Anda di halaman 1dari 28

Jepara YTH .

dr.Adriana Lukmasari, Sp.A

LAPORAN KASUS III

Seorang Bayi Laki Laki 9 Bulan dengan Meningoensefalitis


Bakteri dan Hernia Inguinalis Lateralis Bilateral

Disusun oleh :

Laras Hanum I (030.12.147)

Pembimbing :

dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A, M.Si Med


dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A M.Si Med
dr. Neni Sumarni, Sp. A
dr. Adriana Lukmasari, Sp.A
dr. Haracang Pandih Kahayana, Sp. A

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA 2019

HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Laras Hanum I

NIM : 030.12.147

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Trisakti Jakarta

Tingkat : Program pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Seorang Bayi Laki Laki 9 Bulan dengan Meningoensefalitis


Bakteri dan Hernia Inguinalis Lateralis Bilateral.

Semarang, Agustus 2019

Mengetahui dan menyetujui

Pembingbing keoanitraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehtan Anak RSUD K.R.M.T Wongsonegoro

Pembimbing

dr.Adriana Lukmasari, Sp. A


BAB I LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : By. A
Umur : 9 Bulan
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Semarang
Bangsal : PICU
No CM : 473xxx
Tanggal masuk RS : 14-07-2019

Tanggal periksa : 22-07-2019

1.2 DATA DASAR

1 Anamnesis (Alloanamnesis)

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien di ruang


rawat inap Nicu pada tanggal 22 Juli 2019.

a. Keluhan utama
Kejang
b. Keluhan tambahan
- Benjolan
- Demam
c. Riwyat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang 2 jam SMRS. Kejang dirasakan baru
pertama kali. Pada saat kejang pasien kaku seluruh telubuh dan mata mendelik ke
atas dan tangan kelojotan. Durasi kejang 5 detik dan frekuensinya hanya terjadi 2
kali dan diantara kejang terdapat perbaikan kesadaran. Riwayat tertusuk beling dan
tergigit binatang disangkal. Ibu pasien menagku pasien baru pertama kali mengalami
kejadian seperti ini
Dua hari SMRS pasien mengalami demam tinggi. Demam dirasakan terus
menerus dan tidak membaik dengan konsumsi obat penurun panas. Selama pasien
demam tidak pernah suhunya mencapai dibawah normal. Demam juga disertai
dengan muntah. Muntah dirasakan ketika pasien setelah makan. BAB cair, warna
kemerahan pada kelamin, BAK berdarah, keluarnya cairan dari telinga, batuk, pilek,
sesak nafas, warna kekuningan dan kebiruan disangkal. Selain itu pasien juga
terdapat benjolan pada kedua lipatan paha sejak 3 bulan SMRS.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah memiliki keluhan serupa sebelumnya. Riwayat penyakit
paru, asma, liver, penyakit jantung bawaan, dan penyakit bawaan lahir disangkal
e. Riwayat penyakit keluarga
Ibu pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa.
Ibu pasien menyangkal adanya riwayat darah hiprtensi, diabetes, penyakit jantung,
paru dan kelianan bawaan.
f. Riwayat kehamilan dan persalinan
Saat hamil ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dekat rumah
pasien, pasien merupakan anak perempuan yang lahir dari ibu G2P1A0 usia 25
tahun, hamil 38 minggu lahir secara sectio cesaria atas indikasi panggul sempit. BBL
3400 gram, panjang badan 48 cm, APGAR score 9-9-10, dan warna ketuban jernih
g. Riwayat prenatal
Setelah dilahirkan dialkukan resusitasi dan perawatan. Bayi sudah diberikan
suntik viamin K 1 mg, salap mata kloramfenikol, dan O2 nasal kanul 2 liter permenit.
h. Riwayat tumbuh kembang
Berat badan lahir : 3400 gram
Berat badan saat ini: 9 kg
Panjang badan lahir : 48 cm
Panjang badan saat ini: 74 cm
i. Riwayat imunisasi
Hep B 0: saat lahir
BCG: 1 Bulan
Penta bio: 2, 4, 6 Bulan
j. Riwayat makan dan minum
Bayi saat ini mengkonsumsi ASI dan MPASI berupa bubur susu dan pisang

2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 Juli 2019 di ruang perawatan NICU.

a. Keadaan umum
Commpos mentis, tanpak sakit sedang, kurang aktif
b. Tanda vital
Frakuensi Jantung : 153 kali/menit

Pernapasan : 51 kali/menit

Suhu : 36,7 derajat celcius

SpO2 : 96 %

c. Riwayat antopometri
 Berat badan : 9 kg
 Panajang badan : 74 cm
 Lingkar kepala : 36 cm
 Lingkar dada : tidak ada data

d. Status internus
Kepala Normochepal,
Kulit Tidak sianosis, ikterik (-)
Mata Pupil bulat, isokor
Hidung Bentuk normal, nafas cuping hidung (-)
Bibir Sianosis (-), mukosa kering (-)
Thorax
Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (-)
Paru-paru Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Inspeksi : iktus cordis tidak tampak


Jantung Palpasi : iktus cordis teraba pada linea midclavicula sinistra
Auskultasi : irama regular, murmur (-),gallop (-)
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Abdomen
Auskultasi : bising usus (+) normal
Terdapat benjolan pada inguinal sinistra, soliter, tidak mobike,
konsistensi kenyal
Genital Jenis kelamin laki-laki, hiperremis
Akral dingin (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
Ektremitas
Tonus otot: normotonus

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : (+)


Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Laseque : (-/-)
Kernig : (-/-)

Kepala
Bentuk : Normocepali
Nyeri tekan : (-)
Pulsasi : (-)
Simetri : (+)

Leher
Sikap : Tegak
Pergerakan : Aktif

Afasia
Afasia motorik : (-)
Afasia sensorik : (-)
Disartria : (-)

Nervi Kanialis KANAN KIRI

N. I (Olfactorius)
Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan beban Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. II (Optikus)
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang penglihatan
Melihat Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (Oculomotorius)
Sela mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pergerakan bulbus (+) (+)
Strabismus (-) (-)
Nistagmus Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Eksoftalmus (-) (-)
Pupil
- Besar 3mm 3mm
- Bentuk Bulat isokor Bulat isokor
Refleks Cahaya langsung (+) (+)
Refleks Cahaya tidak langsung (+) (+)

N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan mata Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Sikap bulbus Sulit Dinilai Sulit Dinilai
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut (+) (+)
Mengunyah Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Menggigit Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Refleks kornea (+) (+)
Sensibilitas muka Sulit Dinilai Sulit Dinilai
N. VI (Abducen)
Pergerakan mata (ke lateral) Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Sikap Bulbus Baik Baik

N. VII (Fascialis)

Motorik

Mimik : Mulut Mencong ke kiri


Menutup mata : Simetris
Meniup sekuatnya : Sulit Dinilai
Senyum memperlihatkan gigi : Lipatan nasolabialis dextra lebih tidak terlihat
dibandingkan sisi sinistra
Sensorik : Tidak dilakukan

N. VIII (Vestibulokokhlearis)
Detik Arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukanTidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perasaan lidah (1/3 belakang) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX (Glossofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 belakang) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. X (Vagus)
Arkus faring : Simetris kanan dengan kiri
Berbicara : Sulit Dinilai
Menelan : Sulit Dinilai
Refleks Okulokardiak : Tidak dilakukan

N. XI (Accecorisus)
Mengangkat bahu Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Memalingkan kepala Sulit Dinilai Sulit Dinilai
N. XII (Hipoglossus)
Pergerakan lidah Sulit Dinilai Sulit Dinilai

Atrofi lidah Sulit Dinilai Sulit Dinilai


Fasikulasi Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Badan dan Anggota Gerak
Badan
Respirasi :Baik
Gerakan kolumna vertebralis :Bebas aktif

Anggota Gerak Atas

Motorik
Pergerakan Aktif Aktif
Kekuatan Kesan Hemiparesis Dextra
Trofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus

Refleks Fisiologis
- Biceps +2 +2
- Triceps +2 +2

Refleks Patologis

- Hoffman (-) (-)


- Tromner (-) (-)

Sensibilitas

- Raba Tidak dilakukan Tidak dilakukan


- Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Diskriminasi 2 titik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Anggota Gerak Bawah


Motorik
Pergerakan Aktif Aktif
Kekuatan Kesan Hemiparesis Dextra
Trofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus

Refleks Fisiologis
- Patella +2 +2
- Achilles +2 +2

Refleks Patologis

- Babinski (+) (-)


- Chaddok (+) (-)
- Schaeffer (+) (-)
- Oppenheim (+) (-)
- Gordon (+) (-)

Klonus

- Paha (-) (-)


- Kaki (-) (-)

Sensibilitas
- Raba Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Diskriminasi 2 titik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Koordinasi, Gait, dan Keseimbangan


Cara berjalan : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dapat dinilai
Disdiakokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomena : Tidak dilakukan
Dismetri : Tidak dilakukan

Gerak abnormal
Tremor : (-)
Athetose : (-)
Mioklonik : (-)
Chorea : (-)

3. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium hematologi, kimia klinik (14 Juli 2019, 12.53)


Pemeriksaan Hasil satuan Nilai normal
Hematologi
- Hemoglobin 12,4 g/dl 11-15
- Hematokrit 38,00 % 40-52
- Jumlah leukosit 7,5 /uL 3,8-10,6
- Jumlah trombosit 211 /uL 150-400
Kimia Klinik
- GDS 40 Mg/dl 70-110
- Na 135.0 Mmol?]/L 135.0-147.0
- Ka 4.80 Mmol/L 3.50-5.0
- Ca 1.22 Mmol/L 1.00-1.15

Tanggal 16 Juli 2019 (20.47 wib)


Hematologi
- Hemoglobin 12,4 g/dl 11-15
- Hematokrit 37,00 % 40-52
- Jumlah leukosit 10.3 /uL 3,8-10,6
- Jumlah trombosit 211 /uL 150-400
Kimia Klinik
- GDS 74 Mg/dl 70-110
- Na 135.0 Mmol?]/L 135.0-147.0
- Ka 4.80 Mmol/L 3.50-5.0
- Ca 1.22 Mmol/L 1.00-1.15

- GDS 56 mg/dl 70-110

Tanggal 20 Juli 2019 (20.47 wib)


Hematologi
- Hemoglobin 12,6 g/dl 11-15
- Hematokrit 38,00 % 40-52
- Jumlah leukosit 9,2 /uL 3,8-10,6
- Jumlah trombosit 211 /uL 150-400
Kimia Klinik
- GDS 40 Mg/dl 70-110
- Na 135.0 Mmol?]/L 135.0-147.0
- Ka 4.80 Mmol/L 3.50-5.0
- Ca 1.22 Mmol/L 1.00-1.15

- GDS 114 mg/dl 70-110

 Pemeriaksaan radiologi
CT Scan Kepala dengan Kontras (19 Juli 2019, 12.00 wib)
2.3 Resume
Pasien datang dengan keluhan kejang 2 jam SMRS. Kejang dirasakan baru
pertama kali. Pada saat kejang pasien kaku seluruh telubuh dan mata mendelik ke atas
dan tangan kelojotan. Durasi kejang 5 detik dan frekuensinya hanya terjadi 2 kali dan
diantara kejang terdapat perbaikan kesadaran. Ibu pasien menagku pasien baru pertama
kali mengalami kejadian seperti ini. Dua hari SMRS pasien mengalami demam tinggi.
Demam dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan konsumsi obat penurun
panas. Selama pasien demam tidak pernah suhunya mencapai dibawah normal. Demam
juga disertai dengan muntah. Muntah dirasakan ketika pasien setelah makan. Selain itu
pasien juga terdapat benjolan pada kedua lipatan paha sejak 3 bulan SMRS.

Pemeriksaan fisik di dapatan bayi commpos mentis terlihat sakit sedang dan kurang
aktif, tanda vital di dapatkan frakuensi jantung 153 kali/menit, pernapakasan 51
kali/menit suhu 36,7oc dan spo2 96 %. Pada pemeriksaan generalisata didapatkan adanya
benjolan yang terdapat pada regio inguinal bilateral, soliter, tidak mobile dan tidak ada
nyeri tekan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan adanya kaku kuduk. Pada
pemeriksaan laboratorim didapatkan leukositosis.

2.4 Diagnosis Banding


 Meningoencephalitis e.c Virus
 Meningoencephalitis e.c jamur
 Meningoencephalitis e.c Tuberculosis
 Meningoensefalitis e.c Toxoplasmosis
 Hernia inguinalis direct

2.5 Diagnosis Kerja


 Meningoencephalitis e.c bakteri
 Hernia Inguinalis Lateralis Bilateral

2.6 Terapi
 IVFD Ringer Laktat 12 tpm
 Inj Cefotaxime 3x500mg
 Inj Dexamethasone 3x2mg

2.7 Saran atau rencana pemeriksaan


 Rawat di ruang perawatan PICU
 Lumbal Pungsi
 Hitung jenis leukosit
 Kultur LCS
 Mantoux test
 Rontgent thorax ap lateral
 Konsuk bedah untuk terapi operatif

2.8 Prognosis
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

2.9 Follow up
Pemeriksaan Tanggal

23 Juli 2019 24 Juli 2019 25 Juli 2019

S Keluhan Kejang (-) Kejang (-) Kejang (-)


Demam (-) Demam (-) Demam (-)
Sesak (-) Sesak (-) Sesak (-)
Biru (-) Biru (-) Biru (-)

O KU Sakit sedang Sakit sedang Sakit sedang


Tanda vital HR : 115x/menit HR : 106x/menit HR : 102x/menit
RR : 24 x/menit RR : 22x/menit RR : 24 x/menit
Suhu : 36,8oC Suhu : 36,4oC Suhu : 37,2,oC
PF Retraksi - Retraksi - Retraksi -
Sadar, kurang aktif Sadar, kurang aktif Sadar, kurang aktif
Paru : ronkhi (-), Paru : ronkhi (-), Paru : ronkhi (-),
wheezing (-) wheezing (-) wheezing (-)
Abd: BU (+) Normal Abd: BU (+) Normal Abd: BU (+) Normal
Luka operasi Perembesan luka
merembes operasi (-)

A Diagnosis - Meningoencephaliti - Meningoencephaliti - Meningoencephaliti


s e.c Bakteri s e.c Bakteri s e.c Bakteri
- Hernia Inguinalis - Hernia Inguinalis - Hernia Inguinalis
Lateralis Bilateral Lateralis Bilateralp Lateralis Bilateral

P Terapi Terapi Lanjut Terapi Lanjut Terapi Lanjut


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningoencephalitis Bacterialis

1. Definisi

Meningoensefalitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput dan


parenkim otak yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear
dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam
cairan serebrospina
2. Epidemiologi

Angka kejadian meningoensefalitis bakterial secara keseluruhan belum


diketahui dengan pasti. Tri Ruspandji di Jakarta tahun 1980 mendapatkan 1,9%
dari pasien rawat inap. Di Surabaya tahun 1986-1992 jumlah pasien per tahun
berkisar antara 60-80 pasien. Di Amerika Serikat tahun 1994 angka kejadian
untuk anak-anak di bawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000 sedangkan pada anak
di atas 5 tahun 2,2 per 100.000.

Di RSUD Dr.Soetomo Surabaya dari tahun 1988-1993 didapatkan angka


kematian berkisar 13-18% dengan kecacatan 30-40 %. Tri Ruspandji di Jakarta
1981 mendapatkan angka kematian sebesar 41,8% dan Setiyono di Yogyakarta
sebesar 50%

Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan


perbandingan laki-laki dibanding wanita, 1,7 samai 3: 1. Sekitar 80% dari seluruh
kasus meningoensefalitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dạri jumlah tersebut
terjadi pada anak berusia 1 sampai 5 bulan

3. Etiologi

Bakteri yang sering menyebabkan meningoensefalitis bacterial sebelum


ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningoensefalitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus.
4. Patofisiologi

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran


darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningoensefalitis.

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan manifestasi klinis meningoensefalitis bakterial begitu luas
sehingga sering juga didapatkan pada anak-anak baik yang terkena
meningoensefalitis maupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi
tergantung usia pasien, lama pasien dirumah sebelum diagnosis dibuat dan
respons tubuh terhadap infeksi
Meningoensefalitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit
didiagnosis, gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada
meningoensefalitis bayi baru lahir hanya terjadi pada 1/2 dari jumlah kasus.
Biasanya pasien tampak lemah dan malas, tidak mau minum, muntah-muntah,
kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas,
respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus jika sudah terjadi sepsis.
Secara umum apabila didapatkannya sepsis pada bayi baru lahir maka kita harus
mencurigai adanya meningoensefalitis.
Bayi berumur 3 bulan-2 tahun jarang memberi gambaran klasik
meningoensefalitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam,
muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-kadang di dapatkan pula high pitched
cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan
membonjol, sedangkan tanda Brudzinski dan Kernig sulit dievaluasi. Oleh karena
insidens meningoensefalitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi
susunan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang
tidak dapat diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningoensefalitis kadang-kadang
memberikan gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam,
menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah
kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium,
stupor dan koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi
pembuluh darah meningen, sering disertai dengan fotofobi dan hiperestesi, kaku
kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks
spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium,
juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf-saraf kranial VI, VII, dan
IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder
karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis
fokal. Vaskulitis serebral dapat menyebabkan serebritis dan abses. Trombosis
vaskular dapat menycbabkan kejang dan hemiparesis.

6. Penegakan Diagnosis

Anamnesis
- Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna seperti
demam, batuk, pilek, diare, dan muntah.
- Gejala meningoensefalitis adalah demam, nyeri kepala, meningismus dengan atau
tanpa penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal
yang sangat sugestif meningoensefalitis tetapi tidak ada satu gejala pun yang khas.
- Banyak gejala meningoensefalitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak
kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala hanya berupa
demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched-cry.

Pemeriksaan fisis
- Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas.
- Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang membonjol, kaku kuduk, atau tanda
rangsang meningeal lain (Bruzinski dan Kernig), kejang, dan defisit neurologis
fokal. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak berusia
kurang dari 1 tahun.
- Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
- Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia)

Pemeriksaan penunjang
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika
ada indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi:
- Didapatkan cairan keruh atau opalesence dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/
(++).
- Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa < 40 mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji
resistensi. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal dengan predominan
limfosit.
- Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap dimulai pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
untuk identifikasi kuman, itu pun jika antibiotiknya sensitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningoensefalitis, meskipun terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan
berhati- hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan computed tomography (CT scan) dengan kontras atau magnetic
resonance imaging (MRI) kepala (pada kasus berat atau curiga ada komplikasi
seperti empiema subdural, hidrosefalus, dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

7. Tatalaksana

Medikamentosa
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuikan dengan hasil biakan dan uji
resistensi.

Terapi empirik antibiotik


- Usia1-3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 200-300
mg/ kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
- Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + kloramfenikol 100
mg/ kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil
kultur dan resistensi.

Deksametason

Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi


deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian antibiotik
dengan tujuan untuk mengobati edema vasogenik yang terjadi pada meningoensefalitis

Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari.

Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.

Suportif
- Periode kritis pengobatan meningoensefalitis bakterialis adalah hari ke-3 dan ke-
4.Tanda vital dan evaluasi neurologis harus dilakukan secara teratur. Guna
mencegah muntah dan aspirasi sebaiknya pasien dipuasakan lebih dahulu pada awal
sakit.
- Lingkar kepala harus dimonitor setiap hari pada anak dengan ubun-ubun besar
yang masih terbuka.
- Peningkaan tekanan intrakranial, Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone
(SIADH), kejang dan demam harus dikontrol dengan baik. Restriksi cairan atau
posisi kepala lebih tinggi tidak selalu dikerjakan pada setiap anak dengan
meningoensefalitis bakterial.
- Perlu dipantau adanya komplikasi SIADH. Diagnosis SIADH ditegakkan jika
terdapat kadar natrium serum yang < 135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum
< 270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin > 30
mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia.
Beberapa ahli merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai
cairan isotoni, terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah
cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali
normal.
.

7. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak


sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin
ditemukan adalah ventrikulitis efusi subdural, gangguan elektrolit,
meningoensefalitis berulang, abses otak, kelainan neurologis berupa paresis
atau paralisis, gangguan pendengaran, hidrosefalus, pada pengawasan jangka
panjang mungkin ditemukan retardasi mental dan epilepsi
Ventrikulitis
Infeksi pada sistem ventrikel dapat primer atau sekunder penyebaran
mikroorganisme dari ruang sebaraknoid karena pasang turut cairan
serebrospinal atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi
pada neonatus, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan
meningoensefalitis purulenta. Apabila ventrikulitis disertai obstruksi
aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi setempat (terlokalisasi) seperti
abses, dengan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan dapat
menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotik
parenteral secara masif, irigasi dan drainase secara periodik
Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam
tetap ada setelah 72 jam pemberian antibiotik dan pengobatan suportif yang
adekuat, ubun-ubun besar tetap membonjol, gambaran klinis
meningoensefalitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan
neurologis fokal dan muntah muntah. Diagnosis ditegakkan dengan
transiluminasi kepala atau pencitraan. Transiluminasi kepala dinyatakan
positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6 bulan
daerah translusen melebihi 3 cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih.
Selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a. kering sendiri, bila
jumlahnya sedikit; b. metetap atau bertambah banyak. c. membentuk membran
yang berasal dari fibrin. d. menjadi empiema daerah translusen melebihi 2 cm.
Pengobatan efusi subdural masih kontroversial, tetapi biasanya dilakukan tap
subdural apabila terdapat penekanan jaringan otak, demam menetap,
kesadaran menurun tidak membaik, peningkatan tekanan intrakranial menetap,
dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari (selang sehari) sampai
kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah
Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan
terbentuk membran yang berasal dari fibrin, dan dapat menghalangi
pertumbuhan otak. Membran akan membentuk neovaskular yang ujungnya
menempel di korteks serebri dan dapat merupakan fokus iriatif akan timbulnya
epilepsi di kemudian hari. Pengeluaran cairan satu kali tap maksimal 30 ml
pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom,
setelah tap beberapa kali menjadi kuning muda.
Gangguan Cairan dan Elektrolit
Pada pasien meningoensefalitis bakterial kadang disertai dengan
hipervolemia (edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini
disebabkan oleh karena syndrome inappropriate antidiuretic hormone release
(SIADH), sekresí ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan menimbang
ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolalitas
urin, dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian
cairan, pemberian diuretik (furosemid). Pada pasien yang berat dapat
diberikan sedikit natrium.
Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningoensefalitis bakterial mengalami
komplikasi tuli terutama apabila disebabkan oleh S. pneumomiae. Tuli
konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah yang menyertai
meningoensefalitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. TuliTuli sensorineural
lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VII.
Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan
BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang
berat menetap

Komplikasi lain berupa hidrosefalus, kejang, hemiparesis, tetraparesis,


dan retardasi mental. Pada hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf
untuk pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal

2.2 Hernia Inguinalis


1. Definisi
Hernia (Latin) merupakan penonjolan bagian organ atau jaringan melalui
lobang abnormal. Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia terdiri
atas cincin, kantong, dan isi hernia.

2. Klasifikasi Hernia Inguinalis


Hernia Inguinalis Direk (Medialis)

Hernia inguinalis direk terjadi sekitar 15% dari semua hernia inguinalis.
Kantong hernia inguinalis direk menonjol langsung ke anterior melalui dinding
posterior kanalis inguinais medial terhadap arteria, dan vena epigastrika inferior,
karena adanya tendo conjunctivus (tendo gabungan insersio musculus obliquus
internus abdominis dan musculus transversus abdominis) yang kuat, hernia ini
biasanya hanya merupakan penonjolan biasa, oleh karena itu leher kantong hernia
lebar. Hernia inguinalis direk jarang pada perempuan, dan sebagian besar bersifat

bersifat bilateral

Hernia Inguinalis Indirek (Lateralis)


Hernia inguinalis indirek, disebut juga hernia inguinalis lateralis, karena
keluar dari rongga peritoneum melalui annulus inguinalis internus yang terletak
lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam
kanalis inguinalis, dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari annulus
inguinalis ekternus. Apabila hernia inguinalis lateralis berlanjut, tonjolan akan
sampai ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis. Kantong hernia berada dalam
muskulus kremaster terlatak anteromedial terhadap vas deferen dan struktur lain
dalam funikulus spermatikus. Pada anak hernia inguinalis lateralis disebabkan
oleh kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum
sebagai akibat proses penurunan testis ke skrotum. Hernia inguinalis indirek
(lateralis) merupakan bentuk hernia yang paling sering ditemukan dan diduga
mempunyai penyebab kongenital. Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang
melalui anulus inguinalis internus yangterletak di sebelah lateral vasa epigastric
inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar dari rongga perut melalui anulus
inguinalis eksternus. Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada
bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan
testis tersebut akan menarik peritonium ke daerah skrotum sehingga terjadi
penonjolan peritoneum yang disebut prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang
sudah lahir, umumnya prosesus ini sudah mengalami obliterasi sehingga isi
rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Namun dalam beberapa hal,
sering kali kanalis ini tidak menutup. Karena testis kiri turun lebih dahulu maka
kanalis kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal kanalis yang terbuka
ini akan menutup pada usia 2 bulan.15 Bila prosesus terbuka terus (karena tidak
mengalami obliterasi), akan timbul hernia inguinalis kongenital. Pada orang tua,
kanalis tersebut telah menutup namun karena lokus minoris resistensie maka pada
keadaan yang menyebabkan peninggian tekanan intra abdominal meningkat, kanal
tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis akuisita.
3. Manifestasi Klinis
Gejala Klinis
Gejala klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi hernia. Gejala
yang muncul biasanya berupa adanya benjolan di lipat paha yang muncul pada
waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan menghilang setelah berbaring.
Keluhan nyeri jarang dijumpai kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium
atau periumbilikal berupa nyeri visceral karena regangan pada mesenterium
sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.11 Hernia
inguinalis yang paling sering pada anak adalah hernia inguinalis lateralis
(indirect). 60% dari kasus hernia inguinalis biasanya biasanya ada pada sisi kanan,
30% pada sisi kiri dan 10% bilateral.

Tanda Klinis
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada saat
inspeksi, pasien diminta mengedan maka akan terlihat benjolan pada lipat paha,
bahkan benjolan bisa saja sudah nampak meskipun pasien tidak mengedan. Pada
saat melakukan palpasi, teraba benjolan yang kenyal, mungkin isinya berupa usus,
omentum atau ovarium, juga dapat ditentukan apakah hernia tersebut dapat
didorong masuk dengan jari / direposisi.Sewaktu aukultasi dapat terdengar bising
usus dengan menggunakan stetoskop pada isi hernia yang berupa usus
4. Tatalaksana
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis
yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip
pengobatan hernia adalah herniotomi. Pada herniotomi dilakukan pembebasan
kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan
kalau ada perlengketan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi
mungkin lalu dipotong
REFERENSI

1. Sadler, T. W. 2014. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi Ke-12.


Jakarta: EGC
2. Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
3. Nichpanit, S. 2005. Risk Factors for Death Among Newborns with
Respiratory Distress Syndrome at Kalasin Hospital. Srinagarind Med J.
20: 255-261.
4. Liu, J., N. Yang, dan Y. Liu. 2014. High Risk Factors Of Respiratory
Distress Syndrome In Term Neonates: A Retrospective Case Control
Study. Balkan Medical Journal. 31:64-68.
5. Anadkat, J.S., M. W. Kuzniewicz, B. P. Chaudhari, F. S. Cole, dan A.
Hamvas. 2012. Increased Risk for Respiratory Distress Among White,
Male, Late Preterm and Term Infants. Journal of Perinatology. 32:780-
785.
6. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali
Vinci Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”,
buku Ilmu Kesehatan Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087.
7. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in
the moderately preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit,
Leeds Teaching Hospitals NHS Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada
tanggal 28 Februari 2011.
8. Hessler, J.R., G. Mantilla, B. V. Kirkpatrick, W. H. Donnelly, S. Cassin,
dan D. V. Eitzman. 1985. Asphyxia and hyaline membrane disease in
neonatal monkeys. Am J Perinatol. 2(2):101-107.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid II. Ikatan
dokter anak indonesia.2009

10. Sweet David G, Carnielli Virgilio, Greisen Gorm, dkk, “European


Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory
Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010 Update”. Dipublikasi pada
tanggal 10 Juni 2010.
11. Pudjadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009

Anda mungkin juga menyukai