Anda di halaman 1dari 20

4

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka


Wijaya (2010), dari analisa data perencanaan Embung Kendo diperoleh
debit banjir rencana dengan periode ulang 100 tahun sebesar 38,194 m 3/dt,
volume tampungan sebesar 474.522,25 m3 dengan elevasi mercu pelimpah
+134,54 m, elevasi muka air banjir pada elevasi +138,65 m, elevasi puncak
bendungan pada ketinggian +140,65 m, elevasi dasar sungai pada ketinggian
+119,00 m, tinggi jagaan diambil 2,00 m, tinggi bendungan 21,65 m, dan lebar
mercu bendungan 7 m.
Siswadi (2011), melakukan perencanaan Embung Telaga Lebur
berdasarkan dam axis yang baru, dari perencanaan tersebut didapatkan kapasitas
tampungan sebesar 1.748.000 m3, elevasi pelimpah yaitu +26,00 m dan elevasi
dasar pelimpah yaitu +22,40 m, sehingga tinggi pelimpah yaitu 3,60 m.

Narayana (2014) merencanakan Embung Tamanrejo untuk memenuhi


kebutuhan air irigasi di wilayah Kecamatan Sukorejo seluas 750 ha, diperoleh
volume tampungan embung sebesar 126.073,69 m3, kebutuhan air irigasi didapat
1,54 lt/dt/ha, debit banjir rencana sebesar 83,189 m 3/dtk dengan periode ulang 100
tahun, tinggi embung yaitu 11 m, dengan elevasi dasar embung pada +140,00 m
dan elevasi puncak embung pada +151,00 m, lebar puncak embung 5,00 m,
kemiringan hulu 1:3 dan kemiringan hilir 1:2,25, meggunakan Pelimpah Ogee tipe
Terbuka (overflow spillway) dengan lebar 25 m dan panjang 13 m dengan elevasi
puncak +147,00 m, menggunakan kolam olak USBR tipe III dengan panjang 5,00
m, rencana waktu pelaksanaan adalah 24 minggu dengan rencana anggaran biaya
sebesar Rp. 6.258.700.000,00.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian Embung


5

Embung adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung


kelebihan air pada saat debit tinggi dan melepaskannya pada saat dibutuhkan.
Embung merupakan salah satu bagian dari proyek secara keseluruhan maka
letaknya juga dipengaruhi oleh bangunan-bangunan lain seperti bangunan
pelimpah, bangunan penyadap, bangunan
4 pengeluaran, bangunan untuk
pembelokan sungai dan lain-lain (Soedibyo, 2003).
Embung adalah sebutan lain untuk bendungan kecil. Bendungan kecil
adalah bendungan yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai bendungan besar.
Menurut ICOLD definisi bendungan besar adalah (Soedibyo,2003) :
1. Bendungan yang tingginya lebih dari 15 m, diukur dari bagian terbawah
pondasi sampai ke puncak bendungan.
2. Bendungan yang tingginya antara 10-15 m dapat pula disebut bendungan
besar apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut :
 Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 m
 Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m3
 Debit banjir maksimal yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000
m3/detik
 Bendungan menghadapi kesulitan-kesulitan khusus pada pondasinya
 Bendungan didesain tidak seperti biasanya
Syarat-syarat diatas tidak mutlak mengikat, karena pada pelaksanaannya di
lapangan ada bendungan-bendungan yang memenuhi syarat bendungan besar
diberi nama embung dan sebaliknya.

2.2.2. Pemilihan Lokasi


Untuk menentukan lokasi dan denah embung, harus diperhatikan beberapa
faktor berikut, antara lain (Soedibyo, 2003) :
1. Tempat embung merupakan cekungan yang cukup untuk menampung air,
terutama pada lokasi yang keadaan geotekniknya tidak lulus air, sehingga
kehilangan airnya hanya sedikit.
2. Lokasi embung terletak di daerah yang memerlukan air sehingga jaringan
distribusinya tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi.
6

3. Lokasi embung terletak di dekat jalan, sehingga jalan masuk (access road)
tidak begitu panjang dan lebih mudah ditempuh.
Sedangkan faktor yang menentukan didalam pemilihan tipe embung
adalah (Soedibyo, 2003) :
1. Tujuan pembangunan proyek
2. Keadaan klimatologi setempat
3. Keadaan hidrologi setempat
4. Keadaan di daerah genangan
5. Keadaan geologi setempat
6. Tersedianya bahan bangunan
7. Hubungan dengan bangunan pelengkap
8. Keperluan untuk pengoperasian embung
9. Keadaan lingkungan setempat
10. Biaya proyek

2.2.3. Tipe embung

Tipe embung dapat dikelompokkan menjadi empat keadaan yaitu


(Soedibyo, 2003) :
1. Tipe Embung Berdasarkan Tujuan Pembangunannya
Ada dua tipe embung dengan tujuan tunggal dan embung serbaguna :
a) Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya
untuk kebutuhan air baku atau irigasi (pengairan) atau perikanan darat atau
tujuan lainnya tetapi hanya satu tujuan saja.
b) Embung serbaguna (multipurpose dams)
adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya:
irigasi (pengairan), air minum dan PLTA, pariwisata dan irigasi dan lain-
lain.
2. Tipe Embung Berdasarkan Penggunaannya
Ada 3 tipe yang berbeda berdasarkan penggunaannya yaitu :
a) Embung penampung air (storage dams)
7

adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa surplus
dan dipergunakan pada masa kekurangan. Termasuk dalam embung
penampung air adalah untuk tujuan rekreasi, perikanan, pengendalian
banjir dan lain-lain.
b) Embung pembelok (diversion das)
adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya
untuk keperluan mengalirkan air ke dalam sistem aliran menuju ke tempat
yang memerlukan.
c) Embung penahan (detention dams)
adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan mengusahakan
seoptimal mungkin efek aliran banjir yang mendadak. Air ditampung
secara berkala atau sementara, dialirkan melalui pelepasan (outlet). Air
ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap ke daerah sekitarnya.
3. Tipe Embung Berdasarkan Letaknya Terhadap Aliran Air
Ada dua tipe yaitu embung yaitu embung pada aliran (on stream) dan
embung di luar aliran air (off stream) yaitu :
a) Embung pada aliran air (on stream)
adalah embung yang dibangun untuk menampung air, misalnya pada
pelimpah (spillway).
b) Embung di luar aliran air (off stream)
adalah embung yang umumnya tidak dilengkapi spillway, karena biasanya
air dibendung terlebih dahulu di on stream-nya baru disuplesi ke
tampungan. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan dan dibuat dari
beton, pasangan batu atau pasangan bata.
4. Tipe Embung Berdasar Material Pembentuknya
Ada 3 tipe yaitu embung urugan, embung beton/pasangan batu dan
embung komposit.
a. Embung Urugan ( Fill Dams, Embankment Dams )
Embung urugan adalah embung yang dibangun dari penggalian bahan
(material) tanpa tambahan bahan lain bersifat campuran secara kimia jadi
bahan pembentuk embung asli. Ditinjau dari penempatan serta susunan
8

bahan yang membentuk tubuh embung untuk dapat memenuhi fungsinya


dengan baik, maka embung urugan dapat digolongkan dalam 3 type utama,
yaitu :
 Homogen, suatu embung urugan digolongkan dalam tipe homogen,
apabila bahan yang membentuk tubuh bendungan tersebut terdiri dari
tanah yang hampir sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butirannya)
hampir seragam.
 Zonal, embung urugan digolongkan dalam tipe zonal apabila
timbunannya yang membentuk tubuh embung terdiri dari batuan
dengan gradasi yang berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan
tertentu. Pada type ini sebagai penyangga terutama dibebankan pada
timbunan yang lulus air (zona lulus air) sedang penahan rembesan
dibebankan kepada timbunan yang kedap air (zona kedap air).
 Bersekat, apabila di lereng udik tubuh embung dilapisi dengan sekat
tidak lulus air (dengan kekedapan yang tinggi) seperti lembaran baja
tahan karat, beton aspal, lembaran beton bertulang, hamparan plastik,
susunan beton blok dan lain-lain.
b. Embung Beton / Pasangan Batu
Embung beton adalah embung yang dibuat dari konstruksi beton baik
dengan tulangan maupun tidak. Kemiringan permukaan hulu dan hilir
tidak sama pada umumnya bagian hilir lebih landai dan bagian hulu
mendekati vertikal dan bentuknya lebih ramping. Embung ini masih dibagi
lagi menjadi embung beton berdasar berat sendiri stabilitas tergantung
pada massanya, embung beton dengan penyangga (buttress dam)
permukaan hulu menerus dan dihilirnya pada jarak tertentu ditahan,
embung beton berbentuk lengkung dan embung beton kombinasi.
c. Embung Komposit
Tipe komposit dibangun pada fondasi yang terdiri dari satuan batu, dengan
lembah yang cukup panjang. Bangunan pelimpah dibangun menjadi satu
dengan tubuh embung. Bangunan pelimpah didesain sebagai pelimpah dari
pasangan batu atau beton, sedang tubuh embung dibangun di kiri kanan
9

pelimpah yang dapat didesain sebagai urugan homogen atau urugan


majemuk.

2.2.4. Pelimpah
Menurut Linsley dan Franzini (1976), dalam perancangan hampir setiap
bendungan harus dipikirkan cara untuk mengalirkan air ke hilir. Suatu pelimpah
(Spillway) diperlukan untuk mengalirkan air banjir dan mencegah rusaknya
bendungan. Pintu-pintu air di mercu pelimpah bersama-sama dengan alur
pembuangan akan memungkinkan operator untuk mengendalikan air ke hilir
untuk berbagai tujuan.

2.2.5. Kebutuhan Air Irigasi


Kebutuhan air irigasi merupakan banyaknya air dalam lt/dt/ha yang
dibutuhkan di sawah untuk jenis tanaman tertentu dan pada tahap pertumbuhan
tertentu pula. Kebutuhan air irigasi dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu (Anonim,
1997):
 segi “waktu” dimana untuk setiap masa tanam, pemberian air dibagi dalam
dua bagian, yaitu untuk pengolahan lahan dan pertumbuhan tanaman.
 Segi “tempat” dimana perhitungan pemakaian kebutuhan air setiap masa
tanam dilakukan untuk kebutuhan air di lahan (sawah) tingkat usaha tani
(baik untuk padi maupun palawija) dan kebutuhan air total di pintu
pengambilan (intake).
Kebutuhan air irigasi merupakan kebutuhan air untuk tanaman yang
ditentukan oleh faktor-faktor berikut :
a. Penyiapan lahan
b. Penggunaan konsumtif
c. Perkolasi dan rembesan
d. Penggantian genangan air
e. Efisiensi irigasi
f. Curah hujan efektif
g. Pola tanam
10

Banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman pada suatu petak sawah
dinyatakan dalam persamaan berikut (KP Irigasi, 1986) :
NFR = LP + ETc + P + WLR – Re (2-1)

dengan :

NFR = kebutuhan air di sawah (mm/hari)

LP = kebutuhan air untuk pengolahan lahan (mm/hari)


ETc = kebutuhan air tanaman (consumptive use), mm/hari
WLR = penggantian lapisan air (mm/hari)

P = perkolasi (mm/hari)
Re = curah hujan efektif (mm/hari)

Untuk menghitung debit yang harus tersedia pada intake dihitung


berdasarkan persamaan berikut (KP 01,1986) :
DR
QD= ×A (2-2)
1000
NFR
DR= (2-3)
IE ×8,64

dengan :

QD = debit intake (m3/det)

DR = kebutuhan pengambilan air irigasi (lt/det/ha)


NFR = kebutuhan bersih air irigasi di sawah (mm/hari)
IE = efisiensi irigasi (%)

A = luas areal irigasi (ha)

Nilai evapotranspirasi tanaman digunakan untuk menghitung nilai


kebutuhan air tanaman/penggunaan konsumtif (ETc). Rumus untuk menghitung
kebutuhan air tanaman adalah :
ETc = kc x Eto (2-4)
11

dengan:

ETc = penggunaan konsumtif (mm/hari)


Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari),
kc = koefisien tanaman, yang besarnya tergantung pada jenis, macam
dan umur tanaman

Nilai evapotranspirasi potensial diperoleh dengan menggunakan Metode


Penmann yang direkomendasikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
untuk digunakan dengan persamaan sebagai berikut :
900
( 0,408 ∆ ( Rn ) −G ) +γ u( es−ea)
T + 273 (2-5)
ETo=
∆+γ (1+0,34 u 2)
dengan:
ETo = evapotranspirasi potensial
Rn = intensitas radiasi
T = suhu rata-rata (0C)
ea = tekanan uap air pada suhu rata-rata
es = tekanan uap air jenuh pada titik embun
u2 = kecepatan angin pada ketinggian 2 m
Δ = gradien tekanan uap air pada suhu rata-rata
γ = tetapan psikometer
Tabel 2.1 Koefisien Tanaman

Bulan Padi Palawija


ke- Varietas Biasa Varietas Unggul Jagung Kacang tanah
0.5 1.10 1.10 0.40 0.40
1.0 1.10 1.10 0.48 0.48
1.5 1.10 1.05 0.85 0.70
2.0 1.10 1.05 1.09 0.91
2.5 1.10 0.95 1.05 0.95
3.0 1.05 0.00 0.80 0.91
3.5 0.95 0.00 0.00 0.69
4.0 0.00 0.00
Sumber : KP 01
12

2.2.6. Analisis Hidrologi


Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai
fenomena hidrologi (hydrologic phenomena), seperti besarnya: curah hujan,
temperatur, penguapan, lamanya penyinaran matahari, kecepatan angin, debit
sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran, konsentrasi sedimen sungai yang
akan selalu berubah terhadap waktu (Soewarno, 1995).
Data hidrologi dianalisis untuk membuat keputusan dan menarik
kesimpulan mengenai fenomena hidrologi berdasarkan sebagian data hidrologi
yang dikumpulkan. Untuk perencanaan embung analisis hidrologi terdiri dari
analisa hujan, analisa kebutuhan air, analisa ketersediaan air dan lain-lain.

2.2.6.1. Curah Hujan Rata-rata


Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental
dalam perencanaan/penelitian pembuatan embung. Dalam menentukan lokasi dan
peralatan baik curah hujan maupun debit merupakan faktor untuk menentukan
data yang diperoleh. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran
curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan
suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir
(Sosrodarsono & Takeda, 2003).
Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata
wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga macam cara (Sosrodarsono &
Takeda, 2003) :
1. Cara Rata-Rata Aljabar
2. Metode Poligon Thiessen
3. Metode Isohyet
13

Gambar 2.1 Metode Poligon Thiessen


Untuk menghitung curah hujan rata-rata pada kasus ini menggunakan
Metode Poligon Thiessen dengan rumus sebagai berikut (Soemarto,1987) :
A1 .d1  A2 .d 2  .... An .d n n
A .d
d  i i
A i 1 A (2-6)
dengan :
A : luas areal total (km2)
d : curah hujan rata-rata areal (mm)
d1 , d 2 , d 3 ,....d n : curah hujan di pos 1, 2, 3, ....n (mm)

A1 , A2 , A3 ,.... An : luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3, ....n (km2)

2.2.6.2. Uji Konsistensi Data Hujan


Selain kekurangan atau kehilangan data, data hujan yang didapatkan dari
stasiun masih sering terdapat kesalahan yang berupa ketidakpanggahan data
(inconsistency). Data hujan yang inconsistent dapat terjadi karena beberapa hal
antara lain (Sri Harto,1993):
a. Alat ganti dengan alat yang berspesifikasi lain,
b. Perubahan lingkungan yang mendadak,
c. Lokasi dipindahkan.
14

Untuk memperoleh hasil analisis yang baik, data hujan harus dilakukan
pengujian konsistensi terlebih dahulu untuk mendeteksi penyimpangan ini. Uji
konsistensi juga meliputi homogenitas data karena data konsisten berarti data
homogen. Pengujian konsistensi ada berbagai cara diantaranya RAPS (Rescaled
Adjusted Partial Sum).
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Sk ¿

S ** =
k Dy
(2-7)
K = 0,1,2, … , n
n
∑ ( Y i − Y )2
D 2= i=1
y n (2-8)
k
S k =∑ ( Y i − Y )
¿

i+1 (2-9)
k = 1,2,3, … , n
dengan :
n = jumlah data hujan
Yi = data curah hujan (mm)

Y = rerata curah hujan (mm)


Sk , S¿ , Dy
k** = nilai statistik

Nilai statistik Q
Q= maks |S **|
k
0≤k≤ n (2-10)
Nilai Statistik R (Range)
R= maks S ** − min S **
k k
0≤k ≤n 0≤k≤n (2-11)
dengan :
Q = nilai statistik
15

n = jumlah data hujan

Dengan melihat nilai statistik di atas maka dapat dicari nilai Qy/ √ n dan
Ry/ √ n
Hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai Qy/ √ n syarat dan

Ry/ √ n syarat.
Tabel 2.2 Nilai kritis yang diijinkan untuk metode RAPS

N Q/ √ n R/ √ n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86
>100 1,22 1,36 1,53 1,62 1,75 2,00
Sumber : Sri Harto, 1993

2.2.6.3. Analisis Distribusi Frekuensi/Agihan


Jenis distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu
(Sri Harto, 1993):
1. Agihan Normal,
2. Agihan Log Normal,
3. Agihan Log Pearson Type III,
4. Agihan Gumbel.

Persamaan untuk masing-masing jenis distribusi frekuensi adalah sebagai


berikut:
1. Distribusi Normal
X T  X  K T .S (2-12)
dengan :
16

X T : besarnya curah hujan rancangan (mm)

X : nilai rata-rata curah hujan (mm)


K T : faktor frekuensi

: standar deviasi

2. Distribusi Log Normal


YT Y  K T .S (2-13)
dengan :
YT : besarnya curah hujan rancangan (mm)
Y : nilai rata-rata curah hujan (mm)
K T : faktor frekuensi

S : standar deviasi
3. Distribusi Log Pearson Type III
Langkah-langkah perhitungan dengan cara ini adalah sebagai berikut:
a. Hitung harga rata-rata :
n

 log X i
log X  i 1 (2-14)
n
b. Hitung harga standar deviasi :


n

∑ ( log X i −log X )2 (2-15)


i=1
S=
n−1
c. Hitung koefisien kepencengan (Cs)
n
n ∑ ( log X i−log X ) 3
i=1 (2-16)
Cs= 3
( n−1 )( n−2 ) ( S ∙ log x )
d. Hitung logaritma hujan atau banjir
dengan periode ulang T :
log X T log X  K .S (2-17)
17

e. Hitung anti log XT untuk


mendapatkan curah hujan rencana dengan kala ulang T.
dengan :
Xi : curah hujan harian maksimum pada periode ulang T tahun
S : standar deviasi

Log X : harga rata-rata log dari curah hujan harian maksimum


Cs : koefisien kepencengan Skewness
n : jumlah t yang diobservasi
XT : curah hujan yang diperkirakan dengan periode ulang tertentu

Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan


analisis data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, koefisien
skewness (kecondongan atau kemencengan) dan koefisien kurtosis (Suripin,
2004).
Parameter statistik yang diperlukan untuk pemilihan distribusi yang
sesuai dengan sebaran data adalah sebagai berikut (Soewarno, 1995) :

a. Rata-rata hitung ( X )
1 n
X   Xi
n i 1 (2-18)
dengan:
X̄ = nilai rerata curah hujan (mm)
Xi = data curah hujan (mm)
n = jumlah data

b. Standar deviasi ( S )
n

 X  2
i  X
i 1
S
n 1 (2-19)
c. Koefisien variasi (Cv)
18

S
Cv= (2-20)

d. Koefisien kepencengan (Cs)
n
3
n ∑ ( X i− X́ )
i=1 (2-21)
Cs= 3
( n−1 )( n−2 ) S

e. Koefisien kurtosis ( Ck )
n
n2  X i  X   4

i 1
Ck 
 n  1 n  2 n  3 S 4
(2-22)
4. Distribusi Gumbel
1
X T b   YT
a (2-23)
1 S

a Sn
(2-24)
S
b X  Yn
Sn
(2-25)
n

 x  2
i  x
i 1
S
n 1
(2-26)
dengan :

X : rata-rata curah hujan (mm)


Yn : reduced variate sebagai fungsi periode T
Yt : ln ( ln ( T – 1 ) / T )
Sn : reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyaknya data
Tabel 2.3 Syarat Penentuan Jenis Agihan
No Agihan Syarat Keterangan
1 Normal Cs ≈ 0, Ck ≈3 Bila analisis tidak ada
19

Cs ≈ 3 Cv yang memenuhi syarat


2 Log Normal
Cv ≈ 0 maka digunakan Log
Cs ≤ 1,1396
3 Gumbel Person Type III
Ck ≤ 5,4002
Sumber : Sri Harto, 1993

2.2.6.4. Uji Kecocokan Agihan


Menurut Soewarno (1995), untuk menentukan kecocokan (the goodness
of fit test) distribusi frekuensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang
yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi
tersebut diperlukan pengujian parameter. Pengujian parameter yang biasanya
dilakukan yaitu:
1. Uji Chi-Kuadrat (chi-square)
Uji Chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang
dianalisis. Parameter Uji Chi-kuadrat dapat dihitung dengan rumus (Soewarno,
1995):
G

∑ ( Oi−E i )2 (2-
χ h2= i=1
Ei
27)
dengan :
χh2 : parameter Chi-kuadrat terhitung
G : jumlah sub-kelompok
Oi : jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke i
Ei : jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i

Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus:

G = 1 + 3.22 log n (2-28)

Sedangkan harga derajat kebebasan dapat dicari dengan persamaan:


20

dk G  R  1 (2-29)
dengan :
dk : derajat kebebasan
G : jumlah kelas distribusi
: parameter, untuk Chi-kuadrat = 2

Interpretasinya yaitu :
a. Xh2 < Xcr2 , maka distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima,
b. Xh2 > Xcr2 , maka distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.

2. Uji Smirnov-Kolmogorov
Pengujian ini dilakukan dengan menggambarkan probabilitas untuk tiap
data, yaitu dari perbedaan distribusi empiris dan distribusi teoritis yang disebut
∆max. Dalam bentuk persamaan dapat ditulis (Suripin, 2004):
 max maksimum  P  P ' (2-30)

dengan :
 max : penyimpangan absolut peluang teoritis dan pengamatan

P : peluang teoritis
P' : peluang empiris
Langkah berikutnya adalah membandingkan antar ∆max dengan ∆cr. Interpretasinya
adalah :
a. ∆max < ∆cr , maka distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima,
b. ∆max > ∆cr , maka distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.

Tabel 2.4 Nilai Kritis cr untuk Uji Smirnov Kolmogorov

 = derajat kepercayaan
N
0.20 0.10 0.05 0.01
21

5 0,45 0,51 0,56 0,67


10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N > 50
1,07/ √ N 1,22/ √ N 1,36/ √N 1,63/ √N
Sumber : Bambang Triatmodjo, 2013

2.2.6.5. Distribusi Hujan


Untuk mentransformasikan curah hujan rancangan menjadi debit banjir
rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pembagian curah hujan tiap jam
dihitung berdasarkan metode rasional. Adapun langkah perhitungannya sebagai
berikut (Soemarto, 1987):

a. Persamaan rata-rata curah hujan sampai jam ke-t


2
R T  3
Rt  24  
T t (2-31)
dengan :
Rt = curah hujan rata-rata sampai jam ke-t (mm)
R24 = curah hujan harian maksimal dalam 24 jam (mm)
T = periode hujan (jam)
t = waktu/durasi hujan (jam)
b. Curah hujan pada jam ke-t
Rt '  Rt . t   t  1 R t  1
(2-32)
c. Curah hujan efektif
22

Rc  R n . C
(2-33)

Rct  Rn . Ratio (2-34)


Ratio  Rt '. 100 0 0 (2-35)
dengan :
Rct = hujan efektif pada jam ke-t (mm)
C = koefisien pengaliran
Rn = kemungkinan hujan pada T tahun (mm)

2.2.6.6. Debit Banjir Rancangan


Analisis debit banjir rancangan dilakukan untuk mengetahui besaran debit
banjir yang akan terjadi untuk tiap kala ulang tertentu. Debit banjir rancangan
yang akan dipakai didasarkan pada rumus empirik dengan cara Hidrograf Satuan
Sintetik.
Terdapat banyak metode perhitungan hidrograf banjir, antara lain HSS
Nakayasu, HSS Gama I, HSS Snyder dan lain sebagainya. Debit banjir yang
digunakan sebagai perencanaan adalah analisa debit banjir dengan metode
Nakayasu.

Adapun rumus HSS dari Nakayasu adalah sebagai berikut :


C. A.R0
Qp 
3,6.0,3T p  T0,3 
(2-36)
dengan :
Qp : debit puncak banjir (m3/detik)
C : koefisien pengaliran
R0 : hujan satuan (mm)
Tp : tenggang waktu dari permulaan banjir sampai puncak banjir (jam)
T0,3 : waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
sampai menjadi 30% dari debit puncak (jam)
23

Pada saat hujan turun sebagian akan meresap ke dalam tanah dan
sebagian lagi akan menjadi limpasan permukaan. Koefisien pengaliran adalah
suatu variable untuk menentukan besarnya limpasan permukaan tersebut dimana
penentuannya didasarkan pada kondisi Daerah Aliran Sungai dan kondisi hujan
yang jatuh di daerah tersebut.
Berdasarkan kondisi fisik wilayah dan jenis penggunaan lahannya
besarnya nilai koefisien pengaliran ditentukan sebagai berikut:
Tabel 2.5 Koefisien Pengaliran
Kondisi DAS Angka Pengaliran
Pegunungan curam 0.75 – 0.90
Pegunungan tersier 0.70 – 0.80
Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75
Dataran Pertanian 0.45 – 0.60
Persawahan 0.70 – 0.80
Sungai di pegunungan 0.75 – 0.85
Sungai di dataran 0.45 – 0.75
Sumber: Bendungan Tipe Urugan,Suyono Sosrodarsono
Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai rumus :
2, 4
 t 
Qa Q p  
T 
 p  (2-37)
dengan :
Qa : limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/detik),
t : waktu (jam).
Bagian lengkung turun (decreasing limb) :
t −T p
Qd >0,3 Q p : Q =0,3 Q ( T 0,3 )
d p

(2-38)
t −T p+0,5 T 0,3
0,3 Q p >Q d >0,3 2 Q p : Q =0,3 Q ( 1,5T 0,3 ) (2-39)
d p

Anda mungkin juga menyukai