Anda di halaman 1dari 6

Polifarmasi

1. Pengertian
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan
oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang
dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie,
2004):
 Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas
 Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama
 Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi
 Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat
 Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.
Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan
penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis
yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi
ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan
farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).
2. Perubahan eliminasi obat yang berhubungan dengan usia
Farmakokinetik terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Proses
penuaan dapat mempengaruhi proses ini.
a Absorpsi
Beberapa perubahan dalam absorpsi obat telah ditunjukkan, dan absorpsi obat
secara keseluruhan lengkap, meskipun pada lansia sangat lambat. Analgesik
merupakan obat umum yang absorpsinya lambat. Jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik tergantung pada bioavailabilitas dari obat setelah diabsorpsi.
Beberapa obat, seperti bisphosphonates (alendronate, etidronate, risedronate,
tiludronate), memiliki bioavailabilitas yang kecil. Dalam keadaan puasa, kurang
dari 1 % dosis yang diberikan mencapai sirkulasi sistemik. Masuknya obat-obat
bersamaan dengan makanan dapat menurunkan absorpsi dan bila terjadi lebih lanjut
dapat mengurangi jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik.

Interaksi obat-obat dan obat-makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat. Sebagai


contoh fluoroquinolon berinteraksi dengan kation divalent dan trivalent (antasida,
zat besi, sukralfat) dan mengurangi absorpsi antibiotik tersebut. Di sisi lain,
penyakit yang bersamaan seperti gagal jantung dapat meningkatkan konsentrasi
obat serum seperti levedopa, nifedipin, dan omeprazole dengan mengurangi aliran
darah hati. Penurunan aliran hepatik meminimalkan efek hepatic first-pass dan
meningkatkan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Obat-obatan seperti
levedopa, nifedipin, dan omeprazol menunjukkan peningkatan bioavailabilitas pada
lansia.

b Komposisi tubuh
Perubahan komposisi tubuh berhubungan dengan usia, termasuk peningkatan massa
lemak dan penurunan berat badan secara keseluruhan, diperhitungkan untuk
perubahan distribusi dari beberapa obat pada lansia. Dosis obat yang
direkomendasikan dapat dirubah berdasarkan perkiraan massa tubuh. Loading
doses dapat dimodifikasi karena penurunan cairan tubuh secara keseluruhan. Obat
yang larut dalam lemak (sedative-hypnotic agents) dapat diberikan dengan dosis
rendah karena berpotensi menyebabkan akumulasi pada jaringan lemak dan oleh
karena itu durasi kerja obat akan lebih lama.

c Metabolisme
Sebagian besar obat dimetabolisme di hati. Obat yang dimetabolisme di hati
mengalami oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang akan menurun dengan
bertambahnya usia. Penuaan normal berhubungan dengan beberapa perubahan pada
kapasitas metabolisme hati, namun aliran darah hati menurun 40% dengan
bertambahnya usia. Oleh karena itu terdapat variabilitas dalam metabolism obat di
hati dengan bertambahnya usia.

Biotransformasi pada sistem sitokrom P450 terjadi lebih lambat pada lansia. Proses
ini akan mempengaruhi metabolisme beberapa obat seperti wrfarin, fenitoin dan
diazepam. Perokok, pengguna alcohol dan kafein akan mempengaruhi metabolism
obat di hati.

d Distribusi
Distribusi obat dapat dipengaruhi oleh ikatan protein pada konsentrasi serum,
seperti albumin dan α1-acid glycoprotein. Penyakit kronis dan kekurangan nutrisi
kalori-protein mempengaruhi jumlah albumin dalam serum, dan jumlah α1-acid
glycoprotein akan dipengaruhi oleh penyakit akut seperti infeksi, kanker, gagal
jantung, stroke dan trauma. Ikatan protein sangat penting untuk obat dengan indeks
terapi yang rendah, seperti fenitoin, lidokain, quinidin, dan antidepresan trisiklik.
Ikatan albumin juga penting untuk obat acidic seperti warfarin dan naproksen.

Terapi fenitoin secara khusus sangat sulit bagi lansia. Ikatan protein yang tinggi
(90%) dan farmakokinetik yang komplek harus diberikan dengan dosis yang
diperhitungkan dan dilakukan pemantauan untuk populasi ini. Konsentrasi serum
dari fenitoin mencerminkan total obat, yakni fenitoin bebas dan terikat. Jika jumlah
albumin dalam serum rendah, fraksi bebas akan meningkat sedangkan konsentrasi
total obat tidak berubah. Toksisitas dapat terjadi dengan konsentrasi serum
terapeutik.

e Eliminasi
Eliminasi obat pada lansia sangat dipengaruhi oleh penurunan laju filtrasi
glomerolus dan aliran darah ginjal yang berhubungan dengan usia, dengan
penurunan sekitar 1% per tahun setelah usia 50 tahun. Jumlah kreatinin serum tidak
selalu mencerminkan akurasi perkiraan laju filtrasi glomerolus karena adanya
penurunan massa otot yang berhubungan usia. Pada pasien dengan kekurangan
nutrisi kalori-protein, hasil pemeriksaan fungsi ginjal dapat normal meskipun
terjadi gangguan ginjal yang substansial. Perkiraan creatinin clearance harus
dipertimbangkan secara hati-hati ketika memberikan dosis obat pada lansia.
Pemberian dosis obat yang memiliki indeks terapi yang rendah harus berdasarkan
jumlah obat dalam serum. Tabel 1 menunjukkan beberapa obat yang membutuhkan
modifikasi dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tabel 1
Antimicrobial agents
Amantadine
Ciprofloxacin, levofloxacin, ofloxacin
Sparfloxacin
Ethambutol
Gentamicin, tobramycin, amikacin
Imipenem
Penicillins
Vancomycin
Cardiovascular agents
Atenolol
Digoxin
Enalapril, lisinopril, quinapril, ramipril
Nadolol
Gastrointestinal agents
Cimetidine, famotidine, nizatidine, ranitidine
Oral hypoglycemic agents
Acetohexamide
Chlorpropamide
Glyburide
Tolazamide

f Perubahan lain
Pertimbangan akhir pada eliminasi obat yang berhubungan dengan usia adalah
bahwa lansia akan merespon pengobatan secara berbeda dibandingkan dengan
orang yang masih muda. Hal ini dapat terjadi karena perubahan jumlah reseptor,
seperti down-regulation dari aktivitas reseptor β-adrenergic, atau jumlah jaringan
atau organ, seperti peningkatan sedasi, kehilangan memori dengan benzodiazepine,
atau pengurangan rasa nyeri dengan penggunaan narkotik. Perubahan pada
sensitivitas reseptor ini sering disebut dengan perubahan farmakodinamik yang
berhubungan dengan penuaan.

Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh,
Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu
perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.

Pasien-pasien usia lanjut relatif lebih sensitif terhadap aksi beberapa obat dibanding
kelompok usia muda. Hal ini memberi petunjuk adanya perubahan interaksi
farmakodinamika obat terhadap reseptor yang nampaknya merupakan hasil perubahan
farmakokinetika atau hilangnya respons homeostatis. Mekanisme pengontrol homeostatis
tertentu tampaknya juga mulai kehilangan fungsi pada usia lanjut, sehingga pola atau
intensitas respons terhadap obat juga berubah. Sebagai contoh tekanan darah rata-rata pada
usia lanjut relatif lebih tinggi, tetapi sementara itu insidensi hipotensi ortostatik juga
meningkat secara menyolok. Demikian pula mekanisme pengaturan suhu juga memburuk
dan hipotermia kurang ditoleransi secara baik pada usia lanjut.

Berbagai penelitian klinik menunjukkan bahwa usia lanjut ternyata lebih sensitif terhadap
analgetika, alkaloida, opium, beberapa sedatif dan tranquilizer, serta obat antiparkinson.
Sayangnya, obat-obat tersebut justru sering diresepkan untuk kelompok usia ini.
3. Efek Samping Obat pada Usia Lanjut
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat yang
diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak jenis obat yang
diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya
efek samping. Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami efek samping
setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai 100% jika jumlah obat yang
diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat
pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang sering
menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain analgetika, antihipertensi,
antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat gastrointestinal. Sedangkan efek
samping yang paling banyak dialami antara lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan,
retensi urin, dan konstipasi.
4. Prinsip Pemberian Obat Pada Lansia
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat
 Diagnosis dan patofisiologi penyakit
 Kondisi organ tubuh
 Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)

Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan
perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan
diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat,
karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh
akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan
obat pada usia lanjut :
a Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat.
b Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkan dan
tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
c Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
d Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih
rendah.
e Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
f Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang
tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

Sumber :

Yvette C. Terrie, BSPharm, RPh. (2004). Understanding and Managing Polypharmacy in the
Elderly. Retrivied 11 Maret 2016 from
http://www.pharmacytimes.com/publications/issue/2004/2004-12/2004-12-9094

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). (2006). Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI

Mansjoer, Arif. (2004). Kapita Selekta Kedokteran Ed 3. Jakarta : Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai