja. Dimilikinya keyakinan
tentang self-efficacy untuk mengontrol pikiran akan mempengaruhi emosi yang dibangkitkan
secara kognitif.

Kedua, keadaan perasaan (mood) mempengaruhi penilaian tentang self-efficacy: perasaan yang
positif akan meningkatkan keyakinan efikasi, sedangkan perasaan tertekan akan menghilangkan
keyakinan tersebut. Ketiga, dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan stamina, orang
memandang rasa letih dan penatnya sebagai tanda-tanda melemahnya efikasi fisik.

Informasi efikasi yang diperoleh dari sumber pengalaman langsung, pengalaman tak langsung,
persuasi, dan keadaan fisiologis, diproses secara kognitif. Terdapat perbedaan antara informasi
yang diperoleh dari peristiwa lingkungan dan informasi yang dipilih, ditimbang, dan
diintegrasikan ke dalam penilaian self-efficacy. Pemrosesan informasi efikasi secara kognitif
melibatkan dua proses: pertama, memilih informasi yang relevan dengan efikasi, dan kedua,
menimbang dan mengintegrasikan informasi tersebut.

Mengenai informasi tentang efikasi yang bersumber dari pengalaman langsung, tidak ada
hubungan sebab-akibat antara kualitas kinerja dan keyakinan self-efficacy. Kinerja yang baik
belum tentu mempertinggi self-efficacy. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi kinerja
terhadap self-efficacy adalah: (1) tingkat kesulitan tugas, (2) besarnya usaha yang dilakukan, dan
(3) besarnya bantuan eksternal yang diterima.

Mengenai informasi tentang efikasi yang diperoleh dari sumber pengalaman tak langsung,
pengamat akan memandang bahwa model yang tingkat kemampuannya sama, atau sedikit lebih
tinggi, merupakan sumber informasi komparatif yang paling valid. Sehubungan dengan
informasi efikasi persuasif, pengaruhnya terkait dengan tingkat kepercayaan penerima informasi
terhadap penilaian pelaku persuasi itu. Informasi efikasi fisiologis juga diproses secara kognitif.
Yang paling berpengaruh di sini adalah sumber dan tingkat rangsangan, serta pengalaman masa
lalu tentang bagaimana rangsangan itu mempengaruhi kinerja.

5. Fungsi Tujuan (goal)

Personal agency, atau pengaturan perilaku secara sadar, beroperasi melalui dua sumber motivasi
kognitif: (1) pemikiran ke depan (forethought), dan (2) penetapan tujuan dengan reaksi self-
evaluative terhadap perilaku sendiri. Bandura (1989) mengemukakan bahwa motivasi manusia
tergantung pada bertambahnya atau berkurangnya ketidaksesuaian. Motivasi itu menuntut
adanya kontrol proaktif dan kontrol reaktif.
Pada awalnya orang memotivasi dirinya dengan menetapkan standar atau tingkat kinerja yang
menciptakan keadaan disequilibrium dan kemudian mereka berusaha mendapatkan kembali
keadaan equilibrium. Kontrol reaktif mencakup penyesuaian tingkat usaha untuk mencapai hasil
yang diinginkan. Tujuan untuk mencapai kepuasan diri dengan kinerjanya, dengan menetapkan
kondisi yang diinginkan, berfungsi sebagai motivator.

Di samping itu, tujuan juga penting untuk perkembangan self-efficacy. Tujuan merupakan
standar bagi orang untuk menilai kapabilitasnya. Yang lebih penting adalah sub-tujuan jangka
pendek dengan tingkat kesulitan yang dapat ditoleransi. Sub-tujuan seperti ini memberikan
insentif untuk bertindak, dan, bila telah tercapai, akan menghasilkan informasi efikasi dan rasa
percaya diri untuk terus berusaha. Keyakinan tentang inefficacy dapat mengakibatkan orang
memperendah tujuannya dan akibatnya menurunkan tingkat ketidakpuasannya terhadap kinerja
di bawah standar.

D. Dinamika Kepribadian

Menurut Bandura, motivasi adalah konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, gambaran
hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi tingkah laku saat ini)
dengan harapan keberhasilan yang didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai
tujuan. Dengan kata lain, harapan mendapatkan renforcement pada masa yang akan datang akan
memotivasi individu untuk bertingkah laku tertentu.
Selain itu, dengan menetapkan tujuan yang diinginkan dan mengevaluasinya, maka seseorang
akan termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Menurut Bandura, penguatan
(reinforcement) dapat menjadi penyebab belajar. Orang dapat belajar dengan penguat yang
diwakilkan (vicarious reinforcement), penguat yang ditunda (expectation reinforcement) atau
bahkan tanpa penguat (beyond reinforcement).

1. Pembelajaran Melalui Observasi

Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan
terhadap model. Fungsi observational learning adalah 1) modeling dapat mengajari observer
keterampilan dan aturan-aturan berperilaku. 2) modeling dapat menghambat ataupun
memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang. 3) perilaku model dapat berfungsi sebagai
stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya. 4)
modeling dapat merangsang timbulnya emosi. orang dapat berpersepsi dan berperilaku secara
berbeda dalam keadaan emosi tinggi. 5) symbolic modelling dapat membentuk citra orang
tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang
dilakukannya.

Belajar mencakup pemrosesan informasi. Kekuatan modelling terletak pada kemampuannya


untuk mempengaruhi proses tersebut. Observational learning memerlukan empat macam proses
utama:

a. Proses memperhatikan (attentional processes)

Jika orang belajar melalui modelling, maka mereka harus memperhatikan dan mempersepsi
perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik model
maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan variabel
penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik
personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang penting untuk
proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya,
dan reinforcement masa lalunya.

b. Proses retensi (retention processes)

Agar efektif, modelling harus disimpan dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara
menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol-
simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah
pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingat adalah dengan
membayangkan perilaku model atau dengan mempraktekkannya. Keterampilan dan struktur
kognitif pengamat dapat memperkuat retensi. Motivasi untuk belajar juga berperan dalam
retensi, meskipun insentif lebih bersifat fasilitatif daripada keharusan.

c. Proses produksi

Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke
dalam tindakan yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang
perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari perbuatannya. Modelling
korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat melakukan
kinerja yang tidak tepat.

Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas fisiknya,


apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen-komponen respon yang
diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif bila mencobakan
perilaku baru.

d. Proses motivasi.

Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak, tergantung pada
motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut: (a)
menghasilkan imbalan eksternal; (b) secara internal pengamat memberikan penilaian yang
positif; dan (c) pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri.
Antisipasi terhadap akibat yang positif dan negatif menentukan aspek-aspek yang mana dari
perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat.

Bandura yakin bahwa observasi memberikan jalan pada manusia untuk belajar tanpa harus
melakukan perilaku apa pun. Manusia mengobservasi fenomena alami, tumbuhan, hewan, air
terjun, pergerakan bulan dan bintang-bintang, dan lainnya; tetapi yang terpenting bagi teori
kognitif sosial adalah asumsi bahwa mereka belajar melalui observasi perilaku orang lain. Dalam
hal ini, Bandura berbeda dengan Skinner, yang berargumen bahwa perilaku aktif adalah dasar
ilmu psikologi. Ia juga berbeda dari Skinner dalam keyakinannya bahwa penguatan tidak terlalu
penting dalam proses belajar. Walaupun penguatan dapat memfasilitasi pembelajaran, Bandura
mengatakan bahwa penguatan bukanlah kondisi yang penting untuk hal tersebut. Sebagai contoh,
manusia dapat belajar dengan mengobservasi seorang model yang diberikan penguatan.

Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata. Dalam
penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain,
bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang
diamatinya juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi
jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat
memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan
atau penguatan.

a. Modeling

Inti dari pembelajaran melalui proses observasi adalah modeling. Pembelajaran melalui
modeling meliputi menambahi atau mengurangi suatu perilaku yang diobservasi dan
mengeneralisasi dari satu observasi ke observasi yang lainnya. Dengan perkataan lain. modeling
meliputi proses kognitif dan bukan sekadar melakukan imitasi Modeling lebih dari sekadar
mencocokan perilaku dari orang lain, melainkan merepresentasikan secara simbolis suatu
informasi dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan (Bandura, 1986, 1994).

Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak
tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau
mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan
penambahan dan atau pengurangan tinkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.

Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak: Kelompok pertama disuruh
mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan verbal, terhadap
boneka karet. Kelompok kedua diminta mengobservasi model orang dewasa yang duduk tenang
tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya. Kelompok ketiga menjadi kelompok
control yang tidak ditugasi mengamati dua jenis model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian
dibuat mengalami frustasi ringan, dan setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada
boneka karet seperti yang dipakai penelitian. Ternyata tingkah laku setiap kelompok cenderung
mirip dengan tingkah laku model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkah laku lebih
agresif terhadap boneka dibanding kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif
dibanding kelompok kontrol.

Contoh lain, berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia bukan
semata-mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang
tombul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menurut bandura,
sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) maupun penyajian
contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting
sebagai seorang model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku membaca. Anggota
keluarga yang sering dilihat oleh anak membaca atau memegang buku di rumah akan
merangsang anak untuk mencoba mengenal buku (Setianti, Fetiara dan Alfi Purnamasari, Vol 5,
No. 1 Januari 2008).

1) Modeling Mengubah Tingkahlaku Lama

Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua macam dmpak
terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat
memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak
diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah
laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu diganjar atau
dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung
meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum,
respon pengamat menjadi semakin lemah.

2) Modeling Simbolik
Dewasa ini sebagian besar modeling tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan televisi
menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya.
Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku.

3) Modeling Kondisioning

Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius
(vicarious classical conditioning). Modeling pon emosional. Pengamat mengobservasi model
tingkah laku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di
dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya (kondisioning
klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek
yang menjadi sasaran emosional model yang diamati.

Emosi seksual yang timbul akibat menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada
didekatnya saat itu (misalnya: menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak). Symbolic
modelling dapat membentuk citra orang tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan
manusia dengan aktivitas yang dilakukannya.

b. Proses Yang Mengatur Pembelajaran Melalui Observasi

Bandura (1986) menemukan empat proses yang mengatur pembelajaran melalui observasi;
perhatian» representasi» produksi perilaku, dan motivasi. Perhatian Sebelum kita dapat
melakukan modeling terhadap orang lain, kita harus memperhatikan orang tersebut. Apa faktor-
faktor yang mengontrol perhatian? Pertama, karena kita mempunyai kecenderungan untuk
mengobservasi seseorang yang sering kita asosiasikan dengan diri kita, kita lebih mungkin untuk
memperhatikan orang-orang tersebut Kedua, model yang atraktif dan menarik lebih mungkin
untuk diobservasi daripada model yang tidak menarik sosok-sosok populer di televisi, di bidang
olahraga, di film lebih sering diperhatikan dengan cermat Selain itu, sifat dasar dari perilaku
yang ditiru memengaruhi perhatian kita-kita mengobservasi perilaku yang kita rasa penting atau
bernilai.

Representasi Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola respons yang baru pola
tersebut harus dapat direpresentasikan secara simbolis di dalam ingatan. Representasi simbolik
tidak perlu dalam bentuk verbal, karena beberapa observasi dipertahankan dalam bentuk
gambaran dan dapat dimunculkan tanpa adanya model secara fisik. Proses ini penting terutama
dalam tahapan bayi, saat kemampuan verbal belum berkembang.

Produksi Perilaku Setelah memperhatikan seorang model dan mempertahankan apa yang telah
diobservasi, kemudian kita memproduksi perilaku tersebut. Dalam proses mengubah representasi
kognitif ke dalam tindakan yang tepat, kita harus bertanya pada diri kita beberapa pertanyaan
mengenai perilaku yang akan ditiru. Pertama, kita akan bertanya, “Bagaimana saya dapat
melakukan hal ini?” Setelah secara simbolis mengulang respons-respons yang relevan, kita
mencoba perilaku baru tersebut Selama melakukannya, kita memonitor diri lata dengan
pertanyaan, “Apa yang sedang saya lakukan?” Terakhir, kita mengevaluasi performa lata dengan
bertanya, “Apakah saya melakukannya dengan benar” Pertanyaan terakhir ini tidak selalu mudah
untuk dijawab, terutama apabila perilaku yang dilakukan mengutamakan kemampuan motorik,
seperti menari balet atau loncat indah, ketika kita tidak dapat melihat diri kita sendiri. Untuk
alasan tersebut, beberapa atlet menggunakan kamera video untuk membantu mereka
mendapatkan atau meningkatkan kemampuan motorik mereka.
Motivasi Pembelajaran melalui observasi paling efektif terjadi apabila pihak yang belajar ter
motivasi untuk melakukan perilaku yang ditiru. Perhatian dan representasi dapat berakibat pada
pengumpulan informasi untuk belajar, namun performa difasilitasi oleh motivasi untuk
melakukanan perilaku tertentu. Walaupun observasi dari orang lain mengajari kita bagaimana
melakukan sesuatu, kita dapat saja tidak mempunyai hasrat untuk melakukan tindakan tertebat
Seseorang dapat melihat orang menggunakan gergaji mesin atau penghisap debu dan tidak
termotivasi untuk mencoba salah satu aktivitas tersebut. Kebanyakan pengawas yang ada di tepi
jalan tidak ingin mengulang perilaku yang ditunjukkan oleh pekerja konstruksi yang
diobservasinya.

c. Pembelajaran Aktif

Setiap respons yang dibuat oleh seseorang akan diikuti oleh suatu konsekuensi Beberapa dari
konsekuensinya ini dapat memuaskan, beberapa tidak memuaskan, dan yang lainnya bahkan
tidak mendapatkan perhatian secara kognitif sehingga hanya mempunyai efek yang kecil.
Bandura yakin bahwa perilaku manusia yang komplekx dapat dipelajari saat seseorang
memikirkan dan mengevaluasi konsekuensi perilaku mereka.

d. Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori belajar social dari Albert Bandura.
Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri
khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase di mana Dosen memodelkan
atau mencontohkan melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan. Pada saat
guru melakukan modeling siswa melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang
dimodelkan itu. Selanjutnya asiswa diberi kesempatan untuk meniru model yang dilakukan oleh
guru melalui kesempatan latihan di bawah bimbingan guru.

2. Belajar melalui Perbuatan (Enactive Learning)

Terdapat perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan. Dalam banyak domain, orang perlu
melampaui struktur pengetahuannya untuk mengembangkan tindakan yang terampil.
Pengembangan keterampilan menuntut orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai
keterampilan yang ditargetkannya, yang cocok dengan upayanya untuk melaksanakan
keterampilannya tersebut.

Pengalaman merupakan kendaraan untuk menerjemahkan pengetahuan menjadi keterampilan.


Orang menerapkan informasi yang diperolehnya dari pengalaman itu untuk melakukan
penyesuaian dalam aspek ruang dan waktu dari kinerjanya, hingga apa yang dikerjakannya itu
mendekati kecocokan dengan konsepsi kognitifnya mengenai kinerja terampil itu.

a. Fungsi Konsekuensi Respon

Teori kognitif sosial memandang belajar melalui konsekuensi respon sebagai suatu proses
kognitif. Melalui pengalaman, orang menyadari konsekuensi positif dan negatif dari
tindakannya. Akan tetapi, proses belajar itu tidak berhenti di sini, karena orang melihat dampak
responnya. Jadi, reinforcement tidak otomatis memperkuat suatu kecenderungan untuk
merespon, tetapi penguatan itu terjadi dengan mengubah variabel kognitif dari informasi dan
motivasinya. Misalnya, dengan menelaah pola-pola konsekuensi respon, orang dapat melihat
konsepsi dan aturan-aturan perilaku.

Jika konsekuensi respon itu dipandang bernilai tinggi, maka ini akan mendorong dan
memperkuat perilaku. Dengan kata lain, berlawanan dengan pandangan mekanistik, konsekuensi
menentukan perilaku terutama melalui intervensi berpikir. Istilah reinforcement dapat
menyesatkan karena mengandung konotasi merespon secara otomatis dan memperkuat respon.
Oleh karena itu, pengaturan perilaku (regulation of behaviour) merupakan konsep yang lebih
baik daripada reinforcement.

b. Efisiensi Enactive Learning

Orang berbeda-beda dalam kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan dari konsekuensi


respon. Mereka mungkin berbeda dalam pengetahuan dan pengalamannya sebelumnya, sehingga
berbeda pula dalam kekayaan aturan yang dapat dipilihnya atau dikembangkannya untuk
melaksanakan suatu perilaku jika aturan tersebut belum dimilikinya.

Belajar akan lebih efisien bila konsekuensi muncul langsung sesudah tindakan, teratur, dan tanpa
dibingungkan oleh kejaidian-kejadian lain. Belajar akan lebih sulit bila tindakan yang sama tidak
selalu menghasilkan konsekuensi yang sama. Belajar dari pengalaman perbuatan tidak menjamin
bahwa cara bertindak alternatif terbaik akan dikembangkan. Belajar dari konsekuensi
pengalaman berbuat akan mengembangkan keterampilan yang memadai tetapi tidak optimal.
Orang cenderung menerima solusi yang memadai bukannya terus mencari solusi yang lebih baik.

Belajar dari konsekuensi pengalaman berbuat saja mungkin tidak akan efisien. Jika orang
kekurangan kompetensi, kompetensi tersebut dapat diajarkan secara verbal dengan mengajarkan
perilaku jenis mana yang fungsional. Di samping itu, orang dapat dibimbing secara fisik untuk
melakukan suatu perilaku dan ambil bagian dalam prosedur modeling secara bertahap.
Sebagaimana disebutkan di muka, teori kognitif sosial memandang modeling, yang mengarah
pada belajar dengan mengamati melalui proses simbolik, sebagai cara utama mentransmisikan
bentuk-bentuk perilaku baru.

3. Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi

Mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat belajar, karena belajar melalui
observasi memerlukan beberapa faktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat proses
yang penting agar belajar melalui obsevasi dapat terjadi, yakni:

a. Perhatian (attention process): Sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan ke orang
itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang
atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.

b. Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru, harus disimbolisasikan
dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi.
Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang
diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.
Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa
benar-benar melakukannya secara fisik.
c. Peniruan tingkah laku model (behavior production process): sesudah mengamati dengan penuh
perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkah laku. Mengubah dari
gambaran pikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi; “Bagaimana
melakukannya?” “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah sudah benar?” Berkaitan dengan
kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan
tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran.

Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process): Belajar melalui pengamatan
menjadi efektif kalau pembelajaran memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan
tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku
tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses daripada tingkah
laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat
melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil,
sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan
karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan
kemampuan, pening dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model
sesusilanya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar
prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya di luar jangkauannya. Anak
yang sangat dependen cenderung melimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga
dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan observernya. Anak cenderung melimitasi
orang tuanya yang hangat dan open (jawa), gadis lebih melimitasi ibunya.

.
4. Modeling untuk Proses Berpikir

Orang dapat belajar keterampilan berpikir dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali
proses berpikir yang tersirat tidak terungkapkan secara memadai oleh tindakan model. Misalnya,
seorang model dapat memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat hanya melihat
hasil tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan tindakan tersebut. Satu
pendekatan untuk mempelajari keterampilan kognitif adalah dengan meminta model menuturkan
apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan kegiatan untuk mengatasi masalahnya.

Keuntungan menggabungkan Modelling verbal dengan modelling non-verbal adalah kemampuan


modelling non-verbal untuk memperoleh dan mempertahankan perhatian, dan keefektifan
perilaku fisik untuk memberikan makna tambahan pada proses kognitif. Keterampilan kognitif
pengamat akan semakin meningkat bila model mendemonstrasikan tindakan dan proses
berpikirnya sekaligus, bukan hanya mendemonstrasikan tindakannya saja.

5. Peranan Reinforcement

Pandangan kognitif sosial adalah bahwa belajar melalui pengamatan tidak selalu memerlukan
imbalan ikstrinsik. Belajar seperti ini terjadi melalui pemrosesan kognitif pada saat dan sebelum
pengamat melakukan suatu respon. Dengan model operant conditioning dari Skinner, yang
hampir sama dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil apabila respon yang
sesuai dengan tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak sesuai dihukum atau tidak
diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi stimulus bagi respon yang cocok. Akan tetapi,
penjelasan Skinner tersebut mengandung beberapa kekurangan.

Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku model dalam setting yang sama dengan ketika
perilaku itu dicontohkan. Baik pengamat maupun model mungkin tidak akan memperoleh
reinforcement. Perilaku model mungkin terjadi lagi beberapa hari atau bahkan beberapa minggu
kemudian. Maka model operant tidak dapat menjelaskan bagaimana struktur respon baru itu
dipelajari melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam observational learning adalah
sebelum, bukan setelah modelling. Misalnya, perhatian pengamat dapat meningkat dengan
antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih jauh, imbalan yang diantisipasi itu
dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan dan berlatih menggunakan kegiatan model.
Insentif itu lebih bersifat fasilitatif daripada keharusan.

6. Pengetahuan Prediktif dan Pemikiran Ke Depan

Keberfungsian yang efektif menuntut orang mengantisipasi dan mengevaluasi kemungkinan


dampak bermacam-macam tindakan. Konsekuensi respon menciptakan ekspektasi atau
keyakinan bukannya hubungan stimulus-respon. Isyarat (cues) dan stimuli memperoleh nilai
prediktif melalui hubungannya dengan konsekuensi respon.

Manusia memperhatikan dengan seksama aspek-aspek lingkungannya yang dapat memprediksi


konsekuensi, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak demikian. Misalnya, anak akan
berperilaku lebih agresif bila orang tuanya lebih permisif. Pengetahuan tentang konsekuensi
respon dan nilai prediktifnya memungkinkan orang menentukan tindakan yang dapat
dilakukannya.

Terdapat tiga sumber informasi yang saling terkait, yaitu langsung, simbolik, dan tak langsung
yang memberikan informasi tentang konsekuensi yang dapat dipergunakan sebagai dasar
prediksi. Informasi langsung (enactive information) diperoleh dari pengalaman langsung dengan
konsekuensi respon. Informasi simbolik diperoleh dari penjelasan yang menggambarkan keadaan
tertentu di mana konsekuensi respon positif dan negatif akan terjadi. Informasi tak langsung
(vicarious information) diperoleh melalui pengamatan terhadap konsekuensi respon yang dialami
orang lain. Bertahannya nilai prediktif suatu isyarat yang dipelajari secara verbal atau secara
simbolik biasanya memerlukan konfirmasi periodik melalui pengalaman langsung.

Untuk dapat membuat pertimbangan prediktif yang akurat diperlukan perhatian, ingatan, dan
sejumlah keterampilan kognitif yang integratif. Sering kali orang perlu dihadapkan pada
bermacam-macam isyarat lingkungan yang membingungkannya untuk dapat mengidentifikasi
isyarat yang memiliki relevansi prediktif. Kemudian mereka perlu membentuk faktor-faktor yang
relevan itu menjadi aturan-aturan tindakan yang dapat digeneralisasikan. Sebagian besar aturan
tindakan ditanamkan melalui pengajaran bukannya ditemukan melalui pengalaman langsung.

Penjelasan verbal yang memberikan informasi tentang kondisi yang dapat menghasilkan
konsekuensi tertentu sangat bermanfaat untuk menanamkan aturan-aturan prediktif. Ketepatan
prediksi orang dapat berkurang bila dia salah membaca peristiwa. Misalnya, mereka mungkin
salah menilai ancaman, tidak dapat melihat atau salah mempersepsi aspek-aspek penting dari
lingkungannya atau berlebihan dalam menilai kecukupan pengetahuannya.

.
E. Penutup

Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat dinyatakan bahwa pebelajar perlu juga memiliki
keyakinan self-efficacy atas diri mereka sendiri pada praktik pembelajaran dan prestasi pebelajar
mereka (Tschannen-Moran, 1998: 202). Beberapa peneliti menganjurkan bahwa guru harus
memainkan peranan sebanyak persepsi kompetensi pebelajar pada kompetensi aktual karena
persepsi dapat lebih akurat memprediksi motivasi pebelajar dan pilihan akademik mendatang
(Hackett dan Betz, 1989: 261).

Penilaian keyakinan diri pebelajar dapat memberikan sekolah pemahaman penting tentang
motivasi akademi pebelajar, perilaku, dan pilihan akademik mendatang. Misalnya, persepsi self-
efficacy yang rendah yang tidak realisitik, tidak memiliki kemampuan atau keterampilan, dapat
menjadi bertanggung jawab untuk perilaku akademik yang tidak adaptif, penghindaran tindakan
atau karir, dan mengurangi minat sekolah dan prestasi.

Pebelajar yang tidak memiliki kepercayaan dalam keterampilan yang mereka miliki menjadi
kurang mungkin melibatkan dalam tugas, dan mereka akan lebih cepat menyerah dalam
menghadapi kesulitan. Sekolah seyogyanya bekerja mengidentifikasi keyakinan diri pebelajar
yang tidak akurat, mendesain, dan melakukan intervensí untuk menantang mereka dalam
pencapaian prestasi akademik. Misalnya, guru melakukan peer berbagi sifat yang sama pada
pebelajar mereka sebagai guru dan model belajar, melengkapi umpan balik yang menarik pada
usaha untuk meningkatkan persepsi efikasi dan performansi.

Teori kognitif sosial mengakui baik adanya kontribusi sosial terhadap cara manusia berpikir dan
bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap motivasi, emosi dan tindakan. Kelebihan
teori Bandura ini adalah 1) teori ini mampu menjelaskan cara pembentukan perilaku manusia
yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh perspektif aliran skinnerian tentang bagaimana
prinsip-prinsip reinforcement beroperasi. 2) teori Bandura tentang observational learning
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman mengenai bagaimana klien belajar
cara berpikir dan berperilaku yang positif maupun negatif. 3) teori kognitif sosial ini menjelaskan
secara rinci berbagai proses konsep kognitif seperti self-efficacy dan self-regulation, yang perlu
dipertimbangkan secara seksama oleh para konselor.

Anda mungkin juga menyukai