Anda di halaman 1dari 51

BAB III

ANALISIS DESKRIPTIF-INTERPRETATIF BERDASARKAN DATA

SEJARAH-ARSITEKTUR DAN SPASIAL

3.1. Pengaruh Dam Tirtonadi Terhadap Jaringan Drainase Wilayah Praja

Mangkunegara

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2015, bendungan adalah bangunan berupa

urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain untuk menahan dan

menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah

tambang, atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk. Bendungan dapat

dibedakan menjadi berbagai macam keadaan. Menurut Hadihardjaja (1977: 170-

178) berdasarkan konstruksinya terdapat tiga tipe bendungan, yaitu:

1. Bendungan urugan (fill type dam) adalah bendungan yang dibangun dari

hasil penggalian bahan tanpa bahan lain yang bersifat secara kimia.

Bendungan tipe ini dapat dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:

a) Bendungan homogen, yaitu apabila bahan yang membentuk tubuh

bangunan terdiri atas tanah yang hampir sejenis dan susunan ukuran

butirannya hampir seragam. Tubuh bendungan berfungsi ganda, yaitu

sebagai bangunan penyangga dan penahan rembesan air.

b) Bendungan zonal, yaitu apabila timbunan yang membentuk tubuh

bangunan terdiri dari batuan yang susunan ukurann butirannya berbeda-

62
63

beda dengan urutan-urutan pelapisan tertentu. Pada bendungan ini fungsi

penyangga dilakukan oleh timbunan yang lolos air (zone lolos air) dan

fungsi penahan rembesan dilakukan oleh timbunan yang kedap air (zone

kedap air).

c) Bendungan urugan bersekat (bendungan sekat), yaitu apabila di lereng

udik tubuh bendungan dilapisi dengan sekat tidak lulus air (dengan

kekedapan yang tinggi) seperti lembaran baja tahan karat, beton aspal,

lembaran beton bertulang, hamparan plastik, susunan beton blok, dan

lain-lain.

2. Bendungan Beton (concrete dam) adalah bendungan yang dibuat dengan

konstruksi beton dengan tulang maupun beton yang tidak bertulang.

3. Bendungan Tanah (earth fill dam) adalah bendungan yang dibuat dengan

konstruksi timbunan tanah.

Berdasarkan konstruksinya dam Tirtonadi pada awal pembangunan

merupakan tipe bendungan beton bertulang. Beton adalah campuran antara semen,

pasir, air, dan koral. Campuran beton mempunyai perbandingan tertentu

tergantung ketahanan yang diinginkan. Beton bertulang merupakan beton yang

diberikan penulangan (besi beton dengan ukuran diameter tertentu) di dalamnya,

agar daya kekuatan beton dan kelenturannya bertambah kuat 1. Untuk membentuk

beton diperlukan adanya cetakan beton atau bekisting yang dapat terbuat dari

papan kayu, multipleks, atau cetakan besi. Melalui cetakan tersebut, bentuk

dirancang dan digubah sesuai dengan fungsi dan estetika yang diinginkan.

1
Hardi Utomo, Rustan Hakim., 2002, “Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap Prinsip-
Unsur dan Aplikasi Disain”, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
64

Seiring berkembangnya waktu, pada tahun 1992 dam Tirtonadi mengalami

perubahan struktur menjadi bendung karet. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas

penambangan pasir (sedimentasi bendungan) secara berlebihan pada tahun 1970-

1980 oleh warga sekitar dam Tirtonadi yang mengakibatkan terjadinya erosi

dibawah tubuh bendung dan patahnya bagian tengah tubuh bendung2. Pada tahun

1992 tubuh bendungan diganti menjadi karet yang dapat kembang kempis dengan

menggunakan mesin kompresor atau blower (gambar 3.1). Karet yang digunakan

untuk tubuh bendung bermerek Bridgestone. Proyek penggantian ini dilakukan

oleh BBWSB (Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo).

2
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
14 Juli 2016 pukul 10:00 WIB.
65

Gambar 3.1. Blower dam Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

3.1.1. Analisis Arsitektur Dam Tirtonadi

Dam Tirtonadi memiliki panjang ± 4 km, dengan lebar ± 60 meter dan

tinggi ± 2,5 meter. Konstruksi tubuh bangunan terdiri dari tumpukan batu yang

setiap batu diatur bergerigi sedangkan pada bagian lereng di bagian bawah

bendungan berupa tumpukan batu tegak lurus (gambar 3.2).


66

Gambar 3.2. Konstruksi lereng dam Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016
Ditinjau dari segi arsitekturnya, bendungan Tirtonadi terdiri dari beberapa

komponen, yaitu :

 Badan bendungan (body of dams)

Tubuh bendungan Tirtonadi merupakan struktur utama yang berfungsi untuk

membendung laju aliran sungai Pepe dan menaikkan tinggi muka air Sungai

Anyar dari elevasi awal. Tubuh bendungan Tirtonadi melintang dari utara ke

selatan, melintangi aliran Sungai Anyar. Tubuh bendungan Tirtonadi pada awal

pembangunannya terbuat dari pasangan batu kali, tetapi seiring berkembangnya

teknologi tubuh bendung mengalami beberapa perubahan (gambar 3.3).

Sisa perubahan yang terjadi pada tubuh bendung masih terlihat hingga saat

ini. Bagian tengah tubuh bendungan Tirtonadi sekarang terbuat dari karet yang

bisa dikembang-kempiskan menggunakan kompresor, sementara bagian kiri dan

kanan tubuh bendung masih menggunakan konstruksi pasangan batu kali.

Perubahan konstruksi bangunan pada tubuh bendungan Tirtonadi dilakukan


67

karena syarat dari suatu tubuh bendungan harus aman terhadap tekanan air,

tekanan akibat perubahan debit yang mendadak, tekanan gempa, dan akibat berat

tubuh bendungan sendiri (Mulyanto 2012: 31 ).

Gambar 3.3. Tubuh bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

 Pondasi (foundation)

Pondasi adalah bagian dari bendungan yang berfungsi untuk menjaga

kokohnya bendungan. Pondasi bendungan Tirtonadi pada awal pembangunan

berupa batu kali, namun pada tahun 1992 diganti menjadi pondasi beton3. Pondasi

bendungan Tirtonadi terletak di dalam tanah, sehingga tidak memungkinkan

adanya dokumentasi.

3
Wawancara dengan Pak Adi (petugas operasional dam Tirtonadi) 16 Juli 2016 pukul 10:00 WIB.
68

 Pintu air (gates)

Pintu air merupakan struktur dari bendung yang berfungsi untuk mengatur,

membuka, dan menutup alira n air di saluran baik yang terbuka maupun tertutup.

Bendungan Tirtonadi memilki 4 unit pintu air. Bagian yang penting dari pintu air

bendungan Tirtonadi, antara lain:

a) Daun pintu (gate leaf)

Daun pintu bendungan Tirtonadi berada di bawah bangunan pintu air,

sehingga tidak memungkinkan adanya dokumentasi. Pengoprasian buka-

tutup atau naik-turunnya pintu air masih menggunakan tenaga manusia

(ulir).

b) Rangka pengatur arah gerakan (guide frame)

Bendungan tironadi mempunyai pengatur arah gerakan air berupa motor

dan berfungsi sebagai pengatur atau pemecah aliran air pada Sungai Pepe.

Motor ini berfungsi mengarahkan aliran sungai yang masuk ke Sungai

Pepe Kota dan Sungai Anyar.


69

Gambar 3.4. Motor pembuka tutup pintu air bendungan Tirtonadi


Sumber: www.flickr.com diakses tanggal 31 Juli 2016

c) Jangkar (anchorage)

Jangkar yang digunakan pada bendungan Tirtonadi terletak dibawah

bangunan pintu air dan terbuat dari bahan Galvanized4.

d) Kerekan (hoist)

Bendungan Tirtonadi mempunyai kerekan yang terbuat dari besi dan

terpasang pada bagian motor buka-tutup pintu air.

4
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek Induk Pengembangan
Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2002. Tirtonadi Rubber Dam. Madiun: Departemen
Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai
Bengawan Solo (hlmn 2)
70

Kondisi bangunan pintu air pada bendungan Tirtonadi sekarang cenderung

kumuh dan tak terawat, padahal mengingat pentingnya fungsi dan peran pintu air

sebagai pengatur neraca air Kota Surakarta maka perlu adanya konservasi dan

revitalisasi pada bangunan pintu air ini (gambar 3.5).

Gambar 3.5. Bangunan pintu air dilihat dari sisi selatan (depan terminal
Tirtonadi)
Sumber: www.flickr.com diakses pada tanggal 31 Juli 2016

 Pintu Pengambilan (intake)

Pada bendungan Tirtonadi, pintu pengambilan berada di sisi selatan atau

kanan bendungan. Pintu pengambil berfungsi sebagai pengatur besar kecilnya

debit aliran yang mengalir ke Sungai Pepe Kota. Pada awalnya, pintu pengambil

bendung Tirtonadi berjumlah 10 unit yang mengarah ke selatan atau Kota

Surakarta (Sungai Pepe Kota) namun pada perkembangannya hingga saat ini,

pintu pengambil yang masih difungsikan hanya 2 unit saja5 (gambar 3.6).

5
Wawancara dengan Pak Adi (petugas operasional dam Tirtonadi) 16 Juli 2016 pukul 10:00 WIB
71

Gambar 3.6. Pintu pengambil bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

 Pintu Penguras

Bendungan Tirtonadi memiliki dua unit pintu penguras yang

terletak di sisi selatan atau sebelah kanan tubuh bendungan. Pintu

penguras ini terletak antara pilar dengan pilar. Konstruksi pilar masih

menggunakan pasangan batu kali dan mempunyai lebar ± 2 meter. Pintu

penguras ini berfungsi untuk menguras bahan-bahan endapan (pembersih

sedimentasi) agar pintu tidak tersumbat. Pintu penguras pada bendungan

Tirtonadi akan dibuka setiap harinya selama ± 60 menit (gambar 3.7).


72

Gambar 3.7. Pintu penguras bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

 Kantong Lumpur

Bendungan Tirtonadi memiliki kantong lumpur yang terletak disebelah

hilir pintu pengambilan atau hulu Sungai Pepe Kota (gambar 3.8. dan gambar

3.9). Kantong lumpur berfungsi untuk mengendapkan fraksi-fraksi sedimen

yang lebih besar dari fraksi pasir halus (0,06 s/d 0,07mm). Bahan-bahan yang

telah mengendap dalam kantung lumpur kemudian dibersihkan secara berkala

melalui saluran pembilas kantong lumpur dengan aliran yang deras untuk
73

menghanyutkan endapan-endapan itu ke hilir Sungai Anyar yang bermuara ke

Sungai Bengawan Solo.

Gambar 3.8. Kantong lumpur bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016
74

Gambar 3.9. Kantong lumpur terletak pada hulu Sungai Pepe Kota
Sumber: Aji, 2016

Suatu bendungan memiliki bangunan pelengkap untuk menunjang fungsi dan

operasional pelaksanaannya. Bangunan pelengkap bendungan Tirtonadi terdiri

dari bangunan-bangunan atau pelengkap yang akan ditambahkan ke bangunan

utama untuk keperluan :

1) Pengukuran debit dan muka air di sungai maupun di saluran Sungai Anyar.

Peralatan dan perlengkapan untuk keperluan ini tersimpan pada ruang

mesin yang terletak di sisi utara bendungan Tirtonadi.


75

Gambar 3.10. Rumah mesin bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji 2016

Gambar 3.11. Operation panel otomatis bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016
76

Gambar 3.12. Mesin blower sebagai pendukung operasional bendungan


Tirtonadi
Sumber: Aji, 2016

2) Rumah penjaga atau operator bendungan Tirtonadi merupakan bangunan

pelengkap yang berfungsi sebagai tempat tinggal penjaga bendungan.

Rumah ini dilengkapi dengan peralatan komunikasi, untuk melakukan

koordinasi setiap saat dengan DPU Kota Surakarta dan beberapa instasi

terkait dengan kondisi bendungan Tirtonadi.


77

Gambar 3.13. Rumah operator bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

3) Jembatan diatas bendung berfungsi sebagai penghubung bangunan utama

yang terletak di sisi selatan dengan bangunan pelengkap di sisi utara

bendungan Tirtonadi, serta dapat menjadi tempat rekreasi bagi warga

sekitar bendungan.
78

Gambar 3.14. Jembatan penghubung bendungan Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016
Perlu diketahui bahwa sebelum bendungan Tirtonadi secara konstruksi

bertipe beton bertulang, bendungan ini terbuat dari batu kali. Batu kali atau batu

belah adalah batuan yang berupa bongkahan-bongkahan dan memiliki ukuran

yang tidak teratur. Pada awal pembangunan dam Tirtonadi, batu kali digunakan

sebagai konstruksi tubuh bendung dan operasional buka-tutup pintu air masih

menggunakan ulir yang dioperasikan oleh tenaga manusia. Hal ini dikarenakan

pada masa tersebu belum ditemukan teknologi beton seperti sekarang.

Dokumentasi foto dan arsip bendungan Tirtonadi pada awal pembangunan tidak

didapatkan penulis, namun data foto awal pembangunan pintu air Demangan Kota

Surakarta dapat mewakili kondisi awal pembangunan bendungan Tirtonadi. Hal

ini dikarenakan pembangunan pintu air demangan dan bendungan Tirtonadi

dibangun bersamaan (1900-1910), sehingga teknologi dan konstruksi yang

digunakan hampir sama.


79

Gambar 3.13. Pembangunan Pintu Air Demangan oleh PB X


Sumber: www. commons.wikimedia.org diakses pada 31 Juli 2016

3.1.2. Pola Jaringan Drainase Wilayah Praja Mangkunegara

Drainase adalah pembuangan massa air secara alami atau buatan dari

permukaan atau bawah permukaan dari suatu tempat.6 Pada permukaan tanah

yang bergelombang atau berkontur, pemecahan masalah drainase atau saluran air

akan lebih rumit dibandingkan dengan permukaan tanah yang relatif rata. Namun

kedua bentuk permukaan tanah tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian

terhadap saluran pembuangan. Pada tanah yang berkontur, aliran air bergerak dari

6
Dr.Ir.Suripin, M.Eng. 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi
(hlmn 14)
80

kontur tinggi menuju kontur terendah. Artinya akan selalu terjadi aliran air secara

alamiah yang dikenal dengan istilah drainase alamiah. Sedangkan pada kontur

atau kondisi tanah yang relatif datar, maka kemiringan saluran perlu

diperhitungkan agar air buangan dapat mengalir menuju saluran pembuangan kota

(Hakim 2002: 192).

Pola drainase adalah sistem saluran pembuangan muka tanah ataupun di

dalam tanah yang berhubungan dengan limbah yang berasal dari kegiatan

pembangunan atau permukiman (Hakim 2002: 236). Arah aliran air, letak saluran

pembuangan utama, dan lebar saluran menjadi perhatian dalam analisis pola

jaringan drainase. Wilayah Kota Surakarta secara geografis merupakan wilayah

yang rawan banjir dan hampir setiap tahun wilayah ini mengalami banjir, oleh

karena itu keberlangsungan drainase dan pola drainase kota perlu mendapatkan

perhatian khusus.

Pada permukiman Praja Mangkunegara awal abad XX, sistem drainase

dibangun oleh Mangkunegara VII (1916-1944). Mangkunegara VII menyadari

bahwa sistem drainase merupakan salah satu komponen infrastruktur yang sangat

penting, sehingga kemajuan sebuah kota dapat dinilai dari kondisi sistem

drainasenya. Pada sekeliling Pura Mangkunegara dibangun saluran-saluran khusus

untuk mengatur pembuangan limbah, pembangunan saluran-saluran ini diteruskan

hingga daerah Gilingan. Pembangunan saluran induk dari waduk Cengklik yang

dialirkan ke arah timur hingga taman Balekambang dilengkapi dengan pintu air

yang sewaktu-waktu bisa dibuka dan ditutup.


81

Jaringan drainase permukiman Praja Mangkunegara sejak awal

pembangunan hingga sekarang tidak banyak mengalami perubahan dan masih

berpola siku7. Pola jaringan drainase siku biasanya dibuat pada daerah yang

mempunyai topografi sedikit lebih tinggi daripada sungai. Sungai sebagai saluran

pembuang akhir biasanya terletak atau melintasi di tengah kota (Sungai Pepe

Kota).

Gambar 3.14. Pola jaringan drainase siku


Sumber: architulistiwa.blogspot.sg diakses pada 31 Juli 2016
Berdasarkan hasil wawancara tentang pola drainase pada permukiman

Praja Mangkunegara tersebut, maka penulis mengadakan survei secara mandiri

untuk mengecek kebenaran akan informasi yang diperoleh. Kegiatan survei

dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2016, berikut adalah peta survei jaringan

drainase pada permukiman Praja Mangkunegara (gambar 3.15).

7
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
23 Juli 2016 pukul 10:00 WIB.
82

Gambar 3.15. Peta survei jaringan drainase Praja Mangkunegara


Sumber: Google Earth Juli 2016 dengan modfikasi penulis
83

Berdasarkan survei secara mandiri dengan langkah menelusuri jaringan

drainase pada wilayah Praja Mangkunegara, maka dapat diketahui arah aliran

drainase. Berikut adalah peta arah aliran drainase di wilayah Praja Mangkunegara

(gambar 3.16).

Gambar 3.16. Peta arah aliran drainase Praja Mangkunegara


Sumber: DPU Kota Surakarta (2014) dengan modifikasi penulis

Pada peta arah aliran drainase tersebut, tampak arah aliran berpola siku-

siku dimana arah aliran tersebut dipengaruhi elevasi atau beda tinggi pada

masing-masing daerah. Peta arah aliran drainase tersebut, secara langsung

menggambarkan pola jaringan drainase wilayah Praja Mangkunegara. Sejak awal

pembangunan jaringan drainase hingga sekarang, pola jaringan drainase tidak

mengalami perubahan karena arah alirannya masih tetap sama. Kondisi seperti ini
84

menggambarkan bahwa dinamika demografi dan tata guna lahan yang terjadi

sejak awal abad XX pada permukiman Praja Mangkunegara tidak berdampak

terhadap perubahan kontur atau elevasi di wilayah tersebut.

Selain penataan drainase, Mangkunegara VII juga melakukan perbaikan

sistem sanitasi bagi masyarakat. Pembangunan kamar mandi umum ini serentak

dilakukan di beberapa lokasi di wilayah Praja Mangkunegara. Masyarakat

menyebut kamar mandi sebagai ponten. Ponten merupakan bangunan di suatu

kompleks khusus yang terdiri dari bilik serta dilengkapi dengan sumber air dan

tempat khusus untuk pakaian serta dilengkapi pula dengan pancuran. Pada sistem

pembuangannya, ponten ini menggunakan sepiteng dan tidak terhubung dengan

saluran drainase disekitarnya8. Ponten ini terletak di kampung Ngebrusan dan

diresmikan oleh Mangkunegara VII dalam pencanangan Monumen Padasan.

8
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
23 Juli 2016 pukul 10:00 WIB.
85

Gambar 3.17. Ponten di Kampung Ngebrusan


Sumber: Aji, 2016

3.2. Pengaruh Pembangunan Dam Tirtonadi Dan Jaringan Drainase

Terhadap Permukiman Praja Mangkunegara Awal Abad XX

Pembangunan Dam Tirtonadi dengan arsitektur yang dirancang

sedemikian rupa dan adanya jaringan drainase yang berpola siku secara langsung

maupun tidak langung mempengaruhi permukiman Praja Mangkunegara.

Dinamika permukiman Praja Mangkunegara sejak awal abad XX hingga saat ini

juga mempengaruhi keberlangsungan peran dan fungsi dam Tirtonadi beserta

jaringan drainasenya. Penjelasan pengaruh dan saling keterkaitan antara

pembangunan dam Tirtonadi dan jaringan drainase terhadap permukiman Praja

Mangkunegara adalah sebagai berikut.


86

3.2.1. Pola Permukiman Praja Mangkunegara Awal Abad XX

Secara arkeologis, dinamika dan perubahan suatu masyarakat dapat

diketahui antara lain dari pola permukimannya. Suatu pola permukiman pada

dasarnya merupakan ekspresi konsepsi manusia tentang ruang, dan sekaligus

merupakan hasil upayanya untuk mengubah dan memanfaatkan lingkungan fisik

berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang dimilikinya tentang lingkungan

tersebut (Ahimsa-putra, 1997; 17-25 ). Ciri dari perkembangan kota adalah

adanya wilayah permukiman yang dihuni sekelompok orang. Kehadiran bangsa

Belanda, menjadikan pola permukiman pribumi terletak di daerah perkampungan

sedangkan bangsa Eropa sebagian besar tinggal di dekat jalan utama.9 Istilah

perkampungan di wilayah Praja Mangkunegara muncul sekitar tahun 1926,

perkampungan tersebut merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa. Kampong

merupakan struktur birokrasi dan administrasi yang berada di bawah kalurahan10.

Pada masa Mangkunegoro VII pola permukiman perkampungan hanya

terdiri dari dua perkampungan, yakni Perkampungan Pribumi dan Perkampungan

Eropa (terutama orang-orang Belanda). Di kota ini juga terdapat beberapa pasar

yang menjadi fokus dari kehidupan ekonomi bagi masyarakat perkampungan di

Praja Mangkunegara.

9
Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada. hal 22.
10
Th. M. Metz, op.cit. hal. 48
87

 Perkampungan Pribumi

Perkampungan orang-orang pribumi di Praja Mangkunegara terbagi

menjadi beberapa kalurahan. Kalurahan merupakan struktur pemerintahan di Praja

Mangkunegara di bawah Panewu. Kalurahan ini dipimpin oleh seorang Lurah

Kampung, dan letak kantornya selalu berada dipojok. Hal ini secara filosofis

melambangkan bahwa setiap pemimpin harus selalu mengayomi rakyatnya.

Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut oleh

Praja Mangkunegara. Pada masa Mangkunegoro VII, Praja Mangkunegara terdiri

dari 10 kalurahan, antara lain:

a. Kalurahan Stabelan

b. Kalurahan Timuran

c. Kalurahan Keprabon

d. Kalurahan Kestalan

e. Kalurahan Ketelan

f. Kalurahan Punggawan

g. Kalurahan Mangkubumen

h. Kalurahan Manahan

i. Kalurahan Gilingan

j. Kalurahan Nusukan

 Perkampungan Eropa

Perkampungan elit orang Eropa (terutama orang-orang Belanda) dikenal

dengan nama Villa Park. Perkampungan ini berada di sebelah utara Istana
88

Mangkunegara. Villa Park memiliki luas ±1,5 ha, dan dibangun pada masa

Mangkunegoro VI. Perkampungan tersebut dibuat berbanjar, dan terlihat indah.

Rumah-rumah di perkampungan ini merupakan bangunan yang disewakan untuk

para pembesar Belanda.11 Pertumbuhan permukiman di Villa Park juga disertai

dengan segala infrastruktur yang dibutuhkan bagi orang-orang Eropa yang tinggal

di tempat tersebut. Kebutuhan infrastruktur ini terdiri atas fasilitas pendidikan,

kesehatan, ibadah, kesenian, dan kebudayaan.

 Pasar Di Praja Mangkunegara

Pasar merupakan perusahaan praja. Praja membangun gedung-gedungnya dan

menyewakan los-losnya. Pasar merupakan fokus dari kehidupan ekonomi bagi

rakyat. Adapun pasar yang terletak di Praja Mangkunegara antara lain:

a. Pasar Legi

Pasar Legi berada di sebelah utara Istana Mangkunegara. Pasar ini

memiliki gedung paling besar di antara pasar-pasar yang ada di Praja

Mangkunegara.

b. Pasar Pon

Pasar Pon terletak di sebelah utara Istana Mangkunegara dan berbatasan

langsung dengan Kampung Kemlayan (wilayah Kasunanan). Pasar Pon

sebagian besar pedagangnya adalah etnis Cina.

11
Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. hal 105
89

c. Pasar Triwindu

Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegara. Pasar ini

dibangun oleh Mangkunegoro VII untuk memperingati 24 tahun kenaikan

tahtanya dan diresmikan pada tahun 1939. Barang yang diperdagangkan di

pasar ini hanya barang yang terbuat dari logam, antara lain: besi, tembaga,

emas, dan perak12. Praja Mangkunegara mempunyai beberapa pasar kecil yang

tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar Ngapeman, Pasar Nongko,

Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar Ngemplak.

Pembagian wilayah Praja Mangkunegara atas kampung-kampung yang

mempunyai spesifikasi tertentu atau ciri-ciri yang khas membentuk toponimi yang

dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni berdasarkan nama orang yang

terkenal pada daerah setempat, berdasarkan nama jabatan dalam pemerintahan,

berdasarkan keadaan setempat, dan nama-nama bentukan baru.

Pada dasarnya, perkembangan pola permukiman Praja Mangkunegara

termasuk dalam pola terpusat. Permukiman terpusat seperti ini biasanya

membentuk unit-unit kecil yang memiliki pusat kegiatan atau pemerintahan13.

Pada pola permukiman Praja Mangkunegara, konsep pembuatan jaringan jalan

dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah

jalan tradisional. Daerah Praja Mangkunegara menunjukkan model pembangunan

jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan

12
Nina Astiningrum, 2006. Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di
Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 101.
13
Hadi Sabari Yunus, 2012. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 126.
90

perempatan jalan (Nova, 2011: 6). Berikut adalah peta Praja Mangkunegara pada

tahun 1940 (gambar 3.18).

Gambar 3.18. Peta Kota Mangkunegara 1940


Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegara

Pada perkembangannya, perembetan permukiman Praja Mangkunegara

cenderung berkembang ke arah barat laut. Hal ini ditandai dengan adanya

keletakan berbagai infrastruktur kota (stadion, taman, sekolah, rumah sakit, pabrik

gula) yang dibangun oleh Mangkunegara di wilayah ini. Secara berkelanjutan,

perkembangan permukiman dan pembangunan infrastruktur tersebut di Praja

Mangkunegara tidak diikuti dengan perkembangan saluran drainase dan sanitasi.

Hal inilah yang menjadi pemicu utama banjir pada wilayah permukiman Praja

Mangkunegara selain adanya kondisi geografis Kota Surakarta yang berupa

cekungan.
91

3.2.2. Dinamika Jaringan Drainase Wilayah Praja Mangkunegara

Secara keseluruhan, pola jaringan drainase pada wilayah Praja

Mangkunegara tidak mengalami perubahan mendasar. Secara konstruksi, jaringan

drainase wilayah Praja Mangkunegara telah banyak mengalami perubahan, hal ini

dikarenakan adanya dinamika permukiman pada wilayah Praja Mangkunegara

tidak berbanding lurus dengan perkembangan saluran drainasenya. Berdirinya

Praja Mangkunegara pada tahun 1757 yang menjadi pusat pemerintahan dan

kebudayaan jawa pada waktu itu telah menjadikan daerah sekitar istana

Mangkunegara beserta wilayah kekuasaannya banyak mengalami perubahan tata

guna lahan sesuai dengan kebijakan politik dan kepentingan ekonomi Praja

Mangkunegara yang diberlakukan pada saat itu.

Dinamika yang terjadi pada wilayah Praja Mangkunegara tersebut dapat

dikatakan sebagai dinamika sosial dan pembangunan. Dinamika ini

memperlihatkan gerak yang penuh gairah dalam melaksanakan pembangunan,

sehingga menimbulkan perubahan tata hidup masyarakat Praja Mangkunegara.

Dinamika tersebut terlihat dari hasil overlay keletakan jaringan drainase dengan

peta lama Kota Surakarta setelah Praja Mangkunegara berdiri. Berikut hasil

overlay jaringan drainase tahun 2016 dengan peta Kota Surakarta tahun 1873 dan

1935 (gambar 3.19 dan 3.20).


92

Gambar 3.19. Hasil overlay jaringan drainase dengan peta Kota Surakarta tahun
1873
Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegara dengan modifikasi penulis

Gambar 3.20. Hasil overlay jaringan drainase dengan peta Kota Surakarta
tahun 1935
Sumber: U.S. Army map service dengan modifikasi penulis
93

Pada hasil overlay dengan peta dasar tahun 1873, tampak belum dibangun

dam Tirtonadi beserta jaringan drainasenya. Pemilihan lokasi pembangunan dam

Tirtonadi beserta Kali Anyar di Desa Munggung dapat diinterpretasikan dari hasil

overlay tersebut bahwa wilayah Desa Munggung dilewati oleh Sungai Pepe dan

belum terdapat permukiman pada daerah tersebut, serta tata guna lahannya masih

didominasi sawah atau perkebunan. Secara hidrologis, kondisi Kota Surakarta

pada tahun 1873 dengan tata guna lahan sawah dan perkebunan yang menonjol

menjadikan recharge area saat itu masih luas. Selain itu juga nampaknya belum

ada perembetan permukiman Praja Mangkunegara yang terlalu meluas dan

signifikan, walaupun memang sudah terlihat cukup banyak permukiman di selatan

Desa Munggung.

Selain itu, diperkirakan bahwa permukiman pada tahun 1873 yang

kebanyakan berada di selatan Desa Munggung masih menggunakan saluran

draianse alami. Saluran drainase alami ini terbentuk oleh alam tanpa ada campur

tangan manusia, dan biasanya berupa aliran sungai. Melihat kondisi tersebut,

maka Sungai Pepe merupakan saluran drainase utama Kota Surakarta pada saat

itu. Kondisi ini berubah seiring terjadinya dinamika sosial dan pembangunan pada

Kota Surakarta, khususnya pada wilayah Praja Mangkunegara.

Pada hasil overlay dengan peta dasar tahun 1935 yang dibuat oleh pemerintah

Kolonial Belanda tampak sangat berbeda dengan peta tahun 1837. Perbedaan ini

terlihat pada perubahan tata guna lahan. Tata guna lahan pada tahun 1935 sudah

didominasi oleh permukiman dan berkurangnya sawah atau kebun, sehingga

secara hidrologis kondisi ini mengurangi recharge area Kota Surakarta. Adanya
94

pengelompokan pemukiman antara pribumi, cina, dan belanda juga sudah terlihat

pada peta ini. Pada tahun 1935 memang sudah dibangun dam Tirtonadi beserta

jaringan drainase, dan secara keseluruhan memang tampak saluran drainase yang

cukup memadai dan hampir menjangkau seluruh permukiman yang ada beserta

taman-taman kota yang ada pada saat itu.

Berkurangnya kawasan resapan air hujan (recharge area) pada hasil overlay

tahun 1935 terjadi karena semakin padatnya penduduk pada wilayah Praja

Mangkunegara sehingga membuat kerentanan banjir semakin tinggi. Hal tersebut

dikarenakan bila semakin berkurangnya recharge area maka dapat

mempengaruhi tatanan fungsi hidrologi secara signifikan, sehingga

konsekuensinya terjadi kerusakan daerah tangkapan air (catchmen area) yang

berpotensi meningkatkan laju aliran permukan sehingga terjadi bencana seperti

longsor,erosi, dan banjir14. Kondisi seperti inilah yang diantisipasi oleh

pemerintah Kolonial Belanda, dengan adanya pembangunan dam Tirtonadi dan

jaringan drainase serta sudetan Sungai Anyar awal abad XX yang ditujukan untuk

mengatur neraca air Kota Surakarta dengan cara mengatur besar kecilnya debit air

yang masuk ke Sungai Pepe Kota.

Pembuatan dam Tirtonadi dan jaringan drainase serta pembuatan sudetan

Sungai Anyar pada awal abad XX merupakan langkah mitigasi struktural buatan

yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda bersama Mangkunegara. Mitigasi

struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dengan

14
repository.ugm.ac.id diakses pada 29 September 2016, 18:45:23
95

cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana15. Dam Tirtonadi beserta jaringan

drainase wilayah Praja Mangkunegara dalam hal ini adalah hasil rekayasa teknis

yang sengaja dibuat untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya bencana

banjir pada Kota Surakarta, khususnya wilayah Praja Mangkunegara.

Hasil penelusuran jaringan drainase pada survei secara mandiri menunjukkan

bahwa kondisi jaringan drainase pada willayah Praja Mangkunegara masih dalam

keadaan cukup baik dan berfungsi normal. Masalah yang timbul adalah gulma

pada beberapa saluran drainase tertentu serta endapan yang terjadi pada bagian

hilir saluran. Kondisi konstruksi talud Sungai Pepe Kota sebagai hilir dari semua

jaringan drainase pada beberapa tempat yang berada dalam kondisi rusak dan tak

terawat memerlukan perhatian khusus (gambar 3.21). Kondisi infrastruktur

penunjang drainase dan Sungai Pepe Kota yang sedemikian rupa menjadikan

operasional saluran drainase tidak maksimal dalam menjalankan fungsi dan

perannya bagi Kota Surakarta.

15
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
96

Gambar 3.21. Kondisi talud Sungai Pepe Kota


Sumber: Aji, 2016

Fungsi dan peran saluran drainase Praja Mangkunegara yang tidak

berjalan dengan maksimal menjadikan wilayah ini mempunyai tingkat kerentanan

yang tinggi terhadap bencana banjir ketika hujan deras melanda Kota Surakarta.

Tidak adanya perawatan secara berkala terhadap saluran drainase dan infrastruktur

penunjangnya serta adanya penyempitan pada lebar Sungai Pepe Kota pada tahun

1990 yang dilakukan oleh DPU Kota Surakarta telah meningkatkan kerentanan

banjir pada wilayah permukiman Praja Mangkunegara16. Kurangnya kesadaran

masyrakat tentang betapa pentingnya peran dan fungsi Sungai Pepe Kota dalam

meminimalisasi terjadinya banjir terlihat dari pola perilaku masyarakat yang

16
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
29 Agustus 2016 pukul 15:00 WIB
97

menjadikan sungai sebagai tempat sampah dan banyaknya permukiman liar pada

bantaran Sungai Pepe Kota.

Banyaknya penyimpangan saluran yang terjadi karena permukiman liar

pada bantaran Sungai Pepe Kota sehingga konstruksi talud sungai dan saluran

drainase mudah rusak dan cenderung tak terawat. Pemicu adanya penyimpangan

saluran drainase ini adalah adanya permukiman liar sepanjang saluran drainase,

dan perilaku masyarakat pada permukiman tersebut yang dengan bebas membuat

saluran sanitasi secara ilegal yang mengarah langsung ke saluran drainaase.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan Sungai Pepe Kota menjadi tercemar

limbah rumah tangga (gambar 3.22)

Gambar 3.22. Penyimpangan pembuangan limbah (pralon) oleh warga


permukiman sepanjang saluran drainase Praja Mangkunegara
Sumber: Aji, 2016
98

Adanya pralon sebagai pembuangan limbah rumah tangga (sanitasi) yang

mengarah langsung kepada saluran drainase mengakibatkan terjadinya anomali

daya tampung maksimal saluran drainase. Pada dasarnya fokus saluran drainase

ditujukan hanya untuk menampung air hujan (run off) dan berfungsi untuk

penggelontoran air kota dan mematuskan air permukaan agar tidak terjadi banjir

atau genangan air17. Dengan adanya penyimpangan saluran sanitasi yang

mengarah langsung ke saluran drainase dan tidak berbanding lurusnya

perkembangan pembangunan saluran drainase dengan laju permukiman, maka

kerentanan wilayah Praja Mangkunegara terhadap bencana banjir semakin tinggi.

Kondisi saluran drainase yang tidak terawat, menyimpang, dan

meningkatnya kerentanan bencana banjir pada permukiman Praja Mangkunegara

mengakibatkan diperlukannya revitalisasi pada saluran drainase secara

keseluruhan. Revitalisasi saluran drainase secara khusus dapat dilaksanakan

dengan pemeliharaan saluran secara periodik, dan meninjau ulang kondisi saluran

drainase yang rusak, menyimpang, dan tak bisa berfungsi normal. Secara periodik,

saluran drainase Praja Mangkunegara dapat dibedakan menurut konstruksi saluran

dan lebar saluran menjadi 2 periode yaitu; saluran draianse lama dan drainase

baru. Berdasarkan hasil survei mandiri dan wawancara saluran drainase lama

mempunyai konstruksi batu kali (kecil dan tak beraturan), mempunyai lebar

17
Presentasi “Profil Drainase Kota Surakarta”‖ Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
99

± 80 cm – 500 cm, serta terhubung dengan pipa limbah (sanitasi) yang tertutup

blok beton pada kiri kanan saluran drainase (gambar 3.23 dan gambar 3.24).

Gambar 3.23. Penutup pipa limbah (sanitasi) pada jaringan lama


Sumber: Aji, 2016

Gambar 3.24. Jaringan drainase lama dengan lebar kurang dari 1 meter dan
konstruksi batu kali
Sumber: Aji, 2016
100

Pada saluran drainase baru, ditandai dengan adanya konstruksi batu

persegi yang sudah disusun rapi, mempunyai lebar ± 2 m, serta terhubung dengan

pipa limbah (sanitasi) yang tertutup lingkaran besi yang diatasnya bertuliskan

“sanitasi solo”(gambar 3.25 dan gambar 3.26).

Gambar 3.25. Penutup pipa limbah (sanitasi) pada jaringan lama


Sumber: Aji, 2016
101

Gambar 3.26. Jaringan drainase baru dengan lebar ± 2 meter dan konstruksi sudah
menggunakan batu persegi.
Sumber: Aji, 2016
Terlepas dengan adanya perbedaan jaringan drainase lama dan baru,

berdasarkan keberlangsungan operasionalnya jaringan drainase wilayah Praja

Mangkunegara dapat diklasifikasikan menjadi 4 klasifikasi. Klasifikasi tersebut

antara lain adalah jaringan drainase lama yang masih digunakan; jaringan drainase

lama tidak digunakan; jaringan drainase baru; jaringan drainase lama dengan

adanya penambahan saluran baru (modifikasi). Jaringan drainase baru dan lama

dibedakan berdasarakan indikator lebar saluran dan keterhubungan antara saluran

dengan pentup pipa sanitasi, dengan adanya klasifikasi ini maka dapat diketahui

bahwa saluran drainase tersebut berada pada permukiman lama atau baru. Berikut

adalah peta klasifikasi jaringan drainase wilayah Praja Mangkunegara(gambar

3.27).
102

Gambar 3.27. Peta Klasifikasi Jaringan Drainase Wilayah Praja Mangkunegara


Sumber: DPU Kota Surakarta (2014) dengan modifikasi penulis

Pada peta klasifikasi jaringan drainase yang didasarkan atas hasil survei

secara mandiri, terlihat bahwa jaringan drainase baru mendominasi pada wilayah

Praja Mangkunegara. Secara administratif, jaringan drainase baru dominan

terletak pada Kelurahan Manahan, Kelurahan Banyuanyar, dan Kelurahan

Keprabon. Hal ini dikarenakan pada tahun 1990 telah dilakukan banyak

revitalisasi saluran drainase pada daerah tersebut oleh DPU Kota Surakarta18,

selain itu Kelurahan Banyuanyar merupakan perembetan permukiman baru di

Kota Surakarta. Jaringan drainase lama yang masih terpakai dengan konstruksi

batu kali berada di Kelurahan Mangkubumen, dan sebagian di Kelurahan

18
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
29 Agustus 2016 pukul 15:00 WIB
103

Manahan. Saluran drainase pada Kelurahan Manahan ini berhubungan dengan

keberadaan Taman Balekambang, walaupun sekarang saluran ini sudah menurun

debit alirannya sehingga tidak digunakan lagi sebagai sumber pengairan Taman

Balekambang.

Keberadaan saluran lama yang terhubung pada Taman Balekambang ini

merupakan salah satu bukti bahwa pada awal pembangunannya, saluran drainase

berfungsi sebagai sumber pengairan kota dan taman-taman kota, khususnya

wilayah Praja Mangkunegara. Pada perkembangannya fungsi tersebut sudah tidak

bisa lagi berjalan dengan normal karena banyak saluran draianse yang ditutup

sebagai jalan, dan sudah tidak digunakan lagi karena debit alirannya yang kecil.

Kondisi inilah yang memicu terjadinya modifikasi dengan penambahan saluran

baru pada saluran drainase lama yang masih digunakan. Jaringan drainase

campuran atau modifikasi Praja Mangkunegara kebanyakan terletak di Kelurahan

Sriwedari dan Kelurahan Kemlayan yang berdekatan dengan Jalan Slamet Riyadi

(gambar 3.28).
104

Gambar 3.28. Jaringan drainase modifikasi di Jalan Supomo (kantor pengadilan)

Sumber: Aji, 2016

Jalan Slamet Riyadi merupakan jalan utama Kota Surakarta, sehingga

wajar jika banyak modifikasi infrastruktur demi keberlangsungan transportasi dan

kehidupan Kota Surakarta. Pada kenyataannya, modifikasi saluran drainase yang

dilakukan oleh DPU pada tahun 1990 tidak bisa mengembalikan fungsi saluran

drainase sehingga aliran air meluap ketika hujan deras melanda Kota Surakarta

dalam waktu yang cukup lama (gambar 3.29 dan 3.30).


105

Gambar 3.29. Genangan di Jalan Supomo (kantor pengadilan)


Sumber: Aji, 2016

Gambar 3.30. Genangan di jalur lambat Jalan Slamet Riyadi


Sumber: Aji, 2016
106

Jaringan drainase lama yang terbengkelai dan sudah menjadi jalan dapat

ditemui di Kelurahan Kestalan, dan Kelurahan Kampung Baru. Secara khusus,

jaringan drainase lama yang tak digunakan berada pada belakang hotel Sahid Jaya

Solo yang merupakan salah satu hotel bintang lima di Kota Surakarta. Jaringan ini

sudah tidak berfungsi lagi dan sudah dijadikan jalan oleh pihak hotel maupun

warga masyarakat sekitar (gambar 3.31). Kebanyakan, jaringan drainase yang tak

digunakan dan menjadi jalan ini terletak pada permukiman warga bantaran Sungai

Pepe Kota yang cenderung kumuh dan padat penduduk.

Gambar 3.31. Jaringan drainase lama yang sudah menjadi jalan kampung
(belakang hotel sahid jaya)
Sumber: Aji, 2016
107

3.3. Susunan Sistem Drainase Praja Mangkunegara Awal Abad XX

Setelah mengetahui dinamika dam Tirtonadi dan jaringan drainasenya

terhadap permukiman di wilayah Praja Mangkunegara, maka dapat disimpulkan

bahwa tingkat keterkaitan atau keterkaitan ruang antara variabel ini sangatlah

tinggi. Masing-masing variabel tersebut memiliki peran dan fungsi masing-

masing, tetapi dalam pelaksanaannya dalam mewujudkan tujuan,fungsi, dan peran

akan selalu berhubungan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat Kota

Surakarta, khususnya di wilayah Praja Mangkunegara. Operasional dalam

menjalankan peran dan fungsi yang saling terhubung dan berkaitan satu sama lain

dapat dikatakan sebagai sebuah sistem drainase. Sebuah sistem drainase perkotaan

pada umumnya berfungsi antara lain sebagai pembuang air lebih; pengangkut

limbah dan mencuci polusi kota; mengatur elevasi muka air tanah, dan dapat

menjadi sumberdaya air alternatif (Mulyanto 2012: 2-7).

Pada tahap perkembangan saluran drainase, khususnya pasca kemerdekaan

Indonesia pengelolaan dan pemeliharaan jaringan drainase wilayah Praja

Mangkunegara berada di Pemerintah Kota Surakarta. Secara khusus, Pemkot

Surakarta menugaskan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Surakarta sebagai

pihak yang berwenang dalam memelihara keberlangsungan jaringan drainase di

Kota Surakarta19. Menurut DPU Kota Surakarta, sistem drainase di Kota

Surakarta termasuk juga wilayah Praja Mangkunegara dibedakan berdasarkan

catchmen area menjadi sistem drainase makro; sistem drainase makro.

19
Wawancara dengan Ir. Budi Santoso, MM (Kepala Bagian Drainase Dinas PU Kota Surakarta)
29 Agustus 2016 pukul 15:00 WIB
108

3.3.1. Sistem Drainase Makro

Sistem drainase makro atau primer berfungsi sebagai saluran pengumpul

yang langsung dari runoff lahan perkotaan serta saluran atau pipa buang dari

penghasil limbah (rumah-rumah atau permukiman). Setiap saluran pada sistem

drainase makro melayani areal seluas 50 sampai dengan maksimum 100 hektar

saja. Pemeliharaan saluran menjadi tanggung jawab komunitas kampung atau

kelurahan yang dilayani. Apabila daerah layanan terlalu luas maka akan sulit

untuk melakukan kerjasama dalam memelihara saluran, dan rentan terjadinya

penyimpangan saluran dengan adanya pembuatan saluran-saluran liar oleh warga

masyarakat (Mulyanto 2012: 14 ).

Secara khusus, sistem drainase primer memiliki panjang saluran 40,13

km20. Adanya penyimpangan pada saluran drainase dan permukiman liar

sepanjang Sungai Pepe Kota akan berdampak pada anomali daya tampung

maksimal suatu saluran, sehingga mempengaruhi kinerja sistem drainase makro

Kota Surakarta Sistem drainase makro Kota Surakarta meliputi saluran aliran

sungai yang melintasi kota Surakarta dan mengalir menuju sungai Bengawan Solo

yaitu Sungai Pepe Hulu, Sungai Pepe Hilir, Sungai Sumber, Sungai Gajah Putih,

Sungai Pelem Wulung, Sungai Brojo, Sungai Jenes, Sungai Tanggul/Wingko dan

Sungai Anyar (gambar 3.32).

20
Presentasi “Profil Drainase Kota Surakarta” Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
109

3.3.2. Sistem Drainase Mikro

Sistem drainase mikro atau sekunder merupakan saluran yang menampung

air dari beberapa saluran tersier di dekatnya untuk dialirkan lebih jauh ke hilir

(saluran induk drainase). Secara keseluruhan, Kota Surakarta memiliki panjang

saluran sekunder 129,441 km , dan saluran tersier 28,883 km21. Sebuah saluran

pada sistem drainase mikro ini direncanakan untuk melayani tidak lebih

(maksimum) seluas 5000 hektar. Dengan alasan sulitnya mendapatkan tanah di

perkotaan serta padatnya perumahan dan infrastruktur di dalamnya maka dengan

membatasi luas areal yang dilayani, akan dapat dibatasi luas tampang aliran dan

panjang saluran.

Dengan demikian biaya pembuatan, operasi dan pemeliharaan dapat

disesuaikan dengan dana yang tersedia (Mulyanto 2012: 15). Sistem drainase

mikro Kota Surakarta meliputi saluran drainase utama di bagian tengah kota yaitu

saluran Purwosari-Mangkuyudan, saluran Jl. Muwardi-Jl. Wahidin, saluran

Stadion Sriwedari-Tipes/Bhayangkara, saluran Jl. Supomo dan saluran Jl. Dr.

Ciptomangunkusumo. Berikut adalah Peta Eksisting Drainase Kota Surakarta

(gambar 3.32).

21
Presentasi “Profil Drainase Kota Surakarta” Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
110

Gambar 3.32. Peta Eksisting Drainase Kota Surakarta


Sumber: DPU Kota Surakarta (2014) dengan modifikasi penulis
Secara keseluruhan, Kota Surakarta memiliki daerah tangkapan air atau

catchmen area seluas 4.345 ha. Secara umum fungsi saluran drainase adalah

untuk penggelontoran air kota dan mematuskan air permukaan agar tidak terjadi

banjir atau genangan air22. Adanya penyimpangan saluran drainase pada wilayah

Praja Mangkunegara sehingga tidak maksimalnya kinerja saluran drainase, dan

tidak berbanding lurusnya antara laju permukiman dengan perkembangan saluran

drainase menyebabkan kerentanan terhadap bencana banjir pada wilayah Praja

Mangkunegara semakin tinggi. Melihat kondisi tersebut, maka pemerintah Kota

22
Presentasi “Profil Drainase Kota Surakarta” Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
111

Surakarta khususnya DPU Surakarta wajib melakukan revitalisasi dan normalisasi

saluran drainase sistem mikro dan makro secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. KBBI Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Pustaka
Hakim Rustan, Hardi Utomo. 2002. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap
Prinsip-Unsur dan Aplikasi Disain. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Mulyanto. 2013. Penataan Drainase Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu

SKRIPSI/THESIS/DISERTASI
Daryadi. 2009. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada
Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas
Maret.
Dwiyanto Horb. 1995. Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja
Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII (1916-1944). Surakarta:
Universitas Negeri Sebelas Maret.
Putro, Nova Yunanto. 2011. Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran
(Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII, 1916-1944). Surakarta:
Universitas Negeri Sebelas Maret.
Juliastuti, Sari. 2009. Keberadaan Jaringan Kanal Di Kota Batavia Tahun 1619-
1808. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muzaini. 1996. Pembangunan Irigasi Di Praja Mangkunegaran 1916-1942.
Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.
Rachmawan, Titet Fauzi. 2011. Waduk Pacal Di Kabupaten Bojonegoro Provinsi
Jawa Timur: Alasan Pemilihan Lokasi dan Potensinya Sebagai Data
Arkeologis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Saraswati, Ratna. 2007. Perubahan Distribusi Air Pada Saluran Van Der Wijck
Dan Dampak Sosialnya Pada Masyarakat Sekitar. Yogykarta: Universitas
Gadjah Mada.
112

Savitri, Mimi. 2015. Sustaining the layout of the Javanese city centre (1745-1942)
:the embodiment of the Sunan's power in Surakarta. London: University of
London.
Syarifrudin, Mochammad. 2001. Selokan Mataram Kajian Terhadap Sistem
Irigasi Dan Dampak Sosial-Lingkungannya. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.

ARTIKEL
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Arkeologi Pemukiman: Asal Mula dan
Perkembangannya, Humaniora, vol. V/-, pp. 17-25, 1997
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2002. Tirtonadi Rubber Dam.
Madiun: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek
Induk Pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo
Suyadi, Tirtonadi dan Minapadi obyek wisata yang kini merana (artikel Suara
Merdeka 19 Maret 1983).
Peta Kota Surakarta tahun 1873 (zaman Sri Mangkuengara IV). (fotokopi dari
arsip di Leiden). 32 x 32 cm.

VERSLAG
Verslag Van Het Hoofdcomite voor de noodlijdenden door den Watersnood Te
Solo op 2 en 3 Februari 1886 (Arsip Reksa Mangkunegara).

Undang-Undang
Anonim. 2007. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Jakarta.

INTERNET:
https://www.flickr.com/photos/118587674@N07/17917632122/ diakses pada 31
Juli 2016, 12:40:22
https://www.flickr.com/photos/118587674@N07/17920624345/ diakses pada 31
Juli 2016, 12:40:28
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Stu
wdam_in_aanbouw_van_het_Bandjirkanaal_bij_Soerakarta._TMnr_60002361.jpg
diakses pada 31 Juli 2016, 14:30:23
http://architulistiwa.blogspot.sg/2014/11/definisi-fungsi-dan-macam-macam-
drainase_27.html diakses pada 31 Juli 2016, 18:30:23

Anda mungkin juga menyukai