Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FARMASI KLINIS SWAMEDIKASI

INTRAVENA ADMIXTURE

Dosen Pembimbing :

tIrma Susanti, S.Farm., Apt., M.Farm.

Dosen Pembimbing ;
Irma Susanti, S.Farm., Apt., M.Farm.

Disusun Oleh ;
Ahmad Annas

NIM ; 1702050107

D-III FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2019
BAB 1

PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Pencampuran intravena (intravenous admixtures) merupakan suatu proses
pencampuran obat steril dengan larutan intravena steril untuk menghasilkan suatu sediaan
steril yang bertujuan untuk penggunaan intravena. Ruang lingkup dari intravenous
admixtures adalah pelarutan atau rekonstitusi serbuk steril, penyiapan suntikan intravena
sederhana, dan penyiapan suntikan intravena kompleks (Kastango, 2004).
Ketika satu atau lebih produk steril ditambahkan pada cairan untuk pemberian
intravena, hasil campurannya dikenal sebagai IV-admixture (Gennaro, 2000). Cairan
untuk pemberian intravena umumnya adalah larutan saline normal (NaCl 0,9%) atau
dekstrosa (5%) atau kombinasi keduanya (Nagaraju dkk., 2015).
Menurut Kepmenkes nomor1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, kegiatan pencampuran sediaan parenteral
mencangkup hal–hal berikut:
1. Mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus.
2. Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai.
3. Mengemas menjadi sediaan siap pakai.
B. SYARAT PENCAMPURAN SEDIAAN INTRAVENA
larutan untuk pemberian intravena yaitu berupa larutan steril yang terdiri dari
gula, asam amino, atau elektrolit (zat yang mudah dibawa oleh sistem sirkulasi atau
mudah terlarut). Sediaan intravena dipreparasi dengan Water for Injection USP, bebas
pirogen, bebas partikel atau tidak ada partikel yang tidak terlarut, larutan jernih, dan
memastikan efek terapi serta keamanan dari campuran berdasarkan studi yang sudah
dilakukan sebelumnya (Gennaro, 2000).
Salah satu alasan keadaan dimana perlu dilakukan pencampuran obat di dalam
satu wadah yaitu alternatif yang paling baik pada pemberian banyak obat (multiple drugs
therapy) mengingat terbatasnya pembuluh vena yang tersedia, sehingga lebih
convenience (nyaman) bagi pasien (Murney, 2008).
Apoteker adalah tenaga kesehatan yang memiliki kualifikasi untuk bertanggung
jawab dalam pencampuran sediaan parenteral dengan memiliki pengetahuan mengenai
aspek fisika, kimia, dan terapeutik dari campuran sediaan parenteral. Apoteker juga
dilatih untuk dapat mengambil keputusan dalam pelaksanaan pencampuran obat yang
kompatibel untuk diberikan pada pasien (Gennaro, 2000).

C. SARANA DAN PRASARANA PENCAMPURAN INTRAVENA


1. Sumber Daya Manusia
Pencampuran sediaan steril memerlukan SDM yang terlatih, fasilitas dan peralatan serta
prosedur penanganan secara khusus. Berikut sumber daya manusia dalam pencampuran
sediaan steril (Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril, 2009) :
 Apoteker
Setiap Apoteker yang melakukan persiapan atau peracikan sediaan steril harus
memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:
Memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang penyiapan dan pengelolaan komponen
sediaan steril termasuk prinsip teknik aseptis.
Memiliki kemampuan membuat prosedur tetap setiap tahapan pencampuran sediaan
steril.
 Tenaga Kefarmasian
Tenaga Kefarmasian membantu Apoteker dalam melakukan pencampuran sediaan steril.
2. Ruangan Khusus
Selain peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril, 8 hal
yang harus diperhatikan dalam pencampuran sediaan steril yaitu ruangan khusus dan
terkontrol. Ruangan khusus terdiri dari (Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril,
2009):
 Ruang Persiapan
Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan alat kesehatan dan bahan
obat (etiket, pelabelan, penghitungan dosis dan volume cairan).
 Ruang Cuci Tangan dan Ruang Ganti Pakaian
Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci tangan, ganti pakaian kerja
dan memakai alat pelindung diri (APD).
 Ruang Antara (Ante room)
Petugas yang akan masuk ke ruang steril melalui suatu ruang antara.
 Ruang Steril (Clean room).
Ruangan steril harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Jumlah partikel berukuran 0,5 mikron tidak lebih dari 350.000 partikel
b. Jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara.
c. Suhu 18 – 22°C
d. Kelembaban 35 – 50%
e. Dilengkapi High Efficiency Particulate Air (HEPA) Filter.
f. Passbox adalah tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan obat
sebelum dan sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak di antara
ruang persiapan dan ruang steril.
g. Tata letak ruang
3. Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril meliputi
(Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril, 2009):
 Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan dalam pencampuran sediaan steril
meliputi:
a. Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable (tidak tembus
cairan), tidak melepaskan serat kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup
di bagian depan.
b. Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang minimal sehingga
dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas dan cukup panjang untuk menutup
pergelangan tangan. Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder
free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis.
c. Kacamata pelindung
Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika.
4. Laminar Air Flow
LaminarAir Flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki
efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai:
a. Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara.
b. Menjaga aliran udara yang konstan diluar lingkungan.
c. Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.
Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan steril:
1. Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow)
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas tidak terlindungi dari
partikel ataupun uap yang berasal dari ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk
pencampuran obat steril nonsitostatika.
2. AliranUdara Vertikal (Vertical Air Flow)
Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari petugas sehingga memberikan
lingkungan kerja yang lebih aman. Untuk penanganan sediaan sitostatika
menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat
tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara di ruangan.
D. PROSES PENCAMPURAN INTRAVEN
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntik, perlu dilakukan langkah langkah
sebagai berikut (Pedoman Pencampuran Obat Suntik, 2009):
a. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5 BENAR
(benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian)
b. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomer batch,
tanggal kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan.
c. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidak
lengkap.
d. Menghitung kesesuaian dosis.
e. Memilih jenis pelarut yang sesuai.
f. Menghitung volume pelarut yang digunakan.
g. Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan,
dosis,cara pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal
kadaluarsa campuran.
h. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer rekam medis, ruang
perawatan, jumlah paket.
i. Melengkapi dokumen pencampuran
j. Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan dilakukan
pencampuran kedalam ruang steril melalui passbox.

Adapun proses pencampuran obat suntik mengikuti langkah–langkah sebagai berikut


(Pedoman Pencampuran Obat Suntik. 2009):

a. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).


b. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur tetap.
c. Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur tetap.
d. Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan dalam LAF.
e. Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk bekas obat.
f. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70 %.
g. Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box.
h. Melakukan pencampuran secara aseptis.
i. Memberi label yang sesuai untuk setiap spuit dan infus yang sudah berisi obat hasil
pencampuran.
j. Membungkus dengan kantong hitam atau alumunium foil untuk obat-obat yang harus
terlindung dari cahaya.
k. Memasukkan spuit atau infus ke dalam wadah untuk pengiriman.
l. Mengeluarkan wadah yang telah berisi spuit atau infus melalui passbox.
m. Membuang semua bekas pencampuran obat ke dalam wadah pembuangan khusus.

E. FORMULASI PENCAMPURAN INTRAVENA


1. Obat-obat yang sediaannya berbentuk dry powder seperti amoksisilin memerlukan
rekonstitusi dengan aqua pro injeksi atau NaCl 0,9% sebelum digunakan (Departemen
kesehatan, 2009).
2. Preparasi dari larutan yang memerlukan pelarut tambahan sebelum digunakan (Contoh :
Ranitidine, amiodaron). Keuntungan dari preparasi ini adalah sudah berbentuk cairan,
jadi tidak memerlukan proses rekonstitusi lagi (Departemen Kesehatan, 2009).
3. Preparasi tersedia (siap untuk digunakan) tanpa pelarut tambahan. Preparasi ini dapat
berupa kantong atau ampul dengan volume kecil yang dapat dibuat tanpa pelarut
tambahan, tapi tetap mengandung larutan obat untuk dieliminasi ke dalam syringe untuk
pembuatan, contoh : adenosine, gentamisin, metoklopramid (Departemen Kesehatan,
2009).
4. Preparasi tersedia (siap untuk digunakan). Preparasi ini termasuk kantong infus dan
syringe yang belum diisikan (pre-filled), contohnya: NaCl (Sodium Chloride) 0,9% 500
ml, morfin sulfat 60 mg dalam 60 ml PCA syringe.
5. Keuntungannya adalah : tidak ada risiko kontaminasi lingkungan, kecilnya kontaminasi
mikrobakteri, mudah digunakan, dan menghemat waktu (Departemen Kesehatan, 2009).

F. EVALUASI HASIL PENCAMPURAN INTRAVENA


Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, evaluasi sediaan parental sebagai berikut:
1. Uji Ph
Pengujian menggunakan pH meter, penetapan pH ini mengetahui pH sediaan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
2. Uji Kebocoran
Pengujian kemasannya yaitu dengan melapisi permukaan bawah menggunakan
kertas putih, jika kertas basah maka kemasan sediaan tersebut terdapat kebocoran.
3. Uji Kejernihan
Tujuan uji ini memastikan larutan terbebas dari pengotor Prinsip uji ini
membandingkan kejernihan larutan uji dengan suspensi padanan dilakukan
dibawah cahaya yang terdifusi tegak lurus ke arah bawah tabung dengan latar
belakang hitam sesuatu cairan dikatakan jernih jika kejernihannya sama dengan
air atau pelarut yang digunakan bila diamati di bawah kondisi seperti tersebut di
atas atau jika opalesensinya tidak lebih nyata dari suspensi padanan I. Persyaratan
untuk derajat oplesensi dinyatakan dalan suspensi padanan I, II, dan III.
G. MASALAH PENCAMPURAN
Masalah yang dapat timbul sebagai akibat pencampuran yang dilakukan secara
sembarangan terkait denganin kompatibilitas (Elisa, 2009):
1. Inkompatibilitas in vitro
Ditandai dengan adanya kekeruhan, cloudness, endapan atau perubahan warna.
2. Inkompatibilitas farmakologi
Adalah jenis inkompatibilitas yang menghasilkan perubahan yang dapat terlihat
secara nyata, seperti presipitasi, kekeruhan, perubahan warna atau viskositas.
Inkompatibilitas fisika lebih terkait pada perubahan kelarutan atau interaksi dengan
wadah daripada perubahan molekular senyawa obat itu sendiri (Trissel, 2003).
3. Problem sterilitas
Pencampuran bahan obat ke dalam larutan infus yang tidak menggunakan cara-cara
aseptik dapat mengakibatkan masuknya mikroorganisme ke dalam sediaan.
4. Adanya partikel dalam sediaan parenteral
Partikel dapat berasal dari tutup karet vial, pecahan kaca pada saat mematahkan
ampul, rambut, atau kain petugas.
H. WADAH PENYIMPANAN SEDIAAN ADMIXTURE
Pengemas sediaan farmasi adalah alat yang menampung obat dan kemungkinan
dapat kontak langsung dengan sediaan. Immediate container merupakan pengemas yang
kontak langsung dengan obat sepanjang waktu. Pengemas tidak boleh berinteraksi secara
fisika maupun kimiawi dengan sediaan sehingga tidak mengubah kekuatan, kualitas, atau
kemurnian zat aktifnya melebihi batas yang diperbolehkan (Gennaro, 2000).
Pemilihan pengemas dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap stabilitas
beberapa sediaan. Beberapa komponen pengemas dapat menyebabkan perubahan fisika
dan kimia yang mungkin bersifat time-temperature dependent. Gelas (kaca) dan plastik
merupakan komponen pengemas yang banyak digunakan (Gennaro, 2000).
Penggunaan pengemas gelas memiliki beberapa kekurangan, seperti lepasnya
alkali, namun hal ini dapat diatasi dengan pemilihan pengemas gelas yang sesuai dengan
sediaan. Pemilihan pengemas yang sesuai dapat dilakukan berdasarkan komposisi
pengemas gelas yang bervariasi tergantung jumlah dan tipe silika yang ditambahkan serta
kondisi perlakuan panas yang digunakan (Gennaro, 2000).
Pengemas plastik yang digunakan biasanya adalah polyethylene, polystyrene,
polyvinyl chloride, dan polypropylene dengan densitas yang berbeda untuk
menyesuaikan dengan sediaan tertentu. Kekurangan dari pengemas plastik yaitu bahan
dari plastik sendiri dapat terlepas ke dalam sediaan, atau komponen sediaan dapat
terabsorbsi oleh dinding pengemas. Salah satu contohnya yaitu pada minyak atsiri yang
bersifat permeable terhadap plastik. Gas seperti oksigen atau karbon dioksida di udara,
diketahui bermigrasi melalui dinding pengemas dan dapat mempengaruhi sediaan
(Gennaro,2000).

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril. Jakarta: Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik.

Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik Dan Penanganan Sediaan
Sitostatika. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik.
Elisa. 2009. Pencampuran Sediaan Steril. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Gennaro, A.R. 2000. Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 20th Ed. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins.

Kastango, E. S. 2004. The ASHP Discussion Guide for Compounding Sterile Preparations. USA: American
Society of Health-System Pharmacists and Baxter Healthcare Corporation.

Murney, P. 2008. To Mix or Not To Mix-Compatibilities of Parenteral Drug Solutions, Australian


Prescriber, 31(4), 98.

Nagaraju, A., et al. 2015. Assesment of Intravenous Admixtures Incompatibilities & The Incidence of
Intravenous Drug Administration Errors. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 4(08),
1227-1237.

Potter, P. A dan Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.

Trissel. L. A. 2003. Hanbook on Injectable Drugs. 12th Edition. USA: American Society of Health System
Pharmacists

Anda mungkin juga menyukai