Anda di halaman 1dari 144

1 MODUL

TEKNIK BENDUNGAN

1.1 Umum

Banjir adalah aliran yang melebihi kapasitas tampung sungai, terjadi limpasan keluar badan
sungai, terjadi genangan di kawasan yang tidak seharusnya tergenang dan terjadi kerugian.
Bencana banjir tersebut bisa terjadi karena kapasitas tampung sungai berkurang
(pendangkalan sungai, penciutan alur sungai, hambatan atau penutupan muara sungai),
peningkatan debit sungai, perubahan tata guna lahan di DAS, bencana alam dan kegagalan
fungsi bangunan pengendali banjir sungai. Untuk mengurangi dampak dari banjir tersebut
dapat dilakukan dengan cara mengendalikan banjir. Pengertian pengendalian banjir secara
umum adalah merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan pekerjaan pengendalian banjir,
eksploitasi dan pemeliharaan, yang pada dasarnya untuk mengendalikan banjir, pengaturan
penggunaan daerah dataran banjir dan mengurangi atau mencegah adanya bahaya atau
kerugian akibat banjir[ CITATION Sug94 \l 1033 ]. Pengendalian banjir bertujuan untuk
menurunkan resiko ancaman terhadap jiwa manusia dan harta benda akibat banjir sampai ke
tingkat toleransi dan meminimalkan dampak bencana banjir.

Bangunan pengendali banjir dapat berupa pengaturan dan normalisasi alur sungai,
tanggul, tembok banjir (parapet wall, flood wall), saluran bypass, kanal banjir, waduk
penampung banjir, kolam retensi, sistem drainase dan pompa. Pengendalian banjir dengan
waduk hanya dapat dilakukan pada bagian hulu dan biasanya dikaitkan dengan
pengembangan sumber daya air. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian banjir
dengan waduk adalah perlambatan waktu tiba banjir, penurunan debit banjir yang dilepas ke
hilir, rasio alokasi volume waduk untuk pengendalian banjir dan pengembangan sumber daya
air.

1
1.2 Bendungan

Bendungan (dam) adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi
waduk, danau atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan
air ke sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air. Bendungan terdiri dari beberapa komponen,
yaitu[ CITATION Sur11 \l 1033 ]:

a. Badan bendungan (body of dams)


Adalah tubuh bendungan yang berfungsi sebagai penghalang air.
b. Pondasi (foundation)
Adalah bagian dari bendungan yang berfungsi untuk menjaga kokohnya
bendungan.
c. Pintu air (gates)
Digunakan untuk mengatur, membuka dan menutup aliran air di saluran baik yang
terbuka maupun tertutup. Bagian yang penting dari pintu air adalah:
1) Daun pintu (gate leaf)
Adalah bagian dari pintu air yang menahan tekanan air dan dapat digerakkan
untuk membuka, mengatur dan menutup aliran air.
2) Rangka pengatur arah gerakan (guide frame)
Adalah alur dari baja atau besi yang dipasang masuk ke dalam beton yang
digunakan untuk menjaga agar gerakan daun pintu sesuai dengan yang
direncanakan.
3) Angker (anchorage)
Adalah baja atau besi yang ditanam di dalam beton dan digunakan untuk
menahan rangka pengatur arah gerakan agar dapat memindahkan muatan dari
pintu air ke dalam konstruksi beton.
4) Hoist
Adalah alat untuk menggerakan daun pintu air agar dapat dibuka dan ditutup
dengan mudah.

2
Gambar 1.1 Intake gate Waduk Jatibarang, Semarang.

d. Bangunan pelimpah (spillway)


Adalah bangunan beserta instalasinya untuk mengalirkan air banjir yang masuk ke
dalam waduk agar tidak membahayakan keamanan bendungan. Bagian-bagian
penting dari bangunan pelimpah:
1) Saluran pengarah dan pengatur aliran (controle structures)
Digunakan untuk mengarahkan dan mengatur aliran air agar kecepatan
alirannya kecil tetapi debit airnya besar.
2) Saluran pengangkut debit air (saluran peluncur)
Makin tinggi bendungan, makin besar perbedaan antara permukaan air
tertinggi di dalam waduk dengan permukaan air sungai di sebelah hilir
bendungan. Apabila kemiringan saluran pengangkut debit air dibuat kecil,
maka ukurannya akan sangat panjang dan berakibat bangunan menjadi mahal.
Oleh karena itu, kemiringannya terpaksa dibuat besar, dengan sendirinya
disesuaikan dengan keadaan topografi setempat.

3) Bangunan peredam energi (energy dissipator)


Digunakan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi energi air agar
tidak merusak tebing, jembatan, jalan, bangunan dan instalasi lain di sebelah
hilir bangunan pelimpah.

3
Gambar 1.2 Hoover Dam Spillway dengan saluran samping, Amerika Serikat.
[ CITATION Dav10 \l 1033 ]

Gambar 1.3 Miho Dam Spillway, Jepang.


[ CITATION Wik09 \l 1033 ]

e. Kanal / Saluran / Terowongan (diversion canal / channel / tunnel)


Digunakan untuk menampung / mengalihkan debit air sungai pada saat pengerjaan
tubuh bendungan.

4
Gambar 1.4 Break through diversion tunnel Waduk Jatibarang, Semarang.
[ CITATION PSD11 \l 1033 ]

Gambar 1.5 Outlet diversion tunnel Waduk Jatibarang, Semarang.


[ CITATION Sya12 \l 1033 ]

f. Reservoir
Digunakan untuk menampung/menerima limpahan air dari bendungan.
g. Stilling basin
Memiliki fungsi yang sama dengan energy dissipator.

5
Gambar 1.6 Stilling basin USBR tipe III.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

h. Katup (kelep, valves)


Fungsinya sama dengan pintu air biasa, hanya dapat menahan tekanan yang lebih
tinggi (pipa air, pipa pesat dan terowongan tekan). Merupakan alat untuk
membuka, mengatur dan menutup aliran air dengan cara memutar, menggerakkan
ke arah melintang atau memanjang di dalam saluran airnya.

Gambar 1.7 Bieccentric Butterfly Valve with Counterweight.


[ CITATION Flo15 \l 1033 ]

6
i. Gallery
Adalah ruangan (bukaan) pada tubuh bendungan, posisinya ada yang horizontal
atau sedikit miring, sejajar dengan sumbu bendungan dalam arah longitudinal,
terkadang juga normal terhadap sumbu bendungan yaitu dalam arah melintang.
Letak gallery bisa berada di berbagai ketinggian pada tubuh bendungan dan
biasanya dilengkapi tangga atau lift mekanik. Gallery pada tubuh bendungan
berfungsi sebagai:
1) Drainase, mengalirkan air rembesan dari tubuh bendungan.
2) Inspeksi, menyediakan ruang untuk mengontrol perilaku bendungan.
3) Grouting, memberikan ruang bagi gerakan (deformasi) dan grouting pada
sendi kontraksi.
4) Pendinginan, memberikan ruang yang cukup untuk membawa pipa selama
pendinginan buatan.

Gambar 1.8 Contoh posisi gallery pada gravity dam.


[ CITATION Ind14 \l 1033 ]

7
Gambar 1.9 Contoh penampang memanjang gallery pada bendungan.
[ CITATION Ind14 \l 1033 ]

1.2.1 Pembagian Tipe Bendungan

a. Berdasarkan ukurannya bendungan ada 2 tipe, yaitu:


1) Bendungan besar (large dams)
Menurut ICOLD definisi bendungan besar adalah bendungan yang tingginya
lebih dari 15 m, diukur dari bagian terbawah pondasi sampai ke puncak
bendungan. Bendungan yang tingginya antara 10 m dan 15 m dapat pula
disebut bendungan besar asal memenuhi salah satu atau lebih criteria berikut:
a) Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 m,
b) Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m3,
c) Debit banjir maksimal yang diperhitungkan tidak kurang dari
2000m3/detik,
d) Bendungan menghadapi kesulitan khusus pada pondasinya,
e) Bendungan didesain tidak seperti biasanya.

8
Gambar 1.10 Oroville Dam, California, Amerika Serikat.
[ CITATION Jua14 \l 1033 ]

2) Bendungan kecil (small dams, weir)


Semua bendungan yang tidak memenuhi syarat sebagai bendungan besar
disebut bendungan kecil.
b. Berdasarkan tujuan pembangunannya ada 2 tipe, yaitu:
1) Bendungan dengan tujuan tunggal (single purpose dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya
untuk pembangkit tenaga listrik atau irigasi atau pengendalian banjir atau
perikanan darat atau tujuan lainnya, tetapi hanya untuk satu tujuan saja.
2) Bendungan serbaguna (multipurpose dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya,
pembangkit tenaga listrik dan irigasi, pengendalian banjir dan PLTA, air
minum dan air industry, pariwisata dan lain-lain.

9
Gambar 1.11 Waduk Jatibarang, Semarang.

c. Berdasarkan penggunaannya ada 3 tipe, yaitu:


1) Bendungan untuk membentuk waduk (storage dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk membentuk waduk guna menyimpan
air pada waktu kelebihan agar dapat dipakai pada waktu diperlukan.
2) Bendungan penangkap/pembelok air (diversion dams)
Adalah bendungan yang dibangun agar permukaan airnya lebih tinggi
sehingga dapat mengalir masuk ke dalam saluran air atau terowongan air.
Apabila bukan termasuk bendungan besar disebut bendungan penangkap
(diversion wier). Banyak digunakan untuk irigasi, PLTA dan penyediaan air
untuk industri.
3) Bendungan untuk memperlambat jalannya air (detension dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk memperlambat aliran air sehingga
dapat mencegah terjadinya banjir besar. Masih dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a) Untuk menyimpan air sementara dan dialirkan ke dalam saluran air di
bagian hilir,
b) Untuk menyimpan air selama mungkin agar dapat meresap di daerah
sekitarnya.

10
Apabila tujuannya digunakan untuk menangkap lumpur dan pasir maka
disebut debris dam, check dam atau sabo dam.

Gambar 1.12 Sabo Dam di lereng Gunung Merapi.


[ CITATION Tem13 \l 1033 ]

d. Berdasarkan jalannya air ada 2 tipe, yaitu:


1) Bendungan untuk dilewati air (overflow dams)
Adalah bendungan yang dibangun untuk dilewati air misalnya pada bangunan
pelimpah (spillway).
2) Bendungan untuk menahan air (interflow dams)
Adalah bendungan yang tidak sama sekali boleh dilewati air. Kedua tipe ini
biasanya dibangun berbatasan dan dibuat dari beton, pasangan beton atau
pasangan batu.
e. Berdasarkan konstruksinya ada 3 tipe, yaitu:
1) Bendungan urugan (fill dams, embankment dams)

Gambar 1.13 Contoh potongan melintang bendungan urugan.


[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

11
Menurut ICOLD definisinya adalah bendungan yang dibangun dari hasil
penggalian bahan (material) tanpa tambahan bahan lain yang bersifat
campuran secara kimia, jadi benar-benar bahan pembentuk bendungan asli.
Bendungan ini dibagi menjadi:
a) Bendungan urugan serbasama (homogeneous dams)
Adalah bendungan yang lebih dari setengah volumenya terdiri atas bahan
bangunan yang seragam. Jadi urugan pasir dan kerikil (koral) termasuk
dalam tipe ini, yang dengan sendirinya harus dilengkapi lapisan kedap air.
Bendungan ini masih dibagi 2 tipe yaitu:
(1) Bendungan urugan tanah (earthfill dams)
Adalah bendungan urugan yang lebih dari setengah volumenya terdiri
atas tanah atau tanah liat. Bendungan ini masih dibagi menjadi 4 tipe:
(a) Bendungan urugan tanah dengan saluran drainase kaki (toe
drainage earthfill dams),

Gambar 1.14 Bendungan urugan tanah dengan drainase kaki.

[ CITATION Soe03 \l 1033 ]


(b) Bendungan urugan tanah dengan saluran drainase horisontal
(horizontal drainage earthfill dams),

Gambar 1.15 Bendungan urugan tanah dengan drainase horisontal.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

12
(c) Bendungan urugan tanah dengan saluran drainase tegak (vertical
drainage earthfill dams),

Gambar 1.16 Bendungan urugan tanah dengan drainase tegak.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

(d) Bendungan urugan tanah dengan saluran drainase kombinasi


(combined drainage earthfill dams).

Gambar 1.17 Bendungan urugan tanah dengan drainase kombinasi.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

(2) Bendungan urugan pasir dan kerikil (gravel pebble fill dams)
Adalah bendungan urugan yang lebih dari setengah volumenya terdiri
atas pasir dan kerikil dengan lapisan kedap air yang terdapat di dalam
tubuh bendungan.bendungan ini masih dapat dibagi 3 tipe, yaitu:
(a) Bendungan urugan pasir dan kerikil dengan lapisan kedap air
tegak,
(b) Bendungan urugan pasir dan kerilkil dengan lapisan kedap air
miring,
(c) Bendungan urugan pasir dan kerikil dengan lapisan kedap air tegak
tidak simetris.

13
Gambar 1.18 Contoh bendungan urugan pasir dan kerikil lapisan kedap air miring.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

b) Bendungan urugan batu berlapis-lapis (zoned dams)


Merupakan bahan yang relatif lebih baik dibanding dengan bendungan
urugan tanah maka kemiringan sebelah hulu dan hilir dapat dibuat lebih
tegak dan lebih tinggi. Bendungan urugan batu berlapis dapat dibagi
menjadi 3 tipe, yaitu:
(1) Bendungan urugan batu berlapis-lapis dengan lapisan kedap air tegak,
(2) Bendungan urugan batu berlapis-lapis dengan lapisan kedap air miring,
(3) Bendungan urugan batu berlapis-lapis dengan lapisan kedap air tegak
tidak simetris.

Gambar 1.19 Contoh bendungan urugan batu berlapis dengan lapisan kedap air tegak.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

c) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (impermeable


face rockfill dams, decked rockfill dams)
Pada tipe bendungan ini lapisan kedap air berada di bagian muka (hulu).
Tipe ini banyak dipakai apabila di sekitar lokasi bendungan terdapat
banyak batu, koral atau pasir, tetapi tanah liatnya hanya sedikit. Atau di
daerah yang waktu kerja efektifnya hanya pendek sebagai akibat curah

14
hujan yang cukup tinggi dan lama. Bendungan ini dapat dibagi 3 tipe,
yaitu:
(1) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka dari aspal,
(2) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka dari beton
bertulang,
(3) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka dari
geotekstil.

Gambar 1.20 Contoh rencana teknis bendungan lapisan kedap air di muka.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

Gambar 1.21 Waduk Jatibarang (rockfill zoned dam), Semarang.

Tabel 1.1 Klasifikasi umum bendungan urugan.

15
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

2) Bendungan beton (concrete dams)


Adalah bendungan yang dibuat dari konstruksi beton baik dengan tulangan
maupun tidak. Ini masih dapat dibagi lagi menjadi:
a) Bendungan beton berdasar berat sendiri (concrete gravity dams)
Adalah bendungan beton yang didesain untuk menahan beban dan gaya
yang bekerja padanya hanya dengan berat sendiri saja.

16
Gambar 1.22 Dworshak Dam (concrete gravity dam), Amerika Serikat.
[ CITATION Jua14 \l 1033 ]

b) Bendungan beton dengan penyangga (concrete buttress dams)


Adalah bendungan beton yang mempunyai penyangga untuk menyalurkan
gaya-gaya yang bekerja padanya. Banyak dipakai apabila sungainya sangat
lebar sedangkan geologinya baik.
c) Bendungan beton berbentuk lengkung (concrete arch dams)
Adalah bendungan beton yang didesain untuk menyalurkan gaya-gaya
yang bekerja padanya lewat abutmen kiri dan abutmen kanan bendungan.

d) Bendungan beton kombinasi (combination concrete dams, mixed type


concrete dams)
Adalah merupakan kombinasi antara lebih dari satu tipe. Apabila suatu
bendungan beton berdasarkan berat sendiri berbentuk lengkung maka
disebut concrete arch gravity dams. Apabila suatu bendungan beton
merupakan gabungan beberapa lengkung maka disebut concrete multiple
arch dams. Terdapat pula suatu bendungan yang sebagian panjangnya
berbentuk lengkung dan beton dengan penyangga lainnya. Terdapat pula
suatu bendungan yang sebagian panjangnya dengan penyangga sedang
lainnya berbentuk lengkung.

17
Gambar 1.23 Hoover Dam (concrete arch gravity dams), Nevada, Amerika Serikat.
[ CITATION Jua14 \l 1033 ]

Gambar 1.24 Bartlett Dam (multiple arch and buttress dam), Arizona, Amerika Serikat.
[ CITATION USB04 \l 1033 ]

3) Bendungan lainnya
Biasanya hanya untuk bendungan kecil misalnya, bendungan kayu, bendungan
besi, bendungan pasangan bata, bendungan pasangan batu dan sebagainya.

18
f. Berdasarkan fungsi bendungan, mempunyai 8 tipe yaitu:
1) Bendungan pengelak pendahuluan (primary cofferdam, dike)
Adalah bendungan yang pertama-tama dibangun di sungai pada waktu debit
air rendah agar lokasi rencana bendungan pengelak menjadi kering yang
memungkinkan pembangunan secara teknis.
2) Bendungan pengelak (cofferdam)
Adalah bendungan yang dibangun sesudah selesainya bendungan pengelak
pendahuluan sehingga lokasi rencana bendungan utama menjadi kering yang
memungkinkan pembangunan secara teknis.

3) Bendungan utama (main dam)


Adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi satu atau lebih tujuan
tertentu.
4) Bendungan sisi (high level dam)
Adalah bendungan yang terletak di sebelah sisi kiri dan atau sisi kanan
bendungan utama yang tinggi puncaknya juga sama. Ini dipakai untuk
membuat proyek seoptimal-optimalnya, artinya dengan menambah tinggi pada
bendungan utama diperoleh hasil yang sebesar-besarnya biarpun harus
menaikkan sebelah sisi kiri dan atau sisi kanan. Biaya yang dipakai untuk
menaikkan tinggi air masih ekonomis dibandingkan dengan hasil besar yang
akan diperoleh.
5) Bendungan di tempat rendah (saddle dam)
Adalah bendungan yang terletak di tepi waduk yang jauh dari bendungan
utama yang dibangun untuk mencegah keluarnya air dari waduk sehingga air
waduk tidak mengalir ke daerah sekitarnya.
6) Tanggul (dyke, levee)
Adalah bendungan yang terletak di sebelah sisi kiri dan atau kanan bendungan
utama dan di tempat yang jauh dari bendungan utama yang tinggi
maksimalnya hanya 5 m dengan panjang puncaknya maksimal 5 kali
tingginya. Apabila tanggul ini digunakan untuk mencegah banjir di sepanjang
sungai maka disebut tanggul banjir (flood bank). Sedangkan apabila dibuat
dari pasangan bata, pasangan batu atau beton maka disebut dinding penahan
banjir (flood wall).

19
7) Bendungan limbah industri (industrial waste dam)
Adalah bendungan yang terdiri atas timbunan secara bertahap untuk menahan
limbah yang berasal dari industri.

8) Bendungan pertambangan (mine tailing dam, tailing dam)


Adalah bendungan yang terdiri atas timbunan secara bertahap untuk menahan
hasil galian pertambangan dan bahan pembuatnya pun berasal dari hasil galian
pertambangan juga.

1.2.2 Faktor Pemilihan Tipe Bendungan

Ada beberapa faktor dan masing-masing ada kalanya saling bertentangan satu dengan
yang lainnya. Apabila terjadi demikian harus dipilih lebih dari 3 alternatif kemudian
dibandingkan dan dipilih yang paling menguntungkan. Faktor-faktor yang penting adalah
[ CITATION Soe03 \l 1033 ]:

a. Tujuan pembangunan
Apabila digunakan untuk PLTA dengan tipe pompa maka semua tipe bendungan
beton dapat dipakai, sedangkan untuk tipe urugan hanya yang lapisan kedap air di
muka yang dapat dipilih.
b. Keadaan klimatologi setempat
Apabila di lokasi pembangunan bendungan sering turun hujan maka tipe
bendungan beton lebih disukai karena volumenya lebih kecil. Sedangkan apabila
terpaksa dipakai bendungan tipe urugan maka urugan batu berlapis-lapis dengan
lapis kedap air miring atau lapisan kedap air di muka. Jika menggunakan tipe
urugan tanah atau urugan batu dengan lapisan kedap air di tengah akan mengalami
kesulitan di dalam pemadatan lapisan kedap airnya (umumnya menggunakan clay)
c. Keadaan hidrologi setempat
Merupakan penentu banyak sedikitnya debit air yang tersedia untuk perencanaan
sehingga menentukan optimasi dari proyek apakah untuk single purpose atau
multipurpose. Demikian pula menentukan tingginya bendungan yang paling
ekonomis, volume waduk yang berkaitan dengan sedimentasi dan kapasitas
bangunan pelimpah.

20
d. Keadaan topografi setempat
Apabila lokasinya terletak di sungai yang sempit dan tinggi maka lebih disukai
tipe bendungan berbentuk lengkung (arch dam) sedangkan apabila lebar lebih
disukai tipe beton berdasar berat sendiri (gravity dam), beton dengan penyangga
(buttress dam), beton dengan lebih dari satu lengkung (multi arch dam) atau tipe
urugan (fill embankment). Ini sangat menentukan tinggi dan panjang puncak
bendungan serta luas dan volume waduk.
e. Keadaan di daerah genangan
Makin tinggi bendungan makin luas daerah yang akan tergenang dan tentu
berpengaruh pada hilangnya daerah pertanian / peternakan / perkebunan,
pemindahan penduduk, bangunan penduduk / pemerintah / swasta, sekolah, pasar,
bangunan penting / bersejarah dan lain-lain. Biaya pembebasan tanah dan ganti
rugi, pemindahan penduduk, pemindahan jembatan, jalan, telepon, listrik dan
bangunan-bangunan lain perlu mendapat perhatian yang seksama.
f. Keadaan geologi setempat
Sering berlawanan dengan faktor-faktor lain, inilah perlunya membuat lebih dari
satu alternatif yang memungkinkan pembangunan bendungan. Pada umumnya tipe
urugan tanah dan urugan batu dapat dibangun di semua keadaan geologi dengan
perbaikan-perbaikan pondasi seperlunya sedangkan tipe beton hanya bisa dipakai
di daerah yang keadaan geologinya baik. Daerah yang geologinya baik (batuan
keras) kadang-kadang terdapat rekahan (fault zone) dan angka permeabilitasnya
besar maka memerlukan perbaikan pondasi yang sebaik-baiknya.
g. Tersedianya bahan bangunan setempat
Harus diusahakan menggunakan bahan bendungan sedekat mungkin dari lokasi
pekerjaan karena sangat mempengaruhi biaya pengangkutan juga biaya proyek
secara keseluruhan. Perlu diadakan penelitian pula pada bahan bangunan tubuh
bendungan apabila sebagai lapisan kedap air (clay) maupun bahan campur pasir
dan kerikil apakah sesuai dengan yang diharapkan.
h. Hubungan dengan bangunan pembantu (bangunan pelimpah, bangunan
pengambilan dan bangunan pengeluaran)
Untuk tipe beton biasanya tidak ada masalah karena bangunan-bangunan tersebut
dapat dijadikan satu dengan tubuh bendungan. Tetapi untuk tipe urugan sering

21
menimbulkan masalah karena bangunan-bangunan ini tidak boleh terlalu dekat
dengan bendungan mengingat mudah terkena erosi sebagai akibat aliran air. Harus
periksa pula apakah terowongan pengelak (diversion tunnel) dapat dipakai sebagai
bangunan pelimpah sesudah selesai fungsinya untuk pembelokan sungai
(diversion).
i. Keperluan untuk pengoperasian waduk
Apabila waduk relatif kecil, maka penggunaan air harus sehemat mungkin dengan
kata lain debit rembesan harus ditekan seminimal mungkin. Dengan menekan
debit rembesan kadang menyebabkan naikknya gaya tekan ke atas, maka harus
diadakan perhitungan yang teliti. Untuk PLTA dan penyediaan air minum maka
penggunaan air harus hemat sebaliknya untuk pengendalian banjir debit rembesan
besar pun tidak jadi masalah asal bendungan aman.
j. Keadaan lingkungan setempat
Dengan adanya pembangunan akan terjadi perubahan di suatu daerah tertentu.
Akibat-akibat yang merugikan disebut dampak negatif. Untuk mengatasinya harus
diadakan penelitian terlebih dahulu. Setelah beberapa pekerjaan selesai diadakan
landscaping agar dihindarkan terjadinya erosi tanah, bahkan diupayakan yang
lebih baik dengan biaya yang tidak berlebihan.
k. Biaya proyek
Apabila keadaan geologinya memungkinkan maka bendungan beton biasanya
lebih murah dibanding dengan tipe urugan. Bendungan beton berdasar berat
sendiri yang berongga relatif juga lebih murah dibanding dengan yang masif
biarpun bekisting, cara pengecorannya dan perhitungannya lebih sulit. Karena
volumenya sangat banyak turun maka waktu pelaksanaannya pun dapat
dipercepat.
l. Gempa bumi
Menurut pengalaman bendungan urugan tanah dan beton berbentuk lengkung
(arch dam) lebih stabil menahan gempa maka sedapat mungkin dipilih kedua tipe
tersebut apabila daerahnya banyak gempa.

1.2.3 Faktor Pemilihan Lokasi

Menentukan lokasi waduk yang ideal dan memenuhi syarat biasanya sangat sulit,
karena kondisi di lapangan umumnya sangat kompleks dengan berbagai masalah. Ada garis

22
besar yang bisa menjadi pegangan untuk menentukan lokasi waduk, diantaranya
[ CITATION Soe03 \l 1033 ] :

a. Harus ada tempat yang cocok secara sosial, ekonomi, politik,


b. Hindari lokasi proyek yang sekiranya akan memakan biaya yang terlalu tinggi
untuk pemindahan penduduk, relokasi jalan raya, relokasi jalan kereta api dan lain
sebagainya,
c. Kapasitas waduk harus memenuhi sasaran yang akan dicapai untuk memenuhi
kebutuhan,
d. Dicari lokasi yang dalam dengan bendungan yang pendek sehingga menghemat
biaya konstruksi, tapi dapat menampung air lebih banyak, pembebasan lahan
minimal,
e. Cari sungai yang memiliki laju sedimentasi relatif rendah,
f. Kualitas air harus memenuhi kriteria yang ditentukan,
g. Selain itu, perlu adanya pertimbangan yang memenuhi kriteria perencanaan,
konstruksi, operasional dan dampak negatifnya.

1.2.4 Tinggi Bendungan

Merupakan beda tinggi tegak antara puncak (crest) dan bagian terbawah dari pondasi
bendungan (foundation). Makin tinggi bendungan makin besar pula volume waduk yang
terbentuk, dengan demikian akan menambah manfaat yang dihasilkannya.

Gambar 1.25 Bagian-bagian pada bendungan tipe gravity dam.


[ CITATION Dam15 \l 1033 ]

23
Gambar 1.26 Bagian-bagian pada bendungan tipe arch dam.
[ CITATION Dam15 \l 1033 ]

Gambar 1.27 Bagian-bagian pada bendungan tipe embankment dam.


[ CITATION Sim15 \l 1033 ]

24
Gambar 1.28 Bagian-bagian pada bendungan tipe buttress dam.
[ CITATION Sim15 \l 1033 ]

1.2.5 Tinggi Ruang Bebas (Tinggi Jagaan, Freeboard)

Ada beberapa pendapat tentang tinggi ruang bebas atau tinggi jagaan. Pendapat
pertama, tinggi ruang bebas adalah jarak vertikal antara puncak bendungan dengan
permukaan waduk pada waktu banjir tertinggi (top water level). Pendapat ini dipakai di
Inggris, Swedia, dan beberapa negara Eropa lainnya. Pendapat kedua, tinggi ruang bebas
adalah jarak vertikal antara puncak bendungan dengan permukaan waduk pada waktu air
normal (full supply level), pada waktu air mulai melimpah melewati ambang bangunan
pelimpah. Pendapat ini dipakai di Jepang dan ICOLD [ CITATION Soe03 \l 1033 ].

25
Gambar 1.29 Zona tampungan waduk.
[ CITATION Vic08 \l 1033 ]

Penentuan tinggi ruang bebas pada bendungan tipe urugan harus hati-hati, karena
bendungan tipe urugan sangat peka terhadap limpasan. Jika limpasan terjadi di atas mercu
bendungan (dam crest) akan menyebabkan jebolnya suatu bendungan urugan. Dalam
menentukan tinggi ruang bebas perlu diperhatikan berbagai faktor yang mungkin akan
mempengaruhi eksistensi dari calon bendungan, antara lain [ CITATION Sos89 \l 1033 ]:

a. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan,


b. Pertimbangan-pertimbangan tentang karakteristik dari banjir abnormal,
c. Kemungkinan timbulnya gelombang besar dalam waduk yang disebabkan oleh
angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi,
d. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena
timbulnya kerusakan-kerusakan atau kemacetan-kemacetan pada bangunan
pelimpah,
e. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan
yang bersangkutan.

Tinggi ruang bebas (Hf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

26
he
(
H f ≥ ∆ h+ h w atau
2 )
+ ha +hi (1.1)

he
H f ≥ hw + + ha +hi (1.2)
2

Dimana:

∆h : tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi akibat


timbulnya banjir abnormal (m),

hw : tinggi gelombang akibat tiupan angin (m),

he : tinggi gelombang akibat gempa (m),

ha : tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi


kemacetan – kemacetan pada pintu bangunan pelimpah (m),

hi : tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari waduk (m).

a. Tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir abnormal (∆h)

Biasanya debit banjir abnormal yang kadang melebihi debit banjir rencana
dialirkan ke luar melalui bangunan pelimpah, akan tetapi elevasi permukaan air
waduk naik melebihi elevasi maksimal rencana, setinggi ∆h yang telah
diperkirakan sebelumnya dan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

2 α Q0 h
∆ h= . .
3 Q A .h (1.3)
1+
Q. T

Dimana:

Q0 : debit banjir rencana (m3/dt),

Q : kapasitas rencana bangunan pelimpah untuk banjir abnormal


(m3/dt),

α : 0,2 untuk bangunan pelimpah terbuka,

0,1 untuk bangunan pelimpah tertutup,

27
h : kedalaman pelimpah rencana (m),

A : luas permukaan air waduk pada elevasi banjir rencana (km2),

T : durasi terjadinya banjir abnormal (biasanya antara 1 – 3 jam).

b. Tinggi jangkauan gelombang yang disebabkan oleh angin (hw)

Tinggi jangkauan hempasan gelombang yang naik ke atas permukaan lereng udik
(upstream) bendungan dapat diperoleh dengan metode S.M.B. yang didasarkan
pada panjangnya lintasan gelombang (F) dan kecepatan angin di atas permukaan
air waduk. Disamping tinggi gelombang (R), jangkauan hempasan gelombang
yang naik di atas permukaan lereng udik bendungan masih tergantung dari
beberapa faktor lainnya, di antaranya adalah kemiringan serta kekasaran
permukaan lereng udik tersebut. Faktor kemiringan dan kekasaran permukaan
lereng ini diselidiki oleh Saville yang diadoptasikan pada metode S.M.B. dan
dapat dipergunakan untuk menghitung tinggi jangkauan hempasan gelombang
yang naik di atas permukaan lereng bendungan. Agar harga hw dapat diperoleh
dengan mudah maka dibuat diagram seperti di bawah ini.

Gambar 1.30 Diagram ketinggian jangkauan gelombang dengan metode S.M.B. dan metode Saville.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

28
Pada penggunaan diagram tersebut di atas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

1) Biasanya panjang lintasan gelombang diukur pada lintasan yang lurus,


sedangkan kenyataannya lintasan gelombang yang bergerak di atas permukaan
air yang luas biasanya mengambil lintasan berbentuk garis lengkung,
2) Permukaan lereng yang dilindungi oleh pasangan batu kosong (stone pitching)
atau pasangan beton blok (concrete block facing) dianggap merupakan
permukaan lereng yang licin, sedang permukaan lereng yang dilindungi oleh
hamparan batu biasa (rip-rap slope) dianggap permukaan lereng yang kasar.

Untuk menghitung panjang lintasan gelombang (F) dapat menggunakan rumus


berikut [ CITATION Bam08 \l 1033 ]:

F eff =
∑ X i . cos α (1.4)
∑ cos α
Dimana:

Feff : fetch rerata efektif (m),

Xi : panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang


ke ujung akhir fetch (m),

α : deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan


pertambahan 60 sampai sudut sebesar 420 pada kedua sisi dari arah
angin.

c. Tinggi gelombang yang disebabkan oleh gempa (he)


Untuk menghitung tinggi gelombang yang disebabkan oleh gempa dapat
digunakan rumus empiris yang dikembangkan oleh Seiichi Sato sebagai berikut:

e .τ
h e= g . H0 (1.5)
π √

Dimana:

e : intensitas seismis horizontal,

τ : siklus seismis (biasanya sekitar satu detik),

29
g : percepatan gravitasi (9,81 m/dt2),

H0 : kedalaman air di dalam waduk (m).

d. Kenaikan permukaan air waduk yang disebabkan oleh ketidaknormalan operasi


pintu-pintu bangunan pelimpah (ha)
Ketidaknormalan operasi pintu-pintu dapat terjadi oleh berbagai sebab antara lain,
keterlambatan pembukaan, kemacetan atau bahkan kerusakan-kerusakan
menkanisme pintu-pintu tersebut, yang mengakibatkan terjadinya kenaikan
permukaan air waduk melampaui batas maksimal rencana. Pada hakikatnya, untuk
memperkirakan kenaikan tinggi permukaan air waduk tersebut sangat sukar
diperkirakan dan penentuan tinggi ruang bebas tidak dapat selalu didasarkan pada
hal-hal tersebut, karena pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Biasanya sebagai
standar diambil 0,5 m.
e. Angka tambahan tinggi ruang bebas yang didasarkan pada tipe bendungan (hi)
Pada bendungan tipe urugan limpasan melalui mercu bendungan akan sangat
berbahaya, maka untuk bendungan tipe ini angka keamanan tinggi ruang bebas
diambil sebesar 1,0 m.
f. Angka standar minimal untuk tinggi ruang bebas
The Japanese National Committee on Large Dams (JANCOLD) telah menyusun
standar minimal tinggi ruang bebas. Pada standar tersebut yang diambil sebagai
permukaan air waduk tertinggi adalah permukaan air waduk full supply level
bukan top water level.

Tabel 1.2 Standar ruang bebas menurut JANCOLD.


No Bendungan
Tinggi Bendungan (m) Bendungan Beton
. Urugan
1 <50 1m 2m
2 50 – 100 2m 3m
3 >100 2,5 m 3,5 m
[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

Jika hasil perhitungan tinggi ruang bebas lebih kecil dari standar minimal tinggi ruang
bebas, maka yang digunakan adalah standar minimal tinggi ruang bebas dan berlaku
sebaliknya.

30
1.2.6 Lebar Mercu Bendungan (Dam Crest Width)

Lebar mercu bendungan yang memadai diperlukan agar puncak bendungan dapat
bertahan terhadap hempasan gelombang di atas permukaan lereng yang berdekatan dengan
mercu tersebut dan dapat bertahan terhadap aliran filtrasi yang melalui bagian puncak
bendungan. Disamping itu, pada penentuan lebar mercu perlu juga diperhatikan kegunaannya
sebagai jalan-jalan eksploitasi dan pemeliharaan bendungan. Kadang pula lebar mercu
bendungan ditentukan berdasarkan kegunaannya sebagai jalan-jalan lalu lintas umum. Untuk
memperoleh lebar minimal dapat digunakan rumus berikut [ CITATION Sos89 \l 1033 ]:

1
b=3,6 H 3 −3,0 (1.6)

Dimana:

b : lebar minimal mercu (m),

H : tinggi bendungan (m).

1.2.7 Pelindung Lereng Bendungan

Pada bendungan tipe urugan diperlukan pelindung lereng bendungan untuk


melindungi lereng dari bahaya terjadi gerusan akibat diterjang gelombang ketika kondisi
permukaan air waduk banjir maupun normal dan ketika terjadi surut tiba-tiba. Bagian lereng
bendungan yang paling kritis untuk dilindungi adalah lereng bendungan bagian udik karena
bertatapan langsung dengan air di dalam waduk. Berikut penjelasan dan pemilihan tipe-tipe
konstruksi pelindung lereng bendungan:

a. Pelindung lereng udik


Hempasan gelombang dan penurunan mendadak permukaan air waduk pada
lereng udik bendungan dapat menggerus permukaan lereng tersebut. Diperlukan
penanganan dengan hamparan pelindung yang tipe konstruksinya bermacam-
macam, yang di antaranya adalah:
1) Hamparan batu pelindung
2) Pasangan batu kosong pelindung
3) Pasangan blok beton pelindung

31
Berikut perbandingan beberapa tipe konstruksi pelindung lereng bendungan,
dilihat dari kelebihan dan kelemahannya.

Tabel 1.3 Perbandingan tipe konstruksi pelindung lereng bendungan.


No Macam
Kelebihan Kelemahan
. Pelindung
1 Hamparan batu 1. Dapat mengikuti penurunan 1. Dibutuhkan banyak bahan
pelindung tubuh bendungan, batu,
2. Mempunyai kemampuan 2. Memerlukan lapisan filter
reduksi hempasan yang relatif tebal,
gelombang yang besar, 3. Menyukarkan pembuatan
3. Cukup stabil terhadap bangunan pelengkap serta
pengaruh-pengaruh fluktuasi pemasangan alat – alat
permukaan air dan gerakan pengamat bendungan.
gelombang,
4. Konstruksinya dapat
dikerjakan secara mekanis.
2 Pasangan batu 1. Dapat mengikuti penurunan 1. Tak dapat dilaksanakan secara
kosong pelindung tubuh bendungan, mekanis dan membutuhkan
2. Cukup stabil terhadap tukang batu yang ahli,
pengaruh – pengaruh 2. Membutuhkan bahan batu
fluktuasi permukaan air dan dengan ukuran tertentu dengan
gerakan gelombang, kualitas yang baik.
3. Membutuhkan lapisan filter
yang relatif tipis,
4. Konstuksinya mudah
dilaksanakan.
3 Pasangan blok beton 1. Mudah dilaksanakan karena 1. Mempunyai kemampuan
pelindung konstruksinya sederhana, reduksi gelombang yang kecil,
2. Konstuksinya dapat dibuat sehingga memerlukan tinggi
seragam, jagaan yang lebih besar,
3. Harga bahannya biasanya 2. Tak dapat mengikuti
murah dan tak memerlukan penurunan tubuh bendungan,
tempat penggalian bahan 3. Tidak stabil terhadap pengaruh
batu khusus, fluktuasi permukaan air dan
4. Pembuatan serta gerakan gelombang,
pemasangannya dapat 4. Untuk blok-blok yang berat
dijadualkan dengan tepat. memerlukan pemasangan
secara khusus.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

32
Gambar 1.31 Hamparan batu pelindung.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

Gambar 1.32 Pasangan batu kosong pelindung.


[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

33
Gambar 1.33 Pasangan blok beton pelindung.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam merencanakan konstruksi


pelindung lereng adalah sebagai berikut:

1) Kualitas bahan harus cukup mampu bertahan (tidak pecah) terhadap gilasan
alat-alat pemadatan, kekuatan hempasan gelombang dan pengaruh-pengaruh
pergantian kondisi basah/kondisi kering secara terus menerus,
2) Batu-batu, blok atau masing-masing elemen konstruksinya harus mempunyai
dimensi serta berat yang memadai, agar tidak dapat digerakkan oleh kekuatan
hempasan gelombang yang terbesar (lihat tabel di bawah),

Tabel 1.4 Ketebalan dari hamparan pelindung dan gradasi batu-batu hamparan dengan kemiringan
lereng 1:3.
Prosentase gradasi batu-batu hamparan dalam ukuran berat
Jarak tepi Ketebalan
(kg)
waduk yang vertikal
No. Berat 45~75 %
berhadapan hamparan 25% lebih 25 % lebih
ukuran terletak
(km) (cm) besar ringan dari
maksimal antara
1 1,6 46 450 135 135~4,5 4,5
2 4,0 61 630 270 270~13,5 13,5
3 8,0 76 1.125 450 450~22,5 22,5
4 16,0 91 2.250 900 900~45 45
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

3) Konstruksi pelindung harus mempunyai ketebalan tertentu, sehingga


gelombang di atas permukaan waduk tidak dapat menyentuh butiran bahan
pembentuk lereng secara langsung, terutama untuk konstruksi tipe hamparan
batu pelindung (periksa di tabel berikut),

34
Tabel 1.5 Ukuran batu dan ketebalan hamparan pelindung lereng udik bendungan.
Ketebalan
Diameter rata-rata Ketebalan
Tinggi minimal
No. batu hamparan minimal lapisan
gelombang (m) hamparan batu *)
(D50 cm) filter (cm)
(cm)
1 0~0,6 25 30 15
2 0,6~1,2 30 45 15
3 1,2~1,8 38 60 23
4 1,8~2,4 45 75 23
5 2,4~3,0 52 90 30
*) seharusnya lebih besar dari pada ukuran maksimal batu-batu hamparan pelindung dan juga lebih
besar dari pada D50 x 1,5 (Dikutip dari Departement of Civil Engineering U.S. Army).

[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

4) Ditinjau dari bentuk butiran batu, maka bentuk yang bersegi-segi lebih baik
dari pada bentuk batu yang bulat,
5) Gradasi bahan lapisan filter harus dipilih sedemikian rupa, sehingga butiran
bahan tubuh bendungan yang dilindungi tidak tersedot keluar oleh gaya-gaya
yang ditimbulkan oleh gelombang.
b. Pelindung lereng hilir
Pelindung lereng hilir (untuk bendungan homogen) biasanya dilakukan untuk
melindungi permukaan lereng terhadap erosi dan terhadap pengaruh-pengaruh
cuaca lainnya seperti radiasi sinar matahari, temperatur udara rendah (kebekuan),
dan lain-lain. Pelindung lereng hilir biasanya digunakan tumbuh-tumbuhan berupa
rumput-rumputan.

1.2.8 Menentukan Volume Total Waduk

Active storage (useful storage, working storage, volume waduk aktif) adalah volume
waduk yang dapat digunakan untuk memenuhi salah satu atau lebih tujuan pembangunannya.
In active storage (volume waduk tidak aktif) adalah volume waduk antara bagian terbawah
dari bangunan pengeluaran dengan permukaan air terendah untuk operasi. Dead storage
(volume waduk mati) adalah volume waduk yang terletak di bagian terbawah dari bangunan
pengeluaran. Flood storage (volume waduk banjir) adalah sebagian volume waduk aktif yang
digunakan untuk mengontrol (meredam) banjir yang terjadi. Reservoir capacity (gross
storage, gross reservoir, storage capacity, kapasitas waduk, volume total waduk) adalah
volume total waduk yang meliputi volume active storage, in active storage dan dead storage
(lihat gambar 2.29).

35
Berdasarkan peta topografi volume waduk dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

1
V i+1 = . ∆ h . ( A i + A i+1 + √ Ai . A i+1 ) (1.7)
3

Dimana:

V : volume tampungan (juta m3),

∆h : beda ketinggian antar luas genangan i dengan i+1 (m),

Ai : luas genangan pada elevasi ke-i (km2),

Ai+1: luas genangan pada elevasi ke-i+1 (km2).

Gambar 1.34 Penampang memanjang waduk.


Kemudian digambar membentuk kurva hubungan antara elevasi, luas genangan dan volume
tampungan. Sehingga dapat mudah dicari untuk luas genangan dan volume waduk di setiap
elevasinya hanya dengan melihat dari kurva tersebut. Berikut contoh gambar kurva hubungan
elevasi, luas genangan dan volume tampungan.

36
6 3
Volume Tampungan (10 m )
80 70 60 50 40 30 20 10 0
250 250

230 230
Elevasi (m)

Elevasi (m)
210 210

190 190

170 170

150 150
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00
2
Luas Genangan (km )

Gambar 1.35 Kurva hubungan elevasi, luas genangan dan volume tampungan.

1.2.9 Sedimentasi

Sedimen yang mengalir di sungai ada yang berupa koloidal (butir halus) yang
bercampur dengan air sungai (suspended load) dan ada yang mengalir lewat dasar sungai
(bed load). Apabila aliran air sampai di waduk maka sedimen akan tertahan dan mengendap
di waduk. Makin banyak sedimen yang mengendap di waduk makin berkurang volumenya,
maka makin memperpendek umur waduk. Sehingga perlu diperhitungkan berapa jumlah
sedimen yang mengalir di sungai dimana akan dibuat waduk tersebut.

Perhitungan sedimentasi waduk dipandang sebagai Sediment Delivery Ratio (SDR),


yaitu perkiraan rasio tanah yang diangkut akibat erosi lahan saat terjadinya limpasan. Nilai
SDR sangat dipengaruhi oleh bentuk muka bumi dan faktor lingkungan. Menurut Boyce
(1975), Sediment Delivery Ratio dapat dirumuskan dengan:

SDR=0,41 . A−0,3 (1.8)

Dimana:

SDR : Sediment Delivery Ratio,

A : luas DAS (km2).

37
Hubungan erosi lahan, angkutan sedimen dan Sediment Delivery Ratio dapat diformulakan
sebagai berikut:

SY =SD R . Ea (1.9)

Dimana:

SY : angkutan sedimen (ton/ha),

SDR : Sediment Delivery Ratio,

Ea : erosi lahan (ton/ha).

Untuk mengurangi tingkat volume sedimen yang masuk ke waduk setelah mulai
dioperasikan, maka diupayakan menjalankan program penghijauan di daerah aliran sungai,
penangkapan dengan check dam dan pengaturan cara bercocok tanam di daerah hulu.

1.2.10 Menentukan Volume Total Waduk yang Dibutuhkan

Menurut Thomas A. Mc. Mahon dalam bukunya Reservoir Capacity and Yield,
penentuan kapasitas waduk dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Metode periode kritik,


b. Metode Moran dkk,
c. Metode pembangkitan data stokastik,
d. Metode simulasi.

Metode simulasi atau analisis perilaku, besarnya kapasitas waduk yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan persamaan kontinuitas penampungan sebagai berikut:

Zt +1=Z t +Qt −Dt −∆ Et −Lt (1.10)

Dengan batasan 0 ≤ Zt ≤ C

Dimana:

t : interval waktu yang digunakan, umumnya satu bulan,

Zt+1 : tampungan pada akhir interval waktu t+1,

38
Zt : tampungan waduk pada awal interval waktu t,

Qt : aliran masuk selama interval waktu t,

Dt : kebutuhan selama interval waktu t,

∆Et : evaporasi selama interval waktu t,

Lt : air akibat kebocoran/rembesan selama interval waktu t,

C : kapasitas manfaat/aktif waduk.

Jika umur waduk diperhitungkan maka tampungan aktif harus dikurangi dengan
perkiraan volume sedimennya. Persamaan di atas diaplikasikan dengan anggapan keadaan
awal waduk dianggap penuh.

Simulasi Tampungan Waduk


22
20
18
16
Tampungan (Juta m3)

14
12
10
8
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
2 Minggu ke-

1998 1999 2000 2001 2002


2003 2004 2005 2006 2007
2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 1.36 Contoh grafik simulasi tampungan waduk per tahun.

39
1.2.11 Pondasi Bendungan

Pondasi bendungan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Mempunyai daya dukung tanah yang baik sehingga mampu menahan beban tubuh
bendungan,
b. Mempunyai kemampuan menghambat aliran air yang baik,
c. Mempunyai ketahanan terhadap gejala sufosi (piping) dan sembulan (boiling)
akibat aliran filtrasi.

Jika dilihat dari batuan yang membentuk lapisan pondasi, maka pondasi dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) sebagai berikut:

a. Pondasi batuan
Pondasi batuan adalah jika bendungan didirikan di atas lapisan batuan yang masif.
Batuan harus keras dan kokoh. Jika batuan yang akan digunakan untuk pondasi
merupakan batuan lunak maka perlu diadakan perbaikan sebagai berikut:
1) Sementasi tirai
Berfungsi untuk mengurangi debit filtrasi melalui pondasi debit bendungan
dengan cara memaksa aliran filtrasi mengalir melalui ujung ke bawah tirai
sementasi sehingga memperpanjang trayektori aliran filtrasi yang
mengakibatkan berkurangnya debit aliran yang keluar bendungan. Tirai dibuat
tepat di bawah alas zona kedap air.
2) Sementasi konsolidasi dan sementasi alas
Sementasi konsolidasi adalah sementasi yang sangat dangkal dan merata di atas
permukaan pondasi. Tujuan sementasi konsolidasi untuk memperkuat lapisan
teratas pondasi, menutup serta merekatkan kembali rekahan yang banyak
terdapat di lapisan teratas batuan.
b. Pondasi pasir atau kerikil
Pondasi dari lapisan pasir dan kerikil dengan kemampuan daya dukung yang
memadai untuk bendungan urugan rendah dengan tinggi maksimal bendungan 50
m. Pondasi tipe ini mempunyai permeabilitas tinggi, tetapi jika koefisien
keseragaman < 10 serta kepadatan relatif < 70 % maka daya dukungnya menjadi
kurang memadai dan perlu diadakan perbaikan.

40
c. Pondasi tanah
Pondasi jenis ini memiliki kekedapan air yang lebih baik dari tipe yang lain. Jika
usia pondasi semakin tua maka daya dukungnya dan kekedapan airnya akan
meningkat. Jika diperlukan perbaikan pondasi maka perlu perhatikan hal berikut:
1) Pemadatan dengan penumbukan untuk tanah yang loose, sedangkan pada pasir
dilakukan penggetaran,
2) Pemadatan dengan mempercepat proses konsolidasi dengan mengeluarkan
kandungan airnya. Misalnya dengan pasir penyerap (sand drain).
Pada pemilihan pondasi batuan perlu diperhatikan beberapa sifat dari batuan untuk
merencanakan pondasi dengan baik yaitu, gaya pecah, gaya geser, elastisitas, perubahan
bentuk, gaya tektonik dan kelulusan air. Berikut penjelasannya:
a. Gaya pecah (crushing strength)
Ini sangat mempengaruhi daya dukung yang dapat ditahan oleh batuan. Daya
dukung batuan sebagai pondasi bendungan tergantung pada:
1) Kualitas batuan, yaitu ada tidaknya atau banyak sedikitnya retakan, celah,
rekahan, patahan/sesar dan bahan pengisi yang terdapat di antara lubang-
lubang,
2) Derajat pelapukan,
3) Prosentase retakan yang sangat kecil yang terdapat di daerah tersebut.
b. Gaya geser (shearing strength)
Gaya geser batuan tergantung pada sudut gesekan dalam yang merupakan angka
dari tangens sudut yang bersangkutan menurut rumus [ CITATION Soe03 \l
1033 ]:

f =tg θ (1.11)

Dimana:

f : koefisien gaya geser,

θ : sudut gesekan dalam (0).

41
Tabel 1.6 Daftar koefisien gaya geser beberapa jenis batuan.
No. Jenis Batuan Koefisien
1. Tuff 0,90
2. Schist Biotite 0,50
3. Limestone (reef breccias) 0,60
Limestone (medium
4. 0,50
grained)
5. Granite (weathered) 0,80
[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

c. Elastisitas batuan (elasticity of rock)


Merupakan angka yang diperoleh berdasar pengujian di laboratorium, jadi hanya
dipakai untuk perkiraan sementara.
d. Perubahan bentuk batuan (deformation of rock)
Menurut standar yang diterbitkan oleh The Japanese National Committee on
Large Dams, dianggap bahwa modulus elastisitas batuan sama dengan modulus
deformasi atau modulus perubahan bentuk batuan. Sedangkan menurut standar
yang berlaku di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan Australia ada
perubahan. Adapun perubahannya adalah modulus elastisitas diukur di
laboratorium sedangkan modulus deformasi diukur di lapangan sehingga hasilnya
kadang-kadang sangat berlainan. Hal ini sebagai akibat terdapatnya retakan,
celakannya tidak dapat mencakup secara keseluruhan. Angka yang diukur di
lapangan biasanya lebih rendah dibandingkan dengan yang diukur di
laboratorium.
e. Gempa tektonik
Gempa tektonik adalah gempa yang terjadi sebagai akibat dari gerakan bumi yang
jauh dari kulit bumi. Gerakan-gerakan ini ada yang ringan tetapi ada pula yang
sangat dahsyat. Apabila hal ini terjadi pada batuan pondasi bendungan dapat
menyebabkan terjadinya retakan dan menimbulkan terjadinya lubang sehingga
tegangan geser yang mempertahankan stabilitas konstruksi menjadi berkurang.
f. Kelulusan air
Ketika bendungan selesai dibangun maka waduk mulai dioperasikan dengan
demikian akan selalu terisi air antara permukaan air penuh (FSL) dengan
permukaan air terendah untuk operasi (MOL). Air akan menekan bendungan dan

42
ada kecenderungan mencari lubang-lubang sebagaimana kecilnya untuk dilewati.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya bahaya gejala pembuluh.

1.3 Bangunan Pelengkap dan Pembantu

Bangunan pelengkap adalah bangunan beserta instalasinya yang memungkinkan


beroperasinya bendungan dengan baik. Sebagai contoh adalah bangunan pelimpah, bangunan
pemasukan dan bangunan pengelak. Bangunan pembantu adalah bangunan beserta
instalasinya yang bersifat membantu agar bendungan dapat beroperasi dengan lebih baik.

1.3.1 Perencanaan Bangunan Pelimpah (Spillway)

Bangunan pelimpah adalah bangunan beserta instalasinya untuk mengalirkan air


banjir yang masuk ke dalam waduk agar tidak membahayakan keamanan waduk. Apabila
terjadi kecepatan aliran air yang besar akan terjadi olakan (turbulensi) yang dapat
mengganggu jalannya air sehingga menyebabkan berkurangnya aliran air yang masuk ke
pelimpah. Kecepatan aliran harus dibatasi, yaitu tidak boleh melebihi kecepatan kritisnya.
Bangunan pelimpah yang biasa digunakan yaitu bangunan pelimpah terbuka dengan ambang
tetap. Bangunan pelimpah ini biasanya terdiri dari empat bagian utama yaitu:

Gambar 1.37 Skema sebuah tipe bangunan pelimpah pada bendungan urugan.

43
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

a. Saluran pengarah aliran


Bagian ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah aliran agar aliran tersebut
senantiasa dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada saluran pengarah aliran ini,
kecepatan masuk aliran air tidak melebihi 4 m/detik dan lebar saluran makin kecil
ke arah hilir. Kedalaman dasar saluran pengarah aliran biasanya diambil lebih
besar dari 1/5 x tinggi rencana limpasan di atas mercu ambang pelimpah.

Gambar 1.38 Saluran pengarah aliran dan ambang pengatur debit pada sebuah bangunan pelimpah.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

b. Saluran pengatur aliran


Bagian ini berfungsi untuk pengatur kapasitas aliran (debit) air yang melintasi
bangunan pelimpah. Bentuk mercu pelimpah berdasar data dari USBR, the US
Army Corps of Engineers telah menyusun beberapa bentuk baku di Waterways
Experiment Station (WES). Gambar berikut memperlihatkan bentuk-bentuk yang
dibuat oleh WES sebagai bentuk baku pelimpah.

44
Gambar 1.39 Bentuk-bentuk pelimpah menurut standar WES.
[ CITATION Ven59 \l 1033 ]

Bentuk-bentuk baku pelimpah yang dibuat oleh WES dinyatakan dengan


persamaan berikut:

X n=K . H n−1
d .Y (1.12)

Dengan X dan Y adalah koordinat profil mercu dengan titik awal pada titik
tertinggi dari mercu, Hd adalah tinggi tekanan rencana tanpa tinggi kecepatan dari
aliran yang masuk, K dan n adalah parameter-parameter yang tergantung pada
kemiringan muka pelimpah bagian hulu. Nilai-nilai K dan n ditetapkan sebagai
berikut:

45
Tabel 1.7 Nilai K dan n.
No
Slope of upstream face K n
.
1. Vertical 2,000 1,850
2. 3 on 1 1,936 1,836
3. 3 on 2 1,939 1,810
4. 3 on 3 1,873 1,776
[ CITATION Ven59 \l 1033 ]

Debit yang melalui pelimpah dapat dihitung dengan suatu persamaan yang
direncanakan dengan bentuk-bentuk WES [ CITATION Ven59 \l 1033 ],
persamaannya adalah:

Q=C . L . H 1,5 (1.13)

Dimana:

Q : debit keluaran dari pelimpah (m3/dt),

C : koefisien debit,

L : panjang efektif mercu pelimpah (m),

H : tinggi air di atas mercu (m).

Dengan He tinggi energi total pada mercu dalam feet, termasuk tinggi kecepatan
pada saluran masuk. Hasil pemeriksaan terhadap model pelimpah ini
membuktikan bahwa efek kecepatan masuk dapat diabaikan bila tinggi h dari
pelimpah melebihi 1,33Hd, dengan Hd adalah tinggi tekan rencana tanpa tinggi
kecepatan masuk. Berdasarkan keadaan ini dan dengan tinggi tekan rencana
(yakni h/Hd melebihi 1,33 dan He = Hd untuk tinggi kecepatan masuk diabaikan),
koefisien debit C diketahui sebesar Cd = 4,03.

Untuk pelimpah yang rendah dengan h/Hd < 1,33 kecepatan masuk akan
mempunyai efek cukup besar terhadap debit atau koefisien debit dan oleh sebab
itu juga terhadap profil tirai luapan. Gambar di bawah menyatakan suatu gambar
tak berdimensi, dibuat berdasarkan data dari WES yang dapat dipakai untuk
memperlihatkan efek kecepatan masuk pada hubungan antara He/Hd dan C/Cd
untuk pelimpah yang direncanakan menurut bentuk WES dengan muka hulu yang
tegak lurus. Untuk pelimpah dengan muka hulu miring, nilai C kurang lebih dapat

46
dikoreksi untuk efek kemiringan muka hulu tersebut dengan mengalikan C dengan
suatu faktor koreksi yang diambil dari grafik pada gambar di bawah ini.

Gambar 1.40 Hubungan tinggi tekan dengan debit untuk bentuk pelimpah standar WES.
[ CITATION Ven59 \l 1033 ]

Dalam saluran pengatur aliran terdapat pula saluran transisi yang direncanakan
agar debit banjir rencana yang akan disalurkan tidak menimbulkan back water di
bagian hilir saluran pengatur aliran dan memberikan kondisi yang
menguntungkan, baik pada aliran di dalam saluran transisi tersebut maupun pada
aliran permulaan yang akan menuju saluran peluncur.

Gambar 1.41 Skema untuk bagian transisi saluran pengarah.


[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

47
Rencana teknis hidrolis saluran transisi dilakukan dengan rumus Bernoulli:

1) Apabila di ujung hulu saluran transisi terjadi aliran sub kritis dan di ujung hilir
terjadi aliran kritis,
(elevasi dasar ambang hilir) = (elevasi dasar ambang hulu)

v 2e v 2c K (v 2e −v 2c )
+d e + −d c + − −hm (1.14)
2g 2g 2g

Dimana:
de : kedalaman aliran masuk ke dalam saluran transisi (m),
ve : kecepatan aliran masuk ke dalam saluran transisi (m/dt),
dc : kedalaman kritis pada ujung hilir saluran transisi (m),
vc : kecepatan aliran kritis pada ujung hilir saluran transisi (m/dt),
K : koefisien kehilangan tinggi tekanan yang disebabkan oleh
perubahan penampang lintang saluran transisi (0,1 – 0,2),
hm : kehilangan total tinggi tekanan yang disebabkan oleh gesekan
dan lain-lain (m).

Gambar 1.42 Skema aliran dalam kondisi terjadinya aliran kritis di ujung hilir saluran transisi.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

2) Apabila di ujung hulu dan di ujung hilir saluran transisi terjadi aliran kritis,
(elevasi dasar ambang hilir) = (elevasi dasar ambang hulu)

v 2c 1 v 2c1 K (v 2c1−v 2c 2)
+d c 1 + −d c2− − −hm (1.15)
2g 2g 2g

48
Dimana:

dc : kedalaman aliran kritis (m),

vc : kecepatan aliran kritis (m/dt),

hm : kehilangan total tinggi tekanan yang disebabkan oleh gesekan


dan lain-lain (m).

Gambar 1.43 Skema aliran dalam keadaan terjadinya aliran kritis di ujung hulu dan ujung hilir saluran
transisi.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

Pada hilir saluran pengatur aliran juga dapat di desain tanpa saluran transisi
(langsung masuk ke saluran peluncur) atau dengan pengendalian loncatan dengan
ambang. Pengendalian loncatan dengan ambang hampir sama fungsinya dengan
saluran transisi namun berupa pengendalian loncatan dengan ambang dalam
saluran persegi dengan lebar saluran tetap. Pengendalian loncatan dengan ambang
merupakan pengendali loncatan hidrolis pada suatu aliran agar aliran yang semula
berupa aliran super kritis menjadi aliran kritis akibat terjadinya loncatan hidrolis.
Berikut langkah-langkah untuk mendesain pengendalian loncatan dengan ambang:

1) Menghitung kedalaman air di kaki pelimpah (y1),

49
Untuk menghitung kedalaman air di kaki pelimpah terlebih dahulu
menghitung kecepatan air di kaki pelimpah (v1) dengan rumus:

v1 =√2 . g .(Z−0,5 Hd) (1.16)

Dimana:

v1 : kecepatan air di kaki pelimpah (m/dt),

g : percepatan gravitasi (9,81 m/dt2),

Z : beda tinggi antara elevasi muka air banjir waduk terhadap


elevasi kaki pelipah (m),

Hd : tinggi muka air di atas mercu pelimpah (m).

Kemudian mencoba dengan metode trial-error untuk menghitung kedalaman


air di kaki pelimpah dengan rumus:

Q= A 1 . v 1=b1 . d 1 . v 1 (1.17)

Dimana:

Q : debit air yang melewati pelimpah (m3/dt),

A1 : luas penampang basah di kaki pelimpah (m2),

v1 : kecepatan aliran di kaki pelimpah (m/dt),

b1 : lebar saluran di kaki pelimpah (m),

d1 : kedalaman air di kaki pelimpah (m).

2) Menghitung kedalaman kritis pada ambang (y3 = yc),


Aliran air dianggap dalam kondisi kritis apabila mempunyai nilai bilangan
Froude = 1. Maka dengan rumus mencari nilai bilangan Froude dapat
digunakan pula untuk menghitung kedalaman kritis pada ambang dengan
metode trial-error yaitu [ CITATION Ven59 \l 1033 ]:

v c / √ g . D=1 (1.18)

Dimana:

50
vc : kecepatan aliran kritis di ambang (m/dt),

g : percepatan gravitasi (9,81 m/dt2),

D : kedalaman kritis di ambang (m).

3) Menghitung kedalaman, panjang loncatan hidrolis dan tinggi ambang pada


saluran (y2, X dan h),
Setelah mengetahui kedalaman di kaki pelimpah (y1) dan kedalaman kritis
pada ambang (y3), maka selanjutnya dapat mengetahui kedalaman, panjang
loncatan hidrolis yang terjadi dan tinggi ambang pada saluran dengan rumus
[ CITATION Ven59 \l 1033 ]:
a) Kedalaman loncatan hidrolis (y2),

y2 1 2
= . ( √1+8 . F1 −1 ) (1.19)
y1 2

Dimana:

y2 : kedalaman loncatan hidrolis akibat ambang (m),

y1 : kedalaman air di kaki pelimpah (m),

F1 : Nilai bilangan Froude pada kaki pelimpah.

b) Panjang loncatan hidrolis (X),

X =5 . ( h+ y 3 ) (1.20)

Dimana:

X : panjang loncatan hidrolis akibat ambang (m),

h : tinggi ambang (y2 – y3) (m),

y3 : kedalaman kritis di ambang (m).

51
Gambar 1.44 Sketsa saluran dengan ambang peninggian curam.

Gambar 1.45 Hubungan eksperimental antara F, y3/y1, dan h/y1 untuk peninggian mendadak.
[ CITATION Ven59 \l 1033 ]

c. Saluran peluncur
Dalam merencanakan saluran peluncur harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Air yang melimpah dari saluran pengatur harus mengalir dengan lancar tanpa
hambatan-hambatan hidrolis,
2) Konstruksi saluran peluncur harus kokoh dan stabil dalam menampung semua
beban yang timbul,
3) Biaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.

52
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1) Diusahakan agar tampak atasnya selurus mungkin,


2) Penampang lintang saluran peluncur sebagai patokan supaya diambil persegi
empat,
3) Kemiringan dasar saluran diusahakan sedemikian rupa sehingga bagian
hulunya berlereng landai akan tetapi semakin ke hilir semakin curam,
4) Biasanya saluran yang tertutup kurang sesuai untuk saluran peluncur.

Berikut beberapa cara perhitungan hidrolika yang didasarkan teori Bernoulli untuk
saluran peluncur:

1) Perhitungan sistem coba-banding pertama,

z 1+ d 1+ hv 1=z 2+ d 2+ hv 2 +h L (1.21)

Dimana:

z : elevasi dasar saluran pada suatu bidang vertikal (m),

d : kedalaman air pada bidang tersebut (m),

hv : tinggi tekanan kecepatan pada bidang tersebut (m),

hL : kehilangan tinggi tekanan yang terjadi di antara dua buah


bidang vertikal yang ditentukan (m).

53
Gambar 1.46 Skema penampang memanjang aliran pada saluran peluncur.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

2) Perhitungan sistem coba banding kedua,


Perhitungan ini memperhatikan aliran air di dalam saluran peluncur sepanjang
∆l yang dibatasi oleh bidang-1 di hulunya dan bidang-2 yang diambil
sembarang dan akan diperoleh persamaan kekekalan energy sebagai berikut:

v 22 v 21 n2 v́ 2
h e= + + ∆l (1.22)
2 g 2 g Ŕ 4/ 3 1

h e=d 1+ ∆ l 1 sin θ−d 2 (1.23)

h e=d 1+ ∆ l 1 tanθ−d 2 (1.24)

Dimana:

he : perbedaan elevasi permukaan air pada bidang-1 dan bidang-2


(m),

v1 : kecepatan aliran air pada bidang-1 (m/dt),

v2 : kecepatan aliran air pada bidang-2 (m/dt),

d1 : kedalaman air pada bidang-1 (m),

54
d2 : kedalaman air pada bidang-2 (m),

∆l1 : panjang lereng dasar di antara bidang-1 dan bidang-2 (m),

∆l : jarak horizontal antara kedua bidang tersebut (m),

θ : sudut lereng dasar saluran (0),

V 1+V 2
ῡ : (m/dt),
2

Ŕ : radius hidrolika rata-rata pada potongan saluran yang diambil


(m),

n : koefisien kekasaran manning.

3) Perhitungan tanpa sistem coba-banding,


Berbeda dengan perhitungan sebelumnya, pada bidang sebelah hilir (bidang-2)
dianggap sebagai titik permulaan dalam perhitungan rumus Bernoulli sebagai
berikut:

v 21 v 22
+d 1 +S 0 . ∆ l= +d 2 +h L (1.25)
2g 2g

dan karena hL = S.∆l1, maka rumus tersebut menjadi:

v 22 v 21
+d − −d 1
2g 2 2g (1.26)
∆ l=
S 0−S

Dimana:

∆l : jarak horizontal antara bidang-1 dan bidang-2 (m),

hL : kehilangan tinggi tekanan (m),

hL/∆l : kehilangan tinggi tekanan per unit jarak horizontal,

v1, v2 : kecepatan aliran berturut-turut pada bidang-1 dan bidang-2


(m/dt),

d1, d2 : kedalaman air berturut-turut pada bidang-1 dan bidang-2 (m),

55
S0 : kemiringan dasar saluran peluncur.

Penentuan kemiringan dasar saluran peluncur disesuaikan dengan kondisi


topografi serta untuk memperoleh hubungan yang kontinu antara saluran
peluncur dengan peredam energi maka sudut kemiringan dasar saluran
biasanya berubah-ubah dalam berbagai variasi (berbentuk lengkung). Untuk
memperoleh bentuk lengkung dasar saluran peluncur dapat dikerjakan dengan
rumus yang berasal dari persamaan parabolis berikut [ CITATION Sos89 \l
1033 ]:

Kx2
y=x tan θ+ (1.27)
4 hv cos2 θ

Kx
S= x tanθ+ 2 (1.28)
2 hv cos θ

Dimana:

y : sumbu vertikal,

x : sumbu horizontal,

S : kemiringan bagian lengkung dasar saluran pada titik x,

hv : tinggi tekanan kecepatan pada titik awal lengkungan saluran


(m),

θ : sudut kemiringan dasar saluran pada titik awal lengkungan (0),

K : suatu koefisien yang didasarkan pada gaya gravitasi (biasanya


K ≤ 0,5).

Saluran peluncur dibuat dengan penampang yang kecil tetapi pada bagian
ujung hilir saluran peluncur dibuat melebar (berbentuk terompet). Sebelum
dihubungkan dengan peredam energi. Pada hakikatnya metode perhitungan
untuk merencanakan bagian saluran yang berbentuk terompet ini belum ada,
tetapi disarankan agar sudut pelebaran (θ) tidak melebihi besarnya sudut yang
diperoleh dari rumus berikut:

56
1
tanθ= (1.29)
3F

v
F= (1.30)
√ gd

Dimana:

θ : sudut pelebaran (0),

F : angka bilangan Froude,

v : kecepatan aliran air (m/dt),

d : kedalaman aliran air (m),

g : percepatan gravitasi (m/dt2).

Gambar 1.47 Bagian berbentuk terompet dari saluran peluncur.


[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

d. Peredam energi
Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan ke dalam sungai,
maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi super-kritis tersebut
harus diperlambat dan diubah pada kondisi aliran sub-kritis. Guna mereduksi
energi yang terdapat di dalam aliran tersebut, maka di ujung hilir saluran peluncur
biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut peredam energi pencegah gerusan.
Dalam perencanaan dipakai tipe kolam olakan, dan yang paling umum
dipergunakan adalah kolam olakan datar.
Macam tipe kolam olakan datar yaitu:
1) Kolam olakan datar USBR tipe I

57
Kolam olakan USBR tipe I adalah kolam yang terbentuk oleh loncatan yang
terjadi pada lantai datar, tanpa peralatan tambahan. Kolam ini dengan mudah
dapat dirancang dengan prinsip yang sederhana, namun biasanya tidak praktis
karena terlalu panjang dan sukar dikendalikan.

Gambar 1.48 Kolam olakan datar tipe I.


[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

2) Kolam olakan datar USBR tipe II


Kolam olakan USBR tipe II dikembangkan untuk kolam olakan yang
digunakan pada dam tinggi, dam tanah, dan untuk struktur kanal besar. Kolam
olakan datar tipe II ini cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis yang
tinggi dan dengan debit yang besar (q > 45 m3/dt/m, tekanan hidrostatis > 60
m dan bilangan Froude > 4,5). Perlengkapan-perlengkapan yang dibuat berupa
gigi-gigi pemencar aliran di pinggir hulu dasar kolam dan ambang bergerigi di
pinggir hilirnya.

58
Gambar 1.49 Perkiraan permukaan air yang terbentuk dan profil tekanan pada kolam olakan datar tipe
II.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

Gambar 1.50 Bentuk yang direkomendasikan untuk kolam olakan datar tipe II.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

3) Kolam olakan datar USBR tipe III


Prinsip kerja dari kolam olakan ini sangat mirip dengan sistem kerja dari
kolam olakan datar tipe II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air
dengan tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil (q < 18,5
m3/dt/m, v < 18,0 m/dt dan bilangan Froude > 4,5). Untuk mengurangi
panjang kolam olakan, biasanya dibuatkan gigi pemencar aliran di tepi hulu

59
dasar kolam olakan, gigi penghadang aliran (baffle piers) pada dasar kolam
olakan.

Gambar 1.51 Bentuk yang direkomendasikan untuk kolam olakan datar tipe III.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

Gambar 1.52 Perkiraan permukaan air yang terbentuk dan profil tekanan pada kolam olakan datar tipe
III.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

60
Gambar 1.53 Grafik penentuan ukuran tinggi baffle piers dan end sill pada kolam olakan datar tipe III.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

Gambar 1.54 Grafik penentuan panjang lantai kolam olakan datar tipe I, II dan III.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

61
Gambar 1.55 Grafik penentuan kedalam air sungai di hilir kolam olakan datar.
[ CITATION Sos89 \l 1033 ]

4) Kolam olakan datar USBR tipe IV


Sistem kerja kolam olakan tipe ini sama dengan sistem kerja kolam olakan tipe
III, akan tetapi penggunaannya yang paling cocok adalah untuk aliran dengan
tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang besar per unit lebar, yaitu
aliran dalam kondisi super kritis dengan bilangan Froude antara 2,5 sampai
dengan 4,5. Peredam energi untuk aliran dengan bilangan Froude antara 2,5
sampai dengan 4,5 umumnya sangat sulit, karena getaran hidrolis yang timbul
pada aliran tersebut tidak dapat dicegah secara sempurna. Apabila keadaannya
memungkinkan, sebaiknya lebar kolam olakan diperbesar, agar bilangan
Froude-nya berada di luar angka-angka tersebut.

62
Gambar 1.56 Bentuk yang direkomendasikan untuk kolam olakan datar tipe IV.
[ CITATION AJP84 \l 1033 ]

1.3.2 Bangunan Pengeluaran

Bangunan beserta instalasinya yang digunakan untuk mengeluarkan air dari waduk
dan memasukkannya ke dalam saluran air baik yang terbuka maupun yang tertutup dan
mengatur debit airnya agar dapat dipakai untuk memenuhi salah satu atau lebih keperluan
yang direncanakan. Apabila dipandang dari segi waduk maka disebut bangunan pengeluaran
(outlet works), sedang dari segi penggunaan sesudah keluar waduk disebut bangunan
pemasukan (inlet works). Berikut ini pembagian tipe bangunan pengeluaran:

a. Pembagian tipe bangungan pengeluaran berdasar tinggi tekanannya ada 2 (dua)


tipe yaitu:
1) Tekanan rendah, banyak digunakan untuk saluran irigasi perbedaan tekanan
air kurang dari 10 mm,
2) Tekanan tinggi, digunakan untuk PLTA dengan perbedaan tinggi lebih dari 10
meter sampai 400 meter.
b. Pembagian tipe bangunan pengeluaran berdasar saluran pengangkutnya ada 2
(dua) tipe yaitu:

63
1) Saluran terbuka, banyak dijumpai pada saluran irigasi yang mengambil air dari
waduk. Apabila keluarnya air pada sungai kembali maka disebut bangunan
pengeluaran sungai (river outlet),
2) Saluran tertutup, digunakan untuk pemasukan ke dalam pipa pesat PLTA.
c. Pembagian tipe bangunan pengambilan berdasar hubungannya dengan
bendungannya ada 2 (dua) tipe yaitu:
1) Bangunan pengambilan yang terpisah dengan tubuh bendungan, digunakan
untuk bendungan urugan, agar tidak menimbulkan erosi maka bangunan
pengambilan diletakkan terpisah dengan tubuh bendungannya,
2) Sedangkan yang terdapat di dalam bendungan banyak dijumpai pada
bendungan beton.
d. Pembagian tipe bangunan pengambilan berdasar bentuknya, dalam hal ini ada 3
(tiga) tipe yaitu:
1) Bangunan pengeluaran berbentuk saluran tertutup dengan menara banyak
digunakan waduk alam (telaga, danau) dengan maksud memudahkan
pelaksanaan konstruksinya. Selama pelaksanaan, permukaan waduk alam
diturunkan sedikit demi sedikit,

Gambar 1.57 Bangunan pengambilan PLTA Garung di Telaga Menjer, Wonosobo.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

2) Bangunan pengambilan berbentuk terowongan dengan corong, biasanya


digunakan apabila mengalami kesulitan dalam menggunakan bangunan
menara karena pekerjaan galiannya terlalu mahal maka solusinya diganti

64
dengan menggunakan metode corong. Selain digunakan untuk waduk alam
dapat pula digunakan untuk waduk buatan apabila topografinya
memungkinkan,

Gambar 1.58 Bangunan pengambilan berbentuk terowongan dengan menara Bendungan Mica, Kanada.
[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

3) Bangunan pengambilan terendam air, dilaksanakan dengan cara memotong


pengelak yang sudah tidak berfungsi lagi, kemudian dibuat lubang vertikal
(shaf).

65
Gambar 1.59 Bangunan pengambilan air PLTA Ramganga, India.
[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

1.4 Stabilitas Konstruksi Bendungan


Merupakan perhitungan konstruksi untuk menentukan ukuran (dimensi) bendungan
agar mampu menahan muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja padanya dalam keadaan
apapun juga. Di dalam hal ini termasuk terjadinya angin kencang, gempa bumi hebat dan
banjir besar. Di dalam kriteria desain dan dasar-dasar perencanaan terdapat 3 (tiga) prinsip
yang harus diperhatikan:

a. Untuk mencegah terjadinya bahaya limpasan lewat puncak bendungan maka harus
disediakan bangunan pelimpah dan bangunan pengeluaran yang cukup
kapasitasnya. Apabila terpaksa ada air yang melimpah lewat puncak bendungan
hanya diperbolehkan yang berasal dari gelombang yang terjadi karena angin.

66
Kalaupun hal ini terjadi bendungan harus dapat menahan tanpa menimbulkan
kerusakan yang berarti,
b. Syarat-syarat stabilitas konstruksi dapat dipenuhi:
1) Lereng di sebelah hulu dan hilir bendungan harus tidak mudah longsor,
2) Harus aman terhadap geseran,
3) Harus aman terhadap penurunan bendungan,
4) Harus aman terhadap rembesan,
c. Untuk mencegah terjadinya bahaya gejala pembuluh maka rembesan air yang
kemungkinan terjadi harus disalurkan lewat saluran pengering, sumur pengering
atau sumur pelepas tekan.

Stabilitas konstruksi bendungan terdiri dari stabilitas tubuh bendungan dan stabilitas
bangunan pelimpah (spillway). Berikut penjelasan syarat-syarat dan perhitungan stabilitas
bendungan dan stabilitas bangunan pelimpah menggunakan software GeoStudio 2007.

1.4.1 Stabilitas Bendungan Urugan

Untuk menganalisa stabilitas tubuh bendungan ada beberapa keadaan berbahaya yang
harus ditinjau di dalam perhitungan. Ada 4 (empat) keadaan yaitu:

a. Pada akhir pembangunan


Berdasarkan penyelidikan tanah, baik di lapangan maupun di laboratorium dapat
diambil kesimpulan bahwa tanah hanya dapat dipakai secara maksimal apabila
kadar airnya mencapai optimal (optimum moisture content). Ini berarti bahwa
pada akhir pembangunan masih terdapat kadar air yang besar, sehingga tegangan
air pori yang timbul juga besar. Keadaan berbahaya yang harus ditinjau adalah
daerah kemiringan sebelah hilir,
b. Pada waktu waduk terisi air penuh dan terdapat rembesan tetap
Makin tinggi permukaan air yaitu pada saat waduk terisi air penuh merupakan
keadaan yang berbahaya, sehingga ditinjau di dalam perhitungan. Keadaan
berbahaya yang harus ditinjau adalah kemiringan sebelah hilir,
c. Pada waktu waduk terisi air sebagian dan terdapat rembesan tetap
Ini perlu ditinjau karena longsornya bendungan tergantung dari beberapa faktor
dan kadang-kadang yang berbahaya bukan pada waktu waduk penuh tetapi hanya

67
sebagian saja. Keadaan berbahaya yang harus ditinjau adalah kemiringan sebelah
hulu (di dalam waduk),
d. Pada waktu waduk terisi air penuh dan turun secara tiba-tiba (rapid drawdown)
Pada waktu waduk terisi air penuh maka tekanan porinya sangat besar, bagian di
dalam waduk mendapatkan tekanan air ke atas sehingga beratnya berkurang. Pada
waktu permukaan air waduk turun secara tiba-tiba maka air dari pori-pori akan
sangat lambat hilangnya sehingga masih terisi air dan dalam keadaan basah maka
beratnya menjadi bertambah besar karena tekanan air ke atas tidak ada lagi.
Keadaan berbahaya yang harus ditinjau adalah di sebelah hulu.

Muatan-muatan dan gaya-gaya yang harus diperhitungkan yang terpenting adalah


berat bendungan sendiri, tekanan pori, tekanan hidrostatik dan gaya akibat gempa bumi.
Tekanan hidrodinamis pada bendungan urugan sebagai akibat gempa bumi biasanya hanya
kecil sehingga dapat diabaikan. Berikut penjelasan singkat dari muatan-muatan dan gaya-
gaya yang harus diperhitungkan pada stabilitas tubuh bendungan:

a. Berat bendungan sendiri


Harus ditentukan dalam keadaan kering, basah atau di bawah air, demikian pula
masing-masing lapisan dihitung tersendiri karena berat volumenya tidak sama.
Berat volume kering (dry density, dry unit weight) adalah perbandingan antara
berat tanah dalam keadaan kering dengan isi tanah seluruhnya. Berat volume
basah (lembab, wet density) adalah perbandingan antara berat tanah dalam
keadaan basah dengan isi tanah seluruhnya. Yang dimaksud basah disini adalah
dengan adanya air kapiler maka keadaan tanahnya menjadi basah. Berat volume di
bawah air (jenuh, submerged density, saturated density) adalah berat volume
kering -1 (berat volume air). Untuk bendungan urugan batu yang menggunakan
lapisan maka berat volumenya juga berbeda-beda, ada berat volume lapisan batu
sebaran, berat volume batu teratur, lapisan filter kasar, lapisan filter halus, lapisan
kedap air dan lain-lain.
b. Tekanan pori (pore pressure)
Bekerja ke arah normal terhadap bidang geser dan sangat menentukan untuk
perhitungan keamanan terhadap geseran,
c. Tekanan hidrostatis
Merupakan tekanan dari air di dalam waduk dan di sebelah hilir bendungan,
d. Gaya sebagai akibat gempa bumi

68
Tergantung pada lokasi bendungan, biasanya sudah ada standar angka gempa.
Untuk bendungan yang tingginya di atas 60 m, dianjurkan mengadakan
penyelidikan khusus karena faktor gempa bumi akan sangat besar pengaruhnya.
Koefisien gempa (seismic coefficient) biasanya terletak antara 0,05 – 0,25. Untuk
menentukan gaya gempa digunakan rumus sebagai berikut: [ CITATION Soe03 \l
1033 ]

E=λ .W (1.31)

Dimana:

E : gaya gempa dengan arah horizontal (ton),

λ : koefisien gempa,

W : berat bangunan (ton).

1.4.2 Penggunaan Software GeoStudio 2007

GeoStudio 2007 adalah sebuah paket software untuk memodelkan geoteknik dan geo-
lingkungan. Software ini melingkupi SLOPE/W, SEEP/W, SIGMA/W, QUAKE/W, TEMP/W,
CTRAN/W, AIR/W dan VADOSE/W yang sifatnya terintegrasi sehingga memungkinkan untuk
menggunakan hasil dari satu produk ke dalam produk yang lain. Pada stabilitas konstruksi
bendungan software yang dipakai adalah SLOPE/W, SEEP/W, SIGMA/W dan QUAKE/W.

a. SLOPE/W
Merupakan produk perangkat lunak untuk menghitung faktor keamanan
kemiringan tanah dan kemiringan batuan. Dengan SLOPE/W dapat menganalisa
masalah baik secara sederhana maupun kompleks dengan menggunakan salah satu
dari delapan metode kesetimbangan batas untuk berbagai permukaan yang miring,
kondisi tekanan pori, sifat tanah dan beban terkonsentrasi. SLOPE/W
diformulasikan dalam bentuk persamaan angka keamanan yang memenuhi
kesetimbangan momen maupun kesetimbangan gaya. Sebagai contoh metode
Morgenstren Price memenuhi kesetimbangan gaya maupun kesetimbangan
momen. Formulasi umum ini memudahkan dalam menghitung angka keamanan
dari berbagai metode dan memudahkan dalam memahami hubungan-hubungan
dan perbedaan-perbedaan di antara semua metode-metode.

69
Pada SLOPE/W terdapat 3 (tiga) tahap dalam menjalankan program yaitu
DEFINE untuk mendefinisikan masalah yang akan dianalisis, SOLVE untuk
menghitung hasil dan CONTOUR untuk menampilkan hasilnya. Berikut
penjelasan beserta contohnya bagaimana menggunakan program ini untuk
menganalisis stabilitas lereng.
1) DEFINE
Untuk menganalisis kita mulai dengan membuat proyek SLOPE/W baru dari
halaman awal Geostudio (Start Page Geostudio). Pada kotak dialog KeyIn
Analysis, kita harus mengidentifikasi metode analisis apa yang akan kita
gunakan. Misal, memilih Morgenstern-Price pada opsi Analysis Type dan
pastikan memilih Half-sine function pada opsi Side Function. Kemudian pada
opsi pore-water pressure, jika tidak terdapat permukaan air dalam tanah maka
pilih none, jika terdapat permukaan air dalam tanah berupa garis-garis maka
pilih piezometric line dan jika ingin memakai hasil analisis program
sebelumnya misalnya SEEP/W maka pilih parent analysis. Pada tab slip
surface pilih arah pergerakan gelincir dan metode yang akan digunakan untuk
mencari nilai kritis permukaan gelincir, biasanya digunakan metode Grid and
Radius. Berikan nama pada analisis dan deskripsinya. Pertama kali kita mulai
bekerja menggunakan SLOPE/W, ini sangat bermanfaat untuk mempelajari
yang berbeda dari toolbars yang sudah ada. Kebanyakan dari perintah-perintah
yang tersusun dalam menubars juga tersedia sebagai ikon tersendiri pada
banyak toolbars yang berbeda. Kita bisa mengetahui fungsi toolbars dengan
cara mengkliknya agar aktif dan tidak aktif.

70
Gambar 1.60 Kotak dialog KeyIn Analyses pada program SLOPE/W.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

Ketika mengembangkan sebuah model menurut angka (numerical model),


langkah awal biasanya menyiapkan area kerja, yaitu menetapkan ukuran dari
area yang ada untuk mendefinisikan masalah. Area kerja bisa jadi lebih kecil,
sama atau lebih besar dari halaman cetakan. Langkah selanjutnya adalah
mengatur skala. Skala harus diatur seperti kecocokan luasan minimal dan
maksimal di SLOPE/W yang diperlukan untuk proses analisis. Tentukan
panjang sumbu x dan y untuk menemukan skala perkiraan lalu setel dengan
baik jadi kita punya aspek rasio 1:1.
Sebuah latar belakang dengan poin-poin grid akan membantu kita dalam
menggambar masalah. Sering menyimpan file adalah saran yang baik setelah
menyelesaikan setiap pengaturannya. Ini sering membantu untuk menggambar
sebuah sumbu. Sumbu digambar dengan menggerakkan kursor dari pojok kiri
bawah dan digeser ke arah luar. Angka-angka kenaikan bisa disesuaikan
menggunakan menu Set: Axis.
Sebelum menentukan geometri di SLOPE/W, ada baiknya pertama-tama
mensketsanya. Pilih Polylines dari menu Sketch atau gunakan ikon sketch
polyline. Gunakan kursor seperti pensil, klik kiri pada ketikus untuk membuat
sebuah garis. Garis-garis tersebut betul-betul objek yang dipertimbangkan,

71
yaitu bisa dibetulkan atau dihapus menggunakan menu Modify: perintah
Objects.
Ketika membuat model menurut angka (numerical model), pertama gambar
geometrinya; membuat dan menetapkan material-materialnya, gambar kondisi
tekanan air pori (pore-water pressure), dan gambar geometri permukaan
gelincir yang akan kendalikan model kegagalan yang akan kita analisis. Mulai
dengan menggambar geometri. Masing-masing area tanah dibuat
menggunakan menu Draw: perintah Regions. Klik kiri ketikus untuk membuat
titik-titik dari area tersebut. Ketika poligon dari area sudah tertutup, kita bisa
melanjutkan untuk menggambar area-area tanah yang lain, atau kita bisa
keluar dari mode gambar area.
Material-material pertama kali dibuat kemudian ditetapkan pada objek
geometrinya. Pilih sub menu Materials dari menu Draw. Klik pada KeyIn:
untuk membuat material. Menambahkan material baru, beri nama dan pilih
model kekuatan material dari daftar di bawahnya. Kita bisa menggunakan
tombol tab untuk pindah antar kotak-kotak edit. Untuk membuat material
kedua, kita punya pilihan; kita bisa menambahkan material yang lain atau kita
bisa menggandakan sama persis dengan material yang sudah ada. Material-
material sekarang bisa ditempatkan ke masing-masing area geometrinya.

72
Gambar 1.61 Kotak dialog KeyIn Materials pada SLOPE/W.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

Kondisi tekanan air-pori (pore-water pressure) untuk kedua tanah tersebut


akan ditentukan dengan sebuah garis piezometric. Pilih sub menu pore-water
pressure dari menu Draw. Tambahkan garis piezometric ke material-material
kemudian gambar garis pada profil material tersebut. Jika kita memodelkan
sebagian kemiringan direndam air, berat dari air tersebut akan otomatis
dimasukkan ke dalam analisis. Zona dibayang biru akan muncul bersamaan
dengan arah gaya dari air yang menampilkan resultan gaya air akan normal
digunakan ke garis dasar permukaan.
Pada awal sebelumnya, kita memilih metode Entry and exit untuk mengontrol
lokasi dari uji coba permukaan gelincir. Pilih sub menu Slip Surface pada
menu Draw. Gunakan kursor untuk menentukan zona dimana permukaan
gelincir akan masuk kemudian keluar pada garis dasar permukaan. Sekarang
penentuan masalah sudah selesai. Kita bisa mengecek kembali apa yang sudah
kita masukkan dengan cara yang berbeda. Contohnya, pilih sub menu object
information pada menu View. Klik ke area manapun untuk meninjau
spesifikasi tanah utamanya pada area tersebut. Cara lain untuk meninjau
kembali parameter yang sudah kita masukkan adalah menggunakan menu
Draw: Contours. Kita bisa menampilkan berbagai parameter kontur seperti
spesifikasi tanah dan tekanan air-pori (pore-water pressure). Perhatikan ketika
kita menentukan garis piezometric di SLOPE/W, program menganggap
tekanan air-pori (pore-water pressure) menjadi tekanan hidrostatik pada kedua
sisi bawah dan atas dari garis piezometric. Kita juga bisa melabeli kontur
tersebut. Kita bisa kembali untuk menampilkan warna-warna tanah dengan
menggunakan menu View: Preferences dari sub menu tersebut, atau
menggunakan ikon preferences yang tepat.

73
Gambar 1.62 Model permasalahan yang sudah selesai dibuat dengan SLOPE/W.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

Pilih sub menu Verify pada menu Tools dan SLOPE/W akan memproses
pengecekkan untuk melihat apakah ada kesalahan atau peringatan pada model
yang sudah dibuat. Setelah itu saatnya untuk memecahkan masalah tersebut.
2) SOLVE dan CONTOUR
Klik pada ikon SOLVE temukan pada Current Analysis Toolbar. Pilih tombol
start untuk mengaktifkan pemecahnya. Pada jendela pemecahnya kita akan
melihat faktor keamanan yang sudah dihitung dengan berbagai metode. Kita
bisa langsung meninjau kembali hasilnya dengan mengklik ikon CONTOUR
pada toolbar arus analisis (DEFINE, SOLVE, CONTOUR). Permukaan
gelincir yang paling kritis muncul bersamaan dengan faktor keamanan yang
paling kritis pula.

74
Gambar 1.63 Kotak dialog yang menampilkan faktor keamanan hasil dari proses SOLVE.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

Gambar 1.64 Tampilan kontur permukaan gelincir dengan nilai faktor keamanan paling kritis.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

75
Gunakan perintah pada menu Draw: sub menu Slip Surfaces untuk
mengembalikan kotak dialog yang meringkaskan faktor keamanan untuk
semua permukaan gelincir yang berbeda yang sudah dianalisis. Ketika kita
klik pada salah satu permukaan gelincir, kita akan tahu kedua alasan
permukaan gelincir dan yang berhubungan dengan faktor keamanan yang
tampil pada jendela CONTOUR. Kita juga bisa meninjau informasi gaya pada
potongan untuk menemukan mana permukaan gelincir yang paling kritis.
Gerakan kursor ke dalam bagian potongan manapun dan klik kiri ketikus
untuk memilih potongan. Informasi gaya bisa disalin dan ditulis ulang
langsung ke laporan atau lembar kerja.

Gambar 1.65 Kotak dialog Free Body Diagram dan Force Polygon pada ptotongan ke 10.
[ CITATION GEO08 \l 1033 ]

Walaupun kita informasikan kepada program ini untuk menggunakan metode


analisis Morgenstern-Price, kesimpulannya juga bisa didapatkan untuk tiga
metode lainnya termasuk Ordinary, Bishop dan Janbu. Kita bisa melihat
kesimpulan dari metode-metode tersebut dengan menggunakan sub menu atau
langsung ke toolbar Method. Ini sering kali sangat membantu untuk melihat
bagaimana parameter-parameter yang melewati permukaan gelincir berubah-
ubah. Untuk membuat sebuah grafik, pilih sub menu Graph pada menu Draw.
Ada banyak tipe grafik yang berbeda-beda yang bisa dikembangkan, termasuk
mengeplot tekanan air-pori yang melewati permukaan gelincir. Grafik
keduanya dan data kasarnya bisa disalin dari SLOPE/W dan dipindahkan ke
dalam sebuah laporan atau lembar kerja untuk analisis selanjutnya.

76
Pada mode awal, lokasi dari permukaan gelincir kritis ditampilkan di
CONTOUR; bagaimanapun kita bisa juga melihat lokasi permukaan gelincir
lainnya yang sudah dianalisis. Pilih sub menu Preferences dari menu View.
Pilih nomor dari permukaan gelincir yang akan dilihat secara serentak.
Permukaan gelincir untuk 10 (sepuluh) faktor keamanan terendah sudah
tergambar pada profil. Terkadang ini sangat menolong untuk berpikir ke
dalam syarat-syarat zona kegagalan seperti ditentang ke lokasi permukaan
gelincir yang spesifik. Sebuah peta keamanan bisa digambarkan di profil
untuk mengindikasi zona dari permukaan gelincir dengan faktor keamanan
yang hampir sama bisa berkembang.
3) Penambahan analisis tambahan
Fitur lain yang sangat canggih di GeoStudio 2007 adalah kemampuan untuk
perilaku perkalian analisis ke dalam sebuah file proyek. Jika kita ingin melihat
hasil dari masukan parameter yang berbeda pada geometri yang sama, kita
bisa menambahkan atau menggandakan analisisnya dengan menggunakan
menu KeyIn: kotak dialog Analysis. Analisis tambahan tersebut bisa sebagai
analisis tambahan yang berbeda (tidak terkait dengan analisis awal) maupun
analisis tambahan yang merupakan kelanjutan dari analisis sebelumnya.
b. SEEP/W
SEEP/W mempunyai tiga program eksekusi sama seperti SLOPE/W, yaitu
DEFINE untuk mendefinisikan model, SOLVE untuk menghitung menghasilkan
kesimpulan, dan CONTOUR untuk menampilkan kesimpulan perhitungan. Berikut
ini penjelasan beserta contohnya bagaimana menggunakan program-program ini
untuk menganalisis suatu rembesan pada bendungan.
1) DEFINE
Untuk analisis ini kita mulai dengan membuat proyek SEEP/W baru dari
halaman awal GeoStudio. Pilih tipe analisis apa yang akan kita lakukan dan
berikan nama dan deskripsinya. Pertama kali kita mulai bekerja dengan
SEEP/W, ini sangat membantu jika kita mempelajari toolbars yang berbeda-
beda yang sudah ada. Banyak perintah-perintah pada sub menu juga tersedia
sebagai ikon-ikon tersendiri pada banyak toolbars yang berbeda. Kita bisa
mengetahui fungsi toolbars dengan cara mengkliknya agar aktif dan tidak
aktif.

77
Gambar 1.66 Kotak dialog KeyIn Analyses pada SEEP/W.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

Ketika mengembangkan model dengan angka, langkah pertama biasanya


mengatur area kerja. Ini menentukan ukuran dari ruang yang ada. Area kerja
bisa jadi lebih kecil, sama atau lebih besar dari halaman pencetak. Langkah
berikutnya adalah mengatur skala. Skala harus diatur seperti kecocokan luasan
minimal dan maksimal di SEEP/W yang diperlukan untuk proses analisis.
Tentukan panjang sumbu x dan y untuk menemukan skala perkiraan lalu setel
dengan baik jadi kita punya aspek rasio 1:1. Sebuah latar belakang dengan
poin-poin grid akan membantu kita dalam menggambar masalah. Ini sangat
membantu untuk membuat sketsa aksis. Aksis digambar dengan
menggerakkan kursor dari pojok kiri bawah dan ditarik ke arah luar aksis.
Angka-angka kenaikan bisa disesuaikan menggunakan menu Set: Axis.
Sebelum menentukan geometri di SEEP/W, ada baiknya pertama-tama
mensketsanya. Pilih Polylines dari menu Sketch atau gunakan ikon sketch
polyline. Gunakan kursor seperti pensil, klik kiri pada ketikus untuk membuat
sebuah garis. Garis-garis tersebut betul-betul objek yang dipertimbangkan,
yaitu bisa dibetulkan atau dihapus menggunakan menu Modify: perintah
Objects. Pendekatan ini digunakan ketika mengembangkan model dengan
angka untuk menggambar geometrinya. Membuat dan menetapkan material,

78
membuat dan menetapkan kondisi-kondisi batas (boundary condition) dan
akhirnya meninjau kembali dan menyetel dengan sebaik-baiknya jaring-jaring
elemen batas.
Mulai dengan menggambar geometri. Masing-masing area tanah dibuat
menggunakan menu Draw: perintah Regions. Klik kiri ketikus untuk membuat
titik-titik dari area tersebut. Ketika poligon dari area sudah tertutup, kita bisa
melanjutkan untuk menggambar area-area tanah yang lain, atau kita bisa
keluar dari mode gambar area. Material-material pertama kali dibuat kemudian
ditetapkan pada objek geometrinya. Pilih sub menu Materials dari menu
Draw. Klik pada KeyIn: untuk membuat material. Menambahkan material
baru, beri nama dan pilih model kekuatan material dari daftar di bawahnya.
Untuk analisis pada keadaan tetap (steady-state), hanya membutuhkan fungsi
dari konduktivitas yang ditentukan. Tombol yang berupa “titik-titik”
digunakan secara luas di dalam GeoStudio untuk mengindikasi penambahan
fitur yang bisa diakses. Klik pada tombol ini untuk membuat fungsi
konduktivitas hidrolik. Klik tombol add, berikan nama pada fungsi tersebut
dan pilih tipenya dari daftar di bawahnya. Pada contoh kasus ini ditentukan
titik-titik data yang membentuk fungsi tersebut berupa matriks, yang mana
nilainya positif, dan konduktivitas hidrolik. Seringkali pada 2 titik fungsi
pertama cukup sebagai titik awal. Penambahan titik bisa ditambahkan dan
biasa dengan mengedit fungsi secara langsung. Ketika kita sudah bisa
membuat fungsi konduktivitas hidrolik ini, kita lalu bisa menutup kotak dialog
KeyIn: Hydraulic conductivity untuk kembali ke tampilan kotak dialog KeyIn:
Material Properties. Sekarang fungsinya sudah diberikan ke tanah tersebut.

79
Gambar 1.67 Tampilan kotak dialog KeyIn Materials pada SEEP/W.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

Jika model material hanya ditinjau sebagai saturated, maka kita tidak perlu
memasukkan fungsi konduktivitas hidroliknya. Cukup dengan mengisi nilai
saturated conductivity. Sehingga bisa dianggap nilai konduktivitasnya tetap.
Hal ini akan mempermudah dalam memasukkan data untuk materialnya.

80
Gambar 1.68 Tampilan kotak dialog KeyIn Hydraulic Conductivity Functions.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

Sekarang material bisa diberikan area geometrinya. Menyimpan file secara


berkala adalah saran yang baik. Kondisi batas (boundary conditions) dibuat
dan diberikan ke material tersebut. Terkadang penambahan sketsa informasi
ke dalam geometri sangat membantu jadi kita tahu dimana menentukan
kondisi-kondisi batas tersebut. Ketinggian reservoir untuk analisis ini diatur
setinggi 11 m. Pilih sub menu Boundary Conditions dari menu Draw. Sudah
tersedia dua kondisi batas yang siap digunakan untuk dimodifikasi atau
langsung digunakan. Kita bisa juga membuat kondisi batas sendiri dengan
mengklik tombol Add. Pada contoh ini, kita membutuhkan kondisi batas yang
akan merefleksikan reservoir dengan ketinggian 11 m.
Ketika kondisi batas sudah dibuat, kita lalu bisa mengaplikasikannya ke area
geometri. Kondisi batas tekanan nol (zero pressure boundary condition) akan
diaplikasikan pada sisi hilir, yang merupakan titik ujung bawah dari geometri.
Muka potensial rembesan akan diaplikasikan ke permukaan hilir, yang
merupakan bidang miring. Muka potensial rembesan adalah kondisi batas
khusus yang digunakan ketika kita ingin pemecah masalah menempatkan
posisi dimana muka rembesan mungkin terjadi. Untuk memisahkan area yang

81
miring kita bisa menggunakan kondisi batas (boundary condition), seperti
pada total ketinggian reservoir yang hanya sebagaian dari kemiringan tersebut,
kita perlu menyisipkan sebuah titik area. Kondisi batas bisa mudah dihapus
dari geometri dengan baik.
Sekarang geometri sudah tergambar, spesifikasi material sudah dibuat dan
ditetapkan dan kondisi batas sudah diberikan, saatnya untuk meninjau ulang
batasan elemen. Kita bisa melihat jaring batasan elemen menggunakan menu
Draw: Mesh Properties. Penjaringan algoritma di dalam SEEP/W sudah diatur
untuk menggunakan elemen global. Untuk membuat jaring lebih baik lagi,
ketik ke dalam ukuran global elemen yang lebih kecil, ini yang terbaik untuk
mulai dengan kondisi jaring awal dan memaksa jaring hanya jika dibutuhkan.
Jaring batasan elemen akan menghilang saat kita keluar dari menu Draw:
Mesh Properties view. Jika kita ingin itu tetap aktif, kita bisa klik ikon view
mesh pada tampilan pilihan toolbars.
Salah satu tujuan dari analisis ini adalah untuk menghitung jumlah aliran yang
melewati bendungan urugan. Untuk melakukan ini, kita bisa menggunakan
flux section. Flux section digunakan untuk mengidentifikasi elemen dimana
kita ingin software menghitung dan melaporkan jumlah dari aliran yang
melewati setiap elemen selama proses pemecahan masalah. Sekarang saatnya
memecahkan masalah tersebut.

Gambar 1.69 Model bendungan urugan tanah yang sudah selesai dibuat dengan SEEP/W.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

2) SOLVE dan CONTOUR


Pemecah masalah pada SEEP/W bisa dijalankan dengan mengklik ikon
SOLVE. Klik tombol start untuk mengaktifkan pemecah masalahnya. Kita bisa
melihat hasilnya secara langsung dengan klik ikon CONTOUR pada toolbar
analisis. Dengan pengaturan awal hasil dari CONTOUR akan memasukkan

82
garis vektor kecepatan pada lokasi kontur tekanan nol (zero pressure) dan
kontur total ketinggian (total head).
Hasil dari flux section bisa ditampilkan dengan memilih sub menu flux labels
dari menu Draw. Klik pada flux section akan membuat nilai total flux muncul.
Nilai ini adalah jumlah total dari aliran yang melewati flux section per unit
lebarnya. Jejak aliran mencerminkan jejak aliran air yang akan berjalan dari
reservoir menuju ke tubuh bendungan. Menggambar jejak aliran dengan
menggunakan sub menu yang tepat dan klik dengan kursor dimana pun selama
di dalam area profil. Kita bisa menghapus jejak aliran dengan mengklik pada
sub menu yang sama untuk kedua kalinya. Ini sangat penting untuk diingat
bahwa jejak aliran tidak sama dengan garis aliran.
Ingat, kapanpun kita bisa merubah cara informasi CONTOUR ditampilkan
dengan menggunakan menu View kemudian pilih sub menu Preferences. Kita
bisa juga mendapatkan kembali informasi dari lokasi yang spesifik pada profil
tersebut. Pilih menu View: Result Information dan klik ke lokasi yang kita
inginkan. Jika kita menahan tombol CTRL pada keyboard, kita bisa
mengumpulkan informasi dari beberapa lokasi yang berbeda.
Kita bisa melabeli konturnya menggunakan menu Draw: Contour Labels. Ada
banyak tipe yang berbeda pada setiap parameter yang bisa kita buat konturnya.
Gunakan menu Draw: Contours untuk melihat beberapa hasil yang berbeda.
Tersedia tiga opsi awal kontur, tapi kita juga bisa menambah opsi lainnya ke
daftar menggunakan tombol Add.

Gambar 1.70 Hasil analisis rembesan yang terjadi pada tubuh bendungan urugan tanah dengan
SEEP/W.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

Ini sering membantu untuk melihat hasil berupa grafik. Untuk membuat
grafik, pilih sub menu Graph pada menu Draw. Ada banyak grafik yang
berbeda yang bisa dikembangkan termasuk profil tekanan air-pori yang

83
melewati tengah-tengah dari bendungan atau batas dari flux yang
meninggalkan jaring dari node pada bagian muka rembesan hilir.
Yang baru dari GeoStudio 2007 adalah fitur laporan. Jika kita butuh untuk
menghasilkan sebuah laporan dari data yang dimasukkan, pilih sub menu
Report pada menu View. Ketika kita menyimpan file laporan tersebut, program
pengolahan kata bawaan akan terbuka dengan laporan yang dihasilkan
sebelumnya. Kita bisa menyisipkan gambar-gambar, menerapkan model latar
atau menambah dan menghapus data.
3) Menambahkan analisis baru
Salah satu fitur unggulan dari GeoStudio 2007 adalah berkemampuan untuk
menjalankan banyak analisis yang berbeda dengan proyek file yang sama.
Geometri adalah proyek spesifik yang harus dipertimbangkan, tetapi kita bisa
merubah kondisi batas, spesifikasi material atau analisis yang berbeda
sekalipun. Satu contoh misalnya untuk sekarang menggunakan SEEP/W
dihitung tekanan air-pori ke dalam analisis stabilitas menggunakan SLOPE/W.
Atau kita bisa menggunakan hasil dari simulasi steady-state sebagai sebuah
langkah awal untuk simulasi sementara dimana kita bisa saja memodelkan
rapid drawdown pada reservoir. Kita bisa juga memasukkan analisis
bertingkat dalam sebuah file proyek yang tidak bergantung pada yang lainnya.
Ini cara yang tepat untuk memeriksa skenario yang berbeda untuk geometri
yang sama.
Sebagai sebuah contoh, bisa menjalankan kembali simulasi steady-state ini
dengan mengasumsikan ada lapisan drainase yang dipasang di kaki bagian
hilir. Sisanya sama semenjak material ditentukan ke area tersebut. Kita akan
membuat analisis kembaran daripada memulai dengan yang baru. Hasilnya
berdiri sendiri dari simulasi pertama yang telah kita lakukan, jadi kedua
simulasi tersebut harus benar-benar dipertimbangkan seperti kembaran satu
dengan yang lainnya. Dengan menentukan lagi kondisi batasnya untuk
mencerminkan drainase pada kaki bendungan, kita bisa memecahkan masalah
tersebut dan melihat hasil yang baru untuk lapisan drainase yang dipasang di
kaki bagian hilir.

84
Gambar 1.71 Hasil analisis rembesan pada tubuh bendungan urugan tanah yang mempunyai saluran
drainase pada kaki bagian hilir dengan SEEP/W.
[ CITATION GEO07 \l 1033 ]

c. SIGMA/W
SIGMA/W mempunyai tiga program eksekusi sama seperti software sebelumnya,
yaitu DEFINE untuk mendefinisikan model, SOLVE untuk menghitung
menghasilkan kesimpulan, dan CONTOUR untuk menampilkan kesimpulan
perhitungan. Berikut ini penjelasan beserta contohnya bagaimana menggunakan
program-program ini untuk menganalisis suatu penurunan pada tubuh bendungan.
Ini contoh yang agak sederhana dari simulasi konstruksi bertahap dari sebuah
bendungan urugan pada permukaan tanah yang lunak. Bagian-bagian yang utama
dalam contoh ini adalah untuk mendemonstrasi dan membuktikan berdasarkan
penggunaan elemen tak terbatas (infinite elements), penggunaan fungsi undrained
strength dan penggunaan fungsi E-modulus.
1) DEFINE
Tanah akan ditempatkan dalam 8 tingkatan/lapisan. Memulai analisis dengan
menetapkan kondisi insitu stress, dan diikuti dengan delapan analisis yang
merupakan penempatan tanah tersebut yang ditampilkan dengan mengikuti
analisis seperti diagram pohon atau bercabang atau turunan. Berikut
penampilan urutan analisis yang dimasukkan pada KeyIn Analyses.

85
Gambar 1.72 Kotak dialog KeyIn Analyses pada SIGMA/W.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Gambar 1.73 Tampilan konfigurasi masalah yang akan dianalisis.


[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Perilaku total stress undrained diasumsikan untuk fondasinya, kekuatan


(strength) dispesifikasikan sebagai Cu dan E-modulus dipertimbangkan
menjadi total stress modulus. Material urugan diasumsikan sebagai tanah
berbutir halus yang tidak kaku. Gambar berikut merupakan profil dari
undrained strength untuk material pondasinya. Untuk di atas dua meter atau

86
lebih, kekuatannya konstan sekitar 40 kPa. Di bawah dari itu, kekuatannya
meningkat rata-rata sekitar 20 kPa per meter.

Gambar 1.74 Fungsi dari undrained strength pada material pondasi.


[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Setelah tanah ditimbun, tegangan (stress) akan meningkat, tapi kita tidak ingin
kekuatannya meningkat, sejak dianggap berkelakuan sebagai cara undrained.
Konsekuensinya, perlu untuk memilih menggunakan Initial Stress. Ini
memperhitungkan Cu pada saat mulai di awal insitu stresses kemudian
menahan Cu tetap selama memuat urugan secara bertahap. Pendekatannya
sama dengan menggunakan fungsi dari E-modulus pada gambar berikut.

87
Gambar 1.75 Fungsi E-modulus pada pondasi.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Elemen-elemen tidak terbatas (infinite elements) pada pondasi digunakan di


kedua sisi batas dari masalah tersebut. Cara ini sangat tepat pada perpanjangan
batas area tanpa memperpanjang area pada lembar kerja. Cara berpikir yang
terbaik tentang elemen-elemen tak terbatas di dalam analisis SIGMA/W seperti
itu mereka menganalogikan sebuah pegas pada kondisi batas. Batasan tersebut
tidak tetap, tetapi juga tidak bergerak bebas sama sekali. Cara yang paling
efektif digunakan pada elemen-elemen tidak terbatas adalah dengan
memperlakukan mereka menjadi sebuah material yang Linear-Elastic.
Berikutnya masalah tersebut bisa diproses untuk mendapatkan hasil
perhitungannya.

2) SOLVE dan CONTOUR


Pemecah masalah pada SIGMA/W bisa dijalankan dengan mengklik ikon
SOLVE. Klik tombol start untuk mengaktifkan pemecah masalahnya. Kita bisa
melihat hasilnya secara langsung dengan klik ikon CONTOUR pada toolbar
analisis. Dengan pengaturan awal hasil dari CONTOUR akan ditampilkan
gambar perpindahan/penurunan urugan tanah yang diikuti dengan penurunan
pondasi.

88
Gambar 1.76 Hasil analisis penurunan tanah urugan dan pondasi setelah proses penimbunan secara
bertahap dengan SIGMA/W.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Selain itu kita juga bisa melihat grafik hasil analisis pada proses penurunan
tanah tersebut. Pilih sub menu Graph pada menu Draw. Kemudian pilih New
pada Add untuk membuat grafik baru. Grafik yang dibuat bisa merupakan
hubungan antar parameter apa saja yang sudah dimasukkan sebelumnya dan
juga hasil dari analisis. Salah satu grafik tersebut adalah penampilan kekuatan
geser undrained pondasi (Cu profile) yang merupakan hubungan antara
spesifikasi material undrained shear strength dengan kedalaman tanah pondasi
(Y) selama penimbunan secara bertahap. Keterangan dalam detik pada sisi
kanannya merupakan tahap penimbunan pada kenyataan kasus ini. Ulasan
pada profil pondasi tersebut sama untuk semua tahap penimbunan yang
diharapkan pada simulasi perilaku undrained. Ini juga kasus untuk modulus
awal (Ei) yang merupakan hubungan antara spesifikasi material E-modulus
awal dengan kedalaman tanah pondasi (Y). Tanah pondasi ditentukan sebagai
model Hiperbolik konstitutif, yang berarti tangent modulus Et akan berubah
saat tegangan geser meningkat dengan penambahan beban.

89
Gambar 1.77 Kotak dialog Draw Graph yang menampilkan grafik C profile pada pondasi.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Gambar 1.78 Kotak dialog Draw Graph yang menampilkan grafik Ei profile pada pondasi.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

90
Gambar 1.79 Kotak dialog Draw Graph yang menampilkan grafik Et profile pada pondasi.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Gambar di bawah ini menampilkan bagaimana respon dari elemen-elemen tak


terbatas (infinite elements). Perlu diperhatikan bagaimana elemen-elemen tak
terbatas telah ditekan layaknya pegas, membiarkan pondasi tanah tersebut
untuk bergerak ke kiri. Ini sangat penting untuk selalu berhati-hati terhadap
fakta dari tepi dari elemen tak terbatas adalah sangat dekat ketika digambarkan
tapi secara fisik dan menurut angka pengukuran tepi sebelah luar itu sangat
jauh, jauh sekali dari sebelah kiri pada diagram ini.

Gambar 1.80 Potongan sebelah kiri dari respon elemen-elemen tak terbatas pada pondasi.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

91
Penurunan vertikal sepanjang profil pada garis tengah urugan ditampilkan
pada gambar berikut. Yang berarti respon dari penurunan terbesar bukan pada
puncak bendungan. Pada gambar berikut ini ditampilkan sesuai keadaan
masing-masing, yaitu ketika kondisi insitu, ketika urugan lapisan pertama
selesai hingga lapisan ke delapan dengan warna-warna yang berbeda.
Penempatan profil penurunan vertikal tersusun dari yang paling kanan (insitu)
hingga ke yang paling kiri (urugan ke delapan).

Gambar 1.81 Kotak dialog Draw Graph yang menampilkan grafik profil penurunan vertikal sepanjang
garis tengah urugan.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Perpindahan profil sepanjang garis asli permukaan digambarkan pada grafik


berikutnya. Perhatikan bagaimana penurunan di pusat bagian bawah dari
urugan, tapi terangkat/menyembul pada bagian ujung dalam dan luar urugan
tersebut. Kondisi awal (insitu) berada pada garis datar permukaan, lama
kelamaan akibat pengurugan tanah pada bagian tengah mengalami penurunan
sedangkan pada bagian ujung dalam dan luar mengalami
pengangkatan/penyembulan. Ini juga dapat jelas terlihat pada kerusakan
bentuk profil urugan tersebut. Pada urugan bagian tengah terlihat turun,
sedangkan pada bagian ujung dalam dan luar terlihat mengembang.

92
Gambar 1.82 Kotak dialog Draw Graph yang menampilkan grafik penurunan sepanjang garis
permukaan asli.
[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

Gambar 1.83 Kerusakan bentuk area memperlihatkan adanya pergerakan.


[ CITATION GEO071 \l 1033 ]

3) Penjelasan tentang memodelkan penempatan tanah


Sangat sulit untuk membuat model penempatan lapisan-lapisan tanah
menggunakan non-linear constitutive relationship, terutama ketika tanah
punya sedikit atau tidak punya kekuatan kohesif. Alasan untuk ini adalah
rendahnya tingkat tekanan yang mengikat. Semua model non-linear
constitutive cenderung untuk rusak karena tekanan yang mengikat mendekati

93
nol. Misal pasir dengan c = nol. Untuk sebuah situasi, kekuatan mendekati nol
ketika tekanan yang mengikat mendekati nol. Sama halnya dengan kekakuan
tanah cenderung menuju nol, membuat ini mustahil untuk menghasilkan solusi
yang sebenarnya pada persamaan-persamaan elemen batas. Disarankan
mengikuti salah satu pentunjuk di bawah ini:
a) Gunakan parameter undrained strength untuk tanah yang mana mungkin
tidak seperti realita, biasanya sejak tanah dipadatkan dengan baik,
b) Gunakan properti Linear-Elastic untuk tanah dan kemudian ketika urugan
selesai, lakukan pembagian tekanan kembali jika itu dianggap sebagai hal
yang perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada zona yang tertekan pada
tanah.
Kita akan mengalami kesulitan menggunakan model tanah non-linear untuk
tanah tersebut jika mengatur nilai kohesi sama dengan nol atau mendekati nol.
Disarankan tidak melakukan hal ini. Minimal kita harus mulai dengan properti
Linear-Elastic pada tanah untuk memastikan semua ketetapan kondisi batas
dan tahap-tahap analisis seperti yang diharapkan. Kemudian kita bisa mencoba
untuk memperbaiki analisisnya jika diperlukan.
d. QUAKE/W
QUAKE/W mempunyai tiga program eksekusi sama seperti software sebelumnya,
yaitu DEFINE untuk mendefinisikan model, SOLVE untuk menghitung
menghasilkan kesimpulan, dan CONTOUR untuk menampilkan kesimpulan
perhitungan. Berikut ini penjelasan beserta contohnya bagaimana menggunakan
program-program ini untuk menganalisis suatu pergerakan pada tubuh bendungan
ketika terjadi gempa. Ini contoh yang sederhana dari simulasi terjadinya gempa
pada sebuah bendungan urugan.
1) DEFINE (insitu static analysis)
Langkah pertama adalah mengkonfigurasikan model masalahnya. Pada
gambar berikut ini merupakan masalah yang harus digambarkan. Pada
dasarnya ini adalah sebuah bendungan urugan tanah berdiri pada elevasi 8
meter di lapisan yang hampir lepas yaitu tanah endapan. Urugan setinggi 5
meter dengan kemiringan 2:1. Bendungan menahan tampungan air dengan
total tampungan pada elevasi 12 m. Dimensi-dimensi yang lainnya
ditampilkan melalui sketsa berikut.

94
Gambar 1.84 Konfigurasi model yang akan dianalisis dengan QUAKE/W.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Bendungan berisi butiran-butiran pada bagian drainase bawah untuk


mengontrol rembesan yang melalui tubuh bendungan. Saluran drainase itu
sendiri sebenarnya tidak dimasukkan ke dalam analisis, tetapi dianggap ketika
menentukan garis permukaan air. Pada bagian hilir, permukaan air berada
sama dengan permukaan tanah. Untuk analisis, geometri dari gambar tersebut
digambarkan dengan dua region/wilayah, satu wilayah untuk pondasi dan yang
kedua untuk urugannya.

Analisis yang objektif digunakan untuk menginvestigasi respon dari tanah


dasar dan struktur bendungan ketika dihadapkan dengan gempa bumi, dan
memeriksa adakah beberapa kemungkinan kenaikan kelebihan tekanan air-
pori yang kembali bisa menyebabkan pencairan pada tubuh bendungan.
Struktur tersebut akan dihadapkan kepada gempa bumi yang guncangannya
sesuai dengan rekaman time-history yang ditampilkan pada gambar berikut.
Puncak percepatannya bernilai 0.12 g dan durasi waktunya selama 10 detik.

95
Gambar 1.85 Rekaman time-history gempa bumi.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Langkah pertama pada beberapa analisis QUAKE/W adalah menetapkan


kondisi-kondisi tetap insitu stress yang ada sebelum adanya gempa bumi.
ketetapan lainnya diperlukan menetapkan tegangan-tegangan statis awal
(initial static stresses) sebelum struktur dihadapkan kepada aksi dinamis. Pada
QUAKE/W initial insitu static stress bisa dihitung dengan tipe analisis Initial
Static. Dua hal spesifikasi tanah yang paling penting dibutuhkan untuk analisis
Initial Static adalah total unit weight dari material dan Poisson’s ratio (v).
Poisson’s ratio sangat penting karena mempunyai pengaruh pada Ko yaitu
koefisien tekanan bumi pada keadaan diam. Untuk analisis 2 dimensi seperti
yang kita lakukan, Ko sama dengan v/(1-v). Poisson’s ratio ditetapkan sebesar
0.334 (1/3) untuk masalah ini yang mana merepsentasikan sebuah kondisi Ko
sama dengan 0.5.
Kondisi-kondisi batas untuk analisis insitu, sepanjang ujung vertikal dari
masalah tersebut, kita harus menentukan kesamaannya dengan rol-rol. Ini
dilakukan dengan menentukan sebuah kondisi nol kepada x-displacement
sepanjang tepi-tepinya. Permukaan bebas bergerak pada arah vertikal, tetapi
tetap pada arah horizontal. Masalahnya penetapan sepanjang dasarnya. Ini

96
diselesaikan dengan menentukan perpindahan menjadi nol di kedua arah yaitu
horizontal (x) dan vertikal (y).

Gambar 1.86 Kondisi-kondisi batas untuk analisis Initial Static.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Untuk menghitung tegangan total dan efektif yang benar, ini membutuhkan
menggunakan berat dari tampungan air sebagai batas kondisi. Arah panah
yang tegak lurus ke permukaan pada gambar di atas secara grafis
merepresentasikan tekanan air. Berat dari air atau tekanan dari air ditentukan
dengan tipe batas Fluid Pressure. Dengan kondisi batas tipe ini, membutuhkan
spesifikasi dari elevasi keadaan air penuh dan berat jenis dari air.
Tekanan awal air-pori ditentukan dan dihitung dari penetapan batas muka air.
Batas muka air terbentang sepanjang permukaan tampungan air seperti yang
seharusnya. Kemudian diteruskan dengan sebuah garis lurus ke dalam urugan
dari elevasi muka air penuh pada ujung bagian hulu sampai ke drainase
bawah. Kemudian diteruskan kembali dengan sebuah garis horizontal sampai
ke ujung paling kanan dari masalah tersebut pada bagian elevasi permukaan
hilir.
Setelah masalah selesai ditentukan dengan bentuk geometrinya, kondisi-
kondisi batasnya dan spesifikasi materialnya, masih membutuhkan untuk
mengecek jaring element terbatasnya yang tepat untuk analisis ini. Jaring
tersebut bisa ditampilkan dan dimodifikasi dengan perintah Draw Mesh
Properties. Pada kasus ini, hal itu sudah dispesifikasi terhadap elemen global
yang ukurannya harus sekitar 1 m. Dengan ini dan hanya spesifikasi ukuran
pengguna, kondisi awal jaring dipresentasikan pada gambar di bawah ini, yang
dianggap memadai untuk analisis khusus ini.

97
Gambar 1.87 Jaring elemen terbatas.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

2) SOLVE dan CONTOUR (insitu results)


Klik toolbar Solve Analyses untuk memulai perhitungan analisis initial insitu
stress. Untuk melihat hasilnya klik toolbar Contour. Ada banyak cara yang
berbeda untuk memeriksa hasil perhitungan insitu stresses. Salah satu caranya
adalah dengan melihat kontur total dan effective vertical stress, seperti yang
ditampilkan pada gambar di bawah ini. Perhatikan bagaimana tegangan total
(total stress) di bawah reservoir yang permukaannya horizontal nilainya
sekitar 40 kPa. Kesesuaiannya terhadap kontur tegangan efektif (effective
stress) mendekati nol yang tepat sebagaimana mestinya. Berat jenis air telah
ditentukan sebesar 10 kN/m3. Ini semata-mata hanya untuk mempermudah
saja. Dengan rentetan nomor seperti ini, sangat mudah membuat perhitungan
untuk mengecek hasil-hasilnya yang bernilai dan seperti yang diharapkan.

Gambar 1.88 Kontur total vertical stress.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

98
Gambar 1.89 Kontur effective vertical stress.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

3) DEFINE (dynamic analysis)


Setelah insitu static stresses selesai ditentukan, langkah berikutnya melakukan
analisis dinamis atau getaran. Dengan perintah KeyIn Analyses, analisis
QUAKE/W yang baru dibuat yang menggunakan analisis sebelumnya ”Parent”
yaitu Initial Static Analysis. Keduanya kondisi tegangan awal dan kondisi
tekanan air-pori diperoleh dari analisis sebelumnya (Parent analysis). Tipe
analisis yang digunakan disini adalah Equivalent Linear Dynamic.
Kondisi-kondisi batas pada ujung-ujung vertikal pada masalah yang akan
dihitung harus diubah untuk melakukan analisis dinamis. Sekarang pergerakan
vertikal ditetapkan, tetapi tanah diperbolehkan bergerak lateral. Perhatikan
perbedaan simbol-simbol kondisi batas sepanjang ujung pada gambar berikut.
Kondisi ini membolehkan tanah untuk bergoyang-goyang dari sisi satu ke sisi
lainnya ketika percepatan gempa horizontal digunakan.

Gambar 1.90 Kondisi-kondisi batas untuk analisis dinamis.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Pada QUAKE/W, pemilihan poin-poin dapat ditandai dimana hasil-hasil akan


disimpan untuk setiap waktu saat mengintegrasikan melalui rekaman gempa.
Mereka diketahui sebagai poin sejarah (history point). Dua poin sejarah telah

99
ditentukan disini. Mereka berbentuk dua kotak kecil berwarna merah yang
ditampilkan pada gambar berikut.

Gambar 1.91 Letak History Points pada model.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Perilaku dasar dari tanah akan diperlakukan sebagai linear elastic. Nilai
modulus geser (Gmax) sebesar 5000 kPa untuk kedua material tersebut yaitu
pondasi dan tanah urugannya. Rasio kelembapannya dianggap konstan yaitu
0.1 (10%). Kemudian untuk membuat perhitungan kelebihan tekanan air-pori
yang bisa saja bertambah karena goncangan, ini dibutuhkan sebagai minimal
untuk menentukan dua fungsi. Fungsi itu disebut fungsi Rasio Tekanan Air-
pori (Pore-Pressure Ratio) dan fungsi nomor siklus (Cyclic Number). Pada
contoh ini kita menggunakan contoh fungsi yang ditampilkan pada gambar
berikut ini. Fungsi Cyclic Number pada gambar tersebut menggambarkan
fungsi dari contoh untuk jenis pasir lepas. Pada material urugan dianggap
menjadi tanah yang non-liquefiable, dan juga tidak ada fungsi tekanan air-pori
yang ditetapkan pada material ini.

100
Gambar 1.92 Pore-pressure ratio function.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Gambar 1.93 Cyclic number function.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

QUAKE/W diformulasikan pada basis skema integrasi waktu. Ini artinya


langkah-langkah pada QUAKE/W mengikuti rekaman gempa pada interval
waktu yang spesifik dan melakukan analisis elemen terbatas untuk setiap

101
periode waktunya. Biasanya, periode waktunya sama dengan waktu interval
dari data poin dimana gempa itu direkam. Pada analisis ini, data poin rekaman
gempa punya waktu interval 0.02 detik, membuat sebuah jumlah data
sebanyak 500 data poin untuk durasi selama 10 detik. Artinya akan ada 500
periode waktu atau 500 analisis elemen terbatas. Pada pengaturan awal,
QUAKE/W menyimpan data pada 20 puncak tertinggi dalam rekaman gempa.
Dalam penambahannya telah ditetapkan pada data harus disimpan setiap
periode waktu ke 50.

4) SOLVE dan CONTOUR (dynamic analysis)


Seperti pada penjelasan analisis statis sebelumnya, ada banyak cara untuk
menyajikan dan menampilkan hasil perhitungan dan ini terutama berlaku pada
analisis bagian dinamis. Hanya sebuah percontohan dari apa yang bisa
dilakukan dan akan ditampilkan berikut ini. Kita sudah menentukan History
Point pada puncak bendungan dan pada dasar dari masalah tersebut. Dengan
perintah pada sub menu CONTOUR Graph pada menu CONTOUR, kita bisa
membuat grafik yang spesifik tentang History Point. Ini bisa dilakukan, untuk
contoh membuat grafik hubungan antara x-accelerations dengan waktu pada
puncak dan dasarnya yang digambarkan bersama dalam satu gambar. Nilai
pada bagian dasarnya adalah replikasi dari data masukannya, yaitu data
masukan rekaman gempa. Menampilkan kembali data masukan rekaman yang
puncaknya 0.12 g. Seperti yang tergambar jelas pada gambar berikut ini,
puncak dari kecepatan horizontal pada puncak bendungan mencapai nilai lebih
dari 0.3 g, mengindikasikan ada sebuah penambahan gerakan pada puncak
bendungan.

102
Gambar 1.94 Horizontal accelerations pada puncak bendungan dibandingkan dengan data masukan di
dasarnya.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Pada gambar berikutnya ditampilkan profil perpindahan lateral terhadap garis


tengah bendungan. Gambar yang pertama menampilkan perpindahan total atau
maksimal. Perpindahan maksimal termasuk pergerakan dasar dari masalah
tersebut, bergerak bersama dengan penambahan relatif gerakan terhadap
dasarnya. Gambar yang kedua menampilkan perpindahan relatif pada dasar
yang tetap. Pada analisis QUAKE/W sangat penting untuk berhati-hati pada
fakta yang hanya perpindahan relatif menimbulkan tegangan geser dinamis
dan hanya tegangan geser dinamis tersebut yang mengarahkan pada
pembangkitan tekanan air-pori yang berlebihan.

103
Gambar 1.95 Profil perpindahan lateral maksimal terhadap garis tengah bendungan.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Gambar 1.96 Profil perpindahan lateral relatif terhadap garis tengah bendungan.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Kemudian gambar berikut ini menampilkan perpindahan relatif sebagai


perubahan bentuk jaring-jaring pada dua waktu yang berbeda. Kedua diagram
ini mengilustrasikan goyangan pada permukaan tanah selama terjadi gempa.
Pada gambar pertama menggambarkan perpindahan relatif saat detik ke 4

104
goncangan. Sedangkan gambar yang kedua menggambarkan perpindahan
relatif saat detik ke 4.52 goncangan.

Gambar 1.97 Perpindahan relatif pada detik ke 4 saat goncangan.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Gambar 1.98 Perpindahan relatif pada detik ke 4.52 saat goncangan.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Pada analisis Equivalent Linear, parameter kuncinya didapatkan pada Cyclic


Stress Ratio (CSR). Angka ini digunakan bersamaan dengan fungsi Cyclic
Number yang dibahas sebelumnya untuk mengidentifikasikan kemungkinan
likuifaksi (liquefaction). Pada contoh ini, CSR lebih besar dari 0.2 akan
mengidentifikasikan kemungkinan terjadinya likuifaksi seperti yang tertera
pada gambar berikut ini.

105
Gambar 1.99 Kontur Cyclic Stress Ratio.
[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Gambar 1.100 Zona yang potensial terjadi likuifaksi (liquefaction).


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

Informasi yang menarik lainnya adalah pembangkitan tekanan air-pori yang


berlebih, seperti yang ditampilkan pada gambar berikut ini. Yang menarik
nilai tertinggi dari tekanan air-pori terjadi pada sisi hilir, dimana terdapat
kantong dari tekanan air-pori yang berlebih yang bernilai 30 kPa. Sedangkan
pada sisi hulu yang terbesar hanya bernilai 25 kPa.

Gambar 1.101 Kontur tekanan air-pori yang berlebih pada pondasi.


[ CITATION GEO072 \l 1033 ]

1.4.3 Stabilitas Bendungan Beton

Dasar-dasar perencanaan bendungan beton berdasar berat sendiri dapat dijelaskan


dibawah ini:

a. Stabilitas konstruksi
Suatu bendungan beton berat sendiri harus memenuhi 4 syarat yang penting, yaitu:

106
1) Tidak mengalami penggulingan (overturning)

Gambar 1.102 Keamanan terhadap bahaya penggulingan.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]
Keterangan gambar:
Ht : gaya horisontal total yang menekan bendungan,
Vt : gaya vertikal total yang menekan tanah di bawah pondasi,
MAh : momen horizontal di titik A,
MAv : momen vertikal di titik A,

n=
∑ M Av ≥ 1 ,50 (1.32)
∑ M Ah
Dimana:

n : angka keamanan terhadap penggulingan,

MAv : momen vertikal total terhadap titik A,

MAh : momen horizontal total terhadap titik A.


Dapat dicari letak eksentrisitasnya apabila resultante gaya Ht dan Vt disebut
Rt maka garis gaya R akan memotong dasar bendungan di titik D. Ternyata
bendungan akan stabil apabila titik D terletak di dalam batas 1/3 dari lebar
pondasi. Bendungan tidak akan terguling jika:

107
∑ M −B <B
e=
| ∑V 2 6 | (1.33)

Dimana:

e : eksentris, jarak antara titik tangkap gaya R dengan titik tengah


pondasi T = DT,

B : lebar pondasi,

M : momen total terhadap titik A,

V : Vt = gaya vertikal total.

2) Tidak mengalami pergeseran (sliding)

Gambar 1.103 Keamanan terhadap bahaya pergeseran.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

Dengan adanya gaya Ht, selain ada tendensi mengguling juga ada tendensi
menggeser di bagian pondasi sepanjang AC (lebar B). sebaliknya sebagai
akibat gaya vertikal akan terjadi gaya pelawan geseran (τ) yang bekerja
sepanjang lebar pondasi. Agar bendungan tidak menggeser maka:

f ∑ V+τ A
N= ≥4 (1.34)
∑H
Dimana:

108
N : angka keamanan terhadap geseran,

f : koefisien geseran antara beton dengan beton atau beton dengan


batuan pondasi = tg φ,

τ : tegangan geseran dari beton terhadap batuan pondasi,

A : luas permukaan pondasi.

3) Tegangan tanah pada pondasi tidak dilampaui

Gambar 1.104 Keamanan terhadap bahaya penurunan pondasi.


[ CITATION Soe03 \l 1033 ]

Dari segi penggulingan dan pergeseran, makin besar gaya vertikal total akan
semakin baik karena angka keamanan yang timbul makin besar. Tetapi dari
segi tegangan tanah, hal ini tidak menguntungkan karena semakin besar Vt
tegangan yang timbul akan makin besar pula. Oleh karena itu untuk
bendungan yang tingginya lebih dari 50 m harus dipikirkan alternative dengan
tipe berongga.

∑ Vt 6e
σ maks=
BL ( 1+ ) ≤(σ )
B t (1.35)

109
∑Vt 6e
σ min=
BL ( 1− ) > 0
B
(1.36)

Dimana:
σmaks : tegangan tanah maksimal yang timbul,
σmin : tegangan tanah minimal yang timbul,
Vt : gaya vertikal total,
B : lebar pondasi,
L : panjang pondasi,

e : eksentrisitas,

(σt) : tegangan tanah yang diizinkan berdasar pengujian yang


dilakukan.
4) Air rembesan yang timbul masih dapat dikendalikan.
b. Muatan-muatan dan gaya-gaya yang bekerja pada bendungan
Pada perencanaan bendungan beton terdapat muatan-muatan dan gaya-gaya yang
harus diperhatikan demi keamanan bendungan yang berbeda dari bendungan
urugan, yaitu:
1) Gaya vertikal, terdiri dari berat sendiri bendungan, berat air sebelah hulu
(apabila bendungan berbentuk miring sebagian atau seluruhnya), berat lumpur
di sebelah hulu bendungan (apabila berbentuk miring sebagian atau
seluruhnya), gaya tekan ke atas (uplift pressure).
2) Gaya horizontal, terdiri dari gaya hidrostatik (air yang menekan bendungan
ada atau tidak ada angin), gaya hidrodinamik (air yang menekan bendungan
apabila ada gempa), gaya akibat tekanan lumpur, gaya sebagai akibat gempa.
c. Keadaan muatan gaya yang harus diperhitungkan di dalam perencanaan
Ada tiga keadaan yang harus diperhitungkan, yaitu:
1) Keadaan pada akhir masa konstruksi
Keadaan berbahaya terjadi pada waktu air waduk masih kosong dan terjadi
gempa bumi yang akan mendorong bendungan ke arah hulu.
2) Keadaan normal sesudah beroperasi
Muatan dan gaya yang diperhitungkan:
a) Berat sendiri bendungan,
b) Berat air di sebelah hulu bendungan,

110
c) Gaya tekan ke atas,
d) Gaya hidrostatis.
3) Keadaan luar biasa sesudah beroperasi
Muatan dan gaya yang diperhitungkan:
a) Berat sendiri bendungan,
b) Berat air di sebelah hulu bendungan,
c) Berat lumpur di sebelah hulu bendungan,
d) Gaya tekan ke atas,
e) Gaya hidrostatis,
f) Gaya hidrodinamis,
g) Gaya horizontal akibat tekanan lumpur,
h) Gaya horizontal akibat gempa.
Pada keadaan seperti ini tegangan tekan yang diizinkan dapat dinaikkan 30%.

1.4.4 Stabilitas Bangunan Pelimpah

Analisis stabilitas bangunan pelimpah dilakukan untuk mengetahui apakah konstruksi


tersebut sudah aman terhadap pengaruh gaya-gaya luar maupun beban yang diakibatkan oleh
konstruksi itu sendiri. Analisis stabilitas bangunan pelimpah meliputi hal-hal berikut:
a. Keamanan terhadap guling

n=
∑ M v ≥1 , 3 (1.37)
∑ Mh
Dimana:

n : angka keamanan terhadap penggulingan,

Mv : momen vertikal total terhadap titik yang ditinjau,

Mh : momen horizontal total terhadap titik yang ditinjau.


b. Keamanan terhadap geser
f ∑ V +τ A
N= ≥ 1 ,3 (1.38)
∑H

Dimana:

111
N : angka keamanan terhadap geseran,
f : koefisien geseran antara beton dengan beton atau beton dengan
batuan pondasi = tg φ,
V : gaya vertikal total,
τ : tegangan geseran dari beton terhadap batuan pondasi,
A : luas permukaan pondasi.
c. Keamanan terhadap penurunan
∑ Vt 6e
σ maks=
BL ( 1+ ) ≤(σ )
B t (1.39)

∑Vt 6e
σ min=
BL ( 1− ) > 0
B
(1.40)

Dimana:
σmaks : tegangan tanah maksimal yang timbul,
σmin : tegangan tanah minimal yang timbul,
Vt : gaya vertikal total,
B : lebar pondasi,
L : panjang pondasi,
e : eksentrisitas,
(σt) : tegangan tanah yang diizinkan berdasar pengujian yang dilakukan.
Perhitungan stabilitas konstuksi bangunan pelimpah ditinjau pada kondisi sebagai
berikut:
a. Kondisi muka air normal tanpa gempa,
b. Kondisi muka air normal dengan gempa,
c. Kondisi muka air banjir tanpa gempa,
d. Kondisi muka air banjir dengan gempa.

1.5 Analisis Hidrologi

1.5.1 Perhitungan Curah Hujan Daerah

Curah hujan yang diperlukan untuk acuan dalam perencanaan bangunan air adalah
curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik
tertentu (point rainfall). Curah hujan daerah ini dapat diperhitungkan dengan beberapa cara,
namun yang sering dipakai yaitu:

112
a. Metode Poligon Thiessen
Cara ini berdasarkan rata-rata timbang. Masing-masing penakar mempunyai
daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu
tegaklurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos penakar. Hal yang
perlu diperhatikan dalam cara poligon thiessen ini adalah stasiun pengamatan
minimal tiga stasiun dan penambahan stasiun akan merubah seluruh jaringan.

n
Ŕ=∑ (C ¿ ¿ i Ri )¿ (1.41)
i=1

Dimana:

Ŕ : curah hujan maksimum tahunan rata-rata (mm),

Ri : curah hujan maksimum pada stasiun i (mm),

Ci : koefisien thiessen stasiun i.

Gambar 1.105 Penggambaran Poligon Thiessen pada DAS.

113
1.5.2 Perhitungan Curah Hujan Rencana

Dari curah hujan rata-rata berbagai stasiun hujan yang ada di daerah aliran sungai,
selanjutnya dianalisis secara statistik untuk mendapatkan pola sebaran data curah hujan yang
sesuai dengan pola sebaran data curah hujan rata-rata. Untuk memprediksi curah hujan
rencana dilakukan dengan analisis frekuensi data hujan. Untuk perhitungan curah hujan
rencana menggunakan data curah hujan maksimum, biasanya digunakan metode distribusi
normal, distribusi Gumbel tipe I, distribusi Log Pearson tipe III, dan distribusi Log Normal.
Agar mengetahui metode mana yang dapat diterapkan, maka akan dipilih setelah dilakukan
pengujian tingkat kesesuaiannya yang secara rinci akan dibahas pada bagian berikut.

a. Metode distribusi Gumbel tipe I


Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Gumbel tipe I
digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut:

S
X T = X́+ ( Y −Y n ) (1.42)
Sn T


2
∑ ( X i− X́ ) (1.43)
i=1
S=
n−1

Dimana:

XT : nilai variat yang diharapkan terjadi,

X́ : nilai rata-rata hitung variat,

S : standar deviasi (simpangan baku),

Sn : deviasi standar dari reduksi variat (mean of reduced variate)


nilainya tergantung dari jumlah data (n), (tabel terlampir)

YT : nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada


periode ulang tertentu hubungan antara periode ulang T dengan YT,
(tabel terlampir),

114
Yn : nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduce variate) nilainya
tergantung dari jumlah data (n), (tabel terlampir).

b. Metode distribusi Log Pearson III


Metode log pearson III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan
merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model
matematik dangan persamaan sebagai berikut [ CITATION Bam09 \l 1033 ]:

y T = ý + K T . s y (1.44)

Dimana:

yT : nilai logaritmik dari x dengan periode ulang T,

ý : nilai rerata dari yi,

sy : deviasi standar dari yi,

KT : faktor frekuensi, yang merupakan fungsi dari probabilitas (periode


ulang) dan koefisien kemencengan Csy (tabel terlampir).

c. Metode distribusi Normal


Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk lonceng
yang disebut distribusi Gauss. Distribusi normal mempunyai dua parameter yaitu
rerata µ dan deviasi standar σ dari populasi. Dalam praktek, nilai rerata x́ dan
deviasi standar s diturunkan dari data sampel untuk menggantikan µ dan σ
[ CITATION Bam09 \l 1033 ].

X = X́ + k . S (1.45)

Dimana:

X : perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan besar peluang


tertentu atau pada periode ulang tertentu,

X́ : nilai rata-rata hitung variat,

S : deviasi standar nilai variat,

k : faktor frekuensi dari distribusi normal.

115
d. Metode distribusi Log Normal
Distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu
dengan mengubah nilai variat x menjadi nilai logaritmik x. Persamaan yang
digunakan dapat ditulis sebagai berikut:

log X =log X́ + k . S log X (1.46)

Dimana:

log X : nilai variat X yang diharapkan terjadi pada peluang atau periode
ulang tertentu,

log X́ : rata-rata nilai X hasil pengamatan,

Slog X : deviasi standar logaritmik nilai X hasil pengamatan,

k : karakteristik dari distribusi log normal. Nilai k dapat diperoleh


dari tabel yang merupakan fungsi peluang komulatif dan periode
ulang, (tabel terlampir).

e. Uji Kecocokan
Untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi frekuensi dari
sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat
menggambarkan/mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian
parameter. Pengujian parameter tersebut adalah chi-kuadrat (chi-square) dan
Smirnov-Kolmogorov. Umumnya pengujian dilaksanakan dengan cara
menggambarkan data pada kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut
merupakan garis lurus, atau dengan membandingkan kurva frekuensi dari data
pengamatan terhadap kurva frekuensi teoritisnya.
1) Uji Chi-Square
Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data
pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan
membandingkan nilai chi-square (x2) dengan nilai chi-square kritis (x2cr) (tabel
terlampir). Rumus yang dipakai:

116
N
2 (Of −Ef )2
x =∑ (1.47)
i=1 Ef

Dimana:

x2 : nilai chi-square terhitung,

N : jumlah sub kelompok dalam satu grup,

Of : frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama,

Ef : frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan


pembagian kelasnya.

Dapat disimpulkan bahwa setelah diuji dengan chi-square dan pemilihan jenis
sebaran memenuhi syarat distribusi, maka curah hujan rencana dapat dihitung.
Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :

a) Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan dirtibusi teoritis yang


digunakan dapat diterima,
b) Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis
yang digunakan dapat diterima,
c) Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data.
2) Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov sering juga disebut uji kecocokan non
parametrik karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu,
namun dengan memperhatikan kurva dan penggambaran data pada kertas
probabilitas. Dari gambar dapat diketahui jarak penyimpangan setiap titik data
terhadap kurva. Jarak penyimpangan terbesar merupakan nilai ∆maks dengan
kemungkinan didapat nilai lebih kecil dari nilai ∆ kritik, maka jenis distribusi
yang dipilih dapat digunakan, nilai ∆kritik (tabel terlampir).

1.5.3 Perhitungan Hujan Maksimum Bolehjadi Metode Hersfield

Bangunan pelimpah pada bendungan besar didesain untuk melimpahkan banjir


maksimum bolehjadi (BMBJ) atau dikenal dengan Probable Maximum Flood (PMF).
Besaran BMBJ diestimasi dengna metode hubungan hujan-limpasan dengan hujan yang

117
digunakan adalah hujan maksimum bolehjadi (HMBJ) atau dikenal dengan Probable
Maximum Precipitation (PMP). HMBJ diartikan sebagai tebalnya curah hujan turun dan
merupakan batas atas secara fisik, untuk suatu durasi dan DPS tertentu.

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung PMP diantaranya pendekatan


meteorologi dan statistik. Pada tugas akhir ini menggunakan pendekatan statistik dengan
metode Hersfield. Untuk mendapatkan besaran HMBJ yang realistis diperlukan data hujan
harian maksimum tahunan sebagai masukan dalam perhitungan. Berikut tata cara perhitungan
hujan maksimum bolehjadi.

Metode Hersfield yang dikembangkan dari rumus frekuensi Chow [ CITATION


Bad04 \l 1033 ]:

X m= X́ p + K m . S p (1.48)

Dimana:

Xm : nilai hujan maksimum bolehjadi (mm),

Xp : rata-rata dari seri data hujan harian maksimum tahunan berjumlah n yang telah
dikalikan faktor penyesuaian (mm),

Km : nilai fungsi dari durasi hujan dan rata-rata hujan harian maksimum tahunan,

Sp : simpangan baku dari seri data hujan harian maksimum tahunan berjumlah n
yang telah dikalikan faktor penyesuaian (mm).

118
Gambar 1.106 Menentukan harga Km.
[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

Nilai Km didapatkan dari gambar penentuan harga Km, nilainya tergantung pada durasi dan
rata-rata hujan harian maksimum tahunan. Semakin kering suatu daerah akan semakin tinggi
nilai Km. Untuk nilai Xp dan Sp yang digunakan adalah nilai dari Xn dan Sn yang telah
disesuaikan terhadap pengamatan maksimum dan terhadap panjang pencatatan data.
Penghitungan nilai Xp dan Sp terhadap faktor-faktor koreksi adalah sebagai berikut:

X́ p = X́ n . f 1 . f 2 (1.49)

Dimana:

Xp : rata-rata dari seri data hujan harian maksimum tahunan berjumlah n yang telah
dikalikan faktor penyesuaian (mm),

Xn : rata-rata data hujan harian maksimum tahunan yang telah lolos penyaringan
(mm),

f1 : faktor penyesuaian terhadap pengamatan maksimum,

f2 : faktor penyesuaian terhadap panjang data.

119
Gambar 1.107 Faktor penyesuaian rata-rata terhadap pengamatan maksimum.
[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

Keterangan gambar:

Xn : rata-rata hujan harian maksimum tahunan,

Xn-m : rata-rata hujan harian maksimum tahunan tanpa nilai maksimum,

Faktor penyesuaian Xn (persen) adalah f1.

S p=S n . f 3 . f 4 (1.50)

Dimana:

Sp : simpangan baku dari seri data hujan harian maksimum tahunan berjumlah n
yang telah dikalikan faktor penyesuaian (mm),

120
Sn : simpangan baku dari data hujan harian maksimum tahunan yang telah lolos
penyaringan (mm),

f3 : faktor penyesuaian terhadap pengamatan maksimum,

f4 : faktor penyesuaian terhadap panjang data.

Gambar 1.108 Faktor penyesuaian simpangan baku terhadap pengamatan maksimum.


[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

Keterangan gambar:

Sn : simpangan baku,

Sn-m : simpangan baku tanpa nilai maksimum,

Faktor penyesuaian Sn (persen) adalah f3.

121
Gambar 1.109 Faktor penyesuaian rata-rata dan simpangan baku terhadap panjang pengamatan data.
[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

Keterangan gambar:

Faktor penyesuaian rata-rata adalah f2,

Faktor penyesuaian simpangan baku adalah f4.

Setelah dilakukan perhitungan hujan maksimum bolehjadi menggunakan metode


Hersfield, hasilnya harus dikalikan 1,13 (faktor pengali untuk durasi hujan 24 jam atau lebih)
agar menghasilkan atau mendekati hasil yang didapat dari hujan maksimum yang sebenarnya.
Besaran 1,13 didasarkan pada penelitian dari ribuan pos hujan untuk hujan durasi 24 jam
yang berasal dari pengukuran durasi tunggal, yaitu durasi 24 jam. Faktor pengali ini tidak
berlaku untuk hujan 24 jam yang berasal dari pengukuran durasi lebih kecil missal 1 jam atau
6 jam.

Hujan maksimum bolehjadi yang dihasilkan masih berupa hujan titik dengan durasi
24 jam, sehingga masih diperlukan prosedur selanjutnya agar bisa menjadi hujan maksimum

122
bolehjadi rata-rata DPS (Daerah Pengaliran Sungai) atau hujan wilayah. Langkah yang
diperlukan adalah sebagai berikut:

a. Memplot DPS dalam peta isohit hujan maksimum bolehjadi 24 jam yang
tersedia,
b. DPS yang dilalui oleh beberapa garis isohit, luas antara 2 garis isohit yang
berurutan disebut Ai, nilai hujan maksimum boleh jadi antara dua garis isohit
merupakan rata-rata dari garis yang mengapitnya disebut Ri,
c. Hujan rata-rata DPS berdasarkan hujan titik adalah penjumlahan antara
perkalian Ai dan Ri dibagi luas DPS:

HMBJ titik =
∑ A i . Ri (1.51)
∑ Ai
d. Untuk mengubah hujan maksimum bolehjadi titik menjadi hujan maksimum
bolehjadi DPS 24 jam perlu diperhitungkan koefisien reduksinya dan koefisien
reduksi tergantung dari luas DPS-nya. Jadi hujan maksimum bolehjadi DPS sama
dengan hujan maksimum bolehjadi titik dikalikan koefisien reduksi,
e. Menentukan durasi dari hujan maksimum bolehjadi jika kurang 24 jam
menggunakan koefisien reduksi.

123
Gambar 1.110 Faktor reduksi wilayah hujan titik untuk hujan badai.
[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

124
Gambar 1.111 Koefisien reduksi dari R-24 jam.
[ CITATION Bad04 \l 1033 ]

1.5.4 Perhitungan Debit Banjir Rencana

Debit banjir rencana adalah debit banjir terbesar yang masih dapat ditahan oleh
sesuatu bangunan (bendungan, bangunan pelimpah, terowongan dan lain-lain) dengan aman.
Untuk memperkirakan dan menghitung debit banjir rencana ternyata tidak mudah, terdapat

125
beberapa cara dan rumus-rumus yang kadang sangat berbeda hasilnya. Apabila diambil kecil,
yang timbul kadang-kadang besar, sebaliknya dapat terjadi diambil besar, ternyata yang
timbul hanya kecil saja. Apabila debit banjir rencana yang diambil terlalu kecil maka biaya
pembangunan proyek juga kecil, tetapi risiko kerusakan sebagai akibat banjir menjadi besar,
setidak-tidaknya biaya pemeliharaan menjadi besar. Sebaliknya apabila diambil debit banjir
rencana besar maka biaya pembangunannya bertambah besar, tetapi risiko kerusakan sebagai
akibat terjadinya banjir menjadi kurang. Tingkat risiko dapat dihitung dengan rumus:

1 n
R=1−(1− ) (1.52)
T

Dimana:

R : tingkat risiko yang dapat diterima (%),

T : periode ulang (tahun),

n : umur rencana bangunan (tahun).

Perhitungan debit banjir menggunakan metode analisis hidrograf satuan sintetis. Ada
2 (dua) metode yang digunakan yaitu metode analisis Hidrograf Satuan Sintetis GAMA I dan
metode analisis Hidrograf Satuan Sintetis Soil Conservation Service (SCS) dengan
menggunakan software HEC-HMS. Berikut penjelasan perhitungan dari masing-masing
metode.

a. Metode Analisis Hidrograf Satuan Sintetis GAMA I


Hidrograf satuan sintetis GAMA I dikembangkan Sri Harto, berdasar perilaku
hidrologis 30 DAS di Pulau Jawa. HSS GAMA I terdiri dari tiga bagian pokok
yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi turun/resesi (recession limb).
Gambar di bawah menunjukkan HSS Gama I, dalam gambar tersebut tampak ada
patahan dalam sisi resesi. Hal ini disebabkan sisi resesi mengikuti persamaan
eksponensial yang tidak memungkinkan debit sama dengan nol. Meskipun
pengaruhnya sangat kecil namun harus diperhitungkan mengingat bahwa volume
hidrograf satuan harus tetap satu. Hidrograf satuan sintetis secara sederhana dapat
disajikan empat sifat dasarnya yang masing-masing disampaikan sebagai berikut:
1) Waktu naik (Time of Rise, TR), yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf
mulai naik sampai saat terjadinya debit puncak,

126
2) Debit puncak (Peak Discharge, Qp),
3) Waktu dasar (Base Time, TB), yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf
mulai naik sampai berakhirnya limpasan langsung atau debit sama dengan nol,
4) Koefisien tampungan (Storage Coefficient) yang menunjukkan kemampuan
DAS dalam fungsinya sebagai tampungan air.

Gambar 1.112 Hidrograf satuan sintetis GAMA I.


[ CITATION Bam09 \l 1033 ]

Sisi naik hidrograf satuan diperhitungkan sebagai garis lurus sedang sisi resesi
(resession climb) hidrograf satuan disajikan dalam persamaan eksponensial
berikut:

Q t =Q p e−t / K (1.53)

Dimana:

Qt : debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam
(m³/det),

Qp : debit puncak dalam (m³/det),

t : waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak (jam),

k : koefisien tampungan (jam).

a) Waktu capai puncak (time of rise)

3
L
TR=0 , 43 [
100 SF ]
+1 , 06665 .∼+1 , 2775 (1.54)

127
SF=
∑ L1
n
(1.55)
∑ (Li+ Li+n )
i=1

Dimana:

TR : waktu naik (time of rise) (jam),

L : panjang sungai (km),

SF : faktor sumber, yaitu perbandingan antara jumlah semua


panjang sungai tingkat 1 dengan jumlah semua panjang
sungai semua tingkat,

SIM : faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor


lebar (WF) dengan luas DAS sebelah hulu (RUA).

Gambar 1.113 Sketsa penetapan panjang dan tingkat sungai.

128
Gambar 1.114 Sketsa penetapan WF.
A-B : 0,25 L,

A-C : 0,75 L,

WF=Wu/ Wi (1.56)

b) Debit puncak

Q p=0 ,1836 . A0 , 5886 .TR−0 .0986 . JN 0 ,2381 (1.57)

Dimana:

Qp : debit puncak (m³/det),

JN : jumlah pertemuan sungai.

c) Waktu dasar

TB=27 , 4132TR 0 ,1457 . S−0 ,0986 . SN 0 ,7344 . RUA 0 ,2574 (1.58)

RUA= Au/ A (1.59)

Dimana:

TB : waktu dasar (jam),

S : kelandaian sungai rata-rata,

129
SN : frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen
sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai
semua tingkat,

RUA : perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis


yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun
pengukuran dengan titik yang paling dekat dengan titik
berat DAS melewati titik tersebut dengan luas DAS total.

Gambar 1.115 Sketsa penetapan luas bagian hulu DAS (Au).

d) Indeks ()
Penetapan hujan efektif untuk memperoleh hidrograf dilakukan dengan
menggunakan indeks-infiltrasi. Untuk memperoleh indeks ini agak sulit,
untuk itu dipergunakan pendekatan dengan mengikuti petunjuk Barnes
(1959). Perkiraan dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh
parameter DAS yang secara hidrologi dapat diketahui pengaruhnya
terhadap indeks infiltrasi. Persamaan pendekatannya adalah sebagai
berikut:

2
−6
¿ 10 , 4 903−3 , 859 .10 . A +1 , 6985. 10
−13
( A /SN )4 (1.60)

Dimana:

a. : indeks infiltrasi (mm/jam),

130
A : luas DAS (km2),

SN : frekuensi sumber.

e) Aliran dasar
Untuk memperkirakan aliran dasar digunakan persamaan pendekatan
berikut ini. Persamaan ini merupakan pendekatan untuk aliran dasar yang
tetap, dengan memperhatikan pendekatan Kraijenhoff Van Der Leur
(1967) tentang hidrograf air tanah :

QB=0 , 4751 . A 0 ,6444 . D 0 , 9430 (1.61)

Dimana:

QB : aliran dasar (m3/det),

A : luas DAS (km²),

D : kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks


kerapatan sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai
semua tingkat dibagi dengan luas DAS.

f) Faktor tampungan

k =0 , 5617 . A 0 ,1798 . S−0 .1446 . SF−1 , 0897 . D 0 ,0452 (1.62)

Dimana:

k : koefisien tampungan (jam).

b. Software HEC-HMS 3.5


Hydrologic Modeling System (HMS) didesain untuk mensimulasi proses hujan-
aliran permukaan pada daerah aliran sungai. Ini didesain agar mudah digunakan
pada area geografis yang luas untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi
pada area yang sangat luas. Di dalamnya terdapat daerah tangkapan air sungai
yang besar dan hidrologi banjirnya, dan aliran permukaan perkotaan kecil atau
aliran permukaan asli daerah aliran sungai. Hidrograf yang dihasilkan oleh
program ini bisa digunakan secara langsung atau digabungkan dengan software
yang lainnya untuk mempelajari ketersediaan air, drainase perkotaan, perencanaan

131
aliran, pengaruh urbanisasi di masa depan, desain spillway sebuah waduk, reduksi
kerusakan akibat banjir, regulasi perencanaan banjir dan operasi sistem.
Program ini mampu menyamaratakan sebuah permodelan sistem yang
merepresentasikan daerah aliran sungai yang berbeda-beda. Sebuah model daerah
aliran sungai dibuat dengan pembatas siklus hidrologi pada setiap bagian dapat
diatur dan batas-batas sekitar daerah aliran yang terkait. Ada perubahan massa
atau energi yang terus menerus dalam siklus kemudian bisa dipresentasikan
dengan model matematika. Pada banyak kasus, beberapa model yang dipilih bisa
untuk mewakili beberapa perubahan yang terus menerus. Setiap model
matematika yang dimasukkan dalam program sesuai dengan lingkungan yang
berbeda dan dalam kondisi yang berbeda. Membuat pilihan yang tepat
membutuhkan pengetahuan dari daerah aliran, hasil dari pembelajaran hidrologi,
dan keputusan insinyur.
Model HEC-HMS dapat memberikan simulasi hidrologi dari puncak aliran harian
untuk perhitungan debit banjir rencana dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai).
Model HEC-HMS mengemas berbagai macam metode yang digunakan dalam
analisa hidrologi. Dalam pengoperasiannya menggunakan basis sistem windows,
sehingga model ini menjadi mudah dipelajari dan mudah untuk digunakan, tetapi
tetap dilakukan dengan pendalaman dan pemahaman dengan model yang
digunakan. Di dalam model HEC-HMS mengangkat teori klasik hidrograf satuan
untuk digunakan dalam permodelannya, antara lain hidrograf satuan sintetik
Synder, Clark, SCS, ataupun kita dapat mengembangkan hidrograf satuan lain
dengan menggunakan fasilitas user define hydrograph. Sedangkan SCS (soil
conservation service) dengan menganalisa beberapa parameternya, maka
hidrograf ini dapat disesuaikan dengan kondisi di Pulau Jawa.
Konsep dasar perhitungan dari model HEC-HMS adalah data hujan sebagai input
air untuk satu atau beberapa sub daerah tangkapan air (subbasin) yang sedang
dianalisa. Jenis datanya berupa intensitas, volume, atau komulatif volume hujan.
Setiap subbasin dianggap sebagai suatu tandon yang non linier dimana inflownya
adalah data hujan. Aliran permukaan, infiltrasi, dan penguapan adalah komponen
yang keluar dari subbasin. Langkah-langkah pengerjaan estimasi debit banjir pada
daerah tangkapan hujan dengan model HEC-HMS dijabarkan dibawah ini:
1) Basin Model (model daerah tangkapan air)

132
Pada basin model tersusun atas gambaran fisik daerah tangkapan air dan
sungai. Elemen-elemen hidrologi berhubungan dengan jaringan yang
mensimulasikan proses limpasan permukaan langsung (run off). Elemen-
elemen yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan adalah subbasin,
reach, dan junction. Pemodelan hidrograf satuan memiliki kelemahan pada
luas area yang besar, maka perlu dilakukan pemisahan area basin menjadi
beberapa subbasin berdasakan percabangan sungai dan perlu diperhatikan
batas-batas luas daerah yang berpengaruh pada DAS tersebut. Pada basin
model ini dibutuhkan sebuah peta background yang bisa di-import dari GIS
(Geografic Information System) ataupun CAD (Computer Aided Design).
Untuk Autocad dibutuhkan patch (tambalan) untuk bisa meng-export gambar
menjadi berakhiran “.map”.
2) Subbasin Loss Rate Method (proses kehilangan air)
Loss rate method adalah pemodelan untuk manghitung kehilangan air yang
terjadi karena proses infiltrasi dan pengurangan tampungan. Metode yang
digunakan pemodelan ini adalah Initial and Constant Loss Method. Konsep
dasar dari metode ini memperhitungkan rata-rata kehilangan air hujan yang
terjadi selama hujan berlangsung. Infiltrasi merupakan hasil dari proses
penyerapan air hujan oleh permukaan tanah, sedang pengurangan tampungan
akibat dari perbedaan topografi pada suatu DAS. Air hujan yang jatuh akan
diinfiltrasi atau dievaporasikan, hal ini akan sangat berpengaruh pada debit
banjir yang akan mengalir pada sungai tersebut. Metode ini terdiri dari satu
parameter (Constant Rate) dan satu kondisi yang telah ditentukan (Initial
loss), yang menggambarkan keadaan fisik DAS seperti tanah dan tata guna
lahan.
Ada beberapa metode perhitungan infiltrasi, salah satunya yaitu perhitungan
dari SCS. SCS (Soil Conservation Service) mengembangkan parameter Curve
Number (CN) empiris yang mengasumsikan berbagai faktor dari lapisan tanah,
tata guna lahan, dan porositas untuk menghitung total limpasan curah hujan.
Untuk menghitung hujan efektif yang terjadi di suatu daerah dengan kondisi
lahan tertentu dapat menggunakan rumus [ CITATION Nat04 \l 1033 ]:

( P−0,2 S)2
Pe = (1.63)
P+0,8 S

133
25400
S= −254 (1.64)
CN

Dimana:

Pe : kedalaman hujan efektif (mm),

P : kedalaman hujan yang terjadi (mm),

S : retensi potensial maksimum air oleh tanah (mm),

CN : nilai Curve Number.

SCS Curve Number terdiri dari beberapa parameter yang harus dimasukkan
yaitu, initial loss atau nilai infiltrasi awal, SCS Curve Number dan impervious
(kekedapan air). Maka jenis tanah sangat berpengaruh terhadap nilai hujan
efektif. Tanah yang berpasir mempunyai nilai infiltrasi tinggi sehingga hujan
efektif kecil, sebaliknya infiltrasi tanah lempung sangat kecil sehingga
sebagian besar hujan yang jatuh di permukaan tanah menjadi limpasan
permukaan. Jenis tanah dibagi dalam empat kelompok yaitu:

a) Kelompok A
Terdiri dari tanah dengan pontensi limpasan rendah, mempunyai laju
infiltrasi tinggi. Terutama untuk tanah pasir (deep sand) dengan silty dan
clay sangat sedikit, juga kerikil (gravel) yang sangat lulus air.
b) Kelompok B
Terdiri dari tanah dengan potensi limpasan agak rendah, laju infiltrasi
sedang. Tanah berbutir sedang (sandy soil) dengan laju meloloskan air
sedang.
c) Kelompok C
Terdiri dari tanah dengan potensi limpasan agak tinggi, laju infiltrasi
lambat jika tanah tersebut sepenuhnya basah. Tanah berbutir sedang
sampai halus (clay dan colloids) dengan laju meloloskan air lambat.
d) Kelompok D
Terdiri dari tanah dengan potensi limpasan tinggi, mempunyai laju
infiltrasi sangat lambat. Terutama tanah liat (clay) dengan daya kembang
(swelling) tinggi, tanah dengan muka air tanah permanen tinggi, tanah

134
dengan lapis lempung di dekat permukaan dan tanah yang dilapisi dengan
bahan kedap air. Tanah ini mempunyai laju meloloskan air sangat lambat.

Tabel 1.8 Kode jenis tanah.

No Jenis Tanah Kode


.
1 Andosol A
2 Podsolik D
3 Aluvial C
4 Grumosol D
5 Latosol D
6 Litosol D
7 Mediteran C
8 Regosol D
9 Organosol D
10 Podzolik D
[ CITATION LPP14 \l 1033 ]

Tabel 1.9 Nilai CN dan impervious terhadap land use.


Curve Number
No Imperviou
Land use (CN)
. s (%)
A B C D
1 Belukar 5 68 79 86 89
2 Hutan 5 48 67 77 83
3 Kota 65 89 92 94 95
4 Lahan 5 77 86 91 94
Gundul
5 Pemukiman 15 77 85 90 92
6 Perkebunan 5 45 66 77 83
7 Peternakan 5 59 74 82 86
8 Sawah 5 68 79 86 89
9 Tegalan 5 65 76 84 88
10 Empang 100 71 80 87 88
[ CITATION LPP14 \l 1033 ]
3) Subbasin transform (transformasi hidrograf satuan limpasan)
Transform adalah permodelan metode hidrograf satuan yang digunakan. Unit
hidrograf merupakan metode yang sangat familiar dan dapat diandalkan. Di
HEC-HMS, hidrograf SCS dapat digunakan dengan mudah, parameter utama
yang dibutuhkan adalah waktu lag yaitu tenggang waktu (time lag) antara titik
berat hujan efektif dengan titik berat hidrograf. Parameter ini didasarkan pada
data dari beberapa daerah tangkapan air pertanian. Waktu lag didapat sama
dengan 0,6 kali waktu konsentrasi. Parameter tersebut dibutuhkan untuk

135
menghitung puncak dan waktu hidrograf, secara otomatis model SCS akan
membentuk ordinat-ordinat untuk puncak hidrograf dan fungsi waktu. Time
lag dapat dicari dengan rumus:

L=0 ,6 T C (1.65)

0 ,385
0 , 87 .l 2
T C= (
1000 . Y ) (1.66)

Gambar 1.116 Hubungan antara waktu konsentrasi (Tc) dan waktu lag (L) pada unit hidrograf.
[ CITATION Nat04 \l 1033 ]
Dimana:
L : waktu lag (jam),
TC : waktu konsentrasi (jam),
l : panjang aliran (km),
Y : kemiringan rata-rata,
TP : waktu puncak (jam),
∆D : durasi hujan yang terjadi (jam),
t/TP : rasio waktu terhadap waktu puncak,
q : besar debit pada waktu ke-t (m3/det),
qP : besar debit pada waktu puncak (m3/det),
Qa : volume aliran permukaan sampai waktu ke-t (mm),
Q : total volume aliran permukaan (mm).

136
4) Subbasin baseflow method
Baseflow dapat diartikan sebagai aliran dasar, model ini digunakan untuk
menggambarkan aliran dasar yang terjadi pada saat limpasan, sehingga dapat
dihitung tinggi puncak hidrograf yang terjadi. Metode Subbasin baseflow ini
dapat dimodelkan dengan salah satu dari tiga metode yang berbeda, yaitu
Constant Monthly, Linear Reservoir, dan Recession. Metode Constant
Monthly atau Recession dapat digunakan secara umum pada subbasin. Pada
pemodelan digunakan metode recession (resesi) dengan anggapan bahwa
aliran dasar selalu ada dan memiliki puncak hidrograf pada satu satuan waktu
dan mempunyai keterkaitan dengan curah hujan.
Parameter yang digunakan dalam model resesi ini adalah Initial Flow,
Recession Ratio, dan Treshold Flow. Initial Flow merupakan nilai aliran dasar
awal yang dapat dihitung atau dari data observasi, Recession Ratio Constant
adalah nilai rasio antara aliran yang terjadi sekarang dan kemarin secara
konstan, yang memiliki nilai 0 sampai 1. Sedangkan Treshold Flow adalah
nilai ambang pemisah aliran limpasan dan aliran dasar. Untuk menghitung
aliran ini dapat digunakan cara eksponensial atau diasumsikan dengan nilai
besar rasio dari puncak ke puncak (peak to peak).
5) Reach
Reach merupakan pemodelan yang menggambarkan metode penelusuran
banjir (flood routing). Salah satu metode flood routing menggunakan metode
Muskingum untuk menggambarkan hidrograf penelusuran banjir. Parameter
yang diubutuhkan yaitu Muskingum x dan Muskingum K. Konstanta
penelusuran K dan x ditentukan secara empiris dari pengamatan debit masuk
dan debit keluar dalam waktu yang bersamaan. Faktor x merupakan faktor
penimbang yang besarnya berkisar antara 0 sampai dengan 1, biasanya lebih
kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-kira sama dengan 0,3 serta
tidak berdimensi. Karena S memiliki dimensi volume, sedangkan I dan Q
berdimensi debit maka K harus dinyatakan dalam dimensi waktu (jam atau
hari). Persamaan yang menyangkut hubungan debit masuk dan debit keluar,
dengan konstanta K dan x adalah sebagai berikut:

S= K [ x . I + ( 1−x ) Q ] (1.67)

Tabel 1.10 Nilai Muskingum K dan x.

137
No Muskingum K (HR) Muskingum x
tc
1 0 – 0.3 0.5
2 0.3 – 0.5 0.45
3 0.5 – 1 0.4
4 1–2 0.35
5 2–3 0.3
6 3–4 0.25
7 4–5 0.2
8 5<x 0.18
[ CITATION LPP14 \l 1033 ]
6) Meteorologic model
Meteorologic Model merupakan masukan data curah hujan (presipitasi) efektif
dapat berupa 5 menitan atau jam-jaman. Desain hyetograph harus didasarkan
pencatatan kejadian hujan nyata. Perlu diperhatikan curah hujan kawasan
diperoleh dari hujan rata-rata metode thiessen dengan memperhatikan
pengaruh stasiun-stasiun curah hujan pada kawasan tersebut. Curah hujan jam-
jaman tersebut dapat digambarkan menjadi sebuah stage hyetograph.
7) Run configuration
Setelah semua variabel masukan diatas dimasukkan, untuk mengeksekusi
pemodelan agar dapat berjalan, maka basin model dan meteorologic model
harus disatukan. Hasil eksekusi metode ini dapat dilihat dalam grafik dan nilai
output-nya. Hasil output ini merupakan debit banjir rencana untuk periode
ulang n tahunan. Untuk melihat hasil grafik limpasan atau tabel dapat
langsung dengan mengklik elemen, simpul maupun penghubung elemen.

1.6 Ketersediaan Air


Ketersediaan air adalah jumlah air (debit) yang diperkirakan terus ada di suatu lokasi
(bending atau bangunan air lainnya) di sungai dengan jumlah tertentu dan dalam jangka
waktu (periode) tertentu. Air yang tersedia tersebut dapat digunakan untuk berbagai
keperluan seperti air baku yang meliputi air domestik dan non domestik dan industri,
pemeliharaan sungai, peternakan, perikanan, irigasi dan pembangkit listrik tenaga air. Pada
PLTA air hanya dilewatkan untuk memutar turbin dan setelah itu dapat digunakan untuk
keperluan lain.

138
1.6.1 Debit Andalan

Debit andalan adalah debit minimum sungai dengan besaran tertentu yang mempunyai
kemungkinan terpenuhi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Untuk keperluan
irigasi, debit minimum sungai untuk kemungkinan terpenuhi ditetapkan 80%, sedang untuk
keperluan air baku biasanya ditetapkan 90%. Prosedur analisis debit andalan sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan data. Apabila terdapat data debit dalam jumlah cukup panjang,
maka analisis ketersediaan air dapat dilakukan dengan melakukan analisis frekuensi terhadap
data debit tersebut.

Apabila data debit tidak tersedia analisis ketersediaan air dapat dilakukan dengan
menggunakan model hujan aliran. Di suatu daerah aliran sungai, pada umumnya data hujan
tersedia dalam jangka waktu yang panjang, sementara data debit adalah pendek. Untuk itu
dibuat hubungan antara data debit dengan data hujan dalam periode waktu yang sama,
selanjutnya berdasarkan hubungan tersebut dibangkitkan data debit berdasar data hujan yang
tersedia. Dengan demikian akan diperoleh data debit dalam periode waktu yang sama dengan
data hujan. Ada beberapa metode untuk mendapatkan hubungan antara debit dengan data
hujan, diantaranya adalah model regresi, model Mock, model tangki dan sebagainya.

Data Hujan (p) Data Debit (Q)


Tahun 1990-2005 Tahun 2000-2002

139
Hubungan Q-p
Tahun yang Sama
(2000-2002)
Gambar 1.117 Penurunan data debit berdasar data hujan.
[ CITATION Bam09 \l 1033 ]

1.7 Penelusuran Waduk


Penelusuran waduk atau bisa juga disebut penelusuran banjir (flood routing) pada
waduk adalah prosedur untuk menentukan waktu dan debit aliran (hidrograf aliran) di waduk
berdasarkan hidrograf banjir yang direncanakan. Penelusuran waduk merupakan penelusuran
hidrologis yang penelusurannya dicari hidrograf debit banjir di suatu titik di hilir berdasar
hidrograf di hulu. Penelusuran waduk dapat diselesaikan secara numeric dengan rumus
sebagai berikut:

I 1 + I 2 O 1 +O 2 S1−S 2
− = (1.68)
2 2 ∆t

Dimana:

I1, I2 : aliran masuk pada waktu ke 1 dan ke 2,

O1,O2 : aliran keluar pada waktu ke 1 dan ke 2,

S1, S2 : tampungan pada waktu ke 1 dan ke 2,

∆t : interval waktu.

Penelusuran waduk dapat juga dilakukan dengan bantuan program HEC-HMS. Pada
pemodelan DAS dapat dimasukkan elemen reservoir sebagai pemodelan waduk pada DAS

140
yang akan dihitung penelusuran banjirnya. Biasanya elemen junction yang diubah menjadi
elemen reservoir.

141
2 DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional . (2012). SNI 1726:2012. Jakarta: Badan Standardisasi


Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2004). SNI T-02-2004. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Castillo, J. (2014, December). 25 Tallest Dams in the World. Retrieved February 2015, from
List 25: http://list25.com/25-tallest-dams-in-the-world/3/
Dams and Reservoirs. (n.d.). Retrieved February 2015, from Heading Up Structure:
http://osp.mans.edu.eg/tahany/dams1.htm
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2004). Pedoman Konstruksi dan
Bangunan (Pd T-14-2004-A). Jakarta: Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah.
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Semarang. (2014). Analisis Harga Satuan
Pekerjaan. Semarang: Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Semarang.
Flow Control Application. (n.d.). Bieccentric Butterfly Valve with Counterweight. Retrieved
February 2015, from Flow Control Application:
http://www.fcavalves.com/bieccentric-butterfly-with-counterweight-2
GEO-SLOPE International Limited. (2003). Geo-Slope Manual Instruction for Slope/W.
Calgary: GEO-SLOPE International Limited.
GEO-SLOPE International Limited. (2009). Seepage Modeling with SEEP/W 2007. Calgary:
GEO-SLOPE International.
GEO-SLOPE International Ltd. (2007, September 7). QUAKE/W Tutorial - GeoStudio 2007.
Calgary, Alberta, Canada.
GEO-SLOPE International Ltd. (2007, September 7). SEEP/W Tutorial - GeoStudio 2007.
Calgary, Alberta, Canada.
GEO-SLOPE International Ltd. (2007, September 7). SIGMA/W Tutorial - GeoStudio 2007.
Calgary, Alberta, Canada.
GEO-SLOPE International Ltd. (2007, September 7). SLOPE/W Tutorial - GeoStudio 2007.
Calgary, Alberta, Canada.
Hidayat, S. (2012, September). Panoramio. Retrieved February 2015, from Panoramio
Google Maps: http://www.panoramio.com/photo/80594062

142
Indian Institute of Technology. (2014). Module 4 Hydraulic Structure for Flow Diversion
and Storage. Kharagpur: Indian Institute of Technology.
Kompas.com. (2013, January). Retrieved from Kompas.com:
http://tekno.kompas.com/read/2013/01/15/18425884/semarang.dilanda.banjir.
LPPM Undip. (2014). Semarang: Universitas Diponegoro.
Natural Resources Conservation Service. (2004). NEH Part 630 Hydrology. Washington DC:
U.S. Department of Agriculture.
Peterka, A. J. (1984). Hydraulic Design of Stilling Basins and Energy Dissipators. Denver:
United States Department of the Interior Bureau of Reclamation.
Ponce, V. M. (2008, July). La Leche River Flood Control Project. Retrieved February 2015,
from http://ponce.sdsu.edu/0908231200.html
PSDA Jawa Tengah. (2011, February 5). Terowongan Pengelak Bendungan Jatibarang
Sudah Tembus. Retrieved February 2015, from Dinas PSDA Jawa Tengah:
http://psda.jatengprov.go.id/berita/2011/pebruari/050211-01.htm
Rogers, D. (2010). Hoover Dam. Retrieved February 2015, from Missouri University of
Science and Technology: http://web.mst.edu/~rogersda/hoover_dam/
Sim Science. (n.d.). Cracking Dams Intermediate Level. Retrieved February 24, 2015, from
Sim Science: http://www.simscience.org/cracks/intermediate/ebnk_anat1.html
Soedibyo. (2003). Teknik Bendungan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Sosrodarsono, & Takeda. (1989). Bendungan Type Urugan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Sugiyanto. (1994). Pengendalian Banjir. In Sugiyanto, Pengendalian Banjir (pp. 1-3).
Semarang: Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Suripin. (2011). Waduk (Reservoir). Materi Kuliah .
Susilowati. (2013). PERANCANGAN CHECK DAM PRAMUKA UNTUK
MENGURANGI SEDIMENTASI DI BANJIR KANAL BARAT KOTA
SEMARANG. Tugas Akhir .
Tempo.co. (2013, June 17). Mount Merapi Sabo Dam to be Reviewed. Retrieved February 24,
2015, from Tempo.co: http://en.tempo.co/read/news/2013/06/17/055489026/Mount-
Merapi-Sabo-Dam-to-be-Reviewed
Triatmodjo, B. (2009). Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset.
Triatmodjo, B. (2008). Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset.
Types of dams: Introduction and Classification. (2011, September 27). Retrieved February
2015, from Civil Engineering Blog: http://blog.thecivilengg.com/types-of-dams/
U.S. Bureau Reclamation. (2004, June 8). Photographer Station: Lower Colorado Regional
Office, Photograph Detail Page. Retrieved February 2015, from U.S. Bureau
Reclamation: http://www.usbr.gov/lc/region/g5000/photolab/gallery_detail.cfm?
PICIDTYPE=2030

143
USACE Institute for Water Resources. (2010). Hydrologic Modeling Sytem HEC-HMS
User's Manual Version 3.5. Davis: USACE Institute for Water Resources Hydrologic
Engineering Center.
Ven Te Chow, P. D. (1959). Open Channel Hydraulics. New York: McGraw-Hill Book
Company Inc.
Wikimedia Commons. (2009). Miho Dam Spillway. Retrieved February 2015, from
Wikimedia Commons:
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Miho_Dam_spillway.jpg

144

Anda mungkin juga menyukai