Anda di halaman 1dari 166

UROLOGI

Frekuensi Miksi :
Normal : 4 – 8 kali/ hari
Meningkat > 8 kali/hari  Kel. TU, Kel. Metabolisme,
psikologik/ansietas.

Straining :
 Usaha untuk meningkatkan pancaran miksi dengan sengaja
melakukan kontraksi otot abdomen dan pelvis
 Ciri obstruksi bladder outlet

Enueresis : ngompol > 3 x/ mgg pada anak yang harusnya sudah


tidak ngompol

Stranguria : disuria berat + hematuria

IVP :
Kontras : urografin 76 % = 0,5 mg/ kg BB or 60-100 cc
1 ampul = 20 cc

SC < 1,6 : - BB < 50 kg  dosis 1 ampul


- BB > 50 kg  dosis 2 ampul
SC 1,6 – 2,5 :
- BB < 50 kg  dosis 2 ampul
- BB > 50 kg  dosis 4 ampul

SC 2,5 – 3,5 :
- Infusion 5 ampul + 100 cc D5 (=200 cc)
- grojok sampai sisa 25 cc

Bila alergi ringan/ sedang :  difenhidramin 50 mg/ iv


Bila alergi berat :
Resusitasi C/P
Epinefrin 1/1000  0,3 cc / sc or 1/10.000 3 cc/ iv
Difenhidramin 50 mg/ iv
Bila bradicardi  atropin 0,5 cc/ iv

Profilaksis reaksi alergi kontras :


Difenhidramin 50 cc – 1jam sebelum injeksi
Prednison oral : 4 x 50 mg -- 1 hari sebelumnya
1 jam
sebelum injeksi
4 jam setelah
selesai

Indikasi IVP :
- Curiga kelainan kongenital TU
- ISK berulang or resisten
- Colik yg diduga dari TU
- Hematuria
- Curiga tumor TU
- Curiga urolitiasis, kecuali BBB endemis
- Hipertensi renovaskular
- Trauma TU

JEF & GWK 1


- Buli-buli neuropati
- BPH tanpa retensi
- PNA, GNA, hematuria + silinder eritrosit
- Tumor testis

Indikasi RPG :
- IVP tidak informatif  terdapat obstruksi tapi causa tidak
jelas
- IVP tidak dapat dikerjakan dan sarana lain tidak dapat
membantu diagnosis
- Curiga fistel upper tract
Kontras yg dipakai 30 % = 5 – 10 cc

Komplikasi RPG :
Septikemia
False route
Reaksi kontras
Obstruksi sementara o/k edema ureter
Kaliko renal refluks

Sistografi :
Masukkan kontras langsung kedalam buli-buli mll :
Kateter transuretra
Perkutan,SPP  kedalam buli
Kontras 30 % sebanyak sesuai kapasitas buli
Indikasi sistografi :
Vistel fesikovaginal
Fistel vesikointestinal
Fistel vesikourakal
Striktur uretra totallis untuk ketahui batas proximal dan panjang
penyempitan  vol kontras harus cukup agar bledder outlet
membuka dan terisi kontras atao hingga pasien ingin kencing
Curiga refluks vesiko uretra  refluks studi

Uretrografi :
Kontras 10 – 20 cc kedalam uretra
Indikasi :
- Curiga striktur uretra
- Curiga ruptur uretra
- Curiga duplikasi/ divertikel uretra
- Bila curiga klep uretra  kontras masuk antegrade
Lopografi :
Pemeriksaan radiologis dengan kontras pada pasien yg telah
dikerjakan diversi urin dengan conduit dari usus, kontras
dimasukkan mll stome dari cunduit tersebut

JEF & GWK 2


Vasografi : Pemeriksaan Vas deferens dengan kontras:
retrorade mll ductus ejakulatorius dgn bantuan panendoskopi, 
kontras juga masuk vesikula seminalis  vasoseminal
vesikolagrafi
- langsung mll vas deferens yg telah dikeluarkan lewat skrotum.
- Bila curiga obstruksi vas deferens pada infertilitas pria.

Phlebografi v. spermatika interna sin. :


- Kontras masuk kedalam v. spermatika interna melalui incisi kecil
di inguinal  cath  v. femoralis  v. iliaka  v. cava inferior 
cab. V. renalis sin  masuk kontras.
- Indikasi : Varikokel subklinis
Varikokele yg tdk hilang/ kambuh pasaca operasi
Bila (+) varikokele  injeksi bahan oklusan  hati-hati dapat terjadi
emboli v. renalis

Kavernosografi :
Ro. Penis dgn injeksi kontras kedalam korpus cavernosum
Indikasi : Fraktur penis, ruptur tunika albuginea
Impotensia erektile, curiga v. oklusi (inkompeten)

Arteriografi A. renalis : indikasi :


- Curiga tumor renalis  hipervaskularisasi
- Calon donor ginjal
- Horse shoe Kidney pro separasi

Limfangiografi :untuk mengatahui saluran kel limfe :


Kel. Limfe inguinal, pelvinal & retroperitoneal (tu. Testis)
Kontras masuk mll sal limfe dorsum penis.
BCR : kontraksi spinter anal dan otot bulbocavernosus
 S2-4
Reflex cremaster  L1-2
Reflex anal  S2-5

Acut treatment of Hyperkalemia :


1. Cal. Glukonate 10 %, 10 cc/ i.v.  10 mnt.
2. 10 IU RI & 25 grm Glukosa (50 cc 50 % atau 125 cc 20% ) /
i.v.
3. Cation exchange Resin (ex. Calsium atau Sodium Polystyrene
sulphonate) 30 grm  sbg enema.
4. Osmotic laxative (ex. Laktulose).

Renogram yang dinilai :


- Vascularisasi
- Sekresi
- ekskresi  hambatan.
Kurve rendah, relatif mandatar  Pola RF
Kurve naik pelan  pola kurve obstruksi.

JEF & GWK 3


Embriologi Traktus Urinarius
Dibagi menjadi 5 sub Devisi :
1. Sistim nefrik; ada 3 tahap :
a. Pronefros  terbentuk minggu ke 3 & pd minggu ke 4
mengalami degenerasi.
b. Mesonefros  terbentuk mgg ke 4. Tubulus mesonefros
berkembang membentuk capsul bowmen. Minggu ke 8
mengalami degenerasi membentuk mesonefric duct
yang akan membentuk organ reproduksi pria.
c. Metanefros  fase terakhir dari perkembangan sistim
nefrik, mulai pada mgg ke 5. Intermediate mesoderm
dan mesonefric duct akan membentuk ureteric bud.
Bagian cranial dari ureteric bud membentuk ginjal dan
bagian distal menjadi ureter yg bersatu dengan cloaka.
2. Sistim vesiko-uretra; terbentuk dari sinus urogenital.
Sinus urogenital dibagi 2 segmen :
a. Ventral  berasal dari mullerian duct  membentuk buli
dan uretra prostatika (pria) atau seluruh uretra (wanita).
Secara embriologis buli terdiri dari 2 bagian :
Bladder body : berasal dari endoderm-lined
vesicourethral canal
Trigonum : berasal dari bagian mesonefric duct
Buli turun pada mgg ke 18 dan terpisah dari umbilikus
pada mgg ke 20
Prostat terbentuk mgg ke 11-16 dari mesonefrik duct.
b. bagian uretral  berasal dari mullerian duct
3. Sistim Gonad;
Berasal dari urogenital ridge. Berdifferensiasi menjadi testis
atau ovarium pada mgg 10
4. Sistim duktus genetalia;
Jika gonad berkembang menjadi testis (mgg ke 7) maka
duktus wolfian akan berdifferensiasi menjadi sistim duktus
laki-laki : epididimis, vas difference, vesikula seminalis, duktus
ejakulatorius.
Jika berkembang menjadi ovarium (mgg ke 8) maka duktus
mullerian (remnant dari wolfian) membentuk tuba uterina ,
uterus dan sepertiga atas vagina.
5. Sistim genetalia eksterna; terbentuk pada minggi ke 8
a. Genetalia tubercle : pria  penis; wanita  clitoris
b. Genital swelling ; priaskrotum; wanitalabia mayor

Kelainan sistim nefrik


1. Ectopic kidney; kegagalan metanfros untuk assending
Simple ektopic, letak rendah
Crossed ectopic, ke seberang
Thoracic.
2. Malrotated kidney kegegelan rotasi selama assending
3. Horse shoe kidney; kegagalan fusi dari kedua metanefros
mass
4. Ureter bifidum; bifurkasio ureteral bud dari mesonefric duct
5. Duplikasi ureter; terbentuk assesory bud daari mesonefric
duct. Biasanya bertemu dgn massa mesonefric yg sama. Bila
masing2 bud memiliki masa mesonefric yg berbeda akan

JEF & GWK 4


terbentuk supernumerary kidney (jarang)  bila komplet
mengikuti hukum weigert-Meyer.
6. Solitary kidney/agenesis; kegagalan perkembangan wolfian
duct atau ureteral bud.
Bilateral agenesis berhubungan dgn oligohidramnion.
Unilateral agenesis  berhubungsn dgn primary VUR (28%),
obstructive megaureter (11%), & UPJO (3%).
7. Renal disgenesis : ada 3 tipe : dysplastic, hypoplastic, and
cystic  abnormal metanephric differentiation
8. Renal agenesis : unilateral or bilateral

Kelainan kongenital lain pada ginjal :


1. Polikistic Kidney Disease (PKD)
Autosomal resesif (infant)
Autosomal dominant (adult)
2. Medullary sponge kidney (tubular ektasis) : 75 % bilateral
3. Medullary cystic disease
4. Multi cystic dysplastic kidney (MDK) : unilateral.

Kelainan sistim kolecting:


1. divertikel kalik
2. UPJ obstruction  ekstrinsik or intrinsik
3. Hydrokalikosis
4. Megakalikosis
5. Infundibulopelvic stenosis

Kelainan ureter:
1. Dupllikasi ureter (autosomal dominan)
2. Atresia  berhubungan dgn MDK
3. Mega ureter  ada 3 tipe :
a. Simple : intravesikal dgn 1 ureter
b. Intravesikal dgn duplikasi ureter
c. Ectopic

Kelainan Vesikouretral unit.


1. Persisten cloaca; kegagalan kloaka untuk membagi
2. Fistula rektovesikal, rekto uretral, rektovestibular  akibat
pemisahan kloaka yang inkomplet.
3. Kelainan urakhus akibat maldescensus dari buli :
a. Fistula urachus
b. Cysta urachus
c. Diverticulum urachus
4. Epispadia;  akibat pembentukan korpora kavernosa caudal
dari outlet sinus urogenital dengan urethral groove pada
permukaan dorsal.
5. Ekstrofia buli; defek epispadia yang ekstrim  akibat
kegagalan membran kloaka untuk migrasi ke perineum pd
minggu ke 4. Ada 2 tipe :
a. tipe klasik (60%) : buli & uretra terbuka ke dorsal, penis
pendek, undesensus testis, hernia inguinalis, clitoris
bifidum.
b. Tipe kloakal (10%) : vesikointestinal fissura, short distal
kolon, omphalokel.
Kelainan penyerta pd ekstrofia buli :
a. VUR
b. HIL

JEF & GWK 5


c. Epispadia
d. Saparated pubic symphysis
e. Displasia ginjal
f. Horse shoe kidney
Problem pada ekspose bladder : proteksi mukosa dari injury
dan iritasi dan mencegah edema.
Tidakan pd ekstrofia buli :
a. primary bladder clossure : dini setelah lahir + iliac
osteotomi
b. epispadia repair (6-18 bln)
c. bladder neck reconstruction + koreksi VUR (ureteral
reimplantation)
Bila prosedur pertama gagal dan kapasitas buli kecil 
bladder augmentation untuk incontinent :
a. collagen injeksi
b. revisi bladder nect
c. artifisial spinter
6. Hypospadia; kegagalan fusi dari urethral folds.

Kelainan uretra :
1. katup uretra posterior (1:5000) akibat kegagalan regresi
segmen terakhir mesonefric duct. Ada 3 tipe :
I. obtruksi
II. nonobstruksi ; fold di uretra prostatika
III. berupa uretral membran.
Kelainan penyerta : VUR, renal displasia, hidroureteronefrosis,
hipoplasia paru.
Young membagi jadi 3 tipe yakni :
I. Valve di distal dari kollikulus dan melekat pd kolikulus.
II. Valve di prox kolikulus dan melekat pd kolikulus.
III.Valve di distal atau prox kolikulus dan tdk melekat pada
kolikulus. Bentuk obstruksi pin point di tengah.
2. megalo uretra  berhubungan dgn prune-belly-syndrome
3. katup uretra anterior
4. micropenis.

Kelainan sistim Gonad.


1. Hipogenesis.
2. Supernumerary gonad  jarang
3. Criptorchismus
4. Ectopic testis.

Kelainan sistim duktus gonad.


1. tidak menyatu rete testis dan duktus efferent  steril
Penyebab kelainan interseksualitas :
1. Kelainan pada chromosom : Turner’s syndrome
2. Kelainan endokrin primer; akibat produksi hormon oleh testis
tidak adekuat.
3. Kegagalan target organ; GE dan Mwolfian duck tdk respon
terhadap testosteron yang dihasilkan testis.

Klasifikasi kelainan intersex berdasarkan histologi gonad :


1. Female pseudohermaphrodites. Secara histologis ovarium
normal. Karitype 46XX. GE  gambaran virilisasi. Contoh
congenital adrenal hyperplasia, 21-hydroxylase deficiency.

JEF & GWK 6


2. Male pseudohermaphrodites. Secara histologis kedua testis
normal. Karitype 46 XY. GE  kegagalan maskulinisasi
parsial or komplet. Contoh androgen insensitivity, 5-alfa
reduktase deficiency.
3. True hermaphrodites. Terdapat testis dan ovarium. Kariotype
dan gambaran GE bervariasi.
4. Keadaan dgn disgenetik Gonad. Gonad secara histologis
berbeda. Gambarn GE dan kariotype bervariasi; XY dan XO.

Kelainan genetalia eksterna:


Itersex.
Hipospadia  kegagalan fusi uretral fold
Hidrocele communican & hernia

JEF & GWK 7


Uropati Obstruktif
 Ca cervik
Uropati obstruktif = anuria obstruksi dan obstruksi yang
menyebabkan stasis urin disertai bakteremia atau urosepsis.
Patofisiologi : Kenaikan tek. sistim kolecting dan aliran darah ke
ginjal berkurang  menyebabkan atrofi dan nekrosis  semua
fungsi ginjal terganggu.

Dx/ - Anamnesis, PD, Lab  SC > 6


- Ro : IVP + Endoskopi  bila memenuhi syarat
BOF / USG

MRS melalui UGD, bila
b/p. tindakan klasifikasi cito :
- Urosepsis
- Pyonefrosis
- Anria
b/p tindakan klasifikasi urgent :
- Acut on CRF
- GK / uremia

Konsul kandungan
Dx= staging

Renc. Tindak-
an & Th/ 
Diversi urine
Paliatif
k/p HD pre Op. +

Anamnesis : riwayat kolik, disuri, keluar batu, operasi UT. Fl. Pain,
menggigil/demam, anuria, fl. mass
Lab. : - UL : leukosituria, hematuria.
- DL : Leukositosis, LED meningkat, shift to the left.
USG : sistim kalik melebar, ada batu.
BOF : batu, perselubungan daerah ginjal.
Terapi :
1. Antibiotik : - Ampi 4 x 1 gr + Gentamicin 2 x 80 mg atau
- sefalosporin generasi ke-3
2. Operatif :  prinsip cepat masuk , cepat keluar.
* Nefrostomi, ada dua cara :
a. Terbuka (klasik), tindakan sementara, perlu tindakan definitif.
Tujuannya mengeluarkan urin yang tersumbat. Bila kortek
masih tebal ginjal dibebaskan sampai terkihat pelvis dan
Folley kateter no 20 dimasukkan kedalam pyelum melalui
pelvis renalis. Bila kortek sudah tipis Folley kateter
lanngsung dimasukkan melalui sayatan pada kortek.
b. Peerkutan, dengan bantuan flouroskopi. Syarat : ginjal teraba
dari luar, kortek tipis dan tidak gemuk.
3. Bila keadaan sudah stabil lakukan Pielografi antegrad.

JEF & GWK 8


DIURESIS :
Klasifikasi :
1. Fisiologis : akibat retensi urea, Na. & air.
Non electrolite Solute diuresis :
C/ osmotically aktif agent. (urea)
2. Patologis : c/ kegagalan kemampuan mengkonsentrasi urin
atau reabsorbsi Na.
3. Iatrogenik : c/ high –volume glukose-containing fluid
replacement.

Post obstruktif Diuresis :


C/ combinasi dari :
 Fisiologik diuresis  urea osmotik diuresis
 Patologik diuresis
 Iatrogenik diuresis glukose osmotik diuresis
Biasanya 2 hari atau kurang ( BUN dan SC turun menjadi normal)
Biasanya disertai dengan :
Obstruksi kronis
Edema
Congestif HF
Hipertensi
Kenaikan BB
Azotemia
Uremia encephalopathi
Klinis :
SC > 4,0, CHD, edema perifer
Hight risk terhadap post obstruksi diuresis

Mekanisme yg menyebabkan ketidak mampuan mengkonsebtrasi


urine :
 Reabsorbsi NaCl  o/ thick ascending loop
Reabsorbsi Urea  o/ kolekting loop
 Ketidakmampuan mempertahankan solute gradient akibat 
medullary blood flow (solute washout)
 Kegagalan medullary gradient akibat  aliran & konsentrasi
solute di nefron distal.

Diuresis post obstruksi yang paling sering adalah Pathologik


sodium loss  Sodium washting nephropathy

Definisi poliuri :
Urine out put > 3 lt/hari  pd keadaan minum biasa.

Untuk membedakan poliuria k/ solute diuresis atau wawter diuresis


 periksa osmolaritas urine.
Bila < 150 mosmol   water ingestion/ d.insipidus
Bila iso/ hiperosmolar : periksa Na, K.
(Na + K) x 2  << osmol urine osmotik diuresis
(Na + K) x 2  = osmol urine  salt & water diuresis

Diuresis post Obstruksi dapat menyebabkan terjadinya :


Dehidrasi
Kehilangan Natrium.

JEF & GWK 9


Edema cerebri
Kejang
 Evaluasi CVP, Balance cairan, Cek K & Na

JEF & GWK 10


Varicocele

Melebar + berkelok-2 plexus pampiniformis, derajatnya :


- Grade I : teraba / tampak setelah valsava  < 1 cm
- Grade II : teraba / tampak saat berdiri  1 - 2 cm
- Grade III : teraba / tampak saat baring  > 2 cm

Varikokel lebih sering kiri karena :


- V. spermatika kiri bermuara pada v. renalis kiri
- V. spermatika kiri > panjang dari kanan
- V. renalis kiri terjepit oleh aorta dan a. mesenterika superior
- Katup v. spermatika kiri lebih jelek

Indikasi operasi varikokel :


- Varikokel dengan keluhan.
- Varikokel dengan komplikasi
- Analisa sperma  penurunan kwalitas dan kwantitas sperma.

Opersi Varikokel : Vasoligasi tinggi v. spermatika interna.


1. Metode Palomo : Incisi inguinal transversal.
2. Prosedur laparoskopik.

Sebab Varikokel :
1. Dilatasi atau hilangnya mekanisme pompa otot atau
kurangnya struktur penunjang/ atrofi otot cremaster,
kelemahan kongenital, proses degeneratif pl. pampiniformis.
2. Hipertensi v. renalis atau penurunan aliran ginjal ke vena kava
inferior.
3. Turbulensi dari v. supra renalis s kedalam juxta v. renalis
internus s berlawanan dengan kedalam v. spermatika int.s.
4. Tekanan segment iliaka (oleh feses) pada pangkal v.
spermatika .
5. Tekanan v. spermatika int. meningkat letak sudut turun v.
renalis 90 derajat.
6. Skunder : tumor retro, trombus v. renalis, hidronefrosis.

Penyebab ggn spermatogenesis pada varikokel :


 Suhu crotum yang meningkat (1958)
 Aliran retrograd dari v. renalis dan v. adrenalis s. yang
mengandung bahan metabolik toksik (steroid)  inhibitor
spermatogenesis (1965)
 Darah varicocele mengandung katekolamin yang tinggi.
 Kadar testosteron dalam darah menurun  jumlah sel -sel
leidig turun. (1978).

Penanganan:
1. Konservativ/ noninvasive
Pentoxifilin (dgn/ tanpa androgen dosis rendah)  minimal 6
bulan.
Analisa sperma tiap bulan
Follow up fisik testis
2. Invasif nonsirurgis :
Sklerosis v. spertaika interna sin.
Follow up analisis sperma minimal 6 bulan

JEF & GWK 11


3. Sirurgis
Vasoligasi tinggi v. spermatika int.
Follw up analisi sperma minimal 6 bulan
Gagal pasca bedah varikokel (minimal 1 tahun) :
Captopril  minimal 3 bulan

Infertility pada varikokel:


Peningkatan suhu scrotal
Penurunan aliran darah
Peningkatan kadar steroid adrenal dan katekolamin
Peningkatan kadar prostaglandin sebagai metabolit ginjal

Spermatocele :
Painless cystic mass yg mengandung sperma
Letaknya posterosuperior testis
Umumnya ukurannya kurang dari 1 cm diameternya
Berupa massa kistik yg mobil dan transluminansi +
Aspirasi berupa cairan halus berwarna putih dan keruh, sedangkan
cairan hidrokel kuning jernih
Tidak perlu terapi kecuali yg sangat besar dan mengangu
penderita.

Analisis Sperma :
 Oligospermia : volume ejakkulat < 1 cc
 Hiperspermia :Vol ejakulat > 4 cc
 Aspermia : vol ejakulat 0 cc
 Normozoospermia : Jml hitungan sperma > 20 jt/cc
 Hiperzoospermia : spermatozoa > 250 juta/cc

Oligozoospermia : spermatozoa 5 – 20 jt/cc


1. Oligozoospermia ekstrim :spermatozoa < 5 jt/cc
2. Kriptozoospermia : Hanya ditemukan bbrp spermatozoa saja.
3. Teratozoospermia: Morfologi spermatozoa normal < 30 %.
4. Astenozoospermia : motilitas spermatozoa < 50 %

Alur Penanganan Subfertilitas pria :


1. Normozoospermia & normospermia :
Pikirkan faktor immunologis : Bila (+)  terapi etiologi 
follow up analisa sperma  belum berhasil  preparasi
sperma  rujuk IUI/ IVF
Kemungkinan disfungsi seksual
Coital stress
2. Normozoospermia & hipospermia :
- Incomplit ejakulasi
- Disfungsi kelainan sek skunder
3. Oligoastenoteratozoospermia :
- Faktor infeksi atau inflamasi
- Faktor endokrinologi
- Faktor kongenitak/heriditer
- Obstruksi intra/ post testikuler
- Underlying disease

JEF & GWK 12


Retensio Urin

* Keadaan dimana px tidak dapat mengeluarkan urin yang


terkumpul didalam buli-buli shg melampaui kapasitas maksimal
buli-buli.
Causa :
1. Kelemahan detrusor :  kateterisasi  evaluasi
- cidera sumsum tulang belakang
- kerusakan saraf perifer (DM)
- dilatasi detrusor yang berlebihan dalam waktu lama.
2. Disenergi detrusor-spingter (ggn koordinasi) :
- cidera sumsum tulang daerah cauda equina.
3. Hambatan jalan keluar :
- Kelainan pada prostat (BPH, Ca)  DK (16 -18 F)
- Striktur Uretra  sistostomi
- Clot retention  evakuasi sistoskopik
- Batu uretra  lubrikasi :
+ Batu keluar  poli klinis
+ Batu masuk buli-buli  DK  litotripsi
+ Bila gagal  sistostomi  observasi 6 jam :
Baik  KRS
Peyulit 
MRS

Klasifikasi urinari obstruction & stasis :


Etiologi : congenital or aquired
Durasi : acut and cronik
Degree : partial and complete
Level : upper or lower UT

1. Congenital :
- meatal stenosis
- stenosis uretra distal
- katup uretra posterior
- ureter ektopik/ ureterokele
- UVJ & UPJ
- Kerusakan S2-4 (spina bifida, myelomeningocele.
2. Aquired :
- striktur  infeksi dan trauma
- BPH or Ca prostat
- Tumor buli  bladder neck
- Ekstensi lokal Ca prostat/ cervik ke dasar buli atau uretra,
- Penekanan ureter pasa pelvic brim o/ KGB yg membesar
atau Ca.
- Uretral stone
- Fobrosis retroperitoneal atau tumor ganas
- Kehamilan.
3. Lain-lain :
- Neurogenik bladder  refluk dan infeksi
- Ureter yang kingking

Patogenesis:
A. Lower tract  striktur uretra.
Obstruksi  dilatasi uretra proksimal  divertikulum  bila
infeksi  ekstravasasi dan abses periuretral.
JEF & GWK 13
B. Mid tract  BPH.
1. Stadium Compensasi :
- hipertrofi otot buli
- trabekulasi jalianan otot yang hipertropi
- Cellulae  hiipertrofi  tek. Buli 2-4 kali  menekan
mukosa diantara bundel-bundel otot  membentuk
kantong kecil.
- Divertikel  cellulae terdorong keluar dinding buli 
saccula  divertikel (tdk ada otot).
- Mukosa : bila infeksi  edem & kemerahan.
2. Stadium Decompensasi :
-prostation
-retensio
-residual urine.
C. Upper tract.
1. Ureter : Refluk  dilatasi ureter  hidronefrosis
- elongatio & tortous dari ureter
- fase dekompensasi  dinding ureter tipis  dilatasi 
kemampuan kontraksi menurun.
2. Kidney.
Derajat hidronefrosis tergantung pada
-Lamanya obstruksi
-Derajat obstruksi
-Tempat obstruksi
Perubahan pada renal akibat :
-Compensation atrophi atau peningkatan tekanan
intrapelvic
-Ischenia atrophi atau perubahan
hemodinamik.

Fisiologi Gejala Obstruksi :


A. Fase compensasi :
- Stadium irritabilitas: hipertrofi detrusor  kontraksi kuat,
spasme  irritabel bladder  frekuensi & urgensi
- Stadium compensasi : obstruksi & hipertrofi  kontraksi 
 hesitansi & pancaran lemah
B. Fase dekompensasi :
Decompensasi acut : overstretch detrusor & rapid filling 
kesulitan miksi : -hesitansi, pancaran lemah, terminal
dribbling, residual urin, retensio acut.
Decompensasi kronik : imbalance kekuatan otot detrusor &
resistensi uretra  residual urin , frekuensi, over flow
incontenensia.

1 Lab : - DL 2. Ro. : -
BOF  IVU
- UL
- Urethrografi
- Serum kreatinin
- USG
- BUN
- Glukose

Akibat retensio urin :


- Dilatasi buli-buli maksimal  tekanan & tegangan .

JEF & GWK 14


- Hambatan aliran urin  hidroureter, hidonefrosis
- Inkontinensia paradoksa.
- Kontraksi otot detrusor menyusut
- Predileksi ISK (pielonefritis, urosepsis)  gawat uro

Penatalaksanaan Retensio urin :


1. Kateterisasi :
Syarat :
- Prinsip aseptik
- Gunakan kateter folley
- Usahakan tidak nyeri  spasme spingter.
- Sistim tertutup dan ukur volume urin.
- Antibiotik profilaksis 1 kali.
2. Sistostomi trokar/tertutup :
Indikasi :
-Kateterisasi gagal : striktur, batu uretra yg menancap
-Kateterisasi tidak dibenarkan : trauma uretra
Syarat :
- Retensi urin dan buli-buli penuh (fundus lebih tinggi
pertengahan jarak antara simpisis dan pusat).
- Ukuran Folley lebih kecil dari celah trokar (20 F)
- Cikatrik abd. bawah (-)
3. Open sistostomi :
Indikasi :
- Sistostomi trokar
- Sistostomi trokar gagal
- Ada tindakan tambahan : ambil batu, evakuasi clot.
4. Pungsi buli-buli.
Syarat :
- kateterisasi gagal
- fasilitas sistostomi (-)
- informasi  tindakan sementara & perlu tindakan lanjutan

Kateterisasi, Indikasi :
- Drainase buli selama dan sesudah proc. bedah .
- Menilai produksi urin pada pasien kritis.
- Pengambilan spesimen urin .
- Evaluasi urodinamik.
- Studi radiografi
- Menilai residual urin
- Retensio urin.

Pungsi buli-buli, Indikasi :


1. Sample urin.  pada anak-anak.
2. Kateterisasi gagal.
3. Study voiding cystografi
4. Diversi urin.
Syarat :  buli-buli penuh.
Ruptur Uretra
Klasifikasi trauma uretra Colapinto & McCallum 1977 :
Tipe I : uretra teregang (stretched) akibat ruptur ligamentum
puboprostatikum dan hematom periuretra. Uretra masih
intack.

JEF & GWK 15


Tipe II: uretra pars membranacea ruptur diatas diafragma urogenital
yg masih intack. Ekstravasasi kontras ke ekstraperitoneal
pelvic space.
Tipe III : Uretra pars membranacea ruptur . Diafragma urogenital
ruptur. Trauma uretra bulbosa proksimal. Ekstravassasi
kontras ke peritoneum.

Trauma Uretra :
a. Traume uretra Posterior :
- KLL  90 % fr. Pelvis
- Manipulasi  kateterisasi, endoskopi
b. Trauma uretra Anterior :
- Manipulasi  Kateter, endoskopi
- Straddle injury, - KLL
- Intercourse/ bite
- Self manipultion
Diagnosis :
1. Ax/ : riwayat trauma , mekanisme trauma hematome
2. PD/ :
Trias ruptur uretra anterior
- Bloddy discharge
- Retensio urine
- Hematome/jejas peritoneal/ urine infiltrat
Trias ruptur uretra posteriior
- Bloody discharge
- Retensio urine
- Floating prostat
3. Lab. : UL  ery +
4. Radiologis : uretrografi, AP pelvic foto
Terapi :
a. Initial : segera sistostomi transpubik  bila ada fr. Pelvis tidak
boleh trokar
b. Rekonstruksi : - uretrotomia interna/ sachse
-
Anastomosis uretra
- PER

Striktur Uretra :
Etiologi :
1. Congenital : Cobb’s collar  contriksi diafragma pada pars
bulbar
2. Trauma :
-Fall astride  uretra bulbar
-Fraktur pelvis  uretra posterior
-Iatrogenik  Instrumen endoskopi
3. Post TURP :
Biasanya submeatal  akibat iskemia
4. Infeksi / inflamasi :
Cateterisasi : (iritasi)
-Material (latex)
-Lubricant
-Lamanya
-Calibrasi
-Adanya infeksi
Balanitis Xerotika obliteran

JEF & GWK 16


Pelvic radioterapi :
-endarteritis obliterance  iskemia  striktur
5. Malignancy :
Ca prostat
Ca penis
Ca uretra

Jarang
Diagnosis :
Anamnesa : riwayat trauma, intrumentasi, GO
Klinis : -MUE
-foreskin retrakten
- spongiofibrosis.
LAB :  urine kultur
Urinary flaow rate :  tergsngu bila kaliber uretra < 10 F
Uretrografi : -Site, length & calibre stricture
-Adanya concurrent stricture
-Jarak dari spinter distal

Prinsip penatalaksanaan strikture :


1. Regeneration procedure : uretral dilatasi & urethrotomy
 baik pada proliferasi regeneratif
2. Eksisi dan reanastomosis :
 tergantung pada panjang striktur
3. Substitusi / urethroplasty : patch or tube (graft)
-pedicle flap of tissue
-cendrung recuren
Terapi striktur :
1. Konservatif :
-Dilatasi uretra : metal sound, filiforms & followers
-Uretrotom : -blind  biasanya menggunakan otis
-Optical (otis, sache, laser)  incisi pada posisi
jam 4 dan jam 8
-Uretral stent : wall stent
2. Adjunctive measures :
-Intermittent self dilatation : kateter, hidraulic
3. Uretgroplasty :
-Anastomosis
-Substitusi :  onlay patch graft/flap :
-pedicle flap
-free graft
-tube graft/
flap
-Stage procedures
4. Proximal diversion :
-Perineal uretrostomy : temporer atau permanen
-Kateterisasi uretra : uretra, suprapubik
-Supratrigonal diversion.

Comparison of abdominal wall & scrotum layer


Abdominal wall :
Scrotum :
Kulit
Kulit
Fascia superficialis Dartos

JEF & GWK 17


(camper & scarpa)
MOE & aponeuresis Fasc
spermatika ekst
Aponeurosis MOI & MTA Fasc. & otot crremaster
Fascia transversalis Fasc.
Spermatika int
Preperitoneal fat Preperitoneal
fat
Peritoneum
Procc. vaginalis

JEF & GWK 18


URODINAMIK

Dapat mengukur faktor fisiologis dan patologis secara objektif yang


terlibat dalam :
- Storage of urine
- Transportasi urin
- Evakuasi urin
Indikasi pemeriksaan urodinamik antara lain :
 Flow rate : kecurigaan adanya disfungsi miksi atau obstruksi
infravesikal.
 Urethral pressure : pembesaran prostat dengan voided volume
yang rendah, inkontinensia post prostatektomi, stress
incontinence, menilai spincterotomi, obat-obatan, stimulasi dan
implantasi spinter buatan. Analisis awal miksi.
 Sistometrogram : menilai kausa frekuensi dan urgensi, bagian
dari evaluasi inkontinensia, residual urine, refluks, neuropati,
gangguan sensoris dan pengaruh obat-obatan.
 Voiding pressure/ flow : identifikasi obstruksi, menilai
kontraktilitas detrusor.
 Video-urodinamik : menentukan lokasi obstruksi pada obstruksi
infra vesikal, masalah buli neurogenik.
 Elektromiografi : alternatif video untuk kasus neurogenik , studi
diagnosis pada neuropati.

Kegunaan pemeriksaan urodinamik:


 Uroflowmeter:
Maximum flow rate
Average flow rate
Void volume
Flow time
Time to max flow
Voiding time
Acceleration
Hasitensi
 Tekanan transducer.
 Sistometer:  mengukur fase filling &/or storage, yg dinilai
Compliance : normal < 15 cm H2O (turun/ naik)
Contractilitas (hiper/ hipo reflexia/ involuntary)
Capasitas
Sensasi (diabet/obst kronis – sensasi  -- compl  )
 Unit peralatan rekaman (pressure flow study):
Video urodynamic
Hub antara Pdet dan Qmax
 Urethral profile :
Maximum urethral pressure
Functional urethral length
 EMG ( Elektromyografi ):
Innervasi
Sacral reflek
Kontraksi otot perineal

Unit peralatan rekaman.


Pengukuran yang dibuat selama pengisian dan pengosongan
sistometri terdiri dari beberapa parameter yaitu :

JEF & GWK 19


 Tekanan abdominal / tekanan rektal ( P abd ).
 Tekanan intravesikal ( P ves ).
 Tekanan detrusor ( P det ).
 Laju aliran urin.
Parameter tambahan yang direkam adalah :
1. Tekanan uretra ( P ura ).
2. Closure urethral presure ( P ura - P ves ).
3. EMG ( Electro Myo Graphy )
4. Volume urin ( voided volume ).
Bila semua parameter ini diukur, diperlukan delapan saluran (
channel ) perekam. Tidak semua produsen melengkapi produksinya
dengan delapan saluran

Max flow rate pada laki-laki adalah sebagai berikut :


 Umur dibawah 40 tahun MFR lebih dari 22 ml / detik.
 Umur 40 - 60 tahun MFR lebih dari 18 ml / detik.
 Umur lebih dari 60 tahun MFR lebih dari 13 ml / detik.
Abram dan Grifith ( 1979 ), menentukan tingkat obstruksi :
 MFR kurang dari 10 ml / detik : obstruksi.
 MFR 10 - 15 ml / detik : moderat.
 MFR lebih dari 15 ml /detik : tidak obstruksi.

Pressure - flow study


Pengukuran ini menggambarkan informasi ada tidaknya obstruksi
dengan menilai hubungan / korelasi tekanan detrusor ( “Pdet” ) dan
laju aliran urin ( “Qmax” ). Korelasi yang perlu di perhatikan adalah
sebagai berikut :
a. Tekanan detrusor ( “Pdet” ) yang rendah dan laju aliran urin
(Maximum Flow Rate= Qmax “ ) yang tinggi menunjukan tidak
ada obstruksi.
b. Tekanan detrusor ( “ Pdet” ) yang tinggi dan laju aliran urin
(Maximum Flow Rate = Qmax ) yang rendah menunjukan ada
obstruksi.
c. Tekanan detrusor ( “Pdet” ) yang rendah dan laju aliran urin
(Maximum Flow Rate = Qmax ) yang rendah menunjukan
kontraksi detrusor yang lemah ( detrusor underactivity ).

Hubungan antara tekanan detrusor ( Pdet ) dengan laju aliran urin


(Qmax) ini ditunjukan dengan beberapa metoda yang di tampilkan
dalam bentuk grafik. Beberapa metoda yang sering di gunakan
adalah :
a. Grafik “ Pressure flow “.
b. Abrams / Griffiths nomogram.
c. Grafik “ Linearised passive urethral resistance relation “ ( “ lin
PURR “ ).
d. Grafik “ urethral resistance factor” ( “ URA “ ).
e. Grafik “ Abrams / Griffiths number “ (“AG number” ).
f. Schafer nomogram.

JEF & GWK 20


Bethanicol supersensitivity test:
 Parasimpatomimetic agent
Caranya : injeksi 2,5 mg bethanechole chloride SC  sistometri 15
– 30 menit. Pada px areflexia karena neurogenic  pengisian 100
cc – tekanan buli meningkat > 15 cm H2O.

Glycopyrolate 0,1 mg.


Untuk evaluasi unstable bladder pada pria dengan kecurigaan
obstruksi infra vesikal.
Untuk mengetahui apakah instabilitas buli karena neurologis atau
skunder akibat obstruksi.
Bila px dgn unstable bladder + obstruksi  dilakukan operasi maka
akan terjadi incontinensia post operasi.

JEF & GWK 21


Akut Scrotum

* Onset
* Aktivitas saat terjadi keluhan
* Riwayat ISK
* Febris ?

* Suhu axilla dan rektal
* Keadaan / status lokal : - Posisi testis,
- Phren test, reflek kremaster
-
Epididimis
DD/ Acut scrotum :
1. Torsio testis
2. Torsio appendix testis
3. Orchoepididimitis
4. Hernia incarserata
5. Tumor yg mengalami perdarahan.
6. Torsio appendik epididimis
7. Trauma

Torsio testis intravaginal testis berputar didalam t.vaginalis


parietalis.
Torsio testis elstravaginal  t.vaginalis parietalis ikut berputar
bersama testis, epididimis & funikulus.

DIAGNOSIS :
Nyeri hebat dan mendadak, menjalar ke inguinal
Mual, muntah dan febris
Testis bengkak, letak tinggi dan horizontal
Funikulus menebal & prehn sign (-)
Leukosituria sangat jarang
Doppler  aliran darah berkurang.
Tx/ :
Detorsi manual  memutar kearah lateral.
Orkhidopeksi : 3 jahitan antara tunika albuginea dan tunika dartos
dengan bahan non-absorbsable

Torsio testis.
Ada dua jenis torsio testis yaitu
1. Torsio testis intravaginal: tidak terjadi perlekatan tunika
vaginalis pada bagian posterolateral testis, dimana terdapat
epididimis, sehingga tunika vaginalis membungkus testis
beserta epididimis dan bagian distal dari funikulus
spermatikus  terjadinya torsio testis di dalam tunika
vaginalis. Faktor lain : abnormalitas insersi lapisan parietal
tunika vaginalis pada funikulus spermatikus (terlalu tinggi),
mesorkhium yang lebih panjang (“bell clapper anomaly”).
2. Torsio testis ekstravaginal  terjadi bila ikatan epididimis
dengan dinding posterolateral tidak normal, meskipun insersi
lapisan parietalis dari tunika vaginalis pada epididimis normal.
Keadaan ini sering kita jumpai pada neonatus.

Beda torsio degan epididimitis :

JEF & GWK 22


Epididimitis/ Torsio testis
orchitis acut.
onset bbrp jam acut sekali
kel. miksi + -
instrumentasi  -
febris/menggigil + -
testis sumbu vertikal di sumbu horizontal
postero lateral di anterior
prehn test nyeri  sangat nyeri
sedimen Pyuria normal
darah leukositosis normal / 
terapi AB, bed rest cito operasi

Type Sym Siste WBC Cult


pto mic in ur
m sign EPS
Acut Bact. Prst.is Yes Yes Yes Yes
Cronic Bact. Prst.is Yes No Yes Yes
Non Bact. Prst.is Yes No Yes No
Prostatodynia Yes No No No
EPS : Expressed Prostatic Secretion

EPIDIDIMITIS AKUT :
Keradangan nyeri dan pembengkakan epididimis < 6 mgg.
Causa :
1. STD : C. trachomatis, GO.
2. Non STD : enterobacte, pseudomonas, ISK, prostatitis.
3. Hematogenous.

JEF & GWK 23


Urosepsis

Sindroma sepsis : Gambaran dari sepsis berupa perubahan-


perubahan dari perfusi berbagai organ, seperti
takikardia, perubahan temperatur serta perfusi organ
yang tidak adekuat. Sepsis dapat berlanjut menjadi syok
septik.
Syok septik : Adalah sindroma sepsis yang disertai
hipotensi ( tekanan, sistole < 90 mm Hg atau penurunan
tekanan sistole yang melebihi 40 mm Hg dari tekanan
sistole awal / basis ) walaupun sudah diberi terapi
antibiotika yang tepat serta dukungan untuk
memperbaiki sirkulasi.
Suatu keadaan di mana sirkulasi perifer mengalami
kegagalan sehingga perfusi jaringan tidak mencukupi
kebutuhan.

Pada sepsis tidak selalu ditemukan adanya kuman di dalam kultur


darah.
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan data fisik dan
laboratorium :
Endotoksin berasal dari dinding sel kuman gram negatif (semua
jenis kuman gram negatif ) dan menimbulkan efek lethal, metabolik,
pirogenik maupun imunologik.
Kuman-kuman gram positif, bila masuk ke dalam aliran darah, akan
menyebar ke berbagai organ berupa keradangan supuratif. Hal ini
disebabkan karena kumam gram positif cenderung melekat pada
sel-sel endotel dan matriks dari katup jantung, tulang, sendi dan
organ rongga perut ( visera ).
Mekanisme daya tahan tubuh untuk melawan endotoksin belum
sepenuhnya dipahami.

PATOFISIOLOGI SYOK SEPTIK :


Dinding bakteri Gram negatif terdiri dari protein, lipid dan
lipopolisakharida (LPS). LPS yang identik dengan endotoksin
dihasilkan terutama oleh bakteri yang mati, tapi dapat juga
dihasilkan oleh bakteri yang masih hidup.
LPS yang masuk ke dalam aliran darah atau ke dalam jaringan,
memiliki kemampuan sebagai antigen yang terdiri dari 3
komponen :
 Antigen O memiliki diversitas yang besar
 Bagian tengah (inti) sifat antigen tidak terlalu besar
 Lipid A terdapat pada kuman aerob maupun anaerob, terdiri
dari disakharida dan asam lemak, sangat imuno reaktif,
karenanya segala upaya untuk mengembangkan imuno terapi
difokuskan pada pembentukan antibody terhadap lipid A.
Gambaran klinik sepsis ditimbulkan oleh komponen Lipid A dari
LPS, yakni dilepasnya mediator biologik (“cytokines”).
Endotoksin merangsang terjadinya migrasi sel neutrophil dan sel-
sel radang lainnya ke dalam jaringan untuk melakukan fagositosis
atau lisis bakteri.
Namun, sel neutrophil dapat menghasilkan pula bahan toksik
(radikal oksigen yang toksik atau protase ) yang justru akan
merusak jaringan.

JEF & GWK 24


Endotoksin dapat pula mengaktivasi factor Hageman yang berlanjut
dengan mekanisme pembekuan darah karena terbentuknya fibrin
dari fibrinogen dengan akibat terjadinya trombosis diikuti konsumsi
trombosit dan factor-faktor II, V dan VIII, keadaan ini
mengakibatkan gambaran klinik yang sangat serius, yakni DIC
( disseminated intravascular coagulation ).
Endotoksin juga merangsang produksi TNF ( tumor necrosis factor )
dari makrophag dan monosit.
TNF dan IL-1 merangsang sel-sel inflamasi untuk mensekresi
mediator sekunder, seperti prostaglandin, leukotrien, interferon,
PAF ( platelet activating factor ), endorphin dan colony stimulating
factor.
TNF merupakan mediator utama yang memberikan gambaran dari
sepsis Gram negatif.
Melalui proses yang sangat kompleks dan saling terkait dari
mediator-mediator tersebut diatas, endotoksin pada akhirnya akan
menimbulkan perubahan pada hampir semua organ tubuh dan
terjadi keadaan yang disebut MOF ( multi organ failure ). Terjadi
gangguan fungsi ventrikel jantung, bisa terjadi vasokonstriksi,
vasodilatasi disertai kebocoran cairan dan protein ke dalam
jaringan. Kerusakan pada paru menimbulkan terjadinya ARDS
( adult respiratory distress syndrome ). Gangguan pada ginjal
menimbulkan oliguria akibat spasme arteri ginjal, hipovolemia dan
pembentukan darah.

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik sepsis sangat bervariasi, karena beraneka
ragamnya mediator biologik, lagipula prosesnya kompleks dan
saling terkait.
Keadaan ini terjadi karena efek dari mediator kadang-kadang saling
bertentangan, tergantung pada saat apa sepsis dideteksi, atau
tergantung pada jumlah endotoksin yang beredar.
Gejala pada umumnya berupa hipertermia atau hipotermia,
takhipnea, hiperglikemia pada penderita diabetes, takhikardia, dan
pada pemeriksaan laboratorium didapatkan asidosis (laktat) dan
lekositosis.
Pada umumnya ditemukan dua jenis gambaran sepsis, yakni :
 sepsis hiperdinamik, disebut pula syok panas : peningkatan
suhu, pernapasan- curah jantung dan konsumsi oksigen
meningkat, alkalosis respiratorik, kulit kering dan panas,
disertai oliguria ( produksi urin < 20 ml/jam ). Tensi biasanya
tetap normal walaupun terjadi kenaikan tahanan perifer
vaskuler. Terjadi perubahan status mental, biasanya letargi,
kadang-kadang agitasi. Bila berkepanjangan, akan terjadi
kerusakan pada system kapiler disertai aglutinasi sel-sel
lekosit.
 sepsis hipodinamik atau syok dingin : hipovolemia (akibat
kebocoran system kapiler), tensi turun, tahanan perifer
vaskuler makin meningkat dan curah jantung juga dipengaruhi
oleh bahan-bahan vasoaktif (depressant) yang dilepaskan
oleh kuman Gram negatif. Gambaran lanjut berupa penurunan
perfusi jaringan, asidosis respiratorik dan kegagalan berbagai
organ ( MOF ) dan berakhir dengan kematian.
Kultur darah positif hanya ditemukan pada 45% kasus sepsis.
Adanya endotoksin di dalam darah sukar dibuktikan.

JEF & GWK 25


DIAGNOSIS :
 Febris / pernah febris
 Gejala obstruksi urologis
 Gejala dini : gejala bakteremia disertai takhikardia, takipneu,
hipotensi dan oliguria. Lanjut  bingung, gelisah, letargi,stupor,
kulit dingin serta basah.
 Sepsis sindrom : cambell’s
Clinical evidence of infection
Tachipneu, RR > 20
Tachicardi, N > 90
Hiper/hipotermia, 35,6 > t > 38,3
Inadequate organ perfusion :
Hypoxemia, PaO2/FiO2 <280
Kadar lactate plasma 
Oliguria, < 0,5 cc/ kg/ jam
 Septic shock : sepsis sindrome + hipotension, sistole < 90, or
turun > 40 / jam (volume replacement adequate)
 Manipulasi urologis/ batu ren

Dx : Urosepsis

keadaan umum / status lokalis
sekaligus dipasang infus
Lab: DL, BUN / SC, GDA (usia > 40 th)
BGA, sedimen urin, kultur, darah & urin test kepekaan anti
biotika
(sedapat mungkin urin dari infeksi spontan)

Pielografie infusion , USG urologik
thorak foto (setelah pasang CVP), EKG

Pasang CVP & Indwelling catheter
( catat CVP & prod. Urin )

Terapi / tindakan :
* Antibiotika :  s/d 5 hari afebril
Ampicillin 4 x 1 gram
Gentamicin 3 x 80 mg
Cefalosporin Gen.III 3 x 1 gram
* Koreksi Cairan :
Elektrolit
Asam / basa
* Hemodialisis :
Bila SC > 10, Bun > 100, K > 7
Edema paru
* Drainage timbunan nanah  Op. Cito bila Pyonephrosis dan
Hidronefrosis berat  dapat menyebabkan terjadinya
iskemia sehingga penetrasi antibiotika turun.
* Tx/ definitif  Op. urgen untuk kel. primer urologik
Shock septik tidak hanya dipengaruhi oleh endotoksin, tapi juga
interaksi dari sistim fibrinolitik, coagulasi, complement, kinin &
pengaruh pada mikrosirkulasi & hemostasis.

JEF & GWK 26


IMUNOTERAPI
Pemberian vaksin secara luas pada sepsis menghadapi dua
kendala utama :
 Spektrum reaktivitas imun dari vaksin terbatas
 Penderita sepsis tak sanggup memberikan respons dengan
pemberian vaksin.
Sedangkan untuk memproduksi antiserum, dibutuhkan banyak
sukarelawan agar diperoleh jumlah yang cukup. Manfaat pemberian
gamma globulin (IgG poliklonal) belum terbukti.

TEKNOLOGI ANTIBODI MONOKLONAL


Antibodi monoklonal adalah imunoglobulin yang dihasilkan oleh
populasi klonal sel-sel limfosit yang terikat pada titik tangkap (target
site) tunggal/spesifik dari antigennya.

Management of Septic Shock


1. Establishment of dx/ :
A. Diagnosis bacteremia :
Epidemiologi, clinical, & physical finding
Cultur/ gram stain darah dan urin
B. Dx/ penyebab syok :
Hipovolemia
Hemorrhage
Cardiac cause
Hipersensivitas, anafilaksis
Endokrine
Bacteremia
2. Appropriate antibiotic therapy
a. berdasarkan cultur & sensitivitas
b. pertimbangan dx/, sumber infeksi, nosokomial
c. pengambilan sampel cultur sebelum th/
3. Volume expansion : 1000 cc cristaloid sol  15 -20 mnt
4. Monitoring volume expansion : CVP
a. Tek a. pulmonal  > 8 mmHg or to level  18 mmHg
kemung-kinan cardiac decompensation
b. CVP  > 5 cm H2O or to level 12 – 14 cm H2O 
kemungkinan overload
5. Continuation of volume expansion (15 – 20 cc/mnt) until recovery
or tek a. pulmonal  18 mmHg or CVP  12 cm H2O
6. Vasoactive agent
7. Evaluasi status mental & urin output
8. Ventilasi : O2 dengan atau tanpa intubasi
9. Digitalis jika berkembang CHF
10. Drainage akumulasi pus
11. Modifikasi Antibiotik  sesuai kultur sensitiviti test & fungsi renal

Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada


sepsis Gram negatif adalah :
 Penyakit yang menyebabkan terjadinya sepsis
 Adanya penyakit penyerta seperti neutropenia, diabetes, gagal
ginjal, gagal nafas, sirosis hati, hipogama-globulinemia.
 Terjadi penyulit akibat sepsis
 Pemilihan antibiotika tidak tepat
 Bakteremia polimikrobial
 Sumber infeksi
 Kecepatan dimulainya terapi yang adekuat

JEF & GWK 27


 Umur penderita

Antibiotik :
a. Cefalosporin generasi I  efektif u/ Klebsiela , Stafilococ
producer penicillinase:
Sefazolin
Sefalotin
Sefradin
Sefaloridin
b. Cefalosporin gen. II  efektif terhadap nosokomial :
Sefoksitin
Sefamandol
Sefuroxin  1,5 grm
Seftasidin
Sefotetan  2 grm
c. Cefalosporin gen III  pilihan profilaksis urologi :
Sefotaxim  2 grm/ 8 jam
Sefoperazon
Seftriaxon  2 x 1 grm
Seftazidin  2 x 2 grm
d.Cefalosporin gen IV :
cefixim
d. Aminoglikosida  gram negatif : 1,5 mg/kg/ 8 jam
Kanamicin
Gentamicin : 1,5 mg/ kg/ 8 jam
Netilmicin
Tobramicin : 1,5 mg/ kg/ 8 jam  less nefrotoksis
Amikacin : 5 mg/ kg/ 8 jam

Bila gentamicin resisten  ganti tobramicin  bila resisten  ganti


amikasin

JEF & GWK 28


Gross Hematuri

Penyebab hematuria :
1. Glumerular : glumerulonefritis
2. Renal :
 Penyakit polikistik ginjal
 Nekrosis papiler
 Inflamasi dan infeksi
 Malformasi vaskuler
3. Urologik :
 Neoplasma : tu ca buli, ca prostat
 Batu
 BPH
 Striktur uretra
 Divertikullitis, apendicitis
 Corpus alaenum
4. Hematologik :
 Koagulopati
 Antikoagulasi terapeutik
 Sickle cell
5. Factitious : perdarahan vaginal (causa luar TU).
6. Pseudohematuria : pigmen makanan, metabolit obat, zat
pewarna.
7. Hemoglobinuria, Myoglobinuria.

Penatalaksanaan hematuria (>3 rbc/lp):


1. Bila proteinuria + dan red cell cast +  nefrologi
2. Bacteria + :- cultur urin
- antibiotik
- IVP
- Uretrocystoscopy
3. IVP/ Uretrocystoskopi/ Sitologi urin :
- kelainan +  bedah
- kelainan - evaluasi / observasi.

Asimtomatik micros hematuia :


History, PF, Urinalisis, Cultur :
1. Medical renal bleeding (glumerular)

Clearen Cr.
Protein 24 jam
USG ren

Serial evaluation
a. Renal faillure   renal biopsi
b. No renal deterioration  serial evaluation
2. Sign of infection (cultur +)

Th/ UTI

repeat urinalisis

3. Cytologi urin, IVU, USG renal


a. Abnormal  additional evaluation, th/sesuai causa
b. Normal :

JEF & GWK 29


 Low risk (age < 40, women, rokok -)  serial evaluatiion
 High risk (age > 40, rokok+, citologi+)  cystoskopi

Causes of asymptomatic micros hematuria :


1. Highly significant :
Bladder Ca
Renal cell Ca
Ca Prostate
Ureteral, renal calculus
Hydronefrosis
Renal artery stenosis
Renal lymphoma
Renal / ureteral TCC
Renal parenchim disease
2. Moderately significant :
Renal calculus
Bacterial cystitis
Reflux vesikoureteral
Interstitial cystitis
Bladder divertikel
Bladder calculus
UPJ obstruksi
Radiatiion cystitis
Renal contusio
Renal parenchim disease
BPH, prostatitis
Polikistik kidney
Striktur uretra.

Causes of bacterial persistence in women :


Infection stone
Ureteral duplication
Urothelial polip
Infected atropi kidney
Divertikel uretra
Infected parauretral gland
Urachus anomali
Medullary sponge kidney
Fistel
Papillary necrosis

The Most Common Causes of Hematuria by Age and Sex


------------------------------------------------------------------------------
0-20 Years
Acute glomerulonephritis
Acute urinary tract infection
Congenital urinary tract anomalies with obstruction
20-40 Years
Acute urinary tract infection
Stones
Bladder tumor
40-60 Years (males)

JEF & GWK 30


Bladder tumor
Stones
Acute urinary tract infection
40-60 Years (females)
Acute urinary tract infection
Stones
Bladder tumor
60 Years (males)
Benign prostatic hyperplasia
Bladder tumor
Acute urinary tract infection
60 Years (females)
Bladder tumor
Acute urinary tract infection

JEF & GWK 31


Trauma Ureter
Kausa :
1. Eksternal trauma :
- Penetrasi (Luka tusuk, tembak)
- Op. Rongga pelvis (terligasi/ terpotong)
2. Internal trauma :
- Ureteral catheterization
- Intra ureteral manipulation
- Endourologi : - RPG
-
Ureteroskopi
- Stenting
ureter
Diagnosis Trauma ureter :
1. Intra operatif  irigasi methylen blue/ betadin
2. Post operatif  IVP/RPG
3. Klinis : - Nyeri abdominal
- Massa di abdomen
- Unknown febris
- Gx. RF dgn segala macam
komplikasi

Terapi trauma ureter :


1. Deligasi
2. Stent ureter
3. Reimplantasi ureter
4. Transureteroureteroskopi
5. Autotransplantsi
6. Ureterolisis
7. Diversi ureter

Kolik ureter

Keadaan umum
Keadaan lokal

- DL : Hb/Leko
- RFT : BUN/SC
- Sedimen urin
- BOF

Spasmolitikum :
- sembuh  poliklinis
- tak sembuh/ makin frekuensi  dipertimbangkan dengan
pemasangan stent

JEF & GWK 32


Refluk Study

Etiokogi :
1. Refluk primer : kelainan kongenital (low pressure reflux)
kelemahan uretero trigonum (trigonal weakness)
2. Refluk skunder krn obstruksi (high pressure voiding state):
Obst. Intravesikal, dissinergi detrusor-spincter, neuropati buli.
Bisa iatrogenik atau radang
3. Refluk skunder kongenital : anomali ureter, orifisium ektopik,
uretrokel, double ureter, katup uretra post.

Low pressure refluk : terjadi pada fase pengisian.


High pressure refluk : terjadi pada saat pengisian, miksi atau
keduanya.

Waldeyer’s sheat : lapisan luar otot polos longitudinal ureter yg


masuk melalui dinding buli  menyebar dan bersatu dengan yg
kontralateral membentuk deep trigonal layer.

Ratio panjang ureter intramural terhadap diameter orifisium ureter


 normal 2,5 : 1 , bila ratio ini kurang akan terjadi refluk.

Klasifikasi refluk ureter menurut Heikel & Parkeetmien


(Internal refluk study group) :
Grade I : Refluk s/d ureter distal , belum sampai ginjal
Grade II : Refluk s/d kalik, belum dilatasi
Grade III : Dilatasi ringan, tak ada blunting calic
Grade IV : Blunting calic
Grade V : refluk massive, ureter sangat lebar, tourtous, clubbing
calic

Akibat VUR :
 Renal scarring ; persentase tergantung grade: (gr I = 5 – 10 %,
dan gr V = 85 %)
 Hipertensi : 10 %

Diagnosis :
1. IVU : Renal scar (blunt calix, parenkim tipis, atrofi),
hidronefrosis, caliectasis.
2. Voiding cystouretrografi  foto evakuasi.
3. Isotop cystografi : DMSA (dimercaptosuccinic acid)
4. USG

Terapi : tujuan  mencegah timbulnya renal scarring dan


memberi kesempatan pada ginjal untuk tumbuh.
a. Medikamentosa : AB dosis rendah secara terus menerus s/d
refluk menghilang.
b. Operatif :
- Injeksi teflon/ kolagen submukosa buli pada orifisium ureter
- Pembedahan  membuat ureter intravesikal lebih penjang :
* Politano-leadbetter
* Cohen
* Lich-gregoir
* Keramidas
Spontan resolve pada VUR :

JEF & GWK 33


- gr I : 90 %
- gr II : 75 %
- gr III : 50 %
- gr IV : 40 %
- gr V : 5 %
Umur rata-rata terdiagnosis VUR 2 – 3 tahun
Umur rata2 resolve spontan 5 – 6 tahun.

Syarat operasi anti refluk :


 Urin harus steril
 Tidak ada obstruksi infravesikal :
Fimosis
Meatal stenosis
Posterior urethral valve
Neurogenik blaÿÿer

Patofisiologi Enuresis :
Usia 0–6 bulan : Frekuensi , CNS: inhibisi reflek detrusor 

Maturasi CNS

Usia 1 – 2 th : Sensasi bladder fulness 
Maturasi CNS inhibisi
reflek detrusor 

Usia 3 ½ tahun  Normal filling sensasi

JEF & GWK 34


BULI-BULI
Vaskularisasi buli-buli :
a. Arteri : - cab. iliaka int. : a. vesikalis sup, med, & inf.
- cab. a. obtoratoria & a. glutea inf.
- cab. a. uterina & a. vaginalis
b. Vena : plexus venosus inferolateral & preprostatik  v. iliaka
interna  iliaka komunis.

Persyarafan Buli :
1. Otonom :  u/ buli-buli dan uretra proximal.
a. Parasimpatis (S2-4)  n. splanicus pelvicus (sacralis, n.
pelvicus). Bersifat visceromotorik (otot buli) 
pengosongan buli - buli.
Neurotransmitternya : acetilkolin.
b. Simpatis (Th 11-L2)  n. hipogastrikus
Neurotranslitter : alfa & beta adrenergik
Alfa  dominan di spinter  kontraksi spinter
int.
Beta  dominan di buli  menghambat otot detrusor
pengisian buli.
2. Somatomotorik (S2-4) :  n. pudendus
u/ spinter uretra ekterna
Sensoris : nyeri, suhu, raba (ekteroseptif
regangan ( propioseptif)

Bladder :
- Bladder dilindungi oleh tulang pelvis.
- Fraktur  menusuk buli  ruptur ekstraperitoneal
- Buli-buli penuh  blunt trauma  intraperitoneal

JEF & GWK 35


Interstitial cistitis
Middle age women
Fibrosis vesical wall
Loss of bladder capasity

Symptom : frekuensi, urgensi, pelvic pain, bledder distention 


slowly progressive
Urine biasanya normal. Kadang-kadang gross hematuri
Fibrosis disebabkan oleh obstruksi pembuluh limfa buli akibat pelvic
surgery atau infeksi buli or pelvic organ or psokogenik or neuropati
or endokrin. Perubahan primer pada deeper layer
Recently,  autoimmune collagen disease.
Bila causa alergi respon cortikosteroid baik.
Gambaran laboratoirum biasanya normal kecuali bila sudah ada
komplikasi

X-ray : kapasitas bladder kecil, refluk


Cystoskopi : Buli –buli diisi  nyeri supra pubik, kapasitas buli
sedikit. Pasien yg belum diterapi gambaran buli bisa normal. Dapat
dijumpai daerah bintik-bintik perdarahan

DD/ :
TBC buli  dapat terbentuk ulcus, tapi biasanya pada daerah
muara ureter disertai pyuria.
Schistosomiasis buli
Nonspesifik vesical infection
20 % penderita laki-laki sebenarnya – Ca buli

Komplikasi :
Gradual ureteral stenosis

Therapy
Terapi definitif tidak ada
Hydraulic overdistention – secara perlahan memperbaiki capasitas
buli
Vesical lavage dgn silver nitrat (1:5000 – 1:100)
Elektrokoagulasi dari lesi atau reseksi lesi .
Instillasi 50 cc dimethyl sulfoxide 50% DMSO) selama 15 menit tiap
2 minggu
Irigasi vesikal dgn oxychlorosene 0,4 %
Cortison asetate 100 mg or prednison 10 – 20 mg/ hari selama 21
hari  tapering off
Antihistamin : pyribenzamine 4 x 50 mg
Denervasi  neurektomi presacral dan sacral
Terapi komplikasi.

JEF & GWK 36


Neuropati Buli

1. Causa : DM, trauma med. Spinalis, ALS, tabes .


2. Diagnosis :
- keluhan miksi : retensio, incontinensia, frekwensi
- reflek sacral : BCR, sadel area, tonus spinter ani.
- USG : dinding buli menebal, divertikel, sakulae, residu urin
- Voiding sistografi :
Tidak timbul rasa ingin kencing meski buli penuh
Miksi +  walau baru diisi sedikit
Miksi berhenti  sisa urin/ kontras +
Buli-buli seperti pohon natal
Refluk +/ -
- Endoskopi :- trebekulasi, sellulae/ divertikel
- Kapasitas buli
- Residu urin
- Sensasi saat buli-buli
penuh

- Pemeriksaan urodinamik :
* Uroflowmetri : volume urin yg dikencingkan turun
flow max.
turun
flow rata-rata
turun
Lamanya
miksi meningkat
Kurva
normogram  multifasik
* Sistonometri tekanan intra buli-buli.
N: - fase pengisian < 20 cm H2O
- fase kontraksi 60 - 120
* EMG  u/ aktivitas elektrik otot

Tipe:
1. Type Spastic :
a. Lesi di brain stem
Tumor, gangguan vasculer
Multiple sclerosis
Keradangan (meningitis, encephalitis)
b.Spinal cord injury
Vert. Th XI – L III
2. Type Flaccid :
Sacral cord injury
Spina bifida
Tumor, radang, DM
Radiasi daerah pelvis
Operasi besar daerah pelvis
Obat-obatan :
Parsimpatolitik
Anti spasmolitik
Simpatomimetik

CIC
Indikasi :

JEF & GWK 37


1. Neuroogenik bladder ( tu. hipo/areflek bladder)
2. Prevensi restricten pasca tindakan
stricture uretra complicate ( residif, multiple, panjang)

Program CIC :
1. Neurogenic bladder ;
- spinal set fase akut ( 7 days pasca truma)
- spinal set stabilisasi ( 3 - 5 hari)
- diabetes/multiple sclerotis set diagnose
tegas
2. Preventi restriktur : 7 - 14 hari post sachse.

Patofisiologi disfungsi voiding :


1. Faillure to empty. Causa :
Kontraktilitas buli turun (temporer/ permanen) : fungsi otot
polos buli gagal, akibat overdistensi, infeksi berat, fibrosis.
2. Faillure to filling and or storrage. Causa :
Resistensi uretra naik : obstruksi anatomis, gangguan
koordinasi otot polos buli dan spincter, incontinen (ektopik
ureter, fistel)
Causa disfungsi voiding :
- Neurologic injury or disease.
- Inflamasi or infeksi
- BOO
- Perub struktur pada buli dan uretra
- Trauma : surgical or nonsurgical
- Aging
- Psikogenic factor
Tujuan terapi :
1. meningkatkan tekanan intravesikal
2. memperbaiki reflek miksi
3. menurunkan resistensi infra vesikal.

Klasifikasi disfungsi voiding menurut Bradley :


1. LOOP 1 : hubungan neuron antara cortex cerebri ke pusat
miksi (pontine – mechencephalic).  mengontrol secara
volunter reflek detrusor. Bila rusak : hiper reflexia detrusor.
Causa : tumor otak, CVA, cerebral atrofi/ dimensia.
2. LOOP 2: Jalur intraspinal dari afferent detrusor ke pusat miksi
(batang otak) dan impuls motorik dari pusat ini ke sakral. Bila
rusak (injury spinal cord)  reflek detrusor turun 
pengosongan tdk sempurna (rest urin). Acut spinal cord
transeksi pada sirkuit ini menyebabkan spinal shock  areflek
 retensio urin. Setelah spinal shock lewat  timbul hiper
reflexia detrusor.
3. LOOP 3: Axon afferent perifer dan jalurnya pada spinal cord
yang berakhir pada neuron motorik pudendus.  inervasi otot
lurik periurethral. Bila rusak  dissinergi spinter.
4. LOOP 4: Afferent dan efferent motor neuron pudendus. 
stimulasi spincter.

JEF & GWK 38


Inkontinen
Involuntary loss of urine. Akibat aktivitas reflek spinal cord yang
abnormal tanpa sensasi. Mempunyai makna sebagai :
a. Simptom : timbul bila exercise.
b. Sign : timbul bila tek abdomen naik
c. Condition : genuine stress incontinence. Bila tek intravesikal
melebihi tekanan maksimum uretra.

Urgensi pada incontinen :


a. Motorik : akibat kontraksi involunter buli
b. Sensorik : tdk berhubungan dgn hiperaktivitas buli.

Faktor yang mempertahankan kontinen pada wanita :


a. Berhubungan dengan tekanan penutupan uretra
b. Panjang uretra : Normal 3 – 4,5 cm
c. Anatomi trigonum

30 – 50 % tekanan penutupan uretra diperankan oleh tonus otot


polos uretra.
Faktor-2 yang menurunkan tonus otot polos utretra :
a. Alfa bloker
b. Stimulasi beta reseptor
c. Progesteron
d. Usia
Hal ini dapat diatasi dengan cara : meningkatkan stimulasi alfa
reseptor, blokade reseptor beta atau pemberian estrogen.

Prostaglandin meningkatkan sensitifitas detrusor.


Prostaglandin sintetase inhibitor (NSAID)  menurunkan
sensitifitas detrusor.
Uretra pada wanita sensitif terhadap estrogen dan progesteron,
sehingga post menopausal incontinence dapat diterapi dengan
estrogen.

Terapi Incontinensia :
a. Anticholinergic drugs :
Terodiline : 25 – 50 mg (noctea)
Oxybutinin : 5 mg/ q.i.d
Amytriptilin : 25 – 50 mg (nocte)
Propanthelne : 15 mg/ b.i.d.
Obat-2 ini merupakan drug of choice untuk detrusor instability.
b. Simpatomimetik.
Phenylpropanolamine : 2,5 mg/ kg/ t.i.d
Ephedrine (alfa) : 0,5 mg/kg/ t.i.d

JEF & GWK 39


Priapismus

 Ereksi berkepanjangan tanpa disertai hasrat seksual dan sering


disertai rasa nyeri. lebih 4 - 6 jam
> 24 jam  nekrosis sel luas
> 48 jam pembekuan darah dalam kaverne dan destruksi
endotel.
Etiologi :
- Primer/ idoipatik.
- Skunder : ggn pembekuan darah (anemia bulan sabit, lekemi,
emboli lemak), trauma perineum/ genetalia,
neurogenik, keganasan, obat-obatan (alkohol,
psikotropik, anti hipertensi).
Jenis :
1. Low-flow priapismus (iskemik)  diikuti rasa nyeri.
2. High-flow proapismus (non-iskemik)  tanpa rasa nyeri dan
prognosis lebih baik.

Terapi :  mengeluarkan darah dari korpora kavernosa


secepatnya.

a. Konservatif :
- hidrasi yang baik
- sedativ
- enema es saline
- kompres srotum/penis
- massage prostat
b. Aspirasi dan irigasi intrakavernosa :
- aspirasi 10 - 20 cc darah intrakavernosa dgn scalp vein
no.21G.
- Instilasi 10 -20 mg epinefrin yang dilarutkan dalam 1 cc larutan
garam fisiologis setiaap 5 menit hingga detumesensi.
(priapismus < 24 jam)
c. Jalan pintas (shunting) dari kavernosa :
 jenis iskemik atau gagal medikamentosa/
aspirasi
- Pintas korporo-glanular/ winter.
- Pintas korporo-spongiosum.
- Pintas saveno-kavernosum.

JEF & GWK 40


POST OPERASI
Vesikolitotomi :
Aff DK setelah 7 - 10 hari
Aff redon drain 2 hari setelah aff DK prod < 20 cc/ hr

Litotripsi :
aff DK setelah 24 jam
bila ada lesi buli  tunggu 5 hari.
Sistoskopi ulang setelah 3 bulan
IVP ulang setelah 6 bulan

Ureterolitotomi :
aff DK setelah 24 jam
vacum drain tiap hari
rawat luka setelah hari ketiga
aff redon drain hari ke-5, bila prod. < 10 cc/hr  2 hr
analisa batu
aff benang hari ke 10 - 14
BOF kontrol
IVP setelah 6 bulan

TURP :
aff traksi setelah 24 jam
aff spoel setelah 2 hari (urin jernih)
aff DK hari ke 3 - 5
evaluasi uroflowmetri

TURP Syndrome :
Tensi naik atau < 88 mmHg
Bradikardi
Edema paru  sesak & ronkhi (+)
Cardiovascular :
Early : Bradicardi
Hipertensi
Dyspneu
Cianosis
Angina
Late : hipotensi / shock
Neurologik :
Early : restlessness
Confussion
Blurred vision
Twitching
Seizure
Late : coma
Th/ :
Bila Na serum  110 mEq/lt  diuresis dgn furosemide
Bila coma/ kejang  NaCl 3% 1 lt/ 12 jam + antikonvulsan

Millin’s :
aff DK setelah hari ke-5
aff redon drain hari ke-6  prod. < 20 cc/hari
kontrol tiap 2 minggu (bulan I)
evaluasi uroflowmetri

JEF & GWK 41


Indikasi operasi repair ren mobilis :
- Intermitten gros hematuri
- Sering nyeri hebat
- Hematuri tanpa obstruksi dan infeksi
- Hipertensi/ hipotensi

Indikasi Percutaneus catheter placement :


Cateterisasi ureter retrograde kontraindikasi (sepsis)
Obstruksi ureter (batu, tumor, striktur)
Indikasi diagnostik (whitakertest)
Prosedur terapi  kemolisis batu

Indikasi Pungsi Renal Perkutan


1. Indikasi diagnostik :
APG
Whitaker test (pressure/perfusion study)
2. Indikasi terapeutik :
Nefrostomy catether drainage
Antegrade ureteral stenting
Dilatasi strikture ureter
Percutaneus endopyeloplasty
Perfusion chemolisis batu renal
PNL
Percutaneus resection and coagulation of urothelial tumor

Indikasi PNS :
1. Pyonefrosis akut dan krosis
2. Infected hidronefrosis
3. Bilateral hidronefrosis
4. Bagian dari test Whittaker
5. Bagian dari PNL
6. Hidronefrosis unilateral, tapi tindakan definitif tidak bisa cepat
(> 2 minggu).

Indikasi PNL  dalam hal ESWL


Obstruksi bukan saja oleh batu :
- ada divertikel,
- ureteropelvic stenosis
Batu yang besar/staghorn
Batu tidak dapat diposisikan dgn fokus ‘Shock wave’

Indikasi ureterorenoskopi :
1. Diagnostik :
- Lesi ureter atau pelvis renal
- Hematuria dari upper tract
2. Terapeutik :
- Terapi batu ureter
- Direct vision internal ureterotomy dr striktur ureter
- Endoskopik resection & coagulation of ureteral tu.

Indikasi operasi Divertikel Buli :


 Persisten infeksi
 Neoplasma
 Batu

JEF & GWK 42


 Drainase ureter menurun
 Vesiko ureteral refluk (paraureteral nutch saccule)
 Mengganggu bladder outlet
Syaratnya obstruksi distal harus dibebaskan dulu

Congenital Bladder divertikel :


 Autosomal dominan
 Asal dekat muara ureter
 Bukan karena obstruksi distal
 Kelainan pada muskulus
 Biasanya ada refluk
 Ehlers-Danlos Syndrome (kel. conective tissue)
 4 % menjadi Ca dan agresif

JEF & GWK 43


ISK atas (Pyelonefritis)
Klinis :
- febris (t : 38,5 - 40)  disertai menggigil
- nyeri pinggang
- gejala ISK bawah
- malaise, mual, muntah
- takikardi (90 - 140)
- palpasi  pinggang tegang
- flank pain
- bising usus turun
-kronis hipertensi, azotemia, -- faktor pencetus penting.
LAB. :
- leukositosis  PMN dan segmen meningkat
- LED meningkat
- urinalisis : urin keruh, pyuria,
bacteriuria, proteinuria, hematuria
- kultur urin > 100.000 koloni/cc
- febris  kultur darah
Kriteria UTI untuk terapi :
 > 10 cfu/ml dari aspirasi suprapubic
 > 100 cfu/ml dari sampel kateter
 > 1000 cfu/ml dari midstream urine
 Terdapat simtom
 Terdapat piuria
 Terdapat organisme tunggal
 Terdapat bbrp organisme pada ulangan kultur.

IVP :
- kontur ginjal >>
- batas ginjal dan lemak perirenal
- psoas line  kabur
- cari bayangan kalsifiaksi
- kalic, infundibulum, pyelum -> kecil & langsing (a/ edem)
- bila ada tanda-tanda obstruksi di pyelokalic degan klinis
pyelonefritis  dx/ Urosepsis.
- bila nonvisualized  konfirmasi dengan USG  ada dilatasi
pyelokalic -> dx/ pyonefrosis.

Pyelonefritis kronis :
- batas/ kontur ginjal tidak teratur
- kaliektase multiple (clubbing)
 akibat scarring dari parenkim ginjal
Voiding cistografi :  untuk melihat adanya reflux vesiko uretral 
ascending infection .

ISK Bawah :
Sistitis :
- fase acut : mukosa hiperemi, edema, infiltrasi sel netrofil
- fase kronis : buli rapuh  banyak debris, mudah berdarah ,
granulasi s/d ulkus.
Klinis :
- gejala sistemik ( -)
- tidak ada demam & nyeri pinggang
- tanda iritasi : frekuensi, urgensi, nokturia, disuria.
- nyeri suprapubik/ perut bawah.
- wanita  post soitus

JEF & GWK 44


- cari kelainan pada uretra : stenosis meatus , fimosis
Lab.
- leukositosis
- faal ginjal normal
- urinalisis  pyuria dan bacteriuria, hematuria 
- kultur urin +  dx/ pasti.

Sistitis akibat dari : Kehamilan, DM, Elderly, Recurrent UTI, Simtom


> 1 minggu sebelum terapi, maka harus di beri terapi selama 7 –
10 hari. Dan bila ada demam dan flank pain harus di terapi sesuai
pielonefritis.
Bila ada faktor komplikasi yang lebih berat : oliguri, ARF/CRF,
keluhan TU, immunocompromise, maka terapi diteruskan sampai
dengan 14 hari.

Indikasi IVP :  u/ cari kelainan primer


- curiga infeksi menyebar ke ginjal
- terapi adekuat  hasil (-)
- re-infeksi 1 - 2 bulan

Terapi :
* causal : Anti biotik - Cotrim
-
Nitrofurantoin 4 x 50 mg
* Simtomatik
- Anticholinergik : probantine 3 x 15 mg
- Analgetik : pyridium 3 x 1 tab.
* Minum banyak.

Interstitial Cystitis
(Hunner’s Ulcer, Submucous fibrosis)
-Ditandai o/ fibrosis dinding buli  capasty 
- Fibrosis diduga karena obstruksi limfe buli sekunder dari
infeksi
pelvic surgery,
prolonged intrinsic arteriol spasm
neuropathic origin
faktor endokrinologi
Klinis :
-Middle age women
-Frekuensi & nocturia tanpa disuria
-Suprapubic pain, juga di uretra dan perineum.  setelah BAK
nyeri hilang
-Gross hematuria
Lab :
-Urin steril
-Mikros hematuria
X-Ray :
-Excretori urogram dbn
Cystoskopi :
Buli diisi  suprapibic pain meningkat
Kapasitas bula < 60 cc
Bladder lining  dbn
DD/ :
-Tuberculosa Buli.  yg sering orifisium ureteral

JEF & GWK 45


pyuria, basil
(+)
-Vesical ulcer akibat schistosomiasis.
-Nonspesific vesical infection
-Ca buli.
Komplikasi :
Gradual ureteral stenosis
Refluk
Hidronefrosis
Treatment
Terapi :
-Terapi definitif tidak ada
-Hidraulic overdistention  meningkatkan kapasitas buli
-Superfisial electrocoagulation  relief pain
-Tranuretral resection of the lesion
-Symptomatic relief  50 cc DMSO 50 % (dimethyl sulfoxide)
kedalam buli setiap 2 minggu.
-Sodium pentosan polysulfate (Elmiron) 4 x 50 mg atau 2 x
150 mg selama 4- 8 minggu.
 relief frekuensi & nokturia
-Cortison asetate 100 mg atau prednison 10 – 20 mg  21 hari
-Antihistamin : pyribenzamin 4 x 50 mg /hari
-Antibiotik bila disertai infeksi akibat instrumentasi
-Terapi komplikasi.

Abses Ginjal .
Ada 2 jenis :
1. Kortikal/kortikorenal.  akibat infeksi hematogen
causa 90 %  stafilokokus aureus
predisposisi : obat-obat i.v, HD, DM.
2. Kortikomeduler :akibat ascending infection  reflux.
Causa : E. coli, klebsiella, proteus.
Predisposisi : obstruksi, reflux.
Klinis :
- sama dengan pyelonefirtis akut
- abses besar  teraba mass daerah pinggan .
Lab. :
- sama dgn pyelonefritis
- pada kortikorenal  urinalisis normal.
IVP :
- distorsi sistim pyelokalic
- cari faktor predisposisi
Terapi :  sama dgn pyelonefritis
- abses besar  drainage
- abses luas dan multiple  nefrektomi
- koreksi faktor primer

Fournier’s Gangrene
Bentuk fasciitis necrotizing yg terjadi sekitar genetalia laki-laki.
Gangrene skrotum idiopatik
Gangrene skrotum streptokokus
Phlegmon perineal
Infeksi umumnya muncul dari kulit , uretra, or regio rektal
Faktor predisposisi :
DM, Trauma lokal, parafimosis,

JEF & GWK 46


Ekstravasasi urine peri uretral,
Infeksi peri uretral or perianal,
Circumsisi, herniotomi, instrumentasi
STD
Kultur luka biasanya multiple organisme (aerob & anaerob)
Klinis :
 Riwayat trauma, instrumentasi, striktur uretra, STD, fistel
uretrokutan
 Biasanya dimulai dgn sellulitis, bengkak, eritema, nyeri dan
febris sistemik.
Gx/ UT; disuria, discharge and retensiio, Gas.
Th/.
Debridement  ekstensif
AB: Ampicillin + Sulbactam atau
Cephalosporin gen III

PERIURETRAL ABCESS :
Life treatening infection
Akibat dari : GO, striktur uretra, kateterisasi uretra
Klinis :
Scrotal sweeling
Fever
Retensio urine
Spontan drainage abcess
Dysuria
Urethral discharge
Gx/ awal s/d timbul abcess : 21 hari
LAB :
Pyuria
Bacteriuria

Th/ :
Suprapubic urin drainage
Wide debridement
AB : Aminoglikoside
Cephalosporin

Acut bacterial prostatitis :


Etiologi :
- Aerobic gram negatif : E.coli, pseudomonas, s. fecalis
- Gram positif : sangat jarang.
Pathogenesis :
1. Ascending dari uretra.
2. Reflux kedalam duktus prostatikus
3. Direct extension/ limfogen dari rektum
4. Hematogen
1 & 2  paling sering
Berkaitan dgn sistitis akut
Dapat menyebabkan retensio akut
Patologi :
PMN sekitar acini
Desquamasi intraduktal
Struma  edem dan hiperemi
Klinis :
Febris akut dgn menggigil

JEF & GWK 47


Low back pain
Perineeal pain
Urgensi & frekuensi, nokturia, disuria
Retensio urin akut
Mialgia, artralgia
Prostat bengkak, nyeri, lembut, indurasi dan hangat
Urin keruh, hematuria

Kontraindikasi :
Intrumentasi / kateterisasi
Massage prostate : nyeri, & bakteremia

Th/ :
1. Cotrim : 2 x 960 mg  4 minggu
2. Gentamici/ tobramicin + ampicillin  1 minggu – dilanjutkan
dgn oral ampicillin full dose 30 hari.

TBC urogenital selain di terapi dgn TB drug juga diberi Vitamin C


dosis tinggi  mengasamkan urin (BTA)
TBC di Prostat  paling jarang karena vaskularisasinya paling
kurang.

JEF & GWK 48


Retro peritoneal Space
a. Perirenal space : berbatasan dgn fascia gerota.
b. Pararenal space : dibagi dalam 2 kompartemen :
1. Kompartement anterior : dibatasi oleh peritoneum
parietalis posterior dan fascia renal anterior (gerota)
2. Kompartement posterior : dibatasi oleh fascia renal
posterior (gerota) dan fascia transversalis.
 Perirenal space dan kompartemen posterior tidak melewati
midline, sehingga infeksi pada kompartemen ini tetap unilateral.
 Kompartemen anterior meluas melewati midline, shg infeksi pada
kompartemen ini bisa menyebar ke kontralateral (bilateral)

JEF & GWK 49


Cushing’s Syndrome :
Akibat over produksi cortisol (hidrocortison)
Hipofisa  Produksi ACTH   hiperplasia cortek adrenal 
cortison >>>
Causa :
1. primer :
Hiperplasia : 70 – 75 %
Adenoma : 10 – 20 %
Carcinoma : 5 – 10 %
Micronoduler displasia : jarang
2. sekunder : Ektopik ACTH : 8 – 10 %
Bisa dari Oat cell Ca, Ca pangkreas, bronkus thymus,
haeocromacitoma, ganglioneuroma.

Klinis :  3 dari gejala berikut :


1. Weakness : quadricep femur
2. Obesitas : moonface, fat pad ( bufallow hump)
3. Striae
4. Iritabilitas
5. Hipertension
6. Osteoporosis
7. Diabetik glukose tolerance
8. Adrenogenital syndrome.
Lab :
-Leukosit : 12 – 20 ribu
-Polisitemia : Hb : 14 – 16
-Natrium Meningkat
-CO2 meningkat
-Kalium turun  metabolik alkalosis
Terapi :
Total bilateral adrenalectomy

Conn’s Syndrome : (primary aldosteronism)


 Adenoma : 60 – 90 %
 Bilateral micronoduler hiperplasia : 20 – 40 %
 Carcinoma : jarang

Adrenogenital syndrome :
 Cortical hyperplasia
 Adenoma
 Carcinoma.

Cortex adrenal menghasilkan hormon steroid :


 Minerallocorticoid aldosterone : mengatur resorbsi natrium dan
kalium.
 Glukocorticoid : berperan pada metabolisme selluler. Bila
berlebihan  akumulasi glikogen pada hati dan otot,
glukoneogenesis meningkat, utilisasi glukose perifer gagal,
myopathy, osteopenia.
Medula adrenal menghasilkan : Epinefrin, norepinefrin & dopamin.

JEF & GWK 50


Medical Renal disease
Pemeriksaan fisik :
Pucat
Edema
Hipertensi
Retinopati
Tanda-tanda penyakit kongenital & heriditer
Urinalisis :
 Proteinuria (+2-4)  parenchimal involvement (immune
mediated glomerular disease, metabolic disorder/DM.
 Red cell cast  glumerulonefritis
 Fatty cast & oval fat bodies  degeneratif disease of te kidney
(nephrosis, glomerulonephritis, autoimmune)

Klinis renal disease :


Hematuria
Proteinuria
Renal insuffisiensi
Bentukan elemen dalam urin
Komplikasi

Post streptococcal Glomerulonefritis


Dx/ :
 Riwayat infeksi streptokokus sebelumnya
 Malaise, headache, anorexi, low grade fever
 Edema, mild hipertensio, retinal hemorrhages
 Gross hematuria; protein, red cell cast, granular and hyaline cast,
white cell & renal epithel cell in urine.
 Elevated anti streptolisin O titer, hipocomplementemia
Biasanya mengenai kedua gijal
Fase akut recoveri komplet
Paling banyak anak umur 3-10 tahun, dewasa 5 %
Sering didahului oleh pyoderma/impeigo, pharingitis, infeksi kulit
Konfirmasi dx/  eritrosit cast dalam urine
Therapy :
No pesific treatment
Menghilangkan infeksi
Cegah overhidrasi dan hipertensi

Goodpasture’s Syndrome (Antiglomerular basement


membrane nephritis.
Riwayat hemoptysis, malaise, anorexia, headache

Sindrome klinis :
 Severe acute glomerulonefritis, diikuti dgn radang paru
hemorhagis yg difuse
 Hematuria (mikros or gross)
 Biopsi : glomerular cressent & adhesion & inflamasi
Therapy : large doses corticosteroid

Nefrotik sindrome,
Dx/
 Edema
 Proteinuria > 3,5 gr/day
 Hipoalbuminemia < 3 gr/dl

JEF & GWK 51


 Hiperlipidemia > 300 mg%
 Lipiduria : free fat, oval fat bodies, fatty cast
Therapy : Steroid, restriksi natrium, atasi infeksi intercurrent

Polycystic kidneys
Familial dan selain ginjal juga sering pada liver & pangkreas
Kista terbentuk akibat kegagalan penyatuan tubulus kolecting dan tubulus
convultus
Bermasalah bila kista terinfeksi
Kista biasanya tidak bertambah banyak tapi bertambah besar dan efek penekanan
dapat merusak jaringan sekitar.
Sering ditemukan secara kebetulan.
Klinis : nyeri pinggang, hipertensi dan renal insufisiensi, kadang-kadang dapat
diraba pembesaran ginjal.
Urine :Leoksit dan eritrosit +.

Kista Renal :
- Medullary cystic disease
- Medullary sponge kidney
Sign yang khas :
 Kongenital
 Familial
 Bilateral

JEF & GWK 52


Acut Renal Faillure
Fase ARF :
1. Onset
2. Fase oliguria
3. Fase early diuretic
4. Fase late diuretic
Pada fase early diuretic  fungsi tubular tetap gagal & terdapat penalimpahan
cairan dan elektrolit
Pada fase late diuretic  ditandai dgn perbaikan yang menetap pada fungsi ginjal
Onset ARF pada post traumatic :
- Early  6 hari pertama
- Late  > 7 hari
Bila tek arteri afferen < 60 mmHg (N: 100mmHg)  filtrat  : Na, Air, & urea 
sebagian besar diserab lagi.
Creatinin tidak diserap  rasio ure : creatinin >>

Anuria
Def : Keadaan dimana produksi urin < 200 cc/24 jam.
Anuria obstruktif : causa obstruksi pasca renal.
K/U
St. Lokal :
- Tr. Urinarius
- DL, BUN/SC, BGA (kosul kardio), elektrolit
- CVP (pre renal), DK

Foto thorak
BOF  IVP
USG (u/ membedakan renal dan post renal)
# Non obtruktiif  perawatan nefrologik
# Obtruktif  diversi urin / by pass  terapi definitif
# Meragukan :
- RPG double set up
- Tes diuretik dengan persiapan tindakan :
+ diversi urin, & + by pass
Bila ada indikasi, hemodialisis mendahuli tindakan.
Oliguria
Def. : bila produksi urine < 400 / hari pada spesifik gravity urin
1,035 atau < 6 cc/ kg BB
Jika kemampuan onsentrasi ginjal gagal dan spesifik gravity hanya
1,010,  oliguria bila urin < 1000 – 1500 cc/ hari  high
output/nonoliguric renal faillure

Etiologi acut renal faillure : (Smith’s)


1. Pre renal :
-Dehidrasi
-Vascular collapse (sepsis, obat antihipertensi)
-Reduced cardiac output
2. Vascular :
- Atheroembilsm
- Dissecting arterial aneurisme
- Malignant hipertensi
3. Parenchimal (intrarenal) :

JEF & GWK 53


-. Spesifik : -Glumerulonefritis
- Interstitial nefritis
- Toxin, dye-induced
- Nonspesifik :
-Acut tubular nekrosis
-Acut cortical necrosis
4. Fungtional – hemodinak :
-ACE-inhibitor drug
-Nonsteroid anti inflamasi drug
-Cyclosporin
-Hepatorenal syndrome
5. Post renal :
-Calculus pd px/ dgn solitary kidney
-Bilateral uretral obstruction
-Outlet obstruktion
-Leak, post traumatik
-Retroperitoneal fibrosis.
----------------------------------------------------------------------------

Prerenal Renal Faillure


Akibat perfusi renal yg tidak adekuat karena volume intravaskuler
yg tidak adekuat atau tidak efektif.

Klinis
-complain : thirst, orthostatic dizziness, fluid loss, BB .
-turgor , JVP , mukosa kering, orthostatic change in BP & pulse,
tachicardi, prod. urin 
Lab.
1. Urine :
-Volume 
-High urine spesific gravity : > 1,025
-High urine osmolality : > 600 mosm/kg
2. Kimia darah urin :
-Ratio BUN : SC meningkat (N=10:1)

ARF Prerenal
Azotemia
Urine osmolality < 300 > 500
Urine/plasma urea < 10 > 20
Urine/plasma creatine < 20 > 40
Urine Na (meq/L) > 40 < 20
R F. indek = UNa : U/P cr >1 <1
FE Na = (U/PNa : U/Pcr) x >1 <1
100

3. CVP : - turun  hipovolemia  blood loss, dehidrasi


- Cardiac faillure  CO  dan CVP 
4. Fluid hallenge :
PZ 300 – 500 cc atau 125 cc manitol 20 %  diukur urine 1 –
3 jam kemudian.
Bila volume urin > 50 cc/ jam  respon positif  dilajutkan
dengan infus PZ u/ koreksi dehidrasi.
Bila vlume urin tidak meningkat  evaluasi ulang kimmia darah
dan urin.
Terapi :  tergantung primer

JEF & GWK 54


Dehidrasi  koreksi cairan
Bila tetap oliguri setelah rehidrasi  obat vasopressor dapat
diberikan untuk memperbaiki hipotensi yg berkaitan dgn sepsis dan
shock cardiogenik.
 Doopamin 1 – 5 mikro gram /kg/menit  renal dose
Terapi fluid over load pd ARF :
- Furosemid 250 – 1000 mg/ infus > 1 jam
- Bila tdk ada respon terhadap diuretik  indikasi dialisis.

Spesific Intrarenal Disease State.


Klinis :
-Riwayat URTI, obat-obat IV
-bilateral back pain
-gross hematuria
-Pyelonefritis menyebabkan ARF bila disertai sepsis/ dehidrasi,
obstruksi dan adanya solitary kidney.
Patogenesis :
- Destruksi tubuler :
Major trauma injuri  pelepasan mioglobin dari sel otot rangka 
presipitasi di tubulus  obstruksi : intrtubuler pressure naik dan
GF turun.
- Vasomotor th/ :
Renin angiotensin naik  vasokontriksi arteriole afferen  GFR
turun.
- Permiabilitas membran glumerulus turun.
Lab :
1. Urine:
-Eritrosit +
-Leukosit +
-Celluler & glanuler cast
-Eosinofil +  allergic interstitial nefritis
-Na urin 10 – 40 meq/L
-Osmolaritas urin < 400 mOsmol/kg
-Ration urin plasma :
- urea < 10 : 1
- osmolaritas < 1,2 : 1
- creatinine < 20 : 1
2. Renal biopsi  characteristic change of acut interstitial nefritis
atau glumerulonefritis
X-Ray :
-IVP :  porr/ non visualized .

Terapi :
-Eradikasi infeksi.
-Mengurangi respon inflamasi
-Immunoterapi.

Non Spesific Intrarenal States.


Klinis :
-Dehidrasi & shock  dgn rehidrasi produksi urin tidak membaik.
-Gejala uremia : perubahan mental dan gejala GIT.
Lab :
1. Urine : -Spesific gravity : 1.005 – 1.015
-Osmolality : < 450 mosm/kg
- Ratio osmol U/P = < 1,5 : 1

JEF & GWK 55


-Urinalisis : tubular cell & granuler
cast
2. CVP : normal atau sedikit meningkat
3. Fluid challenge : Pemberian manitol atau cairan PZ tidak
meningkatkan produksi urin.
Terapi :
- Balance cairan
- Glukosa dan AAE 30–35 kcal/kgu/ mengurangi katabolisme
- Monitor Kalium dan ECG
- Terapi hiperkalemia : -Nac.bic /i.v
-Kayexalate
25 – 50 g / oral
- Insulin i.v
- Preparat Calsium
- Hemodialisis
Prognosis :  biasanya reversible dalam 7 – 14 hari

Tubular Destruction :
Major trauma injury

release myoglobin sel otot skeletal

precipitate dalm tubulus

obstruksi

tek intratubulus 
GFR 

iskemia

pelepasan sel-sel, debris

filtered tubular obstrukstion

Postrenal Acut Renal Faillure


Klinis :
-Renal pain or renal tenderness
-Edema akibat over hidrasi
-Ileus  berkaitn dgn distensi abd. dan vomiting
Lab :
- Kateterisasi  untuk diagnostik dan terapi pada obstruksi uretra
dan bladder neck.
X-Ray :
IVU  poor visualization
Renal scan : membantu pd obstruksi akut tapi tidak pada yg kronik.
Gambaran kebocoran urin atau retensi isotop di pelvis
renalis.
USG  dilatasi sistim kolekting  hidronefrosis
Cystoskopi  obstruksi uretra.

Indikasi Dialisis (clasic) :


- Hiperkalemia
- Fluid overload
- Severe metabolic acidosis

JEF & GWK 56


- Uremic complication.

Indikasi Dialisis pada pasien yg kritis :


1. Ekstrem oliguria ( Urine < 100 cc/ 24 jam)
2. Hiperkalemia  K > 6,5 mmol/lt
3. Acidemia  pH < 7,1
4. Uremia  Urea > 30 mmol/lt
5. Clinically significant organ oedema
6. Severe dysnatraemia  Na >160 or < 115 mmol/lt

Mayor Parenchymal Causes of Acut Renal Faillure :


(Cambell’s)
1. Primary Renal Disease .
Glumerular :
Glumerlonephritis acut
Tubulointerstitial :
Acut interstitial nefritis (obat-obatan)
ATN (iskemia, nefrotoksis antibiotik, radiocontas)
Pyelonefritis
Transplant allograft rejection
Nrfrolitiasis
Radiation nephritis
Vascular :
Renal artery occlusion
Renal vein trombosis

2. Sistemic disease
Glumerular :
Vasculitis
Goodpasture’s syndrome
Secondary acut glumerulonephritis
Tubulointerstitial :
Tumor lysis syndrome
Hipercalcemia
Infection
Infiltration (limphoma, sarcoid)
Vasculer :
Vasculitis
Malignant hpertention
Scleroderma
Thrombotic thrombocytopenic purpura
------------------------------------------------------------------

Mayor Causes of Prerenal Azotemia :


1. Decreased cardiac output
Decresase intravasculer volume :
-Dehidrasi
-Hemorhage
-Anaphylactic sock
Decrease venous tone :
-Autonomic neuropathy
-Spinal injury
Decrease contractile function :
-IHD
-Cardiomiopathy
-Valvular heart disease.

JEF & GWK 57


-Pericardial tamponade or constriction
2. Normal or increase cardiac output
Systemic disorder :
-Hepatorenal syndrome
-Sepsis
Local renal disease :
-Renal arteri stenosis
-------------------------------------------------------------------

Complication of acut renal faillure :


1. Fluid over load :
Hipertension
Edema
Acut pulmonary edema
2. Electrolit disturbance
Hyponatremia
Hyperkalemia
Hypermagnesemia
Hyperphosphatemia
Hypocalcemia
Hypercalcemia (post rhabdomyolisis)
Hyperuricemia
3. Metabolic acidosis
4. Uremic signs and symptoms
Gastrointestinal :
Nusea, Vomiting
Upper GIT bleeding
Neurologic :
Mental status changes
Encephalopathy
Coma, Seizures
Peripheral neuropathy
Cardiac :
Pericarditis
Uremic cardiomyopathy
Pulmonary :
Pleuritis
Uremic pneumonitis
Hematologic:
Bleeding, Anemia
Immunologic :
Impaired granulocyte function
Impaired lymphocyte function
-----------------------------------------------------------------------------

Anemia pada CRF disebabkan oleh :


-Produksi eritropoitin yg berkurang.
-Penurunan survival dari sel darah merah
-Penurunan respon terhadap eritropoitin
-Supresi bone marrow  oleh middles molecule atau uremic
toxin.
Terapi anemia pada CRF :
- Eritropoitin : 500 U/kg/ i.v.  3 kali seminggu.
- Selain i.v. dapat juga diberikan subcutan, intraperitoneal.

JEF & GWK 58


GFR   < 30 cc/mnt

serum elektrolit abnormal

Body buffer  , serum bic.nat 
Ekskresi sisa metab 

Asidosis metabolik

hiperventilation (compensasi)

Uremic Syndrome :
1. gambaran klinis umum :
Letargi, fatigue, mual, muntah, anoreksia.
Gatal, pigmentaasi, pucat.
Intoleransi dingin
Gangguan pertumbuhan pd anak.
2. Gambaran klinis perikarditis :
Nyeri dada sentral dan tajam, hilang bila duduk.
Pericarditis rub
JVP meningkat pd ekspirasi (kaussmal)
BP turun pada inspirasi > 10 mmHg (pulsus paradoksus)
ECG : elevasi segment ST
BP turun tdk dapat dijelaskan.
3. Gambaran klinis uremic encephalopathy :
Gangguan personality
Progressive mental obtundation
Flapping tremor, Lesi saraf tepi (foot drop)

JEF & GWK 59


Prune- Belly syndrome
Congenital
Absence, deficience/ hypoplasia :
Abdominal muscle
Cryptorchidism d/s
Variasi dari abnormalitas TU 
Renal dysplasia
Hidronefrosis
Hipotonik bladder
Dilated prostatis yretra
Uretral atresia
Megalu uretra
Etiologi & embriologi  unknown
Beberapa teori :
1. Early urethral obstruction/ prostatic hypoplasia  bladder
/urethral dilatation with :
- Abdominal distortion
- Mechanical obstruction of testicular descent
2. Intrinsic defect ureter & bladder
3. Mesodermal defect

Diagnosis :
Prenatal USG (kehamilan 25-30 minggu)  classic finding :
Distended bladder
Hidroureteronefrosis
Floppy abdominal wall
Gambaran pada saat lahir :
Diding abd tipis
Jaringan otot dan subcutis sedikit
Organ abdominal dgn mudah dapat diraba
Kriptorchidism  >> intraabdominal
Megalouretra
Disertai dengan kelainan lain :
Cardivasculer (ASD TF)
Extremitas (congenital hip disloc)
GIT (malrotasi bowel, imperforates anus, gastroschisis,
hirsprung disease)
Lung : polmonary hipoplasia
Evaluasi periode perinatal :
USG, Renal function studies
Urinalisis  untuk menilai : derajat HN, kerusakan parenchim dan
menyingkirkan infeksi
Urography
Voiding cystouretrografi

Penanganan :
1. Antibiotik
2. Consevative  non operatif
Indikasi bedah :
 Recurrent infeksi
 Upper tract deterioration
3. Inisial urinary divertion  vesicostomy
Setelah diversion bila RFT stabil 
 Extensive remodeling ureter & bladder untuk menghilangkan
stasis urin & memperbaiki refluk

JEF & GWK 60


 Excission  lower redundant ureter & bladder
 Uretral reimplantation
 Memperbaiki abnormalitas uretra ( internal uretrotom, uretroplasti
 Orchiopexy  Future numbering for malignansi (6 bl – 1th)
Klasifikasi didasarkan pd beratnya abnormalitas dan prognosis :
Klas I : Poor infant survival
Klas II : Moderate impairment
Klas III : Mild defect, good long term survival.

JEF & GWK 61


WILM’S TUMOR
Adeno sarcoma
Nefroblastoma
Embrioma
Karsino sarcoma
Adenomio sarcoma
Frekuensi :
Bayi – anak  90 % pd usia < 7 tahun
Terbanyak pada usia 3 tahun

Etiologi :
Asal metanefrik blastema
Genetik ikut berperan, namun ragu sebagai kongenital
Berhubungan dgn sindroma :
Trisomi 8
Trisomi 18
Turner’s sindrome
Pseudohermaphroditism
Kadang-2 aniridia, hemihipertropi

Pathologi :
Umumnya besar, soliter, coklat, gambaran seperti daging
7 % kasus bilateral
Diameter  daerah hemorhage & nekrosis sentral
Klasifikasi histologis (NWTS) menurut prognosis :
Favorable
Unfavorable
Unfavorable subgroup terdiri dari  3 tipe
1. Anaplastik : mitosis abnormal & nukleus picnotic, dapat focal
atau difuse
2. Rhabdoid tumor : prognosis paling jelek, berhubungan dgn
pemisahan tu CNS, metastase ke otak
3. Clear cel sarcoma : spindel cells, metastase ke tulang

Staging :
Stad I :Tumor terbatas dalam kapsul ginjal. Reseksi operaasi
komplit.
Stad II :Tumot meluas keluar ginjal tapi kompletly removed.
Mungkin terdapat lokal spillage atau trombus tumor pd
vena renalis. Residual tumor pd margin eksisi (-).
Stad III :Residual tumor pd operasi dgn kontaminasi/ spillage pd
peritoneum dan abdomen. Lnn + pd hilus atau periaorta.
Tumor melewati margin operasi.
Stad IV : Metastase hematogen : paru, liver, bone & brain
Stad V : Bilateral renal lesion

Klinis:
Sign-simptom : Asimtomatic mass (>>>), abdominal pain, distensi,
anorexia, mual & muntah, febris, hematuria. Hipertensi 25-60 % o/k
renin . WAGR ( W ilms' tumor, a niridia, g enital anomalies, mental
r etardation)
 Ada 3 sindrome yg beerkaitan dengan tumor ini :
Beckwith-Wiedemann Syndrome ; exomphalos, macroglossia,
BBL tinggi dan gigantism.
Drash ; pseudohermaphrodism, glumerular disease.

JEF & GWK 62


Perlman syndrome ; viserallomegaly, macrosomia,
polihidramnion, abnormal facies.
 Lab : Anemia, hematuria
 X-Ray : IVU distorsi PCS & pembesaran ren, kalsifikasi
perdarahan dl tumor, fungsi ren.
 Renal arteriografi bila tumor bilateral/ horseshoe k.
 Thorax :  deteksi metastase.
 USG  men-dd/ dgn lesi jinak ginjal
 CT-scan/ MRI : extensi tumor ke v. renalis, v.cava.
 Bone scan  curiga metastase ke tulang, tu clear cell Ca.
 Biopsi preoperatif  indikasi bila tu terlalu besar, pre operatif
citostatika atau th/ radiasi

DD :
Hydronefrosis & kistik kidney.
Neuroblastome : biasanya muncul dari adrenal gland or paraspinal
ganglion, melewati midline, kalsifikasi >>. Tumor marker : VMA
(vanillylmandelic acid) & other katekolamin.

Penanganan :
1. Surgical :
- Unilateral & tdk melewati grs tengah atau mengenai
organ visceral
- RPLND tdk dianjurkan
- U/ staging  biopsi Ln
- Hindari spillage ginjal diangkat bersama dgn fascia
gerota & perinefrik fat
- Approach : transabdominal/ torakoabdominal,
alasannya :
- Memungkinkan reseksi terhadap tu/ primer
- Explorasi u/ metastase
- Pemeriksaan ren kontralateral.
2. Radioterapi :
- Wilm’s tu  radiosensitif
- Direkomendasikan pd yg Unfavorable stadium apapun dan
untuk penyakit stadium IV
- Usia > 1 th : 2000 rad, mulai 1 – 3 hari post op.
- Usia < 1 th : total 1000 rad
3. Kemoterapi :
Wilm’s tu  kemosensitif :
- Actinomicin D : 0,015 mg/kg/hari
- Vincristine : 1,5 mg/m2LDT/minggu
- Doxorubicin
- Cyclophosphamide
- Cisplatin
- Adriamicin : 0,6 mg;kg/hari max

Tumur retroperitoneal

a. Ganas : 70 – 80 % :
- liposarkoma
- leiomyosarkoma
- fibrosarkoma

JEF & GWK 63


- neurogenik sarkoma
- fibrous histiositoma
b. Sign & simptom :
- abdominal enlargement
- weight loss
- fever
- abdominal pain
- nausea & vomiting
- obstipation
- leg edema
- flank pain, disuria & urgensi
c. Diagnostik :
- CT-scan
- IVP
- Angiografi
Terapi :
Surgical removal
Radioterapi
Prognosis :
Jelek : 5 – 20 % 5 ysvr

JEF & GWK 64


Ektopik & kriptorchismus

Ektopik disebabkan o/ koneksi yg abnormal dari ujung distal


gubernakulum testis sehingga menyebabkan posisi gonad tidak
normal.
Tempat ektopik adalah :
1. Superfisial inguinal  paling sering.
2. Perineal.
3. Femoral atau crural  pada scarpa’s triangel
4. Penil  dibawah kulit dorsum penis.
5. Transverse atau paradoxic descent  pada canalis
inguinalis yg sama
6. Pelvik.

Kriptorkismus  testis berhenti secara tidak normal pada tempat


turunnya. Sering unilateral.
Pada bayi prematur  insiden 30 %
Causa :
-Abnormalitas gubernakulum testis
-Intrinsik testicular defect  testis tidak sensitif terhadap
gonadotropin
-Defisiensi stimulasi hormon gonadotropin
Klinis :
-Skrotum tidak berisi testis
-Infertil
-Skrotum yg terkena  atropi
-Testis teraba tidak pada tempatnya
-Sering disertai dengan hernia pada sisi yg terkena
Lab.:
Pada hipogonadisme primer  gonadotropin urin (FSH) ,
Androgen sedikit berkurang
Pada hipopituitarisme primer  Androgen dan gonadotropin
hipofise sangat berkurang.
Pada kriptorkismus bilateral primer  androgen dan
gonadotroopin hipofise sedikit berkurang.
Test hCG : ukur kadar testosteron serum, lalu berikan hCG 2000
unit/ hari selama 4 hari. Hari ke 5 periksa ulang kadar
testosteron serum. Bila testis ada  kadar testosteron
meningkat 10 kali.
X-Ray :
-Selective gonadal venography  plexus pampiniformis
CT-Scan :
-Efectif pada penderita yg dewasa

USG :
-Untuk canalis inguinalis hasilnya cukup baik.
-Untuk rongga pelvis hasil kurang memuaskan.
MRI :
-Hasilnya cukup memuaskan, tapi sulit dikerjakan pada anak
Komplikasi :
-Hernia inguinal  25 %
-Torsio testis
-Cancer  35 – 38 kali lebih sering (seminoma >>)
Biasanya usia > 10 tahun.

JEF & GWK 65


Terapi :
1. Terapi hormonal :
Diberikan pada usia sebelum 5 tahun.
Diberikan hCG, 1500 U/m2 / i.m.  3 x seminggu.
-diberikan 9 dosis.
-dapat juga diberikan LH-RH
-pada bilateral hasilnya lebih baik
2. Surgical :
Gagal terapi hormonal
Menmpatkan testis ke dalam skrotum  sebelum usia 1 tahun
(belum ada perubahan histologik)
Orkhiopeksi & herniorafi  preservasi vasculer pedicle

Prognosis :
Unilateral 20 % menjadi infertil

JEF & GWK 66


Tumor testis
- Insiden 1 – 2 % dari semua Ca pd pria
- Faktor resiko :
- Kriptorkismus
- Genetika
- Trauma
- Atropi
- Infeksi
Klasifikasi :
A. Gernminal sel ;
1. Seminoma : - Klasik
- Anaplastik
- Spermatositik
2. Nonseminoma :
- Embrional (20 %)
- Teratoma (5 %)
- Terato Ca. (40 %)
- Chorio Ca, (<3 % )
3. Campuran
B. Non-Germinal sel :
1. Dari interstitial sel
2. Dari sel gonad

Metastase :
- limfogen
- Kecuali chorio Ca  hematogen
- Saat diagnosis dibuat  40 – 50 % meta (+)
- Regional : para aorta  duktus thoracikus  medistinum
 supra clavikula
Dex : ke KGB inter aortocaval level hilum  precaval,
preaorti, para caval, ilium communis dan iliaka eksterna
dex.
Sin. : ke peri aortik level hilum (s)  advance : preaortic
iliaka communis & iliaka eksterna sin.

Tumor Marker :
Tujuannya :
- Diagnosis
- Stadium
- Evaluasi terapi
- Prognosis
1. Alpha Feto Protein :
Diproduksi oleh : Yolk sac, hepar & GIT
AFP  pada Ca embrional, teratoma
2. Beta HCG :
Diproduksi oleh tropoblas
Beta HCG  : choriio Ca, Ca embrional (40 – 60 %),
Seminoma (5 – 10 %)
3. Lactic acid dehidrogenase (LDH)

Seminoma & chorio Ca  AFP dbn


Klinis :
- Asimtomatik : 10 %
- Pembesaran testis  painless
- Back pain  metastase ke retroperitoneal
JEF & GWK 67
- Anoreksia, nusea
- Bone pain
- Masa kenyal yg bebas dari testis
- Ginekomastia :5 %

Clinacal Staging :
1. Beden & Gibb :
A. Stad. A  lesi terbatas pada testis
B. Stad. B  Penyebaran KGB regional
B1 : RPLN  < 5 cm
B2.: RPLN  5 – 10 cm
B3 : RPLN > 10 cm
C. Stad. C  diatas RPLN
2. MD. Anderson :
A. Stad. I : terbatas pd testis
B. Stad. II : metastase ke RPLN
IIa :  < 10 cm
Iib :  > 10 cm
C. Stad III : KGB supradiafragma &/ visceral
3. TNM sistem :
T1 : terbatas pada testis
T2 : melewati tunika albuginea/ ke epididimis
T3 : Kena funikulus spermatikus
T4 : kena skrotum
N1 : mikroskopis  KGB (+)
N2a : KGB < 5 nodus / <2 cm
N2b : KGB > 5 nodus/ > 2 cm
N3 : invasi ekstra nodul
N4 : unresectable ROLN meta

Terapi :
1. Low-Stage Seminoma : I – IIa; T1-3; N1-2.
- Radical orchidectomi
- Radiasi RPLN : 2500 – 3000 rad/3 minggu
2. High-stage seminoma (IIb – III); T4; N3 or M1
- chemoterapi : PVB (platinum – vincristin – bleomicin)
3. Low-stage nonseminomatous germ cell :
Stadium A : Orchidektomi + RPLND
4. Hig-stage non seminoma germ cell tomur :
Orchicdektomi + kemoterapi

Terapi adjuvant post radikal orkhidektomi :


1. RPLND : indikasi untuk NSGCT bila terdapat salah satu dari
faktor resiko yaitu : invasi vasculer atau embrional Ca (Volume
> 40%; T2 atau 3, dan secara Ro tdk ada meta ke retro.
2. Raditerapi; 2500-3500 cGy ke peri aorta dan ln inguinopelvic
ipsilateral 5 ysvr 95% untuk st I. Seminoma st lanjut RT
diberi setelah kemoterapi. Untuk NSGCT RT diberi dgn dosis
4000-5000cGy.
3. Kemoterapi; Seminoma low stage : carboplatin. Untuk stadium
lanjut Cisplatin, vinblastin dan bleomicin (complet respon
90%). NSGCT low stage ; BEP (bleomicin, etoposite, cisplatin)

JEF & GWK 68


DISORDER OF URETER

Congenital : wanita > pria


1. Atresia ureter  bila bilateral : Potter’s syndrome
2. Duplikasi ureter : complete or incomplete (Y-type)
Complete  Weigert-Meyer law :
 Ureter upper segment  muara ke distal  ektopik
 Ureter lower segment  muara lebih kelateral, intramural
pendek refluk vesicoureter
 Pada wanita  ureter pole atas biasanya ektopik dgn
muara distal dari spincter ekst atau diluar TU 
incontinensia +
 Pada lk  ureter ektopik selalu proksimal dari spincter
eksterna.
3. Ureterocele :
Sacculasi dari bagianterminal ureter :
 Intravesical : single ureter
 Ektopic ureterocele  ureter duplikasi pole atas
 Ektopic 4 x lebih sering intravesikal,  > 
Ro. : cystic dilatasi & filling defect dalam buli.
Th/ Eksisi ureterocele
Vesical rekonstruksi
Ureteral reimplantasi
4. Ectopic ureter orifice :
Berhubungan dgn ureterocele & duplikasi ureter.
Laki : incontinensia (-), sering epididimitis
Wanita : bisa ke uretra, vagina atau perineum, incontinensia
(+)
Th/ Reimplantasi ureter
Nefroureterectomi
5. Kelainan posisi ureter :
Retrocaval : - upper ureter & renal pelvis
- 1/3 tgh  L3
6. Obstruksi UPJ :
Kelainan ureter yg paling sering
Lk > wanita, kiri > kanan
10 – 15 % bilateral
Causa tidak jelas
Terdapat angulasi & lekukan
Sering  ureter proksimal hipoplastik
Blood vessel of lower pole
 Kongenital :  faktor intrinsik : bisa k/ segmen ureter yg
aperistaltik (tdk ada oto spiral) atau ada jaringan fibrotik 
kegagalan pembentukan gelombang peristaltik  aliran
urine tdk lancar. Keadaan lain : Katup daerah uretero pelvik
atau adanya arteria abberan yg menyilang lewat belakang
ureter.
 Didapat : refluk  ureter kinking, neoplasma
Klinis :
Infant  abdominal mass, gx/ uremia
Children : pain, vomiting, hematuria, infeksi, calculus,
hipertensi.
Dx/ :
IVP  k/p provokasi  diuretik renografi
USG  bila RFT turun & nonvisualized
RPG  bisa memastikan dx/  k/p pasang DJ stent

JEF & GWK 69


PNS  sarana dx/ & untuk mengukur tekanan (Whittaker test)
:  larutan NaCl 0,9 % 10 cc/ menit
Non obstruktif : s/d 12- 15 cm H2O
Obstruktif : > 15 cm H2O
Th/ :
Tujuan : menghilangkan sign & symptom
Menyelamatkan fungsi ginjal
Teknik : Pyelouretereo-plasty
Foley Y-V plasty
Pelvic flap procedures
Indikasi : obstruksi pelvis
Infeksi
Kemunduran fungsi
Batu (skunder)

JEF & GWK 70


PANENDOSKOPI

Merupakan salah satu pemeriksaan dasar urologi


Indikasi amat luas :
1. Kelainan / spk ada kelainan pada TU bawah :
- Heamturia
- Kel. Miksi  non-invasif tidak jelas
- ISK berulang pemeriksaan dasar tidak jelas
- Spk kelainan bawaan uretra & buli :
Klep uretra
Refluk vesikoureter
Ureter ektopik
Fistel
- Stres inkontinensia
- Spk tumor uretra/ buli
2. Evaluasi pasca th/ endoskopi
4. Bagian dari diagnostik endourologi/ terapi endourologi :
RPG
TURP
TURB
Syarat :
- Pemeriksaan no-invasif +, Lab, Ro.
- Informed consent
- Antibiotik profilaksis/ th/ ISK lebih dahulu
- Miksi sebelum tindakan
- Lavemen  bila dgn GA/ SAB
Sheat untuk panendoskopi :
15,5 Fr : yellow
17 Fr : green
19 Fr : Red
Untuk sachse : 21 Fr : Blue
Untuk lithotripsi : 23,5 Fr : White
Untuk TURP : 24 Fr & 27 Fr.

JEF & GWK 71


UROLITIASIS

Evaluasi px/ urolitiasis :


IVP : Conformasi Dx/
Ukuran & posisi batu
Derajat Obstruksi

UL : RBC & Cristal


Cultur : Bacterial infection &
Management Px/
SC : Data dasar
As. Urat  hyperuricemia
Related to stone problem
Elektrolit  Screening test u/ RTA type I  hipercloremic acidosis
Ca. Serum (3x)  Deteksi hiperparatiroid (>10,1 mg %)
Fosfor serum  Dx/ hiperparatiroid (pd level yg renndah)

Batu cystein dan asam urat :


Urin  pH sekitar 5,5 atau 

Batu Ca. Fosfat :


PH urin  Alkaline side of 6,5

Batu infeksi (struvit) :


Urea splitter  amonium  PH urin  Alkaline – endapan/
medium
 AB pre Op dan post Op diberikan s/d cultur urine negatif, bila
tidak batu akan cepat muncul lagi.

Teori pembentukan batu :


1. Nucleation theori :
Pembentukan batu diawali oleh adanya kristal atau foreign
body dlm urin supersaturasi.
2. Stone matrix theori :
- Bahan organik serum
- Protein urin : albumin, globulin, glikosaminoglikan
 kerangka u/ deposisi kristal
3. Inhibitor of crystalization theori :
Bahan-bahan tertentu dalam urin dapat menghambat
pembentukan kristal :
Mg, Fosfor, Citrat, fosfocitrat, Mucoprotein, RNA,
glikosaminoglikan.
4. Status metabolisme Aquired or genetic
5. Faktor lingkungan  supersaturasi urin
6. Dietary excess
7. Abnormalitas anatomi
Gx/ dan tanda batu TU :
1. Batu Calix :
- Kecil  nonobstruksi  asimtomatis
- Gross hematuria
- Flank pain
- Recurrent infection
2. Renal pelvic stone :
- Nyeri flank atau CVA
- Infected  sepsis
- Obstruksi  pyelonefritis

JEF & GWK 72


3. Proximal ureter :
- Nyeri spamodic, tajam, acut  di daerah flank
- Radiating to abdominal area
- Mual dan muntah.
4. Distal ureter :
- Kolik yg menjalar ke inguinal, testis/ labia

Radiologis :
- 90 % radioopage
- Calsium fosfat  paling radioopage ~ tulang
- Calsium oxalat  sedikit kurang opage
- Mag. Amonium Fosfat (struvit)
- Cystein
- As. Urat & xanthine  paling radioluscent

Batu Calsium:  tidak larut.


- calsium fosfat Ca10(PO4)6(OH)2
- Calsium oxalat  80 %
- campuran
Laki-laki 3 x lebih sering
Jenis batu ginjal yang paling sering
Citrat urin  inhibitor cristalisasi kalsium
 bila kadar  (<300 mg/hr)  stone
formation
Sreening Bila kadar calsium serum   cek paratiroid H.
a. Fasting and calsium loading test.
Periksa kadar calsium dan creatin dalam urin puasa (10jam). Lalu
diberi loading calsium glukonas 1 grm/oral  periksa kadar
calsium& creatinin post loading Cal.glukonas.
Normal = ratio Ca : creatini puasa < 0,11
Ratio > 0,11  renal hipercalciuria.
Rasio Ca : creatini post loading > 0,2  absorbtif hipercalsiuria.
Bila pH urin puasa > 5,3  renal tubular asidosis
Hipercalciuria : > 300mg/hari  tanpa diet.
Absorbsi calsium : duodenum dan jejenum.  dipengaruhi oleh Vit.
D dan calsium binding protein.

Absorbtif hipercalsiuria :
Perubahan respon usus terhadap vit. D  absorbsi calsium
maningkat.
Renal hipercalciuria :
Calsium loss via urin  kadar calsium plasma rendah 
stimulasi sekresi hormon paratiroid  sintesis vit. D meningkat
dan absorbsi calsium dari GIT meningkat, resorbsi tulang
meningkat. Kadar calsium urin puasa tidak turun.
Th/ : Thiazide  meningkatkan resorbsi calsium di tubulus
distal  eksresi calsium ke dalam urin
turun.
Resorbtif hipercalciuria :
Jarang, biasanya disebabkan oleh :
- Hiperparathiroidisme  stimulasi bone destruksi,
meningkatnya absorbsi calsium usus.
- Cushing disease.
- Bone metastase
- Prolonge immobilization.
Kelainan metabolik yang berkaitan dengan Batu Calsium :

JEF & GWK 73


1. Sarcoidosis : sensitifitas epitel usus terhadap vit. D meningkat 
hipercalsiuria
Th/ ; Cortikosteroid.
2. RTA : yaitu RTA tipe I.
Autosomal dominan
70 % membentuk batu kalsium
70 % female
Persisten metabolic acidosis
Bicarbonat serum turun, calsium serumturun
Sitrat urin turun, Alkalin fosfat serum naik, hipercalciurin 
membentuk batu.

Cystine Stone :
-cystinuria
-family history of recurrent stone
-early onset
-UL : acid, hexagonal cystine crystal
Batu cistein baru terlihat pd BOF bila >3-4 mm
Batu calsium >2 mm

Medical th/ :
 Hidrasi
 Alkalinisasi urin : Bic Nat 15 – 20 grm/ hari
 Sodium potassium citrat solution 10 –15 cc/ 4x/ hari
 Cystine binding drugs :
Penicillinamine
Alfa-mercaptopropionylglycine
 Retriksi methionine

Struvit Stone :
 Berkaitan dengan UTI kronis
 15 – 20 % dari batu urin
 Terdiri dari Magnesium Amonium fosfat (MgNH4PO4.6H2O)
 Infeksi disebabkan oleh Urea-spliiting bacteria : Proteus,
Pseudomonas, Klebsiella, Stafilokoccos.
 Urin infeksi oleh bakteria spliiter.  :
 Urin supersaturasi terhadap Mg, Nitras, fosfat, carbonat
apatite
 Urin menjadi alkalis, pH >7
 Batu relatif non-opage.
Terapi/ :
Indikasi operasi :
 Recurrent UTI
 Progresif renal damage
 Urinary obstruction
 Persisten pain.
Tujuan Operasi :
 Mengangkat semua batu
 Memperbaiki abnormalitas anatomi
 Membasmi UTI
 Preservasi jaringan ginjal yang sehat
 Preventif recurrent UTI & stone formation.

Kontraindikasi ESWL :
- Gemuk/obesitas

JEF & GWK 74


- Urosepsis/ infeksi
- Obstruksi bagian bawal

Manfaat USG pd urolitiasis :


1. Menentukan adanya batu ginjal dan buli-buli (tu radiolusen)
2. Menentukan ada tidaknya HN ok/ obstruksi batu
3. Membedakan ren kistous atau padat
4. Sebagai tuntunan pd saat melakukan drainage ginjal perkutan
5. Membantu melokalisasi/ membedakan adanya batu dalam calic
pada saat operasi batu ren.

RPG pd urolitiasis :
- Pemeriksaan harus segera diikuti dengan menghilangkan
obstruksinya
- Harus ada perlindungan terhadap sepsis
- Penyuntikan kontras harus dilakukan dengan pemantauan
flouroskopi

Prinsip terapi urolitiasis :


1. Ekspektatif
2. Manipulatif

Indikasi terapi ekspektatif :


- Batu asimtomatik tanpa obstruksi atau infeksi,  < 4 mm, letak di
ureter 1/3 distal
- 90 % batu < 4 mm  keluar spontan
- 20 % batu < 6 mm  keluar spontan
- Tempat macet :
- UPJ
- Pelvic brim
- UVJ
- 4 minggu evaluasi BOF
- Bila > 8 minggu batu tdk keluar & penyulit (+)  terapi modalitas
lain

Terapi operatif/ manipulatif :


1. Endourologik
2. Operasi terbuka
3. ESWL
Tergantung pd : diameter batu, fasilitas yg ada, lokalisasi batu dan
pengalaman pelaksana.

Batu < 2,5 cm : lithotripsi ( mekanik, ultrasonik, elektrohidraulik,


atau laser)

Batu ureter :
Submukasa Intravesikal  endo : collin’s knife  ekstraksi
transuretral.
Bt 1/3 distal  endo : URS & litotripsi  ekstraksi Dormir
Bt 1/3 tengah  open : ureterolitotomi
Endo  URS & litotripsi
Push & bangdorong
ke pyelum & ESWL
Push & PNL
Bt 1/3 prox  Pyelum

JEF & GWK 75


 < 2 cm : ESWL (jika ren masih cukup fungsi, tdk ada infeksi aktif),
PNL, Pyelolitotomi
 > 2 cm : PNL & ESWL (multisession), extended pyelolitotomi
Staghorn : Open  bivalve/ anatropik nefrolitotomi

Faktor predisposisi urolitiasis :


1. Benda asing
2. Obstruksi / stasis urin :BPH, striktur, UPJ/UVJ stenosis
3. Infeksi o/k urea splitter
4. Gangguan metabolisme
5. Kurang minum/ dehidrasi
6. Ren spons meduler

Batu sal kemih tanpa pencegahan 50 – 60 % kambuh


Dengan pencegahan 5 – 10 % kambuh
Pemeriksaan pd curiga batu sal kemih :
1. Eksresi : kreatinin, Ca, Pospat, as urat, oxalat & sitras dalam urin
24 jam
2. Cek pH urin, Ca., pospat dan as urat dalam darah
3. Retriksi diet.

Peningkatan Ca. :
1. Resorbtif :  terapi penyakit primer
Hipertiroid, osteolitik metastase
Multiple myeloma
Immobilisasi
Cushing hipertiroid
2. Absorbtif :  absorbsi oleh usus meningkat
Terapi retriksi diet & banyak minum
Oksalat sellulose fosfat 3 x 5 grm
3. Kebocoran ren : tubulus renal tidak mampu resorbsi ca
Terapi : Diuretika (HCT 2 x 50 mg)
Orthopospat
Kalsium retriksi
Derajat HN pada IVP :
 Grd I : Seluruh sal kemih proximal dari obstruksi terisi bahan
kontras.
 Grd II : Tdpt gambaran kalix yg datar, tdk cekung lagi
 Grd III : terdapat gambaran kallik yg cembung
 Grd IV : Semua kalik cembung
 Grd V : Parenkim ren menipis lebih dari ½ tebal normal, bila
batu diureter distal biasanya ureter juga berkelok-kelok.
Penyebab terjadinya batu :
1. Batu Endemis :
Biasanya pada anak laki usia 2 tahunan  BBB
Sosial ekonomi lemah
2. Batu infeksi :
Banyak pada px/ dgn bakteriuria o/ kuman pemecahan urea 
amoniak atau proteus.
Urin + amoniak  alkalis  senyawa pospat mengendap 
Batu amonium magnesium pospat (struvit)
3. Batu o/k gangguan metabolisme :
Oxalat, Ca, As urat, xanthine, cystine  bila bertambah dalam
urin  mengandap  jadi inti pembentukan batu lebih lanjut.
4. Batu oleh karena faktor-faktor lain :
 Immobilisasi yg lama  px/ fraktur, cidera vert/ lumpuh

JEF & GWK 76


 Px/ dgn penyakit tulang : tumor ganas tulang, myeloma, paget
disease  ekskresi calsium urine meningkat
 Benda asing dalam saluran kencing (cath, jahitan pd buli)
 Kelainan anatomis TU : kongenital or acquired

Keluhan dan Gejala :


Silent stones
Keluhan (+)  bila terjadi obstruksi / infeksi :
Hematuria
Nyeri (kemeng-kolik) o/k obstruksi/ infeksi
Febris/ menggigil : infeksi  ren terancam rusak
Anuria obstruktif ggn faal ren cepat dan progresif

Komplikasi batu sal kemih :


1. Obstruksi  HN
2. CRF
3. Nonfungtion ren
4. Atrofi ren
5. Fistel uretra  impact stones

Jenis batu menurut akibatnya pada TU :


1. Batu simple : tanpa obstruksi / infeksi, batu tunggal / tdk terlalu
besar.
2. Batu Complicated : Multiple /besar (staghorn, BBB), batu
obstruktif/ infeksi progresif  gagal ginjal, urosepsis
3. Batu o/k kel anatomis :
 Kongenital : UPJ stenosis, horse shoe kidney, refluk
vesikouretral, double sistim, divertikel, katup uretra
 Didapat : bladder nect kontraktur, striktur uretra, fibrosis
ureter, tekanan tumor dari luar.

Pencegahan batu TU :
1. Banyak minum diuresis s/d 2-2,5 liter/ hari
2. Olah raga/ aktivitas fisik yang cukup dan teratur
3. Berantas infeksi / bakteriuria
4. Cegan meningkatnya bahan-2 pembentuk batu atau
meningkatnya daya larut bahan tersebut :
Koreksi gangguan metabolisme dgn diet/ obat :
 Allopurinol  bt as urat.
 Diet rendah purin, thiazide, hygroton  u/ bt calsium
 Diet rendah calsium
Ikat bahan pembentuk batu agar mudah larut  Mg oxyde
Buat urin alkalis pada bt as urat dengan Na sitras atau Na
bicarbonat.
Buat urin reaksi asam bila terdapat kuman pemecah urea 
untuk larutkan garam pospat dengan : mandelamin, vit c,
amonium cloride.

Chemolysis
Obat untuk kemolisis ( melarutkan batu ) yang ideal yaitu
bila : non toxic, per oral, murah dan bisa melarutkan batu dalam
jangka waktu pendek (3).
Metoda kemolisis yaitu :
1. Sistemik ( oral atau intravena )

JEF & GWK 77


2. Lokal dengan cara irigasi langsung pada batunya, sekarang
tidak dianjurkan lagi karena alasan tidak praktis, adanya
morbiditas dan mortalitas.
Jenis batu yang bisa dikemolisis ( 2,3 ).
1. Batu asam urat bisa : - sistemik
- lokal
2. Batu sistin dan struvit : lokal (dengan sistemik tidak begitu
baik hasilnya )
3. Batu kalsium ( oksalat / fosfat ) : tidak bisa dikemolisis.

JEF & GWK 78


BATU URETER

Batu ureter : adanya batu (opaque maupun non opaque) di ureter


(proksimal, tengah dan distal)

a. Anamnesa :
- Keluhan utama adalah colik ureter, yaitu nyeri pinggang
mendadak yang sangat hebat kadang-kadang disertai muntah
hilang timbul dan menjalar ke perut bawah atau kemaluan
(testis, ujung penis, labium mayor) tergantung lokasi batu.
- Riwayat kencing batu dan kencing berdarah disertai nyeri
pinggang.
b
b. Pemeriksaan klinis
- status umum
- status urologis :
- Anamnesa : Flank pain
- Pemeriksaan : Flank mass, nyeri CVA, colok dubur: untuk
membedakan dengan appendicitis (pada appendicitis, colok
dubur akan didapatkan nyeri jam 10.00 – 11.00, sedangkan
kolik ureter tidak didapatkan).

c. Pemeriksaan laboratorium
- Sedimen urine : Eritrosit > 2 l/lpl
- DL, RFT, LFT, Faal Hemotasis
- Kultur urine dan tes kepekaan antibiotika
- Kadar kalsium, phosphat dan asam urat dalam serum serta
ekskresi kalsium, phosphat dan asam urat dalam urine 24
jam.

d. Pemeriksaan Radiologi
- Foto polos Abdomen : akan nampak gambaran klasifikasi
sepanjang ureter 1/3 proximal, 1/3 tengah atau 1/3 distal bila
batu radio opaque. Batu tidak nampak bila batu non opaque.
- Pyelografi Intravena (IVP) dengan pemeriksaan ini dapat
diketahui anatomi dan fungsi dari Traktus Urinarius. Adanya
sumbatan karena batu ureter akan nampak sebagai
Hidroureter proximal batu, Hidronephrosis, delayed function
sampai non visualized.
- Tomogram : bila batu tidak/kurang jelas (semi-opaque)
- Pyelografi Retrograde (RPG) : Adalah membuat foto kontras
dari ureter, pyelum dan kaliks ureter yang dipasang dengan
bantuan sistoskop. RPG dikerjakan bila IVP belum cukup
jelas (misalnya terdapat tanda obstruksi tetapi penyebabnya
belum jelas), atau IVP tidak dapat dikerjakan dan sarana lain
dapat membantu diagnosa.
- Pyelografi Antegrade (APG) : Berlawanan dengan pyelografi
retrograde maka pada APG kontras dimasukkan melalui
saluran ke kaliks (nefrostomi) yang telah dibuat.
- Foto Thoraks
- USG / renogram : bila ginjal non visualized

e. Pemeriksaan penunjang lain :


- Gula darah puasa
- Gula darah 2 jpp
- ECG

JEF & GWK 79


PENATALAKSANAAN
Terapi operatif batu ureter tergantung pada lokasi batu, dibagi
menjadi batu ureter 1/3 proksimal, batu ureter 1/3 tengah dan batu
ureter 1/3 distal.

Ureterolithotomi : operasi pembedahan untuk mengambil batu


ureter.

Nephrostomy Percutan (PNS) :


Adalah membuat lubang yang menghubungkan pelvis kalik sistem
dengan dunia luar. Tujuannya untuk diversi urin bila sumbatan
ureter tidak dapat segera diatasi.

Ureterorenoscopy (URS) :
Adalah mengambil / memecahkan batu ureter dengan alat
ureteronoscope yang dimasukkan lewat muara meter dengan
bantuan cytoscope.

1. Ureterolithotomi proksimal
Alat :
- Dexon 4-0 : 2 buah
- Catgut plain 2-0: 1 buah
- Vicryl 1-0 : 2 buah
- Zeyde 3-0 : 2 buah
- Maagslang No. 8 : 1 buah
- Redon drain set

Teknik Operasi :
- Sebelum dilakukan operasi foto BOF pre operatif (1 jam sebelum
operasi)
- Pasang dauer kateter 16 Fr dan urobag
- Pasang foto-foto (BOF/IVP) di light box
- Setelah dilakukan anesthesi, pasien diletakkan dalam posisi
lumbotomi dengan sisi yang ada batu diatas.
- Dilakukan desinfeksi dengan larutan Povidone Iodine mulai dari
papilla mammac-umbilikus-collum vertebra-simphisis pubis.
- Persempit lapangan operasi dengan dock steril
- Insisi kulit mulai ICS XI kearah umbilikus ± 10 cm lapis demi lapis
sambil merawat perdarahannya. (Struktur yang diinsisi : kulit,
lemak subcutis, MOE, MOI in transversus abdominis). Buka
fascia m. lumbo dorsalis agak ke posterior ± di posterior axillary
line (agar tidak merobek peritoneum) sepanjang ± 1-2 cm,
pisahkan peritoneum dengan steel doppers kearah medial,
setelah peritoneum terpisahkan, perlebar insisi sesuai dengan
insisi diatasnya.
- Pasang spreader
- Cari ureter dengan cara buka fascia gerota yang terletak
didepan muskulus ilco psoas dgn ciri :
- berupa saluran warna putih
- tidak berdenyut
- berjalan bersama dgn a. spermatika in-terna pd laki atau a.
ovarica pd wanita.
- Teugel ureter dengan nelaton kateter no. 8 di proksimal batu.
- Raba batu dan bersihkan ureter
- Insisi ureter dgn mess No. 15 tepat didaerah batu
- Keluarkan batu dengan stein tang

JEF & GWK 80


- Evaluasi cairan/urine yg keluar dari ureter (jernih)
- Lakukan sondage ke arah distal dan proksimal
- Bila sondage lancar lakukan spoeling
- Tutup ureter yang diinsisi dengan Dexon 4-0 secara jelujur
- Cuci lapangan operasi dengan PZ berkali-kali
- Evaluasi lagi adanya perdarahan
- Pasang redon drain di retro peritoneal
- Tutup lapangan operasi lapis demi lapis

2. Ureterolithotomi batu ureter tengah dan distal


- BOF pre operasi
- Posisi pasien telentang
- Pasang dauer kateter No. 16 Fr dan urobag
- Insisi Gibson yaitu mulai 2 jari medial SIAS kearah simphisis
pubis ± 8-10 cm lapis demi lapis dan rawat perdarahan. MOE,
MOI di split sesuai seratnya
- Sisihkan peritoneum kearah medial
- Identifikasi ureter dan raba batu
- Teugel ureter dengan Nelaton kateter di proksimal batu
- Bersihkan ureter dari jaringan peri ureter, insisi ureter di tempat
batu, perhatikan urine yang keluar (jernih, pus).
- Keluarkan batu dengan stein tang
- Sondage dan spoeling ureter distal dan proksimal dengan PZ
- Jahit ureter dengan Dexon 4-0 secara jelujur
- Cuci lapangan operasi dengan PZ dan rawat perdarahan
- Pasang redon drain dan fiksasi di kulit dengan zeyde 2-0
- Tutup lapangan operasi lapis demi lapis.

3. ESWL : memecah batu ginjal dengan gelombang kejut dari


luar tubuh penderita

4. URS

PERAWATAN PASCA OPERASI


1. Di Rumah Sakit :
- Kateter dilepas setelah 1 hari paska operasi
- Vaccum drain tiap hari
- Rawat luka mulai 3 hari paska operasi dan ganti kasa tiap hari
- Aff redon drain pada hari ke 5 dan bila produksinya < 10
cc/hari selama 2 hari.
- Batu dianalisa bila hasil sudah ada konsult Bagian Gizi

2. Di Poliklinik Urologi
- Rawat luka, angkat jahitan pd hari ke 10 – 14
- Evaluasi UL, DL dan Kultur urine, bila ada tanda-tanda ISK
berantas dengan antibiotika sesuai dengan uji kepekaannya
- Cegah/hilangkan faktor predisposisi timbulnya batu lagi
- Evaluasi BOF/IVP 6 bulan paska operasi
- Minum banyak (>3 l/hari) dan aktif berolah raga.

JEF & GWK 81


BATU BULI-BULI
Batu buli-buli adalah batu baik opaque maupun non opaque yang
berada di buli-buli

DIAGNOSIS
a. Anamnesa : Hematuria baik mikroskopik/ makroskopik, disuria
karena infeksi, demam disertai menggigil, dapat juga terjadi
retensi urine bila batu menyumbat leher buli atau dapat
tanpa keluhan (“silent stone”).

b. Pemeriksaan Klinis :
1. Status umum
2. Status urologis :
-inspeksi : suprapubik dapat terlihat menon jol bila retensi
urine
-palpasi : suprapubik menonjol atau teraba keras bila batu
sangat besar
3. Rectal toucher : teraba batu bila batunya sangat besar

c. Pemeriksaan laboratorium :
- Darah lengkap
- Urine lengkap
- Faal haemostasis
- Faal hati & faal ginjal :
- Urine kultur dan sensitivity test
- Kalsium, phosphat, asam urat dalam darah
- Eskresi kalsium, phosphat, asam urat dalam urine tampung 24
jam

d. Pemeriksaan foto radiologis :


- Foto polos abdomen (BOF) + Fotot Thorak
- Intravena pyelografi (IVP)
- Ultrasonografi (USG), bila dicurigai batu non opaque
e. Pemeriksaan penunjang lain :
c - ECG
d - Sistoskopi bila dipandang perlu

PENATALAKSANAAN
1. Vesicolithotomi adalah tindakan bedah untuk mengeluarkan
dari vesika urinaria
2. Lithotripsi adalah tindakan penghancuran batu buli – buli
secara endoskopik dengan lithotriptor
3. Trokar lithotripsi adalah tindakan pengeluaran batu di buli-buli
pada anak-anak yang besarnya < 10 mm, dengan kombinasi
endoskopik dan trokar.
Vesikolitotomi
Indikasi :
- batu buli-buli dengan  > 2 cm
- batu buli-buli yang tidak dapat dipecahkan dengan lithotriptor
- batu buli-buli multiple
Alat :
- folley kateter F 16
- urobag
- Redon drain set no. 14

JEF & GWK 82


- Dexone 4-0

Persiapan Operasi :
- Persetujuan operasi
- Puasa
- Antibiotika profilaksis

Teknik Operasi :
Posisi pasien tidur terlentang dengan GA
Desinfeksi lapangan operasi dengan Povidone jodine (paha
atas ; genitalia eksterna, prosesua xyphoidius).
Persempit lapangan operasi dengan doek steril
Insisi kulit midline, mulai 2 jari diatas simphisis ke arah umbilikus
10 cm, lapis demi lapis sampai fascia anterior muskulus rektus
abdominis.
Muskulus rektus abdominis dipisahkan secara tumpul pada linea
alba
Pasang spreader millin’s dan sisihkan pre vesikal fat kearah kranial
Dilakukan identifikasi buli (warna kebiruan, banyak pembuluh
darah dan punksi keluar urine)
Teugel buli dgn chromic catgut 1-0 pada sisi kanan-kiri
Insisi buli dengan punch mesch dan perlebar secara tumpul dengan
chrome klem.
Raba batu dengan jari, kemudian keluar kan batu dengan stain tang
(perhatikan jumlah, ukuran dan warna)
Setelah batu keluar spoelling buli dengan PZ (3x), kemudian
evaluasi mukosa buli (tumor, divertikel), muara ureter kanan-kiri
(batu dan ureteric jet)
Pasang kateter F 16 sampai tampak ujung kateter di buli-buli
kemudian spoelling PZ dengan blaas spuit.
Jahit buli-buli 2 lapis, mukosa muskularis dengan plain catgut 3-0
secara jelujur, tunika serosa dgn Dexon 3-0.
Test buli-buli untuk evaluasi kebocoran dengan memasukkan PZ
250 cc lewat kateter, bila tidak ada kebocoran isi kateter dengan
air steril 10 cc.
Cuci lapangan operasi dengan Betadine dan PZ
Pasang redon drain peri vesikal dan fiksasi pada kulit
Tutup lapangan operasi lapis demi lapis, muskulus rektus
abdominis dengan Dexon 1-0, fascia anterior muskulus rektus
abdominis dengan Dexon 1-0, subkutan dengan plain catgut 3-0,
kulit dengan Zeyde 3-0.

Lithotripsi
Indikasi :  Batu buli simple dengan ukuran <2,5 cm
Alat :
- Alat untuk irigasi dan slang steril
- Sumber cahaya dan kabel fibre optic
- Busi roser 18 s/d 27 Fr
- Sistoskopi set dgn sheath 25 Fr & teleskop 30 º & 70 º
- Ellik Evacuator
- Alat lithotriptor mekanik :
+ Alligator lithotrite, untuk batu dengan ukuran panjang 
terpendek max. 1½ cm.
+ Hendrickson type lithotrite, untuk batu dgn ukuran panjang
 terpendek max. 2½ cm
+ Peralatan desinfeksi

JEF & GWK 83


+ Skort serta doek dan baju operasi steril
Persiapan :
- Puasa, antibiotika profilaksis injeksi, 1 jam sebelum tindakan
- Tindakan dilakukan dengan bantuan anestesi umum atau
spinal

Teknik operasi untuk batu < 1,5 cm :


Posisi lithotomi
Tindakan aseptik
Kalibrasi/dilatasi uretra dgn roser sampai 27 Fr
Panendoskopi untuk diagnosa
Teleskop dan bridge dilepas
Buli diisi irigan sampai penuh, pasang Aligator lithotrite dengan
teleskop 30º mulai lithotripsi.
Lithotripsi dihentikan kalau ukuran fragmen sudah dapat melewati
sheath
Evakuasi fragmen dengan ellik evakuator
Sistoskopi melihat apakah batu sudah keluar semua dan
mengetahui adanya komplikasi tindakan.
Keluarkan lithotriptor dan keluarkan sheath dengan sebelumnya
memasang obturator.
Pasang folley kateter F 16
Kateter dicabut setelah 24 jam, KRS.

Teknik Operasi untuk batu < 2,5 cm :


Posisi lithotomi
Tindakan aseptik
Kalibrasi atau dilatasi urethra dengan roser sampai 27 Fr
Panendoskopi untuk diagnosa
Teleskop dan bridge dilepas
Buli diisi irigan sampai penuh
Set panendoskopi dikeluarkan semuanya
Masukkan lithotriptor type Hendrickson dengan teleskop 70º, mulai
lithotripsi
Lithotripsi dihentikan kalau ukuran fragmen sudah dapat melewati
sheath 25 Fr, kemudian lithotriptor dikeluarkan.
Masukkan sistoskopi sheath 25 Fr. Evakuasi fragmen
Panendoskopi
Kalau masih ada fragmen yang tidak bisa di evakuasi ulangi
lithotripsi dengan menggunakan alligator.
Trokar Lithotripsi
Indikasi :
Batu buli pada anak dengan ukuran < 10 mm
Alat :
- Alat untuk irigasi & slang yang sudah di sterilkan
- Sumber cahaya dan kabel fibre optic
- Set sistoskopi pediatri
- Set sistoskopi dgn sheath 21 Fr & teleskop 30 º
- Trokar champbell untuk fungsi sistostomi suprapubik
- Amplats 28 Fr / 30 Fr
- Peralatan desinfeksi
- Skort serta doek dan baju operasi steril

Persiapan :
- Puasa, antibiotika profilaksi 1 jam sebelum tindakan,
tindakan dengan bantuan

JEF & GWK 84


- Anestesi umum

Teknik Operasi :
Posisi lithotomi
Tindakan antiseptik
Panendoskopi untuk diagnosa dgn sistoskopi anak
Buli diisi irigan sampai penuh semaksimal mungkin sampai teraba
pada supra pubis
Lakukan insisi longitudinal sepanjang 1,5 sampai dengan 2 cm
sampai menembus linea alba pada jarak 2,5 cm dari suprapubik
di garis mediana.
Lakukan punksi sistostomi dengan trokar campbell yang sudah
dipasangi amplatz. Daerah punksi dipastikan dengan melihat
dinding anterior buli yang terdorong oleh ujung trokar.
Setelah trokar berhasil masuk amplatz didorong ke dalam buli dan
setelah kelihatan amplastz dalam buli (secara endoskopis) baru
trokar dapat dicabut.
Lubang luar amplatz ditutup dengan jari dan ujung amplatz yang
berada dalam buli diusahakan agar dapat dimasuki batu.
Buli-buli diisi maksimal dengan cairan irigan, setelah penuh
dilakukan penekanan yang gentle pada abdomen pada abdomen
pada saat bersamaan jari yang menutup amplatz dilepas .
Dengan manuver ini diharapkan batu akan ikut keluar bersama
cairan irigasi.
Buli dikosongkan
Pasang kateter urethra
Bekas luka sistostomi dibiarkan terbuka, kalau perlu hanya
dilakukan oposisi kulit
Kateter dibuka setelah 48 – 72 jam
Anak kencing spontan  KRS

PERAWATAN PASCA OPERASI


1. Di Rumah Sakit :
- Vesikolithotomi, pelepasan kateter setelah 7 – 10 hari dan
pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut – turut
setelah pelepasan kateter produksinya < 20 cc/24 jam.
- Lithotripsi, pelepasan kateter setelah 24 jam, kecuali bila pada
waktu operasi terjadi lesi pada buli dapat diperpanjang sampai
5 hari.
- Periksa analisa batu, untuk menentukan diet-nya setelah
dikonsulkan kepada ahli gizi.

2. Di Poliklinik Urologi :
- Pasca operasi kontrol 2 minggu, kontrol beri-kutnya tiap 3
bulan
- Sistoskopi dilakukan 3 bulan setelah lithotripsi
- Pemeriksaan IVP dilakukan 6 bln setelah operasi
- Setiap kontrol penderita periksa laboratorium (darah lengkap,
urin lengkap, faal ginjal, urin kultur dan sensitivity test).
- Usahakan diuresis yang adekuat : minum 2 – 3 l / hari,
sehingga dicapai diurese 1,5 l/hari
- Diet, tergantung dari jenis batunya.
- Eradikasi infeksi saluran air kemih, khususnya untuk batu
struvit.

JEF & GWK 85


TRAUMA URETRA

Trauma uretra adalah Trauma mengenai uretra berupa trauma


mengenai uretra berupa trauma tajam, trauma tumpul atau akibat
instrumentasi uretra seperti pemasangan kateter dan sistoskopi.

DIAGNOSIS
A. Anamnesa :
Keluhan Utama :
- Keluar darah lewat uretra
- Tidak bisa kencing
- Hematom urine infiltrat darah uretra / srotum.
Anamnesa kausal :
- Trauma tajam
- Trauma tumpul : : cara terjadi berupa straddle injury atau
fraktur pelvis (bahkan fraktur)
- Trauma akibat instrumentasi uretra berupa pemasangan
kateter atau sistoskopi.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
2. Status umum
3. Status urologis / lokalis
Inspeksi :
- Keluar darah lewat meatus uretra
- Buli-buli penuh
- Hematom/urin Infiltrat darah uretra atau skrotum
Palpasi :
- Teraba buli penuh
- Pembengkakan di uretra, perineum, dan skrotum
- Nyeri tekan
Colok dubur :
- Terdapat prostat melayang
C. Pemeriksaan Laboratorium
- Darah lengkap
- Urine lengkap
- Fungsi ginjal
D. Pemeriksaan Radiologis
- Foto polos abdomen / pelvis
- Uretrografi

PENATALAKSANAAN
Sistostomi : adalah tindakan mengalirkan kencing melalui lubang
yang dibuat supra pubik untuk mengatasi retensi urine dan
menghindari komplikasi.

Macam Sistostomi :
1. Sistostomi trokar
2. Sistostomi terbuka

Sistostomi Trokar
Alat yang diperlukan :
1. Trokar khusus yang terdiri dari :
A. “Sheath” setengah lingkaran
B. Kanula berlobang (“Hollow Obtutor”)
2. Kateter folley Ch 18 atau 20 F
3. Kantong penampung urine (“urine bag”)

JEF & GWK 86


4. Sepasang sarung tangan steril
5. Mata pisau berujung tajam lengkap dengan tangkainya
(“handle”)
6. Syringe : 10 ml.
7. “Doek” berlobang ditengahnya, steril.
8. Larutan xylocain 1 %
9. Larutan desinfektan
10. Kasa steril
11. Tang/klem/forceps untuk desinfeksi

Indikasi :
Seperti indikasi sistostomi pd umumnya dgn syarat
- Buli-buli jelas penuh dan secara palpasi teraba
- Tidak ada sikatrik bekas operasi didaerah abdomen bawah
- Tidak dicurigai adanya perivesikal hematom, seperti pada fraktur
pelvis

Cara Melakukan :
- Penderita diberi penjelasan tentang apa yang akan dikerjakan
padanya & diminta persetujuan tertulis.
- Sebaiknya operator berdiri disebelah kiri penderita. Cek ulang
semua alat dan siap pakai.
- Semua alat yang diperlukan diatur ditempat khusus dan
diletakkan sehingga terjangkau oleh operator.
- Operasi dikerjakan dengan teknik aseptik. Cukur rambut pubis.
- Daerah operasi desinfeksi dan ditutup dengan “doek” lubang
steril.
- Di daerah yang akan di insisi (2-3 jari) diatas simpisis, dilakukan
infiltrasi anastesi dengan larutan xylocain linea alba.
- Trokar set, dimana canulla dlm keadaan terkunci telah pd
“Sheath” ditusukkan melalui insisi tadi ke arah buli dgn posisi
telentang miring ke bawah.
- Sebagai pedoman arah trokar adalah tegak miring ke arah
kaudal sebesar 15-30%.
- Telah masuknya trokar ke dalam buli-buli akan ditandai dengan :
1. Hilangnya hambatan pada trokar
2. Keluarnya urin melalui lubang pada canulla
- Trokar terus dimasukkan sedikit lagi.
- Secepatnya canulla dilepaskan dari “Sheath”nya dan
secepatnya pula foley kateter, maksimal Ch. 20 F, dimasukkan
dalam buli-buli melalui kanal dari “sheath” yang masih
terpasang.
- Pangkal kateter segera dihubungkan dengan “urine bag” dan
balon kateter dikembangkan dengan air sebanyak kurang lebih
10 cc.
- Sekarang “sheath” dapat dilepas dan kateter ditarik keluar
sampai balon menempel pada dinding buli-buli.
- Insisi ditutup dengan kasa steril dan difiksasi kekulit dengan
plester.

Sistostomi Terbuka
Alat yang diperlukan :
Seperti alat-alat pada sistostomi trokar, hanya tidak memerlukan
khusus.

Cara operasi :

JEF & GWK 87


- Posisi penderita : Penderita diletakkan dalam posisi terlentang
biasa, kadang diperlukan tambahan pengangkat sakrum.
- Kulit perut bawah sampai dasar penis, pelipatan paha kanan dan
kiri di desinfeksi dengan larutan povidon iodine 2-3X.
- Lapangan operasi dipersempit dengan kain steril.
- Dilakukan penyuntikan xilocain untuk anastesi lokal. Irisan yang
digunakan disini adalah digaris median tegak lurus keatas
sampai dibawah pusat. Disamping itu dikenal beberapa macam
irisan yaitu transversal menurut Cherney.
- Irisan ini mulai dari kulit diperdalam terus menembus lapisan
subcukan, fasia dari muskulus rektus yg digaris tengah kita
namakan linea alba.
- Dilakukan penyisihan lipatan peritoneum diatas buli-buli keatas.
Dalam buli-buli penuh, lipatan peritoneum ini dengan sendirinya
sudah terdorong keatas. Kedudukan ini dipertahankan dengan
meletakkan kasa basah diatasnya dan menariknya keatas
(memakai retraktor).
- Buli-buli dikenal karena banyak pembuluh darah vena yang
berjalan sebagian besar vertikal.
- Dinding buli disangga dua jahitan yang diletakkan disisi kanan –
kiri dinding buli sebelah depan (dapat pula digunakan klem dari
Allis).
- Untuk meyakinkan dapat dilakukan fungsi buli, bila ternyata air
seni yang keluar melalui tempat fungsi tersebut diperlebar
dengan membuat irisan tempat titik fungsi tadi selanjutnya
diperlebar dengan menggunakan klem Pean.
- Setelah dilakukan eksplorasi dari buli – buli dimasukkan kateter
foley Ch. 20-24
- Luka buli-buli ditutup kembali dengan jahitan benang chrom
catgut No. 0-2, tidak dibenarkan menjahit dengan benang yang
tidak dapat diserap.
- Bila diperlukan diversi suprapubik untuk jangka lama maka
dinding buli digantungkan di dinding perut dengan jalan menjahit
dinding buli-buli pada otot rektus kanan dan kiri.
- Luka operasi dijahit lapis demi lapis :
- Otot dengan catgut chromic
- Fasia dengan catgut chromic
- Lemak dengan catgut plain
- Kulit dengan benang sutera
- Untuk mencegah terlepasnya kateter maka selain balon
kateter dikembangkan juga dilakukan penjahitan fiksasi
kateter dengan kulit.

PERAWATAN PASCA OPERASI


Perawatan Pasca Operasi
1. Di Rumah Sakit :
Kateter dilepas setelah 5-7 hari bila strikturnya simple, 14 hari
apabila strikturnya panjang dan multiple.

2. Di Poliklinik Urologi (VK Sistoskopi)


- Untuk striktur simple : kontrol 2 minggu pasca operasi untuk
test pancaran (Uroflometri), selanjutnya kontrol setiap 3 bulan.
- Untuk striktura residif, complicated, multiple & panjang (>1cm)
: penderita diajari kateterisasi mandiri (self kateterisasi),
kateterisasi sampai dengan 1 tahun, residif paling sering
terjadi pada tahun pertama.

JEF & GWK 88


JEF & GWK 89
BATU GINJAL

Batu ginjal adalah semua batu baik opaque maupun non opaque
yang berada di ginjal

1. Pielolithotomi adalah tindakan bedah untuk mengeluarkan


batu dari pielum ginjal.
2. Bivalve nefrolithotomi adalah tindakan bedah untuk
mengeluarkan batu baik dari pielum dan kalik ginjal dengan
membelah ginjal menjadi dua sisi anterior dan posterior.
3. ESWL adalah alat untuk memecah batu ginjal dengan
gelombang kejut dari luar tubuh penderita.

1. Pielolithotomi :
Indikasi :
Batu ginjal yang berada di pielum dengan batu sekunder
yang dapat diambil melalui pielum.

Persiapan operasi :
- Persetujuan operasi
- Puasa sejak malam harinya
- Lavemen
- BOF pre operasi
- Profilaksis antiobiotika sesuai kultur.

Tehnik Operasi :
- Posisi pasien tidur miring sesuai dengan letak batu pada sisi
atas (misalkan batu ginjal kanan, maka posisi miring kiri,
bagian kanan di sebelah atas). Dengan general anestesi.
- Desinfeksi lapangan operasi dengan Povidone Iodine (mulai
pada lapangan operasi sampai umbilikus dibagian depan, linea
skapularis belakang dan papilla mama).
- Persempit lapangan operasi dengan doek steril.
- Insisi kulit dimulai dari tepi bawah arkus kosta XI sampai ke
arah umbilikus sepanjang lebih kurang 15 cm. Insisi diperdalam
lapis demi lapis dengan memotong fascia eksterna, muskulus
intercostalis dibelakang dan muskulus oblikus abdominis di
depan sampai didapatkan fascia abdominis internus.
- Fascia abdominis dibuka sedikit, kemudian peritoneum
dilepaskan dan disisihkan penempe-lannya pada fascia
seperlunya (sampai ke tepi luka insisi kulit ).
- Dicari fascia gerota dan dibuka dengan dilaku-kan kauterisasi
terlebih dahulu. Fascia gerota dibuka lebih kurang sepanjang
tepi ginjal.
- Dicari terlebih dahulu ureter pada kutub bawah ginjal dan
diteugel dengan kateter Nelaton. Lemak perirenal dibersihkan
dengan menggu-nakan pinset anatomis & gunting Metzembaum
bila perlu dilakukan kauterisasi terlebih dahulu.
- Setelah ginjal telah bebas dari lemak dilakukan fiksasi ginjal
pada kedua kutubnya dengan kasa dan di identifikasi pielum
dengan mencari hubungannya pada ureter.
- Pielum dibuka dengan insisi berbentuk huruf “V”, kemudian batu
diluksir keluar dengan menggunakan stein tang. Batu sekunder
yang kemungkinan ada juga di cari dan diluksir keluar.

JEF & GWK 90


- Dilakukan sondage ureter kebawah dengan menggunakan
kateter ureter dan dipompakan PZ yang telah dicampur
Povidone Iodine secukupnya.
- Dilakukan pula spoeling ginjal dgn PZ steril saja.
- Penutupan pielum dijahit dengan Dexon 3.0, jahitan simpul
terputus semua lapisan sekaligus.
- Cuci lapangan operasi dgn Pov. Iodine dan PZ
- Pasang redon drain pada fosa renalis.
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis, muskulus oblikus
abdominis internus dan muskulus oblikus abdominis
transversus jahit satu lapis,muskulus oblikus abdominis
eksternus satu lapis dengan menggunakan benang Dexon 1.0
secara jelujur Feston. Lemak subkutan dgn plain catgut 3.0 dan
kulit dengan zeide 1.0

2. Bivalve nefrolithotomi :
Indikasi :
Batu ginjal yang bercabang dan memenuhi seluruh sistema
pelvio kaliseal atau dengan batu sekunder yang banyak.

Tehnik Operasi :
- Posisi pasien tidur miring sesuai dengan letak batu pada sisi
atas (misalkan batu ginjal kanan, maka posisi miring kiri,
bagian kanan disebelah atas). Dengan general anestesi.
- Desinfeksi lapangan operasi dengan Povidone Iodine (mulai
pada lapangan operasi sampai umbilikus dibagian depan, linea
skapularis belakang dan papilla mama).
- Persempit lapangan operasi dengan doek steril.
- Insisi kulit dimulai dari tepi bawah arkus kosta XI sampai ke arah
umbilikus sepanjang lebih kurang 15 cm. Insisi diperdalam
lapis demi lapis dgn memotong fascia eksterna, muskulus
intercostalis dibelakang dan muskulus oblikus abdominis depan
sampai didapatkan fascia abdominis internus.
- Fascia abdominis dibuka sedikit, kemudian peritoneum
dilepaskan dan disisihkan penem-pelannya pada fascia
seperlunya ( sampai ke tepi luka insisi kulit ).
- Dicari fascia gerota dan dibuka dengan dilaku-kan kauterisasi
terlebih dahulu. Fascia gerota dibuka lebih kurang sepanjang
tepi ginjal.
- Dicari terlebih dahulu ureter pada kutub bawah ginjal dan
diteugel dgn kateter Nelaton. Lemak perirenal dibersihkan dgn
menggunakan pinset anatomis dan gunting Metzembaum bila
perlu dilakukan cauterisasi terlebih dahulu.
- Setelah ginjal telah bebas dr lemak dilakukan fik sasi ginjal pd
kedua kutubnya dgn kasa basah.
- Dipisahkan pada daerah pedikel ginjal antara pedikel dengan
ureter/pielum
- Pedikel ginjal (tidak termasuk ureter) di klem dengan klem non
traumatis menggunakan Satinsky klem. Kemudian ginjal
didinginkan dengan memakai es PZ secukupnya. Klem
Satinsky harus dibuka tiap 30 menit.
- Kapsula renalis dibuka tepat pd tepi lateral ginjal
- Dilakukan pengirisan pada Broder’s line sepan-jang tepi ginjal
pada daerah korteks sampai mencapai daerah sistema pelvio-
caliceal.

JEF & GWK 91


- Batu diambil dengan menggunakan stein tang. Batu sekunder
yg kemungkinan ada juga dicari dan diluksir keluar.
- Dilakukan sondage ureter kebawah dengan menggunakan
kateter ureter dan dipompakan PZ yg telah dicampur Pov. Iodine
secukupnya.
- Dilakukan pula spoeling ginjal dgn PZ steril saja.
- Sistema pelviokaliseal dijahit dgn menggunakan Dexon 3.0
serapat mungkin, dgn mengguna-kan simpul terputus.
- Korteks dijahit dengan khromik cat gut 2.0 dengan jarum bulat,
jahitan matras.
- Kapsula renalis dijahit dengan Dexon 3.0 dengan simpul
terputus.
- Cuci lapangan operasi dengan Povidone Iodine dan PZ
- Pasang redon drain pada fosa renalis.
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis,muskulus oblikus abdominis
internus dan muskulus oblikus abdominis transversus di jahit
satu lapis, muskulus oblikus abdominis eksternus satu lapis
dengan menggunakan benang Dexon 1.0 secara jelujur
Feston. Lemak subkutan dengan plain cat gut 3.0 dan kulit
dengan zeide 1.0.
PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Di Rumah Sakit :
- Pelepasan kateter 24 jam setelah penderita siuman
- Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut
produksi < 20cc/24 jam.
- Pelepasan benang jahitan selang-seling 4 hari pasca operasi
bila luka operasi kering dan pelepasan benang keseluruhan
7 hari pasca operasi.
2. Di Poliklinik Urologi :
- Pasca operasi kontrol 2 minggu, kontrol tiap 3 bulan
- Pemeriksaan IVP dilakukan 6 bulan pasca operasi
- Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan laboratorium (DL,
UL, RFT, urin kultur dan tes kepekaan).
- Usahakan diuresis yang adekuat ; minum 2-3 liter / hari,
sehingga dicapai diuresis 1,5 l/hari.
- Konsultasi ke Instalasi Gizi untuk menentukan diet
- Eradikasi infeksi saluran air kemih, khususnya untuk
batu struvit.

JEF & GWK 92


BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA ( B.P.H. )

BPH adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang mengenai


kelenjar prostat. Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari
komponen kelenjar, stroma dan muskuler.

Semua penderita laki-laki berusia diatas 50 tahun yang datang


dengan keluhan kencing kurang lancar ( sindroma prostatism )
yang terdiri dari :
1. Gejala Obstruktif
Hesitansi, pancaran urin melemah atau mengecil,
intermitensi, terminal dribling, terasa ada sisa setelah
selesai miksi.
2. Gejala Iritasi
Urgensi (sulit menahan miksi), frekuensi (miksi lebih
sering dari biasanya), disuria sampai akhirnya terjadi retensi
urin.

Classical LUTS :
1. Voiding symptom : WAHIDIT
Weakness of stream
Abdominal straining
Hesitensy
Intermittensy
Disuria
Imcomplete bladder emptying
Terminal dribble
2. Storage symptom :  FUrNIB
Frekuensi
Urgensi
Nokturia
Incontinensia
Bladder pain

Complikasi BPH/BOO :  BUHABOH


Bladder
UTI
Hematuria
Acut urinary retention
Bladder damage (trabekulasi - diverticel)
Overflow incontinence
Hidronefrosis & renal insuffisiensi

Medical TX/ for BPH :  3 kategori


1. Farmakologis  dgn ABA (alfa blocking agent)
2. Hormonal dgn 5-ARI (alfa reductase inhibitor)
3. Phytotherapi dgn plan extracts
ABA :
1. Long acting alfa adrenoceptor antagonis :
+ Terazosin
+ Doxazosin
 spesifik untuk TU.
TERAZOSIN
 tonus otot polos prostat
otot polos vasculer
Dimulai dgn dosis : 1 mg, 2, 5, 10mg  max 20 mg

JEF & GWK 93


Moontly interval
Efek samping :
Dizziness 14%
Asthenia 11%
Somnolen 5%
Headache 5%

DOXAZOSIN
Dimulai dgn dosis : 1, 2, 4 mg,  max 8 mg.
Efek samping :
Dizziness 15%
Asthenia 10%
Somnolen 4%
Headache 10%

TAMSULOSIN
 selective 1-alfa adrenoceptor antagonist
Tidak berpengruh pada tekanan darah

2. 5-ARI :
Walsh  Caribean family  defisiensi DHT
FINASTERIDE
Menurunkan DHT 75 %
Vol prostat turun 30%
PSA turun 50%
Sel epitel atrofi  mati  prostat involusi
Bila PSA pre th/ 2 x lipat  tidak dipengaruhi
Biasanya untuk prostat > 40 grm
Efek samping :
Impoten 2,1 %
Libido  1%
Ginecomasti 0,4%

Medical terapi hanya menaikkan uroflowmetri 3-4 ml/s


Terazosin dan doxazosin  perlu titrasi
Tamsulosin & finasteride  titrasi (-)

Indikasi untuk pemeriksaan radiologi ditujukan untuk :


 Menilai volume BPH (TRUS  v = 0,52 x d1 x d2 x d3)
 Menentukan derajat disfungsi buli-buli
 Menentukan jumlah residual urine
 Adanya kelainan patologi lain yang menyertai BPH

Pemeriksaan panendoskopi dikerjakan untuk mengetahui :


 Keadaan uretra anterior
 Keadaan uretra pars prostatika, bagian prostat yang membesar,
dan panjangnya bagian yang obstruksi.
 Keadaan di dalam buli-buli, ada tidaknya tumor, batu, hipertrofi
dari detrusor, selulae atau divertikel dan kapasitas buli-buli.

Diagnosa Banding BPH :


 Karsinoma prostat
 Prostatitis
 Striktura uretra
 Batu buli-buli atau batu yang menyumbat urethra posterior

JEF & GWK 94


 Stenosis leher buli-buli
 Buli-buli neuropati
 Obat-obatan (simpatolitik, alfa adrenergik, psikotropika)
Penyulit BPH, baik pada traktus urinarius or diluar TU :
 menurunnya kualitas hidup
 infeksi saluran kencing yang berulang
 terbentuknya batu buli-buli
 terbentuknya sakulasi, divertikel dari buli-buli
 residual urine yg menimbulkan retensi urine akut/ kronis
 hidroureter dan hidronefrosis
 gangguan faal ginjal
 hematuria
 inkontinensia paradoksal
 haemorrhoid
 hernia

Indikasi operasi BPH :


1. Retensio urine
2. BPH dgn penulit : ISK, batu , hernia, hidronefrosis, uremia,
hematuria berulang.
3. Residual urine > 100 cc
4. Flow metri : pola obstruktif ( < 10 cc/ det, kurva
datar/multifasik, waktu miksi memanjang)
5. Sindroma prostatism yg progresif, mengganggu & iritatif.
6. Terapi medikamentosa ttidak berhasil

Indikasi open prostat :


1. BPH besar  Tur > 1 jam
2. BPH disertai BBB > 2,5 Cm atau multiple
3. TRUS > 40 gram

Kontra indikasi absolut pembedahan pada BPH :


 Infark miokard akut
 Cerebro vasculer accident akut

Kontra indikasi relatif pembedahan pada BPH :


 Diabetes melitus
 Hipertensi
 Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)
 Penyakit jantung koroner
 Dekompensasi kordis

Terapi invasif minimal pada BPH :

JEF & GWK 95


1. Transurethral Inscision of the Prostat (TUIP)
2. Transurethral Ballon Dilatation (TUBD)
3. Stent Prostat
4. Terapi Kriyo
5. Terapi Hipertermia
6. Transurethral Microwave Thermoterapi (TUMT)
7. Transurethral Needle Ablation of the Prostat (TUNA)
8. Terapi Ultrasonik
9. Laser prostatektomi
10. Transurethral Electrovaporization of the Prostat (TVP)

RT :  pembesaran prostat :
- Grade I : berat < 20 gram
- Grade II : berat 20 - 40 grm, jelas menonjol , batas lateral >, &
dangkal, sulkus median ttb / +
- Grade III : berat > 40 grm, batas atas tak teraba, teraba supra
simpisis.  indikasi open/Millins

Kriteria stop kateter :


1. Miksi spontan.
2. Residu urine < 10
3. Bakteriuri terkendali

Uroflowmetri :
- Jumlah urin yang representatif : 200 - 300 cc
- Flow rate Max : - non obstruktif : > 15 cc/dt
- border line :
10 - 15 cc/dt
- obstruktif :
< 10 cc/dt
- Grafik normal bifasik

DIAGNOSIS
1. Anamnesa : Keluhan utama & lamanya keluhan
2. Pemeriksaan Klinis :
Status umum
- Inspeksi : Penonjolan supra pubik bila terjadi retensi urin
dengan buli penuh.
- Palpasi : Buli-buli teraba diatas pubis apabila terjadi
retensi urin.
- Rectal toucher : Prostat teraba membesar
konsistensi kenyal
3. Pemeriksaan laboratorium :
Darah lengkap, Faal hemostasis, Faal hati, Faal Ginjal,
Elektrolit (K, Na), Urinalisis, Kultur urin dan test kepekaan
antibiotika.
4. Pemeriksaan Foto Radiologi
- BOF
- IVP : Pada kasus BPH tanpa retensi urin
- USG : Ada gangguan faal ginjal (SC > 4 )
- Foto thoraks
5. Pemeriksaan penunjang lain :
- Uroflowmetri  harus dikerjakan apabila penderita masih
bisa kencing atau untuk evaluasi pasca terapi.

JEF & GWK 96


- Sistoskopi  dilakukan pada penderita tanpa retensio urine
dengan indikasi tertentu
- TRUS (Transrektal USG) dgn indikasi tertentu
- ECG
PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa diindikasikan pd penderita :
- BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
penyulit (dianjurkan dengan IPSS)
- BPH dengan indikasi terapi pembedahan tetapi masih
terdapat indikasi kontra
Macam obat yang digunakan :
- Golongan alpha blocker
- Golongan inhibitor enzim 5 alpha reduktase
- Golongan finasteride
2. Terapi operatif diindikasikan pada penderita :
- Penderita dengan retensio urin akut atau pernah retensio
urin akut
- Penderita dengan retensio urin kronis artinya dalam buli-buli
selalu lebih dari 300 ml.
- Penderita dgn residual urine lebih dari 100 ml
- Penderita BPH dengan penyulit : batu buli-buli, divertikel
buli-buli, hidronephrosis, gangguan faal karena obstruksi.
- Terapi medikamentosa tidak berhasil
- Flowmetri menunjukkan pola obstruksi,yaitu :
+ Flow maksimal < 10 ml/detik
+ Kurve berbentuk datar atau multifasik
+ Waktu miksi memanjang

1. Retropubik transkapsular prostatektomi (cara Millin) adalah


suatu tindakan pengambilan (pembuangan) jaringan prostat
melalui retropubik dan membuka kapsul prostat.
2. Reseksi prostat transuretra (TURP) adalah suatu tindakan
pengambilan (pembuangan) jaringan prostat secara endoskopi
dengan menggunakan alat pemotong (cutting loop) elektrik.
3. Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT) adalah invasi
minimal ter- hadap prostat dengan menggunakan kateter 22 F
yang dihubungkan dengan sumber panas microwave 1296 MHz,
dipanaskan sampai 45 - 60 C dan uretra secara terus menerus
didinginkan sehingga mukosa uretra tidak rusak.

1. Retropubik Transkapsular Prostatektomi (Millin)


Tehnik Operasi :
- Pasang foto-foto pada light-box
- Setelah dilakukan anestesi baik regional ataupun general,
penderita diletakkan dalam posisi supinasi (telentang).
- Dilakukan desinfeksi dengan larutan povidone iodine 5% dari
bawah os xyphoid sampai pertengahan kedua paha dan
skrotum di sangga dengan doek steril kecil.
- Lapangan operasi di persempit dengan doek steril (lapangan
operasi di mid line antara umbilikus dan os pubis).
- Insisi supra pubik dan infra umbilikal (midline) lapis demi lapis
- Muskulus rektus abdominis dipisahkan ke lateral (pada linea
alba) sambil merawat perdarahan
- Lemak perivesikal disisihkan ke proksimal, identifikasi buli-buli
dan prostat selanjutnya dipasang spreader.

JEF & GWK 97


- Pasang bantalan pada kiri dan kanan prostat (dengan
kasa) dengan tujuan :
- agar prostat lebih menonjol
- identifikasi prostat lebih mudah
- Jahit (hemostasis) kapsul prostat pada 4 tempat dengan
chromic catgut no. yaitu :
- lateral kanan dan kiri (arah oblique)
- tengah atas dan bawah kira-kira 1 cm dan 2 cm dari leher
buli-buli.
- Insisi kapsul prostat arahnya horisontal (diantara ke empat
jahitan tersebut) sampai nampak adenoma prostat.
- Adenoma prostat dipisahkan dari kapsulnya dgn gunting
metzeubaum secara tajam dan tumpul.
- Setelah ada ruang antara kapsul dengan adenoma prostat
sampai keluar semua adenomanya. Bekas enukleasi di tekan
dengan kassa sebanyak 4-5 lembar selama  5 menit untuk
menghentikan perdarahan.
- Kasa diambil 2 sumber perdarahan dijahit dengan chormic
catgut No. 0 pada jam 5 dan 7 secara figure of eight. Rawat
perdarahan yang lain dengan kauterisasi.
- Kemudian pasang kateter three way 24F sampai ke buli-buli
(balon jangan diisi dulu)
- Kapsul prostat dijahit dengan chromic catgut No. 0 secara
simpul bedah sampai tidak ada kebocoran (water tight).
- Isi buli-buli dengan PZ untuk melihat kebSetelah tidak bocor,
balon kateter diisi air 40 cc dan di fraksi dan dipasang spoel
dengan PZ.
- Rawat perdarahan dan pasang redon drain pada cavum Retzii
- Semua kasa yang ada didalam dikeluarkan
- Luka operasi ditutup lapis demi lapis :
- Otot dan fascia dijahit dengan chromic catgut
- Lemak dijahit dengan plain catgut
- Kulit dijahit dengan benang sutra (zeide)

2. Reseksi Prostat Transuretra (TURP)


Alat yang dipersiapkan :
- Cold light fountain standard (lampu endoskopi)
- Kabel cahaya fiber optik
- Pipa air dengan luerlock
- Alat koagulasi dan reseksi listrik
- Working element yang terdiri dari :
+ Sheath : No.24 F atau 27 F
+ Obturator : No. 24 F atau 27 F
+ Teleskope : Optik 0 atau 30
+ Cutting loop: No. 24 F atau 27 F
- Bougie : Roser 25 F,27 F, dan 29 F

Tehnik Operasi
- Pasang foto-foto pada light box
- Setelah dilakukan anestesi regional penderita diletakkan dalam
posisi lithotomi
- Untuk menghindari komplikasi orchitis dilakukan Vasektomi
tanpa Pisau (VTP)
- Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis
scrotum dan sebagian dari kedua paha dan perut sebatas
umbilikus

JEF & GWK 98


- Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan
doek panjang berlubang untuk bagian perut keatas.
- Dilatasi uretra dgn bougie roser 25 F sampai 29 F
- Sheath 24 F atau 27 F dengan obturator dimasukkan lewat
uretra sampai masuk buli-buli.
- Obturator dilepas diganti dengan optik 30dan cutting loop
sesuai dengan ukuran sheatnya.
- Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan
divertikel buli
- Working element ditarik keluar untuk mengeva-luasi prostat
( panjangnya prostat yang menutup uretra, leher buli dan
verumontanum )
- Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat
perdarahan
- Sebaiknya adenoma prostat dapat direseksi semuanya, waktu
reseksi paling lama 60 menit (bila menggunakan irigan
aquades ) dan waktu bisa lebih lama bila menggunakan irigan
glisin. Hal ini untuk menghindari terjadinya Sindroma TUR.
- Apabila terjadi pembukaan sinus maka operasi segera
dihentikan u/ menghindari sindroma TUR.
- Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator
sampai bersih, selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
- Setelah selesai, dipasang three way kateter 24 F dan dipasang
Spoel PZ atau aquades. Kateter ditraksi selama 24 jam, dan
dilepas 5-7 hari.
- Flowmetri dilakukan setelah lepas kateter dan penderita dapat
miksi spontan.
- Penderita dapat pulang setelah diketahui hasil Patologi
Anatominya

3. Transurethral Microwave Thermoterapi (TUMT)


Kriteria :
- Volume prostat > 40 cc
- Lobus medius (sub trigonam) tidak membesar
- PSA 0-4 ng/ml
- Tidak memakai Implan metal
- Tidak memakai pacemaker jantung
- Tidak mempunyai kelainan koagulasi
- Tidak memakai Aspirin
- Tidak mempunyai Angina
- Panjang urethra prostatika > 25 mm

Alat – alat :
- Prostaprobe (dapat disterilkan dalam Glutaral-dehyde
selama 15 menit dan dicuci dgan PZ)
- Sarung tangan steril 3 pasang
- Kondom 2 buah
- Xylocain 2% jelly
- Analgesik dan antibiotik
- Doek steril
- Disposable syringe 5 cc= 2; 10 cc = 2
- Larutan PZ
- Folley kateter 16 F=1 & Urobag = 1

Persiapan penderita :

JEF & GWK 99


- Sebaiknya dilakukan lavement dengan pemberian dulcolax
suppositoria pada pagi harinya.
- Kateter per uretram (bila ada) di klem untuk pengisian buli-buli
- Analgesik (sedatif) dan antibiotik diberikan 1 jam sebelumnya

Tehnik Operasi :
- Posisi penderita tidur telentang
- Ukur temperatur aksilar dan catat hasilnya
- Dilakukan pemeriksaan TRUS dengan probe 7,5 MHz untuk
mengukur volume prostat : 0,52 x D1 x D2 x D3 (D1 =
penampang longitudinal/sumbu panjang prostat; D2 =
penampang melintang/ sumbu lebar prostat ; D3 = penampang
melintang/ sumbu tinggi prostat) dan mengukur panjang uretra
pars prostatika.
- Kateter uretra bila ada dilepas
- Masukkan probe 2,5 atau 2,0 dari prosta probe sesuai program
yang diminta pada uretra.
- Masukkan probe rektal dan fiksasi pada tempatnya dengan baik
- Jalankan mesin sesuai prosedur
- Cek dan monitor probe rektal dan uretra secara berkala,
dengan probe USG pada buli-buli.
- Bila telah selesai lepaskan probe per uretram dan probe rektal
- Pasang kateter per uretram No. 16 dan urobag
- Penderita harus kontrol tiap minggu sampai pelepasan kateter
di hari ke XIV.

Perawatan Pasca Operasi


1. Di Rumah Sakit :
- Traksi kateter dilepas setelah 24 jam pasca operasi
- Spoel kateter dilepas apabila urine yang keluar sudah jernih ( 2
hari)
- Pada tindakan Millin :
- kateter dilepas setelah hari ke 5
- redon drain dilepas pada hari berikutnya, bila produksi < 20
cc/24 jam.
- pada tindakan TURP, kateter dilepas pada hari ke 3 atau lebih
lama
2. Di Poliklinik Urologi (VK Sistoskopi)
- Pada bulan pertama kontrol 2 minggu sekali untuk
evakuasi keluhan dan pancaran kencingnya.
- Selanjutnya setiap 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan setiap
tahun
- Apabila terdapat gangguan pancaran segera periksa
uroflowmetri
- Setiap kontrol penderita harus sudah membawa hasil
laboratorium dasar (UL, DL, RFT dan kultur urine).
- Terapi antibiotika diberikan atas indikasi yang jelas

Selain dengan tiga jenis pembedahan BPH juga dapat diterapi


dengan teknologi modern :
- Dilatasi dgn baloon
- Sten prostat (temporer & permanen)
- Hipertermia
- Termoterapi
- Ablasio dengan laser
- Ultrasound intensitas tinggi terfokus

JEF & GWK 100


- Pyroterapi ekstracorporal terfokus
- Ablasi jarum trans uretra (TUNA)

Komplikasi pembedahan Prostat durante op. :


1. Perdarahan :
a. Pada pembedahan terbuka perdarahan dapat bersumber
daari arteri (a, prostatika – cabang dari vesikalis inferior)
atau vena (cabang dari vena dorsalis penis di retropubic).
Perdarahan arteri biasanya terjadi pada teknik Freyer
(Suprapubic transvesical Prostatectomi). Arteri ini berjalan
pada permukaan posterolateral prostat dan pada
vesicoprostatic junction pada jam 5 dan 7. Perdarahan
vena biasanya pada teknik Millin (Retropubic transcapsuler
Prostatectomi). Vena terletak pada permukaan anterior
kapsul prostat andiantara ligamen puboprostatikum.
Perdara-han juga dapat terjadi bila kapsul prostat robek
pada saat enukleasi prostat.
b. Pada reseksi prostat transuretra perdarahan dapat berasal
dari cabang arteri uretralis interna yang masuk kedalam
prostat melalui leher buli pada jam 5 dan 7 atau berasal
dari vena-vena kecil dimukosa. Perdarahan dari sinus
venosus  serius/ masif. Sinus venosus ada dua kelompok
: submukosa dan profunda/periprostatika antara jam 3-5
dan 7-9. Cara mnegatasi dengan traksi.
c. Pada TUIP perdarahan dari cabang arteri uretralis interna.
Cara mengatasi  dengan traksi.
2. Sindroma TURP.
Akibat masuk cairan irigan dan hiponatremia.
Klinis : - tensi meningkat
- Bradikardi
- Mual
- Muntah
- Mata kabur
- Penurunan kesadaran/gelisah
- Twitching
- Kejang dan letargi.
Kadar Na < 125 mEq/L
Cairan bisa masuk langsung ke intravaskuler lewat sinus yg
terbuka atau melalui ekstravasasi periprostatik dan
perivesikal.
Faktor yg berpengaruh timbulnya sindroma TURP
- Besarnya tekanan intravesikal – dalam fossa prostatika.
- Teknik TURP
- Lamanya waktu reseksi.
3. Trauma :
Pada open prostatektomi  Robekan rektum atau kapsul prostat
dan kerusakan spinter eksterna
Pada TURP :
Trauma orifisium uretra  striktur uretra
Trauma spinter uretra eksterna  inkontinensia
Perforasi uretra  False route
Perforasi buli
Perforasi kapsul prostat
Perforasi daerah prostatovesikal

Komplikasi pasca bedah dini:

JEF & GWK 101


1. Infeksi saluran kemih -- sepsis
-Prostatitis
-Pielonefritis
-Uretritis
-Epididimitis
2.Retensi bekuan darah/clot retention
3.Perdarahan skunder/ deleyed bleeding  urin sudah pernah
jernih. Biasanya hari 10 –14. Berhenti sendiri. Banyak minum
kurangi aktivitas, dan tidak mengejan
4. Sindroma TURP
5. Retensio urin, causa :
-Clot
-Chip prostat
-Otot detrusor masih dalam fase dekompensata
6. Inkontinentia Urin, akibat inflamasi, neoplastik, mekanikal (sisa
prostat, striktur,batu), neurogenik.
7. Koagulasi intravaskuler dan fibrinolisis
8. Deep vein trombosis dan emboli paru

Komplikasi pasca operasi lanjut


1. Impotensia
2. Ejakulasi retrograde
3. Striktur uretra
4. Stenose leher buli
5. Osteitis pubis
6. Prostat kambuh

JEF & GWK 102


NEPHROSTOMI PERKUTAN

Hal-hal yang perlu diperhatikan :


Semua tindakan Endourologi yang menggunakan sinar rontgen
harus diperhatikan perlindungan untuk dokter/petugas dan juga
untuk penderita.
Untuk petugas :
-pakai baju khusus (lood jas/apron)
-bila tidak perlu jangan berada dalam kamar operasi
-pakai dosimeter (bila tersedia)
Untuk penderita :
-batasi expose dengan sinar rontgen seminimal mungkin
-gunakan C arm dengan memori

Indikasi
1. Pyonefrosis akut dan kronis
2. Infected hidronefrosis
3. Bilateral hidronefrosis
4. Sebagai bagian dari test Whitaker
5. Sebagai bagian PNL
6. Hidronefrosis unilateral terapi tindakan definitif tidak dapat
cepat dikerjakan (lebih dari 2 minggu).

Alat yang diperlukan


A. 1. Meja operasi tembus sinar-X
2. Image intensifier = C arm
3. Kontras  minimal 2 ampul
B. Set katun steril
C. 1. Klem desinfeksi
2. Kasa depper
3. Larutan desinfektan (Povidone jodium 10%)
4. Doek klem atau steridrape
5. Spidol steril
6. Spuit 10 ml (2 buah)
7. Larutan anestesi 1%
8. Tangkai dan pisau yang sesuai (kecil)
9. Jarum punksi lengkap dengan mandrin : jarum Chiba 22G
 20 cm (2 bh)
10. Larutan krontrast (urografin atau yang lain) minimal 2 ampul
11. Guide wire : Standar : panjang 80 cm ; ø 0,97 mm ; ujung
fleksibel lurus atau panjang 100 cm ; ø 0,97 mm ; ujung
fleksibel J.
12. Dilator teflon : Ch. 6 ; 8 ; 10 dan 12 F
13. Set dilator metal yang terdiri dari :
- Rigid guide wire (antena)  Storz 27090 AG.
- 6 buah telescoping dilator/Storz 27090 A : Ch. 9, 12, 15,
21, 24F.
- Slotted canulla (Storz 27094 V)
14. Kateter Ch. 18F atau 20F, kantong urin
15. Alat jahit
16. Kasa ; plester

Tehnik Operasi
A. Persiapan penderita :
- Inform consent
- Pasang infus

JEF & GWK 103


- Antibiotika (untuk indikasi 1 & 2 : terapeutik ; 3,4 & 5 :
profilaktik)
- Cuci lapangan operasi dengan Savlon encer
B. Operasi
- Penderita posisi telengkup
- Daerah ginjal yang akan di punksi boleh diberi ganjal
- Tim pakai apron, cuci tangan secara “Fuhrbringer” dan pakai
gaun steril
- Desinfeksi daerah operasi :
+ke kranial sampai ujung scapula
+ke kaudal sampai sakrum yang menonjol
+ke lateral sampai linea axilaris anterior
- Persempit lapangan operasi dengan linen steril
- C-arm yang telah di tutup linen steril. Diatur dan dipasang
posisinya
- Bila terdapat bayangan batu opaque bertanda silang dengan
spidol
- Tentukan daerah yang akan di punksi/insisi kulit yaitu titik temu
antar garis 2 cm sejajar dan dibawah kosta XII dengan garis
aksila posterior. Beri tanda dengan spidol.
- Berikan anestesi lokal sampai fascia pada titik 7
- Insisi kulit di titik 7, sepanjang 1 - 1½ cm.
- Punksi melalui insisi kulit tadi dengan tujuan kaliks inferior
berpedoman :
+ Bayangan batu
+ Pyelografi retrograd (RPG)
+ Pyelografi interna (IVP)
+ Ultrasonografi
+ Imaginasi berdasarkan bayangan tulang-tulang
+ Punksi ke arah kutub bawah ginjal dengan sudut ± 30º- 45º.
Bila jarum telah masuk/ menusuk ginjal biasanya akan
bergerak seirama dengan pernafasan penderita.
- Tarik mandrin pelan-pelan sambil dorong sedikit jarum luar,
perhatikan cairan yang keluar dari jarum setelah mandrin
terlepas, Bila yang keluar bukan urin/pus  segera tutup
dengan jari dan masukkan kontrast pelan-pelan dengan
perenceran 1:1, sambil dilakukan fluoroskopi dan diperhatikan
apakah jarum telah betul masuk kalik inferior atau kaliks yang
dituju. Bila kontrast ternyata tidak masuk kaliks / pyelum,
penyuntikan jangan diteruskan. Lakukan punksi ulangan.
- Bila punksi sudah tepat segera masukan guide wire sampai ke
pyelum dan jangan sampai melingkar di jalur nefrostomi.
- Cabut jarum punksi pelan-pelan dgn memperta-hankan guide
wire tetap pada tempatnya.
- Masukan delator teflon melalui guide wire, mulai ch. 6
bergantian sampai no. 10 atau 12 F, sampai bagian yang datar
dari delator masuk kedalam kaliks  kontrol dengan
fluoroskopi.
- Masukkan “ Rigit Guide Wire “ = antena melalui fleksibel guide
wire.
- Lakukan delatasi traktus dengan cara memasukan “Telescopy
Delator” pada antena secara berturutan dari yang terkecil
sampai ukuran ch. 22.

Cara
- Tetap pertahankan antena pada tempatnya .

JEF & GWK 104


- Kontrol dgn fluoroskopi pada saat manipulasi
- Bila terdapat tahanan dari fascia, delator dapat diputar2 sedikit
- Lepaskan delator yang Ch. 22 dan ganti dengan slotted canulla
- Cabutlah antena, pertahankan guide wire fleksibel dan slotted
canulla. Semua delator akan tercabut bersama antena.
- Masukkan Folley kateter Ch. 18 atau 20 yang telah dipotong
ujungnya dengan tuntunan guide wire dan slotted canulla.
Bagian baloon kateter harus berada dalam kaliks. Cabut slotted
canulla dan kembangkan baloon kateter dengan H 2O atau PZ 2
– 5 ml. Lepaskan guide wire, kontrol dengan memasukkan
kontrast melalui kateter.
- Fiksasi kateter dengan jahitan benang sutera. Hubungkan
dengan kantong urin.

Perawatan Nefrostomi
Untuk nefrostomi dengan indikasi 1 & 2 (infeksi) maka pemberian
antibiotika sejak sebelum tindakan diteruskan.
Pedoman :
a. Jenis antibiotika berdasarkan kultur dan antibiogram
b. Bila belum ada kultur dan antibiogram :
c. Kombinasi ampicillin/ derifatnya dan aminogliko-sida
d. Cephalosporin generasi III, untuk kasus gagal ginjal berat
Bila tidak infeksi cukup diberikan obat golongan nitrofurantorin atau
asam nalidisat peri operatif.
1. Perhatikan kateter / pipa drainage, jangan sampai buntu karena
terlibat, dll.
2. Perhatikan dan catat secara terpisah produksi cairan dari
nefrostomi
3. Usahakan diuresis yang cukup
4. Periksa kultur urin dari nefrostomi secara berkala
5. Bila ada boleh spoeling dengan larutan asam asetat 1%
seminggu 2x
6. Kateter diganti setiap lebih kurang 2 minggu. Bila nefrostomi
untuk jangka lama pertimbangkan memakai kateter silikon.

JEF & GWK 105


OPERASIONALISASI ESWL EDAP LT - 02

Persiapan penderita:
1. Sedative (valium) dan analgetika kalau dianggap perlu dapat
diberikan
2. Antibiotika diberikan mulai sehari sebelumnya bila terdapat
bakteriuria bermakna
3. Tidak diperlukan puasa
4. Untuk batu ureter distal penderita diusahakan defekasi (bab)
dahulu dan buli-buli dalam keadaan terisi (jangan miksi dahulu
sebelum ESWL).
Alat
I I. Menyalakan dan Booting Unit :
a. Power dan regulator bekerja pada 220 volt
b. Tombol M-24 di unit Control Console harus terangkat (tombol
berwarna merah)
c. Power Supply Unit (PSU) :
1. Tangkai berwarna merah putar ke arah ON, lampu kuning
menyala.
2. Kunci putar ke arah ON.
3.Tekan tombol hitam - lampu hijau menyala.
Sebagian unit telah menyala , kecuali X - ray unit.

II. Operasionalisasi Unit Control - Console ( Unit X-ray)


Digunakan tanpa penderita.
1. Tekan tombol X-01 sehingga unit X-Ray menyala, tunggu 2-3
menit akan keluar tulisan Ready for Operation pada monitor A.
Catatan :Off button X-02 untuk mematikan X-Ray. X-Ray baru
boleh dimatikan bila semua session telah selesai. Diantara 2
penderita jangan tekan X-02.
2. Fluoroskopi (tombol X-29) ditekan sampai menyala pada
monitor A (tombol X-30, monitor B menyala).
3. Tombol X-22 (switch auto/manual regulation) dari KV (X-16) dan
mA (X-17), mengatur dose rate controle (DRC). Sebaiknya
dimulai secara manual dahulu yaitu dengan mematikan tombol
X-22. (misalkan X-16 sampai 60 KV dan X-17 sampai 6.0
mA). Kemudian tekan X-22 sampai menyala, maka kV dan mA
menyesuaikan secara otomatis.
4. Pemanfaatan X-Ray :
Dimulai dengan menekan tombol M-19. Tekan tombol M-20
untuk mengaktifkan X-ray unit sampai M-20 menyala.
Tekan M-23 terus menerus untuk mengembang-kan balon X-ray
sampai lampu menyala.

III. Operasionalisasi Unit Control console - Unit USG


1. Pastikan tidak ada gelembung udara dalam balon. Tekan
tombol F3.
2. Tekan tombol 1 pada keyboard untuk mengaktifkan monitor 1
atau monitor
3. Luruskan arah panah pada monitor 2, gambar 1 dan 2 dengan
joystick M
4. Berikan lubrikan pada membran dan kulit penderita pada sisi
letak batu.
5. Dengan menekan tombol F3 pada keyboard, harus diisi data
penderita dan komentar atau tekan tombol return : 2x
6. Mengembangkan balon :

JEF & GWK 106


a. Aktifkan ultrasound unit dengan mengempes-kan balon X-
Ray, dengan menekan terus-menerus tombol M-21 sampai
menyala.
b. Tekan tombol M-22 guna memindahkan probe ultrasound
ketempatnya
c. Matikan M-19 u/ dpt mengisi membran balon.
d. Tekan M-17 sambil melihat monitor-1 sehingga dicapai luas
permukaan kontak yang optimal antara membran dengan
kulit.
e. Melihat pada layar monitor-1 posisi ginjal dan batu dicari
dengan memainkan ketiga Joy-stick M1 - M2 - M3 secara
sistematis.
f. Usahakan posisi pusat dari ginjal dan batu berada pada fokus
tembakan.
g. Bilamana masih belum jelas dapat diatur gambaran
potongan ginjal pada Ultrasonografi dengan menekan
tombol M4a atau M4b (M4a : posisi longitudinal; M4b: posisi
transversal/ melintang). Lihat monitor 2 gambar kanan
bawah.
h. Isilah data penderita pada monitor B dengan tombol-tombol
huruf / angka di-keyboard.

IV. Positioning Batu


a. Dengan unit X-Ray :
a.1.Letakkan batu dalam layar monitor A.
a.2.Tepatkan batu dengan menggunakan Joy-stick M2 pada
tanda pusat tembakan (+) dengan X-Ray aktif ( Fluoroskopi
aktif dengan menekan X-29).
a.3.Putar arah inklinasi dengan Joystick M-1 ke arah sesuai
dgn letak batu dgn memperhatikan tulang rusuk dan
tulang-tulang disekelilingnya.
a.4.Dengan Joystick M3, maka kedalaman batu terhadap
pusat tembakan diatur sampai tepat pada pusat tembakan
(+).
a.5.Dengan memakai Joy-stick M1 dan fluoroskopi aktif dapat
dilihat berbagai posisi batu, batu harus tetap pada fokus
tembakan.
a.6.Tekan tombol X-47 untuk memory, pindahkan gambar pada
monitor B.
b. Dengan unit ultrasonografi :
b.1.Aktifkan ultrasosnografi lihat Bab III.
b.2.Tepatkan batu pada puncak tembakan
b.3.Gunakan Joystick M2 secara sistematis untuk mencari batu.

V. Tambahan
1. Usahakan melakukan tembakan dengan memanfaatkan
ultrasound.
2. Bilamana tidak memungkinkan dengan ultrasound dapat
digunakan X - Ray dengan catatan pada waktu balon X-Ray
mengembang, energi akan berkurang 25%. Untuk itu bila
selesai memonitor dengan X-Ray, balon harus dikempeskan
dengan menekan tombol M-21.
3. Tembakan dimulai pada posisi tombol M-10 dan M-11 paling
rendah (power dan frekwensi).
4. Tekan tombol M-6 sampai menyala dan dilanjutkan dengan
menekan tombol M-9 sampai menyala. Power dan frekwensi

JEF & GWK 107


dapat ditingkatkan secara bertahap sampai batas nyeri yang
bisa diterima oleh penderita dengan menggunakan tombol M-
10 dan M11.
5. Disarankan frekwensi maksimal 4Hz yang umum digunakan
adalah 1 dan 2 Hz. Sebaiknya ditentukan lama dan storage
tiap session.
6. Selama tembakan posisi batu diikuti dan dipantau bila
perlu di koreksi terus menerus.
7. Untuk mengakhiri tembakan tekan tombol M-8 dan M-7.
Kembalikan tombol M-10 dan M-11 pada posisi terendah.

VI. Laporan Tindakan


1. Aktifkan monitor 2 dengan menekan tombol 1 pada keyboard.
2. Tekan ombol F5 sehingga terlihat form data isisan penderita
dan penyakit.
3. Isi :
-Nama, kelamin dan umur penderita.
-Operator : Isi dengan singkatan nama yang baku (misalkan
WS)
- Lokasi batu
- US location : YA atau TIDAK
- Rx location : YA atau TIDAK
- Rx exposure : tulis sesuai X-16, X-17 & X-19
- Comments :Batu : Hancur atau Tidak; Nyeri : Ya atau Tidak
(keberhasilan, kegagalan, nyeri, catatan lain yang
diperlukan).
Gunakan tanda panah arah  dan  ataupun  untuk
mengisi. Hapus : tekan DEL.
4. Siapkan printer dengan power on dengan kertas ukuran
kuarto.
5. Tekan ctrl-F9 untuk pencetakan. Dibuat 2 copies laporan.
6. Untuk mengaktifkan layar kembali : monitor 1 : tekan F5 : exit,
untuk monitor 2 : tekan F3.

VII. Printing Foto


a. Untuk printer X-ray tekan tombol M12, lihat di monotor kecil,
tekan tombol print pd printer unit.
b. Untuk printer USG - tekan tombol M-13. Tekan tombol print pada
printer unit.
c. Potonglah kertas film dengan menekan tombol “cut” (cutter).

JEF & GWK 108


URS
( URETERORENOSKOPI )

Suatu tindakan Endoskopi seperti Sistoskopi dengan perbedaan


utama pada anatomi ureter dan ginjal serta ukuran yang kecil dari
instrumentasi, untuk melihat dan melakukan tindakan didalam
ureter dan ginjal.

Indikasi URS :
1. Diagnosa
- Evaluasi filling defect atau obstruksi pada radiologi
- Evaluasi gross hematuri unilateral
- Evaluasi maligna cytologi unilateral
- Surveilance pada terapi konservatip tumor tractus urinous
atas

2. Tindakan
- Untuk batu-batu ureter atau dan ginjal basket (tertentu) :
+ diambil dengan forceps atau
+ dipecah (lithotripsi)
- Biopsi tumor /polyp ureter
- Reseksi tumor
- Dilatasi strictura
- Pengambilan benda asing

TEKNIK OPERASI :
1. Posisi pasien tergantung letak batu biasanya : lithotomi
2. Dilakukan retrograde pyelografi untuk melihat anatomi ureter
3. Bila perlu dilatasi muara ureter
4. Masukkan alat URS secara avue dan bantuan fluoroskopi
5. Lakukan tindakan yang diperlukan
6. Bila batu perlu dihancurkan dipakai Elektro Hidrolik Litholapasy
atau Lithoclast (Pneumatik) atau sarana lainnya
7. Bila perlu pemasangan ureter kateter / DJ Stent

PERAWATAN PASCA OPERASI


Tergantung tindakan yang telah dilakukan misalnya, jika
pengambilan batu intra ureter sebaiknya 6 minggu dilakukan IVP
untuk melihat komplikasi dsb.
Bila dipasang DJ Stent, diambil bila sudah tidak dibutuhkan melaui
cystoskopi.

JEF & GWK 109


KARSINOMA BULI-BULI

Karsinoma buli adalah keganasan berasal dari epitel (mukosa) buli-


buli, dan anak-anak paling sering berasal dari otot.
DIAGNOSIS
Anamnesa : Keluhan utama adanya hematuria dgn sifat :
-Gross (makroskopis) tanpa nyeri dan intermiten
dapat terjadi (berulang serta retensi urin karena
tersumbat bekuan darah).
- Disuria yg lama dan berulang
- Retensio urin karena klot
Faktor peningkat resiko :
- Bahan pewarna : naphtylamin dan benzidin
- TAR dalam tembakau
- Pemanis sintetis : Sodium siklamat, sodium sakarin
- Skistosomiasis
- Infeksi / iritasi kronis buli
- Analgetikum : phenacetin

Pemeriksaan klinis
1. Status Umum : Tanda vital, berat badan, status penampilan
(Karnofsky).
2. Status Urologi : Adanya masa suprasimfiser, tanda invasi
organ terdekat, tanda-tanda metastase.
Palpasi : masa suprasimfiser, masa daerah flank.
Colok dubur : Adanya masa pada buli-buli dan prostat.
Bimanual palpasi pada keadaan narkose

Pemeliharaan Laboratorium
- Darah lengkap
- Faal Hemostasis
- Faal hati
- Faal Ginjal
- Urinalisis
- Kultur Urin dan tes kepekaan.
- Sitologi Urin, dinilai menurut sistim Broder, di bagi 5 kelas :
 Kelas I : tidak di ketemukan sel
 Kelas II : di ketemukan sel yang normal
 Kelas III: diketemukan sel dengan perubahan atipik
 Kelas IV: di ketemukan sel yang mencurigakan ganas
 Kelas V : di ketemukan sel-sel ganas.
Pemeriksaan Radiologis :
- Thoraks foto PA / lateral
- IVP
- USG buli-buli, ginjal dan abdomen
- CT Scan abdomen, dikerjakan dgn indikasi ttt.

Pemeriksaan Sistoskopi :
Pemeriksaan ini dikerjakan bila pemeriksaan yang disebut diatas di
ketahui hasilnya. Dan bila hasilnya menyokong adanya karsinoma
buli-buli, maka penderita sekaligus dipersiapkan untuk dilakukan
reseksi tumor dan “staging”.

Pemeriksaan sistoskopi dengan tujuan diagnostik saja, di kerjakan


bila :

JEF & GWK 110


1. Pemeriksaan yang lain tidak menyokong adanya karsinoma
buli-buli
2. Penderita mengalami penyulit retensi urin karena tersumbat
bekuan darah.
Pada sistoskopi diagnostik ini sekaligus dilakukan pemeriksaan
bimanual palpasi dalam keadaan narkose dan biopsi.

Histopatologi :
Pemeriksaan histopatologi untuk menentukan :
1. Jenis Karsinoma. Sebagian besar karsinoma buli-buli berasal
dari epitel (mukosa). Yang sering adalah karsinoma sel
transisi (TCC), karsinoma sel skuamosa, adeno karsinoma
2. Derajat Infiltrasi. Ditentukan berdasarkan infiltrasi sel ganas
terhadap membrana basalis (lamina propria) dan lapisan otot
buli-buli.
3. Derajat degenerasi / deferensiasi. Ditentukan berdasarkan
susunan dan tebalnya lapisan sel, gambaran inti sel dan
perbandingan antara inti sel dengan sitoplasma.
Derajat I : diferensiasi baik (well differentiated)
Derajat II: diferensiasi sedang (moderatly diffe-rentiated )
Derajat III: diferensiasi jelek (poorly differen-tiated)
Derajat IV: diferensiasi tak beraturan (undiffe-rentiated )

Diagnosa Stadium klinis :


Setelah data klinis, laboratoris, radiologis, histopatologi ditegakkan,
diperlukan staging guna memilih terapi yang adekuat untuk
penderita.

Stadium dengan sistim TNM :


Stadium O : Tis dan Ta
Stadium I : T1 No Mo
Stadium II : T2a dan T2b
Stadium III: T3a dan T3b dan T4a
Stadium IV : T4 No Mo
Semua T
N1-3 Mo
Semua T
Semua N M1
Ta ; non-invasive papillary Ca
Tis ; Ca in situ, flat tumor
T1 ; sampai jaringan ikat subepitel
T2 ; tumor menginvasi ke otot
pT2a ; ke oto superfisial; pT2b ; ke oto dalam
T3 ; ke jaringan perivasikal
pT3a ; secara mikroskopis; pT3b ; secara makroskopis
T4 ; ke prostat, uterus, vagina, dinding pelvis dan abd
N1; Metastase tunggal dgn diameter < 2 cm
N2; Metastase tunggal dgn diameter 2 - 5 cm, atau multipel dgn
diameter < 5 cm
N3; Metastase dengan diameter > 5 cm

Diagnosis of bladder cancer


 Haematuria is an important but non-specific sign. Investigations
to exclude bladder cancer are recommended for all patients with
gross hematuria or unexplained microhematuria. The impetus for

JEF & GWK 111


investigation is increased with age, and those who are at greater
risk of developing bladder cancer e.g. cigarette smokers and
those with exposure to industrial carcinogens for bladder
cancers.
 An IVU is indicated in all patients with unexplained haematuria or
cystoscopic evidence of bladder cancer for the purpose of
examining the upper urinary tracts for associated urothelial
tumours.
 A retrograde pyelogram should be performed if the upper tracts
are not adequately visualised on the IVU.
 Cystoscopy is required for unexplained haematuria as
intravenous urography (IVU) may miss up to 40% of lesions in
the bladder.
 Flexible cystoscopy is recommended as an anaesthesia-free,
low-risk procedure with high sensitivity and specificity for the
diagnosis of bladder tumour.

Staging Procedures
Bimanual palpasi dgn GA sebelum dan sesudah TURB
Transurethral resection of the bladder tumour (TURBT)
a. TURBT determines the depth of tumour invasion.
b. During TURBT, the following are recommended:
 Bladder washings for cytology before resection
 Resection of tumour down to detrusor muscle
 Even if the cancer is muscle invasive, complete
debulking is preferable
 Separate biopsy of the base of the tumour
 Directed biopsies of any abnormal mucosa
 A random biopsy of "normal" mucosa near and far from
the tumour and a biopsy of the prostatic urethra (especially if
the tumour is near the bladder neck) should be taken
separately. Otherwise multiple biopsies of normal mucosa are
not usually helpful.
Computed Tomography (CT)
a. The CT scan may overstage bladder cancer if deep biopsies of
the bladder have been performed prior to the scan because of
post-operative oedema. Scheduling the scan, where possible,
either before or 1 month after the TURBT may reduce the
chance of this error.
b. The CT scan has recognised limitations in detecting minimal
pelvic nodal disease or microscopic invasion of adjacent
organs.
c. A CT scan of the pelvis is useful in assessing extra-vesical
spread for muscle-invasive tumours and in detecting pelvic
lymphadenopathy.
d. CT-guided fine needle aspiration biopsy of pelvic lymph node
may be performed to document lymph node metastases for
patients in whom radical surgery is not appropriate.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
 MRI scanning can be as useful as CT scanning and in some
centres has been shown to be superior. MRI however has not
replaced CT scans in routine practice.
Chest radiograph (CXR)
a. Routine chest radiographs are usually performed to detect
pulmonary metastases.

JEF & GWK 112


b. However, in equivocal cases, the CT thorax is more sensitive in
detecting pulmonary metastasis.
Bone Scan
This is an optional investigation for the detection of bony metastasis
and should be used selectively. Bone metastases are only a
common feature in higher stages of muscle-invasive bladder
cancer. However, the bone scan is useful as a baseline reference.

Regional Node :
Hipogastrika
Obturator
Iliaca
Perivesikal
Pelvik
Sacral dan presacral

Pembagian staging yang lain adalah menurut Jewett – Strong –


Marshall Stage.
:
Reseksi Transuretra
Dengan resektoskop dilakukan reseksi transuretra dalam keadaan
narkose baik sebagai monoterapi maupun dengan tujuan
mengurangi masa tumor.
Cara ini dilakukan dengan menggunakan peralatan endoskopi.

Sistektomi Partial
Pengangkatan buli-buli secara parsial (sebagian buli-buli) sebatas
daerah tumor. Adapun teknik operasi dengan cara pendekatan
supra pubik, identifikasi buli-buli dan kelenjar getah bening daerah
pelvis, ligasi arteri vesicalis superior, dilakukan limfadenektomi
daerah pelvis dan wide eksisi tumor minimal 2 cm daerah bebas
tumor.

Radikal Sistektomi
Pengangkatan organ yang lebih luas / radikal. Pada laki-laki
dilakukan pangangkatan buli-buli, peritoneum daerah pelvis,
prostat, vesicula seminalis dengan cara sistoprostatektomi radikal,
termasuk limfadenektomi daerah pelvis. Pada wanita pengangkatan
buli-buli disertai organ sekitarnya termasuk peritoneum daerah
pelvis, uretra, serviks, uterus sepertiga dinding depan vagina,
ligamen maupun ovarium disertai Limfadenektomi daerah pelvis.
Diversi urin dikerjalan berdasarkan persetujuan dokter, penderita
maupun kebiasaan operator, baik yang kontinen maupun yang
inkontinen. Metode yang biasa digunakan adalah dengan cara
Coffey atau cara Bricker.

Radiasi
Radiasi yang diberikan adalah eksternal radiasi dengan dosis 6000
– 7000 rad diberikan selama 5-8 minggu untuk tujuan kuratip dan
2000 rad untuk preoperatip (sistektomi).

Kemoterapi
Kemoterapi diberikan secara topikal intravesikal.
Terutama pada Superfisial bladder cancer.
Penanganan karsinoma buli-buli

JEF & GWK 113


1. Reseksi Ta, T1, T2
transuretra
2. Operasi Tis, T3, T4 prostat, No, Mo
sistektomi.
3. SALVAGE T2 res G 3-4
sistektomi
4. Sistostika :
- Intravesika Ta, T1 residif
T1, G 3-4
T1 m
- Sistemik Sebagai pengobatan alternatif
untuk T3, T4
Untuk M1 multiple
5. Radiasi Pra operasional radikal
eksterna T3, N 1-3, Mo
Alternatif u/ T2, G3-4, Nx, Mo
T3, T4, Nx, Mo
6. Imunologi Ta, T1 (sebagai alternatif)
(BCG intra
fesikal)

1. Reseksi Transuretra buli-buli.


Teknik Operasi
 Pasang foto-foto pada light box
 Setelah dilakukan anestesi baik regional ataupun general,
penderita diletakkan dalam posisi lithotomi.
 Dilakukan pemeriksaan colok dubur dan bimanual palpasi
 Dilakukan desinfeksi dengan larutan povidone jodine : di
daerah penis, skrotum sebagian dari kedua paha dan perut
sebatas umbilikus.
 Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki
pada kedua kaki dan doek panjang berlubang untuk bagian perut
ke atas
 Dilakukan panendoskopi dengan sheath No. F16, Optik 30 o,
untuk evaluasi uretra
 Dilatasi dengan bougie roser secara gentle
 Dengan sheath F 27 atau F 24 Sheat Resektoskop dengan
obturator secara gentle dimasukkan ke dalam buli-buli
 Kemudian dilakukan evaluasi buli-buli, sebelum melakukan
reseksi harus diperhatikan lokasi, ukuran tumor, bentuk tumor.
 Reseksi dilakukan / dimulai dari daerah tumor yang berbatas
tegas dengan mukosa buli-buli yang normal (daerah margin).
Kemudian reseksi tumor dilanjutkan sampai tampak otot buli-buli
sambil melakukan hemostatis dengan cara fulgurasi. Selama
reseksi, cairan irigan diatur sedemikian rupa sehingga operator
dapat melakukan reseksk tumor dengan baik, serta tidak
menyebabkan perforasi buli-buli.
 Untuk tumor yang besar, dan dasar tumor yang luas bentuk
sesile, tumor papiler yang multiple, serta lokasi tumor yang sulit,
suker untuk melakukan reseksi sampai bersih.
 Hati-hati melakukan reseksi tumor di muara ureter daerah
trigonum, kemungkinan terjadi sikatrik di muara ureter sangat
besar sehingga dikawatirkan dapat menyebabkan terjadinya
striktur. Beberapa peneliti menggunakan penuntun sten kateter
ureter sebelum melakukan reseksi.

JEF & GWK 114


 Untuk tumor di dinding lateral buli-buli hati-hati akan terjadinya
rangsangan nervus obturator saat melakukan reseksi, sehingga
terjadi kontraksi otot aduktor paha yang dapat mengakibatkan
perforasi buli-buli.
 Apabila tumor sudah bersih, dasar otot yang sudah dilakukan
reseksi dilakukan biopsi untuk menilai dalamnya infiltrasi tumor
( staging ).
 Setelah dilakukan hemostasis, dilakukan pemasangan three
way kateter No. F 24, sambil dilakukan spoeling dengan cairan
NaCl 0,9% sampai jernih. Tidak dilakukan pemasangan traksi
kateter.
 Jaringan reseksi timor dan biopsi dasar tumor dilakukan
pemeriksaan PA.

a. Partial Sistektomi
Indikasi :
Tumor tunggal, T1-T3, lokasi tumor pada dinding lateral buli-
buli, atap buli-buli (dome), tumor pada divertikel, adeno
karsinoma daerah dome yang berhubungan dengan urachus.
Teknik Operasi
Pendekatan Retroperitoneal.
 Persiapan operasi pada umumnya.
 Pemberian antibiotika profilaksis, premedikasi.
 Setelah anestesi general, penderita diletakkan dalam posisi
supine.
 Dilakukan pemasangan kateter No. F 16
 Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan povidone yodine di
daerah penis, skrotum, sebagian dari pangkal paha, kateter,
perut sebatas umbilikus, & vulva (wanita).
 Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
 Insisi midline supra pubik, perdalam lapis demi lapis.
 Identifikasi buli & peritonium disisihkan ke kranial.
 Bebaskan dinding buli kearah lateral & posterior.
 Identifikasi KGB ipsilateral dengan cara mengikuti percabangan
anterior dan posterior arteri iliaka interna, sampai tampak pedikel
arteri vesikalis superior, ligasi arteri vesikalis superior.
 Jika KGB tampak besar dilakukan limfadenektomi dan dilakukan
pemeriksaan froozen section.
 Setelah buli-buli terekspose dengan baik dimana operator sudah
dapat memprediksi letak tumor yang sudah dilakukan evaluasi
sebelumnya dengan pemeriksaan sistoskopi, operator mulai
memperkirakan insisi dinding buli-buli. Letak insisi harus jauh
dari lokasi tumor. Beberapa peneliti menganjurkan tiga sampai
empat sentimeter dari leher buli-buli dan tiga sampai empat
sentimeter dari tepi tumor, sehingga terekspose dengan baik.
 Dengan bantuan dua buah jahitan pagar yang sudah di buat
sebelumnya pada dinding buli-buli, dilakukan insisi dinding buli-
buli diantara dua jahitan pagar. Insisi diperluas dengan kromklem
sehingga tampak tumor yang sudah dievaluasi sebelumnya.
 Gunakan allis clamp agar lapangan pandang tumor dalam buli-
buli tampak jelas, sambil melakukan hemostasis yang baik
dengan elektro surgikal.
 Apabila dalam perencanaan eksisi tumor diperkirakan akan
mengenai muara ureter (karena lokasi tumor dekat dengan
muara), maka dapat digunakan stent kateter ureter.

JEF & GWK 115


 Lindungi jaringan mukosa buli-buli normal dengan kasa, guna
mengisolasi jaringan tumor. Setelah jaringan tumor dapat
diekspose dengan jelas, dilakukan wide eksisi jaringan tumor 2-3
cm dari margin, termasuk lemak perivesikal.
 Jika eksisi tumor mengenai muara ureter, dapat dilakukan
reimplantasi ureter, yang sering digunakan adalah cara Politano-
Ledbetter.
 Sesudah jaringan tumor dieksisi dilakukan penjaitan dua lapis.
 Tidak dianjurkan pemasangan kateter sistostomi.
 Pasang drain prevesikal, & kateter F 22 atau F 24
 Jahit dinding abdomen lapis demi lapis.

Pendekatan Trans Peritoneal


 Untuk tumor daerah dinding posterior buli-buli, dianjurkan
dengan pendekatan transperitoneal.
 Insisi midline suprasimfisis, perdalam.
 Identifikasi buli-buli dan peritonium, buka peritonium daerah
midline, sisihkan usus.
 Identifikasi vasa iliaka interna dan percabangan arteri vesikalis
superior, serta dilakukan ligasi.
 Bebaskan dinding posterior buli-buli serta identifikasi kelenjar
getah bening ipsilateral.
 Jika KGB tampak besar dilakukan limfadenektomi dan dilakukan
pemeriksaan froozen section sebelum mengambil keputusan
lebih lanjut.
 Setelah buli-buli terekspose dengan baik dimana operator sudah
dapat memprediksi letak tumor yang sudah dilakukan evaluasi
sebelumnya dengan pemeriksaan sistoskopi, operator mulai
memperkirakan insisi dinding buli-buli. Letak insisi harus jauh
dari lokasi tumor. Beberapa peneliti menganjurkan tiga sampai
empat sentimeter dari leher buli-buli dan tiga sampai empat
sentimeter dari tepi tumor, sehingga terekspose dengan baik.
 Dengan bantuan dua buah jahitan pagar yang sudah di buat
sebelumnya pada dinding buli-buli, dilakukan insisi dinding buli-
buli diantara dua jahitan pagar. Insisi diperluas dengan kromklem
sehingga tampak tumor yang sudah dievaluasi sebelumnya.
 Gunakan allis clamp agar lapangan pandang tumor dalam buli
tampak jelas, sambil melakukan hemostasis yg baik dgn elektro
surgikal.
 Apabila dalam perencanaan eksisi tumor diperkirakan akan
mengenai muara ureter (karena lokasi tumor dekat dengan
muara), maka dapat digunakan stent kateter ureter.
 Lindungi jaringan mukosa buli-buli normal dengan kasa, guna
mengisolasi jaringan tumor. Setelah jaringan tumor dapat
diekspose dengan jelas, dilakukan wide eksisi jaringan tumor 2-3
cm dari margin, termasuk lemak perivesikal.
 Jika eksisi tumor mengenai muara ureter, dapat dilakukan
reimplantasi ureter, yang sering digunakan adalah cara Politano-
Ledbetter.
 Sesudah jaringan tumor dieksisi dilakukan penjaitan dua lapis.
 Tidak dianjurkan pemasangan kateter sistostomi.
 Pasang drain prevesikal, & kateter F 22 atau F 24
 Jahit dinding abdomen lapis demi lapis.

b. Radikal Sistektomi

JEF & GWK 116


Persiapan preoperasi
 Radiasi/ kemotrapi preoperasi dilihat kasus perkasus
 Bowel sterilisasi
Prinsip teknik operasi :
Pengangkatan organ yang lebih luas / radikal. Pada laki-laki
dilakukan pengangkatan buli-buli, peritonium daerah pelvis,
prostat, vesicula seminalis dengan cara sistoprostatektomi
radikal, termasuk limfadenektomi daerah pelvis. Pada wanita
pangangkatan buli-buli disertai organ sekitarnya termasuk
peritonium daerah pelvis, uretra, serviks, uterus, sepertiga
dinding depan vagina, ligamen maupun ovarium disertai
Limfadenektomi daerah pelvis. Diversi urin di kerjakan
berdasarkan persetujuan dokter, penderita maupun kebiasaan
operator, baik yang kontinen maupun yang inkontinen. Metode
yang biasa digunakan adalah dengan cara Coffey atau cara
Bricker.

Follow Up :
Tahun I : setiap 3 bulan
Tahun II : setiap 4 bulan
Tahun III : setiap 6 bulan & seterusnya.

Hal yang diperiksa pada saat kunjungan ulang :


Tentukan status penampilan ( performance status ), menurut kriteria
Karnofsky. Menentukan T,N dan M.
Dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorik dasar, dan
sitologi urin.
Sistoskopi di kerjakan setiap kali kunjungan ulang, kecuali telah
dikerjakan sistektomi.
Foto thorak : setiap 6 bulan sekali
Pyelografi intravena : setelah 6 bulan, 12 bulan dan bila ada
indikasi tertentu.
PH dan elektrolit darah dikerjakan setiap kali kunjungan untuk
penderita dengan diversi urin.
Pemeriksaan yang lain dikerjakan hanya atas dasar indikasi
tertentu.
Th/ Superficial Bladder cancer.
TUR  terapi utama.
Intravesical terapi (Ta dan T1)  Mitomicin, adriamicin, epirubicin
(Complet respon 50-60%.

High risk Ca Buli superfisial : (pT1G3) :


Intravesikal BCG, Radioterapi, Cystectomi.

Penilaian sistoskopi pada Ca Buli :


a. Tumor; size, number, position, growth pattern (papil/solid)
b. Mucosa; normal, red areas or areas of red, ireguler.
c. Lower track; uretra dan prostat.
d. Pemeriksaan bimanual; mass sebelum dan sesudah reseksi,
ukuran dan mobilitas mass.

BCG Immunotherapy
 Intravesical BCG has been shown to be effective in reducing
tumour recurrence rate. IIb/B

JEF & GWK 117


 BCG is superior to the other intravesical agents for the treatment
of carcinoma in situ (CIS), with complete response rates of
approximately 70%. A/Ib
 Only limited prospective randomised studies have been
performed comparing the prophylactic value of intravesical
chemotherapy or immunotherapy. Current data seems to suggest
superiority of intravesical BCG over intravesical chemotherapy,
with the exception of mitomycin C. Ib/B
 BCG therapy is given as a standard induction course of 6 weeks
with one installation a week. Monthly maintenance therapy is not
superior to standard therapy. III/B
The 6 + 3 schedule is probably superior to standard induction
therapy for CIS.
A second 6 instillation course for patients who do not respond to
a single course may be beneficial. III/B
 Morbidity from BCG immunotherapy is common but is seldom
severe or persistent.

Follow-Up Surveillance
 Cystoscopy is recommended in the following schedule: 3-
monthly for the first year, 6-monthly for the next 4 years and
annually for the next 5 years. Low risk tumours do not require
such frequent surveillance. (IV/C)
 Cytologic surveillance should accompany every cystoscopic
examination. (IV/C)
 To detect upper tract urothelial cancer, an IVU is
recommended at least once in two years, or else in the
presence of positive cytology with negative cystoscopy. (IV/C)
 Urin test untuk deteksi tumor buli:
 Sitologi urin; void or bladder washing
 BTA Stat test; mengukur faktor komplemen H-related
protein.
 BTA tract test; immunoassay kuantitatif dgn menggunakan
antibodi monoklonal.
 NMP22; mengukur nuclear matrix protein secara kuantitatif
 TRAP assay; mengukur aktivitas telomerase

Muscle-invasive bladder cancer (T2, T3, T4)


 Radical cystectomy or radiotherapy are the preferred choices for
T2 and T3 bladder cancers. (III/B)
 Radiotherapy is the usual choice for T4 bladder cancers. III/B
 Neoadjuvant chemotherapy and adjuvant chemotherapy have
not shown any advantage compared to surgery or radiotherapy
alone. Ib/A Not recommended
 Patients should be carefully informed of the wide choice of
urinary diversion and orthotopic bladder reconstructions
available, and their attendant advantages and complications.
III/B
 Metastatic bladder cancer
 The MVAC (Methotrexate/Vinblastine/Doxorubicin/Cisplatin) and
CMV (Cisplatin/Methotrexate/Vinblastin) regimes are superior to
the others but need to be carefully considered in terms of quality
of life. Ib/A
 Promising, new agents, such as paclitaxel, gemcitibine,
ifosfamide and gallium nitrate should be investigated.
Kemoterapi pada Ca buli superfisial:

JEF & GWK 118


Tujuan : mengurangi rekurensi, progresifitas dan eradikasi sisa
tumor pasca turb.
Instilasi BCG
Mitomycin C : diinstillasi tiap minggu selama 6 to 8 minggu dgn
dose ranges from 20 to 60 mg, respons rate 36 %.
doxorubicin mencegah rekurensi 13% to 17%
Epirubicin ;dose of 50 to 80 mg/mL selama 8 weeks

JEF & GWK 119


KARSINOMA PROSTAT

Karsinoma prostat adalah keganasan yang berasal dari sel acinus


prostat.

DIAGNOSIS
Anamnesa :
- Keluhan utama, lamanya keluhan, riwayat pemeriksaan,
pengobatan dan rujukan
- Gejala-gejala obstruksi infravesikal
- Tanda-tanda metastase

Pemeriksaan klinis :
 Status umum : Tanda vital, Berat badan, Status penampilan
(Karnofsky)
 Status urologi :
Inspeksi : Tanda-tanda pembesaran kelenjar regional /
juksta regional, tanda-tanda invasi organ terdekat, tanda-
tanda metastase.
Palpasi : Kelenjar inguinal, kelenjar hypogas-trika, kelenjar
Virchow, massa tumor di supra pubik.
Colok dubur : Nodulus, konsistensi prostat berdungkul
keras, mobilitas, invasi perkontinuitatum ke vesikula
seminalis, rektum.

Pemeriksaan laboratorium :
- DL, UL, FH, RFT, LFT, SE, Cultur urin, PSA, AFP

Causa :
Aging, genetic factor, hormones, growth factors, environment, diet
tinggi fat, familial brest cancer.

Embriologi:
Zona central dan vesikula seminalis  berasal dari Wolfian duct,
berkembang dibawah pengaruh testosteron.
Zona lainnya berasal dari mesenchim sinus urogenital, berkembang
dibawah pengaruh DHT.
Sel Epitel dan stromal  mampu menghasilkan DHT, krn sama-
sama memiliki reseptor androgen.
Sebagian besar DHT yg dihasilkan oleh sel epitel berdifusi ke sel
stromal , dimana reseptor androgen paling banyak.
Pada stromal ikatan DHT + AR akan menstimulasi inti stroma untuk
memproduksi GF dan GF ini akan menyebabkan sel epitel dan
stromal tumbuh dan berkembang.

Patologi :
AdenoCa : 95 %. Lapisan sel basal hilang. 95 % berasal dari zona
perifer, 25 % dari zona transisional.
Tu yg berasal dari zona transisional biasanya lebih kecil,
differensiasi baik (gleason 1 dan 2)
Tu yg berasal dari zona perifer differensiasi lebih buruk, (gleason 2,
3 atau 4), volume lebih besar dan sering invasi ke extrakapsuler,
vesikula seminalis dan metastase ke limfe node.

Grading histologi :

JEF & GWK 120


Gleason : berdasarkan derajat differensiasi arksitektur kelenjar dan
pola pertumbuhan, sitologi sel tidak berperan.
Mastofi : didasarkan atas derajat iregularitas inti : well, moderate
and poorly differentiated.
TNM system.

PSA (Prostat Spesific Antigen) :


Suatu glikoprotein yang di sekresi oleh sitoplasma sel prostat.
Fungsi  Mencairkan (kuquifasi) semen
Diproduksi oleh sel epitel asini & duktal
Waktu paruh 2,2 – 3,3 hari
Normal : 0 – 4 ng/cc
Setiap 1 grm BPH  PSA meningkat 0,2 - 0,3 ng/cc
PSA < 10 ng/cc  lymp node tidak terlibat
PSA > 40 ng/cc  60 % nodal disease
Post radical prostatectomy  PSA = 0
 Bila naik lagi  recurrent disease
masih (+)  residual disease
Faktor yang mempengaruhi kenaikan PSA :
1. Intrinsik : BUVICA
BPH, Umur, Volume, Infeksi, Ca prostat
2. Ekstrinsik :
Retensi urin akut, DRE (2x), Biopsi (57x), DK, Endoskopi (4x),
TURP (53x), TRUS (1,3x)

Interpretasi PSA :
Kadar PSA : 0,5 – 4 ng/cc  normal
4 – 10 ng/cc  20 % kanker
> 10 ng/cc  50 % kanker
Meningkat > 20 % /
tahun  perlu biopsi
PSA < 10 ng/cc : Ca
masih terbatas pd Gland
PSA terikat pada
A-ACT : alfa-antichemotripsin
AMG : alfa-2-macroglobulin
Free PSA tidak terikat dgn komponen tersebut
Yang dapat diperiksa dengan PS assay :
Free PSA (F)
PSA-A-ACT
Total PSA (T)
F/T ratio : free PSA : total PSA
Bila ratio turun  Ca.
Bila ratio meningkat  benign
PSA dalam kaitan dgn perlunya Biopsi :
1. PSA Density.
2. PSA Velocity
3. Age-spesific PSA references ranges
4. Molekular form of PSA (% free PSA)
PSA Density :
Oleh Benson dari Columbia Univ. ’92
PSA : Vol Prostat.
Indikasi bila PSA 4-10 ng/l
Cutt-off : 0,15 ng/l  > 0,15  Ca prostat
Masih kontroversi

JEF & GWK 121


PSA Velocity
Change of PSA overtime.
PSA-V = ½ x [(PSA2-PSA1/ t1)+(PSA3-PSA2/t2)]
PSA velocity > 0,75ng/l/tahun  sensitivitas 72 %

Spesifisitas 95 %

Age-Spasific PSA references range :


Nilai :
Usia 40 – 49 : 0 – 2,5 ng/l
Usia 50 – 59 : 0 – 3,5 ng/l
Usia 60 – 69 : 0 – 4,5 ng/l
Usia 70 – 79 : 0 – 6,5 ng/l

Free PSA :
Enzimatically inactive
Uncomplex
Free
Nilai : 5 – 50 % dari total PSA
Cut-off 25 %  sensitifitas 95 %

Moderate grade Ca prostat : gleason < 7


High-grade Ca prostat : gleason  7.
Prognostik factor pada Ca prostat :
a. Site of origin :
- Transisional zone  less agresif
- Periferal zone  poorly diff
b. Volume-based prognostic index:
- V1 : Cancer < 1 cm3
- V2a : Cancer 1 - 5 cm3
- V2b : Cancer > 5 cm3
c. Multiple prognostic factors :
- Volume tumor
- PSA level
- Gleason grade
- % gleason grade 4 & 5
- Tumor origin
- DNA content
- Metastase
Prognosis berdasarkan Gleason score bila dilakukan Radikal
prostatektomi :
GS 2 – 6 : 10 syr : 70 %
GS 7 : 10 syr : 50 %
GS > 8 : 10 syr : 15 %

Recurrent of prostate cancer :


Post radical prostatectomi PSA >0,4 ng/l  residual or recurrent
Hormonal th/  early.
Th/ standar :
Orchidectomi
LHRH agonist
Extra Prostatic Extension (EPE): ada 3 kriteria :
- Cancer in adipose tissue
- Cancer in perineural spaces
- Cancer in anterior muscle

JEF & GWK 122


Partin Table : memperkirakan EPE dengan menggunakan
kombinasi grade, PSA, dan Gleason score.

Anti Androgen :
1. Sterodi :
- Cyproterene acetat
- Megastrol acetat
2. Non-steroid :
- Flutamide
- Nilutamide
- Bicalutamide

Algoritma dx/ Ca. Prostat :


DRE dan PSA :
1. DRE normal  PSA total  PSA 2-10  free PSA
 PSA < 2  anual DRE & PSA
2. Abnormal DRE  Biopsi

Free PSA PSA < 2 PSA 2-4 PSA 4-10 PSA >10
 10% Ann.DRE & Biopsi Biopsi Biopsi
PSA
11-26 Ann.DRE & Ann.DRE & Biopsi Biopsi
PSA PSA
> 26 % Ann.DRE & Ann.DRE & Ann.DRE & Biiopsi
PSA PSA PSA

Cancer probability estimates of free PSA :


% free PSA % probability
 10 70
10 – 11 58
11 – 15 46
15 – 20 34
20 – 24 23
24 – 26 15
> 26 10

Pemeriksaan radiologis :
-
Thoraks foto PA/lateral
-
IVP
-
USG abdomen
-
TRUS
-
Bone survey/scanning
-
CT scanning
-
MRI
bila diperlukan

Histopatologi pre operasi :


 Sitologi urin bila didapatkan hematuria
 Colok dubur teraba nodul keras, didapatkan peningkatan PSA
> 4 ng/dl, lesi hypoekhoik pada TRUS dilakukan Biopsi prostat

Uretrosistoskopi :
 Adanya kecurigaan invasi pada uretra, bladder neck, buli-buli
dilakukan uretrosistoskopi.

JEF & GWK 123


Diagnosa stadium klinis :
 Histopatologi (sitologi urin/Biopsi)  diagnosa stadium klinis
guna memilih terapi yang adekuat untuk penderita.

Staging Batasan
Stage A1 Fokal
Stage A2 Difuse
Stage B1 Tumor pd 1 lobus kurang dari 1,5 cm
Stage B2 Tumor pada 2 lobus lebih dari 1,5 cm
Stage C Ekstensi ekstrakapsuler ke lemak
periprostatik, bladder neck atau vesikula
seminalis
Stage C1 Invasi vesikula seminalis (-)
Stage C2 Invasi vesikula seminalis (+)
Stage D1 Metastase regional ke kel. Lymfe pelvik
atau hydronefrosis karena obstruksi
uretra
Stage D2 Metastase kelenjar jauh, tulang, paru,
liver dan jaringan lunak lain

T1; secara klinis dan palpasi tumur tidak terlihat.


T1a; PA didapatkan  5% chip
T1b; PA didapatkan  5% chip
T1c; positif dari biopsi
T2a; melibatkan kurang dari setengah dari satu lobus
T2b; melibatkan lebih dari ½ lobus tapi tdk kedua lobus
T2c; melibatkan kedua lobus
T3a; keluar dari kapsul prostate.
T3b; menginvasi vesikula seminalis
T4; tumor fix, dan mengenai jaringan sekitarnya.

Stadium :
Stage I : T1aG1
Stage II : T1aG2-4, T1-2 anyG
Stage III: T3 any G
Stage IV: T4 any G, any T with N1, any T any N M1

Terapi Ca Protat :
1. Organ confined Prostatic Cancer (St A & B/ < T2c) :
a. Surgery : Radical prostatectomy : Survival 85-90 %
b. Radioterapi : Ext Radiasi ( 6000-7000 cGy), Brachiterapi
(implantasi radioaktif)
Survival 65 – 90 %
c. Wachtfull waiting (progres 10 – 25 % dlm 10 thn)
= Lower grade, small volume, and Life expectancy < 10
tahun
2. Advanced Prostatic Ca:
a. Locally advanced disease :  St C (T3NoMo)
External radiasi
Androgen Ablation
b. Metastatic disease/ Late prostatic Ca  St D (T3N+M+)
Hormonal therapy

Aktif treatment untuk early prostatic Ca :

JEF & GWK 124


1. Radical :
Prostatectomy (retropubic, perineal, laparoskopik)
Radiasi
2. Hormonal:
a. Surgical castration: Orchidectomy (respon rate 70-80 %),
alasan 90 % testosteron dalam sirkulasi diproduksi oleh
sel Leydig.
b. Medical castration :
Estrogen
LHRH analoge
c. Androgen blokade di target sel : Anti androgen (steroid,
non steroid, castration plus)
d. Maximal Androgen Blokade (MAB)
e. 5-alfa reduktase inhibitor
f. Neoadjuvan terapi
g. Adjuvan terapi.
3. Lain ; Cryotherapy.

Treatment locally advanced Prostatic Ca (St. C) :


1. Surgery : Radical Prostatectomy
Neoadjuvant dengan hormonal  down staging agar menjadi
organ confined disease : 28% , positive m argine rate 43%.
Neoadjuvant
2. Radioterapy:
3. Androgen deprivation therapy:

PROSTATEKTOMI RADIKAL
- Teknik suprapubik, insisi midline suprapubik sampai dengan 2 cm
di atas umbilikus membuang prostat, vesikula seminalis beserta
lymfedenektomi pelvik meninggalkan jaras syaraf vaskuler.
- Tehnik perineal, insisi mercy pada perineal membuang prostat,
vesikula seminalis, jaras syaraf vaskuler terpotong, insisi kedua
di atas untuk lymfedenektomi pelvik.

RADIASI EKSTERNA
Radiasi eksterna dengan rasdioterapi simulator (a.l :
Xymatron) baik untuk terapetik, adjuvan maupun paliatif.
Indikasi pada early prostatic Ca :
-
Localized Ca.
-
Life expectancy 7 – 10 thn
-
Bedah tidak suitable atau tidak mau
Dosis :
a. Low grade : 6000-7000 cGy kearah prostat.
b. High grade : 7000 cGy  kearah prostat
5000 cGy  area sekitar pelvik
Komplikasi EBRT :
Frekuency, urgency, nocturia, diarea (50%)
DE (14%), Cystitis (8%), striktur dan enteritis

RADIASI IMPLANTASI (intersitial radioterapi/ brachiterapi)


Retropubik implantasi I 125 pada prostat atau pallidum 103
Steriotactic tansgluteal CT-guided.

KEMOTERAPI
Dengan sitostatika pd kasus hormonal resisten

JEF & GWK 125


Neoadjuvan terapi :
Diberikan sebelum radical prostatectomy, dengan alasan :
- 30% yg didiagnosis localized ternyata pada open
didapatkan EPE.
- Memperbaiki success rate of surgery.
Bentuk neoadjuvant terapi :
Hormonal : Complet androgen blokade
Anti androgen mono terapi
Rasionalitas neoadjuvant terapi :
- Downstaging tumor
- Increase local control
- Reduce surgical morbidity
- Reduce operative sequelae
- Reduce time to progress
- Improve survival
Lamanya neoadjuvant : 3 bulan
Neoadjuvant juga diberikan sebelum radioterapi  dengan
maksimum androgen blokade (MAB: gosereline & flutamide)

Adjuvant terapi :  post radikal prostatektomi


Candidat :
- Px dengan positive surgical margine
- Px dengan PSA level  undetactable
- Organ confine dengan negative surgical margine dengan PSA
pre operatif > 10 ng/cc dan atau gleason score > 7.
Bentuk Adjuvant terapi :
- LHRH mono terapi (gosereline)
- Anti Antidrogen mono terapi
- Finasteride
- Orchidektomi
- Radiasi
Hasil adjuvan terapi lebih baik pada pasien post radioterapi

Kecurigaan adanya metastase Ln atau ke tulang :


- PSA > 20 ng/ml
- DRE > T3/ C
- Gleasone > 8
Diagnostik :
- CT-scan tomogram
- MRI
- Bone scan/ radiograf
Indikasi laparoskopic pelvic lympadenectomy :
PSA  50 ng/ml
PSA  20 & gleason score  7
PSA  10 & gleason score  8

PENGOBATAN PALIATIF
Terutama pengobatan bebas nyeri pada keganasan lanjut.

Radiasi eksterna pasca operasi


Dilakukan setelah TURP sebagai terapik adjuvan atau pada
prostatektomi radikal bila masih ada spillage, dosis 60 – 65 Gy.
Paliatif Radiasi eksterna untuk metastase tulang :
- Lokal, dosis 3500 – 4000 cGy selama 2 minggu
- Difus, radiasi hemibogy 800 cGy tiap kali pemberian

JEF & GWK 126


RADIASI IMPLANTASI
Dengan I 125 dimasukkan ke prostat melalui insisi suprapubik
dosis total 10.000 sampai 17.000 rads

KEMOTERAPI : Terutama untuk kasus hormonal resisten :

Obat Dosis Rout Pemberian Frekuensi


mg/m2 e hari ke
Epirubicin 25-30 i.v 1-8-15 … Tiap minggu
Adriamycin 30 i.v 1-8 Diulang tiap
4 mgg
Cyclophos 100 p.o 1 s/d 14 Diulang tiap
phamide 4 minggu
Adriamycin 50–60 i.v 1 Diulang tiap
4 minggu
Platinumcis 50–60 i.v 1 Diulang tiap
4 minggu

HORMONAL TERAPI
 Orkhidektomi subkapsuler, dengan anestesi lokal infiltrasi ke
arah funikulus atau anestesi umum atau regional, insisi pada
raphe, dibuka rongga kanan kiri, buka tunika vaginalis keluarkan
isi testis dengan meninggalkan epididimis dan kapsul.
 Medikamentosa :
- Estrogen, preparat DES dosis 3 mg/hari
- LH-RH agonis : leuprolide acetate, goserlin
- Antiandrogen : ketoconazole, flutamide
 KOMBINASI ANDROGEN BLOKADE
Kombinasi antiandrogen dengan LH-RH analog atau
orkhidektomi

RADIASI EKSTERNA
- Stage A1, A2, B1 dimana lymfedenektomi hasil (-) radiasi pada
prostat saja dosis total 6400 cGy selama 6,5 minggu.
- Stage A2, B tanpa lymfedenektomi radiasi dengan dosis 4500
cGy selama 4,5 minggu dilanjutkan pada prostatnya saja 2000
cGy selama 2 minggu
- Stage A2, B dengan lymfedenektomi hasil (+) area radiasi
diperluas sampai dengan Th 2 sampai L5 dengan dosis 4500
cGy selama 4,5 minggu dilanjutkan pada prostatnya saja 2000
cGy selama 2 minggu
- Stage C dengan lymfedenektomi hasil (-) radiasi area pelvik
dengan dosis 4500 cGy selama 4,5 minggu dilanjutkan daerah
prostat saja 2000 cGy selama 2,5 minggu
- Stage C dengan lymfedenektomi hasil (+) radiasi area pelvik bila
kelenjar para aorta positif juga diradiasi dengan dosis 4500 cGy
selama 4,5 minggu dilanjutkan daerah prostat saja 2500 cGy
selama 2,5 minggu
- Stage D1 area pelvik dengan dosis 4500 cGy selama 4,5
minggu dilanjutkan daerah prostat saja 2000 cGy selama
2 minggu

JEF & GWK 127


PENATALAKSANAAN TERAPI;
Stadium Batasan Alternatif
A
A1 Differensiasi baik, Prostatektomi radikal
fokal Radiasi eksterna
A2 Bukan well Implantasi I 125
differensiasi, difus
B,B1,B2 Prostatektomi radikal
Radiasi eksterna
Implantasi I 125
C Tumor keluar dari Prostatektomi radikal +
prostat radiasi adjuvan
Metastase jauh (-) radiasi eksterna
PSA normal
D Metastase jauh
D0 PSA meningkat Hormonal
persisten
D1 Metastase kel. Hormonal
Lymfe regional Radioterapi
D2 Metastase ke tulang Hormonal
atau organ lain
D3 Metastase jauh Kemoterapi
progresif lagi stlh
terapi hormonal

TRAUMA GINJAL

Trauma ginjal adalah suatu proses rudapaksa yang dapat


menimbulkan kerusakan ginjal, bisa menyebabkan diskontinuitas
kortex atau bahkan dapat merusak medulla sampai sistim
pielokaliks, atau merusak pembuluh darah utama ginjal. Biasanya
merupakan salah satu diagnosa sari multiple injured patient.
Klasifikasi :
1) Trauma major : 85 %
Kontusio : Memar atau hematom subkapsuler, kapsul ginjal
masih utuh
Laserasi minor : Kerusakan korteks parenkim ginjal bagian
superfisial tanpa disertai kerusakan medula atau sistim kaliks.
2) Trauma mayor (10-15 %) (Ruptur Ginjal) : Kerusakan
parenkim yang meluas mulai dari korteks dan medulla sampai
ke sistim kaliks
3) Trauma vaskuler (1 %) atau Renal vascular injury : oklusi atau
terputusnya pembuluh darah utama ginjal.

-Trauma yang paling sering dari TU


-Ginjal dilindungi oleh :
Otot lumbar
Corpus vertebra
Iga dan viscera didepannya
-Causa :- automobile accident  80 %
- Sport
-Predisposisi keadaan patologis :
Hidronefrosis, tumor  ruptur

Klasifikasi :

JEF & GWK 128


Grade I :
-mikroskopis/ gross hematuria
-Ro;  normal
-Contusio / hematome subcapsuler
-Laserasi parenchime (-)
Grade II:
-Tidak meluas
-Hematome perirenal/ dalam laserasi kortikal < 1 cm
-Ekstravasasi urin (-)
Grade III :
-Laserasi parenkhim < 1 cm ke kortex
-Ekstravasasi urin (-)
Grade IV :
-Laserasi parenkhime luas mll corticomedulla junction
-Sistim kolekting terkena
-Laserasi vasa segmental
-Trombosis a.renalis segmental, laserasi parenkhim (-)
-Parenkhim iskemia
Grade V :
-Trombosis a.renalis utama
-Multiple mayor laceration
-Avulsi a/v. renalis utama

Klasifikasi Patologis:
1. Kontusio : hematoma subkapsuler kapsul intak
2. Laserasi minor : kortek parenchym ginjal rusak,
medulla & sistem kalisial intak
3. Laserasi mayor : kerusakan kortek s/d medulla atau
sistem kalisial
4. Trauma Vaskuler: oklusi atau ruptur vasa renalis
Bila urin bocor  masuk rongga intra peritoneal  ileus paralitik
Klasifikasi Patologis :
1. Trauma renal minor (85 %)  grade I & II
2. Trauma renal mayor (15%)
3. Vasculer injury (1 %)  blunt trauma
Late Pathologic Finding :
1. Urinoma :
-Perinefric renal mass
-Hidronefrosis
-Abcess formation
2. Hidronefrosis :
-Hematome/ekstravasasi urin fibrosis Hidronefrosis
3. Arteriovenous fistel  jarang
4. Renal vascular hipertension.
Clinical Finding :
-Hematuria  gross/ mikroskopis
Derajat hematuri tdk berkaitan dengan derajat trauma
-Flank pain
-Echimosis di flank
-Fraktur iga bawah
-Nyeri abdomen  acut abdomen
-Teraba mass.
Langkah Dx/ Trauma Tumpul Ginjal
Trauma tumpul abdomen / pinggang
Multi trauma

JEF & GWK 129



Keadaan umum : kesadaran, T, N, R, t
Status lokalis : jejas, massa, nyeri tekan
Lab. : Hb, SC / BUN, Urin sedimen
Pasang infus

Pielografi Infusion, ( USG )
Tindakan pd trauma ginjal :
* Kontusio Ginjal : observasi  bila UL normal 1-2 hari KRS
Cek UL s/d 3 minggu  bahaya rebleeding
* Rupture ginjal :
KU baik & Ekstravasasi minimal / moderat

observasi
KU Labil & ekstravasasi luas  Expl. Laparotomi.
* Fragmented / shattered : Eksplorsi laparotomi
* Non visualized kontur baik : segera arterio grafi

Prinsip pengelolaan pada trauma ginjal :


- menyelamatkan /mempertahankan fungsi ginjal
- mengurangi morbiditas ginjal
1. Penetrating trauma :  harus dikerjakan explorasi laparatomi
2. trauma tumpul :
*0 Kontusio ren sikap adalah konservatif :
- bed rest total  observasi 2 x 24 jam
- anti biotika broad spektrum
- observasi ketat vital sign, status lokalis
lab.: Hb, urin , sedimen
*1 Indikasi operasi pada kontusio ren :
* perdarahan yg tdk dpt diatasi secara konservatif
* ekstra vasasi urin (urinoma)
* infeksi  abses
Bahaya rebleeding hari ke 8–10  rebound litik
Kontrol IVP : 6 minggu, --- 6 bulan

DIAGNOSTIK
a) Anamnesa :
Keluhan, kencing darah, nyeri pinggang, riwayat trauma
( mode of injury ), riwayat penyakit ginjal sebelumnya ( batu
ginjal, hidronefrosis, kista )
b) Pemeriksaan klinis :
Status Umum : Dicari apakah ada tanda kekurangan darah
atau adanya syok karena berkurangnya volume darah atau
cairan intravaskuler. Dicari apakah ada kerusakan organ lain
akibat proses rudapaksa yang dialami penderita.
Status Urologis :
Inspeksi : Dilihat apakah ada jejas, hematome, luka terbuka,
luka tusuk, luka masuk atau luka keluar akibat tembakan
didaerah perut bagian atas ( kiri atau kanan ), pinggang
(kanan atau kiri) Dicari apakah ada gross hematuria.
Palpasi : Dicari apakah ada tanda patah tulang iga 12, dan
tanda penumpukan darah didaerah ginjal. Biasanya ditemui
adanya nyeri tekan ataupun nyeri ketok pada daerah ini.
Auskultasi : Pada kasus dimana sudah terjadi inhibisi cairan
dari retroperitoneal kedalam rongga peritoneal biasanya
ditemui tanda ileus paralitik.

JEF & GWK 130


c) Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan faal hemostatik,
faal ginjal dan eritrosit dalam sedimen urine pada keadaan
syok diperlukan pemeriksaan hematokrit, analisa gas darah.
d) Pemeriksaan foto rongen
Pemeriksaan IVP di klinik ini dijadikan sebagai pemeriksaan
standard untuk penilaian klinis adanya trauma serta menilai
berat ringannya trauma ginjal. Agar dapat terlaksana penderita
tidak harus dalam keadaan syok, dan tidak ada kontrainsikasi
lain untuk pemeriksaan radiologis dengan menggunakan
kontrast serta tidak boleh menunda tindakan yang bersifat
live-saving. Pada senter yang lebih maju, umumnya diluar
negari yang dijadikan standard adalah CT-Scan.
e) Pemeriksaan penunjang lain
Pada keadaan tertentu dimana pemeriksaan IVP tidak dapat
dilakukan atau kurang informatif dapat dilakukan pemeriksaan
dengan ultrasonografi.
Pada kecurigaan trauma pedikel, dapat dilakukan
pemeriksaan arteriografi renal.

Eksplorasi emergensi : adalah suatu tindakan eksplorasi ginjal yang


mengalami trauma yang bernilai live saving dengan tujuan
mengatasi perdarahan. Selain untuk mengatasi perdarahan indikasi
lain eksplorasi emergensi adalah ; cedera vaskular ginjal, nonviable
parenchym, ekstravasi urine major. Macam perlakuan tergantung
pada derajat kerusakan ginjal yang ditemui saat eksplorasi serta
pertimbangan kondisi ginjal kontralateral. Tindakan yang paling
sering dilakukan nefrektomi. Tindakan lain yang mungkin dilakukan
adalah nefrektomi parsial, reparasi kerusakan parenkim dan sistim
kaliks serta reparasi kerusakan vaskuler.
Terapi konservatif : 85% trauma ginjal hanya membutuhkan
tindakan tirah baring.
Eksplorasi tertunda : yaitu tindakan eksplorasi yang dilakukan pada
penderita dengan terapi konservatif dengan komplikasi
berupa gejala perdarahan berulang, infeksi dan timbulnya
urinoma.
Terapi Late complication : pada penderita yang pernah
mengalami trauma ginjal dapat timbul komplikasi berupa
hipertensi, fistel arteri-venosa, urolithilasis dan pielonefritis.
Pada penderita tersebut dapat dilakukan tindakan ; terapi
urolitiasis koreksi hidronefrosis atau fistel AV, atau
nefrektomi.

1. Eksplorasi emergensi
A. Persiapan Pra Bedah gawat darurat. :
- Melakukan resusitasi kardio-pulmonal, agar optimal untuk
pembedahan emergensi
- Mempersiapkan kebutuhan cairan dan darah yang
dibutuhkan untuk pembedahan
- Memasang kateter uretra
- Melakukan informed consent

B. Alat yang diperlukan


- Satu set alat major set surgery
- Ring spreader besar
- Peralatan untuk oklusi pedikel ginjal : klem satinsky, bulldog

JEF & GWK 131


- Alat untuk diversi urine atau untuk tindakan splinting ; DJ
Stent, Gastric tube 8 Fr, Kateter folley 20 Fr
- Redon drainage set steril

C. Teknik Operasi / Eksposur ginjal


 Karena besar kemungkinan adanya trauma organ
intraperitoneal maka approach operasi adalah lewat
sayatan perut vertikal dibagian tengah.
 Penderita dalam posisi terlentang
 Buat sayatan mediana dari prosesus sifoideus kearah
simfisi pubis
 Ekspolarasi organ intraperitoneal (hepar, lien, usus,
omentum). Umumnya reparasi organ intraperitoneal
dilakukan lebih dulu, kecuali kalau perdarahan
retroperitoneal yang lebih mengancam.
 Pasang ring spreader
 Usus halus dikeluarkan dan ditempatkan diatas dinding
perut kontralateral.
 Peritoneum posterior dibuka vertikal secara tajam di
sebelah medial dan sejajar vena mesenterika inferior.
Kalau perlu agar eksposure dapat lebih baik, pada sisi kiri,
arteri dan vena mesenterika inferior dapat dikorbankan.
 Pasang klem vaskuler pada vassa renalis
 Insisi peritoneum posterior pada daerah white line
ipsilateral, kolon disisihkan ke arah medial, agar daerah
retroperitoneal ipsilateral dapat di ekpose, bebaskan
ginjal dari lemak perirenal.
 Hematome dan darah yang terkumpul pada daerah
retroperitoneal di keluarkan, nilai derajat kerusakan ginjal,
dan vaskular.
 Perlakuan terhadap ginjal yang mengalami trauma
tergantung pada beratnya kerusak-an, perkiraan waktu
yang diperlukan untuk tindakan yg bersifat koreksi,
adanya trauma penyerta lain serta keadaan umum
penderita saat operasi

D. Teknik Reparasi ginjal


 Ginjal didinginkan dengan Ice slush. Buka klem pada vena
renalis agar lokasi perdarahan dapat terlihat,
 Perdarahan diatasi dengan jahitan angka 8 dengan chromic
cat gut 4.0.
 Laserasi parenkim dijahit dgn chromc cat gut 4.0
 Drainage retroperitoneal dipasang kalau ada kecurigaan
ekstravasasi urine

E. Nefrektomi
 Pada tindakan nefrektomi parsial (atas atau bawah),
sebaiknya dilakukan ligasi arteri segmental terlebih dulu
 Kalau diputuskan untuk melakukan nefrektomi total
tindakan diawali dengan memasang klem hilus, kemudian
nefrektomi dan kemudian dilakukan double ligasi pada
arteri dan vena renalis secara terpisah dengan benang
sutera No. 1

JEF & GWK 132


F. Repair Vaskuler
 Robekan pada arteri atau vena renalis dilakukan jahitan
dengan prolene 5.0, interrupted.
 Pada trombosis yang menimbulkan oklusi mungkin
diperlukan graft yang berasal dari vena safena

G. Repair Sistem Pielokaliks


 Robekan pada pielum atau UPJ dijahit dengan chromic cat
gut 4.0 atau 5.0 dan dengan pemasangan splint

H. Teknik Eksplorasi delayed


 Ginjal di ekpose melalui sayatan lumbotomi lateral (ICS XI-
XII)
 Perlakuan pada ginjal tergantung berat ringanya kerusakan
yang ada (seperti 1d,e,f,g)

2. Terapi Konservatif

80-85% trauma ginjal merupakan kontusio dan laserasi minor, dan


tidak membutuhkan terapi pembedahan, dan hanya memerlukan
tirah baring, sampai makrokopis hematuria menghilanh dan tanda
vital normal dan stabil (berapa lama waktu yang diperlukan tidak
disebutkan dari kepustakaan). Tindakan yang dilakukan pada terapi
konservatif ini adalah :
 Tirah baring
 Monitor Tanda vital berkala (tekanan darah nadi, frekuensi nafas
dan suhu rektal)
 Monitor perubahan tanda fisik pada status lokalis : flankmass,
nyeri lokal
 Monitor tanda berlanjutnya perdarahan ; Hb, hematokrit, Urine
serial.
Terapi konservatif diangap tidak berhasil kalau didapatkan :
 Perdarahan masih berlanjut, dengan tanda flank mass
bertambah besar, atau gross hematuri menetap,
 Ekstravasasi urine yang cukup besar (urinoma)
 Komplikasi infeksi / sepsis
 Perdarahan sekunder.

3. Perawatan pasca Bedah / follow-up


 Pada penderita yang di nefrektomi perhatian harus ditujukan
pada ginjal yang masih ada agar terhindar dari proses patologi
lain yg dapat timbul
 Pada penderita yang diterapi konservatif atau dengan koreksi
pembedahan harus dilakukan pemeriksaan teratur secara
berkala agar komplikasi yang timbul berupa hipertensi, fistel
arteri-venosa, urolitiasis, hidronefrosis dan pielonefritis dapat
diketahui dan dikoreksi sedini mungkin.

JEF & GWK 133


TRAUMA BULI-BULI

Trauma buli-buli adalah hilangnya kontinuitas dari dinding buli-buli,


dapat disebabkan oleh trauma tajam, trauma tumpul maupun
iatrogenik.
Semua penderita yang dicurigai trauma buli-buli, yaitu penderita
dengan riwayat trauma yang disertai dengan :
- Tidak keluar kencing atau tidak ingin kencing
- Kencing darah atau bercampur darah
- Nyeri didaerah supra symphysis/perut bagian bawah
- Nyeri tekan didaerah abdomen dan tegang (peritonismus)
- Sistografi : ada ekstravasasi kontras
- Test buli-buli : cairan yang keluar < cairan yang masuk buli

1. Trauma tumpul : - Kontusio buli-buuli


- Ruptur buli
ekstraperitoneal
- Ruptur buli
intraperitonela
2. Trauma tajam (penetrating) :  tusuk, tembak, iatrogenik.
c. Radiologis : BOF  fr. Pelvis, benda asing/peluru
Sistogrfi  300 cc
kontras  foto AP
d. Tes buli-buli  300 - 400 cc PZ  tampung ulang.
e. Uretrogram  bila ada bloody discharge

DIAGNOSIS
a. Anamnesa :
Keluhan utama :
- nyeri didaerah supra simphysis
- kencing darah atau bercampur darah
- tidak keluar kencing dan atau tidak ingin kencing
Anamnesa kausal :
- instrumentasi didaerah urethra buli-buli
- Riwayat trauma/ fr. Pelvis
- Hematri, Anuria
- Infiltrat urin prevesikal
- Trauma perut bawah pd keadaan buli penuh

b. Pemeriksaan klinis :
1. Status umum : Tensi, nadi, respirasi (ingat ABCD, karena
biasanya disertai dgn trauma ditempat lain)
2. Status urologi :
Inspeksi :
- adanya jejas didaerah symphysis atau pelvis
- kwalitas urine yang keluar ( hematuria )
- abdomen distended bagian bawah (supra simphysis)
Palpasi
- nyeri tekan di supra simphysis / abdomen bawah
abdomen tegang (peritonismus)peritoneal iritasi,
jejas/riwayat trauma
- buli-buli tak teraba (kosong)
- terdapat infiltrat urine di daerah prevesikal
- tidak dapat kencing
- gross heaturia
- RT : landmark tdk dpt dibedakan  hematom luas

JEF & GWK 134


prostat melayang/tidak teraba ditempat

Perkusi : nyeri ketok supra simphysis

c. Pemeriksaan laboratorium :
 Sedimen urin
 Darah lengkap
 RFT, LFT, FH
 Kultur urin

d. Pemeriksaan radiologis :
- Foto polos abdomen dan sistografi
- IVP (bila juga dicurigai ada trauma di upper tract dan vital
sign-nya stabil
- Foto thoraks

e. Pemeriksaan penunjang :
- Test buli-buli :
Masukkan PZ  300 cc melalui kateter perurethra, kemudian
keluarkan lagi bila jumlah yang keluar lebih sedikit  trauma
buli-buli.
- Sistoskopi

Terapi trauma buli tergantung letaknya, yaitu extra peritoneal atau


intra peritoneal.

Terapi :
Diversi urin harus adekuat
Drainage urin dari prevesikal area
Jahit ruptur buli
Pada ruptur intraperitoneal : - Eksplorasi laparatomi

- Bladder repair

- Pasang drain cavum retzii

Pada ruptur Ekstraperitoneal :


- Konservatif : pasang DK 7 hari
- Infiltrat urin bertambah besar  Eksplorasi +drain
Komplikasi :
- Pelvic abses  ruptur ekstraperitoneal
- Peritonitis  ruptur intraperitoneal
- Partial inkontinentia laserasi bladder neck

TEKNIK OPERASI
- Beri profilaksis antibiotika (ampisili 2 gr) sebelum operasi (bila
ada hasil kultur urin, profilaksis sesuai kultur).
- Pasang foto sistografi (bila ada) pada kotak cahaya
- Setelah dilakukan anesthesi, baik regional ataupun general
penderita diletakkan dengan posisi terlentang.
- Desinfeksi (dengan larutan povidon iodin 10%) didaerah paha
atas, skrotum, penis sampai di processus xyploideus.
- Pasang duk kecil dibawah skrotumnya
- Persempit lapangan operasi dengan duk steril
- Insisi kulit midline  10 cm, lapis demi lapis dan rawat
perdarahan

JEF & GWK 135


- M. rektum abdominis di split (dipisahkan) pada linea alba
(tengah-tengah)
- Sisihkan prevesikal fat kearah kranial sehingga buli-buli terlihat
keseluruhannya dengan jelas.
- Periksa dengan teliti seluruh dinding buli-buli, tentukan letak,
jumlah, ukuran dan bentuk robekannya :
- Bila bentuk robekan tidak teratur, perlu dilakukan debridement
pada tepi-tepinya.
- Bila letak robekan di intraperitoneal, maka dilakukan repair trans
peritoneal
- Pasang DK 16 F per urethra sebelum dilakukan penjahitan buli-
buli, dan pastikan DK masuk di dalam buli (balon kateter jangan
dikembangkan dulu, agar tidak tertusuk sewaktu menjahit buli)
pada kasus - kasus ruptura yang berat atau pertimbangan lain
perlu di pasang kateter sistostomi Ch. 22 atau 24.
- Jahit robekan buli 2 lapis, yaitu :
+ Jahit mukosa-muskulari buli dengan plain cutgut 3-0 secara
jelujur biasa
+ Jahit mukosa-muskularis dengan dexon 4-0, satu-satu
- Kembangkan balon kateter dengan PZ  10cc
- Lakukan test buli-buli, untuk mengecek jahitan buli (bocor/tidak)
- Cuci lapangan operasi dengan PZ sampai bersih
- Pasang redon drain perivesikal (di cavum Retzii) dan fiksasi
dengan silk 1-0 di kulit
- Tutup lapangan operasi lapis demi lapis
- Dekatkan M. rektus abdominis dengan chromic 2-0 satu-satu
- Jahit lemak subkutan dengan plain cat-gut 3-0 satu-satu
- Jahit kulit dengan silk 3-0 satu-satu

PERAWATAN PASCA OPERASI


- Bila bising usus (+) dan tidak muntah, segera di MSS (minum
sedikit-sedikit)
- Mobilisasi sedini mungkin (bila dengan anesthesi SAB,
mobilisasi/duduk setelah 24 jam post operasi)
- Rawat DK dengan baik, perhatikan fixasinya dengan baik
- Usahakan di uresis yang cukup (minum : 2-3 liter/hari)
- Rawat luka dan vaccum drain tiap hari
- Catat produksi urin dan drain
- Lepas DK atau kateter sistostomi pada hari ke 7 dengan
profilaksis antibiotika sesuai kultur urine (ampisilin 2 gr, bila hasil
kultur (-) )
- Lepas drain, setelah lepas DK dan produksinya < 20 cc dalam 2
hari berturut-turut.

Urofarmakologi
Nama obat Pengaruh SS otonom Pengaruh
pd SSS SSPS pd miksi
Efedrin   Ret. Urin
Imipramin   Ret. Urin
Fanilefrin   Ret. Urin
Amfetamin   Ret. Urin
Metamfetamin   Ret. Urin

JEF & GWK 136


L-Dopa   Ret. Urin
Fenoksibenzam   Ink. Urin
in
Fentolamin   Ink. Urin
Metildopa   Ink. Urin
Reserpin   Ink. Urin
Neuroleptika   Ink. Urin
Prazosin   Ink. Urin
Clonidin   Ink. Urin
Oksibutinin -  Ret. Urin
Hyociamin -  Ret. Urin
Dicyclomin -  Ret. Urin
Probantin -  Ret. Urin
Betanekol -  Ink. Urin
Karbakol -  Ink. Urin
Neostigmin -  Ink. Urin
Fisostigmin -  Ink. Urin
Klorfeniramin  - Ret. Urin
Tripelenamin  - Ret. Urin
Cyproheptadin  - Ret. Urin

JEF & GWK 137


Kelainan kromosom dan genetik

Klinefelter’s syndrome :
Fost common form of primery hypogonadism and infertility in males.
Cromosome : 47,XXY
Incidence Ca mamma 20 x lebih tinggi
Delay in the onset of adolescence
Hialinisasi dan fibrosis tubulus seminiferus >>>
FSH >> dan Testosteron <<
Terapi  androgen replacement :
- Testosteron 50 – 100 mg / i.m./montly.

Turner’s syndrome (gonadal dysgenesis)


Cromosom : 45,X or XO.
Cardinal feature :
-variety of somatic anomalies,
-sexual infantilism,
-short staure.
Lymphedema of extremities and loose skin folds
Micrognathia, epicanthal folds, prominent low set ear
Fishlike mouth and ptosis.
Chest shieldlike, neck short, Hypertensi, renal abnormalities,cubitus
valgusshort fourth metacarpal.

True Hermafrodism
Ambigius genetalia
Cromosome : 46,XX (60%) atau 46,XY (20%).
Ovotestis in the inguinal region or labioscrotal folds
Criptorchidism and hipospadia are often

Female Pseudohermaphroditism.
Normal ovaries with ambigius external genetalia.
Mascullinization
Congenital adrenal hperplasiaautosomal recessive

Male Pseudohermaphroditism.
Have testis, but external genetalia not completely masculinized.
Causa : -Defect in testicular differentiation
-Kegagalan sekresi testosteron
-Faillure of target tissue response to testosterone or
dihidrotestosteron
-Kegagalan konversi testosterone menjadi
dihidrotestosteron.

Pemeriksaan pada intersexuality :


1. History : family history, pregnancy (hormon)
2. Physical examination: KGB, labioscrotal folds, RT.
3. Karyotype analysis.
4. Initial studies : Plasma 17-hydroxyprogesteron,
dihidroepiandrosterone, testosterone and dihydrotestosterone.
5. Serum elektrolite
6. Sonogram or MRI of the kidney, ureter and pelvic content.
7. Provisional diagnosis
8. Vaginogram (selected cases)
9. Endoscopy, laparotomy, gonadal biopsy.

JEF & GWK 138


JEF & GWK 139
HYPOSPADIA

Definition
Hypospadias may be defined classically as an association of three
anatomical anomalies of the penis that is :
1. an abnormal ventral opening of the urethral meatus which can be
located anywhere on the ventral aspect of the penis (the urethral
meatus may appear narrow, but is only exceptionally stenotic);
2. an abnormal ventral curvature of the penis (chordee);
3. an abnormal distribution of the foreskin around the glans with the
ventrally deficient hooded foreskin.
Looking carefully at these anomalies, hypospadias might be defined
as an atresia of the ventral radius of the penis. The corpus
spongiosum distal to the ectopic urethral meatus is atretic and is
one of the major factors of the penile chordee; the frenular artery is
always missing, even when the foreskin is intact, and in some rare
cases the ventral aspect of the corpora cavernosum is also atretic.
The aetiology of the poor development of the ventral tissues of the
penis is unclear; impaired hormonal production or receptivity,
genetic disorders or vascular anomalies have been suggested but
never confirmed, although the anomaly may have an increased
incidence in members of the same family.

The concept of the urethral plate


The urethral plate is a strip of urethral mucosa extending from the
ectopic meatus toward the glans. In the male embryo, the urogenital
plate is the horizontal segment of the urogenital sinus which
appears at 11 weeks' gestation and lies under the genital tubercle.
The urogenital plate is at the origin of the penile urethra but not the
distal urethra (glanular urethra) which has a different embryological
origin and appears later, at 4 months' gestation.

Principles of hypospadias surgery


According to the anatomical features described above, three main
steps characterize hypospadias surgery;
1. the correction of the penile chordee;
2. the reconstruction of the missing urethra (urethroplasty);
3. the covering of the penis and fashioning of the slit-shaped
urethral meatus (meatoplasty), reconstruction of the ventral aspect
of the glans (glanuloplasty), transfer of the dorsal mucosa and
dorsal skin to create a mucosal collar around the base of the glans
covering the penile shaft.

The correction of the penile chordee depends on four possible


factors;
1. the abnormal distribution of the skin around the penile shaft and
the tethering of the skin onto the underlying layers;
2. the tethering of the urethral plate onto the ventral surface of the
corpora cavernosa;
3. the atretic corpus spongiosum which extends in a fan shape from
the ectopic meatus to the glans cap;
4. in rare cases, an asymmetrical disposition of the corpora
cavernosa (atresia of the ventral aspect) can be responsible for
some residual chordee. Therefore, the correction of the chordee,
when it exists, requires;
1. the de-gloving of the penis;

JEF & GWK 140


2. the dissection of the urethral plate. It is remarkable to see the
lengthening and the narrowing of the urethral plate as soon
as it is freed from the corpora, even in posterior
hypospadias. The two lateral wings of the glans should also
be dissected extensively at this stage;
3. the excision of the atretic and fibrous corpus spongiosum
distally to the ectopic meatus;
4. in rare cases (<5%), the penis remains bent ventrally and a
dorsal plication of the tunica albuginea should be performed,
or a derotation of the corpora, which is a more complex
procedure.
The most common sutures used for urethroplasty are the 6/0 and
7/0 polydixanone, polyglactin or catgut.

When the urethroplasty is completed, the meatoplasty and


glanuloplasty are performed approximating the two wings of the
glans over the neourethra. A mucosal collar is brought ventrally
around the corona using the excess of dorsal preputial mucosa.
Urinary diversion varies with the type of reconstruction. The
reconstruction of distal hypospadias may need no urethral catheter.
The authors place a transurethral catheter (feeding tube, size 6 or
8) for between 4 and 15 days, depending on the extent of the
reconstruction. The authors no longer use suprapubic diversion,
which is favoured by some paediatric urologists.
A practical classification of hypospadias
1. The glanular hypospadias. The meatus is distal to the corona
and there is usually no chordee. The most popular procedure
used is meatoplasty advancement and glanuloplasty
incorporated (MAGPI). Alternatively, the distal urethral plate
can be tubularized if the glans groove is deep enough. Others
use a flap of shaft skin
2. Anterior hypospadias with no chordee. The meatus is at any
position between corona and mid-shaft. When the urethral
plate is wide enough a Thiersch-Duplay urethroplasty may be
used; a Mathieu urethroplasty is an alternative.
3. All other hypospadias with chordee. These require a three-
step approach as described above;
a. untethering and preservation of the urethral plate;
b. Duplay or onlay urethroplasty;
c. meatoplasty, glanuloplasty and skin cover.

Hypospadias cripple.
These usually require a complete revision of the repair. The urethral
plate, even when scarred, may be preserved in many cases and an
onlay buccal mucosal graft performed. When the tissues are too
scarred, a complete excision of the previously reconstructed urethra
is required and a tubular urethroplasty using buccal or bladder
mucosa is then recommmended.
Current techniques used by paediatric urologists. Paediatric
urologists tend to use single-stage procedures, which are usually
performed when the patient is 18-24 months of age.

Glanular hypospadias
MAGPI, described by Duckett in 1981, is not an advancement of the
meatus but a reshaping of the glans, which gives the illusion that
the urethral meatus has been moved to the tip of the penis. The

JEF & GWK 141


incision line is drawn 5 mm proximal to the ectopic meatus and
follows the cutaneomucosal junction of the prepuce. A deep vertical
incision into the glanular groove for a distance of about 1 cm opens
the dorsal meatus generously. Transverse closure of the diamond-
shaped defect thus created flattens out the glanular groove and
allows a straight stream to emerge. The ventral lip of the urethra is
fixed with a holding suture and brought forward. This tilts the glans
to a more normal conical position and allows the lateral wings of the
glans to rotate to the ventrum. A sleeve approximation of the penile
skin is performed, excising all redundant tissue and leaving a
ircumcised appearance. The MAGPI is particularly indicated when
the glans is broad and flat.

The idea of using the mucosa of the distal groove to reconstruct


minor hypospadias has been described by several authors;
1. the glans approximation procedure (GAP), described by Zaontz,
is possible when there is a wide glanular groove.
2. Gilpin describe glanular reconstruction and preputioplasty
(GRAP) using the same principle.
3. Barcat reconstructedthe distal urethra with one cutaneous flap
and one glanular flap.
In many cases of glanular or coronal hypospadias, the technique of
Mathieu (described in 1932) can be used safely.

Anterior hypospadias with no chordee: Mathieu procedure


Two parallel incisions are made on either side of the urethral plate
up to the tip of the glans and deep to the corpora cavernosum. The
incision line delineates a parameatal-based skin flap, which is
folded over and sutured to the edges of the urethral plate. The
lateral wings of the glans are generously dissected from the corpora
cavernosa. The rest of the procedure follows the recommendations
given above.

Hypospadias with chordee


Three techniques are illustrated;
1. `Yelsnar' procedure, which is based on Ransley's operation for
epispadias repair demonstrates an onlay urethroplasty, when a
pedicled foreskin flap or a free buccal mucosal graft may be
used. In both these procedures the urethral plate is lifted off the
corpora cavernosa.
2. Transverse island-flap technique which ignores the urethral plate,
which is excised, and uses a tubularized pedicled flap of foreskin
placed between the ectopic meatus and the glans. The risks of
stricture in this technique are higher because of the circular
anastomosis.
3. Any persisting chordee following these procedures is corrected
using a modified Nesbit operation.

MAGPI
Mathieu
Onlay urethroplasty
The transverse preputial island flap technique
The Yelsnar procedure

Complications
These modern techniques should give :

JEF & GWK 142


 normal-looking penis with a slit-shaped apical meatus,
 good ventral reconstruction of the glans,
 normal erections and micturition.
Complications are quite common and should not be treated for at
least 6 months after the initial procedure, to let the tissues heal
properly.
Fistulae. The fistula rate varies with the technique used; the
Mathieu procedure has a fistula rate of 4% whereas the onlay and
Yelsnar procedures have a fistula rate of 15% in our hands, rising to
20% in hypospadias cripples. This complication is more common
with free-graft urethroplasties than with vascularized grafts.

More than half of these fistulae will close spontaneously and a


minimum of 6 months is required before choosing surgical closure.
Urethral stenosis. This is rare with the modern procedures which
avoid circular anastomoses (e.g. 1% in the Mathieu procedure).
Proximal stenoses are severe complications requiring recurrent
dilatations which are accepted poorly by the child and are often
insufficient to solve the problem. A distal stricture and proximal
fistula are often associated, and the urethral calibre should always
be checked before closing a fistula. Severe strictures often require
a complete reconstruction of the urethra.
Mucosal ectropion. This is due to the prolapse of a bladder mucosal
graft and the subsequent development of pseudo-polyps, requiring
a resection. Recurrence and secondary meatal stenoses are
common.
Balanitis xerotica obliterans. This is a rare complication related to a
chronic inflammation and fibrosis of the meatus and glans.
Meatoplasty may be required. A short course of topical steroids may
also be of value.
Urethrocele. Two types of urethrocele may be distinguished. The
first appears at the level of the reconstructed urethra when its
calibre or its constitution are inadequate or when a meatal tenosis
also exists. This type of urethrocele may be encountered with a
bladder mucosal urethroplasty which becomes progressively
distended by urine flow. Second, the urethrocele may appear
proximal to the reconstructed urethra because the corpus
spongiosum is missing at this level and allows the urethral wall to
bulge out when urine is passed. Excision of the redundant urethral
tissues and treatment of the distal stenosis are required.
Hairy urethra.
This should no longer be seen with modern techniques; it is caused
by the use of scrotal skin and requires a new urethroplasty. Urethral
stones may develop in the hairy segment of the urethra.
Meatal regression or glanular dehiscence. This should be avoided
by adequate lateral mobilization of glans wings and careful midline
approximation of the glans. This complication is commonly
encountered with the MAGPI procedure. Meatal regression requires
a salvage Mathieu repair.
Persistent chordee. This is due to the inexperience of the surgeon.
A good repair with a per-operative erection test is the only way to
avoid this unacceptable complication. If the persistent chordee is
minor, dorsal plication of the tunica albuginalis is a possible option,
although ventral dissection is often needed.
Hypospadias cripples. These disasters are secondary to multiple
surgical interventions and lead to persistent chordee, fibrous

JEF & GWK 143


patches, scarred tissues, irregular skin and multiple fistulae partly
covered by skin bridges. An incorrect diagnosis, ignorance of the
principles of this fine surgery and a poor follow-up are usually
found. Neglected chordee, missed intersex, traumatizing dissection,
badly vascularized tissues, sutures under tension, inappropriate
urine drainage and infection are the main causes of such
complications.
Bad cosmetic results. Results such as redundant ventral skin, an
asymmetrical foreskin or a retracted meatus are accepted badly by
patients and require further surgical procedures.
The sexual life. Sexual function of these patients should be normal,
although it is often slightly delayed. Erection should

Trias Hipospadia :
1. Letak OUE lebih proximal
2. Ada chordae  penis bengkok.
3. Preputium bagian ventral minimal/ tidak ada, bagian dorsal
berlebihan.

Operasi hipospadia :
Usia 1 tahun  chordektomi.
Usia 1,5 tahun rekonstruksi uretrae
Kalau terjadi fistel + 6 bulan lagi.  fistulektomi.

Tanda sex primer :


- adanya gonad.
- cromosom sex.
Tanda sex scunder :
- alat kelamin luar.

JEF & GWK 144


IMPOTENSIA

Ketidak mampuan untuk : ereksi dan / atau memper-tahankan


ereksi sampai cukup untuk melakukan penetrasi vagina.
Etiologi :
1. PSIKOGEN :
- cemas
- stress
- problema perkawinan
- depresi / neurose / psikose
2. ORGANIK
- kel. endokrin : DM
- trauma
- operasi daerah pelvis
- penyakit vaskuler
- CRF
- obat-obatan, dll

TUJUAN EVALUASI:
1. Membuktikan benar tidaknya keluhan
2. Membedakan impotensi organik/
psikogenik.
3. Menentukan diagnosa etiologi dan
faktor penyebab.
4. Menentukan cara terapi
5. Evaluasi hasil terapi pasien dan pasangannya.

Pemeriksaan :
1. ANAMNESA :
- Lengkap, detail dan teliti
- Aspek seksual, medis, bedah psikis dan kebiasaan.
2. FISIK DIAGNOSTIK :
Sistematis dan menyeluruh
3. LABORATORIUM :
- DL, UL, RFT, Kadar gula darah, Hormonal.
4. PEMERIKSAAN KHUSUS :
a. NPT test
b. Test tekanan darah penis dan penobrachial indeks (PBI)
c. Test farmakologi
d. Kavernosometri & kavernosografi
e. Arteriografi
f. Test konduksi saraf dan cetusan potensial

A. NPT TEST (Nocturnal Penile Tumescene)


- Laki-laki normal tidur malam, 3 - 5 kali ereksi
spontan bersama gerakan cepat bola mata (REM)
- Asumsi :
1. Mekanisme NPT dan ereksi karena rangsangan erotik
adalah sama.
2. Impotensi psikogen tetap terjadi NPT
- Keakuratan NPT 805
- Cara : 1. Stamp test
2. Mercury Strain Gauge
3. Snap Gauge
4. Regiscan
B. TEST TEKANAN DARAH PENIS & PBI
JEF & GWK 145
- Membandingkan tekanan sistolik arteri dorsalis
penis dengan tekanan sistolik a. brachialis.
- Bila : > 0,90 : Normal
0,75 - 0,90: Mungkin normal
0,60 - 0,75: Gray zone
< 0,60 : Abnormal
Abnormal : Impoten karena vaskulogen
C. TEST FARMAKOLOGI
1. Test Papaverine : Positif bila dalam 10 menit ereksi normal
rigid angulasi > 90º, bertahan lebih dari berarti impoten
vaskulogen (-)
2. Kombinasi papaverin dan Phentolamin
3. Prostaglandin E1 (PGE1)
D. CAVERNOSOMETRI & CAVERNOSOGRAFI
Bila curiga impotensi venogen yaitu gangguan oklusi atau
kebocoran vena yang ditandai dengan :
1. Tekanan intra corporal tidak pernah melebihi
tekanan sistolik (> 100 mm Hg).
2. Tekanan intra corporal menurun cepat (< 10 detik).
3. Cavernosografi terdapat kontras dalam v. dorsalis, v. cruralis,
v. saphena.
E. ARTERIOGRAFI
Dikerjakan bila PBI abnormal serta rencana rekonstruksi
vaskuler.
F. TEST KONDUKSI SARAF & CETUSAN POTENSIAL
Dikerjakan bila curiga penyebabnya : Neurogen

TERAPI IMPOTENSI:
1. PSIKO/SEKS TERAPI
Bila penyebabnya psikogen
2. MEDIKAMENTOSA
a. Substitusi androgen
b. Yohimbine hidrochloride
c. Farmakologi intra kavernosa :
- Papaverine HCL
- Papaverine Phentolamin
- PGE1
Insiden priapismus (ereksi > 6-8 jam) :
- Papaverine 9,5%
- Papaverine phentolamin 5,3%
- PGE1 2,4%
Penanganan :
- Aspirasi darah 90 - 150 cc
- Injeksi intra kavernosa  adrenergik
- Shunting dengan winter
3. PEMBEDAHAN
a. Vaskuler
b. Pemasangan penis protesa

PROTOKOL IMPOTENSIA
Kunjungan I :
Anamnese
DP : vital sign, GE, Pulsasi a. femoralis, poplitea, daan
dorsalis peddis
LAB : RFT, BSN/2J PP, Testosteron, Prolaktin.
Kunjungan II :

JEF & GWK 146


 DP : tensi
 Injeksi intra cavernosa
 Papaverin 20 mg, atau
 Androskat 1/3 amp (pap 10 mg+fentolamin 0,3 mg), or
 PGE1 10 ug.
 Terapi kelainan Lab.
Kunjungan III :  Bila ke II < 80 %
 Injeksi pap. 40 mg, or
 Androskat 2/3 amp (pap 20+fentol 0,6), or
 PGE1 20 ug
Kunjungan ke IV :  Bila ke III < 80 % :
 Pap 80 mg
 Androskat 1 amp (pap 30 + fentol 1mg)
 PGE1 40 mg
Bila ke IV < 80 %
 Injeksi androskat 1 amp + PGE1 20 mg (Trimix)
 Bila trimix < 80 % cari alternatif lain.

JEF & GWK 147


INFERTILITAS

PASANGAN INFERTIL :
 Tidak punya anak setelah satu tahun perkawinan
 Tanpa kontrasepsi
 Koitus dengan frekwensi normal
Etiologi :
PRE TESTIKULAR : - Endokrinopati
- Sexual
dysfunction
TESTICULAR : - Kriptorkismus
- Orkhitis
- Obat-obatan
- Infeksi
- Varikokele, dll
POST TESTIKULAR :
1. Gangguan ejakulasi :
- Volume turun s/d (-)
- Retrograd
- Volume meningkat
2. Obstruksi :
- Vasektomi
- Trauma
- Infeksi, dll

ANAMNESA :
- Lama perkawinan / frekwensi koitus / potensi / libido
- Penyakit-penyakit sebelumnya
- Penggunaan obat-obatan / radiasi / daerah testis
Fisik :
- Tanda-tanda seks sekunder/ginekomasti
- Penis : hypospadia / Chorrdae, dll
- Testis : N = 2,5 x 4,5 cm
- Lebih baik Orchidometer
- Epididimis / vas deferens
- Varicocele
Analisis semen
- Tiga hari abstinensi
- Pemeriksaan min. 2x (interval 2 mg - 3 bln)
- Volume : 1,5 - 5,3
- Densitas
- Motilitas
- Morfologi
Pemeriksaan lain :
-
Test penetrasi in-vitro
-
Test penetrasi in-vivo
-
Test fertilasi in-vitro (dengan telur harmster)
-
Test immunologik
-
Pemeriksaan hormonal :
-
FSH, LH, Testoteron, Prolaktin, Thiroid

JEF & GWK 148


-
Biopsi Testis
-
Vasografi

Terapi :
1. MEDIKAMENTOSA
- Manipulasi hormon gonadotropin, FSH, LH
- Macam : Clomiphen
HCG
Bromocriptin
Testosteron
Simphatominetik
Kortikosteroid
2. PEMBEDAHAN
- Vasoligasi vena spermatika interna
- Vaso-vasostomi & Vaso epidimostomi
3. INSEMINASI ARTIFISIAL
- Menggunakan sperma suami
- Menggunakan sperma donor
4. VERTILISASI IN-VITRO
Bayi tabung
Prinsip : induksi ovulasi -- pengambilan ovum -- persiapan
sperma -- inkubasi ovum dan sperma dalam media -- transfer
embrio ke dalam uterus.
5. KONSELING
- Penjelasan yang hati-hati dan sabar
- Alternatif adopsi

ART ( Assisted Reproduuctive Technology)


Ada beberapa macam :
1. IVF : In Vitro Fertilization
2. GIFT : Gamete Intra Fallopian Transfer
3. ZIFT Zygote Intra Fallopian Transfer
4. ICSI : Intra Cytoplasmic Sperm Injection

Prinsip ART :
1. Sperma dibuat mudah masuk ruang perivitelin
2. Meng-injeksi sperma kedalam ruang perivitelin / ooplasma
Teknik ART :
1. PZO (Partial Zona Dissection). Membuat celah pada zona
pellucida.
Cara : Oosit  Enzim Hialurudinase (menghilangkan
humulus.  diletakkan dalam kulturmsukrosa hipertonik 
ooplasma mengkerut dan ruang perivitelin membesar  robek
dengan jarum. Masih perlu sperma 500 ribu – 1 juta. Fertilitas
79 %.
2. SUZI ( SubZonal Insertion).
Perlu 50 ribu sperma
Caranya seperti PZO, tapi tidak dirobek. Langsung ditusuk
jarum dan injeksi sperma 1 – 50 sperma.
3. ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection).
Cara : 1 spermatozoa  1 sel telur

Cara pengambilan Sperma :


1. MESA : Microscopic Epididymal Sperm Aspiration

JEF & GWK 149


2. PESA : Percutaneus Epididymal Sperm Aspiration
3. TESA : Testicular Sperm Extraction

Indikasi MESA/ PESA/ TESA/ ICSI :


1. CAVD : Congenital Absence of the Vas Deference
2. Obstruksi
3. Pasca GO, TBC
4. Gagal rekanalisasi
5. Post sisto-prostatektomi radikal
6. Disfungsi ejakulasi
7. Oligoo Asteno Terato Zoospermia Berat

COMPARISONS OF TESTICULAR DIMENSIONS


(LENGTH x WIDTH) AND VOLUME FOR
PREPUBERTAL AND PUBERTAL BOYS ANF
NORMAL ADULT MEN
Clinical status Volume Length (cm) X Width (cm)

Prepubertal 1 1.6 x 1.0


2 2.0 x 1.2
3 2.3 x 1.4
4 2.5 x 1.5
5 2.7 x 1.6
6 2.9 x 1.8

Pubertal 8 3.1 x 2.0


1 3.4 x 2.1
0 3.7 x 2.3
1 4.0 x 2.5
2
1
5

Adult * 2 4.5 x 2.7


0 5.0 x 3.0
2 5.5 x 3.2
5
3
0

JEF & GWK 150


HORMONAL STATUS AS A FUNCTION OF CLINICAL DIAGNOSIS
Clinical Status FSH LH Testosteron
(mlU/ml) (mlU/ml) (ng/100 ml)

Normal men Normal Normal Normal

Germinal Aplasia  Normal Normal

Testiscular failure   Normal or 

Hypogonadotropic   
hypogonadism

JEF & GWK 151


CLASSIFICATION OF MALE INFERTILITY STATUS BY CRITERIA
OF SEMEN ANALYSIS

I. Absent Ejaculation
1. Drugs
2. Surgery
3. Vascular occlusion
4. Diabetes mellitus
5. Psychologic disturbances
II. Azoospermia
1. Seminiferous tubular sclerosis
a. Klinefelter's syndorma
b. Chromatin-negative Klinefelter's syndorma
2. Germinal aplasia
a. Idiopathic
b. Drug/radiation exposure
c. Klinefelter's syndorma with mosaicism
d. XYY syndroma
3. Maturation arrest
a. Idiopathic
b. XYY syndroma
c. Varicocele
4. Ductal obstruction
5. Endocrinopathy
III.Oligospermia
1. Idiopathic
2. Cryptorchidism
3. Varicocele
4. Systemic Infection
5. Endocrinopathy
IV. Normal but Infertile
1. Gynecologic abnormality
2. Abnormal coital habits
3. Acrosomal defects
4. Immunologic
5. Unexplained
V. Asthenospermia
1. Spermatozoal structural
2. Prolonged abstinence
3. Idiopathic
4. Genital tract. Infection
5. Antisperm antibodies

JEF & GWK 152


Protokol syok anafilaktik :
Bebaskan air way, tinggikan kaki
Adrenalin 0,2 - 0,5 cc/ sub kutan .
Untuk dosis anak : 0,01cc/kg BB
O2 masker 4-6 L/mnt
Infus RL/PZ :
Tensi tidak terukur  20 cc/ kg BB
Sistole < 100 mmHg  500 cc/ ½ jam
Sistole > 100 mmHg  500 cc/ 1 jam
Tensi titik atas < 100 mmHg  Adrenalin 1 : 1000 /cc diencerkan
dgn P8 jadi 10 cc  digunakan 2-3 cc /IV pelan (anak :0,1 cc/kg
BB).
Dosis dapat diulang setelah 10 menit.
Bila gagal pasang infus adrenalin 1 : 100  0,2 - 0,5 cc / i.m.
Setelah infus terpasang berikan difenhidramin 60 - 80 mg i.v
(anak : 1 -2 mg /kg BB / i.v ). Maximal 200 mg / i.v (anak : 8 mg/ kg
BB/ i.v )
Bila terdapat wheezing berikan aminofilin 1 amp ( 240 mg) i.v pelan
dalam 20 menit ( anak 4 - 6 mg/ kg BB).
Bila infus belum dapat terpasang , tensi tetap kurang atau tak
terukur  segera ke ICU
Observasi vital sign ketat 6 jam berturut-turut, kemudian setiap 2
jam.
Sisa obat jangan dibuang.

Tranfusi :
- PRC : 4 x  x BB = cc  max / hari = 10 cc/kg BB
- WB : 8 x  x BB = cc
- Tranfusi Albumin / hari :  max : 1 gr / kg / x
Dalam gram :  x BB x 80 / 100 x 1 grm
Dalam % : 20 % =  x (BB x 80 / 20) x 1 cc
25 % =  x (BB x 80 /
25) x 1 cc
- Plasma (3%) : 100/3 x a x 1 cc
max : 20 cc / kg/ x

Hb toleransi :
Hb : 8 grm/ dL
Ht : 25 %
Alb : 2,5 grm/ dL

Tranfusi Plasma :
Indikasi :
1. Koreksi defisiensi faktor pembekuan
2. Koreksi defisiensi Ig heriditer.
3. Koreksi hipovolemia karena plasma leakage (DHF)
No. 1 dan 2 dosis :  1 jam I = 10 cc/ kg BB/ jam
jam
berikutnya : 1 cc/ kg BB/ jam
No. 3 dosis : 10 - 20 cc/ kg BB

Dopamin :
1. Dosis rendah(CVP dbn, TD ): 2 micro-grm/kg BB/mnt
JEF & GWK 153
 u/ meningkatkan flow rate pre renal
mengaktifkan reseptor dopaminergic
vasodilatsi renal vascular  diuresis
adrenergik efek minimal
2. Dosis sedang (CVP , TD , urine ) : 2 - 8 micro-grm /kg BB /
mnt
 u/ meningkatkan tensi
stimulasi beta-1  HR , CO 
3. Dosis tinggi : 8 – 20 micro-grm/ kg BB/mnt
 stimulasi alfa-1
 retensi perifer
GFR 
Cara membuat sediaan :
1 ampul dopamin = 200 mg
200 mg dopamin dilarutkan dalam 500 cc D5%
 1 cc = 200 / 500 = 0,4 mg
1 cc = 400 micro-grm
20 tts = 400 micro-grm
1 tts = 400 / 20
= 20 micro-grm
Bila BB = 50 kg
Dosis kecil = 2 micro-grm x 50 /mnt
 100 micro / mnt  100 / 20
= 5 tts / mnt

Rumus praktis = J x BB x 6 / 100 tetes per menit


J = jumlah dalam yg dibutuhkan dlm micro

Dobutamin :
- Selektif beta-1 agonis
- CO  , efek inotropik lebih baik
- Retensi perifer sedikit
- T, RBF, aliran darah mesenterik 
Dossage :
1 ampul = 250 mgr = 20 cc
Dosis awal : 0,5 micro-grm /kgBB/mnt
Cardiogenik syok 2 – 10 micro-gr /kg/mnt
Range dose : 2 – 20 micro-gr /kg/ mnt
Cara membuat sediaan :
250 mgr dalam 250 cc D5 atau PZ

AR DS:
1. Fase I :
- Gangguan perfusi dan metabolisme
- Ronkhi basah
- Foto normal
2. Fase II :
- Foto tampak kelainan
- Hipoksemia tak dpt diperbaiki dgn cara biasa respirator
3. Fasse III :
- Hipoksemia kuat
- Foto  tanda udem paru (infiltrat difuse)
4. Fase IV : - Cardiac aritmia
- Sepsis

JEF & GWK 154


- Hipoksemia berat
Patologi ARDS :
18 jam : congesti, atelektasis, intestinal udema, tromboemboli
48 jam : intra alveolaar hemorrhage
78 jam : konsistensi paru seperti hepar , alveolar turun.
Trombus / emboli vena :
Trombus  arteri / vena besar
Vena : pembentnukan fibrinogen sangat penting, sedang agragasi
trombosit hampir tidak ada, arterosklerosis tak berperan.
Faktor penentu :
1. dinding pembuluh darah
2. aliran darah
3. komponen darah

Tingkat dehidrasi :
Cairan hilang % BB Gejala klinis
A. Ringan (< 5 % BB) Irritable, bibir kering, kulit hangat &
kemerahan, turgor sedikit , rasa haus.
B. Sedang (10 % BB) Gelisah , mata cekung, tek. Intraoculer ,
demam, pucat, turgor , demam ,
takikardi, ubun cekung, oliguri.
C. Berat (> 15 % BB) Apatis / somnolent, hipotonia, mata
cekung , tek. Intra oculer jelas turun,
pucat/ cianosis, turgor , hiperpireksia,
kkejang, nadi lemah , ubun sangat
cekung.

Pemberian NPE :
A. Kurang dari 5 hari :
hari I RD5 : D5 = 2 : 3  ( =500 kcal)
hari II & III RD5 : D10 = 2 : 3  (800 kcal)
hari IV & V RD5 : D20 = 2 : 2  (1000 kcal)

b. Jika panj lewat vena perifer :


hari I  RD5 : D5 = 2 : 3
hari II & III  AA 2,5 % KH : D10 = 2 : 3  (900 kcal + 25 grm
AA)
hari IV & V  AA 2,5 % KH : D10 = 2 : 2  (1100 kcal + 25
grm AA)
c. Jika panj lewat vena central :
hari I  RD5 : D5 = 2 : 3
hari II - III  AA 5 % KH10 : D10 = 2 : 3  (1000kcal +50grm
AA)
hari IV dst AA5 % KH10 : D20 = 2 : 2  ( 1200kcal+ 50 grm
AA)

D20 diberi bersama insulin 20 IU/ 500 cc


AA 2,5 % +KH : Plasmatein ( 300 cal + 25 grm AA)
AA 5 % + KH10 : Aminofel 600 ( 450 cal/L + 50 grm AA+25 meq
K+)
Triparen : Elektrolit + glukosa + xilitol + fruktosa
Triparen No.1  933 kcal
Triparen No.2  1200 kcal
EAS 7 %  osmol rendah  1 L = 50 grm AA

JEF & GWK 155


Intralipid 10 % dan 20 %
tubuh mencerna lemak tidak bisa langsung
Amiparen  100 grm AA / L
Aminofusin  50 grm AA /L  Isi AA essensial + AA rantai
panjang
Panamin G : AA 27 grm/ L

Kebutuhan kalori pasca trauma/sepsis


1000 kcal/m2 atau
25 kcal /kg BB atau
5 gram / kg BB
Asam amino = 1 gram / kg BB
50 gr protein /hari  perlu 1200 kcal (300 gr gula)
Nutrisi Enteral dimulai diberikan jika retensi lambung < 200 cc/hari
dengan warna jernih, putih kehijauan.
Caranya : awali dengan 50 cc D 5 % / jam
Lipid diberikan 30 % dari kebutuhan kalori.
Infeksi  suhu , intake minum   uremia

Trauma score (0 - 12) :


1. Nafas, frekuensi :10 - 24 :4
25-35 :3
> 35 :2
<10 :1
0 :0
2. Usaha Bernafas :
Normal :1
Dangkal/retraksi :0
3. Tekanan sistolik
> 90 :4
70 - 90 :3
50 - 69 :2
< 50 :1
0
:0
4. Pengisian kapiler :
Normal (< 2 detik) :2
Lambat ( > 2 detik :1
Tidak ada :0

5. GCS
14 - 15 :5
11 - 13 :4
8 - 10 :3
5-7 :2
3-4 :1
<3
:0
Score : 1 - 16
Bila trauma score 9  harapan hidup 9/16 x 100 %

Koreksi elektrolit :
Kalium  Normal : 3,5 - 5 meq/L
Kebutuhan : 1 - 2 mg/ kg/ hari

JEF & GWK 156


Hati -hati pada orang tua.

Defisit K+ x BB
K+= ------------------------ x cc
10
Cara masuk  masukkan koreksi (KCl 15 %) dlm drip D5
dengan monitor EKG.
Indikasi koreksi kalium bila K < 2,5

Defisit x BB
BE = -----------------------
3

Cara masuk : - ½ bolus meylon


- ½ lagi drip
1 grm NaCl = 17,1 meq (kebutuhan harian 2 - 4 meq/kg/hr)
1 grm KCl = 13,4 meq (kebutuhan 1 - 2 meq/kg/ hr)
1 grm Na. Bic. = 5,9 meq
1 cc Meylon = 1 meq
KCl 7,5 %  1 cc = 1 meq/L
KCl 15 %  1 cc = 2 meq/ L
NaCl 15 %  1 cc = 2,5 meq/L

Analisa Gas Darah :


* Acidemia (pH turun) : [H+] > 45 atau pH < 7,35
* Alkalemia : [H+] < 35 atau pH > 7,45
* Metabolik alkalosis [HCO3-] > 35
* Metabolik asidosis [HCO3-] < 23
* Respiratori asidosis [PCO2] > 45
* Respiratori alkalosis [PCO2] < 35

Step :
1. Evaluasi pH :
- Low  asidosis – primery lesion
- High  alkalosis – primery lesion
- Normal  normal/ mixed

2. Evaluasi [HCO3-] :
- High  metabolik alkalosis
- Low  metabolik asidosis

3. Evaluasi pCO2 :
- High (hipercapnia)  respiratori asidosis
- Low (hippocapnia)  respiratori alkalosis

4. Combine information :
- pH : Low  asidemia
- [HCO3-] : Low  metabolik acidemia
- pCO2 : Low  respiratori alkalosis
overall  penderita acidemia dgn lesi primer metabolik asidosis
dengan proses kompensasi respiratori alkalosis.

5. Evaluasi proses kompensasi :


Compensasi respiratori asidosis :
a. Acut : HCO3- < 32

JEF & GWK 157


b. Cronik (2-4 hari) : HCO3- < 45
Rumus [HCO3-] = 0,43 x pCO2 + 7,6.

Alkalosis : H+ keluar sel, K masuk sel  K serum 


Asidosis : H+ masuk sel, K keluar sel  K serum 

Metabolik alkalosis :
-Retensi HCO3-
-Loss H+ >>
Causa :
 Loss H+  GIT : muntah >>
 Renal Loss H+ : -Minerallocortikoid excess
- Hipoparathiroid
 Retensi Bicarbonat :
- Pemberian NaHCO3 >>
- Tranfusi masif
Gangguan Asam Basa  mempengaruhi distribusi K+
 Asidosis  K+ keluar sel  Hiperkalemia
 Alkalosis  K+ masuk sel  Hipokalemia

Metabolik Asidosis
- Prod. H+ >>
- Ekskresi H+ <<

HCO3 - 
Ada 2 macam :
1. Anion gap meningkat
2. Anion gap normal.
Anion Gap : Perbedaan antara Na serum dan jumlah Cl +
bicarbonat.
 Bila Anion gap  (>14 mEq/lt)  berarti terjadi penambahan
asam : RF, Ketoasidosis, laktic acidosis
 Bila anion gap normal (12 mEq/lt)  berarti kehilangan
bicarbonate dengan retensi cloride : RTA, Urinari diversion,
pangkreatic fistel, diarhea.

Causa :
 Produksi asam organik >> :
Ketoasidosis diabetik
Sepsis, Shock, Perfusi 
Obat-obatan
 Kegagalan mekanisme ekskresi Ren :
Oliguri ARF
CRF
Renal Tubular Asidosis
 Bicarbonat Loss >>> :
GE, Fistel pangkreas

Koreksi Asidosis Metabolik :  Bicarbonat.


BB x 0,3 x (25 – HCO3 – serum) = mEq Bic.Nat needed
1 Ampul NaHCO3 = 44 mEq.

Menghitung Tetesan infus :


Jml cairan infus
Makro : -----------------------

JEF & GWK 158


lamanya infus x 3

Jml cairan infus


Mikro : ---------------------------
lamanya infus (jam)

Hiperkalemia : > 5,5 mEq/L


Causa :
- asidosis metabolik  K intrasel keluar
- GGA  95 % ekskresi K melalui ginjal
- Trauma jaringan >>>
- Perdarahan GI.

Gx/ :
- Aritmia, Lemah otot
- ECG : peak T wave, flat P wave, QRS melebar

Terapi :
a. Acut :
*Gluk hipertonik(D40%) + 10 - 20 UI RI.
Cont. :
Hiperkalemia 7, 8 meq di terapi dgn cara :
D40 %  25 cc + 2 unit insulin I.V. ( boleh 2 x dgn jarak 1
jam, diantaranya diberi Kalium glukonas)
Comprehensive Urologi :
- 10 IU RI + 50 cc D50%  i.v. ~ > 5 menit
- 250 mg furosemid / i.v  > 30 menit
- Kayexalate 60 gr/ oral –  eks mll GIT
*Clsium glukonas (10 %) : 10 - 20 cc / iv (cardioprotector)
*Dialisis
*Sodium bicarbonat “ 50 - 100 mEq/ iv
*Pemberian elektrolit :
Defisit + kebutuhan /hari = ………/ 24 jam
Defisit = Elekt Normal - elektrolit yg ada x BB x 0,6 meq
b. Cronik :
- Diet rendah K
Tiap perubahan pH 0,2  menimbulkan perub. K = 1 mEq
Kenaikan 3 mEq Na. serum  defisit air  1000 cc

Hipokalemia : < 3 mEq/l


causa : - Ektra renal : muntah, diare, ileus, fistel usus, combus
- Renal : shock (anoksia jaringan), diuresis >>
- Inbalance asam - basa : alkalosis, asidosis
Klinis :
- aritmia
- lemah oto, kram, mialgia, flaccid/ tetani
- ileus, mual, nokturia
- haus, gelisah  koma
- reflek tendon turun, parestesi
- ECG : flat T wave atau T terbalik, gelombang U menonjol
Terapi :
a. Non- urgent : Oral : 80 - 120 mEq/ hari (aspar K)
b. Urgent : max. : 40 mEq/ jam dgn monitor ECG

JEF & GWK 159


Hiponatremia : < 120 mmol/l
Klinis :
- mual, muntah
- muscle cramps, letargi
- gelisah, kesaaran turun
- agitasi, kejang
- sensorik turun, reflek tendon turun
- hipotermia
- nafas cheyne stokes

Terapi :
* NaCl 3 % , kec. infus : 1 mEq/L/hari (max)
* Infus PZ / RL
Defisit x BB
Natrium : ----------------------- x cc
12,5
 ½ : drip, dan ½ lagi bolus.
Atau:
Na defisit = 0,6 x LBW x (140 - Na+)

Estimasi defisit bicarbonat dan excess :


* Pada asidosis metabolik yang berat dgn HCO 3 - < 10 :
HCO3- defisit = 0,7 x LBW x [10 - HCO3-]
* Pada alkalosismetabolik :
HCO3- excess = 0,5 x LBW x [ HCO3- - 24]

Osmolalitas dan Consentrasi Na plasma :

glukose BUN
P osm = 2 x [Na+] + ------------- + -------
18
2,8

glukose
Efektif P osm = 2 x Na+ + -----------

18

Na+ + K+
Plasma Na+ = -------------------
TBW

Pada hiperglikemia :
Setiap kenaikan glukosa 62 mg/dl akan menurunkan Na : 1 meq/lt
 akibat perpindahan air dari sel ke ektra sel
Hiperglikemia  P osm meningkat, Na menurun

Hipernatremia :
Water defisit (lt) = 0,5 x LBW x (Na/140 -1)
pH turun 0,1  K+ naik 0,5 meq/lt
Acidemia  H+ plasma meningkat  masuk intra sel
K+ keluar  hiperkallemia

Penilaian Obstr. Jalan Nafas (Jackson)


Derajat I : pasien tenang hanya ada retraksi supra sternal

JEF & GWK 160


Derajat II : gelisah, retraksi supra sternal & epigastrium
Derajat III : Gelisah sukar bernafas, retraksi supra sternal,
Epigastrium,intercostal, supra & infra klcikula.
Derajat IV: Tanda 1 - 3 positif, anciety, muka pucat, pusat
pernafasan mulai letih.
Derj. II & III  segera trakheostomi
Derj. III  tidak boleh diberi sedatif

Penilaian Obstr Jalan Nafas (Silverson Anderson) :


Upper chest :
- Syncronized 0
- Lag on inspiration 1
- See saw 2
Lower Chest :
- No retention 1
- Just visible 2
- Marked 3
Xyphoid retraction :
- None 0
- Just visible 1
- Marked 2
Expiratori grubting :
- None 0
- Just visible 1
- Marked 2
Bila grade II :  siapkan trakeostomi.

Indikasi pemasangan Ventilator :


1. Respiratori faillure : nafas sponta tapi tidak adekuat
2. Penderita dgn operasi + hemodilusi
Bleeding >> ( >1/3 blood vol) dan diganti dgn RL,
dextran, PZ
3. Post trepanasi yg perlu black out (tidur tidak nafas) dgn obat
anestesi
4. Respiratori arrest :
- SGB, Fr. Cervik, miastenia gravis.

BMR = 0,75 {0,74(sistole - diastole) + Nadi } - 72.

Perawatan Insufisiensi Nafas/ Pontopidan


Tindakan
Normal Fisio tx dada Intubasi
Tx O2 & obs Nafas
ketat buatan
Mekanik :
Frek. Nafas 12 - 25 25 - 35 > 35
VC (cc/kg) 30 - 70 15 - 30 < 15
Kuat ins. cc/kg 50 -100 25 - 50 < 25
FEV1 (cc/kg) 50 - 60 10 - 50 <10
Oksigenasi : FiO2-1
Pa O2 75-100 70 - 200 < 70
Aa DO2 50-200 200-350 > 350
Ventilasi :

JEF & GWK 161


Pa CO2 35 - 45 45 - 55 > 55
VD/VT 0,25-0,4 0,4 - 0,6 > 0,6

Komposisi Cairan Tubuh :


Cairan K Na
(mEq/L) (mEq/L)
Urin 40 - 60 60 - 75
Kringat 0 10 - 20
Nafas 0 0
GIT 10 75 - 100
Ekstra sel 4 135 - 150
Intra sel 150 -170 10
RL 4 135
PZ 0 135
Estimasi Blood Volume:
Umur : cc/ kg BB
Neonatus 85
Bayi 80
Anak 75
Dewasa 65 - 70

Class I Class II Class III Class IV


Blood < 750 750 - 1500 - > 2000
loss/ cc cc 1500 2000
Blood < 15 15- 30 30- 40 > 40
loss/% %
BV
Pulse < 100 > 100 > 120 > 140
rate
BP N N  
Pulse N or    
pessure
RR 14 - 20 - 30 30 - 40 > 35
20
Urin/ jam > 30 20 - 30 5 - 15 -
CNS slight mild anxious confus
anxiou anxious confuse letargi

Anterior cord syndrom :


- Parese/ paralise
- Hilang rasa nyeri dan suhu dibawah lesi
- Sentuhan ringan, propioseptif dan vibrasi positif

Central cord sindrom :


- Parese ekstremitas atas > bawah
- Gangguan semua fungsi sensoris
- Gangguan fungsi autonom (bladder disfunction)

Brown sequard sindrom :


- Hemiseksi spina cord
- Gangguan suhu, & nyeri kontra lateral

JEF & GWK 162


- Paralisi, gangguan vibrasi dan sentuhan satu sisi (UMN :
bawah lesi, LMN : pada lesi )

Neurogenik shock : Aliran adrenergik dr simpatis ke cord


vasculer perifer hilang :
Gx/ - Hipotensi
- Bradikardi
- Hipotensi

Spinal Shock :
- Fungsi sensoris
- Fungsi motorik
- Fungsi reflek
Fungsi tersebut hilang dibawah lesi
klinis : reflek (-), paraplegi , flakcid

Tanda spinal shock :


Tensi < 90, nadi < 90
Perfusi perifer baik (akral hangat)
Tidak berkeringat, BCR negatif.

Terapi spinal shock :


Infus D5 ½ NS
Posisi trendelenberg
NGT / Kateter
Oksigen
Cegah hipotermi
Bila bradicardi < 80 beri SA 0,25 - 15 mg

Bowel sterilisasi :
a. Medikamentosa :
Kanamicin = 3x500 mg  3 hari pre op.
Neomicin 4 x 500 mg  2 hari
Metronidazol 3 x 750 mg  2 hari
Tetraciklin 4 x 250 mg  2 hari
Klindamicin 3 x 450 mg  2 hari
b. Mekanik :
- Laxan : bisacodyl
- Lavement : gliserol
Bubur rendah serat 3 hari
Lavament atas dan bawah

Paralytik Ileus :
Klinis :
1. Muntah ( >> isi lambung)
2. Abdomen distended (central)  BAB (-)
3. Flatus (-)
4. Bising usus (-)
5. Perkusi tympani
6. Takhikardi
7. hipotensi
BOF :
- Usus distended

JEF & GWK 163


- Air fluid levels

Tx/
- Konservatif : - Infus
- NG tube
Cegah adesi usus dengan :
Dextran & gelatin yg telah dimodifikasi
Perlekatan :  penyembuhan usus dari dalam
penyembuhan kulit dari luar

Penyembuhan luka :
Hemostasis Hemodinamik
Inflamasi tidak
stabil
stabil
Proliferasi
Remodeling

Peritonitis : Evaluasi
10 cc / kg
ulang
BB
Klinis : - nyeri abdomen
PRC
- mual, muntah
- febris
- perut : distensi, kaku dan nyeri tekan
- bising usus mula-2 meningkat  kmd Observasi
Operasi
turun
TakStabil
Stabil
- hipotensi shock
Lab. :
- leukositosis (DL)
- elektrolit bervariasi
- metabolik acidosis Evaluasi
Operasi
ulang

BOF  - usus besar dan halus distensi


- air fluid level
Tegak & LLD  foto diagram – volume bebas

Pre operasi :
- infus (hartman Sol)
- NGT & DK
- AB : ampi, genta, metro

Test Coma pada anak :


 Curiga hipoglikemi = D40 : 1 cc /kg BB  diencerkan dgn aqua 1
: 1  IV

Cairan Maintenance : (holiday & Segas)


Vital sign
- Sistolik = 80 mmHg + (2 x umur dlm thn)
- Diastolik = 2/3 x sistolik

Nadi Tensi RR
Infant 160 80 40
Preschool 120 90 30
Adolescen 110 100 20

JEF & GWK 164


Dosis Obat pada Anak :

Obat Route Dosis Frekuensi


(kg/dosis)
Amikasin im/iv 7,5 mg 2 x/ hari
Amoxicillin PO 7,5 mg 3 x/ hari
Ampicillin PO/IM/ IV 10-25 mg 4 x/ hari
Cefalexin IM/ IV 6,25 - 12,5 4 x/ hari
Cefazolin mg
Ceforoxim IM/ IV 12,5-25 mg 3 x/ hari
Cefoxitm
Cefotaxim IM/ IV 25-37,5mg 4 x/ hari
Ceftaziclim IM/ IV 25-50 mg 2 x/ hari
Ceftriaxon
Clindamicin PO/IM/ IV 2,5- 5 mg 3 x/ hari
Erytromisiin PO 12,5 mg 4 x/ hari
Ethambutol PO 15 mg 1 x/ hari
Gentamicin IM/ IV 2,5 mg <7thn 2x
>7thn 3x
INH PO 15 mg 1 / hari
Kloksasilin PO/IM/ IV 10-25 mg 4 x/ hari
Metronidazol PO/ IV 7-10 mg 3 x/ hari
Netilmisin IM/IV 2 mg 2x/ hari
PAS PO 100 mg 2x/ hari
Pirasinamid PO 12,5-20mg 2x/ hari
RIF. PO 10 mg 1 x/ hari
Streptomisin IM 20-40 mg 1x/ hari

Pemberian cairan.
Neonatus :
hari I : 60 - 80 cc/ kg BB
hari II : 80 - 100 cc/ kg BB
hari III dst : 100 cc/ kg BB
Bayi dan Anak :
0 - 10 kg 4 cc/ kg BB/ jam atau 100 cc/ kg BB/ hari
10 - 20 kg 40 cc , u/ tiap kenaikan / kg + 2 cc/ kg
atau 1000 cc + 50 cc/ kg BB/ hari.
> 20 kg 60 cc, u/ tiap kenaikan/ kg + 1 cc/ kg
atau 1500 cc + 20 cc/kg BB/ hari

Elektrolit :  dimulai hari ke- 2


Natrium : 3 mEq/kg BB/hari
Kalium : 2 mEq/ kg BB/ hari
Kalori :
100 kalori/ kg BB/ hari
Anak :
< 3 bulan  D10 0,18 NS
< 3 tahun  D5 ¼ NS
> 3 tahun  D5 ½ NS
< 10 kg  100 cc / 24 jam
10 - 20 kg  50 cc / 24 jam
20 - 30 kg  30 cc / 24 jam
Kalau sesak / malnutrisi  ………… 20 % v 1/3 nya

JEF & GWK 165


Kalau GGA/GGK  hanya boleh D5/D10 tanpa saline
Jumlah cairan ¼ kebutuhan /24jam + produksi urin

Transfusi :
Tanpa perdarahan  PRC :10 cc /kg /hari (sebelumnya tes lasix 1
cc/kg/IV)
Ada perdarahan  harus WB -- sesuai jumlah perdarahan
Post tranfusi : Kalsium glukonas (IV) : 1 cc / 100 cc darah yg
masuk .
Lavement  PZ 10 cc / kg BB / hari / 2 kali

JEF & GWK 166

Anda mungkin juga menyukai