Anda di halaman 1dari 4

Social Cognitive Theory

1. Sejarah teori kognitif sosial


Teori Kognitif Sosial merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini
dilakukan tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura juga merupakan
pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru. Pada beberapa
publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif
dan behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini sangat
berperan dalam mempelajari efek dari isi media massa pada khalayak media di level individu.

2. Konsep-konsep utama
Sudah jelas bahwa konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian tentang
belajar observasional atau proses belajar dengan mengamati. Jika ada seorang "model" di
dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam
lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan
hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model
tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses peniruan. Peniruan
merupakan reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis" (Baran & Davis, 2000: 184).
Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan anaknya bagaimana cara mengikat sepatu
dengan memeragakan berulang kali sehingga si anak bisa mengikat tali sepatunya, maka
proses ini disebut proses peniruan.
Sebagai tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses peniruan dapat juga
terlihat pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru
bagaimana cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski demikian
tidak semua narasumber dapat memengaruhi khalayak, meski contoh yang ditampilkan lebih
mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini, teori kognitif sosial
kembali ke konsep dasar "rewards and punishments"—imbalan dan hukuman—tetapi
menempatkannya dalam konteks belajar sosial.
Baranowski, Perry, dan Parcel (1997) menyatakan bahwa proses penguatan merupakan
bentuk utama dari cara belajar seseorang. Proses penguatan juga merupakan konsep sentral
dari proses belajar sosial. Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses
efek menghalangi dan efek membiarkan. Efek menghalangi terjadi ketika seseorang melihat
seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu, misalnya penangkapan dan
vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam pembuatan
video porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan mengurangi
kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi terkenal itu.
Sebaliknya, efek membiarkan terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi
penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya di sebuah tayangan kontes
adu bakat di sebuah televisi ditampilkan sekelompok pengamen jalanan yang bisa
memenangi hadiah ratusan juta rupiah, serta ditawari menjadi model iklan dan bermain dalam
sinetron karena mengikuti lomba tersebut. Menurut teori ini, orang juga akan mencoba
mengikuti jejak sang pengamen jalanan.
Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang
sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan seseorang
sebagai pengalamannya sendiri. Jenis penguatan ini disebut penguatan perwakilan. Menurut
Bandura (1986), penguatan perwakilan terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil dan
harapan hasil. Pengharapan hasil menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang model
diberi penghargaan dan diberi hukuman, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama
jika kita melakukan perilaku yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh Baranowski
dkk (1997), bahwa orang akan mengembangkan pengharapannya tentang suatu situasi dan
pengharapannya untuk mendapatkan suatu hasil dari perilakunya sebelum ia benar-benar
mengalami situasi tersebut.
Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk harapan
akan hasil. Harapan-harapan ini mempertimbangkan sejauh mana penguatan tertentu yang
diamati itu dipandang sebagai sebuah imbalan/penghargaan atau hukuman. Misalnya, orang
memang menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang membintangi video porno memang
pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga mempertimbangkan kemungkinan perilaku
yang sama yang dilakukan orang lain dalam video porno tersebut mendapatkan imbalan
misalnya berupa simpati atau bahkan tak diajukan ke pengadilan karena dianggap sebagai
korban, meski pada saat melakukan adegan video porno tersebut ia dan si artis penyanyi yang
dihukum itu sama-sama melakukannya dengan sadar. Hal ini akan memengaruhi sejauh mana
proses belajar sosial akan terjadi.
Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari pembelajaran
dalam teori kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang
dikemukakan teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah
satu tambahan yang penting bagi teori ini adalah konsep identifikasi dengan model di dalam
media.
Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang merasakan
hubungan psikologis yang kuat dengan sang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi.
Menurut White (1972: 252) identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi hingga berusaha
menjadi seperti sang model dengan beberapa kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang
anak yang mengidolakan seorang atlet sepak bola, mungkin akan meniru atlet tersebut
dengan cara menggunakan kostum yang sama dengan atlet tersebut atau mengonsumsi
makanan yang dikonsumsi atlet tersebut.
Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat"
untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dimilikinya untuk
menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan efikasi diri (Bandura, 1977a)
dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasyarat kritis dari perubahan perilaku. Misalnya
dalam kasus tayangan tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah disebutkan di
atas. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua orang akan belajar membuat kue
bika, khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji dan mempunyai
keyakinan bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang sia-sia dan tak perlu karena
membelinya pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini orang tersebut dianggap tidak
mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk belajar memasak kue bika dari televisi.
3. Teori Kognitif Sosial dan Media Komunikasi
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial
adalah bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang
menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku
tersebut. Melalui pengamatan ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan
tentang apa yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama dengan sang model.
Harapan-harapan ini akan memengaruhi proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya
yang akan muncul. Namun, proses belajar ini akan dipandu oleh sejauh mana orang tersebut
mengidentifikasi dirinya dengan sang model dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri
tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang model.
Melalui dasar pemikiran ini, aplikasi dari teori kognitif sosial dengan penelitian di
media massa perlu diperjelas. Di dalam masyarakat masa kini, banyak model yang kita
pelajari adalah model yang kita lihat, dengar, atau baca di media massa. Model-model ini bisa
jadi merupakan orang-orang yang kita amati dalam siaran berita atau program dokumenter.
Mereka juga bisa saja karakter-karakter yang kita lihat dalam program-program
drama/sinetron/film layar lebar atau televisi atau juga karakter dalam buku novel. Bisa juga
mereka adalah para penyanyi atau penari yang kita dengar dan lihat melalui radio atau CD
dan VCD musik. Singkat kata, begitu banyaknya model yang ditampilkan media akan dapat
mengubah perilaku baik anak-anak maupun orang dewasa karena mereka mengamati media.
Dampak terbesar dari teori kognitif sosial adalah dalam penelitian tentang kekerasan
dalam media. Gunter (1994) melakukan tinjauan atas riset tentang dampak dari kekerasan
yang ditampilkan di media pada anak-anak dan orang dewasa, dan ia menyimpulkan bahwa
terdapat bukti-bukti campuran yang kuat yang menghubungkan efek dari penggambaran
kekerasan melalui media pada perilaku, sikap dan kognisi dari penonton.
Teori kognisi sosial, yang amat menekankan efek pada perilaku, mengatakan bahwa
penggambaran kekerasan itu memicu baik peningkatan maupun penurunan dalam perilaku
kekerasan, tergantung pada perilaku yang mendapatkan imbalan maupun hukuman, dan juga
tergantung pada sejauh mana penonton mengidentifikasi diri mereka pada model kekerasan
dalam media. Tentu saja, riset awal Bandura (1962) dan Berkowitz (1964) mendukung
hubungan mendasar antara menonton perilaku kekerasan dan pemodelan perilaku dalam
interaksi. Bagaimanapun, riset terakhir telah menambahkan kompleksitas untuk persamaan
ini, dengan alasan bahwa isu-isu seperti kecenderungan perilaku agresif yang sudah ada,
proses kognitif media, realita yang digambarkan media dan bahkan diet bisa memengaruhi
sejauh mana seseorang "belajar" tentang kekerasan dari media. (Miller,2005: 254)
Aplikasi dari teori kognitif sosial pada studi tentang kekerasan melalui televisi
mempertimbangkan bagaimana media dapat memiliki konsekuensi yang tak diinginkan pada
khalayak pemirsanya. Bagaimanapun, para sarjana komunikasi dan peneliti riset aksi juga
mempertimbangkan aplikasi yang lebih berguna dari teori kognitif sosial ini. Makin banyak
saja para sarjana komunikasi yang menggunakan konsep hiburan dan pendidikan dalam
mempertimbangkan bagaimana pesan-pesan program hiburan bisa digunakan untuk
menimbulkan perubahan perilaku dan sosial. Misalnya penelitian tentang bagaimana
telenovela yang disiarkan di banyak negara selain dapat menghibur juga dapat
menyampaikan isu tentang keluarga berencana, persamaan hak pria dan wanita, dan reformasi
pertanian. Banyak juga opera sabun Amerika yang memang dibuat dalam kerangka kognitif
sosial yaitu dengan menggunakan karakter-karakter yang menarik yang mendapatkan
penghargaan atau hukuman sebagai pemodelan dari perilaku secara nyata.
Teori Kognitif Sosial juga digunakan dalam aplikasi komunikasi kesehatan masyarakat.
Misalnya untuk kampanye tentang demam berdarah, atau flu burung digunakan artis terkenal
atau tokoh yang menarik yang karena mengikuti anjuran pemerintah untuk pencegahan, bisa
terhindar dari penyakit tersebut. Pemakaian artis terkenal atau tokoh yang menarik akan
memicu orang untuk lebih waspada terhadap kedua penyakit tersebut.
4. Ringkasan
Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa
dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek
dari pemodelan ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang
dijatuhkan pada model, melalui identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui
sejauh mana khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media.
Meski berdasarkan bidang studi psikologi sosial, teori ini memeiliki efek yang kuat untuk
pemahaman tentang efek kekerasan melalui media baik untuk anak-anak maupun orang
dewasa dan juga pada perencanaan kampanye yang ditujukan untuk mengubah perilaku
masyarakat melalui media.

Referensi
Bandura, A.1962. Social learning through imitation. Dalam M.R. Jones (Ed), Nebraska
symposium on motivation.Vol 10. Lincoln: University of Nebraska Press
Bandura, A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change.
Psychological Review, 84, hal. 191-215
Bandura, A. 1977b. Social Learning Theory. New Jersey: Prentise Hall
Baran, S.J & D.K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and
Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth
Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and health
behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK
Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice.
2nd edition. San Francisco: Jossey Bass
Miller. Katherine.2005. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. 2 nd
Edition. International Edition. Singapore: McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai