Anda di halaman 1dari 44

PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA DI RUMAH SAKIT

DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)


MATA KULIAH: KESELAMATAN KERJA

DOSEN PEMBIMBING: Ns. YUNI DWI HASTUTI, M.Kep.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:

SUSILO HARTONO (22020119183157)


WARSONO (22020119183164)
INDRA A RAHMAN FAUZI (22020119183167)
MOHAMAT MUTAJIR (22020119183169)
NINA MARIYANA (22020119183168)
YUNIARTI DWI ASTUTI (22020119183176)
YOHANA HALE HERET (22020119183183)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan sarana untuk menangani masalah kesehatan,
pemulihan, serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan masyarakat, rumah sakit
mempunyai kegiatan berupa unit pelayanan gawat darurat, rawat inap, ruang
operasi, dan pelayanan penunjang seperti radiologi, laboratorium, farmasi, dan lain
– lain. Rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan baik untuk masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Rumah sakit merupakan tempat yang berisiko terjadinya Penyakit
Akibat Kerja (PAK) serta Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan pekerja rumah sakit
mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja industri lain
untuk terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja (Kementerian
Kesehatan, 2010).
Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan
memegang peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. WHO (2013)
mencatat, dari 39,47 juta petugas kesehatan di seluruh dunia, 66,7%-nya adalah
perawat. Di Indonesia, perawat juga merupakan bagian terbesar dari tenaga
kesehatan yang bertugas di rumah sakit yaitu sekitar 47,08% dan paling banyak
berinteraksi dengan pasien (Depkes RI, 2014). Ada sekitar dua puluh tindakan
keperawatan, delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang mempunyai potensi
bahaya biologis, mekanik, ergonomik, dan fisik terutama pada pekerjaan
mengangkat pasien, melakukan injeksi, menjahit luka, pemasangan infus,
mengambil sampel darah, sputum dan memasang kateter.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan
perlengkapan yang khusus ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-
pasien yang menderita penyakit, dengan prognosis dubia (Kepmenkes RI no. 1778,
2010). Pengelolaan ICU melibatkan keterampilan staff medis, perawat, serta staff
lainnya yang berkompeten serta berpengalaman dalam pengelolan keadaan tertentu

1
guna menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan sarana, prasarana, serta
peralatan khusus (Kepmenkes no. 1778, 2010)
Pelayanan ICU, saat ini, tidak terbatas hanya untuk menangani pasien pasca-
bedah saja tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa, anak, yang mengalami
lebih dari satu disfungsi/gagal organ. Kelompok pasien ini dapat berasal dari Unit
Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang Perawatan, ataupun kiriman dari Rumah
Sakit lain.2 Ilmu yang diaplikasikan dalam pelayanan ICU, pada dekade terakhir ini
telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah menjadi cabang ilmu kedokteran
tersendiri yaitu “Intensive Care Medicine”. Meskipun pada umumnya ICU hanya
terdiri dari beberapa tempat tidur, tetapi sumber daya tenaga (dokter dan perawat
terlatih) yang dibutuhkan sangat spesifik dan jumlahnya pada saat ini di Indonesia
sangat terbatas.
Data dan fakta mengenai kecelakaan dan penyakit akibat kerja di Rumah
Sakit secara global dan nasional:
1. Secara Global:
a. WHO: Dari 35 juta pekerja kesehatan : 3 juta terpajan patogen darah (2
juta terpajan virus Hepatitis B, 0,9 juta terpajan virus Hepatitis C dan
170,000 terpajan virus HIV / AIDS).
b. Dapat terjadi : 15,000 HB (70,000 HBB & 1000 kasus HIV)
c. Lebih dari 90% terjadi di negara berkembang.
2. Di luar negeri :
a. USA: (per tahun) 5000 petugas kesehatan terinfeksi Hepatitis B 47 positif
HIV dan Setiap tahun 600.000-1.000.000 luka tusuk jarum dilaporkan
(diperkirakan lebih dari 60% tidak dilaporkan).
b. SC-Amerika (1998) mencatat frekuensi angka KAK di Rumah Sakit lebih
tinggi 41% disbanding pekerja lain dengan angka KAK terbesar adalah
cedera jarum suntik (NSI-Needle Stick injuries).
c. 41% perawat Rumah Sakit mengalami cedera tulang belakang akibat kerja
(occupational low back pain), (Harber P et al,1985).
d. India; Sandeep, Shreemathi, Kalyan, Teddy, Kapil, dan Prachi (2016)
melaporkan dalam 1 tahun terakhir 5,4% perawat rumah sakit di India

2
mengalami luka akibat tertusuk jarum suntik, 7,4% mengalami varises,
dan 56,9% mengalami stress kerja.
3. Indonesia
Sementara itu data-data tentang kecelakaan dan penyakit akibat kerja pada
petugas kesehatan rumah sakit di Indonesia terutama Ruang Intensif Care Unit
(ICU) belum tercatat dan dilaporkan dengan baik, hal ini mengindikasikan
penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit di Indonesia masih
memerlukan upaya perbaikan. Angka yang dilaporkan hanyalah bersifat per
wilayah atau instansi masing-masing.
a. Penelitian yang dilakukan di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun 2016, didapatkan data sebanyak 23,81% perawat Intensive Care
Unit (ICU) mengaku pernah mengalami kejadian kecelakaan kerja umum
seperti terpeleset dan terjatuh. Perawat yang paling banyak mengalami
bahaya mekanik adalah perawat bagian ICU (32,69%). Rata – rata perawat
di seluruh unit mengaku pernah mengalami kejadian seperti tertusuk benda
tajam. Faktor psikososial seperti beban kerja berlebih, shift kerja, dan
stress akibat kerja terbanyak dialami oleh perawat pada unit Instalasi
Bedah Sentral (IBS) (31,82%) perawat pada unit ICU (27,27%), bangsal
arafah dan IMC Mina (18,18%).
b. RSU Salewangang Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, tahun 2010,
melaporkan kejadian kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik sebanyak
30 kejadian (55,6%) dari 64 kejadian, teriris 24 kejadian (37,5%), terjatuh 4
kejadian (6,3%), terkena arus listrik 2 kejadian (3,1%), tertumbuk 2 kejadian
(3,1%) dari 64 kejadian. Kecelakaan kerja lebih banyak terjadi pada Instalasi
Perawatan Anak yaitu 12 orang (14,4%) dari 16 responden, sedang yang
paling sedikit di OK yaitu 4 orang (4,8%) dari 9 responden dan ICU yaitu 4
orang (4,8%) dari 12 responden.
c. Rumah Sakit wilayah Banten meliputi RSUD Cilegon, tahun 2017,
didapatkan keterangan, dari 16 perawat ICU, 8 orang pernah mengalami
low back pain yang ringan tanpa terapi ataupun pengobatan selama bekerja
di ICU, 4 orang mengalami low back pain dengan terapi atau
menggunakan korset. Sedangkan di RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara
Serang dari 17 orang perawat ICU, hanya 4 orang yang mengalami low

3
back pain. Di ICU RSUD Adjidarmo Rangkasbitung dari 18 orang perawat
hampir sebagian besar pernah mengalami atau mengeluh low back pain.
Rumah Sakit Pandeglang jumlah perawat ICU 14 orang, 7 orang pernah
mengalami low back pain, keluhan ini menyebabkan sebagian pernah ijin
tidak masuk kerja. Adapun di RSUD Provinsi Banten dari 17 orang
perawat ICU, 5 orang pernah menderita low back pain dan menjalani
therapi. Berdasarkan data diatas disimpulkan bahwa banyak perawat ICU
yang mengalami Low back pain.

Berdasarkan uraian di atas, penyusunan makalah ini ditujukan untuk


mengidentifikasi penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang ada di rumah sakit,
khususnya di ruang Intensive Care Unit (ICU). Analisa terhadap potensi tersebut
akan dikaitkan dengan konsep dan teori, serta penelitian-penelian yang ada.
Selanjutnya dari analisis tersebut akan dirumuskan penyelesaian masalah, sehingga
diharapkan upaya penerapan manajemen resiko bisa dilakukan secara optimal.

B. Tujuan
1. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal penyakit dan
kecelakaan akibat kerja yang ada di rumah sakit
2. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengidentifikasi penyakit dan
kecelakaan akibat kerja yang ada di ruang ICU
3. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal sistem pengendalian
penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang sudah dilakukan di rumah sakit
khususnya di ruang ICU

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,
alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit
akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease.
Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa
Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun
rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi
yang berhubungan dengan pekerjaan (Hebbie Ilma Adzim, 2013).
Sedangkan kecelakaan akibat kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 03/Men/98 adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan
tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta
benda. OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan kerja didefinisikan
sebagai kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat
menyebabkan cidera atau kesakitan (tergantung dari keparahannya), kejadian
kematian, atau kejadian yang dapat menyebabkan kematian. Kejadian yang
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau yang berpontensi
menyebabkan merusak lingkungan. Selain itu, kecelakaan kerja atau
kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang tidak terencana dan tidak
terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau
radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat lainnya (Heinrich
et al., 1980).

B. Penyebab
Terdapat beberapa penyebab Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang
umum terjadi di rumah sakit, berikut ini beberapa jenis yang digolongkan
berdasarkan penyebab dari penyakit dan kecelakaan yang ada di tempat kerja:
1. Penyebab Fisik
a. Mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

5
1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah
satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk
jarum suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini
sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan
jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman
dari pasien.
2) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui
di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut
pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah
pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta
dorong, dan lain-lain.
3) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi
dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang
perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang
perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain
yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
4) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama: terpeleset, tersandung, dan
lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di
koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang
beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau
pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
5) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak
dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi
bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika
pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya
pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang
perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela
yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu
dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.

6
b Resiko bahaya radiasi
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi,
peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara
pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan
radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi
merupakan hal yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua
pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk mengukur
tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan
tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk
pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau
terapi radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila
hamil harus melapor kepada petugas”. Resiko bahaya radiasi dapat
dibedakan menjadi:
1) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel
yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung.
Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan
kedokteran nuklir.
2) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan
energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau
radiasi gelombang mikro.
c Resiko bahaya akibat kebisingan
Resiko kebisingan diakibatkan alat kerja atau lingkungan kerja yang
melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang
boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup
besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan.
Berdasar peraturan menteri kesehatan RI No 1204 tahun 2004 tentang
pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan
pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3
bulan sekali. Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS
dan hasil temuan yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan

7
dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada
Manajemen rumah sakit.
d Resiko bahaya akibat pencahayaan
Resiko pada lingkungan kerja dengan pencahayaan yang kurang atau
berlebih. Tingkat pencahayaan di seluruh area rumah sakit juga telah
dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal
yang harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan
lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu
sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat
pencahayaan pada area tersebut.
e Resiko bahaya listrik
Resiko yang diakibatkan oleh bahaya konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif
maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS.
Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off
date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang
dibawa peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada
seluruh peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga pasien
informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya
pasien rawat inap.
f Resiko bahaya akibat iklim kerja
Resiko yang berhubungan dengan suhu ruangan dan tingkat kelembaban.
Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat
mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan
secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi
tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS,
PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan
Operasional.
g Resiko bahaya akibat getaran
Resiko ini tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih
ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor

8
listrik dan pada bagian housekeeping/rumah tangga yang menggunakan
mesin pemotong rumput (bagian taman).

2. Biologi
a. Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini
di rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi
Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi
Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung
kepada pasien.
b. Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko
ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping
yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.

3. Kimia
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan
seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadaan B3,
penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib
menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet
/ MSDS), petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan
pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas
palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia
MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk
menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan
Kerja akibat B3. Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh
satruan kerja yang kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan
serta standar pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan
yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit. Pemanfaatan B3 oleh satuan
kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan
pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan

9
B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang
akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat
harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3),
untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
a. Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi: Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk
dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel
lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan
lainlain.
b. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan
lainlain.
c. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
d. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
e. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk
pengobatan pasien.
f. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.

4. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa
kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan
kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi
secara berkala oleh Unit K3.

5. Resiko Bahaya Psikologi


Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak
harmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama
pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

10
C. Dampak Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit terhadap
Penurunan Kemampuan dan Produktifitas
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja Bahaya di rumah sakit akan
berdampak pada kesehatan, keselamatan perawat,dan selanjutnya pada kualitas
pelayanan di rumah sakit. Hal ini perlu mendapat perhatian baik dari perawat
maupun rumah sakit. Jika keselamatan dan kesehatan perawat tidak
diperhatikan akan terjadi peningkatan absensi, ketidakpuasan bekerja,
produktifitas menurun, hilangnya kepercayaan diri, kreatifitas dan konsentrasi
perawat dalam bekerja. Mcnamara (2010) menjelaskan konsekuensi negatif
dari keadaan kesehatan dan keselamatan perawat yang buruk adalah penurunan
pendapatan rumah sakit, absensi, produktivitas berkurang dan kesalahan medis
(Palumbo, Mclaughlin, Mcintosh,&Rambur, 2011)
Hasil penelitian di RS UGM menunjukkan bahwa kerugian akibat
kecelakaan berupa biaya langsung sebesar Rp 11.103.014, 00 (sebelas juta
seratus tiga ribu empat belas rupiah) dan banyaknya hari kerja yang hilang
sebanyak 46 hari.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh H.W.Heinrich (1959),
ditemukan bahwa perbandingan antara biaya tidak langsung dengan biaya
langsung mengikuti rasio 4 berbanding 1. Dengan rasio tersebut, dapat
diperhitungkan kerugian tidak langsung yang ditimbulkan akibat kecelakaan di
RS UGM, yakni sebesar Rp 44.412.056 (empat puluh empat juta empat ratus
dua belas ribu lima puluh enam rupiah), selama periode 1,5 tahun (data
kecelakaan kerja Januari 2015 sampai dengan Juni 2016). Belum lagi
penghitungan biaya tidak langsung berupa hilangnya waktu oleh pekerja yang
terluka untuk menangani lukanya, hilangnya waktu kerja pekerja lain yang
membantu pekerja yang terluka, kerusakan alat, penurunan produktivitas oleh
pekerja selama masa pemulihan, yang semua itu belum diperhitungkan dalam
penelitian ini.
Data didapat dari 23 responden di RS UGM, Hasil penelitian
menunjukkan bahwa klasifikasi kecelakaan kerja menurut lokasi bagian tubuh
yang terluka paling banyak terjadi pada bagian tubuh lainnya yaitu sebanyak
19 responden (82,6%). Dalam kategori bagian tubuh lainnya adalah jari tangan,

11
telapak atau lengan. Dilihat dari jenis cidera yang paling banyak berupa NSI
(Needle Stick Injury/tertusuk jarum), di mana NSI ini banyak mengenai jari
tangan responden, baik jari tangan kanan maupun kiri.

D. Hasil Penelitian terkait Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja di Ruang


ICU
Berdasarkan hasil survey kecelakaan kerja, didapatkan hal – hal sebagai
berikut:
1. Penelitian yang dilakukan di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun 2016, didapatkan data sebanyak 23,81% perawat Intensive Care
Unit (ICU) mengaku pernah mengalami kejadian kecelakaan kerja umum
seperti terpeleset dan terjatuh. Perawat yang paling banyak mengalami
bahaya mekanik adalah perawat bagian ICU (32,69%). Rata – rata perawat
di seluruh unit mengaku pernah mengalami kejadian seperti tertusuk
benda tajam. Faktor psikososial seperti beban kerja berlebih, shift kerja,
dan stress akibat kerja terbanyak dialami oleh perawat pada unit Instalasi
Bedah Sentral (IBS) (31,82%) perawat pada unit ICU (27,27%), bangsal
arafah dan IMC Mina (18,18%).

2. Penelitian yang pernah dilakukan di Ruang ICU Rumah Sakit Umum


Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, tahun 2014, menunjukkan pola
kuman yang berpotensi sebagai infeksi nosokomial adalah Staphylococcus
aureus (72,72%), Pseudomonas aeruginosa (18,18%), dan Acinetobacter
baumannii (9,09%).
Team K3 mendapatkan perawat yang melakukan penanganan atau
perawatan pada pasien di ICU RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh
hanya 54,5% dalam katagori baik dan perawat ICU bekerja tidak sesuai
dengan SOP seperti masker yang telah digunakan digantung di leher
(100%), tidak mencuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan
(90,9%), tidak mencuci tangan sebelum kontak langsung dengan pasien
(86,4%) dan tidak mencuci tangan dengan antiseptik sebelum menangani
pasien yang rentan terhadap infeksi (45,5%).

12
3. Hasil penelitian di RSUD Pasar Rebo Jakarta tahun 2017, tentang analisis
faktor yang berhubungan dengan kejadian Needle Stick Injury(NSI) di
ruang instalasi gawat darurat dan Intensive Care, menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,003), pengalaman kerja
(p=0,000), pelatihan APD (p=0,004), recapping needle (p=0,003), sikap
(p=0,003), suasana hati (p=0,003), kelelahan kerja (p=0,004) dengan
kejadian NSI. Kelelahan kerja merupakan faktor dominan yang dapat
meningkatkan kejadian NSI. Hasil penelitian menunjukkan perlunya
diadakan pelatihan APD untuk mencegah NSI dan menghindari adanya
double shift dan overtime yang tidak diperlukan untuk menghindari
kelelahan kerja pada perawat.
Data diambil dengan menggunakan metode descriptive analytic dengan
pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah
semua perawat yang berdinas di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat)
sebanyak 34 orang, ICU (Intensive Care Unit) sebanyak 23 orang, ICCU
(Intensive Coronary Care Unit) sebanyak 21 orang dan HCU (High Care
Unit) sebanyak 22 orang di RSUD Pasar Rebo Jakarta, jadi jumlah
populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling
dengan pendekatan total sampling yaitu semua populasi dijadikan
responden dalam penelitian. Jumlah sampel dalam penelitian ini
berjumlah 100 orang perawat.

4. Hasil penelitian tahun 2017 dengan responden 81 perawat di ruang


perawatan intensif RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro dan RS. Tugurejo
Semarang, menunjukkan bahwa mayoritas responden (63,0%) mengalami
kelelahan kerja dalam kategori sedang, 23,5% mengalami kelelahan berat,
dan 13,6% mengalami kelelahan ringan. Kelelahan kerja yang dialami
berupa mengantuk, menguap, ingin berbaring, rasa tidak percaya diri,
cenderung melupakan berbagai hal, kurang sabar, pusing, dan merasa
haus. Peneliti menyarankan perawat untuk memaksimalkan motivasi kerja

13
yang dimiliki dan manajemen kerja perawat seperti, manajemen stress
koping dan manajemen waktu serta bagi rumah sakit untuk rutin
melaksanakan program refresing yang sudah ada seperti piknik minimal 1
tahun sekali.

5. Hasil penelitian analisa faktor yang mempengaruhi Low Back Pain


perawat ICU di Rumah Sakit Wilayah Provinsi Banten, tahun 2017.
dengan metode menggunakan analitik korelasional dengan potong lintang,
sampel penelitian 82 perawat ICU, dengan total sampling. Pengumpulan
data dengan kuesioner dan observasi.
Penelitian ini terbukti memiliki pengaruh yang bermakna yaitu
pengetahuan, tinggi badan, berat badan, dan frekuensi dinas malam.
Pengetahuan faktor yang paling memengaruhi kejadian low back pain
pada perawat ICU.
Berdasarkan data studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit
wilayah Banten meliputi RSUD Cilegon, didapatkan keterangan, dari 16
perawat ICU, 8 orang pernah mengalami low back pain yang ringan tanpa
terapi ataupun pengobatan selama bekerja di ICU, 4 orang mengalami low
back pain dengan terapi atau menggunakan korset. Sedangkan di RSUD
Dr. Dradjat Prawiranegara Serang dari 17 orang perawat ICU, hanya 4
orang yang mengalami low back pain. Di ICU RSUD Adjidarmo
Rangkasbitung dari 18 orang perawat hampir sebagian besar pernah
mengalami atau mengeluh low back pain. Rumah Sakit Pandeglang
jumlah perawat ICU 14 orang, 7 orang pernah mengalami low back pain,
keluhan ini menyebabkan sebagian pernah ijin tidak masuk kerja. Adapun
di RSUD Provinsi Banten dari 17 orang perawat ICU, 5 orang pernah
menderita low back pain dan menjalani therapi. Berdasarkan data diatas
disimpulkan bahwa banyak perawat ICU yang mengalami Low back pain.

6. Hasil penelitian Unit Perawatan Intensif Neonatal Dan Pediatrik RSUPN


Dr. Cipto Mangunkusumo, tahun 2013, dengan metode penelitian
dilakukan dengan cross sectional dengan desain deskruptif sederhana pada

14
75 perawat diperoleh sebagian besar responden mengalami tingkat stress
sedang dengan dominasi perawat perempuan (75,7%), perawat yang telah
menikah (73,6%), tingkat pendidikan diploma (76,6%), status
kepegawaian PNS (81,6%), dan mayoritas gaji responden antara Rp.
3000.000-4.000.000.
Status pernikahan mayoritas perawat adalah menikah (70,7%),mengalami
stress sedang sebanyak 73,6% dan stress berat sebanyak 24,5%. Individu
yang sudah menikah memiliki dampak terhadap terjadinya stress kerja.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Offer dan Schneider
(2011), bahwa perempuan yang sudah menikah bertugas juga sebagai ibu
sehingga merasa terbebani dan lebih mudah mengalami stress daripada
suami atau ayah.

15
BAB III
ANALISIS SITUASI

Terjadinya kecelakaan di rumah sakit bisa datang dari unsafe act factor ataupun
unsafe condition factor. Unsafe act misalnya datang dari sikap dan tingkah laku
pekerja yang kurang baik, kurang pengetahuan dan ketrampilan, cacat tubuh yang tidak
terlihat, keletihan kelesuan, dan sebagainya. Sementara untuk unsafe condition karena
mesin yang atau alat yang digunakan, lingkungan kerja, proses kerja, sifat pekerjaan,
cara kerja, dsb.
Beberapa regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan K3 di Rumah Sakit
diataranya UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamata Kerja, Permenkes Nomor
432/Menkes/SK/IV/2007 tentang pedoman Manajemen K3 Rumah Sakit, Permenkes
nomor 432/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar K3 Rumah Sakit. Dimana secara
keseluruhan memiliki tujuan spesifik mengenai K3 Rumah Sakit yaitu untuk
terciptanya cara kerja yang sehat, lingkungan kerja yang aman, nyaman dan dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan Rumah Sakit.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa dengan prognosis dubia. Ruang ICU menyediakan kemampuan
dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital
dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat dan staf lain yang
berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keaadaan tersebut.

16
Beberapa Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja yang mungkin terjadi di
Ruang ICU, antara lain:
Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang
No. Penyebab
Mungkin Terjadi

1. Fisik Mekanik - Tertusuk jarum suntik : tertular


HIV, Hepatitis B.
- Terjepit benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien, trolly
tindakan), terpeleset karena lantai
licin : fraktur, dislokasi, cedera
kepala.

Bising Suara monitor atau alarm ventilator :


gangguan pendengaran

Getaran Tidak ada

Cahaya Tidak ada

Radiasi Resiko terpapar radiasi, karena foto


rontgent yang dilakukan di dalam
Ruang ICU : Kanker.

Iklim Suhu ruangan yang dingin


berhubungan dengan menjaga suhu
optimal alat-alat medis : influenza,
demam, alergi.

Listrik - Hampir semua alat-alat di ICU


terhubung dengan sumber listrik
(resiko tersetrum listrik) : luka
bakar, heart attack.

17
2. Kimia Cairan Menyebabkan alergi dan iritasi :
desinfektan dermatitis.

Oksigen Resiko terjadi kebocoran dan ledakan:


luka bakar.

3. Biologi Darah Pengambilan darah, pemasangan


infus, tranfusi darah : beresiko
terinfeksi HIV/AIDS atau virus
Hepatitis B dari pasien yang dirawat
di ICU bila penggunaan APD tidak
sesuai.

Droplet Terkena percikan dahak pasien


terinfeksi bakteri tuberculosa : TBC.

Keringat Kontak fisik dengan pasien terinfeksi


virus hepatitis : penyakit Hepatitis.

Airborne Kontak dengan udara yang


terkontaminasi kuman / bakteri : flu
burung, MRSA.

4. Fisiologi/Ergonomi Pasien Mengangkat, memindahkan,


mengubah posisi pasien tidak
menggunakan teknik yang tepat : low
back pain, HNP, kelainan struktur
tulang belakang.

18
Tindakan Medis Posisi yang kurang tepat saat
memasang ETT, perawatan luka,
injeksi, Resusitasi Jantung Paru : low
back pain, HNP, kelainan struktur
tulang belakang.

5. Psikologi Analisis Beban Jumlah pasien dengan tenaga perawat


Kerja tidak berimbang, menyebabkan beban
kerja dan stressor meningkat : stress,
gastritis, vertigo, cephalgia.

Keluarga pasien Komplain keluarga atas ketidakpuasan


pelayanan : stress, vertigo, cephalgia.

Beberapa alat dengan resiko bahaya di ruang ICU: Defibrilator (resiko bahaya fisik:
listrik); bed pasien, trolly emergency (resiko bahaya fisik: mekanik)

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit akibat kerja di rumah sakit ruang Intensif Care Unit (ICU) umumnya
berkaitan dengan faktor biologi (kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien,
penularan penyakit melalui airborne, droplet dan kontak), faktor kimia (antiseptik
pada kulit, disinfektan), faktor ergonomi (angkat dan angkut, posisi
duduk/membungkuk lama, body mass pasien, yaitu ukuran fisik perawat-pasien yang
timpang ketika perawat melakukan personal hygiene, perawatan luka, melakukan
tindakan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang tepat, dsb), faktor fisika (terkena
benda tajam, lancip, panas, bahaya listrik spt penggunaan DC Shock tidak sesuai SPO).
A. Bahaya Biologi
Bahaya Biologi adalah penyakit atau gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh mikroorganisme hidup seperti bakteri, virus, riketsia, parasit
dan jamur. Sedangkan infeksi nosokomial adalah suatu keadaan infeksi yang
diperoleh dari dalam lingkungan rumah sakit, dapat merupakan suatu infeksi
endogen yang berasal dari penderita sendiri atau suatu infeksi eksogen yang
berasal dari luar penderita.
Upaya pencegahan infeksi di rumah sakit ruang Intensif terdiri dari
penerapan 2 tingkat kewaspadaan, yaitu kewaspadaan universal dan
kewaspadaan khusus.
1. Kewaspadaan Universal
Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal pelayanan kesehatan adalah
menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi
peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan
pokok yaitu:
a. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
b. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain
c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
d. Pengelolaan jarum suntik dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
e. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

20
2. Kewaspadaan khusus terdiri dari tiga jenis kewaspadaan yaitu :
a. Kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airborne)
Yaitu digunakan untuk menurunkan penularan penyakit melalui udara
baik yang berupa bintik percikan di udara (ukuran 5 µm atau lebih kecil)
atau partikel kecil yang berisi agen infeksi pada pasien yang diketahui
atau diduga menderita penyakit serius dengan penularan melalui
percikan halus di udara. Penyakit yang dapat ditularkan melalui udara
antara lain : Campak, Varisela, Tuberkulosis.
b. Kewaspadaan terhadap penularan melalui percikan (droplet)
Kewaspadaan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit dari pasien yang diketahui atau diduga menderita penyakit
serius dengan penularan percikan partikel besar (diameter> 5 µm) dari
orang yang terinfeksi mengenai lapisan mukosa hidung, mulut atau
konjungtiva mata orang yang rentan.
Percikan dapat terjadi pada waktu seseorang berbicara, batuk, bersin
ataupun pada waktu pemeriksaan jalan nafas seperti intubasi atau
bronkhoskopi.
Transmisi melalui percikan besar berbeda dengan transmisi penularan
melalui udara karena pada transmisi percikan memerlukan kontak yang
dekat antara sumber dengan penerima, karena percikan besar tidak
dapat bertahan lama di udara dan hanya dapat berpindah dari dan ke
tempat yang dekat.
Beberapa penyakit yang ditularkan melalui droplet diantaranya:
1) Haemophyllus Influenza invasive type B, termasuk meningitis,
pneumonia dan sepsis.
2) Neisseria Meningitis invasive, termasuk meningitis, pneumonia
dan sepsis.
3) Staphylococcus Pneumonia invasive multidrug resisten, termasuk
meningitis pneumonia, sinusitis, dan otitis media.
4) Bakteri infeksi saluran nafas lain dengan transmisi droplet :
Diptheria (faringeal), Mycoplasma pneumonia, Pertusis,

21
Pneumonia plague, Streptococcal pharingitis, fever pada bayi dan
anak, pneumonia, atau scarlet
5) Infeksi virus serius dengan transmisi percikan termasuk:
Adenovirus, Influenza, Mumps, Parvovirus B 19, Rubella.
c. Kewaspadaan terhadap penularan melalui kontak
Digunakan untuk mencegah penularan penyakit dari pasien yang
diketahui atau diduga menderita penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung (misalnya kontak tangan atau kulit ke kulit) yang
terjadi selama perawatan rutin, atau kontak tak langsung
(persinggungan) dengan benda di lingkungan pasien. Contoh penyakit
yang ditularkan melalui kontak adalah:
1) Infeksi gastrointestinal, respirasi, kulit luka atau kolonisasi bakteri
yang multidrug resisten sesuai pedoman program pemberantasan
2) Infeksi interik dengan dosis infeksi rendah atau berkepanjangan
termasuk: Clostridium difficile, Enterohemorrhagic E. Coli,
Shigella, hepatitis A, atau rotavirus pada pasien inkontenensia.
3) RSV, virus para influenza, atau infeksi enteroviral pada bayi dan
anak-anak.
d. Infeksi kulit yang sangat menular atau yang biasa timbul pada kulit
kering, termasuk: Difteri (kulit), Herpes simpleks (neonatus atau
mukoneonatus), Impetigo, Abses besar, selulitis atau decubitus,
Pedikulosis, Skabies, Stapilococcal furunculosis pada bayi dan
anakanak, Stapilococcal scalded skin syndrome, Zoster (diseminata
atau immunocompromised host), Viral hemorrhagic conjungtivitis,
Viral hemorrhagic fever (demam lessa atau virus Marburg)
e. Ketentuan umum pencegahan
1) Tempatkan pasien pada tempat yang terpisah atau bersama pasien
lain dengan infeksi aktif organisme yang sama dan tanpa infeksi
lain.
2) Melaksanakan kewaspadaan universal.
3) Perawatan lingkungan yaitu dengan membersihkan setiap hari
peralatan dan permukaan lain yang sering tersentuh oleh pasien.

22
4) Peralatan perawatan pasien gunakan terpisah satu sama lain, jika
terpaksa harus digunakan satu sama lain secara bersama maka
peralatan tersebut harus selalu dibersihkan dan didesinfeksi
sebelum digunakan pada yang lain.
f. Tindakan yang harus dilakukan
1) Tempatkan pasien pada ruang tersendiri atau bersama pasien lain
dengan ruang kerja lainnya.
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
3) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker, gaun pelindung
dan sarung tangan.
4) Melakukan tindakan desinfeksi, dekontaminasi dan sterilisasi,
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai dan
lain-lain terutama yang sering tersentuh oleh pasien.
5) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara
yang benar, khususnya limbah infeksi.
6) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.

3. Penyakit Akibat Kerja di ICU


a. Tuberkulosis Paru
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Asam
(BTA). Penularan penyakit ini dapat melalui droplet- droplet yang
dibawa oleh udara tuberkulosis yang berbentuk batang (basil) dan
disebut pula Basil Tahan Asam dari seseorang yang terinfeksi dengan
tuberkulosis. Kecurigaan adanya tuberkulosis paru adalah batuk lebih
dari 4 minggu, dahak bercampur darah, nyeri dada, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari, demam
dan sesak nafas.
1) Ketentuan umum pencegahan:
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan
berkala, seminar ilmiah, selebaran, poster dan lain-lain.

23
c) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution)
d) Melaksanakan kewaspadaan khusus, dengan cara
menempatkan pasien pada tempat tersendiri dengan tekanan
tinggi terpantau, minimal pergantian udara enam kali setiap
jam, pembuangan udara keluar memadai.
e) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala.
2) Tindakan pencegahan yang harus dilakukan:
a) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam
ruang perawatan, ruang konseling dan ruang kerja lainnya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d) Melakukan tindakan desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai
dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan
cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
b. Influenza
Penyakit infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus
influenza, yang penularannya dapat melalui batuk, bersin, dan tangan
yang tidak dicuci setelah kontak dengan cairan hidung/mulut.
Gejala-gejala influenza dapat berupa: Demam, kedinginan, mata
kemerahan, otot/tulang sakit, batuk, hidung berair yang mungkin
menetap selama 1-2 minggu setelah gejala lain hilang.
1) Ketentuan umum pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).

24
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan
berkala, seminar ilmiah, leaflet/brosur, poster dan lain-lain.
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala
d) Melakukan pengaturan/pemisahan penderita untuk
menghindari terjadinya penularan.
e) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution).
f) Instruksikan pada pasien untuk tutup mulut saat batuk/bersin.
2) Tindakan yang harus dilakukan:
a) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam
ruang perawatan, ruang konseling. Tempatkan pasien pada
ruang tersendiri dan atau bersama pasien lain dengan ruang
kerja lainnya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker N 95 bila
berada/bekerja dengan jarak kurang dari 1 m dari pasien, dan
sarung tangan.
d) Melakukan tindakan desinfeksi, dekontaminasi dan
sterilisasi, terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja
kerja, lantai dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan
cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada pasien.
c. Hepatitis
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang
manifestasinya dapat sebagai Hepatitis B akut maupun dalam bentuk
sebagai pengidap (karier) kronik HBsAg. Cara penularannya dapat
melalui darah atau cairan tubuh lainnya dari penderita HBV maupun
pengidap HBsAg. Gejala penyakitnya dapat berupa demam, lemah,

25
mual/muntah, rasa tak enak di epigastrium dan kemungkinan disertai
ikterik.
1) Ketentuan umum pencegahan:
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan
berkala, seminar ilmiah, selebaran, poster dan lain-lain.
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala
d) Melakukan pengaturan/pemisahan pasien untuk menghindari
terjadinya penularan.
e) Tutuplah luka bila ada.
2) Tindakan yang harus dilakukan:
a) Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian perawat terhadap
penyakit hepatitis B dan penularannya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d) Melakukan tindakan desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai
dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan
cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Memberikan vaksinasi kepada petugas.
g) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
h) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
d. Resistensi
Suatu keadaan dimana mikroba sudah tidak peka lagi terhadap
antimikroba pada pemberian yang rasional. Resistensi di instalasi
farmasi dan intensif care dapat terjadi karena kita menghirup atau
terpajan antimikroba atau sitostatika dalam pembuatan dan peracikan

26
obat. Ciriciri resistensi adalah bila kita terinfeksi dengan mikroba
tertentu kemudian diberi antimikroba yang sesuai namun tidak
memberikan respon yang positif.
1) Ketentuan umum pencegahan:
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Melakukan pekerjaan dengan sarana dan prasarana yang
memenuhi syarat.
c) Memberikan pengetahuan tentang resistensi serta bahaya
resistensi terhadap tubuh.
d) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
sesudah bekerja secara berkala.
2) Tindakan yang harus dilakukan:
a) Cuci tangan sebelum bekerja.
b) Gunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker,
baju lab, tutup kepala sebelum bekerja.
c) Bekerja pada tempat yang memenuhi syarat.
d) Laporkan hasil pemeriksaan berkala.
e) Jika terjadi kelainan maka perlu dilakukan tindak lanjut
pekerjaan.
f) Berikan pengobatan sesuai dengan standar medis.
e. HIV/AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini
menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan kemampuan tubuh
untuk melawan infeksi dan penyakit. Mayoritas tanda dan gejala yang
didapat pada pasien HIV ditemukan pada tahp lanjut atau tahap terakhir
infeksi HIV
1) Tanda dan gejala
a) Noda limfa atau kelenjar getah bening membengkak pada
bagian leher dan pangkal paha.
b) Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
c) Merasa kelelahan hampir setiap saat.
d) Berkeringat pada malam hari.

27
e) Berat badan turun tanpa diketahui penyebabnya.
f) Bintik-bintik ungu yang tidak hilang pada kulit.
g) Sesak napas.
h) Diare yang parah dan berkelanjutan.
i) Infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina.
j) Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.
2) Cara penyebaran HIV
Berikut ini adalah beberapa cara penyebaran HIV lainnya:
a) Penularan dari ibu kepada bayi pada masa kehamilan, ketika
melahirkan atau menyusui.
b) Melalui seks oral.
c) Pemakaian alat bantu seks secara bersama-sama atau
bergantian.
d) Melalui transfusi darah dari orang yang terinfeksi.
e) Memakai jarum, suntikan, dan perlengkapan menyuntik lain
yang sudah terkontaminasi, misalnya spon dan kain
pembersihnya.
3) Pencegahan dan pengendalian resiko tertular di ruang icu/rumah
sakit:
a) Alat Pelindung Diri dan Standar Prosedur Operasional
b) Mengganti sarung tangan apabila terjadi sobek dan menutup
ekstrimitas atau bagian tubuh luka terbuka yang kontak dengan
darah/cairan tubuh pasien HIV/AIDS.
c) Memberi pengarahan, pelatihan, seminar dan workshop agar
melakukan pekerjaan sesuai dengan SPO yang telah tersedia
diharapkan meningkatnya pengetahuan akan menurunkan
angka kecelakaan kerja dan meningkatkan kewaspadaan.

B. Bahaya Kimia
Adanya zat-zat kimia di rumah sakit dapat menimbulkan bahaya bagi
pasien, maupun bagi para pekerjanya, baik bagi para dokter, perawat, teknisi

28
dan semua yang berkaitan dengan pengelolaan rumah sakit terutama ruang
ICU.
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi:
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai,
desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-
lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk
pengobatan pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
7. Gas Oksigen
a. Sifat-sifat oksigen: Stabil pada suhu dan tekanan normal, berbentuk
gas dan cair, bersifat oksidator, membantu pembakaran, tidak
berwarna, sedikit berbau dan tidak berasa. Berat molekul = 31.9988
gr/mol, titik didih pada 1 Atm = - 182,920C, dapat larut di alkohol.
b. Tipe bahaya : Kebakaran
1) Bahaya: bersifat oksidator, membantu proses pembakaran/
memperbesar nyala api.
2) Pencegahan: jauhkan gas oksigen dari minyak, oli, gemuk, api,
dan zat-zat lain yang mudah terbakar.
3) Tindakan: Jika terjadi kebakaran gunakan pemadam api; Dry
Chemical, CO2, semprotkan air pada silinder O2 yang ada di
sekitarnya supaya dingin.

29
c. Bahaya: Ledakan.
1) Bahaya: Bisa menimbulkan ledakan, pecahnya tabung silinder.
2) Pencegahan: jauhkan dari api atau sumber panas lainnya,
terutama pada tabung bertekanan tinggi (150 atm) dapat
meledak/pecah jika terkena panas tinggi, pasang safety.
d. Pemaparan: Inhalasi.
1) Gejala akut: Menyebabkan iritasi, pusing jika terhirup oksigen
murni dalam jumlah besar.
2) Pencegahan: hindari hirup O2 dalam julah besar, pindahkan, jika
ada tabung bocor.
3) Pertolongan pertama: Bawa penderita ke tempat yang segar dan
istirahatkan.
e. Pemaparan: Kulit.
1) Gejala akut: Kulit melepuh atau luka beku karena pengaruh dingin
jika terkena O2 cair.
2) Pencegahan: Pakai sarung tangan, sepatu pelindung, hindari
kontak kulit dnegan O2 cair.
3) Pertolongan pertama: Siram dengan air hangat (30-400C) pada
bagian kulit yang terbakar atau luka.
f. Pemaparan: Mata
1) Gejala akut: Penglihatan kabur dan iritasi mata.
2) Pencegahan: Pakai pelindung mata saat menangani O2 cair.
3) Pertolongan pertama: Bilas mata dengan air bersih ± 15 menit.

C. Bahaya Ergonomi
Risiko bahaya ergonomik, yang merupakan hasil dari ketidak sesuaian
antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan cara kerja dan lingkungan
kerjanya. Permasalahan ergonomi di instalasi perawatan intensif berkaitan
dengan postur, kekuatan dan frekuensi.
Permasalahan ergonomi di instalasi perawatan intensif bisa
diidentifikasi berdasarkan:

30
1. Rutinitas dan pendistribusian, seperti angkat dan angkut, posisi
duduk/membungkuk lama saat melakukan pemasangan infus atau tindakan
keperawatan, ketidaksesuaian antara peralatan dan postur tubuh perawat
(saat memberikan makanan via NGT posisi tangan terus diangkat), selisih
body mass pasien dengan ukuran fisik perawat (ketika perawat melakukan
personal hygiene, perawatan luka, memindahkan pasien dari brankar ke
tempat tidur), saat melakukan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang
tepat.
2. Permasalahan ergonomik lainnya adalah yang berhubungan dengan
lingkungan kerja seperti display unit, yaitu penataan ruang kerja termasuk
pencahayaan dan warna nya yang apabila tidak ergonomik akan
menimbulkan masalah dan kecelakaan kerja. Spt tinggi tangga lantai
dengan langit-langit yang terlalu rendah.
3. Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah manajemen
waktu dan hubungan antar manusia dilingkungan pekerjaannya.
Pengendalian ergonomi dipakai untuk menyesuaikan tempat kerja
dengan pekerja. Pengendalian ergonomik berusaha mengatur agar tubuh
pekerja berada di posisi yang baik dan mengurangi risiko kerja. Pengendalian
ini harus dapat mengakomodasi segala macam pekerja. Pengendalian
ergonomik dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yang disusun sesuai
dengan metoda yang lebih baik dalam mencegah dan mengendalikan risiko
ergonomik.
1. Pengendalian teknik adalah metoda yang lebih diutamakan karena lebih
permanen dan efektif dalam menghilangkan risiko ergonomi.
2. Pengendalian teknik yang bisa dilakukan adalah memodifikasi, mendesain
kembali tata ruang atau mengganti tempat kerja, bahan/objek/desain
tempat penyimpan dan pengoperasian peralatan di ruang ICU
3. Pengendalian administratif yang berhubungan dengan bagaimana
pekerjaan disusun, seperti: jadwal kerja, penggiliran kerja dan waktu
istirahat, program pelatihan dan serta program perawatan dan perbaikan.

31
4. Pengendalian cara kerja yang berfokus pada cara pekerjaan dilakukan,
yakni: menggunakan mekanik tubuh yang baik dan menjaga tubuh untuk
berada pada posisi netral.

D. Bahaya Fisika
Faktor fisika merupakan salah satu beban tambahan bagi pekerja di
rumah sakit yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangannya
dapat menyebabkan penyakit akibat kerja. Faktor fisika di IFRS terdiri dari
mekanik, bising, listrik, dan radiasi.
1. Mekanik
a. Potensial bahaya : tertusuk jarum suntik, terjepit benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien, trolly tindakan), terpeleset karena lantai licin
b. Pengendalian resiko bahaya:
1) Resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum.
Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain: penggunaan safety
box limbah tajam dan kebijakan dilarang menutup kembali jarum
bekas.
2) Pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring,
pemasangan rambu “awas licin”.
2. Bising
a. Potensial bahaya: suara monitor atau alarm ventilator
b. Pengendalian resiko bahaya :
1) Suara monitor disetting sesuai dengan standar
2) Segera mencari penyebab dan selesaikan masalah mengapa alarm
berbunyi
3. Listrik
a. Potensial bahaya :
1) Hampir semua alat-alat di ICU terhubung dengan sumber listrik
2) Resiko tersetrum listrik dari stop kontak yang terbuka atau kabel
yang terurai ke lantai atau saat operasional DC Shock melakukan
Kardioversi/Defibrilasi tidak sesuai dengan SPO, sehingga
petugas/perawat ikut terkena strum aliran listrik.

32
b. Keluhan : terasa panas dan kedutan
c. Walk through survey : adanya aliran listrik yang tidak terpelihara
d. Efek kesehatan : luka bakar ditempat tersengat aliran listrik, kaku pada
otot ditempat yang tersengat listrik, tahanan tubuh membesar
e. Pengendalian
1) Pemasangan grounding (pertanahan) sesuai ketentuan.
2) Pengukuran jaringan/instalasi listrik
3) NAB bocor arus 50 miliamper, 60 Hz (sakit)
4) Pemasangan pengamanan/alat pengamanan sesuai ketentuan
5) Pemasangan tanda-tanda bahaya dan indikator
4. Radiasi
Efek radiasi terhadap kesehatan dapat akut atau kronik. Efek kesehatan ini
tergantung dosis dan waktu pemajanan mulai dari gejala akut ringan
sampai kematian.
a. Radiasi yang akut dapat menimbulkan : sindrom sistem syaraf pusat,
gangguan gastrointestinal, gangguan sistem hemopeoetik
b. Radiasi yang kronik menimbulkan : Leukomogenesis, Karsiogenesis,
Kerusakan genetik
c. Pengendalian
1) Peralatan ditaruh pada ruang isolasi (beton-Fb)
2) Operator harus dilindungi dari paparan
3) Penggantian operator X-ray bila film badge telah mencapai NAB
4) Alat pelindung diri : apron

E. Bahaya Psikososial dan Stress


ICU (Intensive Care Unit) merupakan salah satu lingkungan kerja yang
memiliki kecenderungan stres tinggi. Penyebab stres perawat ICU diantaranya
adalah: kondisi klien yang kritis, ruang ICU yang dilengkapi dengan fasilitas
canggih, suasana kerja yang sibuk serta menuntut ketrampilan yang khusus.
Jika stres kemudian bertambah maka perawat akan mengalami berbagai gejala
stress yang dapat mempengaruhi kinerja dan kesehatannya, bahkan dapat
mengancam kemampuannya untuk mengatasi lingkungannya. Upaya

33
pencegahan stres kerja perawat di ICU dapat melalui pendekatan individual,
pendekatan organisasi, dan pendekatan sosial budaya, agama, olah raga dan
medik / psikiatrik.
Perawat di ruang ICU harus mampu melakukan interpretasi keadaan
klien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa
serta dapat bertindak mandiri dalam menagani kegawatan sebelum dokter
datang. Sehingga apabila kondisi fisik dan psikologis perawat terganggu akan
membahayakan keselamatan klien karena perawat tidak mampu melaksanakan
tugas dengan semestinya.
1. Penyebab Stres di Tempat Kerja.
a. Bentuk tugas
Monoton, tugas yang tidak berarti, tidak ada variasi, tugas yang tidak
menyenangkan, tugas yang tidak disukai.
b. Beban dan kecepatan kerja
Terlalu banyak atau terlalu sedikit dan bekerja dibawah tekanan waktu.
c. Jam kerja
Jadwal kerja yang ketat dan tidak fleksibel, Jam kerja yang panjang, Jam
kerja yang tidak dapat diprediksi. Rancangan sistem shift yang buruk.
d. Kontrol dan partisipasi
Tidak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Tidak adanya kontrol
dalam sistem kerja misalnya jam kerja, jam lembur.
e. Pengembangan karir, status dan pembayaran
Posisi kerja yang tidak didukung atau tidak aman, Tidak adanya prospek
promosi. Promosi yang kurang atau berlebihan, Nilai sosial kerja
rendah, Sistem penggajian yang tidak memuaskan. Sistem evaluasi
yang tidak adil. Tugas tidak sesuai dengan kemampuan, terlalu tinggi
atau terlalu rendah.
f. Peran di organisasi
Peran tidak jelas, peran yang menimbulkan masalah, terlalu besar
tanggung jawab, terus menerus menyelesaikan masalah.
g. Hubungan antar individu

34
Hubungan antar sesame-antar posisi tidak baik, Tidak ada dukungan,
Terisolasi atau pekerjaan yang terisolasi. Pelecehan termasuk pelecehan
seks, dijahati, ditekan.
h. Kultur organisasi
Kepemimpinan dan komunikasi yang buruk. Tujuan dan struktur
organisasi yang tidak jelas.
i. Lingkungan kerja
Tidak nyaman, berbahaya, bising, polusi.
j. Lain-lain
Konflik antara beban tugas di tempat kerja dan di rumah.Tidak adanya
dukungan di tempat kerja bila ada masalah di rumah atau sebaliknya.
2. Akibat dari Stres
Pengaruh stress pada setiap orang berbeda. Perubahan yang timbul akibat
stres dapat berupa perubahan perilaku dan mempengaruhi kesehatan
mental dan fisik. Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan masalah
psikologis yang mengarah ke psikiatri penyalahgunaan obat, minum
alkohol dan kemudian tidak datang untuk bekerja. Stres juga dapat
menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi.
a. Masalah psikologis yang mungkin muncul akibat stress
1) Lebih mudah tersinggung atau sedih
2) Makan berlebihan
3) Tidak dapat berkonsentrasi atau santai
4) Sulit berfikir secara logis dan sulit mengambil keputusan
5) Sulit menikmati pekerjaan dan tidak patuh
6) Merasa lelah, tertekan dan terganggu.
7) Sulit/gangguan tidur
8) Histeri dan gangguan psikiatri
9) Bunuh diri
b. Masalah fisik yang mungkin muncul akibat stres
1) Penyakit kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah
2) Gangguan saluran cerna seperti dispepsia, ulkus peptikus.

35
3) Gangguan neuro-musculoskeletal seperti sakit punggung/ pinggang,
sakit kepala.
4) Kanker
c. Pengaruh stres pada organisasi/rumah sakit
1) Sering tidak masuk
2) Komitmen bekerja menurun
3) Produktivitas menurun
4) Peningkatan terjadinya kecelakaan kerja
5) Peningkatan ketidakpuasan pelanggan
6) Merusak citra
3. Pencegahan dan Pengelolaan Stres
Adanya masalah stres di tempat kerja merupakan tantangan organisasi
untuk menyehatkan organisasi dan pekerjanya. Ada dua hal yang dapat
dilakukan oleh organisasi yaitu:
a. Terapi organisasi/pencegahan stress
Hal ini adalah cara langsung untuk mengurangi stres di tempat kerja.
Pendekatan yang dilakukan adalah: mengidentifikasi penyebab stress
(stressor), mengembangkan strategi untuk menurunkan atau
menghilangkan penyebab stres tersebut. Metode ini sering tidak disukai
pimpinan karena dapat mempengaruhi rutinitas jadwal kerja atau
bahkan dapat mengubah struktur organisasi.
1) Seleksi dan Penempatan
Disamping ada beberapa pekerjan yang lebih menimbulkan stres
dari pada pekerjan lainnya, orang - orangnya juga berbeda satu
sama lain dalam responnya terhadap situasi kerja. Misalnya
beberapa orang yang sedikit pengalamannya atau mereka yang
pusat kontrol pribadinya bersifat eksternal, cenderung untuk lebih
beresiko stres. Sehingga keputusan-keputusan untuk seleksi dan
penempatan harus memperhatikan hal tersebut diatas.
2) Penetapan Tujuan
Penggunaan tujuan–tujuan dapat mengurangi stress dan dapat
memberikan motivasi. Tujuan khusus yang dipersepsikan oleh

36
yang bersangkutan akan memperjelas harapan-harapan dan
meningkatkan kinerja.
3) Pendisainan Kembali Pekerjaan
Pendisainan kembali pekerjaan – pekerjaan dapat memberikan para
karyawan tanggung jawab yang lebih tinggi, kerja yang lebih
berarti, autonomi yang lebih banyak dan peningkatan umpan balik.
4) Pengambilan keputusan Secara Partisipatif.
Dengan memberikan para karyawan suara dalam keputusan –
keputusan, dapat mempengaruhi kinerja.
5) Komunikasi Organisasi
Menggunakan komunikasi efektif sebagai cara untuk memperbaiki
presepsi karyawan.
6) Mengadakan program – program kebugaran
7) Mengadakan Pelatihan yang baik untuk pekerjaan
8) Memberikan pelatihan/seminar/workshop managemen stres
b. Terapi individu/Pengelolaan stress
Pendekatan ini adalah pendekatan yang berfokus pada individu dan cara
untuk mengatasi sesuai dengan kebutuhan melalui penyusunan program
pengelolaan stres. Pekerja belajar dari program tersebut mengenai sifat,
sumber stres, efek pada kesehatan dan kemampuan/ketrampilan untuk
mengurangi stres. Cara ini mudah untuk diterapkan tetapi ada
kelemahannya yaitu hanya berkonsentrasi pada individu sehingga
sering akar masalah penyebab stres terabaikan. Perubahan yang terjadi
pada satu RS adalah penurunan kesalahan medikasi sebanyak 5%. Hasil
dari 22 RS menunjukkan penurunan malpraktek sebanyak 70% dan
pada 22 RS pembanding yang tidak menerapkan program tersebut tidak
terjadi penurunan malpraktek.
Cara mencegah stres kerja menurut Makmuri (1999) dilakukan dengan
cara manajemen stres yang dapat dilakukan dengan cara melakukan
pendekatan – pendekatan individual dan organisasi.

37
c. Pendekatan – pendekatan individual
1) Manajemen waktu
Prinsip–prinsip yang dianggap terkenal dalam manajemen waktu
adalah:
a) Membuat daftar harian tentang kegiatan – kegiatan yang
harus diselesaikan
b) Memprioritaskan kegiatan – kegiatan atas dasar kepentingan
dan urgensinya
c) Membuat jadwal kegiatan – kegiatan menurut prioritas yang
telah ditetapkan.
2) Latihan fisik
Latihan fisik yang non – kompetitip seperti aerobik, latihan jalan
dan jogging, berenang dan bersepeda, direkomendasikan oleh para
dokter sebagai cara untuk mengatasi berbagai tingkatan stres,
karena bentuk – bentuk latihan ini dapat meningkatkan kapasitas
jantung dan dapat melepaskan diri dari ketegangan.
3) Latihan relaksasi
Melalui tenik-teknik zikir, meditasi, hinotis, massage, musik dan
yoga. Tujuannya adalah untuk mencapai status relaksasi yang
dalam, dimana seseorang merasa rileks secara fisik dan psikis,
agak menjauhkan diri dari pengaruh lingkungan dan menjauhkan
diri dari sensasi tubuh. Lima belas atau dua puluh menit sehari
melakukan relaksasi yang dalam, dapat melepaskan ketegangan
dan memberikan orang yang bersangkutan perasaan penuh
kedamaian yang indah.
4) Bantuan sosial
Memiliki banyak kawan, keluarga atau teman – teman sekerja
untuk teman bicara, sebagai pendengar tentang problem yang
sedang dialami, dapat memberikan jalan keluar ketika tingkat stres
menjadi eksesif. Oleh karena itu memperluas jaringan sosial dapat
berperan dalam pengurangan ketegangan. Bantuan sosial dapat

38
memoderatkan akibat dari hubungan stres - kerja, sehingga stress
ditempat kerja yang beratpun tidak dapat meruntuhkan seseorang.
5) Konseling karyawan
Konseling adalah diskusi sebuah problem yang biasanya memiliki
unsur emosional dengan seorang karyawan, supaya dapat
membantu karyawan tersebut mengatasi emosinya lebih baik
(Cairo, 1983). Konseling itu mencari cara-cara untuk memperbaiki
kesehatan jiwa karyawan. Memiliki kesehatan yang lebih baik
berarti bahwa orang itu merasa bahagia tentang dirinya, merasa
baik-baik saja dengan orang lain dan dapat memenuhi tuntutan
hidupnya.

39
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang
Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit,
upaya K3 menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja
dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan
dan pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultan dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan
kerja.
Penerapan program K3 di Rumah Sakit masih perlu banyak perbaikan.
Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan
bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, pencegahan
sebagai upaya meminimalisir kecelakaan akibat kerja di rumah sakit mulai dari
identifikasi hazard, investigasi setelah kejadian kecelakaan, evaluasi, controlling
hingga memfollow up program penanggulangan perlu dilakukan secara sistematis
dan lebih ditingkatkan, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.

B. Saran
1. Merekomendasikan kepada pihak menajemen rumah sakit untuk membuat
instrument safe/unsafe action khusus perawat
2. Mengadakan refresing SOP baru tiap 3 bulan, training/pelatihan bagi
karyawan baru maupun karyawan lama sehingga dapat meningkatkan
kesadaran masingmasing individu untuk melatih budaya kerja secara aman
(safe act culture). Rumah Sakit perlu secara rutin mengevaluasi
penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah kinerjanya sudah maksimal
ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya. Selain
itu, rumah sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan
pengendalian faktor risiko yang selalu ada di rumah sakit.
3. Membuat kebijakan terkait advokasi status kesejahteraan perawat dengan
memberikan jaminan kesehatan yang baik melalui pemeriksaan kesehatan pra

40
pekerja, berkala (baik yang sudah terpapar/beresiko ataupun tidak) dan
pemeriksaan khusus (termasuk pemeriksaan sebelum pensiun) untuk
mengetahui adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta penatalaksanaannya
dan pemberian vaksinasi sebagai tindakan pencegahannya.
4. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan,
perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. Bagi perawat
agar tetap berupaya meminimalkan factor-faktor pemungkin dan membekali
dirinya dengan meningkatkan pengetahuan melalui seminar, media internet
atau buku guna mendapatkan informasi terbaru tentang K3 sehingga dalam
menerapkan asuhan keperawatan selalu memperhatikan budaya kerja K3
secara aman dengan penekanan pada universal pre caution.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2010). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat
Kerja bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan
2. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan Depkes RI. Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (K3 - Ifrs). Jakarta; 2006.
3. Soeripto M. Higiene Industri. Balai penerbit FK UI. Jakarta; 2008
4. Suma’mur. Higiane perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta; 2009
5. Workplace Violence Prevention-Health Care and Social Service Workers, U.S.
DEPARTMENT OF LABOR, OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ADMINISTRATION, http://1.usa.gov/12rwWAN (viewed on May 20, 2013).
6. Cooper, CL; Hart, PM; Anderson, DS; Ones, HK; Sinangil dan Viswesvran, C 2001.
Occupational stress: toward a more integrated framework. New York: Oxford.
Handbook of industrial work and organization psychology
7. Neal, A. & Griffin, M. A. (2000). Safety climate and safety behaviour. Australian
Journal of Management, 27 (special issues), 67‐73.
8. Sinaga, Rohama Alfina. 2018. Judul Skripsi: Analisis Paparan Dosis Radiasi Jarak
Aman Petugas Dan Pasien Lain di Ruang ICU. Universitas Sumatera Utara. 21-22.
9. Ifadah, Erlin, Fajar Susanti. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta; Analisis
Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Needle Stick Injury Di Ruang Instalasi
Gawat Darurat Dan Ruang Intensive Care Rsud Pasar Rebo. Jakarta; 2018.
10. Suprihatin, Titin. Jurnal Keperawatan: Managemen Stres Kerja Pada Perawat ICU.
RSUD Dr. Soetomo Surabaya; 2015.
11. Dita Andini Dwi Pratiwi, Dody Setyawan. Jurnal Keperawatan Universitas
Diponegoro: Gambaran Tingkat Kelelahan Kerja Perawat Di Ruang Perawatan
Intenif. RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Dan RS Tugurejo. Semarang; 2017.
12. Sarastuti, Dewi. Publikasi Ilmiah; Analisis Kecelakaan Kerja Di Rumah Sakit
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Universitas Muhamadiyah Surakarta Program
Studi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Surakarta;2016.

42
13. Rochman, Dadang, Hanny S. Mediani, Aan Nuraeni. Jurnal keperawatan Program
Magister: Analisa Faktor Memengaruhi Low Back Pain Perawat ICU RS Wilayah
Provinsi Banten. Universitas Padjadjaran; 2017.
14. Burhami, Mahfud. Skripsi: Survey Kecelakaan Kerja Pada Perawat Di RSU
Salewangang Kabupaten Maros. UIN Alauddin Makassar; 2010.
15. Retno, Dwi, Fajar Tri Waluyanti. Jurnal keperawatan; Gambaran tingkat stress kerja
perawat di unit perawatan intensif neonatus dan pediatrik RSUPN DR. Cipto
Mangunkusumo. FIK Univeritas Indonesia. Depok;2013.

43

Anda mungkin juga menyukai