Anda di halaman 1dari 680

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN VOKASI INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS HALU OLEO
8 MARET 2016

ISBN : 978-602-71928-0-5

Hak Cipta dilindungi Undang-undang memfotocopy atau


memperbanyak dengan cara apapun, sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa seizin penerbit adalah tindakan tidak bermoral
dan melawan hukum

Judul Buku
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN VOKASI
INDONESIA: INOVASI TEKNOLOGI DAN PEMBANGUNAN
SUMBERDAYA MANUSIA BERDAYA SAING MEMASUKI ERA
MEA

Penyunting:
Dr. Ruslan, S.Si., M.Si.
Tajidun, S.Kom, M.T
Muslim S.Sos, M.Si.

Tata Letak/ Cover:


Sahabuddin Hay, ST., M.Eng.

Penerbit:
Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridharma Andounouhu
Kendari 93232 Phone: (0401)3198207
E-mail: ppvokasiuho@gmail.com
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KATA PENGANTAR

Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA memberikan


tantangan sendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya tenaga
kerja dari luar Indonesia yang masuk ke Indonesia, sehingga menambah persaingan yang
ketat dalam dunia kerja. Sedangkan banyaknya perguruan tinggi yang ada di Indonesia tentu
saja akan menghasilkan lulusan yang diharapkan mampu bersaing di dunia kerja. Persaingan
ketat di dunia kerja menuntut mahasiswa memiliki keahlian khusus demi bisa menembus
ranah industri.
Seiring dengan hal tersebut pendidikan vokasi hadir sebagai bagian dari kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan. Pendidikan vokasi dapat menjadi bagian bagi calon
mahasiswa untuk mempersiapkan bekal keahlian itu. Pendidikan vokasi adalah pendidikan
yang membangun keahlian bersertifikasi, sehingga calon pekerja terlindungi hak-haknya di
dunia global. Pendidikan vokasi bertujuan menciptakan lulusan yang memiliki keterampilan
serta keahlian secara profesi dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu seperti seni,
teknologi, kesehatan, ekonomi, dan pariwisata, serta menghasilkan penelitian terapan dan
kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, kurikulum yang diberikan berbasis
kompetensi, ditambah lagi dengan pemberian sertifikasi sehingga lulusan pendidikan vokasi
dapat bersaing dalam dunia kerja.
Sebagai bentuk pengembangan inovasi teknologi dan pengembangan sumberdaya
manusia, maka seminar nasional pendidikan vokasi yang bertemakan inovasi teknologi dan
pembangunan sumberdaya manusia berdaya saing memasuki era MEA dilakukan dengan
tujuan untuk berbagi pengetahuan terapan dan teknologi baik dari kalangan akademisi
maupun pengguna lulusan pendidikan vokasi.
Seminar yang diselenggarakan oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo
diharapkan mampu berbagi pengetahuan terapan dan teknologi serta menghasilkan ide
inovatif dan solutif untuk mengembangkan pendidikan vokasi dalam menghadapi
masyarakat ekonomi asean. Prosiding ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca.
Kendari, 8 Maret 2016
Panitia Seminar Pendidikan Vokasi 2016

I
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR ISI

COVER

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR ................................................................................................................I

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ II

PERSIAPAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI KEGIATAN


PERTAMBANGAN STUDI KASUS RENCANA LOKASI PERTAMBANGAN
RIO TINTO DI KECAMATAN RINTO KABUPATEN KONAWE PROV.
SULTRA
Yani Taufik................................................................................................................................. 1

FORMULASI PENGETAHUAN TUKANG BANGUNAN MENGENAI PONDASI


Muhammad Zakaria Umar ....................................................................................................... 12

STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK TERHADAP KINERJA


SEKTOR PERIWISATA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Sitti Hairani Idrus ..................................................................................................................... 23

PENERAPAN TEKNIK POLARIMETRY SYNTHETIC APERATURE RADAR


PADA CITRA SATELIT ALOS PALSAR UNTUK PEMETAAN STOK KARBON
DI INDONESIA (WILAYAH STUDI SULAWESI TENGGARA)
Laode Muh Golok Jaya1, Ketut Wikantika2, Katmoko Ari Sambodo3, Armi
Susandi4 .................................................................................................................................... 31

KUALITAS KARKAS DAN KANGDINGAN KOLESTEROL DAGING


KAMBING KACANG DENGAN PEMBERIAN PAKAN KULIT BUAH KAKAO
FERMENTASI
H Bulkaini1, Mastur1, dan Sukmawati2 .................................................................................... 44
PERBEDAAN KUALITAS KARKAS, MARBLING DAN KANDUNGAN
KOLESTEROL DAGING SAPI BALI YANG DIBERI PAKAN BUAH KAKAO
FERMENTASI DENGAN PAKAN KONSETRAT KOMERSIAL
H Bulkaini1, I Wayan Karda2, dan M.Ashari2 .......................................................................... 54
PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN MENERAPKAN KEARIFAN
LOKAL "LEDI" (STUDI KASUS DI KABUPATEN BIMA-PROVINSI NUSA
TENGGARA BARAT)
Muhammad Ahyar.................................................................................................................... 66

PERTUMBUHAN MOLTING DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP


KEPITING BAKAU (Scylla Serrata) PADA PADAT TEBAR YANG BERBEDA
Herianto1, AlisMukhlis2, NunikCokrowati3 ............................................................................. 74

KARAKTERISTIK AGRONOMI BIBIT KOPI ARABICA (Coffe Arabica L)


PADA BERBAGAI INTERVAL PENYIRAMAN AIR
Hidayati Fatchur Rochmah1, Ade Wachjar2, Eko Sulistyono2 ................................................. 84

II
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

OPTIMASI INTENSITAS NAUNGAN PADA PERTUMBUHAN BIBIT KOPI


ARABICA (Coffe Arabica L)
Ade Astri Muliasari1, Ade Wachjar2, Supijatno3...................................................................... 97
PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN PENDUDUK LOKAL TIMIKA
MELALUI PENDIDIKAN DIPLOMA SAGU
Ratih Kemala Dewi1, Shandra Amarillis1,2, Restu Puji Mumpuni1, MH Bintoro1,2 ............... 109

SINTESA DAN PENERAPAN FILM Ba0,55Sr0,45TiO3 PADA PROTOTIPE SISTEM


PENGERING OTOMATIS PRODUK PERTANIAN BERBASIS
MIKROKONTROLER ATMEGA 8535
Ridwan Siskandar1, Irzaman2, Irmansyah2 ............................................................................. 119

RANCANG BANGUN ALAT PEMBERI MAKAN IKAN OTOMATIS BERBASIS


MIKROKONTROLLER ARDUINO MEGA R3 DENGAN SISTEM
MONITORING BERBASIS WEB
Inna Novianty1, Ridwan Siskandar2 ....................................................................................... 131

PENENTUAN JUMLAH ARMADA ANGKUTAN KOTA YANG OPTIMAL DI


KOTA BANDUNG BERDASARKAN Headway (STUDI KASUS: TRAYEK
T.HALL - CIUMBULEUIT)
Agung Prayudha Hidayat1,Putri Azmi2 .................................................................................. 140

UJI AKTIVITAS INHIBITOR PERKECAMBAHAN EKSTRAK TEMULAWAK


Ika Resmeiliana1), Arini Septianti1), Asih Fitria Lestari1), Zulaeha2)...................................... 147

IDENTIFYING POTENTIAL AREAS FOR AGRICULTURE IN SEMARANG


INDONESIA BY USING GIS TECHNOLOGY
Edi Wiraguna1, Andhi Pratama Putra2 .................................................................................... 152

OPTIMASI KONDISI OPERSAI OPERASI DEGRADASI BAHAN PEWARNA


UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PERCETAKAN DENGAN VARIABEL
KOAGULAN DAN LAJU AIR UMPAN FILTER TUBE
Bambang Sugiarto1, Andri Perdana2, Putri Restu Dewati3..................................................... 166

PENGARUH PERILAKU KONSUMEN DAN WORD OF MOUTH TERHADAP


PEMILIHAN JURUSAN DAN UNIVERITAS (STUDI PADA MAHASISWA
BARU PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI UNIVERSITAS INDONESIA
ANGKATAN 2015)
Amelita Lusia1, Pijar Suciati1 ................................................................................................. 176

PENDIDIKAN VOKASI, SOLUSI MENEKAN PENGANGGURAN: ANALISIS


KESIAPAN SDM LULUSAN PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DENGAN
KEBUTUHAN DUNIA INDUSTRI TAHUN 2011-2013
Endang Setiowati, Titis Wahyuni, Marsdenia, Budiman Machmud Musthofa...................... 194

REVITALISASI KOMODITAS AGROBISNIS DALAM MENGEMBANGAN


MODEL BANK DESA
Deni Danial Kesa.................................................................................................................... 220

III
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KONSTRIBUSI PELAYANAN JKN TERHADAP KEUANGAAN RUMASH


SAKIT
Supriadi................................................................................................................................... 230

PENERAPAN FASHION MERCHANDISING PADA JARINGAN


PERUSAHAAN RETAIL (MATAHARI DEPARTEMEN STORE GROUP)
Mohammad Ridha .................................................................................................................. 244

ANALISIS PERPAJAKAN ATAS ASET YANG DIAMBIL ALIH (AYDA)


Erwin Harinurdin1 .................................................................................................................. 258

PENGARUH KONDISI BATANG BAWAH, KLON, DAN WAKTU


PELAKSANAAN TERHADAP KEBERHASILAN OKULASI DAN
PERTUMBUHAN BIBIT KARET
Suwarto, Radhiya Nur Anwar ................................................................................................ 276

MODEL PEMBERDAYAAN DESA MANDIRI ENERGI DALAM RANGKA


MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT MELALUI PENGUATAN
LEMBAGA KOPERASI DESA
Fauzan Murdapa1, Dwi Haryono2, Sugeng P.H2, Yuliarto R2, R. Sigit K3 ............................ 287

MANFAAT EKONOMI PEMBANGUNAN REAKTOR BIOGAS BAGI


MASYARAKAT DESA DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG
Dwi Haryono .......................................................................................................................... 295

ANALISIS MODEL PENERIMAAN PENGGUNA DENGAN MODEL UTAUT:


STUDI KASUS APLIKASI ANDROID e-filing 1770 SS DIREKTORAT JEDERAL
PAJAK
Thesa Adi Purwanto ............................................................................................................... 302

STUDI KEKUATAN TARIK DAN BENDING KOMPOSIT SANDWICH SERAT


ECENG GONDOK DENGAN MENGGUNAKAN CORE KERTAS KARDUS
BEKAS
Al Ichlas Imran1, Abd. Kadir2, Samhuddin2, Aminur2, Didik Hermawan2 ............................ 321

ANALISIS KEPUASAN NASABAH PADA BANK BTN SYARIAH CABANG


YOGYAKARTA
Salimin.................................................................................................................................... 331

ANALISIS KEPUASAN NASABAH BANK BTN SYARIAH YOGYAKARTA


Aidha Trisanty ........................................................................................................................ 342

PENGARUH PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008


PADA PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI PERBANKAN DI
YOGYAKARTA
Arief Darmawan, SE., MM1, RR. SitiMuslikhah, SE, M.Sc2................................................. 354

IMPLIKASI KOMPONEN PERUBAHAN PAJAK DALAM LABA TERHADAP


PERSISTENSI DAN PERAMALAN - STUDI TERHADAP PERUSAHAAN
YANG TERDAFTAR DI BEI PERIODE 2010-2013
Dewi Kartika Sari, Birawani Dwi Anggraeni, Sandra Aulia.................................................. 369

IV
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PEMODELAN KLAIM NETTO DENGAN MENGGUNAKAN MODEL


CAMPURAN LINIER DAN MODEL CAMPURAN LINIER BERBASIS
SEBARAN t
Fia Fridayanti Adam1, Khairil A. Notodiputro2 ..................................................................... 388

PERANCANGAN MESIN PELENTUR PELAT TYPE ROL PIRAMIDE


Sudarsono1, Aminur2, Abd Kadir3 .......................................................................................... 397

AUDIT INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK PADA GEDUNG


EXISTIM
Mustamin1, Salama Manjang2, Arman Faslih3, Tambi4 ......................................................... 403

ANALISIS PEMBEBANAN KABEL BAWAH TANAH 220 kV BERDASARKAN


IMPEDANSI SURJA DAN REAKTANSI
Ashar Ar1, Mustamin2, Sofyan3 .............................................................................................. 424

PROBLEMS EVALUATION OF A DRAINAGE SYSTEM IN KADI DISTRICT


KENDARI CITY
Ahmad Syarif Sukri ................................................................................................................ 439

STUDI EVALUASI DAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN


PERIKANAN PANTAI (PPP) TENAU DI KOTA KUPANG
Dian E. W. Johannis1, Aplimon Jerobisonif2.......................................................................... 469
PENINGKATAN KAPASITAS PEMBANGKITAN PADA PEMBANGKIT
LISTRIK TENAGA MIKROHYDRO (PLTMH) UNTUK PENINGKATAN
PELAYANAN DI DESA WISATA KEBON AGUNG, KECAMATAN IMOGIRI
KABUPATEN BANTUL-YOGYAKARTA
Syafriyudin1, Mujiman2, A.A.P. Susastriawan3 ..................................................................... 495

TINJAUAN SARANA/PRASARANA K3 PADA BENGKEL KERJA KEAHLIAN


TEKNIK PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SMKN 3 BOYOLANGU
KABUPATEN TULUNGAGUNG
Yuni Rahmawati1, Yukoiri Hidayat2 ...................................................................................... 503

PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI


BELAJAR MAHASISWA DENGAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA
Makkulau1 ,Andi Tenri Ampa 2 ...................................................................................... 516

ANALISIS POLA SPASIALUNTUK PEMETAAN PENYAKIT DEMAM


BERDARAH DENGUE DI KOTA KENDARI
Mukhsar, Irma Yahya, danAnita Deppasau............................................................................ 523

PENDETEKSIAN OUTLIER DENGAN ESTIMASI M YANG MENGGUNAKAN


FUNGSI PEMBOBOT HUBER
Andi Tenri Ampa, Irma Yahya,Makkulau, dan Feti Apriani ................................................. 534

MODEL-MODEL PENGUKURAN KINERJA PEMASARAN


Rr Sita D. Kusumaningrum..................................................................................................................543

V
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MANAJEMEN RESIKO KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


PADA PROYEK KONSTRUKSI DI KENDARI
M. Akbar Kurdin1,a*, Try Sugiyarto1, Debby Steven A.R1..................................................... 556

MODEL MANAJEMEN HIDROLOGI BERDASARKAN PEMETAAN KERENTANAN


AIRTANAH (MAPPING GROUNDWATER VULNERABILITY) CEKUNGAN AIRTANAH
PALU
Andi Rusdin .........................................................................................................................................569

OPTIMALISASI JARINGAN IRIGASI AIR TANAH (JIAT) UNTUK


PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI PROPINSI SULAWESI
TENGAH
Sance Lipu dan Zeffitni .......................................................................................................... 580
ANALISA KEANDALAN SISTEM TENAGA LISTRIK BERDASARKAN METODE
ANALISA KONTINGENSI (STUDI KASUS PADA PT. PLN (PERSERO) SISTEM
KENDARI)
Tambi1, Arman Faslih2, Mustamin3, Sahabuddin Hay4 ......................................................... 588

PENERAPAN MODEL INTERLOCK DALAM PENGEMBANGAN PEMBUATAN


BATAKO DI KOTA PALU
Andi jiba Rifai1,Rifai2, Akraman3 .......................................................................................... 606

Analisis Setting Relay Pengaman Arus Lebih Pada Sistem Terisolasi PLTD
Langara Iwawo
Doni Irifan1, Hasmina Tari Mokui2, St.Nawal Jaya3 ..................................................................... 615

AN OPTICAL MEASUREMENT ANALYSIS OF SPRAY FORMATION FROM


LOCAL CONTACT MICROWAVE-HEATING INJECTOR (LMI).
Lukas Kano Mangalla 1, Hiroshi Enomoto 2 ,Yuni Aryani Koedoes3 ............................................. 639

PERAMALAN IHSG, KURS DAN SBI MENGGUNAKAN METODE VECTOR


AUTOREGRESSIVE (VAR) (Studi Kasus: Data BEI dan BSI Januari 2010 sampai
Desember 2013)
Ruslan1, Lilis Laome2, Ade Rahayu3 ...................................................................................... 656

VI
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENYIAPAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI KEGIATAN


PERTAMBANGAN
STUDI KASUS: RENCANA LOKASI PERTAMBANGAN RIO TINTO DI
KECAMATAN ROUTA, KABUPATEN KONAWE PROPINSI SULAWESI
TENGGARA

Yani Taufik*

*Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo


Jalan H.E.A Mokodompit Kendari

Corresponding Author: yanitaufik@ymail.com

Abstrak

Kecamatan Routa terletak di perbatasan tiga propinsi (Sulawesi Tenggara, Selatan dan Tengah).
Meskipun merupakan bagian dari propinsi Sulawesi Tenggara wilayah ini sangat minim perhatian pemerintah.
Namun sejak ditemukannya potensi tambang di daerah ini, bukan hanya perhatian pemerintah perhatian
masyarakat sekitar bahkan dunia internasional secara perlahan mulai diarahkan pada wilayah ini.
Makalah ini bertujuan untuk mendiskusikan persiapan sosial yang dilakukan oleh Rio-Tinto salah satu
perusahaan multi-nasional yang dalam kurun waktu antara 2009 – 2014 melakukan berbagai kegiatan
persiapan sosial sebelum dimulainya kegiatan eksplorasi di Routa. Meskipun perusahaan ini pada akhirnya
menghentikan aktivitas eksplorasi di wilayah Routa berhubung harga nikel yang terus menerus menurun hingga
saat ini, namun beberapa hal menarik berkaitan dengan persiapan sosial yang cukup serius telah dilakukan oleh
perusahaan ini. Banyak hal penting yang selayaknya menjadi pelajaran bagi banyak pihak dalam melakukan
persiapan sosial sebelum melakukan kegiatan eksplorasi tambang.
Beberapa kegiatan yang menonjol meliputi kegiatan survei dasar (baseline survey) selama kurang lebih
satu tahun. Menjadikan informasi yang diperoleh dalam survei dasar tersebut untuk menyusun beberapa
program bersama dengan masyarakat setempat. Pelibatan masyarakat secara nyata dalam penyusunan program
pengembangan masyarakat (community development). Kegiatan ini kemudian memberi pelajaran berharga
dalam melakukan persiapan masyarakat pada lokasi tambang. Hal ini dapat dicegah melalui komunikasi yang
terjalin baik antara pihak perusahaan dengan masyarakat maupun pemerintah setempat. Konflik antara
masyarakat yang selalu menuntut untuk dapat dipekerjakan pada perusahaan tambang dapat dicegah di Routa,
karena perusahaan dapat menyediakan solusi mata pencaharian alternatif yang tidak kalah menarik dibanding
bekerja pada level manajemen yang rendah di perusahaan.
Persiapan sosial yang cermat mutlak dilakukan untuk mencegah konflik dan mencari solusi agar
masyarakat setempat bukan hanya sebagai penerima dampak negatif namun juga dapat menjadi penerima
manfaat bagi suatu kegiatan pertambangan.

Kata kunci: Persiapan masyarakat, pertambangan, baseline survei, instiusi masyarakat.

Pendahuluan

Pembukaan daerah pertambangan di Indonesia umumnya tidak disertai dengan study


pendahuluan yang cukup untuk mengetahui berbagai kondisi yang ada di masyarakat dan
menyerap aspirasi mereka yang bertempat tinggal disekitar kawasan tambang. Dalam
kebanyakan kasus perusahaan hanya sekedar menggugurkan kewajiban administrasi sebelum
memulai kegiatan penambangan. Akibatnya terjadi banyak sekali konflik ditengah-tengah
masyarakat. Baik itu antara masyarakat yang pro dengan kegiatan pertambangan maupun
antara masyarakat dengan perusahaan tambang bahkan antara masyarakat dengan pemerintah
yang umumnya pro dengan perusahaan yang telah menerima izin dari pemerintah setempat.

1
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Walaupun telah terjadi banyak kasus perselisihan, namun belum banyak perusahaan
yang mengalokasikan dana dan waktu mereka melakukan studi mendalam tentang kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Umumnya yang melakukan studi detail adalah perusahaan besar
dengan investasi yang besar. Itupun umumnya terjadi dalam satu dekade terakhir. Ballard dan
Banks (2003: 287) mengemukakan bahwa ledakan industri pertambangan yang terjadi era
1980an telah mengakibatkan ekspansi yang agresif dari perusahaan-perusahaan pertambangan
di kawasan Asia-Pasifik. Kebanyakan dari wilayah operasi tambang berada dilokasi yang
merupakan tempat hunian penduduk asli. Umumnya penduduk setempat mengalami tekanan
dari pemerintah, perusahaan dan pihak-pihak yang mengklaim merupakan representasi dari
masyarakat. Konflik umumnya akan berkembang dari perbedaan budaya dan kebiasaan,
konflik fisik dan akhirnya bermuara pada kehilangan kehidupan, mata pencaharian dan
lingkungan yang berubah (Ballard dan Banks, 2003: 289).
Umumnya perusahaan yang bersikap tertutup dan tidak tanggap, agak sulit untuk
mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Sebaliknya perusahaan yang lebih
terbuka, menunjukkan keperdulian dan komunikatif dalam memberikan penjelasan terhadap
kekuatiran dan keluhan masyarakat akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Komunikasi yang terjaga dengan masyarakat dan proaktif terhadap keluhan masyarakat, akan
memberikan peluang lebih besar bagi perusahaan untuk dapat diterima oleh masyarakat,
dibanding perusahaan yang selalu reaktif (Mineral Council of Australia, 2005:2).

Mendefinisikan Masyarakat
Masyarakat yang terkait dengan kegiatan industri pertambangan dapat lebih luas dari
sekedar orang yang bermukim di lokasi dan sekitar lokasi pertambangan. Hal ini disebabkan
bahwa dalam kegiatan operasi pertambangan, banyak masyarakat yang tidak bermukim
disekitar lokasi tambang keluar masuk pada daerah tambang sebagai supplier berbagai macam
produk yang diperlukan dalam suatu operasi tambang. Banyak pula karyawan tambang yang
keluarganya bermukim di kota. Demikian pula orang yang berasal dari lokasi tambang, yang
bermukim di kota yang berjauhan jaraknya, namun tetap mempertahankan keterkaitan mereka
dengan lokasi tambang karena kepemilikan tanah atau aset lainnya (Brereton et al, 2006: 4).
Anggota masyarakat kemungkinan memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang
tambang, aktivitasnya dan industri pertambangan secara umum. Bagian-bagian masyarakat
juga memiliki keterlibatan yang berbeda dengan tambang, tergantung apakah mereka adalah
karyawan, kalangan bisnis lokal ataupun pemilik tradisional. Pengetahuan tentang latar
belakang sejarah, budaya dan politik, akan membantu perusahaan tambang dalam menentukan

2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

siapa saja unsur masyarakat setempat dan menentukan cara terbaik untuk berinteraksi dan
terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Minerals Council of Australia (2005 dalam Brereton et al, 2005: 4) mendefinisikan
suatu masyarakat merupakan sekumpulan orang yang tinggal di wilayah tertentu yang
terpengaruh oleh aktivitas penambangan. Terminologi yang juga umum digunakan adalah
‘pemangku kepentingan’, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki kepentingan
dalam pengambilan keputusan tertentu, mencakup orang-orang yang mempengaruhi suatu
keputusan, atau dapat mempengaruhinya serta orang-orang yang terpengaruh oleh suatu
keputusan, baik sebagai individu atau perwakilan dari suatu kelompok. Di Australia yang
juga salah satu negara di dunia yang mengandalkan pendapatan dari sektor tambang,
memberikan perhatian khusus pada masyarakat lokal yang dianggap sebagai pemangku
kepentingan utama. Sekitar 60% lokasi penambangan di Australia berdampingan dengan
penduduk asli (indigenous people). Penduduk asli dalam hal ini memperoleh perlindungan
khusus terhadap aset sumberdaya yang mereka miliki khususnya tanah dan warisan sejarah.
Sementara itu United Nations Industrial Development Organization mendefinisikan Corporate
Social Responsibility sebagai tanggungjawab sosial perusahaan adalah suatu konsep
manajemen dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam
operasi bisnis mereka dan interaksi dengan para pemangku kepentingan.

Perkembangan industri pertambangan di Indonesia

Balard (2001: 12-16) menjelaskan bahwa walaupun penambangan emas dan perak
skala kecil di Jawa telah dimulai pada sekitar 700 SM, Industri tambang di Indonesia baru
dimulai pada 1710 ketika pertambangan timah dimulai di Pulau Bangka. Penambangan
timah, batu bara dan mangan selama abad ke 19 seluruhnya dibawah kendali pemerintah
kolonial Belanda, namun pada awal abad ke 20 juga telah mulai dilakukan penambangan
nikel di Sulawesi, aspal di Pulau Buton dan bauksit di Pulau Bintan oleh Pemerintah kolonial
Belanda. Eksplorasi yang dilakukan sebelum perang dunia masih terbatas dan hanya 5 persen
dari potensi tambang di Indonesia yang telah berhasil dibuat peta geologinya sampai dengan
tahun 1942. Setelah kemerdekaan Indonesia, investasi yang berasal dari luar negeri tidak
diperbolehkan. Investasi asing dibuka kembali dimasa Orde Baru (1965). Pada tahun 1968,
sebagian besar perusahaan pertambangan swasta dalam negeri digabungkan pada PT.
Tambang Timah dan PT. Aneka Tambang.
Selanjutnya Ballard (2001: 13) menjelaskan bahwa pada tahun 1967 investasi modal
asing di bidang pertambangan dibuka kembali dan pada tahun 1967. Freeport Sulphur
menandatangani kontrak pertamanya dengan Pemerintah Indonesia untuk menambang

3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

tembaga di Irian Barat. Kontrak karya perusahaan tambang asing dengan Pemerintah
Indonesia pada dasarnya mendesain perusahaan asing sebagai kontraktor yang bekerja untuk
pemerintah dan membayar pajak keuntungan disamping royalti dan pajak-pajak lainnya.
Kontrak dengan perusahaan pertambangan asing kemudian disusul dengan beberapa
perusahaan kontrak karya asing yang kontraknya ditandatangani antara tahun 1968-1971
termasuk INCO yang membuka tambang nikel di Soroako.
Booming tambang yang terjadi pada akhir 1980an dan awal 1990an. Sebagian besar
perusahaan tambang tersebut berlokasi di Sumatera, Kalimantan dan Jawa (termasuk
penambangan emas Rio Tinto di Kelian, Kalimantan). Pada tahun 1991, Pemerintah Indonesia
membuat aturan pajak dan insentif baru untuk penanaman modal asing yang membuat
beberapa perusahaan asing mulai melakukan eksplorasi di wilayah timur Indonesia. Di motori
oleh FREEPORT pada tahun 1988 yang menemukan deposit emas di Irian Jaya, termasuk
NEWMONT di Batu Hijau). Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 telah
menyebabkan penurunan investasi secara drastis di sektor pertambangan. Selama masa Orde
Baru (1965-1997), kepentingan dan hak-hak masyarakat disekitar lokasi tambang diabaikan
dan tidak pernah diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun pihak perusahaan. Sebagian
besar pendekatan yang digunakan adalah pendekatan militer.
Kejatuhan rezim Orde Baru oleh Orde Reformasi telah memberikan perubahan
signifikan terhadap aturan di sektor pertambangan. Dengan diterbitkannya Undang-Undang
tentang otonomi daerah Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999
tentang perimbangan keuangan daerah dan pusat telah memberikan kewenangan yang sangat
besar kepada daerah (propinsi dan kabupaten). Namun demikian implementasi dari
pelimpahan kewenangan ke daerah tidak serta merta memberikan dampak positif kepada
masyarakat lokal. Serangkaian ketidak pastian proses (termasuk tumpang tindih lokasi) dan
korupsi dalam pemberian izin menyertai pelimpahan kewenangan tersebut (Ballard, 2001:
15). Berdasrkan pengalaman dan bukti empiris yang ada selama proses pengalihan
kewenangan kepada pemerintah daerah hak-hak masyarakat lokal sebagai pemangku
kepentingan tidak juga mendapatkan perhatian yang semestinya dari pihak-pihak terkait.

Kegiatan sektor tambang dan hak asasi manusia (studi kasus)

1. Ombilin (Sumatera Barat)

Ombilin merupakan tambang batu bara tertua di Indonesia karena depositnya yang
sangat besar. Eksplorasi tambang batubara Ombilin dimulai sejak tahun 1891 oleh pemerintah
kolonial Belanda. Saat ini tambang batu bara Ombilin dikelola oleh perusahaan PT. Tambang

4
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Batu Bara Bukit Asam (perusahaan negara). Pada periode antara 1892 -1920 kegiatan
penambangan batu bara di Ombilin ditandai dengan periode brutal dan pemaksaan kepada
tenaga kerja dibawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Namun terjadi inefisiensi yang
semakin parah pada tahun 1920. Pemerintah kolonial kemudian melakukan penggantian
manajemen dengan menempatkan pemimpin yang lebih profesional. Keadaan kemudian
membaik setelah 1920. Namun pembentukan serikat pekerja membuat para pekerja mulai
menuntut hak-hak mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1926-1927 dimana terjadi
pemogokan besar-besaran dan pemberontakan para buruh. Pemerintah kolonial Belanda
melakukan pemaksaan brutal untuk mengahiri pemogokan. Namun keadaan ekonomi yang
sulit ditandai dengan resesi ekonomi dunia, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda
melakukan negosiasi dengan para pekerja tambang batu bara yang berlangsung sampai
dengan meletusnya perang pasific pada tahun 1942. Periode pendudukan Jepang antara tahun
1942-1945 telah menyebabkan kondisi buruk terjadi kembali pada para pekerja tambang. Hal
ini menyebabkan produksi batu bara turun secara drastis.
Selama periode Soekarno (1950-1965), perusahaan tambang dinasionalisasi. Ombilin
dikelola oleh PT. Bukit Asam. Para pekerja tambang dipolitisasi, kompetisi antar partai politik
terjadi dan juga melanda serikat buruh ditambah lagi dengan konflik antar etnis. Tumbangnya
kekuasaan Orde Lama dan digantikan dengan Orde Baru memperkenalkan fase baru dalam
hubungan antara pekerja, pemerintah dan perusahaan. Militer menjadi bagian penting dalam
aktivitas tambang. Satu-satunya pilihan bagi pekerja adalah bergabung dengan Golkar dan
berbagai cabangnya. Organisasi buruh menjadi jauh lebih tertutup dibanding masa Orde
Lama. Sejarah panjang tambang Ombilin memberikan pelajaran tentang proses transformasi
manajemen yang terjadi, dari praktek kerja paksa oleh pemerintah kolonial, munculnya serikat
pekerja dan penekanan terhadap serikat pekerja. Kasus Ombilin ini memberikan pelajaran
tentang isu etnis lokal dan isu nasional. Tidak selesainya berbagai kasus klaim terhadap
kompensasi lahan menunjukkan sejarah panjang pengabaian terhadap masyarakat disekitar
tambang.

2. PT. Inco Soroako

PT. Inco yang dimiliki oleh Inco Canada Ltd, mengoperasikan tambang nikel dan
pengolahan nikel (smelter) di sekitar Danau Matano-Soroako, provinsi Sulawesi Selatan.
Eksplorasi dimulai pada tahun 1968 dengan sistem kontrak karya. Pembangunan proyek
dimulai pada tahun 1973 dan produksi dimulai pada tahun 1978. Dalam perjanjian kontrak
karya pada tahun 1996, PT. Inco memperoleh tambahan hak eksplorasi meliputi wilayah di
Sulawesi Tengah (Bahumotefe dan Bahodopi) dan Sulawesi Tenggara (Pomalaa). Ekspansi

5
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

perluasan kapasitas smelter untuk mendorong peningkatan 50 persen produksi selesai


dilakukan pada tahun 2000.
Sebagaimana terjadi dibanyak lokasi tambang di Indonesia pada periode tersebut,
banyak masyarakat disekitar tambang kehilangan lahan pertanian mereka dan oleh karena itu
matapencaharian mereka juga ikut hilang. Banyak lahan pertanian warga Soroako yang
berada di pinggir Danau Matano diambil alih untuk membangun infrastruktur pendukung
tambang termasuk pembangunan bandara, lapangan golf dan stadion olahraga. Dibawah
perjanjian kontrak karya PT. Inco tidak memiliki kewajiban untuk melakukan ganti rugi
ataupun membayar royalti pada masyarakat. Selama masa pemerintahan Orde Baru,
pemerintah kabupaten hanya menerima royalti untuk pasir dan kerikil yang digunakan dalam
pembangunan infrastruktur tambang. Negosiasi kompensasi lahan hanya dilakukan antara PT.
Inco dengan pemerintah daerah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya ganti rugi lahan
tidak memuaskan masyarakat. Total pembayaran ganti rugi hanya US$100.000 dibanding
total investasi PT.Inco sebesar US$850 juta. Ganti rugi terhadap kehilangan matapencaharian
masyarakat tidak pernah diperhitungkan. Janji pemberian pendidikan dan latihan pada
masyarakat juga tidak pernah terwujud secara maksimal. Namun yang paling dirasakan
dampak negatif oleh masyarakat dari kegiatan penambangan nikel di Soroako adalah polusi
dan kerusakan lingkungan.
Selain pada kedua lokasi tambang tersebut, berbagai pelanggaran kemanusiaan pernah
terjadi di Irian Jaya yang sangat populer tidak hanya di dalam negeri namun juga di dunia
internasional, khususnya selama kurun waktu pemerintahan rezim Orde Baru. Namun sejak
tahun 1996 Freeport telah melakukan beberapa prakarsa untuk memberikan perhatian lebih
pada hak-hak masyarakat. Pada tahun 2000 Freeport McMoran dan Rio Tinto telah
menandatangani pernyataan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keamanan. Esteves (2008:
39) menyatakan bahwa penentu kesuksesan suatu perusahaan dalan jangka panjang adalah
kemampuan perusahaan untuk dapat mendukung kepentingan masyarakat sesuai dengan nilai-
nilai yang dianut oleh masyarakat pemangku kepentingan di lokasi kegiatan pertambangan.
Permasalahan sosial lainnya juga sering disebabkan oleh perubahan secara mendadak
terhadap kondisi demografi disebabkan oleh membanjirnya tenaga kerja yang berasal dari luar
daerah tambang. Membanjirnya migrant juga sering disertai dengan munculnya berbagai
penyakit termasuk penyakit masyarakat (prostitusi, kriminalitas dll), meningkatnya harga
barang, meningkatnya biaya hidup, kelangkaan air bersih, gangguan terhadap daerah
perburuan dan areal penangkapan ikan tradisional (Hilson, 2002 dalam Esteves, 21008:41).

6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Metodologi

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ethnography untuk mengumpulkan


data kualitatif. Untuk memperoleh data, peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-
hari informan kunci. Pada awalnya informan kunci dipilih masing-masing satu orang di setiap
desa, kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan informasi yang ingin dikumpulkan
menggunakan teknik snowball sampling. Selain itu dilakukan studi pustaka untuk mengetahui
hubungan masyarakat dengan perusahaan tambang di daerah lain di Indonesia. Informasi yang
disajikan dalam paper ini adalah sebagian informasi yang dikumpulkan selama pelaksanan
penelitian yang berlangsung selama satu tahun (2011-2012) di Kecamatan Routa.

Baseline Survey

Berdasarkan pelajaran tentang hubungan antara masyarakat pemangku kepentingan


dengan perusahaan yang kebanyakan kurang harmonis baik di Indonesia maupun dibeberapa
negara lain di dunia, maka sebelum memulai kegiatan pertambangannya di Routa, Rio Tinto
terlebih dahulu melakukan baseline survey. Kegiatan baseline survey dilakukan dengan
melibatkan kalangan perguruan tinggi baik yang terdapat di sekitar lokasi tambang maupun
perguruan tinggi lain yang dianggap memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan
studi tentang penyiapan masyarakat pada daerah-daerah pertambangan.
The Australian National University bekerjasama dengan Universitas Tadulako dan
Universitas Haluoleo kemudian dipilih untuk melakukan baseline survey di Kecamatan Routa
selama kurang lebih satu tahun. Baseline studi ini menghasilkan serangkaian informasi
penting tentang masyarakat yang bermukin di Kecamatan Routa, menyangkut; sejarah
terbentuknya kecamatan Routa, migrasi penduduk, matapencaharian, institusi formal maupun
tradisional. Hasilnya situasi kecamatan Routa dapat dipetakan secara lebih detail dan yang
lebih penting dari itu semua adalah komunikasi dengan masyarakat terbina dengan sangat
baik. Masyarakat memperoleh informasi yang lebih jelas dengan bahasa yang sederhana
tentang rencana kegiatan perusahaan, masyarakat kemudian menjadi tidak sungkan untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pihak perusahaan atau yang mewakili perusahaan.
Pertemuan informal pun terjadi setiap saat, pada saat tim peneliti mengunjungi kebun damar
masyarakat, membantu masyarakat menanam tanaman, mencarikan solusi penanggulan hama
yang menyerang tanaman kakao masyarakat dan memperbaiki sarana listrik mikrohidro yang
rusak. Diskusi menjadi berkembang tidak hanya menyangkut hubungan masyarakat dengan
perusahaan namun juga, masyarakat sudah tidak sungkan untuk berdiskusi tentang berbagai
permasalahn yang mereka hadapi. Hal ini sangat positif bagi perusahaan untuk merumuskan
jenis program dan kegiatan yang benar-benar dapat menyentuh kebutuhan masyarakat.

7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pembentukan Insitusi Masyarakat dan Perumusan Program

Lorenzen (2015:4) menyatakan bahwa permasalahan umum yang terjadi dalam


hubungan antara masyarakat sebagai pemangku kepentingan dengan pihak perusahaan adalah:
1) kurangnya keterlibatan masyarakat; 2) hak-hak masyarakat yang terabaikan; 3)
tanggungjawab sosial perusahan (CSR/Corporate Social Responsibility) dianggap sebagai
pembayaran langsung; 4) perusahaan kurang transparan; 5) kebingungan peran dan perebutan
kekuasaan; 6 pendekatan top-down untuk rancangan program community development; 7)
perusahaan mengambil tanggungjawab pemerintah. Permasalahan umumnya terjadi antara
kontraktor yang direkrut oleh perusahaan tambang untuk menyelesaikan pekerjaan
pembangunan infrastruktur, umumnya meliputi: 1) tidak memahami masyarakat; 2) tidak
melibatkan semua kelompok masyarakat; 3) evaluasi yang kurang tepat; 4) konflik yang tidak
terselesaikan; 5) penyelesaian masalah dengan pemberian uang; 6) membuat janji-janji yang
tidak dapat diselesaikan; 7) mengangkat pihak lain (ormas atau LSM) sebagai representasi
suara masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan yang dikemukakan masyarakat. Komunikasi antar
masyarakat dengan pihak perusahaan menjadi sangat penting. Untuk itu perlu dibangun suatu
mekanisme komunikasi terstruktur dan sistematis. Pengalaman yang terjadi di Kecamatan
Routa selama Rio Tinto melakukan tahap eksplorasi adalah dengan membuat institusi
berjenjang di setiap level masyarakat. Di setiap desa dibentuk Tim Koordinator desa yang
anggotanya dipilih atau ditetapkan secara musyawarah mufakat dengan seluruh masyarakat.
Pembentukan Tim di tingkat desa ini juga memperhitungkan aspek keterwakilan perempuan
dan kelompok lain di masyarakat. Tim di tingkat desa ini bertugas mengakomodasi,
mendiskusikan dan menyeleksi berbagai usulan program yang akan diajukan ke pihak
perusahaan melalui Tim di tingkat Kecamatan. Proses diskusi di tingkat desa ini di fasilitasi
oleh fasilitator desa yang disediakan oleh bagian community affairs pihak perusahaan.
Tim di tingkat kecamatan terdiri dari perwakilan masing-masing desa dalam
kecamatan. Tim ini bertugas mengevaluasi program yang diusulkan oleh tim desa. Pertemuan-
pertemuan di tingkat kecamatan ini juga difasilitasi oleh fasilitator yang disiapkan pihak
perusahaan. Selanjutnya, hasil diskusi diseleksi di tingkat kecamatan, kemudian dibawa dalam
diskusi antara perusahaan, pihak pemerintah kabupaten dan perwakilan masyarakat. Program
usulan tersebut kemudian dievaluasi besama tim independen dari kalangan akademisi.
Pertimbangan utama adalah kemampuan dan kapasitas yang dimiliki masyarakat untuk dapat
melaksanakan dan menjaga kesinambungan kegiatan. Urutan prioritas kegiatan didasarkan
pada kemampuan pihak perusahaan untuk mendukung pendanaan maupun pengelolaan

8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kegiatan. Secara ringkas pembentukan institusi dan mekanisme komunikasi yang dibangun di
Kecamatan Routa adalah sebagai berikut.

Rapat Frekwensi Lokasi


Rapat Komite Desa 1 kali per bulan Di setiap Desa

Rapat Komite Kecamatan Setiap 2 bualn Rotasi antar Desa

Forum Komite Desa 4 kali per tahun Rotasi antar Desa

Implementasi
Dalam pelaksanaannya, tim desa dan tim kecamatan terlibat sejak penetapan kriteria
penduduk lokal dan perekrutan awal karyawan yang berasal dari penduduk desa setempat
secara ringkas mekanisme yang dibangun dalam proses perekrutan karyawan lokal dilakukan
sebagaimana dijelaskan dalam diagram berikut.

9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Rekomendasi (Dalam
Usulan Calon Tenaga Verifikasi Awal Oleh Bentuk Daftar Calon
Kerja Dari Komite Desa Tenaga Kerja Yang
Desa/Kelurahan (Berdasarkan Kriteria Memenuhi Kriteria
Formulir Usulan
Lokal Yang Telah Lokal)
Disiapkan Oleh Tim Disepakati)
Comrel SCM 1. Verifikasi
Administrasi
2. Verifikasi Tembusan
Faktual Rekomendasi
Umpan Balik Data Ke Tim Comrel
ke Kecamatan

Verifikasi Lanjutan
Dokumen (Rekomendasi Pengajuan Rekomendasi Komite
Oleh Komite
Hasil Akhir Verifikasi) dari Desa Ke Komite Kecamatan
Kecamatan
Komite Kecamatan

Umpan Balik Data


Ke Desa
/Kelurahan
Dokumen Disampaikan ke Tim
Comrel PT. SCM dan Perusahan
Outsourcing

Untuk menjamin pemerataan dan kuota yang adil kepada semua desa dibuat rumusan
sederhana yang mudah difahami oleh penduduk setempat. Rangkaian proses sebagaimana
digambarkan dalam diagram diatas memberikan dampak pada beberapa hal antara lain: 1)
masyarakat terlibat dari awal; 2) proses berlangsung transparan; 3) monitoring dan evaluasi
proses dilakukan secara bersama-sama perusahaan dan masyarakat; 4) terbangun kapasitas
kerjasama antara masyarakat dan perusahaan dalam mencari solusi dan kompromi.
Program lain yang digagas oleh Rio Tinto bersama masyarakat Routa adalah
membangun institusi ekonomi lokal melalui pembentukan BUMDes (Badan Usaha Milik
Desa). Pembentukan institusi ini juga melalui proses sebagaimana dijelaskan di atas.
Pemilihan institusi ekonomi ini didasarkan pada pertimbangan tidak tersedianya lembaga
keuangan formal di Kecamatan Routa. Dengan tersedianya institusi ini sebagian besar
masyarakat desa dapat menyimpan kelebihan finansial mereka pada saat musim panen dan
memanfaatkannya setelah panen selesai. Penjualan produk dapat diorganisir sehingga
masyarakat dapat menikmati harga yang lebih layak sebaliknya pembelian sarana produksi

10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pertanian juga dapat diorganisir sehingga masyarakat dapat menerima harga yang lebih
murah.
Penutup

Perumusan pelibatan masyarakat yang dilakukan secara cermat, diawali dengan studi
baseline, membuat model pelibatan masyarakat benar-benar didasarkan pada kebutuhan
masyarakat. Komunikasi antara perusahaan dengan semua komponen masyarakat terbina
dengan baik. Pemilihan jenis program bersama juga benar-benar didasarkan pada kapasitas
dan kemampuan masyarakat serta sesuai dengan aspirasi masyarakat. Akibatnya selama masa
eksplorasi tidak pernah terjadi gejolak atau konflik antara masyarakat dengan pihak
perusahaan. Sangat disayangkan kegiatan ini tidak dapat dilanjutkan karena harga nikel yang
terus menurun, membuat Rio Tinto menarik diri dari rencana penambangan nikel di
Kecamatan Routa.

DAFTAR PUSTAKA
Ballard, Chris. 2001. Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study.
International Institute for Environmental and Development. England.
Ballard, Chris and Banks, Glenn. 2003. The Anthropology of Mining. Annual Review of
Anthropology. Vol. 32, pp.287-313.
Brereton, David, dkk. 2006. Keterlibatan dan Keberlanjutan untuk Masyarakat. Australian
Government, Department of Industry Tourism and Resources.
Esteves, A.M., 2008. Mining and social development: Refocusing community investment
using multi-criteria decision analysis. Resources Policy. Vol. 33, pp 39-47.
Lorenzen, Stephan. 2015. Program CSR dalam mewujudkan Harmonisasi Sosial dan
Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Area Pertambangan. Disajikan dalam seminar
Tanggungjawab Sosial Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam menunjang
Kesejahteraan Masyarakat dan Kemajuan Pembangunan Wilayah. Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.

11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

FORMULASI PENGETAHUAN TUKANG BANGUNAN MENGENAI PONDASI


BATU GUNUNG

Muhammad Zakaria Umar


Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Halu Oleo
Jalan H.E.A Mokodompit Kendari
Muzakum@yahoo.com

Abstrak

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang dibangun oleh tukang bangunan yang tidak memiliki
pendidikan formal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan pengetahuan tukang bangunan mengenai
pondasi batu gunung. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptifterhadap tukang
bangunan dalam membuat pondasi batu gunung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi
pengetahuan tukang bangunan mengenai bahan dan material pondasi batu gunung berprinsip kaku tetapi juga
lentur gunameresponbencana alam gempa bumi.

Kata kunci: arsitektur vernakular, tukang bangunan, dan pondasi batu gunung.

1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki kebudayaan beragam dari ratusan etnis, yang
masing-masing memiliki kekhususannya sendiri, sehingga terdapat pula ratusan tipe rumah
vernakular di Indonesia. Arsitektur vernakular Indonesia tersebut memiliki kesamaan, karena
berasal dari akar yang sama, yaitu budaya Austronesia. Arsitektur vernakular adalah
bangunan yang berorientasi lokal dirancang bangun oleh pengrajin lokal dengan logika
sederhana, sebagai reaksi naluriah terhadap lingkungan alam yang mencakup berbagai
tipologi bangunan dalam jumlah terbatas, diturunkan dari generasi ke generasi secara konstan
dan berkesinambungan (Gartiwa, 2011). Bangunanvernakular merupakan bangunan yang
mempunyai keunikan tersendiri. Menurut Gutierrez (2004), keunikan bangunan vernakular
disebabkan oleh membangunnya yang turun-temurun dari ancient tradition, baik dari segi
pengetahuan maupun metodenya. Bangunan vernakular sesuai dengan kebutuhan dan
kebiasaan masyarakatnya serta tahan terhadap lingkungan alamnya, sehingga bangunan
vernakular tetap eksis hingga sekarang. Menurut Rapoport (1969), bahwa karakteristik
bangunan vernakular adalah bangunannya tidak didukung oleh prinsip dan teori bangunan
yang benar. Arsitektur vernakular dalam membangun menggunakan produk budaya
pertukangan secara manual yang didasarkan pada logika sederhana dan diulang dalam jumlah
terbatas. Pola transfer pengetahuannya dilakukan secara verbal (tidak tertulis) dari generasi ke
generasi, individu-individu dibimbing oleh suatu rangkaian konvensi, yang dibangun dalam
lokalitasnya. Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang dibangun oleh tukang bangunan
yang tidak memiliki pendidikan formal. Penelitian ini ditujukan untuk memformulasikan
pengetahuan tukang bangunan mengenai pondasi batu gunung.

12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. KAJIAN PUSTAKA
A. Formulasi Pengetahuan Tukang Bangunan
Kesan pertukangan Tionghoa yang ada di Nusantara dapat dilihat di daerah Jawa dan
Melaka. Pengaruh ini berdasarkan pelayaran yang dilakukan Cheng Ho pada sekitar abad ke-
15 M. Pelayaran Cheng-Ho telah membawa keunikan reka bentuk dan seni bina Cina ke
Nusantara (Ismail, dkk., 2015). Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara telah
membawa adat dan budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan mereka. Kehadiran
masyarakat Tionghoa telah memperkenalkan satu seni bina dan reka bentuk yang menarik ke
Alam Melayu dan bentuk pertukangan tersebut telah menjadi rujukan kepada masyarakat
Melayu untuk mereka cipta (Yusof, 2014).Perkembangan dunia konstruksi tengah memasuki
pasar global, untuk dapat bertahan dalam persaingan dunia di bidang jasa konstruksi perlu
adanya standar mutu yang jelas. Perusahaan perlu memperhatikan faktor utama yang menjadi
tulang punggung sebuah perusahaan adalah para pekerja bangunan. Undang-undang no. 1
tahun 1970 telah mengatur tentang pentingnya jaminan kesehatan dan keselamatan bagi
pekerja. Untuk itu K3 dan standar ISO sangat penting untuk di sosialisasikan ke berbagai
pihak (Ernawati, 2010). Kualifikasi mandor diperlukan untuk mengetahui pengetahuan dalam
melaksanakan pekerjaan. Kualifikasi mandor berfungsi untuk menyeleksi mandor yang
memiliki kualitas yang baik maupun kurang baik. Hal tersebut memudahkan kontraktor dalam
merekrut mandor yang berkualitas baik. Kualifikasi pengetahuan mandor berdasarkan SKKNI
(Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) (Aryanto, 2013). Lima faktor yang
berpengaruh pada penurunan produktivitas tukang batu saat kerja lembur adalah pengaruh
cuaca, kondisi fisik lapangan, ketidak jelasan perintah kerja, kondisi fisik pekerja dan adanya
perubahan pekerjaan. Manajemen proyek perlu mempersiapkan dan merencanakan sebaik
mungkin untuk memberlakukan kerja lembur. Kerja lembur sebaiknya tidak lebih dari empat
jam, setelah jam kerja (Sulistyawan, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya pertukangan sudah ada
sejak dahulu, saat ini kualitas tukang dalam bentuk kualifikasi tukang diperlukan, dan
manajemen proyek pada suatu proyek bertugas untuk memperhatikan kesejahteraan tukang.
B. Pondasi Batu Gunung
Dalam setiap pembangunan suatu proyek konstruksi dibutuhkan perencanaan struktur
yang kuat, aman, dan nyaman. Salah satu bagian bangunan untuk mendukung hal tersebut
adalah pondasi (Nuryanto, 2013). Struktur bawah dari suatu bangunan lazim disebut pondasi,
yang bertugas memikul bangunan di atasnya (Sitohang, dkk, 2014). Pondasi merupakan suatu
bagian penting dalam proses pembangunan rumah tinggal dan sekarang ini sangat menuntut
kita untuk bekerja cepat, tepat dan efektif (Alesandro, dkk, 2013). Kesesuaian pekerjaan

13
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan persyaratan tahan gempa pada pekerjaan struktur pondasi dengan spesifikasi sebagai
berikut: 1). Pondasi perlu ditempatkan pada tanah keras; 2). Penampang melintang pondasi
adalah simetris; 2). Pondasi perlu dihindarkan penempatan pada sebagian tanah keras dan
tanah lunak; 4). Pondasi menerus perlu mengikuti panjang denah bangunan; 5). Pondasi
menerus perlu dibuat pada kedalaman yang sama; 6). Lebar sisi bawah pondasi adalah
minimal 60 cm (Evita, 2012). Prinsip-prinsip pondasi tahan gempa perlu mengikuti ketentuan-
ketentuan sebagai berikut: 1). Apabila digunakan pondasi setempat, maka masing-masing
pondasi setempat tersebut perlu diikat satu dengan yang lainnya secara kaku dengan balok
pengikat; 2). Penggunaan pondasi pada kondisi tanah lunak dapat digunakan pondasi pelat
beton; 3). Untuk rumah panggung di tanah keras yang menggunakan pondasi tiang, maka
masing-masing dari tiang tersebut harus diikat sedemikian rupa satu sama lainnya dengan
silang pengaku (Hidayat, 2008).Pondasi dan sloof adalah struktur bawah yang menahan
struktur di atasnya dan meneruskan beban tersebut ke tanah, dengan ketentuan sebagai
berikut: 1). Perbandingan antara semen dan pasir adalah 1:4; 2). Lebar bagian atas pondasi
adalah minimal 30 cm, lebar bagian bawah, dan lebar galian minimal 60 cm. Kedalaman
pondasi adalah minimal 60 cm; 3). Balok sloof perlu diangkerkan pada pondasi dengan jarak
angker 1 m dan besi tulangan berdiameter 12 mm; 4). Tulangan kolom dijangkarkan ke
pondasi sedalam 30 cm; 5). Pondasi dibuat menggunakan batu pecah; 6). Perbandingan antara
semen: pasir: kerikil untuk sloof adalah 1:2:3; 7). Untuk rumah sederhana tidak bertingkat
dimensi sloofnya adalah 15 cm x 20 cm, dengan tulangan utama minimal diameter 10 mm dan
diameter tulangan sengkang 8 mm, dengan jarak sengkang 150 mm (Direktorat Jendral Cipta
Karya, 2006). Kaidah-kaidah dalam membuat pondasi batu kali untuk rumah tahan gempa
adalah rata-rata kedalaman pondasi 60 cm, lebar atas 30 cm, dan lebar bawah 50 cm.
Permukaan dasar galian perlu ditimbun dengan pasir urug dengan tebal ± 10 cm dan disiram
dengan air secara merata (Supriani, 2009).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahan dan material dalam
pembuatan pondasi batu gunung berprinsip kaku (misalnya: pondasi perlu diikat agar kaku)
tetapi juga lentur (misalnya: pondasi tiang pada rumah panggung).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Indonesia. Jenis
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif terhadap tukang
bangunan dalam membuat pondasi batu gunung. Obyek arsitektural yang dipilih adalah
pondasi rumah berlantai satu dan pondasi rumah berlantai dua. Kriteria pondasi yang dipilih
adalah pondasi sedang dalam proses pengerjaan dan pondasi yang telah selesai proses
pengerjaannya terhadap kekakuan dan kelenturan. Metode pengumpulan data dilakukan

14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan cara observasi terhadap pondasi batu gunung dan diskusi mendalam terhadap tukang
bangunan.Data dianalisis dengan cara tabulasi data dalam bentuk matriks kemudian dianalisis
dengan teknik triangulasi, isi, dan intrepetasi.
4. HASIL
Formulasi pengetahuan tukang bangunan mengenai bahan dan material pondasi batu
gunung berprinsip kaku tetapi juga lentur guna merespon bencana alam gempa bumi, ada di
tabel (1).
Tukang Bangunan Prinsip-prinsip
No Pondasi Batu
Tukang Bangunan Tukang Bangunan Kaku Lentur
. Gunung
1 2
1 Pengertian Dasar bangunan Dasar bangunan Kaku
pondasi
2 Fungsi pondasi Untuk menahan Agar dinding Kaku
beban di atasnya bangunan tidak
mudah retak
3 Jenis-jenis batu gunung, Pondasi batu Kaku
pondasi untuk cakar ayam, dan gunung dan cakar
rumah gantung ayam.
4 Bentuk lobang Bentuk kotak Bentuk kotak Kaku
galian pondasi
5 Material pasir Berwarna putih Tidak bercampur Lentur
untuk pondasi
6 Hamparan Perlu digunakan Perlu digunakan Lentur
pasir di bawah
pondasi
7 Fungsi Pelentur batu Memadatkan Lentur
hamparan pasir pondasi tanah
8 Bentuk Bentuk yang Bentuk yang Kaku
pondasi stabil stabil
trapesium
9 Rumus Tidak ada Berdasarkan Kaku
dimensi rumusnya pengalaman
pondasi tukang
10 Jenis batu Batu kali Batu gunung Kaku
untuk pondasi
11 Dimensi batu Berukuran besar Berukuran Kaku
untuk pondasi beragam
12 Pola Mirip penyusunan Tidak boleh kena Lentur
penyusunan batu merah nat
batu pondasi
13 Pengertian Batu di dasar Batu di bawah Lentur
batu kosong tanahtanpa setelah pasangan
ditumpuk batu gunung
14 Fungsi batu Peredam getaran Memadatkan Lentur
kosong tanah dasar
15 Ketebalan batu Situasional Tidak mesti Lentur
kosong berukuran 20 cm
16 Letak batu Perlu sandar di Perlu sandar di Kaku

15
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kosong galian galian


17 Pondasi pakai Diperlukan Di kontur yang Lentur
batu kosong tajam tidak pakai
batu kosong
18 Pengertian Batu kosong yang Batu kosong yang Kaku
kuku pada batu memakai mortar memakai mortar
kosong
19 Fungsi kuku Mengeraskan Mencengkeram Kaku
pada batu tanah di tanah
kosong bawahnya
20 Pondasi poer Bila diperlukan Pendukung Kaku
pelat memakai kekuatan sloof
pondasi batu
gunung
21 Hubungan Satu paket Tidak bisa Kaku
antara sloof dipisahkan
dan pondasi
22 Kedalaman ½ tinggi pondasi ½ tinggi pondasi Lentur
angkur di
dalam pondasi
23 Pelesteran Berdasarkan jarak Diperlukan Lentur
mortar untuk batu dan kekuatan
pondasi pondasi
24 Perbandingan 1:4 1:4 Lentur
mortar di
pondasi
25 Pondasi perlu Agar pondasi Agar bahan Kaku
ditimbun tidak mudah batunya tidak
bergeser mudah pecah
26 Penimbunan Berdasarkan sloof Setelah 3 jam atau Kaku
pondasi yang sudah kering satu minggu
27 Penyebab Campuran mortar Tukang yang Lentur
kerusakan kurang baik tidak ahli
pondasi
28 Undakan pada Berdasarkan Berdasarkan Kaku
lantai undakan undakan
timbunan dan timbunan dan
pondasi pondasi
Tabel 1. Pengetahuan Tukang Bangunan Mengenai Pondasi Batu Gunung (Sumber: Hasil
analisis, 2016).

5. PEMBAHASAN
Pondasi adalah dasar pada sebuah bangunan untuk menjaga beban di atasnya atau
dasar bangunan yang akan didirikan. Fungsi pondasi adalah sebagai berikut: 1). Sebagai
permulaan membuat bangunan atau dasar untuk membangun rumah; 2). Untuk menahan
beban di atasnya seperti beban dinding; 3). Agar dinding bangunan tidak mudah retak dan
badan bangunan terbebas dari rendaman air, karena pondasi dapat mengangkat badan rumah.
Jenis-jenis pondasi untuk rumah sederhana yaitu pondasi batu gunung, pondasi cakar ayam,

16
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dan pondasi gantung/pancang/paku bumi. Jenis pondasi yang digunakan untuk daerah yang
struktur tanahnya berair adalah pondasi paku bumi atau dirakit dari bambu, pondasi poer
pelat, dan pondasi batu gunung. Pondasi cakar ayam sama dengan pondasi poer pelat. Pondasi
cakar ayam yaitu tiang yang ujung bawahnya berpelat atau tiang yang memakai sepatu.
Fungsi poer pelat adalah agar pondasi tidak mudah turun pada struktur tanah yang berair dan
menahan gaya tekan yang besar. Pondasi paku bumi adalah pondasi yang dirakit dengan
menggunakan material bambu karena material bambu resisten terhadap air. Pondasi teras
adalah kelanjutan dari pondasi badan rumah dan tidak ada yang dibuat dari bahan batu merah.
Bentuk lobang galian pondasi adalah kotak, karena mudah dan cepat dalam proses
penggalian. Sedangkan bentuk lobang galian pondasi yang berbentuk trapesium tidak mudah
dalam proses penggalian.
Pondasi menggunakan material pasir yang bersih. Jenis pasir yang baik adalah
berwarna putih dan tidak bercampur dengan tanah atau lumpur, karena tanah dan lumpur tidak
saling mengikat dengan campuran semen dan pasir.Jenis pasir yang baik untuk daerah
Kendari yaitu pasir Pohara karena sudah teruji, warnanya hitam, dan kekuatan baik.
Hamparan pasir perlu digunakan di bawah batu kosong. Fungsi hamparan pasir adalah
pelentur batu pondasi. Pondasi yang tidak memakai hamparan pasir adalah pondasi yang tidak
lentur. Apabila tanah retak pasirlah yang mengisi rongga-rongga yang retak itu sehingga
tanahnya kembali padat. Bentuk pondasi batu gunung adalah simetris trapesium. Bentuk
simetris trapesium adalah bentuk yang stabil untuk menahan gaya getar dan gaya geser karena
bentuk tersebut semakin lebar ke bawah semakin kokoh. Kekuatan utama pondasi garis yaitu
ada di dasar pondasi. Bentuk pondasi kotak cenderung mudah mengalami penurunan. Ukuran
tinggi pondasi tidak ada rumusnya.Tinggi pondasi berdasarkan pengalaman para tukang.
Tinggi pondasi bangunan sederhana tidak tingkat adalah 50 cm, 60 cm, dan 70 cm. Lebar
kepala pondasi adalah 25 cm. Lebar alas pondasi adalah 80-100 cm. Lebar alas pondasi bisa
lebih dari 100 cm apabila beban di atasnya berat. Lebar alas pondasi disesuaikan dengan lebar
alas sloof. Tinggi pondasi bangunan berlantai dua adalah 70-80 cm dan lebar kepala pondasi
30 cm, karena bangunan berlantai dua mempunyai gaya tekan yang besar. Semakin tinggi
dinding yang kita buat semakin besar pula gaya tekannya, jadi bentuk pondasinya besar
karena menyesuaikan beratnya dinding (2 lantai berarti ada dua susun dinding). Lebar alas
bawah pondasi bangunan tingkat adalah 80-100 cm. Di atas kepala pondasi pada bangunan
berlantai dua ada sloof dengan lebar ukuran 20 cm.
Jenis batu yang baik untuk batu pondasi adalah batu kali dan batu gunung. Material
batu gunung atau batu kali atau batu karang dipilih dalam membuat pondasi berdasarkan
lokasinya. Apabila di lokasi tersebut banyak material batu gunung, maka batu yang dipakai

17
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

untuk membuat pondasi adalah batu gunung. Batu yang diproses dari hasil pembakaran tidak
kuat digunakan untuk bahan batu pondasi karena mudah retak. Dimensi batu yang besar untuk
pondasi. Ukuran batu pondasi yang baik adalah batu yang berukuran besar. Semakin besar
ukuran batunya semakin semakin kokoh pondasinya. Apabila sulit mendapatkan batu yang
berukuran besar bisa memakai batu yang yang dimensinya beragam. Batu gunung yang
disusun untuk pondasi ada polanya. Batu gunung yang di susun tanpa pola atau di letakkan
begitu saja akan mudah bergeser. Pola penyusunan batu gunung yaitu sama dengan pola
penyusunan batu merah. Prinsipnya adalah tidak boleh kena nat. Pola penyusunan seperti ini
adalah pola yang responsif terhadap gempa. Pola ini juga menjaga pondasi agar tidak mudah
retak dan patah. Polanya adalah batu yang paling besar di bawah, kemudian batu berukuran
sedang, dan selanjutnya batu yang berukuran kecil. Pola batu besar adalah yang paling bawah,
karena batu besar bisa mencegah keruntuhan.
Batu kosong adalah batu di dasar tanah yang disusun tanpa ditumpuk atau batu di
bawah setelah pasangan batu gunung pada sebuah pondasi. Batu kosong berfungsi sebagai
berikut: 1). Peredam getaran yang ditimbulkan oleh bencana alam gempa (material yang
responsif terhadap bencana alam gempa); 2). Untuk menempatkan pondasi batu gunung; 3).
Untuk meratakan posisi batu gunung yang berdiri di atasnya; dan 4). Untuk memadatkan
tanah dasar. Ketebalan batu kosong adalah situasional. Apabila ketebalan batu kosong di
gambar kerja adalah 20 cm, tetapi batu yang tersedia di lokasi lebih besar atau lebih kecil
ukurannya maka bisa menggunakan batu yang tersedia di lokasi tersebut. Batu kosong yang
layak pakai adalah berukuran besar dan berbentuk bulat karena daya tahannya lebih kuat dan
tidak mudah pecah. Jenis batu kali yang berbentuk melebar mudah pecah karena karakter
teksturnya berserat.
Pasangan batu kosong perlu sandar di galian atau keluar beberapa sentimeter dari
ujung bawah alas batu pondasi. Apabila batu kosong tidak sandar di galian maka batu gunung
di atasnya mudah bergeser. Pondasi perlu menggunakan pasangan batu kosong. Pondasi yang
tidak menggunakan pasangan batu kosong adalah pondasi yang kekuatannya diragukan.
Pondasi tidak menggunakan batu kosong apabila lokasinya berada di daerah yang berkontur
tajam. Apabila pondasi menggunakan batu kosong di tanah yang berkontur tajam maka batu-
batu kosong tersebut akan jatuh ke bawah. Pasangan batu kosong ada yang disebut kuku.
Kuku adalah pasangan batu kosong yang menggunakan mortar atau adukan. Kuku pada
umumnya digunakan di tapak dengan kontur yang tajam dan di pondasi talud. Tebal pasangan
batu kosong pada kuku adalah 30-40 cm. Fungsi kuku adalah untuk mengeraskan tanah di
bawahnya atau untuk mencengkeram tanah agar pasangan batu gunung dapat berdiri di
atasnya dengan kokoh.Pondasi poer pelat bisa dibantu dengan pondasi batu gunung bila

18
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

diperlukan. Pondasi poer pelat perlu dibantu dengan pondasi batu gunung apabila untuk
menahan dinding batu bata/batako dan sebagai pendukung kekuatan sloof. Apabila tanah
bergeser balok sloof tidak mudah bergerak karena pondasi batu gunung menopang sloof
dengan kokoh. Fungsi pondasi poer pelat adalah untuk menahan pelat lantai maka pondasi
tersebut tidak perlu dibantu dengan pondasi batu gunung, ada di gambar (1).

Kolom dari pondasi poer pelat.

Pondasi pasangan batu gunung membantu


sloof di pondasi poer pelat.

Gambar 1. Pondasi poer pelat bisa dibantu dengan pondasi batu gunung bila diperlukan
(sumber: hasil dokumentasi pribadi, 2015).

Sloof dan pondasi adalah satu paket. Satu paket artinya sloof dan pondasi tidak bisa
dipisahkan, karena rumah mempunyai beban yang berat (tulangan besi, beton, baja, kayu, dan
sebagainya). Sloof dan pondasi berfungsi untuk menahan beban dinding. Apabila sloof patah
maka ada pondasi yang menopang dinding. Pondasi juga berfungsi untuk menahan besi sloof
agar tidak mudah berkarat. Kedalaman angkur yang di tanam di dalam pondasi adalah ½
tinggi pondasi. Plesteran mortar untuk pondasi bisa diperlukan atau tidak diperlukan
berdasarkan jarak batu dan kekuatan pondasi. Berdasarkan jarak batu yaitu apabila jarak batu
saling berdekatan tidak perlu diisi dengan mortar. Apabila jarak batu tidak berdekatan maka
batu perlu diisi dengan mortar. Berdasarkan kekuatan yaitu apabila tidak memakai mortar
maka kekuatan pondasi tidak ada. Batu gunung yang disusun perlu memakai mortar sebagai
perekat agar lengket satu sama lainnya. Perbandingan mortar untuk pondasi adalah 1:3; 1:4;
dan 1:5. Plesteran mortar yang paling baik perbandingannya adalah 1:4 karena mudah kering,
pondasi kokoh, dan pondasi tidak mudah retak atau patah. Mortar dengan perbandingan 1:1
dan 1:2 selain tidak efisien juga dapat membuat pondasi mudah patah. Apabila bentuk batu
gunungnya besar maka ketebalan campurannya juga tebal yaitu 3 cm.

19
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pondasi perlu ditimbun. Pondasi perlu ditimbun apabila di dalam bangunan agar tidak
mudah bergeser dan bahan batunya tidak mudah pecah. Penimbunan yang baik ada dua yaitu;
1). Rata dengan sloof. Penimbunan rata dengan sloof karena letak rabat lantai di atas sloof.
Rabat lantai di atas sloof adalah letak yang kokoh, karena letak tersebut dapat mengakibatkan
rabat lantai menempel dengan dinding bangunan dan tidak mudah patah ada di gambar (2);
dan 2). Timbunan perlu turun dengan jarak 5 cm dari kepala sloof untuk rencana rabat lantai.
Pondasi bisa ditimbun berdasarkan sloof yang sudah kering. Lamanya sloof kering adalah 3
jam atau dua hari atau satu minggu berdasarkan iklim suatu daerah dan kualitas bahan
pembuatannya. Apabila sloof sudah kering pondasi jangan terlalu sering terkena injakan
karena sloof akan mudah bergeser. Kerusakan pondasi bisa diakibatkan oleh bahan mortar dan
hasil kerja tukang bangunan yang tidak ahli. Kerusakan pondasi bisa disebabkan oleh
campuran mortarnya yang cenderung kurang baik, kurang matang, atau kurang semen.
Kerusakan pondasi juga bisa disebabkan oleh tukang yang kerjanya tidak ahli. Dalam proses
pengerjaan sebuah pondasi ada tukang yang kerjanya cepat tetapi hasil pakerjaannya
cenderung tidak baik. Ada juga tukang yang kerjanya lambat tetapi hasil pekerjaannya
memuaskan penghuni bangunan.

Gambar 2. Pondasi perlu di timbun apabila di dalam bangunan (sumber: hasil dokumentasi
Pondasi perlu ditimbun apabila di
pribadi, 2015). dalam ruangan.

Undakan lantai berdasarkan undakan timbunan dan undakan pondasi. Undakan lantai
yang berjarak lebih dari 10 cm adalah menggunakan undakan pondasi, balok sloof mengikuti
undakan pondasi, dan balok ringbalk tetap tidak berundak. Apabila lantai berundak-undak
letak as kolomnya adalah di belakang as bukan di tengah as. Rabat lantai dapat membantu
kekuatan pondasi yang berundak-undak. Undakan lantai dengan jarak minimal 5 cm adalah
menggunakan timbunan. Lantai pada kamar mandi diturunkan akibat dari penurunan

20
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

timbunan. Lantai di badan rumah perlu lebih tinggi dari lantai di dalam kamar mandi agar
tidak basah.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini disimpulkan bahwa formulasi pengetahuan tukang bangunan mengenai
bahan dan material pondasi batu gunung berprinsip kaku tetapi juga lentur guna merespon
bencana alam gempa bumi. Pengetahuan tukang bangunan mengenai penggunaan pondasi
poer pelat dengan memakai bantuan pondasi batu gunung, perbedaan antara pondasi poer
pelat dan pondasi cakar ayam, dan menentukan ukuran tinggi pondasi mempunyai keunikan
tersendiri.
B. Saran
Penelitian ini dapat dilanjutkan untuk meneliti pengetahuan tukang bangunan
mengenai pondasi cakar ayam.

Daftar Pustaka
Alessandro, Rangga, Limanto, S., Suwono, J. 2013. Sistem Interlocking pondasi Tapak Pada
Rumah Sederhana Satu Lantai.Jurnal Dimensi Pratama Teknik Sipil, Publisher: Jurnal
Dimensi Pratama Teknik Sipil, (Online), Vol 2, No 1 page. 9-16,
(http://id.portalgaruda.org, akses tanggal 26 Januari 2016). (KP)
Aryanto, D., Suryanto, M., 2013. Penilaian Kualifikasi Pengetahuan Mandor Konstruksi
Berdasarkan SKKNI pada Proyek Bangunan Gedung di Wilayah Surabaya. Jurnal
Mahasiswa Teknologi Pendidikan, (Online), Vol 3, No 1/JKPTB/13,
(http://scholar.google.co.id, akses tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Direktorat Jendral Cipta Karya, 2006. Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan
Gempa. Jakarta: Dinas Pekerjaan Umum. (KP)
Ernawati, A. 2010. Peningkatan Keahlian Tukang Bangunan Guna Menunjang Program K3
dan ISO 9002 Dalam Bidang Pekerjaan Jasa Konstruksi. Jurnal Ilmiah Faktor
Exacta, Program Studi Teknik Arsitektur, FTMIPA, Universitas Indraprasta PGRI,
(Online), Vol. 3 No. 3, (http://scholar.google.co.id, akses tanggal 07 Pebruari 2016).
(KP)
Evita, M., Supriani, F., 2012. Analisis Kualitas Konstruksi Perumahan Real Estate Di Kota
Bengkulu Berdasarkan Persepsi Konsumen san Kesesuaian Persyaratan Tahan
Gempa. Jurnal Inersia, (Online), Vol. 4 No. 2 Oktober, (http://scholar.google.co.id,
akses tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Gartiwa, M. 2001. Morfologi Bangunan Dalam Konteks Kebudayaan. Cetakan I. Muara
Indah: Bandung. (P)
Gutierrez, J. 2004. Notes on the Seismic Adequacy of Vernakular Buildings. 13th
WorldConference on Earthquake Engineering, Vancouver. B. C. Canada August 1-6.
Paper No. 5011. (P)
Hidayat, H., Lindawati, L. 2008. Evaluasi Proyek Kontruksi Rumah Tahan Gempa Di Desa
Cucukan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. (Online), (http://scholar.google.co.id,
akses tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Ismail, S., Yusof, A., Shukri, W., N., M., Razif, N., M. 2015. Pelayaran Cheng Ho terhadap
Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid di Nusantara pada Abad ke-15M. Jurnal

21
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Usuluddin 41 (Januari – Jun), (Online), 125-145, (http://scholar.google.co.id, akses


tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Nuryanto, N, dan Sri, W. 2013. Perencanaan Pondasi Tiang Pada Tanah Lempung.Prosiding
PESAT, (Online), Vol 5, (http://id.portalgaruda.org/, akses tanggal 26 Januari 2016).
(KP)
Rapoport, A. 1969. House, Form, and Culture. London: Prentice-Hall International, Inc. (P)
Sitohang, Gunawan, E, A., Roesyanto. 2014. Desain Pondasi Telapak Dan Evaluasi
Penurunan Pondasi. Jurnal Teknik Sipil USU, (Online), Vol 3, No 1,
(http://id.portalgaruda.org, akses tanggal 26 Januari 2016). (KP)
Sulistyawan, A. 2007. Analisis Kerja Lembur dan Produktivtas Tukang Batu Pada Proyek
Konstruksi.Wahana TEKNIK SIPIL, (Online), Vol. 12 No. 3: 150-159,
(http://scholar.google.co.id, akses tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Supriani, F. 2009. Studi Mitigasi Gempa di Bengkulu dengan Membangun Rumah Tahan
Gempa. Jurnal Teknik Sipil Inersia, (Online), Vol 1, No 1, Tahun I Oktober,
(http://scholar.google.co.id, akses tanggal 07 Pebruari 2016). (KP)
Yusof, A., Ismail, S., 2014. Sumbangan Pertukangan Cina Terhadap Reka Bentuk Masjid:
Kajian Terhadap Komponen Luar Masjid Di Melaka Pada Abad Ke-18. Jurnal al-
Tamaddun, (Online), Bil 9 (1), 57-66, (http://scholar.google.co.id, akses tanggal 07
Pebruari 2016). (KP)

22
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK TERHADAP KINERJA SEKTOR


PARIWISATA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Sitti Hairani Idrus

Jurusan Administrasi Negara-Universitas Halu Oleo (UHO)


email : hairani_idrus@yahoo.co.id

Abstract
Tourism sector is one of the government leading sectors in creating income and employment in Indonesia.
Therefore, the Indonesia Act for Tourism No. 10 Year 2009 mandated the need for public policies to improve the
performance of tourism sector in Indonesia. One of them is the implementation of the Government Regulation
(PP) No. 50 Year 2011 about National Tourism Master Plan 2010 to 2025. This paper aims to describe the effect
of public policies implementation on the performance of the tourism sector in Southeast Sulawesi. The method of
this research method is quantitative method based on statistical data obtained from the Central Statistics Agency
of Southeast Sulawesi province. The results indicate that there is a fairly positive performance of the tourism
sector in Southeast Sulawesi, after the implementation of Law No. 10 Year 2009 on Tourism dan Government
Regulation No. 50 Year 2011 regarding the national tourism master plan 2010-2025. It is characterized by an
increased number of tourist visits and tourism facility and infrastructure in South East Sulawesi. However, the
performance of the tourism sector is facing many challenges in the future, so the implementation of government
regulation No. 50 Year 2011 must be applied immediately in form of government policies in province and district
level such as tourism development master plan of provincial and district/city entire region of Southeast Sulawesi.

Keywords: Public Policy, Tourism, master plan, Mid Term Development Plan, Southeast Sulawesi

Abstrak
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan pemerintah dalam menciptakan devisa dan lapangan
kerja di Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
mengamanahkan perlunya kebijakan-kebijakan publik dalam upaya meningkatkan kinerja sektor kepariwisataan
di Indonesia. Salah satunya adalah implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan
pengaruh implementasi kebijakan publik tersebut terhadap kinerja sektor pariwisata di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Metode penelitian dalam penulisan makalah ini adalah metode kuantitatif berdasarkan data statistik
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat kinerja yang cukup positif terhadap sektor pariwisata di Sultra setelah implementasi UU No. 10 tahun
2009 tentang Kepariwisataan danPP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS 2010-2025. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisata serta sarana dan prasarana kepariwisataan di Sultra. Namun
demikian, kinerja sektor pariwisata diperkirakan akan mengalami banyak tantangan pada masa yang akan
datang, sehingga perlu segera dilaksanakan implementasi dari PP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS
2010-2025yakni dalam bentuk kebijakan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, misalnya
pengembangan rencana induk kepariwisataan provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara.

Kata Kunci : Kebijakan Publik, Pariwisata, RIPPARNAS, RPJMD, Sulawesi Tenggara

Pendahuluan
Pembangunan kepariwisataan Indonesia sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional dilaksanakan secara berkelanjutan bertujuan untuk turut mewujudkan peningkatan
kepribadian dan kemampuan manusia dan masyarakat Indonesia dengan memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Melalui
pembangunan kepariwisataan yang dilakukan secara komprehensif dan integral dengan

23
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

memanfaatkan kekayaan sumber daya alam, budaya dan kondisi geografis secara arif, maka
akan tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Bagi Indonesia, pembangunan pariwisata memiliki kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan ekonomi nasional sebagai instrumen peningkatan perolehan devisa. Perolehan
devisa dari kehadiran wisatawan mancanegara ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
melampaui aliran pemasukan devisa baik dari utang luar negeri pemerintah maupun dari
penanaman modal asing.
Pembangunan sektor pariwisata memerlukan konsep dan strategi yang jelas. Dalam
Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada pasal 8 dinyatakan bahwa
perencanaan pengembangan kepariwisataan dapat diatur melalui Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan. Dalam pasal 8 tersebut dijelaskan bahwa pembangunan
kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang
terdiri atas Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS), Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi, dan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kabupaten/Kota. Artinya, ada keterkaitan antara UU No. 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan dengan kebijakan-kebijakan di daerah yang harus diambil berkaitan
dengan pengembangan kepariwisatan di tingkatan provinsi ataupun kabupaten/kota.
Provinsi Sulawesi Tenggara yang beribukota Kendari merupakan salah satu provinsi di
wilayah timur Indonesia yang memiliki banyak destinasi wisata andalan dan sekaligus juga
memiliki potensi pariwisata yang belum tergali. Potensi wisata tersebut tersebar di 14
kabupaten/kota yakni : Kota Kendari, Kota Bau-Bau, Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka
Timur, Kolaka, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana, Konawe Kepulauan,
Muna, Buton, Buton Utara dan Wakatobi. Rangkaian kabupaten/kota menempati wilayah
jazirah Sulawesi Tenggara dan gugusan kepulauan yang berada di sekitarnya.
Di Sulawesi Tenggara sendiri, pemerintah provinsi telah memiliki visi dan misi yang
jelas dengan menciptakan langkah strategis dalam upaya meningkatkan pembangunan
ekonomi masyarakat melalui beragam tindakan nyata dan konstruktif dengan mendorong
peningkatan nilai tambah potensi daerah dari sektor pariwisata serta mengembangkan potensi
budaya lokal. Visi Misi terkait pengembangan ekonomi berbasis potensi pariwisata di atas
merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025 dimana PP tersebut merupakan
wujud implementasi dari Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Makalah ini bertujuan memaparkan aspek bagaimana gambaran keterkaitan
implementasi kebijakan publik oleh pemerintah daerah terkait pengembangan sektor

24
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kepariwisataan di Provinsi Sulawesi Tenggara setelah terbitnyaUndang Undang No. 10 Tahun


2009 tentang Kepariwisataandan PP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS 2010-2025.

Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan melakukan analisis
memanfaatkan data statistik dan peraturan pemerintah yang ada terkait sektor pariwisata di
Provinsi Sultra. Data statistik diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sedangkan aturan-aturan terkait kebijakan publik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah :
a. Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
b. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Kepariwisataan
Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025.
c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sultra, 2013-2018.
d. Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sultra.

Hasil pengolahan data statistik selanjutnya dianalisis dengan mengkorelasikannya


dengan implementasi dari undang-undang dan peraturan pemerintah serta beberapa produk
kebijakan pemerintah yang disebutkan di atas.

Hasil dan Pembahasan


3.1 Konteks Pembangunan Kepariwisataan di Sultra
Sebelum sampai pada kinerja sektor kepariwisataan di Sultra, perlu terlebih dahulu
dilihat bagaimana konteks pembangunan kepariwisataan di Indonesia secara menyeluruh.
Pembangunan kepariwisataan sebagai yang dimaksud dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan mencakup :(1) pengembangan industri kepariwisataan, (2) destinasi,
(3) pemasaran, dan (4) kelembagaan kepariwisataan. Keempat pilar tersebut perlu dilakukan
secara simultan, berkeseimbangan, dan bukan merupakan urutan yang sekuensial. Penjelasan
mengenai hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut :
1. Pengembangan industri kepariwisataan, yang terdiri dari berbagai macam pelayanan
yang dimaksudkan untuk memenuhi dan menunjang kebutuhan wisatawan. Industri
kepariwisataan dikembangkan berdasarkan penelitian, yang bentuk dan arahnya dapat
berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung karakteristik dan kebutuhan
daerah masing-masing.
2. Pengembangan destinasi, dengan skala yang berbeda-beda.Destinasi skala kecil secara
bersama-sama dapat juga membentuk destinasi skala yang lebih besar. Dalam konteks

25
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pedoman ini destinasi didudukkan dalam skala kabupaten/kota atau provinsi – dikaitkan
dengan sistem kepemerintahan. Elemen-elemen kepariwisataan yang tercakup dalam
pengertian destinasi, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 10 tahun 2009, adalah daya
tarik, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat (tuan rumah).
3. Pengembangan pasar, suatu destinasi untuk dapat berkembang memerlukan pasar
potensial, baik domestik maupun internasional. Mengacu kepada kebijakan nasional yang
berlaku saat ini, kebijakan ekonomi diarahkan untuk memperkuat ekonomi dan pasar
dalam negeri, untuk tidak hanya mengandalkan pasar ekspor sebagai sumber
pertumbuhan. Dalam konteks pariwisata, hal ini dapat diartikan sebagai pentingnya pasar
domestik pariwisata, dan tidak hanya mengandalkan pengembangan pariwisata dengan
orientasi wisatawan mancanegara.
4. Pengembangan kelembagaan, mencakup organisasi, sumberdaya manusia, dan peraturan
perundangan yang sesuai. Dalam RPJP Nasional disebutkan bahwa sumber daya
manusia merupakan salah satu prioritas utama pembangunan nasional, sementara hukum
dan keteraturan (law and order) merupakan salah satu sasaran. Pengembangan organisasi
dan peraturan perundangan dalam bidang kepariwisataan merupakan perangkat penting
dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Sumber daya manusia, tidak hanya penting, tetapi
merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan kepariwisataan.

Arah kebijakan pembangunan kepariwisataan Sulawesi Tenggara mengacu dan sejalan


dengan arah pembangunan ekonomi daerah yang merupakan penjabaran dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Tenggara 2013-2018. Berdasarkan RPJMD Sultra
2013-2018 tersebut, salah satu tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan dan ekonomi
kreatif Sulawesi Tenggara adalah mewujudkan kepariwisataan daerah yang memiliki daya
saing. Selengkapnya tujuan dan sasaran pembangunan kepariwisataan dan ekonomi kreatif
Sultra dapat dilihat dalam table 1 berikut.

Tabel 1. Tujuan dan Sasaran Pembangunan Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif


Sulawesi Tenggara [RPJMD Sultra, 2013-2018]

TUJUAN SASARAN
Meningkatkan daya saing sumber daya - Peningkatan Profesionalisme SDM Pariwisata
manusia dan Ekonomi Kreatif
Mewujudkan kepariwisataan yang berdaya - Terciptanya Diverifikasi Destinasi Pariwisata
saing - Meningkatnya Citra Kepariwisataan Daerah
Terwujudnya Apresiasi Terhadap Pelaku dan - Meningkatnya Kualitas Pengembangan dan
Karya kreatif Pemanfaatan Kesenian dan Seni Pertunjukkan

26
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

- Meningkatnya Kuantitas Dan Kualitas


Tenaga Kerja dan Unit Usaha Sektor
Ekonomi Kreatif
Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang - Terselenggaranya Dukungan Manajemen dan
Baik serta Penyediaan Data dan Informasi Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya serta
untuk Kebijakan/Manajemen dan Informasi Tersedianya Data dan Informasi untuk
Publik Mendukung Kebijakan
Sumber : RPJMD Sultra, 2013-2018 [Bab V-Hal. 6]

Pembangunan kepariwisataan harus memperhatikan pula perkembangan isu strategis


pada tataran pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2013-2018.Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan, Sulawesi Tenggara
mendorong pelaksanaan kalender event pariwisata daerah antara lain, Halo Sultra, Festival
lulo, Atraksi Adu Kuda dan Layang-layang tradisional Muna, festival Keraton Buton di Bau
Bau, Festival Bajo internasional, Sail Komodo, Freemantle, pesta adat kolosal Buton, Festival
budaya Butur, Morinene fashion & Art, Kendari Fire Work [Dinas Parekraf Sultra, 2014].
Pemerintah daerah juga secara aktif telah mendukung penyelengaraan event pariwisata
internasional dan nasional antara lain Festival Layang-layang Internasional tahun 2009,
Seminar Penaskahan Nusantara (ATL) tahun 2009, Kemilau Sulawesi ke-IV tahun 2009, Sail
Indonesia (Wakatobi – Belitong) tahun 2010, Pemilihan Duta Wisata Indonesia tahun 2010,
Direct Promotion Sulawesi Tenggara di Bali (Sultra Fiesta Faganza) tahun 2010 dan Festival
Keraton Nusantara ke – VIII tahun 2012 dengan melibatkan peserta dari industri pariwisata
dalam dan Luar negeri. Disamping itu juga salah satu agenda tahunan bidang promosi adalah
berpartisipasi mengikuti pasar wisata Indonesia antara lain Tourism Indonesia Mart and Expo,
The Indonesian Tourisme and travel fair, Deep and Extreme Indonesia, Fiesta Nusa Dua dan
Pekan Produk Kreatif Indonesia [Dinas Parekraf Sultra, 2014].
Capaian pembangunan bidang pariwisata 2008-2013 adalah jumlah kunjungan
wisatawan mencapai 388.033 Orang, tingkat hunian hotel 55,81 %, rata-rata lama tinggal
wisatawan 2,25 Hari dan rasio jumlah kamar hotel 0,15% [RPJMD Sultra 2013-2018].

1.2 Kinerja Sektor Kepariwisataan di Sultra


Untuk menilai kinerja sektor kepariwisataan di Sultra perlu adanya acuan untuk
melihat seberapa tinggi kinerja tersebut. Sebagai acuan digunakan Renstra Disparekraf
Provinsi Sultra 2013-2018 yang merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RJPMD) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013-2018. Dalam RPJMD
tersebut dijelaskan mengenai target capaian bidang pariwisata khususnya destinasi pariwisata
sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Target Capaian Bidang Pariwisata

Aspek/Fokus/Bidang Kondisi Kondisi


Urusan/Indikator kinerja Target Capaian Setiap Tahun kinerja
Kinerja pada awal pada
No Pembangunan periode akhir
Daerah RPJMD periode
RPJMD
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
1 Jumlah dan kualitas 20% 30% 35% 45% 50% 70%
obyek wisata yang
dimanfaatkan (Unit)

27
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2 Fasilitas Obyek Best 20% 30% 35% 45% 50% 70%


Practices (Unit)
3 Angka Kunjungan 35% 40% 45% 60% 80% 90%
Wisata (Orang)
Jumlah Hotel (buah) 303 25% 35% 40% 50% 70% 80%
Jumlah Tamu 355.180 15% 20% 23% 27% 30%
(orang)
Jumlah Rumah 140 40% 50% 55% 60% 70% 90%
Makan (buah)
Jumlah Wisatawan 807.862 35% 40% 45% 60% 80% 90%
Mancanegara
(orang)
Jumlah Wisatawan 1.252.000 35% 40% 45% 60% 80% 90%
Nusantara (orang)
Jumlah Tempat 245 45% 50% 55% 60% 70% 90%
Wisata (buah)
Sumber : RPJMD Sultra, 2013-2018 [Bab IX-hal. 38]

Berdasarkan data statistik, total jumlah wisatawan yang mengunjungi Sultra (baik
domestik maupun asing) pada tahun 2012 mencapai 480.262 orang. Data tersebut
memperlihatkan wisatawan didominasi oleh wisatawan domestik yang mencapai 468.118
orang atau 97,5% dari total wisatawan yang mengunjungi Sultra pada tahun 2012. Sedangkan
wisatawan asing baru mencapai 12.144 orang atau hanya 2,5% dari total jumlah wisatawan
[BPS Sultra, 2013].
Jumlah hotel/penginapan juga meningkat setiap tahun. Pada periode 2008-2012,
jumlah hotel meningkat 63 % dari berjumlah 218 buah pada tahun 2008 menjadi 347 buah
pada tahun 2012 [BPS Sultra, 2013]. Mengikuti jumlah hotel, jumlah kamar dan tempat tidur
juga meningkat. Jumlah kamar dan tempat tidur meningkat masing-masing 52% dan 59%.
Dilihat dari sisi kesiapan infrastruktur hotel/penginapan, maka jumlah hotel saat ini relatif
cukup untuk akomodasi wisatawan baik domestic maupun mancanegara. Perkembangan
jumlah wisatawan dapat dilihat pada gambar 1, sedangkan perkembangan jumlah hotel, kamar
dan tempat tidur dapat dilihat pada gambar 2.

28
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 1. Grafik perkembangan jumlah wisatawan asing dan domestik di Sultra, kurun
waktu 2008-2012 [BPS Sultra, 2013]

Dari gambar 1 tentang perkembangan jumlah wisatawan diperoleh data bahwa


jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara pada akhir tahun 2012 mengalami
peningkatan 24,1 % jauh di atas kinerja awal yang ditargetkan oleh RPJMD Sultra 2012-2018.
Demikian pula dengan jumlah hotel/penginapan yang juga meningkat 13% di atas target
kinerja sektor pariwisata pada awal RPJMD tahun 2013-2018. Dengan demikian secara
langsung maupun tidak langsung, kinerja kebijakan publik yang diambil pemerintah melalui
pengimplementasian produk undang-undang, peraturan pemerintah, dokumen rencana
pembangunan jangka menengah dan rencana strategis telah meningkatkan kinerja sektor
pariwisata di Sulawesi Tenggara.

Gambar 2. Grafik Peningkatan Jumlah Hotel, Kamar dan Tempat Tidur di Sultra tahun 2008-
2012 [BPS Sultra, 2013]

29
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Untuk makin meningkatkan kinerja sektor kepariwisataan, kebijakan publik lainnya


yang harus segera diimplementasikan adalah implementasi rencana induk kepariwisataan
Sultra. Rencana induk kepariwisataan akan melengkapi RPJMD Sultra dan Rencana Strategis
Dinas Parekraf Sultra. Seyogyanya agar semua implementasi kebijakan publik terkait
kepariwisataan perlu dibuat dan segera diimplementasikan untuk mencapai target
pembangunan yang diharapkan.

2. Kesimpulan
Dari analisis di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Kinerja kepariwisataan di Sultra meningkat dari tahun ke tahun, khususnya pada
periode 2008-2012.
2. Dari analisis di atas dapat disimpulkan pula target capaian pariwisata sesuai amanat
RPJMD Sultra 2013-2018 diperkirakan dapat dicapai.
3. Implementasi kebijakan publik dalam bentuk Naskah UU No. 10 tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sultra, 2013-2018 dan Rencana Strategis Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sultra secara langsung maupun tidak
langsung telah menjadi faktor penguat dan pendukung kinerja sektor kepariwisataan di
Sultra baik pada saat sekarang maupun pada masa yang akan datang.
4. Perlunya segera diimplementasikan rencana induk kepariwisataan baik di tingkat
provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota sesuai amanat UU No. 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang
RIPPARNAS 2010-2025. Rencana induk kepariwisataan provinsi serta
kabupaten/kota akan melengkapi dan memperkuat RPJMD Sultra dan Rencana
Strategis Dinas Parekraf Sultra untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.

Daftar Pustaka

1. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, 2013, Sultra dalam Angka 2012,
BPS Sultra
2. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Prov. Sultra, 2014, Rencana Strategis Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sultra 2013-2018
3. Sekretariat Kabinet RI, 2010, UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
4. Sekretariat Kabinet RI, 2012, Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025.
5. Sekretariat Pemerintah Provinsi Sultra, 2014, Naskah Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Sultra, 2013-2018

30
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENERAPAN TEKNIK POLARIMETRY SYNTHETIC APERTURE RADARPADA


CITRA SATELIT ALOS PALSAR UNTUK PEMETAAN STOK KARBON DI
INDONESIA
(WILAYAH STUDI: SULAWESI TENGGARA)

Laode Muh Golok Jaya1, Ketut Wikantika2, Katmoko Ari Sambodo3, Armi Susandi4
a
Faculty of Engineering, Halu Oleo University, Jl. HEA Mokodompit No. 8 Kampus Hijau
UHO Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, South East Sulawesi
a
Doctoral Program on Radar Remote Sensing, Institute of Technology Bandung, Jl. Ganesha
10, Bandung.
b
Center for Remote Sensing, Institute of Technology Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung,
c
Indonesia National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), Pekayon, Pasar Rebo,
d
Department of Meteorology, Institute of Technology Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung,
laode251@yahoo.com

Abstract

Mapping and monitoring of tropical forest carbon stocks is very essential in the effort to reduce carbon
emissions in the atmosphere as the impact of forest loss and forest degradation. Remote sensing technology
widely used on mapping and monitoring of carbon stocks in regional and global scale. Active remote sensing
such as airborne and space borne radar has proven helpful in mapping and monitoring of forest carbon stocks.
Many techniques of radar remote sensing have been developed in recent years. One of them is Polarimetric
Synthetic Aperture Radar (PolSAR). This research was aimed to analyse the PolSAR technique for carbon stocks
mapping of Indonesia tropical forest on the perspective of climate change mitigation. The method of this
research was processing the polarimetry of SAR data from Alos Palsar quad polarization, decomposing and
classifying the carbon stocks. The result of the research showed that the PolSAR technique needed a certain
condition in order to obtain stock carbon map with minimum uncertainty.The main obstacle in obtaining
accurate carbon stocks using Polsar method is saturation. However, this paper indicate that the HV polarization
of SAR imagery in particular is highly correlated with the physical characteristics of the vegetation.

Key words: Carbon Stocks, Polinsar, SAR, Tropical Forest, Polarimetry, Alos Palsar, Climate Change
Mitigation

Abstrak
Pemetaan dan monitoring stok karbon pada kawasan hutan tropis sangat penting dalam upaya untuk mengurangi
emisi karbon di atmosfer sebagai dampak dari hilangnya tutupan hutan dan degradasi kawasan hutan. Teknologi
penginderaan jauh telah banyak digunakan pada kegiatan pemetaan dan pemantauan stok karbon dalam skala
regional maupun global. Penginderaan jauh aktif seperti Airborne SAR dan Spaceborne SAR telah terbukti
berguna dalam pemetaan dan pemantauan stok karbon pada kawasan hutan hutan. Beberapa teknik penginderaan
jauh radar telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah Synthetic Aperture Radar
polarimetrik (PolSAR). Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis stok karbon dengan menerapkan metode
PolSAR untuk pemetaan hutan tropis Indonesia dalam perspektif mitigasi perubahan iklim. Metode penelitian ini
adalah memproses data polarimetri SAR dari citra ALOS PALSAR quad-polarisasi, melakukan dekomposisi
citra menggunakan dekomposisi Freeman-durden dan H-alpha serta mengklasifikasikan cadangan karbon. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa teknik PolSAR cukup andal digunakan dalam pemetaan stok karbon namun
masih mengandung ketidakpastian dimana salah satunya adalah persoalan saturasi. Namun dalam makalah ini
diperlihatkan bahwa polarisasi citra SAR khususnya HV sangat berkorelasi dengan karakteristik fisik vegetasi.

Kata kunci: Cadangan Carbon, Polinsar, SAR, Alos Palsar, Polarisasi, Hutan Tropis, Mitigasi Perubahan Iklim

Pendahuluan
Monitoring dan pemetaan stok karbon sangat penting dalam kaitannya dengan
mitigasi perubahan iklim dan pengembangan system perhitungan karbon nasional (national

31
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

carbon accounting system) sebagaimana ditetapkan oleh United Nations Framework


Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Protokol Kyoto [IPCC, 2007 ; UNFCCC,
2011]. Pemahaman mengenai dinamika stok karbon utamanya pada kawasan penyimpan
karbon (carbon pools) baik dalam hutan tropis, sub tropis dan bahkan pada bioma tundra di
kutub, lahan basah (wet land), lahan gambut (peat land), hutan mangrove di wilayah pesisir
dan padang rumput yang tersebar di beberapa belahan dunia dapat memberikan pemahaman
pentingnya stok karbon bagi kehidupan di Planet Bumi ini. Perubahan stok karbon
menyebabkan berubahnya siklus karbon di atmosfer. Perubahan iklim yang dialami saat ini
merupakan salah satu akibat dari perubahan stok karbon pada kawasan-kawasan penyimpan
karbon di seluruh dunia. Perubahan stok karbon akibat konversi kawasan hutan menjadi
kawasan budidaya, penebangan hutan yang tidak terkendali, degradasi hutan dan lahan di
sekitar hutan, kebakaran hutan, konversi lahan gambut dan sebagainya disamping
menyebabkan meningkatnya emisi karbon di atmosfer, juga menurunkan kemampuan
penyerapan karbon (carbon sink) pada kawasan penyimpan karbon tersebut.
Terkait mitigasi perubahan iklim, mengingat beragamnya kondisi hutan di
Indonesia, penentuan tingkat emisi acuan (reference emission level) yang sesuai dengan
kondisi lokal yang spesifik di Indonesia sangat diperlukan [Krisnawati dkk, 2014]. Untuk
dapat menentukan tingkat emisi acuan tersebut, estimasi stok karbon secara berkala perlu
dilakukan dengan meminimalisasi ketidakpastian pada system perhitungan karbon.
Monitoring stok karbon di Indonesia khususnya di Pulau Sumatera, Kalimantan dan
Papua telah diupayakan dalam beberapa tahun terakhir menggunakan teknologi penginderaan
jauh. Penggunaan citra optis seperti Landsat dan SPOT relatif banyak memberikan manfaat
dalam kegiatan tersebut. Namun demikian, kendala akibat tutupan awan menyebabkan
kegiatan monitoring dan pemetaan stok karbon tidak dapat dilakukan secara berkala.
Mengatasi kendala tutupan awan, penerapan teknik penginderaan jauh radar
merupakan solusi. Dengan memanfaatkan citra radar dari teknik Synthetic Aperture Radar
(SAR), kendala tutupan awan bukan menjadi masalah lagi. Gelombang radar, dengan panjang
gelombang 1 cm hingga 100 cm memungkinkan menembus tutupan awan, kabut dan asap dan
dapat beroperasi baik siang maupun malam yang mana tidak memungkinkan dilakukan oleh
sistem citra optis. Beberapa wahana satelit dengan sensor radar yang berkembang saat ini
adalah Radarsat-2, Alos Palsar, Terra SAR-X dan Sentinel-1. Namun demikian, ketersediaan
dan kontinuitas data SAR serta teknik pengolahan data citra SAR yang cukup rumit bila
dibandingkan citra optis, menyebabkan penerapan teknik inderaja radar di Indonesia belum
maksimal dikembangkan.

32
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menerapkan citra SAR untuk
pemodelan stok karbon (biomassa), baik di daerah sub tropis dengan vegetasi yang homogen,
misalnya [Husin et al, 1991; Sun et al, 2002; Rowland et al, 2002; Fang et al, 2006; Soja et al,
2010; Ahmed et al, 2010 dan Baredo et al, 2012] maupun di daerah tropis dengan vegetasi
yang heterogen, misalnya [Saatchi, 2010; Englhart et al, 2012 dan Lavalle et al, 2012].
Penelitian ini akan menerapkan metode Polarimetry Synthetic Aperture Radar (Polsar)
terhadap citra ALOS PALSAR (Advanced Land Observing Satellite-Phased Array L-band
Synthetic Aperture Radar) untuk melakukan ekstraksi informasi stok karbon dari citra SAR
tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa teknik Polsar cukup andal
untuk pemetaan stok karbon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana
keandalan metode Polsaruntuk kegiatan pemetaan stok karbon di wilayah tropis seperti di
Indonesia.

1. Metodologi
2.1 Lokasi terpilih
Penelitian ini dilaksanakan kawasan hutan primer di wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pemilihan wilayah Sulawesi Tenggara disebabkan oleh minimnya data stok karbon
kawasan hutan di wilayah Sulawesi khususnya wilayah Sulawesi Tenggara, padahal kawasan
ini merupakan kawasan yang cukup strategis karena memiliki kekayaan flora dan fauna yang
khas. Beberapa spesies tumbuhanyang berada di kawasan iniGito-Gito/kayu hitam (Diospyros
phylosantera),Eha (Castanopsis Buruana), Batu-Batu (Ptemandra spp.), Dange (Dillenia sp.),
Ruruhi (Syzygium spp.), Matoa (Pometia pinnata), Meranti (Shorea spp.), Toho (Artocarpus
elasticus), Orawa (Anthocephalus machropyllus), Kolaka (Syzygium spp.) danKuma
(Planconella firma) [Hasil survey lapangan, November 2015]. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada gambar berikut.

33
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 1. Wilayah studi di Sulawesi Tenggara


1.2 Data
Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu data primer berupa hasil
pengukuran lapangan yakni data diameter at breast height (DBH) pohon (vegetasi) dan
koordinat sampling plot yang ditentukan. Sedangkan data sekunder berupa citra Alos Palsar
tahun perekaman 2010 quad polarisasi level 1 (Model SLC/Single Look Complex).

1.3 Visualisasi Skematik Penelitian

Gambar 2. Visualisasi skematik penelitian

Data Alos Palsar quad polarisasi (HH, HV, VH dan VV)Single Look
Complexdiproses menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox. Proses yang dilakukan
adalah kalibrasi citra, multilooking, koreksi geometrik dengan menerapkan range-doppler
terrain correction, dekomposisi citra serta uji keandalan. Sebelumnya pada tahapan lain, hasil
survey lapangan berupa data DBH pohon dikonversi terlebih dahulu menjadi data stok karbon
menggunakan model allometrik. Terakhir, peta stok karbon divalidasi menggunakan data stok
karbon dari model allometrik sehingga dapat ditentukan tingkat reliabilitas peta stok karbon
dengan metode Polsar ini.

2. Analisis dan Pembahasan


3.1 Data stok karbon hasil pengukuran lapangan

34
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pengukuran lapangan dilakukan pada sepuluh sampling plot ukuran 20x20 meter
bujur sangkar, dengan jumlah pohon 82. Posisi kesepuluh sampling plot tersebut digambarkan
dalam peta berikut.

Gambar 3. Posisi sampling plot di lapangan

Disamping mengukur DBH, juga diukur tinggi pohon menggunakan Hagameter


Hubungan antara DBH dan tinggi pohon dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Hubungan DBH dengan tinggi pohon hasil survey lapangan

Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang cukup kuat
antara variabel DBH dengan tinggi pohon, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran
tinggi sudah cukup baik. Perlu diketahui bahwa kedua variabel tersebut saling bebas (tidak

35
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

bergantung linear), sehingga dengan model korelasi di atas dapat diyakini bahwa model stok
karbon yang akan diperoleh juga akan cukup baik.
Selanjutnya, untuk mengetahui jumlah stok karbon (ton karbon per hektar) dalam
satu kawasan hutan digunakan model alometrik. Model alometrik adalah sebuah model
matematis hubungan antara parameter fisik pohon (DBH dan tinggi) dengan jumlah biomassa
dan stok karbon. Parameter fisik tersebut sangat spesifik dan bergantung pada spesies pohon
dan lokasi geografis dimana vegetasi tersebut tumbuh. Mengingat belum adanya model
alometrik yang spesifik untuk wilayah Sulawesi Tenggara, maka digunakan model alometrik
umum yaitu [Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2013]:

Dimana :
π = 3.14
D = DBH (centimeter)
H = Tinggi pohon (meter)
F = Faktor dimensi pohon sebesar 0.6

Dengan menggunakan model allometrik tersebut di atas, diperoleh data stok karbon
pada kesepuluh sampling plot tersebut dimana berkisar antara 14,24- 118,56 ton karbon per
hektar.

2.2 Analisis Stok Karbon menggunakan Metode Polsar


Citra Alos Palsar lebel 1 dalam bentuk SLC memiliki empat polarisasi (quad pol)
yaitu HH, HV, VH dan VV. Keempat polarisasi tersebut memiliki karakteristik masing-
masing dalam pemetaan stok karbon. Dua polarisasi saja yakni HH dan HV telah diketahui
paling memiliki korelasi dengan stok karbon. Dengan keempat polarisasi tersebut dapat dibuat
dekomposisi dan klasifikasi stok karbon. Citra Alos diproses menggunakan perangkat lunak
open sourceSentinel-1 Toolbox. Pemrosesan dimulai dengan radiometric calibration
(kalibrasi radiometrik) untuk memulihkan kondisi fisis citra. Selanjutnya proses multilooking
untuk mengoreksi resolusi piksel baik pada ground range maupun arah azimuth.
Selanjutnya agar memiliki posisi absolut di permukaan bumi, citra dikoreksi secara
geometric menggunakan range-doppler terrain correction. Hasil pemrosesan tersebut
ditampilkan pada gambar 5(A). Selanjutnya dilakukan dekomposisi. Terdapat beberapa jenis
dekomposisi seperti dekomposisi Pauli, Sinclair, Yamaguchi dan Freeman-Durden. Dalam
penelitian ini dipilih dekomposisi Freeman-Durden.

36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 5. Hasil pemrosesan range-doppler terrain correction (A), dan hasil pemrosesan
dekomposisi Freeman-Durden (B)

Pemilihan dekomposisi ini karena kita dapat membedakan antara kawasan hutan
(dalam bentuk volume scattering) dan non hutan (double bounch scattering dan surface
scattering). Namun patut diingat bahwa pemrosesan dekomposisi tersebut hanya berhasil bila
citra masih dalam bentuk SLC. Dengan demikian, langkah-langkah pemrosesan sebagaimana
dijelaskan di atas harus bisa mempertahankan model SLC tersebut. Hasil dekomposisi
Freeman-Durden dapat dilihat pada gambar 5(B).
Menggunakan citra dekomposisi Freeman-Durden, dapat dianalisis kawasan yang
bervegetasi (hutan) dan non hutan. Hal ini disebabkan bahwa dekomposisi Freeman-Durden
memodelkan matrik kovariansi dari hamburan balik (backscatter radar) berasal dari kontribusi
tiga mekanisme hamburan yaitu :
1. Hamburan double bounce dari permukaan yang orthogonal yang memiliki konstanta
dielektrik yang berbeda. Mekanisme hamburan double-bounce ini didekomposisikan
menjadi saluran warna merah (red channel)
2. Hamburan yang berasal dari orientasi dipole yang acak, misalnya kanopi vegetasi.
Mekanisme hamburan volume ini didekomposisikan menjadi saluran hijau (green)
3. Hamburan Bragg dari permukaan yang kasar, yang didekomposisikan menjadi saluran
biru (blue)

Ketiga dekomposisi warna tersebut akan menghasilkan citra true colour (warna
nyata) dalam bentuk RGB (Red, Green, Blue) sebagaimana halnya pada citra optis (lihat
gambar 5(B)). Dari analisis diperoleh dua klasifikasi dominan yaitu daerah bervegetasi
(vegetated area) dan non vegetasi. Daerah non vegetasi dapat berupa permukiman, tambak,
atau lapangan/tanah terbuka.

37
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Agar lebih jelas mengenai obyek apa saja yang berada pada cakupan citra, dapat
digunakan dekomposisi lainnya yaitu H-Alpha dekomposisi yang menghasilkan diagram H-
Alpha Entropy sebagaimana disajikan pada gambar berikut.

Gambar 6. Diagram H-Alpha Entropy

Jika dilihat dari diagram H-Alpha Entropy di atas, terlihat bahwa hamburan balik
(backscatter) dominan berada pada zona Z4 (forestry double bounce), Z5 (vegetation) dan Z6
(surface roughnes propagation effect) dan sedikit di zona Z8 (cloud anistropic needles).
Berdasarkan zona backscatter tersebut disimpulkan bahwa daerah pada citra didominasi oleh
vegetasi, mulai dari vegetasi jarang yang berada pada zona Z6, vegetasi sangat rapat pada
zona Z5 dan vegetasi rapat pada zona Z4. Sedangkan zona Z8 mengindikasikan bahwa
terdapat obyek lain pada citra yaitu air maupun tanah dengan kelembaban tinggi (tambak).
Intensitas polarisasi utamanya HV berkorelasi dengan nilai stok karbon hasil
pemodelan dengan model alometrik. Artinya intensitas polarisasi HV dapat ditransformasikan
menjadi nilai stok karbon. Hasil pemrosesan nilai stok karbon adalah sebagai berikut.

38
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 7. Intensitas polarisasi HV yang secara fisis berkorelasi terhadap stok karbon, dengan
intensitas -9,92 sampai dengan -24,61 dB (A) dan hasil transformasi nilai intensitas menjadi
nilai stok karbondengan nilai berkisar antara 0-150 ton C per hektar(B)
Gambar 7(A) memperlihatkan nilai intensitas sigma0 dari polarisasi HV dengan nilai
intensitas -9,92 hingga -24,61. Nilai intensitas tersebut mengandung informasi fisis obyek
dalam hal ini stok karbon. Nilai tersebut kemudian ditransformasikan menjadi nilai stok
karbon dengan acuan stok karbon model allometrik. Gambar 7 (B) di atas memperlihatkan
nilai stok karbon hasil model alometrik yang telah ditransformasikan menjadi nilai
backscatter (hamburan balik) radar berada pada level 5-150 ton C per hektar.

2.3 Analisis Keandalan Peta Stok Karbon


Peta sebaran stok karbon berdasarkan transformasi intensitas nilai hamburan balik
perlu dianalisis tingkat keandalannya dengan cara membandingkan nilai stok karbon hasil
estimasi model allometrik dengan nilai sigma0. Korelasi antara kedua nilai tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut.

Gambar 7. Korelasi antara nilai stok karbon model alometrik dan nilai sigma0 dari citra

Gambar 7 memperlihatkan bahwa trend korelasi antara koefisien backscatter


mengalami penurunan pada jumlah stok karbon antara 60-80 ton karbon per hektar. Hal ini
disebabkan terjadinya saturasi dimana penetrasi gelombang radar (dalam hal ini HV) menjadi
tidak sensitif lagi pada kondisi jumlah karbon tertentu. Inilah yang menjadi kelemahan dari
metode Polsar ini. Tingkat saturasi berbeda-beda tergantung pada kondisi tutupan dan
densitas hutan.
Meskipun terdapat korelasi yang cukup baik antara sigma0 (koefisienbackscatter)
dengan nilai stok karbon dari model alometrik, nilai tersebut juga dikatakan under-estimate.

39
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dalam konteks Monitoring, Reporting and Verification (MRV) sebagai implementasi


REDD+, diharapkan tingkat akurasi estimasi karbon mencapai sama atau lebih dari 89-94%
dengan koefisien determinasi R2 ≥ 0.88 (α = 0.05) [Barredo dkk, 2012]. Hasil under-estimate
tersebut kemungkinan disebabkan oleh tiga hal, yakni :
1. Data sampel pengukuran lapangan relative sedikit dan tidak menyebar di seluruh lokasi
studi sehingga terdapat beberapa bagian yang menyimpang dari nilai yang seharusnya,
misalnya daerah bagian atas citra
2. Pengukuran tinggi pohon menggunakan peralatan hagameter kemungkinan tidak cukup
teliti mengingat kondisi topografis dalam kawasan hutan yang bergelombang (berbukit)
sehingga menyulitkan proses pengambilan data tinggi pohon.
3. Model alometrik yang digunakan dalam penelitian seharusnya lebih realistis mengacu
kepada jenis vegetasi, kondisi geografis dan topografis di daerah penelitian (dalam hal ini
wilayah Sulawesi Tenggara). Namun demikian, terkait model allometrik hingga saat ini
memang belum tersedia untuk hutan tropis di Sulawesi Tenggara, sehingga masih
menggunakan model yang umum meskipun mungkin relatif tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya.

Meskipun korelasi kedua nilai stok karbon tersebut berada pada level under-
estimate, namun sebagai upaya untuk pemetaan dan monitoring stok karbon, nilai stok karbon
tersebut dapat digunakan sepanjang memperhatikan alasan-alasan teknis sebagaimana di
kemukakan di atas. Dengan kata lain, perbaikan terhadap metode pengkuran perlu dilakukan
termasuk upaya bagaimana membuat model alometrik yang sesuai untuk kondisi hutan tropis
di Sulawesi Tenggara.

4. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari analisis dan pembahasan di atas
adalah :
1. Penginderaan jauh radar memiliki keuntungan dalam penerapannya yakni tidak terganggu
oleh tutupan awan yang sering terjadi di wilayah tropis. Pemanfaatan polarisasi radar quad
pol memberikan hasil yang baik dalam membedakan wilayah hutan dan non hutan.
Dekomposisi Freeman-Durden dalam penelitian ini dapat membedakan antara surface
scattering, volume scattering dan double-bounce scattering.
2. Salah satu kelemahan dari metode Polsar ini sebagaimana telah ditampilkan yaitu
terjadinya saturasi pada volume stok karbon antara 60-80 ton karbon per hektar.

40
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3. Korelasi antara stok karbon dengan koefisien backscatter berada pada levelunder-estimate
dimana diharapkan nilai korelasi bisa mencapai lebih dari atau sama dengan 89-94%
dengan koefisien determinasi R2 ≥ 0.88 (α = 0.05). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
jumlah sample yang digunakan, hasil pengukuran tinggi pohon serta model alometrik
yang digunakan.
4. Walaupun memiliki nilai korelasi yang under-estimate, potensi penerapan metode
polarimetry SAR sangat besar untuk melakukan monitoring dan pemetaan stok karbon di
Indonesia. Hal yang mesti dilakukan adalah memperbanyak sampel, meningkatkan
ketelitian pengukuran tinggi pohon serta penggunaan model alometrik yang disesuaikan
dengan jenis vegetasi, kondisi geografis dan kondisi topografis dimana pengkuran karbon
dilakukan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Profesor Masanobu Shimada
dan rekan dari Japan Aerospace and Exploration Agency (JAXA) atas kesediannya
menyediakan citra satelit Alos Palsar Quad Polarisasi yang digunakan dalam penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas
Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo yang telah membantu dalam kegiatan
survey lapangan.

Daftar Pustaka

Ahmed, R., Siqueira, P., Bergen, K., Chapman, B., Hensley, S., 2010, A Biomass Estimate
Over the Harvard Forest Using Field Measurements with Radar and Lidar Data, IEEE
Trans. on Geoscience and Remote Sensing
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2013, Pedoman Penggunaan Model
Allometrik untuk Pendugaan Biomass dan Stok Karbon Hutan di Indonesia, Peraturan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan No. P.01/VIII-P3KR/2012,
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, ISBN : 978-979-3145-97-6
Barredo, José I., Jesús San Miguel, Giovanni Caudullo, Lorenzo Busetto, 2012, A
European map of living forest biomass and carbon stock, Executive report, European
Commission Joint Research Centre, Institute for Environment and Sustainability
Englhart, S., Keuck, V., Siegert, F., 2012, Modeling Aboveground Biomass in Tropical
Forest using Multi-Frequency SAR Data-A Comparison Methods, IEEE Journal of
Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, Vol. 5 No.1
Fang, J.; Brown, S.; Tang, Y.; Nabuurs, G. J.; Wang, X.; Shen, H., 2006, Overestimated
biomass carbon pools of the northern mid-and high latitude forests, Climatic Change,
74(1-3), 355-368.
Hussin Y.A., Reich R. M., Hoffer R. M., 1991. Estimating Slash Pine Biomass Using Radar
Backscatter, Geoscience and Remote Sensing, IEEE Transactions 29.3 (1991): 427-
431

41
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Lavalle, M., Hensley, S., Williams, M.L., 2012, Use of Airborne Instruments for Tropical
Forest Monitoring Applications, IEEE Trans. on Geoscience and Remote Sensing
Rowland, C.; Balzter, H.; Dawson, T.; Luckman, A.; Skinner, L.; Patenaude, G. ,2002,
Biomass estimation of Thetford forest from SAR data: potential and limitations.
ForestSAT, Edinburgh, 5-9 August 2002, Forest Research, Forestry Commission.
Saatchi, Sassan S. 2010, Synergism of optical and radar data for forest structure and biomass,
Ambiência Guarapuava (PR) v.6 Ed. Especial 2010 p.151-166 ISSN 1808-0251
Soja M. J., Sandberg G., Ulander L. M. H., 2010. Topographic Correction for Biomass
Retrieval from P-band SAR Data in Boreal Forests, 2010
IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium: 4776–79.
Sun G., Ranson K. J., Kharuk V. I., 2002. Radiometric Slope Correction for Forest Biomass
Estimationfrom SAR Data in the Western Sayani Mountains, Siberia,
Remote Sensing of Environment 79 (2-3): 279–87.

42
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KUALITAS KARKAS DAN KANDUNGAN KOLESTEROL DAGING KAMBING


KACANG DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBASIS KULIT BUAH KAKAO
FERMENTASI

Bulkaini1, Mastur1 dan Sukmawati2


1Vokasi UNRAM PDD Kabupaten Bima, Jl Majapahit 62 Mataram, NTB
2 Fakultas Pertanian Universitas NW, Mataram, Jln.Kaktus 35 Mataram, NTB

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas Karkas dan kandungan kolesterol daging kambing
kacang dengan pemberian pakan berbasis kulit buah kakao fermentasi. Penelitian dilaksanakan 2 bulan dari
tanggal 1 Oktober 2015-30 November 2015 di Laboratorium Teaching Farm Fakultas Peternakan UNRAM.
Materi yang digunakan adalah 9 ekor kambing kacang jantan kisaran umur 6-9 bulan dengan berat rata-
rata 18,67±1,53 kg yang digemukkan secara feedloting. Kambing dibagi secara acak menjadi 3 perlakuan
yaitu perlakuan I: 3 ekor diberi pakan dengan formula: 30% KBKfermentasi tanpa fermentor + jerami jagung
dan dedak (KBKFTF); perlakuan II: 3 ekor diberi pakan dengan formula:30% KBK fermentasi dengan
fermentor Bioplus+jerami jagung dan dedak (KBKFbioplus) dan perlakuan III: 3 ekor diberi pakan dengan
formula 30% KBK fermentasi dengan SBP+jerami jagung dan dedak (KBKFSBP). Kambing dipotong pada
akhir perlakuan pakan dan dianalisis kualitas karkas dan kandungan kolesterolnya di Laboratorium Teknologi
Hasil Ternak dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unram. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas karkas dan non karkas kambing kacang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara
perlakuan, sedangkan kandungan kolesterol daging kambing kacang berbeda nyata (P<0,05) diantara
perlakuan. Rata-rata persentase karkas, tebal lemak punggung, Rib Eye Area dan indek perdagingan kambing
2
kacang jantan berturut- turut, Perlakuan P1: 47,69%, 1,68 mm, 29,01 cm , 0,85% ; P2: 48,67%, 1,80 mm
2
30,79 cm, 0,91% dan P3:48,02%,1,74%,29,90 cm , 0,77%. Adapun kadar kolesterol dan lemak intramuskuler
daging kambing kacang berturut-turut perlakuan P1: 30,13 mg/100g dan 0,86%; P2 34,96% dan 0,05%
sedangkan P331,88 mg/100g dan 0,11%. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah ransum yang mengandung
KBK fermentasi bisa dijadikan sebagai pakan kambing kacang dan dapat menghasilkan persentase karkas
yang tinggi, rasio daging dengan tulang seimbang, luas area mata rusuk tinggi, ketebalan lemak
punggung rendah, indek perdagingan yang baik, dan kandungan kolesterol yang masih aman untuk
dikonsumsi.

Kata kunci : kakao fermentasi, karkas, dan kolestro

PENDAHULUAN

Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia, yang mempunyai bobot hidup
lebih kecil dibanding kambing jenis lainnya. Selanjutnya dikatakan kambing kacang
memiliki keunggulan yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan angka
produksinya sangat baik yaitu menghasilkan daging yang berkualitas baik (Rusfidra
2007). Kambing Kacang merupakan bangsa kambing berbadan kecil dengan berat badan
sekitar 30 kg yang jantan, 20 - 25 kg yang betina. Baik yang jantan maupun yang betina

43
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

bertanduk tetapi relatif pendek, melengkung kebelakang dengan ujung membengkok keluar
(Sumarmono,1997). Potensi limbah kakao di Indonesia sangat tinggi karena luasnya wilayah
perkebunan kakao dari 1.852.900 ha dengan produksi kakao sebesar 723.000 ton (BPS,
2013) dapat menghasilkan sekitar 3,5 juta ton limbah kakao per tahun. Tapi pemanfaatan
limbah kakao masih sangat terbatas, data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah
limbah kakao yang dihasilkan adalah 1.876.600 ton per tahun dan hanya 94.503 ton (5,04%)
digunakan untuk pakan ternak. Sebenarnya kulit buah kakao (KBK) mengandung nutrisi
yang relatif tinggi seperti 6-12% protein kasar, 27-31% selulosa, 10-13% hemicelulosa dan
12-19% lignin (Ammirroenas, 1990).Rendahnya pemanfaatan dari KBK sebagai pakan
ternak disebabkan karena antinutritive ditemukan di dalamnya terutama theobromine yang
beracun untuk hewan (Indraningsih et al., 2006) dan dapat menyebabkan dermatitis.

KBK sebelum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sebaiknya diolah dulu baik secara
fisik, kimiawi dan biologis (Indraningsih Dan Sani, 2005). Penglohan secara biologis atau
fermentasi dari KBK telah banyak dilakukan dengan menggunakan fermentor komersial
seperti EM4, urea, BIOFIT, menggunakan berbagai ragi (Rhizopus stolonifer LAU 07)
untuk meningkatkan kandungan protein menjadi 16% (Lateef et al, 2008), dengan
menggunakan Aspergillus spp , yang dapat menurunkan serat dari KBK (jumlah serat kasar,
NDF, ADF masing – masing 33,00, 55,79 dan 44,29%) (Alemawor et al., 2009), dan
menggunaka Aspergillus oryzae untuk meningkatkan protein kasar dari KBK sebesar
8,74% (Munier, 2009). Rumen ternak mengandung mikroorganisme seperti protozoa (76,33
per ml), bakteri (2,3 x 108 cfu / g) dan jamur (1,9 x 103 cfu / g) yang dapat menurunkan
setiap bahan pakan serat bermutu rendah (Purbowati et al., 2014 ). Menurut Omed et al.
(2000) ada banyak bakteri dalam cairan rumen dari keluarga Bacteriodes, Fusobacterium,
Streptococcus, Eubacterium, Ruminococcus dan Lactobacillus. Beberapa penelitian pada
cairan rumen mengungkapkan bahwa penambahan cairan rumen dapat meningkatkan proses
fermentasi (Arora, 1992) dan tentunya dapat digunakan sebagai fermentor untuk proses
fermentasi (Gamayanti et al., 2012 dan Purbowati et al., 2014).

Kualitas karkas dipengaruhi oleh jenis ternak, jenis kelamin, pakan dan teknologi pakan,
serta penanganan ternak sebelum pemotongan (Saka et al, 2011). Soeparno (1998) juga
menyatakan bahwa pakan sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan kualitas daging.
Penilaian kualitas karkas umumnya melalui persentase karkas, berat dan panjang karkas,
fleshing index, luas areal mata rusuk, ketebalan lemak, skor kegemukan kambing, skor
colour lemak, skor warna daging dan pH daging (Saka et al, 2011; Kuswati (2011). Standar
Nasional Indonesia (SNI) menilai kualitas fisik daging berdasarkan warna daging, warna

44
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

lemak, marbling, tekstur, kandungan kolesterol dan mikroba daging (BSN, 2015). Pandangan
umum tentang daging kambing selalu merupakan daging yang mempunyai lemak tinggi,
sehingga menyebabkan kolesterol dan hipertensi, tetapi hasil analisa Laboratorium
menunjukkan bahwa dalam 100 gram daging kambing terdapat 154 kalori, 9,2 mg lemak,
3,6 mg lemak jenuh sedangkan dalam 100 gram daging sapi terdapat 207 kalori, 14 mg
lemak dan 51 mg lemak jenuh (Anonim, 2011 dan Sumarmono , 1997). Kolesterol merupakan
salah satu komponen lemak dan merupakan salah satu zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh disamping zat gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, namun sangat
perlu diwaspadai dalam penggunaannya, karena jika dikonsumsi dalam jumlah banyak akan
tertimbun dalam tubuh dan pada akhirnya dapa mengakibatkan peningkatan resiko
penyumbatan pembuluh darah (Sumarmono,1997).

Untuk meningkatkan kualitas karkas dan untuk mendapatkan kolesterol daging


kambing kacang yang rendah perlu dilakukan penelitian pemanfaatan KBK yang melimpah,
dengan penerapan teknologi pakan sederhana (fermentasi KBK menggunakan fermentor
bioplus dan sause burger pakan) untuk mengatasi antinutritive dari KBK dan untuk
meningkatkan kualitas limbah perkebunan kakao sebelum dimanfaatkan sebagai pakan
kambing kacang.

II. MATERI DAN METODE

Materi Penelitian.

Materi yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 9 ekor kambing kacang jantan
umur 6-9 bulan dengan berat badan awal 18,33±0,58-19,33±1,53 kg, KBK fermentasi
bioplus dalam bentuk serbuk, KBK fermentasi sause burger pakan (SBP), dedak padi dan
limbah pertanian berupa jerami jagung.

Metode Penelitian.

Fermentasi KBK: KBK dicacah dengan ukuran 2 x 3 cm, selanjutnya dijemur selama
2-3 hari untuk mengurangi kadar air. KBK yang sudah kering digiling untuk mendapatkan
KBK dalam bentuk serbuk. KBK dalam bentuk serbuk dicampur dengan dedak padi 1,5%,
urea 0,5% dan bioplus 0,3 % dari berat KBK dalam bentuk serbuk dan air secukupnya.
Penggunaan fermentor SBP sebesar 0,3% dari berat KBK dalam bentuk serbuk juga
dicampur dengan dedak padi 1.5%, urea 0,5% dan air secukupnya. Campuran dari KBK

45
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dimasukkan ke dalam bak plastik dan diperketat untuk membuat kondisi anaerob sehingga
proses fermentasi dapat dicapai. Fermentasi dilakukan selama 4 hari. KBK fermentasi
kemudian dibiarkan terbuka sebelum diberikan kepada ternak.

Penggemukan kambing: 9 ekor kambing kacang jantan dibagi secara acak


menjadi 3 perlakuan pakan yang terdiri dari perlakuan I: 3 ekor menerima ransum yang
mengandung 30% KBK fermentasi tanpa fermentor dan 70 % jerami jagung,
perlakuan II: 3 ekor menerima ransum yang mengandung 30% KBK fermentasi dengan
fermentor bioplus dan 70% jerami jagung dan perlakuan III:3 ekor menerima ransum 30%
KBK fermentasi dengan fermentor SBP dan 70% jerami jagung. Masing-masing perlakuan
mendapatkan dedak padi 0,25 kg/ekor/hari. Uji kualitas karkas dan daging: Pengamatan
terhadap kualitas karkas dan kandungan kolesterol daging, dilakukan penyembelihan
kambing dengan metode yang direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di
RPH Majeluk Mataram. Variabel yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase
karkas dan non karkas, ketebalan lemak punggung, luas area mata rusuk, fleshing index, dan
kolesterol daging. Data hasil pengamatan diolah dengan Analisa varian berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap Pola Searah dengan program SAS, dan dilanjutkan dengan uji
jarak ganda “Duncant Multiple Test” pada tingkat kepercayaan 5%.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Karkas Kambing Kacang Jantan

Kualitas karkas kambing ditunjukkan oleh beberapa indikator yaitu bobot karkas,
persentase karkas, rasio daging dan tulang, tebal lemak punggung, luas area mata rusuk
dan indek perdagingan seperti yang disajikan pada Tabel 1

Tabel 1. Kualitas karkas kambing kacang Jantan dengan pemberian pakan berbasis
limbah kulit buah kakao (KBK) fermentasi

Perlakua
KBKFBioplu KBKFSB P
n
Parameter Kualitas Karkas s 10,29±0,6 P9,97±0.9
Bobot Karkas (kg) 9,31±0,5
KBKFTF(I) NS
8 7 (II) 0 (III)
Persentase Karkas (%) NS
Rasio daging dan 47.69±0.3 48.67±0.9 48.02±0.8 NS
tulang 7 0 0
Keterangan: NS = Non signifikan. NS
Tebal Lemak Punggung(mm) 2,07:1 2,48:1 2,28:1
NS
Luas area mata
1,68±0,2 1,80±0,1 1,74±0,1 NS
rusuk/DMR(Cm2) Indek 4 0 7 46
perdagingan (%)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hasil analisa varian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
(P>0,05) persentase karkas antara perlakuan. Dari Tabel 1. terlihat bahwa secara rata-rata
persentase karkas kambing lokal jantan berdasarkan perlakuan berkisar 47,69±0,37-
48,67±0,90%. Persentase karkas ini mencerminkan bahwa pemberian pakan KBKFbioplus
dalam bentuk serbuk sebagai pakan kambing lokal jantan dapat menghasilkan karkas
yang cukup tinggi yaitu 48.67±0.90 % dengan rasio daging dengan tulang 2,48:1, baru
diikuti oleh perlakuan pakan KBKFSBP yaitu 48,02±0,80% dengan rasio daging
dengan tulang 2,28:1 dan yang paling rendah adalah pada perlakuan pakan KBKFTF
yaitu 47,69±0,37% dengan rasio daging dengan tulang 2.07:1. Persentase karkas kambing
kacang jantan yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dengan persentase karkas
kambing lokal jantan yang dipotong pada umur 2 tahun yaitu 42,48% (Sunarlim dan Sri
Usmiati, 2006), tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase karkas anak
kambing yang dilaporkan oleh Meneses et al (2001) dan Zimerman et al (2008) dalam
Sodiq (2011) yaitu sebesar 46-56% , dan lebih rendah lagi jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Todaro et al (2006) dalam Sodiq (2011) yaitu sebesar 64,7–65,2% untuk
kambing Girgentana. Dengan melihat perbandingan persentase karkas kambing lokal jantan
yang diperoleh dalam penelitian dapat dikatakan bahwa kambing lokal jantan dengan
pemberian pakan KBK fermentasi baik dengan bioplus maupun SBP dapat
menghasilkan persentase karkas yang tidak jauh berbeda dengan persentase karkas
kambing hasil persilangan. Hal ini berarti bahwa KBKF bioplus dalam bentuk serbuk dan
KBKFSBP yang dicampur dengan dedak dalam ransum dapat menghasilkan persentase
karkas dengan rasio daging dengan tulang yang seimbang. Hasil penelitian persentase karkas
ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sodiq (2011) yaitu kambing kacang
yang dipotong dengan berat potong 10 – 23,5 kg mendapatkan karkas sebesar 44,09±1,98%.
Soeparno (1994) menyatakan bahwa bobot potong yang semakin meningkat menghasilkan
karkas yang semakin meningkat sehingga diharapkan bagian daging menjadi lebih besar.
Rachmadi (dalam Hasnudi, 2005) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong
menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas semakin tinggi.

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa kambing yang diberi pakan berbasis KBK fermentasi
dengan fermentor bioplus (KBKFbioplus), fermentor SBP (KBKSBP) dan KBK tanpa
fermentor (KBKTF) menghasilkan tebal lemak punggung sebesar 1,68±0,24-1,80±0,10 mm.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa penggunaan KBK fermentasi dalam bentuk
serbuk baik yang menggunakan fermentor maupun tanpa fermentor tidak memberikan
dampak negatif terhadap kualitas karkas karena persentase lemak punggung yang

47
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dihasilkan masih tergolong rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Yosita
dkk.(2011), bahwa karkas yang memiliki lemak punggung yang banyak, kurang baik dan
dapat merugikan produsen daging karena dianggap sebagai perlemakan yang harus dibuang.
Menurut pedoman pemberian skor kegemukan karkas yang dikemukakan oleh McIntyre dan
Ryan (1980) yang dikutip oleh Saka dkk.(2011) menyebutkan bahwa tebal lemak punggung
dengan skor 5 sampai 7 mm termasuk karkas kelas medium (menengah). Luas area mata
rusuk = Rib Eye Area (REA) atau sering disebut dengan istilah Daerah Mata Rusuk (DMR)
merupakan indikator perdagingan yang umum digunakan namun tidak dapat digunakan
sebagai indikator tunggal dalam menduga produksi daging, melainkan sebagai preduktor
pelengkap (Ransaleleh, 1998). Dalam Tabel 1 terlihat bahwa kambing lokal jantan yang
diberi perlakuan pakan P2 yaitu 30% KBK fermentasi dengan fermentor bioplus + 70%

jeram jagung menghasilkan luas area mata rusuk sebesar 30,79±0,14 cm2 lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan pakan P1 dan P3. Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendapat Ransaleleh (1998) yang mengutip pendapat Field dan Schonover (1967), bahwa
luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh bobot hidup dan berkolerasi positip dengan
bobot karkas. Dalam penelitian ini terbukti bahwa pada kelompok kambing dengan
perlakuan pakan P2 (KBKFBioplus) mempunyai bobot karkas yang tinggi (10,29±0,67

kg) diikuti dengan luas DMR yang tinggi pula (30.79±0,14 cm2).

Indeks perdagingan atau fleshing indek (FI) adalah salah satu karateristik karkas atau
kreteria penilaian karkas secara obyektif yang merupakan pilihan untuk mengganti
penilaian komformasi karkas secara visual yang subyektif (Saka dkk., 2011). Wiyatna
(2007) menyatakan indek daging adalah perbandingan antara bobot karkas dengan
panjang karkas, dengan demikian tingginya nilai persentase karkas belum tentu
menghasilkan indek perdagingan yang tinggi karena ditentukan oleh faktor lain yaitu
panjang karkas. Dalam Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa indeks perdagingan kambing
baik pada perlakuan pakan P1 (KBKTF), P2 (KBKFBioplus) dan P3 (KBKFSBP) masih
di bawah 1 yaitu berkisar 0,77±0,07–0,85±0,05%. Wiyatna (2007) menyatakan bahwa
ternak yang mempunyai persentase karkas di atas 50% akan menghasilkan
menghasilkan indek perdagingan di atas 1% yaitu 1,232%, untuk sapi Madura 0,948%, sapi
PO 1,210% dan sapi Australian Commersial Cross (ACC) 1,415%.

Pesrsentase non karkas kambing kacang jantan

Hasil penelitian tentang persentase non karkas kambing lokal jantan dengan
pemberian pakan berbasis limbah kulit buah kakao (KBK) disajikan pada Tabel 2.

48
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 2. Kualitas Karkas dan Non Karkas Sapi Bali Jantan dengan pemberian pakan
berbasis limbah kulit buah kakao (KBK).

Parameter Kualitas Perlakuan


KBKFTF(I) KBKFBioplus KBKFSBP P
Karkas
Kulit (%) 9.22±0.34 (II)9.35±0.51 9.73±1.23
(III) NS
Kepala (%) 9.70±0.34 9.33±0.70 10,05±0.93 NS
Darah (%) NS
Kaki (%) 4.35±0.41 4.28±0.22 4.43±0.32 NS
Hati (%) 3.66±0.46 2.99±0.16 3.21±0.14 NS
Jantung (%) NS
Limpa (%) 1.88±0.31 1.87±0.47 1.60±0,52 NS
Paru-paru NS
0.42±0.05 0.42±0.01 0.42±0.04
NS
Saluran pencernaan
Keterangan: NS = Non (%)
signifikan. NS
0.21±0.08 0.17±0.04 0.17±0.02
Alat reproduksi (%)
Hasil penelitian pada Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa hasil pemotongan
2.19±0.33 2.41±0.21 2.25±0.53
kambing lokal jantan selain dalam bentuk karkas juga diperoleh hasil dalam bentuk non
karkas yang jumlah cukup tinggi 9.08±0.52 8.86±0.25
yaitu mencapai 42,44% 8.73±0.24
untuk kelompok kambing lokal
jantan yang diberi pakan KBK 1.73±0.18
fermentasi tanpa2.66±0.39
fermentor, baru18,67±0,27
diikuti oleh perlakuan
pakan KBKFbioplus (42,34%) dan perlakuan pakan KBKFSBP yaitu sebesar 42,49%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa
persentase non karkas dari hasil pemotongan ternak mencapai 45-47 %.

Kandungan Kolesterol dan Lemak Intramuskuler Daging Kambing Lokal


Jantan

Hasil penelitian tentang kandungan kolesterol dan lemak intramuskuler daging


kambing lokal jantan dengan pemberian pakan berbasis limbah kulit buah kakao (KBK)
disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Kandungan Kolesterol dan Lemak Intramuskuler Daging Kambing Lokal Jantan
dengan Pemberian Pakan Berbasis Limbah Kulit Buah Kakao (KBK) Fermentasi.

Perlakuan
Parameter yang diuji KBKFTF(I) KBKFBioplus KBKFSBP
Kolesterol (mg/100gr) 30,13±0,66b (II)
34,96±2,27a 31,88±1,44b
(III) P
*
Lemak Intramuskuler (%) 0,86±0,14a 0,05±0,02a 0,11±0,08a NS
Keterangan: NS = Non signifikan, * = berbeda nyata (P<0,05)
Hasil analisa varian menunjukkan bahwa perlakuan pakan KBK fermentasi berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kandungan kolesterol daging kambing lokal jantan dan tidak

49
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kandungan lemak intramuskuler daging kambing lokal
jantan. Dari Tabel 5.4 dan Gambar 5.6 terlihat kandungan kolesterol daging kambing
lokal jantan antar perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Pada perlakuan pakan KBKFBioplus
daging kambing mengandung kolesterol sebesar 34,96±2,27%, baru diikuti oleh perlakuan
pakan KBKFSBP sebesar 31,88±1,44% dan yang paling rendah pada perlakuan kontrol yaitu
sebesar 30,13±0,66%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kambing lokal jantan
yang diberi pakan berbasis limbah KBK fermentasi sampai 30% menghasilkan
kandungan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Saidin (2000) dan Husaini (1973) yang melaporkan bahwa kandungan
kolesterol daging sapi kondisi tubuh kurus sebesar 65 mg/100g dan yang kondisi gemuk
sebesar 68 mg/100g. Kandungan kolesterol daging kambing lokal jantan yang diberi pakan
berbasis limbah KBK fermentasi masih dibawah hasil penelitian Saidin (2000) dan Husaini
(1973) yang mencatat bahwa daging kambing rendah lemak intramuskuler memiliki
kolesterol 90 g/100 garam sampel basah. Rendahnya kandungan kolesterol daging kambing
berdasarkan perlakuan pemberian pakan antara lain disebabkan karena umur potong
kambing yang digunakan dalam penelitian ini masih tergolong umur potong muda dengan
kisaran umur 6-9 bulan. Menurut Soeparno (1998)

persentase lemak intramuskuler biasanya cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya


persentase lemak jaringan tubuh, ketebalan lemak punggung. Kandungan kolesterol
dipengaruhi juga oleh pakan (status nutrisi) yang diberikan pada waktu masih hidup.
Kambing yang diberikan pakan biji-bijian akan menghasilkan kolesterol dan lemak
intramuskuler yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang diberi pakan lebih
banyak rumput atau hijauan lainnya.

IV. KESIMPULAN
Ransum yang mengandung KBK fermentasi bisa dijadikan sebagai pakan kambing
kacang dan dapat menghasilkan persentase karkas yang tinggi, rasio daging dengan tulang
seimbang, luas area mata rusuk tinggi, ketebalan lemak punggung rendah, indek
perdagingan yang baik, dan kandungan kolesterol daging yang masih aman untuk
dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA

Alemawor, F.,V.P. Dzogbefial, E.O.K. Oddoye and J.H. Oldham. 2009. Effect of Pleurotus
ostreatus Fermentation on Cocoa Pod Husk Composition: Influence of Fermentation Period

50
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

and MN2+ Supplementation on The Fermentation Process. African J. of Biotechnol. 8(9):


1950-1958.

Amirroenas, D.E., 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet dengan Bahan Serat Biomassa Pod
Coklat (Theobroma cacao L) untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan.Tesis. Fakultas
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anonim, 2011. Keistimewaan Daging Kambing. http//www.suara merdeka.com-


/read/sehat.

BPS. 2013. Produksi Kakao di Indonesia. Badan Pusat Statistik.

BNS, 2015, Mutu Karkas dan Daging Sapi, Standar Nasional Indonesia, SNI
3932:2008, Jakarta.

Gamayanti, K.N., A. Pertiwiningrum, dan L.M. Yusiati, 2012. Pengaruh penggunaan limbah
cairan rumen dan lumpur gambut sebagai starte dalam proses fermentasi metanogenik.
Buletin Peternakan Vol 36 (1): 32-39

Hasnudi, 2005. Kajian Tumbuh Kembang Karkas dan Komponennya serta Penampilan
Domba Sungei Putih dan Lokal Sumatera yang Menggunakan Pakan Limbah Kelapa Sawit.
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Husaini, 1973.Faktor Kolestrol dan Lemak Terhadap Bahaya Penyakit Jantung


Atherosclerosis. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Cabang Bogor, Bogor.

Indraningsih dan Y. Sani. 2005. Kajian kontaminasi pestisida pada limbah padi sebagai pakan
ternak dan alternatif penanggulangannya. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha
Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp: 108–119.
Indraningsih, R. Widiastuti dan Y. Sani. 2006. Upaya Pengembangan Peternakan Kerbau
dalam Menunjang Kecukupan Daging Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau
Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi 2006 Puslitbang Peternakan, di
Sumbawa, Provinsi NTB pada tanggal 4. Agustus 2006. Hal 124-140.

Juwita, E., 2002.Respon Konsumsi, Daya Cerna dan Aktivitas Fermentif Cairan Rumen pada
Domba Lokal Terhadap Penambahan Kombinasi Mineral Organik dan Probiotik dalam
Ransum. Skripsi. Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Djuanda Bogor.

Kuswati, 2011. Karakteristik Karkas dan Kualitas Daging Kambing Hasil Pengemukan
Dengan Penambahan Carcass Modifier Pada Lama Pengemukan dan Jenis Kelamin Berbeda.
Disertasi Program Doktor Ilmu Ternak Program Pascasarjana Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang.,

Lateef,A.,J.K. Oloke., E.B. Gueguim Kana, S.O. Oyeniyi, O.R. Onifade, A.O. Oyeleye,
O.C. Oladusu and A.O. Oyelami. 2008. Improving The Quality of Agro-wastes by Solid-
state Fermentation: Enhanced Antioxidant Activities and Nutritional Qualities. World
J.Microbiol. Biotechnol. 24: 2369-2374.

51
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Munier,F.F.,2009. Potensi Ketersediaan Kulit Buah Kakao (Theobroma cocoa L) Sebagai


Sumber Pakan Alternatif untuk Ternak Ruminansia di DaerahIstimewa Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor.PP. 752-759.

Omed, H.M., D.K. Lovetland, and R.F.E. Axford, 2000. Faeces as a source of microbial
enzymes for estimating digestibility. In: Forage evaluation in ruminant nutrition. D.I. Givens,
E.Owen, F.R.E. Axford and H.M. Omed (eds), CABI Publishing, New York Pp. 135-150.

Purbowati, E., E. Rianto, W.S. Dilaga, C.M.S. Lestari dan R. Adiwinarti, 2014.
Karakteristik cairan rumen, jenis dan jumlah mikrobia dalam rumen sapi Jawa dan
Peranakan Ongole. Buletin Peternakan Vol 38 (1): 21-26.

Ransaleleh, T.A., 1998. Nilai Perbandingan Dan Kualitas Daging Sapi Brahman Cross Pada
Kelompok Bobot Potong yang Berbeda. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian.
Bogor.

Rusfidra,A.2007.Pemeliharaan Kambing Kacang Didaerah Tropis.


Www.IPTEK.net.id.

Saidin, M.,2000. Kandungan Kolesterol Dalam Berbagai Bahan Makanan Hewani.


Buletin. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Badan Litbangkes, Depkes RI.

Saka I.K, I.B. Mantra, I.N. Tirta Ariana, A.A. Oka, Ni L.P.Sriyani dan Sentana Putra, 2011.
Karakteristik Karkas Kambing Bali Betina dan Jantan yang Dipotong Rumah Potong
Umum Pesanggaran, Denpasar. Laporan Penelian Fakultas Peternakan Udayana,
Denpasar.

Sodiq, A.,2011. Prediksi Bobot dan Konformasi Karkas Kambing Lokal Menggunakan
Prediktor Bobot Potong dengan Berbagai Model Regresi. Jurnal Agripet: Vol (11) No.2:1-7

Soeparno,1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada. University


Press.Yogyakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, Cetakan keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Sunarlim, R., dan S. Usmiati (2006), Profil Karkas Ternak Domba dan Kambing. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian.Bogor

Sumarmono ,J., 1997. Kandungan Kolesterol dan lemak jenuh Daging Kambing Lebih
Rendah Dibandingkan Sapi. Kutipam dari Proceedings Nutrition Society of Australia.
Fakultas Peternakan UNSUD Puwokerto.

Wiyatna, M.F., 2007. Perbandingan Indek Perdagingan Sapi-sapi Indonesia (Sapi Bali,
Madura, PO) dengan sapi Australian Commercial Cross (ACC). Jurnal Ilmu Ternak, June
2007, Vol. 7 No.1 22-25

Yosita, M., S. Undang dan E.Y., Setyowati. 2012. Persentase Karkas, tebal lemak
Punggung dan Indeks perdagingan sapi Bali, Peranakan Ongole dan Aurtralian Commersial

52
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Cross. Jurnal Universitas Padjadjaran, Vol 1, No 1 (2012).Accessionat


http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/887/933.

53
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PERBEDAAN KUALITAS KARKAS, MARBLING DAN KANDUNGAN


KOLESTEROL DAGING SAPI BALI YANG DIBERI PAKAN KULIT
BUAH KAKAO FERMENTASI DENGAN PAKAN KONSENTRAT
KOMERSIAL

Bulkaini1, I Wayan Karda2, dan M.Ashari2


1Vokasi Unran PDD Kabupaten Bima , Jl Majapahit 62 Mataram, NTB

2 Fak. Peternakan Universitas Mataram, Jl Majapahit 62 Mataram, NTB

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas karkas, marbling dan
kandungan kolesterol daging sapi Bali Jantan yang diberi pakan berbasis kulit buah kakao
(KBK) fermentasi dengan pakan konsentrat komersial. Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 8 ekor sapi Bali jantan berumur 1,5-2 tahun dan berat
161±12,99-163±14,02 kg. Sapi Bali dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok perlakuan
pakan. Kelompok I diberi pakan mengandung 30% KBK fermentasi bioplus dicampur
konsentrat komersial dengan perbandingan 1:1 dan 70% jerami jagung dan kelompok II
diberi pakan mengandung 30% konsentrat komersial merk MEGAPRO (pakan komplit sapi
potong) dan 70% jerami jagung. Sapi dipotong pada akhir perlakuan pakan dan dianalisis
kualitas karkas dan dagingnya. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan
Oktober sampai dengan Nopember 2015 di Laboratorium Teaching Farm Fakultas
Peternakan, Universitas Mataram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase karkas,
tebal lemak punggung, Rib Eye Area dan indek perdagingan sapi Bali berturut-turut,
kelompok I: 53,77%, 2,68 mm, 61,01 cm2, 0,91% dan kelompok II: 54,76%, 2,80 mm,
61,79 cm, 0,94%. Adapun marbling dan kadar kolesterol sapi Bali berturut-turut adalah
sebagai berikut kelompok I: 3,43% dan 76,75 mg/100g dan kelompok II: 3,91% dan 85,00
mg/100g. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah Ransum yang mengandung KBK
fermentasi bioplus dalam bentuk serbuk bisa dijadikan sebagai pakan sapi Bali dengan
kualitas karkas dan marbling daging sapi Bali yang dihasilkan tidak berbada nyata
(P<0.05) dengan kualitas karkas dan marbling daging sapi Bali yang mendapat ransum
konsentrat komersial yaitu menghasilkan persentase karkas yang tinggi, rasio daging
dengan tulang seimbang, luas area mata rusuk tinggi, ketebalan lemak punggung rendah,
indek perdagingan yang baik, dan marbling tergolong small dengan kandungan kolesterol
yang masih aman untuk dikonsumsi.
Kata kunci: Kakao fermentasi, karkas, marbling, dan kolesterol

I.PENDAHULUAN

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan bangsa sapi potong yang murni dan asli
Indonesia yang memiliki sifat unggul yaitu tingkat reproduksinya tinggi, mudah beradaptasi
dan tidak selektif terhadap pakan dibandingkan sapi potong asli lainnya (Bandini, 1999).
Potensi limbah kakao di Indonesia sangat tinggi karena luasnya wilayah perkebunan

54
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kakao dari 1.852.900 ha dengan produksi kakao sebesar 723.000 ton (BPS, 2013) dapat
menghasilkan sekitar 3,5 juta ton limbah kakao per tahun. Tapi pemanfaatan limbah kakao
masih sangat terbatas, data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah limbah kakao
yang dihasilkan adalah 1.876.600 ton per tahun dan hanya

94.503 ton (5,04%) digunakan untuk pakan ternak. Sebenarnya kulit buah kakao (KBK)

mengandung nutrisi yang relatif tinggi seperti 6-12% protein kasar, 27-31% selulosa,

10-13% hemicelulosa dan 12-19% lignin (Ammirroenas, 1990).Rendahnya pemanfaatan


dari KBK sebagai pakan ternak disebabkan karena antinutritive ditemukan di dalamnya
terutama theobromine yang beracun untuk hewan (Indraningsih et al., 2006) dan dapat
menyebabkan dermatitis.

KBK sebelum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sebaiknya diolah dulu baik
secara fisik, kimiawi dan biologis (Indraningsih Dan Sani, 2005). Penglohan secara biologis
atau fermentasi dari KBK telah banyak dilakukan dengan menggunakan fermentor
komersial seperti EM4, urea, BIOFIT, menggunakan berbagai ragi (Rhizopus stolonifer
LAU 07) untuk meningkatkan kandungan protein menjadi 16% (Lateef et al, 2008),
dengan menggunakan Aspergillus spp , yang dapat menurunkan serat dari KBK (jumlah
serat kasar, NDF, ADF masing –masing 33,00, 55,79 dan

44,29%) (Alemawor et al., 2009), dan menggunakan Aspergillus oryzae untuk


meningkatkan protein kasar dari KBK sebesar 8,74% (Munier, 2009). Rumen ternak
mengandung mikroorganisme seperti protozoa (76,33 per ml), bakteri (2,3 x 108 cfu / g)
dan jamur (1,9 x 103 cfu / g) yang dapat menurunkan setiap bahan pakan serat bermutu
rendah (Purbowati et al., 2014 ). Menurut Omed et al. (2000) ada banyak bakteri dalam
cairan rumen dari keluarga Bacteriodes, Fusobacterium, Streptococcus, Eubacterium,
Ruminococcus dan Lactobacillus. Beberapa penelitian pada cairan rumen mengungkapkan
bahwa penambahan cairan rumen dapat meningkatkan proses fermentasi (Arora,
1992) dan tentunya dapat digunakan sebagai fermentor untuk proses fermentasi (Gamayanti
et al., 2012 dan Purbowati et al., 2014). Kualitas karkas dipengaruhi oleh jenis ternak,
jenis kelamin, pakan dan teknologi pakan, serta penanganan ternak sebelum
pemotongan (Saka et al, 2011). Soeparno (1998) juga menyatakan bahwa pakan sangat

55
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

berpengaruh terhadap kualitas karkas dan kualitas daging. Penilaian kualitas karkas
umumnya melalui persentase karkas, berat dan panjang karkas, fleshing index, luas
areal mata rusuk, ketebalan lemak, skor kegemukan sapi, skor colour lemak, skor
warna daging dan pH daging (Saka et al, 2011 ). Standar Nasional Indonesia (SNI)
menilai kualitas fisik daging berdasarkan warna daging, warna lemak, marbling, tekstur,
kandungan kolesterol dan mikroba daging (BSN, 2015). Syamsir (2011) menambahkan
bahwa marbling daging sapi dipengaruhi oleh genetik dan pakan.

Untuk meningkatkan kualitas karkas dan marbling daging Bali perlu dilakukan
penelitian pemanfaatan KBK yang melimpah, dengan penerapan teknologi pakan
sederhana (fermentasi KBK menggunakan fermentor bioplus) untuk mengatasi
antinutritive dari KBK dan untuk meningkatkan kualitas limbah perkebunan kakao
sebelum dimanfaatkan sebagai pakan sapi Bali.

II. MATERI DAN METODE

Materi Penelitian.

Materi yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 8 ekor sapi Bali jantan umur 1,5-

2,0 tahun dengan berat badan awal 161±12,99-163±14,02 kg, KBK fermentasi bioplus
dalam bentuk serbuk, pakan konsentrat merk MEGAPRO (pakan komplit sapi potong),
bioplus sebagai fermentor komersial dan limbah pertanian berupa jerami jagung.

Metode Penelitian.

Fermentasi KBK: KBK dicacah dengan ukuran 2 x 3 cm, selanjutnya dijemur selama

2-3 hari untuk mengurangi kadar air. KBK yang sudah kering digiling untuk mendapatkan

KBK dalam bentuk serbuk . KBK dalam bentuk serbuk dicampur dengan dedak padi 1,5%,

urea 0,5% dan bioplus 0,3 % dari berat KBK dalam bentuk serbuk dan air secukupnya.

Campuran dari KBK dimasukkan ke dalam bak plastik dan diperketat untuk membuat

kondisi anaerob sehingga proses fermentasi dapat dicapai.

Fermentasi dilakukan selama 4 hari. KBK fermentasi kemudian dibiarkan terbuka sebelum
diberikan kepada ternak.

56
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penggemukan Sapi : 8 ekor sap Bali dibagi secara acak menjadi dua kelompok perlakuan
pakan yang terdiri dari kelompok I menerima ransum yang mengandung

30% KBK fermentasi dicampur dengan konsentrat komersial dengan perbandingan 1:1 dan
70% jerami jagung, dan kelompok II mendapat ransum yang mengandung 30%
konsentrat komersial merk Megapro dan 70% jerami jagung. Semua ternak
digemukkan selama 2 bulan.

Uji kualitas karkas dan daging: Pengamatan terhadap kualitas karkas, marbling dan
kandungan kolesterol daging, dilakukan penyembelihan sapi dengan metode yang
direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di RPH Majeluk Mataram. Variabel
yang diamati adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan non karkas,
ketebalan lemak punggung, luas area mata rusuk, fleshing index, derajat marbling, dan
kolesterol daging. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis statistik
dalam bentuk uji T-tes dengan menggunakan Program

SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Karkas Sapi Bali Jantan

Dari hasil uji T-tes terbukti bahwa tidak terdapat perbedaan (P>0,05)
persentase karkas antara sapi Bali yang diberi pakan KBK fermentasi dalam bentuk
serbuk + konsenterat komersial + jerami jagung (KBKFKKJ) dengan sapi yang diberi pakan
konsenterat komersial + jerami jagung (KKJ), kecuali terhadap bobot karkas berbeda nyata
(P<0,05). Dari Tabel 1 terlihat bahwa secara rata-rata persentase karkas sapi Bali jantan
berdasarkan perlakuan berkisar 53,77±0,23-54,76±0,10%. Persentase karkas ini
mencerminkan bahwa pemberian KBK fermentasi bioplus dalam bentuk serbuk sebagai
pakan sapi Bali dapat menghasilkan karkas yang cukup tinggi yaitu di atas 50%. Kelompok
sapi dengan pemberian pakan 30% konsenterat komersial + 70% jerami jagung (KKJ)
menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi yaitu

54,76±0,10% dengan rasio daging dan tulang 3,67,0:1, baru diikuti oleh kelompok sapi
yang diberi pakan KBK fermentasi dalam bentuk serbuk dicampur konsenterat
komersial (30%) + 70% jerami jagung (KBKFKKJ) menghasilkan persentase karkas
53,77±0,23 dengan rasio daging dan tulang 3,28:1. Persentase karkas sapi Bali yang
diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan persentase karkas sapi Bali yang
dipotong pada umur 2,5–3,0 tahun yaitu 54 % (Wiyatna, 2007). Hal ini berarti bahwa

57
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KBK fermentasi dalam bentuk serbuk yang dicampur dengan konsenterat komersial (1:1)
dalam ransum dapat menghasilkan persentase karkas dengan rasio daging dengan tulang
yang seimbang. Hasil penelitian persentase karkas ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Hapid dan Rugayah (2009) yaitu sapi Bali yang dipotong dengan berat
potong 200 – 220 kg mendapatkan karkas sebesar 53,73%.

Tabel 1. Kualitas Karkas Sapi Bali Jantan dengan pemberian pakan berbasis limbah
kulit buah kakao (KBK) fermentasi

Kelompok
Parameter Kualitas Karkas I= KBKFKKJ II=KKJ P
Bobot Karkas (kg) 98,28±8,79b 113,49±7,97a *
Persentase Karkas (%) NS
Rasio daging dan tulang 53,77±0,23 54,76±0,10 NS
Tebal Lemak Punggung(mm) 3,28:1 3,67,0:1 NS
Ruas area mata rusuk (Cm )2 NS
2,68±0,24 2,80±0,10
Indek Perdagingan (%) NS
Keterangan: NS = Non signifikan, * 61,01±0,54 61,79±0,14
berbeda nyata (P<0,05)
0,91±0,10 0,94±0,06
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa sapi Bali yang diberi pakan konsenterat
komersial (30%)+70% jerami jagung (KKJ) dengan sapi Bali yang diberi pakan KBK
fermentasi dalam bentuk serbuk dicampur konsenterat komersial (30%) + 70% jerami
jagung (KBKFKKJ) menghasilkan tebal lemak punggung sebesar 2,68±0,24-2,80±0,10
mm. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa penggunaan KBK fermentasi dalam
bentuk serbuk dan penggunaan konsenterat komersial sebagai pakan sapi Bali tidak
memberikan dampak negatif terhadap kualitas karkas karena persentase lemak
punggung yang dihasilkan masih tergolong rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pendapat Yosita dkk.(2011), bahwa karkas yang memiliki lemak punggung yang
banyak, kurang baik dan dapat merugikan produsen daging karena dianggap sebagai
perlemakan yang harus dibuang. Menurut pedoman pemberian skor kegemukan karkas yang
dikemukakan oleh McIntyre dan Ryan (1980) yang dikutip oleh Saka dkk.(2011)
menyebutkan bahwa tebal lemak punggung dengan skor 5 sampai 7 mm termasuk karkas
kelas medium (menengah).

Luas area mata rusuk = Rib Eye Area (REA) atau sering disebut dengan istilah

Daerah Mata Rusuk (DMR) merupakan indikator perdagingan yang umum digunakan
namun tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal dalam menduga produksi daging,

58
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

melainkan sebagai preduktor pelengkap (Ransaleleh, 1998). Dalam Tabel 1 terlihat bahwa
sapi Bali yang diberi pakan dengan KBK fermentasi dalam bentuk serbuk dicampur
konsenterat komersial (30%) + 70% jerami jagung (KBKFKKJ) menghasilkan DMR

sebesar 61,01±0,54 cm2, sedangkan sapi Bali yang diberi pakan konsenterat komersial
(30%) + 70% jerami jagung (KKJ) menghasilkan DMR sebesar

61,79±0,14 cm2.. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Ransaleleh (1998) yang

mengutip pendapat Field dan Schonover (1967), bahwa luas urat daging mata rusuk
dipengaruhi oleh bobot hidup dan berkolerasi positip dengan bobot karkas. Dalam
penelitian ini terbukti bahwa pada kelompok sapi dengan pakan KKJ mempunyai bobot
karkas yang tinggi (113,49±7,97 kg) diikuti dengan luas DMR yang tinggi pula

(61,79±0,14 cm2).

Indeks perdagingan atau fleshing indek (FI) adalah salah satu karateristik karkas atau
kreteria penilaian karkas secara obyektif yang merupakan pilihan untuk mengganti penilaian
komformasi karkas secara visual yang subyektif (Saka dkk., 2011). Wiyatna (2007)
menyatakan indek daging adalah perbandingan antara bobot karkas dengan panjang karkas,
dengan demikian tingginya nilai persentase karkas belum tentu menghasilkan indek
perdagingan yang tinggi karena ditentukan oleh faktor lain yaitu panjang karkas. Dalam
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa indeks perdagingan sapi baik untuk kelompok I
(KBKFKKJ) maupun untuk kelompok II (KKJ) masih di bawah

1 yaitu berkisar 0,91±0,10–0,94 ± 0,06 % meskipun persentase karkasnya di atas 50% yaitu
53,77±0,23 - 54,76±0,10%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wiyatna
(2007) yaitu sapi Bali jantan yang dipotong dibawah umur 3 tahun menghasilkan indek
perdagingan kurang dari 1 %, sedangkan sapi Bali yang dipotong di atas umur 3 tahun
dengan persentase karkas di atas 50% akan menghasilkan indek perdagingan di atas 1%
yaitu 1,232%, sapi Madura 0,948%, sapi PO 1,210% dan sapi Australian Commersial Cross
(ACC) 1,415%

Persentase Non Karkas Sapi Bali Jantan

59
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Persentae non karkas sapi Bali jantan dengan pemberian pakan berbasis kulit
buah kakao fermentasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase non karkas Sapi Bali Jantan dengan pemberian pakan berbasis
limbah kulit buah kakao (KBK) fermentasi

Kelompok
Parameter Non Karkas I= KBKFKKJ II=KKJ P
Kulit (%) 11,45±0,40 11,58±0,09 NS
Kepala (%) NS
5,48±0,32 5,71±0,25
Darah (%) NS
3,06±0,40 3,46±0.40
Kaki (%) NS
2,74±0,12 3,98±0,17
Hati (%) NS
Limpa (%) 2,45±0,79 2,91±0,04 NS
NS
Saluran pencernaan
Keterangan: NS = Non(%)
signifikan. 0,63±0,25 0,69±0,17
18,67±0,32 18,67±0,27 NS
Alat reproduksi (%) NS
Paru dan jantung (%)
Hasil penelitian pada Tabel 0.88±0,09 0.90±0,10
2 di atas memperlihatkan bahwa hasil pemotongan
1,65±0,16
sapi Bali jantan selain dalam bentuk 1,51±0,14
karkas juga diperoleh hasil dalam bentuk non
karkas yang jumlah cukup tinggi yaitu mencapai 46,23% untuk kelompok sapi yang diberi
pakan KBKFKKJ dengan rincian berturut-turut 18,67% alat pencernaan, 11,45% kulit,
5,48% kepala, 3,06% darah, 2,74% kaki, 2,45% hati, 1,65% gabungan paru dengan
jantung, 0,88% alat reproduksi, dan 0,63% berupa limpa. Sedangkan kelompok sapi yang
diberi pakan KKJ menghasilkan komponen non karkas sebesar 45,24 % dengan
rincian berturut-turut 16,67% alat pencernaan, 5,71% kepala, 3,06% darah,

2,74% keempat kaki, 2,45% hati, 2,51%, gabungan paru dengan jantaung, 0,90% alat
reproduksi dan 0,69% berupa limpa. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Soeparno
(1994) yang menyatakan bahwa persentase non karkas dari hasil pemotongan sapi Bali
mencapai 45-47 %.

Kualitas Marbling dan Kandungan Kolesterol Daging Sapi


Bali

Hasil penelitian tentang kualitas marbling dan kandungan kolesterol daging sapi Bali
jantan dengan pemberian pakan berbasis limbah kulit buah kakao (KBK) disajikan pada
Tabel 3. Dari hasil uji T-tes terbukti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05)
kualitas marbling daging sapi antara kelompok I (KBKFKKJ) dengan daging sapi
kelompok II, sedangkan terhadap kandungan kolesterol terdapat perbedaan yang nyata

60
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

(P<0,05). Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara rata-rata persentase marbling daging sapi Bali
jantan kelompok I (KBKFKKJ) sebesar 3,43±0,27%, sedangkan kelompok II sebesar
3,91±0,05%. Persentase marbling ini mencerminkan bahwa pemberian KBK
fermentasi bioplus dalam bentuk serbuk dicampur dengan konsentrat komersial (1:1)
dan pemberian konsentrat komersial tanpa campuran sebagai pakan sapi Bali dapat
menghasilkan marbling yang tergolong small (kurang). Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Swatland (1984) yang menyebutkan bahawa jika daging sapi memiliki
kandungan marbling 2,5 - 7,5% maka daging tersebut dikatagorikan daging yang
mengandung marbling rendah. Kualitas marbling dan kandungan kolesterol daging sapi
Bali jantan dengan pemberian pakan berbasis limbah kulit buah kakao (KBK) disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Kualitas Marbling dan Kandungan Kolesterol Daging Sapi Bali Jantan
dengan Pemberian Pakan Berbasis Limbah Kulit Buah Kakao (KBK)
Fermentasi.

Kelompok Sapi
Parameter yang diuji I(KBKFKKJ) II(KKJ) P
Marbiling (%) 3,43±0,27 3,91±0,05 NS
Kolesterol (mg/100gr) 76,75±6,24 85,00±3,56 *
Keterangan: NS = non signifikan, *=berbeda nyata (P<0,05)

Rendahnya kandungan marbling daging sapi Bali berdasarkan kelompok pemberian pakan
antara lain disebabkan karena umur potong sapi Bali yang digunakan dalam penelitian ini
masih tergolong umur potong muda dengan kisaran umur 2 - 2,5 tahun. Menurut Soeparno
(1994), persentase lemak intermuskuler (marbling) biasanya cenderung meningkat sejalan
dengan meningkatnya persentase lemak jaringan tubuh, ketebalan lemak punggung.
Kandungan marbling dipengaruhi juga oleh pakan (status nutrisi) yang diberikan pada
waktu masih hidup. Sapi yang diberikan pakan biji-bijian akan menghasilkan marbling dan
lemak intramuskuler yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan lebih
banyak rumput atau hijauan lainnya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ketebalan
lemak punggung dan status nutrisi pakan berpengaruh terhadahap kandungan marbling
daging sapi. Hal ini terbukti bahwa sapi pada kelompok II memiliki lemak punggung
(2,80±0,10% ) yang lebih tinggi dibanding dengan lemak punggung sapi kelompok I
(2,68±0,24%), sehingga kandungan marbling sapi kelompok II lebih tinggi dibanding

61
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan marbling sapi pada pada kelompok I. Priyanto et al (1993) melaporkan bahwa sapi
Hereford yang diberi ransum utama konsentrat memiliki proporsi lemak lebih tinggi dan
daging lebih rendah dari pada sapi Hereford yang mendapatkan ransum utama hijauan.
Hasil penelitian Ransaleleh (1998) melaporkan bahwa bobot potong secara nyata
mempengaruhi skor marbling, susut masak, daya mengikat air, dan warna daging.
Perbandingan bentuk marbling sapi yang mendapat pakan berupa konsentrat komersial
(30%)+70% jerami jagung dengan sapi Bali yang diberi pakan konsentrat komersial
dicampur dengan KBK fermentasi bioplus

dalam bentuk serbuk (30%)+70% jerami jagung disajikan pada Gambar

Marbling
Marbling

KBKFKKJ = 3,43% KKJ=3,91%

Gambar 1. Marbling daging sapi Bali berdasarkan perlakuan pakan

Hasil uji T-tes menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05)
kandungan kolesterol daging sapi Bali antara kelompok I (KBKFKKJ) dengan daging sapi
kelompok II. Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat bahwa secara rata-rata kandungan
kolesterol daging sapi Bali jantan kelompok I (KBKFKKJ) sebesar 76,75±6,24 mg/100 g
lebih rendah dibandingkan dengan kandungan kolesterol daging sapi kelompok II yaitu
sebesar 85,00±3,56%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi Bali yang diberi pakan
dengan KBKF dalam bentuk serbuk dicampur dengan konsenterat komersial (1:1)
maupun yang diberikan dengan pakan konsenterat komersial tanpa campuran KBKF
menghasilkan kandungan kolesterol yang lebih tinggi dan masih aman untuk
dikonsumsi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saidin (2000) dan

62
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Husaini (1973) yang melaporkan bahwa kandungan kolesterol daging sapi kondisi
tubuh kurus sebesar 65 mg/100g dan yang kondisi gemuk sebesar 68 mg/100g serta
menurut USDA (1989) sebesar 73,1 mg /100g.

KESIMPULAN

Ransum yang mengandung KBK fermentasi bioplus dalam bentuk serbuk bisa
dijadikan sebagai pakan sapi Bali dengan kualitas karkas dan marbling daging sapi
Bali yang dihasilkan tidak berbeda nyata (P<0.05) dengan kualitas karkas dan marbling
daging sapi Bali yang mendapat ransum konsentrat komersial yaitu menghasilkan
persentase karkas yang tinggi, rasio daging dengan tulang seimbang, ruas area mata
rusuk tinggi, ketebalan lemak punggung rendah, indek perdagingan yang baik, dan
marbling tergolong small dengan kandungan kolesterol yang masih aman untuk
dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA
Alemawor, F.,V.P. Dzogbefial, E.O.K. Oddoye and J.H. Oldham. 2009. Effect of Pleurotus
ostreatus Fermentation on Cocoa Pod Husk Composition: Influence of Fermentation
Period and MN2+ Supplementation on The Fermentation Process. African J. of
Biotechnol. 8(9): 1950-1958.
Amirroenas, D.E., 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet dengan Bahan Serat Biomassa Pod
Coklat (Theobroma cacao L) untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan.Tesis. Fakultas
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arora, S.P. 1992. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada Univesity
Press. Yogyakarta
Bandini Y., 1999. Sapi Bali Cocok untuk Ternak Potong dan Kerja, Rajin Beranak dan
Mudah Pemeliharaannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
BPS. 2013. Produksi Kakao di Indonesia. Badan Pusat Statistik.
Gamayanti, K.N., A. Pertiwiningrum, dan L.M. Yusiati, 2012. Pengaruh penggunaan limbah
cairan rumen
dan lumpur gambut sebagai starter dalam proses fermentasi metanogenik. Buletin Peternakan
Vol 36 (1): 32
39.
Hapid H., dan Rugayah, 2009. Persentase Karkas Sapi Bali pada Berbagai Berat Badan dan
Lama Pemuasaan Sebelum Pemotongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner – Tahun 2009. Tema: Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung

63
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan


Peternak. Bogor, 13 - 14 Agustus 2009. Hal. 77-85.
Indraningsih dan Y. Sani. 2005. Kajian kontaminasi pestisida pada limbah padi sebagai pakan
ternak dan alternatif penanggulangannya. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha
Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Puslitbang Peternakan – UGM. Pp: 108–
119.
Indraningsih, R. Widiastuti dan Y. Sani. 2006. Upaya Pengembangan Peternakan
Kerbau dalam Menunjang Kecukupan Daging Prosiding Lokakarya Nasional Usaha
Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi 2006
Puslitbang Peternakan, di Sumbawa, Provinsi NTB pada tanggal 4. Agustus
2006. Hal 124-140.
Lateef, A., J.K. Oloke., E.B. Gueguim Kana, S.O. Oyeniyi, O.R. Onifade, A.O.
Oyeleye, O.C. Oladusu and A.O. Oyelami. 2008. Improving The Quality of Agro- wastes by
Solid-state Fermentation: Enhanced Antioxidant Activities and
Nutritional Qualities. World J.Microbiol. Biotechnol. 24: 2369-2374.
Munier, F.F., 2009. Komposisi Kimia pada Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) yang
Difermentasi dengan Aspirgillus oryzae. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sulawesi Tengah.
Oliver, A., J.A. Mendizabal, G. Ripoll, P. Alberti, and A. Purroy. 2010. Predicting meat
yields and commercial meat cuts from carcass of young bulls of Sapnish breeds by
the SEUROP method and an image analysis system. Meat Science 84: 628- 633.
Omed, H.M., D.K. Lovetland, and R.F.E. Axford, 2000. Faeces as a source of microbial
enzymes for estimating digestibility. In: Forage evaluation in ruminant nutrition. D.I.
Givens, E.Owen, F.R.E. Axford and H.M. Omed (eds), CABI Publishing, New
York Pp. 135-150.
Pane, I. 1990. Pelaksanaan Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali. Proceding Seminar
Nasional Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali. Bali, 20–22 September 1990,
halaman A42 – A46.
Purbowati, E., E. Rianto, W.S. Dilaga, C.M.S. Lestari dan R. Adiwinarti, 2014.
Karakteristik cairan rumen, jenis dan jumlah mikrobia dalam rumen sapi Jawa dan Peranakan
Ongole. Buletin Peternakan Vol 38 (1): 21-26.
Saidin, M., 2000. Kandungan Kolesterol Dalam Berbagai Bahan Makanan Hewani.
Buletin. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Badan Litbangkes, Depkes RI.
Saka, I.K., I.B. Mantra, I.N. Tirta Ariana, A.A. Oka, Ni L.P.Sriyani dan Sentana-Putra,
2011. Karakteristik Karkas Sapi Bali Betina dan Jantan yang Dipotong Rumah Potong Umum
Pesanggaran, Denpasar. The Excellence Research Universitas Udayana 2011, page 39-47,
Accession at http://lppm.unud.ac.id/wp- content/uploads/Karakteristik-Karkas-Sapi-Bali-
Betina-dan-Jantan-...-oleh-Ketut- Suka-et-al.pdf
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada. University Press.
Yogyakarta.

64
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Syamsir, E. 2011. Karakteristik Mutu Daging. Kulinologi Indonesia. Edisi Maret 2011.
Accession at http://elvirasyamsir.staff.ipb.ac.id/page/4/
USDA Handbooks, 1989. Nutritive Value of Foods. Home and Garden Bulletin.
Washington DC. Government Printing Office.
Wiyatna, M.F., 2007. Perbandingan Indek Perdagingan Sapi-sapi Indonesia (Sapi Bali,
Madura, PO) dengan sapi Australian Commercial Cross (ACC). Jurnal Ilmu
Ternak, June 2007, Vol. 7 No.1 22-25
Yosita, M., S. Undang dan E.Y.,Setyowati. 2012. Persentase Karkas, tebal lemak Punggung
dan Indeks perdagingan sapi Bali, Peranakan Ongole dan Aurtralian Commersial
Cross. Jurnal Universitas Padjadjaran, Vol 1, No 1 (2012). Accession at
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/887/

65
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN MENERAPKAN KEARIFAN LOKAL


“LEDI”
(STUDI KASUS DI KABUPATEN BIMA – PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT)

Muhammad Ahyar

Program Vokasi UNRAM PDD Kabupaten Bima


Jl. Lintas Bima – Sumbawa Sondosia Bima
Email : ahyarmil32@yahoo.com

Abstrak

Ledi merupakan salah satu kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat Kabupaten Bima Provinsi
Nusa Tenggara Barat, kearifan lokal yang ada pada budaya bertani ini merupakan cara pengolahan lahan pada
budidaya padi sawah dengan menggunakan tenaga ternak. Berbeda dengan membajak, ledi tidak menggunakan
bajak, tetapi memanfaatkan tenaga segerombolan ternak yang digiring mengelilingi sawah hingga membuat
tekstur tanah sawah menjadi lembek dan dapat ditanami padi dengan baik.
Menurut Ahyar, 2014, ditengah isu Perubahan Iklim dan krisis energi dewasa ini konsep Ledi dapat
dikembangkan sebagai bentuk pengolahan lahan dalam budidaya padi sawah ramah lingkungan yang
mendukung adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dan krisis energy, serta mampu meningkatkan
produktivitas petani.
Penelitian ini bertujuan : 1) Mendeskripsikan kearifan lokal ledi sebagai bentuk pengolahan lahan ramah
lingkungan; 2) Mendeskripsikan perbandingan produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi
dengan yang diolah menggunakan traktor.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal ledi dapat dikembangkan sebagai bentuk pengolahan lahan
sawah yang ramah lingkungan. Selain itu hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi dengan yang diolah menggunakan traktor.

Kata Kunci : Ledi, Kearifan Lokal, Produktivitas Padi.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan
alam dan lingkungan sekitarnya yang bisa bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat,
petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya (Wietoelar
2006). Sementara itu menurut Aminudin (2013), kearifan lokal mengandung arti gagasan-
gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Jika kita menengok ke daerah-daerah di
Indonesia sebenarnya sudah banyak tercipta kearifan lokal daerah setempat yang
merupakan warisan nenek moyang kita. Kearifan lokal ini seringkali menuntun
masyarakat dalam menjaga lingkungannya. Daerah kabupaten Bima juga memiliki
kearifan lokal seperti daerah lain di Indonesia, salah satunya adalah “Ledi”.
Ledi merupakan kearifan lokal yang terdapat pada bidang pertanian. Ledi
merupakan cara pengolahan lahan tradisional yang dilakukan oleh petani yang terdapat di

66
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

daerah kabupaten Bima. Berbeda dengan membajak yang menggunakan sepasang atau
beberapa pasang kerbau yang dipasangi alat bajak untuk mengolah lahan, ledi dilakukan
dengan cara menghalau segerombol kerbau mengelilingi sawah sehingga memiliki tekstur
yang baik untuk ditanami padi.
Salah satu tantangan dalam pembangunan sektor pertanian adalah bagaimana
meningkatkan produktivitas tanpa memberikan kontribusi yang besar pada kerusakan
lingkungnan hidup, artinya kita harus membuat terosan-terobosan yang menerapkan
pertanian ramah lingkungan. Menurut Setyanto dan Kartikawati (2008) bahwa jika
dikaitkan dengan isu perubahan iklim, maka pertanian ramah lingkungan adalah pola
bertani yang mendukung aksi adaptadi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, hal ini
dimaksudkan bahwa perilaku bertani yang diterapkan semaksimal mungkin harus
menghasilkan sedikit gas rumah kaca (GRK).
Menurut Rosegrent, Ewing, Yohe, Burton, Huq dan Santos (2008), secara global
emisi GRK merupakan sumbangsih dari berbagai sektor kehidupan. Sektor energi
memberikan sumbangsih sebesar 63 %, sektor kehutanan dan alih fungsi lahan sebesar 18
%, sektor pertanian sebesar 13 %, sektor industri dan sampah rumah tangga masing-
masing sebesar 3 %. Berdasarkan laporan ADB-GEF-UNDP dalam Deptan (2007) bahwa
dalam sektor pertanian, budidaya padi sawah memberikan sumbangsih emisi GRK
terbesar, yaitu 70,9%. Selain itu budidaya padi sawah menyumbang 76% dari keseluruhan
gas methan (CH4) yang diemisikan sektor pertanian.
Menurut Nasrullah (2009), bahwa setiap tahap dalam budidaya padi sawah
memiliki potensi masing-masing dalam menyumbang GRK, mulai dari tahap pemilihan
bibit, pengolahan lahan, penanaman, pemupukan sampai pemanenan memiliki alternative
tenis yang dapat menekan GRK yang dihasilkan. Dalam hal pengolahan lahan, Nasrullah
menggambarkan bahwa penggunaan alat pengolahan yang berbeda seperti Traktor, tenaga
ternak atau mencangkul akan memberi kontribusi yang berbeda dalam menghasilkan
GRK, hal ini terutama terkait dengan penggunaan BBM.
Terkait dengan peningkatan produktivitas pertanian dan pengembangan pertanian
ramah lingkungan, pemerintah seharusnya selalu menggali berbagai bentuk dan potensi
perilaku bertani yang diperkirakan akan mampu mendukung peningkatan produksivitas
dan ramah lingkungan. Dalam hal pengolah lahan perlu dipikirkan untuk mengembangkan
bentuk pengolahan lahan yang ramah lingkungan dan meningkatkan produktivitas petani.
Ledi merupakan cara mengolah tanah pada budidaya padi sawah dengan
menggunakan segerombolan ternak yang dihalau atau digiring secara bersama-sama oleh
petani sehingga ternak-ternak tersebut menginjak semua bagian lahan sawah (pengganti

67
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

membajak), dengan demikian lahan sawah memiliki tekstur yang cocok untuk ditanami
padi. Kegiatan ini merupakan saah satu cara pengolahan sawah tradisional yang dilakukan
oleh petani di daerah kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ledi dalam prakteknya dilakukan secara berkelompok dan menggunakan kerbau
yang merupakan ternak petani sendiri, sehingga terdapat cikal bakal penguatan
kelembagaan petani dan tidak menggunakan bahan bakar minyak, oleh karena itu ledi
dapat diduga kearifan lokal mampu mendukung pertanian ramah lingkungan dan
meningkatkan produktivitas petani.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Mendeskripsikan kearifan lokal ledi sebagai bentuk pengolahan lahan padi sawah
yang ramah lingkungan;
2. Mendeskripsikan perbandingan antara produktivitas padi sawah yang lahannya diolah
secara ledi dengan yang diolah menggunakan traktor.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hal-hal yang dideskripsikan pada penelitian ini adalah
kegiatan ledi sebagai bentuk bentuk pengolahan lahan ramah lingkungan, selain itu juga
dideskripsikan perbandingan antara produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi
dengan yang diolah menggunakan traktor. Penelitian dilakukan pada petani yang memiliki
lahan sawah, sampel diambil pada 2 kelompok tani yang berbeda, satu kelompok tani
melakukan pengolahan lahan dengan cara ledi sedangkan kelompok tani lain mengolah lahan
padi sawah mereka menggunakan traktor. Sampel diambil di Desa Pai kecamatan Wera
Kabupaten Bima, hal ini dilakukan karena di lokasi tersebut masih terdapat kelompoktani
yang lahan padi sawahnya diolah dengan cara ledi. Sampel dipilih secara acidental, yaitu
setiap anggota kelompok tani yang temui langsung diwawancara.
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara, sedangkan data
sekunder diambil dengan melakukan pencatatan data yang ada kaitannya dengan penelitian
dan sudah tersedia pada kantor atau instansi terkait. Analisis perbandingan antara

68
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

produktivitas padi yang lahan sawahnya diolah secara ledi dengan produktivitas padi yang
lahan sawahnya diolah menggunakan traktor dilakukan dengan Uji – T dengan bantuan
program computer Microsoft Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Ledi
Ledi berasal dari bahasa Mbojo (Bima), yang secara harfiah berarti menginjak -
injak. Menurut istilah Mbojo, khususnya dalam budidaya padi sawah, ledi merupakan cara
mengolah tanah pada budidaya padi sawah dengan menggunakan segerombolan ternak
yang dihalau secara bersama-sama oleh petani sehingga ternak-ternak tersebut menginjak
semua bagian lahan sawah dan menyebabkan lahan sawah memiliki tekstur yang cocok
untuk ditanami padi. Ternak yang biasa digunakan dalam kegiatan ledi adalah kerbau.
Secara teknis kegiatan pengolahan lahan padi sawah dengan cara ledi digambarkan
sebagai berikut :
1. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh petani-petani pada suatu areal tertentu yang
memiliki ternak kerbau.
2. Ledi dilakukan secara berkelompok atau gotong royong.
3. Petani-petani tersebut mengumpulkan kerbau mereka, biasanya antara 20 – 50 ekor
atau tergantung luas lahan dan jumlah anggota.
4. Kerbau-kerbau tersebut dihalau secara bersama-sama untuk menginjak semua bagian
petak sawah yang akan di tanami padi. Anggota kelompok ada yang menghalau dari
belakang, samping kiri – kanan dan dari depan. Hal ini dilakukan dari satu petak sawah
ke petak sawah yang lain hingga seluruh petak sawah yang dimiliki oleh anggota
kelompok semua terkena.
5. Setelah ledi lahan sawah juga digaru untuk meratakannya.
6. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk ledi adalah 3,5 – 5 Jam per hektar dan 1 – 1,5
jam untuk menggaru, hal ini tergantung dari jumlah kerbau yang digunakan.

Menurut Ahyar (2014), konsep pengembangan budaya ledi sebagai budaya hemat
energi yang sekaligus dapat meningkatkan produktivitas petani dapat digambarkan
sebagai berikut :

69
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Melalui kelompoktani atau gabungan kelompoktani pemerintah memberikan dorongan


kepada petani berupa peningkatan pemahaman tentang pemanasan global dan
perubahan iklim serta krisis energi, terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian.
2. Pemerintah memberikan bimbingan teknis dan manajerial maupun bantuan modal
untuk mengembangkan peternakan kerbau dengan syarat kerbau tersebut harus
digunakan untuk pengolahan lahan secara ledi.
3. Penggunaan kerbau dalam pengolahan lahan dalam budidaya padi sawah akan
mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM), sehingga akan memicu
terbentuknya budaya hemat energi.
4. Kotoran kerbau yang dibuang pada saat ledi memberikan sumbangan unsur hara bagi
tanaman padi, sehingga dapat memberikan potensi pengurangan penggunaan pupuk
kimia yang biasa digunakan petani.
5. Peternakan kerbau juga dapat meningkatkan penghasilan petani dengan menjualnya
bila telah berkembang dengan baik. Hal ini akan menunjang peningkatan produktivitas
petani.
6. Limbah-limbah organik hasil pertanian tidak hanya dibuang atau dibakar oleh petani,
tetapi dapat dimanfaatkan sebagai pakan kerbau yang mereka ternakan.
7. Kotoran kerbau dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas yang dapat digunakan
sebagai sumber energi rumah tangga, kemudian residu biogas dapat dimanfaatkan oleh
petani sebagai pupuk organik.
8. Mengandung nilai-nilai kebersamaan atau gotong royong. Suatu pekerjaan yang
dilakukan secara bersama-sama atau bergotong royong biasanya terasa lebih mudah,
artinya memerlukan energi individual yang lebih kecil.
9. Waktu yang diperlukan untuk ledi satu petak tanah pada umumnya lebih cepat dan
lebih murah dibandingkan dengan membajak menggunakan tenaga mesin.

Memperhatikan deskripsi tentang ledi dan konsep pengembangan ledi di atas, maka
terdapat beberapa hal yang positif yang dapat mempertegas bahwa pengolahan lahan
secara ledi merupakan cara pengolahan lahan yang ramah lingkungan, yaitu :
1. Pengolahan lahan dengan cara ledi tidak menggunakan bahan bakar minyak, sehingga
tidak banyak berkontribusi pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di lapisan
atmosfer. Selain itu hal ini sekaligus menjadikan ledi sebagai budaya hemat energi.
2. Kearifan lokal ledi akan mendorong konsep pertanian yang mengitegrasikan budidaya
tanaman dengan peternakan kerbau.

70
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3. Pengolahan lahan secara ledi tidak bisa dikerjakan sendiri, hal ini akan mendorong
budaya gotong-royong dan dapat menguatkan kelembagaan kelompoktani.
4. Pengembangan budaya ledi dapat mendorong pendatapatan petani, sebab selain
memperoleh hasil dari budidaya tanaman, petani juga memperoleh hasil dari beternak
kerbau. Selain itu ledi akan menekan penggunakan BBM dan berpotensi melahirkan
pengembangan energy ramah lingkungan berupa biogas dari kotoran kerbau.

B. Perbandingan Produktivitas Padi Sawah yang Lahannya diolah secara Ledi dengan
Produktivitas Padi Sawah yang Lahannya diolah Menggunakan Traktor

Rata-rata produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi serta rata-rata
produktivitas padi sawah yang lahannya diolah menggunakan traktor berikut analisis
perbandingannya dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 1. Rata-rata Produktivitas Padi Sawah yang Lahannya diolah secara Ledi dan diolah
menggunakan Traktor.

Cara Pengolahan Lahan Produktivitas (kw/Ha)


Ledi 49,49
Traktor 49,34
Sumber : Hasil Olah Data

Data pada table 1 menunjukkan bahwa produktivitas padi sawah yang lahannya
diolah secara ledi sebanyak 49,49 kw/Ha, sedangkan produktivitas padi sawah yang
lahannya diolah menggunakan traktor sebanyak 49,34 kw/Ha.

Tabel 2. Hasil Analisis Perbandingan Produktivitas Padi Sawah yang Lahannya diolah
secara Ledi dengan diolah menggunakan Traktor

LEDI TRAKTOR
Mean 49.48666667 49.34
Variance 1.454298851 1.378344828
Observations 30 30
Pooled Variance 1.416321839

71
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hypothesized Mean Difference 0


Df 58
t Stat 0.477305101
P(T<=t) one-tail 0.317469309
t Critical one-tail 1.671552762
P(T<=t) two-tail 0.634938618
t Critical two-tail 2.001717484
Sumber : t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances, Microsoft Excel 2010.
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar 0.477 sedangkan nilai t table
sebesar 2.00, angka ini menunjukkan bahwa nlai t hitung < t table, hal ini berarti bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara produktivitas padi sawah yang lahannya
diolah secara ledi dengan produktivitas padi sawh yang lahannya diolah menggunakan
traktor.
Pengolahan lahan sawah pada budidaya padi sawah dimaksud agar terwujudnya
kondisi tanah yang siap untuk ditanami baik secara fisik, kimia, maupun biologis
sehingga padi yang dibudidayakan akan tumbuh dengan baik. Selain itu, pengolahan
tanah juga bertujuan untuk memperoleh struktur tanah yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan benih atau akar. Struktur remah diperlukan guna memungkinkan peresapan
yang cepat dan ketahanan terhadap hujan, untuk mendapatkan kandungan dan pertukaran
udara yang cukup di dalam tanah, dan untuk memperkecil hambatan terhadap
penembusan akar (Sriatna, 2011)
Memperhatikan penjelasan di atas, maka diduga bahwa tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi dengan yang
diolah menggunakan traktor disebabkan oleh kondisi lahan yang dihasilkan oleh kedua
cara pengolahan lahan ini sama-sama baik dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan padi sawah.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesempilan
sebagai berikut :
1. Pengolahan lahan dengan cara ledi dapat dikembangkan sebagai cara pengolahan
lahan sawah yang ramah lingkungan.

72
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Perbandingan produktivitas padi sawah yang lahannya diolah secara ledi dengan yang
lahannya diolah menggunakan traktor tidak berbeda nyata.

B. Saran
Beberapa saran yang perlu disampaikan terkait dengan hasil penelitian ini antara
lain sebagai beriku :
1. Perlu dilakukan analisis usaha tani terpadu dengan menerapkan cara pengolahan lahan
dengan ledi.
2. Pemerintah sebaiknya mendorong kearifan lokal ledi sebagai cara pengolahan lahan
yang ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyar, M., 2014. Ledi Sebagai Bentuk Adaptasi dan Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim,
Budaya Hemat Energi dan Peningkatan Produktivitas Petani (Studi Kasus di
Kabupaten Bima – Provinsi Nusa Tenggara Barat). Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, “Pembangunan Berkelanjutan
dalam Perspektif Ketahanan Energi, Pengelolaan Lingkungan dan Pengelolaan
Bencana. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.

Aminudin, 2013. Menjaga Lingkungan Hidup dengan Kearifan Lokal. Titian Ilmu. Jakarta.

Departemen Pertanian, 2007. Agenda Nasional 2008-2015, Rencana Aksi Pengurangan Emisi
Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian. Jakarta.

Nasrullah, 2009. Kajian Budidaya Padi Sawah yang Berpotensi untuk Mitigasi Emisi Gas
Rumah Kaca. Thesis. Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.

Rosegrent M.W, M. Ewing, G. Yohe, I. Burton, S. Huq dan R.V. Santos, 2008. Climate
Change and Agriculture. Threats and Opportunities. Federal Ministry for Economic
Coorporation and Development. Eschborn.
Setyanto, P dan R. Kartikawati, 2008. Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Rendah Emisi Gas
Methan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27 (3) : 2008. Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian, Pati – Jawa Tengah.

Sriatna, R.U., 2011. Bertani dengan Akal dan Nurani. Penerbit Nuansa. Bandung

73
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PERTUMBUHAN MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal)


PADA PADAT TEBAR YANG BERBEDA

MOLTING GROWTH OF MUD CRAB (Scylla serrata Forskal)


AT DIFFERENT STOCKING DENSITIES
1)
Herianto, Alis Mukhlis 2), Nunik Cokrowati, 3)
1,2,3)
Program Studi Budidaya Perairan Universitas Mataram

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh padat tebar terhadap pertumbuhan
kepiting bakau (Scylla serrata) pada masa ganti kulit (molting). Penelitian dilakukan di tambak menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas 4 (empat) perlakuan kepadatan yaitu 3 ekor/m2, 6 ekor/m2, 9
ekor/m2, dan 12 ekor/m2 yang masing-masing diulang sebanyak 5 kali. Benih kepiting bakau yang menjadi
hewan uji berukuran 71,9 + 6,5 g/ekor (n = 120 ekor), dengan lebar karapas rata-rata sebesar 71,6 + 5,5
mm/ekor, (n = 114 ekor). Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan bobot tubuh dan lebar karapas. Ujung
capit bagian atas (dactylus) hewan uji dipotong terlebih dahulu agar tingkat kematian akibat kanibalisme dapat
ditekan. Hewan uji diberi pakan ikan rucah sebanyak 2 kali per hari dengan dosis 10% dari total bobot tubuh
per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan padat tebar memberi pengaruh yang nyata (p<0,05)
pada pertumbuhan bobot tubuh dan lebar karapas. Padat tebar 3 ekor/m2 menghasilkan pertumbuhan bobot
tubuh tertinggi dengan nilai pertumbuhan mutlak sebesar 40,6 + 2,5 g/ekor/molting atau mengalami
peningkatan bobot tubuh sebesar 54,4 + 3,2 % dari bobot tubuh sebelum molting. Pertumbuhan lebar karapas
yang tertinggi juga terlihat pada padat tebar 3 ekor/m2 dengan nilai pertumbuhan mutlak sebesar 12,9 + 0,9
mm/ekor/molting atau mengalami meningkatan sebesar 17,8 + 1,2 % dari ukuran lebar cangkang sebelum
molting. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot tubuh hewan uji dengan padat tebar
3 ekor/m2 tidak berbeda nyata dengan padat tebar 6 ekor/m2 namun terhadap dua perlakuan lainnya terlihat
berbeda nyata. Pertumbuhan lebar karapas hewan uji pada padat tebar 3 ekor/m2 juga menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan padat tebar 6 ekor/m2 dan 9 ekor/m2 sedangkan terhadap padat tebar 12 ekor/m2
menunjukkan berbeda nyata. Penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi padat tebar maka
pertumbuhan bobot tubuh dan lebar karapas akan semakin rendah.

Kata kuci : Pertumbuhan molting, kepiting bakau, padat tebar.

PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang
bernilai ekonomi tinggi. Hasil survei lapangan yang dilakukan di wilayah kecamatan
Jerowaru kabupaten Lombok Timur pada tahun 2015, harga kepiting bakau di tingkat
pengumpul (kolektor) sangat tergantung pada bobot tubuh kepiting bakau. Harga kepiting
bakau dibedakan atas tiga kelas yaitu kelas III untuk kepiting berukuran kurang dari 200
g/ekor, kelas II untuk kepiting berukuran 200-350 g/ekor, dan kelas I untuk kepiting
berukuran di atas 350 g/ekor. Harga kepiting bakau kelas III saat ini sekitar 20.000-250.000
rupiah per kilo gram, untuk kelas II sekitar 50.000-55.000 rupiah per kilogram, sedangkan
untuk kelas I sekitar 75.000 ribu rupiah.

Adanya perbedaan harga kepiting bakau di lapangan yang didasarkan pada ukuran
kepiting telah membuka peluang usaha para pembudidaya untuk melakukan pembesaran
kepiting bakau dalam periode tertentu hingga diperoleh peningkatan bobot tubuh yang diiringi

74
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan peningkatan harga. Hingga saat ini penelitian dasar tentang pertumbuhan kepiting
bakau selama molting masih sangat terbatas.

Kepiting bakau yang merupakan salah satu jenis krustasea memiliki karakter
pertumbuhan yang tidak sama seperti ikan pada umumnya. Pertumbuhan kepiting bakau
berlangsung secara tidak kontinyu disebabkan karena eksoskeleton yang keras sehingga dapat
membatasi pertumbuhan otot dan daging kepiting. Untuk melanjutkan pertumbuhan maka
eksoskeleton akan diganti secara periodik dengan melakukan pergantian kulit (molting).
Hartnoll (1982) menjelaskan bahwa setiap proses molting akan dilanjutkan dengan proses
penyerapan air dan sebagai akibatnya, terjadi peningkatan ukuran tubuh dalam waktu yang
singkat.

Beberapa penelitian tentang pertumbuhan krustasea telah mengarah pada pertumbuhan


mutlak maupun pertumbuhan relatif (Kurata, 1962). Namun model pertumbuhan mutlak
untuk kepiting sebagian besar didasarkan pada peningkatan ukuran pada saat molting dan
selama periode intermolt di laboratorium menggunakan kepiting stadia juvenil (Botsford,
1985). Di lapangan, pertumbuhan mutlak kepiting diperkirakan secara tidak langsung
menggunakan analisis distribusi frekuensi ukuran dalam area tertutup, atau menggunakan
survei terhadap kepiting yang telah diberi tanda.

Hartnoll (2001) mengungkapkan bahwa suhu dan makanan adalah dua faktor eksternal
yang paling penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dalam kondisi laboratorium. Selain
itu, fakor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan adalah kepadatan populasi (Hepher
dan Prigunin, 1981)

Beberapa penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data kepadatan yang


optimum telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Gunarto dan Rusdi (1993) telah menguji
tiga tingkat kepadatan benih kepiting bakau stadia crablet pada kolam tanah dengan kepadatan
1 crablet/m2, 3 crablet/m2, dan 5 crablet/m2 dan menemukan bahwa perbedaan kepadatan
tidak mempengaruhi pertumbuhan namun berpengaruh signifikan pada tingkat kelangsungan
hidup.

Penerapan budidaya kepiting bakau dengan kepadatan tinggi (sistem intensif) sejauh
ini dilaporkan hanya pada kegiatan penggemukan dalam keramba bambu dimana kepadatan
yang diterapkan lebih dari 15 ekor/m2. Namun mortalitas tinggi yang menurunkan produksi
masih menjadi kendala utama (Rattanachote dan Dangwattanakul, 1992). Dengan
dilaporkannya penggunaan metoda pemotongan ujung capit (dactylus) yang dapat menekan
mortalitas (Timur et al., 2013) maka peluang penerapan kepadatan tinggi masih sangat

75
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

terbuka. Kepadatan kepiting bakau yang dilaporkan sejauh ini masih bervariasi mulai dari
0,05 ekor/m2 untuk sistem ekstensif, 1,5 ekor/m2 untuk budidaya di tambak, dan 5 ekor/m2
untuk sistem pagar (Keenan, 1999). Kordi (2007) juga melaporkan kepadatan kepiting bakau
dalam tambak pada sistem monokultur yaitu 2-3 ekor/m2 untuk benih seberat 80-100 g/ekor.
Tim Karya Tani (2010) juga melaporkan bahwa benih berukuran 60 g dapat menerapkan
kepadatan 1-3 ekor/m2.

Meskipun beberapa laporan di atas telah memaparkan penerapan kepadatan tinggi


namun informasi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan relatif untuk kepiting dewasa pada
sistem intensif masih belum banyak dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan data dasar tentang pengaruh padat tebar terhadap pertumbuhan mutlak dan
pertumbuhan relatif kepiting bakau (Scylla serrata) pada area tertutup menggunakan pagar
tancap.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di tambak Dusun Cemare, Desa Lembar Selatan,


Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan
September sampai dengan Oktober tahun 2014. Percobaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) terdiri atas 4 perlakuan kepadatan yaitu 3 ekor/m2 (perlakuan A), 6 ekor/m2
(perlakuan B), 9 ekor/m2 (perlakuan C), dan 12 ekor/m2 (perlakuan D). Masing-masing
perlakuan diuang sebanyak 5 kali.

Masing-masing unit percobaan dipagari bambu yang ditanam sedalam 30-40 cm dan
dilapisi dengan waring hingga ketinggian 1 m dari permukaan tanah. Plastik transparan (lebar
20-25 cm) juga ditambahkan di atas waring untuk membatasi pergerakan hewan uji keluar
dari area percobaan. Seluruh permukaan tanah juga ditutupi dengan waring kemudian dilapisi
lumpur hingga ketebalan 4-8 cm. Luas area unit percobaan diatur sesuai dengan perlakuan
dimana masing-masing diisi dengan 6 ekor hewan uji per unit percobaan.

Penelitian ini menggunakan kepiting bakau (Scylla serrata) dengan rata-rata bobot
tubuh dan lebar karapas yaitu 71,9 + 6,5 g/ekor (n=120 ekor) dan 71,6 + 5,5 mm/ekor (n=114
ekor). Organ dactylus dipotong untuk menekan kematian akibat kanibalisme. Untuk
memudahkan koleksi data per individu, sebelum memulai percobaan dilakukan penandaan
dengan memotong duri karapas sebelah kiri dan kanan sepanjang 1-2 mm secara berurutan
sesuai dengan urutan hewan uji. Penebaran benih dilakukan pada pagi hari dari pukul pukul
08.00-11.00 WITA. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari masing-masing

76
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sebanyak 5% dari total bobot tubuh. Bobot tubuh hewan uji diamati setiap 3 hari selama
sebelum molting dan 7 hari setelah molting. Pengamatan hewan uji yang telah melewati
proses molting dilakukan saat pemberian pakan. Bobot tubuh hewan uji ditimbang dengan
sebuah timbangan digital ketelitian 1 g, sedangkan lebar karapas diukur dengan
menggunakan jangka sorong ketelitian 0,01 mm. Parameter kualitas air meliputi suhu air,
derajat keasaman, salinitas, dan oksigen terlarut diukur setiap satu minggu selama percobaan.

Parameter pertumbuhan yang dianalisis yaitu pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan


relatif baik untuk bobot tubuh maupun lebar karapas. Pertumbuhan mutlak dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut :

W = Wt – W0

Keterangan:
W = Pertumbuhan mutlak (g)
Wt = Bobot tubuh pada saat 7 hari setelah molting (g)
W0 = Bobot tubuh sebelum molting (g)

Pertumbuhan relatif dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

W = (Wt – W0) / W0 x 100%

Keterangan:
W = Pertumbuhan relatif (%)
Wt = Bobot tubuh pada saat 7 hari pasca molting (g)
W0 = Bobot tubuh sebelum molting (g)

Data pertumbuhan dianalisis secara statistik menggunakan analisis keragaman pada


tarap nyata 5%. Jika perlakuan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan
(p<0,05) maka analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Data kualitas air
dianalisis secara deskriptif.

HASIL

Pertumbuhan Mutlak Bobot Tubuh dan Lebar Karapas

Dari penelitan yang dilakukan diperoleh bahwa padat tebar 3 ekor/m2 memberikan
pengaruh peningkatan pertumbuhan bobot tubuh kepiting bakau paling tinggi dibandingkan
dengan tiga perlakuan lainnya. Hewan uji dalam perlakuan ini mengalami peningkatan bobot
tubuh rata-rata setelah molting sebesar 40,6 + 2,5 g per ekor, sedangkan untuk kepadatan 6

77
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ekor/m2, 9 ekor/m2, dan 12 ekor/m2 masing-masing mengalami peningkatan bobot tubuh


sebsar 36,8 + 2,2 g per ekor, 36,2 + 2,9 g per ekor, dan 33,4 + 1,5 g per ekor. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan telah memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap keragaman respon pertumbuhan bobot tubuh kepiting bakau (p<0,05).
Hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa pertumbuhan bobot tubuh hewan uji dengan padat
tebar 3 ekor/m2 terlihat tidak berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan respon
hewan uji pada padat tebar 6 ekor/m2, namun sebaliknya berbeda secara signifikan terhadap
respon yang ditunjukkan oleh hewan uji pada padat tebar 9 ekor/m2 dan 12 ekor/m2 (Gambar
1).

Gambar 1. Pertumbuhan bobot tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) pada padat tebar 3,
6, 9, dan 12 ekor/m2 serta notasi hasil uji lanjut BNJ.

Searah dengan pertumbuhan bobot tubuh, padat tebar 3 ekor/m2 juga menghasilkan
respon pertumbuhan lebar karapas tertinggi dengan nilai rata-rata sebesar 12,9 mm per ekor,
sedangkan untuk padat tebar 9 ekor/m2, 6 ekor/m2, dan 12 ekor/m2 masing-masing
menghasilkan respon pertumbuhan lebar karapas dengan nilai rata-rata sebesar 10,8 mm, 10,6
mm, dan 9,4 mm per ekor. Hasil analisis keragaman juga menunjukkan bahwa nilai
pertumbuhan lebar karapas antar perlakuan berbeda secara signifikan (p<0,05) dimana padat
tebar 3 ekor/m2 terlihat berbeda nyata dengan tiga perlakuan lainnya (Gambar 2).

78
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau (Scylla serrata) yang dipelihara
pada padat tebar 3, 6, 9, dan 12 ekor/m2 serta notasi hasil uji BNJ.

Pertumbuhan Relatif Bobot Tubuh dan Lebar Karapas

Berdasarkan analisis data pertumbuhan relatif, hewan uji yang ditebar dengan padat
tebar 3 ekor/m2 menghasilkan peningkatan pertumbuhan sebesar 54,4 % dari bobot tubuh
sebelum molting. Perlakuan ini menghasilkan pertumbuhan relatif tertinggi bila dibandingkan
dengan tiga perlakuan lainnya. Untuk padat tebar 6 ekor/m2, 9 ekor/m2, dan 12 ekor/m2
masing-masing menghasilkan peningkatan bobot tubuh sebesar 51,0%, 50,0%, dan 46,4% dari
bobot tubuh sebelum molting. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perbedaan padat
tebar memberi pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan relatif (p<0,05) dimana
hewan uji yang ditebar dengan padat tebar 3 ekor/m2 memperlihatkan respon pertumbuhan
yang tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan padat tebar 6 ekor/m2 dan 9 ekor/m2
namun terhadap 12 ekor/m2 terlihat berbeda nyata (Gambar 3).

Gambar 3. Pertumbuhan relatif bobot tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) yang
dipelihara pada padat tebar 3, 6, 9, dan 12 ekor/m2 serta notasi hasil uji lanjut BNJ.

Dalam penelitian ini, pertumbuhan relatif lebar karapas yang tertinggi dicapai pada
padat tebar 3 ekor/m2 dengan nilai rata-rata sebesar 17,8% dari lebar karapas sebelum
molting. Padat tebar 6 ekor/m2, 9 ekor/m2, dan 12 ekor/m2 masing-masing menghasilkan
pertumbuhan relatif rata-rata sebesar 15,1%, 14,9 %, dan 13,0 %. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa perbedaan padat tebar memberi pengaruh yang sifnifikan terhadap
pertumbuhan relatif lebar karapas (p<0,05) dimana padat tebar 3 ekor/m2 memperlihatkan
respon pertumbuhan relatif yang berbeda secara signifikan dibandingkan dengan respon
pertumbuhan hewan uji yang ditebar dengan padat tebar 6 ekor/m2, 9 ekor/m2, dan 12 ekor/m2
(Gambar 4).

79
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4. Pertumbuhan relatif lebar karapas dan hasil uji BNJ kepiting bakau (Scylla
serrata) yang dipelihara pada kepadatan 3, 6, 9, dan 12 ekor/m2.

Hasil pengukuran kualitas air selama percobaan memperlihatkan kisaran yang layak
untuk kehidupan kepiting bakau. Selama percobaan, kondisi suhu perairan tambak berada
pada kisaran 28,8-30,4oC, sedangkan salinitas dan pH masing-masing berada pada kisaran
29,8-33,6 ppt dan 7,2-7,6. Selain itu, oksigen terlarut juga berada pada kisaran yang masih
dapat ditoleransi oleh kepiting bakau yaitu 4,1-5,7 ppm (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air lingkungan selama percobaan

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, kepiting bakau dengan bobot tubuh rata-rata 71,9 + 6,5 g/ekor
yang ditebar dengan padat tebar 3 ekor/m2 memperlihatkan nilai pertumbuhan bobot tubuh
dan lebar karapas tertinggi dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Namun demikian,
hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa perlakuan ini menunjukkan respon yang tidak berbeda
secara signifikan dibandingkan dengan padat tebar 6 ekor/m2, dengan demikian maka dalam
mempertahankan pertumbuhan bobot tubuh pada tingkat tertinggi maka kedua perlakuan ini
dapat diterapkan. Data yang ditunjukkan oleh kedua perlakuan ini memperlihatkan bahwa
pertambahan lebar karapas sebesar 15,1%-17,8% sebagai hasil dari proses molting maka akan
menyebabkan terjadinya pertambahan bobot tubuh sekitar 36,8-40,6 g per ekor atau terjadi
peningkatan bobot tubuh sebanyak 51,0%-54,4% dari bobot tubuh sesaat sebelum molting.

Peneltian ini telah menunjukkan adanya korelasi negatif antara padat tebar dengan
pertumbuhan. Padat tebar kepiting bakau yang semakin tinggi akan diikuti oleh penurunan

80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pertumbuhan bobot tubuh dan lebar karapas. Penurunan ukuran lebar cangkang hewan uji
diduga telah memberi dampak pada penurunan bobot tubuh hewan uji saat molting.

Salah satu fakor yang dapat menyebabkan stress (stressor) yaitu kepadatan populasi
(Hepher dan Prigunin, 1981). Padat tebar yang terlalu tinggi dapat membatasi ruang gerak
hewan uji. Keterbatasan ruang gerak akibat adanya gangguan hewan uji lainnya di dalam
ruang yang sama diduga juga dapat mengganggu aktivitas makan dan kebiasaan menjelajah
kepiting bakau ketika mencari makan. Gangguan ini dapat memicu stress sehingga hewan uji
mengalami gangguan fungsi fisiologis (Francis-Floid, 2012) yang berdampak pada
terganggunya kerja hormonal di dalam tubuh termasuk hormon pertumbuhan. Kondisi stress
akibat kepadatan tinggi akan mudah dialami oleh kepiting bakau disebabkan karena sifat
kanibal yang dimiliki. Beberapa hewan uji yang ditebar dengan kepadatan tinggi (12 ekor/m2)
terlihat mengalami keabnormalan pada permukaan cangkang yang diduga akibat dari
gangguan hewan uji lainnya ketika cangkangnya masing sangat lunak sesaat setelah molting.

Kualitas air merupakan faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan kepiting bakau.
Data kualitas air selama penelitian masih berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan
kepiting bakau. Kisaran parameter kualitas air dalam percobaan ini meliputi : suhu 28,8-
30,4oC, salinitas 28,4-33,6 ppt, pH 7,2-7,6 dan oksigen terlarut 4,5-5,7 ppm.

KESIMPULAN DAN SARAN

Padat tebar yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan molting kepiting bakau (S.
serrata) secara signifikan (p<0,05). Padat tebar 3 ekor/m2 menghasilkan pertumbuhan molting
bobot tubuh dan lebar karapas tertinggi dibandingkan dengan padat tebar 6 ekor/m2, 9
ekor/m2, dan 12 ekor/m2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan bobot benih kepiting bakau (S.
serrata) yang berbeda untuk mendapatkan data pertumbuhan molting yang lebih lengkap yang
dapat menjadi pertimbangan bagi pembudidaya kepiting bakau di lapangan.

DAPTAR PUSTAKA
Botsford, L. W. 1985. Models of growth. In: Crustacean issues. Vol. 3: Factors in adult
growth. A. Wenner (Ed.). Rotterdam, Netherlands, Balkema, AA. Hal. 171–188.
Francis-Floid,R.2012.Stres-itsroleinfishdisease.
http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/FA/FA00500.pdf. [Diakseses Tanggal 31 Desember
2014].
Gunarto dan Rusdi. 1993. Mud Crab AQuaculture and biology. Aciar proceedings. 78: 216
hlm.

81
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hartnoll, R. 1982. Growth. In: The biology of crustacea, Vol. 2. D. Bliss (Ed.-in-Chief). In:
Embryology, morphology and genetics. L. Abele (Ed.). Academic Press, New York,
Hal. 11–96.
Hartnoll, R. 2001. Growth in Crustacea – twenty years on. Hydrobiologia. 449: 111–122.
Hepher, B. dan Y. Prigunin. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reperence to fish
culture in israel. Jhon Willey and Sons Inc., New York.
Keenan, C.P. 1999. Aquaculture of the Mud Crab, Genus Scylla-Past, Present and Future. In :
C.P. Keenan dan A. Blackshaw (ed). Mud Crab Aquaculture and Biology.
Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21–24
April 1997. ACIAR Proceedings. 78: 216 hlm.
Kordi K., M.G.H. 2007. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan, Pembesaran, dan
penggemukan). CV. ANEKA ILMU. Semarang.
Kurata, H. 1962. Studies on the age and growth of Crustacea. Bull. Hokkaido Reg. Fish. Res.
Lab. 24 : 1–115.
Rattanachote, A. dan R. Dangwattanakul. 1992. Mud crab (Scylla serrata Forskål) fattening in
Surat Thani Province. In : Angell, C.A, (ed). Report of the Seminar on the Mud Crab
Culture and Trade, held at Surat Thani, Thailand, November 5–8 1991. Bay of Bengal
Program, BOBP/REP/51, Madras, India, 171–177.
Timur, P.S., S. Amir, A. Mukhlis. 2013. Pengaruh Pemotongan Organ Capit (Dactylus)
Terhadap Pertumbuhan Dan Tingkat Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) pada Sistem Pemeliharaan Isolasi dan Tanpa Isolasi. Skripsi. Budidaya
Perairan. Universitas Mataram

82
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KARAKTERISTIK AGRONOMI BIBIT KOPI ARABIKA (Coffea arabica L.) PADA


BERBAGAI INTERVAL PENYIRAMAN AIR

Hidayati Fatchur Rochmah1, Ade Wachjar2, Eko Sulistyono2

1 Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Produksi Perkebunan, Diploma, Institut


Pertanian Bogor, Jl. Kumbang no 14, Indonesia
2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor
Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

*
Corresponding author: E-mail: hidayati_fatchur@ yahoo.co.id

ABSTRAK
Pemeliharaan bibit kopi di pembibitan yang optimum merupakan sesuatu hal yang sangat penting antara lain
pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, penyiraman dan pengaturan intensitas
naungan. Kepekaan bibit kopi terhadap cahaya akan semakin meningkat pada keadaan kekurangan air. Tujuan
penelitian ini yaitu mengetahui interval penyiraman air yang tepat untuk mendapatkan keragaan bibit kopi yang
baik. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Dramaga, Bogor, mulai bulan Juli 2013
hingga April 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan interval penyiraman
2, 4, 6 dan 8 hari sekali. Interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap keragaan agronomi bibit kopi
Arabika. Interval penyiraman 4 dan 6 hari sekali sudah memenuhi syarat bibit siap salur yang baik. Interval
penyiraman air 6 hari sekali dengan koefisien tanaman 0.52 dan fraksi air 14.32% nyata menghasilkan tinggi
tanaman yang lebih tinggi, jumlah daun yang lebih banyak, diameter batang yang lebih besar, luas daun yang
lebih besar serta jumlah stomata dan kerapatan stomata yang lebih banyak dibandingkan interval penyiraman 2
dan 8 hari sekali. Pemberian air yang berlebihan (2 hari sekali) dan kondisi kekurangan air (8 hari sekali) akan
dapat mengakibatkan cekaman air sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.

Kata kunci: kopi, penyiraman, koefisien tanaman

Pendahuluan

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memegang peranan penting
dalam perekonomian Indonesia. Hal ini didukung oleh peningkatan produksi kopi Indonesia.
Produksi kopi Indonesia pada tahun 2011 sebesar 709 000 ton atau meningkat 4.8%
dibandingkan tahun 2007 (676 476 ton) (Ditjenbun 2012). Permintaan dunia terhadap kopi
Indonesia diperkirakan akan meningkat 20% setiap tahun (Rubiyo 2012). Laju peningkatan
produksi kopi Indonesia yang 0.96% per tahun diperkirakan tidak dapat memenuhi laju
permintaan kopi tersebut. Untuk itu diperlukan peningkatan produksi melalui perluasan areal
dan program intensifikasi. Penyediaan bibit yang unggul termasuk ke dalam program
intensifikasi ini.
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi adalah bibit yang kurang baik.
Petani umumnya masih menggunakan bibit sapuan yang rentan terhadap hama dan penyakit.

83
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Supriadi et al. (2010) menyatakan bahwa salah satu sebab rendahnya produktivitas kopi
nasional adalah penggunaan bahan tanam asalan, sehingga sifat unggul tanaman induk tidak
diwariskan kepada turunannya. Selain itu permasalahan yang dihadapi oleh petani yaitu
keterbatasan pengetahuan dan kekurangan informasi tentang teknik pembibitan kopi yang
baik. Hal ini menyebabkan keragaan bibit kopi menjadi beragam. Kriteria kopi bibit siap salur
yang baik (kelas A) menurut Rahardjo (2012) yaitu tinggi bibit > 12 cm, diameter batang >3.0
mm dan jumlah daunnya > 11 daun.
Kepekaan tanaman yang toleran naungan terhadap cahaya akan semakin bertambah
pada keadaan kekurangan air yang sedikit sekalipun. Tegangan air akan menghambat sintesis
protein di dalam daun sehingga kepekaan terhadap cahaya bertambah. Pemberian naungan di
daerah tropik dapat mengurangi kehilangan air tanah, memelihara kelembaban, melindungi
tanaman dari kerusakan hama dan penyakit serta kekurangan hara.

Tanaman kopi pada fase pembibitan memerlukan ketersediaan air yang cukup.
Pemberian air dilakukan untuk menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air bagi tanaman.
Pemberian air selama ini di pembibitan dilakukan dengan cara penyiraman dua kali sehari
yaitu pagi dan sore hari sampai media dalam polybag mencapai kapasitas lapang. Akan tetapi
pengaruhnya terhadap tanaman belum diketahui berdasarkan penelitian secara ilmiah.
Pemberian air pada tanaman sangat penting, menurut Gardner et al. (l985), peranan air
bagi pertumbuhan tanaman adalah sebagai penyusun utama jaringan tanaman, pelarut dan
medium bagi reaksi metabolisme sel, medium untuk transpor zat terlarut, medium yang
memberikan turgor pada sel tanaman, bahan baku untuk fotosintesis, proses hidrolisis dan
reaksi kimia lain serta evaporasi air untuk mendinginkan permukaan tanaman. Mengingat
pentingnya peran air dan kebutuhan yang tinggi akan air maka tanaman memerlukan sumber
air yang tetap untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Kondisi kekurangan air dapat mempengaruhi aspek pertumbuhan tanaman baik secara
anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia, ini disebut aspek ganda cekaman air. Menurut
Lubis et al. (1999), pada tanaman jambu mete cekaman air menurunkan secara nyata terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman (tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah cabang
sekunder dan diameter kanopi) seiring dengan peningkatan cekaman air. Menurut Rusli dan
Ferry (2009) respon bibit jarak pagar terhadap pemberian air sebanyak 100 ml/pohon/hari dan
75 ml/pohon/hari, baik diberikan sekaligus maupun diberikan pada pagi dan sore masing-
masing setengahnya, menunjukkan pertumbuhan tinggi tunas, produksi daun, panjang daun,
lebar daun, dan luas daun yang lebih baik.

84
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interval penyiraman air yang tepat untuk
mendapatkan keragaan bibit kopi yang baik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Dramaga, Bogor, Jawa Barat,
mulai bulan Juli 2013 sampai dengan April 2014. Analisis ketebalan daun, kerapatan stomata
dan Analisis kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.

Pada penelitian ini digunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan satu faktor dan
tiga ulangan. Perlakuan tersebut antara lain : (A1) Penyiraman air 2 kali sehari, (A2)
Penyiraman air 4 kali sehari, (A3) Penyiraman air 6 kali sehari dan (A4) Penyiraman air 8 kali
sehari. Pada percobaan ini terdapat 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 12 satuan
percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri atas petak yang berukuran 1.2 m x 0.6 m
dengan jumlah 11 polybag yang diatur dengan jarak polybag 30 cm x 30 cm dari pinggir
polybag.

Analisis statistik yang digunakan adalah sidik ragam dengan model rancangan kelompok
lengkap teracak. Jika hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada uji F taraf α 5%
maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Petakan dibuat untuk meletakkan 11 polybag bibit kopi dengan 3 polybag bibit kopi sebagai
tanaman contoh diletakkan di bagian tengah untuk setiap satuan percobaan. Pembuatan
naungan dilakukan dengan menggunakan bambu dan paranet sebagai atapnya sesuai dengan
perlakuan yang digunakan. Naungan dibuat mendatar dengan tinggi paranet 1.5 m. Polybag
yang digunakan berwarna hitam berukuran 30 cm x 40 cm, dengan ketebalan 0.2 mm. Pada
bagian atas seluruh naungan dipasang plastik transparan untuk mencegah air hujan masuk ke
dalam polybag. Pemeliharaan bibit meliputi penyiangan, pemupukan serta pengendalian hama
dan penyakit. P enyiraman dilakukan sampai terjadi perkolasi. Tindakan pencegahan
dari gangguan hama, penyakit, dan gulma terhadap bibit, dilakukan penyemprotan dengan
menggunakan fungisida, insektisida dan herbisida. Pemupukan dilakukan dengan Urea, SP-36
dan KCl dengan dosis masing-masing sesuai dengan umur bibit. Pada umur 0 Bulan Setelah
Perlakuan (BSP) dosis Urea 0.5 g bibit-1, SP 36 0.25g bibit-1 dan KCl 0.25 g bibit-1, umur 2

85
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dan 4 BSP dosis Urea 1 g bibit-1, SP36 0.5 g bibit-1 dan KCl 0.5 g bibit-1, serta umur 6 BSP
dosis Urea 2 g bibit-1, SP 36 1 g bibit-1 dan KCl 1 g bibit-1 (Puslitkoka, 2006).

Pengamatan dimulai saat bibit tanaman kopi berumur 1 BSP dan jumlah sampel yang diamati
3 bibit tanaman tiap satuan percobaan. Peubah yang diamati yaitu pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun) setiap bulan dan pada umur 5 BSP
diamati kerapatan stomata, kehijauan daun dan evapotranspirasi harian.

Pengamatan evapotranspirasi harian dilakukan pada satuan percobaan dengan prinsip


neraca air. Neraca air pada polybag adalah I = E + Pk + ΔM, I adalah irigasi, E =
Evapotranspirasi, Pk = perkolasi dan Δ M = perubahan kadar air tanah. Semua satuan neraca
air dinyatakan dalam satuan mm. Irigasi diukur dengan mengukur volume air setiap satuan
waktu. Penakaran perkolasi dilakukan dengan penakar perkolasi yang diletakkan di
kedalaman 50 cm. Pendugaan evapotranspirasi (ET (mm/hari)) dapat didasarkan pada
evapotraspirasi referens (ETo (mm/hari)). Evapotranspirasi referens merupakan
evapotranspirasi dari rumput hijau dengan tinggi 8-15 cm, tumbuh aktif, menutup lahan
dengan sempurna dan tidak kekurangan air. Nisbah antara evapotranspirasi tanaman dengan
evapotranspirasi referens disebut koefisien tanaman (kc). Oleh karena itu evapotranspirasi
dapat diduga dengan persamaan (Allen et al. 1998) :ET = Kc. ETo

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil

Kondisi Umum Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Atas. Selama


pelaksanaan penelitian, kondisi cuaca selama bulan Agustus hingga November cukup cerah
tetapi ketika bulan Desember dan Januari curah hujan cukup tinggi. Penyakit karat daun
(Hemileia vastatrix) yang merupakan penyakit yang paling banyak menyerang bibit kopi
Arabika selama penelitian tidak ditemukan. Penyakit karat ini merupakan indikasi cocok atau
tidaknya bibit kopi Arabika ditanam di dataran rendah. Analisis tanah pada awal penelitian
menunjukkan hasil yaitu pH 4.6, C organik 2.39%, N total 0.21%, P 7.1 ppm, K 0.08 me/100
g, KTK tanah 21.55me/100 g, tekstur tanah pasir 6.52 %, Debu 6.56 % dan liat 86.92 %
(Lampiran 2). Menurut Pujiyanto (1998) syarat tumbuh kopi yang baik yaitu jenis tanah
lempung, lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung berdebu, lempung berliat dan
kandungan C-organik 2-5 %, 15 me/100 g atau lebih, pH 4-8, kadar N tanah >0.28%, P (Bray

86
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1) > 32 ppm, serta K > 0.5 me/100 g. Hal ini menunjukkan kondisi tanah sebagai media cocok
sedangkan untuk kadar hara harus ditambah dengan pemupukan.

Intensitas Cahaya Matahari

Pengukuran intensitas cahaya matahari menggunakan alat lux meter, dilakukan untuk
membandingkan intensitas cahaya matahari yang diterima antara di luar dan di dalam
intensitas naungan 75%. Pengamatan ini juga dapat membandingkan intensitas cahaya
matahari yang diterima pada pagi, siang dan sore. Hasil pengamatan menunjukkan intensitas
cahaya matahari yang di dalam dan di luar naungan berbeda pada waktu pagi, siang dan sore
dari bulan Agustus hingga Desember (Tabel 1).

Tabel 1. Intensitas cahaya di luar dan di dalam naungan selama penelitian

Bulan Waktu Luar naungan Dalam naungan

(Lux)

Agustus 06.00 213.1 100.5


12.00 627.6 87.2
17.00 52.44 13.2
September 06.00 179.8 76.3
12.00 527.3 86.6
17.00 5.8 2.1
Oktober 06.00 267.7 43.7
12.00 609.3 72.0
17.00 44.9 10.0
November 06.00 179.8 76.3
12.00 609.3 72.0
17.00 44.9 10.0
Desember 06.00 356.3 63.9
12.00 980.2 106.3
17.00 44.9 10.0
Rata-rata 06.00 199.45 60.12
12.00 558.95 70.68

87
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

17.00 32.15 7.55

Evapotranspirasi, Koefisien tanaman dan Fraksi air

Pengamatan evapotranspirasi dilakukan dengan menghitung selisih antara volume


penyiraman dengan perkolasinya. Nilai evapotranspirasi ini menunjukkan tingkat kebutuhan
air. Semakin besar evapotranspirasinya maka air yang dibutuhkan oleh tanaman semakin
besar. Interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap evapotranspirasi, koefisien tanaman
dan fraksi air. Interval penyiraman 2 hari sekali nyata menghasilkan nilai evapotranspirasi dan
koefisien tanaman paling tinggi dibandingkan interval penyiraman 8 hari sekali pada 5 BSP
(Tabel 2 ). Interval penyiraman 2 hari sekali membutuhkan irigasi yang lebih sering
dibandingkan interval penyiraman 8 hari sekali.

Tabel 2. Hasil pengamatan evapotranspirasi, koefisien tanaman dan fraksi air

Interval Bulan Setelah Perlakuan (BSP)


penyiraman
1 2 3 4 5

...............................Evapotranspirasi (mm)...........................

2 hari sekali 2.38a 2.56a 2.86a 2.58a 2.53a

4 hari sekali 2.34a 2.41b 2.56b 2.52ab 2.42ab

6 hari sekali 2.29a 2.33b 2.54b 2.37ab 2.35ab

8 hari sekali 1.69b 2.18c 2.37c 2.27b 2.21b

..........................................Koefisien tanaman........................

2 hari sekali 0.66a 0.32a 0.53a 0.46 0.56a

4 hari sekali 0.65a 0.30b 0.48b 0.45 0.54ab

6 hari sekali 0.61a 0.29b 0.47b 0.42 0.52ab

8 hari sekali 0.47b 0.27c 0.44c 0.41 0.49b

...........................................Fraksi air (%)..................................

2 hari sekali 14.10a 15.13a 16.96a. 15.29a 14.97

4 hari sekali 13.83a 14.29b 15.17b 14.93ab 13.94

88
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

6 hari sekali 12.97a 13.78b 1502b 14.02ab 14.32

8 hari sekali 10.04b 12.92c 14.02c 13.48b 13.07

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %.

Tinggi Tanaman

Interval penyiraman air berpengaruh nyata meningkatkan tinggi bibit kopi pada
pengamatan 2, 4 dan 6 BSP. Interval penyiraman 6 hari sekali nyata menghasilkan tinggi
tanaman yang paling tinggi pada umur 2 BSP sebesar 9.61 cm dan 6 BSP sebesar 29.33 cm.
sedangkan interval penyiraman 4 hari sekali nyata menghasilkan tinggi tanaman yang paling
tinggi saat 4 BSP yaitu 14.58 cm. Interval penyiraman 8 hari sekali menunjukkan tinggi
tanaman yang paling rendah. Secara rinci pengaruh interval penyiraman air terhadap tinggi
bibit kopi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh interval penyiraman terhadap tinggi bibit kopi Arabika

Interval Bulan setelah perlakuan (BSP


penyiraman
0 1 2 3 4 5 6

..................................(cm)....................................

2 hari sekali 4.83 6.28 9.45a 10.50 11.22b 15.34 21.33bc

4 hari sekali 4.99 6.39 9.33ab 10.58 14.58a 20.61 29.00ab

6 hari sekali 4.89 6.28 9.61a 10.78 14.05ab 21.61 29.33a

8 hari sekali 5.33 6.45 8.67b 9.17 10.92b 15.11 17.67c

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %.

Jumlah Daun

Interval penyiraman juga berpengaruh nyata meningkatkan jumlah daun bibit kopi.
Interval penyiraman 6 hari sekali nyata menghasilkan jumlah daun yang paling banyak pada 6
BSP (26.67 daun) sedangkan interval penyiraman 2 hari sekali nyata menghasilkan jumlah
daun yang paling sedikit (20.67 daun). Pengaruh interval penyiraman terhadap jumlah daun
ini ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh interval penyiraman terhadap jumlah daun bibit kopi Arabika

Interval Bulan setelah perlakuan (BSP

89
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

penyiraman 0 1 2 3 4 5 6

.....................helai daun..................

2 hari sekali 0 3.11 6.89 9.78 11.56 14.22 20.67b

4 hari sekali 0 3.33 7.56 10.67 13.33 16.89 24.67ab

6 hari sekali 0 2.89 7.55 9.78 13.78 16.78 26.67a

8 hari sekali 0 2.67 6.67 9.33 12.00 16.00 22.00ab

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %.

Diameter Batang

Diameter batang bibit kopi juga menunjukkan hasil yang sama pada interval penyiraman.
Interval penyiraman 8 hari sekali nyata menghasilkan diameter yang paling kecil pada
pengamatan 3-6 BSP. Pada pengamatan 6 BSP, interval penyiraman 6 hari sekali
menghasilkan diameter batang paling besar yaitu 5.25 mm (Tabel 5).

Tabel 5. Pengaruh interval penyiraman terhadap diameter batang bibit kopi Arabika

Interval Bulan setelah perlakuan (BSP)


penyiraman
0 1 2 3 4 5 6

.......................mm.......................

2 hari sekali 1.61 2.32 1.75 3.15ab 3.11b 3.31b 5.04a

4 hari sekali 1.54 2.25 1.84 3.28a 3.49ab 4.27a 5.21a

6 hari sekali 1.56 2.06 1.74 3.14ab 3.68a 3.99ab 5.25a

8 hari sekali 1.56 1.98 1.7 2.72b 3.05b 3.27b 4.19b

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %.

Tingkat Kehijauan Daun

Tingkat kehijauan daun menunjukkan kadar klorofil dalam daun karena klorofillah
yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil inilah yang menyerap cahaya yang akan
digunakan dalam proses fotosintesis. Semakin tinggi nilai kehijauan daunnya maka
kemampuan tanaman dalam proses fotosintesis juga tinggi. Nilai kehijauan daun
menunjukkan interval penyiraman 4 hari sekali menghasilkan kehijauan daun yang paling

90
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

tinggi yaitu 43.17 dan interval pemberian air 8 hari sekali yang paling rendah yaitu 34.73
(Gambar 1).

Gambar 1. Pengaruh interval penyiraman terhadap tingkat kehijauan daun bibit kopi
Arabika

Luas daun

Pengukuran luas daun dilakukan untuk mengetahui luas daerah permukaan daun untuk
fotosisntesis. Semakin luas daun maka menunjukkan semakin besar tanaman tersebut dapat
berfotosintesis. Namun jika luas daun terlalu besar juga dapat mengakibatkan adanya daun
yang tertutupi sehingga dapat menjadi daun yang negatif yaitu daun yang tidak dapat
melakukan fotosintesis. Pada Gambar 2 menunjukkan interval penyiraman 6 hari sekali
menghasilkan luas daun yang paling besar yaitu 76.26 cm2 sedangkan interval penyiraman 8
hari sekali yang paling kecil yaitu 58.53 cm2.

Gambar 2. Pengaruh interval penyiraman terhadap luas daun bibit kopi Arabika

Jumlah Stomata dan Kerapatan Stomata

91
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pada sebagian besar tanaman, stomata terdapat pada bagian bawah daun. Stomata ini
peranannya dalam menangkap CO2 dari udara yang diperlukan untuk fotosintesis. Selain itu
dapat berperan dalam proses tranpirasi. Banyaknya stomata kira-kira 0.1 % luas daun
(Darmawan dan Baharsjah 2010). Pada pengamatan penelitian ini stomata yang diamati hanya
bagian bawah saja karena permukaan atas daun tidak terdapat stomata. Hasil pengamatan
menunjukkan interval penyiraman 6 hari sekali nyata mempunyai jumlah stomata dan
kerapatan stomata yang paling banyak dibandingkan interval penyiraman 2 hari sekali (Tabel
6 dan Gambar 3)

Tabel 6. Pengaruh interval penyiraman terhadap jumlah stomata dan kerapatan stomata

Perlakuan irigasi Jumlah stomata Kerapatan stomata


(buah/mm)
(buah)

2 hari sekali 26.33b 134.19b

4 hari sekali 30.67ab 156.26ab

6 hari sekali 39.33a 200.4a

8 hari sekali 33.67ab 171.55ab

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %.

2 hari sekali 4 hari sekali

92
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

6 hari sekali 8 hari sekali

Gambar 5. Keragaan stomata masing-masing interval penyiraman air

Pembahasan

Penyiraman air secara berkesinambungan dan merata akan dapat menghasilkan bibit
kopi yang baik. Cekaman air dipengaruhi oleh faktor lingkungan di antaranya radiasi matahari
yaitu energi yang akan digunakan untuk menguapkan air dalam tubuh tanaman. Suhu juga
berpengaruh terhadap evapotranspirasi. Apabila suhu tinggi maka evapotranspirasinya juga
tinggi. Akan tetapi, pada kondisi yang ternaungi evapotranspirasinya akan berkurang. Gardner
et al. (1991) mendefinisikan evapotranspirasi sebagai jumlah total air yang hilang dari
lapangan karena evaporasi tanah dan transpirasi tanaman yang terjadi secara bersama-sama.
Mekanisme proses transpirasi dan evaporasi berfungsi untuk menjaga keseimbangan suhu di
dalam tubuh tanaman sehingga aktifitas enzimatis pada proses biokimia dalam rang-kaian
fotosintesis dapat berjalan normal.

Interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap keragaan agronomi bibit kopi


Arabika. Interval penyiraman 4 dan 6 hari sekali sudah memenuhi syarat bibit siap salur yang
baik. Menurut Permentan (2013), syarat bibit siap salur untuk bibit kopi yaitu tinggi tanaman
25-30 cm, jumlah daun minimal 5 pasang daun, warna daun hijau segar, diameter batang ≥ 8
mm dan bebas OPT (Organisme Pengganggu Tanaman).

Interval penyiraman 6 hari sekali nyata menghasilkan tinggi tanaman yang lebih
tinggi, jumlah daun yang lebih banyak, diameter batang yang lebih besar, luas daun yang
lebih besar serta jumlah stomata dan kerapatan stomata yang lebih banyak dibandingkan
interval penyiraman 2 dan 8 hari sekali. Hal ini karena tanaman mampu menyediakan

93
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kebutuhan air bagi tanaman dalam kondisi optimal. Menurut Jumin (2002) air sangat
berfungsi dalam pengangkutan atau transportasi unsur hara dari akar ke jaringan tanaman.
sebagai pelarut garam-garaman. mineral serta sebagai penyusun jaringan tanaman. Gardner et
al (1991) menjelaskan bahwa proses pertambahan jumlah daun terjadi karena peningkatan
jumlah sel serta pembesaran ukuran sel. Tanaman yang mengalami defisit (kekurangan) air,
turgor pada sel tanaman menjadi kurang maksimum akibatnya penyerapan hara dan
pembelahan sel terhambat. Sebaliknya jika kebutuhan air tanaman dapat terpenuhi secara
optimal maka peningkatan pertumbuhan tanaman akan maksimal karena produksi fotosintat
dapat dialokasikan ke organ tanaman.

Pada interval penyiraman 8 hari sekali menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun,
diameter batang, luas daun dan kehijauan daun yang lebih rendah dibandingkan interval
penyiraman 2, 4 dan 6 hari sekali. Hal ini disebabkan karena kekurangan air dalam fase
pertumbuhannya. Suhartono et al (2008) menyatakan pemberian air yang di bawah kondisi
optimum bagi pertumbuhan tanaman, akan berakibat tanaman akan terhambat
pertumbuhannya (tanaman menjadi kerdil). Menurut Browning (1975), cekaman air yang
berkepanjangan akan menurunkan pertumbuhan tanaman kopi, jumlah ruas berkurang, ruas
lebih pendek serta menurunkan laju pembentukan daun.

Pada interval penyiraman 2 hari sekali menghasilkan jumlah daun yang lebih sedikit
dibandingkan interval penyiraman 4 dan 6 hari. Cekaman air dapat juga terjadi karena
kelebihan air dimana kelebihan air akan mengakibatkan lingkungan perkaran bereaksi asam
dan lebih bersifat anaerob. Kondisi anaerob menyebabkan lebih banyak terjadi reaksi reduksi-
oksidasi sehingga akar sulit berkembang karena persediaan oksigen sangat rendah yang
menyebabkan penyerapan air hara menjadi terganggu (Suryawati et al. 2007). Kondisi air
yang berlebihan akan menyebabkan batang tanaman akan menjadi busuk. Kemampuan sel-sel
tanaman dalam menyimpan air dalam dinding sel sangat terbatas. Air yang berlebihan akan
menyebabkan dinding sel menjadi pecah selanjutnya sel-sel tanaman akan mati dan tanaman
akan membusuk.
Bila tanaman dihadapkan pada kondisi cekaman air maka terdapat dua respon yang
dilakukan oleh tanaman yaitu (a) tanaman mengubah distribusi asimilat baru untuk
mendukung pertumbuhan akar dengan menurunkan ukuran tajuk sehingga dapat
meningkatkan kapasitas akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk
mengurangi transpirasi; (b) tanaman akan mengatur derajad pembukaan stomata untuk
menghambat kehilangan air lewat transpirasi (Mansfield dan Atkinson 1990). Peningkatan
alokasi substrat yang tersedia ke akar selanjutnya akan mengakibatkan produksi daun

94
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

menurun (Amthor dan McCree 1990). Stomata kebanyakan tanamna akan menutup dan laju
fotosintesis akan menurun.
KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap


keragaan agronomi bibit kopi Arabika. Interval penyiraman 4 dan 6 hari sekali sudah
memenuhi syarat bibit siap salur yang baik. Interval penyiraman 6 hari sekali dengan
koefisien tanaman 0.52 dan fraksi air 14.32% nyata menghasilkan tinggi tanaman yang lebih
tinggi, jumlah daun yang lebih banyak, diameter batang yang lebih besar, luas daun yang
lebih besar serta jumlah stomata dan kerapatan stomata yang lebih banyak dibandingkan
interval penyiraman 2 dan 8 hari sekali. Pemberian air yang berlebihan (2 hari sekali) dan
kondisi kekurangan air (8 hari sekali) akan dapat mengakibatkan cekaman air sehingga
pertumbuhan tanaman terhambat.

DAFTAR PUSTAKA

Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranpiration. FAO. Roma.300p.

Browning G. 1975. Shoot growth in Coffea arabica L. I. Responses to rainfall when the soil
moisture status and gibberellin supply are not limiting. Kenya Cofee. 259-269p.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Statistik perkebunan Indonesia: Kopi


2009-2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa University
Press. USA.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RI. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI press. Jakarta.

Jumin HB. 2002. Ekofisiologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali Press. Jakarta.

Lubis Y., Pitono J, Wahid P. 1999. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri Volume 5 no. 1 Juni 1999.
hal 1-7.

Permentan. 2013. Peraturan meneteri pertanian Nomor 89/Permentan/OT.140/9/2013.


http://perundangan.pertanian.go.id/admin/file/Permentan. [1 September 2014]

Pujiyanto. 1998. Persyaratan tumbuh kopi Arabika. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
(14): 128-133.

Rubiyo, Supriadi H., Randriani E. Perbanyakan tanaman kopi Robusta secara klonal. Sirkuler
Teknologi Tanaman Industri dan Penyegar. Balittri. 24 hlm.

Rusli, Ferry Y. 2009. Pemberian Air pada Pembibitan Jarak Pagar (Jatropa curcas L. ) di
Rumah Kaca. Buletin RISTRI 1 (3): 133-141.

95
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Suhartono, Sidqi RA., Khoirudin. 2008. Pengaruh interval pemberian air terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Glicine max L) pada berbagai jenis tanah.
Embryo 5 [1]. 98-112p.

Suryawati S, Djunaedi A., dan Trieandari A. 2007. Respon tanaman sambiloto (Andrograohis
paniculata) akibat naungan dan selang penyiraman. Embryo 4(2).146-155p.

Wilson KC. 1985. Climate and soil. Di dalam: M.N. Clifford & K.C. Wilson . Editors.
Botany. Biochemistry of Beans and Beverage. New York: AVI Publishing
Cobbecticut.

96
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

OPTIMASI INTENSITAS NAUNGAN PADA PERTUMBUHAN BIBIT KOPI


ARABIKA

(COFFEA ARABICA L.)

Ade Astri Muliasari1*, Ade Wachjar2, Supijatno3

1
PK Teknologi dan Manajemen Produksi Perkebunan, Program Diploma, IPB
2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
3
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
*
Korespondensi: adeastri07@gmail.com Telp. (0251) 8329101

ABSTRACT

The objective of this research is to find out the optimum shade intensity for Arabica seedling growth.
The research was conducted in Bogor Agricultural University Experimental Station, Cikabayan, Darmaga-
Bogor, from May 2013 to February 2014. The experiment was arranged in a split plot design with three
replications. The main plots were four shading levels, i.e. 25%, 50%, 75% and 95%, while subplots were five
combinations of inorganic-organic fertilizers. There were 20 treatment combinations andeach combination
consisted of 3 replicates. Therefore, there were 60 units of trial. Each units of trial consisted of 11 seedlings of
coffee. They werearranged30cmx30cm away among the polybags . Three seedlings out of eleven were set as
samplings. Shade intensity significantly affected to plant height, leaf number, stem diameter of 2-7 age MAT, the
wet weight of the canopy and root length 4 MAT, wet weight and dry root weight,dryand wet weight canopy
seedling age 7 MAT, thickness and leaf area of Arabica coffee seedling, chlorophyll a, chlorophyll b, total
chlorophyll, SPAD value, stomatal number, closed stomatal, stomatal density , the content of N, P, and nutrient
uptake of N, P. Variables that showed quadratic response that plant height (7 MAT), leaf number (5 MAT), stem
diameter (6 MAT), leaf area (7 MAT), wet root weight, wet leaf weight,dry root weight, root volume, leaf area
and uptake of P. The optimum shade obtained from this study is 65.58 %.

Keywords: shade intensity,chlorophyll, arabica coffe

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara penghasil kopi ketiga di dunia setelah Brazil dan
Vietnam. Produksi kopi di Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari 698 016 ton pada tahun
2008 menjadi 685 089 ton pada tahun 2014. Produktivitas kopi Arabika pada tahun 2008
sekitar 783kg/ha/tahun meningkat menjadi 920 kg ha/tahun pada tahun 2014.
Produktivitastersebutmasih tergolong rendah dibandingkan dengan potensi hasil yang mampu
dicapai yaitu di atas 1 500 kg/ha/tahun(Ditjenbun 2014). Potensi produktivitas dapat dicapai
apabila sejak bibit kopi di pembibitan mendapatkan cahaya matahari, keseimbangan unsur
hara, dan air yang cukup (Pujiyanto et al.1998).
Salah satu yang harus diperhatikan dalam usaha perkebunan kopi adalah saat
menyiapkan bibit kopi. Pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan
budidaya kopi yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman dan umur produktif.

97
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Intensitas naungan berpengaruh terhadap tanaman kopi selama fase pertumbuhannya terutama
pada fase pembibitan. Fase pembibitan lebih banyak membutuhkan intensitas naungan yang
tinggi dibandingkan fase dewasa. Di perkebunan kopi, pembibitan dilakukan dengan
memanfaatkan pohon penaung sementara sehingga tingkat intensitas cahaya matahari yang
diterima tidak selalu memenuhi standar kebutuhan bibit kopi. Bagi tanaman kopi, intensitas
naungan diperlukan untuk mengurangi pengaruh buruk sinar matahari yang telalu terik dan
suhu yang ekstrim (Beer et al. 1998).
Pembibitan tanpa naungan atau dalam keadaan intensitas cahaya matahari yang kuat
menyebabkan daun-daun layu bahkan terbakar terutama daun-daun muda. Sistem perakaran
bibit kopi juga belum berkembang dengan baik sehingga tidak mampu menyerap air dalam
jumlah yang memadai dalam mengimbangi evapotranspirasi. Naungan diperlukan untuk
mengurangi pengaruh buruk akibat cahaya matahari yang terik dan panas sehingga dengan
memberikan naungan dengan intensitas tertentu akan tercipta kondisi optimum bagi
pertumbuhan kopi. Informasi mengenai intensitas naungan optimum pada pembibitan kopi
Arabika dapat bermanfaat bagi usaha perkebunan kopi rakyat.

Tujuan
Penelitian ini bertujuanuntuk mendapatkan intensitas naungan optimum untuk
pertumbuhan bibit kopi Arabika.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan mulai bulan Mei 2013 sampai dengan
Februari 2014 di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Dramaga, Bogor.Analisis jaringan
tanaman dilaksanakan di Laboratorium Departemen Agronomi dan Hortikultura dan
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB,
Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan adalah benih kopi Arabika varietas Catimor hasil
persilangan Catura vs Hibrido De Timor asal dari Pangalengan dengan ketinggian tempat 1
800 m di atas permukaan laut (dpl). Pupuk anorganik terdiri atas Urea, SP 36, dan KCl.
Pengendalian hama dan penyakit menggunakan insektisida dengan bahan aktif Endosulfan

98
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

konsentrasi 0.2% dan Mankozeb 80% dengan konsentrasi 2g l-1.Bahan naungan yang
digunakan yaitu paranet 25%, 50%, 75% dan 95%. Alat-alat yang digunakan pada penelitian
ini meliputi penggaris, oven, Chlorophyll meter (SPAD), luxmeter,licor, mikroskop,
timbangan analitik, dan alat-alat pertanian lainnya.

Metode Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan petak terpisah (Split Plot
Design) dengan 2 faktor perlakuan. Intensitas naungan ditempatkan sebagai petak utama
terdiri atas 4 taraf, yaitu intensitas naungan 25% (N1), intensitas naungan 50% (N2),
intensitas naungan 75% (N3) dan intensitas naungan 95% (N4). Kombinasi pupuk anorganik-
organik ditempatkan sebagai anak petak, terdiri atas 5 jenis. Dengan demikian terdapat 20
kombinasi perlakuan dan masing-masingterdiri atas 3 ulangan sehingga terdapat 60 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 11 bibit kopi yang diatur dengan jarak antar
polybag 30 cm x 30 cm. Dari 11 bibit kopi ditetapkan 3 bibit sampel.
Benih kopi ditanam di bedengan persemaian selama dua bulan, lalu dipindahkan ke
polybag hitam berukuran 40 cm x 30 cm yang telah berisi media tumbuh campuran top soil
dan berbagai perlakuan kombinasi pupuk anorganik-organik. Pupuk anorganik diberikan
pada saat bibit kopi dipindahtanamkan ke dalam polybag. Aplikasi pemupukan selanjutnya
dilakukan setiap delapan minggu sampai bibit berumur 24 minggu dan mencapai kriteria bibit
siap salur. Aplikasi pupuk anorganik dilakukan dengan cara menabur pupuk secara melingkar
sekitar bibit di dalam polybag. Dosis dan waktu aplikasi pupuk anorganik tercantum pada
Tabel 1.
Tabel 1. Dosis dan waktu aplikasi pupuk anorganik
Umur Bibit (MST) Urea SP-36 KCl
...........................(g/bibit)...........................
0 0.50 0.25 0.25
8 1.00 0.50 0.50
16 2.00 1.00 1.00
24 2.50 1.50 1.50
Jumlah 6.00 3.25 3.25
Keterangan : MST=Minggu setelah Tanam
Sumber :Puslitkoka (2006)

99
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pengamatan dimulai saat tanaman berumur 1 bulan setelah perlakuan (BSP). Jumlah
bibit tanaman sampel yang diamati sebanyak 3 bibit tanaman tiap perlakuan. Peubah yang
diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun yang dilakukan setiap bulan
hingga umur bibit 7 bulan. Pada akhir percobaan dilakukan pengamatan terhadap peubah-
peubah: kerapatan stomata, ketebalan daun, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah
dan bobot kering akar, kadar klorofil, kadar unsur hara dan serapan N, P, dan K daun.
Analisis statistik yang digunakan adalah sidik ragam dengan model rancangan petak
terpisah. Apabila hasil sidik ragam memberikan pengaruh nyata pada uji taraf 5% dilakukan
uji lanjut Kontras Polinomial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Hasil analisis tanah awal sebelum percobaan menunjukkan bahwa tekstur tanah terdiri
dari pasir 6.52%, debu 6.56% dan liat 86.92%. Reaksi tanah tergolong masam dengan pH
(H2O) 4.60, kandungan C organik sedang (2.39%), N total sedang (0.21%), P (Bray I) sangat
rendah (7.10 ppm), dan K sangat rendah (0.08 me 100g-1). Kandungan unsur hara lainnya
yaitu Ca (1.43 me 100g-1) tergolong sangat rendah, Mg (0.43 me 100g-1) dan Na (0.16 me
100g-1) tergolong rendah. Kapasitas tukar kation tanah tergolong sedang (21.55 me 100g-1)
dan kejenuhan basa tergolong sangat rendah (9.74%). Kondisi media tanam sesuai dengan
syarat tumbuh bibit kopi Arabika. Menurut Ditjenbun (2012), tekstur tanah yang paling baik
untuk kopi Arabika yaitu lempung berpasir, lempung berliat, lempung berdebu, dan lempung
liat berdebu. Derajat keasaman tanah yang optimum 5.5-6 dengan derajat kemasaman tanah
maksimum 8 dan minimum 4. Sedangkan kandungan hara N, P, K tanah sebelum penelitian
masih kurang sesuai dengan syarat tumbuh kopi Arabika. Tanaman kopi Arabika
menghendaki kadar N tanah lebih dari 0.21%, P (Bray-1) lebih dari 16 ppm dan K lebih dari
0.51me 100 g-1. Kekurangan hara pada media tanam dipenuhi dengan pemupukan.

Respon pertumbuhan bibit kopi Arabika terhadap intensitas naungan

Tinggi bibit. Intensitas naungan sangat berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit bibit
kopi berumur 1-7 BSP. Pengaruh intensitas naungan terhadap tinggi bibit dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel2. Pengaruh intensitas naungan terhadap tinggi bibit kopi Arabika

100
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Intensitas Umur (bulan setelah pindah tanam)


Naungan(%)
0 1 2 3 4 5 6 7

..........................................................(cm)................................................

25 5.53 6.79b 9.24b 11.10b 15.53c 20.08b 27.64b 29.21b

50 5.33 7.02ab 10.02ab 13.46a 18.97b 29.01a 37.12a 38.41a

75 5.44 7.33a 10.31a 14.98a 23.10a 30.13a 40.22a 42.10a

95 5.64 7.38a 10.49a 13.84a 19.95b 28.53a 37.87a 39.14a

Pr> F tn * * ** ** ** ** **

tn *L tn tn tn tn *L *Q
Pola Respon
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%.

Pengaruh secara kuadratik intensitas naungan terhadap tinggi bibit umur 7 BSP
digambarkan dengan persamaan garis Y = -0.0053x2 + 0.7864x + 12.78R2 yaitu 0.9968%
(Gambar 1). Pola hubungan kuadratik tinggi bibit menunjukkan bahwa bibit kopi Arabika
akan semakin tinggi hingga intensitas naungan optimum 74.19% kemudian akan menurun.
Intensitas naungan yang lebih rendah menghasilkan tinggi yang lebih rendah, menurut
Gardner et al. (1991) intensitas naungan yang rendah menyebabkan cahaya matahari yang
masuk terlalu tinggi sehingga dapat menghambat aktivitas hormon auksin yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu.

Gambar 1. Pola hubungan intensitas naungan terhadap tinggi bibit kopi Arabika

Jumlah daun. Intensitas naungan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun
bibit kopi Arabika. Pada saat bibit berumur 5 BSP menunjukkan pola respon kuadratik
terhadap jumlah daun (Tabel 3).

Tabel3. Pengaruh intensitas naungan terhadap jumlah daun bibit kopi Arabika

101
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Intensitas Umur (bulan setelah pindah tanam)


naungan
(%) 0 1 2 3 4 5 6 7

............................................ (helai)................................................

25 2.62 2.67 5.78b 8.78b 12.07b 13.80b 22.98b 28.81b

50 2.60 2.58 6.18b 10.40a 17.24a 19.09a 29.69a 33.51ab

75 2.67 2.67 6.53a 10.49a 15.96ab 19.75a 30.62a 36.71a

95 2.58 2.58 6.09ab 9.87a 14.13ab 17.56a 25.60b 30.11b

Pr> F tn tn tn tn tn ** * tn

Pola Respontn tn tn tn tn *Q tn tn

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%.

Pengaruh secara kuadratik intensitas naungan terhadap jumlah daun digambarkan


dengan persamaan garis yaitu Y = -0.0034x2 + 0.4616x + 4.4246R² = 0.9986 (Gambar 2).
Semakin meningkat taraf intensitas naungan yang diberikan, respon pertumbuhan jumlah
daun meningkat sampai 67.88 % kemudian menurun.

Gambar 2. Pola hubungan intensitas naungan terhadap jumlah daun kopi Arabika
Diameter batang. Intensitas naungan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter
batang bibit kopi Arabika sejak bibit kopi Arabika berumur 2-7 BSP (Tabel 4). Pengaruh
intensitas naungan terhadap diameter batang menunjukkan pola respon kuadratik. Pengaruh
secara kuadratik intensitas naungan terhadap diameter batang digambarkan dengan persamaan
garis yaitu Y = -0.0014x2 + 0.1834x + 1.0432R² = 0.988 dengan intensitas naungan optimum
mencapai 65.50% (Gambar 3).

Tabel4. Pengaruh intensitas naungan terhadap diameter batang bibit kopi Arabika

102
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Intensitas Umur (bulan setelah pindah tanam)


naungan
(%)

0 1 2 3 4 5 6 7

….................................................. (mm)….........................................

25 1.85 1.69 1.92b 2.506c 2.50c 3.44c 4.77c 5.84b

50 1.90 1.79 2.06ab 3.26ab 3.27ab 4.22ab 6.52a 7.35a

75 1.90 1.78 2.169a 3.52a 3.52a 4.61a 6.87a 7.19a

95 1.92 1.74 2.14a 2.93b 2.93b 3.84bc 5.49b 6.04b

Pr> F tn tn tn ** ** ** ** *

Pola Respon tn tn *L tn tn *Q tn

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%.

Gambar 3. Pola hubungan intensitas naungan terhadap diameter batang kopi Arabika

Bobot basah akar dan tajuk, bobot kering akar dan tajuk, panjang akar dan
volume akar bibit kopi Arabika umur 7 BSP. Intensitas naungan berpengaruh sangat nyata
terhadap bobot basah akar dan tajuk, bobot kering akar dan tajuk (Tabel 5).Pengaruh secara
kuadratik intensitas naungan terhadap bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar
dan volume akar masing-masing digambarkan dengan persamaan garis sebagai berikut:Y = -
0.0176x2 + 2.0504x – 14.699 R² = 0.8428%, Y = -0.0235x2 + 3.1221x -5.0219R² = 0.8479, Y
= -0.0083x2 + 0.9744x – 6.5738R² = 0.8287, Y= -0.0128x2 + 1.4728x – 7.4778 R2=0.943.
Pola hubungan kuadratik bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan
volume akar menunjukkan bahwa bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan
volume akar semakin meningkat hingga intensitas naungan optimum kemudian menurun.
Intensitas naungan optimum masing-masing peubah tersebut yaitu 58.25, 66.43, 58.70 dan
57.53%.

103
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel5.Pengaruh intensitas naungan terhadap bobot basah akar dan tajuk, bobot kering
akar dan tajuk, panjang akar, dan volume akar bibit kopi Arabika 7 BSP

Intensitas Bobot Basah (g) Bobot Kering (g) Panjang Volume


Naungan (%) akar Akar(ml)
(cm)

Akar Tajuk Akar Tajuk

25 23.93b 60.87c 11.80b 21.38b 33.13b 20.667b

50 48.97a 84.39b 23.955a 27.22ab 39.07a 36.33a

75 34.43b 105.73a 17.08ab 31.780a 36.97ab 28.667ab

90 23.68b 75.80bc 12.36b 22.60b 32.87b 18.00b

Pr> F ** ** ** ** tn *

*Q **Q *Q tn tn *Q
Pola Respon
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%.

Pola hubungan bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan volume
akar disajikan pada Gambar 4.

(a) (b)

(d)
(c)

Gambar 4. Pola hubungan intensitas naungan terhadap (a) bobot basah akar, (b) bobot
basah tajuk dan (c) bobot kering akar bibit kopi Arabika

Ketebalan dan luas daun. Intensitas naungan berpengaruh sangat nyata terhadap
ketebalan dan luas daun bibit kopi Arabika (Tabel 6). Pengaruh secara kuadratik intensitas

104
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

naungan terhadap luas daun digambarkan dengan persamaan garis sebagai berikut:Y = -
0.5548x2 + 81.425x – 612.36 R²=0.8828. Huawei et al. (2010) bahwa pemberian intensitas
naungan dapat mengurangi ketebalan daun tetapi cenderung meningkatkan luas daun.
Penipisan daun terjadi karena adanya pengurangan jumlah lapisan jaringan palisade dan sel-
sel mesofil. Peningkatan luas daun merupakan upaya tanaman dalam mengefisiensikan
penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas naungan
tinggi.

Tabel6. Pengaruh intensitas naunganterhadap ketebalan dan luas daun bibit kopi
Arabika
Intensitas naungan (%) Ketebalan daun (µm) Luas daun (cm2)

25 333.80ab 1148.8c

50 294.58b 1847.0b

75 262.62b 2626.8a

95 435.38a 2015.6a

Pr tn **

tn *Q
Pola Respon
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%.

Pola hubungan kuadratik luas daun menunjukkan bahwa luas daun akan semakin
meningkat pada intensitas naungan hingga mencapai intensitas naungan optimum yaitu
73.38% kemudian menurun (Gambar 5).

Gambar 5. Pola hubungan intensitas naungan terhadap luas daun bibit kopi Arabika

105
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Serapan hara. Intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap serapan hara N dan
berpengaruh sangat nyata terhadap serapan hara P. Intensitas naungan yang rendah
menghasilkan serapan hara yang rendah. Hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya yang
masuk. Intensitas naungan yang rendah menyebabkan cahaya matahari tinggi yangg pada
akhirnya menyebabkan suhu meningkat dan kelembaban tanah menurun sehingga
mengganggu kegiatan penyerapan hara oleh akar tanaman.Berdasarkan hasil pengamatan,
kandungan N berkisar 1.79-2.27 tergolong rawan-defisinesi, P sekitar 0.21-0.23 tergolong
tinggi, dan K antara 2.12-2.51 tergolong cukup-tinggi (Malavolta 1990). Pengaruh intensitas
naungan terhadap serapan hara disajikan pada Tabel 7.
Tabel7. Pengaruh intensitas naungan terhadap serapan hara N, P dan K

Intensitas Naungan (%) Serapan hara (mg polybag -1)

N P K

25 0.69b 0.07b 0.74

50 0.90ab 0.11a 1.04

75 1.00a 0.11a 1.02

95 0.77b 0.08b 0.89

Pr tn * tn

tn *Q tn
Pola Respon
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda
Duncan taraf 5%.

Berdasarkan hasil uji lanjut kontras polinomial menunjukkan bahwa serapan P


menghasilkan pola respon kuadratik terhadap intensitas naungan yang diberikan. Pola respon
tersebut digambarkan dengan persamaan garisY= -3E-05x2 + 0.0041x – 0.0111dengan R2
yaitu 0.999. Pola hubungan kuadratik serapan P menunjukan serapan P semakin meningkat
hingga intensitas naungan optimum yaitu 68.33% kemudian menurun (Gambar 6).

106
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 9. Pola hubungan intensitas naungan terhadap serapan P


Penentuan Intensitas Naungan Optimum
Penentuan intensitas naungan optimum dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Penentuan intensitas naungan optimum pada bibit kopi Arabika
Intensitas
Naungan
Peubah Persamaan Regresi R2
Optimum
(%)
2
Tinggi bibit (7 BSP) Y = -0.0053x + 0.7864x + 12.78 0.9968 74.19
Jumlah daun (5 BSP) Y = -0.0034x2 + 0.4616x + 4.4246 0.9986 67.88
2
Diameter batang (6BSP) Y = -0.0014x + 0.1834x + 1.0432 0.9881 65.50
Bobot basah akar Y = -0.0176x2 + 2.0504x – 14.699 0.8428 58.25
2
Bobot basah tajuk Y = -0.0235x + 3.1221x – 5.0219 0.8479 66.43
Bobot kering akar Y = -0.0083x2 + 0.9744x – 6.5738 0.8287 58.70
2
Volume akar Y = -0.0128x + 1.4728x – 7.4778 0.9435 57.53
Luas daun Y = -0.5548x2+ 81.425x – 612.36 0.828 73.38
2
Serapan hara P Y = -3E-05x + 0.0041x – 0.0111 0.999 68.33
Rata-rata 65.58
Penentuan intensitas naungan optimum bagi pertumbuhan bibit kopi dapat
menggunakan kurva respon umum pertumbuhan tanaman terhadap intensitas naungan.
Naungan optimum yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 65.58 %. Intensitas naungan yang
diperoleh masih dalam selang intensitas naungan optimum yang dikemukakan oleh Kuit et al.
(2004) yaitu berkisar 40-70%.

KESIMPULAN
Intensitas naungan yang optimum untuk pertumbuhan bibit kopi Arabika yaitu 65.58%
atau 66%.
DAFTAR PUSTAKA

Beer J, Muschler R, Kass D, Somarriba E. 1998. Shade management in coffee and cacao
plantations. Agroforestry system 38: 139-164.
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan.2012. Pedoman Praktis Praktik Budidaya Kopi
yang Baik (Good Agricultural Practises on Coffee). Jakarta (ID): Ditjenbun. 75 hlm.
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan.2014.Statistika Perkebunan Indonesia Komoditas
Kopi 2013-2015. Jakarta (ID): Ditjenbun. 96 hlm.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo S,
penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.
Huawei L, Dong J, Wollenweber B, Tingbo D, Weixing C. 2010. Effects of shading on
morphology, physiology and garin yield of winter wheat. Europ. J. Agronomy 33:267-
275.
Kuit M, Jansen DM, Thiet N Van. 2004. Manual for Arabica Cultivation. Vietnam (VN): Tan
Lam Agricultural Product Joint Stock Company. 219 p.
Malavolta E. 1990. Nutricao mineral e adubacao do cafeeiro. Associacao Brasileira para
Pesquisa da Potassa e do Fosfato (Piracicaba). Sao Paulo (BR): Editora Agronomica
Ceres Ltd.

107
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pujiyanto, S Wardani, Winaryo, P Rahardjo, C Ismayadi. 1998. Pemilihan teknologi dalam


rangka optimasi pengelolaan perkebunan kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
14(1):16-22.
[Puslitkoka] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2006. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman
Kopi. Jember (ID). 96 hal.

108
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN PENDUDUK LOKAL TIMIKA


MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA SAGU

Ratih Kemala Dewi1), Shandra Amarillis1,2), Restu Puji Mumpuni1), MH Bintoro1,2)


1)
Staf Pengajar di Program Keahlian Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat
Pertanian, Program Diploma Institut Pertanian Bogor
2)
Staf Pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Program Pendidikan Diploma Sagu diadakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
penduduk lokal di daerah penghasil sagu. Program pendidikan tersebut berawal dari keprihatinan terhadap
jutaan hektar hutan sagu yang tidak dikelola dengan baik. Pada tahun 2015 sebanyak 35 mahasiswa diterima di
Program Teknologi Produksi dan Pengembangan Masyarakat Pertanian IPB. Setelah lulus dari program
tersebut, mereka diharapkan memiliki ketrampilan untuk memelihara dan mengelola sagu secara berkelanjutan
di daerah Timika, Papua. Program tersebut memiliki muatan lokal khas daerah sagu seperti budidaya sagu,
manajemen perkebunan sagu, dan pengolahan pascapanen sagu. Salah satu kendala yang dihadapi
yaitukurangnya kemampuan mahasiswa baru tersebut dalam menyerap materi perkuliahan. Pada tahun
pertama, jumlahmahasiswa yang dikeluarkan karena nilai tidak memenuhi syarat dan indisipliner sebanyak dua
orang, sertasebanyak 10 mahasiswa harus mengulang perkuliahankembali. Namun demikian, diantara
mahasiswa tersebut ada yang memiliki IPK lebih dari 3.00 (skala 4). Program pendidikan tersebut diharapkan
mampu menumbuhkan kesadaran dan keinginan untuk mengelola potensi sagu yang ada di daerahnya.

Kata kunci : Budidaya, Sagu, SDM

PENDAHULUAN

Latar belakang
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan makanan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia
terutama penduduk Indonesia bagian Timur.Konsumsi sagu terus menurun dikarenakan pola
makanan penduduk telah berganti pada beras.MenurutWardis (2014) konsumsi sagu mulai
menurun di karenakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil untuk
mengkonsumsi beras dan persepsi social serta budaya terhadap sagu.Hal tersebut
mengakibatkan sagu tidak diperhatikan. Luasan sagu di Indonesia merupakan yang terbesar di
dunia.Lebih dari 50% populasi sagu dunia terdapat di Indonesia dan 90% dari populasi
tersebut terdapat di Papua (Bintoro 2008). Menurut Bintoro et al (2014) Papua memiliki luas
lahan sekitar 5.2juta ha hutan sagu alami. Potensi produksi pati sagu sangat besar, yaitu dapat
mencapai 20-40 ton pati kering ha-1tahun-1.
Papua memiliki keragaman genetik sagu yang sangat tinggi. Beberapa aksesi sagu di
Kecamatan Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat memiliki potensi produksi lebih dari 400 kg
pati kering batang-1 (Dewi 2014). Potensi tersebut masih dapat ditingkatkan karena banyak
ditemukan aksesi sagu unggul di Papua yang memiliki potensi produksi hingga 900 kg pati
kering batang-1(Bintoroet al. 2010).Namun demikian, potensi sagu tersebut belum disadari

109
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

oleh penduduk setempat, sehingga keberadaan sagu belum dapat meningkatkan pendapatan
penduduk setempat.
Dekade terakhir,jumlah penduduk dunia yang mengalami kelaparan terus bertambah.
Menurut Konuma (2013) terdapat sekitar 12% (868 juta jiwa) penduduk dunia yang
mengalami kelaparan. Sumber pangan semakin berkurang karena produksi serealia dari
negara-negara maju digunakan untuk memenuhi kebutuhan bioenergi. Selain itu, pemanasan
global telah mengakibatkan perubahan iklim yang mengakibatkan penurunan hasil
pertanian.Keadaan tersebut semakin menambah angka kerawanan pangan.
Sagu merupakan tanaman yang harus dikembangkan.Selain memiliki potensi hasil
yang tinggi, sagu merupakan tanaman yang tahan terhadap cekaman lingkungan. Sagu tahan
terhadap genangan yang lama dan juga tahan terhadap kadar garam yang tinggi. Di
Papua,tanaman sagu membentuk hutan alami dalam hamparan luas. Setiap tahunnya, sekitar
6000 ton pati sagu tidak dipanen disebabkan sagu dibiarkan berbunga dan akhirnya mati.
Potensi sagu tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber pangan,
pakan, serat, maupun energi. Dengan pemeliharaan dan pengelolaan yang sesuai, produksi
hutan sagu akan berkelanjutan.
Pengembangan sagu sebagai poros perekonomian tidak terlepas dari peran serta
penduduk setempat. Kualitas SDM harus ditingkatkan agar dapat mengelola kekayaan
tersebut. Saat ini, dua perusahaan swasta dan milik negara yaitu PT ANJ Papua dan PT
Perhutani telah mendapatkan hak pengelolaan hutan sagu masing-masing seluas kurang lebih
40000 ha di Kabupaten Sorong Selatan. Kedua perusahaan tersebut berencana untuk
memanfaatkan potensi hutan alami sagu. Pabrik besar milik PT ANJ Papua, yang
berkapasitas 7000 tonsedang dalam proses pembangunan, sedangkan PT
Perhutanisudahmulaiberproduksi.Untuk dapat memanfaatkan potensi sagu tersebut, penduduk
setempat harus memiliki ketrampilan khusus terkait dengan budidaya, pemeliharaan, panen,
dan pasca panen sagu. Program pendidikan diploma sagu merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas SDM penduduk lokal mengenai tanaman sagu, khususnya pendudukdi
Timika, Papua.

Tujuan
Program pendidikan diploma sagu bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
penduduk lokal mengenai potensi sagu serta membekali penduduk lokal tersebut dengan
ketrampilan dan pengetahuan teknologi budidaya dan pascapanen sagu.

110
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

STATUS BUDIDAYA SAGU


Indonesia memiliki luasan lahan sagu terluas di dunia, akan tetapi sebagian besar sagu
yang ada merupakan sagu yang tumbuh secara alami. Sagu tersebut belum
dibudidayakan.Sagu yang telah dikelola menjadi perkebuan terdapat di Riau, tepatnya di
Kabupaten Meranti. Luas keseluruhan area sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti sekitar 100
000 ha. Luas kebun sagu pertama yang dibudidayakan di Indonesia sekitar 20 000 ha, yang
merupakan HTI PT National Sago Prima, sedangkan luas kepemilikan penduduk lokal sekitar
80 000 ha.
Tanaman sagu telah menjadi bagian bagi masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti.
Tanaman tersebut telah lama dibudidayakan secara konvensional oleh penduduk lokal.
Penduduk lokal telah terbiasa menanam anakan sagu, kemudian memelihara sampai anakan
tersebut hidup dan membiarkannya tanpa pemupukan, penjarangan anakan, dan pengendalian
gulma. Saat panen tiba, penduduk lokal telah menjual batang sagu tersebut kepada pengusaha
pengolahan pati sagu lokal.
Bahasa lokal untuk pengusaha pati sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti yaitu
Tauke. Tempat pengolahan pati sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti dikenal dengan Kilang
Sagu. Kilang sagu yang terdapat di daerah tersebut yaitu sekitar 61 buah yang dimiliki oleh
pengusaha lokal, baik pribumi maupun keturunan. Umumnya, pengusaha pengolah sagu atau
Tauke membeli batang sagu yang telah siap dipanen kepada penduduk dengan harga Rp 150
000 sampai dengan Rp 200 000 per batang. Penduduk lokal juga sering kali menjual dalam
bentuk ijon, dikarenakan kebutuhan yang mendesak untuk pendidikan atau hanya untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Harga batang sagu dengan sistem ijon menjadi lebih
rendah, dikarenakan umur batang sagu yang telah digadaikan belum waktunya dipanen. Hal
tersebut merupakan kelemahan bagi petani sagu di wilayah tersebut.
Petani sagu diharapakan dapat memperoleh penghasilan yang sesuai dengan menanam
sagu. Namun demikian, sistem ijon yang telah membudaya pada penduduk lokal membuat
mereka tidak memiliki posisi tawar(bargaining position) yang kuat. Penduduk lokal menjual
batang sagu dengan harga rendah disebabkan himpitan ekonomi yang mendesak. Batang sagu
dijual dengan harga rendah saat umur tanaman masih belum siap panen, namun pengusaha
sagu menebang dan memanen batang sagu tersebut saat umur panen.
Jumlah pati kering yang dihasilkan dari satu batang sagu di Kabupaten Kepulauan
Meranti yaitu 200 kg sampai 300 kg. Jika harga pati kering sagu per kg sekitar Rp 6 000,
maka pendapatan yang diperoleh pengusaha pengolah pati sagu sekitar Rp 1 200 000 sampai

111
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan Rp1 800 000. Angka tersebut merupakan delapan kali pendapatan dari yang diperoleh
petani sagu yaitu hanya sekitar Rp 150 000 sampai dengan Rp 200 000. Sistem ijon yang
berdampak merugikan petani sagu seharusnya dapat dikendalikan.
Penguatan kelembagaan petani sagu diperlukan dalam rangka mengurangi budaya
sistem ijon yang semakin mengakar di masyarakat. Pembentukan kelompok tani sagu,
misalnya dengan memberikan pinjaman tanpa bunga kepada petani sagu, diharapkan
mengurangi jumlah petani sagu yang menjual batang sagu sebelum masa panen, sehingga
nilai jual batang sagu pada saat kuantitas pati optimum. Pengelolaan pengolahan sagu yang
dimiliki oleh kelompok tani merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan
petani sagu. Dengan demikian, nilai tambah pati sagu kering dapat dinikmati oleh petani sagu.
Pembinaan sumberdaya lokal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah pati
sagu. Penduduk lokal di Kabupaten Kepulauan Meranti telah cukup lama mengkonsumsi mi
sagu basah yang dijual dengan harga sekitar Rp 6000 per kg. Mereka dapat menggunakan
campuran ikan teri, daun bawang ataupun ebi untuk menambah citarasa masakan berbahan
dasar pati sagu tersebut.Untuk meningkatkan nilai jual pati sagu,beberapa produk dapat
dihasilkan dari pati sagu seperti brownies, spageti, papeda instan, kue-kue kering, cireng, cone
eskrim, dan lapis sagu.Peningkatan kulitas pendidikan penduduk lokal akan mempermudah
introduksi teknologi pengolahan pati sagu tersebut kepada produk produk yang memiliki nilai
tambah.
Berbedadengan Kabupaten Kepulauan Meranti, sumberdaya alam di Papua yang
berupa hutan sagu sangat luas mencapai 5.2 juta ha belum dimanfaatkan dengan baik. Luasan
tersebut belum mengindikasikan produksi sagu yang tinggi dibandingkan dengan produksi
sagu di daerah lain. Produksi pati sagu nasional yang tertinggi masih tetap dari Kabupaten
Kepulauan Meranti yaitu 440 000 ton.
Penduduk lokal Papua dan Papua Barat memproduksi pati sagu secara tradisonal dan
sebagian semi-mekanis hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Jumlah pohon sagu
yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat perkeluargasetiap tahun sekitar 3-4
batang. Pati basah yang dihasilkan dari prosesing pati biasanya dimasukkan ke dalam tumang.
Tumang merupakan wadah pati sagu basah yang terbuat dari daun sagu yang dianyam
menyerupai sebuah ember dengan kapasitas sekitar 30 kg. Jika jumlah pati yang dihasilkan
banyak, mereka biasa menjual ke pasar tradisional.
Secara teknologi pengolahan, penduduk lokal Papua masih melakukan pemarutan
batang sagu menggunakan alat tokok sagu. Alat tokok merupakan kayu panjang dengan ujung
bengkok dan rucing dibagian ujungnya dan terdapat besi berbentuk silinder tipis. Hasil tokok
sama seperti hasil alat parut, tetapi bertekstur lebih kasar.

112
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Teknologi tradisional yangdigunakan penduduk lokal belum dapat memberikan


rendemen pati sagu yang optimal karenahanya sekitar 14%, butiran pati sagu masih banyak
yang terjerap pada serat. Pemarutan dengan menggunakan mesin skala rumah tangga dengan
gigi pemarut yang lebih halus dapat menghasilkan rendemen pati yang cukup tinggi yaitu
sekitar 18-20%.
Untuk mendapatkan produksi pati yang tinggi dan kontinu, pengetahuan mengenai
persemaian anakan, penjarangan anakan dalam rumpun, pengaturan jarak tanam, waktu panen
batang sagu yang tepat, penanganan panen dan pascapanen merupakan skema-skema yang
perlu ketrampilan khusus. Sumberdaya manusia lokal diharapkan dapat memiliki ketrampilan
tersebut untuk mampu mengelola dengan baik sumberdaya alam di daerahnya, khususnya
sagu.Oleh karena itu, program pendidikan Diploma Sagu menjadi sangat penting untuk
memberkan ketrampilan tersebut.

KENDALA BUDIDAYA SAGU DI PAPUA


Kendala budidaya sagu di papua diantaranya yaitu penduduk lokal tidak terbiasa untuk
memelihara ataupun membudidayakan sagu.Sagu di Papua telah berkembang menjadi hutan
sagu.Ketersediaan sagu disana sangat melimpah karena penduduk lokal hanya memanen sagu
ketika dibutuhkan.Satu keluarga hanya membutuhkan 3-4 batang sagu untuk bahan pangan
mereka selama satu tahun.Hal tersebut membuat penduduk lokal tidak merasa perlu untuk
memelihara sagu.
Dilain pihak, menurut penduduk lokal sagu merupakan bagian dari budaya
mereka.Hutan sagu menjadi milik hak ulayat.Persoalan lahan sering kali menyulitkan investor
untuk terlibat dalam pengembangan sagu.Jika ada investor luar yang ingin mengembangkan
sagu di daerah tersebut harus dengan persetujuan masyarakat adat.Seringkali hak ulayat
tersebut menimbulkan permasalahan yang rumit yang membuat investor enggan untuk
berinvestasi disana.Saat ini perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan sagu di Papua
ialah PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ). Selain PT ANJ, terdapat beberapa perusahaan lain
yang juga tertarik berinvestasi sagu seperti PT Agrindo Indonesia Jaya di Kabupaten
Membramo Raya, PT Perhutani di Sorong Selatan, PT Ever Rise International di Nabire, PT
Tunas Pangan Saguindo di Teluk Bintuni bahkan PT Sampoerna Agro juga tertarik
berinvestasi sagu di Jayapura. Namun, para kelompok industri tersebut sering terganjal
dengan persoalan lahan, minimnya infrastruktur hingga konflik sosial (Kontan 2013).
Pada tahun 2013 Direktorat jenderal perkebunan bekerjasama dengan UP4B
melaksanakan proyek penataan hutan sagu (Bintoro et al. 2014).Proyek tersebut dimaksudkan
untuk mempermudah akses penduduk lokal untuk menuju kebun sagu. Selain itujuga, untuk

113
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

mengatur anakan diantara rumpun sagu agar tidak terlalu rapat. Dengan adanya proyek
tersebut, penduduk lokal sangat senang karena mereka dapat dengan mudah melakukan
pemanenan. Akan tetapi, setelah proyek tersebut berakhir, penduduk lokal tidak meneruskan
pekerjaan pemeliharaan, sehingga hutan sagu yang telah ditata kembali menjadi hutan. Oleh
karenanya, kegiatan pendampingan dan pembinaan terhadap penduduk lokal sangat
diperlukan pada tahap awal penataan hutan sagu.
Sebenarnya inisiasi untuk mengembangkan sagu juga sudah disampaikan kepada
penduduk lokal oleh BPPT.Salah satu yang dikenalkan disana ialah alat pemarut empulur
sagu.Proses penokokan empulur sagu diharapkan dapat dipercepat dengan alat tersebut.
Biasanya penduduk lokal menghabiskan waktu dua minggu untuk menokok satu batang
sagu.Selain efisiensi waktu, penduduk lokal diharapkan mampu memproduksi pati sagu yang
lebih banyak. Kelebihan pati sagu yang tidak dikonsumsi tersebut dapat dijual ke pihak lain
untuk diolah lebih lanjut, akan tetapi, keinginan tersebut hingga kini belum juga terealisasi.
Selain permasalahan sosial, pengetahuan penduduk lokal mengenai potensi sagu masih
sangat minim.Selama ini, mereka hanya mengolah sagu sebatas menjadi bahan pangan seperti
papeda, sagu bola, dan sagu kering. Potensi lain dari pati sagu belum mereka ketahui. Jika
potensi tersebut telah diketahui oleh penduduk lokal, kemungkinan keinginan mereka untuk
mengembangkan sagu akan tumbuh.
Sosialisasi untuk pengembangan sagu selama ini terpaku kepada masyarakat adat yag
kebanyakan sudah berusia tua.Keterlibatan pemuda dalam pengembangan sagu masih sangat
terbatas.Hal tersebut juga merupakan kendala pengembangan sagu di Papua.Pemikiran
pemuda lebih terbuka dibandingkan pemikiran orang-orang tua.Seharusnya pemuda lebih
banyak dilibatkan dalam usaha pengembangan sagu. Pemuda yang berpendidikan akan lebih
mudah menerima perubahan. Sayangnya, tingkat pendidikan anak muda setempat sangat
terbatas.Oleh karenanya kualitas pendidikan penduduk setempat perlu ditingkatkan.

PENGEMBANGAN SDM MELALUI PENDIDIKAN DIPLOMA SAGU


Dalam rangka memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang trampil dalam
pengelolaan sagu (baik budidaya maupun pascapanennya) mahasiswa dibekali dengan mata
kuliah yang mendukung seperti budidaya sagu, manajemen perkebunan sagu, dan pascapanen
sagu (pengolahan pati dan aneka makanan berbasis sagu).Selain itu mahasiswa juga
mendapatkan mata kuliah penunjang seperti mata kuliah dasar umum dan mata kuliah yang
berkaitan dengan produksi perikanan dan peternakan.Kurikulum tersebut disusun dengan
konsep pertanian terpadu.

114
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Program Diploma sagu diprakarsai oleh Pemda-pemda yang tertarik untuk


mengembangkan potensi sagu di daerahnya dengan bekerja sama dengan Program Diploma
IPB. Saat ini Pemda Mimika telah menyekolahkan 35 mahasiswa untuk ditempa di Program
Diploma Sagu.Program tersebut pada akhirnya bertujuan untuk menghasilkan tenaga ahli
madya yang trampil untuk mendukung perkembangan ekonomi masyarakat khususnya untuk
pengembangan sagu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas pendidikan di Jawa jauh lebih baik
dibandingkan di luar Jawa.Kebanyakan mahasiswa baru tersebut mengalami kesulitan dalam
menerima materi yang disampaikan kepada mereka.Hal tersebut terbukti dengan nilai indeks
prestasi yang sangat fluktuatif (Gambar 1).Selain permasalahan nilai, mahasiswa baru tersebut
juga memiliki masalah dalam hal bersosialisasi dengan teman-temannya.Pelanggaran demi
pelanggaran sering dilakukan.Pelanggaran tersebut diantaranya ialah meminum minuman
keras dan berkelahi.Akhirnya sanksi indisipliner dijatuhkan pada seorang mahasiswa.
Kesulitan belajar nampaknya dialami mahasiswa karena program studi ini tidak sesuai
dengan latar belakang jurusan mereka saat di SMA (Gambar 2).Mahasiswa yang berasal dari
jurusan IPA serta Agribisnis dan Agroindustri masing-masing hanya memiliki persentase
17%.Sisanya merupakan jurusan IPS dan lainnya.Perbedaan latar belakang jurusan tersebut
mengakibatkan mahasiswa sulit dalam menerima materi perkuliahan. Mahasiswa dituntut
untuk belajar lebih keras agar dapat memahami materi perkuliahan. Sayangnya, kemampuan
belajar mereka rendah sehingga pada saat kenaikan tingkat terpaksa 10 mahasiswa harus
mengulang karena nilai tidak memenuhi syarat.

Gambar 1 Sebaran nilai indeks prestasi (IP) mahasiswa program Diploma Sagu

Perbedaan asal SMA juga berpengaruh pada tingkat penerimaan mahasiswa terhadap
materi perkuliahan yang disampaikan. Berdasarkan Tabel 1, lebih dari 50% mahasiswa local

115
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Timika memiliki IPK lebih dari 2.00. Diantara mahasiswa tersebut terdapat 4 mahasiswa local
Timika yang memiliki IPK lebihdari 3.00. Selain karena perbedaan jurusan saat di SMA, asal
sekolah juga berkontribusi terhadap nilai mahasiswa. Mahasiswa local Timika yang
bersekolah (SMA) di Kota Timika memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan
SMA dari luar kota Timika. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengatasi persoalan belajar
mahasiswa, perkuliahan matrikulasi pada tahun pertama sangat dibutuhkan untuk
menyamakan pemahaman dan membekali mahasiswa terhadap materi perkuliahan yang akan
datang.

Gambar 2 Persentase asal jurusan Mahasiswa Program Diploma Sagu

Tabel 1 Sebarannilai IPK mahasiswalokalTimika TA 2014-2015 berdasarkanjurusan di SMA


IPK
Jurusan
3.00-4.00 2.00-2.99 1.51-1.99 0.00-1.50 Total
IPA 2 2 2 6
IPS 1 8 4 1 14
Agribisnisdan Agroindustri 1 3 2 6
Lainnya 5 3 8
Total (mahasiswa) 4 18 11 1
Persentase (%) 11.76 52.94 32.35 2.94

Dalam rangka pengawasan terhadap mahasiswa tersebut, mereka wajib tinggal di


Asrama Mahasiswa.Masing-masing Asrama memiliki Ibu dan Bapak Asrama.Mereka
berperan dalam menjaga kestabilan emosi mahasiswa dan juga membantu menyelesaikan
persoalan belajar.
Selain pendidikan formal di perkuliahan, mahasiswa juga mendapatkan pembinaan
kedisiplinan dan kepemimpinan serta pembinaan kerohanian.Untuk pembinaan kedisiplinan
dan kepemimpinan Mahasiswa baru tersebut wajib mengikuti pelatihan resimen mahasiswa
(MENWA).Kegiatan pelatihan tersebut selain mengalihkan kegiatan mahasiswa untuk hal

116
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

yang bersifat positif juga berguna untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik mahasiswa
selama menjalani pendidikan di Bogor.Kebanyakan mahasiswa tersebut memiliki sifat
pemalas.Dengan adanya kegiatan pelatihan MENWA diharapkan mahasiswa lebih disiplin
mengelola waktunya sehingga berdampak baik pada kegiatan belajar mengajar.
Untuk meningkatkan semangat bela Negara, mahasiswa tersebut juga mendapatkan
pelatihan khusus dari BRIMOB.Salah satu kegiatannya ialah pelatihan SAR.Out put dari
pelatihan tersebut sangat baik. Mahasiswa menjadi lebih bersemangat dalam menjalani
perkuliahan.
Kegiatan kerohanian dilaksanakan setiap minggu.Kebanyakan mahasiswa tersebut
beragama Kristen dan Katolik.Hanya terdapat satu mahasiswa yang beragama Islam.Kegiatan
kerohanian dilaksanakan di tempat ibadah sesuai dengan agamanya. Kegiatan kerohanian
tersebut penting untuk mencegah mahasiswa melakukan tindak asusila ataupun tidak yang
mencemarkan nama baik perguruan tinggi.
Selain itu, beberapa mahasiswa juga aktif mengikuti kegiatan
kemahasiswaan.Beberapa diantaranya ialah kompetisi OMDI (Olimpiade Mahasiswa
Diploma IPB), KMBD Club, dan IMKA (Tabel 1).Kegiatan kemahasiswaan berpengaruh
positif terhadap prestasi mahasiswa.
Tabel 1 Daftar prestasi mahasiswa Program Diploma Sagu IPB
No Jenis lomba Tingkat Penghargaan
1 Lomba lari estafet IPB (lokal) Juara I
2 Lomba lari sprint IPB (lokal) Juara III
3 Lomba futsal putri IPB (lokal) Juara III
4 Lomba debat politik pertanian KMBD Club Juara harapan IV
(Lokal)
5 Lomba futsal putri IMKA (lokal) Juara I

KESIMPULAN

Program pendidikan Diploma Sagu menjadi salah satu model pembelajaran sagu bagi
masyarakat sentra produksi sagu.Keterbatasan mahasiswa dalam menerima materi
perkuliahan dapat diatasi dengan belajar bersama teman-teman atau pembimbing
Asrama.Kegiatan kemahasiswaan sangat membantu mahasiswa dalam bersosialisasi.Program
pendidikan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran untuk mengelola potensi
sagu yang ada di daerahnya.

117
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA

Bintoro HMH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor (ID) : IPB Press.71 hal.

BintoroMH, PurwantoMYJ ,Amarillis S. 2010. Sagu di LahanGambut. Bogor :IPB Press.

Bintoro HMH, Herodian S, Ngadiono, Thoriq A, Amarillis S. 2014. Sagu untuk


Kesejahteraan Masyarakat papua : Suatu Kajian dalam Upaya Pengembangan Sagu
sebagai Komoditas Unggulan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Laporan
Penelitian. Jakarta : Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. 192 hal.

Dewi RK. 2015. Karakterisasi berbagai aksesi sagu (Metroxylon Spp.) di Kabupaten Sorong
Selatan, Papua Barat. Tesis.Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Konuma H. 2013. Status of global food security and future outlook. The Expert Consultation
on The Development of a Regional Sago Network for Asia and the Pacific.
Bangkok, 21-22 March 2013.

Kontan. 2013. Ragam Hambatan Menghadang Pengembangan Sagu. 25 Februari 2016


[www.kontan.co.id]

Wardis G. 2014. Socio-economic factors that have influenced the decline of sago
consumption in small islands: a case in rural Maluku, Indonesia. South Pacific
Studies 34: 99-116.

118
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

SINTESA DAN PENERAPAN FILM Ba0,55Sr0,45TiO3 PADA PROTOTIPE SISTEM


PENGERING OTOMATIS PRODUK PERTANIAN BERBASIS
MIKROKONTROLER ATMEGA8535

(Ba0.55Sr0.45TiO3 Film Synthesis and Application on Dryer Automatic System Prototype of


Agricultural Products Based ATMEGA8535 Microcontroller)

Ridwan Siskandar1*, Irzaman2, Irmansyah2


1
Program Keahlian Teknik Komputer, Program Diploma Institut Pertanian Bogor
2
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
2
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
*ridwansiskandar@gmail.com

ABSTRAK

Telah dilakukan penumbuhan film Ba0.55Sr0.45TiO3 (BST) di atas substrat silikon (100) tipe-p dengan
dua perlakuan pada substrat yaitu enhacement (dengan kata lain substrat tanpa dipanaskan terlebih dahulu)
dan deplesi (dengan kata lain substrat dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 800 oC selama 15 jam sebelum
ditetesi larutan BST) dengan metode Chemical Solution Deposition (CSD) dan spin coating pada kecepatan
putar 3000 rpm selama 30 detik. Film di atas substrat kemudian dipanaskan dengan variasi suhu 800 oC, 850 oC
dan 900 oC selama 15 jam. Film BST yang diperoleh dikarakterisasi sensitivitas sebagai sensor cahaya dan
rentang nilai, sensitivitas, resolusi, tingkat akurasi serta histerisis sebagai sensor suhu. Film BST 850
enhancement (film terbaik) digunakan sebagai sensor cahaya dan sensor suhu pada prototipe sistem pengering
otomatis produk pertanian yang berbasis mikrokontroler ATMega8535. Output (tegangan yang dihasilkan)
kedua film dikuatkan dengan rangkaian penguat diferensial dan penguat noninverting dengan tujuan dapat
terbaca oleh mikrokontroler. Mikrokontroler memberi perintah kepada motor servo untuk membuka atap-
mematikan dryer dan menutup atap-menghidupkan dryer ketika sensor cahaya mendapat rangsangan berupa
cahaya. Mikrokontroler memberikan perintah dari sensor suhu kepada relay untuk menghidupkan dan
mematikan dryer saat kondisi atap tertutup. Output berupa tegangan dari sensor cahaya dan sensor suhu yang
dihasilkan diolah menjadi data digital pada Analog Digital Converter (ADC) internal ATMega8535. Selanjutnya
data digital diolah oleh mikrokontroler. LCD berukuran 16x2 menampilkan perubahan output tegangan sensor
cahaya dalam satuan lumen/m2 dan sensor suhu dalam satuan derajat celcius (oC) ketika masing-masing film
diberikan rangsangan. Dengan demikian film BST dapat digunakan sebagai sensor cahaya dan sensor suhu
pada prototipe sistem pengering otomatis produk pertanian berbasis mikrokontroler ATMega8535.

Kata kunci: Ba0.55Sr0.45TiO3, Sensor, Operational-amplifier, ATMega8535, prototipe sistem pengering otomatis

PENDAHULUAN

Atap merupakan salah satu konstruksi utama dalam sebuah bangunan. Fungsi utama
atap selain sebagai pelindung dari cahaya matahari dan hujan, pada perkembangannya atap
juga memiliki nilai estetika yang tinggi. Banyak dijumpai berbagai jenis atap, mulai dari
bentuknya hingga bahannya. Semua memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Bahkan
akhir-akhir ini kerangka atap dengan bahan baja sangat menjamur di pasaran. Hal ini
membuktikan bahwa semakin pentingnya fungsi suatu atap.
Atap louvre merupakan salah satu atap yang sering ditemukan. Atap jenis ini paling
cocok diaplikasikan sebagai atap otomatis karena kemampuannya membuka dan menutup

119
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

secara cepat dan efesien. Hal ini disebabkan perputaran poros stripnya yang dapat membuka
dan menutup hanya dengan 45o putaran motor. Atap louvre umumnya memanfaatkan sensor
sebagai pengendali sistem geraknya (Santoso, 2008).
Mengingat matahari adalah sumber panas terbesar, matahari banyak dimanfaatkan
manusia untuk melakukan kegiatan pengeringan proses produksi, salah satunya proses
produksi hasil pertanian. Kenyataannya, penjemuran proses produksi dilakukan di ruangan
terbuka yang langsung terkena sinar matahari secara langsung. Proses ini membutuhkan
tenaga untuk memindahkan bahan dari tempat penyimpanan ke tempat penjemuran dan
sebaliknya. Hal ini dirasakan kurang efisien jika jumlah bahan proses produksi yang akan
dijemur sangat banyak. Belum lagi kendala cuaca yang buruk yang memungkinkan tidak
mendukung untuk penjemuran proses produksi.
Beras adalah makanan pokok penduduk Indonesia. Namun ironisnya Indonesia
sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang subur justru mengimpor beras dari
negara lain. Salah satu penghambat produksi beras di Indonesia yaitu permasalahan pada
proses pengeringan gabah. Selama ini para petani Indonesia hanya mengandalkan panas
matahari untuk mengeringkan gabah hasil panennya sehingga pada saat musim hujan mereka
mengalami kesulitan dalam proses pengeringannya (Daulay, 2005). Cara ini umum dilakukan
karena proses pengeringannya sederhana dan biayanya yang dikeluarkan sedikit. Tetapi cara
konvensional ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: ketergantungan terhadap panas
matahari, lamanya proses pengeringan, luas lahan, jumlah pekerja, dan lain-lain (Taib et al,
1988). Saat ini petani tidak dapat lagi memastikan kapan musim kemarau tiba. Petani tidak
bisa mengeringkan padi dengan tenang karena hujan bisa datang kapan saja. Sedangkan jika
gabah tidak segera dikeringkan, gabah akan tumbuh atau membusuk karena aktivitas
metabolisme oleh mikroorganisme. Hal ini tentu saja menurunkan kualitas gabah dan
merugikan petani (Daulay, 2005). Affian et al. (2012) menjelaskan kondisi suhu pengeringan
dengan penggunaan zeolite sintesis dalam pengeringan gabah dengan proses fluidisasi indirect
contact, efesien pada kisaran rentang suhu 30 oC sampai 60 oC.
Material BaSrTiO3 merupakan salah satu material yang beberapa tahun terakhir ini gencar
dikaji dan dikembangkan. Salah satunya adalah dalam bentuk teknologi ferroelektrik film
BST yang digunakan untuk aplikasi sensor cahaya yang kemudian dapat dikembangkan
menjadi sel surya (Irzaman, 2008). Pembuatan film BST dapat dilakukan dengan beberapa
teknik seperti Metalorganic Chemical Vapor Deposition (MOCVD) oleh Fitsilis (2001),
metode Sol-Gel oleh Verma et al. (2012), metode Atomic Layer Deposition (ALD) oleh
Tyunina et al. (2008), metode Metal Organic Decomposition (MOD) oleh Suherman et al.
(2009), serta Chemical Solution Deposition (CSD) oleh Irzaman et al. (2011) dan Irzaman et

120
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

al (2013). Menurut Irzaman et al (2011) dan Irzaman et al (2013), keunggulan dari metode
CSD adalah dapat mengontrol stokiometri film dengan kualitas yang baik, prosedur yang
mudah dan membutuhkan biaya yang relatif murah. Hamdani et al. (2009) menjelaskan
bahwa metode CSD merupakan cara pembuatan film tipis dengan pendeposisian larutan
bahan kimia di atas substrat, kemudian dipreparasi dengan spin coating pada kecepatan putar
tertentu.

Mikrokontroler merupakan otak dari sebuah sistem elektronika digital, dimana sistem
kerjanya diatur berdasarkan program dalam bahasa pemrograman yang digunakan (Ardian et
al, 2010). ATMega8535 merupakan salah satu mikrokontroler 8 bit buatan Atmel untuk
keluarga AVR. Atmel (2003) dan Ardian et al. (2010) menjelaskan, ATMega8535 memiliki
beberapa kemampuan, salah satunya memiliki ADC (pengubah analog ke digital) internal
dengan ketelitian 10 bit sebanyak 8 saluran.
Penelitian yang dilakukan adalah tentang pembuatan film Ba0,55Sr0,45TiO3 (BST)
menggunakan metode CSD dengan variasi suhu annealing (800 oC, 850 oC dan 900 oC)
selama 15 jam, di atas substrat silikon tipe-p dengan dua perlakuan pada substrat yaitu
enhacement (dengan kata lain substrat langsung ditetesi larutan BST, tanpa perlakuan
annealing terlebih dahulu pada substrat) dan deplesi (dengan kata lain dilakukan annealing
terlebih dahulu pada substrat dengan suhu annealing 800 oC selama 15 jam sebelum ditetesi
larutan BST). Film yang diperoleh kemudian dikarakterisasi sebagai sensor cahaya dan sensor
suhu. Selanjutnya dilakukan pengintegrasian fim BST terbaik sebagai sensor cahaya dan
sensor suhu pada prototipe sistem pengering otomatis produk pertanian berbasis
mikrokontroler Atmega8535.

1 METODE PENELITIAN
2
Persiapan Substrat
Substrat yang digunakan adalah silikon tipe-p. Substrat dipotong membentuk persegi dengan
ukuran 1 cm x 1 cm sebanyak 12 buah (masing-masing enhacement dan deplesi sebanyak 6
buah substrat). Setelah proses pemotongan, kemudian dilanjutkan dengan pencucian
menggunakan asam flurida (HF) 5% yang dicampur dengan aquades sebanyak 2%.

Pembuatan Larutan

121
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Larutan Ba0,55Sr0,45TiO3 yang ditumbuhkan di atas substrat dengan metode CSD


dibuat dari 0,3512 gr Barium Asetat [Ba(CH3COOH)2, 99%], 0,2314 gr Strontium Asetat
[Sr(CH3COOH)2, 99%)], 0,7105 gr Titanium Isopropoksida [Ti(C12O4H28), 99%], dan 2,5 ml
2-metoksietanol [H3COOCH2CH2OH, 99%] sebagai pelarut, yang mana seluruh bahan
tersebut kemudian disonikasi dalam ultrasonik model Branson 2210 selama 1 jam (campuran
disebut prekursor).

Penumbuhan Film
Proses penumbuhan film dilakukan dengan menggunakan reaktor spin coating, dimana
substrat silikon tipe-p yang telah dicuci sebelumnya diletakkan di atas piringan reaktor spin
coating yang telah ditempeli dengan double tape pada bagian tengahnya. Kemudian 1/3
permukaan substrat silikon tipe-p yang telah ditempelkan pada permukaan piringan spin
coating ditutupi dengan merekatkan seal tape. Perekatan seal tape bertujuan untuk
menghindari agar tidak semua permukaan substrat silikon tipe-p terlapisi atau tertutupi oleh
larutan BST, dan penempelan double tape bertujuan agar substrat tidak terlepas saat piringan
reaktor spin coating berputar.
Substrat yang telah ditempatkan di atas piringan spin coating ditetesi larutan BST
sebanyak 3 tetes, kemudian reaktor spin coating diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama
30 detik. Proses penetesan dilakukan sebanyak 3 kali dengan jeda setiap ulangan adalah 60
detik. Setelah penetesan, substrat diambil dengan menggunakan pinset.

Proses Annealing

Proses annealing bertujuan untuk mendifusikan larutan BST dengan substrat. Proses
annealing dilakukan dengan menggunakan furnace model VulcanTM-3-130 dan dilakukan secara
bertahap. Pemanasan dimulai dari suhu ruang kemudian dinaikkan hingga suhu annealing
yang diinginkan yaitu sebesar 800 oC, 850 °C, dan 900 oC dengan kenaikan suhu pemanasan
yang disesuaikan (1,7 °C/menit), kemudian suhu annealing ditahan konstan hingga 15 jam.
Selanjutnya dilakukan furnace cooling sampai didapatkan kembali suhu ruang.
Pembuatan Kontak pada Film

Lubang kontak pada film dibuat berbetuk persegi dengan ukuran 2 mm x 2 mm pada
lapisan BST dan menutup bagian lain dari film BST yang tersisa dengan menggunakan
aluminium foil. Poses selanjutnya adalah metalisasi aluminium (Al) sebagai media kontak
film yang dilakukan secara evaporasi pada ruang vakum udara. Kemudian pemasangan hidder
dan kawat tembaga yang berukuran halus dengan menggunakan pasta perak.

122
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Karakterisasi
Karakterisasi film BST meliputi karakterisasi sensitivitas sebagai sensor cahaya dan
rentang nilai, resolusi, tingkat akurasi, histerisis sebagai sensor suhu.
Pembuatan Mekanik Sistem Pengering
Model prototipe dibuat dengan ukuran alas 50 cm x 50 cm dari bahan plastik mika
membentuk sebuah rumah. Model prototipe yang akan dibuat ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Model Prototipe Sistem Pengering


Pembuatan Komponen Elektonika
Sensor yang digunakan terdiri atas 2 buah film BST yang yang masing-masing
dirangkai dengan rangkaian jembatan wheatstone untuk menambah sensitivitas sensor. Sinyal
tegangan keluaran dari jembatan wheatstone diperkuat oleh rangkainan op-amp. Untuk op-
amp digunakan IC LM324.
Perancangan Perangkat Lunak
Perangkat lunak yang digunakan dibuat menggunakan software Code Vision AVR C
dengan bahasa C sebagai bahasa pemrograman yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Film BST sebagai Sensor Cahaya


Pengukuran sensitivitas sensor cahaya BST, dilakukan dengan cara sensor diberikan
rangsangan berupa cahaya. Dengan adanya rangsangan, sensor akan merespon dan
mengeluarkan output berupa tegangan tertentu. Untuk menambah sensitivitas, film dirangkai
dengan rangkaian jembatan wheatstone.
Pengukuran dilakukan pada dua kondisi, yaitu gelap (±2 lumen/m2) dan
terang (±452 lumen/m2). Hasil pengukuran ditunjukan pada Tabel 1. Meningkatnya intensitas
cahaya maka semakin banyak elektron yang tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi.
Elektron yang tereksitasi ke pita konduksi ini akan meningkatkan pembawa muatan yang pada
akhirnya akan meningkatkan konduktivitas listrik (Kurniawan, 2011).

123
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sensitivitas film BST sebagai sensor cahaya ditunjukkan oleh perbandingan antara
perubahan tegangan dengan perubahan intensitas (∆V/∆I). Semakin besar perubahan tegangan
maka film semakin sensitif. Tabel 1 menunjukan film dengan sampel 850 enhacement
memiliki sensitivitas terbaik sebagai sensor cahaya. Film inilah yang dijadikan sensor cahaya
dan diintegrasikan ke mikrokontroler.

Tabel 1. Data Pengukuran Sensitivits Film BST sebagai Sensor Cahaya

Pengukuran Sensitivitas

Bias Maju Bias Mundur

Film ∆V/∆
∆I I ∆I ∆V/∆I
Gela Teran ∆V Gela Teran ∆V
BST
p g (lum (mv/ p g (lum (mv/
(mv (mv
en/m (lum en/m (lume
Ulangan

(mv) (mv) ) 2 (mv) (mv) ) 2


) en/m ) n/m2))
2
))

800
1 23 82 59 450 0.131 7 30 23 450 0.051
enhacement

800
2 10 73 63 450 0.140 6 19 13 450 0.029
enhacement

800 deplesi 1 0 0 0 450 0.000 0 0 0 450 0.000

800 deplesi 2 156 209 53 450 0.118 117 164 47 450 0.104

850 450
1 6 85 79 0.176 7 17 10 450 0.022
enhacement

850
2 3 73 70 450 0.156 10 23 13 450 0.029
enhacement

850 deplesi 1 157 183 26 450 0.058 142 150 8 450 0.017

850 deplesi 2 90 154 64 450 0.142 87 96 9 450 0.020

900
1 45 97 52 450 0.116 33 58 25 450 0.056
enhacement

900
2 24 31 7 450 0.016 43 89 46 450 0.102
enhacement

900 deplesi 1 2 7 5 450 0.011 0 0 0 450 0.000

900 deplesi 2 98 124 26 450 0.057 8 13 5 450 0.011

124
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Karakterisasi Film BST sebagai Sensor Suhu


Pengukuran sensitivitas sensor suhu BST dilakukan dengan cara yang sama seperti
pengukuran sensitivitas pada sensor cahaya BST. Hanya saja, pada pengukuran ini,
rangsangan yang diberikan berupa suhu.
Input suhu pada film diberikan di dalam furnace. Furnace diatur dengan kenaikan
suhu 1 oC/menit. Pengukuran dilakukan dengan pemberian suhu awal 30 oC sampai suhu
kondisi dimana film tidak lagi menunjukkan output berupa tegangan yang cukup berarti.
Proses pengujian ini menggunakan rangkaian jembatan wheatstone. Output dari jembatan
wheatstone menunjukkan bahwa besarnya nilai output yang dihasilkan berbanding lurus
dengan nilai input yang diberikan. Ouput yang berasal dari rangkaian jembatan wheatstone ini
yang kemudian diplotkan dengan input (suhu) yang diberikan, sehingga diperoleh hasil
rentang nilai, sensitivitas, resolusi, dan tingkat akurasi dari masing-masing film.
Hasil pengukuran menunjukkan perlakuan substrat enhacement menghasilkan nilai
sensitivitas yang lebih biak dibandingkan dengan perlakuan substrat deplesi. Secara jelas,
rentang nilai, sensitivitas, resolusi, dan tingkat akurasi dari masing-masing film BST
ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil karakterisasi histerisis yang ditunjukan pada Gambar 2
sampai Gambar 7 menunjukkan bahwa histerisis pada film 850 enhacement mempunyai
selisih suhu monoton naik dan monoton turun yang kecil dibandingkan film yang lainnya.
Hasil karakterisasi secara keseluruhan menunjukkan film terbaik yang bisa digunakan
sebagai sensor suhu adalah film BST 850 enhacement. Hal tersebut ditunjukan dengan
rentang nilai 30 oC - 109 oC, sensitivitas 0,814 mV/ oC, resolusi film sebesar 1 oC, tingkat
akurasi 94,4% dan histerisis yang kecil. Film inilah yang kemudian diintegrasikan ke
mikrokontroler.
Tabel 2. Data Rentang Nilai, Sensitivitas, Resolusi, dan Tingkat Akurasi Film BST sebagai
Sensor Suhu

Resolusi Tingkat
Film Rentang* Sensitivitas*
akurasi*
Ulangan

sensor*
BST (oC) (mV/ oC)
(oC) (%)

800 enhacement 1 30-79 0,742 1 96,3

800 enhacement 2 30-112 0,653 1 95,3

800 deplesi 1 - - - -

125
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

800 deplesi 2 30-95 0,347 1 98,8

850 enhacement 1 30-115 0,734 1 92,6

850 enhacement 2 30-109 0,814 1 94,4

850 deplesi 1 30-54 0,407 1 91,4

850 deplesi 2 30-95 0,742 1 97,1

900 enhacement 1 30-85 0,642 1 91,3

900 enhacement 2 30-88 0,347 1 82,2

900 deplesi 1 30-88 0,352 1 85,8

900 deplesi 2 30-73 0,351 1 91,8

Keterangan: *sumber: (Ardian et al, 2010)


120 50

45
100
Tegangan Keluaran (mV)

Tegangan Keluaran (mV)

40
80

35
60
30

40
25

monoton suhu naik


20 monoton suhu naik
monoton suhu turun 20
monoton suhu turun

0 15
0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100

Suhu (oC) Suhu (oC)

Gambar 2. Histerisis BST 800 enhacement Gambar 3. Histerisis BST 800 deplesi
100 35

30
80
Tegangan Keluaran (mV)
Tegangan Keluaran (mV)

25

60 20

15
40

10

20 monoton suhu naik monoton suhu naik


monoton suhu turun 5 monoton suhu turun

0
0
0 10 20 30 40 50 60
0 20 40 60 80 100 120
Suhu (oC)
Suhu (oC)

Gambar 4. Histerisis BST 850 enhacement Gambar 5. Histerisis BST 850 deplesi
140 80

120
Tegangan Keluaran (mV)

Tegangan Keluaran (mV)

60
100

80
40
60

40
20
monoton suhu naik monoton suhu naik
20
monoton suhu turun monoton suhu turun

0 0
0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100

Suhu (oC) Suhu (oC)

Gambar 6. Histerisis BST 900 enhacement Gambar 7. Histerisis BST 900 deplesi

126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Rancangan Film Sebagai Sensor


Film BST yang memiliki sensitivitas terbaik digunakan pada prototipe sistem
pengering otomatis. Ada dua film yang digunakan sebagai sensor, satu untuk sensor cahaya
dan satu untuk sensor suhu. Kedua sensor ini digunakan untuk membaca tegangan output dari
masing-masing rangsangan yang diberikan. Perubahan tegangan output yang kecil perlu
diperkuat oleh rangkaian penguat dengan tujuan dapat dibaca oleh mikrokontroler. Skema
rangkaian elektronika keseluruhan prototipe sistem pengering otomatis ditunjukkan pada
Gambar 8.
Digunakan dua rangkaian penguat, yaitu rangkaian penguat diferensial yang
merupakan gabungan antara rangkaian penguat noninverting (penguat 1) dan penguat
inverting (penguat 2) yang berfungsi untuk membandingkan dua input yang masuk.
Rangkaian penguat kedua adalah rangkaian penguat noninverting (penguat 3).
Besar penguatan untuk rangkaian penguat diferensial adalah 2 kali. Sedangkan besar
penguatan untuk rangkaian penguat noninverting (penguat 3) adalah 11 kali. Sehingga total
penguatan rangkaian sensor adalah 22 kali.

Gambar 8. Rangkaian Elektronika Keseluruhan Prototipe Sistem Pengering Otomatis


Rangkaian Mikrokontroler Atmega8535
Rangkaian pengendali pada prototipe sistem pengering otomatis adalah sebuah
mikrokontroler 8 bit ATMEGA8535. Tegangan output dari rangkaian sensor cahaya dan
sensor suhu adalah sinyal input untuk mikrokontroler.
Input untuk mikrokontroler dari sensor cahaya adalah PORTA.0, sedangkan input dari
sensor suhu adalah PORTA.1. PORTD.0 digunakan sebagai input untuk relay. PORTC.6 dan

127
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PORTC.4 digunakan sebagai input ke motor servo 1 dan motor servo 2. PORTD.6, PORTC.1,
PORTC.0, dan PORTD.7 digunakan sebagai input dari switch 1, switch 2, switch 3, dan
switch 4.
Pengujian Motor Servo
Motor servo yang digunakan adalah motor servo standar 180° produk HITEC HS-
646MG. Motor servo ini hanya mampu bergerak dua arah dengan defleksi masing-masing
sudut mencapai 90°, sehingga total defleksi sudut dari kanan - tengah - kiri adalah 180°.
Pulsa kontrol motor servo dikendalikan oleh sebuah pulsa selebar ±20 ms, dimana
lebar pulsa antara 0,5 ms dan 2 ms menyatakan akhir dari range sudut maksimum.
Berdasarkan hasil pengujian, jika motor servo diberikan pulsa dengan besar 1,5 ms mencapai
gerakan 90°, maka bila berikan pulsa kurang dari 1,5 ms maka posisi mendekati 0° dan bila
berikan pulsa lebih dari 1,5 ms maka posisi mendekati 180°.
Pengujian Keseluruhan Sistem
ngujian secara keseluruhan dilakukan dengan menghubungkan semua rangkaian menjadi satu
sistem yang terpadu. Rangkaian sensor cahaya, sensor suhu, driver relay, motor servo,
mikrokontroler ATMega8535 digabungkan menjadi satu dalam suatu prototipe sistem
pengering sehingga terbentuk suatu sistem pengering otomatis yang berbasiskan
mikrokontroler Atmega8535 dengan bahasa C sebagai bahasa pemrograman yang digunakan.
Skema pengujian keseluruhan sistem ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Skema Pengujian Keseluruhan Sistem


Prinsipnya, saat catu daya dihidupkan, catu daya memberikan tegangan input yang dibutuhkan
setiap rangkaian yang digunakan. Ketika sensor cahaya menerima input terang,
mikrokontroler memberikan perintah untuk membuka atap dan mematikan dryer. Sebaliknya,
ketika sensor cahaya menerima input gelap, mikrokontroler memberikan perintah untuk
menutup atap dan menyalakan dryer.
Jika sensor suhu menerima input suhu ≤ 60 oC, mikrokontroler memberikan perintah
untuk menyalakan dryer. Jika input suhu suhu > 60 oC, mikrokontroler memberikan perintah
untuk mematikan dryer sampai suhu mencapai 30 oC, saat suhu < 30 oC maka mikrokontroler

128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

memberikan perintah untuk menyalakan dryer lagi. Proses tersebut berlangsung secara terus
menerus saat kondisi sensor cahaya menerima input gelap.

KESIMPULAN

Film BST dapat digunakan sebagai sensor cahaya dan suhu karena menunjukkan
adanya respon berupa perubahan tegangan ketika diberikan perubahan intensitas (sebagai
sensor cahaya) dan perubahan suhu (sebagai sensor suhu).
Telah berhasil dilakukan penerapan film BST sebagai sensor cahaya dan suhu pada
prototipe sistem pengering otomatis produk pertanian berbasis mikrokontroler ATMega8535
dengan prinsip kerja memanfaatkan film BST sebagai saklar otomatis.

DAFTAR PUSTAKA

Affian W, Ridwan, M. Djaeni, Ratnawati. 2012. Penggunaan Zeolite Sintesis Dalam


Pengeringan Gabah Dengan Proses Fluidisasi Indirect Contact. J u r n a l
Teknologi Kimia dan Industri 1(1).
Atmel. 2003. Data sheet ATMega 8535 2502E–AVR–12/03.
Ardian A, Lima N, Ridwan E, Hery S, Irzaman, Siswandi. 2010. Penerapan Film Tipis
Ba0,25Sr0,75TiO3 (BST) yang didadah Ferium Oksida sebagai Sensor Suhu Berbantukan
Mikrokontroler. Berkala Fisika 13 (2): 53-64.
Daulay SB. (2005). Pengeringan Padi (Metode dan Peralatan). Jurusan Teknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara
Fitsilis F et al. 2001. BST Thin Films Grown in a Multiwafer MOCVD Reactor. J of the
European Ceramic Society 2: 1547–1551.
Hamdani A, Komaro M, Irzaman. 2009. Pembuatan Sel Surya Berbasis Ferroelektrik LiTaO3
dengan Metode Spin Coating sebagai Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan.
Indonesian Science dan Technology Digital Library. PDII-LIPI.
Irzaman. 2008. Studi Fotodiode Film Tipis Semikonduktor Ba0,6Sr0,4TiO3 Didadah Tantalum.
J. Sains Material Indonesia 10(1): 18-22.
Irzaman, H. Syafutra, H. Darmasetiawan, H. Hardhienata, R. Erviansyah, F. Huriawati,
Akhiruddin, M. Hikam and P. Arifin. 2011. Electrical Properties of Photodiode
Ba0.25Sr0.75TiO3 (BST) Thin Film Doped with Ferric Oxide on p-type Si (100)
Substrate using Chemical Solution Deposition Method. Atom Indonesia, 37 (3), page
133 – 138.
Irzaman, L. Nady, A. Ardian, R. Erviansyah, H. Syafutra, I. Surur. 2011. Temperature Sensor
Based Pyroelectric Thin Film Ba0,25Sr0,75TiO3. Jurnal Sains Materi edisi Januari 2011,
BATAN, Puspiptek Serpong.
Irzaman, Heriyanto Syafutra, Endang Rancasa, Abdul Wahidin Nuayi, Tb Gamma Nur
Rahman, Nur Aisyah Nuzulia, Idawati Supu, Sugianto, Farly Tumimomor, Surianty,
Otto Muzikarno, Masrur. The Effect of Ba/Sr ratioon Electrical and Optical Properties
of BaxSr(1-x)TiO3(x = 0.25; 0.35; 0.45; 0.55) Thin Film Semiconductor. Ferroelectrics,
445 (1), page 4 – 17 (2013).
Kurniawan A. 2011. Penerapan Fotodioda Ba0,5Sr0,5TiO3 (BST) Sebagai Detektor Garis Pada
Robot Line Follower Berbasis Mikrokontroler ATMEGA8535. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

129
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Santoso A. 2008. Jenis dan Karakterisasi Atap untuk Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa,
Jakarta.
Suherman PM et al. 2009. Comparison of Structural Microstructural and Electrical Analyses
of Barium Strontium Titanate Thin Films. J Appl. Phys. 105: 061604 1-6.
Taib G, Said G, Wiraatmaja S. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil
Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Tyunina M et al. 2008. Dielectric Properties of Atomic Layer Deposited Thin Film Barium
Strontium Titanate. Integrated Ferroelectrics 102: 29–36.

Verma K, Sharma S, Sharma DK., Kumar R, Rai R. 2012 Sol gel Processing and
Characterization of Nanometersized (Ba,Sr)TiO3 Ceramics. Adv. Mat. Lett 3(1): 44-49.

130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

RANCANG BANGUN ALAT PEMBERI MAKAN IKAN OTOMATIS


BERBASIS MIKROKONTROLLER ARDUINO MEGA R3 DENGAN SISTEM
MONITORING BERBASIS WEB
Inna Novianty*1, Ridwan Siskandar2
1
Program Keahlian Teknik Komputer, Program Diploma, Institut Pertanian Bogor
Jalan Kumbang No. 14 Bogor.
2
Program Keahlian Teknik Komputer, Program Diploma, Institut Pertanian Bogor
Jalan Kumbang No. 14 Bogor.
*Corresponding Author: inna.novianty@gmail.com

Abstrak

Peluang pengembangan usaha kelautan dan perikanan Indonesia masih memiliki prospek yang baik.
Pengembangan usaha kelautan dan perikanan dapat digunakan untuk mendorong pemulihan ekonomi
diperkirakan sebesar US$82 miliar per tahun. Oleh karenanya, usaha budidaya perikanan kini kian menggeliat
di negara Indonesia, namun ada beberapa kendala dalam proses pemberian makanan kepada ikan yaitu
pemberian makan secara manual terkadang tidak sesuai dengan jadwal serta porsinya atau bahkan hingga
berhari-hari ikan tidak diberi makanan karena kesibukan si pemberi makan yang cukup padat sehingga lupa
akan jadwal dan porsi pemberian pakan teradap ikan budidaya. Hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan
rancang bangun alat pemberi makan ikan otomatis berbasis mikrokontroller arduino Mega R3 dengan sistem
monitoring berbasis Web. Selain itu, pengembangan alat ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dana
budidaya perikanan karena dapat mengurangi jumlah tenaga kerja untuk pemberian pakan ikan. Sistem
monitoring berbasis Web memudahkan si pemberi pakan untuk kontrol jarak jauh tanpa harus berada di tempat
budidaya ikan tersebut. Alat ini bekerja dengan bantuan Mikrokontroller Arduino Mega R3 dengan pemberian
input jumlah pakan melalui keypad. Keypad berfungsi untuk memasukan nilai Mode (secara periodik dan
alarm), setting waktu keluarnya pakan dan dosis jumlah pakan. Nilai yang diinputkan melalui keypad akan
tampil di layar LCD (liquid cyrstal display), data tersebut selanjutnya akan dikirim ke aplikasi Web sehingga
proses monitoring nilai output keluaran alat dapat dilakukan dari jarak jauh. Berdasarkan hasil pengujian alat,
diperoleh hasil berupa jumlah pakan yang keluar secara otomatis dari alat sebanyak 87 gram, 84 gram dan 86
gram, dengan input waktu monitoring dilakukan secara periodik setiap menit dan jumlah pakan di setting 80
gram. Hasil pengukuran alat berhasil ditampilkan di aplikasi Web, sehingga monitoring dapat dilakukan secara
jarak jauh. Berdasarkan hal ini, maka disimpulkan bahwa rancang bangun alat pemberi pakan otomatis
berhasil dibuat dan memiliki performa yang cukup baik.

Kata kunci: budidaya perikanan, mikrokontroller arduino mega R3, LCD, web

Pendahuluan
Ikan merupakan hewan yang banyak dipelihara orang di kolam atau akuarium serta
dijadikan sebagai mata pencaharian.Upaya agar ikan dapat hidup dengan sehat dan dalam
proses pertumbuhan yang normal bahkan cepat maka memerlukan penanganan dan perawatan
yang sesuai dan baik. Penanganan dan perawatan ikan yang baik mencakup pemberian
makanan yang umumnya berupa pellet dengan teratur dan porsi yang tepat sesuai jenis dan
umur ikan, kondisi air (kadar asam, sanitasi) serta pergantian air yang baik, sirkulasi oksigen
yang lancar serta kebersihan kolam atau akuarium.
Salah satu hal yang terpenting dalam pemeliharaan ikan adalah pemberian makanan
sebab ikan sebagai makhluk hidup tentunya memerlukan makanan agar tetap hidup dengan
sehat dan cepat pertumbuhannya. Bagi pemilik ikan terkadang kesehariannya disibukkan

131
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan kegiatan-kegiatan yang padat, bahkan kepadatan aktivitas itu dapat menyita waktu
hingga berhari-hari. Keadaan ini menyebabkan proses pemberian makanan kepada ikan
menjadi terlantar dan tidak sesuai dengan jadwal serta porsinya atau bahkan hingga berhari-
hari tidak memberikan makanan kepada ikan.
Kelalaian dalam memberi makanan kepada ikan dapat mengakibatkan ikan
kekurangan gizi, pertumbuhannya terhambat, kerdil, sakit dan bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Apalagi jika yang dipelihara adalah ikan lele dumbo yang memerlukan jadwal
pemberian makanan yang pasti dan porsi makanan yangmencukupi, keterlambatan pemberian
makanan serta porsi makanan yang kurang akan berdampak langsung pada penurunan bobot
berat ikan lele dumbo. Apabila sampai terjadi kelalaian dalam pemberian makanan hingga
berhari-hari, bisa dipastikan badan lele menjadi kurus dengan kepala besar yang memerlukan
waktu yang relatif lama untuk menjadi besar dan gemuk kembali. Hal demikian tentu
saja sangat merugikan pemilik ikan, disamping panennya lebih lama, pembelian makanan
lele menjadi bertambah yang tentu saja biaya pengeluaran yang lebih banyak serta bobot ikan
belum tentu memuaskan (Sukir, 2007). Pemberi makan ikan otomatis berbasis
mikrokontroller Arduino Mega R3 dengan sistem Web Base diharapkan dapat memberi
makan ikan secara teratur dengan sistem monitoring berbasis Web.
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat prototipe berupa alat pemberi pakan ikan
menggunakan mikrokontroller Arduino Mega R3 dengan aplikasi Web dan memperoleh
unjuk kerja serta hasil analisa terhadap kemampuan alat pemberi pakan ikan mengunakan
mikrokontroller Arduino Mega R3 berbasis WEB.

Metodologi

Metodologi penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu Tahapan


Observasi, Tahap Perancangan Alat dan Tahapan Pengujian.

2.1 Tahapan Observasi


Tahapan obeservasi terdiri dari pengumpulan data yang di butuhkan melalui
pengamatan lapangan dan studi pustaka yang berkaitan dengan alat yang akan di buat
sehingga menghasilkan acuan untuk membuat rancangan alat. Proses pembuatan alat ini
membutuhkan jumlah pakan ikan dan setting waktu pemberian pakan. Berikut tahapan yang
dimaksud:

2.2 Tahap Perancangan Alat

132
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tahap perancangan alat diawali dengan pembuatan lay-out rangkaian. Tahapan ini
diawali dengan membuat rangkaian di papan breadboard. Jika hasilnya sudah baik, maka
rangkaian nantinya akan di pindahkan pada sebuah papan PCBguna mempatenkan alat yang
telah di rancang sebelumnnya. Setelah proses ini selesai, selanjutnya dilakukan pembuatan
box yang bertujuan untuk penyimpanan semua komponen dan PCB, pembuatan box untuk
rangkaian.Pembuatan Box untuk rangkaian ini menggunakan acrylic dengan asumsi lebih
tahan cuaca dan dapat diperoleh dengan mudah. Ukuran box acrylic tersebut dengan dimensi
(21x25x15) cm untuk penyimpanan komponen hardware alat, sedangkan tempat untuk
penyimpanan pakan/makanan ikan dengan volume yang dapat ditambahkan yang nantinya
digunakan untuk pemberian pakan ke ikannya berukuran (6x9x20) cm. Selanjutnya adalah
perancangan perangkat lunak. Sistem pemberi pakan ikan menggunakan Mikrokontroller
Arduino Mega R3 berbasis Web ini, diprogram dengan bahasa pemrograman C++,
sedangkan untuk membuat program web menggunakan pemrograman PHP. Rangkaian
Pemberi Pakan ikan menggunakan Mikrokontroller Arduino Mega R3 berbasis Web ini
terdapat beberapa bagian rangkaian yang menjadi satu dan bagian-bagian tersebut mempunyai
fungsi-fungsi tersendiri. Blok diagram dan rangkaian dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.

CATU DAYA

Keypad

Ethernet Mikrokontroller Motor dc Servo


Shield Arduino Mega R3

Sensor Beban

Komputer
LCD Character
16x2

Gambar 1. Diagram blok rangkaian pemberi pakan ikan

133
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Rangkaian pembuatan alat pemberi pakan ikan menggunakan Arduino.

2.3 Tahap Pengujian


Tahapan pengujian dilakukan dengan cara mencoba fitur-fitur alat yang telah selesai
dibuat guna mencari kesalahan yang masih terjadi pada alat yang telah selesai dibuat,
kemudian dilakukan proses trouble shooting jika masih terjadi kesalahan pada alat. Tahapan
pengujian dilakukan beberapa kali hingga tidak terlihat adanya kesalahan atau bug yang
nampak pada alat yang telah selesai di buat .
Tahapan pengujian sebagai berikut:
1. Pengambilan data.
a. Menghubungkan adapter ke Arduino.
b. Menguji konektivitas antara Arduino Arduino dengan rangkaian komputer
terhubung dengan Ethernet Shield.
c. Menjalankan alat dan melakukan pengujian sesuai dengan tabel pengujian alat.
2. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengujian.
Multimeter analog, logic probe digunakan untuk mengukur besar tegangan analog
dan digital.
3. Perolehan data pengujian
Tahap pengujian dilakukan pengamatan pada rangkaian motor dc servo dan jumlah
bobo pelet yang keluar saat pemberian makanan kepada ikan, tentunya didasari pada
jenis ikan dan juga bobot serta umur ikan, proses pemberian ikan dapat ditentukan
dengan melihat pada aturan jenis ikan yang dijadikan objek penelitian.

Hasil Diskusi

134
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Proses perancangan alat diawali dengan penyusunan rangkaian pada sebuah papan
breadboard agar apabila terjadi kesalahan atau ketidak sesuaian rangkaian dengan rancangan,
maka proses perbaikan dapat dilakukan tanpa harus melakukan penyolderan. Sehingga
tahapan pembuatan rangkaian pun dapat dilakukan dengan lebih efisien dan fleksibel seperti
di tunjukan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pembuatan rangkaian pada papan breadboard

Apabila tahapan prototyping pada breadboard telah berjalan sempurna dengan indikasi
alat telah memenuhi poin-poin tujuan yang ada pada tahapan perancangan maka tahapan
selanjutnya adalah mempatenkan rangkaian yang telah di buat pada sebuah circuitboard dan
sekaligus menempatkan alat pada casing yang telah di buat seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Pemasangan alat pada papan PCB


Setelah proses pembuatan rangkaian berhasil, maka dilakukan pembuatan casing.
Casing berfungsi untuk menyimpan komponen hardware dan pakan yang akan diberikan pada
ikan. Casing terbuat dari akrilik dan berdimensi (21x25x15) cm untuk penyimpanan
komponen hardware alat, sedangkan tempat untuk penyimpanan pakan/makanan ikan dengan
volume yang dapat ditambahkan yang nantinya digunakan untuk pemberian pakan ke ikannya
berukuran (6x9x20) cm.
Selanjutnya adalah tahapan pengujian alat. Tahapan pengujian dilakukan setelah alat
siap beroperasi, tujuan dari tahapan ini adalah untuk menilai kelayakan alat yang telah selesai
di rangkai dengan membandingkannya dengan parameter-parameter yang telah di buat pada
tahapan analisa dan pada tahapan perancangan. Berikut Langkah-langkah pengujian alat:
1. Menghubungkan adapter ke Arduino Mega R3 dan menjalankan alat

135
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Proses ini berhasil dan alat dapat berfungsi dengan baik seperti ditunjukkan pada
Gambar 5.

Gambar 5. Alat setelah dihubungkan ke adapter

2. Besar Tegangan Analog dan Digital


Berdasarkan hasil pengukuran dengan multimeter dan logic probe, diperoleh
besar tegangan analog dan digital ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil
pengukuran, menunjukkan nilai tegangan mendekati 5 V, sehingga dapat dinyatakan
alat dapat bekerja cukup baik.

Tabel 1. Besar Tegangan Analog dan Digital


Jenis Tegangan Nilai Tegangan (Volt)

Tegangan Analog 4,8 V

Tegangan Digital 4,9 V

3. Perolehan data pengujian


Tahap pengujian dilakukan dengan mengamati rangkaian motor dc servo dan
jumlah bobot pelet yang keluar saat pemberian makanan kepada ikan, tentunya
didasari pada jenis ikan dan juga bobot serta umur ikan, proses pemberian ikan dapat
ditentukan dengan melihat pada aturan jenis ikan yang dijadikan objek penelitian.
Berikut hasil pengujian pada alat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengujian jumlah pakan yang keluar

136
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Waktu JJ:MM Jumlah Pakan Jumlah Pakan


yang diinput (gram) yang keluar (gram)

00:01 80 87

00:02 80 84

00:03 80 86

Berdasarkan hasil pengujian tabel diatas, jumlah pakan yang di input sebanyak 80
gram secara periodik (per menit), sedangkan jumlah pakan yang keluar sebanyak 87 gram, 84
gram dan 86 gram. Hal tersebut menunjukkan alat berfungsi cukup baik.
Hasil perancangan Web dapat dilihat pada Gambar 6. Langkah awal masuk ke sistem
Web tersebut adalah melakukan proses Log in. Setelah dilakukan proses Log in, maka Web
akan menampilkan jumlah pakan yang dikeluarkan oleh alat secara periodik dan disimpan
dalam data logger yang ditampilkan di Web seperti yang ditampilkan pada Gambar 7 dan

Gambar 6. Tampilan Web Sistem Pemberi Pakan ikan otomomatis.

137
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 7. Jendela Log in Web Monitoring Alat

Gambar 8. Tampilan keluaran jumlah pakan secara real time.

Kesimpulan

Alat pemberi makan ikan otomatis berbasis Mikrokontroller Arduino Mega R3 dengan
sistem monitoring berbasis Web berfungsi dengan cukup baik. Hal ini ditunjukkan
berdasarkan hasil pengujian antara jumlah pakan yang di input dan jumlah pakan yang keluar,
menunjukan nilai yang cukup berdekatan, yaitu setting nilai input pakan 80 gram/menit, dan
jumlah pakan yang keluar sejumlah 87 gram/menit, 84 gram/menit, dan 87 gram/menit.
Koneksi tampilan di LCD dan web pun sesuai, hal ini menunjukkan bahwa koneksi antara
keduanya baik dari sisi hardware maupun software.

Daftar Pustaka

Arifin, M.Z. 1991. Budidaya lele. Dohara prize. Semarang.

Artanto D. 2012. Interaksi Arduino dan LabView: PT Elex Media Kompitundo.

Budiharto, W. 2007. Studi Awal Penerapan Sensor RGB TCS230


untukPengidentifikasian Daging Oplosan, Jurnal Medika Akademik, Volume 1
Nomor 3, 26-31.

Fabyo Hartono Tamin, Chairisni Lubis, Prawito Prayitno. “Perancangan Alat Pemberi
Makan Ikan Koki Secara Otomatis Berbasis Mikrokontroler” , Prosiding SNTI
2008 Volume 5 No. 1 Tahun 2008, ISSN : 1829 – 9156.

Firdaus, Muhammad. 2006. Alat Pemberi Makan Ikan Otomatis Berbasis Mikro
kontroleller AT89S51. Konvergensi Volume 2, Nomor 2, Juli 2006.

138
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Giurgiutiu V, Lyshevski SE. 2004. Micromechatronics: Modeling, Analysis, and Design


with MATLAB. Florida: CRC Press.

Handy Wicaksono - Catatan Kuliah ”Automasi 1”,

Oleksy JE. 1992. Electronic Troubleshooting, Second Edition. Ohio: Glencoe Division
Of Macmillan.

Prawiraharja, Gumilar. 2012. Alarm Kolam dan Pemberi Makan Ikan Otomatis
http://www.scribd.com/doc/89435347/ Pemberi-Makan-Ikan-Otomatis.

Sahwan, Firdaus. 2008. Arti Penting Pakan Bagi Ikan. http://informasi-budidaya.


blogspot.com/2008/09/arti-penting-pakan-bagi-ikan.html. Diakses 24 Oktober 2012.

Sukir. 2007. Pemberi Pakan Ikan Berbasis Mikrokontroller AT89S52. Yogyakarta:


Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

Sulaeman,Y., Hercuadi, A.Y. dan Syamsu, I. 2008. Model Pengatur Lampu Lalu Lintas
dengan Metal Detektor Berbasis Mikrokontroller ATmega8535, Jurnal
Elektronika Nomor 2 Volume 8 : 77.

Soetomo, M.H.A. 1987. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Baru : Bandung

Yusuf, Muhammad. 2011. “Pengelolaan Pakan Pada Budidaya Ikan’’. http://yusufsila-


binatang.blogspot.com/ 2011/06/pengelolaan-pakan-pada-budidaya-ikan.html.
diakses 24 Okttober 2012

139
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENENTUAN JUMLAH ARMADA ANGKUTAN KOTA YANG OPTIMAL DI


KOTA BANDUNG BERDASARKAN HEADWAY (STUDI KASUS :
TRAYEK ST.HALL – CIMBULEUIT)
1
Agung Prayudha Hidayat, 2Putri Azmi
1
Diploma Institut Pertanian Bogor
Bogor, Indonesia
2
Kuhne+Nagel Sigma Trans
Jakarta, Indonesia
Email : agungprayudha29@yahoo.com

Abstract

Transportation problems in the city that is by the number of points jammed in every street. One of the
causes of congestion in the city is increasing the number of private vehicle users compared with public transport
one of which is public transportation. Therefore, it needs effective urban transport systems. However, the
conditions of city transport of Bandung on the route St.Hall one-Ciumbuleuit not optimal due to the imbalance
between the needs of passengers with vehicle availability. Determination of the optimal fleet size is necessary so
that the point of balance between the needs of availability. The parameters used to determine the optimal
number of fleet vehicle capacity, load factor, circulation time, as well as headway. Based on the results of the
study showed that the city transport route St.Hall-Ciumbuleuit have a number of vehicles in operation for 34
vehicles, vehicle capacity for 14 passengers. Rated load factor of around 43%. Circulation time of 2.3 hours.
Headway actual for each departure is 2 minutes. Number of optimal fleet is 28 vehicles. Rated load factor was
slightly below the standard set by the Directorate General of Land Transportation 70%. Based on the analysis,
the low value of the load factor is due to uneven number of passengers on each zone along the route of the city
transport St.Hall-Ciumbuleuit. The actual value is outside the range headway. Headway ideal set Directorate
General of Land Transportation amounting to between 5-10 minutes. Therefore, it is necessary that an effective
queuing system. Total fleet of city transport route St.Hall-Ciumbuleuit not have excess 6 transport units or 18%
of the number of existing vehicles. Thus the need for a reduction in the number of city transport fleet St.Hall-
Ciumbuleuit trajectory.

Keywords: City transport, Load Factor, Headway

Pendahuluan

Masalah transportasi di kota Bandung dapat dilihat dari adanya sejumlah titik
kemacetan pada beberapa ruas jalan. Salah satu penyebab kemacetan di kota Bandung adalah
meningkatnya jumlah pengguna kendaraan pribadi dibandingkan dengan angkutan umum.
Pemerintah daerah menyatakan kota Bandung memiliki penduduk berjumlah 5,5 juta jiwa dan
tingkat kepemilikan kendaraan cukup tinggi yaitu 146,73/1000 orang. Sedangkan kendaraan
umum di kota Bandung salah satunya adalah angkutan kota (angkot) terdapat 38 trayek
dengan panjang rata-rata trayek 12,5 km. Idealnya, jika panjang trayek sudah lebih dari 10km,
maka pemerintah harus sudah menggunakan sistem transportasi massal.
Kondisi angkutan kota (angkot) di kota Bandung yang kurang terencana dapat
menyebabkan turunnya efektifitas sistem transportasi perkotaan. Seperti halnya yang terjadi
pada angkutan kota trayek St.Hall-Ciumbuleuit terdapat jumlah armada angkutan kota yang

140
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

beroperasi melebihi kebutuhan menjadi masalah yang menyangkut keseimbangan antara


kebutuhan dan ketersediaan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada maka akan dilakukan penelitian
mengenai estimasi kebutuhan jumlah armada yang optimal pada angkutan kota di kota
Bandung dengan studi kasus taryek St.Hall- Ciumbuleuit.

Perencanaan Transportasi

Perencanaan transportasi perkotaan merupakan proses yang mengarah ke keputusan


tentang kebijakan dan program transportasi. Sasaran proses perencanaan transportasi ialah
meyediakan informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan tentang kapan dan dimana
peningkatan harus dilakukan pada sistem transportasi bersangkutan, yang dengan demikian
akan menggalakkan perjalanan dan pola pengembangan lahan yang sejalan dengan tujuan dan
sasaran komunitas bersangkutan (Kisty & Lall, 2005).

Perkembangan transportasi sebagai sebuah sistem yang muncul sebagai akibat


langsung dari kebutuhan yang akan lebih baik bila direncanakan dengan tahapan yang baik.
Tahapan perencanaan transportasi merupakan tahapan yang dimulai dari tahap mengetahui
potensi pergerakan hingga menghasilkan suatu akses yang layak dan memadai untuk
digunakan dalam melakukan aktifitas. Dalam transportasi, untuk memprediksi, menganalisis,
dan merencanakan suatu transpotasi dikenal dengan istilah “four step model (model 4
langkah) yaitu (Azis & Asrul, 2014) :

1. Perjalanan yang dibangkitkan (trip generation)


2. Distribusinya (trip distribution)
3. Moda yang dipakai (modal split)
4. Rute yang dilalui (trip assignment)

Penentuan Jumlah Armada


Pengguna angkutan kendaraan umum menghendaki adanya tingkat pelayanan yang
cukup memadai seperti waktu tempuh, waktu tunggu, maupun keamanan dan kenyamanan
dalam perjalanan. Hal tersebut dapat dipenuhi bila penyediaan armada angkutan penumpang
umum berada pada garis yang seimbang dengan permintaan jasa angkutan umum. Ada
beberapa parameter dalam menetukan jumlah armada (SK Dirjen Perhubungan Darat
No.67,2002) :

141
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Kapasitas kendaraan
Kapasitas kendaraan adalah daya muat penumpang pada setiap kendaraan angkutan umum.

2. Faktor Muat (load factor)


Faktor muat (load factor) adalah perbandingan antara jumlah penumpang yang ada dalam
kendaraan dengan kapasitas kendaraan tersebut, dan dinyatakan dalam %. Faktor Muat
terdiri dari Faktor Muat Statis dan Faktor Muat Dinamis. Faktor Muat Statis merupakan
hasil survei statis pada 1 titik pengamatan (misalnya di pintu keluar terminal), yang
diperoleh dari perbandingan jumlah penumpang di dalam kendaraan dengan kapasitas
kendaraan pada saat melewati satu titik pengamatan. Faktor Muat Dinamis merupakan
hasil survei dinamis di dalam kendaraan, yang diperoleh dari perbandingan jumlah
penumpang yang naik dan turun kendaraan pada tiap segmen ruas jalan dengan kapasitas
kendaraan pada rute yang dilewati (Supriyatno & Widayanti,2010). Untuk mengetahui
besaran nilai load factor dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
LF : Faktor muatan dinamis
(Load Factor)
Σ Pnp – Km : Jumlah penumpang dikalikan dengan panjang trayek
Σ Bus – Km : Jumlah perjalanan kendaraan dikalikan dengan panjang trayekdalam satu
satuan waktu tertentu.
K : Kapasitas kendaraan

3. Waktu Sirkulasi
Waktu sirkulasi dengan pengaturan kecepatan kendaraan rata-rata 20 km perjam dengan
deviasi waktu sebesar 5 % dari waktu perjalanan. Waktu sirkulasi dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

CTABA = (TAB+TBA) + (σAB+σBA) + (TTA+TTB)

Keterangan :
CTABA = Waktu sirkulasi dari A ke B kembali ke A.
TAB = Waktu perjalanan rata-rata dari A ke B

142
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

TBA = Waktu perjalanan rata-rata dari B ke A


AB = Deviasi waktu perjalanan dari A ke B
BA = Deviasi waktu perjalanan dari B ke A
TTA = Waktu henti kendaraan di A
TTB = Waktu henti kendaraan di B
Catatan :
Waktu henti kendaraan di asal atau tujuan (TTA atau TTB) ditetapkan sebesar 10% dari
waktu perjalanan antar A dan B.
4. Waktu antara kendaraan (Headway)
Headway ditetapkan berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
H = Waktu antara (menit)
P = jumlah penumpang perjam pada seksi terpadat
C = kapasitas kendaraan
Lf = faktor muat, diambil 70 % (pada kondisi dinamis)
Catatan :
H ideal = 5 – 10 menit

5. Jumlah armada
Jumlah armada perwaktu sirkulasi yang diperlukan dihitung dengan rumus sebagai berikut

:
Keterangan :
K = jumlah kendaraan
Ct = waktu sirkulasi (menit)
H = Waktu antara (menit)
fA = Faktor ketersediaan kendaraan (100%)

Hasil Penelitian

Objek yang digunakan pada penelitian ini adalah angkutan kota trayek St.Hall-
Ciumbuleuit. Pengamatan dilakukan dengan cara metode on bus survey (survey dalam
angkot), survey wawancara. Berdasarkan survey didapatkan data-data sebagai berikut : jumlah
armada pada trayek St.Hall-Ciumbuleuit sebanyak 34 kendaraan. Kapasitas penumpang

143
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sebanyak 14 penumpang. Waktu operasional angkutan kota adalah 13 jam dimulai dari pukul
05.00 hingga pukul 18.00. Headway setiap keberangkatan sebesar 2 menit. Jarak yang
ditempuh untuk melintasi rute dari arah St. Hall- Ciumbuleuit sepanjang 14 km. Perjalanan
kendaraan pulang pergi sebesar 18 kali. Adapun rute yang dilalui angkutan kota trayek
St.Hall-Ciumbuleuit(SK Walikota Bandung No.551,2008) Terminal Stasiun - Jl. Pasir Kaliki
– Jl. Pajajaran – Jl. Cihampelas – Jl.Rivai – Jl.Cipaganti – Jl. Setiabudi – Jl.Ciumbuleuit –
UNPAR (Ciumbuleuit) – Terminal Ciumbuleuit.
Load factor didasarkan pada jumlah penumpang, jumlah perjalanan kendaraan serta
jumlah panjang trayek. Berdasarkan survey didapat jumlah penumpang dalam perjalanan
sebagai berikut :
Tabel 1 Jumlah Penumpang Dalam Perjalanan

Daerah Naik Turun

St.Hall 4 -
Pajajaran 4 -
Cipaganti 8 3
Hegamanah 2 4
Manjangan - 3
Bunderan - 2
Ciumbuleuit
RSUD - 4
Ciumbuleuit
Pangkalan 2 2
Ciumbuleuit
Bunderan 3 -
Ciumbuleuit
UNPAR 4 3
Gandog 6 -
RS Advent 2 2
Ciwalk 2 4
Cihampelas 1 -
Bawah
Cicendo - 6
St.Hall - 5

144
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Total 38 38

Perhitungan jumlah armada angkutan kota trayek St.Hall-Ciumbuleuit pada periode sibuk
adalah sebagai berikut :
 Periode sibuk antara pukul 08.00 dan 12.00 = 4 jam.
 Jumlah penumpang terbanyak (P) = 60 x C x (LF/H)
P = 60 x 14 x (0.42/5) = 71 penumpang.
 Waktu perjalanan dari asal ke tujuan atau sebaliknya
(TAB)= 63 menit
(TBA)= 57 menit
 Load factor yang dihasilkan :

 Waktu sirkulasi dari A ke B kembali ke A

CTABA = (TAB+TBA) + (σAB+σBA) + (TTA+TTB)


AB = Deviasi waktu perjalanan dari A ke B
= 5% x 63 menit = 3.15 menit
BA = Deviasi waktu perjalanan dari B ke A
= 5% x 57 menit = 2.85 menit

TTA = 10% x 63 menit = 6.3 menit


TTB = 10% x 57 menit = 5.7 menit
CTABA=(63+57) + (3.15+2.85) + (6.3+5.7)
= 138 menit
 Headway

 Jumlah Armada

145
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut
:

1. Nilai load factor pada angkutan trayekSt.Hall- Ciumbuleuit berdasarkan perhitungan


adalah sekitar 43%. Nilai ini berada dibawah ketepatan Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat 70%. Hal ini disebabkan karena jumlah penumpang yang tidak merata pada setiap
zonanya.
2. Headway aktual setiap keberangkatan angkutan pada trayek St.Hall-Ciumbuleuit sebesar 2
menit. Nilai headway ini diluar rentang headway ideal yaitu 5-10 menit.
3. Jumlah armada angkutan kota pada trayek St.Hall- Ciumbuleuit mengalami kelebihan
sebesar 18% atau sebanyak 6 unit angkutan kota dari jumlah yang ada saat ini. Sehingga
jumlah armada yang beroperasi pada trayek St.Hall- Ciumbuleuit belum optimal karena
terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan persediaan.

Daftar Pustaka

Rudi Azis, S. T., Si, M., & Asrul, S. T. (2014).Pengantar Sistem dan Perencanaan
Transportasi. Deepublish.

Kisty, C. J., & Lall, B. K. (2005). Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Jilid 2.

Supriyatno, D., & Widayanti, A. (2010). Kinerja Layanan Bis Kota di Kota Surabaya. Jurnal
Transportasi, 10(1).

No, S. D. P. D. 687 Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Umum
di Wilayah Perkotaan dalam Trayek tetap dan Teratur.

Malkhamah, I. S. (2012). Pengembangan Indikator Dan Tolok Ukur Untuk Evaluasi Kinerja
Angkutan Umum Perkotaan Studi Kasus: Angkutan Umum Perkotaan Di Daerah Istimewa
Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Morlok, E. K. (1991). Pengantar teknik dan perencanaan transportasi (Introduction to


transportation engineering and planning). Penerbit Erlangga.

Lie, T., & Efendi, I. R. (2012). Evaluasi Kinerja Jalan Jendral Ahmad Yani Depan Pasar
Kosambi Bandung. Jurnal Teknik Sipil, 3(1).

Setiawati, D., Aviasti, A., & Rukmana, A. N. (2013). Penentuan Jumlah Armada dan Rute
Angkutan Kota yang Optimal di Kota Bandung berdasarkan load factor Studi kasus : Trayek
Riung Bandung-Dago). Prosiding Teknik Industri, 30-38.

Kominfo. (2013). Transportasi Kota Bandung dan Angkot Day. Jurnal Kajian HMS 2.
Tersedia pada: http://ima-g.ar.itb.ac.id/ima-g/?p=656.

146
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

UJI AKTIVITAS INHIBITOR PERKECAMBAHAN EKSTRAK TEMULAWAK

Ika Resmeiliana1), Arini Septianti1), Asih Fitria Lestari1), Zulaeha2)


1)
Staf pengajar Program Keahlian Analisis Kimia
2)
Mahasiswa Program Analisis Kimia

Koresponden: ikaresipb@gmail.com

ABSTRAK

Gulma merupakan tanaman liar yang mengganggu tanaman lain, karena dapat menghambat produktivitas
tanaman utama. Salah satu metode untuk menanggulangi gulma dengan menggunakan herbisida. Herbisida
alami bisa dijadikan alternatif dalam penanggulangan gulma. Ekstrak etanol dan metanol temulawak
merupakan sampel herbisida alami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas ekstrak etanol
dan metanol temulawak sebagai aktivitas inhibitor perkecambahan. Uji fitokimia dari Temulawak mengandung
komponen flavonoid, alkaloid dan triterpenoid. Ekstraksi temulawak menggunakan pelarut etanol dan metanol.
Kemudian ekstrak etanol dan metanol digunakan sebagai zat uji dalam proses perkecambahan selada air. Hasil
dari uji aktivitas inhibitor ekstrak etanol dan metanol temulawak terhadap biji selada airselama 5 hari
pengamatan, diperolehhasil bahwa biji selada pada hari pertama ada yang berkecambah dan ada yang tidak.
Pada hari kelima semua biji berkecambah, hanya tidak mengalami pertumbuhan tinggi. Ekstrak etanol lebih
dapat menghambat proses perkecambahan dibandingkan dengan ekstrak metanol. Ekstrak etanol mengalami
perkecambahan pada hari ketiga. Dari hasil pengujian, disimpulkan bahwa kedua ekstrak mempunyai potensi
dalam menghambat perkecambahan dengan sifat post emergence.

Kata kunci: Benih bayam, benih selada air, ekstrak etanol temulawak, ekstrak metanol
temulawak, inhibitor perkecambahan

PENDAHULUAN
Gulma merupakan tanaman liar yang mengganggu tanaman lain, karena dapat
menghambat produktivitas tanaman budidaya dan pada akhirnya menurunkan pendapatan
petani (Pranasari dkk 2012). Salah satu cara menanggulangi gulma yaitu, dengan pemberian
herbisida. Namun penggunaan herbisida buatan yang terus menerus dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan dan membuat gulma menjadi semakin resisten serta menganggu
kesehatan manusia (Murtini dkk 2013). Salah satu cara mencari solusi agar herbisida yang
digunakan aman dan ramah, yaitu pemanfaatan bahan alami yang dapat digunakan sebagai
bioherbisida mudah terdegradasi dalam tanah sehingga tidak meninggalkan residu. Maka dari
itu perlu adanya penelitian yang dapat dijadikan alternatif dalam penggunaan herbisida
denganmemanfaatkan mekanisme alelopati dari suatu tumbuhan.
Salah satu tumbuhan yang bisa dimanfaatkan adalah golongan rimpang-rimpangan,
yaitu rimpang temulawak. Temulawak berpotensi dalam menghambat perkecambahan karena
kandungan fenol berupa kurkumin sebagai antioksidan. Hal ini dikarenakan pemberian
senyawa antioksidan terlalu tinggi dapat menghambat perkecambahan yang juga
menyebabkan senyawa antioksidan berubah menjadi senyawa prooksidan (Halimusyadah dan

147
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Muniarti 2008). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan
tujuan untuk mengetahui komponen aktif temulawak secara uji fitokimia dan untuk
mengetahui aktivitas ekstrak temulawak sebagai zat aktif inhibitor perkecambahan.

BAHAN DAN METODE

Alat-alat yang digunakan antara lain gelas piala, rotavapor, tabung reaksi, pipet mohr,
cawan petri, pinset, pipet tetes, gelas arloji, corong dan botol semprot.
Bahan yang digunakan, yaitu biji selada, simplisia temulawak, pelarut etanol, metanol,
petroleum eter, asam klorida, kalium dihidrogen fosfat, natrium hidrofosfat, kloroform,
pereaksi mayer, dragendroff, liebermen buchard, wagner, besi (III) klorida, amonia, amil
alkohol.
Ekstraksi simplisia. Simplisia temulawak diekstraksi secara maserasi dengan
menggunakan pelarut etanol dan metanol. Ekstrak kasar yang dihasilkan kemudian dipekatkan
dengan rotavapor menghasilkan ekstrak pekat siap untuk diuji fitokimia.
Uji Fitokimia (Harborne 1987). Ekstrak etanol dan metanol temulawakdilakukan uji
fitokimia meliputi uji flavonoid, alkaloid, triterpenoid, tanin dan saponin. Kemudian kedua
ekstrak tersebut dilakukan uji inhibitor perkecambahan terhadap biji selada.
Uji Inhibitor Perkecambahan. Kertas saring disiapkan pada cawan petri kemudian
dipipet 1 mL ekstrak etanol temulawak, ekstrak metanol temulawak 1000 ppm dimasukkan ke
dalam cawan petri. Kertas saring kemudian dibasahi dengan air. Biji selada air diletakkan di
dalam cawan petri. Kemudian cawan petri diinkubasi dengan suhu 370 C. Pengamatan
dilakukan selama 5 hari dengan melihat perkecambahan dan mengukur tinggi benih yang
berkecambah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ekstraksi temulawak secara maserasi dengan pelarut etanol dan metanol,
dihasilkan rendemen berturut-turut 78,14% dan 62,92%. Sedangkan hasil bobot jenis ekstrak
etanol sebesar 0,976 g/mL dan ekstrak metanol sebesar 0,787 g/mL. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pengaruh ekstrak etanol temulawak dan metanol
temulawakterhadap perkecambahan benih selada air (Lactuca sativa)dan bayam (Amaranthus
sp) pada konsentrasi tertentu. Sebelum dilakukan uji daya hambat perkecambahan ekstrak
tersebut, dilakukan uji fitokimia terhadap ekstrak untuk mengetahui komponen aktif dalam
ekstrak temulawak.

148
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Skrining fitokimia ekstrak temulawak bermanfaat untuk mengetahui secara kualitatif


kandungan senyawa-senyawa kimia aktif golongan flavonoid, alkaloid, triterpenoid, steroid,
tanin dan saponin didalamnya sebagai senyawa hasil metabolit sekunder. Hasil uji fitokimia
ekstrak temulawak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil uji fitokimia temulawak
Parameter uji Hasil uji Keterangan

Flavonoid Positif Terbentuk warna kuning

Alkaloid Positif Terbentuk warna coklat/jingga

Tanin Negatif -

Triterpenoid Positif Terbentuk warna kuning pekat


kecoklatan

Saponin Negatif -

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa temulawak positif mengandung flavonoid, alkaloid
dan triterpenoid. Ekstrak temulawak biasanya diuji aktivitas sebagai antioksidan. Kandungan
triterpenoid yang merupakan golongan terpenoid pada temulawak diduga bisa dimanfaatkan
sebagai alelopati. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada ekstrak
temulawak mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan
gulma yang dapat menganggu pertumbuhan produksi tanaman utama.
Pengujian daya hambat perkecambahan terhadap benihLactuca sativadan Amaranthus
sp dilakukan setelah melakukan uji daya perkecambahan kedua benih. Hasil daya
perkecambahan kedua benih ≥ 90% artinya benih tersebut berkualitas baik untuk
perkecambahan. Benih dikatakan baik dan dapat digunakan adalah ketika daya
perkecambahannya ≥ 90% (Suyatmi dkk 2003).
Hasil uji aktivitas inhibitor perkecambahan ekstrak etanol dan metanol terhadap benih
Lactuca sativadan Amaranthus sp bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil uji aktivitas inhibitor perkecambahan ekstrak etanol dan metanol temulawak
Benih Perlakuan % Daya Perkecambahan Hari Ke-
1 2 3 4 5
Lactuca sativa Kontrol 100 100 100 100 100
Ekstrak Etanol 50 90 90 90 90
Ekstrak Metanol 60 60 60 60 100
Amaranthus sp Kontrol 0 0 50 50 50
Ekstrak Etanol 0 0 40 40 40

149
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ekstrak Metanol 0 0 50 50 50

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase daya perkecambahan benih selada air
dari aktivitas ekstrak etanol dan metanol temulawak masih besar. Namun dibandingkan
dengan kontrol masih relatif lebih rendah. Walaupun persentase daya perkecambahan nilainya
masih besar, tetapi bisa dikatakan bahwa ekstrak etanol dan metanol temulawak mempunyai
potensi aktivitas inhibitor perkecambahan dengan sifat post emergence. Hal ini dilihat dari
pengamatan setiap harinya bahwa daya berkecambah benih relatif stabil dan laju
pertumbuhannya relatif rendah dengan ditunjukkan oleh hasil pengukuran tinggi kecambah
tidak bertambah secara signifikan.
Benih bayam selama 5 hari pengamatan masih mempunyai persentase daya
berkecambah, walaupun tidak terjadi dari hari pertama. Persentase daya perkecambahan benih
bayam relatif lebih kecil dibanding dengan benih selada air. Kemudian persentase daya
berkecambah benih bayam relatif stabil laju pertumbuhannya. Hal ini ditunjukkan dari hasil
persentase daya berkecambah yang stabil dan laju pertumbuhan tinggi tanaman tetap. Maka
dari itu ekstrak etanol dan metanol temulawak berpotensi sebagai zat aktivitas inhibitor
perkecambahan dengan sifat post emergence.
Ekstrak etanol dan metanol temulawak jika dibandingkan diantara keduanya, aktivitas
daya inhibitor perkecambahannya tidak berbeda secara signifikan. Proses yang terjadi pada
benih selada air dan bayam adalah terhambatnya prosesperkecambahan karena adanya
senyawa alelopat yang terkandung dalam ekstrak temulawak.Pada konsentrasi tertentu
senyawa alelopati dapat menghambat dan mengurangi hasilpada proses-proses utama
tumbuhan. Hambatan tersebut misalnya terjadi padapembentukanasam nukleat, protein, dan
ATP. Jumlah ATP yang berkurang dapat menekan hampir seluruhproses metabolisme sel,
sehingga sintesis zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tumbuhan punakan berkurang (Rice, 1984;
Salisbury & Ross, 1992).Masuknya senyawa alelopat bersamaair ke dalam biji akan
menghambat induksi hormon pertumbuhan seperti giberelin dan auksin (Yuliani, 2000).
Dengan dihambatnya sintesis giberelin maka tidakakan terjadi pemacuan enzim α-amilase,
akibatnya proses hidrolisis pati menjadi glukosa didalam endosperma atau kotiledon
berkurang. Berkurangnya komponen makromolekulmengakibatkan terhambatnya sintesis
protein yang juga akan berakibat pada terhambatnyasintesis protoplasma (Yuliani, 2000).
Oleh karena itu proses pembelahan dan pemanjangansel terhambat, yang berakibat pada
terhambatnya proses perkecambahan dan pertumbuhan.

150
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol dan metanol
temulawak berpotensi sebagai zat aktif inhibitor perkecambahan pada benih Lactuca sativa
dan Amaranthus spdengan sifat post emergence. Namun perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan berbagai konsentrasi ekstrak dan diaplikasikan ke tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Halimusyadah, Muniarti. 2008. Pengaruh pemberian senyawa antioksidan sebelum simpan


terhadap umur simpan benih kapas (Gossypum birsulum L). Jurnal Floratek. 3:1-9
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung.
Murtini I, Fatonah S, Isda MN. 2013. Potensi alelopati ekstrak daun Pueraria javanica
terhadap perkecambahan dan pertumbuhan anakan gulma Barreria alata (Aublet) DC.
Jurnal Sains. 3:1-9
Pranasari RA, Nurhidayati T, Purwani KI. 2012. Persaingan tanaman jagung (Zea Mays) dan
rumput teki (Cyperus rotundus) pada pengaruh cekaman garam (NaCl). Jurnal Sains
dan Seni. I (1)
Rice, E. L. 1984. Allelopathy. Academic Press, Inc. London.
Salisbury, F. B. & Ross, C. W. 1992. Plant Physiology. Wardsworth Publishing Company.
California.
Yuliani. 2000. “Pengaruh Alelopati Kamboja (Plumeria acuminata W. T. Ait.) Terhadap
Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan Kecambah Celosia argentea L.”. CHIMERA,
Jurnal Biologi dan Pengajarannya. Universitas Negeri Malang. Malang.

151
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Identifying Potential Areas For Agriculture In


Semarang By Using Gis Technology

Edi Wiraguna1*, Andhi Pratama Putra2


1
*Associate Bachelor of Bogor Agricultural University
Bogor, Indonesia
2
National Land Affairs Agency
Mataram, Indonesia
1*
Corresponded author: ediwiraguna@gmail.com

ABSTRACT
Semarang is a capital of Central Java province which is one of important trading cities in Indonesia. Semarang
plays a key role in Indonesian economy in particular in Central Java province because many agricultural and
manufactured products were loaded, unloaded and checked in Semarang before sending to other destinations in
Central Java or province in Indonesia. However, the population in Semarang is growing and the need of food is
increasing as the population continue growing up since last decades. Therefore, it is necessary to find a
potential places to grow crops that can support their needs. GIS (geographic information system) is a useful
system that can locate the potential places. As a result, this mapping technology could offer a solution to
growing population in Central Java. In this project, GIS was used as a tool to identify potential places in
Semarang. Available information on farmer population, location of roads, rivers, buildings, slope and available
lands were used as data resources in GIS software, mainly ArcGIS (version 10). The data were resourced from
local government. Several steps were conducted on this project. First, the number of farmers in all districts was
compared and two potential districts were chosen based on this comparison. Second, the length of rivers and
cultivated and uncultivated land were compared to find the most potential district. Lastly, the amount of
uncultivated land was measured and tested based on distance from river, road, and residence or buildings and
slope in a chosen district (Mijen). In conclusion, there was adequate amount of potential land in Mijen,
Semarang at about 287.8 hectares, however, there was a need to build an irrigation system in the middle and
road at north of Mijen to facilitate water supply and transport for new designated agricultural areas. These
results suggest that Mijen is capable to produce almost 1,500 tonnes corn per season.

Keywords : Semarang, GIS, and potential land

Introduction

Lack of food and malnutrition are common problem in many cities in developing
countries such as Indonesia. The United Nations and Indonesian government attempt to
overcome this problem by bringing it into their major projects and regulations. The regulation
is written No. 12, 2012 and at presidential instruction No. 17, 2015 concentrated on food
security. Therefore, agriculture plays a key role to tackle food security problem.

However, in Indonesia, the problem of food scarcity such as grain cereals is solved by
importing cereals from other countries. For example, in early 2013, Indonesia spent almost
US$ 69.4 million or about 20% of total expenditure to import grain cereals such as rice, corn
and soy beans (Indonesian Bureau Statistics, 2013). This expenditure was considered large

152
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

because it represented one of ten major expenses in Indonesia. Moreover, suitable land for
planting crops is decreasing because of growing number of factories and industrial plans.
Semarang citizens, for example, cannot grow crops near the sea because of the accumulation
of heavy metal (Takarina et al., 2004). As such, the local government in some cities such as
Semarang released a new law related to urban planning to find a suitable land for agriculture.

In this study, Semarang was chosen in order to find a suitable land for agriculture
because it is a capital of Central Java province which is one of important trading cities in
Indonesia. This is because many factory products are unloaded and checked in Semarang
before sending to other places in Central Java. Moreover, the population density was quite
high in the city centre at about 4.3 people per km2 compared to non-city centre which was
only 1 person per km2 (Indonesian Bureau Statistics, 2015). This means that there are some
open areas outside city centre which can be used to grow crops and hence support Semarang
residents from food production and employment perspectives.

Furthermore, because of increasing population of Semarang city about 30,000 people


between 2010 and 2011, Semarang might need places to grow their crops to meet their own
food needs (Indonesian Bureau Statistics, 2013). Moreover, most of Semarang citizens are not
working as farmers so the areas of growing crops are likely to be outside city centre and this
requires adequate transport system for agricultural products be transported to the city. This
decision was also proposed in local government law that the government encouraged local
people to cultivate unused land and decided not to build new residential buildings in farming
areas (Semarang Government, 2013)

The objective of this research was to find a potential district which could support
agricultural production for Semarang using GIS (Geographic Information System)
technology. Firstly, this study has examined some district in Semarang to find possible
location that is suitable for growing crops by number of the farmers. Secondly, some potential
places were compared to find which one was more suitable because some areas were not
suitable because of residential issues, pollution and salinity in northern territory (Rahmawati
et al., 2013). Finally, the most possible location in a district was found to suggest Semarang
gvernment.

153
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Materials and Methods

1. Geographical setting

The area of study was Semarang, capital of Central Java province, which is situated about
432 km from Jakarta, capital of Indonesia. This city is located in northern part of Java island
between 7003’ – 7030’ South Latitude and 1100 14’ – 1100 39’ East Longitude (Figure 1). The
northern territory is lowland which is closed to the sea and most of people work as fishermen.
Meanwhile, the southern territory is hilly area because of some mountains in south of
Semarang.

Semarang is the largest city in Central Java province. Many people prefer living in
Semarang because of its better economic growth and educational institutions (Indonesian
Bureau Statistics, 2013). Semarang also supports the growth of regional surrounding districts
(Figure 2). This means that people living in district area may have higher job opportunities
than before because some factories have been built. Moreover, some educational institutions
were established in Semarang and this attracted people to stay. Therefore, the population of
Semarang has been increased in recent years.

Figure 1. National location of Semarang

154
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Figure 2. Districts in Semarang

2. Materials

Data materials were taken from Semarang government. These data were divided into
sixteen groups based on district in Semarang. Afterwards, the data were compared from one
district to others and evaluated which one was the most suitable possible place for agriculture
by using GIS. Based on literature, the measured variables of suitable land were not only the
type of soil but also land use, roads, water bodies, population density, distance from centre of
the city, geodetic height, and slope (Gong et al., 2012). However, because of the limitation of
data that had been taken from local government, land suitability for agriculture was divided
into six variables. The variables were as follows:

 The number of farmers (employment)


Data were sourced from number of farmers in all districts which were compared
among sixteen districts.
 River
Length of river was measured to find the availability of water resources because there
was not data available for rainfall.
 Roads
The roads were divided into main and secondary roads. This was an important factor
because the farmers must have access to all roads to transport their crops into the
market.
 Houses and buildings
The location of houses was identified so the location of available land must not be far
from the residents. This means that farmers did not have to spend more money for
transportation from their houses to farm land. Moreover, the location of other
buildings was identified to evaluate that there was not any buildings near the available
land.
 Land available
The available land was found to be either bush land or unused land in a chosen district.
 Slope
Potential places were determined in the lower slope. The slope was classified into five
classes from slope 0 % to greater than 40%.

3. Variables and Processes

155
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Before calculating and analyzing, the environment on GIS tool needed to be projected to
Semarang coordinate system. The projected coordinate system was WGS_1984_UTM_
Zone_49S which meant that this was using projection UTM (Universal Transfer Mencator)
and the location was 490 in southern hemisphere. This coordinate system could be found on
defined projection in ArcToolbox. This had to set before starting ArcGIS. After that, the
environment in geoprocessing bar had to be set to WGS_1984_UTM_ Zone_49S. If this
coordinate was not set, the calculation and measurement would not be processed on ArcGIS.

a. Determining potential district for agriculture


There are many aspects should be considered to find new potential places. In this
study, the number of farmers as an employment factor and farming areas which had
been used were primary variables to determine the potential districts.
i. Comparing the number of farmers in sixteen districts
First of all, the farmer data set was only available in Excel format. The Excel
format had to be changed to shapefile (shp format) in order to analyze using
ArcMap (GIS software). Secondly, the unique character of each file was
identified in each district. This information was important because new data could
be placed on the right place. Thirdly, joining the number of farmers on existing
data based on unique identities so the new data (farmers) and existing data had to
be matched. Finally, the number of farmers was shown in graduating colour in
order to visualize the different number of farmers in each district (Figure 3). The
graduating colours represented the number of farmers.

Figure 3. The number of farmers in Semarang (16 districts)

156
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ii. Comparing two potential places


Based on the employment or number of farmers (Figure 3), it showed that two places were
potential to be farming areas (Mijen and Tugu districs). However, further analysis was still
needed to examine the best place to apply agricultural practices. These two districts were
compared for the length of river and the amount of farming area that had been used. The
explanation was as follows:

a) Comparing between Mijen and Tugu districts for length of river


The length of river was important because it was related to water availability. These
two places were compared which one was the most water suitable for farm land. The first step
had purpose to show the two layers which represented Mijen and Tugu district in vector
(polygon). Afterwards, the river data (shp file) overlaid on each district (Figure 4). Finally,
the total length of river was compared between two districts.

Figure 4. Length of river

b) Comparing the amount of agricultural land


Identifying the available land would be much easier if there was an agricultural land
which was cultivated or uncultivated. This decision was related to Tobler’s First Law of
Geography (Tobler, 1970). He noted “nearby things are more similar than distant things”
which meant that if the amount of potential and cultivated land in one district was higher than
others, this district had the highest potential. In Semarang, the cultivated lands were divided
into rice field, crop field (i.e. corn and cassava), plantation and fruits, and the uncultivated
land was classified as bush field. The calculation was done on the attribute of cultivated and
uncultivated land, and then this result was calculated using geometry calculation on ArcGIS.
Afterwards, the comparison between the amount of these lands between Mijen and Tugu

157
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

district were gathered (Figure 5). Figure 5 was produced by overlaying the polygon which
contained cultivated and uncultivated areas on base polygon which had the place for Mijen
and Tugu districts.

Figure 5. The number of cultivated and uncultivated areas in Tugu and Mijen districts.

iii. Examining the chosen district and determining the potential place.
The chosen district was Mijen and it had higher and more adequate resources for crop
production. As such, the determining of potential place for agriculture practices was held in
this district based on slope and the distance from the houses, roads and rivers. This decision
was applied because the place would be suitable and strategic location for agriculture
techniques if the place had less sloping areas and was closed to water resources and roads
(Heumann et al., 2011). The house, road, river and slope variables were explained as follows:
a) The distance of potential land from houses
The agricultural practices were located in area where there were no houses nearby the
practices. From previous research, the houses should be built as far as 100 metres from river
(Yavanica, 2009). Therefore, the distance between houses and agricultural practices was 100
metres. Buffer tool was used on ArcGIS to determine that the agricultural practices would be
conducted at least 100 metres from residents (Figure 6.a). Afterwards, the amount of areas
which was covered by radius 100 metres from houses were excluded by using Erase function
in ArcToolbox (Figure 6.b).

158
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

(b)

a b

Figure 6. Mijen district. a) buffer of housing, b) the potential land for agricultural purpose

b) Slope
Slope is an important point to determine location for agricultural practices because
steep landscape might have severe impacts on erosion. Some classification presented that
slope less than 20% is classified as moderate and water erosion rating was mostly varied from
low to moderate in slope 20% (Wells and Australia, 1988). Therefore, slope less than 15%
was used to minimize the effect of erosion. Map Algebra was used to identify and calculate
the amount of potential land which had less sloping areas. This method was carried out in
some steps. First, potential land vector was laid on slope vector and transformed to rasters.
Second, potential places which had slope higher than 15% was excluded to find the potential
places by using raster calculator. After identifying the potential places, rasters was converted
back to polygon so the amount of potential areas could be measured (Figure 7).

Figure 7. Potential areas which have slopes less than 15%

c) The distance of potential land from river

159
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Water is important factor for agriculture. For example, corn production needed
approximately six million litres per hectare (Pimentel et al., 1997). As a consequence, the
large amount of water was needed for this potential land. One resource of water was a river
and the distance between potential land and river was measured because water from river was
needed by crops to grow (Heumann et al., 2011). The nearest distance between river and
potential land was measured by using proximity near between vectors on ArcGIS. Some
places were identified that irrigation systems were needed to be built because these places
were located more than 300 metres from rivers (Figure 8).

Figure 8. Potential places that need irrigation systems in Mijen Districts

d) The distance of potential land from road


Low level of infrastructure such as road could have a negative impact on agriculture
production because agricultural practices might not be applied well (Yang and Fan, 2011).
Moreover, this was likely to have a drawback impact on yield because some yield production
such as grain and vegetables could not be stored for long period after harvesting (Murphy et
al., 1970). Therefore, this study attempted to see the distance between potential area and road
for transportation purposes (Figure 9).

Figure 9. Potential places that need better access systems in Mijen district

160
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Results

The number of farmers or labours was important factor for this study because the
labour availability was needed to support the agricultural practices. Labours played a key role
because they carried out many agricultural practices such as fertilizer application, irrigation
and harvesting (Gezer et al., 2003). In Semarang, there were sixteen districts and the number
of labours was counted in each district (Table 1). The two highest percentages of farmers
were counted for 28.4% (6698 farmers) and 17.9% (4224 farmers) in Mijen and Tugu districts
respectively. As a consequence, further comparison between these districts was carried out to
find the most suitable places.

Table 1. The number of farmers in Semarang

Number of lab ours in Farmer


No Districts farming (person) percentage (%)

1 Banyumanik 0 0

2 Candisari 0 0

3 Gajah Mungkur 0 0

4 Gayamsari 29 0

5 Genuk 2930 12.4

6 Gunungpati 4016 17.0

7 Mijen 6698 28.4

8 Ngaliyan 2719 11.5

9 Pedurungan 2884 12.2

10 Semarang Barat 119 0.5

11 Semarang Selatan 3 0.0

12 Semarang Tengah 0 0.0

13 Semarang Timur 0 0.0

14 Semarang Utara 0 0.0

15 Tembalang 0 0.0

16 Tugu 4224 17.9

161
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

The amount of agricultural land and length of rivers were compared between Mijen
and Tugu districts. First, the amount of agricultural land could represent the fertility of soil
because the type of soil was not available for this analysis. This decision accorded to Tobler’s
First Law of Geography which meant that the environment nearby are more similar than
further environment (Tobler, 1970). The result showed that the number of agricultural land
were much higher in Mijen district than its counterpart (Table 2). This meant that land in
Mijen districts were more fertile than Tugu district. Second, many agricultural practices were
counted on river as water resources. For example, in Spain, many agricultural practices
depend on The Guardian Great River to irrigate corn, sugar beet and alfalfa (Sanz, 1999).
Therefore, the length of river was recorded and compared between Mijen and Tugu districts.
The result showed that Mijen district was much higher than its counterpart, not only the
number of agricultural land but also the length of river (Table 2). Therefore, agricultural
practices were suitable to apply in Mijen districts than others.

Table 2. Comparison between Mijen and Tugu districts

Agricultural land Length of river


No District
(ha) (km)

1 Mijen 2863.2 244.9

2 Tugu 795.3 175.0

Mijen district was therefore chosen as a potential place for agricultural practices.
Further analysis was applied to find potential places for agriculture. The analysis consisted of
four variables which were slope and distance from potential places to houses, river and road.
These variables were chosen because roads, slope and rivers were used as field data in model
to find suitable places for crops (Heumann et al., 2011). Moreover, the distance between
agricultural practices and houses needed to be at least 100 metres because agricultural
practices might contaminate rivers and groundwater (Yavanica, 2009). This is because many
Indonesian depend on wells as a resource for their drinking water (Yavanica, 2009).
Furthermore, slope, which was less than 15%, was used to identify potential land due to
erosion and run-off effects (Wells and Australia, 1988). After calculation, a total potential
area which could be used for agriculture was about 287.8 hectares. These areas mostly were
suitable for agriculture because they were located nearby rivers and roads. However, some
areas in the middle and north district needed more infrastructure such as irrigation or roads
because the location was far from river and roads.

162
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Discussion

The chosen area for agricultural purposes in Semarang was Mijen district. This place
was derived by using ArcGIS program to find a suitable location which was still available and
the location was close to river and roads. Based on calculation results, the amount of land that
could be used be used for agriculture in Mijendistrict were 287.8 hectares and spread from
almost middle to northern of the district. However, some places needed to build infrastructure
such as irrigation and roads to support the agricultural practices.

Firstly, some areas in the middle of Mijen district needed irrigation to support crops
grow because they were located between 400 and 600 metres from the nearest river.
Locations, which needed irrigation, were in the middle of Mijen District (Figure 10) and the
size of areas was almost 85 hectares. The irrigation system was likely to be built soon because
it is an important factor in agriculture. According to Heumann et al. (2011), many local
people in Thailand would prefer to build their farmland nearby river because water was more
available than far from river. Moreover, irrigation system might be built on the higher land
and needed to be combined with rained catchment system so it might avoid water scarcity in
dry season (Pérez et al., 2011).

Secondly, transport systems such as road were needed to be established in north-west


Mijen district because about 5 hectares were located at about 500 metres from the nearest road
access. If the government supports the agricultural practices in these areas, they would need to
build a permanent or semi-permanent road because some crops could not be kept for a long
time in storage (Murphy et al., 1970). Many types of roads might be applied on agricultural
practices such as tracks, paths, earth road, and gravel road but each type of roads should meet
some criteria such as frequency of truck on the road because the maintenance of roads is quite
expensive (Crossley, 1998).

Conclusion

163
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Semarang is one of important cities in Indonesia and the number of people is


increasing every year because of manufacturing and trading purposes. However, some
districts which are located far from city centre have potential to be used as farming areas.
These places may support food production for Semarang citizens. The products from this
place probably are cheaper compared to products from outside Semarang because the low cost
of transportation. Therefore, identifying a potential place for agriculture in Semarang is
important.

ArgGIS software was used to find potential places by examining the number of
farmers, length of rivers, slope and distance of potential areas from houses, rivers and roads.
The criteria of potential land were 100 metres from residents to uncultivated area (bush field).
The results showed that Mijen district had the highest potential for agriculture than other
districts. However, some potential places were likely needed to build some infrastructure such
as irrigation and roads. The amount of potential areas which needed this support was almost
90 hectares in seven locations spread from middle to north Mijen.

The process on ArcGIS was done by six variables. It is recommended that more
variables are needed to find the best places for agriculture. For example, these variables can
be rainfall, and type of soil. Therefore, future research is needed to find potential places for
agriculture in Semarang by including more variables.

REFERENCES

Crossley, P. 1998. An expert system for the prediction of total vehicle and road operating
costs in developing countries. Computers and Electronics in Agriculture, 21, 169-180.

Gezer, I., Acaroǧlu, M. & Haciseferoǧullari, H. 2003. Use of energy and labour in apricot
agriculture in Turkey. Biomass and Bioenergy, 24, 215-219.

Gong, J., Liu, Y. & Chen, W. 2012. Land suitability evaluation for development using a
matter-element model: A case study in Zengcheng, Guangzhou, China. Land Use
Policy, 29, 464-472.

Heumann, B. W., Walsh, S. J. & Mcdaniel, P. M. 2011. Assessing the application of a


geographic presence-only model for land suitability mapping. Ecological informatics,
6, 257-269.

Indonesian Bureu Statistics. 2013. Badan Pusta Statistik Provinsi Jawa Tengah. Available
from :
<http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=section&id=15&Itemi
d=87>. [15 October 2013]

164
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Murphy, S., Sayar, S. N. & Gardner, F. H. 1970. Storage of platelet concentrates at 22 C.


Blood, 35, 549-557.

Pérez, A. J., Abrahão, R., Causapé, J., Cirpka, O. A. & Bürger, C. M. 2011. Simulating the
transition of a semi-arid rainfed catchment towards irrigation agriculture. Journal of
Hydrology, 409, 663-681.

Pimentel, D., Houser, J., Preiss, E., White, O., Fang, H., Mesnick, L., Barsky, T., Tariche, S.,
Schreck, J. & Alpert, S. 1997. Water resources: agriculture, the environment, and
society. BioScience, 47, 97-106.

Rahmawati, N., Vuillaume, J.-F. & Purnama, I. L. S. 2013. Salt intrusion in Coastal and
Lowland areas of Semarang City. Journal of Hydrology, 494, 146-159.

Sanz, G. L. 1999. Irrigated agriculture in the Guadiana River high basin (Castilla-La Mancha,
Spain): environmental and socioeconomic impacts. Agricultural Water Management,
40, 171-181.

Semarang Government. 2013. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011.
Available from :
<http://ciptakarya.pu.go.id/pbl/doc/perdartrw/perda142011kotasemarang .pdf>. [15
October 2013]

Takarina, N. D., Browne, D. R. & Risk, M. J. 2004. Speciation of heavy metals in coastal
sediments of Semarang, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, 49, 861-868.

Tobler, W. R. 1970. A computer movie simulating urban growth in the Detroit region.
Economic geography, 46, 234-240.

Wells, M. & Australia, W. 1988. A Method of Assessing Water Erosion Risk in Land
Capability Studies-Swan Coastal Plains and Darling Range, Western Australian
Department of Agriculture, Division of Resource Management.

Yang, Y. & Fan, Y. 2011. Gray Connection Analysis on Grain Yield and Agricultural
Fundamental Infrastructure. Journal of Northeast Agricultural University (English
Edition), 18, 88-91.

Yavanica, E. 2009. Analisis nilai kerusakan lingkungan dan kesediaan membayar masyarakat
terhadap program perbaikan lingkungan kasus pemukiman Bantaran sungai Ciliwung.

165
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

OPTIMASI KONDISI OPERASI PROSES DEGRADASI BAHAN PEWARNA


PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERCETAKAN DENGAN
VARIABEL KOAGULAN DAN LAJU ALIR UMPAN FILTER TUBE

Bambang Sugiarto, Putri Restu Dewati, Andri Perdana


Program Studi D3 Teknik Kimia, FT Industri, UPN”Veteran” Yogyakarta
Kampus Unit II : Jl. BabarsariI No 2, Tambakbayan, Yogyakarta 55281,
Email : bgiartokd@gmail.com

ABSTRAK

Limbah dari kegiatan industri sering menjadi masalah bagi lingkungan. Limbah dari industri
percetakkan yaitu berupa limbah cair yang merupakan oksida logam, mengandung berbagai komponen
logam maupun warna, dan berbahaya bagi lingkungan. Komponen berbahaya yang terkandung dalam
limbah cair percetakkan antara lain bahan minyak, bahan warna, kadar BOD, COD, TDS, Timbal, dan lain
sebagainya. Penelitian ini dilakukan untuk mengurangi gradasi bahan pewarna dan komposisi kandungan
limbah cair industri percetakan, sehingga dapat diterima oleh lingkungan. Dalam penelitian ini, batasan
analisis yang dilakukan adalah TDS, pH, Suhu dan pemisahan warna. Untuk memisahkan limbah dilakukan
dengan proses kimia dengan penambahan koagulan / flokulan dalam proses flokulasi dan proses fisika yaitu
dengan metode filter kolom. Pada proses kimia, optimasi penggunaan koagulan/flokulan dilakukan dengan
metode jar test dengan tiga variasi koagulan/flokulan ( Tawas, PAC dan TCCA ) dengan lima variasi
konsentrasi yaitu : 3gr/L, 4 gr/L, 5gr/L, 6gr/L, 7gr/L, dan 8gr/L .Sampel limbah adalah air cucian plat alat
percetakan yang kental dan sangat pekat, sehingga dilakukan pengenceran 1 : 50 sebelum melakukan
penelitian. Setiap uji proses flokulasi dan koagulasi dilakukan dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan
kondisi optimum dari jenis dan konsentrasi kadar koagulan / flokulan yang digunakan.Hasil percobaan
dengan metode jar testmenunjukkan bahwa jenis koagulan yang optimum digunakan adalah Tawas
dengan kadar penggunaan 3 gram / L pada pH 5, suhu 29’C dan besar TDS adalah 1330 pH 5,5. Kemudian,
hasil ini dilakukan uji pada unit flokulasi dengan volume tanki 50 L dengan dua variabel konsentrasi
flokulan yaitu 150 gram, selama 24 jam diperoleh TDS filtrat flokulator 1230 ppm, tube filter 1160 ppm
dan Sand filter 962 ppm. Dan effluent produk gravity sand filter mempunyai karakteristik pH : 5, BOD :
27,7; COD : 64,2 dan TSS : 9 sehingga sudah layak dibuang ke badan lingkungan
Kata kunci : limbah, koagulan tawas,tube filter, sand filter

PENDAHULUAN
Limbah merupakan hasil dari suatu kegiatan proses produksi yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun (B3) karena memiliki sifat toxicity, flammability, reactivity,
dan corrosivity serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemari lingkungan, dan membahayakan bagi kesehatan
manusia.
Salah satu contoh industri yaitu industri percetakkan yang menghasilkan limbah
yaitu berupa limbah cair. Masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah
cair industri percetakan merupakan dampak negatif dari berkembangnya sektor industri.
Limbah cair industri percetakan merupakan salah satu limbah yang sulit terurai di
lingkungan sehingga memerlukan penanganan khusus.
Bahan pencemar yang berasal dari industri percetakan dapat meresap ke dalam
tanah dan berpengaruh terhadap air dalam tanah tersebut. Hal ini akan mempengaruhi
kegunaan air tanah karena adanya racun yang disebabkan oleh limbah cair tersebut.

166
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sehingga kandungan air limbah yang dibuang harus diperhatikan agar sesuai dengan baku
mutu air limbah dan tidak mencemari lingkungan. Baku Mutu Air Limbah merupakan
kondisi standar atau kadar dari limbah yang dihasilkan sehingga aman untuk dibuang ke
lingkungan.
Beberapa komponen berbahaya yang terdapat pada limbah cair industri percetakan
antara lain seperti bahan minyak, kadar BOD, COD, TSS, beberapa logam seperti
Timbal,Cadmium, Selenium, dan lain sebagainya serta zat warna yang mempunyai efek
kumulatif terhadap rantai makanan. Parameter utama yang ditinjau pada penelitian ini
adalah bahan minyak dan warna serta kadar BOD dan COD karena kadarnya yang
melebihi angka baku mutu air limbah serta merupakan bahan yang berbahaya ketika
dibuang langsung ke lingkungan sehingga perlu diturunkan melalui beberapa metode
pengolahan.
Menurut Said NI (1999), ditinjau dari segi kesehatan secara umum bahaya yang
berhubungan dengan pencemaran air dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bahaya
langsung dan bahaya tidak langsung. Oleh karena itu, air limbah harus diolah terlebih
dahulu sebelum dibuang ke lingkungan.
Tujuan pengolahan air limbah yaitu:
1. Memenuhi persyaratan kualitas effluent
2. Mencegah bau dan estetika di lokasi pengolahan limbah
3. Mencegah penurunan kualitas badan air penerima agar dapat melestarikan kehidupan
akuatik
4. Mencegah terkontaminasinya air bersih oleh kontaminan fisik, kimia, dan biologis.
5. Melindungi penyebaran penyakit melalui air (mengurangi mikroorganisme patogen)
6. Penghilangan bahan-bahan tersuspensi dan mengapung
Menurut Kristanto (2002), pengolahan limbah air dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
pengolahan menurut tingkat perlakuan dan pengolahan menurut karakteristik limbah.
Berdasarkan karakteristik limbah, proses pengolahan dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu proses fisik, kimia, dan biologi. Proses ini tidak dapat berjalan secara sendiri-
sendiri, tetapi kadang-kadang harus dilaksanakan secara kombinatif. Penerapan masing-
masing metode tergantung pada kualitas air baku dan kondisi fasilitas yang tersedia.
Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan limbah cair percetakkan secara proses
fisika dan kimia. Prinsip kerjanya adalah memisahkan bahan padat dan bahan cair pada
limbah cair percetakkan sehingga akan diperoleh cake dan cairan dari limbah cair
percetakkan. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah menurunkan nilai BOD, COD dan
TDS sehingga limbah cair percetakkan yang telah diproses dapat dibuang dan diterima

167
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

lingkungan tanpa mencemari lingkungan. Proses fisika meliputi filtrasi dan mixing,
sedangkan proses kimia meliputi proses dekantasi, koagulasi, dan flokulasi.
Filtrasi adalah pembersihan partikel padat dari suatu fluida dengan melewatkannya
pada medium penyaringan yang di atasnya padatan akan terendapkan.
Pemilihan media filter ini didasarkan atas kemampuan untuk memisahkan padatan,
memiliki kekuatan, inert terhadap bahan kimia dan juga dari segi ekonominya.
Untuk mengurangi tegangan permukaan antara minyak dan air diperlukan
surfaktan dengan cara adsorpsi pada antar muka cair-cair (Sukriya, 2011). Menurut Perkins
(1998), istilahsurfaktan berasal dari kata surfaceactive agent (permukaan agen aktif).
Karena sifatnya yang menurunkan tegangan permukaan, surfaktan dapat digunakan sebagai
bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsion agent) dan sebagai bahan
pelarut (solubilizing agent).
Air limbah pada umumnya mengandung padatan tersuspensi, partikel koloid
(berukuran < 1 mikron), bahan terlarut (berukuran < nanometer). Proses pengolahan air
limbah dapat dilakukan dengan menambahan bahan kimia pada air limbah. Proses ini
dinamakan proses koagulasi-flokulasi. Padatan-padatan dalam air pada umumnya
bermuatan negatif dan padatan-padatan tersebut sangat sulit dipisahkan secara fisik
(sedimentasi dan filtrasi dengan media padat) dan dapat dilakukan melalui proses
koagulasi-flokulasi.
Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan koloid padatan
tersuspensi termasuk bakteri dan virus, dengan suatu koagulan. sehingga akan terbentuk
flok-flok halus yang dapat diendapkan, proses pengikatan partikel koloid. Pengadukan
cepat (flash mixing) merupakan bagian integral dari proses koagulasi.
Flokulasi merupakan suatu peristiwa penggabungan partikel-partikel yang telah
mengalami proses destabilisasi (koagulasi) dengan penambahan bahan kimia (flokulan)
sehingga terbentuk partikel dengan ukuran lebih besar (macrofloc) yang mudah untuk
diendapkan.
Pengadukan pada proses koagulasi dan flokulasi merupakan pemberian energi agar
terjadi tumbukan antar partikel tersuspensi dan koloid agar terbentuk gumpalan (flok)
sehingga dapat dipisahkan melalui proses pengendapan dan penyaringan dan untuk
mempercepat dan menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah. Dalam
proses koagulasi-flokulasi beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Konsentrasi padatan yang terkandung dalam air limbah.
Konsentrasi padatan atau zat terlarut dalam air limbah akan mempengaruhi kebutuhan
konsentrasi koagulan yang dibutuhkan dalam pengolahan air limbah, pada umumnya

168
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

jika konsentrasi padatan atau zat terlarutnya tinggi akan dibutuhkan konsentrasi
koagulan yang lebih kecil
2. Jenis koagulan yang dipergunakan.
Jenis koagulan yang akan diaplikasikan tergantung pada karakteristik air limbahnya,
hal ini disebabkan karena jenis koagulan tertentu akan bekerja baik pada derajat
keasaman (pH) air limbah tertentu.
3. Kecepatan putaran pengaduk
Kecepatan putaran pengaduk pada pengolahan dengan tangki berpengaduk berpengaruh
terhadap ukuran flok yang terbentuk, kecepatan putaran pengaduk dapat memecah flok
yang sudah terbentuk. Untuk proses koagulasi kecepatan putaran pengaduk sekitar 100
rpm, sedangkan pada proses flokulasi lebih lambat sekitar 50 rpm.
4. Kecepatan aliran air limbah masuk dalam tangki (jika kecepatan aliran dimanfaatkan
untuk pengadukan)
5. Waktu pengadukan (waktu tinggal)
Waktu pengadukan berkaitan dengan mekanisme pembentukan flok, semakin lama
waktu pengadukan pembentukan floknya akan semakin sempurna dan mudah untuk
diendapkan, tetapi jika terlalu lama terkadang flok yang sudah terbentuk akan pecah
kembali.
6. Jenis padatan (flok) yang dihasilkan
Jenis flok yang terbentuk tergantung pada jenis air limbah dan koagulan yang
dipergunakan, pada pemakain jenis koagulan tertentu akan menghasilkan flok tertentu,
kekuatan flok tertentu dan berat jenis flok tertentu. Dalam proses pengolahan air limbah
secara kimia yang diharapkan adalah terbentuk flok yang kuat dan mudah untuk
diendapkan dan pengendapan membutuhkan waktu yang relatif cepat.
7. Pengelolaan flok yang dihasilkan
Pada proses pengolahan air limbah secara kimia dihasilkan padatan (flok), flok yang
dihasilkan perlu dilakukan pengelolaan sehingga tidak menghasilkan limbah padat
meskipun jumlahnya tidak banyak. Dalam pengelolaan flok yang perlu diperhatikan
adalah apakah flok dapat dioleh kembali menjadi bahan kimia baru, produk baru dan
sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi yaitu :
1. Kondisi pH
Kondisi pH air limbah digunakan sebagai indikator keadaan asam atau basa dimana
akan mempengaruhi penggunaan flokulan yang dipilih. Dengan diketahuinya kondisi

169
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pH air buangan, maka koagulan akan dapat bekerja dengan baik. Adapaun kondisi pH
tiap–tiap koagulan tidak sama tergantung dari sifat dan karateristik koagulan tersebut.
2. Jenis Koagulan dan Flokulan
Jenis koagulan mempunyai karateristik tersendiri. Dengan penambahan zat pengumpul
dalam air yang akan dijernihkan akan terjadi proses kimia fisika, sehingga akan
terbentuk partikel-partikelkecil yang jumlahnya tergantung pada peubah – peubah
terhadap koagulasi tersebut.
3. Tingkat Kekeruhan Limbah
Proses destabilisasi akan sukar terjadi pada kekeruhan yang rendah, tetapi mudah
terjadi pada tingkat kekeruhan yang tinggi. Demikian pula halnya untuk proses
tumbukan antar partikel yang sulit terjadi pada tingkat kekeruhan yang rendah.
4. Waktu Pengadukan
Waktu pengadukan akan berpengaruh terhadap terbentuknya flok. Semakin lama waktu
pengadukan akan mengakibatkan flok yang sudah terbentuk akan pecah kembali,
sedangkan apabila waktu pengadukan lambat, maka akan mengganggu proses
koagulasinya
5. Waktu Pengendapan
Waktu pengendapan berpengaruh pada proses sedimentasi limbah. Semakin lama
waktu pengendapan, filtrat yang dihasilkan akan lebih jernih karena flok-flok yang
terbentuk dapat mengendap semua. Waktu pengendapan untuk proses koagulasi-
flokulasi berkisar antara 45 menit sampai 2 jam.

Gambar 1. Pengolahan limbah

170
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

METODOLOGI
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair percetakkan yang
didapat dari industry percetakkan rumahan. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan
adalah :Flokulan (PAC, Tawas (Al2SO4.18H2O), TCCA) dan Air.
Alat-alat yang digunakan pada metode jar test dalam penelitian ini terdiri dari
Erlenmeyer, Pengaduk, Neraca Analitis Digital, Alat Pengukur pH dan Alat Pengukur TDS.

Gambar 2. Skema Rangkaian Alat


Keterangan Rangkaian Alat :
a. Bak penampung limbah cair percetakan
b. Flokulator
c. Batang pengaduk
d. Output slurry ( kaya padatan )
e. Output limbah flokulator ( kaya kandungan air )
f. Bak penampung output flokulator
g. Alat Filtrasi Kolom ( Tubefilter )
h. Alat Filtrasi pasir ( Sandfilter )
i. Bak penampung hasil proses treatment

171
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3. Rangkaian Alat Penelitian

Limbah diencerkan dengan perbandingan 1:50, kemudian ditambahkan koagulan


dengan konsentrasi tertentu. Larutan diaduk selama 5 menit dan didiamkan selama 30 menit.
Filtrat yang terbentuk diukur pH dan TDS nya. Kemudian, beradasarkan hasil uji jar test,
sampel dilakukan uji pada unit flokulasi dengan volume tanki 50 L dengan dua variabel
konsentrasi flokulan, dengan lama pengadukan pengadukan sekitar 24 – 32 jam. Kemudian
diambil filtrat untuk dilakukan uji hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam penelitian ini dilakukan proses pengolahan limbah dilakukan dengan proses
kimia dengan penambahan koagulan / flokulan dalam proses flokulasi dan proses fisika yaitu
dengan metode filter kolom. Pada proses kimia, optimasi penggunaan koagulan/flokulan
dilakukan dengan metode jar test dengan tiga variasi koagulan/flokulan (Tawas, PAC dan
TCCA ) dengan lima variasi konsentrasi yaitu : 1 gr/L, 2 gr/L, 4gr/L, 6gr/L, 8gr/L . Sampel
limbah adalah air cucian plat alat percetakan yang kental dan sangat pekat, sehingga
dilakukan pengenceran 1 : 50 sebelum melakukan penelitian. Setiap uji proses flokulasi dan
koagulasi dilakukan dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan kondisi optimum dari jenis dan
konsentrasi kadar koagulan/flokulan yang digunakan.

172
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.Profil antara Konsentrasi Flokulan dengan pH Filtrat

Semakin besar konsentrasi flokulan yang ditambahkan, maka pH filtrate yang


terbentuk akan semakin asam.

Gambar 5.Profil antara Konsentrasi Flokulan dengan TDS Filtrat

Semakin besar konsentrasi flokulan yang ditambahkan, maka TDS filtrate yang
terbentuk akan semakin besar.
Hasil percobaan pendahuluan dengan metode jar test ini menunjukkan bahwa jenis
koagulan yang optimum digunakan adalah Tawas dengan kadar penggunaan 3 gram/L,
TDS 1560 ppm, suhu 29’C dan pH 6. Nilai ini sudah dikatakan aman untuk lingkungan.
Akan tetapi untuk skala besar dilakukan uji pada unit flokulator yang memiliki volume 50
L dengan variabel konsentrasi flokulan yaitu 150 gram dan 250 gram, pengadukan selama
24-32 jam. Dari kedua hasil tersebut didapatkan variabel yang terbaik adalah 250 gram
flokulan dengan penurunan kadar TDS hingga 1030 ppm, suhu 28’C dan pH 6. Nilai ini
aman untuk lingkungan.

173
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 1.Data pengamatan skala bangku kapasitas 50 liter pada penggunaan


3000 ppm tawas sebagai koagulan bahan warna terhadap parameter
pH, TDS, TSS, COD dan BOD pada filtrat olahan limbah usai
proses flokulasi, tube filter, dan sand filter
NO Filtrat Sampling pH TDS BOD COD TSS
1 Flokulasi 5 1230 50,2 127,5 5
2 Tube Filter 5 1160 65,2 165,0 10
3 Gravity Sand Filter 5 962 27,7 64,2 9

Berdasar table 1 Nampak bahwa setelah melalui degradasi warna pada proses flokulasi
nilai TDS mengalami penurunan sedang hal ini menunjukkan terjadinya penurunan padatan
terlarut dalam filtrate setelah melalui perlakuan flokulasi, dan filtrasi baik pada tube filter
maupun gravity sand filter. Namun pada pengamatan parameter lanjutan COD, BOD dan TSS
terdapat kenaikan ketiganya pada produk tube filter, hal ini dimungkinkan kotornya tube filter
karena telah dipakai berulang kali dan memerlukan regenerasi atau chemical cleaning.
Prediksi ini diperkuat dengan data parameter filtrate produk grafity sand filter yang nilai
COD, BOD dan TSS jauh dibawah produk filter usai proses flokulasi maupun tube filter.

KESIMPULAN
Dari ke tiga flokulan yang digunakan, penggunaan koagulan TCCA memberikan efek
penurunan TDS dari 1388 hingga tercapai TDS 858 ppm. Namun pH produk filtrate sangat
rendah yaitu pH 4. Kemudian untuk penggunaan koagulan PAC, TDS mengalami penurunan
1310 hingga 1120 kemudian naik hingga 1380. Namun pH produk filtrate sangat rendah yaitu
pH 4. Sedangkan dengan koagulan tawas memberikan efek kenaikan TDS dari 1048 hingga
1470, namun pH filtrate lebih tinggi dan cenderung netral dari pada 2 koagulan yang
terdahulu. Sehngga dipilih Tawas merupakan koagulan paling sesuai, dengan pH mendekati
netral. Karena dengan semakin rendah pH, akan membutuhkan basa penetral yang makin
banyak.
Untuk percobaan skala bangku, dengan 150 gr Flokulan Tawas, diperoleh TDS filtrat
flokulator 1230 ppm, tube filter 1160 ppm dan Sand filter 962 ppm. Dan effluent produk
gravity sand filter mempunyai karakteristik pH : 5, BOD : 27,7; COD : 64,2 dan TSS : 9
sehingga sudah layak dibuang ke badan lingkungan

174
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA
Sukriya, I.N.M., 2011, “Formulasi Surfaktan Untuk Screening Awal Chemical Flooding Pada
EOR (Enhanched Oil Recovery)”, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok.

Perkins, W. S., 1998, “Surfactants A Primer”, diaksespada 28 September 2015


http://infohouse.p2ric.org/ref/03/02960.pdf
Said NI, 1999, Teknologi pengolahan air limbah rumah sakit dengan sistem "biofilter
anaerob-aerob", Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah II: prosiding, Jakarta, 16-17
Feb 1999.
Kristanto, Philip, 2002, “Ekologi Industri”, Andi: Yogyakarta.

175
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENGARUH PERILAKU KONSUMEN DAN WORD OF MOUTH


TERHADAP PEMILIHAN JURUSAN DAN UNIVERSITAS
(Studi Pada Mahasiswa Baru Program Vokasi Universitas Indonesia Angakatan 2015)

Amelita Lusia1, Pijar Suciati2

Dosen Program Studi Komunikasi, Program Vokasi Universitas Indonesia,

email: amelitalusia@gmail.com

Abstrak
Globalisasi berpengaruh pada semua aspek kehidupan. Konsep ini menciptakan paradigma borderless
world, yaitu dunia yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan sebuah negara/bangsa. Dampaknya
turut menciptakan persaingan yang semakin tinggi pada semua aspek kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan
dunia pendidikan, dimana pengelolaannya tidak dapat dilakukan secara tradisional akan tetapi membutuhkan
kemampuan khusus sehingga output pendidikan sesuai dengan kebutuhan pangsa pasar baik nasional maupun
internasional. Tidak hanya dalam pengelolaan manajemen pendidikannya, pemasaran untuk lembaga pendidikan
mutlak diperlukan karena persaingan antar Universitas semakin ketat. Hal itu terlihat dari munculnya berbagai
Universitas yang selalu menawarkan keunggulannya masing-masing. Perguruan tinggi sebagai lembaga
penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan memiliki inisiatif untuk meningakatkan kepuasan pelanggan
(mahasiswa) karena pada umumnya pendidikan adalah merupakan proses yang berkelanjutan. Pemasaran
lembaga pendidikan, hampir mirip dengan pemasaran lembaga ekonomi atau pemerintah yang bergerak dibidang
jasa. Namun, apakah benar, semua program pemasaran yang telah dilakukan oleh universitas adalah yang
menjadi faktor dan alasan calon mahasiswa memilih jurusan dan universitas tertentu? Jawabannya bisa iya,
tidak, atau bisa jadi ternyata ada faktor lain yang pengaruhnya lebih besar dari terpaan marketing. Seperti
dugaan awal dari penelitian ini, mungkin ada faktor word of mouth (WoM) atau electronic word of mouth (E-
WoM) yang juga mempengaruhi pilihan-pilihan mereka, seperti hasil penelitian Shahid, Et.al dari Universitas
Lahore, Pakistan yang tercantum pada jurnal IISTE tahun 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi faktor-faktor umum dan faktor lain seperti word of mouth, yang menjadi alasan para mahasiswa
baru memilih jurusan dan universitas tertentu. Untuk mengidentifikasi hal tersebut, penelitian ini akan melakukan
pendekatan kuantitatif melalui survey lapangan kepada mahasiwa-mahasiswa baru di Universitas Indonesia.
Hasil penelitian ini adalah rumusan faktor-faktor penentu calon mahasiswa dalam memilih jurusan dan
universitas, yang diharapkan dapat membantu para praktisi Humas dan marketing untuk menyusun program
pemasaran yang lebih efektif dan diterima dengan baik oleh target sasarannya.
Kata Kunci: marketing, education, university, word of mouth, electronic word of mouth, behavioral factor.

PENDAHULUAN

Globalisasi berpengaruh pada semua aspek kehidupan. Konsep ini menciptakan paradigma
borderless world, yaitu dunia yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan sebuah
negara/bangsa. Dampaknya turut menciptakan persaingan yang semakin tinggi pada semua
aspek kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan dunia pendidikan, dimana pengelolaannya
tidak dapat lagi dilakukan secara tradisional akan tetapi membutuhkan kemampuan khusus
sehingga output pendidikan akan sesuai dengan kebutuhan pangsa pasar baik nasional
maupun internasional.

Tidak hanya dalam pengelolaan manajemen pendidikannya, pemasaran untuk lembaga


pendidikan mutlak diperlukan karena persaingan antar Universitas semakin ketat. Hal itu

176
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

terlihat dari munculnya berbagai Universitas yang selalu menawarkan keunggulannya masing-
masing. Perguruan tinggi sebagai lembaga penyedia jasa pendidikan perlu belajar dan
memiliki inisiatif untuk meningakatkan kepuasan pelanggan (mahasiswa) karena pada
umumnya pendidikan adalah merupakan proses yang berkelanjutan. Pemasaran lembaga
pendidikan, hampir mirip dengan pemasaran lembaga ekonomi atau pemerintah yang
bergerak dibidang jasa.

Setiap institusi, organisasi, dan perusahaan memerlukan pemasaran (marketing) untuk


keberhasilannya dalam menjual barang atau jasa. Strategi pemasaran merupakan hal yang
sangat penting bagi perusahaan dimana hal tersebut merupakan suatu cara mencapai tujuan
dari sebuah perusahaan.

Terdapat perbedaan dalam mendefinisikan istilah pemasaran. Menurut Philip Kotler dan
Amstrong (dalam Abdul Majid, 2008) pemasaran adalah sebagai suatu proses sosial dan
managerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan
dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang
lain. Definisi pemasaran ini bersandar pada konsep inti yang meliputi kebutuhan (needs),
keinginan (wants), dan permintaan (demands). Sedangkan menurut Stanton (dalam Barnawi
& Arifin, 2013) pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan
untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan
jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli maupun pembeli potensial.

Berbeda denagan produk fisik, suatu jasa pelayanan pedidikan tidak bisa disimpan. Ia
diproduksi dan dikonsumsi secara bersama. Dampaknya terjadi pada sistem pemasaran,
terutama pada sisi permintaan. Jika permintaan stabil akan memudahkan penyedia jasa
pendidikan untuk melakukan persiapan, baik dari sarana dan prasarana maupun peralatan
teknologi pendidikan lainnya. Tetapi, jika permintaan fluktuatif, lebih sulit bagi penyedia jasa
pendidikan untuk melakukan straregi pemasaran. Jasa pendidikan tidak bisa dilihat dan
dirasakan oleh konsumen sebelum konsumen membeli atau mendapatkan penyedia jasa
pendidikan secara langsung. Konsumen juga tidak dapat memprediksi apa hasil yang akan
diperoleh dengan mengonsumsi jasa pendidikan tersebut, kecuali setelah membelinya. Tujuan
utama proses ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terus-
menerus, dan terpadu. Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimaksudkan tidak
sekaligus, tetapi dituju berdasarkan peningkatan mutu pada setiap komponen pendidikan
(Muliadi, 2011).

177
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sementara itu, dalam lembaga pendidikan (Kreighbahum dalam Muhaimin, et al., 2010:97-
98) pemasaran didefinisikan sebagai pengolahan yang sistematis dari pertukaran nilai-nilai
yang sengaja dilakukan untuk mempromosikan misi-misi sekolah berdasarkan kepuasan
kebutuhan nyata baik itu untuk stakeholder ataupun masyarakat sosial pada umumnya.
Dengan kata lain, pemasaran mengandung unsur pengolahan dan pertukaran nilai-nilai yang
didasarkan pada kebutuhan masyarakat umum. Dengan demikian maka pemasaran perguruan
tinggi dapat didefinisikan sebagai proses pengelolaan perguruan tinggi dalam kegiatan
pertukaran nilai-nilai untuk memenuhi kepentingan perguruan tingi dan kepentingan
mahasiswa berdasarkan harapan dan kebutuhan stakeholder.

Pada dasarnya, tujuan pemasaran perguruan tinggi bukanlah untuk memuaskan pelanggan
semata tetapi juga untuk kepentingan institusi itu sendiri. Pemasaran bertujuan untuk
memberikan kenyamanan mahasiswa dalam perkuliahan, misalnya diajar oleh dosen yang
profesional, sarana dan prasarana yang memadai, kurikulum yang kompetitif, strategi
pembelajaran yang efektif dan lain-lain. Sebaliknya pemasaran juga bertujuan untuk menjaga
kepentingan institusi seperti: menjamin kesejahteraan dosen dan karyawan, meningkatkan
citra instusi dan mempercepat pengembangan perguruan tinggi.

Persaingan antar lembaga pendidikan merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan dan
berlangsung semakin ketat. Kondisi demikian semestinya disikapi lembaga pendidikan
dengan berbagai langkah antisipatif jika mereka menginginkan eksistensi dan pengembangan
secara berkelanjutan. Beberapa strategi sebenarnya dapat dilakukan oleh sebuah lembaga
pendidikan jika ingin memenangkan persaingan antar lembaga. Salah satunya ada strategi
pemasaran atau marketing.

Berbicara mengenai strategi pemasaran modern, saat ini memang telah terjadi perubahan
besar dalam dunia bisnis. Media promosi adalah salah satu hal yang mengalami perubahan
drastis. Semakin dekatnya dunia maya dengan kehidupan sehari-hari kita, membuat era
digitalisasi tidak bisa kita hindari. Mau tak mau kita harus mengikuti perkembangan ini jika
ingin memenangkan pasar. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan teknologi yang ada,
sudah pasti kita akan tergerus secara perlahan.

Suka tidak suka, trend pemasaran dengan menggunakan media digital memang harus
dihadapi. Trend marketing yang dikenal dengan trend web 2.0 kini berkembang dengan pesat.

178
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Belum lagi gempuran media sosial dan pesan viral-nya yang setiap hari semakin banyak
pengaruh terhadap kehidupan kita sehari-hari, membuat perubahan dalam mencari informasi.
Jika dulu berinteraksi dengan orang lain hanya dilakukan dengan beberapa cara saja, kini
dengan kehadiran teknologi 2.0 telah membuat moda komunikasi ini bisa berubah dengan
drastis.

Konsumen pun akhirnya dipengaruhi dan diterpa oleh banyak faktor dalam menentukan
universitas dan fakultas. Universitas perlu untuk mengetahui lebih dalam dan pasti mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi calon mahasiswa dalam menentukan pilihan tersebut.
seperti hasil penelitian Shahid, Et.al dari Universitas Lahore, Pakistan yang tercantum pada
jurnal IISTE tahun 2012. Peran marketing, WoM, dan faktor-faktor umum yang
mempengaruhi perilaku konsumen, memiliki dampak pada pemilihan keputusan pada
mahasiswa dalam memilih jurusan dan universitas. Dalam penelitian tersebut, ditemukan
bahwa, yang paling mempengaruhi pemilihan jurusan dan universitas adalah word of mouth
(WoM) dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Sedangkan marketing memiliki peran yang
tidak terlalu penting dalam pengambilan keputusan.

Penelitian ini akan melakukan uji secara kuantitatif kepada mahasiswa/i yang memiliki
karakteristik berbeda dengan penelitian sebelumnya. Data dari hasil penelitian ini diharapkan
akan sangat membantu universitas-universitas di Indonesia untuk merencanakan program
pemasaran dan kehumasan yang jitu serta tepat sasaran.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor umum dan faktor lain
seperti word of mouth, yang menjadi alasan para mahasiswa baru memilih jurusan dan
universitas tertentu. Untuk mengidentifikasi hal tersebut, penelitian ini akan melakukan
pendekatan kuantitatif melalui survey lapangan kepada mahasiwa-mahasiswa baru di
Universitas Indonesia. Hasil penelitian ini adalah rumusan faktor-faktor penentu calon
mahasiswa dalam memilih jurusan dan universitas, yang diharapkan dapat membantu para
praktisi Humas dan marketing untuk menyusun program pemasaran yang lebih efektif dan
diterima dengan baik oleh target sasarannya.

Kotler (2001) mengemukakan definisi pemasaran berarti bekerja dengan pasar sasaran untuk
mewujudkan pertukaran yang potensial dengan maksud memuaskan kebutuhan dan keinginan
manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan pemasaran merupakan kunci
kesuksesan dari suatu perusahaan. Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu

179
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan,


menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang memuaskan
kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial.

Digital Marketing adalah cara marketing untuk sebuah brand atau produk menggunakan
media digital. Yang termasuk Media Digital antara lain adalah : Television, Radio, Internet,
Mobile, Social Media dan berbagai media digital media lainnya, dimana teknik-teknik internet
marketing termasuk dalam kategori Digital Marketing.

Apa yang menjadi kelebihan Digital Marketing dibandingkan Conventional Marketing yang
lebih mengandalkan pemasaran offline seperti door to door, penyebaran marketing kit seperti
(brosur, leafet dan poster), billboard, iklan media cetak seperti (Koran, majalah, dll)
telemarketing lewat telpon. Bisa dibilang Digital Marketing menggunakan tools yang dapat
mengefektifkan kinerja pemasaran Anda, bayangkan dengan website dan social media maka
kita bisa menjangkau pemasaran ke seluruh belahan dunia tanpa dengan mudah, bayangkan
bila Anda menggunakan media conventional maka effort yang Anda butuhkan lebih besar
untuk menjangkau pasar yang begitu besar.

Word of mouth (komunikasi dari mulut ke mulut) sekarang ini menjadi sangat efektif
karena perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat, para konsumen dengan mudah
membicarakan suatu produk, selain ketika bertatap muka, word of mouth juga dapat terjadi
melaui media internet melalui jejaring sosial dan juga media handphone yang memungkinkan
terjadinya word of mouth. Yang akhirnya teknologi makin mempercepat sampainya bahasa
lisan. Kemajuan teknologi tersebut mengasilkan apa yang kita kenal dengan Electronic Word
of Mouth (E-WoM).

Electronic word of mouth (e-WOM) berbeda dengan traditional word of mouth,


menurut Cheung dan Lee (2012), ada beberapa perbedaan antara electronic word of mouth (e-
WOM) dengan traditional word of mouth. Pertama, tidak seperti traditional WOM, e-WOM
terjadi pada saat penggunaan teknologi elektronik seperti forum diskusi online, blog,
electronic bulletin board, dan social media. Kedua, e-WOM lebih mudah diakses daripada
traditional WOM, sebagian besar informasi berbasis teks di internet yang dapat diarsipkan
yang kemudian hari dapat diakses kembali. Ketiga, e-WOM lebih mudah diukur daripada
traditional WOM. Terakhir, sifat dari e-WOM dimana tidak dapat melakukan penilaian

180
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kredibilitas dari pengirim dan pesanya. Seseorang hanya dapat menilai kredibilitas
komunikator melalui sistem reputasi online.

Didalam word of mouth communication terdapat beberapa hal yang digunakan untuk
mengukur Word Of Mouth Communication tersebut berhasil tau tidak Menurut Babin, Barry
“Modeling Consumer Satisfication And Word Of Universitas Sumatera Utara Mouth
Communication: Restorant Petronage Korea” Journal of Servive Marketing Vol.19 pp 133-
139. Indikator Word Of Mouth Communication adalah sebagai Berkut :
1. Membicarakan
Kemauan seseorang untuk membicarakan hal-hal positif tentang kualitas produk
kepada orang lain. Konsumen berharap mendaptkan kepuasan yang maksimal dan
memiliki bahan menarik untuk dibicarakan dengan orang.
2. Merekomendasikan
Konsumen menginginkan produk yang bias memuaskan dan memiliki keunggulan
dibandingkan dengan yang lain, sehingga bias di rekomendasikan kepada orang lain.
3. Mendorong
Dorongan terhadap teman atau relasi untuk melakukan transaksi atas produk dan jasa.
Konsumen menginginkan timbale balikyang menarik pada saat mempengaruhi orang
lain untuk memakai produk atau jasa yang telah diberitahukan.

Menurut Sunyoto (2013:82) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen yaitu:
1. Konsumen Individual
Pilihan untuk membeli suatu produk dengan merk tertentu dipengaruhi oleh hal-hal
yang ada pada diri konsumen seperti kebutuhan, persepsi terhadap kharakteristik
merek, sikap, kondisi demografis, gaya hidup dan kharakteristik kepribadian individu
akan mempengaruhi pilihan individu terhadap berbagai alternatif merek yang tersedia.
2. Lingkungan yang mempengaruhi konsumen
Pilihan konsumen terhadap merek dipengaruhi oleh lingkungan yang mengitarinya,
ketika seorang konsumen melakukan pembelian suatu merek produk, mungkin
didasari oleh banyak pertimbangan. Mungkin saja seseorang membeli suatu merek
produk karena meniru teman atau juga mungkin karena tetangga telah lebih dulu
membeli.
3. Stimuli Pemasaran atau Strategi Pemasaran
Dalam hal ini pemasar berusaha mempengaruhi konsumen dengan menggunakan
stimuli-stimuli pemasaran seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia

181
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

memilih produk yang ditawarkan. Strategi pemasaran di universitas yang lazim


dikembangkan oleh pemasar, yaitu yang berhubungan dengan produk apa yang akan
ditawarkan, penentuan harga jual produk, strategi promosi dan bagaimana melakukan
distribusi produk kepada konsumen.

Hierarchy of Effect menyediakan sudut pandang umum untuk menganalisa perilaku


komsumen terhadap sebuah produk barang atau jasa. Premis dasar model ini adalah dampak
dari pesan yang akan muncul dalam suatu periode waktu. Pesan mungkin tidak akan
menimbulkan respon behavioral yang segera, tetapi beberapa tahapan efek harus terjadi
dengan setiap tahap dipenuhi sebelum naik ke tahapan berikutnya dalam hirarki yang ada.

Lavidge dan Steiner adalah dua ahli yang mengemukakan hirarki ini. Mereka membagi tahap-
tahap pencapaian efektivitas dilihat dari tiga komponen menurut suatu konsep sistem sikap
dari konsep psikologi sosial, yaitu (Kotler, 2003: 568):
1. Tahap Kognitif
Tahap pertama, yaitu tahap kognitif yang meliputi apa yang dipikirkan dan diketahui
oleh individu mengenai suatu objek. Hal ini didasarkan pada knowledge, opinion, faith
dan value. Kognitif terdiri dari tingkat kesadaran/pengetahuan. Tahap ini mengacu
pada alam pikiran
2. Tahap Afektif
Tahap kedua, yaitu tahap afektif, terdiri dari komponen perasaan suka (liking),
preferensi (preference) dan keyakinan (conviction). Kondisi-kondisi yang termasuk
dalam tahap ini antara lain adalah perasaan suka khalayak terhadap media informasi
dan kecenderungan khalayak untuk memilih menggunakan media tersebut dibanding
media yang lain. Tahap ini mengacu pada alam emosi.
3. Tahap Konatif
Tahap ini meliputi tindakan dimana konsumen telah mengetahui kelebihan media,
khlayak merasa yakin bahwa media ini dapat memenuhi kebutuhannya akan informasi
dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya. Tahap ini diwakili oleh
tingkat pembelian (purchase) dalam studi periklanan, namun pada studi ini diwakili
dengan tindakan khalayak dalam menanggapi informasi yang diberikan (Misalnya:
mencari formulirnya dan mengajukan beasiswa yang informasinya dilihat pada
media). Tahap ini mengacu pada alam motivasi

182
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

METODOLOGI

Paradigma dapat diartikan sebagai suatu sudut pandang dalam melihat suatu fenomena
atau gejala sosial (Prasetyo, 2005: 25). Penelitian ini menggunakan paradigma positivis
(klasik). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, karena penelitian kuantitatif
menekankan secara khusus dalam mengukur variabel-variabel dan pembuktian hipotesis yang
berkaitan dengan penjelasan suatu hubungan (Newman, 1997: 51).

Penelitian ini bersifat eksplanatif yaitu berusaha memberikan penjelasan tentang


mengapa suatu kejadian atau gejala terjadi. Hasil akhir dari peneltian ini adalah gambaran
mengenai hubungan sebab akibat. Penelitian ini mencoba untuk melihat pengaruh antara
variabel kualitas media dan kualitas pesan dengan dampak komunikasinya. Karena itu
penelitian dengan sifat seperti ini membutuhkan sampel dan hipotesis (Bungin, 2005: 27).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey yang
merupakan salah satu metode penelitian yang biasa digunakan untuk pengumpulan data-data
kuantitatif (Bovee & Arena, 1992: 188).

Survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-
gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi,
sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah (Nazir, 1998: 29)

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari; objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari,
dan kemudian ditarik suatu kesimpulan (Ruslan, 2005: 133). Populasi dapat diartikan juga
sebagai satuan yang ingin diteliti, atau jumlah total manusia yang cocok dijadikan responden
atau yang cukup relevan dengan suatu penelitian (Lawrence, 2000: 249). Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa baru Program Vokasi Universitas Indonesia, angkatan
2015.

Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel probabilita. Dimana pemilihan


sampel tidak dilakukan secara subyektif, dalam arti tidak didasarkan semata-mata pada
keinginan peneliti. Ini berarti bahwa setiap unsur populasi memiliki peluang yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel.

183
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sampel ditetapkan berdasarkan Sampel Random Sampling dimana populasi dianggap


heterogen menurut suatu karakteristik tertentu dan terlebih dahulu dikelompokkan dalam
beberapa subpopulasi sehingga setiap subpopulasi memiliki anggota sampel yang relatif lebih
homogen.

Untuk penelitian ini jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Yamane, yaitu:

Keterangan :
n : Besar sampel
N : Jumlah populasi
d : Presisi sebesar 10% atau 0,1

Mahasiswa baru Program Vokasi Universitas Indonesia berjumlah 924 mahasiswa yang
terbagi dalam 11 Prodi.

Selanjutnya dihitung besarnya total sampel dengan rumus Yamane:

n= N
Nd2 + 1
n = 924
9,24 + 1
n = 924
10,24
n = 90,2 = 90
H1 : Variabel bebas faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dan WoM/E-
WoM berpengaruh terhadap variabel terikat pemilihan jurusan dan universitas.
Ho : Variabel bebas faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen, dan WoM/E-WoM
tidak berpengaruh terhadap variabel terikat pemilihan jurusan dan universitas.

Model Analisis Penelitian

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
konsumen (X1) Pemilihan Jurusan
dan Universitas (Y)

WoM/E-WoM
(X2)

Data yang didapatkan dari survei lapangan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan
metode statistik dengan bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical Program for Social
Science) versi 17.0 untuk mempercepat perhitungan. Analisis data dilakukan dalam tiga
tahap yaitu univariat, bivariat dan multivariat.

184
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas


Variabel Dimensi Reliabilitas Validitas
Faktor-faktor Individual 0,507 0,510
yang Lingkungan yang
0,838 0,787
mempengaruhi mempengaruhi
perilaku Stimuli Pemasaran
mahasiswa atau Strategi 0,839 0,638
(X1) Pemasaran
Membicarakan 0,801 0,568
WoM/E-WoM
Merekomendasikan 0,892 0,784
(X2)
Mendorong 0,921 0,808
Pemilihan Kognisi 0.801 0,774
Jurusan dan Afeksi 0,916 0,807
Universitas
Konasi 0,815 0,672
(Y)

HASIL DAN ANALISIS

Karakteristik Responden

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik demografi dari responden penelitian ini,
yaitu mahasiswa baru Program Vokasi Universitas Indonesia.

Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat, dari 90 orang mahasiswa baru Program Vokasi
Universitas Indonesia sebagai sampel, lebih banyak mengisi kuesioner adalah wanita, yaitu 58
orang (64,4 % dari total sample), kemudian pria ada 32 orang (35,6 % dari total sample

Dari hasil tabel uji distribusi frekuensi terhadap jenis kelamin, bisa disimpulkan, yang lebih
bersemangat dan tertarik mengisi kuesioner penelitian ini adalah mahasiswa wanita.

185
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat, dari 90 orang responden yang mengisi kuesioner,
yang terbanyak adalah dari jurusan hubungan masyarakat, yaitu 27 orang (30 % dari total
sampel). Sedangkan yang paling sedikit adalah dari jurusan Administrasi Asuransi dan
Aktuaria, yaitu satu orang (1,1 % dari total sampel).

Dalam survey kuesioner untuk penelitian ini, ada perwakilan dari setiap jurusan di Program
Vokasi Universitas Indonesia.Walaupun tingkat keaktifannya dalam berpartisipasi pada survei
berbeda-beda.

Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat, dari 90 orang responden 10 orang (11,1%) memiliki
pengeluaran rata-rata sebulan di bawah 1 juta rupiah, 78 orang (66,1%) memilki pengeluran
rata-rata sebulan 1 juta s/d 2 juta rupiah, dan 2 orang (1,7%) memiliki pengeluaran rata-rata
sebulan 3 juta s/d 4 juta.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Program Vokasi Universitas
Indonesia berada dalam standar ekonomi menengah keatas. Walaupun begitu, pengeluaran
mereka dalam sebulan masih termasuk sangat wajar dan dugaan peneliti, mereka memiliki
gaya hidup standar, sesuai kebutuhan sebagai mahasiswa dan tidak berfoya-foya

186
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat, dari 90 orang responden, 14 orang (15,5 %) sifatnya
periang, 32 orang moody (35,6 %), 42 orang suka bergaul (46,7%) dan 2 orang (1,7%)
penyendiri.

Dari data berikut dapat disimpulkan, karakter atau sifat mahasiswa Program Vokasi
Universitas Indonesia, mayoritas adalah suka bergaul dan moody.

Dari tabel dan grafik diatas dapat dilihat, dari 90 orang responden, 28 orang (31,1 %)
menghabiskan waktu luang mereka bersama keluarga, 40 orang (44,4%) dengan teman
kampus, 12 orang (14,4 %) dengan teman SMA, 8 orang (10 %) dengan teman rumah.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas mahasiswa Program Vokasi
Universitas Indonesia, lebih sering menghabiskan waktu luangnya dengan teman kampus dan
keluarga.

H0-1: Tidak ada hubungan positif antara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
mahasiswa (X1) bersama-sama WoM/E-Wom (X2) dengan Pemilihan Jurusan dan
Universitas (Y)

187
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

H1-1: Ada hubungan positif antara Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa
(X1) bersama-sama WoM/E-Wom (X2) dengan Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y)

Berdasarkan tabel tersebut dapat ditunjukkan beberapa hal sebagai berikut:


a. Angka R sebesar 0,738 menunjukkan bahwa hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku mahasiswa (X1) bersama-sama WoM/E-Wom (X2) dengan
Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y) adalah kuat
b. Angka R Square sebesar 0.545 atau 54,5 % variasi Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y)
dipengaruhi oleh variabel faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa (X1)
bersama-sama WoM/E-Wom (X2). Sementara sisanya 45,5 % dijelaskan oleh sebab-sebab
lain

Dari uji F didapat nilai F-Hitung sebesar 43.735 dengan signifikansi uji sebesar 0,000. Oleh
karena signifikansi uji nilainya lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk
persamaan linier:
Y = a + b1X1 + b2X2
Sudah tepat dan dapat digunakan
Dapat dikatakan bahwa variabel Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y) dipengaruhi oleh
variabel faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa (X1) dan WoM/E-Wom (X2)
secara bersama-sama.

Berdasarkan tabel diatas, dapat dibuat persamaan regresi sederhana sebagai berikut:

188
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y) = 54.393 + 0.189 faktor-faktor yang


mempengaruhi perilaku mahasiswa (X1) + 0.575 WoM/E-Wom (X2)

Dari persamaan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:


a. Konstanta: 54.393; artinya tanpa variabel-variabel faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku mahasiswa (X1) dan WoM/E-Wom (X2), maka nilai Pemilihan Jurusan dan
Universitas (Y) adalah sebesar 54.393
b. Koefisien 0.189; artinya setiap penambahan 1 unit faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku mahasiswa (X1) akan meningkatkan Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y)
sebesar 0.189
c. Koefisien 0.575; artinya setiap penambahan 1 unit faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku mahasiswa (X1) akan meningkatkan Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y)
sebesar 0.575.

Dari pengujian regresi sederhana multivariat pada 3 variabel (variabel X1 dan X2 secara
bersamaan mempengaruhi Y), ternyata variabel Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
mahasiswa (X1) memiliki pengaruh lemah terhadap variabel Pemilihan Jurusan dan
Universitas (Y), ditunjukkan dengan angka β = 0.189 berada dalam range 0.10 – 0,29.
Sedangkan variabel WoM/E-WoM (X2) memiliki pengaruh kuat terhadap variabel Pemilihan
Jurusan dan Universitas (Y), ditunjukkan dengan angka β = β = 0.575 berada dalam range
0.50 – 0,69.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian ini dapat menghasilkan kesimpulan yang dilihat dari hasil uji data statistiknya.
Kesimpulan ini adalah semacam rumusan dan panduan, bagi praktisi dan akademisi untuk
menentukan dan menguji faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan calon mahasiswa terhadap
jurusan dan universitas. Berikut adalah kesimpulannya:
1. Dari uji deskriptif frekuensi, dapat disimpulkan, bahwa calon mahasiswa memiliki
kesadaran dan keinginan yang besar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang

189
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan, mayoritas dari mereka mempersiapkan diri
dengan baik, melalui belajar giat dan mengikuti bimbingan les supaya dapat diterima
di universitas dan jurusan yang mereka inginkan.
2. Pengaruh orang tua terhadap keputusan-keputusan tersebut, ternyata masih yang
paling tinggi. Orang tua sebagai faktor pengaruh utama dari lingkungan mereka.
Faktor pengaruh teman, adalah yang kedua terkuat dalam mempengaruhi keputusan
mereka terhadap pemilihan jurusan dan universitas.
3. Dari semua stimuli marketing yang sudah dilakukan oleh universitas, ternyata, yang
paling besar mempengaruhi calon mahasiswa dalam memutuskan pemilihan jurusan
adalah pengaruh dari sosial media. Hal disebabkan oleh budaya generasi muda di masa
ini, yang gemar sekali berinteraksi di sosial media. Namun, ada yang menarik dari
hasil stimuli marketing, peringkat kedua yang mempengaruhi calon mahasiswa dalam
memilih jurusan dan universitas adalah karena “talkshow radio”. Hal ini
membuktikan, ada waktu-waktu tertentu dimana mereka mendengarkan radio secara
intens dan hal ini berpengaruh besar. Dugaan sementara peneliti, mereka
mendengarkan radio di mobil pada saat berangkat dan pulang sekolah (perlu penelitian
lanjutan untuk kesimpulan ini)
4. Berkaitan dengan WoM/E-WoM, hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah,
pengaruh yang dihasilkan dari ketiga dimensi (membicarakan, merekomendari,
mendorong) sangat baik jika yang membicarakan adalah teman-teman mereka, bukan
selebritis atau public figure. Kemudian, untuk merekomendasi, lebih cenderung
kepada WoM secara langsung, tetapi pada dimensi membicarakan dan mendorong
lebih cenderung melalui E-WoM (sosmed).
5. Dari uji pengaruh regresi sederhana yang dilakukan secara terpisah antara variabel X1
dan X2 terhadap Y, ternyata pengaruh yang dihasilkan pada kedua variabel tersebut
sedang. Hal ini membuktikan bahwa faktor-faktor umum dan WoM/E-WoM tidak
cukup kuat untuk mempengaruhi pilihan universitas dan jurusan pada masa sekarang.
Calon mahasiswa butuh terpaan yang lebih tinggi dari kedua variabel tersebut
6. Pada saat diuji secara bersamaan, dari pengujian regresi sederhana multivariat pada 3
variabel (variabel X1 dan X2 secara bersamaan mempengaruhi Y), ternyata variabel
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa (X1) memiliki pengaruh lemah
terhadap variabel Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y), ditunjukkan dengan angka β
= 0.189 berada dalam range 0.10 – 0,29. Sedangkan variabel WoM/E-WoM (X2)
memiliki pengaruh kuat terhadap variabel Pemilihan Jurusan dan Universitas (Y),
ditunjukkan dengan angka β = β = 0.575 berada dalam range 0.50 – 0,69. Hal ini

190
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

membuktikan, bahwa WoM/E-WoM memiliki pengaruh yang leih kuat dalam


menentukan pemilihan universitas dan jurusan, dibandingkan dengan faktor-faktor
umum. Hal ini sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh penelitian sebelumnya hasil
penelitian Shahid, Et.al dari Universitas Lahore, Pakistan yang tercantum pada jurnal
IISTE tahun 2012.

Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diberikan oleh peneliti bagi para praktisi pemasaran dan hubungan
masyarakat dalam bidang pendidikan, yaitu rumusan faktor-faktor penentu calon mahasiswa
dalam memilih jurusan dan universitas, yang diharapkan dapat membantu mereka untuk
menyusun program pemasaran yang lebih efektif dan diterima dengan baik oleh target
sasarannya. Rekomendasinya antara lain:
1. Para praktisi dapat mulai mekirkan program-program pemasaran yang tidak hanya
ditujukan pada calon mahasiswa dan teman-temannya, namun program yang target
sasarannya adalah orang tua mereka. Sosialisasi dan edukasi terhadap informasi umum
dan khusus terhadap sebuah universitas dan jurusan sangat diperlukan oleh orang tua
calon mahasiswa, supaya mereka memiliki gambaran konprehensif terhadap universitas
dan jurusan tersebut.
2. Dalam penyusunan program pemasaran, praktisi harus tetap menyusun semua program
pemasaran dan humas, baik yang tradisional ataupun modern (media baru). Namun,
perlu perhatian extra dan pengembangan serius pada program-program modern yang
bergerak dalam sosial media. Lakukan maintenance dan interactivity yang baik, harus
ada admin khusus yang mengelola sosial media resmi dari universitas dan jurusan.
3. Masih berkaitan dengan pemasaran, temuan unik dari penelitian ini adalah mengenai
“talkshow radio”. Meskipun tergolong media tradisional, radio ternyata masih memiliki
peran penting dalam pemasaran pendidikan. Alangkah baiknya, paraktisi pemasaran dan
humas pendidikan, memasukkan program talkshow radio dalam perencanaan pemasaran
mereka.
4. Rekomendasi peneliti berkaitan dengan WoM/E-WoM adalah, praktisi marus jeli dan
terencana dalam menciptakan pesan-pesan di media digital, supaya pesan tersebut dapat
menjadi WoM di platform digital yang berbasis internet (sosial media). Walapun
rekomendasi yang dihasilkan oleh WoM secara langsung, namun pembicaraan dan
dorongan yang muncul adalah melalui media digital.

191
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

5. Perhatian praktisi pemasaran dan humas pada masa sekarang ini, memang harus
memberikan perhatian extra pada media baru. Dalam penelitian ini, WoM/E-WoM
terbukti berpengaru lebih kuat daripada faktor-faktor umum tradisional. Buatlah
program yang menarik dalam menciptakan pesan pemasran mengenai universitas dan
jurusan. Tidak menutup kemungkinan dengan menciptakan sesuatu yang dekat dengan
dunia generasi muda, seperti “meme” yang lucu dan menarik, kegiatan interaktif yang
menyenangkan di sosial media, atau sebuah kegiatan langsung yang spektakuler yang
melibatkan para calon mahasiswa, sehingga universitas dan jurusan kita dapat menjadi
buah pembicaraan mereka secara langsung (WoM) atapun melalui sosmed (E-WoM).

REFERENCES

Aaker, David A. & John G. Myers (1987). Advertising Management Third Edition. Prentice
Hall

Anastasi & S. Urbina. 1997. Psycological Testing 7th ed. USA : Prentice-Hall

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta


Babin, Barry “Modeling Consumer Satisfication And Word Of Universitas Sumatera Utara
Mouth Communication: Restorant Petronage Korea” Journal of Servive Marketing
Vol.19 pp 133-139

Cheung, Christy. M.K and Matthew K.L. Lee, 2012, What drives consumers to spread
electronic word of mouth in online consumer opinionplatform. Decision Support
System 53, 218-225, Hongkong.

Guildford, J.P.. 1978. Fundamentals Statistic in Psychology and Education. New York: Mc.
Graw-Hill

Kotler, Philip & Gary M Armstrong (2010). Principles of Marketing. Prentice Hall.

Kotler, Philip (2003). Marketing Management 11th Edition. Prentice Hall. New York.

Kotler, Philip & Kevin Lane Keller (2007). Marketing Management. 13th edition. Pearson,
Prentice Hall.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. 1989.

Sernovitz, Andy (2009). Word of Mouth Marketing: How Smart Companies Get People
Talking. Kaplan Publishing: New York.

192
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Shahid, Hassan, Owais Shafique, Omair Hassan Bodla. What Factors Affect a Student’s
Choice of a University for Higher Education. Research on Humanities and Social
Sciences. ISSN 222-1719 (paper) ISSN 2222-2863 (Online). Vol 2., No.10, 2012

Stanton, William J. (1992). Fundamentals of Marketing. McGraw-Hill. Australia.

Sunyoto, Danang (2013). Perilaku Konsumen, CAPS (Center of Academy Publishing


Service), Yogyakarta.
Yarnest. 2004. Panduan Aplikasi Statistik. Malang. Dioma.
Sumber Online:

http://erlanmuliadi.blogspot.co.id/2011/06/pemasaran-pendidikan.html

http://www.kompasiana.com/wawansonjaya/manajemen-pemasaran-perguruan-
tinggi_54f6785fa3331191178b4b37
http://mylivinroom.tumblr.com/post/44611893972/peranan-pemasaran-dalam-perusahaan-
dan-masyarakat
http://www.kompasiana.com/futuremediatrix/apa-itu-digital-
marketing_550e7890813311c82cbc652e.

http://latiefpakpahan.com/keunggulan-digital-marketing/

193
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENDIDIKAN VOKASI, SOLUSI MENEKAN PENGANGGURAN: Analisis Kesiapan


SDM Lulusan Program Studi Vokasi Komunikasi dengan Kebutuhan Dunia Industri
Tahun 2011 - 2013

Dipresentasikan oleh:
Endang Setiowati1, Titis Wahyuni2, Marsdenia3, Budiman Machmud Musthofa4

1,2,3,4)
Program Studi Komunikasi
Program Vokasi Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian tentang kesesuaian kurikulum yang diajarkan di Program Vokasi
Universitas Indonesia utamanya pada dua Program Studi yang terbanyak memiliki jumlah mahasiswa yaitu
Akuntansi dan Komunikasi. Namun dalam presentasi kali ini yang akan ditampilkan hanya hasil dari Program
Studi Komunikasi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya gap yang terjadi antara
kebutuhan industri dan kesiapan kurikulum dalam mencetak sumber daya untuk memenuhi kebutuhan industri
serta langkah-langkah yang diperlukan untuk menghilangkan gap tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan sifat deskriptif untuk melihat respon alumni Vokasi UI dari Program Studi
Komunikasi lulusan tahun 2011 hingga 2013 tentang kesesuaian materi pengajaran yang didapatnya ketika
kuliah dengan ketrampilan yang dibutuhkan di dalam pekerjaannya sekarang. Metode penelitian menggunakan
survei gabungan antara survei online dan penyebaran kuesioner langsung. Hal ini untuk memastikan responden
adalah alumni yang lulus pada 2011 hingga 2013 yang telah bekerja. Populasi penelitian berjumlah 296 orang
dengan sampel sejumlah 115 orang diambil dengan menggunakan teknik convenience sampling. Hasil penelitian
mendapatkan fakta bahwa alumni merasa matakuliah yang diajarkan dapat membantu mereka dalam pekerjaan,
namun ada beberapa matakuliah yang kurang mendukung. Hasil analisis dari penelitian ini dijadikan acuan
untuk perbaikan kurikulum pada Program Studi Komunikasi mulai Tahun Akademik 2016/2017

Kata kunci:
Komunikasi Penyiaran, Komunikasi Periklanan, Komunikasi Hubungan Masyarakat

A. Latar Belakang
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Menurut data statistik (BPS) pada tahun 2013/2014 luas Indonesia mencapai 1.919.440 km 2
dengan jumlah penduduk sebesar 237.641.326 jiwa. Jumlah penduduk sebesar itu adalah aset
yang sangat potensial yang tidak ternilai harganya. Potensi ini akan menjadi nyata jika
sumber daya manusia tersebut memiliki kualitas yang memadai sebab jumlah penduduk yang
besar tanpai disertai dengan kualitas yang memadai hanya akan menjadi beban pembangunan.
(Azwar, 2013)

BPS mencatat bahwa pada bulan Februari 2014 jumlah angkatan kerja Indonesia
mencapai 125,3 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2014
mencapai 118,2 juta orang. Ini berarti terdapat pengangguran sebesar 7,1 juta orang. Hal yang
membuat miris adalah kenyataan bahwa jumlah penduduk bekerja pada jenjang pendidikan
SD ke bawah masih tetap mendominasi, yaitu sebanyak 55,3 juta orang (46,80 persen),

194
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sedangkan jumlah penduduk bekerja dengan pendidikan Diploma sebanyak 3,1 juta orang
(2,65 persen) dan penduduk bekerja dengan pendidikan Universitas hanya sebanyak 8,8 juta
orang (7,49 persen). Jumlah pengangguran terbuka lulusan Diploma dan Sarjana pada
Februari 2014 masing-masing adalah sebesar 5,87 persen dan 4,31 persen. Artinya, lulusan
program Diploma masih lebih banyak yang menganggur dibandingkan lulusan sarjana.
Padahal menurut Rektor ITB, Prof. Akhmaloka, Dipl.Biotech., Ph.D., jumlah pekerjaan yang
membutuhkan lulusan dengan keterampilan (Diploma/vokasi) lebih banyak dibandingkan
lulusan yang dipersiapkan untuk urusan manajerial (Sarjana). Pola pengelolaan jumlah lulusan
perguruan tinggi mulai dari Diploma, S-1, S-2, hingga S-3 idealnya berbentuk piramida, yaitu
jumlah lulusan diploma harus lebih banyak dibandingkan jumlah sarjana hingga doktor. Akan
tetapi di Indonesia lulusan Sarjana jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan lulusan
Diploma, semua orang dituntut untuk bekerja yang menuntut keterampilan. (Azwar, 2013)
Pendidikan program vokasi di Indonesia tidak memiliki peminat sebanyak program
pendidikan sarjana. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa pendidikan
vokasi adalah pendidikan non gelar. Masyarakat lebih memilih program pendidikan sarjana
karena begitu lulus akan mendapatkan gelar. Padahal terdapat program Diploma 4 yang setara
dengan sarjana jalur profesional. Pendidikan vokasi sendiri terdiri dari diploma 1, diploma 2,
diploma 3, hingga diploma 4.

Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan vokasional diperluas


menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan kejuruan, vokasional, dan profesional. Ketiganya
bertujuan menyiapkan peserta didik untuk siap bekerja pada bidang tertentu. Pendidikan
vokasi bertujuan menyiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaaan dengan keahlian
terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan profesional bertujuan
menyiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
Keahlian yang didapat lulusan pendidikan vokasional dan akademik berbeda. Lulusan
pendidikan akademik menguasai ilmu secara teori sedangkan lulusan pendidikan vokasional
pada penguasaan praktek dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Itulah sebabnya lulusan
pendidikan vokasional lebih mudah diserap pasar dibandingkan lulusan akademik, dan dapat
menjadi solusi untuk menekan angka pengangguran. Apalagi jika kita melihat perkembangan
industri di Indonesia yang saat ini semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan dengan
berdirinya perusahaan-perusahaan lokal dan banyaknya perusahaan asing yang masuk ke
Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini tentunya akan membutuhkan banyak tenaga kerja siap
pakai yang memiliki keterampilan (yang dihasilkan dari program vokasi) untuk diserap, dan
itu berarti akan mengurangi jumlah pengangguran.

195
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Saat ini, Universitas Indonesia telah memiliki program vokasi yang akan mencetak
lulusan yang siap pakai di dunia kerja/industri. Program Vokasi Universitas Indonesia
memiliki 11 program studi, diantaranya adalah Program Studi (Prodi) Komunikasi yang
terdiri dari peminatan Komunikasi Penyiaran, Komunikasi Periklanan, dan Komunikasi
Hubungan Masyarakat. Penelitian ini sebenarnya merupakan studi kasus pada lulusan Prodi
Akuntansi dan Komunikasi tahun 2011 – 2013 (angkatan tahun masuk 2008 – 2010). Kedua
Prodi ini merupakan Prodi yang paling tinggi peminatnya. Selain itu berdasarkan tracer study
lulusan kedua Prodi ini memiliki waktu tunggu untuk bekerja rata-rata hanya satu bulan.
Bahkan untuk prodi Komunikasi waktu tunggu mereka kurang dari satu bulan.
Kurikulum program vokasi untuk angkatan 2008 - 2010 telah mengacu kepada KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pembelajar (learner), prosedur
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK
berorientasi pada pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik
tolak dari kompetensi yang harus dimiliki pembelajar. Penerapan KBK berorientasi pada
pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat
menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional
(Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain:
kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter nasional. Untuk
mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana pembelajar
belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh pembelajar.

Untuk Program Studi Komunikasi peminatan Komunikasi Penyiaran, kompetensi


Umum yang ingin dicapai adalah mampu mempraktekkan siaran program melalui sebuah
media penyiaran, mampu menciptakan program untuk media penyiaran, mampu menciptakan
program untuk media penyiaran, mampu merumuskan prinsip dasar penyiaran. Kompetensi
Umum yang ingin dicapai oleh lulusan peminatan Komunikasi Periklanan adalah mampu
menyusun perencanaan strategi periklanan, mampu mendesain karya kreatif periklanan secara
profesional, mampu merencanakan media periklanan secara profesional, mampu
menerapkan strategi account Periklanan secara profesional. Kompetensi Umum yang ingin
dicapai oleh lulusan peminatan Komunikasi Hubungan Masyarakat adalah mampu
melaksanakan program kehumasan, mampu mengoperasikan teknologi media termasuk media
baru untuk mendukung program kehumasan, mampu mempraktekkan teknik-teknik
kehumasan, dan mampu mempratekkan komunikasi antar pribadi untuk program kehumasan.

196
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Untuk perguruan tinggi, menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap
untuk terjun di dunia kerja adalah suatu prestasi, sehingga perguruan tinggi - perguruan tinggi
ini berlomba-lomba menghasilkan lulusan yang menjadi rebutan di dunia kerja atau bahkan
mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Tidak terkecuali dengan Program Vokasi UI.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh program vokasi untuk membekali para
mahasiswa (baca: calon lulusan) untuk siap terjun ke dunia kerja. Di antaranya adalah dengan
menyediakan sebanyak 80 persen tenaga pengajar yang berasal dari industri/para praktisi di
industri terkait program studi yang ada di program vokasi UI, melakukan pertemuan dengan
asosiasi profesi dan perusahaan-perusahaan dari industri terkait guna penyusunan kurikulum
yang sesuai dengan kebutuhan industri, memberikan kuliah-kuliah pembekalan, memberikan
tugas-tugas kuliah dengan kasus riil dari industri, malakukan program company visit, dan
sebagainya.
Guna menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja/industri
tersebut, Program Vokasi UI telah melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan dan
asosiasi profesi dalam melaksanakan program magang dan secara berkala melakukakan
pertemuan yang membahas tentang kebutuhan tenaga kerja di industri tersebut. Namun
khusus bagi Prodi Komunikasi program magang belum masuk dalam kurikulum, melainkan
hanya sebagai syarat bagi pembuatan Tugas Karya Akhir (TKA). Prasyarat inipun baru
diterapkan pada mahasiswa Prodi Komunikasi mulai angkatan masuk tahun 2012. Berbeda
dengan prodi lain dimana magang merupakan hal yang wajib dan TKA mahasiswa adalah
berupa laporan praktek magang yang biasanya dilakukan selama 2 hingga 3 bulan, di Prodi
Komunikasi tiap mahasiswa wajib membuat suatu karya Komunikasi yang harus
dipresentasikan dan dipertahankan di depan dewan penguji yang terdiri dari para praktisi
industry Komunikasi.
Mahasiswa semester 6 dari peminatan Penyiaran wajib membuat satu karya televise,
film, atau radio yang layak siar di media. Sementara mahasiswa peminatan Humas harus
membuat sebuah proyek kehumasan yang mengacu pada permasalahan nyata dari perusahaan
yang sebenarnya. Demikian juga pada mahasiswa peminatan periklanan harus membuat
proyek periklan untuk suatu produk tertentu yang riil bukan produk khayalan melalui berbagai
saluran distribusi.
Meski secara nyata para mahasiswa yang lulus dari Prodi Komunikasi telah
membuktikan bahwa mereka telah dapat membuat karya yang sesuai standar industri sehingga
ketika mereka mempresentasikan banyak di antara para penguji yang merupakan praktisi

197
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

industri langsung meminta mereka untuk bekerja di perusahaan mereka, namun pihak prodi
masih harus melihat apakah masih ada gap antara kurikulum yang diajarkan dengan apa yang
dibutuhkan mereka saat mereka bekerja. Hal ini guna mengetahui apakah perlu diadakan
perubahan atau pengembangan kurikulum.
Untuk itu maka penelitian ini difokuskan pada apakah kurikulum yang diajarkan di
Prodi Komunikasi itu sudah memadai membantu para lulusan dalam pekerjaan mereka.

C. PERTANYAAN PENELITIAN
Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah kurikulum yang diajarkan dapat mempermudah pekerjaan para lulusan?
2. Ketrampilan apa lagi yang dibutuhkan oleh mahasiswa agar mereka dapat mudah
mengerjakan pekerjaan mereka untuk menunjang karir mereka?

D. TINJAUAN PUSTAKA
Hampir sepuluh tahun terakhir ini pendidikan tinggi menghadapi isu dan tantangan
globalisasi, kompetisi, dan ekonomi berbasis pengetahuan/knowledge economy (Nurcahyanie,
Rusdiantoro, dan Waluyo, 2012) tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
Perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan ini berlandaskan pada keunggulan kompetitif
yang terbentuk dari tiga unsur terkait, yaitu: modal manusia, kemampuan organisasi, dan
penguasaan kompetensi. Ketiganya harus berjalan serempak, dimana kemampuan organisasi
dan penguasaan kompetensi itu sendiri pada dasarnya juga tergantung pada keunggulan modal
manusia yang menanganinya (Zuhal, 2008:16).
Rojewski (2002) menyatakan bahwa sistem ekonomi baru ini membutuhkan pekerja-
pekerja yang tidak hanya memiliki keterampilan personal tapi juga keterampilan
interpersonal. Sementara itu Suarta (2012) menyatakan bahwa selain memiliki keterampilan
teknis dalam bidangnya, industri saat ini sangat membutuhkan pekerja-pekerja yang memiliki
keterampilan bersifat generik (employability skills).

Menurut Nurcahyanie, Rusdiantoro, dan Waluyo, 2012). employability skill terdiri


atas keterampilan akademik, keterampilan pengembangan diri, dan keterampilan bisnis.
Keterampilan akademik terdiri dari pengetahuan spesialis, kemampuan menerapkan
pengetahuan spesialis, berpikir logis, analisis secara kritis, penyelesaian masalah, komunikasi
lisan dan tulisan, kemampuan menggunakan data numerik, literasi komputer
dan keterampilan meneliti. Keterampilan penggembangan diri terdiri dari percaya diri,

198
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

keyakinan diri, menyadari kekuatan dan kekurangan diri, kreativitas, mandiri, pengetahuan
atas hubungan internasional, keinginan untuk belajar, kemampuan refleksi, integritas, jujur
dan hormat kepada oranglain. Keterampilan bisnis terdiri dari keterampilan entrepreneurial,
kemampuan untuk memprioritaskan tugas, manajemen waktu, keterampilan interpersonal, keterampilan
presentasi, kemampuan bekerja dalam tim, leadership, commercial awareness, fleksibel, inovator,
independence, dan risk taking.

Lebih lanjut, Suarta (2012) menyatakan bahwa perubahan karakteristik dunia kerja ini
memberikan tantangan secara terus-menerus pada dunia pendidikan. Treleaven & Voola
(2008:160) menyatakan bahwa lulusan kerja merupakan masalah utama pendidikan tinggi
kontemporer. Pendidikan vokasional diharapkan dapat memberikan bekal bagi para
lulusannya dengan berbagai keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri/dunia kerja
sehingga lulusannya dapat segera terserap dalam dunia kerja.

Kompetensi lulusan Program Vokasi Universitas Indonesia tahun 2011-2013 mengacu


kepada KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pembelajar (learner),
prosedur penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan.
KBK berorientasi pada pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK
bertitik tolak dari kompetensi yang harus dimiliki pembelajar. Penerapan KBK berorientasi
pada pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat
menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional
(Depdiknas,20002:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain:
kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter nasional. Untuk
mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana pembelajar
belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh pembelajar (Tantra, 2009).

Pada tahun 2013, Program Vokasi Universitas Indonesia melakukan tracer study
untuk mengetahui jumlah data lulusan program ini serta masa tunggu untuk mendapatkan
pekerjaan. Hasilnya adalah sebagai berikut:

199
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 1 Jumlah Data Lulusan Tahun 2010 – 2014


Sumber: Tracer Study Program Vokasi UI tahun 2013

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mulai tahun 2011 – 2013, di hampir semua
program studi jumlah lulusan meningkat. Tracer study tahun 2013 juga menghasilkan data
waktu tunggu para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang terlihat pada tabel
berikut ini.

Tabel 2 Rerata Waktu Tunggu Lulusa untuk Mendapatkan Pekerjaan


Sumber: Tracer Study Program Vokasi UI tahun 2013
Berdasarkan kurikulum Program Vokasi yang disusun dengan menggunakan
Kurikulum Berbasis Kompetensi dan berangkat dari hasil tracer study 2013, penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah kurikulum yang digunakan oleh program vokasi
Universitas Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan industri dengan melihat jumlah lulusan
yang terserap di industri. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui langkah-
langkah yang harus dilakukan n untuk menghilangkan gap antara kebutuhan industri dan
kesiapan kurikulum sehingga program vokasi dapat menangkap dan memenuhi kebutuhan
sumber daya manusia bagi industri tersebut.

200
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

E. Definisi dan Operasionalisasi Konsep


1. Definisi Konsep
Variabel yang digunakan adalah Variabel Kurikulum Prodi Komunikasi yang akan
dioperasionalisasi menjadi 3 dimensi yaitu Dimensi Peminatan Humas, Peminatan
Periklanan, dan Peminatan Penyiaran. Dari tiap dimensi akan dioperasionalisasi
menjadi 2 sub dimensi yaitu Pengetahuan Dasar dan Praktek. Dari tiap-tiap sub
dimensi akan dioperasionalisasi menjadi indicator yang merupakan ragakaian mata
kuliah yang diajarkan selama 6 semester di Program Vokasi Universitas Indonesia
pada Program Studi Komunikasi. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada
operasionalisasi konsep di bawah ini.

2. Operasionalisasi Konsep
Variabel Dimensi Sub Dimensi Indikator

KURIKULUM Peminatan Pengetahuan Dasar 1. Creative Thinking


Humas Kehumasan 2. Dasar-Dasar Penulisan
KOMUNIKASI
3. Dasar2 Humas
4. Dasar2 Riset Humas
5. Etika Profesi dan Aspek Hukum
Humas
6. Etiket dan Pengembangan
Pribadi
7. Leadership dan Team Building
8. Komunikasi Antar Budaya untuk
Humas
9. Pemasaran Sosial
10. Teknik Lobi dan Negosiasi
11. Human Relations
12. Internal Relations
13. External Relations 1&2
14. Manajemen Humas
Praktek Kehumasan 1. Aplikasi Komputer Untuk
Humas
2. Fotografi Humas Teknik Public
Speaking
3. Produksi Media Audio Visual
4. Teknik Penulisan Naskah Humas
1 &2
5. Teknik Lobi dan Negosiasi
6. Kampanye Humas
7. Perencanaan dan Evaluasi
Program Humas
8. Event Management

201
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Variabel Dimensi Sub Dimensi Indikator

9. Strategi Komunikasi Untuk


penanganan Krisis
10. Komunikasi Pemasaran
Terpadu
11. Strategi dan Taktik Humas
Pemasaran
12. Strategi dan Taktik Humas
Institusi
13. Strategi dan Taktik Humas
1. Individu
14. Praktikum Media Cetak Humas
Peminatan Pengetahuan Dasar 1. Creative Thinking
Iklan Periklanan 2. Dasar-dasar Penulisan
3. Dasar-Dasar Pemasaran
4. Dasar-Dasar Periklanan
5. Metode Penelitian Periklanan
2. 6. Perilaku Konsumen

7. Etika Periklanan
8. Pembelian Media
9. Fotografi Periklanan

10. Manajemen Bidang Media

11. Teknik Negosiasi


12. Manajemen Bidang Kreatif
13. Dasar-Dasar Desain Grafis
14. Perencanaan Media
15. Manajemen Bina Usaha
16. Media Baru
Praktek Periklanan 1. Strategi Soft Sell
2. Strategi Hard Sell
3. Strategi Pengembangan Pesan
4. Evaluasi Program Periklan
5. Penulisan Naskah Iklan

6. Aplikasi Desain Grafis


7. Penyusunan Program
Periklanan
8. Eksekusi Pesan Iklan Cetak

9. Eksekusi Pesan Iklan Audio dan


Audio Visual
10. Teknik Penulisan Proposal dan
Presentasi
11. Komunikasi Pemasaran
Terpadu
12. Praktikum Periklanan
Peminatan Pengetahuan Dasar 1. Creative Thinking
2. Dasar-dasar

202
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Variabel Dimensi Sub Dimensi Indikator

Penyiaran Penyiaran Penulisan


3. Sistem Penyiaran
4. Manajemen
Penyiaran
5. Jurnalisme
Penyiaran
6. Teknologi Penyiaran
7. Teknik Kamera

8. Pemasaran Radio
dan TV
9. Sistem Peralatan
Produksi
10. Program Directing
11. Perencanaan
Program Radio 1
12. Manajemen Stasiun
Radio
13. Manajemen Program
TV 1 & 2
Praktek Penyiaran 1. Olah Suara dan Penyajian
2. Penulisan Naskah Radio
3. Perencanaan Program Radio 2
4. Produksi Radio 1 & 2
5. Teknik Penyajian dan
Wawancara
6. Pasca Produksi `
7. Feature dan Dokumenter
8. Desain Produksi TV 1 & 2

9. Produksi Berita TV
10. Produksi TV 1 & 2
11. Praktek Radio

F. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan Paradigma Positivisme. Paradigma Positivisme
memulai premis yang menganggap bahwa ilmu sosial itu sama dengan ilmu alam,
sehingga ilmu sosial harus menggunakan metode yang sama dengan penelitian ilmu alam.
.(Neuman, 2003) Menggunakan pendekatan kuantitatif sehingga kuantitatif dituntut
bersikap objektif dan memisahkan diri dari data. Artinya, peneliti tidak boleh membuat
batasan konsep maupun alat ukur data sekehendak hatinya sendiri. Oleh karena itu, dalam
hal analisis data pun, peneliti tidak boleh mengikutsertakan analisis data interpretasi yang

203
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

bersifat objektif. Karena itu, digunakan uji statistik untuk menganalisis data. (Kriyantono,
2010)
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif dilakukan
ketika hanya sedikit yang diketahui tentang obyek penelitian. Penelitian ini dilakukan
untuk mengeksplorasi suatu fenomena seperti suatu kelompok atau suatu lingkungan guna
menjadi tahu menegenai fenomena tersebut atau untuk memahaminya, seringkali
dilakukan untuk merumuskan permasalahan penelitian yang lebih khusus untuk dikaji
lebih lanjut. (Neuman, 2003)
Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Metode survei adalah metode
penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner
sebagai alat pengumpul data yang pokok. (Bryman, 2008) Survei ini akan dilakukan
dengan dua cara yaitu melalui penyebaran kuesioner pada responden dan juga melalui
online survei yang disebarkan melalui Twitter. Namun survei online hanya merupakan
metode tambahan untuk mendapatkan data yang lebih beragam. Penyebaran kuesioner
secara langsung akan memenuhi 80% dari total sample, sementara melalui online akan
memenuhi 20% dari total sample.
Populasi dalam penelitian ini adalah alumni Program Vokasi UI dari Program
Studi Akuntansi dan Komunikasi yang lulus pada tahun 2011 hingga 2013. Jumlah
populasi adalah 630 orang. (Berdasarkan data dari Bidang Pendidikan Program Vokasi
UI)
Jumlah sample akan ditentukan dengan formula Taro Yamane yang akan dihitung
dari jumlah populasi pemilih yaitu 630 orang. Meskipun jumlah ini adalah total jumlah
pemilih pemula di sekuruh Indonesia, sementara penelitianhanya dilakukan di Jakarta.
Rumus Taro-Yamane adalah sebagai berikut: (Kriyantono, 2010)
N
n=

N.d2 + 1

Dimana: n = Jumlah sampel


N = Jumlah populasi
d2= Batas kesalahan yang ditetapkan 5%
sehingga jumlah sample pada penelitian ini adalah
n= ____630_____
630 x 0.0025+1

204
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= 244,6602 atau dibulatkan menjadi 245 orang

Jumlah sampel ini akan didapatkan dibagi berdasarkan jumlah lulusan dari tiap-tiap program
studi secara proporsioanal. Pericinannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Jumlah Pembagian Sampel Berdasarkan Program Studi

Program Studi Jumlah


No Jumlah Lulusan
Sampel
1 Akuntansi 334 (53%) 130
2 Komunikasi 296 (47%) 115
Total 630 245

Namun karena dalam presentasi ini hanya akan ditampilkan hasil dari Prodi
Komunikasi maka pembagian sampel yang akan diambil adalah seperti dalam tabel 4 di
bawah ini.

Tabel 4 Jumlah Pembagian Sampel Berdasarkan Peminatan


No Peminatan Jumlah Lulusan Jumlah Sampel
1 Hubungan Masyarakat 107 42
2 Periklanan 83 32
3 Penyiaran 106 41
Total 296 115

Setelah penentuan sampel secara proporsional berdasarkan jumlah lulusan dari


masing-masing prodi, maka untuk menentukan reponden diambil melalui teknik
pengambilan sample convenience sampling. Teknik pengambilan sampel tipe ini
merupakan teknik pengambilan sample yang sederhana di mana peneliti mengambil
sampel berdasarkan tingkat aksesibilitas peneliti. (Bryman, 2008) Penentuan sampel
dengan cara ini diambil oleh peneliti karena peneliti ingin memastikan yang menjadi
responden adalah lulusan yang langsung bekerja selepas lulus Program Vokasi dan/atau
pada saat penelitian ini dilakukan sudah/sedang bekerja. Oleh sebab itu untuk
meminimalisir kegagalan generalisasi karena sampel tidak representatif, maka 115 orang
responden lulusan Prodi Komunikasi (dari total 245 orang) ini akan diambil melalui dua
cara yaitu secara online dan tatap muka (pemberian kuesioner secara langsung).
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis analisis yaitu analisi univariat dan
bivariat. Analisis univariat adalah analisis untuk satu buah variabel dalam satu waktu,

205
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

atau dalam penelitian ini indikator untuk melihat sebaran jawaban pada tiap indikator
serta melihat besarnya skor. Analisi univariat yang dilakukan akan berbentuk tabel
distribusi frekuensi yang dapat memperlihatkan sebaran jawaban dari masing-masing
indikator. Melalui tabel ini juga dapat dihitung skor jawaban dari masing-masing
indikator. Penghitungan skor ini menggunakan skala Liekert. Melalui skala likert,
responden akan diberikan / disajikan jawaban dalam bentuk pernyataan yang diberi
skor sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS) =4
Setuju (ST) =3
Cukup Setuju (CS) =2
Tidak Setuju (TS) =1

Sementara analisis bivariat adalah analisis dua variabel dalam satu waktu untuk
melihat bagaimana hubungan antara kedua variabel. Analisis bivariat yang digunakan
adalah dalam bentuk contingency table atau yang dikenal sebagai tabel silang atau
cross tableI. Melalui tabel silang ini akan dapat dilihat hubungan antara dua indikator
dan juga perbedaan jawaban berdasarkan program studi dan jenis pekerjaan. Dalam
penelitian ini untuk melihat apakah ada kesesuaian antara kurikulum yang diajarkan
ketika mereka kuliah di Program Vokasi UI dengan apa yang mereka lakukan di tempat
kerja mereka.
Sebagai ukuran untuk menguji kriteria keabsahan penelitian digunakan uji reliabilitas
dengan menggunakan teknik alpha cronbach. Berthoud (2006) mengatakan standar
nilai alpha (α) yang digunakan untuk menunjukkan bahwa alat ukur tersebut baik
adalah >0,6. Jadi, semakin besar nilai alpha (> 0,6), maka semakin reliabel alat ukur
tersebut. (Bryman, 2008) selain itu juga dilakukan uji validitas dengan menggunakan
teknik analisa faktor sehingga akan diperoleh nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO), yaitu
uji statistik yang digunakan untuk menunjukkan ketepatan analisis faktor terhadap
variabel-variabel yang diukur. Bila nilai KMO > 0,5 dengan nilai signifikansi < 0.005
maka variabel tersebut dapat diukur dengan menggunakan teknik faktor analisis untuk
mengertahui apakah indikator yang dibuat memang berada pada satu kelompok
dengan indikator lainnya yang masih dalam satu variabel.
Berikut ini adalah table interpretasi KMO MSA:

Tabel 5 Interpretasi KMO

206
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Nilai KMO Tingkatan Varian


0.90-1.00 Marvellous (Sangat Bermanfaat)
0.80-0.89 Meritorius (Bermanfaat)
0.70-0.79 Middling (Cukup Bermanfaat)
0.60-0.69 Mediocre (Sedang)
0.50-0.59 Miserable (Tidak Bermanfaat)
0.00-0.49 Unacceptable (tidak bisa diterima)
Sumber: Kaiser, 1974 dalam Imam Ghozali, 2005

Hasil uji reliabilitas adalah sebagai berikut:

Tabel 6 Hasil Uji Reliabilitas

No Dimensi Sub Dimensi Nilai α Cronbach


1 Komunikasi Humas Pengetahuan Dasar .880
Praktek .759
2 Komunikasi Periklanan Pengetahuan Dasar .877
Praktek .802
3 Komunikasi Peyiaran Pengetahuan Dasar .828
Praktek .781

Artinya semua instrument dalam tiap sub dimensi mempunyai reliabilitas yang
cukup sehingga reliable dan bisa digunakan seluruhnya.
Sementara hasil dari uji validitas dapat dilihat dari tabel 7 di bawah ini.

207
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 7 Hasil Uji Validitas


No Dimensi Nilai KMO
1 Komunikasi KMO and Bartlett's Test
Humas
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling ,573

Adequacy.

Approx. Chi-Square 208,405


Bartlett's Test of
Df 78
Sphericity
Sig. ,000

2 Komunikasi KMO and Bartlett's Test


Periklanan
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling ,686

Adequacy.

Approx. Chi-Square 128,990


Bartlett's Test of
Df 36
Sphericity
Sig. ,000

3 Komunkasi KMO and Bartlett's Test


Penyiaran
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling ,687

Adequacy.

Approx. Chi-Square 244,477


Bartlett's Test of
Df 91
Sphericity
Sig. ,000

Dari ketiga hasil uji validitas tampak bahwa instrument penelitian valid karena
nilai KMO semua di atas 0.5 dengan signifikansi kurang dari 0.05

208
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

G. ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL PENELITIAN


1. Gambaran Umum Responden
a. Jenis Kelamin

No Peminatan Laki-laki Perempuan Total


1 Hubungan Masyarakat 17 25 42
2 Periklanan 15 17 32
3 Penyiaran 20 21 41
Total 52 63 115

b. Tahun Lulus

No Peminatan 2011 2012 2013 Total


1 Hubungan Masyarakat 17 15 10 42
2 Periklanan 12 11 9 32
3 Penyiaran 15 13 13 41
Total 44 39 32 115

2. Kesesuaian Mata Kuliah Pengetahuan Dasar Hubungan Masyarakat dengan


Pekerjaan
Total
No Mata Kuliah SS S CS TS %
Skor
1 Creative Thinking - 35 7 - 119 71
2 Dasar-Dasar Penulisan - 37 5 - 121 72
3 Dasar-dasar Humas - 37 5 - 121 72
4 Dasar2 Riset Humas - 37 5 - 121 72
5 Etika Profesi dan
- 6 36 - 90 54
Aspek Hukum Humas
6 Etiket dan
- 42 - - 126 75
Pengembangan Pribadi
7 Leadership dan Team
- 18 24 - 102 61
Building
8 Komunikasi Antar
- 28 14 - 112 67
Budaya
9 Pemasaran Sosial - 3 39 - 87 52
10 Human Relations - 35 7 - 119 71
11 Internal Relations - 37 5 - 121 72
12 External Relations 1&2 - 28 14 - 112 67
13 Manajemen Humas - 25 16 - 107 64

Dari matakuliah pengetahuan dasar semua responden hanya memilih setuju


dan cukup setuju dengan prosentase persetujuan jawaban di atas 50 % artinya untuk
matakuliah dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah yang masuk dalam

209
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pengetahuan dasar memang membantu mereka dalam pekerjaan. Namun skor terkecil
ada pada mata kuliah Pemasaran Sosial

210
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3. Kesesuaian Mata Kuliah Praktek Hubungan Masyarakat dengan Pekerjaan


Total
No Mata Kuliah SS S CS TS %
Skor
1 Aplikasi Komputer Untuk
- 6 36 - 84 50
Humas
2 Fotografi Humas - 19 23 - 103 61
3 Teknik Public Speaking - 27 15 - 111 66
4 Produksi Media Audio Visual - 3 39 - - -
5 Teknik Penulisan Naskah
- 35 7 - 119 71
Humas 1 &2
6 Teknik Lobi dan Negosiasi - 35 7 - 119 71
7 Kampanye Humas - 37 5 - 121 72
8 Perencanaan dan Evaluasi
- 37 5 - 121 72
Program Humas
9 Event Management - 37 5 - 121 72
10 Strategi Komunikasi Untuk
- 6 36 - 84 50
penanganan Krisis
11 Komunikasi Pemasaran
- 29 13 - 113 67
Terpadu
12 Strategi dan Taktik Humas
- 23 19 - 107 64
Pemasaran
13 Strategi dan Taktik Humas
- 12 30 - 96 57
Institusi
14 Strategi dan Taktik Humas
3. Individu - 3 39 - 87 52
15 Praktikum Media Cetak
- 35 7 - 119 71
Humas

Dari matakuliah praktek humas semua responden juga hanya memilih setuju
dan cukup setuju dengan prosentase persetujuan jawaban minimal 50 % artinya untuk
matakuliah dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah yang masuk dalam
pengetahuan dasar memang membantu mereka dalam pekerjaan. Namun skor terkecil
ada pada mata kuliah Aplikasi Komputer untuk Humas dan Strategi Komunikasi untuk
Penanganan Krisis.

4. Kesesuaian Mata Kuliah Pengetahuan Dasar Periklanan dengan Pekerjaan

Total
No Mata Kuliah SS S CS TS %
Skor
1 Creative Thinking - 24 8 - 88 69
2 Dasar-Dasar Penulisan - 26 6 - 90 70
3 Dasar-dasar Pemasaran - 26 6 - 90 70
4 Dasar-dasar Periklanan - 26 6 - 90 70
5 Dasar-dasar Desain
- 25 7 - 89 69
Grafis

211
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

6 Metode Penelitian
- 7 25 - 78 61
Periklanan
7 Perilaku Konsumen - 15 17 - 79 62
8 Etika Periklanan - 4 28 - 68 53
9 Pembelian Media - 24 8 - 88 69
10 Fotografi Periklanan - 24 8 - 88 69
11 Perencanaan Media - 7 25 - 71 55
12 Teknik Negosiasi - 26 6 - 90 70
13 Manajemen Bidang
- 26 6 - 90 70
Media
14 Manajemen Bidang
- 26 6 - 90 70
Kreatif
15 Manajemen Bina Usaha - 19 13 - 83 65
16 Media Baru - 21 11 - 85 66

Dari matakuliah pengetahuan dasar semua responden hanya memilih setuju


dan cukup setuju dengan prosentase persetujuan jawaban di atas 50 % artinya untuk
matakuliah dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah yang masuk dalam
pengetahuan dasar memang membantu mereka dalam pekerjaan. Namun skor terkecil
ada pada mata kuliah Etika Periklanan

5. Kesesuaian Mata Kuliah Praktek Periklanan dengan Pekerjaan

Tota
N S T
Mata Kuliah S CS l %
o S S
Skor
1 4. Strategi Soft Sell 2 5
- 9 - 73
3 7
2 Strategi Hard Sell 2 5
- 9 - 73
3 7
3 5. Strategi Pengembangan 2 6
Pesan - 8 - 88
4 9
4 Evaluasi Program Periklanan 2 7
- 6 - 90
6 0
5 Penulisan Naskah Iklan 2 7
- 6 - 90
6 0
6 Aplikasi Desain Grafis 2 7
- 6 - 90
6 0
7 Penyusunan Program Periklanan 2 5
- 7 - 71
5 5
8 Eksekusi Pesan Iklan Cetak 1 1 6
- - 79
5 7 2
9 Eksekusi Pesan Iklan Audio dan Audio Visual 2 5
- 4 - 72
8 6
10 Teknik Penulisan Proposal dan Presentasi 2 6
- 8 - 88
4 9
11 6. Komunikasi Pemasaran 2 6
Terpadu - 8 - 88
4 9

212
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tota
N S T
Mata Kuliah S CS l %
o S S
Skor
12 Praktikum Periklanan 2 7
- 6 - 90
6 0

Dari matakuliah praktek periklanan semua responden juga hanya memilih


setuju dan cukup setuju dengan prosentase persetujuan jawaban minimal 55 % artinya
untuk matakuliah dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah yang masuk dalam
pengetahuan dasar memang membantu mereka dalam pekerjaan. Namun skor terkecil
ada pada mata kuliah Penyusunan Program Periklanan
6. Kesesuaian Mata Kuliah Pengetahuan Dasar Penyiaran dengan Pekerjaan
Total
No Mata Kuliah SS S CS TS %
Skor
1 Creative Thinking - 37 4 - 119 73
2 Dasar-Dasar Penulisan - 35 6 - 117 71
3 Sistem Penyiaran - 3 28 10 71 43
4 Manajemen Penyiaran - 9 27 5 86 52
5 Jurnalisme Penyiaran - 14 26 1 95 58
6 Teknologi Penyiaran - 3 5 33 58 35
7 Teknik Kamera - 36 5 - 118 72
8 Pemasaran Radio dan
- 4 37 - 86 52
TV
9 Sistem Peralatan
- 10 31 - 92 56
Produksi
10 Program Directing
- 35 6 - 117 71
11 Perencanaan Program
- 35 6 - 117 71
Radio 1
12 Manajemen Stasiun
- 35 6 - 117 71
Radio
13 Manajemen Program
- 10 31 - 92- 56
TV 1 & 2

Dari matakuliah pengetahuan dasar semua responden memilih setuju, cukup


setuju dan tidak setuju setuju dengan prosentase persetujuan jawaban ada yang kurang
dari 50 % artinya untuk matakuliah dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah
yang masuk dalam pengetahuan dasar memang membantu mereka dalam pekerjaan.
Namun ada dua matakuliah yang dianggap tidak banyak membantu mereka dalam
pekerjaan yaitu mata kuliah Teknologi Penyiaran dan Sistem Penyiaran karena
skornya di bawah 50%. Beberapa mata kuliah yang skornya relative kecil meski masih
di atas 50% adalah Manajemen Penyiaran dan Pemasaran Radio dan TV

213
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

7. Kesesuaian Mata Kuliah Praktek Penyiaran dengan Pekerjaan


Total
No Mata Kuliah SS S CS TS %
Skor
1 Olah Suara dan
- 22 19 - 104 63
Penyajian
2 Penulisan Naskah
- 5 36 - 87 53
Radio
3 Perencanaan Program
- 34 7 - 116 71
Radio 2
4 Produksi Radio 1 & 2 - 31 10 - 113 69
5 Teknik Penyajian dan
- 35 6 - 117 71
Wawancara
6 Pasca Produksi - 35 6 - 117 71
7 Feature dan
- 35 6 - 117 71
Dokumenter
8 Desain Produksi TV 1
- 10 31 - 92 56
&2
9 Produksi Berita TV - 16 25 - 98 60
10 Produksi TV 1 & 2 - 24 17 - 106- 65
11 Praktek Radio 4 21 16 - 111 68

Dari matakuliah praktek penyiaran semua responden mayoritas memilih setuju


dan cukup setuju. Namun pada matakuliah Praktek Radio ada 4 orang responden yang
memilih angat setuju bahwa mata kuliah itu sangat membantu pekerjaan mereka.
Semua mata kuliah tingkakt persetujaannya di atas 50% artinya untuk matakuliah
dasar mahasiswa merasakan bahwa matakuliah yang masuk dalam praktek penyiaran
memang membantu mereka dalam pekerjaan. Namun skor terkecil ada pada mata
kuliah Penulisan Naskah Radio

8. Profil responden yang menganggap mata kuliah tidak membantu pekerjaan


mereka berdasarkan tahun lulus

Matakuliah yang ditampilkan adalah yang skornya paling kecil pada tiap-tiap
peminatan

a. Peminatan Humas

Tabel 8. Mata Kuliah Dasar - Pemasaran Sosial

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 1 16 - 17
2 2012 - 1 14 - 15
3 2013 - 1 9 - 10

214
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Total 0 3 39 0 42

Dari tabel 8 di atas tampak bahwa dari tiap angkatan tak ada jawaban yang
menyolok. Artinya semua responden berpendapat sama. Total skor yang hanya 52%
memperlihatkan bahwa dibandingkan mata kuliah lain alumni menganggap Pemasaran
Sosial termasuk yang tidak begitu membantu pekerjaan mereka.

Tabel 9. Mata Kuliah Praktek – Aplikasi Komputer untuk Humas

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 2 15 - 17
2 2012 - 1 14 - 15
3 2013 - 3 7 - 10
Total - 6 36 - 42

Tabel 10 Mata Kuliah Praktek - Strategi Komunikasi Untuk penanganan Krisis

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 3 14 - 17
2 2012 - 2 13 - 15
3 2013 - 1 9 - 10
Total - 6 36 - 42

Demikian juga untuk matakuliah Aplikasi Komputer untuk Humas serta


matakuliah Strategi Komunikasi untuk Penanganan Krisis mendapatkan skor 50%.
Jadi alumni menganggap kedua matakuliah ini tidak terlalu banyak membantu
pekerjaannya. Padahal kedua matakuliah ini merupakan matakuliah yang seharusnya
dapat menyelesaikan permasalahan di kantor, khususnya untuk mata kuliah Strategi
Komunikasi untuk Penanganan Krisis yang seyogyanya dapat mengatasi krisis internal
maupun eksternal yang terjadi. Kemungkinan kedua mata kuliah ini memang tidak
banyak berperan karena sebagai lulusan baru memang mungkin mereka belum diberi
wewenang untuk masalah krisis ataupun hal-hal yang menyangkut komputer.

b. Peminatan Periklanan

215
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 11 Mata Kuliah Dasar – Etika Periklanan


No Tahun Lulus SS S CS TS Total
1 2011 - 2 10 - 12
2 2012 - 1 10 - 11
3 2013 - 1 8 - 9
Total - 4 28 - 32

Dari tabel 11 di atas tampak bahwa dari tiap angkatan tak ada jawaban yang
menyolok. Artinya semua responden berpendapat sama. Total skor yang hanya 53%
memperlihatkan bahwa dibandingkan mata kuliah lain alumni menganggap Etika
Periklanan termasuk yang tidak begitu membantu pekerjaan mereka.

Tabel 12 Mata Kuliah Praktek – Penyusunan Program Periklanan

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 3 9 - 12
2 2012 - 2 9 - 11
3 2013 - 2 7 - 9
Total - 7 25 - 32

Demikian juga dengan mata kuliah Penyusunan Program Periklanan yang


hanya mendapatkan skor … % menunjukkan bahwa di antara mata kuliah praktek
periklanan mata kuliah ini paling sedikit memberikan dukungan pada pekerjaan para
alumni.

c. Peminatan Penyiaran

Tabel 13 Mata Kuliah Dasar – Teknologi Penyiaran

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 1 2 12 15
2 2012 - 1 3 9 13
3 2013 - 1 - 12 13
Total - 3 5 33 41

216
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dari matakuliah Teknologi Penyiaran yang hanya mendapatkan skor 35%


terlihat bahwa mayoritas mengatakan bahwa matakuliah ini tidak banyak membantu
pada pekerjaan mereka. Dari tabel ini memang belum diketahui mereka menolak
kesesuaian matakuliah ini dengan pekerjaan mereka adalah karena memang mereka
tidak bekerja di bidang yang memerlukan teknologi penyiaran atau memang materi
yang disampaikan pada matakuliah ini tidak membantu pekerjaan mereka.

Tabel 13 Mata Kuliah Dasar – Sistem Penyiaran

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 1 14 - 15
2 2012 - 1 12 - 13
3 2013 - 1 12 - 13
Total - 3 28 - 41

Berdasarkan tabel 13 tampak bahwa matakuliah Sistem Penyiaran merupakan


matakuliah yang dianggap tidak memberikan kontribusi pada pekerjaan para alumni.
Skor yang didapatkan hanya 43% artinya mayoritas mereka menganggap matakuliah
ini tidak membantu pekerjaan mereka

Tabel 14 Mata Kuliah Praktek – Penulisan Naskah Radio

No Tahun Lulus SS S CS TS Total


1 2011 - 1 14 - 15
2 2012 - 3 10 - 13
3 2013 - 1 12 - 13
Total - 5 36 - 41

Dari tabel di atas tampak penulisan naskah radio belum cukup memberikan
kontribusi pada para alumni dalam menjalankan pekerjaannya kendati nilai skor
mencapai lebih dari 50% yaitu 53%.

H. PENUTUP

217
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Kesimpulan
Seluruh responden menganggap bahwa mata kuliah yang diajarkan sesuai
dengan pekerjaan yang dikerjakan serta berguna dalam pekerjaannya. Tetapi jika
melihat skor jawaban responden beberapa mata kuliah yang mendapatkan skor yang
rendah perlu ditinjau ulang, apakah harus dikembangkan atau diganti dengan mata
kuliah lain. Demikian juga dengan yang mendapatkan skor tertinggi juga harus
dievaluasi lagi dengan memperhatikan faktor kekinian, mengingat industri
komunikasi adalah industri yang dinamis.
Namun dari penelitian ini belum bisa diketahui apakah para alumni yang
bekerja dalam industri komunikasi ini mendapatkan posisi sebagai orang dengan
posisi profesional seperti yang diharapkan oleh pihak universitas atau tidak, sehingga
perlu adanya kajian lanjutan untuk mengetahui lebih lanjut.
Untuk mengetahui ketrampilan apa lagi yang dibutuhkan oleh mahasiswa agar
mereka dapat mudah mengerjakan pekerjaan mereka untuk menunjang karir mereka
adalah dengan melaksanakan beberapa kegiatan yang tercantum dalam rekomendasi.

2. Rekomendasi
a. Pihak Prodi Komunikasi harus meneliti satuan acara perkuliahan dari matakuliah
yang mendapatkan skor yang rendah yang telah ada sebelum kuliah dimulai, dan
membandingkannya dengan laporan materi yang diberikan dosen pada tiap kali
pertemuan perkuliahan.
b. Demikian juga harus meneliti hasil evaluasi dosen oleh mahasiswa (EDOM) untuk
matakuliah yang mendapatkan nilai rendah.
c. Mengadakan Focus Group Discussion dengan alumni yang telah bekerja, juga
dengan pihak industri komunikasi untuk mengevaluasi dan memberi masukan
tentang materi apa saja yang dapat ditambahkan atau mengganti materi kuliah
yang lama khususnya untuk mata kuliah yang mendapatkan skor rendah.

I. REFERENSI

Azwar, H. (1 November 2013). Pendidikan Vokasi, Solusi Penekanan Angka Pengangguran.


Diakses 24 Agustus 2014, dari Portal Berita Info Publik:
http://infopublik.id/read/58610/pendidikan-vokasi-solusi-penekanan-angka-
pengangguran.html

Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenaga Kerjaan Februari 2014, (2014),


,http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf[, [24 Agustus 2014]

218
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Bryman, Alan (2008). Social Research Methods Third Edition. New York: Oxford University
Press.
Ghozali, Imam (2005). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS Edisi Ketiga.
Semarang: Badan Penerbit Universitas diponegoro
KBK Program Vokasi Akuntansi Universitas Indonesia, (2013)

KBK Program Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, (2013)

Kriyantono, Rakhmat (2010). TkenikPraktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Nasution, S. (2000). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative


Approaches. Fifth Edition. Boston: Pearson Education Inc.

Nurcahyanie , Yunia Dwie Rusdiyantoro, dan Walujo, Adi: Kajian Ketimpangan Permintaan
Industri dan Pasokan Pendidikan Kota Makasar,
http://www.academia.edu/7006275/KAJIAN_KETIMPANGAN_PERMINTAAN_IN
DUSTRI_DAN_PASOKAN_PENDIDIKAN_WILAYAH_KOTA_MAKASAR [24
Agustus 2014]

Rojewski, J.W. (2002), Preparing the workforce of tomorrow: A conceptual framework for
career and technical education, Journal of Vocational Education Research, 27(1), 7-
35.

Suarta, I Made (2013), Pengembangan Konstruk Sistem Pembelajaran pada Pendidikan


Tinggi Vokasi, Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 2, Nomor 1, Februari 2012

Komang, D. T. (n.d.). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Diakses pada 24 Agustus, 2014, dari
Institut Seni Indonesia Denpasar: http://www.isi-dps.ac.id/berita/kurikulum-berbasis-
kompetensi-oleh-prof-drs-dewa-komang-tantra-dip-app-lingmscph-d/

Tracer Studi Program Vokasi Universitas Indonesia, 2013

Zuhal, (2008), Kekuatan daya saing Indonesia: Mempersiapkan masyarakat berbasis


pengetahuan. Jakarta: Kompas

219
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

REDEVELOPMENT OF AGRIBUSINESS COMMODITIES : A STEP TOWARDS AN


EFFECTIVE RURAL BANK MODEL WITHIN FINANCE INCLUSION

Deni Danial Kesa


Laboratory of Finance and Banking Vocational Program UI
denidanialkesa@gmail.com

Abstract

Villages of Farmers majority are sharecroppers, not landowners. Working capital cultivators only time
and effort, no different from the porters or laborers in the industrial sector. Their work is entirely dependent on
the availability of time and energy that they have. That is, the more time and energy to devote to work, the more
the results obtained. Various commodities produced with the potential that can be accommodated by the banking
system based on local wisdom village and supported the provision of supporting the needs of agribusiness.
Based on twenty interviews with farmer groups are actively involved in this study, then there is a model of
commodity-based rural bank that successfully mapped. The study was developed in two perspectives.First, the
creation of a taxonomy of qualitative identification with the commodity class of the network model of integration
of rural development. Second, cluster analysis to explain the financial services group in accordance with the
laws that can be applied in a pattern of rural banks. Configuration correspondent banking services related to a
specific portfolio. This study will be very effective if its principles are eligible with branchless banking program,
financial inclusion and financial literacy.

Keyword: Agribusiness, Rural Banks, Financial Literacy, Branchless Banking

1. Latar Belakang
Dunia masih mengingat bagaimana Era Grameen Bank menjadi model bagi pengentasan
kemiskinan dan mengantarkan penggagasnya mendapatkan nobel. Koperasi dalam era orde
baru pernah justru merintis sistem bank yang ada di Bangladesh tersebut, baik yang berbentuk
Skala kecil koperasi maupun kelompok usaha tani (KUT).Sistem keuangan inklusi yang
disebutuntuk ujung tombak sebagai alat pengembang keuangan masyarakat, kelompok tani,
bank desa telah menjadi salah satu pilihan yang menjadi sumber dan mengembangkan jasa
keuangan diekonomi petani kecil di seluruh dunia (Evans dan Ford,2003).
Hasil survey world bank tahun 2015(Sumber: Global Findex-World Bank-2015)
menunjukkan bahwa penduduk kelompok high income terbesar yaitu Amerika Serikat dan
Canada dengan prosentase sebesar 92% penduduk high income. Sedangkan penduduk
kelompok high income terendah adalah Afrika Selatan dan Indonesia dengan prosentase 12%
dan 20%. Hal tersebut mencerminkan penduduk dengan kelompok low income di Afrika
Selatan dan Indonesia yaitu, 88% dan 80% . Survey tersebut menunjukan kelompok low

220
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

income atau kelompok in the bottom of pyramid lebih besar di negara berkembang
dibandingkan negara maju. Mirisnya, Indonesia merupakan negara terbesar kedua pada
survey tersebut dengan prosentase 80%.
Dalam makalah ini, metode penelitian awal (preliminary research) dipakai sebagai titik
koordinasi dimana pemerintahan local memuat pengelolaan manajerial yang disebut
peningkatan kapasitas menghasilkan proses ekonomi, yang disebut "esensi pembangunan"
(Georgescu-Roegen, 1971: 268-275). Sementara peningkatan kapasitas untuk menetapkan
proses ekonomi kurang maksimal dipahami oleh masyarakat (Scheidel, 2013), fokus kami di
sini adalah lebih khusus tentang bagaimana teori Georgescu-Roegen ini mengenai produksi
dari proses ekonomi, dilengkapi dengan wawasan Ostrom ini menyangkut kinerja
kelembagaan, dapat membantu memajukan wacana ekonomi pedesaan dengan sector kearifan
local dan pengelolaan agrobisnis dalam menunjang pengembangan lembaga keuangan
pedesaan.

2. Kerangka Teori
2.1 Agribisnis sebagai alternatif komoditas
Sektor agribisnis terutama pertanian, perikanan, dan peternakan dalamrencana
strategis jangka panjang pembangunan Indonesia belum maksimal dan perlu mendapatkan
perhatian yang cukup serius. Isu mengenai ketahanan pangan (Food Resilience) telah menjadi
wacana yang mendunia dan diperkirakan akan menjadi salah satu penghambat bagi
tercapainya MDG’s (Millennium Development Goals) apabila tidak ada upaya penanganan
yang terencana dengan baik. Salah satu kendala utama yang masih perlu ditanggulangi adalah
keterbatasan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pertanian, perikanan, dan
peternakan untuk mengelola Usaha Kecil- Menengah dalam lingkup kawasan secara terpadu.
Kondisi ini menyebabkan kapasitas produk domestik produsen dan masyarakat non-petani di
wilayah tidak maksimal karena tidak dikelola secara profesional.
Persoalannya terletak pada masih banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum
diberdayakan, terutama mereka yang belum memperoleh keterampilan dalam mengolah
produk pertanian, perikanan, dan peternakan. Perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia dan
ketersediaan peluang usaha di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan menjadi
faktor pendorong yangpotensial dalam pembangunan sektor agribisnis.
Ide mendirikan bank desa dengan memanfaatkan komoditas local di daerah pedesaan
dalam rangka mendukung petani kecil menghadapi kesulitan ekonomi (Fairbairn , 1991;
Goglio dan Leonardi, 2010). Melalui pengumpulan tabungan individu, petani akan menjadi
pemegang saham dalam bentuk bentuk bank desa yang dibuat secara mandiri.Pengembangan

221
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

usaha pertanian terpadu dalam arti yang seluas-luasnya harusdijadikan suatu proses adaptasi
dan inovasi masyarakat dalam menghadapi tantangan kelangkaan/keterbatasan ketersediaan
produk pertanian pada lokasi dan waktu tertentu.
Dalam penelitian ini dibatasi pada kelompok kegiatan (cluster) yang berkenaan dengan
penanganan dan pengelolaan hasilsetelah dihasilkan oleh petani produsen, yaitu terdiri dari:1.
Usaha Pertanian Terpadu Berbasis pertanian.; 2. Usaha Pertanian Terpadu Berbasis
perikanan.; 3. Usaha Pertanian Terpadu Berbasis peternakan.Kegiatan kajian meliputi
aspek-aspek penting yang terdapat pada usahaagribisnis terpadu dan agribisnis komoditas
unggulan; terutama aspek budidaya, pengolahan, pengemasan dan penyimpanan, distribusi
dan pemasaran, dan aspek lainnya yang ditangani oleh sektor intermedier sampai konsumen
akhir.
.Selama studi lapangan banyak kerjasama antara desa diamati, diwakili oleh keberadaan
berbagai lembaga akar rumput, termasuk koperasi, kelompok tani sehingga memunculkan
hipotesis, mengenai bentuk apa saja usaha yang akan dilakukan dalam menjalankan perintisan
komoditas agribisnis sebagai sarana transaksi langsung model bank desa.

2.2 Teori Keuangan Inklusif


"Keadaan di mana semua orang dewasa usia kerja memiliki akses yang efektif untuk
kredit, tabungan, pembayaran, dan asuransi dari penyedia layanan formal.”Akses efektif
termasuk pengiriman yang nyaman dan layanan yang bertanggung jawab, dengan biaya yang
terjangkau kepada pelanggan dan berkelanjutan untuk penyedia, dengan hasil bahwa
pelanggan menggunakan jasa keuangan formal"(CGAP-GPFI) (Consultative Group to Assist
the Poor-Global Partnership for Financial Inclusion)-20121
"Inklusi keuangan menyediakan akses ke berbagai jasa keuangan yang memadai, aman,
nyaman dan terjangkau untuk kelompok rentan yang kurang beruntung dan lainnya, termasuk
berpenghasilan rendah, orang pedesaan dan tidak berdokumen, yang telah terlayani atau
dikeluarkan dari sektor keuangan formal" (FATF)- Financial Action Task Force-20122
Keuangan inklusif (financial inclusion) adalah seluruh upaya yang bertujuan
meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun non harga, terhadap
aksesmasyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Keuangan inklusif ini
merupakan strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan
pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan.

1
http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif
2
ibid

222
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Keuangan Inklusif merupakan Hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan
penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau
biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan
tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin,
orang miskin produktif, pekerja migrant, dan penduduk di daerah terpencil. Adapun
pertanyaan yang muncul dari pernana keuangan inklusi ini adalah bagaimana langkah dari
semua pihak agar bank desa bisa berperan secara sentral bagi pembangunan desa dan
mengembangkan literasi keuangan secara utuh.

3. Metodologi
Penelitian yang dilakukan menggunakan kuesioner dengan FGD sebagai pelengkap,hal
ini dimaksudkan untuk menggali data awal penelitian untuk berkontribusi dalam penelitian
selanjutnyaUntuk menyusun model komoditas agronomi untuk ppengembangan model bank
desa kami mengolah pengumpulan data primer melalui penyebaran kuesioner danin depth
interview (Delphi method) kepada masyarakat anggota pengguna, dan kelompok pakar yang
dipilih dari unsur pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, In depth interview (Delphi methods)
dilakukan untuk memperoleh perspektif dari berbagai pihak yang terkait dengan
pengembangan bank desa sebagai model pengembangan bank desa.

4. Pembahasan
4.1 Feasibillity study Bank Desa dengan obyek komoditas agrobisnis dan Program Laku
Pandai
Dalam perencanaan ke depan penelitian akan menggunakan teori Ostrom (1990) dan
Vatn (2005), kami memahami kelompok kerjasama masyarakat di desa mencerminkan
kesepakatan kelembagaan lokal untuk melakukan kegiatan ekonomi. Sebagai salah satu cara
melaksanakanLaku Pandai adalah akronim dari “Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam
rangka Keuangan Inklusif”. Laku pandai merupakan program yang dibuat oleh Otoritas Jasa
Keuangan yaitu program penyediaan layanan perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya
melalui kerjasama lembaga keuangan dengan pihak lain (agen) dan didukung dengan
penggunaan sarana teknologi informasi.

223
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar.1 Tingkat Kepadatan Bank di Pulau Indonesia Tahun 2015


Sumber: Buku Saku Keuangan Inklusif Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik
Tahun 2015

Program ini merupakan program aplikasi dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Nomor 19/POJK.03/2014 mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif pada tanggal 18 November 2014 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK)
Nomor 6/SEOJK.03/2015 mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan
inklusif oleh Bank pada tanggal 6 Februari 2015.Program Laku Pandai dirilis pada Maret
2015, yaitu diadakannya lauching di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Kalimantan
Tengah, dan Papua.
Pada gambar 1 diatas menunjukan tingkat kepadatan bank dari jumlah bank terhadap
1000 penduduk disetiap pulau di Indonesia. Dapat dilihat dari grafik diatas bahwa pulau
dengan kepadatan bank yang paling tinggi adalah pulau Jawa dan Bali, sedangkan pulau lain
yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua memiliki tingkat
kepadatan bank yang rendah.
Tabel .1 Wilayah Sebaran Peluncuran Perdana Program Laku Pandai

224
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, www.ojk.go.id/search-laku-pandai diakses Mei 2015

Penyebaran program Laku Pandai lebih diarahkan kepada wilayah-wilayah dengan


jumlah kelompok masyarakat unbanked yang tinggi. Pada tabel.1 diatas menunjukan
wilayah penyebaran program dari 6 Bank yang telah resmi memiliki lisensi program laku
pandai. Grafik dan Tabel diatas dapat digambarkan peta penyebaran program laku pandai
sebagai berikut.Pada proses program laku pandai terdapat banyak hal penunjang yang
harus dipersiapkan bank penyelenggara untuk diterapkan pada masyarakat pedesaan. Hal-
hal penunjang tersebut antara lain perangkat, sistem dan penerapan customer due
diligence (CDD).
Perangkat penunjang dibutuhkan dalam penerapan program laku pandai ini.
Perangkat penunjang tersebut berbentuk perangkat keras dan sistem aplikasi. Sistem
aplikasi yang digunakan dalam electronic device agendilokasi wajib disediakan oleh bank
penyelenggara yang bersangkutan. Setiap bank penyelenggara dapat menetapkan
pemakaian electronic device yang berbeda antar agen berdasarkan pertimbangan tertentu.
Penentuan tersebut juga dapat berdasarkan ketersedian perangkat yang dimiliki oleh
calon agen sendiri. Perangkat penunjang tersebut antara lain; Telepon seluler, Electronic
Data Capture (EDC), Kartu ATM, Laptop, atau komputer.
Penerapan CDD yang akan dilakukan pada program laku pandai dapat dilakukan
oleh agen sebagai pihak kepanjangan tangan bank. Dokumen yang diserahkan dari agen
ke bank berupa fotokopi kartu identitas dan formulir penbukaan rekening. Kemudian
pihak bank melakukan CDD yang lebih sederhana pada program laku pandai ini.
Beberapa transaksi yang diterapkan pada awal program Laku Pandai yaitu transaksi
pembukaan rekening, setor tunai, tarik tunai, transfer dan pembayaran tagihan/pulsa dari
produk tabungan basic saving account. Penerapan awal tabungan basic savings account
dapat juga dilakukan sebagai stimulus untuk penerapan pembiayaan mikro dan asuransi
mikro. Kedepannya, apabila pemakai tabungan basic savings account naik dapat menarik
nasabah tersebut untuk menggunakan cross selling ke produk pembiayaan mikro dan
asuransi mikro.
Penerapan tabungan basic savings account yang lebih dulu berkaitan dengan
kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan.sehari-hari. Kegiatan masyarakat tersebut sehari-
hari cenderung untuk menabung, tarik tunai, pengiriman uang, pembayaran tagihan-
tagihan atau pembelian pulsa. Kemudian jika nasabah telah memahami kegunaan bank

225
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dan produk tabungan, pembiayaan mikro dapat ditawarkan dan digunakan sebagai sarana
pembangunan usaha mereka, serta asuransi mikro dapat digunakan sebagai sarana
perlindungan diri ataupun perlindungan usaha mereka

4.2 Kelas Komoditas


Komoditas Agroindustri selama ini dipandang belum terlalu berhasil
dalam mendorongpembangunan industri pengolahan hasil pertanian yang terkait erat
dengan sektor pertanian primer.Mengingat keterbatasan sumber daya lahan yang ada,
peningkatan pendapatan masyarakat dapat diwujudkan dengan cara mengembangkan usaha di
bidang industri pengolahan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan beserta distribusinya.
Oleh karena itu, pengembangan industri pengolahan sektor agribisnis yang berlokasi di
wilayah penyangga perkotaan merupakan peluang sekaligus tantangan yang harus
diprioritaskan pada masa mendatang.
Pembangunan sektor agribisnis yang dilaksanakan selama ini lebih berfokus pada
upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sektor primer. Program intensifikasi pertanian,
perkebunan, dan peternakan yang ditempuh melalui penggunaan teknologi sudah merupakan
kebutuhan mutlak. Namun, pada kenyataannya penggunaan bahan-bahan tersebut berdampak
pada merosotnya kualitas lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dan perlindungan
lingkungan sebagai upaya untuk melestarikan penyediaan dan ketersediaan pangan juga
menjadi hal yang bisa diaplikasikan dalam akselerasi pembangunan sektor agribisnis, yakni
sebagai penggerak ekonomi perkotaan dan wilayah penyangga pedesaan.Komoditas agribisnis
oleh Bank Desa sebaiknya diarahkan untuk memaksimalkan nilai tambah yang berbasis pada
keunggulan sumber daya lokal. Sebagian besar masyarakat menguasai sumber daya yang
terbatas, sehingga diperlukan semacam “sharing” dalam suatu “cluster” yang dapat
mensinergikan tekno-ekonomi dalam kegiatan usahanya.Misal pertanian, perkebunan,
perikanan dan pengolahannya

Pengo
lahan
dan
Penge
masan

226
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Komoditas Agrobisnis


4.3 Mekanisme kerjasama Bank Desa, Lembaga Masyarakat dan Program Laku
pandai
Program laku pandai memiliki keterkaitan kepada bank selaku penyelenggara dan agen
selaku kepanjangan tangan/ pihak perwakilan lembaga keuangan atau perbankan. Maka dari
itu, diadakan kerjasama oleh ketiga pihak tersebut. Proses perjanjian kerjasama awal bisa
dilakukan dengan ; mengajukan syarat untuk ikut serta dalam program laku pandai ,
memutuskan kesesuaian persyaratan calon penyelenggara, Aabila disetujui, otoritas jasa
keuangan maka akan dibuat MoU dengan bank tentang kewajiban, hak, ketentuan, pelaporan,
sanksi, dan ketentuan penerapan awal, program laku pandai.

Tabel 2 Identifikasi cluster Dukungan Untuk Bank Desa


Lembaga Level Inisiasi Layanan Utama
Desa Desa Pemerintahan • Jasa administrasi

• Pembayaran jasa sosial


Penggilingan Dusun Masyarakat • stabilitas harga
padi • konservasi benih

• pembayaran produk langsung

Koperasi Desa Masyarakat • tabungan


• kredit
• SHU

• Kepemilikan alat
• Penyediaan benih
• modal komunitas
Kelompok Desa masyarakat • produksi padi
tani • mengontrol rumah tangga akan
• mandiri padi tingkat desa
keterdesiaan padi
• strategi pertanian
• komunitas pendukung pertanian
Pesantren Desa masyarakat • mental
• social religius
• membantu program lewat keagamaan

227
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Lembaga Level Inisiasi Layanan Utama


Kelompok Dusun masyarakat • Ibu rumah tangga
PKK • pengauatan perempuan
• pelatihan kewirausahaan
Karang Dusun Masyarakat • pertukaran pengetahuan
Taruna • penguatan keterampilan pemuda
• mengeliminasi pengangguran

• melakukan pelatihan keterampilan


Sumber : data primer, 2015

Penelitian dikembangkan dalam dua perspektif, pertama, terciptanya taksonomi kualitatif


melalui identifikasi kelas komoditas dari model jaringan integrasi pembangunan desa. Kedua,
analisis cluster untuk menjelaskan kelompok jasa keuangan yang sesuai dengan perundang
undangan yang bisa diterapkan dalam pola bank desa. Konfigurasi koresponden perbankan
terkait dengan portofolio spesifik layanan. Penelitian ini menjadi akan sangat efektif apabila
prinsip prinsipnya memenuhi syarat program laku pandai, inklusi keuangan dan literasi
keuangan.
5. Penutup
Simpulan
Strategi program laku pandai bisa disinergikan dengan melakukan revitalisasi produk produk
agribisnis sebagai objek yang bisa membantu perkembangan bank desa sebagai salah satu
alternative perkembangan inklusi keuangan.Segmenting nasabah, Targeting nasabah dan agen,
positioning nama program laku pandai bank penyelenggara dan juga strategi program laku
pandai yang terkait bauran pemasaran produk, harga, tempat, dan promosi sudah sesuai
dengan tujuan program laku pandai, yaitu ditujukan bagi masyarakat pedesaandalam rangka
keuangan inklusif. Proses awal penerapan laku pandai dilakukan dengan melakukan
perjanjian kerjasama antara bank penyelenggara dengan Bank desa atau yang sejenis serta
bank penyelenggara dengan agen. Kemudian penerapan kepada masyarakat pedesaanlangsung
dilakukan oleh agen laku pandai setempat.

Saran
Strategi yang dilakukan sebaiknya dapat meningkat konsisten dan mencapai target yang telah
ditetapkan pada tahun 2015 ini. Jenis produk yang dipasarkan kepada masyarakat lebih
divariasikan agar masyarakat semakin tertarik terhadap bank yang memiliki banyak manfaat
bagi masyasarakat tersebut. Strategi-strategi yang tepat sasaran agar lebih dikembangkan lagi
seperti produk-produk yang disesuaikan pada mata pencaharian masyarakat . Hal ini

228
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dikarenakan cakupan sasaran masyarakat yang cukup banyak dan daerah yang luas di daerah
Indonesia.

Daftar Pustaka
Evans, A., Ford, C., 2003. A Technical Guide to Rural Finance. World Council of Credit
Unions, Madison www.woccu.org/documents/rf_techguide, 28.10.2014.
Fairbairn, B., 1991. Farmers, Capital, and the State in Germany, c. 1860–1914. University
ofSaskatchewan, Saskatoon
http://usaskstudies.coop/CSC%20Occasional%20Papers/1991_Farmers_Capital_State_
in_Germany.pdf, 22.12.2014.
Georgescu-Roegen's general theory of economic production. Energy 34, 301–307.
Georgescu-Roegen, N., 1971. The Entropy Lawand the Economic Process. Harvard
UniversityPress, Cambridge, London.
Georgescu-Roegen, N., 1976 [1965]-aa. The institutional aspects of peasant communities: an
analytical view. In: Georgescu-Roegen, N. (Ed.), Energy and Economic Myths:
Institutional and Analytical Economic Essays. Pergamon Press Inc., New York.
Georgescu-Roegen, N., 1976 [1965]-bb. Process in farming versus process in manufacturing:
a problem of balanced development. In: Georgescu-Roegen, N. (Ed.), Energy and
Economic Myths: Institutional and Analytical Economic Essays. Pergamon Press Inc.,
New York.
Ostrom, E., Gardner, R.,Walker, J., 1994. Rules, Games and Common-Pool Resources.
University of Michigan Press, Ann Arbor.
Scheidel, A., 2013a. Flows, funds and the complexity of deprivation: using concepts from
ecological economics for the study of poverty. Ecol. Econ. 86, 28–36.
Sen, A., 1999. Development as Freedom. Oxford University Press, Oxford New York.
Vatn, A., 2005. Institutions and the Environment. Edwar Elgar Publishing, Cheltenham.
Ward, B., Lewis, J., 2002. Making the Most of Every Pound That Enters Your Local
Economy. The New Economics Foundation (NEF), London
http://www.neweconomics.org/page/-/files/Plugging_the_Leaks.pdf, 08.01.2015

Sumber Lain : Buku Saku Keuangan Inklusif Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Tahun
2015
Otoritas Jasa Keuangan, www.ojk.go.id/search-laku-pandai diakses Mei 2015
http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif
Global Findex-World Bank-2015

229
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KONTRIBUSI PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)


TERHADAP KEUANGAN RUMAH SAKIT:
Contoh kasus Rumah Sakit Tipe B Pendidikan Jakarta.

Supriadi

Program Studi Perumahsakitan, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia


Jln Margonda Raya, Depok, Jawa Barat
Corresponding Author : supriadivokasi@gmail.com

Abstrak

Tarif pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di fasilitas pelayanan rumah sakit
menggunakan tarif paket Indonesian Case Base Group ( INA CBG’s). Tarif INA CBGs ini dikeluhkan oleh
beberapa rumah sakit dan dianggap masih rendah, sehingga Kemenkes melakukan beberapa kali revisi
terhadap tarif ini. Penelitian ini menganalisis seberapa besar kontribusi pelayanan Jaminan Kesehatan
Nasional terhadap keuangan rumah sakit, dengan studi kasus sebuah rumah sakit tipe B Pendididkan di Jakarta.
Metode yang digunakan adalah membandingkan pendapatan rumah sakit dari setiap pasien JKN untuk
pelayanan rawat jalan dan pelayanan rawat inap dengan biaya riil dari pelayanan tersebut. Dengan cara ini
akan terlihat seberapa besar surplus atau defisit untuk setiap pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap.
Setelah diperoleh surplus dan defisit dari setiap data, lalu dijumlahkan data-data dengan kode yang sama untuk
kelompok surplus dan defisit. Kelompok data surplus dan defisit kemudian di pareto berdasarkan kode data
surplus atau defisit tertinggi sampai terendah. Kemudian diambil 10 kelompok tertinggi dari masing-masing
kelompok surplus dan defisit. Data yang digunakan adalah seluruh transaksi pasien JKN dari bulan Januari-
Desember 2014 untuk pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Penelitian ini menemukan bahwa selisih biaya riil
pelayanan pasien JKN dengan tarif INA CBgs pada pelayanan rawat jalan terdapat surplus sebesar Rp
665.945.187,- sedangkan pada pelayanan rawat inap terjadi defisit sebesar Rp (558.408.226). Hasil pareto
untuk 10 Kode INA CBGs yang berkontribusi surplus dan defisit, ditemukan bahwa kode INA CBGs dengan
kontribusi surplus dan defisit tertinggi ternyata diakibatkan oleh 1 kode INA CBGs yang sama. Kode INA CBGs
untuk kontribusi surplus dan defisit tertinggi pada pelayanan rawat jalan yaitu kode INA CBGS Q-5-44-0
(Penyakit Kronis Kecil Lain-lain) sedangkan kode INA CBGs untuk kontribusi surplus dan defisit tertinggi pada
pelayanan rawat inap adalah J-1-20-III (Prosedur Sistem Perapasan Non Kompleks Berat). Untuk menelusuri
mengapa terdapat 1 jenis Kode INA CBGs untuk kontribusi suplus dan defisit pada pelayanan rawat jalan dan
rawat inap, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam.

Kata kunci: INA CBGs, biaya riil, surplus-defisit.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang di luncurkan pada awal tahun 2014 lalu
menggunakan tarif paket INA CBG’s untuk pembayaran klaim pelayanan kesehatan di rumah
sakit. INA CBG’s adalah sistem pembayaran berdasarkan diagnosa. Dalam pembayaran
menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi
merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya
penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi
atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay)

230
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuaikan dengan jenis
diagnosis maupun kasus penyakitnya.
Setelah program JKN berjalan kurang lebih 3 bulan, dari data Kemenkes hingga akhir
Maret 2014, terdapat 319 rumah sakit yang mengalami surplus dan hanya ada 11 rumah sakit
yang merugi. Selain itu, terjadi surplus di seluruh RS tipe A, 96% surplus di RS tipe B dan C,
serta 97% surplus di RS tipe D yang didata. Adapun RS yang merugi disebabkan karena
banyak yang salah memasukkan data CBGs (coding) karena terbiasa dengan sistem fee for
service.
Terkait keluhan dari sejumlah rumah sakit yang mengikuti program JKN tentang
rendahnya tarif paket INA CBG’s, Tim Nasional Casemix Center (NCC) Kementerian
Kesehatan (Kemkes) melakukan revisi tarif Indonesia Case Based Groups (CBGs). Sebanyak
39 item mengalami perubahan, sebagian kemungkinan dinaikan tarifnya dan lainnya lagi
diturunkan.
2. Review Penelitian Sebelumnya.
Beberapa penelitian terdahulu dilakukan umumnya lebih kepada 1 jenis penyakit atau
sekelompok jenis penyakit pada sistem Diagnostic Related Group (DRG) dan INA CBG’s.
Penelitian lain juga meneliti untuk jenis layanan tertentu, misalnya layanan khusus rawat jalan
saja atau rawat inap saja dengan menggunakan data terbatas. Budiarto dan Sugiarto (2012)
melakukan penelitian terhadap biaya klaim rawat inap 10 untuk penyakit katastropik di kelas
bahwa biaya klaim INA-CBGs lebih besar 14.39% dibandingkan dengan biaya menurut tarif
rumah sakit baik rumah sakit kelas A ,B dan RS Khusus. Sedangkan Mulyanto dan
Puspitowati (2012) dalam penelitiannya pada pasien rawat inap di RSU RA Kartini Jepara,
menunjukkan bahwa sebagian besar jumlah biaya riil pada kisaran Rp 4.000.000,- 5.000.000,
namun sebagian besar jumlah tarif paket INA CBGs pada kelompok Rp 2.083.173. Berbeda
dengan penelitian Muttaqien Al-Maidin dkk (2013) mengatakan bahwa penetapan tarif dengan
menggunakan Relative Value Unit (RVU) untuk tindakan operasi sudah sesuai diterapkan
untuk masyarakat miskin penerima bantuan melalui program Jamkesmas di RSUD Kota
batam kepulauan Riau, namun penelitian tersebut menyebutkan perlunya pengkajian dan
penyesuaian terhadap beberapa tarif yang diberlakuan dalam sistem INA-CBG.
Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, penelitian ini lebih luas yaitu dilakukan
untuk seluruh data pasien JKN di layanan rawat jalan dan rawat inap.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pendapatan rumah
sakit dari pelayanan rawat jalan dan rawat inap pasien JKN, serta mengetahui 10 jenis kode
INA CBG’s yang memberikan surplus dan defisit terbesar bagi rumah sakit.

231
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

4. Dasar Teori
Jaminan kesehatan menurut Perpres 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan adalah
jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Program Jaminan Kesehatan (JKN) ini merupakan suatu bentuk Universal Health Coverage
(UHC) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan).
Program JKN ini bersifat wajib bagi seluruh warga negara Indonesia. Kepesertaan
program JKN ini di bagi menjadi 2 kelompok bagian, yaitu yang pertama adalah peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok
bukan PBI, dimana yang termasuk kelompok ini adalah pekerja penerima upah dan
keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan keluarganya dan bukan pekerja berserta
anggota keluarganya.
Setiap peserta program JKN wajib membayar iuran bulanan. Untuk PBI, iuran
dibayarkan oleh pemerintah. Iuran peserta pekerja penerima upah dibayar oleh pemberi kerja
dan pekerja. Sedangkan iuran peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja dibayar
oleh peserta yang bersangkutan.
Peserta JKN dapat dilayani di fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia dengan sistem
berjenjang, yaitu mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama sampai fasilitas tingkat
lanjutan. Fasilitas kesehatan ini bisa milik pemerintah, pemerintah daerah dan milik swasta
yang memenuhi ketentuan BPJS dan bekerjasama dengan BPJS. Fasilitas kesehatan tingkat
pertama antara lain; Puskesmas, Praktek Dokter, Praktek Dokter Gigi, Klinik Pratama dan
Rumah Sakit Tipe D. Sedangkan fasilitas tingkat lanjutan yaitu; Klinik Utama, Rumah Sakit
Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Sistem pembayaran oleh BPJS ke fasilitas tingkat pertama dengan menggunakan
kapitasi, sedangkan sistem pembayaran untuk fasilitas tingkat lanjut dengan menggunakan
tarif paket Indonesian Case Base Groups ( INA CBG’s).
Sistem Casemix INA CBGs merupakan suatu pengklasifikasian dari episode
perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam
hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik yang
sejenis. Case Base Groups (CBGs), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan
diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan mendapatkan
pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis.

232
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dalam pembayaran menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak
pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan
hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related
Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara
provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama
perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya
disesuaikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.
Bukan hanya dari segi pembayaran, tentu masih banyak lagi manfaat dengan
penggunaan sistem INA CBGs. Bagi pasien, adanya kepastian dalam pelayanan dengan
prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dengan adanya batasan pada lama rawat
(length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas
rumah sakit karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan, dan
mengurangi pemeriksaan serta penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis
sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.
Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan
nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran dengan
INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari
2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas.
Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG
(Indonesia Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group)
seiring dengan perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation University)
Grouper. Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran
kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak diimplementasikannya sistem casemix di
Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan besaran tarif, yaitu tarif INA-DRG Tahun 2008,
tarif INA-CBG Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai
1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode
grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis
serta ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan.
Tarif INA CBGs yang digunakan dalam program JKN dibagi dalam tarif 7 kluster
rumah sakit yaitu :
1. Tarif Rumah Sakit Kelas A
2. Tarif Rumah Sakit Kelas B
3. Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan
4. Tarif Rumah Sakit Kelas C

233
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

5. Tarif Rumah Sakit Kelas D


6. Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
7. Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran Hospital Base
Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya pengeluaran rumah sakit.
Selain itu tarif INA CBGs, juga dibagi berdasarkan regionalisasi. Hal ini dimaksudkan untuk
mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan di Indonesia. Dasar
penentuan regiaonlisasi digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik
(BPS), pembagian regionalisasi dikelompokkan menjadi 5 regionalisasi. Kesepakatan
mengenai pembagian regional dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Menurut Ketua National Casemix Center (NCC), Bambang Wibowo dengan sistem
tarif INA CBGs, bukan berarti pihak provider tak bisa mendapat keuntungan. Provider tetap
bisa surplus, asalkan sanggup melakukan tindakan efisiensi. Dari data Kemenkes hingga akhir
Maret 2014, terdapat 319 rumah sakit yang mengalami surplus dan hanya ada 11 rumah sakit
yang merugi. Selain itu, terjadi surplus di seluruh RS tipe A, 96% surplus di RS tipe B dan C,
serta 97% surplus di RS tipe D yang didata. Adapun RS yang merugi disebabkan karena
banyak yang salah memasukkan data CBGs (coding) karena terbiasa dengan sistem fee for
service.

METODOLOGI PENELITIAN

Rincian Biaya Riil Rawat


Jalan
- Biaya Administrasi
- Honor dokter Klaim Pasien Rawat
-Tindakan Medis Kecil Jalan JKN
- Tindakan USG/EKG
- Biaya obat/alkes
- Biaya penunjang medik
 Laboratorium
Surplus
 Radiologi
/ Defisit
 Diagnostik
 Fisioterapi
 Obat Apotik

Tarif INA CBG’s


Pasien Rawat Jalan
JKN

234
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kontribusi
Pendapatan
RS

Rincian Biaya Riil Rawat


Inap
- Sewa kamar Klaim Pasien Rawat
- Honor dokter Inap JKN
- Pemakaian alat diagnostik
- Alkes habis pakai Surplus
- Oksigen (O )
2 / Defisit
- Obat-obatan
- Laboratorium
- Radiologi Tarif INA CBG’s
- Fisioterapi Pasien Rawat Jalan
- Transfusi darah JKN
- Ambulance
- Biaya lain-lain

Gambar 1.
Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan penekanan pada analisis deskriptif,
dengan menggunakan data populasi semua pasien JKN baik rawat jalan dan rawat inap kelas
1, 2 dan 3 pada periode bulan Januari 2014 – Desember 2014.
Data yang digunakan berasal dari sebuah rumah sakit tipe B pendidikan, dimana
sebagian besar tempat tidur yang tersedia untuk kepentingan pendidikan. Data yang
digunakan merupakan data sekunder antara lain berasal dari:
i. Laporan penagihan klaim pasien rawat jalan pasien program JKN tahun 2014
ii. Laporan penagihan klaim pasien rawat inap pasien program JKN tahun 2014.
iii. Laporan rincian biaya pasien program JKN rawat jalan tahun 2014
iv. Laporan rincian biaya pasien program JKN rawat inap tahun 2014
Data klaim setiap pasien JKN rawat jalan yang terdiri dari biaya riil dibandingkan
dengan tarif INA CBG’s sesuai kodenya masing-masing. Perbandingan ini akan menghasilkan
surplus atau defisit baik dari setiap datanya dan secara total.. Setelah ditemukan selisih, baik
surplus maupun defisit kemudian dilakukan pengelompokkan lagi berdasarkan kode yang
menghasilkan surplus dan defisit. Setelah itu dilakukan pengelompokan kembali kode-kode
sejenis dari masing-masing kelompok surplus dan defisit, lalu kode yang sudah
terkelompokkan tadi dirangking secara pareto untuk melihat kode-kode mana yang
merupakan kode dengan surplus dan defisit terbesar. Hal ini juga dilakukan terhadap data dari
pasien rawat inap.

235
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

HASIL DISKUSI

1. Hasil Penelitian

Menurut data yang tercatat penagihan klaim ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan dari rumah sakit ini untuk jumlah pasien rawat jalan program JKN dari
bulan Januari-Desember 2014 sebanyak 22.011 orang. Jumlah ini merupakan gabungan dari
semua pelayanan rawat jalan termasuk dari Unit Gawat Darurat dan unit-unit diagnostik.
Berikut gambaran data-data tersebut setelah diolah.

Tabel 1.Gambaran Transaksi Pasien Rawat Jalan JKN Tahun 2014


Jumlah Pasien Biaya Riil RS Tarif INA CBGs Selisih
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
22.011 5.699.691.254 6.365.636.441 665.945.187
Secara umum hasil perbandingan total tarif INA CBGs dengan biaya riil biaya pasien
rawat jalan di atas terlihat surplus sebesar Rp 665.945.187. Walaupun secara total data
memberikan hasil surplus, namun ada beberapa data yang hasilnya defisit.

Tabel 2.Klaim Surplus Pasien Rawat Jalan JKN 2014


Jumlah Pasien Biaya Riil RS Tarif INA CBGs Selisih
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
16.227 4.092.836.013 5.307.655.146 1.214.819.133
Dari total 22.011 pasien JKN rawat jalan, terdapat sebanyak 16.227 klaim pasien atau
sebesar 74% dari pasien rawat jalan memberikan nilai surplus sebesar Rp 1.214.819.133.

Tabel 3. Klaim Defisit Pasien Rawat Jalan JKN 2014


Jumlah Pasien Biaya Riil RS Tarif INA CBGs Selisih
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
5.784 1.606.855.243 1.057.981.297 (548.873.946)
Sedangkan dari 22.011 pasien rawat jalan, terdapat 5.784 pasien rawat jalan atau
sekitar 26% memberikan nilai defisit sebesar Rp (584.873.946).
Jumlah klaim ke BPJS Kesehatan untuk pasien rawat inap untuk program JKN pada
periode yang sama dari rumah sakit ini lebih sedikit dibanding jumlah klaim pasien rawat
jalan. Jumlah pasien rawat inap bulan Januari-Desember 2014 sebesar 3.234 orang pasien.
Berikut gambaran data-data tersebut setelah diolah.

236
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 4.Gambaran Transaksi Pasien Rawat Inap JKN Tahun 2014


Jumlah Pasien Biaya Riil RS Tarif INA CBGs Selisih
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
3.234 25.343.003.882 24.784.595.656 (558.408.226)

Secara umum pelayanan pasien rawat inap JKN dalam tahun 2014 mengalami defisit
sebesar Rp (558.408.226) . Namun tidak semua pasien memberikan hasil defisit pada
keuangan rumah sakit.

Tabel 5.Klaim Surplus Pasien Rawat Inap JKN 2014


Jumlah Pasien Biaya Riil RS Tarif INA CBGs Selisih
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
2.053 8.907.434.123 15.265.696.593 6.358.262.470

Dari 3.234 pasien yang dirawat selama tahun 2014, terdapat 2.053 pasien atau
sebesar 63% menghasilkan nilai surplus. Secara umum jumlah surplus untuk 2.053
pasien yaitu sebesar Rp 6.358.262.470.
Tabel 7.Klaim Defisit Pasien Rawat Inap JKN 2014
Jumlah Tarif INA
Biaya Riil RS Selisih
Bulan Pasien CBGs
(Rp) (Rp)
(orang) (Rp)
TOTAL 1.181 16.435.569.759 9.518.899.063 (6.916.670.696)
Ada 1.181 pasien rawat inap atau sekitar 37% dari klaim pasien rawat inap dengan
transaksi defisit sebesar Rp (6.916.670.696). Bila nilai surplus klaim rawat inap sebesar Rp
6.358.262.470. dikurangi dengan nilai klaim defisit sebesar Rp (6.916.670.696), maka masih
terdapat defisit sebesar Rp 558.408.226.
Hasil pengelompokkan dari klaim surplus dan defisit untuk pasien rawat jalan dan
rawat inap kemudian di pareto. Hasil pareto menunjukkan 10 kode INA CBGs pada tiap
kelompok tersebut.

Tabel 7.10 Jenis Kode INA CBGs Dengan Klaim Surplus Pasien Rajal JKN 2014

No Selisih Kode INA Nama Penyakit Jumlah


(Rp) CBGs Kasus
1 512.672.23 Q-5-44-0 Penyakit kronis kecil lain-lain 9197
0

2 211.123.86 N-3-15-0 Prosedur dialisis 2604


3

3 126.412.86 Z-3-12-0 Prosedur rehabilitasi 982


9

237
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

4 78.347.613 H-2-36-0 Prosedur operasi katarak 45

5 64.627.726 M-3-16-0 Prosedur therapi fisik dan 792


prosedur kecil muskuloskletal

6 58.455.212 Z-3-23-0 Prosedur ultrasound lain-lain 401

7 40.160.924 Z-3-27-0 Perawatan luka 611

8 20.052.011 Q-5-42-0 Penyakit akut kecil lain-lain 434

9 15.635.745 Q-5-43-0 Penyakit kronis besar lain-lain 190

10 8.957.078 Q-5-29-0 Gagal jantung kongestif dan 47


kondisi jantung lain-lain

TOTA 1.136.445.2 15.303


L 71

Setelah di gabungkan kode INA CBGs sejenis, kemudian di pareto terhadap jumlah
klaim dengan nilai surplus maka dipilih 10 kode INA CBGs. Kode dengan klaim surplus
terbesar adalah Q-5-44-0 yaitu Penyakit kronis kecil lain-lain dengan jumlah Rp 512.672.230.
sedangkan kode INA CBGs dengan klaim surplus terendah yaitu Q-5-29-0 yaitu Gagal
jantung kongestif dan kondisi jantung lain-lain dengan jumlah Rp 8.957.078.

Tabel 8.10 Jenis Kode INA CBGs Dengan Klaim Defisit Pasien Rajal JKN 2014

Selisih Kode INA Jumlah


No Nama Penyakit
(Rp) CBGs Kasus
1 (360.467.670) Q-5-44-0 Penyakit kronis kecil lain-lain 3921

2 (40.798.412) Q-5-42-0 Penyakit akut kecil lain-lain 416

3 (19.440.304) Z-3-23-0 Prosedur ultrasound lain-lain 178

4 (17.051.271) Z-3-27-0 Perawatan luka 269

5 (9.607.190) Q-5-25-0 Gastrointestinal akut 46

6 (8.290.877) Z-3-12-0 Prosedur rehabilitasi 102

Prosedur therapi fisik dan prosedur


7 (6.257.013) M-3-16-0 131
kecil muskuloskletal

8 (5.664.745) Q-5-43-0 Penyakit kronis besar lain-lain 41

9 (4.941.074) Q-5-19-0 Kontak pelayanan kesehatan lain-lain 76

10 (4.932.237) H-2-36-0 Prosedur operasi katarak 12

238
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

TOTAL (477.450.793) 5,192

Bila melihat data di atas, terlihat bahwa kode INA CBGs yang memberikan defisit
terbesar untuk klaim pasien rawat jalan sama dengan kode INA CBGs yang memberikan
klaim surplus yaitu Q-5-44-0 (Penyakit kronis kecil lain-lain). Hampir semua kode INA
CBGs yang klaimnya surplus, juga termasuk daftar klaim defisit.

Tabel 9.10 Jenis Kode INA CBGs Dengan Klaim Surplus Pasien Ranap JKN 2014

Selisih Kode INA Jumlah


No Nama Penyakit
(Rp) CBGs Kasus
Prosedur sistem pernapasan non
1 604.473.298 J-1-20-III 61
kompleks berat

2 346.763.546 I-4-12-III Kegagalan jantung berat 71

Prosedur kranial dan rekonstruksi


3 314.872.741 M-1-10-III 7
tulang wajah berat

4 239.668.372 I-4-12-II Kegagalan jantung sedang 59

Simple pneumonia dan whooping


5 210.668.914 J-4-16-III 48
cough ringan

Prosedur ektraokuler dan mata


6 161.213.513 H-1-20-I 29
ringan

7 98.783.794 M-1-50-I Prosedur jaringan lunak ringan 39

Tumor ginjal & saluran urin & gagal


8 91.815.315 N-4-10-III 26
ginjal berat

9 89.364.052 I-4-10-III Infark myokard akut berat 18

Kecederaan pembuluh darah otak


10 86.264.996 G-4-14-II 31
dengan infark sedang

TOTAL 2.243.888.541 389

Klaim dengan surplus tertinggi dari 10 kode INA CBGs klaim pasien rawat inap JKN
adalah kode J-1-20-III (Prosedur sistem pernapasan non kompleks berat) yaitu sebesar Rp
604.473.298 dengan jumlah klaim sebesar 64 klaim. Sedangkan klaim dengan surplus
terendah adalah kode INA CBGs G-4-14-II (Kecederaan pembuluh darah otak dengan infark
sedang)

239
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel10. 10 Jenis Kode INA CBGs Dengan Klaim Defisit Pasien Ranap JKN 2014

Selisih Kode INA Jumlah


No Nama Penyakit
(Rp) CBGs Kasus
Prosedur sistem pernapasan non
1 (1.252.378.246) J-1-20-III 45
kompleks berat

Prosedur kranial dan rekonstruksi


2 (320.700.540) M-1-10-III 7
tulang wajah berat

Prosedur operasi pembedahan caesar


3 (253.648.576) O-6-10-I 76
ringan

4 (242.066.396) K-1-20-III Prosedur intestinal kompleks (berat) 8

Kecederaan & gangguan tulang


5 (199.170.934) G-1-10-III 4
belakang berat

Simple pneumonia dan whooping


6 (194.647.246) J-4-16-III 22
cough ringan

7 (193.412.776) I-4-12-III Kegagalan jantung berat 21

Prosedur operasi pembedahan caesar


8 (155.289.504) O-6-10-II 45
sedang

Tumor ginjal & saluran urin & gagal


9 (136.660.200) N-4-10-III 18
ginjal berat

Prosedur ventilasi mekanikal long


10 (130.628.514) J-1-01-III 1
term dengan trakeostomi berat

TOTAL (3.078.602.932) 247

Klaim dengan defisit tertinggi dari 10 kode INA CBGs klaim pasien rawat inap JKN
adalah kode J-1-20-III (Prosedur sistem pernapasan non kompleks berat), kode ini sama
dengan kode INA CBGs pada klaim surplus tertinggi. Nilai defisit tertinggi yaitu sebesar Rp
(1.252.378.246) dengan jumlah klaim sebesar 45 klaim. Sedangkan klaim dengan defisit
terendah adalah kode INA CBGs J-1-01-III (Prosedur ventilasi mekanikal longterm dengan
trakeostomi berat)

2. Diskusi

Penelitian ini menggunakan data sekunder, dimana data riil yang digunakan
merupakan pengeluaran riil yang tercatat di billing system rumah sakit ini. Biaya ini belum
termasuk biaya overhead yang tidak tercantum dalam billing systemnya. Jadi kemungkinan
biaya akan lebih besar dari yang tercatat dalam penelitian ini.

240
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Secara umum pelayanan rawat jalan untuk pasien JKN pada rumah sakit ini masih
memberikan nilai surplus pada pendapatan keuangan walaupun tidak semua pasien rawat
jalan memberikan nilai surplus. Berbeda dengan rawat jalan, untuk pelayanan rawat inap
pasien JKN pada rumah sakit ini secara umum justru memberikan nilai defisit, walaupun tidak
semua pasien rawat inap menghasilkan nilai defisit. Sesuai dengan penelitian Budiarto dan
Sugiarto (2012 terhadap biaya klaim rawat inap 10 untuk penyakit katastropik bahwa biaya
klaim INA-CBGs lebih besar 14.39% dibandingkan dengan biaya menurut tarif rumah sakit
baik rumah sakit kelas A ,B dan RS Khusus.Menurut Ketua National Casemix Center (NCC),
Bambang Wibowo dengan sistem tarif INA CBGs, bukan berarti pihak provider tak bisa
mendapat keuntungan. Provider tetap bisa surplus, asalkan sanggup melakukan tindakan
efisiensi. Dari data Kemenkes hingga akhir Maret 2014, terdapat 319 rumah sakit yang
mengalami surplus dan hanya ada 11 rumah sakit yang merugi. Selain itu, terjadi surplus di
seluruh RS tipe A, 96% surplus di RS tipe B dan C, serta 97% surplus di RS tipe D yang
didata.

Hasil pareto menemukan bahwa kode INA CBGs yang memberikan nilai surplus dan
defisit terbesar pada pelayanan rawat jalan pasien JKN adalah 1 jenis kode yaitu; Q-5-44-0
dengan nama Penyakit krons kecil lain-lain. Begitu juga yang terjadi pada pelayanan rawat
inap pasien JKN dimana kode INA CBGs yang memberikan nilai surplus dan defisit terbesar
adalah 1 jenis kode yaitu ; J-1-20-III dengan nama penyakit Prosedur sistem pernafasan non
kompleks berat. Artinya bahwa untuk rawat jalan ternyata penyebab surplus dan defisit
terbesar oleh 1 jenis penyakit begitu pula dengan rawat inap. Menurut Ketua National
Casemix Center (NCC), Bambang Wibowo lagi adapun RS yang merugi disebabkan karena
banyak yang salah memasukkan data CBGs (coding) karena terbiasa dengan sistem fee for
service.3 Muttaqien Al-Maidin dkk (2013) mengatakan bahwa penetapan tarif dengan
menggunakan Relative Value Unit (RVU) untuk tindakan operasi sudah sesuai diterapkan
untuk masyarakat miskin penerima bantuan melalui program Jamkesmas di RSUD Kota
batam kepulauan Riau, namun penelitian tersebut menyebutkan perlunya pengkajian dan
penyesuaian terhadap beberapa tarif yang diberlakuan dalam sistem INA-CBG.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini menemukan bahwa pelayanan pasien JKN pada pelayanan rawat
jalan terdapat surplus sebesar Rp 665.945.187,- sedangkan pada pelayanan rawat inap terjadi
defisit sebesar Rp (558.408.226)

241
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dalam 10 Kode INA CBGs yang terbanyak pada rawat jalan dan rawat inap, di
peroleh jenis kode yang sama untuk klaim tertinggi pada klaim surplus dan defisit.Untuk
klaim surplus dan defisit tertinggi pada pelayanan rawat jalan yaitu kode INA CBGS Q-5-44-
0 (Penyakit Kronis Kecil Lain-lain) sedangkan klaim surplus dan defisit tertinggi pada
pelayanan rawat inap adalah J-1-20-III (Prosedur Sistem Perapasan Non Kompleks Berat)

Saran

Hasil penelitian menyebutkan bahwa pelayanan pasien JKN rawat inap masih defisit
yang cukup besar, hal ini dapat di antisipasi oleh rumah sakit dengan suatu sistem
pengawasan yang lebih komprehensif mulai dari pasien masuk rs sampai tahap pelayanan
kesehatan diberikan. Agar dapat dicegah pemberian tindakan atau obat dan bahan habis pakai
yang akan meningkatkan biaya riil dari pelayanan pasien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kompas.com.2013. Hari Ini Presiden Luncurkan BPJS


http://nasional.kompas.com/read/2013/12/31/0845001/Hari.Ini.Presiden.Luncurkan.BPJ
S diakses 22 Agustus 2014.

Peraturan BPJS Kesehatan no 1 tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

BPJS. 2014. fee-for-service-vs-ina-cbgs-mana-yang-lebih-menguntungkan.


http://bpjs-kesehatan.go.id/berita-183-fee-for-service-vs-ina-cbgs-mana-yang-lebih-
menguntungkan.html. di akses 22 Agustus 2014

BPJS-Kesehatan.go.id. 2014
http://bpjs-kesehatan.go.id/berita-168-39-item-tarif-ina-cbgs-sudah-direvisi-kemkes.html.
akses 22 Agustus 2014

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman


Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional

Buletin BUK, Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Edisi Mei
2013

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis
Sistem Indonesian Case Base Groups (INA CBGs)

Info BPJS Kesehatan Edisi VIII Tahun 2014

Nasional Sindo New.Com.2014


http://nasional.sindonews.com/read/830542/15/tarif-ina-cbgs-ganggu-pelayanan-rs .
diakses 22 Agustus 2014

242
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Wasis Budiarto Dan Mugeni Sugiharto. 2013. Biaya Klaim Ina Cbgs Dan Biaya Riil Penyakit
KatastropikRawat Inap Peserta Jamkesmas Di Rumah SakitStudi Di 10 Rumah Sakit Milik
Kementerian KesehatanJanuari–Maret 2012. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16
No. 1 Januari 2013: 58–65.

Mulyanto E, Puspitowati N, Analisis Perbedaan Tarif Riil dengan Tarif Paket Indonesian
Case Base Groups (INA-CBG’S) pada Klaim Jamkesmas Pasien Rawat Inap Di RSU RA.
Kartini Jepara 2012
http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/cendekia_utama/article/view/20

Muttaqien Al-Maidin. Achmad R., Noor. Noer Bahry, Pasinringi. Syahrir A. (2013).
Perbandingan Tarif Tindakan Operasi BerdasarkanRelative Value Unit (RVU), Indonesia
Case Based Groups(Ina-Cbg’s) Dan Tarif Kolegium

243
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penerapan FashionMerchandising pada Jaringan Perusahaan Retail


(Matahari Department Store Group)

Mohammad Ridha

Program Pendidikan Vokasi


Universitas Indonesia
mohammad.ridha@ui.ac.id

ABSTRAK

Fashion retail business is one of the business areas that havea large profit for its enterprise. The gross
margin of fashion retail company can reach about 30% per year, it is much higher than deposit rates which are
on average only 6% per year in February 2016. Since the 1950s, many local department stores mutually
compete for the market share in Indonesia, including Matahari, Ramayana, Robinson and Rimo. In the recent
years, there are several foreign department stores in Indonesia such as Sogo, Metro, Carrefour and Lotte. The
potential of market share in Indonesia is enormous; it is because the increasing of consumerism and the
influence of technological developments are affecting the lifestyle of community.The fashion retail businesses are
increasingly eager to expand their businessthroughout Indonesia. PT. Matahari Department Store Tbk is a
company that is aggressively expanding its business. Matahari has 140 stores in 2015, and they had been
applying the concepts of modern department stores since 1972. There are several elements that supporting the
success of Mataharithat can be directly observed, such as store location, store operation and service excellent.
Author will discuss one of the important elements that are not directly visible, namely the implementation of
fashion merchandising. After 11 years working in Merchandising Division of Matahari Department Store (2000-
2011), the author realized that the fashion merchandising is the fundamental element of the overall management
in department store.The management of PT. Matahari Department Store Tbk is implementing the current
formula of fashion merchandising in order to keep the appearance of the entire collection of fashion products in
the shop is always fresh and follow the trend of world fashion. The author describes several methods in the
implementation of fashion merchandising, such as the usage of assortment plan, quality control, sales data (big
20 sales reports) and determine the fast / slow moving merchandise. In short, the author can describe the fashion
merchandising as an activity of fashion product procurement which to be sold massively, which includes the
activities of plan the purchase, monitor the sales rate, maintain the inventory and optimize the profitability. The
reason that the author describes fashion merchandising is to increase knowledge in managing the retail business
for the entire community, especially for the all managers of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) as
the preserver of Indonesian economy.

Keywords: Retail Business, Fashion Merchandising, Department Store, Assortment Plan, Quality Control, Big
20 Sales Report

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara berkembang yang cukup diperhitungkan keberadaannya di Asia


Tenggara, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2015
mencapai Rp. 2.866,9 triliun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I-2015 tumbuh 4,70
persen. Pertumbuhan didorong semua lapangan usaha kecuali Pertambangan dan Penggalian
yang mengalami penurunan sebesar 3,58 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran didorong
oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang tumbuh 4,99 persen. (Berita
Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik, 2015). Potensi Indonesia dalam bidang ekonomi
mendorong pertumbuhan sektor retail untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Bisnis

244
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Eceran (Retail) secara umum mencakup department store, hypermarket, supermarket, outlet
farmasi, sarana hiburan keluarga dan sebagainya. Dalam periode enam tahun terakhir, dari
tahun 2007-2012, jumlah usaha ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata
17,57 % per tahun. Pada tahun 2007, jumlah gerai ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365
gerai., kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar hampir di seluruh kota di
Indonesia. Pertumbuhan gerai tersebut tentu saja diikuti dengan pertumbuhan penjualan.
Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan bisnis ritel antara 10 %
- 15 % per tahun. Penjualan ritel pada tahun 2006 masih sebesar Rp. 49 triliun, dan melesat
hingga mencapai Rp. 138 triliun. Jumlah pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari
hipermarket, kemudian disusul minimarket dan supermarket. (Frontier Consulting Group).

Beberapa perusahaan retail terkemuka di Indonesia saling berkompetisi untuk


mengambil pangsa pasar terbesar, diantaranya PT. Matahari Putra Prima, Tbk, PT. Matahari
Department Store, Tbk, PT. Ramayana Lestari Sentosa, Tbk, Carrefour, Hero, Indomaret,
Alfamidi, Superindo, Metro, Centro, Robinson dan Pojok Busana. Persaingan di bisnis retail
mendorong pengusaha untuk menata seluruh kegiatan di perusahaannya, diantaranya human
resources handling, merchandising handling, store operation handling, good receiving
handling, warehouse handling dan costumer service.Penulis tertarik untuk membahas
penerapan fashion merchandising di Matahari Department Store Group, karena pernah
bekerja disana pada tahun 2000-2011, dan berpendapat bahwa merchandising merupakan
faktor internal utama yang harus dikelola dengan cermat untuk mendukung tujuan
perusahaan, khususnya keuntungan (profit).

PT. Matahari Department Store, Tbk adalah salah satu perusahaan retailyang
menyediakan perlengkapan pakaian, aksesoris, produk-produk kecantikan dan rumah tangga
dengan harga terjangkau. Matahari bermitra dengan pemasok pemasok terpercaya di
Indonesia dan luar negeri untuk menyediakan kombinasi barang-barang fashion berkualitas
tinggi yang dapat diterima oleh konsumen yang sadar akan nilai suatu produk. Gerai-gerai
Matahari yang modern dan luas menyajikan pengalaman berbelanja dinamis dan inspiratif
yang membuat konsumen datang kembali dan menjadikan Matahari sebagai department store
pilihan di kalangan kelas menengah Indonesia yang tumbuh pesat.

Gerai pertama Matahari, yang merupakan toko pakaian anak-anak, dibuka di daerah
Pasar Baru, Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1958. Sejak itu, Matahari berekspansi

245
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

melebarkan jejaknya dengan membuka department store modern pertama di Indonesia pada
tahun 1972 dan selanjutnya mewujudkan keberadaannya di seluruh tanah air. Pada tahun
2015, Matahari sudah memiliki 140 toko yang tersebar di 66 kota, didukung oleh tim
beranggotakan 50.000 orang dan lebih dari 1.200 pemasok lokal, serta lebih dari 90 %
pembelian langsung dari sumber-sumber di seluruh Indonesia. (www.matahari.co.id, diunduh
12 Februari 2016).

Matahari Department Store Group menerapkan Ritek Information System untuk


mengendalikan seluruh perputaran merchandise-nya yang jumlahnya mencapai jutaan item.
Sistem tersebut dibangun selama beberapa tahun dengan melibatkan banyak divisi di kantor
pusat maupun store operation.Biaya yang dikeluarkan untuk membangun sistem informasi
yang mumpuni mencapai milyaran rupiah dan melalui beberapa fase dalam kurun waktu
beberapa tahun. Sistem informasi merupakan pendukung utama dalam fashionmerchandising,
data-data barang yang fast ataupun slow movingmenjadi bahan pertimbangan untuk memilih
merchandise yang akan diproduksidan dijualdi toko. Namun seperti halnya bisnis yang lain,
penggunaan intuisi tetap dibutuhkan untuk memutuskan pilihan.

Divisi fashion merchandising di Matahari Department Store terdiri dari Men, Ladies,
Youth, Kids, Shoes, Beauty dan Bag & Accessories. Pembagian tersebut dilakukan karena
karakteristik produk yang dikelola sangatlah berbeda, misalnya pakaian wanita sangatlah
tergantung pada perkembangan fashion dunia, sedangkan pakaian pria cenderung lebih stabil
atau basic.

Kegiatan merchandising dimulai dari melihat trend fashion dunia, lalu mengaplikasikannya ke
dalam rancangan produk yang dapat diproduksi secara massal. Pemilihan pemasok yang tepat
merupakan salah satu kunci keberhasilan merchandising. Untuk memilih style dan
menentukan desain fashion merchandise yang akan diproduksi, perlu melihat history dari
penjualan barang yang sama atau sejenis. Jika merchandise yang akan diproduksi belum
pernah ada sebelumnya, perlu diadakan market test, yaitu memesan produk dalam jumlah
kecil lalu dilihat trend penjualannya. Jika bagus, maka segera memesan dalam jumlah besar,
namun jika penjualan kurang baik, barang segera di-diskon agar segera terjual habis dan tidak
membebani inventory. Ketidaktepatan dalam pengelolaan fashion merchandising dapat
merugikan perusahaan dalam jangka pendek, dan dapat mengakibatkan kebangkrutan
perusahaan.

246
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hampir semua perusahaan retail di Indonesia dan dunia menerapkan standarisasi dalam
pengelolaan fashion merchandise, sehingga prediksi bisnis lebih akurat dan mengantisipasi
kesalahan yang dapat terjadi karena kelalaian pengelola (merchandiser) dan dapat bertahan
menghadapi kondisi eksternal seperti perubahan gaya hidup serta selera konsumen.

II. TINJAUAN TEORITIS

Beberapa peritel modern di Indonesia juga memulai bisnisnya sebagai peritel tradisional,
seperti Hero dan Matahari Group. Sebelum menjadi peritel modern terbesar di Indonesia,
kedua perusahaaan ini mengalami evolusi yang terjadi selama hampir 40 tahun di bisnis ritel
Indonesia. Seperti bisnis yang mengikuti hukum alam pada umumnya, yang tidak mampu
beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, tentu akan tenggelam ditelan masa. (Kanjaya,
2010)
Matahari Depatment Store Group terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan, diantaranya
dengan menerapkan fashion merchandising untuk mengendalikan persediaan serta
mengoptimalkan penjualan jutaan item produk yang tersebar di 140 toko.

Identifikasi item barang dagangan merupakan proses pengelolaan dari sekumpulan data dari
suatu item dalam assortmentyang membedakan item yang bersangkutan dengan item lainnya.
Item data ini merupakan materi atau bahasa yang harus dapat dipahami bersama secara persis
sama oleh segenap bagian atau bagian terkait yang terhubungkan dalam komunikasi data
merchandise system. Pada dasarnya ada lima kelompok komponen pembentuk item data, yaitu
basic information, set-up information, price information dan barcode, ordering parameter,
dan supplier information (Sujana, 2005)

Komponen-komponenMerchandising handling adalah supplier selection, product selection,


buying decision, new product listing, perubahan harga, private label, mark down dan trading
term. (Guswai, 2011)Dalam mengelola pengadaan merchandisepada perusahaan retail
berskala besar, membutuhkan ketepatan penerapan kedelapan komponen tersebut. Semuanya
saling berkaitan dan berpengaruh antara satu dengan lainnya. Contohnya merchandiser sudah
memilih pemasok (vendor) yang baik kualitasnya dalam memproduksi pakaian, namun
kurang jeli melihat perkembangan dunia fashion, sehingga produk yang dipesan sudah
ketinggalan zaman. Proses penjualan pakaian tersebut kemungkinan besar tidak lancar,
walaupun kualitasnya baik dan harganya terjangkau konsumen.

247
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pengertian atau definisi kualitas dapat berbeda makna bagi setiap orang, karena kualitas
memiliki banyak kriteria dan sangat tergantung konteksnya. Banyak pakar dibidang kualitas
yang mecoba untuk mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandangnya masing-masing.
Beberapa diantaranya yang paling populer adalah yang dikembangkan oleh tiga pakar kualitas
tingkat internasional, yaitu W. Edward Deming, Philip B. Crosby dan Joseph M. Juran.
Deming : Mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan
konsumen.
Crosby : Mempersepsikan kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan dan kesesuaian terhadap
persyaratan.
Juran : Mendefinisikan mutu sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi.
(Yamit, 2013)

Perencanaan barang yang baik dapat memberikan keakuratan dalam menentukan apa yang
sebaiknya kita beli, bagaimana menyimpannya, kapan barang itu datang, dan kapan membeli
lagi atau bagaimana kita harus memajangnya. Inilah awal dari penjualan yang menghasilkan
pendapatan untuk toko ritel. Sebuah proses yang kelihatannya biasa dan sederhana, namun
jika tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan mengakibatkan fungsi-fungsi lain dalam
operasi toko tidak dapat berfungsi secara optimal. Selain keterampilan administrasi dalam
merencanakan, peritel harus memadukan wawasan tentang pasar dan insting bisnis yang
dimilikinya (M. Taufiq Amir, 2004). (Sunyoto, 2015)

Institusi bisnis sebaiknya menyusun perencanaan secara jelas dan terperinci, seperti yang
dinyatakan sebagian besar ahli. Perencanaan sangatlah penting. Institusi bisnistidak dapat
mencapai kesuksesan dan kesejahteraan tanpa perencanaan yang ditentukan sebelumnya.
(Scheinfeld, 2003)

Untuk dapat bertahan dalam persaingan bisnis, manajemen sebaiknya selalu memperhatikan
perusahaan lain yang menyajikan harga yang kompetitif dan kualitas produk yang baik,
sebagai patok duga (benchmarking). (Spinks, 2008)

III.TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penerapan fashion


merchandising pada jaringan perusahaan retail (Matahari Department Store Group), beserta

248
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

contoh-contoh metodenya dalam bentuk menetapkan trend fashion, pemilihan produk,


kualitas produk, pemanfaatan assortment plan, data penjualan (big 20 sales report) dan
fast/slow moving merchandise.

IV. PEMBAHASAN

Trend Fashion dan Pemilihan Produk

Mengelola suatu bisnis retail memerlukan kejelian, karena “retail is detail”, terutama
yang berhubungan dengan dunia fashion. Produk fashion yang akan dijual secara massal
sangatlah bergantung pada perkembangan mode dunia. Life style, kemampuan ekonomi dan
aspek sosial budaya para calon konsumennya perlu diperhatikan dengan cermat sebelum
memesan atau memproduksi fashion merchandise. Cara paling sederhana untuk melihat trend
fashion dunia adalah dengan memperhatikan pagelaran busana di Paris, Milan, Hong Kong
ataupun Jakarta Fashion Week. Busana yang dipamerkan biasanya Haute Couture, hanya
diproduksi dalam jumlah terbatas dengan harga tinggi, dan style-nya terkadang sangat inovatif
(contohnya lengan bajunya hanya sebelah dan sengaja disobek pada beberapa bagian). Untuk
diterapkan dalam produksi fashion secara massal, merchandiser perlu mengadopsi style, color
dan silhoutte busana tersebut agar dapat diterima masyarakat secara umum. Cara lain untuk
mengadposi trend fashion dunia adalah dengan mempekerjakan konsultan fashion kelas dunia,
seperti yang pernah dilakukan Matahari Department Store. Dalam kurun waktu tahun 2000-
2005, Matahari mempekerjakan Bob Shultz, seorang konsultan fashion dari New York<
Amerika Serikat. Bob sangat piawai untuk menterjemahkan trendfashion dunia kedalam
rancangan produk yang siap untuk diproduksi secara massal. Produk yang akan diproduksi
harus dipresentasikan terlebih dahulu ke Direktur Merchandising sebagai penanggung jawab
anggaran pengadaan produk secara keseluruhan. Mempekerjakan seorang konsultan fashion
membutuhkan biaya yang cukup besar, apalagi jika berasal dari luar negeri. Kelebihannya
adalah ketepatan dalam memilih produk fashion yang akan diproduksi secara massal, namun
merchandiserharus menyesuaikannya dengan aspek sosial budaya konsumen Indonesia. Cara
lain yang lebih murah dan efektif adalah dengan melihat situs-situs fashion dunia di internet,
melihat acara fashion show di Fashion TV dan melihat tayangan musik serta film di televisi.
Para artis biasanya sudah memakai produk fashion terkini, dan mereka memiliki banyak fans
yang ingin meniru penampilannya. Namun memesan produk fashion berdasarkan produk yang
sudah ada di pasar tidak ekslusif lagi, dan dapat mengakibatkan kejenuhan pasar. Kombinasi

249
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

yang tepat antara bermacam cara tersebut sudah terbukti berhasil meningkatkan market share
Matahari.

Kualitas Produk

Semua produk yang akan didistribusikan ke 140 toko jaringan Matahari Department Store
harus melalui quality control (QC) yang memakai jasa institusi eksternal, yaitu PT. Intertek.
Sebelum memproduksi suatu pakaian, pabrik garment akan mengirimkan material bahan
pakaian tersebut ke PT. Intertek. Material tersebut akan diuji di laboratorium dengan
menerapkan beberapa treatment, seperti tingkat kekuatan bahan, tingkat kelunturan dan
tingkat penyusutan setelah dicuci. Setelah lolos uji laboratorium Intertek, barulah pabrik
garment dapat memproduksi bahan tersebut menjadi pakaian jadi, menggunakan desain yang
ditetapkan Matahari Department Store.

Inspektor QC PT Intertek akan melakukan pemeriksaan acak (random checking) pada


pakaian yang sudah selesai diproduksi dan mengidentifikasi kualitasnya, dengan menerapkan
standarisasi tertentu. Untuk t-shirt dan kemeja, biasanya dilihat kerapihan jahitannya,
ketepatan pemasangan kancing, keserasian motif, dan tingkat kebersihan dari noda selama
proses produksi.

Kualitas produk merupakan faktor awal dari keberhasilan proses fashion merchandising.
Pelanggan biasanya melakukan pembelian berulang jika merasa puas pada pengalaman
pertamanya, mendapatkan produk dengan kualitas yang sesuai bahkan lebih dari biaya yang
mereka keluarkan. Secara umum, kualitas produk merupakan salah satu komponen penting
dari suatu perusahaan retail dan menunjang citra perusahaan.

Rencana Pemesanan Produk (Assortment Plan)

Merencanakan pemesanan produk fashion secara massal membutuhkan pertimbangan yang


matang. Seperti diutarakan diatas, merchandiser perlu melihat fashion trend, namun ada
faktor lain yang juga menjadi faktor penentu keberhasilan penjualan suatu produk, yaitu
pemilihan produk berdasarkanhistory penjualan produk sebelumnya, yang mirip atau sama

250
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

persis. Untuk membuat perencanaan pembelian produk fashion, ada kertas kerja yang
dinamakan assortment plan. Pada assortment plantercantum anggaran (budget)pemesanan
produk dalam 1 bulan (retail cost), total akumulasi dari harga jual (retail price), persentase
keuntungan (mark on). Keseluruhan produk yang dipesan akan dibagi ke dalam beberapa
kategori, misalnya t-shirt (top knit), tunic (baju koko), harga spesial (best buy), kemeja (top
woven) dan celana (pants). Untuk menentukan harga jual (retail price),
merchandisermengamati produk sejenis yang diproduksi para kompetitor. Harga jual juga
berkaitan erat dengan kualitas produk. Komposisi dari bermacam kategori tersebut bervariasi.
Penentuan komposisinya tergantung dari season yang berjalan. Pada saat menjelang Lebaran,
tentunya baju koko diproduksi lebih banyak dari bulan lainnya. Motif dan warna produk
umumnya disesuaikan dengan trend warna Lebaran, cenderung menampilkan warna green,
teracotta dan khaki, walaupun tetap memasukkan warna lain agar keseluruhan koleksi tampil
meriah. Dalam assortment plan juga dicantumkan nomor supplier, quantity per artikel dan
penjelasan (description) dari setiap artikel. Pencantuman tersebut untuk memudahkan
merchandiserjika melakukan pemesanan ulang (repeat order) pada suatu produk yang sangat
laku di pasaran (fast moving merchandise).

Contoh kasusnya adalah penerapan Assortment Planbrand Details Boys, pakaian untuk
remaja pria di Matahari pada bulan Juli 2011. Merchandiser membagi komposisi pengadaan
merchandise ke dalam 6 kelas, yaitu t-shirt polos (top knit plain), t-shirt dengan print (top knit
print), baju koko (tunic), harga spesial (best buy), kemeja (top woven), celana (pants).
Masing-masing dipesan dengan komposisi yang berbeda, misalnya baju koko mendapatkan
alokasi budget pemesanan sebesar30 persen karena menjelang Lebaran. Pada bulan lainnya,
merchandiser tidak akan memesan baju koko. Komposisi terbesar adalah rencana pemesanan
t-shirt, baik polos maupun dengan print mencapai total 40 persen, dikarenakan pangsa pasar
remaja pria cenderung membeli t-shirt dibandingkan kemeja, dan diperkuat dengan data
penjualan sebelumnya. Adakalanya realisasi nilai pemesanan produk diatas jumlah yang
sudah direncanakan sebelumnya, misalnya pemesanan t-shirt dengan print(top knit print)
lebih besar 5 persen dari total budget yang direncanakan. Merchandiser pada saat itu yakin
untuk menambah jumlah pesanan dikarenakan trend penjualan t-shirt dengan print cenderung
naik dibandingkan jenis pakaian lainnya.

Total omset penjualan Matahari pada tahun 2011 ditargetkan mencapai 11 triliun rupiah. Pada
bulan Juli 2011, brand Details Boys turut berkontribusi dengan melakukan pemesanan pakaian
senilai Rp.11.650.460.000,-(retail cost). Merchandiser menetapkan harga jual, dengan rata-

251
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

rata kenaikan 2 kali lipat dari harga beli, sehingga total nilai harga jual (retail price) adalah
Rp, 20.087.000.000,-. Setelah dikurangi diskon yang mungkin terjadi jika merchandise
kurang laku, diharapkan masih mendapatkan keuntungan kotor (gross margin) sekitar 30
persen. Budget pemesanan produk hanya dipakai 98 persen, sebesar Rp. 9.349.164.377,-,
sisanya yang 2 persen, sebesar Rp. 2.301.295.623,- dicadangkan jika pada pertengahan bulan
berjalan ada trend fashion baru sehingga merchandiser harus memesan produk lagi untuk
memenuhi permintaan pasar.

Di dalam assortment plan tertera description (penjelasan jenis merchandise), misalnya Tunic
Linen Stripe, yang berarti baju koko bermotif garis dan diproduksi dari material kain linen.
Description dibuat standar agar mudah dimengerti seluruh divisi di Matahari. Selain itu tertera
juga colour(variasi warna). Baju koko tersebut diproduksi dalam 3 warna (blue, grey, cream).
Setelah itu merchandiser menetapkan artikel yang terdiri maksimal 8 digit, LDTL12LN.
Artikel tersebut yang akan tercantum di label harga, dan menjadi sarana untuk menganalisa
penjualan serta inventory setelah dipindai bar code-nya. Nomor vendor (81495) juga
dicantumkan untuk memudahkan jika memesan ulang (repeat order) dan melakukan retur jika
ada produk yang cacat. Harga beli (cost) dan harga jual (retail) dicantumkan beserta total
jumlah pesanan per item.

Pemanfaatan Laporan Data Penjualan (Big 20 Quantity Sales Report)

252
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Rekaman penjualan dalam suatu kurun masa tertentu sangatlah penting untuk menentukan
pemesanan ulang (repeat order) suatu produk fashion di masa mendatang. Laporan data
jumlah penjualan menampilkan 20 produk terlaris. Berdasarkan data tersebut, merchandiser
dapat merencanakan untuk memesan ulang suatu produk dengan mempertimbangkan model
(style),warna (colour), jumlah (quantity) dan menentukanharga eceran(retail price) yang
tepat. Merchandiser akan memonitor SSR (stock per sales ratio). Dengan melihat SSR,
merchandiser dapat merencanakan kapan melakukan pemesanan ulang (repeat order),
menentukan kapan suatu produk dijual dengan harga diskon, menentukan tindakan transfer
merchandise antar toko, bahkan meretur seluruh merchandise ke supplier jika sudah ada
perjanjian sebelumnya.

Suatu produk jika SSR rata-ratanya dalam sebulan dibawah 4akan dimasukkan ke dalam
kategori fast moving merchandise. Merchandiser sebaiknya segera merencanakan untuk
memesan ulang produk tersebut. Jika SSR rata-rata perbulannyadiatas 8,
merchandisersebaiknya segera merencanakan untuk menjualnya dengan harga diskon.
Biasanya diskon dimulai dari angka 20 %, setelah itu dipantau pergerakan penjualannya. Jika
penjualan meningkat, diskon dipertahankan pada angka yang sama. Jika penjualan tetap
kurang baik, diskon ditingkatkan menjadi 30 %, 50 %, bahkan dapat mencapai 70 % untuk
produk dengan SSR rata-rata per bulannya diatas angka 12. Produk yang penjualannya
lambat (slow moving merchandise) akan menghambat cash flow perusahaan, menghabiskan
ruang penyimpanan barang di counter maupun gudang toko, dan semakin berisiko menjadi
cacat karena kotor. Selain itu, kecenderungan life cycle produk fashion tidak panjang dan
trend mode terus berkembang

Contoh kasusnya adalah laporan data penjualan (Big 20 Quantity Sales Report) untuk produk
t-shirt dengan print (top knit print) periode 19 sampai dengan 25 Oktober 2009.
Merchandiserdapat menganalisa pada urutan teratas ditempati produk dengan artikel
ROLMES2 ( L/S Roll Mesh), dengan harga beli (retail cost) Rp. 43.182,- dan harga jual
(retail price) Rp. 99.000,-. Jumlah produk awal yang masuk pada tanggal 5 Oktober 2009
adalah 1.611 pcs. Terlihat bahwa Stock per Sales Ratio (SSR) pada minggu berjalan adalah 2,
26. Indikator yang diperlihatkan angka SSR menunjukkan bahwa produk tersebut adalah
barang yang laku di pasaran (fast moving merchandise). Produk tersebut adalah t-shirt lengan
panjang dari material kain mesh. Merchandiser diharapkan segera melakukan pemesanan
ulang (repeat order) ke vendor PT. Clycepkapadajaya (2746). Pemesanan ulang pada momen
yang tepat akan menambah keuntungan dan Matahari tidak kehilangan opportunity sales.

253
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Grafik penjualan artikel ROLMES2


(fast moving merchandise)

Sedangkan untuk produk dengan artikel KI306KM (S/S Orang Kc Mata Urban), dengan
jumlah produk awal 2.203 pcs menunjukkan SSR pada minggu berjalan sebesar 15,42. Produk
tersebut adalah t-shirt lengan pendek dengan print orang yang memakai kacamata. Angka
tersebut sangat besar dikarenakan produk baru masuk pada tanggal 24 Oktober 2009.
Merchandiser perlu memantau trend penjualan pada minggu berikutnya. Jika SSR-nya masih
diatas angka 10, ada beberapa alternatif untuk meningkatkan penjualan seperti
memberlakukan diskon, melakukan transfer antar toko atau berkoordinasi dengan divisi
marketing untuk memasukkan produk tersebut ke dalam iklan koran, majalah dan televisi.

Grafik penjualan artikel KI308KM


(slow moving merchandise)

254
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

V. SIMPULAN

Merchandiserperlu meninjau aspek eksternal dan internal dalam menjalankan bisnis fashion
retail. Aspek eksternal meliputi trend mode dunia. Turbulensi dunia fashion sangat fluktuatif
dan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dikendalikan dari beberapa pusat mode dunia,
seperti London, Milan, New York City dan Paris (Global Languange Monitor). Para pelaku
bisnis fashion tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa trendcolour, silhoutte, shape,
fabric, theme dan lainnya tetap mengacu pada keempat pusat mode tersebut. Contohnya jika
pagelaran busana di Paris menampilkan tema pelaut (sailor), maka hampir diseluruh pelosok
dunia muncul tema yang sama, dengan berbagai modifikasinya. Tema pelaut cenderung
menampilkan motif jangkarwarna biru tua (navy), merah maroon dan putih. Begitu pula jika
di London muncul Army look, maka banyak busana yang bermotifkan loreng tentara
(camouflage).

Pelaku bisnis retail tidak dapat menggantungkan nasib perusahaan begitu saja pada
trendfashion dunia, ada beberapa aspek internal yang perlu diperhatikan seperti kondisi toko,
kualitas pelayanan pelanggan dan fashion merchandising. Banyak pelaku bisnis retail yang
mengakui bahwa fashion merchandising merupakan “jantung” dari keseluruhan aspek internal
department store. Fashion merchandising meliputi perencanaan pembelian produk
menggunakan assortment plan, mengawasi kualitas produk mulai dari bahan baku sampai
selesai diproduksi, memanfaatkan laporan data penjualan (big 20 sales report) dan mengelola
produk fast/slow moving dengan tepat. Keseluruhan kegiatan fashion merchandising

255
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

merupakan kesatuan yang holistic, jika salah satu unsur tidak berjalan dengan baik, dapat
mengakibatkan turunnya keuntungan perusahaan. Hampir semua department
storemenyelenggarakan pelatihan intensif fashion merchandising bagi seluruh karyawan
divisi merchandising.Kombinasi yang tepat antara analisa trend fashion dunia, pemilihan
merchandise, quality control, perencanaan pembelian, penerapan retail mathematic seperti
SSR (Stock per Sales Ratio) dapat mengoptimalkan penjualan.

VI. SARAN

Penulis mengharapkan keseluruhan proses fashion merchandising pada perusahaan retail


raksasa seperti Matahari dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kebutuhan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia. Secara umum, konsep antara perusahaan retail
berskala besar memiliki beberapa persamaan dengan yang berskala kecil. Beberapa kertas
kerja fashion merchandising dapat diaplikasikan dalam berbagai macam skala bisnis. Dalam
kurun waktu 2008-2011, penulis melatih fashion merchandisinguntuk para Tenaga Penyuluh
Lapangan (TPL) UMKM binaan Kementerian Perindustrian RI. Para TPL UMKM tersebut
sekarang sedang bertugasmembantu pengelolaanbisnis retailUMKM di seluruh pelosok
Indonesia. Para TPL UMKM perlu didukung secara penuh oleh Pemerintah Daerah setempat
dan institusi perbankan, sehingga pembekalan yang diperoleh mereka selama 3 tahun dapat
diimplementasikan secara optimal.

REFERENSI

Guswai, Christian F., 2011, Retail Excellence Series: My Retail Formula, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kanjaya, Meshvara, 2010, Retail Rules: Melihat Keunggulan dan Potensi Bisnis Ritel
Makanan di Masa Depan, ESENSI, Divisi Penerbit Erlangga, Jakarta.

Scheinfeld, Robert, 2003, The 11th Element: The Key to Unlocking Your Master Blueprint for
Wealth and Success, John Wiley and Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.

Spinks, Tom, 2008, Prepare to be a Millionaire, Health Communications, Inc., Deerfield


Beach.

Sujana, Asep ST., 2005, Manajemen Ritel Modern, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

256
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sunyoto, Danang, 2015, Manajemen Bisnis Ritel: Teori, Praktik, dan Kasus Ritel, CAPS
(Center for Academic Publishing Service), Yogyakarta.

www.matahari.co.id, diunduh 12 Februari 2016.

Yamit, Zulian, 2013, Manajemen Kualitas Produk dan Jasa, Penerbit Ekonisia, Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

257
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ANALYSIS OF TAX ON FORECLOSED PROPERTIES (AYDA)

Erwin Harinurdin
1
Laboratorium Program Studi Keuangan dan Perbankan
Program Vokasi Universitas Indonesia
Kampus baru UI Depok 16424

Abstract

Non Performing Loan (NPL) is one of the main issues emerging banking. Apart from being one of the indicators
of bank health, NPL can also provide some information content related to the development of the real sector.
From the aspect of banking management, NPL can give you an idea how far the manager run a prudent credit
management.
Bad credit can also be an indicator of the real sector sluggishness in response to general economic conditions.
Even in many studies (ranging from banks failed to predict the economic crisis indicators) NPL levels did not
escape the observation along with the rapid competition in the lending bank, so the bank is required to be more
creative in creating loan products tailored to the needs of development and the condition of society. With this
loan product diversity, consumer society has many opportunities to choose products that fit their needs. Thus
economic activity in the community has increased, which also leads to banking performance.
This study was conducted to discuss the treatment of tax on foreclosed properties (repossessed assets) and
Implications for Bank Operations. Referring to the theoretical perspectives and research paradigms used, the
nature of this research is descriptive research. Analysis of research using qualitative analysis

Keywords: tax, foreclosed properties (AYDA), credit.

Abstrak

Non Performing Loan (NPL) adalah salah satu isu utama perbankan yang muncul. Selain menjadi
salah satu indikator kesehatan bank, NPL juga dapat memberikan beberapa konten informasi yang terkait
dengan pengembangan sektor riil. Dari aspek manajemen perbankan, NPL dapat memberikan gambaran
seberapa jauh manajer menjalankan manajemen kredit yang bijaksana. Kredit buruk juga dapat menjadi
indikator kelesuan sektor riil dalam menanggapi kondisi ekonomi secara umum. Bahkan dalam banyak studi
(mulai dari bank gagal memprediksi indikator krisis ekonomi) tingkat NPL tidak luput dari pengamatan. Seiring
dengan persaingan yang cepat dalam pinjaman bank, sehingga bank dituntut untuk lebih kreatif dalam
menciptakan produk pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan kondisi masyarakat. Dengan
keragaman produk pinjaman ini, masyarakat konsumen memiliki banyak kesempatan untuk memilih produk yang
sesuai dengan kebutuhan mereka. Sehingga kegiatan ekonomi di masyarakat telah meningkat, yang juga
menyebabkan kinerja perbankan. Penelitian ini dilakukan untuk membahas perlakuan pajak atas Agunan Yang
Diambil Alih (AYDA) dan Implikasi terhadap Kegiatan Usaha Bank. Mengacu pada perspektif teoritis dan
paradigma penelitian yang digunakan, maka sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Analisis penelitian
dengan menggunakan analisis kualitatif.

Kata kunci: Pajak, Agunan yang diambil alih (AYDA), Kredit.

I. Latar Belakang.
Perbankan nasional indonesia menghadapi ancaman tingginya kredit bermasalah (non
performing loan-NPL) yang berasal dari kredit konsumsi dan sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) yang selama ini menjadi core business sebagian besar bank umum yang
beroperasi di Indonesia. Hal Ini terungkap dari data Bank Indonesia (BI) yang melaporkan
bahwa tingkat NPL kredit UMKM sekarang berada di atas 5% dan kecenderungan

258
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

meningkatnya NPL kredit konsumsi dari 2011 hingga 2014. Meskipun tingkat pertumbuhan
kredit konsumsi cenderung meningkat dari Rp 667,16 triliun (2011) menjadi Rp 799,75 triliun
(2012), Rp 909,06 triliun (2013) dan Rp 1.013,67 triliun pada akhir 2014, laju kredit
bermasalah (NPL) pada periode yang sama juga meningkat dari 10,5% (2011), 11,6% (2012),
13,18% (2013) dan 14,32% pada akhir tahun lalu.
Kredit konsumsi umumnya dalam bentuk kredit tanpa agunan (KTA), kartu kredit dan
kredit kendaraan bermotor (mobil/motor) yang tingkat bunganya rata-rata cukup tinggi di atas
20% per tahun, bahkan khusus bunga kartu kredit ditetapkan maksimum 2,95% per bulan.
Sedangkan untuk bunga kredit UMKM maupun KUR diberlakukan suku bunga di kisaran
21%-22% per tahun. Kredit bermasalah UMKM dan konsumsi ini mencuat ke permukaan,
berawal dari beban bunga kredit yang sangat tinggi yang diberikan kepada debitur saat
penandatanganan akad kredit. Namun dalam perjalanannya, kondisi perekonomian nasional
mengalami perlambatan ekonomi sejak 2011 hingga kini. Ini tentunya berdampak pada
kemerosotan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah berdampak pada
penurunan kemampuan memenuhi kewajiban pemenuhan pembayaran kreditnya kepada bank.
Perkembangan kredit selama 4 (empat) tahun terakhir berdasarkan data SPI Bank Indonesia
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perkembangan kredit Perbankan Indonesia

No. Data Kredit 2011 2012 2013 2014


1 Kredit Konsumsi 667,16 799,75 909,06 1.013,67
NPL Konsumsi 10,5% 11,6% 13,18% 14,32%
2 Aset Produktif Neraca
a. lancar 543.128 1.053.796 1.308.578 1.422.274
b. DPK 6.231 11.337 21.134 16.207
c. Kurang lancar 244 662 404 1.986
d. Diragukan 54 141 270 402
e. Macet 123 181 699 701
Sumber : Data SPI bank Indonesia Tahun 2015 diolah

Kredit bermasalah ini berpotensi macet karena semakin sulitnya kondisi makro
ekonomi Indonesia, misalnya akibat nilai tukar rupiah yang melemah dan beberapa harga
energi yang mulai mengalami kenaikan. Terlebih masalah itu secara tidak langsung akan
mengancam industri kecil menengah (IKM). Dari kondisi tersebut membuat bank semakin
terjebak dalam kesulitan untuk membenahi kredit yang diserahkan kepadanya akibat kondisi

259
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sektor riil yang belum pulih karena pasar belum pulih serta dipengaruhi kondisi ekonomi
dunia. Masalah yang dihadapi perbankan semakin rumit karena kebanyakan kredit yang
dimiliki bukan merupakan kategori produktif. Hanya sekitar 20% yang produktif, sisanya
konsumtif.
Secara umum, perbankan nasional akan menghadapi banyak tantangan, karena
faktanya lingkungan bisnis, ekonomi, dan regulasi yang dihadapi juga sama.mPerlambatan
ekonomi masih akan membayangi kinerja perbankan ditahun ini. Bank Indonesia (BI) telah
memperkirakan pertumbuhan industri perbankan melambat, sementara risiko kredit
bermasalah (NPL) meningkat. Upaya stabilisasi ekonomi yang diperkirakan masih akan
berlangsung hingga tahun ini, menjadi alasan bagi penurunan angka pertumbuhan kredit
perbankan. Meskipun menghadapi tantangan yang berat, perbankan tetap memiliki prospek
yang positif sebagai industri yang relatif baru berkembang.
Pada 2015, situasi perekonomian menghadapi tantangan yang berat. Melemahnya
kinerja perekonomian negara-negara mitra dagang utama telah menyebabkan kinerja ekspor
dalam dua tahun terakhir ini cenderung melemah dibandingkan impor. Akibatnya, neraca
perdagangan Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat. Bank-bank dengan portofolio
pembiayaan yang banyak membiayai usaha berbasis ekspor kini harus menata kembali
portofolionya untuk mencegah peningkatan NPL.
Tantangan terbesar yang dihadapi perbankan adalah likuiditas. Ketatnya likuiditas
sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat dua tahun terakhir,
akan membuat risiko kekeringan likuiditas makin meningkat, apalagi BI tetap
mempertahankan suku bunga acuan tetap tinggi. Kredit macet nasabah akan semakin
memberatkan perbankan. Hal ini akan berdampak menggerus permodalan untuk menutup
kredit macet tersebut. Dampaknya ialah cadangan risiko akan semakin besar dan
memberatkan. Modalnya terpaksa digunakan menyumbat kredit macet ini dan
mengembalikan kredit macet tersebut akan membutuhkan biaya tidak sedikit.
Kredit mikro merupakan sumber NIM tinggi lantaran menawarkan margin yang sangat
tinggi. Kemudian kredit mikro itu dikenal sebagai sektor yang tidak begitu sensitif terhadap
kenaikan suku bunga. Tingginya kredit bermasalah pada kredit konsumsi dan UMKM
nasional karena bank memberikan bunga tinggi kepada debitur melampaui batas dari
kemampuan mereka. Sehingga banyak yang bermasalah dan tak mampu membayar kredit.
Suku bunga acuan (BI Rate) memaksa bank untuk memberikan bunga kredit tinggi, sehingga
debitur sulit membayar dana yang mereka pinjam dari bank. Seiring dengan semakin
pesatnya persaingan usaha bank dalam penyaluran kredit, sehingga bank dituntut untuk lebih
kreatif dalam menciptakan produk kredit yang disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi

260
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kebutuhan masyarakat. Dengan beragamnya produk kredit ini, masyarakat konsumen


mempunyai banyak kesempatan untuk memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sehingga dengan demikian aktivitas perekonomian dalam masyarakat pun meningkat, yang
juga akan mendorong peningkatan kinerja perbankan.
Setiap bank memiliki segmen pasar tersendiri dalam penyaluran kredit. Prioritas
pembiayaan pada bidang usaha tertentu diatur dalam kebijakan internal perusahaan. Ada bank
yang orientasi bisnis kreditnya adalah retail banking, seperti fokus pembiayaan pada usaha
mikro, kecil dan menengah tanpa melihat sektor usaha yang dibiayai. Ada juga bank yang
fokus bisnisnya kepada corporate banking yakni orientasi pembiayaan pada perusahaan
ataupun proyek-proyek yang berskala besar.
Pengalaman dalam bisnis perkreditan bank telah membuktikan bahwa pelaku usaha
pada bidang usaha mikro, kecil dan menengah mempunyai daya tahan yang kuat terhadap
setiap gejolak perekonomian yang ada. Seperti pada saat terjadinya krisis ekonomi global atau
krisis moneter, kebanyakan perusahaan-perusahaan kecil yang mampu bertahan dan
perusahan besar banyak yang bangkrut, termasuk di dalamnya industri perbankan.
Hal yang sangat penting diperhatikan bank dalam penyaluran kredit adalah apakah
unsur-unsur dalam pemberian kredit telah dipenuhi secara baik, dan bagaimana proses
penggunaan serta pemeliharaan kredit itu dilakukan para pihak secara berkesinambungan dari
awal pemberian hingga pada saat pelunasannya. Hal ini sangat diperlukan untuk
meminimalisasi risiko kredit yang dapat berpotensi menjadi kredit bermasalah.
Seiring dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) sejak 1 April 2010, dimana dalam
UU PPN ini perlakuan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan mengalami beberapa perubahan,
maka untuk memberikan persamaan persepsi atas penerapan UU PPN ini Direktur Jenderal
Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
121/PJ/2010 tanggal 23 November 2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai atas Kegiatan Usaha Perbankan.
Bank yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana objek-objek PPN,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. PKP wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam penegasan yang mengacu kepada Pasal 4A ayat (3) UU PPN dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

261
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diatur mengenai jenis-jenis transaksi dan kegiatan
perbankan yang merupakan objek PPN dan yang bukan objek PPN.
Dari jenis-jenis transkasi, bank juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan
penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik
agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal
nasabah debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank, dengan ketentuan agunan yang
dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sesuai ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Atas
transaksi ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.
Dari uraian tesebut, maka pokok masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif (kepastian hukum) perpajakan atas agunan yang diambil alih
(AYDA)?
2. Bagaimana implikasi kebijakan perpajakan atas AYDA terhadap perkembangan kredit
sebagai salah satu kegiatan utama usaha perbankan?

II. Tujuan Penelitian.


1. Untuk menjelaskan dan menguraikan perspektif (kepastian hukum) perpajakan atas
agunan yang diambil alih (AYDA).
2. Untuk menjelaskan dan mennguraikan implikasi perpajakan atas AYDA terhadap
perkembangan kredit sebagai salah satu kegiatan utama usaha perbankan.

III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Pendekatan Penelitian.
Untuk mengetahui implikasi perpajakan atas agunan yang diambil alih (AYDA) sesuai
dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan, maka digunakan pendekatan penelitian
menggunakan metode penelitian kualitatif, karena dengan metode ini data yang didapat akan
lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat
tercapai. Menurut Irawan dalam peneltian kualitatif, metodologi yang digunakan memiliki ciri
yang unik. Ciri tersebut bermula dari permasalahan penelitian yang dimulai dari pertanyaan
luas dan umum, pengumpulan data yang fleksibel, terbuka dan kualitatif, serta penyimpulan
temuan yang bersifat induktif dan tidak digeneralisasikan.3

3
Irawan, Prasetya,”Logika dan Prosedur Penelitian, pengantar Teori dan Panduan Praktik Penelitian Sosial Bagi
mahasiswa dan Peneliti Pemula”, Jakarta : STIA LAN Press, 2004 hal 61.

262
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial yang ada melalui
gambaran yang bersifat mendalam dan menyeluruh (holistic). Dengan kata lain penelitian ini
dilakukan untuk memahami tindakan sosial yang bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran dan pemahaman yang mendalam mengenai implikasi perpajakan atas
agunan yang diambil alih serta pemenuhan aspek-aspek yang muncul dalam aktivitas
perbankan Indonesia dari implikasi tersebut.
3.2. Jenis Penelitian.
Penentuan jenis penelitian seringkali dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan suatu deskripsi atau
gambaran tentang suatu keadaan. Sehingga jenis penelitian yang digunakan adalah metode
dekriptif kualitatif yang dilakukan pada aktivitas usaha perbankan Indonesia. Adapun alasan
menggunakan deskriptif adalah merujuk pada pendapat Neuman yang menyatakan bahwa
deskirptif artinya melukiskan variabel-demi variabel, satu demi satu.4
Seperti juga yang diutarakan oleh Irawan, tujuan penelitian deskriptif adalah untuk
mempelajari aspek siapa, apa, bilamana dan bagaimana dari suatu topik. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Umar5 yaitu untuk mendeskripsikan hal-hal yang ditanyakan dalam
penelitian, seperti: siapa, yang mana, kapan, dan di mana. Studi dengan Deskriptive Analysis
dapat dilakukan secara sederhana ataupun rumit. Peneliti dituntut untuk melakukan penelitian
dengan standar yang layak, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.
3.3. Analisis Data
Analisi data kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap data-data non-angka
seperti hasil wawancara atau catatan laporan bacaan dari buku-buku, artikel, dan termasuk
non tulisan seperti foto, gambar atau film, dengan tujuan mencari suatu pola umum dalam
bentuk diskripsi kata-kata.6 Mengacu kepada analisa data kualitatif yang dikemukakan oleh
Neuman7, maka analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif dengan metode narrative.
3.4. Obyek penelitian.
Obyek penelitian adalah bank umum yang berada di bawah otoritas perbankan
Indonesia (nasional), baik sebagai bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional (Devisa dan
Non Devisa), Bank Pembangunan Daerah, Bank Campuran maupun Bank Asing.

4
Neuman W laurence, Socail Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, United States of
America : Allyn and Bacon, Inc., 1999. Hal 31.
5
Husein Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi. Ilmu Administrasi Negara, Pembangunan, dan Niaga,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2004. hal. 2
6
Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktika Penelitian Sosial bagi
Mahasiswa dan Peneliti Pemula, STIA Lan Press, Jakarta, 2004 hal. 99
7
W. Lawrence Nauman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitatives approach, Fifth Edition, Allyn
and Bacon, Boston, 2003, hal 448-449

263
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

IV. ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Analisis perspektif (kepastian hukum) perpajakan atas agunan yang diambil alih
(AYDA)
Evolusi historis menunjukkan bahwa perbankan tidak mengikuti karakter Darwinian-
seleksi alamiah yang menciptakan species ideal sempurna untuk lingkungannya. Meskipun
deregulasi sangat sentral dalam reformasi sistem keuangan namun perbankan mengalami
regulasi8. Menurut Santos9, perbankan adalah salah satu jenis industri di dunia yang paling
banyak di atur (the most regulated industry in the world).
Apabila disiplin pasar tidak memadai menjamin bank-bank beroperasi secara sehat,
peran negara diperlukan membatasi risiko, memastikan pengelolaan berhati-hati dan
melindungi industri dari kegagalan pasar. Persoalannya, bahwa regulasi dan tindakan
regulator dipersepsikan mewakili publik berbagi risiko dengan pemilik bank sehingga
mengubah parameter menekan kekuatan pasar. Disiplin pasar tidak dapat berfungsi secara
penuh bagi bank dan manajemennya. Aturan pengelolaan perbankan berbeda dari dengan
entitas bisnis lain yang tidak diatur, yaitu : 1) lebih kompleks; 2) relasi antar pelaku unik dan
dimensi kekuatan eksternal; dan 3) pemilik dapat menjadi sumber utama moral hazard.
Kinerja perbankan sangat rentan terhadap perubahan (semakin revolusioner di sektor
keuangan).10 Jaringan relasi kreditur-kreditur semakin rumit dan terinterkoneksi keuangan
sulit dipetakan. Artikulasinya, lingkungan bisnis perbankan semakin tidak pasti dan bersisiko
dan kinerjanya tergantung pada kemampuan mengelola perubahan dan kompleksitas.11
Pemeringkatan menyediakan informasi publik tentang aspek negatif dan positif
sebuah lembaga keuangan, apakah well atau poorly-governed. Pemeringkatan memperbaiki
operasi melalui; 1) penilaian risiko; 2) penentuan tambahan risiko yang diinginkan; 3) kriteria
kuantitatif mengukur dampak perubahan risiko. Pemeringaktan juga membantu pengelolaan
risiko melalui penelitian bank-bank dan pasar secara sistematis.12
Dari sisi perlindungan, peringkat dapat memperbaiki basis pengambilan keputusan.
Pemeringkat yang independen dapat melayani masyarakat secara lebih baik, khususnya saat
perbankan semakin agresif menawarkan berbagai produk sehingga peluang perselisihan

8
Penny Ciancanelli and Jose Antonio Reyes Gonzales, “Corporate Governance in Banking : A Conceptual
Framework” Paper (http://papaers.ssrn.com), hal. 182
9
Joao A C santos, “Bank Capital Regulation in Contemporary Banking Theory : A review of literature” Journal
Financial Marketsm Institutions & Investment, 2001, hal 3
10
Henry Eangler and James Essinger, The Future of Banking (London: Reuters Limited), 2000, hal 50.
11
Prowse dalam banca Nazionale del lavoro, “Property, Control and Corporate Governance of Banks” Quarterly
Review (Roma, March 1997) h.2
12
Krisna palepu et al. “Globalization and Similarities in Corporate Governance: A Cross-Country Analysis”
harvard University, hal 40.

264
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

meningkat. Meskipun pemeringkat tidak mempunyai kekuatan memaksa namun peranannya


dalam pembentukan sistem perbankan yang sehat patut diperhitungkan. Kepentingan
masyarakat pemilik dana memang dapat dilindungi melalui berbagai cara, namun
mengungkap apa yang sesungguhnya penting. Nasabah lebih memahami risiko dan
imbalannya.13
Kesalahan terbesar regulator terkait ilusi adanya semacam jaminan atas kepentigan
masyarakat dan nasabah. Masyarakat dan nasabah seharusnya mendapat pemahaman bahwa
tidak ada perlindungan manajemen atau hukum yang dapat menggantikan tanggungjawab
keputusan investasi. Artinya pemilik dana bertanggungjawab menerapkan prinsip pengelolaan
risiko termasuk penilaian lembaga keuangan.14
Nasabah perlu memantau perilaku bank seperti kreditur memperlakukan debitur.
Nasabah sedianya menjalankan peran kreditur sebab danyanya potensial diselewengkan.
Apabila regulasi tidak dapat menjamin integritas perbankan, nasabah harus bertindak supaya
tidak dirugikan. Apabila nasabah tidak mampu melindungi diri, maka skema penjaminan
dapat dipertimbangkan. Namun nasabah lebih terlindungi apabila memahami siapa
penanggung resiko.15
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang bertugas untuk menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkannya dalam berbagai macam bentuk kredit. Dalam
penyaluran kredit bank menggunakan beberapa prinsip yang dikenal dengan fivesoft credit
atau yang sering disebut dengan 5C yaitu; Character (watak), Capital (modal), Capacity
(kemampuan),Collateral (jaminan), Condition of Economy (kondisi ekonmi).
Dari kelima dasar criteria tersebut, jika calon debitur dinilai layak untuk mendapatkna
kredit maka bank akan membuat suatu perjanjian kredit (PK) yang didalam PK tersebut, calon
debitur akan diikat oleh suatu perjanjian hukum yang sah. Perjanjian ini harus mencantumkan
syarat-syarat tangguh, dan bukan suatu perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian pinjam
mengganti. PK tersebut haruslah dibuat secara tertulis baik secara notarial.
Didalam proses kredit adanya jaminan menjadi suatu hal yang sangat penting bagi pihak
bank, walaupun dalam jenis kredit tertentu yang tidak menyaratkan adanya jaminan. Namun
dalam hal ini, pihak bank biasanya lebih berhati-hati dalam pemberian kredit kepada nasabah,
diantaranya bank harus selektif memberikan fasilitas kreditnya kepada nasabah yang biasanya
telah teruji dalam hal kejujuran, ketaatannya baik dalam kegiatan usaha bank maupun

13
Minhua dalam Zhang Dingmin, “New Banking System Lauded” China Daily, 2004 hal 2.
14
Binhadi, Financial sector Deregulation: banking development and Monetary Policy, The Indonesian
Experience 1983-1993: jakarta. PT Sejahtera Nilam Mandiri, 1995.
15
Joel Bessis, Risk management in Banking, (Chichester. John Wiley & Sons Ltd)., 2002. Hal. 29.

265
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

transaksi usahanya. Dengan adanya jaminan ini juga dapat diartikan sebagai pernyataan dari
kesanggupan nasabah untuk melunasi kreditnya pada suatu bank.
Jaminan merupakan suatu hal yang sifatnya mengikat debitur akan hutangnya kepada
pihak kreditur (bank). Jaminan ini adalah sebagai pengikat bahwa debitur akan melunasi
hutangnya kepada bank. Namun, terkadang ditemui ada beberapa debitur yang tidak mampu
untuk melunasi hutangnya karena suatu hal dan lainnya, dan hal ini disebut sebagai
wanprestasi.
Perbuatan wanprestasi sendiri terdiri dari 3(tiga) macam, antara lain :
1). Nasabah sama sekali tidak dapat membayar angsuran kredit (beserta bunganya);
2.) Nasabah membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunga). Pembayaran angsuran kredit
tidak dipersoalkan apakah nasabah telah membayar sebagian besar atau sebagian kecil
anggaran, hal ini tetap tergolong sebagai kredit macet;
3). Nasabah membayar lunas kredit (beserta bunga) setelah jangka waktu berakhir. Nasabah
tersebut terlambat membayar utangnya. Misalnya terjadi setelah bank mengambil langkah
untuk menyelesaikannya ke pengadilan, nasabah yang bersangkutan baru bersedia
membayar lunas kreditnya. Ketika debitur telah melakukan perbuatan wanprestasi, maka
pihak bank memiliki hak untuk melakukan penyitaan atas jaminan atau agunan yang
sebutkan dalam perjanjian kredit.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa ada 5 (lima) aspek yang harus dianalisa
oleh bank terhadap calon debitur yang akan menerima fasilitas kredit, dan salah satu aspek
yang harus dianalisa tersebut adalah collateral (jaminan/agunan). Di dalam undang-undang
Perbankan tidak dinyatakan secara tegas bahwa harus adanya jaminan dalam pemberian kredit
karena dasar hubungan antara bank dengan nasabahnya baik nasabah penyimpan, nasabah
debitur maupun nasabah pengguna fasilitas bank (counter customer) adalah “kepercayaan”.
Namun dalam prakteknya, hubungan berdasarkan “kepercayaan” tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterapkan, karena bank tidak dapat dengan mudah untuk memberikan fasilitas kredit
hanya dengan dasar kepercayaan, sehingga diperlukannya jaminan/agunan.
Seiring dengan semakin berkembangnya dunia perbankan dari masa ke masa
mengakibatkan syarat mutlak dalam pemberian kredit adalah adanya jaminan, sedangkan 4
(empat) dasar pemberian kredit lainnya tidak terlalu diperhitungkan lagi oleh bank-bank. Oleh
karena itu jaminan memegang peranan penting dalam pelaksanaan pemberian fasilitas kredit.
Yang dimaksud dengan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) adalah aktiva yang diserahkan
secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar
pelelangan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.

266
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang
diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan
secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dan
pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.16
Pengambilalihan asset debitur (AYDA) berupa tanah dan bangunan harus dilakukan
apabila kredit sudah masuk ke dalam kategori kredit macet. Dalam prakteknya pelaksanaan
AYDA tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dan melibatkan berbagai pihak, khususnya
bank dengan debitur dan/atau pemilik hak atas tanah dan bangunan yang dijaminkan dengan
Hak Tanggungan tersebut.
Disamping itu asset jaminan yang diambil alih (AYDA) pada suatu bank dapat
dikategorikan pada asset non operasional (aktiva lain-lain) yang tidak terkait kepada usaha
inti bank bersangkutan (core business), di mana indikasi itu terlihat dan posisi pencatatan
yang ada di neraca. Hal ini berbeda bila proses penjaminan masih aktif dan berlangsung di
antara debitur dan kreditur, sehingga nilai yang dihasilkan dan suatu proses penilaian dapat
diartikan untuk keperluan jaminan.17
Dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
dinyatakan bahwa "Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa
yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai:
1) Pasal 5 huruf d, dinyatakan bahwa "Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna
usaha dengan hak opsi merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai;
2) Pasal 8 huruf a, dinyatakan bahwa jasa perbankan yang dimaksud adalah "Jasa
perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, kecuali jasa penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat
berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak
(perjanjian) serta anjak piutang;
Hal ini ditindaklajuti dengan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-385/PJ.53/2005, tanggal
11 Mei 2005, dimana dalam butir 4d dinyatakan bahwa hasil penjualan lelang bukan
merupakan objek PPN, karena Wajib Pajak tidak mendapatkan imbalan jasa dari transaksi ini.
Wajib Pajak hanya mendapatkan pokok utang dan bunga. Oleh karena seluruh agunan yang
16
Ibid. Salim HS, hal 7
17
Hamid Yusuf, Penilai Senior dan Pengurua Masyarakat Profesional Penilai Indonesia (MAPPI) Pusat,
Penilaian Asset yang Diambil Alih (AYDA).

267
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dikuasai merupakan tanah dan bangunan serta tidak terdapat Pajak Masukan yang telah
dikreditkan, maka atas penjualan agunan tidak terutang PPN karena sudah sesuai dengan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1074/PJ.53/2003, tanggal 05 Nopember 2003;
Bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan. Dalam hal ini, Penjualan agunan yang
telah diambil alih oleh Bank juga merupakan obyek PPN. Pengaturan mengenai Agunan Yang
Diambil Alih (AYDA) ini dimulai sejak tahun 1999 yaitu Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 180/KMK.04/1999, diatur bahwa pengenaan PPN atas penyerahan Barang
Kena Pajak dalam rangka restrukturisasi perusahaan ditunda (paling lama 5 tahun) sampai
dengan waktu penyerahan kepada pembeli sebenarnya.
Dalam kegiatan usaha bank, apakah termasuk didalamnya harus diperjelas (didalam
pasal 6) kegiatan usaha bank yang salah satunya terutama dalam rangka pemberian kredit
kepada nasabah, dimulai dari proses penganalisisan kredit hingga ketika kredit tersebut masuk
kedalam kategori macet. Disisi lain, dalam hal ini pemerintah (pajak) melihat suatu kegiatan
dikenakan pajak tidak melihat dari sisi yuridisnya. Dimulai dari legal karakter PPN sendiri,
Indirect On consumption General Objective Tax. Dimana dalam karekter objective ini, pajak
PPN dikenakan atas keadaan objek pajaknya. Ketika objek pajak tersebut ada proses
penyerahan, maka objek pajak tersebut terutang pajak PPN.
Kegiatan usaha tidak didefinisikan terlalu sempit, dimana hanya diartikan sebatas legalitas
formalnya. Jika hanya didefiniskan sebatas legalitas formalnya maka akan terjadi
penghindaran pembayaran pajak, dimana saat ini banyak perusahaan yang memilki usaha
diluar usaha pokoknya. Hal ini dikarenakan prinsip pajak lebih memperhatikan substansinya,
dan lebih kepada kenyataan yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu perpajakan tidak pernah
diberlakukan berdasarkan legalitas formalnya. Jika pada kenyataannya bank menjual agunan
dan kegiatan penjualan agunan tersebut adalah kegiatan yang rutin dilakukan, dan berkaitan
langsung dengan kegiatan usaha bank tersebut, maka untuk kegiatan usaha tersebut dapat
terutang pajak PPN. Kondisi ini diperjelas oleh Untung Sukardji bahwa PPN tidak subjektif,
subjek pajak menurut Sukardji tidak relevan dalam penerapan pengenaan PPN. Sepanjang ada
penyerahan Barang atau Jasa maka akan terhutang PPN. Pengenaan PPN atas dasar adanya
penyerahan BKP dan pengenaan PPN ini bersifat objektive sehingga tidak dapat bisa melihat
dari sisi subjective maupun ruang lingkup usahanya. Pengenaan PPN atas penyerahan AYDA
ini tidak melihat ruang lingkup usaha dari perusahaan perbankan karena pada intinya
penyerahan ini penyerahan berbentuk barang yang bersifat objective.
PPN dikenakan atas objek akan kurang lengkap apabila hanya melihat sifat objective nya
saja. Karena sebenarnya penyerahan AYDA ini tidak atas dasar konsumsi. Penyerahan AYDA
kepada pihak Bank yang dilakukan debitur karena terjadinya default ini, pihak bank tidak

268
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

mendapatkan manfaat atas konsumsi terhadap AYDA tersebut. Karena penyerahan AYDA ini
merupakan suatu perjanjian kredit dan salah satu untur dalam pemberian kredit apabila terjadi
default maka akan timbul penyerahan AYDA. Sehingga pengenaan PPN atas penyerahan
AYDA menyimpang dari sifat PPN atas konsumsi itu sendiri.
PPN menurut Terra adalah pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum (a
general indirect tax on consumption). Sukardji menyebutkan beberapa legal caracter PPN
salah satu diantaranya adalah PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri sehingga PPN
hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam Daerah Pabean Republik
Indonesia. Menurut Sukardji, apabila barang atau jasa tersebut akan dikonsumsi di luar
Daerah Pabean, maka tidak dikenakan PPN di Indonesia. Hal ini sesuai dengan destination
principle (prinsip tempat tujuan), yaitu PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa
dikonsumsi. Memang betul penyerahan AYDA dilakukan didalam daerah pabean dan
objective namun penyerahan AYDA sebenarnya bukan atas dasar konsumsi namun karena
perjanjian kredit yang dilakukan antara bank dan debitur dimana perjanjian tersebut bank
memiliki hak fidusia.
Sehingga penyerahan AYDA seharusnya termasuk dalam Pasal 1 A (2) b yaitu “
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang” dan tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Pengertian Barang yang tidak dikenakan PPN
yaitu dapat berupa barang berwujud yang bergerak atau tidak bergerak dan barang tidak
berwujud. Pengertian ini harus dibedakan dengan pengertian barang yang dibebaskan dari
pengenaan pajak dan barang yang dikecualikan.
Perubahan objek PPN dalam Undang-undang Nomor : 42 Tahun 2009 juga mencakup
penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 D Undang-undang Nomor : 42 Tahun 2009. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 D
Undang Undang PPN, PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali atas
penyerahan aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, serta penyerahan
aktiva berupa sedan dan station wagon. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya
yang mengatur bahwa PPN dikenakan terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN terutang
pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan.
Keputusan mahkamah Agung atas dispute tentang penyerahan AYDA yang telah menjadi
issue, hal ini ini dikarenakan Indonesia menganut paham civil law. Karena hukum di
Indonesia menganut paham civil law yang artinya keputusan pengadilan di Indonesia bersifat
tidak mengikat, putusan pengadilan hanya bisa dijadikan referensi saja bukan menjadi dasar
hukum.

269
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Indonesia menganut paham civil law sehingga apabila terjadi dispute tentang penyerahan
AYDA walaupun sudah ada keputusan dari MA selagi pemerintah tidak mengatur dengan
jelas maka dasar hukum akan kembali kepada undang-undang yang terkait. Berbeda dengan
common law dimana putusan pengadilan yang bersifat mengikat dan dapat dijadikan dasar
hukum. Maka meskipun kasus AYDA ini sudah ada putusan dari Mahkamah Agung, putusan
tersebut hanya dijadikan referensi saja dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.

4.2. Analisis Implikasi kebijakan perpajakan atas AYDA terhadap perkembangan


kredit sebagai salah satu kegiatan utama usaha perbankan.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000, jasa yang diberikan oleh bank umum
bukan merupakan obyek PPN. Namun pengaturan tentang PPN atas kegiatan perbankan
mengalami perubahan sejak 1 April 2010 dengan adanya Undang-undang Nomor 42 tahun
2009. Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran untuk menegaskan
pengaturan PPN jasa yang diberikan oleh Bank.
Pasal 4a Undang Undang Nomor 42 tahun 2009 yang merupakan perubahan dari Pasal 4a
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tidak lagi mencantumkan jasa perbankan sebagai
pengecualian obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun mengubah pengecualian dengan
Jasa Keuangan.
Perlakuan PPN terhadap kegiatan usaha bank umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
antara lain sebagai berikut:
1. Kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak
terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut:
a). Jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan imbalan
berupa bunga, atau
b). Jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam hal
jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan; dan
2. Kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.
Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas, obyek atau usaha perbankan yang
terhutang PPN dan yang tidak terhutang PPN. Sistem pajak tersebut tidak dapat meningkatkan
transaksi ekonomi, karena sangat mengganggu untuk transaksi jasa keuangan khususnya
perbankan itu sendiri. Dimana tidak ada keadilan bagi pihak perbankan, didalam perlakuan
pajak PPN atas AYDA. Transaksi AYDA disini maksudnya adalah transaksi penjualan
AYDA. Transaksi ini bukan merupakan kegiatan usaha bank, karena transaksi ini bukan
merupakan fokus bisnis bank, dan bank hanya membantu dalam proses intermediasi antara
pihak debitur dengan pihak pembeli AYDA tersebut. Karena jika bank ikut dalam rangka

270
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kegiatan pelelangan atau penjualan AYDA, transaksi ini akan memberikan resiko yang besar
bagi pihak bank itu sendiri, dimana transaksi ini memerlukan waktu yang sangat lama dalam
prosesnya.
Dalam Undang-undang perbankan pun tidak disebutkan kegiatan penjualan AYDA ini
ternasuk kegiatan usah bank, dan bank juga tidak pernah memiliki kecenderungan untuk
menjadi penjual AYDA. Pengenaan PPN atas AYDA dirasa tidak adil. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya kerugian yang dirasakan pihak bank karena AYDA ini. AYDA
disebabkan karena adanya pihak debitur yang tidak bisa memenuhi kewajibannya melunasi
pinjaman yang diperoleh dari bank, sehingga bank harus melakukan upaya untuk membantu
debitur tersebut dalam hal pelunasan hutangnya. Jika PPN dikenakan terhadap AYDA
tersebut, maka kerugian bank akan bertambah dengan adanya kewajiban bank untuk
membayar PPN sebesar sepuluh persen dari harga yang diperoleh.
Berdasarkan uraian undang-undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan
dasarhukum perpajakan maka atas pengalihan aktiva AYDA dan penjualan aktiva AYDA
tidak terhutang PPN dengan alasan sebagai berikut:
a). Pengalihan dan Penjualan Aktiva AYDA yang dilakukan pihak bank dilakukan
sehubungan dengan pelaksanaan jasa di bidang keuangan (dulu meng-cover jasa
perbankan) yang tidak dikenai PPN sesuai dengan Pasal 4A ayat (3) huruf d) UU PPN.
b). Agunan Yang Diambil Alih adalah jaminan yang pada awalnya diserahkan oleh nasabah
debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit (Jasa Perbankan) oleh Bank
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Bank Indonesia No.
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang menyatakan bahwa
AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan
kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada bank.
c. Pasal 1A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN menyebutkan bahwa yang tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak
untuk jaminan utang piutang. Maka, penyerahan agunan sebagai jaminan tersebut tidak
termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, sehingga tidak terdapat
pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh Bank.
d. Pengalihan dan Penjualan Aktiva AYDA tersebut, menurut kami tidak memenuhi syarat
sebagai penyerahan barang yang dikenakan PPN karena bukan merupakan penyerahan
yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan pihak Perbankan. Hal ini juga
ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 huruf a UU PPN yang menyatakan bahwa barang

271
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, salah satunya
penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Pengenaaanya PPN terhadap AYDA ini pun tidak tepat (Covenience) dan di dalam
AYDA, bank tidak memiliki kewajiban untuk membayar PPN. Perbanas menolak pengenaan
PPn atas AYDA karena kegiatan penjualan atau pelelangan atas AYDA bukan merupakan
kegiatan usaha perbankan seperti yang tertuang dalam Undang-undang perbankan. Perbanas
pun tidak sepenuhnya menolak atas pengenaan PPN atas AYDA ini, namun harus adanya
peraturan yang khusus dan berbeda dari peraturan yang sudah ada serta tegas mengenai
transaksi AYDA ini dan juga berapa persen yang harus dibayarkan.
Pihak PERBANAS sudah memberikan masukkan atas pengenaan PPN atas AYDA ini.
Namun, menurut pihak Ditjen Pajak, pajak PPN harus tetap dipungut oleh pihak bank. Ada
kecenderungan bahwa pemerintah menolak saran yang telah diberikan karena adanya isu
target penerimaan pajak negara. Tujuan yang ingin dicapai pemerintah dalam pengenaan
pajak PPN atas AYDA adalah karena target penerimaan pajak. Pemerintah berdalih bahwa
UU PPN bukan merujuk pada pertambahan nilai, namun lebih cenderung kepada Undang-
undang pajak penjualan yang telah direformasi. Walaupun pihak penjual (dalam hal ini
khususnya pihak perbankan) tidak memiliki pajak masukan. Semua transaksi AYDA akan
dikenakan PPN, walaupun pihak bank dalam hal ini pula bukan sebagai PKP.
Pengenaan PPN atas transaksi AYDA bukan menyangkut hal dengan kepatuhan, namun
hal ini adalah interpretasi atas suatu peraturan. Dalam kegiatan perbankan, sudah diterangkan
dengan secara jelas bahwa kegiatan transaksi AYDA adalah bukan merupakan kegiatan usaha
bank, dan tidak termasuk kedalam jenis-jenis kegiatan usaha yang dikenakan pajak PPN,
namun dari sisi pemerintah (dalam hal ini DJP) tidak benar dalam menginterpretasikannya.
Peninjauan kembali atau lebih tepatnya yurisdial review perlu untuk dilakukan. Perlu
adanya pernyataan mengenai kegiatan usaha bank, dan juga mengenai bahwa bank dalam
transaksi AYDA ini adalah bukan merupakan PKP. Sebetulnya hal ini sudah tertuang dengan
jelas didalam pasal 16d mengenai transaksi yang tidak terutang PPN, dalam Undang-undang
PPN yang baru juga masih disebutkan bahwa pengenaan pajak PPN karena adanya
pertambahan nilai, dan juga dalam pasal 1a.
Ada 4 (empat) hal utama yang menjadi perhatian Perbanas, menyikapi persoalan
perpajakan yang masih dihadapi industri perbankan, yang utamanya terjadi akibat perbedaan
tafsir dengan Dirjen Pajak khususnya dalam kredit macet. Beberapa permasalahan industri
perbankan mengenai AYDA adalah sebagai berikut:

272
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

a. “Apakah kegiatan penyerahan BKP oleh perbankan seperti penjualan agunan yang diambil
alih oleh debitur (AYDA), penjualan aktiva tetap dan pemberian hadiah kepada nasabah
oleh perbankan terutang PPN;
b. Tidak terutangnya PPN atas transaski pembiayaan murabahah mulai 1 April 2010, apakah
hal tersebut berlaku juga untuk transaksi sebelumnya;
c. Secara perpajakan apakah bank dapat membebankan biaya pencadangan penghapusan
kredit dalam penghitungan pajak penghasilan perusahaan dan Apakah bank wajib
mencamtumkan nomor NPWP debitur kecil di bawah Rp50 juta yang dihapuskan oleh
bank;
d. Apakah secara perpajakan bank dapat mengklaim biaya kerugian dari penghapusan kredit
yang sudah dilakukan tindakan penagihan secara maksimal meskipun belum terakhir dan
sudah memenuhi persyaratan formal perpajakan sebagai pengurang penghasilan kena
pajak.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dalam bab sebelumnya, maka kajian terhadap aspek pajak terhadap
Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dapat disimpulkan :
1. Penetapan perpajakan atas pengambilalihan dan atau penjualan atas Agunan yang Diambil
Alih (AYDA) berlandaskan pada bahwa dalam undang-undang PPN tidak hanya
berdasarkan pada sisi yuridisnya saja melainkan dari legal karakter PPN yang memandanG
PPN sebagai Indirect On consumption General Objective Tax.
2. Penetapan usaha-usaha kegiatan perbankan dengan jelas sudah ditetapkan yang terhutang
dan yang tidak terhutang PPN. Timbulnya AYDA dalam kegiatan usaha bank,
mengindikasikan adanya kredit macet dalam usaha bank tersebut yang akhirnya dapat
menurunkan kinerja dan kesehatannya. Penetapan AYDA sebagai objek pajak tidak selaras
dengan perlakuan kegiatan usaha bank. Pajak masukan atas AYDA tersebut tidak dapat
dikreditkan. Hal ini menimbulkan perbedaan perlakuan antara penetapan AYDA sebagai
objek pajak PPN namun kredit pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penetapan PPN sebagai pajak yang bersifat objektif, bukan berarti tidak melihat dari sisi
lain. Hal ini menunjukan bahwa meskipun PPN tersebut pajak objektif dan pajak tidak
langsung, mengangap semua transaksi penyerahan atau penjualan jadi terhutang PPN.

273
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Perlunnya pendefinisian kembali mengenao jenis usaha bank dalam art luas. Karena hai ini
dapat menjadikan pegangan bagi dunia perbankan.

DAFTAR PUSTAKA
Alan A. Tait,1998, Value Added Tax: International Practice and Problems.
Binhadi, 1995, Financial sector Deregulation: banking development and Monetary Policy,
The Indonesian Experience 1983-1993: jakarta. PT Sejahtera Nilam Mandiri.
Husein Umar, 2004, Metode Riset Ilmu Administrasi. Ilmu Administrasi Negara,
Pembangunan, dan Niaga, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Henry Eangler and James Essinger, 2000, The Future of Banking (London: Reuters Limited).
Hamid Yusuf, Penilai Senior dan Pengurua Masyarakat Profesional Penilai Indonesia
(MAPPI) Pusat, Penilaian Asset yang Diambil Alih (AYDA).
Joel Bessis, 2002, Risk management in Banking, (Chichester. John Wiley & Sons Ltd.
Irawan, Prasetya,2004,”Logika dan Prosedur Penelitian, pengantar Teori dan Panduan Praktik
Penelitian Sosial Bagi mahasiswa dan Peneliti Pemula”, Jakarta : STIA LAN
Press.
Joao A C santos, 2001,“Bank Capital Regulation in Contemporary Banking Theory : A
review of literature” Journal Financial Marketsm Institutions & Investment.
Krisna palepu et al. “Globalization and Similarities in Corporate Governance: A Cross-
Country Analysis” harvard University.
Neuman W laurence, 1999, Socail Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approaches, United States of America : Allyn and Bacon, Inc..
Penny Ciancanelli and Jose Antonio Reyes Gonzales, “Corporate Governance in Banking : A
Conceptual Framework” Paper (http://papaers.ssrn.com).
Prasetya Irawan, 2004, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan
Praktika Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula, STIA Lan Press,
Jakarta.
Prowse dalam banca Nazionale del lavoro, 1997, “Property, Control and Corporate
Governance of Banks” Quarterly Review (Roma, March 1997)
Rusjdi, M. 2004. Kebijakan PPN dan PPnBM . Jakarta:PT. Indeks.
Sukardji, Untung. 2001. Sebuah Aanalisis Konstruktif Perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dengan UU Nomor 18 Tahun 2000. Jakarta:PT.
RajaGrafindo Perkasa.

274
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta.
Supramono Gatot.2009. Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu tinjauan di bidang yuridis.
Jakarta : PT Rineka Cipta
W. Lawrence Nauman, 2003, Social Research Methods: Qualitative and Quantitatives
approach, Fifth Edition, Allyn and Bacon, Boston.
Minhua dalam Zhang Dingmin,2004, “New Banking System Lauded” China Daily.

Artikel :
peningkatan kredit (Statistik Perbankan Indonesia 2011-2014)

www. Ipotnews . Thursday, November 10, 2011- 14:31 WIB. Haula Rosdiana, Penjualan
Agunan Seharusnya Tidak Perlu Kena PPN pada seminar bertajuk Permasalahan
Pajak Industri Perbankan 2011 di Hotel Nikko Jakarta, Kamis (10/11)

275
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENGARUH KONDISI BATANG BAWAH, KLON BATANG ATAS, DAN WAKTU


PELAKSANAAN TERHADAP KEBERHASILAN OKULASI DAN PERTUMBUHAN
BIBIT KARET

Suwarto, Radhiya Nur Anwar

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Korespondensi: wrtskm@yahoo.com Tilp. 08128004454

ABSTRAK

Penelitian untuk mengetahui pengaruh kondisi pertumbuhan batang bawah, jenis klon batang atas, dan
waktu pelaksanaan terhadap keberhasilan okulasi dan pertumbuhan bibit hasil okulasi telah dilaksanakan di
pembibitan karet PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate (BSRE), Sumatera Utara pada bulan Februari 2014
sampai Juni 2014. Kondisi batang bawah dibedakan atas batang bawah dengan pertumbuhan tunas aktif (flush)
dan pertumbuhan tunas tidak aktif (dorman). Klon batang atas terdiri atas PB 260, PB 330, PB 340, DMI 13,
dan DMI 35. Waktu okulasi dibedakan atas pelaksanaan pada pukul 07.00-09.00, 09.00-11.00, dan 11.00-
13.00. Pertumbuhan tunas hasil okulasi diamati pada klon PB 260, PB 330, PB 340, DMI 13, DMI 35.
Keberhasilan okulasi pada kondisi kondisi batang bawah flush (55.24%) lebih rendah daripada kondisi batang
bawah dorman (81.90%). Klon PB 260 memiliki persentasi keberhasilan okulasi tertinggi sebesar 86.13% dan
persentase keberhasilan terendah yaitu pada klon DMI 35 sebesar 48.31%; klon DMI 13 mempunyai
keberhasilan okulasi yang tidak berbeda nyata dengan klon PB 260 (74.79%). Keberhasilan okulasi pada ketiga
waktu pelaksanaan tidak berbeda nyata, berkisar 60.95-74.39%; akan tetapi semakin siang keberhasilan okulasi
semakin turun. Pertumbuhan tunas hasil okulsi tertinggi yaitu pada klon DMI 13 sebesar 13.72 cm bulan-1
tetapi tidak berbeda dengan klon PB 260 sebesar 12.25 cm bulan-1 dan klon PB 340 sebesar 11.22 cm bulan-1,
sedangkan yang terendah adalah klon PB 330 yaitu sebesar 3.36 cm bulan-1.

Kata kunci: karet, okulasi, klon, batang bawah, entres

ABSTRACT

A study to know the influence of rootstock growth, clones of entres, and time of budding on succeed and
shoots growth of budding has been conducted at Bridgestone Sumatra Rubber Estate (BSRE) Ltd. in February
up to June 2014. The rootstock growth was categorized as flush and dorman. There were five clones of entres
studied, namely PB 260, PB 330, PB 340, DMI 13, and DMI 35. The times of budding were at 07.00-09.00,
09.00-11.00, and 11.00-13.00. The shoot growths of budding were observed to the five clones. The success of
budding using the flush rootstock was lower (55.24%) than using the dorman rootstock (81.90%). Among the
five clones, PB 260 showed the highest (86.13%) in the success of budding, the lowest was DMI 35 (48.31%).
The success budding of DMI 13 (74.79%) was not significantly different with the PB 260. The time in conducting
budding was not significantly influence to the percentage success of budding. All of the time yielded the
percentage success of budding at about 60.95-74.39%. The highest shoots growth was DMI 13 (13.72 cm month-
1
) that was not significantly different with PB 260 (12.25 cm month-1) dan PB 340 (11.22 cm month-1), whereas
the lowest was PB 330 (3.36 cm month-1)

Keyword: rubber, budding, clones, rootstock, entres

276
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENDAHULUAN

Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang penting baik untuk lingkup Indonesia maupun bagi internasional. Tanaman karet
merupakan salah satu komoditi sumber devisa non migas bagi Indonesia. Pada tahun 2013
luas areal karet di Indonesia 3 555 946 hektar, dengan produksi 3 237 583 ton dan
produktivitas 1 083 kg/hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Rata-rata
produktivitas karet Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain seperti Thailand (1 790
kg/hektar), India (1 800 kg/ha), dan Malaysia (1 500 kg/hektar), dan Vietnam (1 720
kg/hektar).

Luas areal karet Indonesia saat ini, 85% (3.02 juta ha) merupakan areal perkebunan karet
rakyat yang memberikan kontribusi 81% terhadap produksi karet alam nasional. Pada tahun
2025, Indonesia menargetkan menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia dengan
produksi 3.8-4.0 juta ton tahun-1. Permasalahan utama karet Indonesia adalah produktivitas
dan mutu karet rakyat yang sangat rendah.

Peningkatan produksi dapat dicapai jika areal kebun karet, terutama karet rakyat, yang saat ini
kurang produktif dapat diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul sehingga
produktivitas rata-rata naik minimal 1 500 kg ha-1 (Anwar, 2007). Menurut Balai Penelitian
Sembawa (2009) penggunaan bibit karet klon unggul dapat meningkatkan produktivitas rata-
rata dari 1 400-2 000 kg ha-1 tahun-1 menjadi 3 500 kg ha-1 tahun-1.

Persiapan pembibitan merupakan aspek budidaya yang sangat penting dalam


peremajaan dan penanaman baru kebun karet. Bibit bermutu dari klon unggul pada karet
dapat diproduksi melalui teknik perbanyakan dengan okulasi untuk menggabungkan
keunggulan sifat batang bawah dan batang atas. Keberhasilan perbanyakan dengan teknik
okulasi ini sangat tergantung dari kompatibilitas batang atas dan batang bawah, kondisi
pertumbuhan batang bawah saat okulasi, waktu pelaksanaan dan kondisi lingkungan
(Amypalupy, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui: (1) pengaruh kondisi pertumbuhan batang bawah, (2) pengaruh klon
batang atas, (3) waktu pelaksanaan okulasi terhadap keberhasilan okulasi serta (4)
pertumbuhan bibit hasil okulasi beberapa klon karet .

METODOLOGI

277
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penelitian dilaksanakan di perkebunan karet PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate,


Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kegiatan magang ini dilaksanakan selama empat
bulan dari bulan Februari sampai bulan Juni 2014.

Untuk mengetahui keberhasilan okulasi pada berbagai kondisi batang bawah; batang
bawah dibedakan atas dua taraf kondisi yaitu yang mempunyai tajuk sedang tumbuh aktif
(flush) dan yang tidak tumbuh aktif (D=dorman). Pada tiap kondisi dilakukan 3 ulangan
pelaksanaan okulasi pada hari yang berbeda dan tenaga pengokulasi (okulator) yang sama.
Tiap ulangan terdiri atas 35 tanaman contoh sehingga terdapat 210 satuan pengamatan.
Untuk mengetahui pengaruh klon batang atas terhadap keberhasilan okulasi dilakukan
pengamatan pada 5 klon karet (PB 260, PB 330, PB 340, DMI 13, DMI 35) pada kontrol ke-2.
Pengamatan dilakukan 3 ulangan pada bedeng yang berbeda dan okulator yang sama. Tiap
ulangan terdiri atas 275 tanaman contoh, sehingga terdapat 4 125 satuan percobaan.
Percobaan untuk mengetahui pengaruh waktu pelaksanaan terhadap keberhasilan
okulasi dilakukan dengan melakukan okulasi pada 3 waktu berbeda yaitu pada pukul 07.00-
09.00, 09.00-11.00, dan 11.00-13.00 WIB. Pengamatan terdiri atas 3 ulangan pada bedeng
yang berbeda dan juru okulasi yang sama. Setiap ulangan terdiri dari 450 tanaman contoh,
sehingga terdapat 4 050 satuan percobaan.

Keberhasilan okulasi diamati dengan cara membuat cungkilan pada perisai mata okulasi di
luar matanya. Apabila perisai mata okulasi berwarna hijau berarti okulasi dinyatakan berhasil
dan jika perisai mata okulasi berwarna hitam berarti okulasi dinyatakan mati (Amypalupy
2012). Pembukaan okulasi (Kontrol ke-1) dilaksanakan 21 hari setelah okulasi, yang hidup
diberi tanda plastik dan yang mati diberi tanda, kemudian dihitung baik jumlah yang hidup
maupun yang mati. (Kontrol ke-2) dilaksanakan 10 hari setelah kontrol ke-1 (31 hari setelah
okulasi), yang mati tanda tali plastiknya dibuka sedangkan yang hidup diberi tali plastik,
kemudian dihitung jumlah okulasi yang hidup maupun yang mati. Kontrol ke-3 dilaksankan
10 hari setelah kontrol ke-2 (41 hari setelah okulasi), yang hidup diberi tanda plastik
sedangkan yang mati tali plastiknya dibuka. Untuk memudahkan pengenalan masing-masing
klon, maka sambil menghitung okulasi yang hidup pada kontrol ke-3 dilakukan pemberian
tanda sebagai cirri klon. Okulasi dilakukan kembali di belakang jendela okulasi yang mati
pada kontol 3 (Robbyana, 2002).

Pengamatan pertumbuhan tunas hasil okulasi dilakukan pada 5 klon (PB 260, PB 330,
PB 340, DMI 13, DMI 35). Pada tiap klon diamati 100 tanaman contoh. Peubah pertumbuhan
yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah daun pada 1 bulan dan 2 bulan setelah

278
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dilakukan penyerongan (cutback) kemudian dirata-ratakan. Pengamatan terdiri atas 3 ulangan


pada bedeng yang berbeda dan okulator yang sama. Setiap ulangan terdiri atas 35 tanaman
contoh, sehingga terdapat 525 satuan percobaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Perkebunan karet PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate (BSRE) terletak di Nagori Dolok
Merangir, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan
terletak pada ketinggian ±141 meter di atas permukaan laut (dpl). Lahan bertopografi datar
hingga berbukit.

Keadaan iklim di perkebunan ini termasuk kedalam tipe iklim A (sangat basah) dengan
kelembaban udara harian rata-rata + 75 % dan suhu rata-rata harian 30 oC. Rata-rata curah
hujan tahunan di Perkebunan Karet PT BSRE adalah 2 377 mm tahun-1 dengan rata-rata bulan
basah (BB) 9.30 bulan dan bulan kering (BK) 1.10 bulan dalam setahun.

Jenis tanahnya adalah podsolik merah kuning dengan pH antara 6 - 7. Tanah di perkebunan
karet PT BSRE mempunyai kemapuan menahan air (WHC) yang relatif rendah karena
kandungan pasirnya yang relatif cukup tinggi.

Pengaruh Kondisi Batang Bawah

Pada kegiatan okulasi kondisi kedua lapisan kambium batang bawah dan batang atas (mata
entres) harus benar-benar menyatu dan tidak boleh teraba jari, terkena cairan atau kotoran,
serta terbuka terlalu lama. Selain itu tidak dianjurkan melakukan okulasi pada keadaan batang
bawah yang sedang basah, peralatan okulasi harus benar-benar tajam dan bersih atau steril,
pekerja okulasi harus teliti dan sabar (Setiawan dan Andoko, 2008). Batang merupakan organ
yang mengandung pembuluh xilem bagi pengangkutan air dan unsur-unsur hara, serta
pembuluh floem untuk pengangkutan hasil fotosintesis dari bagian atas ke bagian bawah
tumbuhan (Aryulina, 2006). Pada penyambungan tanaman secara okulasi (budding), bagian
tanaman yang masih berhubungan dengan sistem perakaran adalah batang bawah. Oleh

279
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

karena itu kondisi pertumbuhan batang bawah akan berpengaruh pada keberhasilan
pelaksanaan okulasi.

Batang bawah yang digunakan merupakan klon campuran, sedangkan untuk batang atas
menggunakan klon PB 330. Pengamatan dilakukan pada okulator yang sama untuk
menyeragamkan kondisi tanaman yang diamati. Hasil pengamatan keberhasilan okulasi pada
pemeriksaan okulasi ke-2 (42 hari setelah okulasi) pada kondisi batang bawah flush dan
dorman disampaikan pada Tabel 1.

Persentase keberhasilan okulasi pada kondisi batang bawah yang sedang flush dan dorman
menunjukkan perbedaan yang nyata. Kondisi pertumbuhan batang bawah yang sedang
dorman mempunyai keberhasilan okulasi (81.90%) yang lebih baik dari pada kondisi
pertumbuhan batang bawah yang sedang flush (55.24%). Kondisi pertumbuhan batang bawah
yang sedang dorman mempunyai kulit batang yang tidak lengket karena getah yang keluar
sedikit sehingga pertautan batang atas dan batang bawah lebih sempurna jika dibandingkan
saat kondisi batang bawah yang sedang flush. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa kondisi pertumbuhan batang bawah yang baik untuk okulasi adalah yang mempunyai
pucuk dalam keadaan tidur (dorman) atau daun tua (Amypalupy 2012). Selain itu teori lain
menyebutkan bahwa kondisi terbaik batang bawah dalam kegiatan okulasi yaitu pada fase
pertumbuhan yang optimum, kambium aktif, sehingga memudahkan dalam pengupasan dan
proses merekatnya mata tempel ke batang bawah (Prastowo dan Roshetko 2006).

Tabel 1 Pengamatan kondisi batang bawah terhadap persentase keberhasilan okulasi


dengan Klon PB 330

Kondisi Batang Bawah ∑ diokulasi % Keberhasilan Okulasi

(pohon)

Flush 35 62.86

35 40.00

35 62.86

Rata-rata 55.24b

Dorman 35 88.57

35 62.86

35 94.29

280
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Rata-rata 81.90a

Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Teori kendali umpan balik menjelaskan bahwa semakin meningkatnya transpirasi


karena pertumbuhan dan perkembangan tunas-tunas muda, luas permukaan transpirasi
bertambah dengan cepat sedemikian rupa sehingga akar tidak mampu lagi mengimbanginya
dengan suplai air yang cukup. Akibatnya terjadi cekaman air sehingga ujung-ujung tumbuhan
pada bagian tunas menjadi dorman. Pada keadaan tersebut daun masih tetap berfungsi, tetapi
karena tunas tidak lagi menjadi sink (penampung), fotosintat banyak dialirkan menuju ke akar
untuk pertumbuhan akar yang juga melewati floem tempat dilaksanakan okulasi. , Pada
giliran air berikut hara mineral dan hormon (terutama sitokinin yang diproduksi di akar)
dialirkan lagi ke bagian atas tumbuhan, tunas kuncup yang dorman terpicu lagi, tunas yang
kuncup mulai pecah, flushing, dan daun berkembang (Akyas, 2011). Hal ini menjelaskan
bahwa pada kondisi batang flush terdapat aliran air dan asimilat yang dihasilkan tanaman
untuk pertumbuhan daun sehingga getah akan banyak keluar dan akan menyebabkan
lengketnya kulit pada kayu. Kondisi tersebut menyebabkan pertautan mata tunas (entres) dan
kayu batang bawah tidak sempurna karena kecenderungan bahwa semakin muda daun yang
terdapat pada batang bawah, maka semakin banyak getah yang keluar dari batang tanaman
sehingga akan menyulitkan pada saat pembuatan jendela okulasi. Hal ini menyebabkan
persentase keberhasilan okulasi pada kondisi batang bawah yang flush rendah.

Keberhasilan Okulasi pada Beberapa Klon Karet

Persentase keberhasilan okulasi yang diamati pada kontrol ke-2 (42 hari setelah okulasi)
menunjukkan perbedaan nyata antar klon karet. Klon PB 260 memiliki persentasi
keberhasilan okulasi tertinggi sebesar 86.13% dan persentase keberhasilan terendah yaitu
pada klon DMI 35 sebesar 48.31% (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase keberhasilan okulasi pada beberapa klon karet

% Keberhasilan
Klon Bedeng ∑ Diokulasi ∑ Okulasi hidup
okulasi

PB 260 1 309 263 85.11

281
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2 312 275 88.14

3 323 275 85.14

Rata-rata 314.7 271.0 86.13a

PB 330 1 254 184 72.44

2 235 164 69.79

3 294 178 60.54

Rata-rata 261.0 175.3 67.59bc

PB 340 1 264 120 45.45

2 283 129 45.45

3 266 184 69.17

Rata-rata 271.0 144.3 53.36cd

DMI 13 1 280 217 77.50

2 235 184 78.30

3 264 181 68.56

Rata-rata 259.7 194.0 74.79ab

DMI 35 1 274 163 59.49

2 274 112 40.88

3 258 115 44.57

Rata-rata 268.7 130.0 48.31d

Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Penelitian yang dilaksanakan BPTP Jambi (2008), menunjukkan hal yang hampir sama bahwa
keberhasilan okulasi klon PB 260 dengan batang bawah GT 1 adalah 84% dan dengan batang
bawah Avros 2037 adalah 83%. Hal ini menunjukan bahwa klon batang atas PB 260 memilki
kompatibilitas yang lebih tinggi, dibandingkan klon PB 330, PB 340, dan DMI 13. Klon DMI
35 mempunyai keberhasilan okulasi yang tidak berbeda nyata dengan klon PB 260 (74.79%).

Perbedaan tingkat keberhasilan okulasi dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu: (1) perbedaan
karakteristik jaringan mata tunas antar klon, (2) perbedaan kompatibilitas antara jaringan
batang atas dan batang bawah. Klon anjuran untuk batang bawah adalah GT 1, PR 300, PR

282
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

228, AVROS 2037, LCB 1320, PB 260, BPM 24, PB 330, dan RRIC 100 (Boerhendhy,
2012). Benih dari klon anjuran sulit didapatkan, oleh karena itu benih yang digunakan untuk
batang bawah yaitu benih dari campuran beberapa klon.

Keberhasilan Okulasi pada Berbagai Waktu Pelaksanaan


Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
persentase keberhasilan okulasi. Oleh karena itu, waktu okulasi dan keadaan iklim sangat
menentukan. Menurut (Andoko dan Setiawan 2008) Okulasi sangat baik dilaksanakan pada
musim hujan karena saat itu kelembaban lingkungan tinggi dan tidak dianjurkan melakukan
okulasi pada pertengahan musim kemarau karena resiko kegagalannya sangat tinggi akibat
udara yang kering dan panas.

Okulasi di kebun PT BSRE biasanya mulai dilakukan pagi hari pukul 07.00 WIB
sampai pukul 13.00 WIB. Hal ini tergantung dari kondisi lingkungan, apabila hujan kegiatan
okulasi dihentikan. Kebutuhan bibit yang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
areal yang akan dilakukan replanting okulasi tetap dilakukan pada rentang waktu tersebut
dengan penambahan jumlah tenaga kerja okulator. Persentase keberhasilan okulasi pada 3
waktu pelaksanaan yaitu pukul 07.00-09.00, 09.00-11.00, dan 11.00-13.00 yang diamati pada
kontrol ke-2 (42 hari setelah okulasi) tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan perbedaan waktu okulasi terhadap persentase keberhasilan


okulasi
Waktu ∑ diokulasi ∑ okulasi % Keberhasilan
Bedengan
okulasi (pohon) hidup (pohon) okulasi

07.00-09.00 1 452 325 71.90

2 441 337 76.42

3 457 342 74.84

Rata-rata 450 335 74.39a

09.00-11.00 1 470 321 68.30

2 440 295 67.05

3 474 313 66.03

Rata-rata 461 310 67.13a

11.00-13.00 1 459 301 65.58

2 458 268 58.52

283
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3 474 278 58.65

Rata-rata 464 282 60.92a

Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap pengamatan waktu okulasi, persentase keberhasilan
okulasi pada 3 kondisi waktu okulasi tidak berbeda nyata. Pelaksanaan okulasi pada pukul
07.00-09.00 menghasilkan rata-rata persentase keberhasilan okulasi sebesar 74.39%, pada
pukul 09.00-11.00 sebesar 67.13% dan pada pukul 11.00-13.00 sebesar 60.92%. Berdasarkan
hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa semakin siang waktu okulasi, maka persentase
keberhasilan okulasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
waktu terbaik untuk pelaksanaan okulasi adalah pada pagi hari, antara pukul 07.00-11.00
pagi, karena pada saat tersebut tanaman sedang aktif berfotosintesis sehingga kambium
tanaman juga dalam kondisi aktif dan optimum. Pelaksanaan okulasi diatas pukul 12.00 siang
kurang baik karena kondisi daun mulai layu akibat transpirasi yang tinggi dan kualitas entres
sudah menurun (Prastowo dan Roshetko 2006). Selain itu semakin siang umumnya
kelembaban udara semakin turun, sedangkan pembentukan kalus memerlukan kelembapan
yang tinggi. Bila kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan yang dapat
menyebabkan sel-sel pada pertautan okulasi mati sehingga dapat menghalangi pembentukan
kalus (Robbyana 2002). Intensitas cahaya matahari yang tinggi pada siang hari dan kondisi
suhu tinggi akan mempengaruhi proses okulasi. Oleh karena itu okulasi sebaiknya dilakukan
pada waktu pagi hari ketika intensitas cahaya matahari dan kondisi suhu cenderung masih
rendah.

Pertumbuhan Bibit Hasil Okulasi pada Beberapa Klon Karet

Kompatibilitas dari masing-masing klon yang diamati dari pertumbuhan tinggi tunas dalam
polybag pada bulan ke-1 dan bulan ke-2 setelah penyerongan (cut back) menunjukkan bahwa
pada klon yang okulasinya telah berhasil tidak terdapat perbedaan nyata pada tinggi tunas,
kecuali PB 330 yang lebih rendah daripada klon lainnya (Tabel 4).

Tabel 3. Pengamatan rata-rata tinggi tunas pada 5 klon yang diamati


Tinggi Tunas (cm) Pertumbuhan
Klon Bedeng ∑ tanaman
Bulan ke-1 Bulan ke-2 (cm/bulan)

PB 260 1 35 19.00 26.01 7.01

2 35 8.28 23.64 15.36

3 35 10.71 25.07 14.36

Rata-rata 12.66a 24.91ab 12.25a

PB 330 1 35 19.87 22.80 2.93

2 35 21.93 22.54 0.61

284
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3 35 17.52 24.09 6.57

Rata-rata 19.78a 23.14b 3.36b

PB 340 1 35 12.61 22.03 9.42

2 35 12.81 23.91 11.1

3 35 13.33 26.47 13.14

Rata-rata 12.92a 24.14ab 11.22a

DMI 13 1 35 16.41 27.37 10.96

2 35 5.43 24.03 18.6

3 35 16.22 27.83 11.61

Rata-rata 12.69a 26.41a 13.72a

Keterangan: Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT.

Pertumbuhan tunas tertinggi yaitu pada klon DMI 13 sebesar 13.72 cm bulan-1 tetapi tidak
berbeda dengan klon PB 260 sebesar 12.25 cm bulan-1 dan klon PB 340 sebesar 11.22 cm
bulan-1, sedangkan pertumbuhan tunas terendah yaitu pada klon PB 330 yaitu sebesar 3.36 cm
bulan-1. Pada umur 31 hari atau 1 bulan pertama (payung pertama) setelah penyerongan,
pertumbuhan klon PB 330 memiliki pertumbuhan tunas tertinggi sebesar 19.78 cm bulan-1 dan
pada bulan ke-2 setelah penyerongan klon DMI 13 memiliki pertumbuhan tunas tertinggi
sebesar 26.41 cm bulan-1. Artinya terdapat perbedaan waktu untuk pertumbuhan cepat antar
klon yang diduga hal ini terkait karakteristi klon.

Menurut penelitian Novalina (2009), menunjukkan bahwa panjang tunas hasil okulasi yang
terbentuk pada umur 31 hari setelah tanam berkisar 8.90 - 19.20 cm. Tinggi tunas pertama
(payung pertama) pada bibit karet ini akan mempengaruhi perkembangan tunas kedua yang
secara tidak langsung akan berpegaruh dengan singkat atau lambatnya tanaman karet siap
disadap (matang sadap). Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk satu payung tunas
berkisar 60 hari. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kompabilitas antara batang bawah dengan
batang atas yang menyangkut faktor genetik masing-masing klon. Kompatibilitas mata tunas
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan panjang tunas karet. Kompatibilitas antara
pengabungan batang bawah dengan mata entres yang baik akan mendukung proses
pengangkutan unsur hara dan mineral, dengan kata lain penggunaan beberapa klon dalam
percobaan ini menyebabkan terjadinya perbedaan panjang tunas dan yang paling kompatibel
ditunjukkan oleh klon PB 260. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Tambing et al.
(2008) bahwa kompatibilitas batang bawah dengan mata entres sangat mendukung
perkembangan tunas okulasi.

285
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KESIMPULAN
Keberhasilan okulasi pada batang bawah dengan pertumbuhan tunas aktif (flush) lebih
rendah dibandingkan kondisi batang bawah dengan pertumbuhan tunas tidak aktif (dorman).
Terdapat perbedaan kompatibilitas entres antarklon karet dengan batang bawah. Semakin
siang waktu pelaksanaan semakin rendah persentase keberhasilan okulasi. Pertumbuhan tinggi
tunas dari entres hasil okulasi juga berbeda antarklon.

DAFTAR PUSTAKA

Akyas AM. 2011. Dasar Teknologi (biologi) Pengendalian Panen Mangga. Bandung (ID) :
Agrotek. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran.

Amypalupy K. 2012. Produksi Bahan Tanam Karet. Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat.
Sumatera Selatan (ID) : Balai Penelitian Karet Sembawa.

Anwar C.2007. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Tekno Ekonomi Agribisnis Karet, 18 Mei 2006. Jakarta (ID).

Aryulina D, Muslim C. 2006. Biologi SMA dan MA untuk kelas XI. Jakarta (ID) : Erlangga.

Balai Penelitian Sembawa. 2009. Pengelolaan Bahan Tanam Karet. Pusat Penelitian Karet.
Palembang (ID): Balai Penelitian Sembawa.

Boerhendhy I. 2012. Pembangunan Batang Bawah. Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat.
Sumatera Selatan (ID) : Balai Penelitian Karet Sembawa.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di
Indonesia. Jakarta (ID).

Novalina. 2009. Pewarisan Beberapa Karakter Kualitatif Pada Tanaman Karet. Jurnal
Agronomi 13(1): 17-20.

Prastowo N, Roshetko JM. 2006. Tehnik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman
Buah. Bogor (ID) : World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Winrock International.
P.100

Robbyana Y. 2002. Pembibitan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muall. Arg) di Kebun
Batulawang PTPN VII (Persero) Ciamis, Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Setiawan D H, Andoko A. 2008. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Jakarta (ID) :


AgroMedia Pustaka.

Tambing Y, Adelina E, Budiarti T, dan Murniati E. 2008. Kompatibilitas batang bawah


nangka tahan kering dengan entris nangka asal Sulawesi Tengah dengan cara sambung
pucuk. Jurnal Agroland. 15: 95-100

286
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MODEL PEMBERDAYAAN DESA MANDIRI ENERGI DALAM RANGKA


MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT MELALUI PENGUATAN
LEMBAGA KOPERASI DESA

Fauzan Murdapa*1, Dwi Haryono2, Sugeng P.H2, Yuliarto R2, R. Sigit K3


1)
Dosen F Teknik Unila, 2) Dosen F Pertanian Unila, 3) Dosen Fisip Unila
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145

ABSTRAK

Desa Pesawaran Indah merupakan salah satu desa di Kabupaten Pesawaran yang lokasinya terpencil,
berbatasan langsung dengan hutan lindung Reg.19 Wan Abdurahman. Sejak tahun 2010telah dijadikan sebagai
lokasi penelitian Model Desa Mandiri Eenergi (DME). Pertimbanganya, saat itu beberapa dusun belum dialiri
listrik dari PLN, kebutuhan energi memasak menggunakan minyak tanah, gas elpiji dan kayu bakar dari hutan.
Sedangkan banyaksumber energy setempat yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energinya,
diantaranya air terjun dan sapi. Namun persoalan keterbatasan pengetahuan dan ekonomi mengakibatkan
masyarakat belum memanfaatkanya. Metode yang digunakan untuk mengatasi persoalan ini adalah (1)
membangun lembaga pengelola Desa Mandiri Energi, (2) melakukan rekayasa social yang berupapenyuluhan,
pelatihan, bimbingan teknis, studi banding dan pendampingan, (3) melakukan rekayasa teknologi tepat guna
dengan merancang dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), kontrol tegangan,
rumah pengering, reaktor biogas, (4) menjaga kelestarian lingkungan.Hasilnya, pada saat ini telah terbentuk
sebuah lembaga pengelola DME, yaitu Koperasi Sinar Banyu Mandiri, jumlah PLTMH telah berkembang
menjadi 12unit, reaktor biogas berjumlah 10 unit, rumah pengering berjumlah 2 unit, jumlah pohon tertanam
15.000 batang, model kontrol tegangan dan rumah pengering sedang dalam proses patent. Dari hasil rekayasa
sosial dan rekayasa teknologi yang dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat,
yaitu: (1) beralihnya penggunaan bahan bakar lampu penerang dari minyak tanah / solar ke PLTMH, mampu
menghemat pengeluaran sebesar Rp80.000,00 per bulan atau Rp960.000 per tahun per rumah tangga, atau
untuk seluruh pengguna PLTMH (150 KK) sebesar Rp 144.000.000 per tahun; (2) pemanfaatan biogas untuk
memasak, mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp 80.000,00 per bulan atau Rp960.000,00 per tahun per
rumah tangga, atau untuk limabelas rumah tangga sebesar Rp 14.400.000,00 per tahun; (3). Kenaikan
pendapatan dari penjualan pupuk organik (sisa biogas) sebesar Rp840.000,00 per tahun per unit atau
Rp8.400.000,00 per tahun untuk 10 unit.(4). Pemanfaatan rumah pengering sebagai pengering hasil bumi
(coklat) pada saat musim hujan, sangat membantu dalam mencegah penurunan/kerusakan hasil bumi.

Kata kunci: Desa Mandiri Energi, PLTMH, Reaktor Biogas, Pupuk Organik, Rumah Pengering.

PENDAHULUAN

Desa Pesawaran Indah merupakan salah satu desa di Kabupaten Pesawaran yang
berbatasan langsung dengan hutan lindung Reg.19 Wan Abdurahman. Potensi desa ini sangat
besar dan apabila dikelola secara benar, maka kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
Atas dasar itu, sejak tahun 2010, Universitas Lampung telah menjadikan desa ini sebagai
tempat riset Model Desa Mandiri Eenergi.Beberapa kegiatan penelitian yang telah dilakukan
antara lain: 1). Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial penstabil tegangan PLTMH yang
diintegrasikan dengan rumah pengering 2). Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial rumah
pengering, 3) Rekayasa sosial pemanfaatan reactor biogas. 4). Rekayasa pengembangan
Koperasi Sinar Banyu Mandiri agar bisa menjadi lembaga perekonomian sebagai partner
pemerintah desa dalam mengelola Desa Mandiri Energi, sehingga bisa memberi manfaat bagi
masyarakat dan anggota.

287
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Lokasi Kegiatan

Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Propinsi


Lampung.

Desa Pesawaran Indah

Gambar.1. Peta Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah dengan melakukan rekayasa social dan rekayasa
teknologi. Ada tiga tahap atau tiga langkah untuk melaksanakan kegiatan ini, yaitu : (1) tahap
pembuatan model pengembangan kelembagaan pengelola, (2) tahap model penguatan
kelembagaan, (3) pemantapan perkembangan kelembagaan (KSBM) (Gambar.2). Pada
pelaksanaan kegiatanya dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif
(pemberdayaan masyarakat) yaitu dengan: (1) pelatihan, (2) pendampingan, (3) penguatan
lembaga koperasi desa dan kapasitas pengelola, (4) pengembangan jaringan koperasi desa
dengan lembaga luar desa, (5) pelestarian lingkungan dengan menanam 15.000 pohon.
Sedangkan rekayasa teknologi yang dilakukan : (1) merancang control tegangan dan rumah
pengering, (2) pengembangan biogas. Sedangkan rincian kegiatan dari tiga tahap kegiatan
ditunjukan pada table 1.

Kondisi Tahun I: Tahun II : Tahun III

Ekisting Pembuatan Penguatan Model PenguatanKelembagaan 288


ModelPengembangan Kelembagaan
Kelembagaan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Desa Mandiri
Energi

Penghijauan
Reaktor

Biogas (banyak)
Pengembangan Koperasi

PLTMH “Sinar Banyu


Pupuk
Pemasaran Mandiri”
Organik banyak

LSM PT
Penguatan
BUMN
Swasta
Pengelola Koperasi
Pemda

Gambar .2. Tiga Tahap Pelaksanaan Kegiatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan Road Map penelitian, bahwa pada tahun ke tiga kegiatan penelitian
sebagai Exit Strategy adalah Koperasi Sinar Banyu Mandiri bisa melanjutkan membangun
DME yang bermitra dengan pemerintah desa. Untuk itu kegiatan rekayasa social dengan
melakukan pelatihan, pendampingan, studi banding, penguatan kelembagaan koperasi desa
dan pengembangan sumberdaya pengelola (SDM), pengembangan jaringan dengan lembaga
lain, dan pemerintah kabupaten atau propinsi. Sampai dengan tahun 2013 Pemerintah
Kabupaten Pesawaran sudah mulai aktif melibatkan Koperasi Sinar Banyu Mandiri dalam
berbagai kegiatan baik di dalam Propinsi Lampung maupun di luar Propinsi Lampung.
Demikian juga dengan beberapa organisasi atau asosiasi telah menjalin kerjasama dengan
koperasi ini untuk mengembangkan masyarakat Desa Pesawaran Indah pada umumnya.
Beberapa kegiatan rekayasa sosial tersebut adalah :

289
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penguatan Koperasi Sinar Banyu Mandiri (KSBM).

1. Koperasi Sinar Banyu Mandiri mewakili Kabupaten Pesawaran dalam kegiatan Bimtek
Penilaian Kesehatan bagi KSP/USP dan KJKS/UJKS di Bandar Lampung dengan
penyelenggara Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Propinsi
Lampung.
2. Pengurus Koperasi Sinar Banyu Mandiri mewakili Kabupaten Pesawaran dalam kegiatan
Bimtek Bagi Pengelola Koperasi Simpan Pinjam Pola Syariah di Bandar Lampung dengan
penyelenggara Dinas Koperasi, UMKM dan Perindustrian dan Perdagangan Propinsi
Lampung.
3. Pengurus Koperasi Sinar Banyu Mandiri mewakili Kabupaten Pesawaran dalam kegiatan
Sosialisasi Undang-Undang Koperasi No.17 Tahun 2012 di Bandar Lampung dengan
penyelenggara Dinas Koperasi, UMKM dan Perindustrian dan Perdagangan Propinsi
Lampung.
4. Pengurus Koperasi Sinar Banyu Mandiri mewakili Kabupaten Pesawaran bersama dengan
rombongan pengurus koperasi se Propinsi Lampung dalam kegiatan Studi Banding Bagi
Pengelolaan Koperasi BMT Amanah Ummah di Surabaya dan KSP Yala Bina Usaha di
Sidoarjo dengan penyelenggara Dinas Koperasi, UMKM dan Perindustrian dan
Perdagangan Propinsi Lampung.
5. Bimbingan teknis System Pelaporan Keuangan Koperasi yang diikuti oleh Ketua,
Sekretaris, bendahara, pendiri dan pengawas Koperasi Sinar Banyu Mandiri di Universitas
Lampung, dengan penyelenggara Universitas Lampung.

Penguatan Jaringan Kerjasama Koperasi Sinar Banyu Mandiri (KSBM) Dengan


Lembaga Swasta/LSM.

Dalam usaha untuk memperkuat lembaga koperasi dan meningkatkan pendapatan


anggotanya, Koperasi Sinar Banyu Mandiri mengadakan berbagai kerja sama dengan berbagai
pihak dalam bentuk pelatihan, pembinaan maupun pendampingan. Adapun beberapa lembaga
yang sudah menjalin kerjasama adalah :

1. Perusahaan Dagang Petani Kakao Lampung (PD. PKL).


PD. PKL adalah perusahaan mitra PT.Delfi yang berkedudukan di Lampung, yang
mempunyai komitmen tinggi dalam meningkatkan pendapatan petani kakao melalui

290
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pembinaan. Mengingat PD.PKL mempunyai komitmen tinggi terhadap petani kakao,


maka Koperasi Sinar Banyu Mandiri pada tahun 2012 melakukan MOU dengan PD.PKL
dalam rangka melakukan pembinaan bagi anggotanya.Kerjasama ini berupa pembinaan
bagi anggotanya yang merupakan para petani kakao di Desa Pesawaran Indah.
Pembinaan mulai dari budidaya kakao secara benar dan pengolahaan pasca panen
(fermentasi), dan penampungan produksi.

2. Asosiasi Perlebahan Daerah (Apida) Lampung.


Koperasi Sinar Banyu Mandiri juga mengadakan kerja sama dengan Asosiasi
Perlebahan Daerah (Apida) Lampung dan Jurusan Menajemen Hutan, Fakultas Pertanian
Universitas Lampungmengadakan pelatihan dan pendampingan cara berbudidaya lebah
madu.
Kegiatan ini didasari oleh pemikiran bagaimana masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan tidak merusak hutan, namun justru turut menjaga kelestarian hutan sebagai sumber
mata air, penyangga suhu di bumi dan penyupali oksigen. Langkahnya adalah membina
masyarakat dengan mengambil hasil hutan non kayu. Dengan dasar ini, masyarakat
dilatih dan didampingi untuk berbudidaya lebah madu di perbatasan Reg.19 dan di
pekarangan masing-masing.

3. Komunitas Trooper Indonesia


Sebagai komunitas pecinta lingkungan, Komunitas Trooper bekerjasama dengan
Koperasi Sinar Banyu Mandiri dan Pemerintah Desa Pesawaran Indah, melaksanakan
pembinaan dan pengabdian masyarakat tentang pelestarian lingkungan.
Kegiatanyameliputi penyuluhan tentang Pelestarian Lingkungan dan manfaat pohon pala
bagi keluarga dan lingkungan dan dilanjutkan dengan penanaman bersama pohon-pohon
pala berjumlah 2.000 batang.

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (Hiforce). Dan LSM Biru


Hiforce merupakan sebuah NGO/LSM dari Belanda sedangkan LSM Biru adalah
sebuah LSM dari Indonesia. Kedua LSM ini merupakan LSM yang berkecimpung dalam
kegiatan Energi terbarukan khususnya pengembangan Reaktor Biogas di Indonesia.
Reputasi kedua LSM ini cukup baik dalam mengembangkan Reaktor Biogas, terbukti
sudah ratusan reaktor yang dibangun dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Koperasi Sinar Banyu Mandiri melakukan
kerjasamaberupa pembinaan dan pengembangan reactor biogas di Wilayah Desa

291
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pesawaran Indah mulai tahun 2014. Mengingat bahwa sampai saat ini jumlah reactor
biogas sudah cukup banyak (10 reaktor), namun masih bisa dikembangkan karena jumlah
peternak dan jumlah ternak masih cukup banyak. Pengembangan reactor ini perlu
dilakukan, mengingat potensi kotoran sapi bisa mengganggu keharmonisan
bertetangga(gangguan pernapasan dan pencemaran air sumur).

Pengembangan Teknologi

Dari hasil penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna, pelaksanaan rekayasa social
dalam pengembangan desa mandiri energy dan pengembangan koperasi desa selama tiga
tahun telah terjadi perubahan secara positif di masyarakat, yaitu :

1. Masyarakat menjadi lebih terbuka dan bisa menerima terhadap perubahan yang terjadi.
Contohnya pada pembangunan reactor biogas. Pada awalnya masyarakat ragu dan merasa
tidak membutuhkan, Namun setelah dibuatkan dan beberapa bulan memanfaatkan gas
untuk keperluan memasak, pada akhirnya merasa telah menjadi kebutuhan, sehingga
ketika ada persoalan tentang reactor (kerusakan), pemilik berusaha untuk memperbaiki
sendiri. Sampai saat ini telah berkembang menjadi 10 reaktor untuk 15 keluarga.

Secara ekonomis, maka terjadi peningkatan pendapatan berupa penghematan pengeluaran


untuk memasak. Selama ini setiap keluarga harus mengeluarkan dana minimal Rp 80.000/
bulan per KK, selama setahun (12 bulan) mengeluarkan Rp 960.000 per keluarga, Rp
14.400.000 untuk 15 KK. Sedangkan keuntungan lainya adalah terhindarnya pencemaran
udara dan air akibat menumpuknya kotoran sapi/kerbau. Sekalipun masyarakat sudah bisa
menerima dan percaya manfaat reactor biogas ini, sosialisasi, pembinaan, bantuan,
pendampingan tetap harus dijalankan secara terus-menerus, agar supaya reactor biogas ini
menjadi kebutuhan masyarakat.

2. Keberadaan PLTMH pada saat ini telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Desa
Pesawaran Indah yaitu: sebagai penerang rumah dan lingkungan pada malam hari,
maupun digunakan untuk keperluan ekonomi lainya misalnya digunakan sebagai
pengering hasil bumi maupun untuk yang lain.

Sampai tahun 2013 ini PLTMH telah berkembang menjadi 12 unit dengan jumlah
pengguna 150 KK. Selama ini masyarakat menggunakan minyak solar untuk keperluan

292
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

penerangan rumah dengan harga Rp 10.000 per liter. Selama satu bulan rata-rata
masyarakat menghabiskan 8 liter atau Rp 80.000 per bulan per keluarga atau Rp 960.000
per tahun per keluarga atau Rp 144.000.000 per tahun per 150 KK. Keuntungan lain
adalah lingkungan akan lebih terjaga kelestariannya.

Dengan telah dirasakannya manfaat ini, masyarakat sadar bahwa ketersediaan air untuk
PLTMH harus terjaga. Dengan demikian upaya konservasi dengan menanam pohon dan
melarang penebangan pohon sangat mudah dilaksanakan, terbukti telah lebih dari 15.000
batang pohon telah ditanam dari tahun 2010.

3. Sebagai upaya untuk menyatukan masyarakat dalam kegiatan ekonomi maka pengguna
PLTMH dan Reaktor Biogas wajib menjadi anggota koperasi desa (Koperasi Sinar Banyu
Mandiri). Sampai saat ini secara kelembagaan koperasi masih harus dibina, mengingat
bahwa SDM pengelolanya masih kurang mumpuni. Selama ini berbagi upaya untuk
mengembangkannya telah banyak dilakukan, diantaranya: melakukan pelatihan-pelatihan,
kunjungan studi banding ke koperasi yang telah maju maupun ke dunia industri rumah
tangga.
4.
SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka bisa diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Pengembangan jaringan kerja Koperasi Sinar Banyu Mandiri telah berhasil dengan baik
terbukti dengan ragam rekayasa social dengan banyak melibatkan lembaga luar (swasta).
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawarann telah mulai melibatkan secara aktif Koperasi
Sinar Banyu mandiri dalam berbagai kegiatan pelatihan dan pengembangan koperasi.
3. Beralihnya penggunaan bahan bakar lampu penerang oleh masyarakat dari solar ke
PLTMH, mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp 80.000,00 per bulan atau Rp
960.000 per tahun per rumah tangga, atau untuk seluruh masyarakat pengguna PLTMH
(150 KK) terjadi penghematan sebesar Rp 144.000.000 per tahun;
4. Pemanfaatan biogas untuk memasak, mampu menghemat pengeluaran sebesar
Rp80.000,00 per bulan atau Rp 960.000,00 per tahun per rumah tangga, atau untuk lima
belas rumah tangga sebesar Rp 14.400.000,00 per tahun;
5. Kenaikan pendapatan dari penjualan pupuk organik (sisa biogas) sebesar Rp840.000,00
per tahun per unit atau Rp8.400.000,00 per tahun untuk 10 unit.
6. Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu integrasi antara Kontrol Tegangan dan
Rumah Pengering layak untuk di Patent kan.

293
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA
Murdapa, Fauzan.,dkk., 2010.,” Pemanfaatan Air Terjun untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTMH) di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten
Pesawaran”, Proseding Seminar Dies Natalis Universitas Lampung ke 45, Bandar
Lampung.

Harianto, S.P., 2004., ”Kondisi Jenis Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat di Kawasan Hutan
Reg. 19 Gunung Betung. Propinsi Lampung.” Media Medika Indonesia. Vol 39.
No. 1 Tahun 2004. Suplemen. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang

Haryono, Dwi., 2008., “Model Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Lembaga Adat
“ ., Buletin Ristek Balitbangda Jawa Barat, Vol. 7, No. 1, Juni 2008

Solihin, Dadang.,2009., “Model Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Ekonomi


Lokal”, Makalah disampaikan pada seminar nasional Pengembangan Infrastruktur
Sosial Ekonomi Wilayah, Kemang Hotel Jakarta, 5 Agustus 2009.

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. RefikaAditama.

Bandung.

294
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MANFAAT EKONOMI PEMBANGUNAN REAKTOR BIOGAS


BAGI MASYARAKAT DESA
DI KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG

Dwi Haryono

Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung


Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandarlampung
Corresponding Autor: dwihunila@yahoo.com

ABSTRACT

This study aims to assess the economic benefits of the biogas-reactor development for communities in
Pesawaran Indah Padang Cermin Subdistrict of Pesawaran District Lampung Province. The study was
conducted in September-October 2013. Respondents in this study were all cattle ranchers who transform cow
feces into biogas. The respondents were 8 people of breeders. Data analysis was conducted qualitatively and
quantitatively. The results showed that the construction of biogas reactor brings economic benefits to society by
reducing household expenditure for purchasing LPG gas and wood for fuel averagely 1,260,000 rupiahs per
year per household. Further economic benefits are in the form of organic fertilizers as a byproduct of biogas
reactor as much as 840, 000 rupiahs per year per household. The construction of biogas reactor is financially
feasible to be implemented (shown by NPV = 9,114,465.40; IRR = 18.70%’ Net B/C= 2.22 and Payback
period = 4.25 year).

Key words: economic benefits, biogas reactor, beef cattle, organic fertilizer

1. Pendahuluan

Pembangunan peternakan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan pertanian.
Tantangan utama yang dihadapi oleh sektor peternakan dewasa ini adalah bagaimana
menghasilkan produk peternakan yang berdaya saing tinggi baik dalam aspek kuantitas,
kualitas, ragam produk, kontinuitas, pelayanan maupun harga, sehingga dapat memenuhi
tuntutan pasar domestik maupun pasar global. Salah satu komoditas peternakan yang
mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah sapi potong.

Selain menghasilkan daging sebagai produk utamanya, sapi potong juga menghasilkan produk
sampingan, yaitu limbah atau kotoran yang dihasilkan ternak. Semakin tinggi jumlah populasi
sapi potong, semakin tinggi pula jumlah limbah yang dihasilkan. Jumlah kotoran yang
dihasilkan oleh setiap ekor sapi potong, berbeda-beda, tergantung kepada jenis sapi, jumlah
pakan, dan bobot tubuhnya. Semakin besar bobot tubuh sapi dan jumlah pakan yang
dikonsumsi, akan semakin banyak jumlah kotoran yang dihasilkan (Dompi, 2010).

295
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kotoran yang dihasilkan sapi tersebut akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat,
seperti timbulnya pencemaran, penyakit, dan polusi udara, jika tidak segera ditangani. Limbah
tersebut tidak jarang menimbulkan protes dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah
sekitar peternakan. Salah satu upaya pemanfaatan limbah peternakan adalah dengan
memanfaatkannya untuk menghasilkan bahan bakar dengan menggunakan teknologi biogas.
Teknologi biogas memberikan peluang bagi masyarakat pedesaan yang memiliki usaha
peternakan, baik individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari
secara mandiri (Widodo dkk., 2006).

Penerapan biogas yang menguntungkan dan memberikan dampak positif bagi lingkungan
sekitar mendorong pemerintah untuk terus mengembangkannya. Saat ini, pengembangan
instalasi biogas telah dilakukan di berbagai daerah di Lampung, salah satunya yaitu di Desa
Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Desa Pesawaran Indah
merupakan salah satu desa yang baru mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Usaha
peternakan ini menghasilkan limbah berupa kotoran ternak yang belum dimanfaatkan. Tidak
termanfaatkannya kotoran ternak dan belum adanya pengolahan lebih lanjut dari kotoran
tersebut, menyebabkan timbulnya pencemaran lingkungan. Pencemaran ini akan memberikan
dampak negatif bagi masyarakat sekitar, seperti adanya bau dan pencemaran air sumur milik
warga masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya solusi pemanfaatan kotoran ternak untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan pemanfaatan limbah kotoran ternak
untuk menghasilkan energi alternatif biogas (Haryono dkk., 2013).

Pembangunan reaktor biogas memiliki berbagai keuntungan, selain dapat mengurangi


pencemaran yang diakibatkan oleh limbah ternak berupa kotoran, reaktor biogas juga dapat
menghasilkan bahan bakar berupa biogas dan pupuk organik sebagai limbah sisanya. Dengan
demikian, pengembangan reaktor biogas dapat menjadikan usaha peternakan sapi potong
menjadi usaha yang zero waste atau tidak menghasilkan limbah. Selain keuntungan tersebut,
adanya biogas yang dihasilkan dapat membantu mengatasi permasalahan energi yang saat ini
sedang dihadapi, karena biogas yang dihasilkan dapat digunakan secara langsung sebagai
bahan bakar rumah tangga, yaitu pengganti minyak tanah dan gas elpiji untuk memasak dan
juga sebagai generator pembangkit tenaga listrik skala rumah tangga (Pambudi, 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat ekonomi pembangunan reaktor biogas bagi
masyarakat Desa di Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung.

296
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Metodologi

Penelitian dilakukan di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten


Pesawaran Propinsi Lampung. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbagan bahwa daerah tersebut memanfaatkan feses ternak sebagai
biogas dengan menggunakan digester plastik. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh
peternak sapi potong yang memanfaatkan feses sapi menjadi biogas, yaitu 8 orang peternak.
Penelitian dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak dan pengamatan langsung di
lapangan. Sedangkan data sekunder bersumber dari laporan hasil penelitian, publikasi dan
instansi yang terkait.

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
mengetahui gambaran mengenai pelaksanaan pengolahan limbah dengan reaktor biogas.
Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi pembangunan reaktor
biogas bagi masyarakat dengan analisis pendapatan dan analisis kelayakan finansial (NPV,
IRR, Net B/C, dan Payback period). Secara matematis rumus kelayakan finansial dan kriteria
pengambilan keputusan dapat dituliskan sebagai berikut (Gittinger, 1986):

(1) Net present value (NPV)


n
bt  ct
NPV =  1  i 
t 1
t
. (1)

Keterangan:

NPV = net present value

bt = benefit (penerimaan) bersih tahun t

ct = cost (biaya) pada tahun t

i = tingkat bunga

n = umur ekonomis proyek

Kriteria pengambilan keputusan, jika:

i) NPV > 0, maka pembangunan reaktor biogas layak untuk diusahakan


ii) NPV = 0, maka pembangunan reaktor biogas dalam keadaan titik impas (BEP)
iii) NPV < 0, maka pembangunan reaktor biogas tidak layak untuk diusahakan

297
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

(2). Internal rate of return (IRR)

 NPV    
IRR = i - +    
i i  
 NPV  NPV  (2)

Keterangan:

IRR = internal rate of return

NPV+ = NPV positif

NPV- = NPV negatif

i+ = tingkat bunga pada NPV positif

i- = tingkat bunga pada NPV negatif

Kriteria pengambilan keputusan, jika:

i) IRR > i, maka pembangunan reaktor biogas layak untuk diusahakan


ii) IRR = i, maka pembangunan reaktor biogas dalam keadaan impas
iii) IRR < i, maka pembangunan reaktor biogas tidak layak untuk diusahakan

(3) Net benefit cost ratio (net B/C)


n

 net benefit  
i 1
n
Net B/C =  net benefit   (3)
i 1

Kriteria pengambilan keputusan, jika:

i) net B/C > 1, maka pembangunan reaktor biogas layak untuk diusahakan,
ii) net B/C = 1, maka pembangunan reaktor biogas dalam keadaan impas
iii) net B/C < 1, maka pembangunan reaktor biogas tidak layak untuk diusahakan.

(4) Payback periode

I0
Pp  x 1 tahun (4)
Ab

Keterangan:

Pp = payback periode

I0 = investasi awal

298
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ab = manfaat (benefit) yang diperoleh setiap periode

Kriteria pengambilan keputusan, jika:

i) nilai Pp < dari umur ekonomis proyek, maka pembangunan reaktor biogas layak untuk
diusahakan.
ii) nilai Pp > dari umur ekonomis proyek, maka pembangunan reaktor biogas tidak layak
untuk diusahakan.

3. Hasil Diskusi

Peternak sapi potong yang berada di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin
Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung, menggabungkan lokasi usaha peternakan dengan
kediaman rumah tangga. Menurut Widodo dkk, (2006), banyaknya ternak yang dimiliki akan
menyebabkan tingginya jumlah limbah berupa kotoran ternak yang dihasilkan.

Hasil penelitian pada 8 orang rumah tangga peternak sapi potong yang terlibat dalam
pembangunan reaktor biogas menunjukkan bahwa seekor sapi dewasa mampu menghasilkan
rata-rata 5 kg kotoran per hari. Rata-rata populasi sapi yang dimiliki oleh seorang peternak
adalah 5 ekor. Dengan demikian, setiap peternak menghasilkan 25 kg kotoran ternak. Apabila
dijumlahkan, maka dari 8 orang peternak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan reaktor
biogas akan dihasilkan sebanyak 200 Kg kotoran sapi per hari. Jumlah ini lebih dari cukup
untuk bahan baku 4 unit reaktor biogas yang dibangun.

Pendapatan yang diperoleh dari setiap reaktor biogas (bila dikonversikan dengan harga LPG)
adalah sebesar Rp105.000,00 per bulan atau Rp1.260.000,00 per tahun per rumah tangga atau
Rp10.080.000,00 untuk 8 rumah tangga yang terlibat atau untuk 4 unit reaktor biogas yang
berhasil dibangun. Pendapatan ini belum termasuk hasil samping reaktor biogas yaitu berupa
pupuk organik.

Setiap unit reaktor biogas mampu menghasilkan pupuk organik sebanyak 7 kantong per bulan
atau 84 kantong per tahun. Apabila harga pupuk organik di Desa Pesawaran Indah sebesar
Rp10.000,00 per kantong, maka pembangunan reaktor biogas mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangga peternak sebesar Rp840.000,00 per unit per tahun atau
Rp3.360.000,00 untuk 4 unit reaktor biogas yang berhasil dibangun. Berdasarkan populasi
ternak sapi yang ada, maka di Desa Pesawaran Indah bisa dibangun sekitar 50 unit reaktor
biogas. Dari jumlah ini, pembangunan reaktor biogas diperkirakan akan mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp105.000.000,00 per tahun. Jumlah ini

299
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

berasal dari hasil biogas sebesar Rp63.000.000,00 per tahun dan dari penjualan pupuk organik
sebagai hasil samping reaktor biogas sebesar Rp42.000.000,00 per tahun.

Dengan menggunakan beberapa indikator pada analisis kelayakan finansial (NPV, IRR, Net
B/C dan Pp) dapat dikatakan bahwa secara finansial pembangunan reaktor biogas layak untuk
dilaksanakan (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Reaktor Biogas (Diskon Faktor 15 %)

No. Indikator Kelayakan Satuan Nilai

1 Net Present Value (NPV) Rp 9.114.465,40

2. Internal Rate of Return (IRR) % 18,70

3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) - 2,22

4. Payback Period (Pp) Tahun 4,25

Pada Tabel 1, nampak bahwa nilai NPV sebesar Rp9.114.465,40. Nilai NPV yang positif
(NPV > 0), menunjukkan bahwa pembangunan reaktor biogas secara finansial layak untuk
dilakukan. Demikian pula halnya dengan indikator kelayakan yang lain, yaitu Nilai IRR
sebesar 18,70% (IRR > i), nilai Net B/C sebesar 2,22 (Net B/C > 0) dan nilai Payback period
(Pp) selama 4,25 tahun yang lebih kecil dari umur ekonomis reaktor biogas (10 tahun), maka
dapat disimpulkan bahwa pembangunan reaktor biogas secara finansial layak untuk
dilakukan.

4. Kesimpulan

Berdasar hasil diskusi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


(1) Pembangunan reaktor biogas mendatangkan manfaat ekonomi berupa penghematan
pengeluaran untuk rumah tangga sebesar Rp1.260.000,00 per rumah tangga per tahun,
dan hasil samping berupa pupuk organik sisa reaktor biogas senilai Rp840.000,00 per
tahun.
(2) Secara finansial pembangunan reaktor biogas layak untuk dilaksanakan, yang
ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar 9.114.465,40, nilai IRR sebesar 18,70%, nilai Net
B/C sebesar 2,22 dan nilai Payback period selama 4,25 tahun.

300
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Daftar Pustaka

Dompi. 2010. Jenis-jenis Sapi Potong. Diakses dari http://www.layanan@flamboyan. co.id.


pada tanggal 17 Oktober 2013.

Gittinger, J. Price 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Penerjemah Slamet


Sutomo dan Komel Mangiri. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Haryono, Dwi, Sugeng P. Haryanto, Fauzan Murdapa, Yuliarto Raharjo, Sigit Krisbintoro,
dan Rosidi. 2013. Model Pemberdayaan Desa Mandiri Energi Dalam Rangka
Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Penguatan Lembaga Koperasi Desa.
Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Pambudi Agung N. 2008. Pemanfaatan biogas Sebagai Energi Alternatif. Diakses dari:
http://www.dikti.org. tanggal 17 Oktober 2013.

Widodo T. W, Ana N., A.Asari dan Astu Unadi. 2006. Pemanfaatan Energi Biogas untuk
Mendukung agribisnis di Pedesaan. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
Serpong. Serpong.

Widodo T.W dan A. Ashari. 2009. Teori dan Konstruksi Instalasi Biogas. Balai Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Serpong.

301
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Analisis Model Penerimaan Pengguna Dengan Model UTAUT :


Studi Kasus Aplikasi Android e-filing 1770 SS Direktorat
Jenderal Pajak

Thesa Adi Purwanto

Laboratorium Perpajakan Program Pendidikan Vokasi UI


Kampus Universitas Indonesia, Depok
*Corresponding Author : thesa@vokasi.ui.ac.id

Abstrak

Aplikasi android e-filing 1770 SS merupakan salah satu bentuk penggunaan Teknologi Informasi (TI)
dalam administrasi perpajakan sebagai pengembangan sistem e-government di Direktorat Jenderal Pajak
(DJP). Keberhasilan penggunaan aplikasi tersebut akan dapat diraih apabila penggunaan e-filing 1770 SS
dapat diterima oleh Wajib Pajak, sehingga diperlukan kajian dan analisis terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan pengguna dalam menggunakan aplikasi tersebut. Penelitian ini menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi penerimaan Wajib Pajak pengguna e-filing 1770 SS dengan menggunakan Model
UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology) yang dimodifikasi. Penelitian yang dilakukan
menggunakan data dari 281 responden Wajib Pajak yang tersebar di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan
Bekasi (JaBoDeTaBek). Untuk menguji keterkaitan antar variabel akan dilakukan pengujian dengan
menggunakan Structural Equation Model – SEM menggunakan program VisualGSCA. Variabel-variabel
tersebut selanjutnya akan dianalisis dengan menambahkan variabel moderator yang dapat memperkuat atau
memperlemah hubungan antar variabel sesuai dengan model UTAUT. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pengaruh Performance Expectancy (PE) terhadap Behavioral Intention (BI) lebih kuat
pada pria dibanding wanita. Hal ini berarti bahwa pria lebih berorientasi pada penyelesaian pekerjaan
(kecepatan penyelesaian pekerjaan/tugas) daripada wanita. Pengaruh Effort Expectancy (EE) terhadap
Behavioral Intention (BI) lebih kuat pada wanita daripada pada pria. Hal ini berarti bahwa Wajib Pajak wanita
lebih berorientasi pada proses, di mana suatu sistem atau teknologi akan mudah dioperasikan setelah dipelajari
sebelumnya dengan baik.
Kata kunci : UTAUT, android, e-filing, 1770 SS, DJP

Pendahuluan
Elektronic Filing System atau e-Filing merupakan suatu cara penyampaian/pelaporan
pajak dengan Surat Pemberitahuan (SPT) secara elektronik yang dilakukan secara online yang
real time. Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) melalui e-Filing memberikan kemudahan,
kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Data Surat
Pemberitahuan (SPT) yang telah diisi akan langsung dikirim ke database Direktorat Jenderal
Pajak dengan fasilitas internet.
Kemudahan dalam Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara e-Filing terus
dikembangkan dengan harapan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Perkembangan
penyampaian Surat Pemberitahuan secara e-Filing kini tidak hanya dapat diakses melalui
komputer, melainkan juga dapat diakses melalui smartphone. E-Filing SPT 1770SS (Official)
merupakan aplikasi yang dapat dijadikan solusi dalam melakukan pengisian Surat

302
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pemberitahuan Tahunan. Aplikasi ini merupakan aplikasi resmi yang telah diluncurkan
Direktorat Jenderal Pajak pada bulan Maret 2015 dan dapat diunduh di berbagai smartphone
berbasis sistem operasi android.
Aplikasi e-Filing SPT 1770SS (Official) merupakan aplikasi berbasis android official
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk pelaporan Surat Pemberitahuan 1770SS secara online.
Aplikasi resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini dikeluarkan dalam rangka
memberikan layanan yang prima kepada masyarakat. Wajib Pajak dapat melaporkan
kewajiban perpajakannya kapan saja dan dimana saja dengan menggunakan aplikasi ini.
Dengan aplikasi ini, Wajib Pajak dapat melihat profil dirinya. Aplikasi ini juga dapat secara
otomatis menampilkan data pajak yang telah dipotong dan dilaporkan sebelumnya oleh
pemotong pajak dengan cara menekan tombol populate data.
Sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi, Wajib Pajak harus mengunduh aplikasi pelaporan pajak di smartphone terlebih
dahulu. Berikut ini adalah cara mudah untuk mengunduh aplikasi yang telah diberikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak melalui aplikasi e-Filing 1770SS:
1. Pastikan bahwa Wajib Pajak menggunakan smartphone berbasis sistem operasi android
dan menggunakan formulir 1770SS dalam pelaporan perpajakan.
2. Pilihlah icon Play Store yang ada pada layar smartphone.
3. Untuk memudahkan pencarian aplikasi pelaporan pajak yang diinginkan, Wajib Pajak bisa

mencarinya dengan menuliskan kata “e-Filing” di menu pencarian yang ada. Lalu pilih
aplikasi e-Filing SPT 1770SS (Official).
Gambar 1. Aplikasi e-Filing SPT 1770SS di Play Store
4. Kemudian Wajib Pajak bisa langsung memasang aplikasi ini di smartphone. Setelah
proses selesai, Wajib Pajak bisa langsung melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan
melalui smartphone.

303
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Setelah aplikasi e-Filing 1770SS Direktorat Jenderal Pajak terpasang di smartphone


Wajib Pajak, yang perlu dilakukan adalah melakukan tahapan pelaporan pajak seperti
berikut:
1. Buka aplikasi e-Filing 1770SS Direktorat Jenderal Pajak yang telah terpasang di
smartphone.
2. Wajib Pajak akan diminta untuk memasukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
password e-Filing untuk dapat mengakses e-SPT pada aplikasi ini. Jika sudah
memasukkan NPWP dan password, pilih Login.
3. Wajib Pajak dapat melihat profil lengkap diri sebagai Wajib Wajak e-Filing dengan cara
memilih menu “Profil”. Dengan memilih menu “Profil”, akan ditampilkan profil diri
sebagai Wajib Pajak yang telah sesuai dengan Master File Wajib Pajak Direktorat
Jenderal Pajak. Profil diri tersebut terdiri dari data diri Wajib Pajak, Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar, dan Account Representative (AR) yang
bertanggung jawab atas perpajakan Wajib Pajak.
4. Jika Wajib Pajak ingin membuat e-SPT yang ada pada aplikasi ini, Wajib Pajak bisa
melakukannya dengan cara memilih menu “Buat SPT Baru”. Setelah itu isi aplikasi e-SPT
dengan benar, lengkap dan jelas.
5. Setelah e-SPT selesai dibuat, Wajib Pajak akan kembali ke menu utama dan melanjutkan
tahap selanjutnya yaitu meminta kode verifikasi. Caranya adalah dengan memilih menu
“Meminta Kode Verifikasi”. Kemudian akan muncul pertanyaan “Apakah Anda yakin
ingin meminta kode verifikasi untuk SPT ini?”. Pilih “Ya”. Kode verifikasi akan dikirim
ke alamat email yang digunakan oleh Wajib Pajak pada saat proses registrasi di DJP
Online. Kode verifikasi terdiri atas 6 (enam) digit kombinasi angka dan huruf.
6. Setelah proses meminta kode verifikasi selesai, Wajib Pajak akan kembali lagi ke menu
utama. Lanjutkan tahapan selanjutnya, yaitu mengirim Surat Pemberitahuan. Caranya
yaitu dengan memilih menu “Kirim SPT”. Kemudian masukkan kode verifikasi yang
sudah diterima di email.

304
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

7. Setelah Surat Pemberitahuan berhasil dikirim, Wajib Pajak akan mendapatkan Bukti

Penerimaan Elektronik akan diberikan kepada Wajib Pajak. Menu “Kirim SPT” yang
tadinya berwarna biru akan berubah menjadi berwarna hijau jika proses pengiriman Surat
pemberitahuan telah berhasil.
Gambar 2. Menu Utama Aplikasi e-Filing SPT 1770SS

2. Metodologi
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model adopsi teknologi yang
dikembangkan oleh Venkatesh et al., yaitu model UTAUT (Venkatesh, 2003). Pemilihan
model ini dilatarbelakangi oleh kondisi riil di lingkungan Wajib Pajak yang mana sebagian
besar diantara mereka menggunakan e-filing dengan memakai fasilitas jaringan internet di
tempat kerja. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa fasilitas jaringan
internet yang diberikan oleh tempat kerja, berpengaruh terhadap penggunaan e-filing oleh
Wajib Pajak. Adapun hubungan pengaruh fasilitas yang diberikan dengan penggunaan
teknologi, tergambarkan dalam model UTAUT, yang salah satu variabel latennya adalah
facilitating condition.
Pada model UTAUT, terdapat empat variabel eksogen (variabel bebas/independen)
yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan teknologi. Keempat variabel tersebut
adalah performance expectancy (kepercayaan yang dimiliki individu bahwa kinerjanya akan
makin baik apabila menggunakan teknologi), effort expectancy (ekspektasi kemudahan dalam
penggunaan teknologi), social influence (tingkat penerimaan individu terhadap pengaruh
orang lain untuk menggunakan teknologi), dan facilitating condition (dukungan
sarana/prasarana yang dimiliki individu untuk menggunakan teknologi). Selain keempet
variabel tersebut, Venkatesh et al. juga mengukur pengaruh empat variabel lainnya, yakni

305
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

jenis kelamin (gender), usia (age), pengalaman (experience), dan kesukarelaan (voluntariness
of use) yang memiliki pengaruh langsung yang tidak signifikan terhadap penggunaan
teknologi dan internet.

Gambar 3. Model UTAUT


Menurut Ursula Paola Torres Maldonado (2009), variabel Voluntariness of Use, age
dan experience sebagai variabel moderator pada Model UTAUT tidak perlu dipergunakan
apabila individu yang menjadi obyek penelitian berada di lingkungan sekolah. Hal ini sejalan
dengan penelitian ini, karena kuesioner yang berbentuk Google form diposting di grup Forum
Alumni Vokasi (D3) Perpajakan, sehingga sebagian besar Wajib Pajak yang akan menjadi
sampel berada pada rentang umur yang sama dan memiliki tingkat pengalaman yang sama.
Dalam penelitian ini, variabel age, experience dan Voluntariness of Use tidak digunakan.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel eksogen (variabel
bebas/independen) dan variabel endogen (variabel terikat/dependen). Variabel eksogen dalam
penelitian ini adalah performance expectancy, effort expectancy, social influence, facilitating
condition dan gender. Variabel endogen yang digunakan adalah use behahior dan actual
usage.
Berikut ini adalah definisi dari setiap variabel penelitian yang dibuat berdasarkan model
UTAUT:
1. Performance expectancy merupakan tingkat ekspektasi yang dimiliki setiap individu
bahwa penggunaan e-filing dapat meningkatkan kepatuhan pelaporan pajak.
2. Effort expectancy merupakan tingkat ekspektasi kemudahan dalam penggunaan e-filing.
3. Social influence merupakan tingkat penerimaan yang dimiliki individu terhadap saran dari
orang lain yang penting bagi dirinya.
4. Facilitating condition merupakan tingkat kepercayaan individu bahwa tersedia
infrastruktur teknis dan organisasi yang mendukung penggunaan e-filing.
5. Gender merupakan variabel yang menyatakan jenis kelamin individu.
6. Behavioral intention merupakan variabel yang menyatakan tingkat penerimaan individu
dalam penggunaan e-Learning.
7. Actual Use merupakan variabel yang menyatakan tingkat penggunaan e-filing oleh
individu.

306
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4. Model Dasar UTAUT yang telah dimodifikasi


Variabel penelitian (variabel laten) diukur dengan menggunakan beberapa indikator (variabel
manifes/observed variable) sebagai alat ukur langsung pada setiap variabel laten. Dalam
penelitian ini, indikator yang digunakan merupakan indikator yang diturunkan oleh Venkatesh
et al. dari beberapa model yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Semua
variabel penelitian kecuali gender yakni performance expectancy, effort expectancy, social
influence, facilitating condition, behavioral intention, dan actual usage diukur dengan
beberapa pernyataan sebagai indikatornya. Skala Likert yang terdiri dan angka 1 (sangat tidak
setuju) sampai dengan 5 (sangat setuju) digunakan untuk menyatakan persetujuan responden
terhadap pernyatan tersebut.
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara langsung dan
tidak langsung kepada seluruh responden. Oleh karena itu, data yang diperoleh merupakan
data primer. Pengumpulan data ini dilakukan dalam jangka waktu satu minggu dengan
menggunakan Google form yang diposting di grup Forum Alumni Vokasi (D3) Perpajakan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik SEM. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan prediksi mengenai model yang digunakan, maka teknik analisis yang digunakan
adalah SEM berbasis component (component based SEM). Data yang diperoleh dari
responden kemudian dilakukan rekapitulasi untuk dapat diolah lebih lanjut. Rekapitulasi data
dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel. Selanjutnya, rekapitulasi data
dibedakan menurut keperluan pengolahan dan analisis data. Hal ini dilakukan karena
penelitian ini mengadopsi Model UTAUT yang menuntut pemisahan pengolahan data dan
analisis terhadap jenis kelamin dari responden.
Selanjutnya, data diolah dengan menggunakan program VisualGSCA. VisualGSCA
merupakan salah satu program yang mampu melakukan pengolahan data dengan SEM
berbasis component (Component Based SEM). Software ini dapat didownload secara gratis
dari website http://www.psych.mcgill.ca/ perpg/fac/hwang/VisualGSCA.html. VisualGSCA
menyediakan fasilitas Graphical User Interface (GUI) dengan desain yang mengadopsi dari
VisualPLS. Software ini dalam mengestimasi parameter menggunakan MATLAB, sedangkan

307
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

GUI dikembangkan dengan program C++. VisualGSCA dipilih karena bersifat user friendly
sehingga mudah digunakan.
Apabila pengujian dengan menggunakan VisualGSCA membuktikan bahwa model tidak fit
dengan data yang ada, maka akan dilakukan modifikasi model. Modifikasi model ini
dilakukan terhadap model penerimaan pengguna agar memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi
dengan data yang ada. Modifikasi model dilakukan dengan cara mengeluarkan indikator yang
memiliki nilai loading factor kurang dari 0,5 dan memiliki nilai t hitung yang tidak signifikan
(kurang dari 1,96). Indikator tersebut akan dikeluarkan dari analisis untuk melakukan
modifikasi model agar memiliki tingkat fitness (kesesuaian) yang lebih baik.
Pengujian validitas dilakukan terhadap indikator (variabel manifest) dan variabel laten secara
keseluruhan. Pengujian terhadap validitas indikator dilakukan dengan melakukan uji
convergent validity. Convergent validity ini dilakukan dengan menganalisis loading factor
masing-masing indikator dari setiap variabel laten. Indikator yang baik (memenuhi syarat
convergent validity) indikator yang memiliki nilai loading factor lebih besar dari 0,5 (Chin,
1998 di dalam Ghozali, 2008).
Uji validitas yang kedua adalah uji validitas terhadap variabel laten, yang dilakukan dengan
discriminant validity. Discriminant validity diukur dengan membandingkan nilai akar kuadrat
dari AVE (Average Variance Extracted) dengan nilai korelasi antar variabel laten. Variabel
laten dikatakan memiliki discriminant validity yang baik jika nilai akar kuadrat dari AVE
lebih besar dari nilai korelasi antar variabel laten (Forner dan Larcker, 1981 di dalam Ghozali,
2008).
AVE sendiri dirumuskan sebagai berikut :
AVE = Σλi2 / ( Σλi2 + Σ(1-λi2) ] (1)
dengan λi adalah nilai loading factor masing-masing indikator dalam variabel laten.
Selanjutnya, dilakukan uji realibilitas (realibility) untuk masing-masing variabel laten. Hal ini
dilakukan dengan menghitung besarnya composite realibility (CR) masing-masing variabel
laten, yang dirumuskan sebagai berikut :
CR = (Σλi)2 / [ (Σλi)2 + Σ(1-λi2) ] (2)
dengan λi adalah nilai loading factor masing-masing indikator dalam variabel laten.
Variabel laten dikatakan memiliki composite reliability yang baik jika nilainya lebih besar
dari 0,7 (Ghozali, 2008).
Terdapat banyak cara dan metode yang dapat dilakukan untuk melakukan Uji Kesesuaian
Model, antara lain adalah chi-square (x2), GFI, RMSR, RMSEA, NFI, CFI, TL, dan RNI.
Sejauh ini, belum ada penelitian khusus yang bertujuan untuk mencari metode uji kesesuaian
yang terbaik. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan uji kesesuaian yang sudah banyak

308
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

digunakan, yaitu pengujian/ pengukuran GFI (Goodness of Fit Index) dan SRMR
(Standardized Root Mean square Residual) (Ghozali, 2008).
Nilai GFI adalah antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai GFI, maka model semakin fit dengan
data yang ada. Model memiliki fitness (kesesuaian yang baik) apabila nilai GFI lebih dari 0,9
dan untuk nilai SRMR mendekati nol (Hu dan Bentler, 1999 di dalam Hwang, 2007).
Setelah sebuah model yang diperoleh dinyatakan memiliki tingkat kesesuaian (fitness) yang
optimum, selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk menyelidiki korelasi antar variabel
laten yang menjadi fokus dalam penelitian. Uji Hipotesis dilakukan dengan membandingkan
nilai t (t – value) yang diperoleh dari perhitungan yang dirumuskan dengan :
t = loading factor / standard error (3)
dengan nilai t = 1,96 atau t = - 1,96 (untuk nilai α = 0,05).
Apabila nilai t hitung lebih besar dari nilai t, maka hipotesis diterima (antar variabel laten
memiliki hubungan kausalitas yang signifikan). Apabila nilai t hitung kurang dari nilai t, maka
hipotesis ditolak, di mana artinya adalah antar variabel laten memiliki hubungan kausalitas
yang tidak signifikan.

3. Hasil Diskusi
Berdasarkan kajian literatur, dapat diketahui ada tiga golongan penelitian yang dapat menjadi
acuan dalam pelaksanaan penelitian ini, yaitu penelitian Model UTAUT pada penerimaan
penggunaan sistem yang berjalan secara online, penelitian tentang penggunaan Model
UTAUT sebagai model penerimaan pengguna pada sistem e-Government, serta penelitian
tentang model penerimaan pelaporan pajak secara online baik di Indonesia maupun di luar
negeri.
Penelitian dengan menggunakan Model UTAUT sebagai model penerimaan pengguna pada
sistem yang dijalankan secara online telah dilakukan pada beberapa penelitian tentang
penggunaan internet banking/online banking. Relevansi penggunaan Model UTAUT pada
internet banking disampaikan oleh Gorecha dalam penelitiannya (Gorecha, 2005).
Selanjutnya, studi kasus penggunaan Model UTAUT untuk melakukan analisis penerimaan
pengguna internet banking dilakukan di Cina (Liu, et. al., 2008), Australia (Yeow, et. al.,
2008), dan di Timur Tengah (Al-Qeisi, 2009). Lebih lanjut, hal ini membuat Model UTAUT
cukup tepat dan relevan digunakan sebagai model penerimaan pengguna sistem yang
dijalankan secara online (Al-Qeisi, 2009).
Model UTAUT juga telah digunakan untuk menganalisis model penerimaan pengguna
terhadap sistem e-Government yang berhubungan dengan sistem informasi yang memberikan
layanan kepada masyarakat. Analisis penerimaan pelajar terhadap sistem e-Government di

309
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kuwait menunjukkan adanya relevansi faktor-faktor dalam Model UTAUT yang digunakan
(Al Wadhi and Morris, 2008).
Senada dengan hal tersebut, penelitian tentang penerimaan pengguna terhadap implementasi
e-Government di negara berkembang telah mengusulkan digunakannya variabel kombinasi
antar model TAM, TAM2, dan UTAUT (Shajari and Zuraini, 2010).
Penelitian tentang penerimaan pengguna e-Filing sebagai media pelaporan pajak (e-SPT)
secara online di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai kalangan. Wiyono (2008) dan
Sarjana (2009) melakukan analisis terhadap penerimaan e-Filing dengan menggunakan Model
TAM. Relevansi model TAM dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor demografi secara
khusus. Sedangkan penelitian serupa di Amerika Serikat yang menyoroti penyebab rendahnya
adopsi dan penerimaan sistem e-File, penelitian dilakukan dengan pendekatan Model UTAUT
untuk dapat mendapatkan solusi yang spesifik dengan tetap memperhitungkan aspek
demografi dan manusia sebagai pihak penerima di dalam sistem itu sendiri (Schaupp, et. al.,
2009).
Model Dasar UTAUT yang telah dimodifikasi pada Gambar 4 selanjutnya dikembangkan
dengan menentukan bentuk korelasi antara faktor UTAUT dengan variabel-variabel indikator
SEMnya.

Tabel 1. Korelasi Faktor UTAUT dengan variabel-variabel SEM


Konstruksi Variabel
Performance Expectancy PE1 = Meningkatkan produktivitas
(PE) PE2 = Penurunan waktu tidak produktif
PE3 = Meningkatkan efisiensi dalam bekerja
PE4 = Menurunkan beban kerja
PE5 = Fleksibilitas tempat dan waktu
Effort Expectancy (EE) EE1 = Kejelasan dan kemudahan sistem untuk
dimengerti
EE2 = Mudah menjadi ahli/pintar menggunakan sistem
EE3 = Sistem mudah dipergunakan
EE4 = Sistem mudah dipelajari
Social Influence (SI) SI1 = Pengaruh dari atasan
SI2 = Pengaruh dari orang tua, saudara, teman main
SI3 = Dukungan manajemen
SI4 = Dukungan tempat kerja
Facilitating Conditions FC1 = Ketersediaan fasilitas
(FC) FC2 = Memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menggunakan sistem
FC3 = Kompatibilitas sistem dengan sistem lain yang
digunakan
FC4 = Ketersediaan bantuan teknis
FC5 = Ketersediaan petunjuk
Behavioral Intention BI1 = Berniat menggunakan sistem tahun depan

310
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Konstruksi Variabel
(BI) BI2 = Berencana menggunakan sistem tahun depan
BI3 = Pasti menggunakan sistem tahun depan
BI4 = Merekomendasikan penggunaan sistem kepada
orang lain
Actual Usage (AU) AU1 = Frekuensi penggunaan dalam setahun
AU2 = Durasi penggunaan dalam jam
AU3 = Durasi penggunaan saat mengisi data SPT
AU4 = Durasi penggunaan saat memeriksa data SPT
AU5 = Durasi penggunaan saat mengirim data SPT

Bentuk diagram untuk Model Penelitian dengan jalur SEM dapat dikembangkan sebagai
berikut:

Gambar 5. Diagram Model SEM


Berdasarkan model penelitian, dapat diketahui bahwa pada penelitian ini, terdapat 5 (lima)
hipotesis utama Model UTAUT yang hendak diuji pada masing-masing model penerimaan,
yaitu:
1. H1 : Performance Expectancy (PE) berpengaruh pada Behavioral Intention (BI)
2. H2 : Effort Expectancy (EE) berpengaruh pada Behavioral Intention (BI)
3. H3 : Social Influence (SI) berpengaruh pada Behavioral Intention (BI)
4. H4 : Facilitating Condition (FC) berpengaruh pada Actual Usage (AU)
5. H5 : Behavioral Intention (BI) berpengaruh pada Actual Usage (AU)
Hipotesis tersebut akan diujikan pada model penerimaan pengguna untuk masing-masing
kelompok responden yang dikelompokkan berdasarkan kelompok jenis kelamin (responden
pria dan wanita) sehingga total hipotesis yang hendak diuji berjumlah 15 buah hipotesis.
Pada penelitian ini, dari jumlah keseluruhan data responden sebanyak 281 buah, 161 (57,3%)
diantaranya berjenis kelamin wanita dan sisanya sebanyak 120 responden (42,7%) responden
berjenis kelamin pria. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Gambar 6 berikut:

311
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

120
42,70%

161
57,30%

Laki-laki Perempuan

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Analisis terhadap model umum dilakukan dengan cara melakukan eksekusi Model untuk
semua kuesioner yang masuk. Berdasarkan hasil eksekusi, bentuk model umum hasil eksekusi
adalah sebagai berikut:

Gambar 7. Model Penerimaan Umum Awal


Hasil eksekusi model menghasilkan nilai estimasi loading factor dan nilai standar error untuk
semua indikator. Hasil output dalam bentuk excel dapat digunakan untuk mengevaluasi model
pengukuran. Pada output hanya ditampilkan nilai loading factor dan standar error (SE) dari
loading factor. Berdasarkan pada dua informasi ini nilai t hitung dapat ditentukan dengan
rumus membagi loading factor dengan standar error (loading factor / standar error).
Perhitungan loading factor dan t hitung pada masing-masing indikator dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Model Pengukuran Umum Awal
t
Construct Indicator Loading Loading(SE) hitung
PE1 0,755 0,029 8,131
PE2 0,795 0,034 3,413
PE PE3 0,52 0,063 1,002
PE4 0,759 0,034 5,819
PE5 0,437 0,098 1,820
EE1 0,752 0,032 7,653
EE
EE2 0,831 0,019 7,992

312
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

t
Construct Indicator Loading Loading(SE) hitung
EE3 0,884 0,013 10,843
EE4 0,823 0,02 4,396
SI1 0,767 0,042 0,220
SI2 0,758 0,046 2,388
SI
SI3 0,805 0,033 0,902
SI4 0,23 0,134 4,889
FC1 0,671 0,044 4,286
FC2 0,68 0,049 1,822
FC FC3 0,788 0,025 2,867
FC4 0,815 0,017 2,861
FC5 0,491 0,064 3,312
BI1 0,926 0,01 17,316
BI2 0,926 0,01 18,455
BI
BI3 0,944 0,007 17,479
BI4 0,757 0,036 10,579
AU1 0,483 0,087 3,548
AU2 0,647 0,058 6,873
AU AU3 0,862 0,02 4,211
AU4 0,806 0,033 2,607
AU5 0,549 0,063 3,847

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa 23 indikator memberikan nilai convergent validity yang
baik, hal ini terlihat dari nilai loading factor lebih dari 0,5. Ada empat (4) indikator yang
memiliki nilai loading factor kurang dari 0,5 dan memiliki nilai t hitung yang tidak signifikan
(kurang dari 1,96) yaitu indikator PE5, SI4, FC5 dan AU1. Keempat indikator tersebut akan
dikeluarkan dari analisis untuk melakukan modifikasi model agar memiliki tingkat fitness
(kesesuaian) yang lebih baik.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh CR dan AVE untuk masing-masing variabel laten
adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Nilai CR, AVE, dan akar AVE Pada Model Penerimaan Umum Awal
Σ(1-
2 2
Variabel (Σλi) Σλi λi2) CR AVE AVE
Performance Expectancy
(PE) 10,667 2,240 2,761 0,794 0,448 0,669
Effort Expectancy (EE) 10,824 2,715 1,285 0,894 0,679 0,824
Social Influence (SI) 6,554 1,864 2,136 0,754 0,466 0,683
Facilitating Conditions
(FC) 11,868 2,439 2,561 0,823 0,488 0,698
Behavioral Intention (BI) 12,624 3,179 0,821 0,939 0,795 0,892
Actual Usage (AU) 11,202 2,346 2,654 0,808 0,469 0,685

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa semua variabel laten memiliki tingkat CR yang
baik, karena memiliki nilai lebih dari 0,7 (Ghozali, 2008). Selanjutnya, akan diketahui nilai

313
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

discriminant validity dari masing-masing variabel laten. Berdasarkan Tabel 4 di bawah


berikut ini, diketahui bahwa nilai discriminant validity masing-masing variabel laten baik,
karena nilai akar AVE lebih tinggi daripada nilai korelasi antar variabel laten lainnya.
Tabel 4. Akar AVE dan Korelasi Antar Variabel Laten
pada Model Penerimaan Umum Awal
- PE EE SI FC BI AU
P 0,66
E 9
E 0.42 0,82
E 2 4
0.29 0.22 0,68
SI
6 8 3
F 0.27 0.57 0.37 0,69
C 7 8 5 8
0.57 0.53 0.20 0.34 0,89
BI
4 2 7 6 2
A 0.30 0.38 0.19 0.36 0.44 0,68
U 5 2 2 2 1 5
Selanjutnya, indikator yang memiliki loading factor yang belum baik (kurang dari 0,5) yaitu
indikator PE5, SI4, FC5 dan AU1 perlu di drop untuk melakukan modifikasi model agar
memiliki tingkat fitness (kesesuaian) yang lebih baik. Setelah dilakukan modifikasi model,
diketahui model hasil modifikasi adalah sebagai berikut:

Gambar 8. Model Penerimaan Umum Hasil Modifikasi


Berdasarkan simulasi model hasil modifikasi, diketahui bahwa terjadi peningkatan kesesuaian
Model Struktural, yang ditandai dengan peningkatan nilai FIT. Nilai FIT naik dari 0,547
menjadi 0,623 yang berarti model secara keseluruhan mampu menjelaskan variance dari data
sebesar 62,3%. Berdasarkan uji kesesuaian model struktural tersebut, dapat diketahui bahwa
model sudah baik, hal ini ditandai dengan nilai GFI (Goodness of Fit Index) sebesar 0,987

314
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

(lebih besar dari 0,9) dan nilai SRMR (Standardized Root Mean square Residual) sebesar
0,176 (mendekati nilai 0).
Hasil perhitungan loading factor dan t hitung pada masing-masing indikator dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Model Pengukuran Umum Hasil Modifikasi
t
Construct Indicator Loading Loading(SE) hitung
PE1 0,793 0,022 9,424
PE2 0,796 0,033 4,020
PE
PE3 0,565 0,067 1,022
PE4 0,737 0,036 5,738
EE1 0,752 0,033 7,671
EE2 0,831 0,019 7,996
EE
EE3 0,884 0,012 10,293
EE4 0,823 0,02 4,324
SI1 0,751 0,041 0,211
SI SI2 0,782 0,032 1,669
SI3 0,821 0,026 1,424
FC1 0,713 0,033 3,090
FC2 0,756 0,035 1,366
FC
FC3 0,792 0,027 1,745
FC4 0,763 0,023 1,889
BI1 0,926 0,01 17,456
BI2 0,926 0,01 21,094
BI
BI3 0,944 0,007 18,339
BI4 0,757 0,036 11,531
AU1 0,541 0,066 6,264
AU2 0,904 0,016 4,080
AU AU3 0,872 0,016 2,816
AU4 0,581 0,066 3,448
AU5 0,793 0,022 9,424

Selanjutnya dilakukan uji reliability, yang dilakukan dengan melakukan perhitungan


composite reliability (CR) dan discriminant validity. Berdasarkan perhitungan, diperoleh CR
untuk masing-masing variabel laten adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Nilai CR, AVE, dan akar AVE Pada
Model Penerimaan Umum Hasil Modifikasi
Σ(1-
Variabel (Σλi)2 Σλi2 λi2) CR AVE AVE
Performance Expectancy
8,358 2,125 1,875 0,817 0,531 0,729
(PE)
Effort Expectancy (EE) 10,824 2,715 1,285 0,894 0,679 0,824
Social Influence (SI) 5,541 1,850 1,150 0,828 0,617 0,785
Facilitating Conditions
9,145 2,289 1,711 0,842 0,572 0,757
(FC)

315
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Behavioral Intention (BI) 12,624 3,179 0,821 0,939 0,795 0,892


Actual Usage (AU) 8,398 2,208 1,792 0,824 0,552 0,743
Berdasarkan Tabel 6 di atas, dapat diketahui bahwa semua variabel laten memiliki tingkat CR
yang baik, karena memiliki nilai lebih dari 0,7. Selanjutnya, yang perlu dicari adalah nilai
discriminant validity dari setiap variabel laten.
Tabel 7. Akar AVE dan Korelasi Antar Variabel Laten
pada Model Penerimaan Umum Hasil Modifikasi
PE- EE SI FC BI AU
P
0,72
9 E
0.37 0,82
E
1 E 4
0.23 0.17 0,78
SI
7 3 5
F 0.24 0.56 0.32 0,75
C 0 4 8 7
0.56 0.53 0.15 0.33 0,89
BI
5 2 5 7 2
A 0.21 0.36 0.08 0.26 0.39 0,74
U 6 3 1 5 0 3
Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa nilai discriminant validity masing-masing
variabel laten baik, karena nilai akar AVE lebih tinggi daripada nilai korelasi antar variabel
laten lainya. Hal ini menandakan bahwa model sudah cukup baik, karena memenuhi seluruh
kriteria kelolosan uji validitas dan reliabilitas. Berdasarkan hasil output excel t hitung dapat
dihitung dengan membagi nilai koefisien (Path Coefficient) dengan nilai standar error.
Perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :
Tabel 8. Perhitungan Koefisien Jalur Antar Variabel
Model Penerimaan Umum
BI(S t AU(SE t
- BI E) hitung AU ) hitung
P
E 0,429 0,059 7,271
E
E 0,371 0,062 5,984
-
SI
0,009 0,049 -0,184
F 0,15
C 1 0,074 2,041
BI 0,34 0,054 6,296
Kemudian dari hasil Tabel 8 di atas dapat dilakukan uji hipotesis model penerimaan umum.

316
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 9. Uji Hipotesis Model Penerimaan Umum


Hipotesis Korelasi t Keterangan
hitung
H1a Pada model penerimaan umum,
Signifikan dan
Performance Expectancy (PE) memiliki 7,271
positif
pengaruh pada Behavioral Intention (BI)
H2a Pada model penerimaan umum, Effort
Signifikan dan
Expectancy (EE) memiliki pengaruh pada 5,984
positif
Behavioral Intention (BI)
H3a Pada model penerimaan umum, Social Tidak
Influence (SI) memiliki pengaruh pada -0,184 signifikan
Behavioral Intention (BI) dan negatif
H4a Pada model penerimaan umum, Facilitating
Signifikan dan
Condition (FC) memiliki pengaruh pada 2,041
positif
Actual Usage (AU)
H5a Pada model penerimaan umum, Behavioral
Signifikan dan
Intention (BI) memiliki pengaruh pada 6,296
positif
Actual Usage (AU)
Berdasarkan pengujian hipotesis pada variabel laten utama, dapat diketahui bahwa pada
model UTAUT secara umum, hubungan antar variabel laten yang dihipotesiskan memiliki
pengaruh yang signifikan untuk semua hubungan variabel, kecuali variabel Social Influence
(SI) pada Behavioral Intention (BI). Hubungan Social Influence (SI) pada Behavioral
Intention (BI) adalah tidak signifikan dan negatif di mana artinya ketika Social Influence (SI)
naik, maka Behavioral Intention (BI) menjadi berkurang tetapi tidak signifikan. Berdasarkan
hasil modifikasi dan pengujian hipotesis, dapat diketahui bahwa bentuk model penerimaan
secara umum tanpa mempertimbangkan jenis kelamin dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 9. Bentuk Akhir Model Umum Hasil Modifikasi


Berdasarkan Gambar 9 di atas, variabel Social Influence (SI) dihilangkan dari model karena
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel BI (Behavioral Intention), hal ini
menunjukkan bahwa responden dalam menggunakan aplikasi android e-filing 1770 SS tidak
dipengaruhi oleh situasi sosial pergaulan dan lingkungan kerjanya. Variabel Performance
Expectancy (PE) merupakan variabel yang memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap
variabel BI (Behavioral Intention), hal ini menggambarkan responden sangat berharap dengan
pemakaian aplikasi android e-filing 1770 SS dapat mempersingkat waktu dalam pengisian dan
pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), sehingga tingkat kemanfaatan dan kemudahannya

317
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sangat terasa. Faktor penerimaan (BI) sangat berpengaruh terhadap aktivitas penggunaan,
karena apabila responden telah merasakan kemudahan dan kemanfaatannya, maka tingkat
penggunaan aplikasi android e-filing 1770 SS tentu juga akan semakin meningkat.
Selanjutnya untuk model penerimaan pria dan model penerimaan wanita, masing - masing
dilakukan tahapan seperti pada model penerimaan umum di atas, tetapi dengan data responden
masing - masing.

Kesimpulan
Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat penerimaan pengguna terhadap penggunaan
aplikasi android e-filing 1770 SS berdasarkan penelitian ini adalah faktor Performance
Expectancy (PE), Effort Expectancy (EE), Facilitating Conditions (FC) dan Gender (G). Hal
ini sesuai dengan Model UTAUT yang dikembangkan oleh Venkatesh (Venkatesh, 2003)
yang menjadi model rujukan utama dalam penelitian ini. Faktor - faktor yang berpengaruh
pada tingkat penerimaan pengguna aplikasi android e-filing 1770 SS tersebut kemudian dapat
dijelaskan lebih lanjut berdasarkan jenis kelamin.
Berdasarkan jenis kelamin, faktor - faktor yang berpengaruh pada tingkat penerimaan
pengguna aplikasi android e-filing 1770 SS untuk pria dan wanita berbeda. Pada pria, faktor
yang mempengaruhi tingkat penerimaan pengguna aplikasi android e-filing 1770 SS adalah
Performance Expectancy (PE), Effort Expectancy (EE), Behavioral Intention (BI) dan
Facilitating Condition (FC). Pada wanita, faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan
pengguna aplikasi android e-filing 1770 SS adalah Performance Expectancy (PE), Effort
Expectancy (EE) dan Behavioral Intention (BI).
Facilitating Condition (FC) tidak menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan
pengguna aplikasi android e-filing 1770 SS pada wanita. Hal ini berhubungan dengan tingkat
kenyamanan yang diinginkan oleh responden wanita saat melakukan hal yang membutuhkan
konsentrasi yang tinggi seperti dalam mengisi Surat Pemberitahuan (SPT), sehingga sebagian
besar responden wanita mungkin merasa lebih nyaman jika aktivitas mengisi Surat
Pemberitahuan (SPT) dilakukan dengan fasilitas pribadi atau di rumah sendiri yang
memungkinkan kenyamanan tetap terjaga.
Pada model penerimaan pria, masing-masing hubungan antar faktor dapat dijelaskan sebagai
berikut :
 Performance Expectancy (PE) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
Behavioral Intention (BI).
 Effort Expectancy (EE) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
Behavioral Intention (BI).

318
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

 Facilitating Condition (FC) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
Actual Usage (AU).
 Behavioral Intention (BI) memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap Actual Usage
(AU).
Pada model penerimaan wanita, masing-masing hubungan antar faktor dapat dijelaskan
sebagai berikut:
 Performance Expectancy (PE) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
Behavioral Intention (BI).
 Effort Expectancy (EE) memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
Behavioral Intention (BI).
 Behavioral Intention (BI) memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap Actual Usage
(AU).
Pada model penerimaan pengguna terhadap aplikasi android e-filing 1770 SS, penggunaan
variabel moderating jenis kelamin mengakibatkan adanya perbedaan tingkat pengaruh dari
masing – masing faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan pengguna terhadap aplikasi
android e-filing 1770 SS. Perbedaan tingkat pengaruh pada variabel moderating jenis kelamin
adalah: pengaruh Performance Expectancy (PE) terhadap Behavioral Intention (BI) serta
pengaruh Facilitating Condition (FC) dan Behavioral Intention (BI) terhadap Actual Usage
(AU) lebih kuat pada pria dibanding wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pria
lebih berorientasi pada penyelesaian pekerjaan (kecepatan penyelesaian pekerjaan/tugas)
daripada wanita (Minton and Schneider, 1908 dalam Venkatesh, 2003). Pengaruh Effort
Expectancy (EE) terhadap Behavioral Intention (BI) lebih kuat pada wanita daripada pada
pria. Hal ini mengindikasikan bahwa Wajib Pajak wanita kemungkinan lebih berorientasi
pada proses (Venkatesh and Morris, 2000 dalam Venkatesh, 2003), di mana suatu sistem atau
teknologi akan mudah dioperasikan setelah dipelajari sebelumnya dengan baik. Selain itu,
kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan akan berkurang dengan proses
pembelajaran yang baik.

Daftar Pustaka
Al Awadhi, Suha, and Morris, Anne. 2008. The Use of The UTAUT Model in the Adoption
of E-Government Services in Kuwait. Proceedings of the 41st Hawaii International
Conference on System Sciences. 1 - 11.
Al-Qeisi, Kholoud Ibrahim. 2009. Analyzing The Use of UTAUT Model in Explaining an
Online Behaviour : Internet Banking Adoption, Ph.D Thesis, Department of Marketing and
Branding, Brunel University, UK.

319
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ghozali, Imam. 2008. Generalized Structured Component Analysis (GSCA) : Model


Persamaan Struktural Berbasis Komponen. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Gorecha, Anoop. 2005. Application of The Unified Theory of Acceptance and Use of
Technology to Internet Banking. The University of Nottingham.
Hwang, Heungsun. 2007. VisualGSCA 1.0 - A Graphical User Interface Software Program
for Generalized Structured Component Analysis.
Liu, Gang, Huang, Su–Ping, and Zhu, Xin-Kai. 2008. User acceptance of Internet Banking in
an uncertain and risky environment. Proceedings of The 2008 International Conference on
Risk Management & Engineering Management. 381 - 386.
Sarjana, Kukuh Wira. 2009. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat adopsi e-filling
oleh wajib pajak di Indonesia, Master Theses Magister Akuntansi, Pascasarjana FE UGM.
Schaupp, Ludwig Christian, Carter, Lemuria, and Hobbs, Jeff. 2009. E-File Adoption: A
Study of U.S. Taxpayers Intentions. Proceedings of the 42nd Hawaii International
Conference on System Sciences. 1 - 11.
Shajari, Maziar, and Zuraini, Ismail. 2010. A Comprehensive Adoption Model of e-
Government Services in Developing Countries. IEEE Journal. 10. 548 - 553.
Ursula Paola Torres Maldonado, Gohar Feroz Khan, Junghoon Moon, Jae Jeung Rho. 2009.
E-learning motivation, Students’ Acceptance/Use of Educational Portal in Developing
Countries: A Case Study of Peru. Fourth International Conference on Computer Sciences and
Convergence Information Technology.
Venkatesh, V., Morris, M., Davis, G., Davis, F. 2003. User Acceptance of Information
Technology : Toward A Unified View. MIS Quarterly. 27, 3. 425-478.
Yeow, Paul H. P., Yuen, Yee Yen, Tong, David Yoon Kin, Lim, Nena. 2008. User
Acceptance of Online Banking Service in Australia. Communication of The IBIMA. 1. 191 -
197.
Wiyono, Adrianto Sugiarto. 2008. Evaluasi Perilaku Penerimaan Wajib Pajak Terhadap
Penggunaan E-Filing Sebagai Sarana Pelaporan Pajak Secara Online dan Realtime. The
Indonesian Journal of Accounting Research. 11, 2. 117 - 132.

320
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

STUDI KEKUATAN TARIK DAN BENDING KOMPOSIT SANDWICH SERAT


ECENG GONDOK DENGAN MENGGUNAKAN CORE KERTAS KARDUS BEKAS

Al Ichlas Imran*1, Abd. Kadir2, Samhuddin2, Aminur2, Didik Hermawan2

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas, Halu Oleo, Kendari


*
Correponding Author: aichlas@gmail.com

Abstrak
Komposit sandwich tersusun dari skin dan core. Sifat mekanis komposit sandwich dipengaruhi oleh
matriks, jenis core dan arah seratnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan tarik dan
kekuatan bending komposit sandwich serat eceng gondok dengan core kardus.Matriks yang digunakan adalah
campuran poliyester dan hardener sebesar 99 : 1%. Serat yang digunakan adalah serat yang berasal dari
tanaman enceng gondok dan core yang digunakan berasal dari kertas kardus bekas. Fraksi volume untuk skin
sebesar 70% matriks dan 30% serat, dengan variasi serat searah dan acak. Ketebalan core sebesar 3
mm.Komposit sandwich dengan serat searah menunjukkan nilai kekuatan tarik dan bending (11,55 N/mm2 dan
1,44 N/mm2) dibandingkan dengan serat acak sebesar (8,14 N/mm2dan 0,83 N/mm2).

Kata Kunci : Komposit Sandwich, Arah Serat dan Sifat Mekanis

Study on Tensile and Bending Strenght of Sandwich Composites of Water Hyacinth Fiber
with Cardboard Core
Abstract

Sandwich composites is composed of skin and cores. The mechanical properties of the sandwich
compoistes is affected by the matrix, the type of core and the fiber direction. The aims of this study were to
determine the tensile and bending strength of the sandwich composites of water hyacinth fiber with cardboard
core.The matrix used was a mixture poliyester and hardener of 99: 1%. Fibers used are fibers from water
hyacinth plant and the cores were taken from old cardboard paper. The volume fraction was consisting of 70%
skin and 30% fiber matrix, with unidirectional and random fibers variation. The Thickness of core of 3
mm.Composite sandwich with unidirectional fiber showed the value of tensile strength and bending (11.55
N/mm2 and 1.44 N/mm2) compared with random fiber of (8.14 N/mm2 and 0.83 N/mm2).

Keywords : Sandwich Composites, Fiber Orientation and Mechanical Properties

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk dan wilayah
terbesar di Dunia serta negara yang sedang berkembang. Peningkatan jumlah penduduk
tentunya akan diikuti oleh besarnya kebutuhan masyarakat dan jumlah industri yang
menghasilkan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Ada
beberapa produk diantaranya televisi, kulkas dan laptop yang beredar menggunakan
packaging yang terbuat dari bahan kertas kardus.

Jika kertas kardus ini telah dipisahkan dari produknya, maka akan menghasilkan
limbah yang dapat mengotori dan mengganggu keindahan lingkungan. Sebagian besar

321
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

masyarakat yang menggukannya hanya sebagai bahan bakar memasak di dapur, sehingga
dapat memicu terbentuknya polusi udara yang akan berdampak terhadap peningkatan global
warming. Untuk itu, perlu dilakukan pemanfaatan limbah kertas kardus sebagai papan
komposit yang dapat mengurangi limbah serta bernilai jual tinggi.

Kertas kardus bekas dapat digabung dengan campuran resin dan serat sebagai skin
sehingga membentuk komposit sandwich. Serat yang digunakan adalah serat alam yang
berasal dari tumbuhan Indonesia yaitu eceng gondok. Tanaman ini tumbuh di perairan yang
berlumpur, mudah untuk didapatkan dan hanya dianggap sebagai hama. Penggunaan enceng
gondok sebagai serat dapat mengurangi penggunaan serat sintesis yang berasal dari minyak
bumi. Eceng gondok memiliki sifat yang ringan, ramah lingkungan dan kekuatan yang baik
(Wirawan dkk. 2012).

Namun, pembuatan papan komposit juga harus memperhatikan sifat mekanis yang
ingin didapatkan. Untuk mendapatkan struktur sandwich yang memiliki sifat mekanis tinggi,
maka diperlukan jenis skin dan core yang tepat. Dalam struktur sandwich, fungsi utama skin
antara lain: sebagai pelindung core dari benturan, gesekan dan memperbaiki penampilan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lapisan pelindung, skin sangat tergantung pada jenis
serat dan orientasinya. Serat menerima tegangan dari matriks dan meneruskan tegangan yang
diberikan sesuai dengan orientasinya.

Penentuan orientasi serat yang tepat akan sangat membantu dalam mentransfer
tegangan tersebut sehingga bahan komposit yang dihasilkan memiliki sifat mekanis yang
tinggi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh orientasi serat eceng
gondok terhadap kekuatan tarik dan kekuatan bending komposit sandwich menggunakan core
kertas kardus bekas.

Komposit

Callister dan Rethwisch (2010) menyatakan bahwa komposit merupakan material


teknik yang tersusun atas dua atau lebih bahan yang memiliki sifat yang berbeda menjadi
suatu material baru dengan sifat yang berbeda dan lebih baik dari keduanya. Komposit
tersusun dari dua fasa penyusun utamanya, yaitu matriks dan penguatnya. Matriks memiliki
sifat ulet, sementara itu material penguat pada umumnya memiliki kekuatan lebih tinggi dari
pada matriks, sehingga disebut fasa penguat (reinforcing phase). Kekuatan komposit terletak
pada kekuatan antar muka matriks dan penguat. Ikatan antar muka inilah yang menjadi
jembatan transmisi tegangan luar yang diberikan dari matriks menuju bahan penguat. Jika

322
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ikatan antarmuka terjadi dengan baik maka distribusi tegangan ini dapat berlangsung dengan
baik pula. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mekanis komposit adalah jumlah
dan jenis fasa penyusunnya, bentuk dan ukuran penguatnya serta distribusi dan orientasi dari
penguatnya.
Berdasarkan strukturnya, komposit dapat diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Komposit partikel (particulate composite materials)
Komposit jenis ini dibagi menjadi 2 sub-kelas:
a) Large particle particle reinforced composite.
b) Dispersion strengthened particle reinforced composite.

2. Komposit serat (fibrous composite materials)


Komposit jenis ini dibagi menjadi 2 sub-kelas:
a) Continuous (aligned) fiber reinforced composite.
b) Discontinuous (short) fiber reinforced composite.
Komposit dalam discontinuous dibagi menjadi 2:
 Aligned discontinuous fiber reinforced composite.
 Randomly oriented discontinuous fiber reinforced composite.

3. Komposit berlapis (structural composite materials)


Komposit jenis ini dibagi menjadi 2 sub–kelas:
a) Laminates structural composite.
b) Sandwich panels structural composite.
Bahan komposit dapat dikelompokkan kedalam empat bagian utama (Campbell, 2010) yaitu:
a. Matriks merupakan penyusun dasar komposit yang memiliki jumlah besar. Matriks dapat
berupa logam, keramik atau polimer.
b. Bahan penguat (reinforcement) merupakan penyusun komposit yang memperkuat dan
meningkatkan sifat-sifat mekanik matriks.
c. Bahan pengisi (filler) merupakan bahan untuk meningkatkan sifat dan jumlah bahan
komposit sehingga mengurangi biaya produksi.
d. Bahan penambah (additive) merupakan bahan untuk meningkatkan rekatan antar matriks
dan penguat.

Eceng Gondok

323
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Eceng gondok merupakan tumbuhan yang hidup di perairan terbuka. Tumbuhan ini
mengapung bila kondisi air yang dalam dan berakar di dasar bila air dalam kodisi dangkal.
Eceng gondok berkembangbiak secara vegetatif dan generatif. Perkebmangan secara vegetatif
terjadi bila tunas baru tumbuh dari ketiak daun, lalu membesar dan menjadi tumbuhan baru.
Setiap sepuluh tanaman enceng gondok mampu berkembangbiak menjadi 600.000
tanaman baru dalam waktu delapan bulan. Hal ini, membuat enceng gondok dimanfaatkan
untuk pengelolahan air limbah. Eceng gondok dapat mencapai ketinggian antara 40-80 cm
dengan daun yang licin dan panjangnya 7-25 cm. Tumbuhan eceng gondok terdiri atas helai
daun, leher daun, ligula, akar, akar rambut, ujung akar dan stolon yang dijadikan sebagai
tempat perkembangbiakan vegetatif (Hajama, 2014).

Kertas Kardus

Kardus (Corrugated Paper) merupakan bahan kemasan yang digunakan untuk


melindungi suatu produk selama proses distribusi dari produsen ke konsumen. Kardus terbuat
dari bahan dasar kertas yang diketahui mudah mengalami degradasi cuaca dan lingkungan,
namun dapat didaur ulang menjadi produk lain, diantaranya kerton dupleks, kerajinan tangan
dan papan komposit. Daur ulang kertas kardus dapat dilakukan dengan proses perekatan.
Proses tersebut menggunakan sistem cetak sablon (silk-screen printing), masking dan hand-
painting (Bimawan, 2007).

Fraksi Berat Penguat (reinforcement)

Jumlah kandungan serat dalam komposit, merupakan hal yang menjadi perhatian
khusus pada komposit berpenguat serat. Untuk memperoleh komposit berkekuatan tinggi,
distribusi serat dengan matriks harus merata pada proses pencampuran agar mengurangi
timbulnya void atau gelembung-gelembung uap. Untuk menghitung fraksi berat, parameter
yang harus diketahui adalah berat jenis resin, berat jenis serat, berat komposit dan berat serat.
Adapun fraksi berat yang ditentukan dapat diketahui menurut persamaan 1 dan 2.

(1)

Maka :

324
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

(2)

Jika selama pembuatan komposit diketahui massa fiber dan matriks, serta density dari fiber
dan matriks, maka fraksi volume dapat diketahui menurut persamaan 3.

(3)

Dimana:

= Fraksi volume ( %).

= Berat serat (gr).

= Berat matriks (gr).

= Densitas serat (gr/cm3).

= Densitas matriks (gr/cm3).

(4)

Dimana:

= densitas (gr/cm3).

= massa (gr).

V = volume ( ).

1. Metodologi Penelitian
Tempat, Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan dan Teknologi Mekanik, Fakultas Teknik
Universitas Halu Oleo.

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Sikat kawat.
2. Jangka sorong.
3. Gunting.
4. Gelas ukur.

325
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

5. Timbangan digital.
6. Cetakan komposit.
7. Universal Testing Machine.

Adapun bahan yang digunakan adalah:

1. Kertas kardus.
2. Serat eceng gondok.
3. Pencampuran resin polyester dan hardener
4. Wax (mirror glaze)
5. Natrium Hydroxida (NaOH).
6. Adhesive (Epoxy)
Prosedur Penelitian

Pembuatan spesimen dilakukan dengan melakukan pencampuran antara resin polyester


dan serat eceng gondok sebagai skin dan kertas kardus bekas sebagai core. Skin memliki
ketebalan 10 mm untuk sisi atas dan bawah sedangkan core sebesar 30 mm. Komposisi skin
adalah matriks 70% dan serat 30%, dengan memvariasikan orientasi serat searah dan acak.
Sebelum dilakukan pencampuran, serat eceng gondok direndam ke dalam larutan NaOH
selama 2 jam. Skin dicetak menggunakan pressure hidrolik dengan ukuran cetakan (300 X
300 X 10) mm. Kemudian komposit sandwich dibuat dengan merekatkan skin dan core
menggunakan perekat epoxy untuk membentuk spesimen uji tarik dan bending. Untuk serat
searah dan acak, masing-masing berjumlah 5 spesimen untuk setiap pengujian.

Pengujian tarik mengikuti Standar ASTM D638-99 Tipe I. Alat uji tarik dan bending
yang digunakan adalah Universal Testing Machine yang dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 1. Universal Testing Machine

326
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pengujian tarik dilakukan dengan load cell 1000 kg dan cross head 10 mm/menit. Pengujian
bending menggunakan konfigurasi three-point bending mengikuti standar ASTM D 790.
Pengujian bending dilakukan dengan beban uji 1000 kg, jarak tumpuan spesimen atau support
span 90 mm dan cross-head speed 10 mm/menit. Nilai kekuatan tarik dan bending masing-
masing spesimen dapat diketahui menurut persamaan 5 dan 6.

(5)

Dimana:

σt = Kekuatan tarik (MPa).

P = Beban maksimum saat putus (N).

A = Luas spesimen (mm2).

(6)

Dimana:

σf = Kekuatan bending (Mpa).

P = Beban maksimum (N).

L = Jarak tumpuan spesimen atau support span (mm).

B = Lebar spesimen (mm).

D = Tebal spesimen (mm).

2. 3. Hasil dan Pembahasan

Pengujian tarik dilakukan untuk mendapatkan nilai kekuatan tarik dari spesimen uji
tarik komposit sandwich serat eceng gondok dengan menggunakan core kertas kardus bekas.
Kekuatan tarik untuk orientasi serat searah dan acak dapat didapatkan melalui persamaan 5.
Gambar 2 menunjukkan perbandingan kekuatan tarik komposit sandwich serat eceng gondok
dengan menggunakan core kertas kardus bekas untuk orientasi serat searah dan acak.

Orientasi serat searah menunjukkan nilai kekuatan tarik lebih tinggi sebesar 11,54
MPa dibandingkan serat acak sebesar 8,13 MPa. Hal ini disebabkan oleh susunan serat yang
orientasinya searah dengan beban tarik yang dialami oleh spesimen. Saat proses pembebanan,
matriks akan meneruskan tegangan dari titik tegangan ke arah serat lainnya. Selain itu,

327
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

komposit dengan berpenguat serat searah memiliki ikatan antar muka (interface) yang baik
dengan matriksnya dibandingkan serat acak. Sehingga, ikatan tersebut mampu menahan
beban maksimal sebelum komposit tersebut mengalami perpatahan (Setyawan dkk., 2012).
Hal yang terjadi pada komposit yang berpenguat serat acak adalah sebagian serat menerima
beban longitudinal (arah serat searah dengan arah beban) dan sebagian serat menerima beban
transversal (arah beban tegak lurus dengan arah serat), dimana dalam (Callister dan
Rethwisch, 2010) menjelaskan bahwa komposit berpenguat serat searah memiliki nilai
kekuatan tarik lebih tinggi dibandingkan serat acak. Selain itu, komposit berpenguat serat
acak, sebagian besar matriksnya menghasilkan ikatan (interface) yang kurang baik dengan
seratnya sehingga saat beban diberikan, serat tidak dapat mentransfer tegangan dengan baik
dan tegangan berpusat pada matriks sehingga mengakibatkan komposit lebih cepat mengalami
perpatahan.

Gambar 2. Kekuatan tarik komposit sandwich serat eceng gondok dengan menggunakan core
kertas kardus bekas
Pengujian bending dilakukan untuk mendapatkan nilai kekuatan bending dari
spesimen uji bending komposit sandwich serat eceng gondok dengan menggunakan core
kertas kardus bekas. Kekuatan bending untuk orientasi serat searah dan acak dapat didapatkan
melalui persamaan 6. Gambar 3 menunjukkan perbandingan kekuatan bending komposit
sandwich serat eceng gondok dengan menggunakan core kertas kardus bekas untuk orientasi
serat searah dan acak.
Dari Gambar 3, dapat diketahui bahwa serat searah menunjukkan nilai kekuatan
bending lebih tinggi sebesar 1,44 MPa dibandingkan serat acak sebesar 0,83 MPa. Hal ini
disebabkan oleh kuatnya ikatan yang terbentuk antara matriks dengan serat yang berorientasi
searah dibandingkan serat acak. Untuk serat searah, saat komposit menerima beban matriks
akan meneruskan tegangan dari titik tegangan ke arah serat lainnya sehingga serat akan
menerima tegangan yang sama sebelum mengalami perpatahan. Sedangkan untuk serat acak,

328
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sebagian serat menerima beban yang tegak lurus terhadap arahnya. Hal ini menyebabkan
adanya crack deflection (Lokantara dkk., 2012) dimana arah perpatahan mengikuti alur dari
posisi serat yang miring mengakibatkan tegangan yang diterima oleh serat tidak sama
sehingga nilai kekuatan bending yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan serat searah.

Gambar 3. Kekuatan bending komposit sandwich serat eceng gondok dengan menggunakan
core kertas kardus bekas

4. Kesimpulan

Kesimpulan yang di peroleh dari penelitian yang telah dilakukan yaitu:

1. Nilai kekuatan tarik yang tinggi untuk komposit sandwich serat eceng gondok ditunjukkan
oleh orientasi serat searah sebesar 11,54 MPa dan nilai kekuatan tarik yang rendah
ditunjukkan oleh orientasi serat acak sebesar 8,13 MPa.
2. Nilai kekuatan bending yang tinggi untuk komposit sandwich serat eceng gondok
ditunjukkan oleh orientasi serat searah sebesar 1,44 MPa dan nilai kekuatan bending yang
rendah ditunjukkan oleh orientasi serat acak sebesar 0,83 MPa.

Daftar Pustaka
Bimawan, Y.W. 2007. Pengaruh Variasi Adhesive Terhadap Kekuatan Mekanik Komposit
Sandwich Cantula 3D-UPRs dengan Core Honeycomb Kardus C-Flute. Skripsi. Univeristas
Sebelas Maret. Surakarta.

Callister, Jr., W.D. And Rethwisch, D.G. 2010. Materials Science and Engineering And
Introduction. Eighth Edition. Wiley. USA.

Canpbell, F.C. 2010. Structural Composite Materias. ASM International. Material Park. Ohio
44073-0002.

329
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hajama, N. 2014. Studi Pemanfaatan Eceng Gondok Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk
Kompos Dengan Menggunakan Aktivator EM4 Dan Mol Serta Prospek Penggunaannya.
Tugas Akhir. Program Studi Teknik Lingkungan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Lokantara, I.P. 2012. Pengaruh Variasi Fraksi Volume Dan Panjang Serat Terhadap Kekuatan
Tarik Komposit Polyester Serat Tapis Kelapa Dengan Perilaku NaOH. SNTTM XI &
Tehermofluid IV. UGM. Yogyakarta.

Setyawan, P.D., Sari, N.H. dan Putra, D.G.P. 2012. Pengaruh Orientasi Dan Volume Serat
Daun Nanas (Ananans Comosus) Terhadap Kekuatan Tarik Komposit Polyester Tak Jenuh
(UP). Dinamika Teknik Mesin. Volume 2. No.1.

Wirawan, R., Pasaribu, R.D., Permatasari, D. Dan Sutrisno, H.H. 2012. Stabilitas Thermal
Komposit Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) Dengan Matriks HDPE. SNTTM XI &
Thermofluid IV.

330
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENELITIAN KERUGIAN ENERGI PADA SAMBUNGAN PIPA T 900


Salimin 1)

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Haluoleo

E-mail ; mt.salimin@yahoo.com

ABSTRAK

Aliran gabungan dan percabangan adalah suatu proses tak mampu balik di mana didalam aplikasi teknis
akan dapat menurunkan kemampuan kerja .Dengan jalan mengukur kerugian tekanan pada aliran gabungan
dan percabangan maka diperoleh kerugian head dan koefisien kerugian. Bentuk penelitian yang dilakukan
adalah dengan menggunakan 4 jenis ukuran pipa dengan variasi Bilangan Reynolds(Re) 16954 sampai 155781
,Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran pertemuan total Koefisien kerugian Ktot(12,7mm) = (2,176 – 0,164),
Ktot(19,1mm)=(2,836 – 0,515), Ktot(25,4mm)=(2,366 – 0,472), Ktot38,1mm(3,892 – 0,508 ) . Kerugian Head total HT12,7mm=
(0,789 – 0,101)mH2O, HT19,1mm(0,972 – 0,446)mH2O, HT25,4mm (1,123 – 0,498 )mH2O, HT38,1mm ( 1,004 – 0,293
)mH2O. Aliran percabangan Ktot12,7mm = (3,982 – 0,734 ), Ktot19,1mm = (6,302 – 1,455 ), Ktot25,4mm= (8,664 – 2,098
), Ktot38,1mm = ( 13,985 – 3,933 ), Kerugian Head total HT12,7mm = ( 1,028 – 0,396 )mH2O, HT19,1mm (0,934 – 0,404
)mH2O HT25.4mm = ( 0,930 – 0,40 )mH2O, HT38,1mm = ( 0,577 – 0,411 )mH2O

ABSTRACT

The combination and branching flow is a irreversible process in which the irreversibility in technical application
will decrease the system performance.The way to discover the pressure loss at the combination and branching
flow is by measuring the head loss and coefficient of loss.The experiment used 4 kinds of pipe with the variation
of Reynolds (Re) from 16954 to 155781. The results of the study indicate the meeting flow: Total coefficient of
loss , Ktot(12,7mm) = (2,176 – 0,164), Ktot(19,1mm)=(2,836 – 0,515), Ktot(25,4mm)= (2,366 – 0,472).Ktot38,1mm = (3,892 –
0,508), Total Head Loss HT12,7mm = (0,789 – 0,101)mH2O,HT19,1mm(0,972 – 0,446)mH2O, HT25,4mm = (1,123 –
0,498)mH2O, HT38,1mm = (1,004 – 0,293 )mH2O

branching flow; total coefficient loss, Ktot(12,7mm) = (3,982 – 0,734) Ktot(19,1mm) = (6,302 – 1,455) Ktot (25,4mm) =
(8,664 – 2,098), Ktot38,1mm = (13,985 – 3,933) . Total Head Loss HT12,7mm = (1,028 – 0,396)mH2O, HT19,1mm =
(0,934 – 0,404)mH2O, HT25,4mm = (0,930 – 0,40)mH2O, HT38,1mm = (0,577 – 0,411)mH2O

Key words : coefficient of loss, Head Losses, combination and branching flow

PENDAHULUAN

Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan industri tentang penggunaan air bersih ,maka
dibutuhkan alat atau media guna mendistribusikan air tersebut diantaranya penggunaan pipa.

Pada th 1850 seorang peneliti berkebangsaan Jerman telah melakukan penelitian aliran dalam pipa
meneliti rugi pada hulu pipa, yang kemudian dilanjutkan oleh Insinyur Perancis, Henry Darcy pada
tahun 1857 yang melakukan eksperimen aliran pipa dan pertama kalinya mengungkap efek kekasaran
pada hambatan pipa yang dikenal dengan persamaan Darcy-Weisbach. Kemudian Osborne Reynold
melakukan eksperimen melalui pipa klasiknya pada tahun 1883 yang memperlihatkan pentingnya
bilangan Reynolds dalam aliran fluida. Sambungan pipa yang berfungsi untuk membelokan, membagi
aliran menjadi bercabang dan menggabungkan aliran.Penggabungan aliran fluida pada percabangan

331
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sendiri adalah suatu proses irreversibel dimana irreversibilitas ini di dalam aplikasi teknik akan
menurunkan unjuk kerja dari sistem.Selama fluida mengalir melalui pipa banyak terjadi rugi tekanan
yang disebut rugitekanan Major (Major Head loss) dan rugi tekanan Minor (Minor Head loss)
(Mechanical Engineering Laboratory Spring Quarter, 2003).Kerugian Major adalah rugi tekanan yang
terjadi karena gesekan fluida dengan dinding sepanjang pipa dan kerugian Minor adalah kerugian
akibat fluida melewati sambungan.

Aliran turbulen mempunyai koefisien gesek yang lebih tinggi dibandingkan dengan aliran laminar,
tingginya koefisien gesek berpengaruh secara langsung pada besarnya penurunan tekanan dan
besarnya energi yang diperlukan untuk mengalirkan fluida (Indartono, 2006).

Apabila fluida mengalir melalui suatu percabangan maka akan terjadi separasi yang
mengakibatkan terjadinya kerugian tekanan. Menurut Dwiyantoro (2004), Adanya percabangan pada
aliran fluida incompressible menyebabkan terganggunya aliran akibat separasi yang menyebabkan
kerugian dari tekanan total.

Aliran yang terjadi pada percabangan pipa mengakibatkan aliran menjadi turbulen dan
separasi, sehingga koefisien gesek menjadi tinggi dan menyebabkan penurunan tekanan yang akan
berpengaruh pada energi yang dibutuhkan oleh Pompa.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rugi Tekanan Mayor (Mayor Head Loss)

persamaan untuk rugi pipa :

L U2
hf = f .............. 1)
D 2g

Persamaan ini adalah persamaan Darcy-Weisbach berlaku untuk aliran dalam pipa untuk
aliran laminar dan turbulen. Koefisien gesek (f) untuk aliran laminar dihitung dengan :

64
f  ............. 2)
Re

Bilangan Reynolds di dalam sebuah saluran yang melewati saluran dapat dihitung melalui persamaan
(Munson, 2004) :

U D
Re  ............ 3)

Sedang untuk koefisien gesek aliran turbulen diperoleh dengan diagram Moody, adapun batasan
bilangan Reynolds untuk aliran menurut (Olson, 1993) adalah :

332
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Re  2000 , aliran laminer

Re  2300 , aliran turbulen

Re  2000  2300 , aliran transisi

B. Rugi Tekanan Minor (Minor Head Loss)

Untuk sebuah sistem perpipaan, disamping kerugian Major yang dihitung untuk seluruh
panjang pipa, ada pula yang disebut kerugian Minor yang disebabkan oleh (White, 1994) :

 Lubang masuk atau lubang keluar pipa.


 Pemuaian atau penyusutan tiba-tiba.
 Kelokan, siku, sambungan T dan suaian lain.
 Katup, yang terbuka atau sebagian tertutup.
 Pemuaian atau penyusutan berangsur.
Kerugian head total dalam pipa adalah penambahan antara kerugian mayor dan kerugian
minor yang dirumuskan :

hL= hf + hm .................... 4)

Dari hasil eksperimen para ahli dengan fluida pada bilangan Reynolds yang tinggi memperlihatkan
bahwa kerugian minor adalah sama dengan hasil kali energi kinetik persatuan berat dari fluida dengan
koefisien kerugian :

U2
hm  K ............... 5)
2g

Dimana: hm= Kerugian minor (m H2O), K = koefisien kerugiag = gaya gravitasi (9,81 m/s2) , U=
kecepatan aliran (m/s)

 Aliran Pertemuan ( Combining )

333
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3. Aliran pertemuan ( Combining )

Kerugian Head ( head losses ) khusus sambungan ’T’ (hT)

hT 13  h13  ( h f 1  h f 3 ) ........... 6)

hT 2 3  h2 3  ( h f 2  h f 3 ) ........... 7)

Koefisien kerugian (K)

hT 13
K 13  . .......... 8)
U 32
2g

hT 23
K 2 3  ........... 9)
U 32
2g

 Aliran Percabangan ( dividing )

334
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gamabar 4. Aliran Percabangan ( dividing)

Kerugian Head (head losses) khusus sambungan pipa ’T’ (hT)

hT 31  h31  ( h f 3  h f 1 ) ............ 10)

hT 3 2  h3 2  ( h f 3  h f 2 ) ............ 11)

Koefisien kerugian (K) ;

hT 31
K 31  ........... 12)
U 32
2g

METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Mekanika Fluida Jurusan Teknik Mesin
Universitas Haluoleo, dengan terlebih dahulu, mempersiapkan alat penelitian berikut bahan
yang akan digunakan.

B. Bahan dan Peralatan


Bahan dan peralatan yang akan digunakan adalah :

 Bahan penelitian

335
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fluida yang akan digunakan adalah air .

 Alat instalasi penelitian


Tangki air, pipa uji, pompa, katub, manometer, Stop watch, tangki penampungan dan
gelas ukur

C. Prosedur Penelitian
Persiapan awal

a. Perencanaan dan perakitan alat


Perancangan dan pembuatan alat dimaksudkan untuk mempermudah kelancaran
penelitian. Pengumpulan data pembanding dan literature salah satu objek perencanaan
serta pengadaan alat dan bahan yang diperlukan sudah siap, maka dilakukan pembuatan
instalasi penelitian seperti pada gambar diatas.

b. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan terhadap


peralatan yang akan diuji sebagai berikut :
1. Mengisi kedua bak penampungan (tangki air) no.2 dan 4 dengan air
secukupnya dan memastikan pompa sentrifugal berjalan dengan baik.
2. Setelah tangki diisi air, Pompa dijalankan dan di periksa apakah semua
komponen bekerja dengan baik. Setelah kondisi pompa dan aliran stabil maka
mulai dilakukan eksperimen.
3. Memeriksa alat ukur tekanan Manometer apakah sudah bekerja dengan baik.
4. Memeriksa kembali semua sistem dan memastikan tidak ada kebocoran.
E. Data Variabel Penelitian

a. Variabel Penelitian
Terdiri atas variabel bebas dan variabel terikat, di mana masing-masing sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent variable).

Variabel bebas adalah variabel yang besarnya ditentukan sebelum penelitian. Besar
variabel bebas diubah-ubah untuk mendapatkan hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat, sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Dalam penelitian ini variabel
bebas yang digunakan adalah laju aliran yang melewati pipa ’T’ .

2. Variabel terikat (dependent variable)

336
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Variabel terikat adalah variabel yang besarnya tidak dapat ditentukan sebelum penelitian,
tetapi besarnya tergantung dari variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah
Bilangan Reynolds (Re), koefisien kerugian (K)) dan besarnya head losses (h).

Instalasi Penelitian

337
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Keterangan ;

1. Bak penampungan bawah


2. Bak penampungan atas
3. Pipa distribusi
4. lubang taping pengukur tekanan manometer
5. Sambungan T 900 diameter dalam (d1=d2=d3)
6. Tangki pengukur aliran
7. Pipa pembuangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mengevaluasi data pengukuran dan perhitungan dengan mempelajari gejala yang
terjadi, maka sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Delapan variasi debit aliran pada setiap cabang pada aliran pertemuan setiap bilangan
Reynolds (Re) bervariasi antara 20092dan 155781pada 64 pengujian menghasilkan
nilai koefisien kerugian (K) antara 0,164 dan 3,892serta Kerugian Head demikian

338
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pula pada aliran percabangan setiap bilangan Reynolds (Re) bervariasi antara 16954
dan 66318 menghasilkan nilai koefisien kerugian (K) antara 0,734 dan 13,985Serta
Kerugian Head antara 0,396.dan 0,577.karena arah aliran dari cabang 1-3 dibelokan
akibat adanya tumbukan dari aliran langsung (cabang 2) yang tidak mengalami
perubahan arah.
2. Pada aliran pertemuan diperoleh laju aliran (Q) bervariasi antara 0,000338. Dan
0,003835 m3/s pada 64 pengujian sedangkan percabangan menghasilkan laju aliran
(Q) bervariasi antara 0,001026 dan 0,001633 m3/s seiring dengan bertambahnya laju
aliran serta diameter pipa yang dilalui oleh fluida dan berakibat pada perbedaan head
disetiap cabang yang semakin kecil.
3. Berdasarkan pada koefisien kerugian diatas maka nilai koefisien kerugian total (Ktot)
tertinggi pada aliran pertemuan sebesar 3,892 dan Kerugian Head total 1,123 mH2O
Aliran Percabangan tertinggi sebesar K tot13,985 Serta Kerugian head 1,028 mH2O

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan dianalisis, maka dapat disimpulkan :

1. Penelitian ini dilakukan pada Bilangan Reynolds (Re) 20092 - 155781


2. Peningkatan laju aliran (Q) dan semakin besar ukuran diameter pipa untuk seksi 1,2, dan
3 pada aliran pertemuan dan aliran percabangan mengakibatkan turunnya nilai
koefisien kerugian (K).serta Kerugian Head (H)
3. Akibat perubahan arah aliran hasil penelitian nilai Koefisien kerugian (K) dan Kerugian
Head (H) diperoleh :
a. Aliran Pertemuan:
0,0127 m, Ktot = (2,176 - 0,164)

0,0191 m, Ktot = (2,836 - 0,515)

0,0254 m, Ktot = (2,366 - 0,472)

0,0381 m Ktot = (3,892 – 0,508)

0,0127 m HTot = (0,789 – 0,101)

0,0191 m HTot = (0,972 – 0,446)

0,0254 m HTot = (1,123 – 0,498)

339
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

0,0381 m Htot = (1,004 – 0,293)

b. Aliran Percabangan;

0,0127 m, Ktot = (3,982 – 0,734)

0,191 m , Ktot = (6,302 - 1,455)

0,0254 m,Ktot = (8,664 – 2,098)

0,0381 m, Ktot =(13,985 - 3,933)

0,0127 m ,HTot = (1,028 – 0,396)

0,0191 m HTot = (0,934 – 0,404)

0,0254 m HTot = (0,930 - 0,400)

0,0381 m Htot = (0,577 – 0,411)

B. Saran-saran

Untuk penelitian lebih lanjut sedapat mungkin dilakukan dengan memvariasikan sudut
cabang dan variasi diameter pipa agar dapat membandingkankoefisien keruagianyang
terjadi terhadap perubahan aliran baik pada aliran pertemuan maupun aliran percabangan

DAFTAR PUSTAKA.

Arip Dwiyantoro, B., 2004, StudiEkperimental Tentang pengaruh Protituding (Tonjolan)


pada Pipa Lurus Bercabang 450 dan 600 terhadap Distribusi Kecepatan dan
Tekanan Aliran, ITS, Surabaya.

Bird R. B., Stewart W. E. & lighfoat E. N., 1994, Transport Phenomena, John Willey &
Sons, Singapore, Toronto.

Costa N.P., Mania.R, 2006. Edge Effects on the Flow Characteristics in a 90 deg Tee
Junction, Journal of Fluids Engineering, Vol. 128, pp. 1204:1217,
(Http://www.google.co.id).

Daily James, W & Harleman Donald R. F., 1996. Fluid Dynamics, Addison-Wesley
Publishing Company,inc.

Miller S. Donald., Internal Flow Sistem, Vol-5, In the BHRA Fluid Engineering Series.

340
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Saleh M. Jamal. 2002. Fluid Flow Handbook, McGraw-Hll, New York.

Setyo Indartono, Y., 2006, Meredam Turbulensi Membuat Air Mengalir (jauh) lebih cepat,
Artikel Iptek, (Http://www.google.co.id)diakses 12 Maret 2007).

White Frank M, 1994. Fluid Mechanics, Third Edition, Mc Graw-Hill Book Company, N

Miller S. Donald., Internal Flow Sistem, Vol-5, In the BHRA Fluid Engineering Series.

MD Bassett,2001.Calculation of Steady Flow Pressure Loss Coefficients for Pipe Junctions,


Proc Instn Mech Engrs Vol 215 Part C

341
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ANALISIS KEPUASAN NASABAH BANK BTN SYARIAH YOGYAKARTA

Aidha Trisanty

Program Diploma III Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia

Email : aidha.trisanty@uii.ac.id

ABSTRAK

Perkembangan industri perbankan syariah selama dua dekade terakhir menimbulkan konsekuensi
makin tingginya persaingan yang ada. Agar tetap dapat bertahan dan memenangkan persaingan, bank syariah
dituntut untuk terus memberikan layanan yang memuaskan bagi nasabah. Salah satu pemain di industri
perbankan syariah ini adalah Bank BTN Syariah Cabang Yogyakarta yang telah berdiri selama satu dekade
terakhir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan nasabah serta dimensi dan atribut apakah
yang dianggap penting oleh nasabah Bank BTN KCS Yogyakarta. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan kuesioner/angket dengan dimensi CARTER. Analisis yang digunakan adalah analisis gap dan
diagram kartesius. Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan layanan yang diberikan oleh BTN Syariah
Yogyakarta telah dirasa sangat memuaskan bagi nasabah, dan keseluruhan dimensi serta atribut dianggap
penting oleh nasabah.

Kata Kunci : Kepuasan nasabah, Bank Syariah, BTN Syariah, CARTER

PENDAHULUAN

Industri perbankan syariah yang hadir sejak dua dasawarsa lalu terus bertumbuh dengan
pesat di Indonesia. Perkembangan tersebut diantaranya terlihat dari bertambahnya jumlah
bank syariah yang ada, baik Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Menurut data dari Bank Indonesia,per Desember
2014 terdapat 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah dan 163 Bank Perkreditan
Rakyat Syariah. Perkembangan industri perbankan syariah juga terlihat dari pertumbuhan
jumlah kantor cabang bank syariah yang ada saat ini, dimana kantor layanan bank syariah
selama lima tahun terakhir tumbuh rata-rata sebesar dua puluh enam persen per tahun. Pada
akhir Desember 2014 ini terdapat 2.910 kantor layanan bank syariah, meningkat sebanyak
1.687 kantor dibandingkan pada akhir tahun 2009 yang jumlahnya sebanyak 1.223 kantor
layanan.
Terus bertambahnya jumlah pemain di bisnis ini tentunya menimbulkan konsekuensi
makin kompleksnya persaingan yang ada.Untuk itu, perbankan syariah dituntut terus mencari
cara agar dapat bertahan dan memenangkan persaingan yang ada. Salah cara yang bisa
dilakukanyaitu dengan memberikan layanan yang memuaskan agar nasabah menjadi loyal,
seperti yang diutarakan oleh Horstamann (1998) bahwa terdapat hubungan yang erat dan
positif antara kepuasan nasabah dan loyalitas nasabah.
Untuk mengetahui kepuasan nasabah tersebut, menurut Hazlina et al (2011) adalah
dengan melakukan pengukuran terhadap kualitas layanan. Hal ini selaras dengan yang

342
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

disampaikan Thompson, De Souza Dan Gale (1985) yang menyatakan bahwa pemberian
kualitas layanan yang baik (delivery high service) adalah salah satu cara untuk dapat bertahan
di bisnis jasa.
Bank BTN Syariah Kantor Cabang Syariah Yogyakarta (Bank BTN KCS
Yogyakarta),sebagai salah satu pemain di bisnis perbankan syariah yang baru berdiri selama
satu dasawarsa terakhir, yaitu sejak tahun 2005,tentu menghadapi tantangan yang cukup berat
untuk bertahan. Terlebih, sejak listing di bursa dengan melepas saham perdana pada tahun
2009 tuntutan yang muncul menjadi lebih kompleks mengingat semakin banyaknya pihak
yang berkepentingan terhadap kinerja bank ini.Dengan tantangan yang dihadapi oleh Bank
BTN KCS Yogyakarta tersebut, maka kualitas pelayanan kepada nasabah perlu menjadi
prioritas utama, agar perusahaan dapat memenuhi keinginan dan harapan nasabah sehingga
nasabah puas. Kepuasan tersebut akan berdampak positif bagi perusahaan karena dapat
meningkatkan loyalitas nasabah yang pada akhirnya akan membantu perusahaan untuk
bertahan dan memenangkan persaingan.

KAJIAN PUSTAKA

Terkait penelitian ini, terdapat beberapa penelitian yang relevan yaitu diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Othman dan Owen (2001), yang mengemukakan bahwa
kualitas layanan adalah hal yang sangat penting dalam industri perbankan Islam. Untuk
pengukuran kualitas layanan, digunakan metode CARTER yang memiliki dimensi variabel
lebih lengkap karena terdapat dimensi compliance yang terkait dengan kepatuhan terhadap
unsur syariah. Metode ini menawarkan sebuah pengukuran yang unik dan original untuk
mengetahui kepuasan nasabah melalui enam dimensi dengan 34 atribut yang digunakan.
Osman dkk (2009) melakukan penelitian tentang kepuasan nasabah pada Malaysian
Islamic Banking dengan menggunakan metode CARTER. Penelitian ini menunjukkan hasil
bahwa dimensi reliability (mean 5.05) adalah faktor yang dianggap paling penting dalam
memilih lembaga keuangan Islam. Sedangkan dimensi berikutnya adalah assurance,
tangibles dan kemudian diikuti oleh dimensi Empathy, Responsiveness dan Compliance.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Khafafa dan Safii (2013) yang mengukur kepuasan
pelanggan di bank Libya yang operasionalnya menggunakan sistem Islam. Pada penelitian ini
dilakukan pengukuran terhadap dimensi kualitas layanan dan pengaruhnya terhadap kepuasan
pelanggan. Menggunakan model SERVQUAL (service quality) dimensi kualitas jasa yang
akan diteliti adalah dimesi tangible, assurance, reliability, responsiveness dan emphaty.
Penelitian ini juga menguji bagaimana tingkat pemahaman masyarakat terhadap konsep

343
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

produk dan layanan bank Islam. Studi ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan
signifikan antara kepuasan pelanggan dan kualitas layanan yang diberikan pada dimensi
tangible, responsiveness, assurance dan empati.

LANDASAN TEORI

Menurut Kotler (2012) kepuasan adalah perasaan senang terhadap kinerja atau hasil
yang dirasakan dengan harapannya. Kepuasan juga dapat diartikan sebagai perasaan senang
ketika mencapai tujuan yang diharapkan atau mendapatkan yang diinginkan (Badara et al,
2013).
Othman dan Owen (2012) mendefinisikan kualitas layanan sebagai suatu evaluasi
keseluruhan terhadap gap yang timbul antara harapan terhadap layanan dengan kinerja yang
diterima.Sedangkan Parasuraman et al (1991) mendefinisikan kulaitas layanan sebagai hasil
dari perbandingan antara harapan dengan kinerja. Kualitas layanan merupakan fungsi gap
antara harapan konsumen terhadap layanan dengan persepsi mereka terhadap layanan aktual
yang dihasilkan perusahaan. Selisih antara persepsi dengan harapan disebut dengan gap atau
kesenjangan kualitas layanan yang dirumuskan sebagai berikut :

Gap = Persepsi - Harapan

a) Jika gap positif (persepsi > harapan), maka kualitas layanan dikatakan surprise dan sangat
memuaskan nasabah.
b) Jika gap nol ( persepsi = harapan), maka kualitas layanan dapat dikatakan memuaskan
dan berkualitas.
c) Jika gap negatif (persepsi < harapan), maka kualitas layanan dapat dikatakan tidak
berkualitas dan tidak memuaskan nasabah.

Metode penelitian yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah
dengan menggunakan metode SERVQUAL. Namun, untuk industri perbankan syariah yang
yang memiliki karakteristik khusus metode tersebut memerlukan modifikasi. Othman dan
Owen (2001) menyajikan sebuah model untuk pengukuran kepuasan pada perbankan syariah
yaitu CARTER model. Dengan menggunakan CARTER model, terdapat satu tambahan
dimensi disamping lima dimensi yang sudah dikemukakan oleh Parasuraman, yaitu dimensi
compliance (kepatuhan terhadap unsur syariah, sehingga terdapat enam dimensi ; compliance
(kepatuhan terhadap unsur syariah), assurance (pengetahuan dan kecakapan karyawan yang

344
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

akan menumbuhkan rasa percaya pelanggan), reliability (keandalan dalam memberikan


layanan yang segera, tepat sesuai yang dijanjikan), tangibles (aspek fisik seperti gedung,
karyawan, perlengkapan dan fasilitas pendukung), empathy (perhatian dan komunikasi
personal yang diberikan kepada pelanggan) dan responsiveness (keinginan untuk membantu
pelanggan dan memberikan layanan yang baik).

PEMBAHASAN
Analisis Gap

Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara tingkat
kepentingan suatu layanan dengan kinerja aktual layanan tersebut. Metode statistik yang
digunakan adalah rata-rata. Semakin kecil gap maka menunjukkan semakin puas nasabah.

Gp = Persepsi - Harapan

Gap yang terjadi pada BTN KCS Yogyakarta dapat dilihat dari gap berdasar dimensi
dan gap pada masing-masing atribut. Secara detail gap pada dimensi kualitas layanan dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1

Kualitas Layanan Nasabah Bank BTN KCS Yogyakarta (per Dimensi)

No Dimensi Kinerja Kepentingan Nilai Gap Keterangan

(Persepsi)a (Harapan)b (a-b)

1 Compliance 3,80 3,83 0,03 Positif Sangat memuaskan

2 Assurance 4,23 4,27 0,03 Positif Sangat memuaskan

3 Reliability 4,33 4,37 0,04 Positif Sangat memuaskan

4 Tangibles 4,13 4,16 0,03 Positif Sangat memuaskan

5 Emphaty 4,14 4,17 0,03 Positif Sangat memuaskan

Responsivenes
6 4,29 4,40 0,11 Positif Sangat memuaskan
s

Jumlah 24,92 25,19 0,27

Rata-rata 4,15 4,19 0,04 Positif Sangat memuaskan

Sumber : Hasil pengolahan data

345
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kualitas layanan merupakan selisih atau perbandingan antara layanan yang telah
dirasakan nasabah atau dipersepsikan nasabah (persepsi) dengan layanan ideal yang
diinginkan atau diminta nasabah (harapan). Selisih antara persepsi dengan harapan tersebut
disebut dengan gap atau kesenjangan kualitas layanan. Jika gap positif, maka layanan
dikatakan surprise atau sangat memuaskan. Jika gap adalah nol maka artinya layanan tersebut
berkualitas atau memuaskan, sedangkan jika gap negatif maka berarti layanan yang diberikan
tidak memuaskan.

Dari tabel diatas, dapat dilihat dari keenam dimensi yang ada, keseluruhan dimensi
yang ada memiliki gap positif sebesar 0,04 artinya nasabah sangat puas terhadap layanan yang
diberikan.

Nasabah BTN KCS Yogyakarta merasakan sangat puas pada dimensi compliance,
assurance, reliability, tangibles, emphatydan responsiveness. Kepuasan yang paling tinggi
dirasakan nasabah pada dimensi responsiveness yang ditunjukkan dengan gap positif yang
paling tinggi yaitu sebesar 0,11.Kemudian dilanjutkan dengan dimensi reliability dengan gap
positif 0,04 dan selanjutnya dengan nilai gap yang sama yaitu sebesar 0,03 pada dimensi
compliance,assurance, tangibles, dan emphaty. Kepuasan nasabah yang ada pada tiap atribut
dapat secara detail dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2

Ranking Kualitas Layanan Nasabah Bank BTN KCS Yogyakarta (per Atribut)

N Dimensi Nomo Atribut Kinerja Kepenti Nil Gap Keteranga


o r ngan ai n
(Persep
Atribu si)a (Harapa (a-b)

t n)b

1 Responsiven 27 Cara karyawan dalam melayani 4,5 4,27 0,2 Posit Sangat
ess konsumen seharusnya seungguh – 3 if memuaska
sungguh n

2 Compliance 2 Tidak ada pembayaran bunga 4,3 4,1 0,2 Posit Sangat
tabungan 0 if memuaska
n

3 Responsiven 28 Menangani komplain / keluhan 4,53 4,33 0,2 Posit Sangat


ess nasabah dengan cepat 0 if memuaska
n

4 Reliability 15 Manajemen dan Staff profesional 4,53 4,37 0,1 Posit Sangat

346
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dalam melayani nasabah 7 if memuaska


n

5 Emphaty 23 Jam operasional sesuai kebutuhan 4,2 4,03 0,1 Posit Sangat
nasabah 7 if memuaska
n

6 Responsiven 30 Prosedur administratif dalam 4,5 4,33 0,1 Posit Sangat


ess bertransaksi mudah 7 if memuaska
n

7 Assurance 9 Ketersediaan likuiditas dalam 4,3 4,17 0,1 Posit Sangat


melayani transaksi keuangan nasabah 3 if memuaska
n

8 Reliability 14 Memberikan layanan sesuai yang 4,47 4,33 0,1 Posit Sangat
dijanjikan 3 if memuaska
n

9 Compliance 4 Menerapkan ketentuan bebas bunga 4,3 4,2 0,1 Posit Sangat
pinjaman 0 if memuaska
n

1 Tangibles 18 Menyediakan sarana parkir yang 4,23 4,13 0,1 Posit Sangat
0 memadai 0 if memuaska
n

1 Tangibles 19 Penampilan karyawan rapi dan 4,23 4,13 0,1 Posit Sangat
1 menarik 0 if memuaska
n

1 Emphaty 25 Memberikan informasi mengenai 4,2 4,1 0,1 Posit Sangat


2 perubahan kebijakan (kebijakan baru) 0 if memuaska
kepada setiap nasabah n

1 Compliance 3 Memberikan pembiayaan kepada 4,43 4,37 0,0 Posit Sangat


3 produk – produk yang halal 7 if memuaska
n

1 Assurance 7 Tim Manajemen berpengalaman dan 4,3 4,23 0,0 Posit Sangat
4 memiliki pengetahuan luas 7 if memuaska
n

1 Assurance 8 Memiliki karyawan yang sopan dan 4,43 4,37 0,0 Posit Sangat
5 bersahabat 7 if memuaska
n

1 Assurance 10 Menyediakan tenaga keamanan 4,33 4,27 0,0 Posit Sangat


6 (SATPAM) sehingga nasabah merasa 7 if memuaska

347
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

aman dalam bertransaksi n

1 Emphaty 24 Menyediakan konsultasi keuangan 4,13 4,07 0,0 Posit Sangat


7 7 if memuaska
n

1 Reliability 13 Layanan cepat dan efisien 4,47 4,47 0,0 Posit Sangat
8 0 if memuaska
n

1 Tangibles 17 Memiliki peralatan yang modern 4,1 4,1 0,0 Posit Sangat
9 0 if memuaska
n

2 Tangibles 20 Menyediakan fasilitas ruangan tunggu 4,23 4,23 0,0 Nol Puas
0 yang nyaman 0

2 Emphaty 22 Memberikan perhatian kepada 4,3 4,3 0,0 Nol Puas


1 konsumen secara individual tanpa 0
membedakan status nasabah

2 Responsiven 29 Dapat menyelesaikan masalah yang 4,4 4,4 0,0 Nol Puas
2 ess dihadapi nasabah 0

2 Reliability 12 Menyediakan produk dan layanan 4,23 4,27 - Neg Tidak


3 yang beragam 0,0 atif memuaska
3 n

2 Tangibles 16 Tampilan kantor menarik 4 4,03 - Neg Tidak


4 0,0 atif memuaska
3 n

2 Reliability 11 Memberikan layanan yang tepat 4,13 4,2 - Neg Tidak


5 0,0 atif memuaska
7 n

2 Responsiven 26 Karyawan bersedia membantu 4,07 4,13 - Neg Tidak


6 ess konsumen jika ada kesulitan yang 0,0 atif memuaska
berhubungan dengan transaksi di Bank 7 n

2 Compliance 1 Menjalankan prinsip dan hukum Islam 4,1 4,2 - Neg Tidak
7 0,1 atif memuaska
0 n

2 Compliance 5 Ttidak meminta agunan kepada 2 2,13 - Neg Tidak


8 nasabah 0,1 atif memuaska
3 n

2 Assurance 6 Memiliki reputasi atau nama baik 3,97 4,13 - Neg Tidak

348
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

9 sehingga nasabah merasa aman 0,1 atif memuaska


7 n

3 Emphaty 21 Lokasi mudah dijangkau 4 4,2 - Neg Tidak


0 0,2 atif memuaska
0 n

Sumber : Hasil pengolahan data

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari ke-tiga puluh atribut yang dinilai oleh
nasabah, nasabah merasa paling puas pada atribut dua puluh tujuh yaitu tentang cara
karyawan melayani nasabah sungguh-sungguh. Yang kedua, nilai gap positif sebesar 0,2 ada
pada atribut nomor dua dan dua puluh delapan dimana BTN KCS Yogyakarta dianggap oleh
nasabah tidak memberikan bunga tabungan dan dapat menangani keluhan dan komplain
nasabah dengan cepat.
Selanjutnya secara berturut-turut kepuasan nasabah dengan nilai yang sangat
memuaskan ditunjukkan pada atribut; manajemen dan Staff profesional dalam melayani
nasabah, jam operasional sesuai kebutuhan nasabah, prosedur administratif dalam bertransaksi
mudah, ketersediaan likuiditas dalam melayani transaksi keuangan nasabah, memberikan
layanan sesuai yang dijanjikan, menerapkan ketentuan bebas bunga pinjaman, menyediakan
sarana parkir yang memadai, penampilan karyawan rapi dan menarik, memberikan informasi
mengenai perubahan kebijakan (kebijakan baru) kepada setiap nasabah, memberikan
pembiayaan kepada produk – produk yang halal, tim Manajemen berpengalaman dan
memiliki pengetahuan luas, memiliki karyawan yang sopan dan bersahabat, menyediakan
tenaga keamanan (SATPAM) sehingga nasabah merasa aman dalam bertransaksi,
menyediakan konsultasi keuangan, layanan cepat dan efisien dan memiliki peralatan yang
modern.
Atribut yang tidak memuaskan secara berturut-turut dari gap yang lebih besar adalah ;
menyediakan produk dan layanan yang beragam, tampilan kantor menarik, memberikan
layanan yang tepat, karyawan bersedia membantu konsumen jika ada kesulitan yang
berhubungan dengan transaksi di bank, menjalankan prinsip dan hukum Islam, tidak meminta
agunan kepada nasabah, memiliki reputasi atau nama baik sehingga nasabah merasa aman dan
lokasi yang mudah dijangkau.
Disamping itu, terdapat tiga atribut yang nasabah merasa puas (namun bukan sangat
puas), yaitu; fasilitas ruangan tunggu yang nyaman, memberikan perhatian kepada konsumen
secara individual tanpa membedakan status nasabah dan dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi nasabah. Ketiga atribut ini ditunjukkan dengan nilai gap maing-masing nol.

349
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Analisis berdasar Diagram Kartesius

Gambar 1

Diagram Kartesius Harapan dan Persepsi Kualitas Layanan Nasabah

BTN KCS Yogyakarta (Per Dimensi)

Sumber : Hasil Pengolahan Data

Diagram kartesius merupakan suatu bangunan yang terdiri atas empat bagian yang
dibatasi oleh dua garis tegak lurus pada titik X dan Y. X merupakan rata-rata dari skor
penilaian kinerja/tingkat kepuasan/persepsi, dan Y merupakan rata-rata skor tingkat
kepentingan/harapan. Diagram pada gambar diatas menunjukkan bahwa keenam dimensi
yang dinilai keseluruhannya berada pada kuadran B.
Dimensi yang ada pada kuadran B ini adalah dimensi-dimensi yang dianggap penting
oleh dan nasabah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh pihak BTN KCS Yogyakarta. Ini
menunjukkan faktor-faktor yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan. Terjadi
keseimbangan antara kepentingan dan kinerja perusahaan.
Diagram Kartesius Harapan dan Persepsi Kualitas Layanan Nasabah

350
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

BTN KCS Yogyakarta (Per Atribut)

Sumber : Hasil Pengolahan Data

Diagram pada gambar diatas menunjukkan keseluruhan atribut yang ada dan dinilai
berada pada diagram B. Sama halnya dengan dimensi yang sebelumnya dinilai, atribut yang
ada pada kuadran B ini adalah atribut-atribut yang dianggap penting oleh dan nasabah dan
telah dilaksanakan dengan baik oleh pihak BTN KCS Yogyakarta. Ini menunjukkan faktor-
faktor yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan. Terjadi keseimbangan antara kepentingan
dan kinerja perusahaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian yang dilakukan di BTN KCS Yogyakarta terhadap kepuasan nasabah,
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Secara keseluruhan nasabah BTN KCS Yogyakarta sangat puas terhadap layanan yang
diberikan, hal ini ditunjukkan dengan gap positif dari rata-rata total antara kinerja dan
harapan nasabah yaitu sebesar 0.04.
b. Dari enam dimensi kualitas pelayanan yang dinilai oleh nasabah, BTN KCS Yogyakarta
telah melayani dengan sangat memuaskan pada keseluruhan dimensi, dan dimensi yang
(paling) sangat memuaskan adalah dimensi responsivenessyang berarti nasabah merasa
sangat puas atas keinginan BTN KCS Yogyakarta membantu nasabah dan memberikan
layanan yang baik.

351
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

c. Kualitas layanan yang dirasa tidak memuaskan bagi nasabah adalah; produk dan layanan
yang beragam, tampilan kantor, memberikan layanan yang tepat, karyawan bersedia
membantu konsumen jika ada kesulitan yang berhubungan dengan transaksi di bank,
menjalankan prinsip dan hukum Islam, tidak meminta agunan kepada nasabah, memiliki
reputasi atau nama baik sehingga nasabah merasa aman dan lokasi yang mudah
dijangkau.
d. Disamping itu, terdapat tiga atribut yang nasabah merasa puas (namun bukan sangat
puas), yaitu; fasilitas ruangan tunggu yang nyaman, memberikan perhatian kepada
konsumen secara individual tanpa membedakan status nasabah dan dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi nasabah.
e. Keseluruhan dimensi (compliance, assurance, reliability, tangibles, emphaty,
responsiveness) dianggap penting oleh nasabah BTN KCS Yogyakarta, dan keseluruhan
atribut kualitas layanan juga dianggap penting oleh nasabah. Atribut-atribut yang
dianggap penting oleh dan nasabah telah dilaksanakan dengan baik oleh pihak BTN KCS
Yogyakarta.

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat diberikan kepada
BTN KCS Yogyakarta adalah ;

a. BTN KCS Yogyakarta harus terus mempertahankan kualitas layanan yang secara
keseluruhan telah memuaskan bagi nasabah.
b. Bank BTN KCS Yogyakarta perlu memperbaiki kualitas layanan yang masih belum
memuaskan nasabah.
c. Keseluruhan atribut kualitas layanan yang ada dianggap penting oleh nasabah, sehingga
BTN KCS Yogyakarta perlu memperhatikan dengan benar kebutuhan nasabah yang ada
sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan layanan yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. (2015). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan


Syariah. Jakarta : (http://www.bi.go.id, diakses 27 Januari 2015).

Hazlina. 2011. Impacts of Service Quality on Customer Satisfaction: Study of Online


banking and ATM Services in Malaysia. International Journal of Trade and
Economic Finance. vol 2(1)

Horstmann R. 1998. Customer Satisfaction and Loyalty: an Empirical Assessment in the


Service Industry. Journal of Application Management and Entrepreneurship. Vol
4:39 -54.

352
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Khafafa & Safii. 2013. Customer Satisfaction and Islamic Banking Awareness in the
Islamic Banking Window System inLibya.Middle-East Journal of Scientific
Research,Vol.13, 12-17.

Kotler P, Armstrong. 2012. Principles of Marketing, 14th Edition, New Jersy, USA.
Pearson Education Inc.

Osman, et al. 2009.Customers Satisfaction in Malaysian Islamic Banking: Journal of


Economics and Finance February, Vol 1 (1).

Othman, A. & Owen, L.2012. The Multi Dimensionality of CARTER Models to Measure
Customer Service Quality in Islamic Banking Industry: a Study in Kuwait
Finance House. International Journal of Islamic Financial Services Vol 3(4).

Othman, A. and Owen, L. 2001, “Developing an Instrument to Measure Customer


Service Quality (SQ) in Islamic Banks”, International Journal of Islamic
Financial Services, Vol. 3 (1).

Parasuraman, A., Berry, L., and Zeithaml, V. 1991. Perceived Service Quality as a
Customer – based Performance Measure: An Empirical Examination of
Organizational Barries Using an Extended Service Quality Model.
HumanResource management, Vol. 30 No. 3.

Thompson, DeSouza dan Gale. 1985. The Strategic Manegement of Services Quality.
Cambridge, Massachusetts: Strategic Planning Institute.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah

353
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENGARUH PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001: 2008


PADA PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI PERBANKAN
DI YOGYAKARTA

Arief Darmawan, SE., MM


RR. Siti Muslikhah, SE, M.Sc
Program Diploma III Ekonomi Universitas Islam Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 pada
kinerja karyawan di Industri Perbankan di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada Industri Perbankan di
Yogyakarta yang telah memiliki sertifikasi ISO 9001: 2008. Untuk menguji hipotesis dilakukan secara
kuantitatif, data diperoleh melalui survei. Metode pengambilan sampel nonprobability sampling yaitu dengan
metode purposive sampling. Pengujian validitas dilakukan dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA)
sedangkan pengujian reliabilitas dilakukan dengan item to total correlation dan Cronbach’s alpha. Sedangkan
untuk menguji pengaruh antar variabel digunakan regression analysis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
secara simultan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja
karyawan Industri Perbankan di Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan perusahaan telah
sesuai dengan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008. Secara parsial variabel variabel sistem manajemen
mutu ISO 9001: 2008 juga berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja karyawan.

Kata Kunci: Sistem Manajemen Mutu ISO 9001: 2008, Kinerja Karyawan,
Manajemen Sumber Daya Manusia

A. PENDAHULUAN
Globalisasi banyak membawa perubahan di sektor industri maupun sektor-sektor
yang lain, sehingga menuntut semua pihak untuk mempersiapkan diri agar mampu bertahan
dalam menghadapi kondisi tersebut. Seiring dengan globalisasi tersebut, standarisasi
manajemen telah menjadi isu utama, lebih khusus lagi standarisasi sistem manajemen mutu.
Tuntutan atas peningkatan kualitas produk dan jasa terus meningkat, jika dilihat dari sisi
permintaan, sedangkan dari sisi penawaran terjadi juga peningkatan penawaran produk dan
jasa dalam variasi kualitas dan harga yang terus bersaing. Kualitas produk dan jasa yang
semakin meningkat dengan biaya yang memiliki keunggulan bersaing dipasar, seperti negara-
negara di kawasan timur: Cina, Vietnam dan India dapat menguasai pangsa pasar yang lebih
besar (Dale, 2003). Hal yang sangat berarti dalam meningkatkan kinerja menghadapi
tantangan persaingan kompetitif ini adalah melalui perbaikan berkelanjutan yang terfokus
pada konsumen. Perbaikan yang dilakukan meliputi keseluruhan aktivitas organisasi yang
penekanannya kepada fleksibilitas dan kualitas. Oleh karena itu, kualitas dan pengelolaannya
dikaitkan dengan perbaikan berkelanjutan dilakukan oleh banyak perusahaan dalam
mendorong peningkatan pangsa pasar. Pengelolaan usaha yang terfokus pada fleksibilitas dan
kualitas dengan wawasan global dapat tercermin dari sistem manajemen mutu (SMM) yang
dijalankan oleh organisasi bisnis. Banyak perusahaan atau organisasi berusaha untuk memiliki
standar kualitas yang berkualifikasi internasional, seperti ISO (Semuel dan Zulkarnain, 2011).

354
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Industri Perbankan di Indonesia semakin lama semakin kompetitif apalagi seiring


dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015. Kondisi
ini mendorong perusahaan untuk segera meningkatkan mutu dan daya saing dengan cara
melakukan perbaikan secara konsisten dan terus-menerus agar dapat memenuhi kebutuhan
pelanggan dan pasar perusahaan itu sendiri. Untuk memenangkan persaingan tersebut dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan manajemen mutu yaitu dengan Sistem Manajemen
Mutu ISO.
ISO 9001:2008 merupakan standard internasional untuk sistem manajemen mutu dan
bukan standard produk semata. ISO 9001:2008 menetapkan persyaratan-persyaratan dan
rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen mutu. ISO 9001:2008
merupakan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standard untuk manajemen sistem,
yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang atau jasa) terhadap
kebutuhan atau persyaratan tertentu, dimana kebutuhan atau persyaratan tertentu tersebut
ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi. Melalui penerapan ISO
9001:2008 ini diharapkan produk atau layanan yang dihasilkan dari suatu sistem manajemen
yang berkualitas internasional akan memiliki standard kualitas yang baik. Penerapan ISO
9001:2008 juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan nasabah, jaminan kualitas proses
layanan, peningkatan produktivitas, motivasi, moral dan kinerja karyawan, peningkatkan
efisiensi, dan lain-lain (http://www.pikiran-rakyat.com).
Dalam Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terdapat beberapa klausul
yang penerapannya berkaitan dengan kinerja karyawan khususnya pada klausul 6 (enam)
yaitu pengelolaan sumber daya dengan penyediaan sumber daya diantaranya sumber daya
manusia, prasarana, dan lingkungan kerja. Elemen-elemen ini dipercaya memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kinerja karyawan. Di mana sumber daya manusia lebih jauh
dipengaruhi oleh pendidikan dan pelatihan, keahlian dan keterampilan, serta pengalaman.
Semua hal tersebut juga berkaitan dengan prasarana dan lingkungan kerja.
Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti ingin melakukan penelitian tentang Pengaruh
Sistem Manajemen Mutu ISO 9001-2008 pada peningkatan kinerja khususnya industri
perbankan di Yogyakarta
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan Sistem Manajemen
Mutu ISO 9001-2008 berpengaruh positif pada peningkatan kinerja?” Dengan melihat
rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan utama penelitian ini adalah menguji pengaruh
sistem manajemen mutu ISO 9001-2008 pada kinerja perusahaan industri perbankan di
Yogyakarta.

355
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

B. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Mutu
Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang
tersirat. Definisi yang sering digunakan untuk menerjemahkan mutu menurut Kotler (1994)
adalah mempertemukan antara apa yang diharapkan dengan apa yang dibutuhkan sehingga
pelanggan akan merasa puas (delighting the customer by fully meeting their needs and
expectations). Gazpers (1997) juga menyatakan bahwa mutu pelayanan adalah segala
sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meet the needs of
customers).
Feigenbaum dalam Nasution (2005) menyatakan bahwa mutu adalah kepuasan
pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk bermutu, apabila dapat
memberi kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang yang
diharapkan konsumen atas suatu produk. Mutu menurut Deming dalam Nasution (2005)
adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar, atau konsumen.
Mutu mempunyai hierarki konsep yang membutuhkan pemahaman tentang tiga ide
mutu yang cukup penting yaitu pengendalian mutu (Quality Control), penjaminan mutu
(Quality Assurance) dan mutu total (Total Quality Management).

2. Sistem Manajemen Mutu


Sistem Manajemen Mutu (SMM) merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi
dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian
dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Kebutuhan atau
persyaratan itu ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi. SMM
mendefinisikan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen mutu secara
konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar (Semuel dan Zulkarnain, 2011).
Menurut Gaspersz (2005), ISO 9001 adalah suatu standar internasional untuk SMM.
Definisi dari Standar ISO 9000 untuk SMM (Quality Management Sistem atau QMS) adalah
struktur organisasi, tanggung-jawab, prosedur-prosedur, proses-proses dan sumber-sumber
daya untuk penerapan manajemen mutu. ISO 9001 menetapkan persyaratan-persyaratan
dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu SMM, yang bertujuan untuk
menjamin bahwa organisasi akan memberikan produk (barang dan jasa) yang memenuhi
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan.

356
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sistem Manajemen Mutu ISO menurut Brown & van der Wiele (1998), Mears &
Voehl (1995), Meyer & Allen (1997), Zink (1994) seperti dikutip oleh Mei Feng et al. (2006)
dapat dikelompokan dalam tiga framework yakni: (1) perencanaan sertifikasi ISO, (2)
komitmen organisasi atau perusahaan terhadap mutu, dan (3) penerapan prosedur standar
yang telah ditetapkan. Perencanaan sertifikasi merupakan fase awal dalam merumuskan dan
mendesain langkah langkah penerapan SMM ISO, mulai dari pemilihan badan sertifikasi ISO,
identifikasi aspek kualiats, dokumen-tasi dan lain lain. Untuk mendukung keberhasilan
meraih sertifikasi ISO, maka diperlukan perencanaan yang matang sehingga ketika audit
dilakukan semua data rekaman sebagai bukti adanya penerapan dari SMM ISO dapat
ditunjukkan.
Komitmen organisasi didefinisikan sebagai ukuran kebaikan identifikasi karyawan
dengan tujuan dan nilai organisasi serta terlibat didalamnya, komitmen oganisasi juga menjadi
indikator yang lebih baik bagi karyawan yang ingin tetap pada pekerjaannya atau ingin
pindah. Komitmen pada organisasi juga menjelaskan kedekatan karyawan terhadap
organisasi, baik secara struktural maupun individual. Komitmen terhadap organisasi
merupakan komitmen merefleksikan kebaikan keterlibatan dan kesetiaan karyawan pada
organisasi. Keterlibatan dan kesetiaan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pekerjaan
yang dibebankan pada karyawan sesuai dengan harapannya. Peningkatan komitmen organi-
sasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi motivasi dan kualitas karyawan yang
bekerja. Komitmen organisasi terhadap SMM ISO harus dapat dicerminkan oleh komitmen
pegawai dari manajemen puncak, manajemen level menengah sampai kepada karyawan
rendaan dalam menerapkan klausul-klausul ISO yang sudah ditetapkan.

3. ISO 9001
ISO 9001 adalah suatu sistem yang dapat digunakan oleh organisasi untuk memastikan
mutu dan meningkatkan kepuasan pelanggan dalam mencapai suatu tujuan (TUV Rheinland).
ISO bukan akronim dari International Organization for Standardization. ISO merupakan
short form dari Organisasi Standar Internasional diambil dari bahasa Yunani “ISOS” berarti
sama. Standar Internasional yang telah diakui lebih dari 150 negara didirikan Tahun 1947
berpusat di Geneva, Swiss. Bertujuan mengembangkan dan mempromosikan standar-standar
umum yang berlaku secara internasional.
Menurut Tjiptono dan Diana (2001), tujuan dari ISO 9000 adalah:
1. Organisasi harus mencapai dan mempertahankan kualitas produk atau jasa yang
dihasilkan, sehingga secara berkesinambungan dapat memenuhi kebutuhan para pembeli
(konsumen).

357
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak manajemen bahwa kualitas yang
dimaksudkan telah dicapai dan dapat dipertahankan.
3. Organisasi harus memberikan keyakinan kepada pihak konsumen bahwa kualitas produk
yang diinginkankan akan dicapai dalam produk (jasa) yang dijual.

Evolusi seri ISO 9000 adalah sebagai berikut:


a. ISO 9001:1994 Quality systems – Model for quality assurance in design, development,
Production, installation and servicing.
b. ISO 9002:1994 Quality systems – Model for quality assurance in production, installation
and servicing.
c. ISO 9003:1994 Quality systems – Model for quality assurance in final inspection and test
d. ISO 9001:2000 Quality management systems – Requirements
e. ISO 9001:2008 Quality management systems – Requirements
4. Persyaratan Standar dari Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 merupakan sistem manajemen mutu yang
berfokus pada proses dan pelanggan, maka pemahaman terhadap persyaratan-persyaratan dari
ISO 9001:2008 akan membantu organisasi dalam menetapkan dan mengembangkan sistem
manajemen mutu secara sistematik untuk memenuhi kepuasan pelanggan (customer
satisfaction) dan peningkatan proses terus-menerus (continuous process improvement)
(Dharma, 2007). Berikut klausul-klausul yang perlu diperhatikan oleh manajemen organisasi
menurut PT. TUV Rheinland (2014) :
a. Ruang lingkup
b. Acuan standar
c. Istilah dan definisi
d. Sistem manajemen mutu
e. Tanggung jawab manajemen
f. Manajemen sumber daya
g. Realisasi produk
h. Pengukuran, analisis, dan peningkatan

Dalam sistem manajemen mutu ISO terdapat beberapa klausul yang penerapannya
berkaitan dengan kinerja karyawan khususnya pada klausul 6(enam). Hal ini sejalan dengan
pendapat Gasperez (2002), elemen-elemen yang terdapat dalam ISO klausul 6 yakni
mengenai manajemen sumber daya terdiri dari:
a. Penyediaan sumber daya

358
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

b. Sumber daya manusia


c. Infrastruktur
d. Lingkungan kerja
Elemen-elemen ini dipercaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan
(Dharma, 2007).

5. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji pengaruh penerapan sistem
manajemen mutu ISO pada kinerja organisasi atau perusahaan. Namun demikian masih
banyak peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai ISO ini. Berikut ini ada beberapa
penelitian yang pernah dilakukan dengan Sistem Manajemen Mutu ISO sebagai salah satu
variabel yang diteliti:
a. Dharma (2007) meneliti tentang analisis pengaruh penerapan sistem manajemen mutu ISO
9001:2000 terhadap peningkatan kinerja pada PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera
Utara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan sistem manajemen mutu
ISO 9001:2000 berpengaruh positif dan sangat signifikan terhadap kinerja karyawan. Hal
ini berarti setiap kebijakan yang dilakukan perusahaan telah sesuai dengan sistem
manajemen mutu ISO 9001:2000. Secara parsial variabel-variabel sistem manajemen
mutu ISO 9001:2000 berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
b. Srivastav (2009) meneliti tentang dampak ISO 9000 implementasi pada organisasi,
hasilnya menunjukkan peningkatan fungsi budaya organsiasi, merubah iklim organisasi
dengan memperkuat prestasi dan eksistensi, mengurangi tingkat stress dan memperkuat
kerja sama tim.
c. Iriani dan Hadiputra (2010) meneliti tentang analisis pengaruh penerapan sistem
manajemen mutu ISO 9001:2008 terhadap kinerja karyawan di PT Industri
Telekomunikasi Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan
sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan PT Industri Telekomunikasi Indonesia.
d. Semuel dan Zulkarnain (2011) meneliti tentang pengaruh sistem manajemen mutu ISO
terhadap kinerja karyawan melalui budaya kualitas perusahaan (studi kasus PT. Otsuka
Indonesia Malang). Hasil penelitiannya menemukan bahwa perencanaan sertifikasi ISO
9001, komitmen perusahaan dan penerapan prosedur dipersepsikan sudah sangat baik oleh
karyawan dan berpengaruh positif secara signifikan terhadap budaya kualitas perusahaan.
Selanjutnya budaya kualitas berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja
karyawan. Namun demikian, budaya kualitas masih dipersepsikan karyawan belum terlalu

359
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

baik, dikarenakan pemberdayaan, keterlibatan dan quality improvement team work belum
dijalankan secara optimal.
e. Yesti (2012) meneliti tentang pengaruh penerapan sistem manajemen mutu ISO
9001:2008 terhadap produktivitas kerja karyawan PT Intan Pariwara Klaten. Hasilnya
menunjukkan bahwa implementasi ISO 9001:2008 memengaruhi produktivitas kerja
karyawan dan meningkatkan produktivitas karyawan. Faktor SMM ISO 9001:2008 yang
berpengaruh adalah pelatihan karyawan dan faktor standar sistem operasional. Sedangkan
produktivitas kerja karyawan yang berpengaruh yaitu kemauan kerja dan faktor
kemampuan kerja.
f. Lestari (2012) meneliti tentang pengaruh sistem penjaminan mutu internal dan sistem
manajemen mutu ISO 9001:2008 terhadap kinerja Universitas Katholik Indonesia
Atmajaya Jakarta, hasilnya menunjukkan bahwa penerapan sistem penjaminan mutu
internal dan sistem manajemen mutu ISO memiliki pengaruh bagi peningkatan mutu
kinerja Unika Atmajaya.
g. Psomas, E. L, et al. (2012) meneliti tentang dampak efektivitas ISO 9001 pada kinerja
perusahaan jasa. Hasilnya mengkonfirmasi dimensi efektivitas ISO 9001 yang dievaluasi
oleh tingkat pencapaian tujuan standar, yaitu pencegahan ketidaksesuaian, perbaikan
terus-menerus dan kepuasan focus pada pelanggan dan menunjukkan kontribusi yang
signifikan terhadap kinerja perusahaan jasa. Selain itu menunjukkan bahwa kualitas
layanan dan kinerja operasional perusahaan jasa secara langsung dan secara signifikan
dipengaruhi oleh efektivitas ISO 9001. Namun, kinerja keuangan secara langsung
dipengaruhi hanya dengan kinerja operasional, sedangkan dampak efektivitas ISO 9001
secara tidak langsung dengan kinerja operasional.
h. Antariksa dan Setiawan (2014) meneliti tentang pengaruh penerapan sistem manajemen
mutu ISO 9001:2008 di perguruan tinggi terhadap kinerja balance scorecard: studi kasus
pada Universitas Brawijaya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh positif
antara penerapan SMM ISO terhadap kinerja universitas baik dari perspektif keuangan,
perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, maupun perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan.
i. Manders (2015) meneliti tentang implementasi dan dampak ISO 9001, temuannya
menunjukkan bahwa ISO 9001 menyebabkan keuntungan operasional dan pasar di
sebagian besar kasus. Manfaat yang diperoleh dari ISO 9001 berbeda tergantung pada
panjang periode sejak sertifikasi, versi standar, lokasi geografis, sektor industri, dan
ukuran perusahaan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perbedaan nasional,
khususnya tingkat perkembangan ekonomi dan kebudayaan nasional, dampak manfaat

360
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kinerja ISO 9001. Selain itu, ditemukan bahwa tidak semua karyawan di sebuah
perusahaan menggunakan ISO 9001 dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Memiliki sikap
positif terhadap penggunaan ISO 9001, menyadari ISO 9001, percaya bahwa ISO 9001
adalah berguna dan mudah digunakan, dan merasa bertanggung jawab untuk ISO 9001
diskriminasi karyawan yang tidak berpartisipasi dalam ISO praktek dari orang-orang yang
tidak terkait 9001.

6. Model Penelitian
Model penelitian ini dimodifikasi dari model Dharma (2007) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1
Model Penelitian

Pendidikan dan
Pelatihan

Keahlian

Pengalaman Kerja

Kinerja Karyawan

Sumber Daya
Organsiasi

Iklim Organisasi

Struktur Organisasi

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengunakan metode survey dengan menanyakan kepada responden
menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden penelitian (Neuman, 2006: 36). Kuesioner

361
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

berisi item-item pertanyaan yang menggambarkan variabel yang diteliti yaitu variabel sistem
manajemen mutu ISO 9001: 2008 yang terdiri dari beberapa konstruk.
Metode pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling karena tidak ada data
mengenai total populasi dan sampling frame sehingga probabilitas untuk memilih elemen dari
populasi tidak diketahui (Cooper dan Schindler, 2011: 384). Metode nonprobability sampling yang
digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan
untuk menyesuaikan diri dengan beberapa kriteria penelitian agar dapat meningkatkan ketepatan
sampel (Cooper dan Schindler, 2011: 385). Teknik purposive sampling dilakukan berdasarkan
kriteria karyawan yang bekerja pada bank yang sudah bersertifikasi ISO. Kriteria yang lain
bahwa karyawan tersebut sudah bekerja minimal satu tahun. Selain itu responden adalah
orang yang turut menjalankan penerapan standar ISO dan merasakan pengaruhnya. Penelitian
ini mengunakan 84 sampel.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner tersebut
terdiri atas dua bagian pertanyaan yakni bagian pertama adalah pertanyaan pendahuluan yang
terdiri dari nama, jenis kelamin, usia, masa kerja, pengalaman kerja, dan biaya hidup
perbulan. Bagian kedua kuesioner tersebut adalah pertanyaan target (target question), dengan
mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan variabel yang diteliti yaitu: pertanyaan
untuk sistem manajemen mutu ISO meliputi pendidikan, pengalaman, keahlian, pengalaman
kerja, sumber daya organisasi, iklim organisasi dan struktur organisasi serta variabel kinerja.
Pertanyaan tersebut menggunakan skala pengukuran Likert dimulai dari point 1 (satu) sangat
tidak setuju sampai dengan point 5 (lima) sangat setuju. Item pertanyaan diadopsi dari
penelitian Dharma (2007). Pengujian instrumen penelitian dengan uji validitas dan reliabilitas.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan regression analysis. Proses
perhitungan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan Program SPSS for
Windows Release 21. Analisis ini dimulai dengan pengumpulan data karakteristik responden,
uji validitas dan uji reliabilitas, statistik deskriptif data, uji hipotesis dan pembahasan.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan survey melalui kuesioner yang
disebarkan kepada 200 responden. Dari 200 kuesioner yang kembali berjumlah 120 kuesioner,
tetapi dari 120 kuesioner tersebut yang bisa diolah adalah 84 kuesioner karena ada beberapa
kuesioner yang tidak bisa diolah karena data kurang lengkap.

362
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Hasil Pengujian Hipotesis


a. Pengujian hipotesis pendidikan dan pelatihan berpengaruh pada kinerja karyawan
Hasil pengujian diperoleh thitung = 2,470 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,016 dan
beta 0,238. Hasil pengujian mendukung hipotesis bahwa pendidikan dan pelatihan
berpengaruh positif pada kinerja karyawan (H1), sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis
1 terbukti. Hal tersebut menunjukkan dengan tingkat pendidikan serta adanya berbagai
pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan maka kinerja karyawan
cenderung meningkat.
b. Pengujian hipotesis keahlian berpengaruh pada kinerja karyawan
Hasil pengujian diperoleh thitung = 2,198 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,031 dan
beta 0,223. Hasil pengujian mendukung hipotesis bahwa keahlian berpengaruh positif pada
kinerja karyawan (H2), sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis 2 terbukti. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dengan adanya keahlian maka kinerja karyawan cenderung meningkat
karena karyawan bekerja sesuai dengan kompetensinya.

c. Pengujian hipotesis pengalaman kerja berpengaruh pada kinerja karyawan


Hasil pengujian diperoleh thitung = -0,622 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,536 dan
beta -0,053. Hasil pengujian tidak signifikan dan tidak mendukung hipotesis bahwa
pengalaman kerja berpengaruh positif pada kinerja karyawan (H3), sehingga dapat
disimpulkan bahwa Hipotesis 3 tidak terbukti. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalaman
kerja tidak mempengaruhi kinerja karyawan, hal ini dikarenakan bahwa pengalaman kerja
belum tentu sesuai dengan bidang pekerjaan atau tidak linier dengan bidang pekerjaannya.
Selain itu lamanya waktu pengalaman kerja belum mendukung peningkatan kinerja. Hasil
penelitian ini tidak mendukung penelitian Dharma (2007) dan Aristarini L., et al. (2014).

d. Pengujian hipotesis sumber daya organisasi berpengaruh pada kinerja karyawan


Hasil pengujian diperoleh thitung = 2,350 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,021 dan
beta 0,208. Hasil pengujian mendukung hipotesis bahwa sumber daya organisasi berpengaruh
positif pada kinerja karyawan (H4), sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis 4 terbukti.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya sumber daya organisasi maka berpengaruh
pada kinerja karyawan, karena perusahaan mempunyai cukup modal untuk pengembangan
pegawai, untuk pelatihan pegawai, memiliki fasilitas kantor yang mendukung pekerjaan
karyawan, sehingga kinerja karyawan cenderung meningkat.

363
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

e. Pengujian hipotesis iklim organisasi berpengaruh pada kinerja karyawan


Hasil pengujian diperoleh thitung = 2,322 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,023 dan
beta 0,206. Hasil pengujian mendukung hipotesis bahwa iklim organisasi berpengaruh positif
pada kinerja karyawan (H5), sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis 5 terbukti. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dengan iklim organisasi yang baik maka berpengaruh pada
kinerja karyawan. Iklim organisasi yang baik, misalnya, pimpinan memberi dukungan dan
pengarahan kepada karyawan, pimpinan menciptakan hubungan kerja yang menyenangkan,
sesama karyawan saling membantu, bekerja dengan humor, dan suka memberi pujian pada
teman maka hal tersebut cenderung meningkatkan kinerja karyawan.

f. Pengujian hipotesis struktur organisasi berpengaruh pada kinerja karyawan


Hasil pengujian diperoleh thitung = 2,049 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,044 dan
beta 0,195. Hasil pengujian mendukung hipotesis bahwa iklim organisasi berpengaruh positif
pada kinerja karyawan (H6), sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis 6 terbukti. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya struktur organisasi maka berpengaruh pada
kinerja karyawan. Struktur organisasi memungkinkan adanya pembagian kerja yang sesuai
dengan kompetensi karyawan, kesesuaian tingkatan jabatan dengan tanggung jawab, adanya
koordinasi antar bagian dalam pekerjaan, sehingga kinerja karyawan juga akan cenderung
meningkat.

g. Pengujian hipotesis secara bersama-sama


Hasil pengujian hipotesis secara bersama-sama atau simultan dapat dilihat pada Tabel
1. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa signifikansi 0,000 < 0,05 artinya bahwa secara
bersama-sama sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 yang terdiri dari beberapa konstruk
yaitu pendidikan dan pelatihan, pengalaman kerja, sumber daya organisasi, iklim organisasi,
dan struktur organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja karyawan. Hal ini
berarti bahwa setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh perusahaan sudah sesuai dengan sistem
manajemen mutu ISO 9001:2008 dan memberikan pengaruh pada kinerja karyawan.
Tabel 1
Hasil Analisis Regresi Secara Simultan

b
ANOVA
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
a
1 Regression 166.474 6 27.746 13.716 .000
Residual 155.764 77 2.023
Total 322.238 83

364
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

a. Predictors: (Constant), Struktur Organisasi, Iklim Organisasi, Pengalaman Kerja, Sumber Daya
Organisasi, Pendidikan dan Pelatihan, Keahlian

b. Dependent Variable: Kinerja Karyawan

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Dharma (2007) bahwa
secara parsial dan simultan variabel-variabel sistem manajemen mutu ISO 9001: 2000
berpengaruh secara positif dan signifikan pada kinerja karyawan. Selain itu juga mendukung
penelitian Semuel dan Zulkarnain (2011), Iriani dan Hadiputra (2010), Psomas, E. L, et al.
(2012).

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penerapan sistem manajemen mutu ISO
9001:2008 pada kinerja karyawan industri perbankan di Yogyakarta. Adapun hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pendidikan dan pelatihan terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan serta adanya berbagai pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan oleh perusahaan maka kinerja karyawan cenderung meningkat.
b. Keahlian terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
adanya keahlian maka kinerja karyawan cenderung meningkat karena karyawan bekerja
sesuai dengan kompetensinya.
c. Pengalaman kerja tidak terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut dikarenakan
bahwa pengalaman kerja belum tentu sesuai dengan bidang pekerjaan atau tidak linier
dengan bidang pekerjaannya, sehingga tidak mendukung kinerja. Selain itu lamanya
waktu pengalaman kerja belum mendukung peningkatan kinerja.
d. Sumber daya organisasi terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dengan adanya struktur organisasi maka berpengaruh pada kinerja
karyawan. Struktur organisasi memungkinkan adanya pembagian kerja yang sesuai
dengan kompetensi karyawan, kesesuaian tingkatan jabatan dengan tanggung jawab,
adanya koordinasi antar bagian dalam pekerjaan, sehingga kinerja karyawan juga akan
cenderung meningkat.
e. Iklim organisasi terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dengan iklim organisasi yang baik, suasana yang kondusif maka
cenderung meningkatkan kinerja karyawan.
f. Struktur organisasi terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dengan adanya struktur organisasi memungkinkan adanya

365
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pembagian kerja yang sesuai dengan kompetensi karyawan, kesesuaian tingkatan jabatan
dengan tanggung jawab, adanya koordinasi antar bagian dalam pekerjaan, sehingga
kinerja karyawan juga akan cenderung meningkat.
g. Hasil pengujian hipotesis secara bersama-sama atau simultan terbukti bahwa variabel
sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 yang terdiri dari beberapa konstruk yaitu
pendidikan dan pelatihan, pengalaman kerja, sumber daya organisasi, iklim organisasi,
dan struktur organisasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja karyawan.
h. Secara parsial variabel-variabel sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan kecuali variabel pengalaman kerja yang
tidak terbukti berpengaruh positif pada kinerja karyawan.

2. Saran
a. Berdasarkan hasil penelitian ini dan juga mendukung penelitian yang terdahulu tentang
pentingnya pengaruh peranan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2008 pada kinerja
karyawan, maka diharapkan perusahaan-perusahaan bisa memperoleh sertifikasi ISO dan
mengimplementasikan sistem manajemen mutu ISO.
b. Adanya keterbatasan dalam penelitian ini terkait dengan jumlah responden dan hanya
dalam satu kota serta hanya satu jenis industri yaitu perbankan, maka diharapkan untuk
penelitian selanjutnya bisa memperluas area geografis atau dengan berbagai macam
industri dan juga jumlah responden yang lebih banyak lagi, sehingga lebih bisa
digeneralisasi.
c. Penelitian selanjutnya dapat mengembangkan kuesioner yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA
Antariksa, W. F. (2014), “Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Mutu Iso 9001:2008 di
Perguruan Tinggi terhadap Kinerja Balance Scorecard: Studi Kasus Pada Universitas
Brawijawa,” Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 12, No. 3, pp. 399-406.

Aristarini, L.; Kirya, I.K.; Yulianthini, N. N. (2014) “Pengaruh Pengalaman Kerja, Kompetensi
Sosial Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada Bagian Pemasaran PT Adira
Finance Singaraja,” e-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Manajemen,
Vol. 2

Cooper, D. R. and Schindler, P. S. (2010), Business Research Methods, 11th ed. New York:
Mc Graw Hill Book Co.

Dale, B. G. (2003), “The Development, Introduction and Sustaining of Total Quality


Management (TQM), http://www.blackwellpublishing.com, [18 April 2015]

366
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dharma, C. (2007), “Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Mutu Iso 9001:2000
Terhadap Peningkatan Kinerja Pada Pt Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara,”
Tesis, Universitas Sumatera Utara,
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45143/2/Reference.pdf [18 April 2015]

Gaspersz, V. (1997). Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Gaspersz, V. (2002) Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi Dengan ISO
9001:2000, NBNQA, dan HACCP, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gaspersz, V. (2005). Manajemen Kualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Hair, J. F.; Anderson, R. E., Tatham, R. L. and Black, W. C. (2006), Multivariate Data
Analysis, 5th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Iriani, Y. dan Hadiputra, D. (2010), “Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Mutu
ISO 9001:2008 Terhadap Kinerja Karyawan PT Industri Telekomunikasi Indonesia,”
Simposium Nasional RAPI IX, pp. 98-103.

Kotler, Philip. (1994) Marketing Management. 8th ed. New Jersey: Englewood Cliffs Prentice
Hall

Lestari, I. (2012), “Pengaruh Sistem Penjaminan Mutu Internal dan Sistem Manajemen Mutu
ISO 9001:2008 Terhadap Kinerja Universitas Katholik Indonesia Atmajaya Jakarta,”
Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia,
http://www.lib.ui.ac.id/file?file=digital/20306138T30739Pengaruh%20sistem.pdf [15
April 2015]

Manders, B. (2015), Implementation and Impact of ISO 9001 (No. EPS-2014-337-LIS).


ERIM Ph.D. Series Research in Management. Erasmus Research Institute of
Management (ERIM). Retrieved from http://repub.eur.nl/pub/77412/ [15 April 2015]

Mei Feng, T., Terziovski, M. & Samson, D. (2006). Relationship of ISO 9001:2000 Quality
System Cerfication with Operational and Business Performance. Journal of
Manufacturing Tech-nology Management, Vol. 19, No. 1, pp. 22-37.

Neuman, W. L. (2006), Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, 6th
ed. Boston: Pearson International Edition.

Psomas, E. L.; Pantouvakis, A; Kafetzopoulos, D. P. (2013), ”The Impact of ISO 9001


Effectiveness on The Performance of Service Companies,” Managing Service Quality,
Vol. 2, No. 2, pp. 149-164.

PT TUV Rheinland, (2014), “Materi Training Lead Auditor IRCA,” Yogyakarta

Render, B., & Heizer, J. (2001), Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Diindonesiakan oleh
Arianto, Jakarta: Salemba Empat

Semuel, H. dan Zulkarnain, J. (2011), “Pengaruh Sistem Manajemen Mutu ISO Terhadap
Kinerja Karyawan Melalui Budaya Kualitas Perusahaan: Studi Kasus PT Otsuka
Indonesia Malang,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 13, No. 2, pp. 162-
176.

367
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Silaban, B. E. dan Yusup, S. (2011), “Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
Pada Industri Kontraktor: Studi Kasus PT. MAK,” Esensi, Vol. 14 No.3, pp. 16-38.

Srivastav, A. K. (2010), “The Impact of ISO 9000 Implementation on The Organization,”


International Journal of Quality & Reliability Management, Vol. 27, No. 4, pp. 438-
450.

Wibowo. (2009), Manajemen Kinerja, Edisi-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Yesti, S. P. (2012), “Pengaruh Implementasi ISO 9001:2008 Terhadap Produktivitas Kerja


Karyawan PT Intan Pariwara Klaten,” Bogor: Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/56219. [15 April 2015]

http://www.pikiran-rakyat.com/beritabca/terapkan-iso-9001-2008-sistem-manajemen-mutu-
bca-terus-tingkatkan-kualitas-layanan-teknologi-informa

368
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

IMPLIKASI KOMPONEN PERUBAHAN PAJAK DALAM LABA TERHADAP


PERSISTENSI DAN PERAMALAN
Studi Terhadap Perusahaan yang Terdaftar di BEIPeriode 2010-2013

Dewi Kartika Sari1 Birawani Dwi Anggraeni2 Sandra Aulia3

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi dari komponen perubahan pajak dalam laba
terhadap persistensi dan peramalan laba masa yang akan datang, serta membandingkan pengaruh dari
komponen perubahan pajak dalam laba awal dengan komponen perubahan pajak dalam laba revisi, hal ini
untuk mengetahui mana yang lebih persisten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan sampel seluruh
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2010-2013, komponen perubahan pajak dalam
laba terbukti secara empiris memiliki pengaruh yang persisten terhadap laba masa yang akan datang.
Dandibandingkan dengan komponen perubahan pajak dalam laba awal,nilai komponen perubahan pajak dalam
laba revisi lebih baik dan persisen dalam memprediksi laba.

Kata kunci:
Persistensi laba, tarif pajak efektif, laporan keuangan interim.

ABSTRACT

This research aims to determine the implications of the tax change component in the income tax to
the persistence and forecasting of future earnings, andalso comparing the effect of tax changes component in
initial earning with the tax change component in revised earnings, in order to know which are more persistent.
Using all companies listed in Indonesia Stock Exchange during the year 2010-2013 as the samples, this research
showed that the tax change component in income tax empirically proven to have a persistent effect on future
earnings. And compared with tax change component in initial earnings, value of tax change component in
revised earnings are better and persistent in forecast earnings.

Key words:

Earning persistence, effective tax rates, interim financial reporting.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Suatu laba dikatakan berkualitas baik jika dapat dijadikan indikator perkiraan laba
masa yang akan datang (Penman and Zhang, 2002). Sehingga laba yang nilainya
berkelanjutan (sustainable earnings) sering dianggap sebagai laba yang berkualitas tinggi.
Karena persistensi laba merupakan salah satu komponen nilai prediksi laba dalam
menentukan kualitas laba (Sloan, 1996 dalam Wijayanti, 2006), maka dirasa penting untuk
mengetahui komponen apa saja yang menentukan persistensi dari laba.
Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa persistensi laba ditentukan oleh
komponen akrual dan aliran kas dari laba sekarang, yang mewakili sifat transitory dan

369
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

permanen laba (Sloan, 1996). Hanlon dkk. (2005) dan Wijayanti (2006) menemukan bahwa
persistensi labajuga dipengaruhi oleh book-tax difference. Sedangkan Schmidt (2006)
menemukan bahwa tarif pajak efektif (selanjutnya disebut komponen perubahan pajak dalam
laba) juga memiliki implikasi terhadap persistensi laba.
Schmidt (2006) menyatakan beberapa alasan mengapa komponen perubahan pajak
dalam laba memiliki implikasi terhadap persistensi laba, antara lain karena: (1) sedikit
perubahan di pajak tarif efektif akan menimbulkan perubahan yang besar pada besaran
pendapatan kena pajak, (2) bagi manajer yang bertanggung jawab atas suatu profit centers,
maka penentuan tarif pajak efektif merupakan hal yang krusial, (3) beberapa penelitian
sebelumnya telah mengidentifikasi bahwa tarif pajak efektif dapat digunakan sebagai alat
manajemen laba. Dhaliwal, Gleason, and Mills (2004) menemukan bahwa perusahaan akan
menurunkan nilai tarif pajak efektif saat manajemen gagal mencapai prediksi analis. Myers,
Linda Myers, and Skinner (2006) menemukan indikasi bahwa manajer menggunakan tarif
pajak efektif sebagai alat untuk meratakan nilai laba per saham yang dilaporkan.
Sejauh peneliti ketahui, sampai saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang
menguji tentang implikasi komponen perubahan pajak dalam laba terhadap persistensi dan
peramalan nilai laba. Oleh karenanya dengan menggunakan penelitian Schmidt (2006)
sebagai acuan, penelitian ini mencoba untuk menguji implikasi komponen perubahan pajak
dalam laba terhadap persistensi dan peramalan nilai laba.
1.2 Masalah Penelitian
Dengan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris di Indonesia mengenai:
 Apakah komponen perubahan pajak dalam laba, nilainya persisten untuk prediksi laba
yang akan datang?
 Apakah dalam memprediksi laba yang akan datang, komponen perubahan pajak dalam
laba interim lebih persisten daripada komponen perubahan pajak dalam laba revisi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris di Indonesia mengenai:
 Hubungan antara komponen perubahan pajak dalam laba dengan laba masa yang akan
datang.
 Komponen perubahan pajak dalam laba interim lebih baik daripada komponen
perubahan pajak dalam laba revisi, dalam memprediksi laba yang akan datang.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi ilmu pengetahuan

370
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan literatur perpajakan di Indonesia,


khususnya mengenai implikasi dari komponen perubahan pajak yang diproksikan oleh tarif
pajak efektif (Effective Tax Rates - ETR)terhadap persistensi dan peramalan laba, dengan cara
menguji secara langsung bagaimana pajak berkontribusi terhadap prediksi laba. Hal ini
konsisten dengan perspekstif yang diutarakan Penman (1992) dalam Schmidt (2006), yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan dari penelitian akuntansi adalah menemukan informasi
dalam laporan keuangan yang dapat digunakan sebagai alat memprediksi laba masa yang akan
datang.
Bagi investor dan analis keuangan
Memahami implikasi dari perubahan komponen pajak dalam laba terhadap persistensi dan
peramalan laba masa yang akan datang akan membantu pelaku pasar dalam menganalisis
profitability dan peramalan laba.

Bagi perusahaan
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa memberikan masukan kepada perusahaan
dalam membuat perencanaan, khususnya di bidang perpajakan.
2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1. Effective Tax Rates (ETRs)


Pengungkapan
Standar akuntansi keuangan yang ada saat ini telah memberikan panduan tentang
bagaimana cara menyajikan pengungkapan tarif pajak efektif. Pedoman Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan, mewajibkan perusahaan
untuk mengungkapkan rekonsiliasi antara beban (penghasilan) pajak dengan hasil perkalian
laba akuntansi dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar perhitungan tarif
pajak yang berlaku; atau rekonsiliasi antara tarif pajak efektif rata-rata (average effective tax
rates) dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar perhitungan tarif pajak
yang berlaku (IAI, 2009)
Rekonsiliasi tarif pajak efektif (Koreksi Fiskal)
Menurut Gunadi (2001) karena adanya perbedaan antara laba (rugi) menurut
perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal (perhitungan sesuai peraturan
pajak), maka diperlukan suatu koreksi fiskal (selanjutnya disebut rekonsiliasi tarif pajak
efektif) agar dapat diketahui berapa Pajak Penghasilan yang terhutang.

371
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pebedaan laba akuntansi komersial dan laba akuntansi fiskal (atau sering disebut book-
tax differences) disebabkan karena dua hal, yaitu perbedaan permanen dan perbedaan
temporer.
Perbedaan permanen terjadi karena adanya komponen yang diakui oleh pembukuan
akuntansi, namun tidak diakui secara pajak. Contoh dari perbedaan permanen (tetap) adalah
sebagai berikut:
- Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan
PPh bukan penghasilan. Contohnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada
badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Menurut akuntansi
komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh telah dikenakan
PPh final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga tidak
digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh yang tehutang.
- Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut
ketentuan PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 UU Nomor 17 Tahun 2000), misalnya:
penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura atau kenikmatan, sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan,
serta biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya, daftar nominatif biaya entertainment, daftar
nominatif atas penghapusan piutang).
Sedangkan yang dimaksud dengan perbedaan temporer adalah perbedaan yang timbul
karena adanya perbedaan waktu pengakuan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan metode
yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal. Contoh hal-hal yang
dapat menyebabkan perbedaan temporer antara lain:
- Metode penyusutan
- Metode penilaian persediaan
- Penyisihan piutang tak tertagih
- Rugi-laba selisih kurs
Sehingga, perbedaan temporer yang terjadi dapat berupa:
- Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences), dan
- Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences).
Selain yang telah disebut di atas, ada beberapa hal yang secara teknis merupakan
perbedaan temporer, namun diperlakukan seperti perbedaan permanen karena kewajiban
(aset) pajak tangguhan tidak mengakuinya. Contoh, pengakuan atas goodwill saat ada

372
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

penggabungan usaha (lihat PSAK No. 46, paragraf 18). Tentunya hal ini juga akan
mempengaruhi besaran tarif pajak efektif.
Rekonsiliasi tarif pajak efektif juga melakukan penyesuaian untuk hal-hal yang terkait
dengan keberlanjutan operasional perusahaan, termasuk didalamnya:
- Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, dan
- Penilaian kembali aset pajak tangguhan
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa komponen perubahan pajak dalam laba mencerminkan
efek rata-rata dari komponen rekonsiliasi tarif pajak efektif. Terkait dengan persistensi laba
dan peramalan laba masa yang akan datang, maka rekonsiliasi tarif pajak efektif dapat
digunakan untuk menganalisis laporan keuangan.
2.2. Kewajiban Pelaporan Keuangan Berkala
Salah satu karakteristik kualitatif informasi keuangan adalah tepat waktu. Informasi
harus disampaikan sedini mungkin untuk dapat digunakan sebagai salah satu dasar
pengambilan keputusan ekonomi dan untuk menghindari keterlambatan pengambilan
keputusan tersebut (IAI, 2009). Terlebih dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang
menjual surat berharga di pasar modal, laporan keuangan interim menjadi semakin
diperlukan. Pemakai laporan keuangan membutuhkan laporan keuangan perusahaan secepat
mungkin untuk memberikan gambaran tentang kegiatan perusahaan.
PSAK No. 3, tentang Laporan Keuangan Interim, menyatakan bahwa laporan
keuangan interim adalah laporan keuangan yang diterbitkan di antara dua laporan keuangan
tahunan. Laporan keuangan interim ini harus dipandang sebagai bagian yang integral dari
periode tahunan (IAI, 2009).
Dalam PSAK No. 3 tersebut dikatakan bahwa dalam hal pelaporan biaya dan beban,
maka perusahaan dapat menghitungnya atas dasar yang sama dengan dasar yang digunakan
dalam penyusunan laporan keungan tahunan, kecuali untuk persediaan maka perusahaan
membebankan biaya persediaan tersebut dengan menggunakan estimasi laba kotor. Hal ini
menyiratkan bahwa dalam perhitungan biaya dan beban tahunan, perusahaan banyak
melakukan estimasi, dimana nantinya estimasi biaya ini akan dialokasikan ke tahun berjalan.
Berdasarkan penelitian Rangan dan Sloan (1998) dalam Schmidt (2006), biasanya perusahaan
akan melakukan revisi atas estimasi yang dilakukan dan kemudian mencatat adanya kesalahan
estimasi dari periode awal.
Estimasi pajak penghasilan adalah salah satu data yang harus dilaporkan dalam
laporan keuangan interim. Komposisi beban pajak penghasilan yang dilaporkan dalam laporan
keuangan terdiri dari pajak kini dan pajak tangguhan.

373
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penelitian ini menggunakan laporan keuangan interim untuk mendekomposisikan


perubahan komponen laba menjadi tarif pajak efektif awal (triwulan 1), dan tarif pajak efektif
revisi (triwulan 2, 3 dan 4). Pendekomposisian ini memungkinkan peneliti untuk
mengembangkan dan menguji hipotesis mengenai perbedaan implikasi perubahan komponen
pajak dalam laba terhadap persistensi dan peramalan nilai laba.
2.3. Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba terhadap persistensi dan
peramalan.
Variasi dari komponen perubahan laba telah banyak dipelajari dalam penelitian
sebelumnya. Penelitian yang lalu mempelajari hal ini guna mencari sinyal yang dapat
digunakan analis keuangan untuk memprediksi performa masa depan (Lev and Thiagarajan,
1993; Abarbanell and Bushee, 1997, 1998). Penelitian terdahulu menggunakan hipotesis dasar
yang menyatakan analis keuangan memandang laba yang dihasilkan dari perubahan laba
sebagai suatu nilai yang tidak stabil (transitory). Abarbanell and Bushee (1997) menemukan
bahwa perubahan laba terkait dengan tarif pajak efektif, dibandingkan dengan rata-rata
perubahan laba dari tahun 1983-1990, nilainya kurang persisten untuk perubahan laba yang
akan datang dan pertumbuhan laba jangka panjang. Namun Abarbanell and Bushee (1997)
tidak secara langsung menguji (atau melaporkan) perubahan laba terkait dengan tarif pajak
efektif mana yang berhubungan dengan perubahan laba masa yang akan datang. Selain hal ini,
Abarbanell dan Bushee (1997) juga menyatakan bahwa varibel tarif pajak efektif tidak hanya
mencakup efek transitory, namun mungkin juga mencakup faktor risiko dan perubahan
struktural.
Pandangan yang menyatakan bahwa laba yang dihasilkan dari perubahan laba
mengandung beberapa elemen transitory terlihat masuk akal, karena tarif pajak efektif dapat
digunakan sebagai alat manajemen laba (contoh, menghindari pelaporan adanya kerugian,
atau menghindari adanya pelaporan penurunan laba). Beberapa penelitian terkait dengan
penggunaan tarif pajak efektif dalam manajemen laba telah dilakukan oleh Dhaliwal dkk.
(2004), dan Myers dkk. (2006).
Persistensi komponen perubahan pajak juga dipengaruhi oleh adanya tax shelters.
Penelitian di Amerika yang dilakukan oleh Graham and Tucker (2005) menemukan bahwa tax
shelters rata-rata digunakan oleh perusahaan untuk periode aktif selama lima tahun. Walau
kebanyakan aktivitas tax-sheltering tidak sepersisten perencanaan strategis pajak jangka
panjang, namun Graham and Tucker (2005) menemukan adanya hubungan positif antara
persistensi komponen perubahan pajak dengan tax sheltering.
Karena komponen perubahan pajak dalam laba diharapkan mempunyai efek
persistensi atau transitori, maka kemampuan komponen perubahan pajak dalam laba dalam

374
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

memprediksi persistensi atau peramalan nilai laba masa yang akan datang tergantung oleh
proporsi dari efek persistensi dan transitori. Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas
terlihat bahwa komponen perubahan pajak dalam laba merefleksikan kombinasi dari adanya
perencanaan pajak jangka panjang (diharapkan efeknya relatif persisten), aktivitas tax-
sheltering, dan aktivitas manajemen laba (keduanya diharapkan memberi efek transitory).
Dari penjelasan di atas, maka kami menggunakan format hipotesis alternatif sebagai
berikut:
H1 : Nilai komponen perubahan pajak dalam laba persisten untuk prediksi laba yang akan
datang.
2.4. Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba interim terhadap persistensi dan
peramalan.
Dari Schmidt (2006), hasil penelitian terdahulu di Amerika yang melihat konsistensi
besaran laba interim, menunjukkan bahwa sepanjang tahun berjalan besaran laba interim
kurang persisten (lebih transitory). Oleh karenanya, walau tanpa mempertimbangkan spesifik
aspek pajak, orang akan mengharapkan komponen perubahan pajak di awal tahun akan lebih
persisten daripada komponen perubahan pajak revisi.
Schmidt (2006) telah melakukan interviu dengan para ahli pajak, dan memperoleh
keterangan bahwa nilai yang memiliki efek paling material dan persisten terhadap estimasi
tahunan tarif pajak efektif adalah nilai tarif pajak efektif triwulan 1 (T1). Sebagai contoh,
kemungkinan di awal tahun manajer membuat asumsi terkait dengan sumber pendapatan yang
akan didapat dalam tahun berjalan (contoh, pendapat dari dalam atau luar negeri, pendapatan
yang dapat mengurangi atau tidak dapat mengurangi pajak), serta menggunakan estimasi
untuk mendapatkan tarif pajak efektif awal. Setelah periode berjalan, informasi aktual mulai
didapat (T2, T3, T4), manajer akan melakukan revisi terhadap estimasi tarif pajak efektif
tahunan (tentunya setelah memasukkan pertimbangan laba yang akan dicapai).
Penelitian terdahulu mengusulkan bahwa revisi atas estimasi tarif pajak efektif
tahunan menunjukkan adanya tindakan akuntansi agresif, hal ini sesuai dengan temuan
Dhaliwal dkk., (2004) dan Myers, dkk. (2006). Bagaimanapun juga masih perlu
dipertanyakan apakah komponen perubahan pajak dalam laba awal (T1) memiliki efek yang
berbeda dibandingkan dengan komponen perubahan pajak dalam laba revisi (T2, T3, T4). Jika
aktivitas perencanaan pajak dan manajemen laba lebih persisten (transitory), dan jika
komponen perubahan pajak awal lebih merefleksikan aktivitas perencanaan pajak daripada
aktivitas manajemen laba, maka komponen perubahan pajak awal akan lebih persisten (atau
tidak begitu transitory). Sebaliknya, jika komponen perubahan pajak revisi lebih

375
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

merefleksikan aktivitas manajemen laba, maka perubahan komponen pajak revisi akan lebih
tidak persisten.
Dari penjelasan di atas, maka kami menggunakan format hipotesis alternatif sebagai
berikut:
H2 : Dibandingkan komponen perubahan pajak revisi (T2, T3, T4), komponen perubahan
pajak awal (T1) dalam laba lebih persisten untuk memprediksi laba masa yang akan
datang.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Model Penelitian
Model penelitian dalam penelitian ini menggunakan model penelitian yang
dikembangkan oleh Schmidt (2006). Dalam penelitiannya, Schmidt (2006)
mendekomposisikan formula perubahan laba yang diusulkan oleh Lev and Thiagarajan
(1993), , menjadi dua komponen, yaitu:
1. Perubahan laba sebelum pajak ( ), menggunakan tarif pajak efektif tahun lalu
( ): , dan
2. Efek dari perubahan tarif pajak efektif tahunan pada laba sebelum pajak saat
ini: : (1)

Dalam persamaan (1), , merepresentasikan laba yang dihasilkan oleh


perubahan tarif pajak efektif (ETR) tahunan, persamaan ini merupakan alat ukur komponen
perubahan pajak dalam laba. ETR adalah tarif pajak efektif perusahaan, diukur dengan
membagi nilai total beban pajak dengan PTE. Mengikuti Gupta and Newberry (1997), ETR
bernilai 1 jika besarannya lebih dari 100%, dan 0 jika nilainya negatif.
Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba terhadap persistensi dan peramalan.
Penelitian ini menguji persistensi komponen perubahan pajak dalam laba untuk meramalkan
laba masa yang akan datang. Oleh karenanya spesifikasi yang akan digunakan dalam menguji
H1 adalah sebagai berikut:

(2)

Notasi E merepresentasikan laba sebelum komponen luar biasa, ATE merepresentasikan rata-
rata laba dengan mengeluarkan komponen perubahan laba [ ], dan
TCC merepresentasikan komponen perubahan pajak dalam laba
[ . Seluruh variabel komponen laba akan dibagi dengan nilai

376
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

rata-rata total aset, guna mengontrol perbedaan ukuran perusahaan, sehingga dapat
dibandingkan.
Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba periode interim terhadap persistensi
dan peramalan.
Kewajiban perusahaan untuk membuat laporan keuangan secara berkala (interim) yang diatur
dalam Keputusan direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-285/BEJ/04-2007 tentang
perubahan/penambahan peraturan nomor III-B: tentang pelaporan anggota bursa efek,
memungkinkan penelitian ini mendekomposisikan komponen perubahan pajak dalam laba
menjadi perubahan awal dan perubahan revisi. Hipotesis 2 memprediksikan persamaan (2)
salah spesifikasi, karena persamaan ini secara implisit membatasi adanya kemungkinan
koefisien komponen perubahan pajak dalam laba awal dan revisi nilainya sama. Oleh
karenanya spesifikasi yang akan digunakan dalam H2 adalah sebagai berikut:

(3)
Dimana INTCC merepresentasikan komponen perubahan pajak dalam laba awal
[ ], dan REVTCC merepresentasikan revisi perubahan komponen pajak
dalam laba [ . ETRT1tadalah estimasi ETR tahunan triwulan 1. Hipotesis 2
memprediksi nilai > . Semakin besar nilai prediksi koefisien perubahan komponen pajak
dalam laba awal, dibandingkan dengan komponen pajak dalam laba revisi, merefleksikan
persistensi ekpektasi perubahan komponen pajak dalam laba awal yang lebih besar. Untuk
menghindari adanya kemungkinan perbedaan persistensi dikarenakan adanya perbedaan
pertumbuhan aset, maka dalam penelitian ini dependen variabel dalam persamaan (2) dan (3)
akan diskalakan dengan nilai rata-rata total aset.
Bila hasil dari persamaan (2) dan (3) menunjukkan adanya hubungan positif yang
signifikan, maka hal ini mengindikasikan komponen yang dipakai memberikan tambahan
informasi, atau memiliki kemampuan dalam memprediksi nilai laba masa yang akan datang.
Untuk tiap komponen laba, jika koefisien slope bernilai 0 maka hal ini mengindikasikan
komponen laba murni bersifat transitory, sementara koefisien 1 mengindikasikan bahwa
komponen laba bersifat random walk. Koefisien lebih dari 1 mengindikasikan adanya
pertumbuhan dalam komponen laba.
3.2. Sampel dan Data
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini mencakup seluruh perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode tahun 2010-2013. Alasan dipilihnya periode
ini, agar perhitungan tarif pajak yang digunakan menggunakan dasar tarif marjinal yang sama.
3.3. Pengolahan Data dan Pengujian Hipotesis

377
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Data akan diolah dengan bantuan program statistik STATA dan model akan diestimasi
dengan menggunakan regresi OLS. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis akan dilakukan uji
asumsi klasik untuk melihat apakah tidak terjadi multikolinieritas, tidak terjadi
heteroskedastisitas, danotokorelasi.

4. ANALISIS HASIL PENELITIAN


4.1. Gambaran Umum Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini menggunakan seluruh perusahaan yang terdaftar dalam
Bursa Efek Indonesia. Detil nama perusahaan didapat dari Fact Book yang diterbitkan oleh
Bursa Efek Indonesia. Sedangkan detil data keuangan perusahaan diakses dari Indonesian
Capital Market Electronic Library. Jika data keuangan tidak ada dalam basis data yang
dimiliki oleh Indonesian Capital Market Electronic Library, maka data diunduh langsung
dariwebsite perusahaan yang bersangkutan.
Periode yang dipilih untuk diobservasi dalam penelitian ini adalah tahun 2010-2013.
Alasan dipilihnya periode ini karena Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 yang menyatakan
bahwa untuk seluruh Wajib Pajak Badan (perusahaan) menggunakan dasar tarif pajak yang
sama, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Penelitian ini juga memerlukan data ETR
tahun ini (tahun t) dibandingkan dengan ETR tahun lalu (tahun t-1), dan juga data beban pajak
kuartal 1 tahun t+1.
Tabel 4.1.
Tabel Pemilihan Sampel Penelitian
Keterangan Jumlah Perusahaan
Sampel Awal
(perusahaan terdaftar di BEI sampai dengan September 2015) 517
Dikurangi kriteria sampel:
a. Institusi keuangan 88
b. Tidak selalu terdaftar dalam periode observasi dan/atau 169
Data tidak lengkap
c. Nilai laba sebelum pajak negatif 128
d. Mata uang selain Rupiah 14
Sampel Final 118
Sumber: data diolah
Berdasarkan data Indonesian Capital Market Electronic Library, total perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia sampai dengan September 2015 ada 517 perusahaan.
Namun karena adanya peraturan yang berbeda bagi institusi keuangan (bank, perusahaan

378
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

asuransi, sekuritas, investasi dan mutual fund) maka penelitian ini mengeluarkan institusi
keuangan dari sampel penelitian (88 perusahaan). Agar dapat diobservasi maka perusahaan
harus selalu terdaftar dalam periode observasi serta data keuangannya dapat diakses. Sehingga
bagi perusahaan yang tidak terdaftar selama periode observasi dan/atau datanya tidak dapat
diakses melalui basis data yang dimiliki oleh Indonesia Capital Market Electronic Labriry
maupun dalam website perusahaan yang bersangkutan maka perusahaan tersebut akan
dikeluarkan dari sampel penelitian (169 perusahaan). Dikarenakan sulit untuk
menginterpretasi nilai ETR saat perusahaan memiliki nilai laba sebelum pajak yang negatif,
maka penelitian ini mengeluarkan perusahaan yang memiliki nilai laba sebelum pajak yang
negatif (128 perusahaan), untuk dapat diperbandingkan dengan perusahaan yang lain maka
perusahaan yang menggunakan mata uang selain Rupiah juga dikeluarkan dari sampel (14
perusahaan). Berdasarkan seleksi sampel yang dilakukan, maka sampel penelitian ini
menggunakan 118 perusahaan.Untuk menghilangkan nilai outlier, maka penelitian ini
mengurangi satu observasi, sehingga total sampel final yang digunakan adalah 471
perusahaan tahun. Rangkuman pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
4.2. Analisis Statistik Deskriptif

Tabel 4.2
Statistik Deskriptif untuk Variabel Selama Periode Observasi
Variabel Mean Std. Dev. Min. Max.
E 0,100 0,093 -0,017 0,523
ATE 0,097 0,080 0 0,356
TCC 0,002 0,007 -0,032 0,034
INTCC 0,023 0,010 -0,040 0,044
REVTCC -0,001 0,010 -0,046 0,045
N = 118 perusahaan, 471 observasi
E = laba sebelum komponen luar biasa; ATE = rata-rata laba dengan
mengeluarkan komponen perubahan laba; TCC = perubahan komponen pajak
dalam laba; INTCC = perubahan komponen pajak dalam laba; REVTCC =
perubahan komponen pajak dalam laba revisi (laba kuartal 1)
Sumber: Data diolah

Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran sederhana mengenai data
dan hasil dari penelitian yang dilakukan (Agung, 2001). Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
sebaran nilai variabel E (laba sebelum komponen luar biasa) perusahaan yang diobservasi,
sangat beragam. Mulai dari perusahaan yang merugi (nilai laba setelah dibagi dengan nilai
rata-rata aset sebesar -0,017) sampai dengan perusahaan yang nilai labanya sangat tinggi
(yaitu bernilai 0,523 - nilai laba sebelum komponen luar biasa perusahaan yang diobservasi
52,3% dari nilai rata-rata asetnya). Begitu juga dengan sebaran ATE (rata-rata laba

379
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

perusahaan setelah dikeluarkan komponen perubahan laba) berkisar antara 0 sampai dengan
0,356. Nilai minimum ATE adalah 0, hal ini menyesuaikan metode yang dipakai oleh Gupta
dan Newberry (1997), dimana ETR akan bernilai 1 jika besarnya lebih dari 100% dan 0 jika
nilainya negatif.
Sedangkan nilai TCC paling kecil bernilai -0,032 dikarenakan ada perusahaan yang
nilai ETR tahun t lebih besar daripada nilai ETR t-1. Hal ini menunjukkan di suatu periode
ada perusahaan yang besaran beban pajaknya meningkat. Dan kondisi yang sebaliknya terjadi
pada perusahaan dengan nilai TCC paling tinggi yaitu 0, 034, yang mengindikasikan
persentase beban pajak terhadap nilai laba (ETR) di tahun tperusahaan tersebut lebih rendah
daripada ETR di tahun t-1. Hal yang serupa juga berlaku pada nilai INTCC dan REVTCC,
dimana nilai INTCC minimum -0,040 (maksimum 0,044), dan nilai REVTCC minimum -
0,046 (maksimum 0,045).
4.3. Uji Asumsi Klasik
4.3.1. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan guna memastikan tidak ada hubungan linear
antarvariabel independen (Winarno, 2006). Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas
dapat dilihat dari nilai variance inflation factor (VIF) dari variabel yang diuji. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa nilai VIF yang tinggi (mendekati nilai 10) mengindikasikan
adanya multikolinieritas (Asteriou dan Hall,2007). Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 menunjukkan
bahwa nilai VIF tiap variabel independen yang diuji dalam penelitian ini bernilai kurang dari
10, maka disimpulkan tidak terjadi masalah multikolinieritas.
4.3.2. Uji Heteroskedastisitas
Estimator pengujian yang baik adalah yang memiliki nilai residual varian yang konstan
(homoskedastisitas). Oleh karenanya dilakukanlah Modified Wald testguna memastikan tidak
terjadi masalah heteroskedastisitas dalam estimasi pengujian penelitian ini. Hasil tes dalam
penelitian ini menunjukkan adanya heteroskedastisitas dalam data. Namun hal ini telah diatasi
dengan menggunakan heteroskedasticity robust variance-covariance estimator. Setelah
diatasi maka nilai intercept dan slope hasil pengolahan data tidak bias dan standard error
estimasi menjadi valid.
4.3.3. Uji Otokorelasi
Uji otokorelasi (autocorrelation) dilakukan guna memastikan tidak ada hubungan
antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Sifat otokorelasi ini lebih
mudah muncul pada data yang bersifat runtut waktu, karena data masa sekarang dipengaruhi
oleh data pada masa sebelumnya (Winarno, 2006). Berdasarkan test yang telah dilakukan
(Wooldriged test), data dalam penelitian ini memiliki masalah otokorelasi. Karena memang

380
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dalam perhitungan variabel penduga menggunakan komponen data antar waktu. Namun
masalah ini dapat diatasi dengan menerapkan metode OLS (Ordinary Least Squares) yaitu
menjalankan analisis regresi, sehingga residual dalam persamaan yang diuji dalam penelitian
ini telah terbebas dari masalah otokorelasi.
4.4. Uji Hipotesis
4.4.1. Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba terhadap persistensi dan
peramalan
Hasil regresi model empiris untuk melihat implikasi komponen perubahan pajak
dalam laba terhadap persistensi dan peramalan dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan tabel
tersebut, model regresi yang digunakan dapat ditulis sebagai berikut:

Dalam tabel 4.3. terlihat bahwa nilai F-statistic persamaan di atas memiliki Prob(F-statistic)
sebesar 0,063, hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang diuji secara bersama-
sama signifikan (α = 10%) mempengaruh variabel terikat (E). Besaran R-squared
menunjukkan nilai 0,03 artinya besaran E dipengaruhi oleh ATE dan TCC sebesar 3%.
Sisanya sebesar 97% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.
Untuk tiap variabel independen yang diuji, Tabel 4.3 menunjukkan bahwa variabel
ATE, dan TCC memiliki koefisien estimasi regresi yang signifikan. Hasil koefisien estimasi
regresi untuk variabel ATE bernilai 0,2 (prob. 0,014) sedangkan variabel TCC bernilai 0,557
(prob. 0,045), hal inimenunjukkan bahwa di Indonesia komponen perubahan pajak dalam laba
terbukti secara persisten mempengaruhi besaran nila laba masa depan perusahaan. Dengan
demikian hipotesis 1 (H1) yang menyatakan bahwa nilai komponen perubahan pajak dalam
laba persisten untuk memprediksi laba yang akan datang terbukti (diterima).

Tabel 4.3
Hasil Regresi Model Empiris
Implikasi perubahan komponen pajak dalam laba terhadap persistensi dan peramalan

Variabel Koefisien t-statistic Prob. VIF


C 0,080 8,79 0,000
0,200 2,21 0,014 1,07
0,557 1,71 0,045 1,07
R squared = 0,030
F-statistic = 2,84
Prob (F-statistic) = 0,063

381
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= laba sebelum komponen luar biasa, ATE = rata-rata laba dengan mengeluarkan
komponen perubahan laba [ ]; TCC = perubahan komponen pajak
dalam laba [
Sumber: data diolah

4.4.2. Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba periode interim terhadap
persistensi dan peramalan

Hasil regresi model empiris guna menguji implikasi komponen perubahan pajak dalam
laba periode interim terhadap persistensi dan peramalan dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Berdasarkan tabel tersebut, model regresi yang digunakan dapat ditulis sebagai berikut:

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa nilai F-statistic persamaan di atas memiliki Prob(F-
statistic) sebesar 0,054, hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas yang diuji secara
bersama-sama signifikan (α = 10%) mempengaruh variabel terikat (E). Besaran R-squared
menunjukkan nilai 0,04 artinya besaran E dipengaruhi oleh ATE, INTCC dan REVTCC
sebesar 4%. Sisanya sebesar 96% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dibahas dalam
penelitian ini.
Untuk tiap variabel independen yang diuji, Tabel 4.4 menunjukkan bahwa variabel
ATE dan REVTCC memiliki koefisien estimasi regresi yang signifikan. Hasil koefisien
estimasi regresi untuk variabel ATE bernilai 0,16 (prob. 0,067) dan variabel REVTCC bernilai
1,059 (prob. 0,09). Sedangkan hasil estimasi regresi untuk variabel INTCCmenunjukkan nilai
yang tidak signifikan, yaitu nilai 0,403 (prob. 0,16). Hal ini mengindikasikan bahwa di
Indonesia komponen perubahan pajak dalam laba periode interim tidak terbukti memberikan
persistensi peramalan laba masa yang akan datang, yang lebih baik daripada komponen
perubahan pajak dalam laba revisi. Bahkan hasil pengujian estimasi menunjukkan komponen
perubahan pajak dalam laba periode interim tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap laba masa yang akan datang. Dengan demikian hipotesis 2 (H2) yang menyatakan
dibandingkan komponen perubahan pajak revisi (T2, T3, T4), komponen perubahan pajak
awal (T1) dalam laba lebih persisten untuk memprediksi laba masa yang akan datang tidak
terbukti (ditolak).
Tabel 4.4
Hasil Regresi Model Empiris
Implikasi komponen perubahan pajak dalam laba periode interim
terhadap persistensi dan peramalan

382
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Variabel Koefisien t-statistic Prob. VIF


C 0,084 7,60 0,000
0,161 1,51 0,067 1,07
0,403 0,98 0,164 2,18
1,059 1,34 0,090 2,09
R squared = 0,041
F-statistic = 2,07
Prob (F-statistic) = 0,054
= laba sebelum komponen luar biasa, ATE = rata-rata laba dengan mengeluarkan
komponen perubahan laba [ ]; INTCC = perubahan komponen pajak
dalam laba [ ; = perubahan komponen pajak dalam
laba revisi [
Sumber: data diolah

4.5. Pembahasan Hasil Penelitian


4.5.1. Analisis Implikasi Komponen Perubahan Pajak dalam Laba Terhadap Persistensi
dan Peramalan
Nilai koefisien estimasi regresi variabel TCC yang menunjukkan nilai positif dan signifikan,
mengindikasikan bahwa penelitian ini mampu memberikan bukti adanya implikasi komponen
perubahan pajak dalam laba terhadap persistensi dan peramalan nilai laba masa yang akan
datang. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abarbanell dan
Bushee (1997) dimana kedua peneliti tersebut menemukan bahwa perubahan laba terkait
dengan tarif pajak efektif nilainya kurang persisten untuk perubahan laba yang akan datang
dan pertumbuhan laba jangka panjang. Walau penelitian ini belum bisa menunjukkan
pengaruh kepada laba jangka panjang, namun hasil penelitian telah menunjukkan bahwa
komponen perubahan pajak (tarif pajak efektif) terbukti secara persisten dapat digunakan
untuk memprediksi laba masa yang akan datang.
4.5.2. Analisis Implikasi Perubahan Komponen Pajak dalam Laba Periode Interim
Terhadap Persistensi dan Peramalan
Nilai koefisien estimasi regresi variabel INTCC menunjukkan nilai positif (0,403) dan
tidak signifikan (prob. 0,164), sedangkan variabel REVTCC menunjukkan nilai positif (1,059)
dan signifikan (prob. 0,09 – α = 10%). Hal ini mengindikasikan bahwa dibandingkan
komponen perubahan pajak dalam laba awal, komponen pajak dalam laba revisi lebih
persisten dalam memprediksi nilai laba masa yang akan datang. Nilai koefesien yang bernilai
lebih dari 1 juga mengindikasikan bahwa komponen laba bersifat random walk,
sertamengindikasikan adanya pertumbuhan dalam komponen laba.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Schmidt
(2006), dimanaSchmidt (2006) menemukan bahwa dibandingkan komponen pajak dalam laba

383
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

revisi, komponen perubahan pajak dalam laba awal lebih persisten dalam memprediksi nilai
laba masa yang akan datang.
Alasan yang mungkin menyebabkan bertolakbelakangnya hasil temuan penelitian ini
ada dua. Pertama,hal ini mungkin dikarenakan laporan keuangan interim kuartal 1 yang
dilaporkan kepada Bursa Efek Indonesia bukanlah laporan keuangan yang sudah diaudit,
sehingga keandalannya lebih rendah dibandingkan laporan keuangan akhir tahun (laporan
keuangan dengan laba yang telah direvisi) yang telah diaudit oleh auditor independen. Kedua,
kemungkinan adanya indikasi dimana manajemen menggunakan komponen perubahan laba
(tarif pajak efektif) dalam laba interim sebagai alat manajemen laba. Alasan kedua ini, sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Comprix, Mills dan Schmidt (2012), dimana
dalam penelitian tersebut Comprix, Mills dan Schmidt menemukan bahwa tarif pajak efektif
(dalam penelitian ini disebut sebagai komponen perubahan pajak) pada kuartal pertama,
kedua dan ketiga bersifat bias, karena secara sistematis lebih tinggi daripada tarif pajak efektif
akhir tahun. Hal ini menunjukkan adanya penggunaan tarif pajak efektif dalam fleksibilitas
keuangan dengan tujuan untuk manajemen laba. Namun hal ini masih harus diteliti lebih
lanjut.
5. KESIMPULAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN
5.1. Kesimpulan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komponen perubahan pajak dalam
laba dengan laba masa yang akan datang, serta ingin mengetahui apakah dalam memprediksi
laba yang akan datang, komponen perubahan pajak dalam laba interim memiliki kemampuan
serta persistensi yang lebih baik daripada komponen pajak dalam laba revisi. Pengujian
dilakukan terhadap seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode
2010-2013, yang memenuhi kriteria sampel.
Sejauh pengetahuan peneliti, di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian yang
mengkaji pengaruh komponen perubahan pajak (tarif pajak efektif – effective tax rates (ETR))
terhadap persistensi dan peramalan laba masa yang akan datang. Serta dengan mengikuti
penelitian yang dilakukan oleh Schmidt (2006), penelitian ini mencoba membandingkan
pengaruh dari komponen perubahan pajak pada laba awal (menggunakan nilai yang ada pada
laporan keuangan interim – kuartal 1) dengan komponen perubahan pajak pada laba revisi
(menggunakan nilai yang ada pada laporan keuangan akhir tahun).
Model yang diajukan dalam penelitian menunjukkan bahwa dengan nilai R-squared
sebesar 3%, komponen perubahan pajak dalam laba secara persisten memiliki kemampuan
untuk memprediksi nilai laba masa yang akan datang dengan nilai koefisien 0,557, dan prob.

384
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

0,045. Sehingga hipotesa 1 yang menyatakan bahwa nilai komponen perubahan pajak dalam
laba persisten untuk memprediksi laba yang akan datang terbukti (diterima).
Namun hipotesa 2(H2)yang yang menyatakan dibandingkan komponen perubahan
pajak revisi (T2, T3, T4), komponen perubahan pajak awal (T1) dalam laba lebih persisten
untuk memprediksi laba masa yang akan datang tidak terbukti (ditolak). Hal ini mungkin
terjadi dikarenakan laporan keuangan interim kuartal 1 yang dilaporkan perusahaan kepada
Bursa Efek Indonesia bukanlah laporan keuangan yang sudah diaudit, sedangkan laporan
keuangan akhir tahun atau yang sudah direvisi merupakan laporan keuangan yang sudah
diaudit sehingga bisa lebih diandalkan.
5.2. Implikasi Penelitian
Hasil penelitian ini secara empiris telah membuktikan adanya implikasi komponen
perubahan pajak terhadap persistensi dan peramalan laba masa yang akan datang. Di
Indonesia, komponen perubahan pajak revisi (nilai yang ada di laporan keuangan akhir tahun)
memiliki persistensi kemampuan memprediksi laba masa yang akan datang lebih baik
daripada komponen perubahan pajak awal (yang dihitung dari nilai yang ada dalam laporan
keuangan kuartal 1). Bagi investor dan analis keuangan, penelitian ini bisa menjadi dasar bagi
mereka dalam mengambil angka yang akan digunakan dalam menganalisa atau memprediksi
profitabilitas dan peramalan laba suatu perusahaan. Yaitu sebaiknya investor dan analis
keuangan menggunakan angka dari laporan keuangan akhir tahun yang telah diaudit. Karena
selain nilainya dapat diandalkan, secara empiris juga telah terbukti memiliki kemampuan dan
persistensi dalam memprediksi nilai laba masa yang akan datang.
Lebih handalnya nilai komponen perubahan pajak revisi dibandingkan komponen
perubahan pajak awal, mengindikasikan adanya kekurang handalan nilai yang dilaporkan
dalam laporan keuangan interim khususnya laporan keuangan kuartal 1. Hal ini bisa saja
mengindikasikan adanya kelalaian manajemen perusahaan dalam membuat laporan keuangan
yang bisa dihandalkan. Atau menunjukkan adanya aktivitas manajemen laba yang dilakukan
internal manajemen perusahaan.
5.3. Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan yang ditemui dalam penelitian ini antara lain adalah belum
dilakukannya kontrol atas variabel-variabel lain yang mungkin saja juga mempengaruhi
persistensi nilai laba masa yang akan datang. Sebagai contoh, variabel nilai Book Tax Gap.
Penelitian ini juga belum melihat efek dari pemisahan jenis industri perusahaan. Adanya
pemisahakan jenis industri perusahaan akan memperkaya hasil dari penelitian.
Merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Schmidt (2006), sebaiknya penelitian
juga diperdalam dengan cara membedakan hasil uji regresi bagi perusahaan yang memiliki

385
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kecenderungan nilai tarif pajak efektif (effective tax rate – ETR) meningkat, dengan yang
memiliki kecenderungan nilai ETR yang menurun. Karena jika hal ini dilakukan akan terlihat
kecenderungan kebijakan perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan. Dalam penelitian
ini, pemisahan tersebut belum dilakukan karena nilai ETR perusahaan dalam masa observasi
masih bercampur (dalam empat tahun masa observasi, seringnya dalam satu perusahaan
terdapat nilai ETR yang menurun dan meningkat). Peneliti belum memiliki pengetahuan yang
cukup untuk mengambil kebijakan cara mengelompokkan nilai ETR tersebut.
5.4. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya
Dengan berbagai keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat
direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, untuk lebih meningkatkan validitas
hasil penelitian, sebaiknya penelitian ini juga memasukan variabel kontrol berupa Book Tax
Gap. Kedua, pemisahan jenis industri juga perlu dilakukan agar penelitian ini memberi
implikasi atau pengaruh lebih kepada para pembaca penelitian. Ketiga, dilakukan pengujian
yang berbeda pada kelompok perusahaan yang memiliki kecenderungan ETR yang meningkat
dengan perusahaan yang memiliki kecenderungan ETR yang menurun, agar mengetahui
kecenderungan perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan. Dan yang terakhir, untuk
memiliki keyakinan yang lebih atas hasil penelitian, maka sebaiknya dilakukan proses
wawancara yang mendalam kepada narasumber yang berkompeten.
DAFTAR PUSTAKA

Abarbanell & Bushee (1997). Fundamental analysis, future earnings, and stock prices.
Journal of Accounting Research. 35 (1), 1-24.

Asteriou, D. & Hall, S.G. (2007). Applied Econometrics – A Modern Approach. New York:
Palgrave Macmillan

Bradshaw, M., S. Richardson, & R. Sloan. (2001). Do analysts and auditors use information
in accruals? Journal of Accounting Research. 39 (1), 45-74.

Bauman, M., & K. Shaw. (2005). Interim income tax data and earnings prediction. The
Journal of the American Taxation Association, 27 (2): 57-82.

Chen, K., and M. Schoderbek. (2000). The `1993 tax rate increase and deferred tax
adjustments: A test of functional fixation. Journal of Accounting Research. 38 (1), 23-
44.

Comprix, J., Mills, L.F., and Schmidt, A.P. (2012). Bias in Quarterly Estimates of Annual
Effective Tax Rates and Earning Management. The Journal of the American Taxation
Association. 34 (1), 31-53.

Dhaliwal, D., C. Gleason, & L. Mills (2004). Last chance earnings management: Using the
tax expense to achieve earnings targets. Contemporary Accounting Research 21 (2),
431-458.

386
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Elgers, P., M. Lo, & R. Pfeiffer (2001). Delayed security price adjustments to financial
analysts’ forecasts of annual earnings. The Accounting Review. 76 (4, 613-632).

Graham, J., & A. Tucker. (2005). Tax shelters and corporate debt policy. Working paper,
Duke University.

Guenther, D., & D. Jones. (2003). Valuation implications of changes in firms’ effective tax
rates. Working paper, University of Colorado at Boulder.

Gupta, S., & Newberry, K. (1997). Determinants of the Variability in Corporate Effective Tax
Rates: Evidence from Longitudinal Data. Journal of Accounting and Public Policy, 16
(1), 1-34.

Gunadi, (2001). Pajak penghasilan. Jakarta: PT Multi Utama Consultindo

Hanlon, M. (2005). The persistence and pricing of earnings, accruals, and cash flows when
firms have large book-tax differences. The Accounting Review, 80 (1), 137-166.

Lev, B., & S. R. Thiagarajan, 1993. Fundamental information analysis. Journal of Accounting
Research. 31 (2), 190-215.

Myers, J., L. Myers, & D. Skinner (2006). Earnings management and earnings momentum.
Working paper, Texas A&M University.

Penman, S. (1992). Return to fundamentals. Journal of Accounting, Auditing and Finance. 7


(3), 465-482.

Penman, S. H. & Xiao-Jun Zhang. (2002). Accounting Conservatism, the Quality of Earnings,
and Stock Returns. The Accounting Review, 77 (2), 237-264.

Rangan, S., & R. Sloan (1998). Implications of the integral approach to quarterly reporting for
the post-earning-announcement drift. The Accounting Review. 73 (3), 353-371.

Schmidt, A.P. (2006). The persistence, forecasting, and valuation implications of the tax
change component of earnings. The Accounting Review, 81 (3), 589-616.

Sloan, R. (1996). Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows about
future earnings?. The Accounting Review, 71 (2), 289-315.

Standar Akuntansi Keuangan. (2009). Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Waluyo. (2008). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat

Wijayanti, T. H. (2006). Analisis pengaruh perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal
terhadap persistensi laba, akrual, dan arus kas. Dipresentasikan pada Simposium
Nasional Akuntansi 9 Padang.

Wing, W. W. (2011). Analisis ekonometrika dan statistika dengan Eviews. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN Yogyakarta.

387
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PEMODELAN KLAIM NETTO DENGAN MENGGUNAKAN MODEL CAMPURAN


LINIER DAN MODEL CAMPURAN LINIER BERBASIS SEBARAN T.

Fia Fridayanti Adam1, Khairil A. Notodiputro2


1Program Studi Administrasi Asuransi dan Aktuaria, Program Pendidikan Vokasi UI,
2Departemen Statistika IPB Bogor
fia@vokasi.ui.ac.id

Abstrak

Dalam asuransi umum, terdapat hubungan antara klaim netto dengan cadangan klaim yang dimiliki
perusahaan pada setiap lini usaha. Hubungan tersebut dapat dimodelkan dengan model campuran linier,
dimana perusahaan dan lini usaha dianggap sebagai faktor pengaruh acak, dengan lini usaha tersarang dalam
perusahaan, cadangan klaim dianggap sebagai faktor pengaruh tetap, dan klaim netto adalah peubah respon.
Model campuran linier tersarang berbasis sebaran t juga dapat memodelkan hubungan tersebut. Hasilnya
adalah model campuran linier tersarang berbasis sebaran t lebih kekar bila dibandingkan dengan model
campuran linier tersarang biasa yang menganggap galat menyebar normal. Hal ini bisa dilihat dari nilai AIC
dan keragaman sisaan model campuran linier tersarang berbasis t yang jauh lebih kecil. Selain itu model linier
berbasis t juga mempunyai nilai pendugaan parameter pengaruh tetap dengan galat baku yang lebih kecil
dibandingkan dengan model campuran linier tersarang biasa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data klaim usaha asuransi umum dan reasuransi 2014 yang bersumber dari OJK.

Pendahuluan
Saat ini industri perasuransian di Indonesia berkembang sangat pesat. Dalam 20 tahun
terakhir ini industri perasuransian rata-rata berkembang sebesar 22% per tahun. Namun
demikian, tingkat penetrasi industri perasuransian di Indonesia masih sangat jauh
dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Sehingga pasar masih terbuka lebar
mengingat jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbanyak di kawasan ASEAN.
Secara umum, terdapat dua jenis usaha perasuransian yang kita kenal, yaitu asuransi
jiwa dan asuransi umum. Menurut Undang-Undang No 40 tahun 2014 tentang Usaha
Perasuransian, Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa
penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak
dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada
pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur
dalam pejanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan
dana . Sedangkan Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin.

388
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah perusahaan asuransi di Indonesia mengalami


peningkatan sejak tahun 2010. Hingga tahun 2014 tercatat terdapat 146 perusahaan asuransi,
dengan 88 diantaranya adalah perusahaan asuransi umum. Peningkatan jumlah perusahaan
asuransi ini selain meningkatkan jumlah premi, juga akan meningkatkan jumlah klaim.
Peningkatan jumlah klaim harus bisa diantisipasi oleh perusahaan asuransi sehingga
perusahaan mampu membayar klaim tersebut. Antipasi perusahaan dalam usaha pembayaran
klaim asuransi tersebut dilakukan dalam penyediaan cadangan klaim. Pemahaman mengenai
cadangan klaim sangat penting bagi perusahaan karena informasi ini sangat penting dalam
menilai apakah perusahaan asuransi sanggup membayar klaim. Dengan demikian terdapat
hubungan antara besar klaim dengan besar cadangan klaim.
Dalam usaha asuransi umum dikenal istilah lini usaha atau produk asuransi yang dijual
oleh perusahaan asuransi umum. Ayat(2012) menjelaskan bahwa terdapat 13 lini usaha yang
dipasarkan perusahaan asuransi di Indonesia. Ketiga belas lini usaha tersebut adalah asuransi
pengangkutan, rangka kapal, pembangunan kapal, konstruksi, harta benda, kendaraan
bermotor, jaminan, aneka, rekayasa, satelit, energi, aviasi, dan kredit. Setiap perusahaan
asuransi dapat menjual produk-produk asuransi dalam lini usaha-lini usaha tersebut yang bisa
berbeda dalam setiap perusahaan.
Hubungan antara besar klaim dan cadangan klaim pada setiap perusahaan asuransi dapat
dimodelkan dalam model campuran linier dengan menganggap perusahaan dan lini usaha
adalah faktor pengaruh acak dan cadangan klaim adalah faktor pengaruh tetap. Model
campuran linier adalah suatu pemodelan yang melibatkan faktor pengaruh tetap , yang
biasanya adalah peubah penjelas, dan faktor pengaruh acak. Gelman(2005) menyatakan
pengaruh tetap bilamana semua nilai dari peubah adalah tetap, sedangkan pengaruh acak
mengacu pada peubah yang secara potensial bisa berubah. Model campuran linier biasanya
mempunyai asumsi komponen acak dan galatnya mempunyai sebaran normal, namun bisa
saja asumsi ini dilanggar bila data amatan cukup kecil jumlahnya atau data mempunyai
pencilan. Akibatnya pendugaan yang dihasilkan oleh model campuran linier ini akan bersifat
tidak kekar (robust).
Sebaran t dapat digunakan bila terjadi pelanggaran asumsi kenormalan. Pendugaan yang
dihasilkan akan bersifat kekar. Lange et.al (1989) menyatakan bahwa sebaran t cukup baik
dalam memodelkan data dengan galat yang mempunyai ekor yang lebih panjang daripada
ekor sebaran normal. Penelitian Langet et.al(1989) tersebut juga menyatakan bahwa ukuran
kekekaran tergantung pada derajat bebas, makin kecil derajat bebas akan menghasilkan
pendugaan parameter yang lebih kekar. Sementara Pinheiro et al(2001) memberikan algoritma
yang efisien dalam menghasilkan pendugaan yang kekar dalam model campuran linier dengan

389
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

menggunakan sebaran t multivariat. Lin dan Lee (2009) menggunakan pendekatan model
campuran linier dengan sebaran t dengan aplikasi pada data multiple sceloris. Staudenmayer
et.al(2009) menggunakan sebaran t univariat untuk menghasilkan pendugaan model campuran
yang kekar.
Makalah ini bertujuan membandingkan penggunaan model campuran linier dan model
campuran linier dengan sebaran t pada data real yaitu data klaim usaha asuransi umum dan
reasuransi pada tahun 2014. Data didapat dari Direktorat Statistik dan Informasi Non Bank
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kinerja model diukur dengan nilai Akaike’s Information
Criterion (AIC). Model terbaik yang dipilih adalah model dengan nilai AIC terkecil.
Metodologi
Model Campuran Linier
Secara umum, model campuran linier dapat dinyatakan sebagai :
(1)
dengan adalah vektor pengamatan, matrik kovariat yang diketahui, adalah vektor
koefisien regresi yang tidak diketahui yang biasa disebut sebagai pengaruh tetap, matriks
yang diketahui, vektor pengaruh acak, dan vektor dari galat. Dari persamaan (1) tersebut
terlihat adalah bagian yang menjadi pembeda dari regresi lineir biasa. Asumsi dasar dari
persamaan (1) adalah pengaruh acak dan galat mempunyai rataan nol dan ragam tertentu,
sebut saja ragam dari pengaruh acak adalah dan ragam dari galat adalah . Asumsi
lain adalah dan tidak berkorelasi. Jika pengaruh acak dan galat diasumsikan berdistribusi
normal maka model pada persamaan (1) disebut model campuran linier Gaussian, asumsinya
dapat dinyatakan sebagai :

Sehingga peubah responnya adalah dengan .


Penduga kemungkinan maksimum dari adalah:
(2)
Sementara penduga dari pengaruh acak adalah :
(3)

Model Campuran Lnier dengan Pendekatan Sebaran t


Misalkan model pada persamaan(1) ditulis menjadi

(4)

390
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Bila kita ambil , dengan , dan


dengan adalah entri ke- dari , maka model dapat dinyatakan sebagai :

yang saling bebas dengan dan


Dalam banyak aplikasi, data tidak mengikuti sebaran normal yang bisa disebabkan adanya
pencilan . Untuk mengurangi pengaruh dari pencilan ini, maka digunakan sebaran t, sehingga
:

(5)

yang saling bebas dengan dan serta adalah


sebaran t dengan fungsi peluang sebagai berikut:

(6)

Model pada persamaan (5) lebih tahan terhadap pencilan, namun model tersebut tidak
mempunyai bentuk yang closed form sehingga solusi secara langsung tidak dapat ditemui.
Untuk itu perlu dicari solusi iteratif yang mampu menghasilkan solusi penduga parameternya.
Staudenmayer et.al(2009) mengusulkan algoritma Monte Carlo Expectation Conditional
Maximization (MCECM).
Hasil dan Diskusi
Penelitian ini menggunakan data real, yaitu data klaim usaha asuransi umum dan
reasuransi pada tahun 2014 yang didapat dari Direktorat Statistik dan Informasi Non Bank
OJK. Penelitian akan memodelkan klaim netto dari setiap perusahaan asuransi umum nasional
, yang berjumlah 69 perusahaan , dengan jumlah cadangan klaim pada setiap lini usaha yang
ada. Walaupun secara teori terdapat 13 lini usaha, namun OJK memisahkan lini energi
menjadi energi darat dan energi lepas pantai. Dengan demikian lini usaha yang menjadi
perhatian ada 14.
Setiap perusahaan mempunyai kebijakan masing-masing akan lini usaha yang menjadi
produknya, sehingga lini usaha tersarang dalam perusahaan. Bila kita menganggap peubah
yang menjadi perhatian adalah klaim netto, peubah yang menjadi faktor pengaruh tetap adalah
jumlah cadangan klaim, dan perusahaan serta lini usaha adalah pengaruh acak dengan lini
usaha tersarang pada perusahaan, maka model penelitian ini adalah :

391
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dengan adalah klaim netto perusahaan ke lini usaha , adalah h perusahaan ke ,


adalah lini usaha ke yang tersarang pada perusahaan ke , adalah cadangan klaim dari
perusahaan ke lini usaha , dan adalah galat acak, serta .
Sehingga model campuran linier yang kita gunakan adalah model campuran linier dengan satu
r pengaruh tetap, dan dua pengaruh acak dengan salah satu r pengaruh acak tersarang pada
faktor pengaruh acak lainnya.
Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah :
1. Membuat diagram pencar antara klaim netto dan cadangan klaim serta menghitung
korelasi antara kedua peubah tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat adakah
hubungan antar kedua peubah.
2. Melakukan pemodelan berdasarkan model campuran linier tersarang dan kemudian
pemodelan dengan menggunakan sebaran t model campuran linier tersarang.
3. Membandingkan kinerja antara kedua model. Model terbaik adalah model yang
mempunyai nilai AIC terkecil.
Langkah-langkah penelitian ini dilakukan dengan bantuan software minitab dan R
dengan library nlme dan gamlss. Gambar 1 merupakan diagram pencar antara klaim netto dan
cadangan klaim. Pada diagram pencar tersebut terlihat hubungan antara klaim netto dan
cadangan klaim, dimana semakin besar cadangan klaim maka semakin besar pula klaim netto
yang dimiliki perusahaan asuransi. Koefisien korelasi keduanya (Pearson correlation of Klaim
Netto and Cadangan Klaim = 0.719 P-Value = 0.000) juga menunjukkan ada korelasi positif
antara klaim netto dengan cadangan klaim. Dengan demikian terdapat hubungan positif antara
klaim netto dengan cadangan klaim.

Scatterplot of Klaim Netto vs Cadangan Klaim


900000

800000

700000

600000
Klaim Netto

500000

400000

300000

200000

100000

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000


Cadangan Klaim

Gambar 1. Diagram Pencar Klaim Netto vs Cadangan Klaim

Hasil pendugaan pengaruh tetap , yaitu cadangan klaim, dan pendugaan simpangan
baku dari model campuran linier tersarang dengan asumsi sebaran normal dapat dilihat dalam
Tabel 1 dan Tabel 2. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pengaruh cadangan klaim terhadap klaim

392
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

netto adalah signifikan tetapi intersep tidak signifikan. Dengan demikian dapat
diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1 juta rupiah cadangan klaim akan menaikkan klaim
netto sebesar 0.962 kali.

Tabel 1. Pendugaan Pengaruh Tetap


Galat
Nilai Baku DF Nilai-t Nilai-p
Intersep 4652.111 3396.114 373 1.369833 0.1716
Cadangan
Klaim 0.962 0.045 373 320579 0.0000

Tabel 2 menunjukkan bahwa simpangan baku yang disebabkan oleh pengaruh acak
perusahaan adalah sebesar 11236.45, sementara simpangan baku yang disebabkan oleh lini
usaha yang tersarang pada perusahaan adalah 55653.37.
Tabel 2. Pendugaan Simpangan Baku Pengaruh Acak

Simpangan
Baku
Perusahaan (Z1) 11236.45
Lini Usaha tersarang
dalam Perusahaan
(Z2|Z1) 55653.37

Persamaan pendugaan yang dihasilkan oleh model campuran tersarang yang berbasis sebaran
normal adalah :

Dengan = jumlah klaim, = cadangan klaim, = perusahaan, = lini usaha.


Namun demikian plot sisaan vs nilai fitted, seperti terlihat dalam Gambar 2, menunjukkan
bahwa model yang diperoleh belum merupakan model yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh
plot yang masih mempunyai pola.

200

150
Residuals

100

50

0e+00 2e+05 4e+05 6e+05 8e+05

Fitted values

Gambar 2. Plot Sisaan vs nilai fitted

393
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3 juga menunjukkan bahwa model campuran linier tersarang yang dihasilkan
bukan model yang tepat. Terlihat dari sisaannya yang bukan merupakan sebaran normal dan
ekor dari sebaran yang panjang. Untuk itu dilakukan pemodelan dengan sebaran t.

Normal Q-Q Plot of residual


4e+05
Sample Quantiles

0e+00
-4e+05

-3 -2 -1 0 1 2 3

Theoretical Quantiles

Gambar 3. Plot Normal dari Sisaan

Hasil pendugaan pengaruh tetap , yaitu cadangan klaim, model campuran linier
tersarang dengan sebaran t dapat dilihat dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa pengaruh
cadangan klaim terhadap klaim netto adalah signifikan tetapi intersep tidak signifikan.
Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1 juta rupiah cadangan klaim
akan menaikkan klaim netto sebesar 0.479 kali.

Tabel 3. Pendugaan Pengaruh Tetap dengan sebaran t


Galat
Nilai Baku Nilai-t Nilai-p
Intersep -5.9097 12.917 -0.458 0.648
Cadangan
Klaim 0.479 0.0008853 541.311 <2e-16

Persamaan pendugaan yang dihasilkan oleh model campuran tersarang yang berbasis sebaran
t adalah :

Tabel 3 juga menyatakan bahwa galat baku dari intersep dan cadangan klaim yang dihasilkan
oleh pendugaan ini jauh lebih kecil daripada pendugaan yang dihasilkan oleh model
campuran linier tersarang yangberbasis sebaran normal. Artinya pendugaan pengaruh tetap
yang dihasilkan oleh model campuran linier tersarang berbasis sebaran t lebih efisien bila
dibandingkan dengan model campuran linier tersarang biasa.
Tabel 4 berisi nilai AIC, log likelihood, dan keragaman dari sisaan kedua model.
Pengamatan pada nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa model campuran linier tersarang
berbasis sebaran t lebih baik bila dibandingkan dengan model campuran linier tersarang biasa.

394
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hal ini diperkuat dengan nilai AIC dan keragaman sisaan yang jauh lebih kecil pada model
campuran linier tersarang yang berbasis sebaran t.
Tabel 4. Nilai AIC dan Keragaman Sisaan 2 Model Pendugaan

keragaman
AIC sisaan
Model campuran linier 10624.45 371814420.6
Model campuran linier
berbasis sebaran t 8536.452 48146.32

Diskusi
Model campuran linier tersarang yang berbasis sebaran t dapat memperbaiki kinerja
dari model campuran linier tersarang biasa. Model yang dihasilkan untuk memodelkan klaim
netto dengan cadangan klaim yang memasukkan faktor pengaruh acak perusahaan dan lini
usaha, dimana lini usaha tersarang dalam perusahaan langsung menggunakan data
sebenarnya. Gambar 4 berikut menunjukkan bahwa data peubah respon tidak dalam bentuk
simetri.

Histogram of Y
350

300

250
Frequency

200

150

100

50

0
0 150000 300000 450000 600000 750000
Y

Gambar 4. Histogram dari Peubah Respon Y (klaim netto)

Sementara data peubah respon model campuran linier seharusnya memenuhi asumsi
mengikuti sebaran Gaussian atau simetri. Penelitian ini sudah mencoba mentransformasi
peubah respon dengan transformasi Box Cox. Namun pada saat melakukan pendugaan dengan
model campuran linier tersarang berbasis sebaran t didapat nilai global deviance yang selalu
naik, sehingga R menyatakan bahwa model tidak tepat. Untuk itu perlu kajian lebih lanjut
untuk mengatasi masalah ini.

Kesimpulan

395
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hubungan antara besar klaim dan cadangan klaim pada setiap perusahaan asuransi
dapat dimodelkan dalam model campuran linier tersarang dengan menganggap perusahaan
dan lini usaha adalah faktor pengaruh acak, dimana lini usaha tersarang dalam perusahaan,
dan cadangan klaim adalah faktor pengaruh tetap. Untuk menghasilkan pendugaan yang lebih
kekar, maka model campuran linier tersarang berbasis sebaran t lebih baik daripada model
campuran linier tersarang biasa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai AIC serta sisaan model
campuran linier tersarang berbasis sebaran t yang lebih kecil dibandingan dengan model
campuran linier biasa.

Daftar Pustaka
Ayat, S. 2012. Pengantar Asuransi. STMA Trisakti. Jakarta
DSIN, OJK. 2015. Tabel 2.12.3 Klaim Usaha Asuransi Umum dan Reasuransi. OJK. Jakarta
Frees E, Derrig R, Meyers G. 2014. Predictive Modeling Application in Actuarial Science.
Cambridge University Press.
Gelman, A. 2005. Analysis of variance -- why it is more important than ever. The Annals of
Statistics, 33(1), 1 -- 53.
Jiang, J. 2007. Linier and Generalized Linier Mixed Models and Their Applications, New
York, Springer.
Lange KL, Little RJA, Taylor JMG. 1989 Robust statistical modelling using the t distribution.
Journal of the American Statistical Association 1; 84:881– 896.
Lin TI dan Lee JC. 2006 . A robust approach to t linier mixed models applied to multiple
sclerosis data. Statistics in medicine , Wiley InterScience. 1397-1412.
Staudenmayer J, Lake EE, Wand P. 2009. Robustness for general design mixed models using
the t-distribution. Statistical Modeling, p:235 -255
Undang-Undang No 40 tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian.

396
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PERANCANGANMESINPELENTUR PELAT
TYPE ROL PIRAMIDE
Sudarsono1), Aminur2), Abd Kadir3)
JurusanTeknikMesinFakultasTeknikUniversitasHalu Oleo
Jl. H.E.A Mokodompit, KampusBaruTridharmaAnduonohu, Kendari93132.
n.aminur@yahoo.com

Abstrak
Mesin pelenturan pelat dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan rancangan
mesinpelenturanpelatsampaiberbentuklingkarandengantebal1-3 mm gunamenunjang proses produksi. Penelitian
menggunakan metode pembuatan rancangan mesinp elenturan pelat melaluikajian teori dan penijauan
dilapangan. Alat perkakas produksi, kerjabangku dan bahan dari bajadigunakansebagaikonstruksirancangan.
Hasil telah dibuatran cangan mesin peleturan pelattype susunan rol piramidadari material baja dengan
dimensipanjang1310 mm lebar 340 mm dantinggi950 mm. Komponenalat yang dihitung adalah k omponen yang
mengalami kerja mekanis dan memiliki beban langsung dari kostruksi rancangan diantaranya poros transmisi,
torsi darimotor keruduser, poros reducer kerodagigi yang berhunganlangsungpadarolpelenturan. Alat ini
mampu melenturkan pelat meja dilingkaran 360 derajat dengan tebal pelat1-3 mm.
Kata kunci: Perancangan mesin pelentur.

A. LatarBelakang

Pada saat ini banyak dijumpai bengkellas yang tidak saja menawarkan jasa
penyambungan logam seperti baja dan aluminium, namun juga membentuk plat menjadi
sebuah tangki ataupun bodi mobil. Proses pembentukan pelat dapat dilakukan dengan
penekukan atau pelengkungan baik secara manual maupun dengan mesin. Pelengkungan plat
secara manual dapat dilakukan dengan deformasi plastis menggunakan palu, namun cara ini
kurang efektif danefisien karena membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan
permukaan pelat yang tidak rata, serta dapa tmenyebabkan cacat, retak-retak yang berdampak
pada penurunan kekuatan bahan.
Peralatan yang selama ini dimiliki oleh sebuah industry biasanya mesin berkapasitas
besar sehingga membutuhkan biaya operasional yang besar pula, pada hal untuk
memproduksi benda yang berukuran kecil tidak harus menggunakan mesin yang besar.

Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan cara pelengkungan pelat yang efektif dan
efisien dengan membuat teknologi tepat guna berupa alat pelengkung pelat mini. Alat ini
diharapkan dapat menekanongkos produksi serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas
kerja.

B. TinjauanPustaka

Pengerolan adalah proses pelenturan bahan dengan menggunakan sifat plastis bahan
(Amstead, 1989). Untuk menghasilkan suatu konstruksi berbentuk silinder atau kerucut
(misalkan ketel, tangki, pipa), atau struktur, dibutuhkan mesin pelentur bundar pelat.

Prinsip kerja mesin pengerol ini terdiri dari tigarol yang berdiameter sama. Dua
diantaranya tetap dan yang satu lagi dapat diatur letaknya. Pelat logam masuk diantara ketiga
rol tersebut, dan terjadilah pelenturan akibat momen putar. Diameter akhir dapat diatur

397
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dengan mengatur rol ketiga, makin dekat dengan rol tetap, makin kecil diameter akhir,
pelenturan pelat bias berbentuk silinder bundar dan kerucut bundar. Penggerak pada mesin
pelenturan yang kecil dilakukan dengan tangan,sedangkan pelenturan yang besar dengan
sebuah motor.

Gambar 1. Jenis susunan rol piramide

Dasar perhitungan rancangan mesin pelenturan pelat adalah :

1. Perhitungan putaran;
2. Perhitungan transmisi roda gigi;
3. Perhitungan torsi

C. Metode Perancangan

Metode pembuatan rancangan mesin ini disamping peninjauan keberbagai bengkel


pengerjaan pelat, juga berdasarkan buku-buku teori sebagai dasar dari rancang bangunan
latter sebut seperti Ilmu Bahan, Desain Mesin, Elemen Mesin, Mekanika Teknik dan Gambar
Teknik.
Mesin pelenturan pelat jenis susunan rol piramida dibuat dengan menggunakan
beberapa peralatan perkakas produksi dan kerja bangku seperti mesin bubut, frais, bor,
gergaji, kikir, jangkasorong, mistar, meter, danpenggores. Sedangkan material yang
digunakanpelatbaja, bajalpejal, bajahollow, danbajaprofi (U, L).
Bahan yang akandilenturkanataudilengkungkanadalahpelat strip dengantebal ≤ 3 mm
dantegangantarikijin≤ 37 kg/mm2.
D. HasildanPembahasan

Bahan yang akan dilengkungkan adalah pelat strip dengan tebal ≤ 3 mm dan tegangan
Tarik ijin ≤ 37 kg/mm2. Daya mesin 1,2 kW dan putaran 1400 rpm, tegangan 220 Volt.

1. Perhitungan Transmisi

Reduksi putaran dari motor sampai bagian rol pelengkung pelat dilakukan sebanyak 2
tahap. Tahap pertama putaran motor diperkecil oleh reducer dimana :
Jumlah gigi 1 (Z1) = 7
Jumlah gigi 2 (Z2) = 60
Putaran poros (N1) = 1400 rpm

Tahap kedua putaran poros dari reducer diperkecil oleh rodagigi (spur gear) dimana :

398
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Putaran rodagigi (N2) = 163,33 rpm


Jumlah gigikecil (ZS1) = 18 gigi
Jumlah gigibesar (ZS2) = 36 gigi

Putaransebesar(N3) 81,67rpm inilahyang digunakansebagaipelenturanpelat.

2. Perhitungan Torsi

Torsi yang terjadiakibatputaran motor yang diteruskanke reducer. Torsi inidapatdihitung:

Torsi akibatputaran reducer yang diteruskankerodagigi. Torsi yang terjadidapatdihitung:

Torsi akibatputaranrodagigi yang ditrasmisikankerodagigiporosrolpelengkung.

3. PerhitunganPorosdenganBebanTorsi
a. Poros yang menghubungkan motor dengan reducer.
Porosyang digunakanadalahporospejaldaribahanst 42 yang menderitabeban torsi
ataumomenputarsaja. Dari tabelfaktorkeamanan(SF) untukbahanbaja yang bekerja live load
adalah 8sehinggategangangeser yang diizinkanadalah :

Sehinggadimaterporospejaldirencanakan :

399
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Diameter poros yang direncanakanharuslebihbesardarihasilperhitungan agar amanyaitu ≥ 9


mm.

b. Poros yang menghubungkanreducer denganrodagigirol.


Poros yang digunakan adalah poros pejal dari bahan st 42 yang menderita momen putar
.Dari table factor keamanan (SF) untuk bahan baja yang bekerja live load adalah 8.
Sehingga diameter poros dapat ditentukan :

Poros yang dibuat harus lebih besar dari hasil perhitungan agar aman yaitu ≥ 19 mm.

4. Perhitungan Poros dengan Beban Kombinasi Torsi dan Momen Lengkung.


Ketika poros bekerja dan momen lengkung secara bersamaan maka poros, terjadi
tegangan putir dan tegangan lengkung secara bersamaan pula.

Beban kombinasi dengan persamaan :

Untuk menghitung diameter poros menggunakan persamaan :

Untuk menghitung torsi ekivalen dengan persamaan :

Momen dihitung dengan mengasumsi bahwa benda yang akan dilengkungkan adalah bahan st
37 dengan kekuatan tarik 370 N/mm2,tebal plat 3 mm, lebar 1200 mm, jarak antar tumpuan
rol 10 mm.Bahan tersebut dilengkungkan pada mesin pelentur pelat dengan model diagram
berikut :

400
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sehingga persamaan :

Maka,

Poros yang akan dihitung adalah poros yang menghubungkan poros roda gigi dari
reducer dengan roda gigi pada rol. Poros pejal dari bahan st 42 MPa yang menderita beban
kombinasi punter dan momen lengkung. Sehingga diameter poros yang direncanakan adalah
:

401
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

KESIMPULAN
Rancangan mesin peleturan pelat type susunan rol piramida dari material baja dengan
dimensi panjang 1310 mm lebar 340 mm dan tinggi 950 mm. Komponen alat yang dihitung
adalah poros transmisi, torsi dari motor keruduser, poros reducer kerodagigi yang berhungan
langsung pada rol pelenturan. Alat ini mampu melenturkan pelat meja dilingkaran 360 derajat
dengan tebal pelat 1-3 mm dan daya motor 1,2 kW.
DAFTAR PUSTAKA
Amstead. B.H, Sriati, 1989. TeknologiMekanik, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
Dahlan. D, 2012, ElemenMesin, Citra Harta Prima,Jakarta.
R.S. Khurmi and J.K. Gupta, 2005, Machine Design, Eurasia Publishing House Ltd, Ram
Nagar, New Delhi.
Shigley J.E, 1994, PerencanaanTeknikMesinJilidII, Erlangga, Jakarta.
Sularso, 1997, DasarPerencanaandanPemilihanElemenMesin, Edisi3,
PradnyaParamitha,Jakarta.

Surdia, T., dan Saito, S., 1985, PengetahuanBahanTeknik, Edisi 1, PradnyaParamita, Jakarta.

402
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

AUDIT INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK

PADA GEDUNG EXISTIM

Mustamin1, Salama Manjang2, Arman Faslih3, Tambi

1,3,4
Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo,
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia
2
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin,

Kampus Unhas Tamalanrea Makassar, Indonesia


1
must.ray@gmail.com,

Abstrak

Riset ini dilakukan untuk mengevaluasi dan menganalisis instalasi listrik dengan melakukan
pemeriksaan dan pengujian terhadap kondisi instalasi pemanfaatan pada gedung existim di atas 15 tahun.
Instalasi tenaga listrik harus memenuhi standar PUIL dan SNI yang berlaku sebagaimana diatur dalam UU
nomor 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dan PP nomor 26 tahun 2006 tentang penyediaan dan
pemanfaatan tenaga listrik. Hasil evaluasi dan analisis sangat penting untuk menjamin keselamatan manusia,
peralatan dan lingkungan dari resiko kecelakaan, kebakaran, dan losis energi listrik, serta dapat digunakan
sebagai rujukan perbaikan, sertifikasi, dan pengeporasial instalasi listrik.Audit instalasi pemanfaatan tenaga
listrik dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan dokukmen pemasangan, inspekasi dan pemeliharaan
berkala dari setiap instalasi bangunan yang terpasang, selain itu juga dilakukan pemeriksaan secara visual dan
pengujian performance komponen instalasi meliputi PHB, kabel penghantar, fixture, sistem proteksi dan
grounding dengan membandingkan terhadap standar yang berlaku. Untuk mendukung kegiatan audit instalasi
pemanfaatan tenaga listrik harus memenuhi beberapa persyaratan dan kriteria yang telah dibakukan oleh
pemerintah diantaranya inspektor harus memiliki standar kompotensi yang sesuai kwalifikasi dan klasifikasi,
peralataan yang digunakan harus terkalibrasi dari pabrik atau lembaga BMKG, serta item uji instalasi
memenuhi kriteria yang berlaku.

Kata Kunci—Audit instalasi, gedung existim, instalasi pemanfaatan, performace komponen, inspektor, sistem
proteksi.

I. PENDAHULUAN
Energy listrik menjadi suatu kebutuhan umat manusia sebagai fungsi social politik dan
komoditas, sehingga perlu dipertimbangkan aspek teknik dan aspek ekonomi dalam
penyediaan dan pemanfaatan energy listrik. Energi listrik harus tersedia sesuai kebutuhan
dengan harga yang murah sehingga dapat menjadi katalisator dan dinamisator dalam
pembangunan nasional.

1.1. Latar Belakang


Banyak gedung yang telah berumur puluhan tahun, instalasi listriknya tidak dipeliharan
dan dioperasikan sesuai standar, selain itu teknisi listrik yang bertugas tidak memiliki
kompotensi sebagai tenaga teknik ketenagalistrikan sebagaimana diatur dalam UU 30 tahun

403
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2009 bahwa “setiap tenaga teknik ketenagalistrikan harus memilki sertifikat kompetensi”,
sehingga instalasi listrik yang telah berumur puluhan tahun pada gedung-gedung menjadi
tidak laik dioperasikan karena banyak pambahan instalasi yang sudah tidak sesuai dengan
perencanaan yang sangat berpotensi menimbulkan losis dan kebakaran akibat listrik.Salah
satu objek audit instalasi yang telah kami laksanakan adalah gedung UNHAS di km 10
Tamalanreasudah berdiri puluhan tahun. Bangunan dalam kampus terbesar di Sulsel ini
memiliki banyak imprastruktur dan prasarana untuk mendukung proses belajar mengajar
dengan baik. Salah satu imprastruktur penting dalam kampus tersebut adalah instalasi listrik.

Instalasi listrik terdiri dari imprastruktur instalasi tegangan menengah di luar gedung dan
instalasi tegangan rendah didalam gedung. Ada beberapa telah dilakukan rehabilitasi dan
penambahan untuk dapat mengeporasikan tambahan kebutuhan peralatan listrik dalam gedung
tersebut. Menurut undang-undang 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan “setiap instalasi
yang beroprasi wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi” dimana peralatan dan pemanfaatan
tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia.

Kebakaran akibat listrik disebabkan oleh komponen instalasi listrik yang mengalami over
capasity dan over thermal. Kebakaran yang disebabkan oleh komponen instalasi yang over
capasity pada umumnya bersumber dari penambahan perlatan listrik diluar perencanaan dan
pengeperasian instalasi diluar kelompok beban perencaan sehingga tidak terproteksi dengan
baik. Sedangkan kebakaran yang disebabkan oleh komponen instalasi yang over thermal
banyak disebabkan oleh pemilihan material yang tidak tepat, proteksi intalasi tidak sesuai,
serta kebocoran arus listrik pada peralatan dan instalasi listrik oleh faktor pemeliharaan dan
penuaan kabel.

Pemakaian instalasi yang tidak standar dan tidak laik operasi selain beresiko terhadap
keselamatan jiwa dan harta benda juga dapat berimplikasi terhadap rendahnya efesiensi
pemakaian listrik. Losis listrik dapat terjadi pada busbar, sepanjang kabel, terminal kabel dan
peralatan listrik yang tidak normal. Untuk menghindari hal tersebut di atas, di beberapa
negara melakukan pemeriksaan instalasi secara berkala seperti di Jepan pemeriksaan instalasi
listrik dilakukan oleh FESIA (Jepan) setiap 5 tahun sedangkan di Indonesia diwajibkan
pemeriksaan Instalasi minimal setiap 15 tahun untuk instalasi tegangan rendah dan 5 tahun
untuk instalasi tengan menengah dan tegangan tinggi oleh lembaga yang ditetapkan oleh
Meteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

404
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1.2. Tujuan
Audit instalasi listrik yang dilakukan di gedung Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin Jl.
Perintis Kemerdekaan km 10 sejak tanggal 20 Nopember 2014 bertujuan untuk :

1. Mewujudkan instalasi listrik aman, andal dan ramah lingkungan didalam lokasi kampus
UNHAS
2. Melindungi sarana dan prasarana dalam lingkungan UNHAS dari potensi kerusakan
akibat kebakaran listrik
3. Meningkatkan efesiensi pemanfaatan listrik dalam lingkungan Universitas Hasanuddin

1.3. Manfaat
Manfaat audit instalasi listrik yang dilakukan di gedung Fakultas MIPA Universitas
Hasanuddin, yaitu:

1. Memastikan bahwa instalasi listrik dalam lingkungan Fakultas MIPA UNHAS terpasang
dengan baik, dioperasikan dengan benar dan materialnya sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia.
2. Melakukan deteksi dini terhadap setiap komponen instalasi listrik dalam sistem kelistrikan
Fakultas MIPA UNHAS yang berpotensi mengalami gagal fungsi yang dapat
mengakibatkan kebakaran.
3. Mencegah bahaya kebakaran dan resiko tersengat listrik akibat pemasangan listrik yang
tidak benar.
4. Meningkatkan efisiensi instalasi listrik dengan restrukturisasi dan determinasi komponen
instalasi yang megalami losis besar.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Standar Pemeriksaan dan Pengujian


Teori dasar yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan pemeriksan dan pengujian
instalasi listrik dalam lingkungan kampus Universitas Hasanuddin tahun 2014, yaitu PUIL
2000 sebagai SNI Wajib terhadap pemanfaatan tenaga listrik dan SNI tentang kelistrikan serta
referensi lain yang relevan.

Materi uji yang diigunakan untuk mengetahui kelayakan instalasi di gedung Fak MIPA
dikelompokkan atas pemeriksaan dan pengujian dalam keadaan betegangan dan keadaan tidak
bertegangandengan rincian sebagai berikut :

405
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

a) Pemeriksaan dan pengujian dalam keadaan bertegangan :


1) Arus beban penuh
2) Tegangan beban penuh
3) Frekuensi (Hz)
4) Faktor daya (Cos φ)
5) Kapasitas thermal
b) Pemeriksaan dan pengujian dalam keadaan tidak bertegangan
1) Dimensi panel
2) Kapasitas busbar
3) Kapasitas sakelar utama
4) Kapasitas saluran
5) Pengukuran resistansi isolasi
6) Kesinambungan (continuitas)
7) Polaritas & Warna
8) Sistem Pentanahan
9) Sistem proteksi
10) Standar material terpasang (SNI)
11) Kerapian pemasangan & Penyambungan
12) Instalasi khusus
Arus beban penuh diukur dengan menggunakan bantuan trafo arus (CT) dan ampare meter
yang terpasang pada panel yang ada, nilai arus tampil pada displai ampere meter. Sedangkan
untuk PHB dan SDP yang tidak dilengkapi CT dan ampere meter, maka dilakukan
pengukuran dengan menggunakan tank ampere. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tidak
ada arus yang melampaui KHA kabel yang terpasang.
Semua instalasi pemanfaat dalam gedung Fak MIPA menggunakan tegangan rendah
220/380V dengan standar tegangan ± 10 % terhadap tegangan nominal, dari hasil pengujian
tidak ditemukan tegangan kerja diluar standar yang berlaku.
Frekuensi listrik yang digunakan dalam lingkungan Universitas Hasanuddin adalah 50 Hz
dengan standar ± 5 %, begitu juga perbandingan daya aktif terhadap daya semu (faktor daya)
standarnya 0,85. Dalam pemeriksaan dan pengujian ini tidak dilakukan pengujian terhadap
kedua besaran tersebut karena tidak signifikan mempengaruhi kelayakan suatu instalasi.
Pengukuran kedua besaran tersebut lebih banyak dipergunakan untuk instalasi pembangkit
dan instalasi mesin-mesin listrik di industri yang bersifat reaktif.

406
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kapasitas thermal (θ) harus menjadi pertimbangan dalam mengukur kemampuan suatu
instalasi selainkapasitas hantar arus (KHA). Penampang kabel yang KHA kecil cendrung
mengalami peningkatan temperatur yang signifikan oleh karena itu penting diketahui jenis
isolasi kabel yang digunakan. Sesuai (PUIL 7.3.4.2) suhu penghantar maksimun untuk isolasi
PVC 70ºC, sedangkan untuk isolasi XLPE 92ºC. Dari hasil pengukuran terperatur kabel dan
busbar di Fak MIPA diketahui bahwa suhu maksimun kabel yang ada sebesar 39ºC pada SDP
lighting-2 G28 Lt-3, sehingga dapat dikatakan tidak ada kabel yang over thermal.
Dimensi dan penempatan panel pada gedung di Fak MIPA sesuai standar, hanya saja ada
instalasi tambahan untuk AC dan beban tertentu yang disambung tidak standar dalam panel
sehingga menjadi tidak rapih dan berbahaya terhadap operator dan manusia disekitarnya.
KHA busbar dihitung berdasarkan arus nominal beban yang terhubung pada busbar
tersebut. Besar KHA busbar sama dengan KHA penghantar terbesar ditambah dengan total
arus nominal lain yang terhubung pada busbar tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan
pengujian yang dilakukan di Fak MIPA tidak ditemukan busbar yang over kapasitas, kecuali
ada beberapa panel yang tidak dilengkapi busbar untuk rel/terminal netral dan rel/terminal PE
yang bertentangan dengan (PUIL 3.13.2.7 & 3.13.2.15d) sehingga perlu diperbaiki agar sesuai
standar yang berlaku.
Setiap PHB harus dilengkapi dengan sakelar utama (PUIL 6.2.4.1) dengan nilai dengan
KHA sebesar 150%, khusus untuk instalasi mesin listrik diatur setelan maksimum sakelar
utama sesuai (PUIL 5.5.5.23) dimana KHA sakelar untuk beban induksif sebesar 250%
terhadap arus nominal beban yang dilayani, begitu juga KHA untuk mesin sinkron 200%
terhadap arus nominal beban, sedangkan KHA untuk sakelar motor rotor lilitsama dengan
KHA sakelar untuk instalasi sebesar 150% terhadap arus nominal beban yang dilayani.
Berdasar data pemeriksaan diketahui bahwa beban penerangan bercampur baur dengan beban
induktif seperti AC dan pompa air sehingga jelas tidak sesuaidengan desainsakelar utama
instalasi yang hanya rancang untuk instalasi penerangan. Selain itu ditemukan bahwa panel
tambahan SDP lighting-1 G29 Lt-2, SDP lighting-2 G29 Lt-2 tidak dilengkapi dengan sakelar
utama.
Kapasitas kabel saluran utama, saluran cabang dan saluran akhir, dihitung berdasarkan arus
nominal dan type beban yang tersambung. Secara umum kapasitas saluran instalasi dibatasi
oleh KHA sebesar 110 % terhadap arus nominal beban terpasang. Khusus untuk instalasi yang
menyalurkan listrik ke beban motor-motor listrik KHA dihitung sebesar 125% terhadap arus
nominal sesuai (PUIL 5.5.3.1) berdasarkan item mata uji ini tidak ditemukan kabel saluran
yang over kapasitas pada semua gedung Fak MIPA.

407
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pengukuran resistansi isolasi mengacu pada PUIL 2000 dimana nilai resistansi isolasi
minimal 1000 Ohm/Vol. Sehingga standar untuk pengujian 500 V nilai tahanan isolasi harus
≥ 0,5 MOhm. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan pada Fak MIPA ditemukan bahwa
hanya SDP lighting-1 G30 Lt-1 yang rendah tahanan isolasinya sebesar Ri = 50 MOhm dan
masih memenuhi standar, sementara panel-panel lainnya masih sangat baik tahanan
isolasinya. Hal ini terjadi karena teknisi di Fak MIPA yang bertugas saat ini cukup rajing
merapikan panel instalasi listrik yang menjadi tugasnya.
Kesinambungan (continuitas), pengujian ini sangat penting untuk memastikan bahwa tidak
ada sambungan kabel yang longgar yang dapat menyebabkan terjadinya drop tegangan dan
loncatan bunga api, selain itu juga diperlukan untuk memastikan bahwa sambungan kabel
telah sesuai dengan standar.
Polaritas & warna, polaritas fiting lampu dimana bagian bertegangan terletak pada lidah
fitting sedangkan netral pada bagian lain, begitu juga polaritas sakelar dimana tuas sakelar
tidak boleh bertegangan pada saat sakelar posisi off dan dipasang seragam pada suatu
bangunan, hal ini tidak ada penyimpangan yang ditemukan selama pemeriksaan. Lain halnya
dengan warna kabel dimana ditemukan bahwa tidak ada warna kabel yang sesuai dengan
standar PUIL 2000 yang berlaku sehingga penting dilakukan pelabelan dan pemasangan
kondom pada ujung kabel terutama kabel saluran cabang.
Material instalasi mulai dari fixture, kabel dan komponen panel semua telah menggunakan
material yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), namun demikian selain material
yang harus standar, cara konstruksi dan pemeliharaan juga harus standar. Berdasarkan
obsevasi dan foto yang ada diketahui bahwa kabel instalasi tambahan secara umum cara
pasangnya tidak memenuhi standar dan kurang pemeliharaan. Hal ini sangat merugikan
karena terdapat banyak losis dan berpotensi menimbulkan kebakaran.

2.2. Sistem Pentanahan Instalasi Pemanfaatan


Sistem pentanahan instalasi listrik menurut (PUIL 3.12, 3.13, 3.14) terdiri atas sistem TT
atau sistem pentanahan pengaman,sistem TN atau sistem pentanahan netral pengaman dan
sistem IT atau sistem penghantar pengaman. Pemilihan sistem pentanahan disesuaikan dengan
kondisi instalasi yang akan dibumikan. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada gedung di
lingkungan Universitas Hasanuddin diketahui bahwa tidak ada gedung yang menggunakan
sistem pentanahan TN maupun IT, ada beberapa gedung yang memakai sistem pentanahan
TT.
Pemilihan sistem pentanahan menentukan sistem proteksi yang harus diterapkan untuk
menjamin keamanan, keandalan sistem. Berdasarkan data pemeriksaan diketahui bahwa
sistem pentanahan yang digunakan di Universitas Hasanuddin adalah sistem pentanahan TT

408
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sehingga tegangan induksi dapat mencapai sama dengan tegangan sumbernya. Oleh karena itu
untuk menghindari sengatan listrik dan kebakaran akibat arus bocor maka semua PHB
Building harus dipasang GPAS 30 mA dan 500 mA. Selain itu harus dibuat bak kontrol
minimal 3 unit setiap gedung yaitu bak kontrol untuk sistem pentanahan kelistrikan, bak
kontrol untuk sistem pentanahan peralatan elektronik/kontrol dan bak kontrol untuk sistem
pentanahan penangkal petir. Pemisahan ini sangat penting untuk mencagah terjadinya induksi
elektromagnetik dari petir ke peralatan listrik/elektronik yang berbeda frekuensinya.

2.2.1.Pentanahan Netral Sistem Tenaga Listrik


Pentanahan netral sistem tenaga listrik bertujuan untuk mengurangi stress tegangan akibat
surja hubung dan surja petir serta untuk mengontrol arus gangguan hingga pada nilai yang
memuaskan. Tujuan lain yang tak kalah pentingnya adalah untuk membatasi tegangan pada
fasa-fasa yang tidak mengalami gangguan (fasa sehat) saat terjadinya gangguan pada sistem
tenaga listrik, mengurangi besarnya tegangan lebih transien, memperbaiki perlindungan
terhadap petir dan memperbaiki perlindungan terhadap sistem dan peralatan dari adanya
gangguan.
Metode-metode dalam pentanahan netral sistem tenaga tersebut adalah pentanahan tanpa
impedansi (solid grounding), pentanahan melalui tahanan (resistance grounding), pentanahan
melalui reaktor (reactor grounding), pentanahan efektif (effective grounding) dan pentanahan
dengan kumparan Petersen (resonant grounding).

2.2.2. Pentanahan Peralatan Sistem Tenaga Listrik


Pentanahan peralatan adalah penghubungan dengan tanah dari satu atau lebih bagian-bagian
peralatan dari logam (metal) (sistem perkawatan, frame, kerangka, body atau mesin) yang
pada keadaan nomal tidak dialiri arus. Tujuan dari pentanahan peralatan adalah untuk
pengamanan manusia terhadap bahaya tegangan sentuh dan tegangan langkah akibat beda
potensial pada peralatan dengan tanah

2.3. Komponen – Komponen Sistem Pentanahan


Komponen-komponen sistem pentanahan meliputi elektroda pentanahan, konduktor
pentanahan dan bus pentanahan.

2.3.1. Elektroda Pentanahan


Elektroda pentanahan adalah penghantar yang ditanam di dalam tanah/bumi agar membuat
kontak langsung dengan tanah. Penghantar tanah yang tidak berisolasi yang ditanam dalam
tanah dapat dianggap sebagai bagian dari elektroda bumi.

409
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Menurut Satnam dan Gupta (1979) material sebuah elektroda pentanahan yang baik harus
memenuhi syarat-syarat : memiliki konduktivitas yang tinggi, tingkat korosi yang rendah
akibat keadaan tanah maupun akibat proses galvanisasi. Tembaga adalah bahan yang
memenuhi syarat-syarat tersebut, tetapi tembaga membentuk proses galvanisasi bila ditanam
dekat dengan bahan logam lain seperti seng, besi atau baja, yang merupakan material dari
kebanyakan bahan yang ditanam dalam tanah, sehingga tembaga dapat digantikan dengan besi
baja atau aluminium.

2.3.2. Konduktor Pentanahan


Konduktor pentanahan adalah penghantar yang terhampar di dalam tanah, yang berfungsi
untuk mengumpulkan arus yang mengalir ke tanah atau mendisipasi arus tersebut ke tanah.
Untuk mendapatkan sistem pentanahan yang baik, konduktor pentanahan yang digunakan
harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Memiliki daya hantar jenis yang cukup tinggi, sehingga tidak akan memperbesar beda
potensial lokal yang berbahaya.
2. Memiliki kekuatan atau kekerasan secara mekanis yang baik.
3. Tahan terhadap peleburan dari kejelekan sambungan listrik, walaupun konduktor akan
terkena arus gangguan dalam periode waktu tertentu.
4. Tahan terhadap korosi dan kerusakan akibat kimiawi lainnya.
Sesuai dengan IEEE Std 80-2000, terdapat jenis-jenis bahan yang umum digunakan sebagai
elektroda pentanahan dan tiap-tiap jenisnya mempunyai konstanta material.

2.3.3. Bus Pentanahan


Pada instalasi pemanfaatan tenaga listrik, konduktor pentanahan dihubungkan dengan bus
pentanahan dan elektroda pentanahan pada bak control yang terdapat pada setiap
bagunan/gedung. Bak control harus terpisah antara pentanahan instalasi tenaga listrik dengan
pentanahan penangkal petir serta pentanahan system control dan elektronik. System
pentanahan yang baik harus dapat memisahkan system pentanahan tenaga listrik yang berbeda
tegangan dan frekuesinya.

2.4. Media Sistem Pentanahan


Dalam sistem pentanahan, hal pokok yang menjadi media pentanahan adalah tanah atau
bumi, tempat dimana elektroda pentanahan, kisi-kisi/grid pentanahan dan konduktor
pentanahan tersebut ditanam. Karakteristik tanah merupakan salah satu faktor yang penting
untuk diketahui karena mempunyai kaitan yang erat dengan perencanaan sistem pentanahan
yang akan digunakan.

410
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2.4.1.Resistansi Jenis Tanah


Nilai resistansi jenis tanah berbeda-beda antara tanah yang satu dengan yang lainnya,
tergantung pada komposisi jenis tanahnya. Apabila lapisan tanah pertama dari sistem
pentanahan tersebut memiliki resistansi jenis tanah ρ1 sedangkan lapisan tanah dibawahnya
memiliki resistansi jenis tanah ρ2, maka dapat dicari faktor refleksi K sebagai berikut :

K =  2  1 (1)
1   2
dengan :
K : Faktor Refleksi

ρ1 : Resistansi jenis tanah lapisan yang lebih atas

(Ω.m)

ρ2 : Resistansi jenis tanah lapisan yang lebih

bawah (Ω.m)

Nilai resistansi jenis tanah pada kedalaman yang terbatas, tergantung dari beberapa faktor
berikut ini : jenis tanah (tanah liat, berpasir, berbatu dan lain-lain), lapisan tanah (berlapis-
lapis dengan resistansi jenis yang berlainan atau dengan resistansi jenis yang seragam),
kelembaban tanah dan temperatur.

Jika dilakukan pengukuran untuk mencari nilai resistansi jenis tanah, dapat digunakan
perhitungan sesuai dengan persamaan (2) berikut ini :
4aR (2)
=
2a a
1 
a 2  4b 2 a2  b2

Jika nilai b sangat kecil dibandingkan dengan nilai a, maka persamaan diatas dapat dituliskan
menjadi :

ρ=2πaR (3)

dengan :

ρ : Resistansi jenis tanah (Ω.m)

R : Resistansi yang terukur pada elektroda uji (Ω)

a : Jarak terdekat antar elektroda uji (m)

b : Panjang elektroda uji (m).

411
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pada tanah yang memiliki struktur lapisan tanah yang berlapis-lapis dan berlainan jenis,
dapat dicari nilai rata-rata resistansi jenisnya. Sesuai dengan IEEE Std 80 – 1986, IEEE Guide
for Safety in AC Substation Grounding, rumusan untuk mencari resistansi jenis rata-rata dari
dua lapisan tanah yang berbeda adalah sebagai berikut :
  
   (4)
 
Kn  
  1  2 
2a a
Rho   
av 2 
n 1 d
1 2
  1   2 nH 
  2 nH   
 1  

  a   2 a   

dengan :

Rhoav : Resistansi jenis rata-rata 2 lapisan tanah

(Ω.m)

ρ1 : Resistansi jenis tanah lapisan pertama/atas

(Ω.m)

n : Jumlah pengamatan tiap lapisan tanah yang

diamati

K : Faktor refleksi

d : Diameter elektroda (m)

a : Jarak antar elektroda (m)

H : Ketebalan lapisan tanah bagian pertama (m).

2.4.2.Resistansi Pentanahan
Resistansi pentanahan adalah jumlahan resistansi yang terjadi pada hantaran yang
menghubungkan bagian instalasi tenaga listrik dan peralatan yang harus ditanahkan dengan
tanah, ditambah dengan resistansi yang terjadi antara elektroda-elektroda pentanahan dengan
resistansi jenis tanah. Resistansi pentanahan merupakan jumlah dari resistansi elektroda
pentanahan dan resistansi hubung tanah. Besar resistansi pentanahan tergantung dari beberapa
hal, yaitu :
1. Jenis elektroda yang dipakai
2. Resistansi jenis tanah
3. Ukuran dari elektroda pentanahan
4. Kesempurnaan kontak antara elektroda pentanahan dengan tanah.

412
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Apabila menganggap kontak yang terjadi antara elektroda pentanahan dengan tanah adalah
ideal, maka besar resistansi pentanahan untuk jenis elektroda batang, pita dan pelat dapat
dicari dengan rumus-rumus empiris untuk masing-masing jenis elektroda yang digunakan.
Dalam menghitung resistansi pentanahan yang berbentuk kisi-kisi atau grid, terdapat
beberapa faktor yang harus diperhatikan, diantaranya luas area yang melingkupi grid tersebut,
panjang total konduktor yang tertanam, dan kedalaman dari grid itu sendiri. Untuk
menghitung resistansi pentanahan sistem grounding yang berbentuk grid digunakan formulasi
dari Sverak berikut ini :
  
 
Rg = ρ  1 11  1  (5)

 LT 20 A  20 
  1 h 
  A 

dengan :

Rg : Resistansi pentanahan sistem grid (Ω)

ρ : Resistansi jenis tanah (Ω.m)

A : Luas daerah pentanahan (m2)

LT : Panjang total konduktor yang ditanam (m)

h : Kedalaman konduktor kisi-kisi/grid (m).

Untuk menghitung resistansi total sistem pentanahan yang berupa kombinasi antara sistem
grid dengan rod, digunakan persamaan Schwarz yang menggabungkan resistansi konduktor
grid, resistansi rod dan mutual ground resistance diantara keduanya. Persamaannya
ditunjukkan sebagai berikut :
R1 R 2  R m
2
Rg = (6)
R1  R 2  2 R m

yang mana :

R1 =    2 L c  k 1 .L c  (7)
ln    k2 
 L c   a ,  A 

R2 =    4 LR 
 ln 
2 n R L R   b 
2 k .L
 1  1 R  2
n R  1  (8)
A 

   2 Lc  k 1 .L c 
Rm =  ln     k 2  1 (9)
 L c   L r  A 
dengan :

413
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Rg : Resistansi total sistem pentanahan kombinasi

grid-rod (Ω)

R1 : Resistansi pentanahan konduktor grid (Ω)

R2 : Resistansi pentanahan dari semua rod (Ω)

Rm : Mutual ground resistance (Ω)

ρ : Resistansi jenis tanah (Ω.m)

Lc : Panjang total konduktor yang terhubung dalam

grid (m)

a’ : a.2h untuk konduktor yang tertanam

sedalam h (m)

a’ : a untuk konduktor pada permukaan tanah (m)

2a : Diameter konduktor (m)

A : Luas daerah pentanahan (m2)

h : Kedalaman konduktor kisi-kisi/grid (m)

k1,k2 : Koefisien dari gambar 2.1.a dan b

Lr : Panjang dari tiap-tiap rod (m)

2b : Diameter rod (m)

nR : Jumlah rod yang ditempatkan di area A.

Besar resistansipentanahan yang direkomendasikan oleh IEEE Std 80-2000 IEEE Guide for
Safety in AC Substation Grounding, untuk stasiun pembangkit, saluran transmisi dan gardu
induk adalah kurang dari atau sama dengan 1 Ohm. Sedangkan untuk gardu induk yang kecil,
jaringan instalasi pabrik atau industri, dan bangunan komersial direkomendasikan sebesar
1 Ohm sampai dengan 5 Ohm, tergantung kondisi setempat.

414
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

III. METODOLOGI AUDIT


3.1. Bagan Alir Audit
MULAI

Survey Awal

1. Pengambilan foto2 lokasi & situasi


2. Pengumpulan imformasi
3. Pelaporan hasil survey

Audit Awal
1. Audit awal data teknis lapangan
2. Pelaporan & penggambaran hasil
survey data teknis

Audit Instalasi Listrik

1. Keadaan tidak bertegangan


2. Keadaan beban penuh

Verifikasi Data

 Dokumen instalasi
 Gambar instalasi
 Material terpasang
 Konstruksi, O&M
 LHPP
Rekomendasi
T Perbaikan
Apakah
Sesuai?  Buat gambar
 Buat RAB
 Instalasi
Y
diperbaiki
Buat Permohonan Sertifikasi

T
Apakah Terbitkan TLO
Sesuai?

Y
Terbitkan SLO SELESAI

3.2. Inventarisasi Panel dan Instalasi Listrik


InventarisasiPaneladalahkegiatanuntukmendata semua panel yang terhubung dengan
peralatan listrik di Fakultas MIPA, baik panel yang terhubung dengan LVMDPMIPA (SS-3)
maupun panel yang terhubung dengan fakultas lainnya.Panel yang terhubung dengan Fakultas

415
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MIPA disebut PHB utama yang kemudian terdistribusi ke PHB building pada setiap gedung
dalam lingkup Fakultas MIPA, dari PHB building terdistribusi ke PHB sesuai dengan
kelompok beban yang akan dilayani seperti PHB lighting dan PHB AC dan sebagainya. Dari
PHB lighting tersebut kemudian didistribusikan ke SDP setiap lantai dan saluran akhir jika
ada kemudian dari SDP didistribusikan ke saluran akhir sesuai kelompok beban yang akan
dilayani. Jika terdapat beban yang cukup besar pada suatu ruangan tertentu maka SDP dapat
dicabangkan ke SSDP kemudian diteruskan ke saluran akhir.

Semua saluran cabang dan saluran akhir instalasi listrik dalam suatu bangunan gedung
harus dilengkapi dengan penghantar proteksi untuk menyalurkan energi listrik sisa dari hasil
induksi dan arus bocor kedalam sistem Pentanahan instalasi listrik.

PengertianPHB adalahpapan hubung bagi sebagai pusat kontrol dan proteksi instalasi
listrik yang ada dibawahnya. Sehingga instalasi listrik yang baik selalu bersumber pada PHB
yang tepat. Sedangkan pengertian SDP adalah sub distribution panel dibawah PHB yang
terhubung dengan saluran akhir .

Inventarisasiadalah proses untukmemeriksakeadaan, hubungandanfungsidarikomponen


intalasi listrik.

3.3. Pengukuran Besaran Listrik


Besaran listrik yang dapat diukur pada Fakultas MIPA adalan tegangan, frekuensi, arus,
dan faktor daya (cosφ). Besaran listrik tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja dan life
time peralatan listrik yang digunakan

Pengukuran tegangan dan arus listrik dilakukan disaluran akhir pada LVMDP, PHB, SDP
dan SSDP sedangkan pengukuran faktor daya dan frekuensi sebaiknya dilakukan pada panel
PHB building setiap gedung. Jika memerlukan pengukuran energi (kWh) sebaiknya dilakukan
pada PHB utama pada setiap Fakultas, tetapi hal ini masih sulit dilakukan karena belum ada
PHB utama yang khusus melayani energi listrik untuk Fak MIPA. Selain pengukuran besaran
listrik juga perlu dilakukan pengukuran peningkatan temperatur yang terjadi pada setiap kabel
dan terminal listrik di panel-panel untuk mengetahui kondisi thermal dari isolasi yang
digunakan dalam jaringan instalasi di Fak MIPA. Semua pengukuran tersebut di atas
dilakukan dalam keadaan beban penuh.

Selain pengukuran dalam keadaan bertegangan perlu juga dilakukan pengkuran dan
pengujian dalam keadaan tidak bertegangan seperti pengukuran dan pengujian tahanan isolasi
untuk menguji kemampuan isolasi kabel menahan tekanan medan listrik yang akan disalurkan

416
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pada instalasi tersebut, serta mengukur dan menguji tahanan pentanahan(grounding) untuk
memastikan arus bocor dan tegangan induksi pada penghantar netral dan BKT tersalur dengan
baik sehingga manusia aman dari kemungkinan sengatan listrik.

Besaran listrik yang paling terpengaruh oleh kualitas instalasi listrik adalah tegangan dan
arus listrik sedangkan besaran frekuensi dan faktor daya banyak dipengaruhi oleh distribusi
dan pengelompokan beban. Oleh karena itu perlu dikemukankan bahwa beban listrik secara
garis besar dikelompokan kedalam tiga bagian, namun dalam instalasi pemanfaat domestik
umumnya hanya ada 2 bagian yaitu :

1. Beban resistif (seperti elemen, peralatan elektronik dan lampu)


2. Beban induktif (seperti pompa air, AC, kipas angin dan sejenisnya)
Pengelompokan instalasi yang baik harus memisahkan beban resistif dengan beban induktif
karena pemisahan ini dapat memperbaiki faktor daya dan life time peralatan elektronik
sehingga dapat terjadi penghematan enegi listrik yang signifikan.

3.4. Metode Pengumpulan Data& Imformasi


Data dikumpulkanlangsungdarisumber data yaituFakultas MIPA UNHAS. Data
terdiriatasfoto lokasi/situasi dan imformasi terhadap instalasi listrik pada semua gedung yang
pada Fakultas MIPA seperti:

1. Petugas instalasi yang bersangkutan


2. Historycal
3. Peta & gambar instalasi listrik
4. Rekomendasi pemeriksaan instalasi terdahulu
5. Instalasi penting yang dapat dipadamkan atau tidak boleh padam
6. Ketentuan yang berlaku
7. SOP instalasi yang berkaitan dengan kelistrikan dll.
Termasuk kondisi dokumen-dokumenperolehan, ketersediaan, kehandalandariinstalasi yang
diperiksa.
Instalasi tersebutadalahinstalasi tegangan rendah mulai dari fixture (sakelar, KK/KKB dan
KKK), kabel (instalasi saluran akhir, instalasi saluran cabang, instalasi saluran utama), panel
TR (SSDP, SDP, PHB, PHB Building dan PHB Utama) tidak termasuk instalasi TM dan
Genset dan Trafo.

3.5. MetodeAnalisis
Analisisdilakukanmelaluiduacarayaitupemeriksaanfisik dilokasi dimana seluruh komponen
instalasi diperiksasecarafisik pemasangan dan continuitasnya untuk memastikan bahwa semua

417
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

komponen listrik terpasang sesuai standar dan berfungsi dengan baik.


Keduaadalahmengujidata hasil pengukuran terhadap standar PUIL 2000 dan SNI yang
berlaku.

IV. PEMBAHASAN HASIL AUDIT INSTALASI LISTRIK


Hasil audit instalasi listrik pada Fakultas MIPA UNHAS selengkapnya kami uraikan dalam
tabel “ Laporan Hasil Audit Instalasi Listrik Gedung Fakultas MIPA UNHAS”.

4.1. Panel
Tidak ada PHB utama khusus Fakultas MIPA. Energi listrik yang digunakan saat ini
disuplai dari delapan PHB yang bersumber dari LPMDP MIPA yang samayaitu :

1) PHB lighting-1 Since Building


2) PHB lighting-2 G28 Lt-1
3) PHB lighting-3 G29 Lt-1
4) PHB lighting-4 G30 Lt-2
5) PHB lab Kimia G31 Lt-1
6) PHB lab Fisika G32 Lt-1
7) PHB lab lighting G40 Lt-2
8) PHB AC central G28 Lt-2
Namun demikian LVMDP MIPA dan PHB masih ada yang mensuplai listrik ke gedung lain
diluar Fak MIPA sehingga perlu direposisi dengan baik supaya efektif dalam pengeporasian
dan pengendalian gangguan.
Sumber energi listrik yang masuk pada gedung Fak MIPA tidak tertata dengan baik,
seharusnya setiap gedung disuplai listrik dengan satu unit PHB building kemudian dari PHB
tersebut didistribusikan ke setiap lantai sesuai dengan type kolompok beban yang akan
dilayani. Sekarang ini ada PHB AC central G28 Lt-2 tidak berfungsi efektif. AC splite yang
digunakan pada setiap gedung masih mencantol dari PHB dan SDP lighting pada setiap lantai
terdekat.

Pengelompokan beban listrik yang terpasang pada Fak MIPA tidak terpisah antara beban
induktif dan beban resistif. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian diketahui bahwa
beban AC, KK/KKB dan penerangan tergabung dalam panel yang sama. Sehingga dapat
mempengaruhi life time pada peralatan elektronik/listrik pada gedung tersebut.
Instalasi listrik pada gedung Fak MIPA terawat dengan baik, hanya ada lima SDP yang
sudah tua dan karat karena lembab yang perlu perawatan/pengecatan yaitu: SDP lighting G30

418
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Lt-1, SDP Lighting G31 Lt-1, SDP lighting G32 Lt-2 dan SDP lighting G32 Lt-3.
Kelembaban bersumber dari rembesan air hujan.

4.2. Saluran (penghantar)

4.2.1.Saluran utama dari Trafo ke LVMDP


Fakultas MIPA memiliki LVMDP MIPA (SS-3)yang mensuplai listrik ke gedung Fakultas
MIPA dan beberapa fakultas lain, tetapi tidak ada PHB utama yang tersediakhusus melayani
kebutuhan listrik dalam gedung Fakultas MIPA sehingga tidak ada saluran utama ke PHB
utama. Dimensi penampang kabel saluran utama yang menghubungkan LVMDP ke masing-
masing PHB masih memenuhi standar.

4.2.2.Saluran cabang dari PHB Utama ke PHB Building


Sudah ada saluran cabang dari LVMDP ke PHB Building hanya perlu ditata kembali jika
Fak MIPA telah memiliki PHB utama tersendiri. Saluran cabang ke PHB yang terpasang saat
ini masih memenuhi standar.

4.2.3. Saluran cabang dari PHB ke SDP tiap lantai


Dimensi kabel saluran cabang yang menghubungkan panel PHB ke masing-masing SDP
masih memenuhi standar, namun demikian ada beberapa saluran cabang yang
menghubungkan panel PHB ke masing-masing SDP belum dilengkapi penghantar PE untuk
menghubungkan terminal PE ke sistem Pentanahan. Sehingga tidak dapat dilakukan proteksi
terhadap kegagalan isolasi dan induksi elektromagnetik.
4.2.4. Saluran akhir dari SDP/SSDP ke fixture
Secara umum saluran akhir yang terpasang pada Fak MIPA masih memenuhi standar
hanya perlu dipisahkan antara kolompok beban induktif seperti AC, pompa air yang sifatnya
mendisivasi energi listrik dengan beban resistif seperti lampu dan sejenis yang yang
mengabsorsi energi listrik.

4.3. Pentanahan
Tidak ditemukan bak kontrol untuk pentanahan sistem kelistrikan, bak kontrol untuk
pentanahan sistem elektronik dan kontrol, serta bak kontrol untuk pentanahan sistem
penangkal petir di Fakultas MIPA.
Nilai pentanahan(grounding) kelistrikan pada gedung since building sebesar 9,38 Ohm,
G28 sebesar 9,38 Ohm, G32 sebesar 24 Ohm, G40 sebesar 24 Ohm, sedangkan G30, G31 dan

419
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PHB AC central tidak ada grounding. Pentanahan penangkal petir dan pentanahan elektronik
tidak ada pada semua gedung di Fakultas MIPA.

4.4. Penghantar PE
Sebagian besar saluran cabang yang menghubungkan PHB ke SDP pada setiap lantai tidak
dilengkapi dengan penghantar PE termasuk saluran cabang dari SDP ke SSDP tidak
dilengkapi dengan penghantar PE
Saluran akhir instalasi lama telah memiliki penghantar PE, kecuali instalasi tambahan tidak
ada yang dilengkapi penghantar PE dan pemasangannya tidak rapih. Ada juga saluran akhir
yang dilengkapi dengan penghantar PE tetapi tidak dihubungkan ke terminal PE karena
terminal PE tidak tersedia dalam panel.

4.5. Fixtur, Conduit dan Cable Tray

4.2.1. Fixture
Fixtur instalasi berupa sakelar, stok kontak, armatur lampu yang terpasang dalam gedung
Fak MIPA masih terpasang rapi dan berfungsi dengan baik.
4.2.2. Conduit
Beberapa segmen instalasi terutama diatas tray cable tidak dilengkapi dengan conduit,
termasuk instalasi tambahan. Kecuali instalasi yang tertanam dalam tembok semua dilengkapi
dengan conduit yang masih terpasang rapi dan berfungsi dengan baik.
4.2.3. Cable tray/leader
Cabel tray untuk penyangga kabel saluran utama, cabang dan saluran akhir dari masing-
masing panel PHB dan SDP terpasang rapi dan berfungsi dengan baik.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil audit instalasi listrik yang dilakukan di Gedung
Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan km 10 yaitu :

1. Perlu dilakukan perbaikan pemasangan penghantar PE, pemasangan terminal PE dan


pembuatan bak kontrol sesuai standar yang berlaku dan dilakukan pengujian secara
berkala untuk mewujudkan instalasi listrik yang aman, andal dan ramah terhadap
komunitas masyarakat dalam lingkungan kampus

420
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. Untuk mencegah terjadinya arus bocor dan kebakaran akibat listrik perlu dilakukan tiga
hal yaitu (a) menghindari suplai listrik yang berbeda sumber kedalam gedung tampa
melalui COS/ATS, (b) memasang GPAS pada setiap PHB Building atau semua sumber
listrik yang masuk untuk meproteksi dini jika terjadi arus bocor, (c) serta perlu dilakukan
pemeliharaan panel dan instalasi secara berkala untuk menghindari penumpukan kotoran
pada terminal kabel.
3. Perlu diadakan panel PHB utama yang khusus melayani kebutuhan listrik Fak MIPA dan
menata kabel suplay dari PHB building pada masing-masing gedung yang ada sekarang,
dengan demikian maka pada PHB utama dapat dipasang kWh meter internal untuk
mengukur penggunaan listrik setiap fakultas, selain itu dapat mempermudah pengendalian
terhadap gangguan listrik dan kebakaran.

5.2. Rekomendasi
Perlu penambahan panel PHB Utama khusus melayani listrik di Fak MIPA, dari PHB
utama tersebut kemudian dibagi ke PHB building pada setiap gedung yang ada dalam
lingkup Fak MIPA dan dapat dipasangkan kWh meter. Sehingga efektif dalam
pengeporasian dan pengendalian gangguan.
Panel PHB building yang ada sekarang perlu ditata semua kabel suplai digabungkan ke
PHB utama sedangkan keluaran dari PHB tersebut didistribusikan kesetiap lantai sesuai
dengan type beban yang akan dilayani sehingga efektif.
Perlu pemisahan beban AC, KK/KKB dengan beban penerangan dimana kondisi listrik
yang ada di Fak MIPA saat ini semua beban tergabung dalam panel yang sama sehingga
dapat mempengaruhi life time dari perlalatan listrik/elektronik pada gedung tersebut.
Instalasi listrik pada Fak MIPA perlu dirawat, SDP lighting G30 Lt-1, SDP lighting G31
Lt-1, SDP lighting G32 Lt-1, SDP lighting G32 Lt-2 dan SDP lighting G32 Lt-3 tertimpah
rembesan air hujan sehingga lembab dan berkarat/kotor. Panel yang kotor dapat
menimbulkan losis yang tinggi dan kebakaran sehingga mendesak dilakukan perbaikan
dan pelatihan teknisi listrik agar memiliki kompotensi sebagai operator listrik.
Panel listrik perlu diproteksi dari kemungkinan rembesan air, saat ini ada beberapa panel
yang tertimpah tetesan air hujan sehingga tidak dapat berfungsi dan membahayakan
manusia dari sengatan listrik
Saluran cabang yang menghubungkan PHB building ke masing-masing PHB dan SDP
harus dilengkapi penghantar PE dan dihubungkan ke sistem Pentanahan.
Saluran cabang yang menghubungkan PHB ke masing-masing SDP dan SSDP harus
dilengkapi penghantar PE dan dihubungkan ke terminal PE

421
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sebagian besar saluran akhir pada gedung Fak MIPA terpasang rapi dan berfungsi dengan
baik, kecuali kabel tambahan untuk instalasi AC splite perlu ditata dengan baik.
Conduit kabel dalam tembok/bangunan dan selasar, terpasang rapi dan berfungsi dengan
baik.
Tray cable pada gedung Fak MIPA terpasang rapi dan berfungsi dengan baik.
Semua BKT harus dihubungkan ke terminal PE melalui penghantar PE
Semua kabel PE kelistrikan harus dihubungkan ke terminal PE kemudian disalurkan
melalui penghantar Pentanahan menuju bak kontrol kelistrikan
Bak kontrol untuk sistem Pentanahan pada semua gedung Fak MIPA perlu diadakan untuk
mempermudah pengendalian dan pengujian grounding secara berkala.
Gedung G30, G31 dan PHB AC central harus dibuat sistem Pentanahan kelistrikan.
Sedangkan Pentanahan elektronik dan penangkal petir harus dibuat pada semua gedung
Fak MIPA.
Sistem pentanahan kelistrikan, elektronik dan penangkal petir harus dipisahkan karena
frekuensinya berbeda untuk menghindari induksi elektromagnetik.
Nilai resistansi sistem Pentanahan kelistrikan di gedung G31 sebesar 24 Ohm tidak
memenuhi syarat, sehingga mendesak untuk diperbaiki.

REFERENSI

Standar Nasional Indonesia


Panitia Revisi PUIL 1987, 2000. “Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL
2000)”, Yayasan PUIL , Jakarta.
Standar Perusahaan Listrik Negara (SPLN)
Standar Konstruksi Jaringan Distribusi PT. PLN Persero Distribusi Jakarta Raya dan
Tangerang Buku I,II,III,IV,V, VI, Jakarta 1994.
Hutauruk, T.S.1999. “Pengetanahan Netral Sistem Tenaga dan Pengetanahan
Peralatan”. Penerbit Erlangga, Jakarta.

422
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

IEEE Std 1048-1990, “IEEE Guide for Protective Grounding of Power Lines”, The
Institute of Electrical and Electronics Engineer, Inc, New York.
IEEE Std 665-1995, “IEEE Guide for Generating Station Grounding”, The Institute of
Electrical and Electronics Engineer, Inc, New York.
IEEE Std 80-2000, “IEEE Guide for Safety in AC Substation Grounding”, The Institute
of Electrical and Electronics Engineer, Inc, New York.
Y. Xuan, Y. Lin, X. Zheng, Z. Xu, ”Power cable shunt compensation analysis and
compensation schemes comparison”, International conference on Electrical Engineering
and Automation Enggineering, 2013

423
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

BEBAN KABEL BAWAH TANAH 220 KV BERDASARKAN IMPEDANSI SURJA


DAN REAKTANSI

Ashar Ar1, Mustamin2, Sofyan3


1,3
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Ujung Pandang
2)
Jurusan Teknik Elektro, Universitas Haluuleo
1)
e_Mail : ar.ashar@yahoo.com

Abstrak

makalah ini ditulis untuk mengamti pengaruh variasi pembebanan yang berbeda berdasarkan nilai
impedansi yang dihasilkan oleh sumber tegangan DC. keadaan transien yang dihasilkan dari pusat pembangkit
tegangan tinggi memiliki efek yang signifikan terhadap kabel bawah tanah. Efek transien diukur berdasarkan
gaya yang timbul sebagai akibat dari tegangan dan puncak arus dan frekuensi osilasi transien. Sifat Jaringan
dari pusat pembangkit dan perambatan gelombang dari kabel bawah tanah tegangan tinggi diplot melalui
simulasi PSCAD / DMTDC dengan frekuensi yang sesuai dengan model yang dipilih. Hasil informasi ini sangat
penting untuk menentukan proteksi kabel dan peralatan listrik , pembebanan , kompensasi shunt dan isolasi
kabel .

Kata kunci : Surge Impedance, Perambatan Gelombang, PSCAD/DMTDC,loadibility

I PENDAHULUAN

Jurnal ini membahas tentang mengamati proses switching pada jaringan listrik
tegangan tinggi dan mempelajari pengaruh variasi pada tegangan dan arus lebih untuk kabel
bawah tanah. Simulasi akan dilakukan dengan menggunakan program PSCAD/DMTDC
dengan pilihan frequency dependent model. Pada model ini, akan digunakan sumber tegangan
DC dibelakang saklar/switch yang akan menutup pada waktu tertentu dan mensuplai kabel
220 kV yang akan dibagi menjadi 2 bagian yang masing-masing 20 km. Alat-alat pengukuran
(pengukuran arus dan tegangan) dihubungkan pada ujung pengirim, ditengah bagian kabel
dan di akhir penerima dari jaringan transmisi. Beban jaringan akan diubah-ubah berdasarkan
impedansi surja dari kabel. Dalam hal ini, sebuah beban tahanan yang sama, lebih besar dan
lebih kecil dibandingkan dengan impedansi surja dan sebagai tambahan menginvestigasi efek
reaktansi sebagai beban untuk kompensasi system.

Simulasi ini akan menyediakan karakteristik arus dan tegangan pada pembangkitan
transient untuk kabel bawah tanah 220 kV. Kemudian performa model ini akan dibandingkan
dengan aplikasi nyata pada system tenaga listrik. Jurnal ini membahas tentang garis besar
model kabel tenaga di bab 2, model simulasi di bab 3, hasil simulasi di bab 4 dan kesimpulan
di bab 5.

424
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

II MODEL KABEL DAYA

A. Model simulasi
Untuk model simulasi PSCAD/DMTDC pada jurnal ini, pemodelan menggunakan model
Frequency Dependent. Model ini menunjukkan ketergantungan frequency untuk parameter
yang terdistribusi terhadap frekuensi dengan jangkauan yang lebih luas. Berdasarkan model
perambatan gelombang, penurunan persamaan Telegrapher dapat mewakili model frequency
dependent [1].

Berikut ini persamaannya:

(1)

(2)

V dan I adalah tegangan dan arus pada jarak x sepanjang kabel. Z dan Y menunjukkan
impedansi dan admitansi. Sementara itu, impedansi dan admitansi adalah elemen yang
tergantung pada frekuensi.

B. Model kabel Daya


Parameter dasar untuk kabel atau jaringan transmisi pada umumnya dinyatakan sebagai
fungsi frekuensi dari impedansi seri Z dan admitansi shunt Y seperti persamaan berikut ini:

(3)

(4)

Dimana R, L adalah resistansi dan induktansi terhubung seri dan G, C adalah


konduktansi dan kapasitansi terhubung shunt.

PSCAD/DMTDC digunakan untuk menganalisis dan mensimulasikan system kabel


berdasarkan Z dan Y. parameter-parameter kabel dihitung berdasarkan geometri dan property
material dari kabel yang dipilih. Sejatinya, ada perbedaan utama antara pewakilan geometris
dari kabel sebenarnya yang digunakan di PSCAD/DMTDC dan actual kabel yang digunakan.
Inti konduktor yang digunakan di program ini adalah konduktor padat homogeny tetapi inti
konduktor sebenarnya terbuat dari banyak jenis model konduktor. Gambar berikut

425
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

menunjukkan perbedaan antara kabel yang disederhanakan yang memungkinkan di program


PSCAD/DMTDC dan kabel actual pabrikan.

Gambar 1. Kabel XLPE pabrikan (kiri) dan perwakilan kabel di PSCAD/DMTDC

Untuk simulasi ini, digunakan kabel actual 220 kV inti tunggal kabel XLPE dengan
permukaan kawat tembaga dengan tipe A)2XS(FL)2Y 1x… RM/50 127/220 kV stranded
compacted conductor (RM) [4]. Ukuran/luas permukaan dari kabel daya yang dipilih adalah
1000 mm2 dengan pertimbangan rugi konduktor yang kecil dan kapasitas penghantar arus
yang besar karena besarnya luas permukaan kabel. Table 2.1 dibawah menunjukkan data tipe
kabel ini.

Tabel I. Spesifikasi kabel XLPE inti tunggal 1000 mm2

Parameters Dimensions
Conductor diameter 38.1 mm
XLPE Insulation 19.0 mm
Screen, copper wire,
50 mm
cross section
Outer diameter 92 mm
Conductor Resistance 0.0273 Ω/km
Capacitance 0.201 µF/km
Inductance 0.36 mH/km
Current/Power Ratings 754 A/ 287 MVA

Untuk simulasi pada jurnal ini, model kabel yang disederhanakan berdasarkan gambar
2 dilakukan. Gambar berikut menunjukkan kabel yang disederhanakan yang digunakan di
PSCAD/DMTDC untuk simulasi. Hanya inti konduktor dan isolator untuk mewakili kabel
pabrikan yang sebenarnya.

426
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Model kabel yang disederhanakan di PSCAD/DMTDC

Parameter-parameter utama yang diberikan untuk inti konduktor pada


PSCAD/DMTDC adalah tahanan dan jari-jari. Pada dasarnya, hanya mungkin untuk memodel
konduktor sebagai sebuah konduktor padat atau berlubang dan model padat dipilih untuk
simulasi ini. Pada model yang sebenarnya, konduktor kabel actual terdiri atas stranded cable
sehingga luas permukaannya tidak murni padat. Meskipun demikian, keterbatasan ini dapat
diatasi dengan meningkatkan nilai tahanan konduktor. Menghitung ulang nilai tahanan dapat
dilakukan dengan rumus berikut

(5)

Dimana adalah nilai tahanan yang dikoreksi dalam Ohm Meter, ρ adalah nilai tahanan
konduktor sebesar 1.68 x 10-8 Ω.m untuk konduktor tembaga, adalah jari-jari konduktor
dalam meter dan adalah luas permukaan konduktor dalam m2. Jadi, perhitungan ulang nilai
tahanan untuk kabel actual yang dipilih adalah

Sehingga, nilai tahanan koreksi lebih besar sekitar 14% daripada nilai tahanan konduktor.
Kemudian masukkan nilai koreksi ini ke data inti konduktor di properti elektrikal untuk
resistivity.

Untuk properti material isolasi yang mengandung screen semikonduktor, juga


memerlukan nilai koreksi relative permittivity untuk parameter model PSCAD/DMTDC.
Screen semikonduktor memiliki efek substansial untuk kecepatan dan impedansi surja kabel.
Perhitungan ulang relative permittivity dapat dituliskan sebagai berikut:

(6)

427
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dimana adalah jari-jari konduktor, adalah ditambah dengan jumlah ketebalan


semiconducting screen dan materi isolasi utama, a dan b terkait dengan jari-jari dalam dan
luar isolasi dan adalah relative permittivity isolasi. Jika tebal semiconducting screen adalah
1 mm dan relative permittivity isolasi pabrikan utnuk kabel XLPE adalah 2,3. Maka dengan
menggunakan rumus (6), relative permittivity koreksi untuk property elektrikal di simulasi
PSCAD/DMTDC adalah 2.39.

C. Impedansi Surja untuk Kabel Daya


Karakteristik impedansi atau impedansi surja (Z0) jaringan transmisi seragam adalah rasio
antara arus dan tegangan dari gelombang berjalan sepanjang kabel daya. Impedansi surja juga
dikenal sebagai impedansi natural. Satuan impedansi surja adalah ohm. Impedansi surja tidak
bergantung terhadap panjang kabel dan ditentukan oleh geometri dan bahan kabel. Pada
umumnya, ketika gelombang berjalan yang kembali disepanjang kabel dengan arah
berlawanan. Ketika gelombang berjalan ini mencapai ujung pengirim, maka akan
ditambahkan ke gelombang yang dikirimkan berikutnya. Jadi rasio baru untuk arus dan
tegangan masukan akan memiliki nilai yang berbeda dengan impedansi surja dan hal ini
disebut impedansi masukan. Baik impedansi surja dan impedansi masukan akan memiliki
nilai yang sama ketika gelombang yang ditransmisikan tidak direfleksi kembali. Gambar
berikut ini adalah representasi dari jaringan transmisi

Gambar 3. Skema represenatasi model jaringan transmisi


Berdasarkan persamaan telegrapher, persamaan umum untuk impedansi surja adalah:

(7)

Dimana,

R’ adalah resistansi konduktor dalam Ω/km

L’ adalah induktansi dalam H/km

G’ konduktansi dalam S/km

C’ adalah kapasitansi F/km

J adalah simbol imajiner

428
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ω adalah frekuensi angular dimana ω=2πf in rad/s

jika jaringan transmisi diasumsikan tanpa rugi-rugi, baik R’ dan G’ dari persamaan 7 akan
menjadi nol. Sehingga persamaan sederhana untuk impedansi surja adalah

(8)

Dari persamaan 8, dapat dilihat bahwa impedansi surja pada jaringan transmisi
tergantung pada kapasitansi dan induktansi. Pada dasarnya, sebuah jaringan transmisi adalah
sepasang konduktor parallel dengan karakteristik tertentu karena kapasitansi dan induktansi
yang terdistribusi sepanjang kabel transmisi. Kapasitansi terdistribusi akan menurun jika jarak
2 konduktor parallel lebih besar tetapi induktansi terdisitribusi akan meningkat disebabkan
karena kecilnya pelemahan dari 2 medan magnet yang berlawanan. Kapasitansi parallel yang
sedikit dan induktansi seri yang lebih banyak menghasilkan impedansi surja yang lebih besar
dan arus yang ditarik lebih kecil untuk tegangan yang diberikan pada jaringan. Sebaliknya,
semakin besar arus yang ditarik ketika kapasitansi lebih besar dan induktansi lebih kecil atau
impedansi surja lebih rendah.

Berdasarkan tabel 1 tentang spesifikasi kabel dan persamaan (7) untuk rumus
impedansi surja, impedansi surja kabel dengan luas penampang 100mm 2 jika diasumsikan G’
adalah nol maka didapatkan:

Ohm

Ohm

Secara teori, jika sebuah beban resistif murni yang sama dengan nilai impedansi surja
dihubungkan di ujung jaringan transmisi tanpa resistansi, tegangan surja diujung pengirim
akan diserap sepenuhnya pada ujung penerima kabel. Baik ujung pengirim dan ujung
penerima akan memiliki besar tegangan yang sama dan sudut fasa tertinggal terhadap ujung
pengirim yangsama dengan waktu yang dibutuhkan untuk melalui jaringan dari ujung
pengirim dan penerima. Secara praktis, konsep impedansi surja lebih dapat dialikasikan pada
system komunikasi daripada system tenaga. Meskipun demikian, konsep ini dapat digunakan
untuk transfer daya pada jaringan transmisi dan dikenal sebagai pembebanan impedansi Surja
atau SIL (Surge Impedance Loading). Sebuah jaringan transmisi yang dibebani dengan

429
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pembebanan impedansi surjanya tidak akan memiliki daya reaktif murni masuk atau keluar
jaringan dan memiliki tegangan tetap sepanjang kabel dan tidak tergantung pada panjang
kabel. Persamaan berikut ini adalah rumus untuk SIL

(9)

Berdasarkan persamaan tersebut, maka dapat dihitung pembebanan impedansi surja


untuk tegangan fasa ke fasa 220 kV untuk jaringan yang tidak terkompensasi dan impedansi
surja sebesar 42,92 dari kabel daya yang dipilih.

Jika jaringan dibebani diatas SILnya, maka akan menyerap daya reaktif dari system dan jika
dibebani dibawah SIL, maka menyuplai daya reaktif ke sistem

III. MODEL SIMULASI

Dalam menginvestigasi pengaruh impedansi surja sebagai resistif murni yang lebih rendah,
lebih tinggi dan sama dengan impedansi surja dan komponen reaktif sebagai beban pada
ujung penerima jaringan transmisi, Sumber tegangan DC dalam ini lebih dipilih dibandingkan
dengan sumber AC untuk memudahkan analisa transien arus dan tegangan pada ujung
pengirim, ditengah-tengah kabel dan diujung kabel penerima. Analisisnya menggunakan
program PSCAD/DMTDC untuk menginvestigasi phenomena proses pensaklaran/switching
dan pengaruh perbedaan variasi pada tegangan dan arus lebih pada kabel daya seperti
ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Model simulasi PSCAD/DMTDC tanpa beban

Pada model simulasi ini, tegangan puncak DC 179,7 kV digunakan sebagai sumber di
ujung pengirim untuk mensuplai kabel daya 220 kV. Besar tegangan ini sebanding dengan
sumber tegangan AC RMS 220 kV fasa ke fasa. Untuk memproteksi jaringan kabel, MCB
digunakan pada jaringan dan waktu operasi untuk MCB pertama adalah 0,1 detik. Kabel daya
2 bagian digunakan pada simulasi ini dan setiap bagian panjangnya 20 km. kabel bawah tanah

430
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ditanam sedalam 1 meter dalam tanah. Alat-alat ukur untuk mengukur tegangan dan arus
ditempatkan diujung pengirim, tengah dan ujung penerima kabel daya.

IV. HASIL SIMULASI

Terdapat 5 kondisi yang disimulasikan pada jurnal ini berdasarkan efek beban bervariasi.
Pertama, menganalisis model simulasi tanpa beban, kemudian memberikan beban pada ujung
penerima dengan nilai yang sama, lebih tinggi dan lebih rendah daripada impedansi surja
kabel bawah tanah dan terakhir adalah menganalisis ketika dibebani dengan reaktansi. Pada
dasarnya, hasil simulasi berdasarkan pada pengaruh proses pensaklaran pada kabel daya
bertegangan dan gelombang berjalan pada sistem.fenomena transien dapat muncul pada
system disebabkan karena proses pensaklaran. Meskipun transien adalah kejadian dengan
waktu yang singkat tetapi harus diketahui agar dapat memproteksi kabel dan peralatan listrik
yang lain.

A. Tanpa Beban

Gambar 5 dibawah menunjukkan hasil simulasi ketika tidak ada beban pada ujung
pengirim.

Gambar 5. Hasil Simulasi arus dan tegangan tanpa beban

Seperti ditunjukkan pada gambar 3 yang merupakan representasi dari model kabel daya,
maka akan terdapat resistansi seri, induktansi seri dan kapasitansi parallel pada jaringan.

431
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kabel memiliki kapasitansi yang tinggi sepanjang kabel. Ketika tegangan diberikan pada
kabel maka kapasitansi akan muncul terhadap perubahan tegangan berdasarkan persamaan

(10)

Dan akan menarik arus yang sebanding dengan perubahan tegangan terhadap waktu.
Sehingga dari gambar 5, ketika Circuit Breaker ditutup, akan ada waktu 1 detik sebelum
circuit breaker tersebut bekerja. Kemudian kapasitansi akan bereaksi terhadap tegangan yang
tiba-tiba, naik disebabkan karena pengisian dan menarik arus dari sumber. Meskipun
demikian, arus yang ditarik tidak akan tak berhingga karena impedansi seri sepanjang kabel.
Energi yang tersimpan pada medan magnet akan menghasilkan arus yang berlawanan untuk
menguruang arus yang dibangkitkan dari sumber tegangan. Jadi arus tersebut akan mengisi
kapasitansi dan memnghasilkan jatuh tegangan sepanjang kabel berdasarkan persamaan
induktansi

(11)

Karena rangkaian ini dalam keadaan terbuka (open circuit), arus yang terukur pada ujung
penerima seharusnya nol atau gelombang arus berjalan berhenti pada ujung penerima karena
electron tidak dapat mengalir jika jaringan tidak kontinu.

Kondisi simulasi ini disebut efek Ferranti pada jaringan transmisi. Maksudnya adalah
kenaikan tegangan terjadi pada sisi ujung penerima (receiving end) diatas tegangan pada
ujung pengirim (sending end). Hal ini terjadi ketika kabel dibebani dengan beban yang sangat
kecil atau beban dilepaskan dari system. Pada aplikasi sebenarnya, hal ini dapat diterapkan
untuk menentukan panjang kabel dengan menggunakan alat ukur kecepatan tinggi yang
mendeteksi signal dari sumber ke ujung pengirim dari kabel transmisi. Aplikasi yang lain
adalah untuk menentukan lokasi kerusakan kabel atau kabel terputus karena arus tidak akan
tidak terefleksi pada kabel yang putus dan instrument untuk tujuan ini disebut Time Domain
Reflectometers (TDRs). Prinsip dasarnya adalah membangkitkan pulsa suara dan mengukur
waktu pantulan (echo) kembali.

B. Beban sama dengan impedansi Surja


Beban dipasang sama dengan nilai impedansi surja, dalam hal ini komponen resistansi
murni sebesar 42.92 Ohm. Gambar berikut ini menunjukkan hasil simulasi untuk tegangan
dan arus pada ujung pengirim, ditengah kabel dan ujung penerima untuk kabel sepanjang 40
km.

432
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 6. Beban sama dengan impendansi surja kabel

Jika beban persis sama dengan impendansi surjakabel, gelombang refleksi dapat
dieliminasi dari kabel transmisi karena semua signal terdisipasi oleh resistansi murni.
Tegangan pada ujung pengirim (UA) tetap konstan sepanjang sumber DC konstan. Tegangan
terukur UB dan UC cenderung berisolasi karena pengaruh karakteristik kapasitif dan induktif
kabel dan diredam oleh resistansi. Arus yang ditarik dari sumber tegangan hampir sama
sepanjang kabel. Panjang kabel hanya mempengaruhi waktu tunda arus dari sumber tegangan
ke tengah kabel dan akhirnya pada ujung penerima. Pada kondisi ini, tidak ada daya reaktif
dari ujung pengirim ataupun ujung penerima.
Pada kenyataannya, impedansi surja kabel dan impedansi beban tidak akan
pernah persis sama. Meskipun demikian, sangat penting untuk mengetahui pembebanan
pada system dan mengetahui pembebanan impedansi surja (Surge Impedansi Loading) atau
SIL. Karena kabel memiliki impedansi surja yang lebih rendah, pembebanan impedansi
surja tinggi seperti ditunjukkan (9). Arus pada pembebanan impedansi surja biasanya lebih
tinggi daripada rating termal dari kabel. Oleh karena itu, kabel pada jaringan transmisi harus
dibebani dibawah pembebanan impedansi surjanya.

C. Beban lebih tinggi dibanding Impedansi Surja


Ujung pengirim dibebani tiga kali lebih besar dibandingkan dengan impedansi surja.
Sehingga beban resistansi adalah 128,76 ohm. Hasil simulasi dapat dilihat pada gambar 7
dibawah ini

433
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 7. Beban tiga kali Impedansi Surja


Ketika beban lebih tinggi daripada impedansi surja, gelombang refleksi akan terjadi pada
ujung penerima pada jaringan transmisi. Oleh karena itu, tegangan UB dan UC akan lebih
tinggi dibandingkan dengan tengan sumber UA. Jadi, tegangan dan arus lebih akan muncul
pada jaringan transmisi. Semakin naik beban, semakin tinggi kenaikan arus dan tegangan
lebih pada jaringan. Arus yang ditarik dari sumber lebih rendah dibandingkan arus beban
untuk nilai yang sama dengan impendansi surja seperti ditunjukkan gambar 6, sehingga masih
berada pada batas termal kabel. Arus IA lebih tinggi disbanding IB dan IB lebih tinggi dari IC
karena karakteristik kapasitansi dan induktansi kabel. Kemudian arus diredam oleh resistansi.
Pada kondisi ini, jaringan transmisi akan menghasilkan daya reaktif atau menjadi seperti
kapasitor shunt mensuplai MVAR ke sistem.
Relevansinya dengan aplikasi nyata, kondisi ini penting untuk mengetahui pembebanan
pada kabel transmisi atau peralatan listrik yang lain. Tegangan lebih dapat merusak isolasi
kabel sehingga sangat penting untuk kordinasi isolasi (Insulation coordination).
D. Beban lebih rendah daripada Impedansi Surja
Ujung penerima dari model jaringan transmisi ini dibebani dengan setengah impedansi
surja kabel atau beban resistansinya adalah 21.46 ohm. Hasil simulasi seperti ditunjukkan
pada gambar 8.

434
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 8. Beban setengah dari Impendansi Surja


Jika beban lebih rendah dari impedansi surja kabel, gelombang refleksi akan terjadi
pada ujung penerima jaringan transmisi. Dalam hal ini, arus yang lebih tinggi akan ditarik dari
sumber. Arus menjadi lebih tinggi hampir dua kali dibandingkan dengan arus ketika dibebani
dengan beban yang sama dengan impendansi surja. Dengan kata lain, tegangan U A pada ujung
pengirim tetap sama dengan sumber tegangan DC konstan. Tegangan terukur pada UB
cenderung berisolasi karena karakteristik kapasitansi kabel. Kemudian tegangan UC menjadi
lebih rendah dibanding UB dan tegangan sumber karena arus tereduksi pada ujung penerima
disebabkan karena induktansi medan magnetik. Pada kondisi ini, jaringan transmisi akan
menyerap daya reaktif atau bertindak seperti reactor shunt.

Besar arus untuk beban yang lebih rendah tentunya lebih tinggi dibandingkan dengan
batas termal kabel. Oleh karena itu, sangat berbahaya terhadap isolaso kabel dan peralatan
listrik yang lain seperti mesin-mesin listrik.

E. Reaktansi sebagai kompensasi


Karena kapasitansi yang besar sepanjang kabel daya maka kompensasi induktif shunt harus
digunakan untuk mengatasi daya reaktif yang tinggi dan tegangan yang tinggi pada ujung
terbuka. Daya reaktif dapat mengurangi kapabilitas transmisi daya dan tegangan yang tinggi
pada ujung terbuka juga dapat menjadi masalah pada sistem. Oleh karena itu, beban reaktansi
yang digunakan pada simulasi ini adalah beban induktansi shunt. Pada jurnal ini diasumsikan
bahwa reaktansi beban adalah 0.1 H dan kompensasi reaktansi ini jauh lebih besari
dibandingkan dengan induktasni kabel. Gambar 9 menunjukkan hasil simulasi dengan beban
induktif shunt.

435
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 9. Beban reaktansi pada simulasi


Berdasarkan gambar 9, dapat dianalisis bahwa reactor shunt dapat mengurangi transien
pada tegangan lebih baik pada ujung penerima dan titik tengah pada bagian kabel dan
meningkatkan stabilitas transien. Sistem yang terkompensasi dapat meningkatkan faktor daya
sehingga dapat meningkatkan daya pengirim karena rugi-rugi turun. Pada UB dan UA aka nada
osilasi untuk waktu yang singkat karena karakteristik kapasitif dan induktif kabel dan diredam
oleh resistansi.induktif shunt berpengaruh pada tegangan yang lebih rendah pada ujung
penerima dibandingkan dengan ujung pengirim. Untuk karakteristik arus, arus yang ditarik
menjadi lebih tinggi karena pembebanan hanya induktif murni yang menyimpan medan
magnetik.
Relevansinya dengan aplikasi nyata, kabel daya dikompensasi dengan kompensasi induktif
shunt. Kompensasi ini penting karena memiliki karakteristik transien yang lebih baik dan
meningkatkan kapasitas transmisi daya yang lebih besar.

V. KESIMPULAN
Menganalisis proses pensaklaran untuk arus dan tegangan lebih pada ujung pengirim,
ditengah kabel dan pada ujung penerima dengan memberikan sumber tegangan DC 179,9 kV,
jaringan transmisi tanpa beban/terbuka, beban sama dengan impedansi surja, beban lebih
besar dan lebih kecil dari impedansi surja dan beban reaktansi shunt memiliki pengaruh
terhadap proses pensaklaran (switching transient). Impedansi surja tidak tergantung terhadap
panjang kabel. Idealnya, ketika beban persis sama dengan impedansi surja maka tidak aka
nada daya reaktif pada jaringan transmisi dan juga tidak ada sinyal refleksi dari ujung
penerima pada jaringan transmisi sehingga tidak berbahaya terhadap material isolasi kabel.

436
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Berdasarkan simulasi, beban dapat dinaikkan sekitar dua kali dari impendasi surja agar tidak
didapatkan tegangan dan arus lebih pada system.
Efek Ferranti akan terjadi ketika sistem terbuka atau beban yang sangat kecil. Tegangan
pada ujung penerima menjadi lebih tinggi karena resistansi seri untuk peredaman, induktansi
seri dan kapasitansi seri pada kabel dimana kabel memiliki kapasitansi yang tinggi dan
induktansi yang lebih rendah. Kondisi tanpa beban berbahaya ketika disuplai dengan tegangan
tinggi tetapi berguna untuk mendeteksi kerusakan pada kabel dengan menggunakan generator
sinyal.
Kasus yang lain untuk impedansi surja adalah beban lebih tinggi atau lebih rendah
daripada impedansi surja, gelombang refleksi akan terjadi pada ujung penerima dan
menyebabkan arus lebih atau tegangan lebih. Ketika lebih tinggi, jaringan akan
membangkitkan daya reaktif dan ketika lebih rendah maka system akan menyerap daya
reaktif.
Kompensasi beban induktif dipilih pada simulasi ini karena kabel memiliki kapasitansi
shunt yang besar sepanjang kabel. Kompensasi induktif dapat menyeimbangkan sistem
tenaga, meningkatkan stabilitas transien dan meningkatkan faktor daya.

References

M. Daud, P Ciufo, S Parera, “A study on the suitability of cable models to simulate switching
transients in a 132 kV underground cable,” Australian Journal of Electrical and Electronics
Engineering, vol. 10, (1) pp. 45-54,2013.
F. Farida, C.L. Bak, W.T. Wiechowski, “Study of high voltage AC underground cable
systems,” PhD seminar 2010 in Fredericia Denmark, February 8th, 2010.
H Van der Merwe, F S van der Merwe,”Some features of travelling waves on cables,” IEEE
Transactions on Power Delivery, Vol. 8, No. 3, July 1993.
High voltage cable systems: Cables and Accessories up to 550 kV, Nkt cables GmbH,
Germany
K. Kawamura, A. Ametani, U.S. Gudmundsdottir,”Surge analysis on a long underground
cable system,” Journal of International Council on Electrical Engineering Vol. 3, No. 2, pp.
158-163, 2013.
E Bogatin,”What is characteristic impedance?,” printed circuit design magazine, jan, 2000.
P.18

437
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

J Karlstrand,”WETS-07 Reactive compensation,” ABB Power Technology Products AB/HVC


Y. Xuan, Y. Lin, X. Zheng, Z. Xu,”Power cable shunt compensation analysis and
compensation schemes comparison,” International conference on Electrical Engineering and
Automation Enggineering,2013

438
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PROBLEMS EVALUATION OF A DRAINAGE SYSTEM IN KADIA DISTRICT


KENDARI CITY

Ahmad Syarif Sukri1)

Abstract

Problems evaluation of a drainage system in Kadia district Kendari City, is an interesting evaluation
that this location is known as an exciting district as a residence, place of business or work, and a place for
amusement or recreation. In the development, varioes urban problems that must be addressed such as the lack of
drainage system functioning, and this condition leads to the puddle forming in many areas inthe district which
the majority is areas, affices, economy, education and vacant land. Flooding also aften accurs in this region
that causing the complication of mobilization and societies’ comfort, and accelerates the destruction of roads
and government facilities. The purposes of this study were to 1). Determine the cause of the drainage problems
that still exist in Kadia district, 2). Analyzing existing discharge flows and discharge plan flows according to the
regional conditions, 3). Determine the capacity of the existing drainage channel.The results of this study are the
cause of the problems in Kadia district is the overflow runoff ( rainfall runoff) that occur almost every event of
rain, the capacity of the channel and culvert that has been inadequate, the presence of disconnected drainage
canals, a very limited efforts to implementing the development, operation, and maintenance, as well as the low
awarenes and public participation related to the optimization of the channel function / drainage system. The
rainfall plan is R2 = 53,78 mm, R5 = 76,83 mm, R10 = 96,90 mm, R15=110,19 mm, R20 = 120,47 mm dan R25
= 128,90 mm. The analysis used in the determination of priority areas were discharges in R5 and R10. Existing
large flow rate and discharge plans vary according to the conditions and the width of service area service than
substantially the discharge flow rate plans is large than the existing one. The river discharge plans of Kadia
district is Q2 = 138,896 m3/sec, Q5 = 198,427 m3/sec, Q10= 250,262 m3/sec, Q15 = 284,585 m3/sec, Q20 =
m3/sec 311,135 m3/sec, dan Q25 = 332,907 m3/sec. The capacity of the existing drainage channel is no longer
able to accommodate the discharge flows both on period of 5 and 10 years. So it is necessary to repairs and
constructs the drainage channels adaptedv to discharge conditions, local topography, extensive community
service and social conditions.

Keywords : drainage, flood, inundation, capacity.

INTISARI

Evaluasi Permasalahan Sistem Drainase Kecamatan Kadia Kota Kendari, Kecamatan


yang menarik sebagai tempat tinggal, tempat usaha atau bekerja, maupun tempat mencari
hiburan atau rekreasi. Dalam perkembangannya, berbagai permasalahan perkotaan yang harus
segera dibenahi seperti kurang berfungsinya sistem drainase sehingga kondisi ini
menyebabkan genangan air di berbagai wilayah di Kecamatan Kadia yang mayoritas
merupakan kawasan perumahan, perkantoran, Perekonomian, Pendidikan dan tanah kosong.
Banjir juga sering terjadi pada kawasan ini sehingga mempersulit mobilisasi dan kenyamanan
warga setempat dan mempercepat rusaknya jalan dan Fasilitas- Fasilitas Pemerintah. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah 1). Mengatahui Penyebab permasalahan yang ada pada
drainase di Kecamatan Kadia sehingga sering terjadi banjir,2). Menganalisa besar debit aliran
eksisting dan debit rencana sesuai kondisi kawasan.3).Mengetahui kemampuan kapasitas daya
tampung saluran drainase eksisting

439
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Adapun hasil dari penelitian ini adalah Penyebab permasalahan di Kecamatan Kadia
sehingga sering terjadi banjir adalah Luapan dan genangan limpasan permukaan (limpasan
hujan) yang terjadi hampir setiap kejadian hujan, Kapasitas saluran dan gorong-gorong yang
ada sudah tidak memadai, Pertumbuhan dan perubahan fungsi kawasan, pembangunan
kawasan pemukiman baru, berkurangnya kawasan retensi dan resapan, dan tidak/kurangnya
upaya pengendalian limpasan di tingkat lokal, Integrasi dan konsistensi sistem jaringan
drainase yang belum memadai, adanya saluran-saluran drainase yang terputus, sangat
terbatasnya upaya pembangunan dan operasi dan pemeliharaan dan rendahnya kesadaran dan
partisipasi masyarakat terkait dengan optimalisasi fungsi saluran/sistem drainase. Adapun
besar curah hujan rencana adalah R2 = 53,78 mm, R5 = 76,83 mm, R10 = 96,90 mm,
R15=110,19 mm, R20 = 120,47 mm dan R25 = 128,90 mm, analisis yang digunakan didalam
penentuan debit di daerah prioritas menggunakan R5 dan R10.Besar debit aliran eksisting dan
debit rencana sesuai kondisi kawasan berpariasi sesuai denga luas layanan drainase yang
pada hakekatnya besar debit renaca lebih besar dibandingkan dengan debit kapasitas existing.
Debit rencana untuk sungai Kadia adalah Q2 = 138,896 m3/dt, Q5 = 198,427 m3/dt, Q10=
250,262 m3/dt, Q15 = 284,585 m3/dt, Q20 = m3/dt 311,135 m3/dt, dan Q25 = 332,907 m3/dt.
Kemampuan kapasitas daya tampung saluran drainase eksisting tidak mampu lagi menerima
debit aliran baik pada kondisi periode ulang 5 dan 10 tahun, sehingga diperlukan perbaikan
dan pembangunan drainase yang disesuaikan dengan kondisi debit, daerah topografi, luas
layanan dan kondisi sosial masyarakat.

Kata Kunci : Drainase, Banjir, Genangan, Kapasistas

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk yang semakin lama semakin meningkat dan membutuhkan adanya
pemukiman di suatu kawasan perkotaan dan sekitarnya akan mengakibatkan penggunaan
lahan semakin meningkat dan daerah hijau/daerah terbuka yang berfungsi untuk menahan
sementara waktu dan meresapkan air hujan ke dalam tanah semakin berkurang ( Lo
Russo,2009 ). Adanya ketidakseimbangan antara cut and fill lahan, pemerataan jalan untuk
jalur transportasi, dan banyaknya perkerasan yang menyebabkan porsi rembesan dan
resistensi makin mengecil mengakibatkan porsi limpasan air hujan membesar dan terjadi
banjir. Dampak lingkungan yang terjadi terhadap sistem drainase akibat kegiatan manusia

440
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

adalah perubahan tata guna lahan semenjak abad ke-20 (Inbar, 2002). Untuk mengatasi hal
ini, salah satu langkah yang perlu diambil adalah dengan memperhatikan sistem pengelolaan
air hujan pada suatu kawasan dalam rangka konservasi air, yaitu dengan memperhatikan
sistem drainase dan kolam retensi sebagai cara untuk mengendalikan banjir. ( Putra.A.
Prayoga , 2010 )
Drainase adalah suatu proses alami, yang diadaptasikan manusia untuk tujuan mereka
sendiri, mengarahkan air dalam ruang dan waktu dengan memanipulasi ketinggian muka air
(Abdel dayem, 2005). Kebutuhan akan sistem drainase yang memadai telah diperlukan sejak
beberapa abad yang lalu, seperti pada masa 300 SM jalan-jalan pada masa tersebut dibangun
dengan elevasi lebih tinggi untuk menghindari adanya limpasan di jalan (Long, 2007). Kota
Jakarta merupakan kota dengan perkembangan yang terpusat sehingga menyebabkan
terkonsentrasinya pertumbuhan ekonomi perkotaan sehingga orientasi penduduk ke dalam
kota sangat tinggi. Ledakan migrasi penduduk yang tinggi pada wilayah yang kurang akan
daerah resapan seperti Jakarta adalah masalah yang signifikan dan akan menyebabkan banjir
karena fasilitas drainase yang tidak memadai (Amini, 2009), ledakan migrasi tersebut
menuntut kelayakan sarana dan prasarana yang memadai. Sekarang ini, pembangunan sarana
dan prasarana yang diperlukan seperti perumahan, pengelolaan persampahan, jaringan air
minum, Instalasi pengolahan air minum, Instalasi pengolahan air buangan, drainase, dan
sebagainya belum mampu mengimbangi pertumnbuhan penduduk yang timbul. ( Putra A.
Prayoga. 2010)

Suatu kawasan pemukiman yang tertata dengan baik haruslah juga diikuti dengan penataan
sistem drainase yang berfungsi untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu
kawasan atau lahan sehingga lahan dapat berfungsi secara optimal

Kawasan rawan banjir dan genangan di Kota Kendari secara geografis telah
diidentifikasi sebagai lokasi yang sangat rawan terjadi banjir dan genangan air. Hal ini
disebabkan oleh kondisi wilayahnya dengan topografi yang relatif datar yang mengakibatkan
air hujan tidak bisa mengalir (kecepatan aliran sungai rendah), curah hujan per tahun yang
cukup tinggi, serta kondisi saluran drainase (primer, sekunder dan tersier) yang ada sudah
tidak mampu mengalirkan air hujan. Kondisi diatas diperburuk oleh pesatnya alih fungsi lahan
yang ada akibat pertambahan penduduk yang pesat.
Penelitian ini berada pada kawasan Kecamatan Kadia yang mayoritas merupakan
kawasan perumahan, perkantoran, Perekonomian, Pendidikan dan tanah kosong. Banjir juga

441
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

sering terjadi pada kawasan ini sehingga mempersulit mobilisasi dan kenyamanan warga
setempat dan mempercepat rusaknya jalan dan pasilitas- pasilitas pemerintah.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah 1). Mengatahui Penyebab permasalahan yang
ada pada drainase di Kecamatan Kadia sehingga sering terjadi banjir. 2). Menganalisa besar
debit aliran eksisting dan debit rencana sesuai kondisi kawasan. 3).Mengetahui kemampuan
kapasitas daya tampung saluran drainase eksisting

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Umum

Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan kelebihan air. Khusus istilah
drainase perkotaan, kelebihan air yang dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan.
Kelebihan air hujan pada suatu daerah, dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau
genangan air, sehingga diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi menampung air
hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut menuju pembuangan akhir seperti danau
atau laut.
Pada suatu sistem drainase perkotaan terdapat jaringan saluran drainase yang merupakan
sarana drainase lateral berupa pipa, saluran tertutup dan saluran terbuka. Berdasarkan cara
kerjanya saluran drainase terbagi dalam beberapa jenis, yaitu saluran pemotong, saluran
pengumpul dan asaluran pembawa.
Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, diperlukan bangunan- bangunan
pelengkap. Jenis bangunan pelengkap itu adalah :
a) Bangunan Silang; misalnya gorong-gorong atau siphon.
b) Bangunan Pintu Air ; misalnya pintu geser atau pintu otomatis.
c) Bangunan peresap (infiltrasi ) misalnya sumur resapan
Sisitem drainase kota terbagi atas bermacam-macam pembagian, sesuai dengan kriteria
pembagiannya. Untuk lebih jelasnya pembagiannya adalah:
a) Berdasarkan fungsi pelayanan, sistem drainase kota dibagi menjadi dua bagian pokok
yaitu Sistem drainase lokal, Sistem drainase utama, Pengendalian banjir (Flood Control)
b) Berdasarkan fisiknya, sistim drainase terdiri atas saluran primer, sekunder, tersier.

B. Analisis Hidrologi
Curah hujan yang diperlukan untuk suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan
pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan

442
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

curah hujan di suatu titik tertentu.Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah
yang dinyatakan dalam mm.
Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata pada areal
tertentu dari angka-angka curah hujan dibeberapa titik pos penakar. Cara tinggi rata-rata
(Aritmatik), (Soemarto, 1995).
d 1  d 2  d 3  ...  d n n
d
d  i
n i 1 n (1)

Cara poligon Thiessen, (Suyono, 1985).

R1 . A1  R2 . A2  ...  Rn . An
R
A (2)
R  W1 .R1  W2 .R2  ...  Wn .Rn

Keterangan ;
R = Curah hujan harian rerata maksimum
Rn = Curah hujan pada stasiun penakar hujan (mm)
An = Luas daerah pengaruh stasiun penakar hujan (km2)
Wn = Koefisien poligon (An / A).

Cara isohyet, (Soemarto, 1995) ;


d 0  d1 d  d2 d  dn
. A. 1 . A2 .  ...  n 1 . An
d 2 2 2
A1  A2  ...  An
n
di  1  di
i 1 2
. Ai
d
A (3)

Dengan ;
A = A 1+ A 2+ . . . An = luas areal total
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
do, d1, dn = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, . . .n
A1,… An = luas bagian areal yang dibatasi oleh Isohyet yang
bersangkutan

C. Curah Hujan Rancangan Maksimum

Curah hujan rancangan adalah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan
tertentu atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Dalam statistik dikenal

443
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

beberapa jenis distribusi frekwensi dan yang sering digunakan dalam hidrologi antara lain
adalah sebagai berikut;
1. Distribusi Normal
Merupakan salah satu bentuk distribusi continuous atau disebut juga distribusi
Gaussian. Distribusi normal merupakan distribusi 2 parameter ( dan ) dengan persamaan
density sebagai berikut ;

1
1  ( X  ) 2 /  2
Y .e 2

 2 (4)

Keterangan ;
X = variabel statistik
 = rerata (mean)
 = simpangan baku (standart deviasi)

2. Distribusi Log Normal


Apabila variabel statistik X terdistribusi secara log-normal, maka dengan
menggunakan persamaan transformasi sebagai berikut ;
Y Ln ( X ) (5)
3. Distribusi Gumbel
Salah satu distribusi continuous untuk nilai-nilai ekstrim adalah distribusi Gumbel.
Persamaan probabilitas komulatif P(X) dari distribusi Gumbel adalah ;
 a ( X b )
P( X )  e.  e (6)
Keterangan ;
X = variabel statistik
a,b = parameter
e = bilangan natural = 2,718
Apabila Y = a (x - b), dimana Y disebut juga sebagai reduced variate, maka
persamaannya menjadi ;
y
P( X )  e.  e
_

Sedangkan menurut Chow, maka : X  X  s.K (7)


X = harga rerata sampel
S = simpangan baku sampel

444
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

K = faktor frekwensi
Faktor frekwensi K dapat dinyatakan sebagai berikut ;
Yt  Yn
K
Sn (8)
Yt = reduced variate
Yn = rerata (reduced)
Sn = simpangan baku (reduced)
Harga Yt dapat dihitung dari rumus sebagai berikut ;
  T  1 
Yt   Ln  Ln r 
  r 
T
(9)
Tr = kala ulang (dalam tahun)

4. Distribusi Log Pearson Type III


Pada studi ini, untuk menentukan curah hujan rancangan digunakan metode analisa
frekuensi Log Pearson Type III, karena metode ini lebih fleksibel dan dapat dipakai untuk
semua sebaran data, yang mana besarnya harga parameter statistiknya yaitu koefisien
kepencengan (Cs) dan koefisien kepuncakan (Ck), tidak memiliki batasan harga tertentu. (
Sri Harto, 1983 )
Distribusi Log Pearson Type III memperhitungkan tiga parameter statistiknya yaitu:
(1) Harga rata-rata (mean), (2) Simpangan baku (standart deviasi), dan (3) Koefisien
kepencengan (skewness)
Adapun tahapan untuk menghitung curah hujan rancangan dengan metode ini adalah
sebagai berikut ; (Soemarto, 1987).
a. Data rerata hujan harian maksimum tahunan sebanyak n buah diubah dalam bentuk
logaritma (Log X).
b. Dihitung harga logaritma rata-rata
1 n
LogXi   LogXi
n i 1 ( 10 )
c. Dihitung harga simpangan baku
n

 ( LogXi  LogX )
2

i 1
Sd 
n 1 ( 11)
d. Hitung koefisien kepencengan dengan rumus :

445
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

 ( LogXi  LogX )
i 1
2

Cs  n.
(n  1).(n  2).S 3 (12 )

e. Hitung logaritma curah hujan rancangan periode ulang tertentu :


LogXt  LogX  G .Sd ( 13 )
Xi = curah hujan rancangan
Log X = rata – rata logaritma dari hujan maksimum tahunan
Sd = simpangan baku
G = konstanta (dari tabel)
f. Dengan harga G diperoleh berdasarkan harga Cs dan tingkat probabilitasnya.
g. Curah hujan rancangan dengan periode ulang tertentu adalah antilog Xt.

Perhitungan Intensitas Hujan

Hal terpenting dalam pembuatan rancangan dan rencana adalah distribusi curah hujan.
Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu yang ditinjau yakni
curah hujan tahunan (jumlah curah hujan dalam setahun), curah hujan bulanan (jumlah curah
hujan dalam sebulan), curah hujan harian (jumlah curah hujan dalam 24 jam). Harga-harga
yang diperoleh ini dapat digunakan untuk menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya
digunakan untuk perencanaan sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
Dalam pembahasan data hujan ada 5 buah unsur yang harus ditinjau, yaitu :
a. Intensitas i, adalah laju hujan = tinggi air persatuan waktu misalnya, mm/menit,
mm/jam, mm/hari.
b. Lama waktu (duration) t, adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit atau jam.
c. Tinggi hujan d, adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan dalam ketebalan
air di atas permukaan datar, dalam mm
d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian, biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return
periode) T, misalnya sekali dalam T (tahun)
e. Luas, adalah luas geografis curah hujan
f. Untuk menghitung intensitas hujan digunakan rumus Dr. Isiguro (1953).
m
R  24 
I  24   ( 14 )
24  t 
Keterangan :
R24 = Curah hujan harian (24 jam)

446
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

t = waktu konsentrasi hujan (jam)


m = sesuai dengan angka Van Breen diambil m = 2/3

Curah Hujan Netto

Curah hujan netto merupakan bagian dari curah hujan total yang menghasilkan
limpasan langsung.Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan (surface run off)
dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan tanah dengan
permeabilitas tinggi yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah dan berubah menjadi
limpasan permukaan).
Dengan menganggap bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung
mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto dapat dinyatakan
sebagai :
Rn = f . R ( 15 )
Keterangan :
Rn = hujan netto (mm)
f = koefisien pengaliran
R = curah hujan rancangan (mm)

Waktu Konsentrasi
Asumsi bahwa banjir maksimum akan terjadi jika hujan berlangsung selama waktu
konsentrasi atau melebihi waktu konsentrasi menyebabkan parameter waktu konsentrasi
menjadi penting dikaji. Waktu konsentrasi didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan air
hujan yang jatuh dititik terjauh dari suatu daerah aliran untuk mencapai titik tinjau (outlet).
Lama waktu konsentrasi sangat tergantung pada ciri-ciri daerah aliran, terutama jarak
yang harus ditempuh oleh air hujan yang jatuh ditempat terjauh dari titik tinjau. Lama waktu
konsentrasi bisa didapatkan melalui hasil pengamatan ataupun dengan suatu pendekatan
rumus. Pendekatan rumus yang ada pada umumnya mengacu pada jarak dari tempat terjauh
jatuhnya hujan sampai titik tinjau (L) dan selisih ketinggian antara titik terjauh tersebut
dengan titik tinjau (H), ataupun juga kemiringan lahan yang ada. Untuk menghitung waktu
konsentrasi dipakai persamaan sebagai berikut (anonymous, 1974).

0, 77
0,0195  L 
tc  t1  t 2. . 
60  S  ( 16 )

447
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Keterangan ;
0,167
2  nd 
t1   .3,28.Lo. 
 t2 
L
 3  0,5 
S 60.V  ( 17 )
L = panjang sungai / saluran
S = kemiringan rerata sungai / saluran
Selain rumus diatas, ada juga rumus empiris yang umum dipakai untuk memprediksi
waktu konsentrasi adalah rumus Kirpich yang dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut
;
L1.15
tc 
7700 H 0.385 dalam satuan jam ( 18 )
Kalau L dan H dinyatakan dalam meter dan tc dalam menit, maka rumus diatas
menjadi sebagai berikut ;
0.77
L
tc  0,0195 
S dalam menit ( 19 )

Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran merupakan perbandingan antara jumlah air yang mengalir di


suatu daerah akibat turunnya hujan, dengan jumlah hujan yang turun di daerah tersebut
(Subarkah, 1980).
Koefisien pengaliran ini merupakan cerminan dari karakteristik daerah pengaliran dan
dinyatakan dengan angka antara 0 – 1 yaitu bergantung pada banyak faktor. Disamping
faktor-faktor meteorologis, faktor daerah aliran, faktor penting yang juga mempengaruhi
besarnya koefisien pengaliran ini adalah campur tangan manusia dalam merencanakan tata
guna lahan.
Tata guna lahan adalah usaha manusia untuk melakukan pemanfaatan lahan secara
optimal dan bijaksana. Secara optimal berarti dapat menyediakan kebutuhan manusia baik
secara ekonomi dan sosial, seperti penyediaan lahan perumahan, lahan perkantoran, lahan
untuk pendidikan dan lain-lain.
Secara bijaksana berarti pengaturan lahan yang masih mempertimbangkan
keseimbangan lingkungan seperti penyediaan daerah terbuka atau daerah hijau.
Koefisien pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi karakteristik (Sosrodarsono
dan Takeda, 1976), yaitu :

448
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

a. Kondisi hujan
b. Luas dan bentuk daerah pengaliran
c. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
d. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
e. Kebebasan tanah
f. Suhu udara, angin dan evaporasi
g. Tata guna lahan

Kapasitas Saluran
Perhitungan yang dipakai dalam menghitung kapasitas saluran drainasi adalah dengan
menggunakan rumus Manning sebagai berikut (Chow, 1992: 89).
Q = A.V ( 20 )
V = 1/n . R 2/3 . S 1/2 ( 21 )

Keterangan :
R : jari-jari hidrolis
V : kecepatan aliran rata-rata (m/dt)
n : koefisien kekasaran Manning
Q : kapasitas saluran (m3/dt)
A : luas penampang saluran (m2)
S : kemiringan dasar saluran
Harga koefisien kekasaran (n) dalam rumus Manning, ditetapkan berdasarkan pada
bahan yang membentuk tubuh saluran. (Sumber: Chow, 1992: 99 )
Bentuk yang paling umum digunakan untuk saluran buatan adalah bentuk trapesium, sebab
stabilitas kemiringan dindingnya dapat disesuaikan (Chow, 1997;18).luas penampang (A)= (b
+ zy)y, keliling basah (P)= b + 2y(1 + z2)1/2, jari-jari hidrolik (R)= A/P , lebar atas (T) = b +
2zy, kedalaman hidrolik (D) = A/T, faktor penampang (z)= A1,5/T0,5.

Analisis Penentuan Prioritas

Apabila di suatu kota banyak terdapat genangan air akibat hujan, maka untuk
mengatasi genangan tersebut, dengan terbatasnya sumber daya, perlu disusun prioritas
penanganannya. Prioritas penanganan pertama diberikan kepada suatu daerah genangan
didalam kota yang mempunyai nilai strategis yang tinggi, dengan parameter genangan yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah genangan lairnya.

449
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Parameter genangan meliputi dalamnya genangan, luasnya genangan, durasi genangan


dan frekuensi genangan dalam satu tahun. Aspek yang dinilai untuk menentukan prioritas
genangan di suatu daerah di dalam kota adalah aspek :
1. Kerugian harta benda masyarakat/pribadi
2. Kerugian ekonomi
3. Kerugian sosial dan milik pemerintah
4. Kerugian dan gangguan terhadap transportasi/lalu lintas
5. Kerugian terhadap pemukiman masyarakat.
Kerugian dari masing-masing aspek diberi nilai tertentu, kerugian yang besar diberi nilai lebih
tinggi dan sebaliknya yang kecil diberi nilai rendah. Demikian pula untuk parameter
genangan, parameter yang besar diberi nilai tinggi dan sebaliknya yang kecil diberi nilai
rendah.
Masing-masing aspek kerugian dan genangan diberi bobot, sesuai dengan kesepakatan
pejabat yang terkait dan besar kecil aspek kerugian serta parameter telah disusun dalam
“Urban Drainage Guidelines And Technical Design Standards”.

1. Nilai Kerugian Harta Benda Milik Pribadi/Rumah Tangga


Penilaian terhadap kerugian hak milik pribadi berdasarkan evaluasi matiriks pada Tabel
berikut :

Tabel 1. Kriteria Kerugian Harta Milik Pribadi


No. Parameter Pengaruh/Kerugian Nilai

1 Jika kerugian lebih dari 80% nilai milik Tinggi 100


Pribadi

2 Jika kerugian 80% dari nilai milik Pribadi Sedang 65

3 Jika kerugian Kurang dari 40% milik Pribadi Kecil 30

4 Tidak ada kerugian milik Pribadi Sangat Kecil 0

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012


2. Nilai Kerugian Ekonomi
Penilaian terhadap kerugian ekonomi berdasarkan evaluasi matiriks : Tabel 2.
Kriteria Kerugian Ekonomi
No Parameter Pengaruh/Kerugian Nilai

450
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1 Jika genangan air/banjir terjadi pada daerah industri, Tinggi 100


komersial dan perkantoran padat

2 Jika genangan air/banjir terjadi pada daerah industri, Sedang 65


komersial yang kurang padat

3 Jika genangan air/banjir mempengaruhi atau terjadi Kecil 30


pada daerah perumahan dan daerah pertanian (
dalam daerah perkotaan yang terbatas).

4 Jika terjadi genangan pada daerah yang jarang Sangat Kecil 0


penduduknya dan daerah yang tidak produktif

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012


3. Nilai Kerugian Milik Sosial dan Pemerintah
Penilaian terhadap kerugian milik sosial dan pemerintah berdasarkan evaluasi matiriks pada
Tabel berikut :
Tabel 3. Kriteria Gangguan Sosial dan Fasilitas Pemerintah
No Parameter Pengaruh/Kerugian Nilai

1 Jika genangan air/banjir terjadi pada daerah yang Tinggi 100


banyak pelayanan fasilitas sosial dan fasilitas
pemerintah.

2 Jika genangan air/banjir terjadi pada daerah yang Sedang 65


sedikit pelayanan fasilitas sosial dan fasilitas
pemerintah.

3 Jika genangan air/banjir mempengaruhi atau Kecil 30


terjadi di daerah yang pelayanan fasilitas sosial dan
fasilitas pemerintah terbatas.

4 Jika tidak ada fasilitas sosial dan fasilitas Sangat Kecil 0


pemerintah.

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012


4. Nilai Kerugian dan Gangguan Transportasi
Penilaian terhadap kerugian/gangguantransportasi/lalulintas berdasarkan evaluasi matiriks
pada Tabel berikut :
Tabel 4 . Analisis Kerugian dan Gangguan Transportasi
No. Parameter Dampak/Kerugian Nilai

1 Jika genangan air/banjir terjadi pada derah Tinggi 100


yang jaringan transportasinya padat

2 Jika genangan air/banjir terjadi pada derah Sedang 65


yang jaringan transportasinya kurang padat

3 Jika genangan air/banjir mempengaruhi Kecil 30

451
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

atau terjadi di derah yang jaringan


transportasinya terbatas

4 Jika tidak ada jaringan jalan Sangat Kecil 0

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012


1. Nilai Kerugian Daerah Permukiman
Penilaian terhadap kerugian daerah permukiman berdasarkan evaluasi matiriks pada Tabel
berikut :
Tabel 5. Penilaian terhadap Kerugian Daerah Permukiman
No. Parameter Dampak/Kerugian Nilai

1 Jika genangan air/banjir terjadi pada Tinggi 100


perumahan padat sekali

2 Jika genangan air/banjir terjadi pada Sedang 65


perumahan kurang padat

3 Jika genangan air/banjir mempengaruhi Kecil 30


atau terjadi di daerah yang hanya pada
beberapa bangunan perumahan

4 Jika ada genangan pada daerah genangan Sangat Kecil 0


air/banjir

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012


2. Nilai Parameter Genangan
Penilaian terhadap parameter genangan berdasarkan evaluasi matiriks pada Tabel berikut :
Tabel 6. Penilaian Terhadap Parameter Genangan
No. Parameter Genangan Nilai Persentase dari Nilai
1 Tinggi Genangan
a. > 0.50 m 100
b. 0.30 m – 0.50 m
75
c. 0.20 m - < 0.30 m
d. 0.10 m - < 0.20 m 35 50
e. < 0.10 m
25
0

2 Luas Genangan
a. > 8 Ha 100
b. 4 - 8 Ha
75
c. 2 - < 4 Ha
d. 1 - < 2 Ha 25 50
e. <1 Ha
25

452
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3 Lamanya Genangan
a. > 8 jam 100
b. 4 -8 jam
75
c. 2 - <4 jam
d. 1- 2 jam 20 50
e. < 1 jam
25
0

4 Frekuensi Genangan
a. sangat sering (10 kali/tahun) 100
b. sering (6 kali/tahun)
75
c. kurang sering (3 kali/tahun)
d. jarang (1 kali/tahun) 20 50
e. tidak pernah
25
0

Sumber: Sistem Drainase Perkotaan, Dirjen Cipta Karya,2012

III. METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Kadia Kota Kendari secara astronomis terletak
di bagian selatan garis khatulistiwa berada di antara 3o 54` 30``- 4o 3` 11`` Lintang Selatan
dan membentang dari Barat ke Timur diantara 122o 23`- 122o 39` Bujur Timur. Sepintas
tentang posisi geografisnya, Kota Kendari memiliki batas-batas sebelah :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Konawe
2. Sebelah Timur dengan Laut Kendari
3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Konawe Selatan
4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Konawe Selatan.
Kota Kendari terbentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1995 yang disyahkan pada tanggal 3 Agustus 1995 dengan status Kotamadya Daerah Tingkat
II Kendari. Wilayah administrasi Kota Kendari terdiri atas 10 wilayah Kecamatan, yaitu
Kecamatan Mandonga, Kecamatan Baruga, Kecamatan Puuwatu, Kecamatan Kadia,
Kecamatan Wua-Wua, Kecamatan Poasia, Kecamatan Abeli, Kecamatan Kambu, Kecamatan
Kendari dan Kecamatan Kendari Barat berdasarkan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 5
s/d 14 Tahun 2005 yang selanjutnya terbagi menjadi 64 kelurahan.

453
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Luas wilayah Kecamatan Kecamatan Kadia adalah 6,71 Km2 atau 2,51% dari luas
total Kota Kendari yaitu 26,37 Km2. ( Sumber : BPS, Kota Kendari dalam Angka 2013).

Waktu Penelitian

Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan Nopemeber 2014 sampai September 2015,
dengan format dimulai dari Proposal, Pengumpulan data, Analisis , Seminar hasil dan Ujian
Tutup.

Populasi dan Sampel

Populasi Penelitian ini adalah seluruh sistem drainase dan kondisi daerah di
Kecamatan Kadia dan sampel penelitian adalah luas daerah, dimensi drainase, dan kondisi
hidrologi pada kawasan layanan drainase.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang akan di ukur atau diperoleh dilapangan adalah, Kondisi
drainase baik itu Kedalaman, Lebar, luas layanan, arah aliran dan data curah hujan.

Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


Sumber data pada penelitian ini adalah bersumber dari data Primer yang peroleh dan
diambil langsung di lapanagan dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah
survey kondisi dan eksisting drainase, dan data sekunder yang di peroleh dari kantor atau
dinas yang terkait serta sumber literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

Teknik Analisis Data

Penelitian mengunakan teknik analisis data seperti analisis hidrologi menggunkan


rumus analisis curah hujan, analisis frekuensi , analisis distribusi probabilitas, uji smirnov dan
uji chi kuadrat, analisis intensitas hujan dengan menggunakan rumus Dr. Mononobe dan
analisis debit menggunakan formula rasional yang dimodifikasi. Analisis Hidrolika
menggunakan rumus manning dan Rumus Haspers.

Defenisi Operasional

454
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Adapun analisis Operasional dalam penelitian ini adalah :


1. Debit, Q ( m3/ dt ) adalah Besarnya air yang mengalir dalam suatu saluran atau sungai,
2. .Kecepatan, V ( m/dt ) adalah suatu aliran yang mengalir dalam suatu penampang
dengan waktu tertentu,
3. Intensitas, I ( mm/jam ) adalah banyaknya hujan yang jatuh di permukaan bumi dalam
kurung waktu tertentu,
4. Koefesien pengaliran ( C ) tanpa dimensi adalah penentuan kondisi aliran di daerah
aliran sungai atau sub DAS,
5. Koefesien tanpungan ( Cs ) tanpa dimesi,
6. Luas daerah layanagan, A ( Ha ),
7. Waktu konsentrasi, tc ( detik ) adalah waktu dibutuhkannya air terkonsentrasi pada
satu titik tujuan,
8. Periode ulang , 2, 5, 10,15 dan 20 ( tahun ) adalah waktu kajian perkiraan atau batas
perkiraan perencanaan,
9. Luas penampang basah, A ( m2),
10. Keliling basah, P ( m ),
11. Jari – jari hidrolis, R ( m ),
12. Panjang saluran, L ( m ),
13. Kedalaman, h ( m ),
14. Tinggi Jagaan, w ( m ),
15. Lebar, b (m).

Konsep Operasional

Adapun konsep analisis operasional dalam penelitian ini seperti pada flowchart berikut :

1. Identifikasi lokasi dengan teknik pengamatan langsung dilapangan,


2. Analisis hidrologi mengunakan data hujan stasiun Kendari dan stasiun Moramo,
3. Analisis frekuensi mengunakan Distribusi Normal dan distribusi Gumber, serta
distribusi Log normal dan Log Person type III,
4. Analisis Distribusi Probabilitas menggunakan distribusi Normal, distribusi Log
Normal, Distribusi Gumbel dan distribusi Log Person Type III,
5. Uji Kecocokan Distribusi Probabilitas mengunakan Uji Smirnov-Kolmogorov, dan
uji Chi- Square,

455
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

6. Curah hujan rencana mengunakan periode ulang 2, 5,10, 15, 20 dan 25 tahun
7. Intensitas curah hujan menggunakan rumus Dr. Mononobe
8. Analisis Eksisting sluran disesuaikan dengan kondisi lapangan
9. Penentuan daerah prioritas berdasarkan angka skoring terbesar
10. Analisis Debit banjir menggunakan rumus rasional modifikasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi mempunyai maksud dan tujuan untuk mengetahui kondisi hidrologi
secara umum pada suatu wilayah dan menghitung potensi air yang ada pada daerah
perencanaan. Pengendalian potensi air adalah salahsatu tujuan yang ingin dicapai didalam
perencanaan . Analisis hidrologi ini sangat penting artinya dalam tahap detail desain
khususnya pada perencanaan saluran drainase dan bangunan – bangunan pelengkap yang
ada di wilayah studi.
Ketelitian analisis dan perhitungan, maupun pengumpulan dan pemilihan data yang
relevan sangat menentukan hasil dan kualitas perencanaan detail desain, demikian pula
ketersediaan data pencatat historis dalam kurun waktu tertentu dan mempengaruhi akurasi
hasil analisis hidrologi yang diharapkan, mengingat dalam analisis tersebut sifatnya hanya
peramalan terhadap kondisi alam. Dengan demikian pokok bahasan pertama yang perlu
dikaji dalam analisis hidrologi adalah ketersediaan data hidrologi pada daerah studi.
Selanjutnya adalah pemahaman mengenai keadaan hidrologi di darah – daerah yang
berdekatan, serta peilihan metode-metode perkiraan hidrologi yang tepat untuk
memperkirakan parameter hidrologi yang diperlukan sangat berpengaruh terhadap hasil dan
kualitas perhitungan hidrologi.
Penentuan curah hujan maksimum ini digunakan dalam analisis curah hujan rencana
dengan analisis frekuensi untuk menentukan debit banjir dengan kala ulang tertentu. Kondisi
pos penakar curah hujan yang ada didaerah perencanaan dan yang masuk ke dalam Daerah
Aliran Sungai yang digunakan sebagai dasar analisis Hidrologi. Adapun data curah hujan
maksimum adalah seperti yang terlihat pada table berikut ini.

Tabel 7. Curah Hujan Rerata Tahunan Stasiun

456
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

STA. STA.
No Tahun Curah Hujan Rerata, Kendari Moramo,
mm (mm) mm
1 2003 59,5 67,0 52,0
2 2004 53,5 62,0 45,0
3 2005 96,5 63,0 130,0
4 2006 46,5 48,0 45,0
5 2007 42,0 42,0 42,0
6 2008 42,0 42,0 42,0
7 2009 67,0 94,0 40,0
8 2010 50,5 55,0 46,0
9 2011 38,0 38,0 38,0
10 2012 127,0 93,0 161,0
Sumber Data : Balai Wilayah Sungai
Sulawesi IV,2014

Berdasarkan tabel test Smirnov-Kolmogorov, untuk n = 10 dan α = 5% nilai ∆p Kritis


adalah 0.43. Perhitungan uji Smivrnov-Kolmogorov dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8. Analisis Distribusi dengan Uji- Smirnov-Kolmogorov

4. Log
CH 1. Normal 2. Log Normal 3. Gumbel
m/(N+1 Pearson III
M (mm
) P(x P(x ≥ P(x ≥ P(x ≥
) ΔP ΔP ΔP ΔP
≥ X) X) X) X)
0,01
1 127,0 0,091 0,080 0,021 0,070 0,061 0,042 0,049
1 0,030
0,11
2 96,5 0,182 0,068 0,093 0,089 0,069 0,102 0,080
4 0,113
0,43
3 67,0 0,273 0,161 0,351 0,078 0,092 0,293 0,020
4 0,364
0,53
4 59,5 0,364 0,175 0,469 0,105 0,107 0,395 0,031
9 0,470
0,62
5 53,5 0,455 0,166 0,578 0,123 0,111 0,505 0,050
1 0,565
0,66
6 50,5 0,545 0,115 0,635 0,089 0,069 0,570 0,025
0 0,615
0,71
7 46,5 0,636 0,074 0,711 0,075 0,045 0,668 0,032
0 0,681
0,76
8 42,0 0,727 0,035 0,794 0,067 0,026 0,788 0,061
2 0,754
0,76
9 42,0 0,818 0,056 0,794 0,024 0,065 0,788 0,030
2 0,754
0,80
10 38,0 0,909 0,106 0,859 0,050 0,096 0,892 0,017
3 0,813
Δ Δ max Δ max Δ max
Hitungan Kelayakan 0,175 0,123 0,111 0,080
max = = = =
Diterim diterim Diterim diterim
0,05
α= a a a a

457
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Δ kritik = 0,430

Sumber : Hasil Perhitungan, 2014


Hasil Uji Smirnov-Kolmogorov terlihat distribusi terbaik adalah distribusi Log Person Type
III kerenan nilai nya terkecil dibandingkan distribusi yang lainnya = 0,080.
Untuk mengetahui kecocokan antara distribusi data dengan distribusi teortis yang
dipilih maka diperlukan uji kecocokan distribusi (goodness of fit test). Uji kecocokan
distribusi dilakukan dengan uji Chi-Square .
Uji Chi-Square menentukan nilai cr2 untuk suatu tingkat signifikan tertentu ( = 5%
atau tingkat ketidakpercayaan) dan derajat kebebasan (Dk). Nilai cr2 ini dapat diperoleh dari
tabel distribusi Chi-Square. Apabila nilai h2 < cr2, maka kecocokan dapat diterima, dan
sebaliknya jika nilai h2 > cr2, maka kecocokan tidak diterima/ditolak.
Tabel 9. Analisis Distribusi dengan Uji Chi Kuadrat dengan distribusi Normal

1. DISTRIBUSI NORMAL

Kelas P(x ≥ X) Ef CH (mm) Of Ef-Of (Ef-Of)2/Ef


1 0,20 000 < P ≤ 000 2 86 2 0,000 0,000
2 0,40 000 < P ≤ 000 2 69 0 2,000 2,000
3 0,60 000 < P ≤ 001 2 55 2 0,000 0,000
4 0,80 001 < P ≤ 001 2 38 5 -3,000 4,500
5 1,00 001 < P ≤ 001 2 38 1 1,000 0,500
2
∑ Jumlah Ef = 10 Jumlah Of = 10 Chi = 7,000
Derajad Kebebasan (Dk) = K -
2,000 Chi Kritik = ditolak
(2+1) 5,991
Tingkat Ketidakpercayaan (α) 0,050
Sumber : Hasil Perhitungan, 2014
Hujan rancangan dengan berbagai periode ulang untuk distribusi Log Person type III
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Curah Hujan Rencana Dengan Periode Ulang


T P Rerata Sd
W Z Cs KT X
(thn) (%) Ln Ln
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2 0,5 1,177 0,00 1,14 -0,18 4,06 0,39 53,78
5 0,8 1,794 0,84 1,14 0,74 4,06 0,39 76,83
10 0,9 2,146 1,28 1,14 1,33 4,06 0,39 96,90
15 0,93 2,327 1,50 1,14 1,66 4,06 0,39 110,19
20 0,95 2,448 1,65 1,14 1,89 4,06 0,39 120,47

458
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

25 0,96 2,537 1,75 1,14 2,07 4,06 0,39 128,90


Sumber : Hasil Perhitungan, 2014

Analisis Intensitas Curah Hujan

Intensitas hujan atau intensitas hujan rencana dapat dikatakan sebagai ketinggian atau
kederasan hujan per satuan waktu, biasanya dalam satuan (mm/jam) atau (cm/jam). Jika
volume hujan adalah tetap, maka intensitas hujan akan makin tinggi seiring dengan durasi
hujan yang makin singkat, sebaliknya intensitas hujan makin rendah seiring dengan
durasi hujan yang makin lama. Di samping itu, berkaitan dengan intensitas hujan rencana,
tinggi intensitas hujan rencana akan makin besar seiring dengan periode ulang yang
makin besar. Untuk analisis intensitas hujan metode yang digunakan adalah Ishiguro

Untuk hasil analsis intensitas hujan dengan metode Ishiguro dapat dilihat pada tabel berikut.

Tbel 11. Analisis Intensitas Curah Hujan


t
(menit) 2 5 10 15 20 25
5 97,733 139,608 176,081 200,226 218,902 234,224
10 61,568 87,948 110,924 126,134 137,900 147,552
15 46,985 67,117 84,651 96,258 105,237 112,603
20 38,785 55,404 69,878 79,460 86,871 92,952
25 33,424 47,745 60,219 68,476 74,864 80,104
30 29,599 42,281 53,327 60,639 66,295 70,936
35 26,708 38,152 48,119 54,717 59,821 64,008
40 24,433 34,902 44,020 50,056 54,726 58,556
45 22,588 32,266 40,696 46,276 50,593 54,134
50 21,056 30,078 37,935 43,137 47,161 50,462
55 19,760 28,226 35,600 40,482 44,258 47,355
60 18,646 26,635 33,594 38,200 41,763 44,687
Sumber : Hasil Perhitungan, 2014

459
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 1. Grafik Intensitas Curah Hujan

Tabel 12. Daerah Prioritas di Kecamatan Kadia Berdasarkan Kriteria

Kerugia Kerugian
Banjir / Kerugia Kerugian Kerugian
n Sosial Total
Jalan Genanga n Transporta Permukima
Ekonom Pemerintaha Nilai
n Pribadi si n
i n

Saranani 193,75 42,25 42,25 100 100 42,25 520,5

H. Supu
417,5
Yusuf 206,25 42,25 42,25 42,25 42,25 42,25

BTN DPR 410,7

Blok C 175 42,25 42,25 9 42,25 100 5

386,2
Sorumba
175 42,25 42,25 42,25 42,25 42,25 5

374,7
A. Yani
81,25 9 100 42,25 100 42,25 5

BTN DPR 131,25 42,25 42,25 9 42,25 100 367

460
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Blok B

Moendoe 125 42,25 42,25 42,25 9 42,25 303

Laremba 93,75 42,25 42,25 9 9 42,25 238,5

207,2
Paseno
62,5 42,25 9 42,25 9 42,25 5

155,2
Sao-Sao
43,75 9 42,25 9 42,25 9 5

155,2
Kalenggo
75 42,25 9 9 9 9 5

Rambuta I 43,75 9 9 9 9 42,25 122

Rambutan II 43,75 9 9 9 9 42,25 122

Rambutan III 43,75 9 9 9 9 42,25 122

Kol.Abd.hami 103,2

d 25 9 42,25 9 9 9 5

Kelapa 103,2

Kuning 25 9 9 9 9 42,25 5

Sumber : Hasil Analisis, 2014

Tabel diatas menunjukkan daerah prioritas penanganan banjir dan drainase baik
dilihat dari potensi banjir dan genangan, kerugian pribadi atau harta benda, kerugian ekonomi,
kerugian sosial dan pemerintahan, kerugian transportasi dan kerugian permukiman, Hasil
analisis daerah prioritas di Kecamatan Kadia Kota Kendari.

Analisis Kapasitas Saluran

461
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Penentuan kapasitas daya tampung debit yang terjadi di saluran existing diperoleh
dari hasil survey lapangan pada daerah – daerah yang masuk kedalam daerah prioritas
penanganan drainase di Kecamatan Kadia.
Hasil analisis prioritas menentukan ada 16 ( enam belas ) daerah / jalan prioritas di
Kecamatan Kadia yang harus ditinjau secara detail baik kondisi fisik saluran, dimensi saluran,
dan kejadian – kejadian banjir baik berupa luas, frekuensi kejadian, lama genangan, tinggi
genangan, serta dampak yang ditimbulkan oleh banjir.
Hasil survey kondisi dimensi saluran drainase yang kami peroleh seperti pada tabel
berikut, sedangkan hasil lainya dapat dilihat pada lampiran tulisan ini.

Tabel 13. Perhitungan Debit Existing Saluran Prioritas

Aliran dalam
Luas Dimensi Saluran
saluran
Nama Area Qex
No B, B, C
Saluran (A) Kedalaman Ld V
Bawah Atas
Ha M M m m m/dt (m3/detik)
1 Saranani 155 1,30 1,4000 1,00 1566,00 1,5 0,70 2,025
2 H. Supu yusuf 168 1,00 1,3000 1,50 1747,00 1,5 0,70 2,588
BTN DPR
48
3 Blok C 0,30 0,4000 0,40 737,00 1,5 0,70 0,210
4 Sorumba 62 0,50 0,8000 0,70 1649,00 1,5 0,70 0,683
5 Ahmad Yani 113 0,50 1,0000 0,70 1935,00 1,5 0,70 0,788
BTN DPR
39
6 Blok B 0,40 0,4000 0,50 707,00 1,5 0,70 0,300
7 Moendoe 26 0,60 0,8000 0,60 1339,00 1,5 0,70 0,630
8 Laremba 18 0,30 0,3500 0,50 356,00 1,5 0,70 0,244
9 Pasaeno 15 0,40 0,8000 0,80 1511,00 1,5 0,70 0,720
10 Sao-Sao 26 0,40 0,6000 0,60 3388,00 1,5 0,70 0,450
11 Kalenggo 41 0,40 0,4000 0,50 679,00 1,5 0,70 0,300
12 Rambutan I 9 0,30 0,6000 0,60 307,00 1,5 0,70 0,405
13 Rambutan II 21 0,40 0,7000 0,50 210,00 1,5 0,70 0,413
14 Rambutan III 28 0,50 0,7000 0,70 180,00 1,5 0,70 0,630
Kol.Abd.
17
15 Hamid 0,4 0,5000 0,50 2422,00 1,5 0,70 0,338
16 Kelapa kuning 12 0,40 0,5000 0,50 753,00 1,5 0,70 0,338
Sumber: Hasil
analisis,2014
Hasil dari tabel diatas dapat memperlihatkan kondisi debit existing drainase prioritas
yang dipengaruhi oleh kondisi lebar saluran ( b ), kedalaman saluran ( h ), serta kecepatan
aliran ( V ) didalam saluran. Tabel ini juga memperlihatkan luas daerah layanan ( A ), panjang

462
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

saluran ( Ld), koefesien pengaliran ( C ) dalam hal ini ketiga parameter ini tidak terlalu
berpengaru pada penentuan besar kapasitas tampungan saluran ( Qex).
Untuk mementukan kemapuan saluran yang ada diperlukan perbandingan antara
debit rencanan ( Qrc) dengan kapasitas daya tampung saluran ( Qex) hal ini terlihat dari hasil
apakah saluran drainase mampuh menampung kondisi debit rencana yang ada baik dalam
kondisi periode 5 tahun atau kondisi debit 10 tahun hasil analisis rencanan . hal ini dapat
dilihat pada tabel berikut .

Tabel 14. Analisis Kemapuan Kapasitas Saluran Existing


Terhadap Debit Rencana 5 Tahun

DEBIT SALURAN
Luas ( m3/dt)
KETERANGA
Area KAPASITA DEBIT Qex VS
No Nama Saluran N
(A) S RENCAN Q rc
SALURAN A
ha EXISTING %
Kapasitas
155
1 Saranani 2,025 4,549 -2,524 kurang / Banjir
Kapasitas
168
2 H. Supu yusuf 2,588 4,417 -1,829 kurang / Banjir
BTN DPR Blok Kapasitas
48
3 C 0,210 1,690 -1,480 kurang / Banjir
Kapasitas
62
4 Sorumba 0,683 1,982 -1,299 kurang / Banjir
Kapasitas
113
5 Ahmad Yani 0,788 3,624 -2,836 kurang / Banjir
BTN DPR Blok Kapasitas
39
6 B 0,300 2,064 -1,764 kurang / Banjir
Kapasitas
26
7 Moendoe 0,630 0,980 -0,350 kurang / Banjir
Kapasitas
18
8 Laremba 0,244 1,189 -0,945 kurang / Banjir
Kapasitas
15
9 Pasaeno 0,720 0,497 0,223 Mampu

463
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kapasitas
26
10 Sao-Sao 0,450 0,548 -0,098 kurang / Banjir
Kapasitas
41
11 Kalenggo 0,300 2,197 -1,897 kurang / Banjir
Kapasitas
9
12 Rambutan I 0,405 0,582 -0,177 kurang / Banjir
Kapasitas
21
13 Rambutan II 0,413 1,432 -1,019 kurang / Banjir
Kapasitas
28
14 Rambutan III 0,630 1,949 -1,319 kurang / Banjir
Kol.Abd. Kapasitas
17
15 Hamid 0,338 0,474 -0,136 kurang / Banjir
Kapasitas
12
16 Kelapa kuning 0,338 0,630 -0,292 kurang / Banjir
Sumber : Hasil Analisis,
2014

Tabel 15. Analisis Kemapuan Kapasitas Saluran Existing


Terhadap Debit Rencana 10 Tahun

DEBIT SALURAN
Luas ( m3/dt)
KETERANGA
Area KAPASITA DEBIT Qex VS
No Nama Saluran N
(A) S RENCAN Q rc
SALURAN A
ha EXISTING
Kapasitas
155
1 Saranani 2,025 5,737 -3,712 kurang / Banjir
Kapasitas
168
2 H. Supu yusuf 2,588 5,571 -2,983 kurang / Banjir
3 BTN DPR Blok 48 0,210 2,132 -1,922 Kapasitas

464
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

C kurang / Banjir
Kapasitas
62
4 Sorumba 0,683 2,500 -1,817 kurang / Banjir
Kapasitas
113
5 Ahmad Yani 0,788 4,571 -3,783 kurang / Banjir
BTN DPR Blok Kapasitas
39
6 B 0,300 2,603 -2,303 kurang / Banjir
Kapasitas
26
7 Moendoe 0,630 1,236 -0,606 kurang / Banjir
Kapasitas
18
8 Laremba 0,244 1,500 -1,256 kurang / Banjir
Kapasitas
15
9 Pasaeno 0,720 0,627 0,093 Mampu
Kapasitas
26
10 Sao-Sao 0,450 0,691 -0,241 kurang / Banjir
Kapasitas
41
11 Kalenggo 0,300 2,771 -2,471 kurang / Banjir
Kapasitas
9
12 Rambutan I 0,405 0,734 -0,329 kurang / Banjir
Kapasitas
21
13 Rambutan II 0,413 1,805 -1,392 kurang / Banjir
Kapasitas
28
14 Rambutan III 0,630 2,451 -1,821 kurang / Banjir
Kol.Abd. Kapasitas
17
15 Hamid 0,338 0,598 -0,260 kurang / Banjir
Kapasitas
12
16 Kelapa kuning 0,338 0,794 -0,456 kurang / Banjir
Sumber : Hasil Analisis,
2014

Hasil analisis kapasitas saluran diperoleh seperti tabel diatas baik dalam kondisi debit
rencana 5 dan 10 tahun memperlihatkan kondisi drainase yang ada saat ini tidak mampuh lagi
menenrima debit aliran yang terjadi, sehing hal ini berdapak terjadinya banjir pada daerah –
daerah prioritas tersebut, dari hasil analisis kapasitas saluran existing dengan debeit rencanan

465
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

diperoleh nilai dari debit existing (Qex) dikurang dengan debit rencana ( Qrc ) pada umumnya
dalam kondisi ( - ) minus hal ini menandakan bahwa kapasitas tampung saluran lebih kecil
dibandingkan dengan debit yang akan masuk kedalam saluran tersebut kecuali pada saluran
Jalan Pasaeno. Kejadian banjir yang terjadi di jalan Pasaeno ini diakibatkan oleh kurangnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara saluran drainase, yang terlihat
banyaknya sampah yang berada didalam saluran tersebut.
Kondisi analisis kapasitas drainase ini menunjukkan perlunya diadakan perbaikan
dan pembangunan drainase yang disesuaikan dengan kondisi debit, daerah topografi, luas
layanan dan kondisi sosial masyarakat yang bermukim disekitar drainase tersebut.

V. SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN
Sesuai dengan apa yang diharapkan didalam tulisan ini, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa :
1. Penyebab permasalahan yang ada pada drainase di Kecamatan Kadia sehingga sering
terjadi banjir adalah Luapan dan genangan limpasan permukaan (limpasan hujan)
yang terjadi hampir setiap kejadian hujan, Kapasitas saluran dan gorong-gorong yang
ada sudah tidak memadai, Pertumbuhan dan perubahan fungsi kawasan,
pembangunan kawasan pemukiman baru, berkurangnya kawasan retensi dan resapan,
dan tidak/kurangnya upaya pengendalian limpasan di tingkat lokal, Integrasi dan
konsistensi sistem jaringan drainase yang belum memadai.
2. Besar debit aliran eksisting berpariasi mulai dari 0.244 m 3/dt sampai 2.588 m3/dt
sedangkan untuk debit rencana sesuai kondisi kawasan berpariasi sesuai denga luas
layanan drainase yaitu untuk Q5 tahun mulai 0.474 m3/dt sampai 4.549 m3/dt dan
untuk Q10 tahun mulai 0.598 m3/dt sampai 5.737 m3/dt yang merupakan debit
analisis untuk pengembangan saluran drainase kedepannya.
3. Kemampuan kapasitas daya tampung saluran drainase eksisting tidak mampu lagi
menerima debit aliran baik pada kondisi periode ulang 5 dan 10 tahun.

SARAN

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini ada bebarapa hal yang perlu di
sarankan untuk perbaikan bagi pembaca dan penelitih – penelitih nantinya, seperti:

466
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Perluh adanya desain saluran drainase yang berwawasan lingkungan, dalam tulisan ini
kami tidak membahas desain saluran drainase, Kolam retensi, kolam ditensi sehingga
bagi penelitih berikutnya dapat menambahkan desain tersebut.
2. Perluh pengkajian khusus untuk sungai Kadia baik dari sisi hidrologi, hidrolika
maupun dari sisi penanganannya.
3. Bagi pemerintah agar memperhatikan kondisi riil didalam pembangunan drainase baik
dari segi perencanaan yang betul – betul terlahir dari hasil survey dan analisis
dilapangan, maupun dari segi pelaksanaan.
4. Bagi masyarakat agar lebih meningkatkan keperdulian dan rasa memilikih terhadap
drainase sehingga tercipta kawasan yang bersih, indah, dan sehat .

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, Drainase Perkotaan, Gunadarma, Yogyakarta


Abdeldayem. S, 2005, Agricultural Drainage : Towards an Integrated Approach,Irrigation
and Drainage Systems, 19:71-87.
Amini. A, 2009, Adjustment of Peak Streamflows of a Tropcial River for
Urbanization,American Journal of Environmental Sciences 5, 3:285-294.
Departemen Pekerjaan Umum , 2007. “Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.18/PRT/M/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem . Penyediaan
Air Minum”. Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Cipta Karya, 2005, “Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Prasarana Air Minum Sederhana”, Cipta Karya, Jakarta.
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2002, “Pedoman/Petunjuk Teknik dan
Manual Air Minum Perkotaan”, Balitbang Kimpraswil, Jakarta.
Hardjosuprapto. Masduki, 1998. Drainase Perkotaan Volume 1, Bandung: Penerbit ITB.
Hasmar. Halim.H.A, 2002. Drainase Terapan, Uji Press Sipil Unhas, Makassar
Isfandari Tesha defi, dkk, 2014 “Analisis Sistem Drainase Dikawasan Permukiman Pada
SUB DAS Aur Palembang”, Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. Vol.2 No.1 Maret.
Palembang
Kodoatie, R. J., 2001, “Hidrolika Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa”, Andi,
Yogyakarta.
Krist, T., dan Ginting, D., 1991, “Hidraulika”, Erlangga, Jakarta.
Linsley, R. K., dan Franzini, J. B., 1996, “Teknik Sumber Daya Air (Jilid 2”), Erlangga,
Jakarta.
Long. A.R , 2007, Drainage Evaluation at the U.S. 50 Joint Sealant Experiment, Journal of
Transportation Engineering, 133.
Lo Russo. S, 2009, Groundwater in the Urban Environment: Management Needs and
Planning Strategies, American Journal of Environmental Sciences 5, 3:493-499
Muttaqin Yusuf Adi, 2007. Kinerja Sistem Drainase yang Berkelanjutan Berbasis Partisipasi
Masyarakat” Jurnal Media Teknik Sipil. Juli. Surakarta.
Putra A. Prayogi, Handajani.M . Evaluasi Permasalahan Sistem Drainase Kawasan Juruk
Perut,Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta selata., Program Studi
Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung
Seprianto.E, 2014. Tinjauan perencanaan sistem drainase jalan M. Syafe”i Kota Bukit
Tinggi. Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

467
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Soemarto, C. D., 1999, “Hidrologi Teknik”, Erlangga, Jakarta.


Soewarno, 1991, “Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri)”,
Nova, Bandung.
Sri Idawati, 2009. Perencanaan Sistem Drainase Kawasan Senapati Land Kota Kendari,
Skripsi. Universitas Halu Oleo. Kendari
Suripin, 2004 , “Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air”, Andy, Yogyakarta
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta. ANDI
Yogyakarta
Supriyani Endah, dkk. 2012. “ Studi Pengembangan Sistem Drainase Perkotaan Berwawasan
Lingkungan” Jurnal Teknik Pengairan. V0l.3 No.2. Desember
Triatmodjo, B., 1996, “Hidrolika II”, Beta Offset, Jogyakarta.

468
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

STUDI EVALUASI DAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN


PERIKANAN PANTAI (PPP) TENAU

DI KOTA KUPANG

Dian E. W. Johannis1, Aplimon Jerobisonif2

1
Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Kupang
2
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknik Undana

Email : Johannis_dian@yahoo.com

ABSTRAK
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau, Kupang memiliki peranan penting dalam menunjang
kegiatan atau aktifitas perikanan yang meliputi kegiatan penangkapan, pengelolaan dan penjualan ikan di Nusa
Tenggara Timur. Kondisi terkini Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang dibangun sejak 1994 terlihat
bahwa fasilitas-fasilitas yang ada tidak terawat dengan baik.Untuk lebih meningkatkan pelayanannya maka
perlu dilakukan evaluasi pemanfaatan dan kinerja fasilitas yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tenau. Fasilitas di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang dikaji berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.08/MEN/2012 yang mengatur fasilitas yang harus ada di Pelabuhan
Perikanan 1) fasilitas pokok terdiri dari lahan, dermaga, kolam pelabuhan, jalan komplek dan drainase; 2)
fasilitas fungsional terdiri dari kantor administrasi pelabuhan, TPI, suplai air bersih, dan instalasi listrik; 3)
fasilitas penunjang terdiri dari pos jaga dan MCK.Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi
pemanfaatan, kinerja dan kelayakan pengembangan fasilitas, serta merumuskan rencana pengembangan
fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa
kebutuhan fasilitas dermaga pendaratan dan dermaga perbekalan adalah 18,4 m sedangkan kondisi eksisting 30
m sehingga masih memenuhi kebutuhan. Untuk dermaga tambat hasil analisis adalah 45 m sedangkan kondisi
eksisting Fasilitas dermaga tambat adalah 173 m, sehingga masih dapat memenuhi kebutuhan saat ini.
Kedalaman perairan dan kolam pelabuhan yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau dalam
kurung waktu 5 tahun kedepan masih layak sehingga belum perlu diadakan pengembangan, sedangkan fasilitas
gedung pelelangan ditinjau dari rata-rata hasil produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
Oeba yang di daratkan sebesar 3,1 ton perhari masih memenuhi kebutuhan tetapi perlu difungsikan kembali.
Luas daratan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau memiliki 5,2 ha sehingga masih cukup luas untuk
pengembangan fasilitas kedepannya.

Kata-kata kunci : Evaluasi, Pengembangan Fasilitas, Pelabuhan Perikanan Pantai

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Luas wilayah laut Indonesia yang mencakup 75% wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat kaya dan beragam,
diyakini dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan tumpuan masa depan

469
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

apabila berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi, dapat dipecahkan secara
komprehensif dan terpadu serta berkelanjutan.

Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi yang terdiri dari beberapa pulau
besar dan pulau kecil dengan luas wilayah mencapai 47.349,90 Km2, memiliki sebanyak 566
pulau diantaranya P. Flores, P. Sumba, P. Timor, P. Alor, P. Lembata, dengan luas perairan
laut 199.529 Km2 (lebih dari 80%), dan panjang garis pantai 5.700 Km (belum termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)). Wilayah perairan laut teritorial meliputi Laut Flores
yang membentang di antara pulau-pulau wilayah utara hingga berbatasan dengan Laut Banda
bagian selatan, Laut Timor dibagian timur Pulau Timor dan Laut Sawu yang merupakan
perairan laut dalam (deep sea water).

Dikawasan pesisir pantai Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat ±693 desa pantai
dengan jumlah nelayan ±110.000 orang. Data statistik menunjukkan Tingkat pemanfaatan
potensi perikanan sebesar ±30,05% (Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi NTT, 2012). Hal
ini menggambarkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi yang cukup besar
di sektor kelautan dan perikanan. Tingkat pemanfaatan yang cukup besar juga
menggambarkan tantangan dan peluang usaha perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
untuk dikelola secara rasional dan proporsional dengan memperhatikan kelestariannya.

Fishing ground nelayan di Kota Kupang umumnya diperairan teluk Kupang, laut
Sawu, perairan sekitar Pulau Semau dan Rote serta perairan di Selatan Pulau Timor (Laut
Timor). Pemanfaatan potensi perikanan oleh nelayan Kota Kupang masih terkonsentrasi pada
perairan pantai dan lepas pantai terutama di laut Sawu. Kementrian Kelautan dan Perikanan
(2010) mengungkapkan bahwa Laut Sawu merupakan salah satu Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang memanjang dari barat ke Timur sepanjang 600 km dan dari utara ke selatan
sepanjang 250 km. Perairan ini bermakna strategis, karena sebagian besar Kabupaten/Kota di
NTT sangat tergantung kepada laut Sawu. Lebih dari 65 % potensi lestari sumberdaya ikan di
NTT di sumbang oleh laut Sawu.

Kegiatan perikanan yang memiliki akses langsung dengan Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Tenau ada 4 (empat) wilayah disepanjang pesisir Utara Kota Kupang, yang masing –
masing terdiri dari Kecamatan Kupang Utara, Kecamatan Kupang Barat, Kecamatan Kupang
Tengah dan Sulamu. Sedangkan lokasi pendaratan ikan rakyat yang berada disekitar Teluk
Kupang yaitu Pantai Oeba (PPP Tenau), Pantai Oesapa kecil, Pantai Oesapa besar, Pantai
Namosain dan Pantai Manikin. Hasil tangkapan dominan yang didaratkan di Oesapa adalah
hasil tangkapan nelayan menggunakan alat tangkap dari bagan, sedangkan nelayan yang

470
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

menggunakan peralatan lainnya selama ini memanfaatkan lokasi pendaratan di Pelabuhan


Perikanan Pantai (PPP) Tenau (Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi NTT, 2012)

Untuk dapat memanfaatkan potensi disektor perikanan yang besar tersebut perlu
didukung oleh sarana dan prasarana perikanan yang memadai. Pelabuhan perikanan sebagai
salah satu sarana penunjang yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas sebagai pendukung
kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran (Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: PER.08/MEN/2012).

1.2 Permasalahan
Iklim usaha yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pengusaha
sektor perikanan dan kelautan. Hal ini harus didukung oleh fasilitas Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Tenau yang memadai dan dapat memenuhi kebutuhan.
Melihat perkembangan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang sudah
dibangun sejak 1994 terlihat bahwa fasilitas-fasilitas yang ada tidak terawat dengan baik.
Banyak fasilitas seperti Gudang, Gedung Pabrik Es, Jalan yang terlihat rusak. Banyak area
yang terlihat sangat kumuh. Di sekeliling halaman kantor dan area pelabuhan tersebut banyak
ditumbuhi rumput liar yang tingginya sudah lebih dari satu meter. Kondisi tembok dermaga
pelabuhan juga demikian. Di beberapa titik, temboknya sudah pecah- pecah dan berlobang.
Pipa dan tiang sebagai pagar penahan di pelabuhan terlihat patah, bengkok dan pecah-pecah.
Ada beberapa bagian tembok tempat sandar kapal sudah runtuh. Nampak bagian ini terlihat
diperbaiki seadanya (Pos Kupang, 21 Desember 2013)
Keadaan tersebut dapat mempengaruhi kegiatan penangkapan dan produksi sektor
perikanan dan kelautan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau khususnya dan di Kota
Kupang pada umumnya.
Berdasarkan permasalahan diatas maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kinerja fasilitas eksisting Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
(2008-2013)?
2. Bagaimanakah kelayakan pengembangan fasilitas di Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Tenau ?
3. Bagaimanakah rencana pengembangan fasilitas di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tenau ?

471
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Mendapatkan kondisi aktual mengenai fasilitas dasar , fasilitas fungsional dan
fasilitas penunjang Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
2. Mengevaluasi kinerja fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau (2008-2013)
3. Mengevaluasi kelayakan teknis pengembangan fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Tenau
4. Merumuskan rencana pengembangan fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tenau kedepan.
1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :


1. Memberikan masukan bagi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT dalam
membuat kebijakan pengembangan fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
2. Memberikan alternatif pengembangan fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPP) yang
tepat, dimana dapat diaplikasikan di daerah lain yang mempunyai karakteristik yang
sama dengan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau.
3. Secara akademis penelitian ini dapat memberikan pengayaan dalam pengembangan
ilmu khususnya kepelabuhanan di bidang teknik sipil.
1.4 Luaran Penelitian

Adapun luaran yang dihasilkan penelitian ini adalah :

1. Rencana Induk fasilitas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau


2. Publikasi ilmiah di Jurnal Nasional
3. Pengayaan bahan ajar/modul perkuliahan mata kuliah terkait Kepelabuhanan di
Jurusan Teknik Sipil Poteknik Negeri Kupang

METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang terletak
di Tenau, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara
geografis Kota Kupang terletak pada koordinat 10º36’14” - 10º39’58” Lintang Selatan, dan
123º32’23” - 123º37’01” Bujur Timur. Adapun batas – batas dari wilayah Kota Kupang
adalah sebelah Utara berbatasan dengan Perairan laut Teluk Kupang, sebelah Selatan Kec.

472
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kupang Barat Kab. Kupang, sebelah Timur berbatasan dengan Kec.Kupang Tengah Kab.
Kupang dan sebelah Barat dengan Perairan selat Semau

Gambar 1. Peta lokasi penelitian PPP Tenau Kupang

Sumber : Pengelola PPP, 2013

3.2 Metode penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari
keterangan secara faktual (Nazir, 1983)
Hal yang dilihat dalam observasi dan wawancara mengenai kondisi Pelabuhan
Perikanan Pantai (PPP) Tenau adalah dari kriteria teknis, operasional pelabuhan, fasilitas dan
aktifitas.

3.3 Metode Pengumpulan data


Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diambil dengan cara pengamatan
langsung dilapangan, wawancara dan pengisian kuisioner, dan data sekunder dari beberapa
instansi terkait.

Data Primer meliputi:

1. Ukuran, jumlah, kondisi, kapasitas, maupun pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas


PPP Tenau
2. Aktifitas-aktifitas pendaratan, pelelangan, pengolahan maupun proses
pemasaran/distribusi hasil tangkapan ikan.

473
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3.4 Analisis data


Data yang diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan dan ditunjang referensi
yang ada kemudian dianalisis secara deskriptif. Sedangkan untuk menghitung ukuran dan
kapasitas beberapa fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
digunakan rumus seperti yang dikemukakan Triatmojo (2009).

Fasilitas-fasilitas pangkalan pendaratan ikan yang akan dianalisis untuk evaluasi


pemanfaatan pengembangan yaitu :

3.4.1 Dermaga
a. Dermaga Pendaratan
Dermaga Pendaratan adalah demaga yang digunakan membogkar hasil tangkapan ikan
dari kapal ikan dan kapal-kapal tersebut biasa ditambatkan searah dermaga. Panjang dermaga
dihitung dengan persamaan menurut Triatmojo (2009) adalah :

.......... (1)

Dimana:

Ld = panjang dermaga pendaratan

N’ = jumlah kapal yang berlabuh tiap hari

(buah)

ᵞ = perbandingan antara waktu operasional

pelabuhan dengan waktu bongkar

muatan ikan

L = panjang kapal (digunakan panjang

kapal terbesar dari GT terbesar)

b. Dermaga Perbekalan
Dermaga Perbekalan adalah demaga yang digunakan terutama untuk pengisian bahan
bakar dan pemuatan perbekala yang yang diperlukan kapal untuk melaut seperti, air bersih, es,
bahan makanan dan sebagainya. Dan biasa kapal-kapal tersebut biasa ditambatkan sepanjang
dermaga. Panjang dermaga dihitung dengan persamaan menurut Triatmojo (2009) adalah:

474
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

......... (2)

Dimana:

Lp = panjang dermaga perbekalan

N’ = jumlah kapal yang berlabuh tiap hari

(buah)

ᵞ = perbandingan antara waktu operasional

pelabuhan dengan waktu pelayanan tiap

kapal

L = panjang kapal (digunakan panjang

kapal terbesar dari GT terbesar)

c. Dermaga Tambat
Dermaga Tambat adalah demaga yang digunakan oleh kapal-kapal ikan untuk
bertambat selama awak kapal beristirahat sebelum kembali melaut. Dan biasa kapal-kapal
ditambatkan tegak lurus dermaga. Panjang dermaga dihitung dengan persamaan menurut
Triatmojo (2009) adalah :
............ (3)

Dimana:

= panjang dermaga tambat

n = jumlah kapal ikan yang ditambatkan

tiap hari (buah)

B = lebar kapal

2.4.2 Kolam Pelabuhan dan Alur Pelayaran

475
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

a. Kolam Pendaratan
Kebutuhan ruang untuk pendaratan ikan dihitung dengan anggapan kapal-kapal ikan
bertambat disepanjang dermaga, dihitung dengan persamaan menurut Triatmodjo (2009)
adalah :
................ (4)
Dimana :
= luas kolam pendaratan (
= panjang dermaga pendaratan = 1.15 L
= lebar peraira untuk pendaratan = 1.5 B
L = pajang kapal (lenght overall)
B = lebar kapal

b. Kolam Perbekalan
Luas kolam perbekalan terpakai saat ini dihitung dengan cara yang sama dengan
hitungan kolam pendaratan. Kapal – kapal yang bertambat searah panjang dermaga.

c. Kolam Tambat
Kolam tambat adalah perairan didepan dermaga tambat yang digunakan oleh kapal
ikan untuk bertambat/menunggu sebelum melaut kembali. Diperairan ini kapal-kapal
bertambat secara tegak lurus dermaga. Luas kolam tambat dihitung dengan persamaaan
menurut Triatmojo (2009) adalah :
=(∑ x )............(5)

Dimana :

= 1.5B

= 1.1

d. Perairan untuk Manuver


Perhitungan perairan untuk manuver didepan dermaga berdasarkan panjang kapal
terbesar yanng pernah masuk ke PPI. Dan dihitung dengan persamaan menurut Triatmojo
(2009) adalah :

=(∑ xW) ............ (6)

Dimana:

476
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= luas perairan untuk manuver

kapal

L = panjang dermaga

W = lebar untuk manuver (2L) untuk memudahkan maneuver

e. Kolam Putar
Luas kolam putar dihitung dengan persamaan menurut Triatmojo (2009) adalah:

.........(7)

Jari –jari kolam putar adalah dua kali panjang kapal terbesar yang pernah dilayani oleh
PPI.

f. Luas Kolam Pelabuhan


Luas kolam pelabuhan terpakai pada PPI adalah jumlah luas kolam pendaratan, kolam
perbekalan, kolam tambat, ruang gerak (manuver) dan kolam putar. Berdasarkan luas kolam
yang telah dihitung diatas maka luas kolam pelabuhan menurut Triatmojo (2009) adalah :

A pelabuhan = A pendaratan + A perbekalan + A tambat +A manuver1+2+3 + A putar


.......(8)

g. Alur Pelayaran
Lebar dan kedalaman alur pelayaran dan gerbang pelabuhan terpakai dihitung
berdasarkan dimensi kapal terbesar yang menggunakan pelabuhan, dan apabila trafik kapal di
pelabuhan ikan cukup tinggi, maka lebar alur pelayaran ditetapkan untuk kapal dapat
bersimpangan.

Maka lebar alur pelayaran menurut Brunn (1981) dalam Triatmojo (2009) adalah :

....................(9)

Kedalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan menurut Triatmojo (2009) adalah:

............(10)

Dimana:

477
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

H = kedalaman alur pelayaran

d = draft kapal

G = gerak vertikal kapal karena gelombang

dan squat

R = ruang kebebasan bersih

P = ketelitian pengukuran

S = pengendapan sedimen antara dua

pengerukan

K = toleransi pengerukan

2.4.3 Luas Gedung Pelelangan


Luas gedung pelelangan yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan menurut Triatmojo (2009) yaitu sebagai berikut :

S = N/ R x α x P ………….. (11)

Dimana :
S = luas gedung pelelangan (m2)
N = jumlah produksi rata-rata setiap hari (kg/hari)
P = berat ikan hasil tangkapan yang ditangani persatuan luas
(kg/ m2)
R = jumlah pelelangan yang terjadi dalam satu hari
= rasio dari luasan yang dipakai untuk tempat ikan dengan luas total tempat pelelangan ikan
(0,30)

2.4.4 Luas Daratan Pelabuhan


Luas daratan pelabuhan untuk pengembangan umumnya adalah 2 (dua) sampai 4
(empat) kali luas seluruh fasilitas bilamana semua fasilitas (termasuk pabrik es, depot BBM,
perkantoran, dan lain-lain) dibangun di atasnya (Direktorat Jend. Perikanan, (1981) dalam
Fitria 2007).

478
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut selanjutnya dibahas secara deskriptif untuk melihat
pengembangan fasilitas fasilitas PPI yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau


3.1.1 Kapal Perikanan
Pendataan jumlah kapal yang masuk di PPP Tenau menunjukkan besarnya skala
kegiatan melaut di daerah sekitar kota Kupang, Kapal-kapal perikanan yang mendaratkan
hasil tangkapannya tidak hanya berasal dari Kupang, tetapi juga luar kota dan pulau .

Jumlah kunjungan kapal perikanan di PPP Tenau didominasi 2 macam kapal yaitu
kapal lampara dan kapal pancing. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini banyak di
gunakan oleh nelayan sekitar khususnya nelayan Kota Kupang.

Tabel. 5.1 Jumlah kapal yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau Kota
Kupang

Periode tahun 2011 - 2014

Jumla Jumlah
N h Kapal Jumla
Tahun
o Kapal Pendata h
Lokal ng

1 2007 631 316 947

2 2008 1105 760 1865

3 2010 1317 256 1573

4 2011 4140 612 4752

5 2012 3718 924 4642

6 2013 612 1044 1656

7 2014 816 1188 2004

Sumber : Pengelola PPP, 2015

479
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Data dalam tabel 4.1 menunjukkan terjadi penurunan jumlah kapal yang mendaratkan
hasil tangkapannya di PPP Tenau

3..1.2 Produksi ikan PPP Tenau


Produksi perikanan laut di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau pada lima tahun
terakhir mengalami peningkatan dan penurunan hal ini bisa dilihat pada table 4.2 Di mana
pada tahun 2011 adalah 4.224.096 Kg, pada tahun 2012 adalah 3.825.925 kg mengalami
penurunan (9%), pada tahun 2013 adalah 3.032.303 kg mengalami penurunan (21%), pada
tahun 2014 adalah 4.720.982 kg mengalami peningkatan (56%), dengan jumlah rata-rata
produksi ikan yang di daratkan 8.659 kg perhari. Jumlah ini masih bisa meningkat apabila
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau dapat berfungsi dengan baik.

Berikut ini disajikan data produksi ikan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
selama 4 (empat) tahun terakhir.

Tabel. 5.2 Jumlah Produksi ikan di

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau

Kota Kupang periode tahun 2011- 2014

Tahun Produksi Ikan (kg) Pertumbuhan (%)

2011 4.224.096 0

2012 3.825.925 -0,09

2013 3.032.303 -0,21

2014 4.720.982 0,56

Total 15.803.306 -0,16

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2015

3.1.3 Jenis Hasil Tangkapan

480
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Produksi ikan yang tercatat oleh petugas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
adalah sekitar 85%. Hal ini terjadi karena kurangnya petugas lapangan dan nelayan yang
mendaratkan/membongkar ikan disekitar PPP Tenau.

Jenis hasil tangkapan bervariasi jenisnya yang didominasi oleh cakalang, kakap
merah, madidihang, kurisi, dan kerapu. Jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan yang
mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau umumnya
bernilai ekonomis.

3.2 Pemanfaatan Fasilitas Fisik dan Non Fisik


3.2.1 Fasilitas fisik
Dermaga di fungsikan sebagai tempat untuk merapat dan bertambatnya kapal nelayan
yang melakukan bongkar muat hasil tangkapan dan persiapan perbekalan operasi
penangkapan. Kolam Labuh seluas 10.500 m2 diperkuat dengan revetment sepanjang 392 m
selain itu sebagai penahan tanah daratan pelabuhan

Kolam pelabuhan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau cukup luas, membuat
kapal bisa berlabuh dan berputar dengan baik. Kolam pelabuhan ini bahkan di tempati untuk
memutar kapal di atas ukuran 27 meter

Gedung pelelangan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau selama ini tidak
berfungsi maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat/nelayan
untuk mengikuti prosedur yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau serta daya
dukung fasilitas seperti aliran listrik dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau belum
maksimal sehingga nelayan melelang hasil tangkapannya di daerah dermaga. Pengelola
pangkalan pendaratan ikan tidak tegas terhadap pembeli ikan dan nelayan supaya melakukan
transaksi di pelelangan. Sekarang gedung tempat pelelangan ikan hanya digunakan sebagai
tempat penyimpanan coolbox

Fasilitas fisik lainnya yang terdapat pada daratan pelabuhan adalah, kantor Adpel, pos
jaga, toko/kios, MCK, tempat parkir, pabrik es, mess dan lain-lain

3.2.2 Fasilitas Non Fisik


Sistem retribusi pengolahan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau secara resmi
telah di keluarkan oleh pemerintah daerah NTT tentang pelelangan ikan tetapi hal tersebut
tidak maksimal dilaksanakan oleh kedua pihak yakni nelayan dan pemerintah. Nelayan tidak
melaksanakannya selain karena kesadaran yang kurang, nelayan juga cenderung merasa

481
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

terlalu prosedural dan cenderung merugikan, pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi NTT tidak melaksanakan fungsi pengawasan dan pemberian sangsi atas
aturan tersebut

3.3 Analisis Pengembangan Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan Oeba


3.3.1 Kondisi Umum

1. Fasilitas Pokok
Tabel 1 Fasilitas Pokok di PPP Tenau

Jumlah/
No Nama Fasilitas Tahun Keterangan
Ukuran

1 Tanah Pembebasan 4.025 ha 1977 GS

2 SPL.OECF/

Tanah Reklamasi 1.02 ha 1999/ 2000 INP22

3 77 x

Tanah Reklamasi 30 m2 2012

3 Tanah untuk Sumur Bor 200 m2 1999/ 2000

4 Tanah untuk sumur bor 4 m2 2005 Diklaim tuan tanah

5 Jalan sebelum
Reklamasi 2.007 m 1977 &1999

6 Jalan sesudah Reklamsi 543 m

7 Jalan Tangga 200 m 1982/ 1983

8 38 x

Dermaga 01 7,80 m 1999/ 2000

9 41,5 x
Dibangun
Dermaga 02 6m 2002 PELINDO

10 68,50 x

Dermaga 03 8m 2012

11 Dermaga Pengawas Hiu


04 10,15 x 4,30 m 2003

12 Dermaga Koperasi 8,5 x 2006

482
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Jumlah/
No Nama Fasilitas Tahun Keterangan
Ukuran

5,5 m

13 Perpanjangan Dermaga
01 2012

14 Jetty 1.230 m2 1977

15 Kolam Pelabuhan 10.500 m2 1999/ 2000

16 Drainase 200 m 1999/ 2000

Sumber : Pengelola PPP Tenau dan Hasil Survey, 2015

2. Fasilitas Fungsional
Tabel 2 Fasilitas Fungsional di PPP Tenau

Jumlah/
No Nama Fasilitas Keterangan
Ukuran Tahun

1 TPI Lama 480 m2 1977 Disewa pihak ke 3

2 TPI Baru 300 m2 1999

3 Bengkel 120 m2 1978/ 1979

4 Telpon 1 Unit 1977

5 SSB 2 Unit 1997/ 1998 Tidak berfungsi

6 Internet 1 Unit

7 Lampu Suar 2 Unit 1996/ 1997 Tdk berfungsi

8 Kantor Adpel 100 m2 1977

9 Gedung WASDI 60 m2 1997/ 1998

10 Pembinaan Mutu 300 m2 1999/2000

11 Listrik 1 Unit/150 KW 1979/ 1980

12 SPDN 1 Unit 2012 belum berfungsi

13 Pembinaan Mutu 1999/ 2000

483
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Jumlah/
No Nama Fasilitas Keterangan
Ukuran Tahun

14 Kantor Syahbandar 70 m2 1978/ 1979

Sumber : Pengelola PPP Tenau dan Hasil Survey, 2015

3. Fasilitas Penunjang
Tabel 3. Fasilitas Penunjang di PPP Tenau Kupang

Jumlah/
No Nama Fasilitas Tahun Keterangan
Ukuran

1 Balai Pertemuan
Nelayan 125 m2 1977

2 Mes Operator 3 pintu 150 m2 1977

3 Mes Operator 4 pintu 200 m2 1982/ 1983 Rusak ringan

4 Rumah Dinas Type C 70 m2 1977 sda

5 Rumah Dinas Type D 3 Unit (150 m2) 1980/ 1981 sda

6 Pabrik Es 240 m2 1978/ 1979 Usul Penghapusan

7 Cold Storage 2005 sda

8 Pos Jaga 24 m2 1982/ 1983

9 Guest Hause 75 m2 1998/ 1999 Rusak ringan

10 MCK 24 m2 1977 dialihkan ke phk 3

11 Kios BAP 3 Unit 2005 data di Dinas

12 Rumah Pengawas sda

13 Mess Nelayan 10 Unit (250 m2) 1998/ 1999

14 Gudang Peralatan 10 m2 1985/ 1986

15 Gedung dan Genzet 36 m2 1977

16 Rumah Panel Pompa 1,3 m2 1997/ 1998

17 Tangki Air Tawar 01 100 m3 1977

18 Tangki Air Tawar 02 50 m3 1995/ 1996

19 Tangki Air Tawar 03 50 m3 1999/ 2000

484
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Jumlah/
No Nama Fasilitas Tahun Keterangan
Ukuran

20 Tangki Air Tawar 04 20 m3 2005 data di Dinas

21 Tangki Air Tawar 05 82 m3 2015

22 Sumur Bor 01 dan Debit Air 1,5L/detik


Instalasi
3 dim 1997/ 1998 (Rusak)

23 Sumur Bor 02 dan Air Payau


Instalasi
1999/ 2000 (Rusak)

24 Sumur Bor 03 dan


instalasi 2005 Debit Air 2,5L/detik

25 Sumur Bor 04 dan


Instalasi 2014 Debit Air 2 ltr/detik

26 Instalasi Pipa Air Tawar 1977

27 Instalasi Pipa BBM


Solar 2 dim (50 M') 1977 tdk berfungsi

28 Tangki BBM Solar 50 m3 1977 sda

29 Pagar Tembok Keliling


I 450 M' 2004 Rusak Ringan

30 Pagar Tembok Keliling


II 450 M' 2006

31 Bak Pendingin Pabrik


Es 20 m3 1979/ 1980 Tdk berfungsi

32 Rambu Suar dan


Instalasi 2 Unit 1996/ 1997 Tdk berfungsi

33 Instalasi Listrik 1 Paket 2005

34 Lampu Jalan dan


Instalasi 20 buah 1983/ 1984 Mercuri

35 Lampu Demaga 8 buah 1996/ 1997 Mercuri

36 Lampu Dermaga 2012

37 Instalasi pipa solar 400 M 1983/ 1984

485
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Jumlah/
No Nama Fasilitas Tahun Keterangan
Ukuran

38 Instalasi Pipa BBM


Solar 200 M 1993/ 1994

39 Tangga Kolam 2 unit 2012

40 Gapura pintu gerbang 1 Unit 2012

41 Pintu Gerbang 1 Unit 2013

42 Mess Nelayan 14 Unit 2015

Sumber : Pengelola PPP Tenau dan Hasil Survey, 2015

3.3.2 Dermaga

Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapatkan dan
menambatkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaikturunkan penumpang
khusus untuk suatu pangkalan pendaratan ikan, dermaga difungsikan sebagai tempat untuk
merapat dan bertambatnya kapal nelayan yang akan melakukan bongkar muat hasil tangkapan
dan persiapan pembekalan operasi penangkapan seperti bahan makanan, es, BBM, dan air
bersih.

Ada beberapa tipe pemilihan dermaga yang dipengaruhi oleh topografi daerah pantai,
jenis kapal yang dilayani dan daya dukung tanah. Ditinjau dari posisinya, jenis dermaga yang
ada di PPP Tenau masuk dalam golongan dermaga yang tegak lurus dengan garis pantai.

Pada dermaga Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang selama ini dimanfaatkan
oleh nelayan untuk menyandarkan kapalnya adalah Dermaga 1 sepanjang 295 m, Dermaga 2
sepanjang 249 m , dan Dermaga 3 sepanjang 548 m Kapal-kapal yang memanfaatkan
dermaga tersebut, baik untuk (membongkar muat), atau sekaligus tempat menambatkan kapal
karena pemiliknya berada di dekat Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau jumlahnya cukup
banyak.

Pada dermaga pendaratan yang seharusnya sebagai dermaga bongkar muat juga
digunakan menjadi tempat penambatan kapal, kapal umumnya tambat untuk tinggal
sementara, sedangkan pada bagian dermaga untuk bongkar muat dan tambat umumnya tegak
lurus.

486
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kebutuhan dermaga di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau untuk melayani


pembongkaran hasil tangkapan saat ini dari kapal ukuran kecil maupun besar adalah rata-rata
9 unit perhari, berdasarkan hasil pengukuran di lapangan panjang dermaga keseluruhan saat
ini adalah 148 m sedangkan berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
persamaan 1, 2 dan 3 sesuai dengan rata-rata 9 unit perhari maka dibutuhkan panjang
dermaga pendaratan adalah 23,29 m, panjang dermaga perbekalan 23,29 dan panjang dermaga
tambat adalah 63 m. Sehingga secara dapat dikatakan bahwa panjang dermaga pendaratan dan
perbekalan tidak perlu penambahan panjang (panjang eksisting 10 m), sedangkan panjang
dermaga tambat (panjang eksisting 308 m) masih layak dan tidak membutuhkan
pengembangan.

3.3.3 Kolam pelabuhan

Luas kolam pelabuhan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau sebesar 10.500 m2,
sedangkan berdasarkan perhitungan luas kolam yang diperlukan pada Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Tenau untuk berlabuhnya kapal sebanyak 27 unit adalah 18.208,26 . Dengan
panjang kapal rata-rata 27 meter dan lebar kapal rata-rata 6 m. Dalam perhitungan digunakan
panjang kapal terbesar 27 meter, sehingga dapat simpulkan bahwa Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Tenau kedepan membutuhkan pengembangan.

3.3.4 Kedalaman Perairan

Kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan


(PPI) Oeba mempunyai draft terbesar 1,2 m, tinggi ayunan kapal yang melaju sekitar 30 cm,
tinggi gelombang maksimum di kolam pelabuhan 50 cm dan jarak aman dari lunas kapal ke
dasar perairan 1 m.
Dari hasil perhitungan (Lampiran 6) diperoleh kedalaman perairan untuk kapal yang
memiliki draft terbesar 120 cm berkisar 1,99 m di bawah muka air terendah. Jika
dibandingkan kondisi pangkalan pendaratan ikan saat ini yaitu mempuyai kedalam perairan 2
m masih layak untuk melabukan kapal dengan ukuran draft terbesar 120 cm sehingga
kedepannya dalam waktu dekat tidak butuh pengerukan.
3.3.5 Gedung Pelelangan
Tempat pelelangan merupakan fasilitas fungsional yang sangat penting untuk tempat
terjadinya proses transaksi setelah pembongkaran hasil tangkapan. Di tempat pelelangan ikan
dilakukan proses penjualan.

487
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau memiliki tempat pelelangan ikan seluas 300
m2, dengan daya tampung 50kg/m2. Sedangkan dari Hasil perhitungan pada (Lampiran 6),
menunjukkan bahwa gedung pelelangan yang dibutuhkan untuk menampung hasil produksi
per hari 8659 kg adalah seluas 288,633 m2. Dengan demikian gedung tempat pendaratan
ikan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau masih mampu menampung sehingga tidak
butuh pengembangan .
Kondisi tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenausaat ini
tidak dimanfaatkan oleh nelayan karena kurangnya kesadaran dari nelayan terhadap prosedur
pelelangan ikan yang ada di pangkalan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau . Sehingga
dibutuhkan peran pemerintah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT yang
mengelola Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau dengan mengadakan penyuluhan tentang
prosedur pelelangan ikan dan memberikan sanksi tegas terhadap nelayan yang tidak
mengikuti prosedur tersebut.
3.3.6 Daratan Pelabuhan

Daratan pelabuhan adalah bagian darat yang menampung seluruh fasilitas pangkalan
pendaratan ikan biasanya dibatasi oleh pagar dan air.
Luasan fasilitas yang ada diatas pangkalan pendaratan ikan dapat dilihat dalam tabel
4. berikut :

Tabel 4. Luasan Fasilitas yang sudah ada di PPI Oeba


No Fasilitas Luas (m2)

1 Dermaga 01 295

2 Dermaga 02 249

3 Dermaga 03 548

4 Dermaga 04 44

5 Dermaga 05 47

6 TPI Lama 480

7 TPI Baru 300

8 Kantor Adpel 100

9 Gedung WASDI 60

10 Kantor Syahbandar 70

488
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

No Fasilitas Luas (m2)

11 Pembinaan Mutu 300

12 Balai Pertemuan Nelayan 125

13 Mes Operator 3 pintu 150

14 Mes Operator 4 pintu 200

15 Rumah Dinas Type C 70

16 Rumah Dinas Type C 70

17 Rumah Dinas Type D 150

18 Tangki Air Tawar 01 50

19 Tangki Air Tawar 02 25

20 Tangki Air Tawar 03 25

21 Tangki Air Tawar 04 10

22 Tangki Air Tawar 05 40

23 Bak Pendingin Pabrik Es 10

24 Pabrik Es 1200

25 Pos Jaga 24

26 Guest House 75

27 MCK 24

28 Kios BAP 62

29 Rumah Kapal Pengawas 200

30 Mes Nelayan 250

31 Gudang Peralatan 10

32 Gedung dan Genzet 36

Total 5299

Hasil perhitungan menunjukan luas daratan yang diperlukan untuk menunjang semua
fasilitas yang seluas 5.299 m2 adalah 2 (dua) sampai 4 (empat) kali yaitu 10.598 m2 - 21.196
m2 .. Dari hasil di atas dapat diketahui untuk pengembangan dalam kurun waktu 5 tahun

489
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

kedepan perluasan daratan tidak perlu karena luas Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau
yaitu 52.760 m2 masih bisa mencukupi luas daerah pengembangan fasilitas kedepan.

3.4 Gambaran Umum Rencana Pengembangan PPP Tenau

Tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional yang merupakan tempat
bertemunya nelayan sebagai produsen dan pedagang bakul sebagai konsumen serta
masyarakat sebagai konsumen akhir. Kondisi gedung pelelangan ikan PPP Tenau yang tidak
berfungsi sehingga nelayan melakukan pelelangan ditempat pembongkaran ikan didaerah
dermaga.
PPP Tenau merupakan salah satu pangkalan pendaratan ikan yang terdapat di Kota
Kupang yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan, mengingat tempatnya yang sangat
strategis, mudah dijangkau oleh masyarakat setempat dan hasil produksinya yang didaratkan
bernilai ekonomis.
Secara umum fasilitas yang ada di PPP Tenau masih kurang untuk bisa mewadahi
aktivitas bongkar muat kapal perikanan yang berlabuh pada pangkalan pendaratan ikan
tersebut. Adapun fasilitas yang perlu dikembangkan pada pangkalan pendaratan ikan adalah :

Kolam Labuh
Kondisi Kolam Labuh yang luasnya tidak mencukupi menyebabkan banyak kapal
nelayan yang tambat, melakukan bongkar muat dan perbekalan diluar kolam labuh.

Pengembangan untuk penambahan area Kolam Labuh terkendala dengan adanya


fasilitas dermaga Multi Purpose milik PT PELINDO III dan dermaga BBM milik PT
Pertamina yang posisinya sangat berdekatan dan menghimpit area Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Tenau

Gedung Tempat Pelelangan Ikan

Tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional yang merupakan tempat
bertemunya nelayan sebagai produsen dan pedagang bakul sebagai konsumen serta
masyarakat sebagai konsumen akhir. Kondisi gedung pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Tenau yang tidak berfungsi sehingga nelayan melakukan pelelangan ditempat
pembongkaran ikan didaerah dermaga.

490
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tempat pelelangan merupakan tempat yang sangat penting untuk proses transaksi
setelah pembongkaran hasil tangkapan di tempat pelelangan ikan dilakukan proses penjualan.
Oleh karena itu, diharapkan pada pemerintah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan untuk
mengambil langkah dengan mengadakan sosialisasi tentang mekanisme atau aturan
pelelangan terhadap nelayan dan menerapkan sanksi bila nelayan serta masyarakat tidak
melakukan pelelangan pada gedung pangkalan pelelangan ikan tersebut.

Tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan

Di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau tidak ditemui adanya Tempat


pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat
perbaikan jaring. Oleh karena itu dalam pengembangan kedepan perlu ditambahkan fasiltas
tersebut

SPBU

Pengisian BBM di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau dikelola oleh pihak
swasta dalam bentuk Solar Packet Dealer Untuk Nelayan (SPDN) milik Koperasi dengan
menyediakan tangki bahan bakar dengan daya tampung 5000 liter yang dapat memenuhi
kebutuhan nelayan untuk melaut. Pengisian BBM secara langsung jarang dilakukan karena
harus dibayar dengan kontan, dan kebanyakan nelayan mengisi BBM lewat agen dengan
harga lebih mahal akan tetapi pembayaran dilakukan setelah pulang dari laut.

SPBU di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau difungsikan dan diatur pemerintah
untuk memudahkan penyediaan stok yang lebih terjamin

3. IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di lokasi Pelabuhan Perikanan


Pantai (PPP) Tenau Kota Kupang yang mengkaji kelayakan pengembangan beberapa fasilitas
dengan membandingkan kondisi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau pada saat ini
dengan hasil perhitungan analisis maka dapat disimpulakn bahwa:

1. Fasilitas Kolam Labuh perlu ditata lagi untuk mengoptimalkan pelayanan terhadap
kapal yang berlabuh
2. Fasilitas dermaga dan kedalaman perairan yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Tenau dalam kurung waktu 5 tahun kedepan masih layak sehingga belum perlu

491
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

diadakan pengembangan, sedangkan fasilitas gedung pelelangan ditinjau dari rata-rata


hasil produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenau yang di daratkan
sebesar 8569 kg perhari masih memenuhi kebutuhan tetapi perlu difungsikan kembali.
3. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tenaumemiliki luas daratan 5,2 ha sehingga masih
cukup luas untuk pengembangan fasilitas kedepannya.
4. Beberapa Fasilitas Fungsional dan Penunjang (contohnya pabrik es milik pemerintah)
yang sudah tidak lagi berfungsi dapat diusulkan untuk dilakukan pembangunan baru.

Hasil evaluasi antara kondisi eksisting dengan hasil analisis pengukuran dari fasilitas
PPP Tenau secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5 Hasil Evaluasi Fasilitas PPI Oeba


Kondi Analisis
N Fasilita
si saat Penguk Keterangan
o s
ini uran

1 Dermag 148 m 23,29 Perlu


a m/ Pengemban
Pendara Kapal gan
tan

2 Dermag 103 m 23,29 Perlu


a m/ Pengemban
Perbeka kapal gan
lan

3 Dermag 308 m 63 m/ Tidak Perlu


a 9 kapal Pengemban
Tambat gan

4 Kolam 10.50 18208,2 Perlu


Pelabuh 0 m2 6 m2 Pengemban
an gan

5 Kedala 2m 1,99 m Tidak Perlu


man Pengemban
Peraira gan
n

6 Gedung 300 102,78 Tidak Perlu/


Pelelan m2 m2 difungsikan
gan kembali

492
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

7 Luas 52.76 10.598 Tidak Perlu


Daratan 0 m2 m2 s/d Pengemban
PPP gan
21.196
m2

Sumber : Hasil Analisis, 2015

4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diberikan beberapa saran yang
dapat menjadi masukan untuk pihak pengelola PPP Tenau Kupang maupun untuk penelitian
selanjutnya yaitu sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan analisis dengan menggunakan data arus kapal dan hasil tangkapan yang
lebih panjang untuk mendapatkan pembanding terhadap hasil penelitian ini.
2. Dari aspek teknik penelitian perlu diadakan penelitian dengan menggunakan metode yang
berbeda untuk melengkapi kekurangan penelitian ini
3. Perlu adanya kajian aspek ekonomi terhadap kemungkinan pengembangan PPP Tenau
Kupang, baik dari segi manajemen pengelolaan maupun pengaruh aspek hinterland
(wilayah distribusi) kawasan terhadap pengembangan PPP TenauKupang.
4. Saran untuk instansi yang berkaitan dengan pengelolaan PPP Tenau adalah
memperbaiki sistim pengelolaan, pemasaran, dan sumberdaya manusianya dalam
melaksanakan tugas dan kerjanya, serta optimalisasi fungsi fasilitas-fasilitas yang
belum digunakan secara optimal seperti SPBU, TPI, Kios, Koperasi, dan peran dari
pengelola dalam memberikan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Triadmodjo, 2010, Perencanaan Pelabuhan, Beta Offset, Yogyakarta;

Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi NTT. 2012. Data Operasional PPI Oeba Di Provinsi
NTT. Laporan tidak dipublikasikan-disimpan di Kantor PPI Oeba.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Petunjuk Teknis Pengelolaan Pelabuhan Perikanan.


Jakarta: Direktorat Bina Prasarana, Direktorat Jenderal Perikanan.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1981. Standar Rencana Induk Pokok Desain untuk Pelabuhan
Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. PT. Incomb. Jakarta.

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2010. Rencana Pengelolaan 20 tahun Taman
Nasional Perairan Laut Sawu (2011-2013).

493
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2012. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: PER.08/MEN/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan

Lubis, E. 2000. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan


Pemanfatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor;

Seko, S. 2013. Pelabuhan PPP Tenau Masih Dalam Tahap Perbaikan. Pos Kupang 21
Desember 2013

Seko, S. 2013. 2013. Pelabuhan PPP Tenau Tak Terawat. Pos Kupang. 21 Desember
Zain, J., Syaifuddin, Aditya, Y. 2011. Efisiensi Pemanfaatan Fasilitas Di Tangkahan
Perikanan Kota Sibolga. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, Edisi 16, Nomor 1, ISSN
0853-7607.

494
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Peningkatan Kapasitas Pembangkitan pada pembangkit listrik Tenaga Mikrohydro


(PLTmh) Untuk Peningkatan Pelayanan di Desa Wisata Kebon Agung, Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul-Yogyakarta

Oleh :

Syafriyudin, Mujiman, A.A.P. Susastriawan,


Jurusan Teknik Elektro IST AKPRIND Yogyakarta
Jurusan Teknik Mesin IST AKPRIND Yogyakarta
dien@akprind.ac.id

abstrak
Kebutuhan energi listrik di Indonesia masih belum mencukupi, sebagai contoh adalah pemadaman
listrik secara bergilir yang masih saja kita rasakan di berbagai wilayah di Indonesia bahkan pada wilayah
terpencil jaringan energi listrik belum menjangkau. Hal ini menunjukkan bahwasannya pasokan energi listrik
yang disediakan pemerintah melalui perusahaan PLN masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Padahal
listrik, kini menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, sebagaimana kita ketahui bersama aktivitas kehidupan kita
saat ini sangat bergantung dengan teknologi yang sumber tenaganya berasal dari energi listrik. Permasalahan
yang masih dihadapi masyarakat desa kebon Agung terutama untuk desa Wisata Kebon Agung yang berada di
daerah Bendung Tegal, antara lain kurangnya kualitas tegangan dan kapasitas pembangkit listrik Mikohydro
yang berkapasitas 400 watt sehingga penerangan jalan antar desa masih belum mencukupi sehingga masih
rawan terjadi tindak kriminal, fasilitas umum masih kurang optimal dan kurang mencukupinya suplai energi
listrik untuk masyarakat pelaku industri ekonomi produktif, bahwa masyarakat Desa Kebon Agung khususnya
untuk desa Wisata Bendung Tegal masih memerlukan sumber energi listrik guna meningkatkan perekonomian
dan pelayanan bagi desa Kebon Agung, utamanya bagi desa wisata yang akan menjadi sentra eduwisata di desa
Kebon Agung yang memerlukan sumber energi listrik untuk dapat lebih berperan dalam bidang pariwisata desa
Hasil akhir yang dicapai dengan kecepatan air pada saluran irigasi primer di desa kebon agung adalah 2,9
m3/det menghasilkan putaran pada kincir air 33 rpm, dengan perbandingan menggunakan gearbox 1:10 maka di
dapatkan putaran pada generator DC PMG 330 rpm, tegangan yang dihasilkan generator adalah 20 volt DC,
dengan menggunakan pengubah tegangan didapatkan tegangan sebesar 220 volt ac, dengan daya tersedia 2000
w.

Latar Belakang.

Kebutuhan energi listrik di Indonesia masih belum mencukupi, sebagai contoh adalah
pemadaman listrik secara bergilir yang masih saja kita rasakan di berbagai wilayah di
Indonesia bahkan pada wilayah terpencil jaringan energi listrik belum menjangkau. Hal
inimenunjukkanbahwasannyapasokanenergilistrik yang disediakan pemerintah melalui
perusahaan PLN masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Padahal listrik, kini menjadi
kebutuhan pokok bagi manusia, sebagaimana kita ketahui bersama aktivitas kehidupan kita
saat ini sangat bergantung dengan teknologi yang sumber tenaganya berasal dari energi listrik.
Merujuk surat keputusan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM)No.1122K/30/MEM/2002 tentang Pembangkit Skala Kecil Tersebar (PSK) dan
pemanfaatan energi baru terbarukan, bahwa penyediaan energi listrik bisa dilakukan tidak
hanya dengan suatu pembangkit dalam skala yang sangat besar dan terpusat, namun juga bisa
terpenuhi dengan memanfaatkan sumber-sumber pembangkit listrik walaupun dalam skala
yang kecil(Dirjen Listrik & Pemanfaatan Energi, 2005).

495
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pembangkit listrik mikrohidro dapat dikatakan sebagai teknologi ramah lingkungan


karena tidak menghasilkan limbah atau sisa buangan yang berbahaya. Selain itu, bila
diterapkan pada desa-desa terpencil, mereka akan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil
yang tidak bisa diperbaharui seperti minyak tanah atau pemakaian dari hasil hutan seperti
kayu bakar. Dan juga akan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap hutan, karena bila
ingin air terus mengalir, secara tidak langsung hutan harus dijaga dari penebangan secara liar.
Dengan teknologi saat ini yang serba bersumber energi listrik, maka dengan alat ini
memberikan alternatif solusi aman untuk lebih memaksimalkan aktifitas pribadi dan hasil
industri sebagai penyeimbang harga jual dengan biaya sumber listrik, harga bahan pokok dan
tenaga kerja home industri (industri rumahan) pada khususnya dan lebih memaksimalkan
aktifitas semua manusia pada umumnya juga dapat membantu negara dalam mengatasi
permasalahan penggunaan bahan bakar fosil atau minyak dalam pembangkit listrik tenaga
diesel dan permasalahan polusi udara.
Secara Topografi wilayah desa Kebon Agung membujur arah Utara – selatan di
wilayah timur terdapat jalan propinsi, jalur wisata menuju Pantai Parangtritis dan Pantai
Renehan Gunungkidul. Sehingga merupakan jalur penghubung antara Kabupaten Bantul dan
Gunung Kidul. Desa Kebon Agung kondisi wilayahnya datar dan dilalui sungai Opak pada
sebelah barat desa.

Desa Kebon Agung dilalui sungai diatas tanah yaitu sungai opak sehingga untuk
perairan lahan pertanian sebagian dari bendungan Tegal. Adanya bendung Tegal selain untuk
mengairi lahan pertanian juga mempunyai keindahan alam sehingga berpotensi untuk
dikembangkan obyek wisata dan berpotensi untuk budidaya ikan tawar.Wilayah desa Kebon
Agung keadaan geologinya berupa dataran aluvium. Terbentang mulai dari kerucut gunung
api hingga dataran fluvial gunung api yang meliputi daerah kabupaten Sleman, kota
Yogyakarta dan sebagian kabupaten Bantul termasuk bentang lahan vulkanik.
DesaKebonAgungsecaraadministratifterletak di KecamatanImogiriKabupatenBantulProvinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Desa ini berjarak 17 km dari Kota Yogyakarta yang
dapat diakses melalui jalan lingkar selatan Yogyakarta. Gambar 1 Peta desa Kebon Agung
dan gambar 1.2 Gambar bendungan Air di kali opak.

496
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

P E TA D E S A K E B O N A G U N G
D E S A K A R A N G TA L U N

U
W O L O S O N O

AH
SAW
S A W A H

C A N D R A N

M R A N G G E N
S A W A H
S A W A H

S A W A H B A L A I
D E S A

M A N D IN G A N

K A N T E N
S A W A H
D E S A C A N D E N / K E C . J E T IS

SA
WA
K E B O N

DESA KARANG TENGAH


A G U N G

H
S . O PA K
S A W A H
P E T E N S A W A H

O N G G O P A T R
A N
M A N G S A N

TA L A B A N

S A W A H
S A W A H
T E G A L
S A W A H
J A Y A N

K A R A N G D U
M A M R IY A N W E T
T O S O R A N T O N A Y A N

K A L A N G A N

S A W A H
T L E N G G O N G
M E N C IR A N A N
S A W A H

T L O G O

S A W A H

D E S A S R IH A R J O

Gambar 1. Peta lokasi desa Kebon Agung


= B A TA S D E S A p r in te d b y T im J R F 0 7

= B A TA S P E D U K U H A N

Gambar2.Bendungan air di kali opakdan lokasi PLTmH Desa Bendung Tegal

RancanganPembangkit ListrikTenaga Mikrohidro

PembangkitListrikTenagaMikrohidroBendungTegalini berada pada saluran


irigasi primer yang terletak di dusun jaya n desa kebon agung, saluran irigasi
mempunyai debit air sebesar 2,9 m 2 /det, dengan hanya memanfaatkan
kecepatan aliran air pada saluran yang datar maka kincir yang digunakan
adalah ki nci r ai r jenis unders hoot dengan jumping water sehingga diharapkan
kecepatan air pada saatkeluar dari jumping water menjadi lebih kencang dan digunakan
untuk memutar sudu kincir bagian bawah.

497
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3. Kincir air tampak samping


Gambar 4. Kincir air tampak depan

Dengantipekincir16fullheadyangbertujuanagarpenampangairlebih luas dan tidak


memperkecildebitair setelah kincir.

Gambar 5. Sistem pembangkitan pada PLTmh

Menentukan Debit Air

Berdasarkan pada percobaan yang telahdilakukandilapanganmaka kami mendapatkan


data-data sebagai berikut :

 kecepatan aliran (V) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U)

 luas penampang (A) ditetapkan berdasarkan pengukuran lebar saluran (L) dan kedalaman
saluran (D)

 debit sungai (Q) = A x V atau A = A x k, dimana k adalah konstanta

Rumusan debit air :

Q=AxkxU

498
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dimana :
Q= debit (m3/s)
U= kecepatan pelampung (m/s)
A= luas penampang basah sungai (m2)
k = koefisien pelampung

Data lapangan :

Konstanta koefisien pelampung (k) = 0,81m/s


Kecepatan pelampung (U) = 1,802m/s
Luas penampang (A) = 2m²
Q=AxkxU

Q = 2 m² x 0.81 m/s x 1,802 m/s

= 2,919 m³/s

Menghitung Keliling Kincir Air

Untuk menghitung keliling kincir, dapat di hitung dengan :

Mencari keliling kincir air :

K =2π X r

= 2 X 3.14 X 0.511m = 3.21m

Menghitung Hasil Putaran Kincir Air per Menit dengan Transmisi Mekanik

Hasil yang diperoleh dari lapangan dalam 1 detik kincir air berputar 0,5 dan ratio
transmisi mekanik 1:10 maka hasil putaran kincir air dalam 1 menit = 60 detik adalah :

Hasil putaran kincir air per detik tanpa transmisi mekanik yaitu :
=(1 menit x hasil putaran kincir per detik tanpa transmisi mekanik) x ratio
= (60 detik x 0,5 kali) x 10 = 30 x 10 = 300 rpm

Dari perhitungan diatas maka dapat diketahui hasil putaran kincir air permenit adalah
300 rpm.

MenentukanDayaTeoritisTurbin

Daya teoritis turbin didapat sebagai berikut:

Dimana:

499
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Daya teoritis turbin (Hp)

Massajenis air(1000 kg/m3)

= Debit aliran air (m3/detik)

Tinggi jatuh air (m)

Efisiensi turbin

Maka diperoleh :

Menentukan Faktor Daya Generator.

Nilai faktor daya sebuah generator berkisar antara 0.75 - 0.9 Kemudian diambil nilai
0.85 sehingga didapat:

Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Bendung Tegal ini bermodel kincir air undershoot
dengan jumping water karena semua komponen menjadi satu kesatuan sehingga dapat
dipindah dengan mudah dan kincir air dapat digerakkan naik dan turun.

Gambar 6. Desain pembangkitan listrik mikrohidro dan panel dayadanteggangan

Kesimpulan .

500
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Berdasarkan data hasil perhitungan sementara secarateoritisdidapatkanketika volume


air 100 % ( 2.9 m/detik) denganperbandingantransmisipuratanturbindan generator 1:10 maka
akan didapat daya sebesar 2000 watt. Sehingga dapat
memenuhikebutuhanwargadisekitarpembangkitterutamadesa wisata Bendung Tegal.

Saluran irigasi primer dapat digunakan sebagai


sumberdayaenergiterbaharukankarenasaluranirgasi primer langsungmendapatlimpaan air
dariwadukutama dengan volume air yang cukup besar, dengan catatan bahwa saluran irigasi
primer harus selalu dalamkondisi di alirioleh air.

Penggunaan kincir air undershoot pada saluran irigasi primer sangat tepat karena
kincir air jenis undershoot daptdigunakanuntuksaluran air yang datar.

Ucapan terima kasih

Terima kasih kepada seluruh warga masyarakat dan pemerintah desa berpartisipasi
penuh dalam program HibahIpteksbagiMasyarakat( Ibm) Pembangkit Listrik Mikrohidro
Bendung Tegalini.

Berdasar data fakta pengamatan, keberadaan Pembangkit Listrik Mikrohidro Bendung


Tegal sangat diharapkan oleh masyarakat dan akan meningkatkan kualitas, kuantitas serta
perekonomian masyarakat sekitar, hal ini dibuktikan dengan partisipasi masyarakat dalam
membantu pelaksanaan.

Ucapan terima kasih kepada DP2M Dikti yang telah memberikan bantuan dana Hibah Ipteks
bagi Masyarakat ( Ibm) tahun 2013 dengan pelaksanan program 2014

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir,. 1995., Energi., Universitas Indonesia,Jakarta

Assafat, Luqman., 2003., Simulasi kinerja Generator Singkron berbasis Metode Kerangka
Referensi., Tugas akhir Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro.

Djojonegoro,W.,1992., Pengembangan dan Penerapan Energi Baru Terbarukan Lokakarya”


Bio Mature Unit” (BMU) Untuk Pengembangan Masyarakat Pedesaan, BPPT, Jakarta
Satriyo, Puguh Adi., Pemanfaatan Pembnagkit Listrik Tenaga Mikrohydro untuk daerah
terpencil. Puslitbang Iptekhan Balitbang Dephan.

501
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sumanto., 1996., Mesin Singkron, Andi Offset Yogyakarta.

http:/www.google.com/#sclient=psyab&q=jumlah+penduduk+desa+wisata+Kebon
Agung+imogiri&oq

502
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

TINJAUAN SARANA/PRASARANA K3 PADA BENGKEL KERJA


KEAHLIAN TEKNIK PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK
SMKN 3 BOYOLANGU KABUPATEN TULUNGAGUNG

Yuni Rahmawati, Yukoiri Hidayat


Email: yuni.rahmawati,ft@um.ac.id

Abstrak :

Bengkel kerja memiliki standar terhadap K3 yang sudah ditentukan Workplace (Health, Safety
and Welfare) 1992 and Approved Code of Practice no: L24. Sarana K3 di bengkel kerja diharapkan
bisa mengurangi kecelakan kerja yang tidak dinginkan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di
bengkel Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik SMKN 3 Boyolangu Kabupaten Tulungagung.
Peninjauan sarana prasarana akan disesuaikan dengan peraturan yang telah diatur oleh pemerintah.
Seperti yang telah dituangkan di Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang
menyebutkan bahwa ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja. Pelaturan tersebut juga
disebutkan dalam pasal 15 UU No.13 Tahun 2003 tentang kelamatan kerja. Dalam kesesuaian dan
kelengkapan akan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 40
Tahun 2008 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) Penelitian menggunakan metode kuantitatif dekriptif yang akan
meneliti kesesuaian/kelengkapan sarana dan prasarana bengkel kerja. Dalam mengumpulkan data
menggunakan instrumen penelitian dokumentasi, angket dan observasi yang berbentuk skala likert.
Pada penelitian ini, menggunakan teknik penelitian secara statistik diskriptif. Dari analisa data dapat
ditarik sebuah kesimpulan yang nantinya dipergunakan sebagai masukan untuk meningkatkan
sarana/prasarana K3. Pengambilan populasi dan sampel dilakukan pada instruktur dan siswa XII
Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik SMKN 3 Boyolangu. Hasil pengambilan data dengan
instrumen memperoleh 9090 poin dengan idealnya 13224 poin dan rata-rata 104,5 poin. Maka ditarik
sebuah kesimpulan dari hasil analisa data yang ditampilkan dengan bentuk persentase yaitu 68.74%.
perolehan persentase tersebut, bisa dinyatakan bengkel kerja sudah layak dipergunakan sebagai
tempat praktek Keahlian TeknikPemanfaatan Tenaga Listrik SMKN 3 Boyolangu.

Kata Kunci : Tinjauan, Sarana Prasarana, Bengkel Kerja, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Latar Belakang
Maraknya kecelakaan kerja pada masa sekarang perlu mendapat perhatian, terutama
untuk para pekerja dan penyelenggaraanya yang selalu berhubungan dengan bahaya di
lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang dianggap berbahaya seperti pabrik, pertambangan,
laboratorium kimia dan masih banyak lagi lingkungan kerja yang memiliki resiko kecelakaan
kerja. Menurut Haq, (2012:1) kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tak diduga dan tak
dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur. Keselamatan dan
kesehatan kerja tidak saja sangat penting dalam meningkatkan jaminan sosial dan
kesejahteraan para pekerja, akan tetapi jauh dari itu keselamatan dan kesehatan kerja
berdampak positip atas keberlanjutan produktivitas kerjanya.
Pada SMK Teknologi seharusnya mempersiapkan sarana dan prasarana K3.
Penerapan K3 di SMK, maka siswa, guru, saXana dan prasarana harus mendukung untuk
keseimbangan tersebut. Seperti dituangkan pada Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang

503
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, di
dalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah
kekuasaan hukum Republik Indonesia. Pelaturan tersebut juga terdapat pada UU RI No. 13
tahun 2003 pasal 15 Tentang Ketenagaan Kerjaan, maka pemberian pemahaman pentingnya
K3 harus serta ditanamkan disetiap aspek yang ada di sekolah. Pada SMK Teknologi
kelistrikan K3 adalah merupakan kompetensi yang sangat penting dimiliki oleh siswanya
karena bidang kelistrikan sngat rawan dengan resiko kecelakaan kerja. Oleh karena itu
sangatlah diperlukan penelitian tentang tinjauan sarana dan prasarana pada bengkel sekolah
teknologi kelistrikan. Penelitian ini dilaksanakan di SMKN 3 Boyolangu pada Jurusan
Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik

Keselamatan Kerja Bengkel TITL


Dalam Peraturan Pememerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1980, dijelaskan
pengertian bengkel pada Pasal 27 dan Pasal 28 (UU No. 5, 1980:7). Untuk Pasal 27 akan
menjelaskan tentang pengertian bengkel, sedangkan untuk Pasal 28 menjelaskan tentang
personal yang berhak untuk mengelola bengkel kerja. Bunyi dari kedua pasal tersebut diantara
lain di Pasal 27 menyebutkan bahwa, ”Laboratorium/studio adalah sarana penunjang jurusan
dalam satu atau sebagian ilmu, teknologi atau seni tertentu sesuai dengan keperluan bidang
studi yang bersangkutan”. Serta pada Pasal 28 menjelaskan tentang “Laboratorium/ studio
dipimpin oleh seorang guru atau seorang tenaga pengajar yang keahliannya telah memenuhi
persyaratan sesuai dengan cabang ilmu, teknologi, dan seni tertentu dan bertanggung jawab
langsung kepada ketua jurusan.
Bengkel kerja merupakan salah satu sarana untuk bisa menunjang dan mengembangkan
teori yang dikuasainya. Pengusaan teori yang dikuasai dipergunakan untuk memenuhi
persyaratan standar internasional. Hal tersebut dipergunakan untuk bisa memenuhi ketentuan
Workplace (Health, Safety and Welfare) 1992 dan Approved Code of Practice no: L24.
Kenyamanan waktu melakukan praktek di dalam bengkel akan mempengaruhi hasil praktek
tersebut. Maka untuk mendapatkan hasil praktek yang baik akan diperlukan perancangan
bengkel yang memenuhi standar. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
sebuah bengkel kerja menurut Rokhman, (2012:12) antara lain diuraikan sebagai berikut: (1)
tempat kerja, peralatan tetap dan perabotannya, maupun peralatan dan sistemnya yang
terintegrasi atau tambahan, harus bisa: (a) terawat dengan baik, (b) tetap bersih, (c) dalam
keadaan efisien, (d) dalam urutan kerja yang efisien, dan (e) dalam kondisi baik dan
sebaiknya diberi sistem cadangan dengan pemeliharaan terencana dan pencatatan yang sesuai,
sedangkan untuk pemeliharaan, meliputi inspeksi, penyetelan, pelumasan, dan pembersihan

504
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

seluruh peralatan serta perlengkapan bengkel kerja. (2) lingkungan bengkel yang meliputi
beberapa persyaratan di antaranya: (a) kondisi sekeliling bengkel harus terpelihara dengan
cara membuka jendela, memasang kipas angin di dinding atau langit-langit untuk memberi
kesejukan udara di bengkel, (b) jika ventilasi diperlukan untuk melindungi para personel
bengkel, sistemnya harus dipasangi alarm pendeteksi kegagalan, mampu memasok udara
bersih 5-8 liter/detik/ pekerja, dirawat, dibersihkan dan kinerjanya diperiksa secara rutin. (3)
temperatur tempat kerja selama pada jam kerja, harus memenuhi persyaratan, seperti: (a)
temperature untuk pekerjaan normal: 160 C (60,80 F) dan untuk pekerjaan berat:130 C (55,40
F), (b) apabila di dalam bengkel terdapat pemanas atau pendingin maka tidak boleh
menghembuskan uap yang membahayakan, (c) sejumlah Termometer dipasang di dalam
bengkel. (4) pencahayaan, harus sesuai dengan spesifikasinya antara lain: (a) harus memadai
dan mencukupi, (b) jika memungkinkan memanfaatkan cahaya alami, (c) lampu darurat harus
dipasang untuk berjaga-jaga seandainya lampu utama mengalami kegagalan dan
menimbulkan bahaya. (5) perawatan (house keeping) di antaranya: (a) tempat kerja,
perabotan, dan fitting harus tetap bersih, (b) dinding, lantai dan langit-langit harus tetap
bersih, (c) memeriksa penumpukan debu di atas permukaan datar terutama pada sruktur
bangunan, balok girder penopang atap dan sebagainya, (d) dinding yang dicat harus
dibersihkan dan dicat ulang secara berkala (misalnya masing-masing 12 bulan dan 7 tahun),
(e) lantai harus dibersihkan dengan cara menyapu dan mengepel (minimal seminggu sekali),
(f) sampah jangan menumpuk karena dapat menimbulkan resiko kesehatan dan kebakaran, (g)
sampah harus diletakkan pada tempatnya, tempat sampah harus tahan terhadap api, (h)
tumpahan harus dibersihkan menggunakan material yang dapat menyerap dengan baik.(6)
Workstation di antaranya: (a) harus nyaman untuk semua yang bekerja di sana, (b) memiliki
pintu darurat yang ditandai dengan jelas,( c) lantai harus tetap bersih dan tidak licin, (d)
bahaya sandungan disingkirkan, (e) bekerja pada posisi kaku dan janggal sebaiknya tidak
dilakukan terlalu lama, (f) benda-benda kerja dan material kerja harus mudah diraih dari
posisi kerja. (7) tempat duduk yaitu: (a) dimana pekerjaan dilakukan, tempat duduk harus
tersedia, (b) tempat duduk harus sesuai dengan jenis pekerjaannya dan memiliki sandaran
punggung dan penumpu kaki (foot rest), (c) harus pada kondisi baik, jika terjadi kerusakan
harus diperbaiki atau diganti. (8) lantai harus yaitu: (a) tidak diberi beban berlebih, (b) rata
dan mulus, (c) tidak berlubang, bergelombang atau rusak yang mungkin menyebabkan bahaya
sandungan, (d) bebas hambatan dari barang-barang di letakkan di tempat yang telah
ditentukan, (e) tidak licin, (f) memiliki sarana drainase yang memadai jika ada kemungkinan
terkena air, (g) memiliki pemisah antara jalur-jalur lalu lintas dan pejalan kaki berupa hand

505
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

rail, penghalang atau marka lantai, (h) memiliki penghalang di sekitar lubang atau tempat
yang tersedia.
Untuk pengadaan papan penanda keselamatan kerja yang benar di tempat kerja, bisa
menggunakan instruksi-instruksi dan aturan-aturan keselamatan kerja, dibedakan dari
beberapa hal antara lain jenis, bentuk dan warna sesuai dalam The Health dan Safety (Safety
Sign an Signals) Regulation 1996. Berikut Tabel 2.1 warna dan makna dari masing-masing
penanda keselamatan kerja.

Tabel 2.1 Empat Warna Penanda dan Makna Penanda Keselamatan Kerja
Warna Makna Keterangan
Merah Penanda Tindakan yang
larangan diperlihatkan TIDAK
boleh dilakukan

Penanda Mematikan,
bahaya mengevakuasi,
mengoperasikan
alat-alat darurat,
menghentikan
tindakan
Penanda
pemadam Identifikasi peralatan
api dan lokasinya
Kuning Penanda Berhati-hati,
peringatan ambillah tindakan
pencegahan, lakukan
dengan hati-hati
Biru Penanda Instruksi HARUS
perintah diikuti Peralatan yang
ditunjukkan HARUS
dikenakan
Hijau Penanada Rule keluar darurat,
informasi lokasi pos P3K
keselamatan
Sumber: Health and Safety Executive, 2009:11

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 40 Tahun 2008 tentang
Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK). Dalam Ruang Praktek Program Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga
Listrik setidaknya memiliki sarana dan prasarana sebagai berikut: (a) ruang praktek Program
Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan pembelajaran: penerapan konsep dasar kelistrikan dan pengukuran pada pemanfaatan
tenaga listrik, instalasi pemanfaatan tenaga listrik yang meliputi konstruksi, cara kerja,
pemasangan, inspeksi, pengoperasian dan perawatan/perbaikan, serta pembelajaran
keselamatan dan kesehatan kerja listrik (K3 Listrik). (b) Luas minimum ruang praktek
Program Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah 208m² untuk menampung 32
siswa, yang meliputi: laboratorium dasar teknik elektro 64m², area kerja pemanfaatan tenaga

506
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

listrik 96m², ruang penyimpanan dan instruktur 48m². (c) ruang praktek Program Keahlian
Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik dilengkapi prasarana sebagaimana tercantum pada Tabel
2.2 (d) ruang praktek Program Keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik dilengkapi
sarana sebagaimana tercantum pada Tabel 2.3 sampai dengan Tabel 2.5

Tabel 2.2 Jenis, Rasio, dan Standar Prasarana Ruang Praktek Program Keahlian Teknik Pemanfaatan
Tenaga Listrik
Jenis Ratio Deskripsi
Laboratorium 4m²/siswa Kapasitas untuk 16
dasar siswa.
teknik Luas minimum
elektro adalah 64 m².
Lebar minimum
adalah 8 m.
Area kerja 6m²/siswa Kapasitas untuk 16
perawatan siswa.
dan Luas minimum
perbaikan adalah 96 m².
peralatan Lebar minimum
listrik adalah 8 m.
Ruang 4 m²/ Luas minimum
penyimpanan instruktur adalah 48 m².
dan Lebar minimum
instruktur adalah 6 m.
Sumber: Permen Pendidikan Nasional No. 40, 2008:68

Tabel 2.3 Standar Sarana Laboratorium Dasar Teknik Elektro


Jenis Ratio Diskripsi
Perabotan 1 set/area Untuk minimum 4
a. Meja kerja siswa
b. Kursi pada pekerjaan
kerja/stool penerapan konsep
c. Lemari dasar kelistrikan dan
simpan alat pengukuran
dan bahan pada pemanfaat
tenaga listrik
Peralatan 1 set/area Untuk minimum 4
Peralatan siswa
untuk pada pekerjaan
pekerjaan penerapan konsep
penerapan dasar kelistrikan dan
konsep dasar pengukuran
Teknik pada pemanfaat
Elektro tenaga listrik.
Media 1 set/area Untuk mendukung
Pendidikan minimum 4
Papan Tulis siswa pada
pelaksanaan
kegiatan belajar
mengajar yang
bersifat teoritis.
Perlengkapan Min. 1 Untuk mendukung
Lain buah/area. operasionalisasi
Kotak kontak peralatan yang
memerlukan daya
listrik
Tempat Min. 1
Sampah buah/area.

507
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sumber: Permen Pendidikan Nasional No. 40, 2008:68

Tabel 2.4 Standar Sarana Area Kerja Perawatan dan Perbaikan Peralatan Listrik
Jenis Ratio Diskripsi
Perabotan 1 set/area Untuk minimum 4
a. Meja siswa
kerja pada pekerjaan
b. Kursi konstruksi, cara
kerja/stoo kerja, pemasangan,
c. Lemari inspeksi,
simpan pengoperasian dan
alat dan perawatan/perbaikan
bahan komponen
utama, serta
pembelajaran
keselamatan dan
kesehatan kerja
listrik (K3 Listrik),
instalasi
pemanfaat tenaga
listrik
Peralatan 1 set/area Untuk minimum 4
Peralatan siswa
untuk pada pekerjaan
pekerjaan konstruksi, cara
perawatan kerja, pemasangan,
dan inspeksi,
perbaikan pengoperasian dan
peralatan perawatan/perbaikan
listrik. komponen
utama, serta
pembelajaran
keselamatan dan
kesehatan kerja
listrik (K3 Listrik),
instalasi
pemanfaat tenaga
listrik..
Media 1 set/area Untuk mendukung
Pendidikan minimum 4
Papan Tulis siswa pada
pelaksanaan
kegiatan belajar
mengajar yang
bersifat teoritis.
Perlengkapan Min. 1 Untuk mendukung
Lain buah/area. operasionalisasi
Kotak kontak peralatan yang
memerlukan daya
listrik
Tempat Min. 1
Sampah buah/area.
Sumber: Lampiran Permen Pendidikan Nasional No. 40, 2008:69

Tabel 2.5 Standar Sarana Ruang Penyimpanan dan Instruktur


Jenis Ratio Diskripsi
Perabotan 1 Untuk minimum
a. Meja kerja set/area 12 instruktur
b. Kursi
kerja/stool
c. Rak alat

508
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dan bahan
d. Lemari
simpan
alat dan
bahan
Peralatan 1 Untuk minimum
Peralatan set/area 12 instruktur
untuk ruang
penyimpanan.
Media 1 Untuk pendataan
Pendidikan set/area kemajuan siswa
Papan Tulis dan ruang praktek
Perlengkapan Min. 2 Untuk mendukung
lain buah/lab. operasionalisasi
Kotak kontak peralatan yang
memerlukan daya
listrik.
Tempat Min. 1
sampah buah/lab
Sumber: Permen Pendidikan Nasional No. 40, 2008:69

Kelayakan Sarana K3 di Bengkel


Menurun Solihin, (2005:32) setiap kecelakaan disebabkan oleh salah satu faktor sebagai
berikut, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yaitu: (1) tindakan tidak aman dari
manusia itu sendiri (unsafe act) antaranya: (a) terburu-buru atau tergesa-gesa dalam
melakukan pekerjaan, (b) tidak meng-gunakan pelindung diri yang disediakan. (c) sengaja
melanggar peraturan keselamatan yang diwajibkan. (d) berkelakar/bergurau dalam bekerja
dan sebagainya. (2) keadaan tidak aman dari lingkungan kerja (unsafe condition) yakni: (a)
Mesin-mesin yang rusak tidak diberi pengamanan, kontruksi kurang aman, bising dan alat-alat
kerja yang kurang baik dan rusak, (b) Lingkungan kerja yang tidak aman bagi manusia (becek
atau licin, ventilasi atau pertukaran udara , bising atau suara-suara keras, suhu tempat kerja,
tata ruang kerja/kebersihan dll).
Dalam K3 diharuskan menggunakan pakaian pelindung dengan aman untuk dapat bekerja,
biasanya disebut pakaian kerja. Pada Solihin, (2005:35) untuk penggunakan pakaian kerja
harus memenuhi syarat-syarat pakaian perlindungan atau pengamanan di antaranya: (a)
pakaian kerja harus dapat melindungi pekerja terhadap bahaya yang mungkin ada, (b) pakaian
kerja harus seragam mungkin dan juga ke tidak nyamanannya harus yang paling minim, (c)
kalau bentuknya tidak menarik, paling tidak harus dapat di terima, (d) pakaian kerja harus
tidak mengakibatkan bahaya lain, misalnya lengan yang terlalu lepas atau ada kain yang lepas
dan sangat mungkin termakan mesin, (e) bahan pakaiannya harus mempunyai derajat
resistensi yang cukup untuk panas dan suhu kain sintesis (nilon, dll) yang dapat meleleh oleh
suhu tinggi seharusnya tidak dipakai, (f) pakaian kerja harus dirancang untuk menghindari
partikel-partikel panas terkait di celana, masuk di kantong atau terselip di lipatan-lipatan

509
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pakaian, (g) overall katun memenuhi semua persyaratan yang disebutkan di atas dan overall
katun paling banyak digunakan sebagai pakaian kerja, (h) dasi, cincin dan jam tangan
merupakan barang-barang yang mempunyai kemungkinan besar menimbulkan bahaya karena
rentan terhadap mesin, dan akan menyebabkan kecelakaan jika para pekerja tetap
memakainya. Jam tangan dan cincin menambah masalah pada bahan kimia dan panas dengan
berhenti menghilangkan bahaya.
Terdapat juga hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan pakaian kerja
antaranya: (a) kenakan pakaian yang tahan terhadap api, tertutup rapat, dan berkancingkan,
(b) kenakan katun atau woll dan sebagainya guna menghindari bahan buatan yang mudah
terbakar baik baju atas maupun baju bawah, (c) Baju yang longgar dan tidak berkancing atau
t-shirt atau berdasi, sabuk dapat dengan mudah mengait putaran mesin, (d) kancing harus
ditutupi bahan penutup untuk mencegah kerusakan permukaan ketika bekerja di atas tonggak
atau penyangga dan sebagainya.

Pengelolaan Sarana di Bengkel


Banyak perusahaan ataupun lembaga di Indonesia yang sudah mengadopsi budaya kerja
5S termasuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurut Nurrohman (2011:10), SMK
sebagai lembaga pendidikan formal yang lebih banyak melaksanakan pembelajaran
praktikum di bengkel perlu menerapkan pengelolaan laboratorium atau bengkel berbasis 5S.
Maka isi dari pengelolaan 5S di bengkel yaitu: (1) Ringkas (Seiri), (2) Rapi (Seiton), (3) Resik
(Seiso), (4) Rawat (Seiketsu), (5) Rajin (Shitsuke).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan kuantitatif, serta dapat diartikan sebuah penelitian yang
membandingkan teori ke penerapannya . Serta penelitian ini akan dipergunakan untuk
meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisa data bersifat statistik. Metode kuantitatif merupakan data penelitian berupa angka-
angka dan analisa menggunakan statistik (Sugiyono, 2010:7)
Populasi dan Sampel
Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh pe-neliti untuk dipelajari dan
kemudahan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010:80). Populasi penelitian diambil pada
kelas XII program keahlian Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik SMKN 3 Boyolangu. Di

510
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dalam bidang tersebut, memiliki 81 siswa yang terbagi menjadi 3 kelas. Untuk lebih rinci
tentang jumlah setiap kelasnya diperlihatkan pada Tabel 3.1

Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Populasi
yang besar membuat peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
sampel dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan dapat
diberlakukan untuk popu-lasi. Sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul
representatif (mewakili) (Sugiyono, 2010:81). Menurut Subana dkk, (2000:25) teknik
pengam-bilan sampel atau teknik sampling adalah suatu teknik atau cara mengambil sampel
yang respresentatif dari populasi. Dalam pengambilan sampel harus dilakukan dengan benar-
benar bisa mengambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.
Dalam pengambilan sampel di tempat kerja praktikum program keahlian Teknik
Pemanfaatan Tenaga Listrik SMKN 3 Boyolangu terdapat 87 responden. Dengan rincian
responden akan dijabarkan di Tabel 3.1, berikut:
Tabel 3.1 Rincian Responden
Responden Jumlah Responden
Siswa Kelas XII TIT1 26 Responden
Siswa Kelas XII TIT2 26 Responden
Siswa Kelas XII TIT3 29 Responden
Instruktur Praktikum 6 Responden
Jumlah 87 Responden

Instrumen Penelitian
Penelitian ini dibuat dalam bentuk checklist dengan menggunakan skala bertingkat yaitu:
(a) bobot 4 (sangat layak), (b) bobot 3 (layak), (c) bobot 2 (kurang layak), dan (d) bobot1
(tidak layak). Keempat dimensi tersebut selanjutnya akan dijabarkan menurut metode rating
scale. Untuk skala pengukur penelitian akan menggunakan sebuah cara yang disebut skala
likert.
Dalam instrumen penelitian dengan menggunakan skala likert akan tedapat pengujian
instrumen yaitu validitas dan reliabilitas. Pengujian tersebut dipergunakan untuk menguji
instrumen yang dipergunalan sebagai alat ukur untuk mendapatkan data. Validitas dan
reliabilitas

Pengumpulan Data

511
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dalam pengumpulan data perlu terdapat prinsip secara umum , apalagi pengumpulan data
statistik yaitu waktu, tenaga, biaya, dan alat serta dapat meng-himpun data dengan lengkap,
tepat juga dapat dipercaya (Sudijono, 2010:26). Dalam teknik pengumpulan data penelitian di
antaranya dengan cara wawancara, angket pengamatan atau gabungan ketiganya (Sugiyono ,
2010:137).

Analisa Data
Teknik analisa data dalam penelitian kuantitatif menggunakan statistik dan terdapat dua
cara yaitu diskriptif dan inferensial. Tetapi dalam pembahasan penelitian akan dilakukan
secara kuantitatif diskriptif, maka penelitian kuantitatif diskriptif tidak ada pengujian
signifikasi . Statistik deskripsi adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan
cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang sudah terkumpul. Serta data tersebut
akan dibuat sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi (Sugiyono, 2010:147).
Penelitian kuantitatif diskriptif menggunakan pengukuran skala likert dengan penyekoran
empat item. Analisa data pada penelitian deskriptif sering sekali tidak merumuskan hipotesis,
tetapi dalam analisa datanya akan diarahkan untuk menjawab rumusan masalah. Dengan
mengarah ke rumusan masalah, sehingga tidak perlu pengujian hipotesis.
Analisa dilakukan dengan cara melakukan perhitungan statistik, sehingga setiap rumusan
masalah dapat ditemukan jawabannya secara kuantitatif (Sugiyono, 2010:176). Dalam
menjawab rumusan masalah sangat penting di penelitian deskriptif , karena dasar penelitian
pada rumusan masalah. Untuk menjawab rumusan masalah akan ditentukan skor ideal. Skor
ideal ditetapkan dengan asumsi jawaban responden di skor tertinggi. Untuk menjawab
rumusan masalah, dilakukan dengan membagi jumlah nilai hasil penelitian dengan skor
idealnya. Dari hasil tersebut akan diubah menjadi prosentase yang mencerminkan setiap
pemberian empat skala pada angket bisa dijabarkan pada Tabel 3.6 berikut:
Tabel 3.6 Kriteria Prosentase Kelayakan
Definisi Kriteria Prosentase
Tidak Layak 0% = 25%
Kurang Layak 26% = 50%
Layak 51% = 75%
Sangat Layak 76% = 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam tabulasi data, merupakan kegiatan pemberian poin di setiap alternatif jawaban yang
diberikan oleh para responden sesuai dengan bobot yang telah ditetapkan. Setiap pertanyaan yang
disajikan dengan angket memiliki 4 kriteria poin jawaban yaitu: 1, 2, 3, dan 4. Pemberian poin
pertanyaan akan dihitung dengan hasil perhitungan deskriptif seperti berikut:

512
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hasil Perhitungan Per Indikator dari Siswa


Dari pengambilan analisa data siswa telah disesuaian dengan rumusan masalah sarana
dan prasarana K3 di bengkel kerja sebagai berikut:
Tabel 4.2 Rata-Rata Poin Ketersedian
Sarana K3
Rata-Rata
Indikator
Poin
Bangunan bengkel 262.3
Peralatan keselamatan dan
186
kesehatan kerja
Media pendukung praktek 243.5
Bahan praktek 260.25
Jumlah 238.0

Tabel 4.3 Rata-Rata Poin Kelayakan


Sarana/Prasarana K3
Rata-Rata
Indikator
Poin
Kondisi/Atmosfer Bangunan
203,7
Bengkel
Kondisi peralatan keselamatan
184,83
dan kesehatan kerja
Kondisi media praktek 227
Kondisi bahan praktek 207,5
Jumlah 205,8

Tabel 4.4 Rata-Rata Poin Sistem


Pengelolaan Sarana K3
No. Indikator Rata-Rata Poin
1 Perawatan dan
penggunaan
peralatan 152,7
keselamatan dan
kesehatan kerja
2 Perawantan dan
penggunaan media 260,5
praktek
3 Oprasional
246
bengkel
Jumlah 219,7

Dari penelitian didapatkan data sebagai berikut: (1) ketersedian sarana k3 bengkel kerja
dari hasil analisa data penelitian 87 responden memiliki rata-rata (mean) 38,4, nilai yang
sering muncul (modus) 35,serta titik tengahnya (median) 36 dan untuk simpang baku
(Standar Deviasi) 3,96. Dimana di tingkat penyebaranya data (varian) sebesar 15,7, rentang
(range) 18 dan poin min. 27, poin mak. 45. (2) kelayakan sarana/prasarana k3 bengkel kerja,
dari hasil analisa dari 87 responden memiliki rata-rata (mean) 37,7, nilai yang sering muncul
(modus) 41,serta titik tengahnya (median) 38 dan untuk simpang baku (standar deviasi) 6,97.
Dimana di tingkat penyebaranya data (varian) sebesar 48,6, rentang (range) 32 dan poin min.

513
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

20, poin mak. 52. (3) sistem pengelolaan sarana k3 di bengkel kerja, dari pengambilan data 87
responden pada sistem pengelolaan dan penerapan sarana K3 bengkel kerja memiliki rata-rata
(mean) 30,3, nilai yang sering muncul (modus) 34, serta titik tengahnya (median) 31 dan
untuk simpang baku (standar deviasi) 4,77. Dimana di tingkat penyebaranya data (varian)
sebesar 22,7, rentang (range) 20 dan poin min. 18, poin mak. 38.
Dari data yang diperoleh yang ditampilkan dalam prosentase pada uraian sebelumnya
dipergunakan untuk menjawab setiap rumusan masalah. Untuk mengetahui jawaban rumusan
masalah maka analisa data dapat ditampilkan dalam uraian prosentase berikut: (1)
ketersedian sarana K3 bengkel kerja dari hasil analisa mendpat prosentase dari dua jenis
responden memiliki rata-rata prosenase adalah 73,1%. (2) kelayakan sarana/prasarana K3
bengkel kerja mendapatkan prosentase dari dua jenis responden yang rata-rata prosenase
adalah 64,9%. (3) sistem pengelolaan sarana K3 di bengkel kerja, dari hasil analisa data dari
responden memiliki rata-rata prosenase adalah 68,9%.
Hasil keseluruhan analisa data menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) 104,5. Serta
nilai yang sering muncul (modus) 101, serta titik tengahnya (median) 105 dan untuk simpang
baku (Standar Deviasi) 140,5. Dimana tingkat penyebaran data (varian) 197,5, rentang (range)
66 dan poin min. 66, poin mak. 132. Dengan jumlah pendapatan keseluruhan 9090 poin
dengan idealnya mendapatkan 13224 poin. Dari Analisa data penelitian mendapatkan
prosentase sebesar 68.74%.

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (1)
ketersedian sarana K3 di bengkel kerja, sudah layak untuk dipergunakan sebagai tempat
praktek siswa. (2) kesesuaian dan kelayakan sarana/prasarana K3 bengkel kerja, sudah layak
untuk dipergunakan sebagai tempat praktek siswa. (3) sistem pengelolaan sarana k3 bengkel
kerja, juga sudah layak untuk dipergunakan sebagai tempat praktek siswa.

DAFTAR RUJUKAN
Health and Safety Executive. 2009. Safety Signs and Signals. (Online), (http://-
www.essex.ac.uk/ohsas/Hazsubs/Safety_Signs_Regs_L64.pdf), diakses 29 Maret 2013
Marsudi, Djiteng. 2005. Pembangkit Tenaga Listrik. Jakarta: Erlangga.
Moeadi. 1982. Keselamatan Kerja Seri I. Malang: IKIP Malang.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2008
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per.05/MEN/1996 Tentang sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

514
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan


dan Kesehatan Kerja
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 Tahun 1980 Tentang Pokok Pokok
Organisasi Universitas/Institut Negeri
PP Republik Indonesia No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Ridley, John. 2004. Ihtisar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Edisi Ketiga. Terjemahan
Astranto, Soni. 2008. Jakarta: Erlangga.
Rokhman, Mohammad .F. 2012. Pengaruh Kelayakan Bengkel dan Prestasi Mata Pelajaran
Instalasi Terhadap Kesiapan Kerja Sebagai Instalatir Listrik Siswa SMK Negeri 3
Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: FT Universitas Negeri Yogyakarta
Solihin dkk, Iin. 2005. Mengikuti Prosedur Keselamatan,Kesehatan Kerja dan Lingkungan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumardjati dkk, Prih. 2008. Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik Jilid 1. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.
UU Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagaan Kerjaan
UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

515
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENENTUAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PRESTASI BELAJAR MAHASISWA
DENGANANALISIS KOMPONEN UTAMA

Oleh:

Makkulau, Andi Tenri Ampa

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan tingkat prestasi belajar mahasiswa dengan kriteria
pintar, sedang, dan kurang, serta menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa di
Perguruan Tinggi dengan menggunakan Analisis Komponen Utama.Berdasarkan hasil penelitian diper-oleh
Kelompok Pintar (IPK  3.00) terdiri dari 25 mahasiswa, Kelompok Sedang (2.50 < IPK < 3.00) terdiri dari
24 mahasiswa, dan Kelompok Kurang (IPK  2.50) terdiri dari 35 mahasiswa.Hasil pengolahan data dengan
menggunakan Analisis Komponen Utama terhadap delapan variabel mahasiswa, yaitu Agama, Jenis kelamin,
Asal Kota, AsalKabupaten, Nilai NEM, Umur masuk, Pekerjaan orang tua, danJalur masuk, serta Indeks
Prestasi Kumulatif (IPK) diperoleh empat komponen utama yang mampu menerangkan 71,46% dari total
keragaman. Dari hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar mahasiswa sangat
dipengaruhi oleh asal kota dan asal kabupaten mahasiswa.

Kata Kunci: Analisis Komponen Utama, Indeks Prestasi Kumulatif, Pintar, danPrestasi Belajar.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari berbagai kasus data yang berskala
kuantitatif (interval atau rasio) dan kasus data yang berskala kualitatif (nominal atau ordinal).
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, peneliti sering menggunakan berbagai macam
cara/analisis. Salah satu di antaranya adalah Analisis Komponen Utama, yaitu suatu
metode/analisis untuk mereduksi variabel atau mendapatkan variabel baru dari variabel lama
dengan menjaga informasi asal sebanyak mungkin [Johnson & Wichern, 2007].

Analisis Komponen Utama pada awalnya diaplikasikan hanya untuk data berskala interval
dan rasio. Kemudian Analisis Komponen Utama telah digunakan pula pada data berskala
ordinal [Korhonen, 1998]. Pada perkembangan selanjutnya, untuk data multivariabel
berskala campuran (nominal, ordinal, interval, dan rasio) dapat digunakan suatu analisis
yang merupakan pengembangan Analisis Komponen Utama yang disebut Analisis
Komponen Utama Nonlinear [Makkulau, 2002].

Berdasarkan hasil beberapa SNPTN yang lalu, diketahui bahwa untuk skala nasional,
Provinsi Sulawesi Tenggara menduduki posisi yang kurang menggembirakan dalam hal mutu
siswa yang mengikuti SNPTN. Olehnya itu menjadi tugas bersama untuk mengkaji faktor-
faktor yang dapat meningkatkan mutu dan prestasi mahasiswa demi peningkatan sumber daya
manusia (SDM). Sumber daya manusia tersebut merupakan salah satu penentu untuk

516
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

mendukung program Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Salah satu cara untuk
meningkatkan sumber daya manusia tersebut adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa dan untuk mengetahui faktor-faktor tersebut
digunakan Analisis Komponen Utama.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan hal di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengelompokkan prestasi belajar mahasiswa untuk mengetahui mahasiswa


dengan kriteria pintar, sedang dan kurang?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa di Perguruan Tinggi?
1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengelompokkan tingkat prestasi belajar mahasiswa dengan kriteria pintar, sedang, dan
kurang dengan menggunakan Analisis Komponen Utama.
2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa di Perguruan
Tinggi dengan menggunakan Analisis Komponen Utama.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transformasi dengan Metode Rating yang Dijumlahkan

Metode rating yang dijumlahkan atau penskalaan model likert merupakan suatu
metode yang dapat mentransformasi data menjadi data numerik. Dengan demikian, data yang
berskala ordinal atau campuran setelah ditransformasi, maka sudah dapat diolah dengan
Analisis Komponen Utama [Azwar, 1993].

2.2 Analisis Komponen Utama


Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) adalah upaya untuk
mengelompokkan variabel-variabel yang korelasi linearnya sejalan menjadi satu
komponen utama, sehingga dari p variabel akan didapat q komponen utama yang saling
independen yang masih dapat mewakili keseluruhan persoalan ( q  p ) [Johnson &
Wichern, 2007]. Secara aljabar komponen utama merupakan kombinasi linear dari p

variabel acak X 1 , X 2 ,  , X p sebagai sumbu koordinat, dapat ditulis dalam notasi

vektor: X'  [X1 , X 2 ,, X p ] dengan mean vektor  dan matriks varian-kovarian .

517
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Jika didefinisikan  sebagai matriks konstan berukuran pxp, maka Y merupakan

kombinasi linear dari variabel asal X1 , X 2 ,  , X p dan dinyatakan sebagai fungsi

Y  ' X . Juga diketahui bahwa:

Var(Y) = e’j  ej=  j

dimana  jdan ejadalah nilai-nilai eigen serta elemen-elemen dari vektor-vektor eigen
matriks varian-kovarian  .

3.METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan adalah data mahasiswa Universitas Halu Oleo khususnya mahasiswa

Matematika FMIPA Universitas Halu Oleo yang bersumber pada Kabag. Kepegawaian

FMIPA Universitas Halu Oleo.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang digunakan yaitu:Agama (X1), Jenis Kelamin (X2), Asal Kota (X3),

Asal Kabupaten (X4), NEM (X5), Umur (X6), Pekerjaan Ortu (X7), dan Jalur Masuk (X8),

serta Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

1. 3.3 Metode Analisis

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengelompokkan biasa dengan kriteria
pintar, sedang dan kurang berdasarkan IPK mahasiswa Matematika FMIPA Universitas Halu
Oleo. Selanjutnya akan dikaji penerapan Analisis Komponen Utama pada data tersebut untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswadengan
menggunakan software SPSS, Minitab,serta Exel.
Adapun secara lengkap langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut:
a. Melakukan pengelompokkan data mahasiswa dengan kriteria:
 Pintar (IPK  3.00)
 Sedang (2.50 < IPK < 3.00)
 Kurang (IPK  2.50)
b. Melakukan Analisis Komponen Utama dalam mereduksi variabel dari data tersebut
yang selanjutnya dilanjutkan dengan Analisis Faktor sebagai pengembangan dari

518
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Analisis Komponen Utama untuk mendapatkan faktor-faktor (variabel-variabel) yang


dominan yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu penelitian eksperimen terkadang dilakukan pengukuran terhadap lebih dari


satu variabel random. Analisis statistika untuk beberapa variabel juga harus dilakukan
secara bersama-sama, yang biasa disebut analisis multivariat.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:
a. Dengan melakukan pengelompokkan data mahasiswa dengan kriteria:
 Pintar (IPK  3.00)
 Sedang (2.50 < IPK < 3.00)
 Kurang (IPK  2.50)
Diperoleh hasil:
 1. Kelompok I [Pintar (IPK  3.00)] terdiri dari 25 mahasiswa.
 2. Kelompok II [Sedang (2.50 < IPK < 3.00)] terdiri dari 24 mahasiswa.
 3. Kelompok III [Kurang (IPK  2.50)] terdiri dari 35 mahasiswa.
b. Dengan melakukan Analisis Komponen Utama dalam mereduksi variabel dari data
tersebut yang selanjutnya dilanjutkan dengan Analisis Faktor sebagai pengembangan
dari Analisis Komponen Utama untuk mendapatkan faktor-faktor (variabel-variabel)
yang dominan yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa diperoleh hasil
sebagai berikut:
Data pada penelitian ini merupakan kasus dengan data multivariable ber-skala
campuran, sehingga jika ingin diolah dengan Analisis Komponen Utama, maka data tersebut
diubah terlebih dahulu ke data kategoriyang selanjutnya ditransformasi dengan menggunakan
metode rating yang dijumlahkan.
Hasil pengolahan data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama terhadap
tujuh variabel mahasiswa diperoleh empat komponen utama yang mampu menerangkan
71,46% dari total keragaman dengan perincian sebagi berikut:
a. Komponen utama pertama memiliki nilai eigen 2,097 mampu menerangkan 2,21% dari
total keragaman.
b. Komponen utama kedua memiliki nilai eigen 1,627 mampu menerangkan 20,33% dari
total keragaman.
c. Komponen utama ketiga memiliki nilai eigen 1,033 mampu menerangkan 12,91% dari
total keragaman.

519
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

d. Komponen utama keempat memiliki nilai eigen 0,961 mampu menerangkan 12,01% dari
total keragaman.
Keempat hasil komponen utama tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Proporsi Keragaman yang dapat Diterangkan oleh Komponen Utama
Komponen Nilai eigen Proporsi Ke- Proporsi Keragaman
Utama ragaman (%) Kumulatif (%)

1 2,097 26,210 26,210

2 1,627 20,332 46,542

3 1,033 12,906 59,449

4 0,961 12,012 71,461

Selanjutnya berdasarkan empat komponen utama tersebut dilakukan analisis faktor


untuk mereduksi variabel yang ada. Agar matrik loading bisa diinterpretasikan yaitu dengan
rotasi terhadap matrik loading faktor tersebut. Rotasi yang digunakan bertujuan untuk
memaksimumkan variansi tiap faktor yaitu rotasi tegak lurus (orthogonal) Varimax.
Adapun hasil rotasi terdapat pada Tabel 2, dimana diketahui bahwa nilai loading
faktor tersebut menyatakan besar korelasi antara variabel dengan faktor yang terbentuk.
Selain itu dapat juga dikatakan loading faktor sebagai koefisien regresi standar dalam
persamaan regresi dengan variabel asli sebagai variabel dependennya dan faktor sebagai
variabel independennya.

Tabel 2 Matrik Loading Faktor setelah Rotasi Varimax


Variabel Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4

Asal Kota (X3) 0,495 0,032 0,054 0,020

Asal Kabupaten (X4) 0,493 0,048 0,009 0,005

Jenis Kelamin (X2) -0,021 -0,511 0,120 0,193

Jalur Masuk (X8) 0,065 0,458 0,225 0,025

Agama (X1) 0,068 -0,087 0,598 -0,057

NEM (X5) -0,081 0,229 0,518 0,239

Umur (X6) -0,069 0,409 -0,299 0,473

520
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pekerjaan Ortu (X7) 0,034 -0,167 0,106 0,764

Dari matrik loading faktor tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang
mendukung setiap faktor adalah sebagai berikut:
a. Faktor pertama didukung oleh variabel asal sekolah (X3) dengan nilai loading 0,495,
dan asal kabupaten (X4) dengan nilai loading 0,493.
b. Faktor kedua didukung oleh dua variabel yaitu jenis kelamin (X2) dengan nilai loading -
0,511 serta jalur masuk (X8) dengan nilai loading 0,458.
c. Faktor ketiga didukung oleh variabel agama (X1) dengan nilai loading 0,598 dan variabel
NEM (X5) dengan nilai loading 0,518.
d. Faktor keempat didukung oleh variabel umur (X6) dengan nilai loading 0,473 dan
variabel pekerjaan orang tua (X7) dengan nilai loading 0,764.
Pada dasarnya hasil Analisis Faktor dengan Analisis Komponen Utama dalam mereduksi
variabel adalah sama. Variabel yang mendukung faktor pertama pada Analisis Faktor
sama dengan variabel yang mendukung dimensi pertama hasil Analisis Komponen Utama

Dari hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar mahasiswa sangat
dipengaruhi oleh asal kota dan asal kabupaten mahasiswa.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:


1. Dengan melakukan pengelompokkan data mahasiswa diperoleh hasil:
a. Kelompok Pintar (IPK  3.00) terdiri dari 25 mahasiswa.
b. Kelompok Sedang (2.50 < IPK < 3.00) terdiri dari 24 mahasiswa.
c. Kelompok Kurang (IPK  2.50) terdiri dari 35 mahasiswa.
2. Hasil pengolahan data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama terhadap
delapan variabel mahasiswa diperoleh empat komponen utama yang mampu
menerangkan 71,46% dari total keragaman.
Dari matrik loading faktor dari Analisis Komponen Utama dapat disimpulkan bahwa
variabel-variabel yang mendukung setiap faktor adalah sebagai berikut:
a. Faktor pertama didukung oleh variabel asal sekolah (X3) dan asal kabupaten
(X4).
b. Faktor kedua didukung oleh variabel jenis kelamin (X2) dan jalur masuk (X8).

521
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

c. Faktor ketiga didukung oleh variabel agama (X1) dan variabel NEM (X5).
d. Faktor keempat didukung oleh variabel umur (X6) dan variabel pekerjaan orang
tua (X7) .
Dari hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar mahasiswa sangat
dipengaruhi oleh asal kota dan asal kabupaten mahasiswa.

6.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian disarankan sebagai berikut:
3. Untuk mereduksi variabel berskala campuran dapat digunakan Analisis
Komponen Utama.
4. Agar lingkungan perguruan tinggi dan khususnya Universitas Halu Oleolebih
memperhatikan mahasiswa yang masuk dalam kategori kurang.
5. Agar Pemerintah bersifat proaktif untuk meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa baik dalam bentuk fasilitas maupun yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S, (1993) Dasar-Dasar Psikometri, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta

Johnson, R.A. dan Wichern, D.W., (2007) Applied Multivariate Statistical Analysis, 6th
edition. Prentice Hall, New Jersey

Kabag. Kepegawaian FMIPA UHO, (2004) Data Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA
UHO

Korhonen, P., Siljamaki, A. (1998) Ordinal Principal Component Analysis Theory and an
Application, Computational Statistics and Data Analysis Vol. 26, 411 - 424

Kroonenberg, P.M., Harch, B.D., Basford, K.E., and Cruickshank, A. (1997) Combined
Analysis of Categorical and Numerical Descriptors of Australian Groundnut
Accession Using Nonlinear Principal Component Analysis, Journal of Agricultural,
Biological, and Environmental Statistics, Vol. 2, No. 3, 294 - 312

Makkulau, (2002) Analisis Komponen Utama Nonlinear pada Data Multivariabel Berskala
Campuran , Tesis

SPSS Base 9.0 (1999) Aplications Guide

522
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ANALISIS POLA SPASIALUNTUK PEMETAAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH


DENGUE
DI KOTA KENDARI

Oleh:

Mukhsar, Irma Yahya, danAnita Deppasau

ABSTRAK

Hasil eksplorasi data kejadian penyakit DBD tahun 2013 dan 2014 di 10 kecamatan Kota Kendari
mengindikasikan bahwa terdapat dependensi spasial yang ditunjukkan dengan Indeks Moran sebesar -0,1 untuk
tahun 2013 dan -0,2 untuk tahun 2014. Indeks Moran yang bernilai negatif berarti pola penyebaran DBD di
Kota Kendari menyebar di semua kecamatan. Berdasarkan analisis LISA diperoleh Kecamatan Puuwatu dan
Poasia adalah daerah dengan jumlah penderita DBD tinggi, sehingga kecamatan ini patut menjadi kecamatan
yang diprioritaskan untuk penurunan jumlah penderita DBD. Kecamatan yang berpotensi rawan akan
penyebaran penyakit DBD yang ditularkan oleh kecamatan di sekitarnya adalah Kecamatan Mandonga, karena
kecamatan tersebut masuk pada daerah coldspot.

Kata Kunci: Indeks Moran, Penyakit DBD, danPola Spasial.

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang
berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah, serta dapat menyebabkan
kematian. Penularan penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari
penderita DBD lainnya (Widoyono, 2005). Nyamuk Aedes ini terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonesia. Penyakit DBD sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia, terutama di wilayah perkotaan padat penduduk.
Kota Kendari merupakan salah satu daerah yang rawan DBD. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari merupakan daerah dengan jumlah kasus
DBD terbanyak di Sulawesi Tenggara pada tahun 2009, dengan jumlah kasus sebanyak 298
kasus. Dari tahun ke tahun jumlah penderita DBD di Kota Kendari cenderung fluktuatif. Pada
tahun 2012 terdapat 114 kasus, tahun 2013 terdapat 231 kasus, sedangkan pada tahun 2014
menurun menjadi 30 kasus (Dinkes, 2015).
Upaya untuk mencegah dan memberantas kasus DBD telah banyak dilakukan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, namun masih belum efektif karena masih sering terjadi
peningkatan kasus DBD. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis spasial agar menjadi salah
satu solusi masalah penyakit DBD di Kota Kendari.

523
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Metodespasialmerupakanmetodeuntukmendapatkaninformasipengamatan yang
dipengaruhioleh efekruangataulokasi. Hukum 1 geografi yang dikemukakan oleh Tobler
menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi
sesuatu yang berdekatan lebih erat hubungannya dibandingkan sesuatu yang berjauhan. Oleh
karena itu, dalam melihat fenomena yang terjadi pada suatu daerah, sebaiknya juga
memperhatikan sebaran geografis dari daerah tersebut. Spatial pattern atau pola spasial
adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi
(Lee dan Wong, 2001). Pola spasial akan menjelaskan bagaimana fenomena geografis
terdistribusi dan bagaimana perbandingannya dengan fenomena-fenomena lainnya.
Spasial statistik merupakan alat yang banyak digunakan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pola spasial tersebut, yaitu bagaimana objek-objek geografis terjadi dan berubah
di suatu lokasi. Selain itu juga dapat membandingkan pola objek-objek tersebut dengan pola
objek-objek yang ditemukan di lokasi lain. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis pola spasial di antaranya adalah autokorelasi spasial.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengangkat judul “Pemetaan Penyakit Demam
Berdarah Dengue di Kota Kendari Tahun 2013-2014 dengan Analisis Pola Spasial”.

2. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang
jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas. Penyakit DBD
merupakan penyakit menular yang terutama menyerang pada anak-anak.Di Indonesia
penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih banyak daerah yang
endemik. Daerah endemik DBD pada umumnya merupakan sumber penyebaran penyakit ke
daerah lain.
1.2 Autokorelasi Spasial
Autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan
ruang. Dengan kata lain autokorelasi spasial adalah suatu ukuran kemiripan dari objek di
dalam suatu ruang (jarak, waktu, dan wilayah). Jika terdapat pola sistematis di dalam
penyebaran sebuah variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial
mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut tersebut
pada daerah lain yang letaknya berdekatan atau bertetangga (Lembo, 2006).
Pola spasial dapat digambarkan menjadi tiga bagian yaitu clustered (gerombol),
dispered (menyebar), dan random (acak). Autokorelasi spasial bernilai positif jika di dalam
suatu daerah yang berdekatan mempunyai nilai yang mirip. Jika digambarkan akan terbentuk

524
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

penggerombolan. Autokorelasi spasial akan bernilai negatif jika dalam suatu daerah yang
saling berdekatan memiliki nilai yang berbeda atau tidak mirip. Jika digambarkan akan
membentuk pola seperti papan catur. Sedangkan jika terdapat bentuk yang acak menunjukkan
tidak adanya autokorelasi spasial (Anselin, 1995; Lee dan Wong, 2001).

1.3 Queen’s Move


Queen’s move merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentukan
bagaimana hubungan spasial atau kedekatan antar daerah dibentuk. Hubungan spasial antar
daerah didefinisikan seperti pada langkah ratu dalam permainan catur (Silk, 1979). Daerah
yang berhimpit ke arah kanan, kiri, atas, dan juga bawah diagonal mengindikasikan bahwa
daerah tersebut saling berdekatan.
1 2 3

4 6

7 8 9

Gambar 2.1. Quee’s move

1.4 Matriks Contiguity


Matriks contiguity adalah matriks yang menggambarkan hubungan antar daerah.
Matriks ini sering disebut sebagai binary matrix, karena nilai sel dalam matriks adalah 1 dan
0. Nilai 1 diberikan kepada pengamatan yang saling berdekatan. Sedangkan nilai 0 diberikan
kepada pengamatan yang tidak saling berdekatan.
= (1)

dengan adalah total nilai baris ke-i, dan adalah nilai pada baris ke-i kolom ke-j. Ilustrasi
matriks contiguity dengan Queen’s move dapat dilihat pada Gambar 2.2, yang disusun
berdasarkan Gambar 2.1.
Tetangga (j)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ʃ
D 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 3
a 2 1 0 1 1 1 1 0 0 0 5
e 3 0 1 0 0 1 1 0 0 0 3
r 4 1 1 0 0 1 0 1 1 0 5
a 5 1 1 1 1 0 1 1 1 1 8

525
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

h 6 0 1 1 0 1 0 0 1 1 5
7 0 0 0 1 1 0 0 1 0 4
(i) 8 0 0 0 1 1 1 1 0 1 5
9 0 0 0 0 1 1 0 1 0 3
Gambar 2.2. Matriks contiguity
1.5 Matriks Pembobot Spasial
Matriks pembobot spasial yang disimbolkan dengan W merupakan matriks yang
menggambarkan kekuatan interaksi antar daerah. Misalnya terdapat n unit daerah, maka
digunakan matriks berdimensi n х n yang menyatakan hubungan spasial. Setiap nilai dalam
matriks menjelaskan hubungan antar daerah yang diuraikan oleh baris dan kolom. Untuk
mengetahui sejauh mana masing-masing tetangga memberikan pengaruh terhadap suatu
daerah, maka dapat dihitung perbandingan antara nilai suatu daerah dengan total nilai daerah
tetangga yang mempengaruhinya. Dari hasil perhitungan ini diperoleh nilai pembobotan ( )
untuk setiap unit yang saling bertetangga.

(2)

dimana adalah nilai dalam matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Ilustrasi perhitungan
matriks pembobot spasial dengan Quenn’s move dapat dilihat pada Gambar 2.3, yang disusun
berdasarkan Gambar 2.2.

Tetangga (j)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ʃ
D 1 0 1/3 0 1/3 1/3 0 0 0 0 1
a 2 1/5 0 1/5 1/5 1/5 1/5 0 0 0 1
e 3 0 1/3 0 0 1/3 1/3 0 0 0 1
r 4 1/5 1/5 0 0 1/5 0 1/5 1/5 0 1
a 5 1/8 1/8 1/8 1/8 0 1/8 1/8 1/8 1/8 1
h 6 0 1/5 1/5 0 1/5 0 0 1/5 1/5 1
7 0 0 0 1/3 1/3 0 0 1/3 0 1
(i) 8 0 0 0 1/5 1/5 1/5 1/5 0 1/5 1
9 0 0 0 0 1/3 1/3 0 1/3 0 1

526
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2.3. Matriks pembobot spasial

1.6 Indeks Moran


Indeks Moran (Moran’s I) merupakan indikator autokorelasi spasial dan umum
digunakan untuk menentukan koefisien autokorelasi spasial.Indeks Moran digunakan untuk
menentukan korelasi suatu variabel di dalam seluruh himpunan data yang diobservasi (Lee
dan Wong, 2001). Indeks Moran dapat dihitung dengan persamaan berikut:

I= (3)

dengan n adalah banyaknya daerah atau lokasi pengamatan, adalah pembobot lokasii
tetangga j, adalah nilai pengamatan pada lokasi ke-i, adalah nilai rata-rata dari dari n
lokasi.
Nilai Indeks Moran sama dengan koefisien korelasi berkisar antara -1 sampai +1. Ketika
nilai Indeks Moran mendekati +1 maupun -1, maka autokorelasinya tinggi. Jika nilai Indeks
Moran 0 <I ≤ 1, mengindikasikan autokorelasi spasial positif. Jika didapatkan nilai Indeks
Moran -1 ≤ I < 0, maka mengindikasikan autokorelasi spasial negatif. Sedangkan jika
didapatkan nilai Indeks Moran adalah 0, maka mengindikasikan tidak adanya autokorelasi
spasial.
LISA adalah alat untuk menentukan asosiasi spasial pada setiap wilayah penelitian.
Metode LISA dapat menunjukkan wilayah pemusatan atau pencilan fenomena spasial pada
suatu wilayah. LISA didefinisikan dengan persamaan:
Ii = (5)

dengan merupakan nilai pengamatan pada lokasi ke-i, xj merupakan nilai pengamatan pada
lokasi ke-j, adalah nilai rataan dari variabel pengamatan, dan wij adalah ukuran pembobot
antara wilayah ke-i dan wilayah ke-j (Anselin, 1995).
Pengujian terhadap parameter Ii dapat dilakukan sebagai berikut:
H0 : Ii= 0 (Tidak ada autokorelasi spasial)
H1: Ii≠ 0 (Terdapat autokorelasi spasial)
Statistik uji: Zhit =

dengan Ii merupakan Indeks LISA, Zhit merupakan statistik uji Indeks LISA, E(Ii) merupakan
nilai harapan Indeks LISA, dan Var(Ii) merupakan nilai varians dari Indeks LISA.Pengujian
ini akan menolak H0 jika nilai |Z(I)| >Z(α/2), sehingga dapat diartikan bahwa terdapat
autokorelasi spasial.

1.7 Moran’s Scatterplot

527
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Lee dan Wong (2001) menyebutkan bahwa Moran’s scatterplot adalah salah satu cara
untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s scatterplot terbagi atas empat
kuadran. Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah
yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang memiliki nilai
pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH)atau daerah
hotspot karena menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah
dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah) disebut Low-Low (LL),
menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi daerah yang juga
memiliki nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan bawah) disebut High-Low
(HL)atau daerah coldspot menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang
dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah.

1.8 Peta Tematik


Peta tematik adalah gambaran dari sebagian permukaan bumi yang dilengkapi dengan
informasi tertentu, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi yang mengandung tema
tertentu. Peta tematik ini biasanya mencerminkan hal-hal yang khusus. Selain itu peta tematik
merupakan peta yang memberikan suatu informasi mengenai tema tertentu, baik data
kualitatif maupun kuantitatif. Peta tematik sangat erat kaitannya dengan SIG (sistem
informasi geografis) karena pada umumnya output dari proyek SIG adalahberupa peta
tematik. Baik yang berbentuk digital maupun dalam bentuk peta kertas (Budiyanto, 2002).

2. METODE PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder kejadian penyakit DBD
di Kota Kendari tahun 2013 dan 2014 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Kendari.
Tabel 3.1 Data jumlah kasus DBD di Kota Kendari tahun 2013 dan 2014
Jumlah Kasus
Kecamatan
2013 2014
Mandonga 14 1

Baruga 7 1

Puuwatu 33 3

Kadia 40 5

Wua Wua 41 5

528
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Poasia 10 3

Abeli 21 0

Kambu 29 6

Kendari 6 2

Kendari Barat 30 4

Jumlah 231 30

Sumber Data: Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2015

3.2 Prosedur Penelitian


Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengambilan data kasus DBD di Dinas Kesehatan Kota Kendari.
2. Gambaran geografis Kota KendariMenentukan kedekatan antar kecamatan di setiap daerah
di Kota Kendari dengan membuat matriks contiguity. Untuk menentukan kedekatan antar
kecamatan ini alat yang digunakan adalah peta Kota Kendari.
3. Menghitung matriks pembobot spasial yang diperoleh dari matriks contiguity.
4. Mencari nilai statistik Indeks Moran.
5. Membuat Moran’s Scatterplot.
6. Melakukan pengujian hipotesis Indeks LISA untuk melihat autokorelasi spasial secara
lokal setiap kecamatan di Kota Kendari.
7. Membuat peta tematik hasil Moran’s Scatterplotdengan menggunakan ArcView GIS 3.3.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Keadaan Geografis Kota Kendari
Kota Kendari adalah salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
dan merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Seperti halnya kota-kota lain di
Indonesia, Kota Kendari hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Kota Kendari memiliki luas wilayah 295,89 km2 atau 0,7% dari luas daratan Provinsi
Sulawesi Tenggara dan terdiri dari 10 kecamatan.

529
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kota Kendari

3.2 Indeks Moran


Hasil eksplorasi dengan Geoda 1.6.7 pada data kejadian penyakit DBD di Kota Kendari
tahun 2013 dan 2014 dengan matriks pembobot lokasi diperoleh Indeks Moran (I) sebesar -
0,1 untuk tahun 2013 dan -0,2 untuk tahun 2014.Nilai Indeks Moran pada dua tahun
pengamatan menunjukkan nilai negatif, mengindikasikan adanya pola spasial yang menyebar
(dispersed). Hal ini berarti bahwa dalam suatu daerah/kecamatan yang saling berdekatan
memiliki nilai/jumlah kejadian DBD yang berbeda atau tidak mirip.
3.3 Analisis Cluster
Moran’s scatterplot memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 terdapat satu kecamatan
yang terletak di kuadran HH, yaitu Kecamatan Kadia. Hal ini mengindikasikan bahwa di
kecamatan tersebut terdapat jumlah kejadian DBD tinggi dan kecamatan di sekitarnya tinggi.
Kecamatan yang menyebar di kuadran LH adalah Kecamatan Mandonga, Baruga dan
Kendari. Artinya terdapat jumlah kejadian DBD tinggi dan kecamatan di sekitarnya rendah.
Kuadran LL mengindikasikan daerah yang aman dari DBD. Kecamatan yang masuk dalam
kuadran ini adalah Kecamatan Poasia dan Abeli. Kecamatan yang masuk dalam kuadran HL
adalah Kecamatan Puuwatu, Kambu dan Kendari Barat. Kecamatan-kecamatan tersebut
mengindikasikan terdapat jumlah kejadian DBD tinggi dan kecamatan sekitarnya rendah.
Daerah yang termasuk dalam setiap kuadran diberikan pada Tabel 4.3. Peta tematik pada
Gambar 4.6 (a) menggambarkan hasil Moran’s scatterplot tahun 2013.
Moran’s scatterplot tahun 2014 menunjukkan adanya perubahan letak kecamatan pada
masing-masing kuadran, terdapat penambahan dua kecamatan yang terletak di kuadran HH,
yaitu Kecamatan Puuwatu dan Poasia. Pada kuadran LH tidak ada perubahan dari tahun 2013,
yaitu Kecamatan Mandonga, Baruga dan Kendari. Kecamatan Abeli tetap berada pada daerah
yang aman dari DBD yaitu kuadran LL. Pada kuadran HL terdapat Kecamatan Kambu dan
Kendari Barat. Daerah yang termasuk dalam setiap kuadran diberikan pada Tabel 4.3. Peta
tematik pada Gambar4.6 (b)menggambarkan hasil Moran’s scatterplot tahun 2014.

530
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.2 Peta tematik dari Moran’s scatterplot


a) Tahun 2013 b) Tahun 2014

3.4 Indeks LISA


Hasil pengujian Indeks LISA pada dua tahun pengamatan menunjukkan Kecamatan
Mandonga, Poasia dan Puuwatu merupakan kecamatan-kecamatan yang memiliki hubungan
spasial dengan kecamatan-kecamatan lain yang berdekatan. Hasil pengujian Indeks LISA
dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.

Gambar 4.3 LISA data DBD tahun 2013

Gambar 4.4 LISA data DBD tahun 2013


3.5 Peta Kerawanan Penyakit DBD di Kota Kendari

Kecamatan yang masuk dalam kategori coldspot dalam dua tahun pengamatan adalah
Kecamatan Mandonga. Daerah ini memiliki autokorelasi negatif atau berpola pencilan dengan
nilai penderita DBD pada daerah tersebut rendah sedangkan daerah sekitarnya tinggi. Daerah
coldspot ini berpotensi menjadi rawan akan penyebaran penyakit DBD yang ditularkan oleh
daerah di sekitarnya yang tinggi. Sedangkan pengujian signifikansi LISA pada tahun 2014

531
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

memperlihatkan daerah Puuwatu dan Poasia tergolong dalam daerah dengan tingkat kejadian
DBD tinggi dan daerah di sekitarnya juga tinggi. Daerah tersebut patut diwaspadai sebagai
daerah yang dapat menyebarkan penyakit DBD kepada kecamatan tetangganya (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Peta kerawanan penyakit DBD Kota Kendari


b) Tahun 2013 b) Tahun 2014

4. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Hasil eksplorasi data kejadian penyakit DBD tahun 2013 dan 2014 di 10 kecamatan
Kota Kendari mengindikasikan bahwa terdapat dependensi spasial yang ditunjukkan dengan
Indeks Moran sebesar -0,1 untuk tahun 2013 dan -0,2 untuk tahun 2014. Indeks Moran yang
bernilai negatif berarti pola penyebaran DBD di Kota Kendari menyebar di semua kecamatan.
Berdasarkan analisis LISA diperoleh Kecamatan Puuwatu dan Poasia adalah daerah
dengan jumlah penderita DBD tinggi, sehingga kecamatan ini patut menjadi kecamatan yang
diprioritaskan untuk penurunan jumlah penderita DBD. Kecamatan yang berpotensi rawan
akan penyebaran penyakit DBD yang ditularkan oleh kecamatan di sekitarnya adalah
Kecamatan Mandonga, karena kecamatan tersebut masuk pada daerah coldspot.

5.2 Saran
Penelitian ini hanya terbatas pada analisis pola spasial. Penelitian selanjutnya
diharapkan dapat memodelkan faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya kejadian
penyakit DBD di Kota Kendari.

DAFTAR PUSTAKA

Anselin. 1995. Spatial Economics: Method and Models. London: Kluwer Academic
Publisher.
Budiyanto, E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS.Yogyakarta:
Andi Offset.
Dinkes. 2015. Kasus Demam Berdarah. Kendari: Dinas Kesehatan Kota Kendari.

532
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kartika, Y. 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor tahun
2005 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Lee, J.,Wong D. W. S. 2001. Statistical Analysis With ArcView GIS. New york: John Willey
and Sons. Inc.
Lembo, A. J. 2006. Spatial Autocorrelation. Cornell University.
LeSage, J. P. 1999. The Theory and Practice of Spatial Econometrics. Departement of
Economics. University of Toledo.
Praja, W. P. 2013. Analisis Pola Penyebaran Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Kota Bogor tahun 2007-2011 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Rosli, M. H., Er A. C. 2010. Spatial Mapping of Dengue Incident: A Case Study in Hulu
Langat District, Selangor, Malaysia. International Jurnal of Human and Social Sience,
5(6), 410-414.
Silk, J. 1979. Statistical Concept In Geografi. London. George Allen &Unwin Ltd.

Ward, M. D., Gleditsch K. S. 2008. Spatial Regrression Models. United States: Saga
Publication Inc.
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga

533
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENDETEKSIAN OUTLIER DENGAN ESTIMASI M YANG MENGGUNAKAN


FUNGSI PEMBOBOT HUBER

Oleh:
Andi Tenri Ampa, Irma Yahya, Makkulau, dan Feti Apriani

ABSTRAK

Dari hasil analisis dengan estimasi M menggunakan pembobot Huber diperoleh model sebagai berikut:

Model diatas lebih kekar dibandingkan dengan metode kuadrat terkecil dalam pemodelan data yang
mengandung outlier. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dari metode
kuadrat terkecil dan nilai Mean Square Error (MSE) yang lebih kecil

Kata Kunci: Estimasi M, Pembobot Huber, dan Outlier

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis regresi linear merupakan metode statistika yang digunakan untuk menduga
model hubungan antara variabel terikat (Y) terhadap satu atau lebih variabel bebas (X). Salah
satu tujuan dalam analisis regresi adalah mengestimasi koefisien regresi dalam model regresi.
Metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi koefisien regresi yaitu Metode
Kuadrat Terkecil (MKT) atau Ordinary Least Square. Namun metode ini tidak dapat
digunakan pada data yang terdapat pencilan. Pencilan merupakan pengamatan yang jauh dari
pusat data yang berpengaruh besar terhadap koefisien regresi (Walpole & Myers,1995).
Adanya pencilan dalam amatan dapat mengakibatkan estimasi koefisien regresi yang
diperoleh tidak tepat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai standar error yang besar apabila
menggunakan Metode Kuadrat Terkecil (MKT). Namun demikian tindakan membuang begitu
saja suatu pencilan, bukanlah tindakan yang bijaksana karena ada kalanya pencilan
memberikan informasi yang cukup berarti. Oleh karena itu, diperlukan suatu estimasi yang
bersifat robust atau kekar terhadap pencilan yang dikenal dengan regresi robust. Metode ini
merupakan metode untuk menganalisa data yang mengandung pencilan sehingga dihasilkan
model yang kekar terhadap pencilan.
Beberapa metode estimasi dalam regresi robust yang dapat digunakan untuk
mengatasi adanya pencilan yaitu estimasi M, S, LTS, MM, dan LMS. Estimasi M dipandang
baik untuk mengestimasi parameter yang disebabkan oleh pencilan X (Ryan, 1997). Estimasi
M mempunyai efisiensi yang tinggi hingga 95% dibandingkan dengan metode lain yang dapat
digunakan untuk menjelaskan ukuran ke-robust-an dari teknik robust.

534
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Regresi Linear Berganda
Model regresi linear secara umum dapat dinyatakan sebagai berikut:

2.2 Pendugaan Kuadrat Terkecil


Penggunaan MKT untuk menentukan sebagai taksiran terhadap
parameter adalah dengan meminimumkan:

2.3 Mengidentifikasi Pencilan


2.3.1 Definisi Pencilan
Pencilan merupakan data yang terpisah jauh dari kumpulan data lainnya, yang mana
pencilan ini menghasilkan sisaan yang besar dan mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap model taksirannya. Untuk mengindentifikasi pencilan dapat dideteksi dengan
menggunakan metode grafis untuk melihat pencilan secara visual, dan menggunakan metode
perhitungan dengan menggunakan nilai leverasi untuk melihat pencilan X dan sisaan
dibuang ter-studentkan untuk melihat pencilan Y (Neter dkk, 1997).

2.4 Regresi Kekar dengan Penduga M


Estimasi M yang diperkenalkan oleh Huber (1973) merupakan metode regresi robust
yang sering digunakan. Metode ini merupakan alat penting untuk menganalisa data yang
dipengaruhi oleh pencilan untuk mendapatkan model yang kekar atau tahan terhadap pencilan

M-Estimation dengan meminimumkan fungsi objektif :

adalah fungsi simetris dari residual atau fungsi yang memberikan kontribusi pada
masing-masing residual pada fungsi objektif. Jika Ψ = ρ adalah turunan dari ρ, maka
persamaan (16):

535
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ψ merupakan fungsi influence yang digunakan dalam memperoleh bobot (weight). Dengan
fungsi pembobot , dengan merupakan residual yang distandarisasi, dan
maka persamaan (17) menjadi:

dan fungsi influence adalah sebagai berikut:

(19)

Nilai , dengan MAR merupakan Median Absolute Residual, yang dapat dicari
dengan rumus . Persamaan (18) jika dibuat dalam bentuk matriks menjadi:

Persamaan (20) dikalikan dengan pada kedua ruas, sehingga estimasi


parameter menjadi:
(2
1)
Fungsi pembobot dalam estimasi M bergantung pada residual dan koefisien tertentu.
Fungsi pembobot yang digunakan adalah (Ryan, 1997):

(22)

Pada persamaan di atas, r merupakan tunning constant. Nilai r pada pembobot Huber
adalah 1,345.

2.6 Pengujian Parameter Regresi Linear Berganda


2.6.1 Pengujian Simultan
Untuk menguji atau mengukur hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat yang menjelaskan dari persamaan regresi secara menyeluruh disebut uji statistik F,
dengan hipotesis sebagai berikut:
(Artinya tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap
model yang terbentuk).
Minimal ada satu ≠ 0 (Artinya ada minimal satu variabel bebas yang
berpengaruh terhadap model yang terbentuk).

Uji statistik F dinyatakan dalam bentuk rumus sebagai berikut:

(23)

dimana,

536
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MSR = Rata-rata kuadrat regresi


MSE = Rata-rata kuadrat sisaan
Pengambilan keputusan jika , maka H0 ditolak. Artinya minimal
ada satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat (Sembiring, 2003).

2.6.2 Pengujian Parsial

Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat


disebut statistik uji t, dengan hipotesis sebagai berikut:
(variabel bebas ke-i tidak berpengaruh terhadap variabel terikat)
(variabel bebas ke-i berpengaruh terhadap variabel terikat untuk i = 1, 2,
…, p-1).
Uji statistik t dinyatakan dalam bentuk rumus sebagai berikut:

(24)

Jika , maka H0 ditolak. Dalam hai ini dapat dikatakan bahwa


koefisien ke-i tidak berpengaruh terhadap variabel terikat secara statistik (Sembiring, 2003)

3. METODE PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data bangkitan dari software
Minitab 16.
3.2 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Membentuk persamaan linear berdasarkan metode kuadrat terkecil.
2. Pengujian asumsi model regresi linear.
3. Mendeteksi pencilan dengan metode plot, nilai leverasi dan sisaan dibuang
terstudentkan.
4. Pembentukan model pada data terdeteksi pencilan dengan penduga M menggunakan
fungsi pembobot Huber dengan prosedur berikut :
a. Mengestimasi parameter model regresi menggunakan MKT sehinggga didapatkan
dan menghitung , yang diperlakukan sebagai nilai awal.

b. Dari nilai-nilai residual menentukan dan pembobot awal , dengan

menggunakan metode pembobot Huber dan .

c. Menyusun matriks pembobot berupa matriks diagonal dangan elemen


yang dinamai W.
d. Menghitung penaksir koefisien regresi seperti pada persamaan (22).

537
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

e. Dengan menggunakan atau pada persamaan (22) dihitung pula


atau .
f. Mengulangi langkah b sampai e hingga mendapatkan nilai parameter yang konvergen
(selisih dan mendekati nol, dengan m adalah banyaknya iterasi).

g. Melakukan uji signifikansi parameter seperti pada persamaan (24) untuk uji serentak
dan persamaan (25) untuk uji parsial.
5. Menguji asumsi model regresi dengan metode robust.
6. Menarik kesimpulan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Model Regresi dengan Metode Kuadrat Tekecil


Parameter yang diestimasi menggunakan metode kuadrat terkecil untuk mendapatkan
estimasi model regresi linear berganda, diperoleh nilai-nilai parameter regresi sehingga model
yang terbentuk adalah sebagai berikut:

4.2 Pengujian Asumsi Regresi Linear


Pengujian terhadap kemungkinan adanya pelanggaran asumsi-asumsi bertujuan
untuk mengetahui apakah koefisien regresi yang diperoleh dapat diterima. Berdasarkan hasil
pengujian asumsi di atas, diketahui salah satu uji tidak terpenuhi yakni asumsi kebebesan
galat, diasumsikan bahwa ada korelasi antar galat.

4.3 Mengidentifikasi Pencilan

Berdasarkan hasil perhitungan nilai-nilai leverasi dan sisaan dibuang terstudentkan,


diketahui bahwa data ke-4, ke-6, ke-9 dan ke-10 merupakan pencilan ditinjau dari nilai-nilai X
dan nilai Y.

4.4 Regresi Robust dengan penduga M


Setelah diperoleh estimasi parameter dengan metode kuadrat terkecil dan telah
terdeteksi pencilan maka langkah berikutnya adalah menghitung residual untuk masing-
masing observasi seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai residual untuk masing-masing observasi

3,23 8,66 12,509 13,59158 -1,08258


2,57 8,94 12,511 12,39504 0,11596
4,89 4,4 11,793 14,85525 -3,06225

538
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

8,2 13,64 29,318 26,08224 3,235763


3,39 4,91 11,743 12,07379 -0,33079
11,15 8,52 30,123 29,53106 0,591942
2,02 8,04 12,709 10,84147 1,867527
2,14 9,05 10,537 11,57992 -1,04292
2,06 14,16 20,983 13,92714 7,055859
3,73 18,11 11,647 19,24199 -7,59499
3,39 5,05 13,743 12,14253 1,600469
2,35 8,51 13,021 11,73924 1,281756
2,76 6,59 11,062 11,62526 -0,56326
3,9 4,8 10,457 13,05062 -2,59362
3,16 6,69 13,004 12,48286 0,521142

Selanjutnya untuk penentuan dan pembobot awal = , dengan

. Nilai diperoleh dengan menggunakan rumus = .

Metode yang digunakan untuk memperoleh fungsi pembobot adalah pembobot Huber dengan
koefisien r yang digunakan adalah 1,345. Menggunakan pembobot seperti pada tabel di

atas diperoleh nilai = 3,4768. Hasil perhitungan pembobot seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai pembobot iterasi pertama

-1,08258 1,082582 3,4768 -0,323261 1


0,11596 0,11596 3,4768 0,0349324 1
-3,06225 3,06225 3,4768 -0,966023 1
3,235763 3,235763 3,4768 1,16513 1
-0,33079 0,330793 3,4768 -0,102249 1
0,591942 0,591942 3,4768 0,291309 1
1,867527 1,867527 3,4768 0,568804 1
-1,04292 1,042915 3,4768 -0,316980 1
7,055859 7,055859 3,4768 2,36243 0,569330
-7,59499 7,594994 3,4768 -3,06071 0,439441
1,600469 1,600469 3,4768 0,493346 1
1,281756 1,281756 3,4768 0,387461 1
-0,56326 0,563265 3,4768 -0,170716 1
-2,59362 2,593617 3,4768 -0,803176 1
0,521142 0,521142 3,4768 0,157122 1

Memperoleh matriks pembobot berupa matriks diagonal dengan elemen diagonalnya


Kemudian menghitung penaksir koefisien regresi

ke-1= dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh nilai estimasi


parameter ke-1 yaitu:

539
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Hasil iterasi selengkapnya terlihat pada Tabel 4.


Tabel 4. Hasil iterasi parameter menggunakan fungsi pembobot Huber
Iterasi
1 1,49 2,04 0,654
2 1,52 2,02 0,664
3 1,53 2,03 0,658
4 1,52 2,03 0,659
5 1,52 2,03 0,659
6 1,52 2,03 0,659

Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa selisih antara estimasi parameter iterasi ke-4
sampai iterasi ke-6 sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa estimasi parameter telah
konvergen, sehingga diperoleh model regresi robust sebagai berikut:

4.5 Pengujian Parameter Model


4.5.1 Pengujian Secara Simultan
Pengujian secara simultan ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas
secara simultan signifikan terhadap model. Hipotesis yang diuji adalah:
(tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap model yang
terbentuk).
Minimal ada satu k  0 ( ada pengaruh variabel bebas terhadap model yang
terbentuk).

Menggunakan persamaan (23) diperoleh nilai Fhitung (30,42) > Ftabel (3,89) maka
hipotesis nol ditolak dan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh variabel bebas terhadap
model atau model linear antara variabel bebas terhadap variabel terikat signifikan.

4.5.2 Pengujian Secara Parsial


Pengujian ini dilakukan untuk mengatahui apakah secara parsial variabel bebas
berpengaruh terhadap peubah terikat. Hipotesis yang di uji adalah:
(Variabel bebas ke-i tidak berpengaruh terhadap variabel terikat)
(Variabel bebas ke-i berpengaruh terhadap variabel terikat)

540
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Menggunakan persamaan (24) diketahui nilai parameter dan nilai

parameter memiliki nilai yang lebih besar dari nilai (1,76), maka

dapat disimpulkan bahwa parameter dan parameter atau variabel X1 dan variabel X2 telah
signifikan atau kedua variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.

4.7 Perbandingan Hasil MKT dan Estimasi M


Berdasarkan hasil pada metode kuadrat terkecil, diperoleh nilai sebesar 0,752
yang artinya sebesar 75,2 % variabel bebas mampu menjelaskan keragaman variabel terikat
dan sisanya sebesar 24,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dan nilai Mean Square Error
(MSE) sebesar 12,09 yang menunjukkan tingkat kesalahan dalam pendugaan.
Hasil analisis pada penduga M diperoleh sebesar 0,835 yang berarti bahwa
sebesar 83,5 % variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat dan sisanya sebesar 16,5%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dan nilai Mean Square Error (MSE) sebesar 7,78 yang
menunjukkan tingkat kesalahan dalam pendugaan.

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis dengan estimasi M menggunakan pembobot Huber diperoleh model
sebagai berikut:

Model diatas lebih kekar dibandingkan dengan metode kuadrat terkecil dalam
pemodelan data yang mengandung pencilan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien
determinasi (R2) yang lebih besar dari metode kuadrat terkecil dan nilai Mean Square Error
(MSE) yang lebih kecil.

5.2 Saran
Dalam penelitian ini hanya menggunakan estimasi M dalam mengatasi pencilan
shingga diharapkan bagi para pembaca untuk dapat menggunkan metode lain dalam regresi
robust untuk menentukan metode mana yang lebih baik untuk mendapatkan model yang
terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. 1996. Introduction to Categorical Data. New York: John Willey and Sons.

Chatterjee, S. & Ali, S. H. 2006. Regression Analysis by Example – 4th ed. New Jersey: John
Willey & Sons, Inc., Publication.

541
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Chen, C. 2002. Robust Regression and Outlier Detection with the ROBUSTREG
Procedure. North Carolina: SAS Institute. www.sas.com.
Cook, R.D. & Weisberg, S. 1982. Residual and Influence in Regression. New York: John
Willey.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Jakarta: penerbit Erlangga.
Kurniawan, D. 2008. Regresi Linear. http://neddeni.wordpress.com.
Montgomery, D.C. & Peck, E.A. 1992. Introduction to Linier Regression Analysis. New
York: John Wiley and Sons.

Neter.,J.,Waserman,W, & Kutner.m.h.1997.Model Linear Regresi Terapan. buku II


(diterjemahkan oleh bambang sumantri).Bogor : IPB.
Ryan, T.P. 1997. Modern Regression Methods. New York: A Wiley-Inerscience Publication.
Sembiring, R.K. 2003. Analisis Regresi. Edisi Kedua. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Soemartini. 2007. Pencilan (Outlier). [Makalah] .http://resources.Unpad.ac.id/unpad
antent/.../outlier.pdf.
Steel, R.G.S & Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosdur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.
Jakarta: Gramedia ustaka Utama.
Walpole, R.E. & Myers, R.H. 1995.Ilmu Peluang dan Statistikan untuk Insinyur dan
Ilmuwan; terjemahan RK Sembiring. Bandung : ITB.

542
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MODEL-MODEL PENGUKURAN KINERJA PEMASARAN


Rr Sita D. Kusumaningrum

Program Diploma III, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia

sita.kusumaningrum@gmail.com

Abstrak

Perusahaan dituntut mampu mengambil keputusan dengan tepat dan meningkatkan akuntabilitas atas
aktivitas pemasaran yang dilakukan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perusahaan memerlukan tools yang
dapat membantu mengukur kinerja pemasarannya. Terdapat berbagai strategi dan model pengukuran kinerja
pemasaran yang dapat diterapkan oleh sebuah perusahaan (organisasi bisnis). Berdasarkan metode
kajian/telaah literatur yang secara khusus membahas tentang manajemen pemasaran termasuk pengukuran
kinerja perusahaan, penulis berusaha mengidentifikasi model-model pengukuran kinerja yang saat ini banyak
digunakan oleh berbagai perusahaan untuk melihat kinerja pemasarannya. Menurut hasil kajian penulis,
setidaknya terdapat dua kategori model-model pengukuran kinerja. Model pertama adalah pengukuran kinerja
pemasaran yang berbasis pada pendekatan keuangan (financial approach) dan model yang kedua adalah
pengukuran kinerja pemasaran yang menekankan pada aspek nonfinansial (nonfinancial approach).
Kata Kunci: kinerja pemasaran, marketing metrics, financial metrics, nonfinancial metrics

I. PENDAHULUAN
Pengukuran kinerja merupakan salah satu isu penting di dalam pengelolaan organisasi,
baik pada organisasi bisnis, organisasi sosial atau nirlaba, organisasi pemerintah, maupun
keluarga. Meningkatnya perhatian mengenai pengukuran kinerja pada berbagai organisasi
tersebut, selain karena faktor kebutuhan internal, juga karena dorongan lingkungan eksternal
yang menuntut bahkan memaksa berbagai organisasi tersebut untuk melakukan pengukuran
kinerja dan mempublikasikannya kepada publik. Saat ini pengukuran kinerja telah menjadi
tuntutan bagi sebuah organisasi apabila ingin terus berkembang.

Terdapat beberapa alasan mengapa suatu organisasi membutuhkan pengukuran


kinerja. Menurut beberapa literatur, tujuan pengukuran kinerja adalah (a) untuk
mengomunikasikan strategi perusahaan secara lebih baik, top-down maupun bottom-up; (b)
untuk mengukur kinerja finansial dan nonfinansial secara berimbang sehingga pencapaian
visi, misi dan strategi organisasi dapat ditelusuri; (c) untuk mengakomodasi pemahaman
kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi seluruh komponen
perusahaan dalam mencapai tujuan organisasi; dan (d) sebagai alat untuk mencapai kepuasan
berdasarkan pendekatan individual maupun kemampuan kolektif rasional.

Selama ini, pengukuran kinerja telah menjadi pokok bahasan yang menarik pada
berbagai bidang dan disiplin ilmu, yaitu akuntansi, ekonomi, manajemen sumber daya
manusia, pemasaran, manajemen operasi, psikologi, dan sosiologi (Neely, 2002; Marr &
Schiuma, 2003; Franco-Santos et.al., 2007). Secara umum, ilmu manajemen mencakup

543
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pembahasan pada empat bidang fungsi, yaitu keuangan, pemasaran, sumber daya manusia,
dan produksi. Dalam rangka mencapai tujuan bisnis, suatu perusahaan yang menerapkan ilmu
manajemen perlu melakukan pengukuran kinerja pada keempat bidang fungsi tersebut.
Pengukuran kinerja yang relevan pada masing-masing fungsi tersebut diharapkan dapat
berkontribusi pada evaluasi kinerja perusahaan secara menyeluruh.

Pengukuran kinerja perusahaan bidang pemasaran menggunakan model-model


pengukuran kinerja pemasaran merupakan suatu kebutuhansekaligus tantangan. Mengukur
kinerja pemasaran,di satu sisi, merupakan tugas penting baik bagi manajer maupun
stakeholder perusahaan lainnya. Namun, di sisi lain, mengukur kinerja pemasaran merupakan
hal yang tidak mudah (Thaker, 2009). Hal tersebut karena kinerja pemasaran bergantung
bukan hanya pada faktor internal tetapi juga faktor eksternal yang sulit dikontrol, seperti
konsumen dan pesaing (Clark, 2004). Pemahaman mengenai berbagai alat ukur kinerja
pemasaran akan dapat membantu praktisi manajemen meningkatkan kinerja perusahaannya.

Berdasarkan uraian di atas, beberapa model pengukuran kinerja pemasaran yang saat
ini sudah berkembang pesat baik di luar negeri maupun di dalam negeri perlu dielaborasi
lebih lanjut. Elaborasi yang akan dilakukan dibatasi pada berbagai model pengukuran kinerja
pemasaran yang digunakan untuk organisasi bisnis, dengan dipandu pertanyaan atau rumusan
masalah sebagai berikut:

1) Model pengukuran kinerja pemasaran apa yang berkembang dan telah banyak
digunakan oleh berbagai organisasi bisnis?

2) Bagaimana contoh penerapan suatu model pengukuran kinerja pemasaran?

3) Prasyarat apa yang dibutuhkan agar pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan
dengan optimal?

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini akan memaparkan berbagai teori dan konsep yang melatarbelakangi
mengapa pengukuran kinerja pemasaran penting untuk dilakukan. Pembahasan dimulai dari
tinjauan berbagai literatur tentang manajemen kinerja pemasaran. Tinjauan pustaka akan
memfokuskan pada pembahasan manajemen kinerja, manajemen pemasaran dan kinerjanya,
fungsi pengukuran kinerja pemasaran, dan alat ukur kinerja pemasaran.

a. Manajemen Kinerja

544
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Manajemen kinerja banyak dibahas baik oleh para akademisi di dalam negeri maupun
di luar negeri. Berdasarkan hasil studi literatur dalam negeri, manajemen berbasis kinerja
adalah suatu metode untuk mengukur kemajuan program atau aktivitas bisnis yang dilakukan
oleh organisasi bisnis dalam mencapai hasil (outcome) yang diharapkan oleh pemilik atau
pemegang saham, pelanggan dan stakeholder lainnya (Mahmudi, 2007). Berdasarkan
perspektif yang lain, Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa manajemen kinerja, khususnya
pengukuran kinerja adalah sistem yang bertujuan untuk membantu manajemen (para
manajer) untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan alat ukur
nonfinansial. Pengukuran kinerja ini bagi pihak manajemen digunakan sebagai alat
pengendali organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat untuk menetapkan reward and
punishment system.

Sementara itu berdasarkanhasil studi literatur luar negeri, untuk penyebutan


manajemen kinerja,para akademisimenggunakan istilah Business Performance Measurement
(Marr & Schiuma, 2003; Neely, 2004; Frolick & Ariyachandra, 2006;Franco-Santos et.al.,
2007). Secara khusus, Frolick dan Ariyachandra (2006) mendefinisikan manajemen kinerja
sebagai cara atau strategi yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk secara efektif
mengontrol, mengawasi, dan mengelola pelaksanaan prakarsa/program strategis. Dalam
pelaksanaannya, kedua akademisi tersebut menyebutkan bahwa manajemen kinerja juga
memerlukan dukungan teknologi informasi.

b. Manajemen Pemasaran dan Kinerjanya

Manajemen pemasaran merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat seiring
dengan perkembangan jaman. The American Marketing Association mendefinisikan
marketing sebagai aktivitas, lembaga, dan proses menciptakan, menyampaikan, dan
menukarkan suatu karya yang akan memberikan nilai pada pelanggan, klien, kolega, dan
masyarakat. Sementara itu, Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan marketing sebagai seni
dan ilmu pengetahuan untuk memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan
mengembangkan pelanggan melalui proses menciptakan, menyampaikan, dan
mengomunikasikan nilai terbaik pada pelanggan.

Abad 21 dan arus globalisasi memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk


menjadi lebih makmur sekaligus harus mampu bertahan di lingkungan bisnis yang
menantang. Manajemen pemasaran memegang peran penting dalam menjawab tantangan-
tantangan bisnis. Hal ini karena fungsi manajemen seperti keuangan, operasional, dan sumber

545
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

daya manusia harus bergantung pada permintaan barang dan jasa agar suatu perusahaan dapat
menghasilkan keuntungan. Dengan kata lain, kesuksesan suatu perusahaan bergantung pada
performa pemasarannya (Kotler & Keller, 2012).

Kinerja pemasaran menjadi salah satu komponen penting untuk mengukur kinerja
organisasi secara keseluruhan. Paraakademisimembahas pentingnya kinerja pemasaran dalam
berbagai literatur. Kaplan dan Norton(1992) membahas kinerja pemasaran dalam konsep
Balance Scorecard, yaitu salah satu teknik yang banyak digunakan untuk mengukur kinerja
organisasi. Kedua akademisi tersebut menjelaskan bahwa Balanced Scorecard membantu
manajer untuk melihat kinerja bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif konsumen,
perspektif internal, perspektif inovasi dan pembelajaran, dan perspektif keuangan. Kinerja
pemasaran dapat membantu memberikan informasi perkembangan kegiatan bisnis dari
perspektif konsumen.

Akademisi lainnya (Kotler & Keller, 2012), dalam bukunya menjelaskan holistic
marketing concept yang terdiri atas empat komponen, yaitu relationship marketing, integrated
marketing, internal marketing, dan performance marketing seperti disajikan pada Gambar 1.
Pada gambar tersebut, kinerja pemasaran atau dengan istilah lain performance marketing
memerlukan pemahaman mengenai keuntungan yang diperoleh bisnis dan masyarakat baik
finansial maupun nonfinansial atas berbagai program dan aktivitas pemasaran. Para pemasar
terkemuka tidak hanya berfokus pada hasil penerimaan penjualan saja, namun mulai
memperhatikan pangsa pasar, tingkat kerugian pelanggan, kepuasan pelanggan, kualitas
produk, dan ukuran lainnya. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan dasar hukum, etika,
sosial, dan dampak terhadap lingkungan atas berbagai aktivitas dan program pemasaran.

546
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sumber: Kotler& Keller, 2012

Gambar 1: DimensiHolistic Marketing

c. Fungsi Pengukuran Kinerja Pemasaran


Dunia bisnis yang semakin kompetitif mendorong pentingnya pengukuran kinerja
pemasaran bagi top management maupun investor. Thaker (2009) berpendapat bahwa
pengukuran kinerja pemasaran memiliki beberapa fungsi apabila dilihat dari perspektif
pengawasan manajemen, yaitu:

1) Sebagai alat untuk mengukur fungsi manajemen pemasaran. Hal ini terkait dengan
pengelolaan dan pelaksanaan fungsi pemasaran secara efektif dan efisien.

2) Salah satu tujuan bisnis adalah mengukur kinerja pemasaran. Suatu organisasi atau
perusahaan sering menggambarkan tujuan bisnisnya secara keseluruhan sebagai
kepuasan konsumen, pangsa pasar, keunggulan produk, pengembangan merek, dan
sebagainya yang sejalan dengan tujuan finansial dan tujuan lainnya. Pengukuran
kinerja pemasaran dapat membantu pencapaian tujuan penting organisasi.

3) Sebagai mekanisme untuk memotivasi dan mengawasi. Pengukuran kinerja dapat


digunakan untuk melihat pencapaian target atas program dan anggaran terkait
pemasaran, memberikan dasar untuk pemberian rewards bagi manajer pemasaran, dan
mengarahkan upaya-upaya pemasaran.

4) Sebagai alat untuk membuat keputusan strategi pemasaran dan pelaksanaannya. Hasil
dari pengukuran kinerja pemasaran dapat menjadi masukan bagi pengambilan
keputusan terkait alokasi sumber daya bagi berbagai aktivitas pemasaran.

d. Alat Ukur Kinerja Pemasaran

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengukur produktivitas atau kinerja
pemasaran adalah marketing metrics. Secara spesifik, marketing metricsatau metrik
pemasarandigunakan untuk menilaidampak dari aktivitas pemasaran.Metrik pemasarandapat
didefinisikan sebagai seperangkat ukuran yang dapat digunakan untuk menguantifikasi,
membandingkan, dan menginterpretasikan kinerja pemasaran (Solcansky, Sychrova, &
Milichovsky, 2011; Kotler & Keller, 2012).

Halachmi (2005) dalam Solcansky, Sychrova, dan Milichovsky (2011) memberikan


beberapa prinsip dalam proses pengukuran kinerja pemasaran, yaitu:

1) bila kita tidak dapat mengukur sesuatu, maka kita tidak dapat memahaminya;

547
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2) bila kita tidak memahami sesuatu, maka kita tidak dapat mengontrolnya; dan

3) bila kita tidak dapat mengontrol sesuatu, maka kita tidak akan menjadi lebih baik.

Studi mengenai metrik pemasarantelah banyak dilakukan.Hasil studi Ambler,


Kokkinaki, dan Puntoni (2004)memaparkan 19 jenis metrikutama yang secara umum dipilih
untuk digunakan oleh perusahaan, antara lain perceived quality (kualitas yang dirasakan),
consumer satisfaction (kepuasan konsumen), brand/product knowledge (pengetahuan akan
merek), number of new customer (jumlah konsumen baru), customer satisfaction (kepuasan
pelanggan), number of complaints (jumlah keluhan), revenue of new products (pendapatan
dari produk baru), sales (penjualan), gross margin (margin kotor), profitability (keuntungan),
dan sebagainya.Sementara itu, Farris, et.al.(2006) mengelompokkan metrik pemasaranyang
harus dikuasai oleh para eksekutif menjadi 9 kelompok seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelompok Metrik Pemasaran Utama

Kelompok Metrik Keterangan Contoh MetrikTerkait


1. Share of Hearts, Terkait dengan persepsi Pangsa pasar; Awareness
Minds, and pelanggan, pangsa pasar, dan (Kesadaran); Loyalty
Markets analisis kompetitif (Kesetiaan);Kepuasan
pelanggan
2.Margins and Profits Terkait dengan pendapatan, Margin; Biaya pemasaran;
struktur biaya, dan kemampuan Break-even penjualan;
menghasilkan keuntungan Biaya variabel dan tetap
3.Product and Terkait dengan strategi produk Persentase Pertumbuhan;
Portfolio termasuk pengukuran uji coba MetrikBrand Equity;
Management produk, pertumbuhan, Penetrasi
kanibalisasi, dan ekuitas merek
4.Customer Meliputi nilai atas pelanggan Keuntungan pelanggan;
Profitability individu dan hubungan Customer Lifetime Value
5.Sales Force and Meliputi pengorganisasian Beban kerja; Total
Channel penjualan, kinerja, pemberian penjualan; Perkiraan
Management kompensasi, cakupan potensi penjualan
distribusi, dan logistic
6.Pricing Strategy Meliputi sensitivitas harga dan Elastisitas harga atas
optimisasi dengan Permintaan; Harga
memperhatikan penetapan optimal; Harga pesanan
harga untuk memaksimalkan
keuntungan
7.Promotion Meliputi promosi harga Biaya atas kupon dan
sementara, kupon, rabat, dan rabat; Persentase

548
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

tunjangan perdagangan penjualan dengan kupon


8.Advertising Media Merupakan pengukuran inti Frekuensi rata-rata; Biaya
and Web Metrics dari cakupan dan efektivitas per click; Pangsa suara;
iklan termasuk jangkauan, Kesan; Jangkauan efektif;
frekuensi, peringkat, dan kesan Biaya tiap pesanan;
Merupakan model respon Kunjungan
konsumen terhadap iklan
9.Marketing and Meliputi evaluasi keuangan Keuntungan bersih;
Finance atas program pemasaran Return on Sales (ROS);
Return on Investment
(ROI); Return on
Marketing Investment
(ROMI)
Sumber: Farris, et.al. (2006)

III. METODOLOGI
Metode yang akan digunakan dalam pembahasan adalah kajian pustaka dengan
penyajian bersifat deskriptif. Penelurusan berbagai bahan-bahan pustaka yang membahas
mengenai manajemen pemasaran, manajemen kinerja dan pengukuran kinerja dilakukan
dengan memanfaatkan koleksi perpustakaan maupun penelusuran dengan memanfaatkan
teknologi informasi (internet).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Model-model Metrik Pemasaran dan Penggunaannya
Berdasarkan penelusuran penulis atas berbagai literatur tentang manajemen pemasaran
dan manajemen kinerja dapat ditarik benang merah bahwa kinerja pemasaran merupakan
salah satu indikator yang penting, tidak saja bagi perusahaan, tapi juga bagi investor.
Pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan dengan metrik pemasaran, baik single
metrics(metrik tunggal)maupunmenggunakan kombinasi dari financial dan nonfinancial
metrics. Banyak para akademisi yang membahas mengenai metrik pemasaran menggunakan
kombinasi pengukuran kinerjafinansial dan nonfinansial(Solcansky, Sychrova, &
Milichovsky, 2011).Beberapa metriktersebut disajikan di Tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. MetrikFinansialdan Nonfinansial

Finansial Nonfinansial
Indikator Keuangan: Gaiardelli, Saccani, & Comparative Greiling, 2006
Songini, 2007;

549
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ROE, ROI, ROS Greenyer, 2006; Study Town, 2000


O’Sullivan, Abela &
Hutchinson, 2009
DEA (Data Vardanyan & Customer Zahay & Griffin, 2010
Envelopment Tremblay, 2006 Retention
Analysis)
Model CFA Washburn & Plank, Customer Barwise & Farley, 2004
(Confirmatory 2002 Lifetime Value Bauer, Tanner, &
Analysis) Neely, 2004
Dattakumar &
Jagadesh, 2003
Hadaya, 2009
Koller & Salzberger,
2009
Meybodi, 2009
Miguel & Andrietta,
2009
Zahay a Griffin, 2010
Factor Analysis Washburn & Plank, Indeks MSI Gaiardelli, Saccani, &
2002 (after-sales Songini, 2007
market share)
GEI (General Barretta, 2008 Model SCOR Gaiardelli, Saccani, &
Efficiency Factor) (Supply Chain Songini, 2007
Operation
Reference)
EITDC (Efficiency Barretta, 2008
Indicator for Total
Direct Cost)
EIPC (Efficiency Barretta, 2008
Indicator for
Production Costs)
EIIPS (Efficiency Barretta, 2008
Indicator for
Intermediate Products
and Services)
EIOIC (Efficiency Barretta, 2008
Indicator for Other
Indirect Cost)
BI Index (terkait Gaiardelli, Saccani, &
biaya, pendapatan da Songini, 2007

550
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

marjin)
Sumber: Solcansky, Sychrova, & Milichovsky, 2011

Sementara itu, pentingnya pengukuran kinerja perusahaan dan penggunaan metrik


pemasaranbaik finansial maupun nonfinansial oleh perusahaan-perusahaan dapat dilihat dari
penelitian yang dilakukan oleh Frosen, et.al. (2009) dan Ambler, Kikkinaki, dan Puntoni
(2004). Hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penggunaan dan Pentingnya Metrik Pemasaranoleh Perusahaan

Metrik % Perusahaan Klaim


Menggunakan Metrik
Frosen, Ambler,
et.al.(2009) Kikkinaki, &
Puntoni(2004)
Sales (value and/or volume) 90 91
Profit/Profitability 89 92
Gross margin 81 81
Perceived quality 78 64
Total number of consumers 73 66
Consumer satisfaction 72 68
Market share 68 78
Awareness 67 78
Marketing spend 66 65
Number of consumer complaints 65 69
Number of new consumers 64 57
Loyalty/retention 63 64
Shareholder value/EVA/ROI 63 53
Customer Satisfaction 63 45
Brand/Product Knowledge 60 55
Sumber: Frosen, et.al. (2009) dan Ambler, Kikkinaki & Puntoni (2004)

Note: EVA (Economic Value Added)

Berdasarkan Tabel 2 dan 3, keputusan penggunaan metrik baik finansial maupun


nonfinansial sangat tergantung pada strategi perusahaan. Masing-masing metrik memiliki
keunggulan dan kelemahan. Tujuan dari penggunaan metrik yang tepat adalah membangun

551
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

hubungan dengan semua stakeholders yang pada akhirnya akan mendatangkan pendapatan
yang tinggi.Petersen, et.al. (2009) dan Situmorang (2010) menyarankan beberapa pertanyaan
yang dapat dijadikan panduan untuk memilih metrik yang sesuai sebagai berikut:
1) Perusahaan ada dalam sektor bisnis apa?
2) Bagaimana siklus hidup industri?
3) Produk apa yang dijual?
4) Seperti apa tipe pelanggan?
5) Tujuan bisnis perusahaan dalam jangka panjang?

b. Contoh Penerapan Metrik Pemasaran


Pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan di berbagai jenis perusahaan. Salah
satu contoh penerapan metrik pemasaran dapat dilihat dari hasil studi yang dilakukan oleh
Petersen, et.al. (2009) yang juga diulas oleh Situmorang (2010), yaitu aplikasi pada bisnis
ritel. Pada studinya, Petersen, et.al.mengidentifikasi tujuh kategori metrik pemasaran kunci
yang dapat digunakan oleh para retailer berdasarkan literatur yang adasebagai berikut:

1) metrik brand value,yaitu


bagaimanamengukurekuitasmerekdariperspektifpelanggan;

2) metrik customer value, yaitu mengukur nilai pelanggan baik dalam bentuk
customer lifetime value (level individu) maupun customer equity (level agregat);

3) metrik Word of mouth dan referrel value, Word of


mouthsecarasignifikanakanmemberikan profit yang
lebihbaikdalamjangkapanjangdibandingkandenganperiklanan yang
lebihcocokuntukpromosidalamjangkapendek;

4) metrik retensi dan akuisisi, ideal untukmemaksimalkan profit daricustomer lifetime


valuedengancaramengelolaretensidanakuisisipelanggansecarasimultan;

5) metrik cross-buying and up-buying; pelanggan yang melakukancross-


buyadalahlebihmenguntungkandaripadapelanggan yang tidakmelakukancross-buy;

6) metrik multi channel shopping, pelanggan yang


melakukanpembelianmelintasibanyaksalurandistribusimemiliki profit yang
potensial di masamendatang;dan

7) metrik product return, pengembalian produk merupakan sebuah factor kunci


dalam melakukan perhitungan customer lifetime value.

Selainitu, Petersen, et.al.jugamenjelaskan konsep pemikirannya mengenaimetrik yang

552
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

cocokuntukditerapkanpadabisnis retail sepertidisajikanpadaGambar 2 sebagaiberikut:

Gambar 2.MetrikPemasaranuntukBisnisritel

Sumber: Petersen, et.al. (2009)

Berdasarkan gambar tersebut, metrik yang digunakan dalam bisnis ritel dibagi menjadi
metrik yang ada sekarang dan metrik yang akan datang. Metrik yang ada sekarang cenderung
menggunakan indikator keuangan, sementara di masa mendatang sebaiknya bisnis eceran
lebih mengarahkan kepada penggunaan matriks yang mengukur kinerja pemasaran.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan dengan menggunakan metode atau


pendekatan yang bersifat finansial (financial metrics) dan pengukuran kinerja yang
bersifat nonfinansial (nonfinancial metrics);

2. Pengukuran kinerja pemasaran secara finansial terdiri atas penggunaan rasio-rasio


keuangan;

3. Pengukuran kinerja pemasaran nonfinansial yangumum digunakan oleh akademisi


pada studi literatur yang ada adalah Customer Lifetime Value;

553
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

4. Model marketing metrics yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan berdasarkan
hasil penelitian yang ada adalah sales dan profitability;

5. Dalam pengukuran kinerja perusahaan perlu mengombinasikan metode yang bersifat


finansial dan nonfinansial agar memberikan sudut pandang yang lebih lengkap dan
berdimensi masa depan.

6.

b. Saran

Dalam rangka melakukan pengukuran kinerja pemasaran secara optimal, perlu


diperhatikan beberapa prasyarat antara lain:

(1) Adanya keinginan yang kuat dari organisasi atau perusahaan untuk melakukan
pengukuran kinerja pemasaran demi tercapainya tujuan organisasi atau perusahaan

(2) Adanya keinginan yang kuat dari pihak manajemen baik organisasi maupun
perusahaan untuk dapat menyesuaikan dengan lingkungan bisnis yang selalu dinamis

(3) Terdapat data-data organisasi atau perusahaan secara komprehensif yang dapat
mendukung pelaksanaan pengukuran kinerja pemasaran

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ambler, T., Kikkinaki, F., & Puntoni, S. (2004). Assesing Marketing Performance: Reason
for Metrics Selection. Journal of Marketing Management, 20, 475-498.

Clark, B. (2004). Measuring Performance: The Marketing Perspektif. In A. Neely (Ed.),


Business Performance Measurement: Theory and Practice (pp. 22-40). UK:
Cambridge University Press.

Farris, P.W., et.al. (2006). Marketing Metrics 50+ Metrics Every Executive Should Master.
USA: Pearson Education.

Franco-Santos, M., et.al. (2007). Towards A Definition of A Business Performance


Measurement System. International Journal of Operations and Production
Management, 27 (8), 784-801.

Frolick, M.N., & Ariyachandra, T.R. (2006). Business Performance Management: One
Thruth. Information Systems Management, Vol 23, Issue 1, 41-48. DOI:
10.1201/1078.10580530/45769.23.1.20061201/91771.5

Frosen, J., et.al. (2009). Use and Perceived Importance of Marketing Metrics in Different
Business Settings. Journal of European Business, Vol 12, No 6

554
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Halachmi, A., (2005). Performance Measurement in Only Way of Managing Performance.


International Journal of Productivity and Performance Management, Vol 54, Issue 7,
502-516.

Kaplan, R., S. & Norton, D., P. (1992). The Balanced Scorecard-Measure that Drive
Performance. Harvard Business Review. Jan-Feb.

Kotler, K., & Keller, K.L. (2012). Marketing Management (14th ed.). New Jersey: Prentice
Hall

Mahmudi. (2007). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Marr, B., & Schiuma, G. (2003). Business Performance Measurement-Past, Present and
Future. Management Decision, 41(8), 680-687. DOI 10.1108/00251740310496198.

Neely, A. (Ed). (2004). Business Performance Measurement: Theory and Practice. UK:
Cambridge University Press.

Petersen, J.A. et.al. (2009). Choosing the Right Metrics to Maximixe Profitability and
Shareholder Value. Journal of Retailing, 85, 1, 95-111

Situmorang, J. R. (2010). Metrik Pemasaran sebagai Alat untuk Mengukur Kinerja Pemasaran
Perusahaan (Studi Kasus pada Bisnis Ritel). Jurnal Administrasi Bisnis. Vol 6. No.2,
144-131.

Solcansky, M., Sychrova, L., & Milichovsky, F. (2011). Marketing Effectiveness by Way of
Metrics. Economics and Management, 16, 1323-1328.

Thaker, K. (2009). Performance Measurement of Marketing Function. Practices and


Management Control Challenges. Available at SSRN:
http://ssrn.com/abstract=1412629 orhttp://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1412629.

555
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MANAJEMEN RESIKO KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PADA


PROYEK KONSTRUKSI DI KENDARI

M. Akbar Kurdin1,a*, Try Sugiyarto1, Debby Steven A.R1.

1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Halu Oleo Kendari
a*
Email: akbarnanang71@yahoo.com

ABSTRAK
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal penting bagi perusahaan, karena dampak kecelakaan
dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Terdapat beberapa pengertian tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang didefinisikan oleh
beberapa ahli, dan pada dasarnya definisi tersebut mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau
peralatan yang digunakan, interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin dan
lingkungan kerja. Namun pada kenyataannya, pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan
peraturan-peraturan dalam K3. Hal tersebut disebabkan karena kurang menyadari betapa resiko yang harus
ditanggung oleh tenaga kerja dan perusahaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan
untuk menemukenali variabel keselamatan dan kesehatan kerja (k3) apa saja yang berpengaruh pada resiko
proyek konstruksi dan variabel mana yang paling berpengaruh terhadap resiko proyek konstruksi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara simultan keenam variabel keselamatan dan kesehatan kerja (k3)
berpengaruh secara bersama – sama terhadap variabel resiko proyek konstruksi karena nilai Signifikan 0.004 <
tingkat kesalahan 0.05, secara parsial variabel keselamatan dan kesehatan kerja (k3) yang berpengaruh adalah
variabel kompetensi pekerja karena nilai Signifikan 0.042 < tingkat kesalahan 0.05, sementara model regresi
yang diperoleh adalah Y = -7.976 + 0.145X1 – 0.101X2 + 0.347X3 + 0.338X4 + 0.389X5 + 0.295X6 terhadap
resiko proyek konstruksi.

Kata Kunci : Resiko, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Proyek, Konstruksi

ABSTRACT

Occupational safety and health (OHS) is an important thing for the company, because of the impact of
accidents and occupational diseases are not only detrimental to the employee, but also the company either
directly or indirectly. There is some understanding of health and safety at work is defined by some experts, and
basically the definition leads to worker interaction with machinery or equipment used, the interaction with the
working environment of workers and worker interaction with machinery and work environment. But in fact, the
project implementers often ignore the requirements and regulations in OHS. This is because less aware of how
risk should be borne by the workers and the company.Based on this, the research was conducted to identify
safety and health variables what effect on the risk of construction projects and which are the most influential
variables on the risk of construction projects.The results showed that simultaneous sixth variable of
Occupational Health and Safety effect together - similar to variable risk construction projects because of the
value of Significant 0.004 < error rate 0.05 in partial occupational safety and health the effect is variable
competence of workers since 0.042 Significant value < 0.005 error rate, while the regression model obtained is
Y = -7976 + 0.145X1 - 0.101X2 + 0.347X3 + 0.338X4 + 0.389X5 + 0.295X6 against construction project risks.

Keywords: Risk, Safety and Health (OHS), Project, Construction

556
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENDAHULUAN

Pembangunan merupakan usaha sadar yang sengaja dilakukan oleh manusia untuk
memperbaiki kondisi masyarakat pada suatu region dengan berbagai perencanaan dalam
berbagai aspek kehidupan. Pembangunan dalam hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan membangun berbagai sarana dan aset penunjang dalam
kehidupan bermasyarakat.
Suatu pekerjaan proyek konstruksi tentunya ingin diselesaikan dengan tepat waktu, namun
terkadang aktivitas pekerjaan suatu proyek dapat terganggu dengan berbagai hal, sehingga
mengalami keterlambatan waktu penyelesaian. Salah satu penyebab terganggunya atau
terhentinya pekerjaan proyek adalah kecelakaan yang mungkin terjadi pada suatu proyek
konstruksi. (Bryan Alfons Wilyam Sepang et al., 2013).
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal penting bagi perusahaan, karena
dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga
perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat beberapa pengertian
tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang didefinisikan oleh beberapa ahli, dan pada
dasarnya definisi tersebut mengarah pada interaksi pekerja dengan mesin atau peralatan yang
digunakan, interaksi pekerja dengan lingkungan kerja, dan interaksi pekerja dengan mesin dan
lingkungan kerja. ( J. Tjakra., 2013 ).
Proses pembangunan proyek konstruksi gedung pada umumnya merupakan kegiatan
yang banyak mengandung unsur bahaya. Situasi dalam lokasi proyek mencerminkan karakter
yang keras dan kegiatannya terlihat sangat kompleks dan sulit dilaksanakan sehingga
dibutuhkan stamina yang prima dari pekerja yang melaksanakannya. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang angka kecelakaan yang
cukup tinggi. Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja sangat merugikan
banyak pihak terutama tenaga kerja bersangkutan. (Ervianto, 2005).
Namun pada kenyataannya, pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan
peraturan-peraturan dalam K3. Hal tersebut disebabkan karena kurang menyadari betapa
Resiko yang harus ditanggung oleh tenaga kerja dan perusahaannya. Sebagaimana lazimnya
pada pelaksanaan suatu proyek pasti akan berusaha menghindari economic cost. Disamping itu
adanya peraturan mengenai K3 tidak diimbangi oleh upaya hukum yang tegas dan sanksi yang
berat, sehingga banyak pelaksana proyek yang melalaikan keselamatan dan kesehatan tenaga
kerjanya. (Robert J. M Mandagi., 2014).
Salah satu contoh perkembangan konstruksi bangunan di Kota Kendari terlihat banyak
pembangunan gedung bertingkat seperti hotel, sebagai salah satu contohnya adalah

557
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pembangunan Hotel Sutan Raja Kendari yang dibangun di atas lahan seluas 5912 m2 dengan
luas bangunan 27671 m2 yang direncanakan 14 lantai hunian.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian sebagai
berikut :
1. Menemukenali variabel Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) apa saja yang berpengaruh
pada Resiko Proyek Konstruksi (Pembangunan Hotel Sutan Raja Kendari) ?
2. Variabel mana saja yang berpengaruh terhadap Resiko Proyek Konstruksi (Pembangunan
Hotel Sutan Raja Kendari) ?

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai, yaitu:


1. Mengidentifikasi dan menganalisa variabel yang mempengaruhi Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) pada resiko proyek konstruksi
2. Menganalisa pengaruh variabel keselamatan dan kesehatan kerja terhadap resiko proyek
konstruksi

LANDASAN TEORI
Resiko
Kata Resiko berasal dari bahasa Arab yang berarti hadiah yang tidak diharap-harap
datangnya dari surga. Resiko adalah sesuatu yang mengarah pada ketidakpastian atas
terjadinya suatu peristiwa selama selang waktu tertentu yang mana peristiwa tersebut
menyebabkan suatu kerugian baik itu kerugian kecil yang tidak begitu berarti maupun
kerugian besar yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dari suatu perusahaan.
Manajemen Resiko
Secara umum manajemen resiko didefinisikan sebagai proses, mengidentifikasi,
mengukur dan memastikan resiko dan mengembangkan strategi untuk mengelolah resiko
tersebut. Dalam hal ini manajemen resiko akan melibatkan proses – proses, metode dan teknik
yang membantu manajer proyek maksimumkan probabilitas dan konsekuensi dari event
positif dan minimasi probabilitas dan konsekuensi event yang berlawan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
OHSAS 18001 mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebagai kondisi
dan faktor yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja
(termasuk pekerja kontrak dan kontraktor) dan juga tamu atau orang lain berada di tempat
kerja. Program Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang dirancang
untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di tempat kerja agar tidak
menderita luka maupun menyebabkan penyakit di tempat kerja dengan mematuhi atau taat

558
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pada hukum dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja, yang tercermin pada perubahan
sikap menuju keselamatan di tempat kerja (Bryan Alfons Willyam Sepang (2013) dalam Jurnal
Manajemen Resiko K3, Volume 1:282).
Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan dan atau penyakit yang menimpa tenaga kerja karena
hubungan kerja di tempat kerja (index nakertrans, 2004). Adanya banyak penyebab terjadinya
kecelakaan kerja dalam proyek konstruksi, salah satunya adalah karakter dari proyek itu
sendiri. Proyek konstruksi memiliki konotasi yang kurang baik jika ditinjau dari aspek
kebersihan dan kerapiannya, lebih tepatnya disebut semrawut karena padat alat, pekerja,
material.
Jumlah pekerja yang besar dalam proyek konstruksi membuat perusahaan sulit untuk
menerapkan program keselamatan dan kesehatan kerja efektif. Secara umum, faktor penyebab
terjadinya kecelakaan kerja dapat dibedakan menjadi:
1. Faktor pekerja itu sendiri
2. Faktor metoda konstruksi
3. Peralatan
4. Manajemen
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Proyek Pembangunan Hotel Sutan Raja Kendari yang
bertempat di Jl. Made Sabara Kendari. Sedangkan waktu survey yang digunakan untuk
penelitian ini selama kurang lebih 1 (satu) bulan.
Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini, populasi adalah pekerja dan staff yang bekerja pada perusahaan jasa
konstruksi yang sedang berlangsung pada proyek Pembangunan Hotel Sutan Raja Kendari.
Penarikan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut, apabila populasi dibawah 50 maka jumlah yang ada adalah sampel untuk melakukan
penelitian tersebut. Sugiyono (2010:116).
Kerangka Penelitian

559
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Skala pengukuran yang digunakan adalah Skala Likert (Likert Scale). Jawaban dalam
setiap item instrument mempunyai gradasi dari sangat positif sampai dengan sangat negative.
Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban tersebut dapat diberi skor.
Secara umum teknik analisis data pada penelitian ini dibagi atas 5 (lima) tahap yaitu :

Gambar 2. Tahap Analisis Data

Instrument Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1, dimana
variabel bebas terdiri dari 6 variabel X dan variabel terikat Y adalah Resiko Proyek
Konstruksi.
Tabel 1. Instrument Penelitian
Faktor Indikator
Komit X11 Saat ini perusahaan memberikan prioritas utama terhadap masalah K3
men Perusahaan akan memberhentikan pekerjaan yang membahayakan
Top Usaha peningkatan kinerja K3 pada periode tertentu telah dilaksanakan
Manage Pengawasan terhadap K3 perusahaan telah dilaksanakan
ment X12 Perusahaan memberikan perlengkapan K3
terhada Perusahaan memberikan pelatihan K3
p K3
(X1)
X13

X14

X15

X16
Peratur X21 Peraturan dan prosedur K3 sangat diperlukan

560
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

an dan Prosedur K3 mudah diterapkan dengan konsisten


Prosedu X22 Ada sanksi terhadap pelanggaran prosedur K3
r K3 Peraturan dan prosedur K3 siperbaiki secara berkala
(X2) Peraturan dan prosedur K3 mudah dimengerti
X23

X24

X2
5
Komun X31 Pekerja mendapat informasi mengenai masalah K3
ikasi Pekerja puas dengan penyampaian informasi pekerjaan
Pekerja Pekerja mendapat informasi mengenai kecelakaan kerja yang telah
(X3) X32 terjadi
Komunikasi yang baik antara pekerja dan pihak managerial
Komunikasi yang baik antara sesame pekerja
X33

X34

X3
5
Kompet X41 Pekerja mengerti tanggung jawab terhadap K3
ensi Pekerja mengerti sepenuhnya resiko dari pekerjaannya
Pekerja Pekerja melakukan pekerjaannya dengan cara yang aman
(X4) X42 Pekerja tidak melakukan pekerjaan di luar tanggung jawabnya
Pekerja mampu memahami seluruh peraturan dan prosedur K3

X43

X44

X45
Lingku X51 Pekerja mengutamakan K3
ngan Pekerja tidak bosan melakukan pekerjaannya yang berulang-ulang
Kerja X52 Pekerja termotivasi karena program kerja K3
(X5) Pekerja puas dengan keamanan lingkungan kerja (alat pengaman,
kebersihan & pencahayaan)
X53 Pekerja tidak saling menyalahkan bila terjadi kecelakaan kerja

561
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

X54

X55

Keterli X61 Pekerja dilibatkan dalam perencanaan program K3


batan Pekerja melaporkan jika terjadi kecelakaan atau situasi yang berbahaya
Pekerja X62 Pekerja diminta mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan K3
Dalam Pekerja dilibatkan dalam penyampaian informasi mengenai K3
K3
(X6) X63

X64
Resiko Y1 Pekerja mampu bekerja sesuai target
Proyek Proyek selesai sesuai dengan kurun waktu yang ditentukan
Konstru Y2 Tidak adanya kecelakaan kerja di lingkungan kerja
ksi Tidak adanya kesalahan dalam melakukan pekerjaan
(Y) Pekerja memperhatikan keselamatan dalam menjalankan pekerjaan
Y3 Pekerja hadir (masuk) sesuai dengan jadwal kerja

Y4

Y5

Y6

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Validitas dan Realibilitas
 Uji Validitas
Alat analisis untuk menguji validitas dalam penelitian ini digunakan korelasi product
moment antara variabel dengan itemnya. Hasil pengujian dijelaskan pada tabel 2 bahwa ada
beberapa indikator yang tidak valid yaitu korelasi pada item X14, X22, X31,X33, X51, X53, X54,
Y2, & Y3 nilainya kurang dari 0,468 maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut tidak
berkorelasi signifikan dengan skor total (dinyatakan tidak valid) sehingga harus dikeluarkan
atau diperbaiki. Sedangkan pada item-item lainnya nilainya lebih dari 0,468 dapat disimpulkan
bahwa butir instrumen tersebut valid.

562
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

 Uji Reliabilitas
Tabel 3. Hasil Uji Realibilitas
Variabel Alpha Keterangan
X1 0.741 Reliabel
X2 0.690 Reliabel
X3 0.633 Reliabel
X4 0.605 Reliabel
X5 0.691 Reliabel
X6 0.619 Reliabel
Y 0.727 Reliabel
Sumber : Output SPSS 16, 2016

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa variabel yang diteliti reliabel karena nilai alpha di
atas 0.6 atau lebih.

Uji Asumsi Klasik


 Uji Multikolinieritas
Tabel 4. Hasil Uji Multikolinieritas
Model VIF Keterangan
X1 1.524 Non
multikolinieritas
X2 3.433 Non
multikolinieritas
X3 2.230 Non
multikolinieritas
X4 1.577 Non
multikolinieritas
X5 4.608 Non
multikolinieritas
X6 1.348 Non
multikolinieritas
Sumber : Hasil Analisa, 2016

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai VIF seluruhnya di bawah 10 sehingga
seluruh variabel bebas adalah tidak mengandung multikolinieritas, artinya kedua variabel
bebas yang diteliti tidak saling berhubungan sehingga tepat digunakan sebagai variabel bebas
dalam model.
 Uji Heteroskedastisitas

563
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Dari gambar di atas terlihat bahwa data tersebar secara acak tanpa membentuk pola
tertentu, misalnya pola menaik ke kanan atas, atau menurun ke kiri atas, atau pola tertentu
lainnya. Sehingga dari hasil penelitian tersebut dapat dikatakan tidak terjadi
heterokedastisitas.
 Uji Normalitas

Gambar 4. Hasil Uji Normalitas

Hasil uji normalitas dapat dilihat dari Gambar 4 Normal P-P Plot. Pada gambar tersebut
terlihat sebaran titik – titik masih berada pada sekitar garis lurus. Sehingga berdasarkan hasil
penelitian hal ini menunjukkan model regresi memenuhi asusmsi normalitas, atau residu dari
model dapat dianggap berdistribusi secara normal.
Uji Kelayakan Model
 Uji Simultan (Uji F)
Tabel 5. Hasil Perhitungan Uji F

Sumber : Output SPSS 16, 2016

Dari uji ANOVA atau F Test, didapatkan angka signifikan (Sig) (0.004) yang berada di
bawah 0.05 dan angka Fhitung sebesar 6.620 dimana angka Fhitung lebih besar dari Ftabel sebesar
3.11. hasil ini menunjukkan bahwa variabel Independen berpengaruh secara bersama – sama
terhadap variabel dependennya.

564
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

 Uji Parsial (Uji T)


Tabel 6. Hasil Perhitungan Uji T

Sumber : Output SPSS 16, 2016

Berdasarkan tabel hasil uji t di atas,

maka diperoleh pernyataan sebagai berikut :


a. Hasil uji t (parsial) antara variabel Komitmen Top Management terhadap variabel Resiko
Proyek Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (0.985) di mana nilainya lebih kecil dari nilai
T tabel (2,119). Maka variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko proyek
konstruksi.
b. Hasil uji t (parsial) antara variabel Peraturan dan Prosedur K3 terhadap variabel Resiko
Proyek Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (-0.395) di mana nilainya lebih kecil dari
nilai T tabel (2,119). Maka variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko proyek
konstruksi.
c. Hasil uji t (parsial) antara variabel Komunikasi Pekerja terhadap variabel Resiko
Proyek Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (0.967) di mana nilainya lebih kecil dari nilai
T tabel (2.119). Maka variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko proyek
konstruksi.
d. Hasil uji t (parsial) antara variabel Kompetensi Pekerja terhadap variabel Resiko
Proyek Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (2.297) di mana nilainya lebih besar dari nilai
T tabel (2.119). Maka variabel berpengaruh dan signifikan terhadap resiko proyek
konstruksi.
e. Hasil uji t (parsial) antara variabel Lingkungan Kerja terhadap variabel Resiko Proyek
Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (0.885) di mana nilainya lebih kecil dari nilai T tabel

(2.119). Maka variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko proyek konstruksi.
f. Hasil uji t (parsial) antara variabel Keterlibatan Pekerja dalam K3 terhadap variabel
Resiko Proyek Konstruksi menunjukkan nilai T hitung (1.770) di mana nilainya lebih kecil
dari nilai T tabel (2.119). Maka variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko proyek
konstruksi.

565
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Uji Koefisien Determinasi


Tabel 7. Hasil Perhitungan Koefisien Determinasi

Sumber : Output SPSS 16, 2016

Jika dilihat dari nilai R-Square yang besarnya 0,783 menunjukkan bahwa proporsi
pengaruh ke enam variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 78,3%. Artinya,
Komitmen Top Management, Peraturan dan Prosedur K3, Komunikasi pekerja, Kompetensi
Pekerja, Lingkungan Kerja, & Keterlibatan Pekerja Dalam K3 terhadap Resiko Proyek
Konstruksi sebesar 78,3 % sedangkan sisanya 21,7 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
ada didalam penelitian ini.

Interpretasi Model
Setelah estimasi regresi linier berganda dilakukan, maka diperoleh model regresi sebagai
berikut :
Y = - 7.976 + 0.145X1 – 0.101X2 + 0.347X3 + 0.338X4 + 0.389X5 + 0.295X6
Keterangan :
Y = Resiko Proyek Konstruksi
X1 = Komitmen Top Management
X2 = Peraturan dan Prosedur K3
X3 = Komunikasi pekerja
X4 = Kompetensi Pekerja
X5 = Lingkungan Kerja
X6 = Keterlibatan Pekerja Dalam
K3

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian dan pengelolaan data didapat bahwa pengaruh variabel – variabel
independen (Komitmen Top Management, Peraturan dan Prosedur K3, Komunikasi Pekerja,
Kompetensi Pekerja, Lingkungan Kerja, & Keterlibatan Pekerja) berpengaruh secara bersama
– sama terhadap variabel dependennya (Resiko Proyek Konstruksi) dilihat dari nilai F hitung
sebesar 6.620 dengan nilai signifikansi (sig) sebesar 0.004 dan dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi (sig) jauh lebih kecil dari 0.05.

566
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tetapi dalam hasil Uji T variabel yang lebih dominan mempengaruhi resiko proyek
konstruksi pada pembangunan hotel sutan raja kendari adalah variabel kompetensi pekerja
dimana variabel tersebut memperoleh hasil Thitung 2.297 atau yang paling tinggi diantara
variabel-variabel lainnya dengan nilai signifikansi (sig) sebesar 0.042 yang lebih kecil dari
0.05.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa variabel – variabel
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang mempengaruhi Resiko Proyek Konstruksi
(Proyek Pembangunan Hotel Sutan Raja Kendari) dan variabel independen manakah yang
dominan mempengaruhi Resiko Proyek Konstruksi (Proyek Pembangunan Hotel Sutan Raja
Kendari). Dapat ditarik kesimpulan yaitu :
1. Variabel – variabel Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berpengaruh terhadap
Resiko Proyek Konstruksi yaitu Komitmen Top Management, Peraturan dan Prosedur
K3, Komunikasi Pekerja, Kompetensi Pekerja, Lingkungan Kerja, dan Keterlibatan
Pekerja.
2. Dari hasil penelitian didapat bahwa variabel Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang
berpengaruh dominan terhadap resiko konstruksi adalah Kompetensi Pekerja hal ini
dibuktikan dalam Uji T dan persamaan regresi Standardized Coefficients dimana
Variabel Kompetensi Pekerja memiliki nilai yang tinggi. Dan hasil koefisien regresinya
Y = - 7.976 + 0.145X1 – 0.101X2 + 0.347X3 + 0.338X4 + 0.389X5 + 0.295X6. Serta, Para
pekerja harus mengerti dengan tanggungjawab terhadap K3, pekerja harus mengerti
sepenuhnya resiko dari pekerjaannya, pekerja harus mampu melakukan pekerjaannya
dengan cara yang aman, pekerja tidak melakukan pekerjaan diluar tanggungjawabnya dan
pekerja harus mampu memenuhi seluruh peraturan dan prosedur K3 sehingga terhindar
dari resiko – resiko yang tidak diinginkan.

Saran
Saran yang dapat peneliti berikan untuk penelitian – penelitian selanjutnya, yaitu :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor – faktor yang lainnya
yang dapat mempengaruhi resiko proyek konstruksi dalam keselamatan dan kesehatan
kerja ( k3).
2. Bahwa setiap perusahaan harus memperhatikan masalah keselamatan dan kesehatan kerja
(k3) untuk menekan angka kecelakaan pada proyek pembangunan salah satunya adalah

567
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

perusahaan perlu memperhatikan kompetensi pekerja apakah pekerja sudah mengerti


dengan tanggungjawabnya atau pekerja mengerti sepenuhnya dengan resiko pekerjaannya.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai penerapan suatu standar penilaian Kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek konstruksi, dengan acuan jumlah
kecelakaan dan pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan pekerja pada proyek
konstruksi. Dalam manajemen proyek konstruksi sering digunakan work study dalam
mempelajari ataupun memberikan standar kinerja/produktifitas karyawan. Metoda ini
menyejajarkan dua metoda lain, yaitu method study dan work measurement. Metoda ini
secara sistematik dapat digunakan untuk mengetahui dan memperbaiki/meningkatkan
kinerja penggunaan sumber daya dalam proyek. Wulfram I. Ervianto (2005:221).

DAFTAR PUSTAKA
Consultant, duwi., 2013, Uji Validitas
Kuisioner,http://duwiconsultant.blogspot.co.id/2011/11/uji-validitas-kuisioner.html. [6
Januari 2016].
Endroyo, Bambang., 2013, Peranan Manajemen K3 Dalam Pencegahan Kecelakaan Kerja
Konstruksi, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Gabrielaeman., 2013, Analisa Linear Berganda Dengan Program SPSS.
https://gabrielaeman.wordpress.com/2013/11/24/analisalinearberganda-dengan-program-
spss-16/ [9Januari 2016].
Joni, I Gede Putu., 2012, Resiko Manajemen Proyek, Fakultas Teknik Universitas Udayana,
Denpasar.
Raharjo, Sahid., 2014, Uji Multikolonieritas dengan melihat nilai Tolerance dan VIF SPSS.
http://www.spssindonesia.com/2014/02/uji-multikolonieritas-dengan-melihat.html. [7
Januari 2016].
Raharjo, Sahid., 2014, Uji Normalitas dengan Grafik Histogram dan Plot P-P.SPSS.
http://www.konsistensi.com/2014/08/uji-normalitas-grafik-histogram-plot.html. [7 Januari
2016].
Sepang, Bryan Alfons Willyam ., 2013, Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja (K3) Pada Proyek Pembangunan Ruko Orlens Fashion Manado, Fakultas Teknik
Universitas Sam Ratulangi.
Soputan, Gabby E. M., 2014, Manajemen Risiko Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
(Study Kasus Pada Pembangunan Gedung SMA Eben Haezar), Pascasarjana Teknik Sipil
Universitas Sam Ratulangi.
Wicaksono, Iman., 2011, Bahan Kuliah “ Manajemen Risiko K3 Pada Proyek Pembangunan”,
Fakultas Teknik Institut Teknologi Sepuluh November.
Wieke Yuni C.dkk., 2012, Pengaruh Budaya Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3)
Terhadap Resiko Proyek Konstruksi. Jurusan Teknik Sipil Universitas Brawijaya Mala

568
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

MODEL MANAJEMEN HIDROLOGI BERDASARKAN PEMETAAN


KERENTANAN AIRTANAH (Mapping Groundwater Vulnerability) CEKUNGAN
AIRTANAH PALU

Andi Rusdin*)

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako

Palu, Sulawesi Tengah

ABSTRAK

Sistem informasi hidrologi merupakan hal penting terhadap proteksi dan manajemen pemanfaatan air
khususnya di Kota Palu. Pemetaan kerentanan airtanah (mapping groundwater vulnerability) merupakan salah
satu metode untuk menentukan titik – titik rentan airtanah secara kualitas dengan menggunakan citra satelit.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zona rentan airtanah secara kualitas dan kuantitas sehingga dapat
dihasilkan kebijakan terhadap pola arahan spasial manajemen pemanfaatan airtanah untuk kebutuhan domestik
di Kota Palu. Metode penelitian adalah model analog relasi dan numerik, dengan mengkombinasikan model
sistem akuifer dan sistem informasi geografi lingkungan fisik airtanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa
ketersediaan airtanah statis di CAT Palu berjumlah + 19.552.823,80 m3. Kebutuhan air bersih di daerah
perkotaan (Kecamatan Palu Selatan) pada tahun 2025 diperkirakan paling tinggi dibandingkan daerah lainnya,
dan daerah ini merupakan zona I untuk tingkat kerentanan airtanah seiring dgn perkembangan dan
pengembangan kawasan perkoataan. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan perkembangan kota sesuai
RTRW 2025 perlu memperhatikan zona aman penurapan airtanah.

Kata Kunci: airtanah, cekungan, zona penurapan

PENDAHULUAN
Airtanah di Cekungan Airtanah Palu (CAT Palu) merupakan salah satu fenomena fisik
lingkungan (physical enviroment) yang terakumulasi pada daerah lembah Palu, dengan
recharge area pada perbukitan Kamarora, Gawalise dan Tangguguno. . Keberadaan CAT Palu
erat kaitannya dengan struktur graben di Cekungan Palu, yaitu Sesar Palu Koro yang
merupakan graben terusan dgn arah utara selatan. Secara administratif CAT Palu berada di
Provinsi Sulawesi Tengah dan meliputi wilayah Kota Palu (sebagai ibukota Provinsi Sulawesi
Tengah), Kabupaten Donggala, dan Sigi. Airtanah di CAT Palu merupakan salah satu sumber
pemasok air bersih bagi penduduk di Kota Palu serta di sebagian Kabupaten Donggala dan
Sigi. Permasalahan kerentanan airtanah dalam manajemen pemanfaatan air bagi penduduk
Kota Palu merupakan permasalahan urgen seiring dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan kota.

569
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Salah satu faktor penyebab kurang optimalnya manajemen dan kebijakan pemanfaatan
airtanah di Kota Palu adalah kurangnya data akurat tentang ketersediaan airtanah secara
kualitas dan kuantitas. Pada beberapa kasus hanya berdasarkan informasi dari masyarakat
setempat, sehingga data potensi airtanah hanya bersifat perkiraan semata. Berdasarkan hal
tersebut maka perlu didesain suatu model dan arah kebijakan manajemen pemanfaatan
airtanah berdasarkan hasil aman penurapan airtanah di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep kerentanan airtanah didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan fisik telah
menyebabkan penurunan proteksi terhadap airtanah yang ditandai dengan masuknya
kontaminan. Proses infiltrasi dari permukaan tanah menyebabkan ikut terbawanya
kontaminan, namun disamping itu secara alami proses perkolasi juga ikut mempengaruhi pada
zona tidak jenuh (unsaturated).

Gambar 1. Kualitas Air dan Kontaminan Airtanah

(Vrba, 1994)

Villumsen, dkk (1983) dalam Vrba (1994) dalam Zeffitni, Rusdin dan Tanga (2014)
berpendapat bahwa kerentanan airtanah merupakan suatu keadaan yang menunjukan sistem
airtanah yang sangat sensitif akibat dari kegiatan manusia atau kondisi alami. Kerentanan
airtanah ditentukan oleh beberapa faktor hidrogeologi, yaitu karakterisik akuifer, kondisi
tanah dan material geologi.Untuk menggambarkan kerentanan airtanah dapat dilakukan
melalui pemetaan yang menunjukan secara spesifik tata guna lahan dan kontaminan yang
bersifat spasial temporal. Johnston (1988) menambahkan bahwa kerentanan yang ditandai
dengan masuknya kontaminan pada akuifer berasal dari kontaminan permukaan yang
dikontrol oleh sistem aliran airtanah, kondisi hidrogeologi, dan iklim.

570
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

. Albinet dan Margat (1970); Adam dan Foster (1984) menambahkan bahwa kerentanan
yang terjadi pada akuifer dimungkinkan oleh perkolasi dan difusi kontaminan dari permukaan
tanah menembus muka airtanah di bawah kondisi alami. Olmer dan Reza (1974) menyatakan
bahwa kerentanan airtanah ditentukan oleh kondisi alami dan tidak hanya tergantung dari
sumber polusi, tapi juga permeabilitas, gradien hidraulik dan kecepatan dari aliran airtanah.

Kajian terhadap potensi airtanah dan pemanfaatan air untuk domestik sangat penting
dilakukan mengingat air merupakan salah satu kebutuhan esensial bagi manusia. Keterdapatan
airtanah yang bersifat spasial dan temporal, telah menyebabkan posisinya dari material yang
bersifat bebas (free goods) menjadi material yang bernilai ekonomis (economic goods)
(Tjojudo, 1994). Potensi sumberdaya air dikelompokkan menjadi 3 wilayah, yaitu kelompok:
berpotensi rendah, sedang dan tinggi. Pada prinsipnya setiap wilayah potensi airtanah harus
memuat informasi tentang kedudukan muka airtanah, besarnya debit sumur yang mampu
dihasilkan dan kualitas airtanah (Pusat Lingkungan Geologi, 2007).
Reed (2008) menambahkan bahwa air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia.
Menentukan berapa banyak kebutuhan merupakan salah satu langkah untuk dapat
menyediakan air sesuai kebutuhan. Menurut Linsley (Sasangko, 1969) bahwa prediksi
kebutuhan air dapat dihitung setiap satuan waktu tergantung pada fokus permasalahan. Jangka
waktu prediksi terbagi atas 3 kategori, yaitu: skala jangka pendek <15 tahun, skala jangka
menengah 15-25 tahun, dan skala jangka panjang > 25-50 tahun. Perhitungan prediksi
berdasarkan angka pertumbuhan penduduk dengan menggunakan Metode Bunga Berganda:
Pt = P0 (1+r) n .............................. (4)
keterangan:
Pt : jumlah penduduk pada tahun yang diprediksikan
P0 : jumlah penduduk yang akan diprediksikan
r : rata – rata laju pertumbuhan penduduk
n : jumlah tahun yang akan diprediksikan

Jumlah kebutuhan air sangat ditentukan oleh tingkat pola kehidupan pemakainya. Pada
dasarnya standar kebutuhan minimal individu adalah 40-70 liter/hari, belum termasuk
kebutuhan yang dipengaruhi oleh faktor kondisi sosial ekonomi. Jumlah yang lebih tepat
tergantung pada berbagai variabel (budaya dan iklim) yang harus dinilai dan dipertimbangkan
(The Sphere Project, 2004).

571
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Hirarki Kebutuhan Air

(Berdasarkan Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow, 1908-1970)

(Reed, 2008)

Beberapa kota besar di Indonesia, standar kebutuhan air berkisar 100 - 150
liter/orang/hari dan daerah perdesaan berkisar < 40 liter/orang/hari. Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral (2001) menetapkan jumlah kebutuhan air bersih 150 liter/orang/hari
untuk daerah perkotaan dan 80 liter/orang/hari untuk daerah perdesaan. Sugihardjo (Dinas
Energi dan Sumberdaya Mineral, 2001) menjelaskan bahwa pemanfaatan air bersih untuk
keperluan domestik di Indonesia, rata – rata 60-150 liter/orang/hari. Angka ini berbeda dari
satu tempat dengan tempat lain.

Karakteristik akuifer dicerminkan oleh parameter dan sifat fisik batuan yang menyusun
akuifer. Sifat fisik batuan terdiri atas: nilai koefisien timbunan, porositas, permeabilitas, dan
transmisivitas (Todd, 1980). Permeabilitas (K), merupakan fungsi dari media porous yang
memiliki porositas, tingkat hubungan antar pori – pori, ukuran butir (tekstur) dan sortasi dari
material penyusun akuifer, yang dinyatakan dengan.

v m/hari

K = (-) -------- = --------- = m/hari .................................... (1)

dh/dl m/m

keterangan:

K : permeabilitas

v : kecepatan aliran

dh/dl : gradien hidraulik

572
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 1. Harga Permeabilitas dari Berbagai Macam Batuan

Menurut Morris dan Johnson

Batuan K Batuan K Batuan K

(m/hari) (m/hari) (m/hari)

Kerikil kasar 150 Batupasir 3,1 Sekis 0,2


sedang

Kerikil 270 Batupasir halus 0,2 Batu sabak 0,00008


sedang

Kerikil halus 450 Lanau 0,08 Tufa 0,2

Pasir kasar 45 Lempung 0,0002 Basalt 0,01

Pasir sedang 12 Batugamping 0,94 Gabro lapuk 0,2

Pasir halus 2,5 Dolomit 0,001 Granit 0,4


lapuk

Sumber: Todd, 1980

Kualitas airtanah merupakan faktor yang penting disamping faktor kuantitas. Kualitas
airtanah antara satu tempat dengan tempat lain tidaklah selalu sama tergantung pada faktor -
faktor yang berpengaruh terhadap kualitas airtanah di daerah yang bersangkutan. Faktor alami
seperti kondisi atau variasi batuan dan umur akan menyebabkan variasi kualitas airtanah.
Kualitas airtanah ditentukan oleh 3 sifat utama, yaitu: sifat fisik, kimia dan biologis (Sutikno
1989). Menurut Grand (Todd, 1980) bahwa potensi pencemaran pada airtanah, berdasarkan
kedalaman sumber pencemar dari permukaan airtanah, penyerapan oleh mineral - mineral di
permukaan airtanah, permeabilitas akuifer, gradien muka airtanah, dan jarak horizontal antara
sumur dengan sumber pencemar.

METODE PENELITIAN
Berdasarkan pertimbangan fenomena agihan spasial airtanah yang lebih kompleks di
CAT Palu, maka penelitian ini lebih difokuskan di CAT Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Secara administratif mencakup sebagian Kota Palu (Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah),
Kabupaten Donggala dan Sigi. Teknik pengambilan sampel airtanah dilakukan dengan cara
tiga tingkat (three stage sampling).

573
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Metode penelitian adalah model analog relasi dan numerik, dengan


mengkombinasikan model sistem akuifer dan sistem informasi geografi lingkungan fisik
airtanah. Metode ini dijabarkan dalam analisis data, sebagai berikut:Analisis Spasial dan
Kelingkungan. Analisis ini ditujukan untuk mengetahui agihan airtanah dengan satuan
bentuklahan sebagai satuan evaluasi. Proses analisis ini dilakukan dengan cara interpretasi
citra satelit yang dilanjutkan dengan pengecekan lapangan untuk menyusun peta satuan
bentuklahan. Proses pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis PC Arc/Info, yang
penyajiannya dengan menggunakan Arc View GIS versi 3.3, Map Info Discover versi 6.0,
Globe Mapper versi 9.0, Rockworks versi 2002 dan Surfer versi 8.0. Pola Arahan Spasial
Manajemen Pemanfaatan Airtanah. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis kerentanan
airtanah, maka dapat dirumuskan beberapa pola arahan spasial manajemen pemanfaatan
airtanah, yaitu Zona I, II, dan III

HASIL PENELITIAN

Perhitungan ketersediaan airtanah dengan metode statis dengan asumsi bahwa airtanah
dianggap diam dan dihitung berdasarkan parameter: luasan area, tebal akuifer dan hasil jenis
(specific yield) menurut komposisi materi penyusun akuifer dan luas masing - masing zona
potensi airtanah. Dengan menggunakan parameter luasan area, tebal akuifer dan hasil jenis,
ketersediaan airtanah statis di CAT Palu berjumlah + 19.552.823,80 m3. Agihan airtanah statis
di bagian timur sejumlah 13.239.480,76 m3 dan di bagian barat sejumlah 6.313.343,04 m3.
Kebutuhan air bersih untuk domestik dibedakan atas kebutuhan berdasarkan standar dan
hasil penelitian. Menentukan berapa banyak kebutuhan merupakan salah satu langkah untuk
dapat menyediakan air sesuai kebutuhan. Jangka waktu prediksi terbagi atas 3 kategori, yaitu:
skala jangka pendek <15 tahun, skala jangka menengah 15-25 tahun, dan skala jangka
panjang > 25-50 tahun. Penelitian ini menggunakan prediksi jangka pendek yaitu 7 tahun
berdasarkan data tahun 2013 sampai dengan tahun 2025 sesuai dengan RTRW Kota Palu.
Perhitungan prediksi berdasarkan angka pertumbuhan penduduk dengan menggunakan
Metode Bunga Berganda. Analisis kebutuhan air untuk domestik berpedoman pada standar
yang ditetapkan oleh Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (2001) maka untuk wilayah
penelitian ditetapkan: daerah perkotaan, yaitu 100 liter/orang/hari.

574
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 2. Prediksi Kebutuhan Air Bersih Tahun 2025

Jumlah Kebutuhan Prediksi

Kecamatan Penduduk Air Bersih Tahun 2025

(m3/thn) (m3/thn)

01 Palu Barat 50,751 1,852,412 22,228,938

02 Tatanga 44,506 1,624,469 19,493,628

03 Ulujadi 28,543 1,041,820 12,501,834

04 Palu Selatan 69,087 2,521,676 30,260,106

05 Palu Timur 54,713 1,997,025 23,964,294

06 Mantikulore 67,603 2,467,510 29,610,114

07 Palu Utara 21,317 778,071 9,336,846

08 Tawaeli 19,761 721,277 8,655,318

Kota Palu 2013 356,279 13,004,184 156,050,202

2012 347,856 12,696,744 152,360,928

2011 342,754 12,510,521 150,126,252

2010 336,532 12,283,418 147,401,016

2009 313,179 11,431,034 137,172,402

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Berdasarkan data aktual tahun 2013, maka agihan spasial pemanfaatan air untuk
domestik di Kota Palu dibagi atas 3 klas pemanfaatan, yaitu: klas rendah (<1.000.000
m3/tahun), klas sedang (1.000.000 – 2.500.000 m3/tahun) dan klas tinggi (> 2.500.000 m3
/tahun). Pemanfaatan tinggi meliputi Kecamatan Palu Selatan dengan jumlah pemanfaatan
sejumlah 2.521.676 m3 /tahun dan pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 30.260.106 m3
/tahun dengan asumsi jumlah penduduk tetap. Jika diperkirakan pertumbuhan penduduk
adalah 2,00% / tahun dan kebutuhan air bersih 100 liter / orang / hari, maka pada tahun 2025
jumlah penduduk Kota Palu sekitar 712.558 orang, dengan kebutuhan air bersih 71.255.800
liter/ hari.

575
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 3. Klas Pemanfaatan Air di Kota Palu


Jumlah Kebutuhan Klas Pemanfaatan

Kecamatan Penduduk Air Bersih (m3/tahun)

01 Palu Barat 50,751 1,852,412 sedang

02 Tatanga 44,506 1,624,469 sedang

03 Ulujadi 28,543 1,041,820 sedang

04 Palu Selatan 69,087 2,521,676 tinggi

05 Palu Timur 54,713 1,997,025 sedang

06 Mantikulore 67,603 2,467,510 tinggi

07 Palu Utara 21,317 778,071 rendah

08 Tawaeli 19,761 721,277 rendah

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Pola arahan spasial pemanfaatan airtanah untuk domestik didasarkan pada neraca
kesetimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan (supply and demand). Penentuan pola
arahan spasial pemanfaatan airtanah untuk kebutuhan domestik di Kota Palu, dengan
mempertimbangkan konsep dan strategi kepadatan penduduk seperti yang tertuang dalam
RTRW Kota Palu tahun 2006 – 2025 (Bappeda Kota Palu, 2006). Konsep yang diambil
adalah dengan membagi tiga kawasan perkotaan menjadi wilayah: pusat kota, daerah transisi,
dan daerah pinggiran. Berdasarkan perbedaan karakteristik airtanah maka CAT Palu
dikelompokkan atas beberapa klas zona penurapan airtanah sebagai berikut.

Tabel 4 . Klas Zona Penurapan Pemanfaatan Air di Kota Palu


Jumlah Kebutuhan Klas Pemanfaatan Zona

Kecamatan Penduduk Air Bersih (m3/tahun) Penurapan

01 Palu Barat 50,751 1,852,412 sedang Zona II

02 Tatanga 44,506 1,624,469 sedang Zona II

03 Ulujadi 28,543 1,041,820 sedang Zona II

576
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

04 Palu Selatan 69,087 2,521,676 tinggi Zona I

05 Palu Timur 54,713 1,997,025 sedang Zona II

06 Mantikulore 67,603 2,467,510 tinggi Zona I

07 Palu Utara 21,317 778,071 rendah Zona III

08 Tawaeli 19,761 721,277 rendah Zona III

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Gambar 3. Zona Aman Penurapan Airtanah di Kota Palu


(Hasil Analisis Data Primer, 2014)

577
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA

Boonstra, J and Ridder, D. 1981. Numerical Modelling of Groundwater Basins. ILRI


Publication 29. London.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2000. Pedoman Teknis Penentuan Debit
Pengambilan Air Bawah Tanah. Lampiran III Kepmen. ESDM. No: 1451
K/10/MEM/2000. Tanggal 3 November 2000. Departemen ESDM. Jakarta.

Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral. 2001. Penataan Zona Konservasi Air Bawah Tanah di
Kabupaten Nganjuk. Laporan Akhir. Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi
Jawa Timur Kerjasama dengan Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

Gregory, K.J. and Walling, D.E. 1973. Drainage Basin Form and Process. Fletcher and Son
Ltd. Norwich.

Hadian, M.S.D, Mardiana, U., dan Abdurahman, O. 2006. Sebaran Akuifer dan Pola Aliran
Airtanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda Kota Tangerang, Provinsi
Banten. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.1 No.3 September 2006:115-128. Pusat Geologi
Lingkungan. Bandung.

Hendrayana, H. 1994. Pengantar Hidrogeologi. Laporan Kursus Singkat Pengelolaan


Airtanah Angkatan I Yogyakarta, 6-15 Juli 1994. UGM. Yogyakarta.

Ponce, V.M, Pandey, R.P, dan Kumar, S. 1999. Groundwater Recharge by Channel
Infiltration in El Barbon Basin, Baja California, Mexico. Journal of Hydrology 214 pp.
1-7.

Pusat Lingkungan Geologi.2007. Kumpulan Panduan Teknis Pengelolaan Airtanah. Pusat


Lingkungan Geologi. Bandung.

Reed, B.J. 2008. Jumlah Air Minimal Yang Dibutuhkan Untuk Keperluan Rumah Tangga.
WHO Regional Office For South East Asia. New Delhi. Diterima 15 Juli 2009, dari
http://www.whosea.org.

Ruan, H and Illangasekare, T.H. 1999. Estimation of Relative Hydraulic Conductivity of


Sandy Soils Based on A Sheet Flow Model. Journal of Hydrology 219, pp 83 - 93.

Ruchijat, S dan Denny, B.R. 1989. Survey Potensi Airtanah Daerah Palu, Sulawesi Tengah.
Laporan Kegiatan. Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Sub Direktorat Hidrogeologi.
Bandung.

578
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Seaber, P.R, Sosenshein, J.S, and Back, W. 1988. Hydrostratigraphic Units, In:
Hydrogeology. Journal The Geology of North America, V. 0-2, Geol.Soc.Amer.

Sutikno. 1981. Pattern of Water Resources Utilization for Domestic Purpose in Serayu Basin.
Disertasi. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

The Sphere Project. 2004. Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster
Response. The Sphere Project: Geneva, Switzerland. Diterima 27 Juni 2009, dari
http://www.sphereproject.org.

Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. John Willey and Sons, Inc. New York.

Verstappen, H.Th. 1977. Remote Sensing in Geomorphology. Elsevier Scientific Publishing


Company. Amsterdam.

Verstappen, H.Th and Van Zuidam, R.A. 1968. System of Geomorphological Survey. ITC.
Delf.

Wirasuganda, S. 1994. Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Eksplorasi Air Bawah Tanah.
Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 23. Desember
1994. Bandung.

Zeffitni. (2010). Pendekatan Hidrogeomorfologi dan Visualisasi Relief Pada Citra Satelit
Untuk Penentuan Model Geometrik Airtanah Cekungan Palu. Proseding Hasil
Penelitian UGM, 2009. Edisi I Maret 2010. ISBN 978-602-8718-10-3.

Zeffitni (2012). "Identification Lateral Boundary of Aquifer System Palu Groundwater


Basin”. Seminar Internasional Redstar Proceeding Book I: Applied Technology page
453-465. Published by: Medan Institute of Technology. 23 June 2012. (Hasil
Penelitian Stratnas Dikti Tahun I).

Zeffitni, Rusdin, Tanga. (2014). Pemetaan Kerentanan Airtanah (Mapping Groundwater


Vulnerability) Cekungan Airtanah Palu Sebagai Usaha Manajemen Pemanfaatan Air
di Kota Palu. Stranas Dikti. 2014.

579
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

OPTIMALISASI JARINGAN IRIGASI AIRTANAH (JIAT)


UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN
DI PROPINSI SULAWESI TENGAH

Sance Lipu dan Zeffitni*)

Staf Pengajar Pada Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako


Palu, Sulawesi Tengah

Abstrak

Salah satu upaya untuk optimalisasi jaringan irigasi airtanah (JIAT) adalah melalui pemetaan potensi
airtanah. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan jaringan irigasi airtanah (JIAT) berdasarkan zona
ketersediaan airtanah. Metode analisis data dalam penelitian ini terdiri dari analisis hidrologi dan
hidrogeologi. Proses analisis ini dilakukan dengan cara interpretasi citra satelit. Proses pemetaan
menggunakan Sistem Informasi Geografis PC Arc/Info, yang penyajiannya dengan menggunakan Arc View GIS
versi 3.3, Map Info Discover versi 6.0, Globe Mapper versi 9.0, Rockworks versi 2002 dan Surfer versi 8.0.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan tingkat potensi kuantitatif airtanah bebas, mataair dan tertekan
yang pada umumnya sedang dan klas airtanah tertekan berada pada klas sedang – tinggi, Model Jaringan
Irigasi Airtanah (JIAT) dapat dikembangkan pada daerah – daerah yang minus air permukaan.

Kata Kunci: jaringan, irigasi, airtanah, pertanian pangan.

PENDAHULUAN

Kebijakan pengelolaan airtanah pada prinsipnya seharusnya tidak merubah dari


pengelolaan sebelumnya yaitu tetap memperhatikan aspek kelestarian dan perlindungan
sumber daya airtanah, pengendalian dan pemulihan kerusakan lingkungan. Selanjutnya
berdasarkan pasal 63 Undang-undang No.7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air bahwa
pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana sumber daya air harus berdasarkan norma,
standar, pedoman dan manual (NSPM). Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya
perancangan irigasi dan bangunan air dengan debit yang memadai untuk mengairi seluruh
lahan pertanian, baik lahan fungsional maupun lahan potensial.

Menurut Sance Lipu (2010) di Sulawesi Tengah ada beberapa bidang teknologi yang
dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saingnya. Salah satunya bioteknologi yang dapat
digunakan untuk peningkatan daya saing dalam hal ini teknologi pangan. Contohnya adalah
penemuan varietas baru tanaman pangan seperti padi, jagung dan tanaman keras salah satunya
kakao yang tahan hama. Namun usaha untuk meningkatkan produksi tanaman pangan masih
terkendala pada keterbatasan jaringan irigasi. Jaringan irigasi yang ada masih memanfaatkan
air permukaan, yang terbatas secara spasial dan temporal.

580
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Namun usaha untuk meningkatkan produksi pertanian pangan masih terkendala pada
keterbatasan jaringan irigasi. Jaringan irigasi yang ada masih memanfaatkan air permukaan,
yang terbatas secara spasial dan temporal. Irigasi yang termasuk dalam Cekungan Palu adalah
Irigasi Paneki dan Irigasi Gumbasa, yang terdapat di Kabupaten Sigi dan Donggala. Sebanyak
40 % areal persawahan yang ada di Kabupaten Sigi belum terjangkau fasilitas irigasi yang
saat ini mentargetkan menjadi wilayah lumbung beras di Sulawesi Tengah. Kendala – kendala
yang masih dialami petani adalah jaringan irigasi desa. Jaringan irigasi desa baru mencapai 60
% yang mengairi areal persawahan. Kebutuhan jaringan irigasi tersebut berkaitan dengan
target yang hendak dicapai oleh Kabupaten Sigi menyangkut produksi padi sawah menjadi 5,7
ton per hektar dari target 4,2 ton per hektar pada tahun 2012 ini dengan luas aeal 42.000
hektar (Lamakarate, 2012).

Balai Sabo (2010), bahwa irigasi Gumbasa dengan sumber air irigasi yang disuplai
dari DAS Palu. DAS Palu mempunyai luas 3.048 km2 dengan Sub Das utama, yaitu Sub Das
Miu – Kulawi dan Sopu – Gumbasa. Daerah irigasi Gumbasa mengairi areal pertanian,
dengan luas potensial sejumlah 10.500 ha dan luas fungsional sejumlah 7.922 Ha. Jaringan
irigasi Gumbasa juga melayani 44.026 jiwa penduduk yang tersebar di 25 desa (5 kecamatan).
Bencana alam sedimen yang pernah terjadi menyebabkan irigasi Gumbasa tidak dapat
mengairi areal pertanian yang ada. Tahun 2005 aliran debris menghantam Sungai Pawanua,
Nganganto dan Sibowi sehingga menutup saluran induk Gumbasa sepanjang + 1.000 meter di
ruas BGKn 7a – BGKn 9a, menutup jalan poros Palu – Kulawi serta menimbulkan kerusakan
parah di 25 unit rumah penduduk, perkebunan, dan persawahan di 5 desa. Akibat yang
ditimbulkan adalah tidak terairinya lahan persawahan seluas + 6.500 ha selama 1 MT.
Kerugian yang ditimbulkan + Rp. 100 milyar. Akibat lebih lanjut adalah sumur penduduk di
desa menjadi kering dan air irigasi baru dapat dialirkan 6 bulan kemudian. Kondisi ini
menjadi catatan penting untuk perlunya kebijakan pengelolaan airtanah berdasarkan
zonasi ketersediaan airtanah.

STUDI PUSTAKA

Boonstra dan Ridder (1981) menjelaskan bahwa pada suatu cekungan airtanah
mengalami proses hidrologi yang berlangsung secara terus menerus. Todd (1980) berpendapat
bahwa cekungan airtanah merupakan suatu satuan hidrogeologi yang terdiri dari satu atau
beberapa bagian akuifer yang saling berhubungan membentuk suatu sistem dan dapat berubah
akibat perubahan lingkungan. Hadian dkk., (2006) menambahkan bahwa airtanah merupakan
air inter koneksi secara terbuka pada batuan saturasi di bawah permukaan tanah, baik pada
zona jenuh maupun tidak jenuh. Pada zona jenuh, terdapat sistem air jenuh berupa air bawah

581
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

tanah. Sistem ini dipengaruhi oleh kondisi geologi, hidrogeologi, dan gaya tektonik yang
membentuk cekungan airtanah.

Gambar 1. Tipe Batas Cekungan Airtanah

(Boonstra dan Ridder, 1981 dalam Pusat Lingkungan Geologi, 2007)

Berkaitan dengan geometri dan konfigurasi akuifer, Pusat Lingkungan Geologi (2007)
memberikan batasan bahwa penentuan batas lateral dan vertikal cekungan airtanah akan
menunjukkan geometri cekungan airtanah. Penentuan agihan lateral dan vertikal akuifer
maupun non akuifer menunjukkan konfigurasi sistem akuifer. Dalam meningkatkan produksi
pertanian pangan, pengaturan tata guna sumberdaya air (irigasi) mempunyai peranan penting
yaitu agar sumber daya air dapat bermanfaat sesuai dengan kebutuhan tanaman. Sumber daya
air perlu ditataguna dan dikelola dengan baik yang dikenal dengan istilah irigasi. Irigasi
adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian
yang meliputi permukaan, rawa, airtanah, pompa dan tambak. Untuk dapat memanfaatkan
airtanah yang keberadaannya pada lapisan pembawa air atau akifer, diperlukan fasilitas sumur
serta mesin pompa. Penggunaan JIAT dapat dilakukan pada setiap sistem jaringan irigasi
gravitasi, daerah yang bergelombang atau perbukitan, dan tanah porous (mudah menyerap air)
yang memiliki mata air.

Irigasi dengan sistem pompa air dengan air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan
melalui pompa air. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah. Irigasi saluran
pipa mendistribusikan air melalui pipa-pipa yang terhubung dengan debit tertentu. Irigasi pipa
ini juga dipengaruhi oleh gravitasi irigasi airtanah (akuifer). Jaringan irigasi airtanah adalah
jaringan irigasi yang airnya berasal dari airtanah, mulai dari sumur dan instalasi pompa
sampai dengan saluran irigasi air tanah termasuk bangunan di dalamnya. Saluran irigasi air
tanah adalah bagian dari jaringan irigasi airtanah yang dimulai setelah bangunan pompa
sampai lahan yang diairi.

582
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

METODE PENELITIAN

Sampel penelitian meliputi keseluruhan sumur bor yang digunakan untuk sumber
irigasi airtanah di Propinsi Sulawesi Tengah. Teknik pengambilan sampel airtanah dilakukan
dengan cara dua tingkat (two stage sampling). Tingkat pertama menentukan jenis sampel dan
titik pengambilan sampel. Sampel airtanah tertekan terdiri atas: sumur bor eksplorasi (SE) dan
produksi (SD). Tingkat kedua berdasarkan luasan dan variasi bentuklahan ditentukan jumlah
titik sampel untuk data karakteristik fisik airtanah dengan metode proportional sampling.

Debit andalan menunjukkan angka variabilitas ketersediaan air sekaligus


menunjukkan seberapa besar debit yang dapat diandalkan. Analisis ketersediaan air yang
termasuk besarnya debit aliran yang ada di sungai sebagai sumber pengambilan untuk
pemenuhan kebutuhan yang meliputi debit andalan dengan berbagai probabilitas
(probability). Analisis hidrogeologi ditujukan untuk penentuan debit airtanah. Permeabilitas
(K), merupakan fungsi dari media porous yang memiliki porositas, tingkat hubungan antar
pori – pori, ukuran butir (tekstur) dan sortasi dari material penyusun akuifer, yang dinyatakan
dengan.

v m/hari

K = (-) -------- = --------- = m/hari ............................. (1)

dh/dl m/m

keterangan:

K : permeabilitas

v : kecepatan aliran

dh/dl : gradien hidraulik

Untuk dapat memodelkan jaringan irigasi airtanah (JIAT) maka zona ketersediaan
airtanah dipetakan dengan menggunakan citra satelit Landsat TM dan ETM Daerah Palu.
Proses analisis ini dilakukan dengan cara interpretasi citra satelit yang dilanjutkan dengan
pengecekan lapangan. Proses pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis PC
Arc/Info, yang penyajiannya dengan menggunakan Arc View GIS versi 3.3, Map Info
Discover versi 6.0, Globe Mapper versi 9.0, Rockworks versi 2002 dan Surfer versi 8.0.

583
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tingkat potensi kuantitatif airtanah bebas klas sedang mencakup keseluruhan (100%)
CAT bagian barat dan hanya 40% di bagian timur. Di CAT bagian timur, 80% mataair dengan
tingkat potensi kuantitatif kecil sebaliknya di bagian barat, sejumlah 60% tingkat potensi
kuantitatif besar. Agihan kedalaman muka airtanah tertekan mulai dari bersifat dangkal
sampai dengan dalam. Kuantitas airtanah tertekan tergolong besar rata – rata > 10,0 l/dtk.
Tingkat potensi kualitatif airtanah di CAT Palu, pada umumnya termasuk klas kualitas baik.
Berdasarkan kriteria kuantitas dan kualitas airtanah, serta dengan mempertimbangkan sistem
aliran akuifer, maka zona potensi airtanah di CAT Palu dapat ditentukan dan berkisar dari
sedang – tinggi. Airtanah yang mengalir ke dalam sistem akuifer dalam di Dataran Palu
sampai kedalaman sekitar 100 m mencapai 30x106 m3/tahun. Potensi imbuhan airtanah di
dataran Kamamora dan Walosido masing - masing adalah 12x106 m3/tahun dan 11,4x106
m3/tahun.
Hasil penelitian untuk penentuan batas CAT Palu menunjukkan bahwa CAT Palu
merupakan suatu sistem aliran. Arah aliran airtanah dan karakteristik airtanah bebas dan
dapat digunakan untuk analisis potensi airtanah tertekan secara keseluruhan di CAT Palu.
Batas aliran airtanah yang masuk (inflow boundary) berada di bagian timur dan barat Sungai
Palu yaitu dari tekuk lereng perbukitan struktural Gunung Gawalise dan Gunung
Tanggungguno. Batas aliran airtanah yang keluar (outflow boundary) berada di bagian utara
yaitu Teluk Palu.
Sumber air yang digunakan untuk mengairi Jaringan Irigasi Gumbasa berasal dari
sungai Gumbasa dan Danau Lindu, yang disadap melalui bendung irigasi Gumbasa. Air yang
disadap melalui 6 pintu pengambilan (Intake) yang kemudian masuk ke saluran kantong
lumpur I, sebelum air masuk ke saluran kantong lumpur II terdapat 2 pintu sorong, setelah air
masuk ke kantong lumpur II kemudian masuk ke saluran induk yang diatur oleh 2 pintu
sorong yang selanjutnya digunakan untuk mengairi areal seluas 6.500 Ha dengan produksi
pangan dapat mencapai 4-5 ton/hektar gabah kering panen.

584
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 2. Bangunan dan Saluran DI. Gumbasa

Sumber: Data Lapangan, 2014

Gambar 2. Model JIAT I


(Hasil Analisis, 2014)

585
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 3. Model JIAT II


(Hasil Analisis, 2014)

KESIMPULAN
1. Zona potensi airtanah di CAT Palu berkisar dari sedang – tinggi.
2. Airtanah yang mengalir ke dalam sistem akuifer dalam di Dataran Palu sampai
kedalaman sekitar 100 m mencapai 30x106 m3
/tahun. Potensi imbuhan airtanah di
dataran Kamamora dan Walosido masing - masing adalah 12x106 m3
/tahun dan
11,4x106 m3/tahun.
3. .Model Jaringan Irigasi Airtanah (JIAT) dapat dikembangkan pada daerah – daerah
yang minus air permukaan,

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Kemenristek Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui
Hibah Penelitian MP3EI, pada tahun kontrak 2013 sd 2014 dan dengan Hibah yang sama
dibiayai kembali untuk pengembangan regulasi manajemen JIAT dan P3A di Program MP3EI
untuk tahun 2015 dan 2016.

586
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA

Boonstra, J and Ridder, D. 1981. Numerical Modelling of Groundwater Basins. ILRI


Publication 29. London.

Pedoman Teknis Pengembangan Irigasi Airtanah Dangkal dan Irigasi Airtanah Dalam.
Direktorat Pengelolaan Air. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Departemen
Pertanian.

Pusat Lingkungan Geologi.2007. Kumpulan Panduan Teknis Pengelolaan Airtanah. Pusat


Lingkungan Geologi. Bandung.

Octaviana Dyah Retno. (2010). Kondisi DAS Palu dan Penerapan Tekno Sabo ke Depan.
Kumpulan Bahan Presentase Perkembangan Iptek Tekno Sabo di Indonesia. Yogyakarta
28-29 September 2010.

Sance Lipu, Amri dan Anasiru. (2014). Penetaan Potensi Airtanah Cekungan Palu Untuk
Optimalisasi Jaringan Irigasi Bagi Peningkatan Produksi Tanaman Pangan di Propinsi
Sulawesi Tengah. MP3EI, Kemenristek Dikti.

Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. John Willey and Sons, Inc. New York.

587
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ANALISA KEANDALAN SISTEM TENAGA LISTRIK BERDASARKAN


METODE ANALISA KONTINGENSI

(STUDI KASUS PADA PT. PLN (PERSERO) SISTEM KENDARI)

Tambi1, Arman Faslih2, Mustamin3, Sahabuddin Hay4

1,2,3,4
Jurusan Teknik Elektro, 1,2,3,4 Universitas Halu Oleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari, Indonesia

1
gallatambi@gmail.com

Abstract

The purpose of this study is as follows determine the change in angle of the bus when the contingency
situation. and knowing the losses in the power system Kendari city. In this final project will be discussed on the
analysis of contingency (loss of one element) of the power system Kendari 70 kV. The results of this analysis are
used to identify the elements of the system are weak. The elements can be either weak system bus voltage violates
operating limits. From the simulation results of the power flow using Power World Simulator software 18
providable that there are several buses that cross the line voltage drop due to contingency operations permitted
on the tract of RRI Bus to Bus PLTD Wua-Wua (contingency 3), the bus is the bus voltage Tanasa 62.82 kV,
L.Meto 17.95 kV Bus, Bus GI Puuwatu 62.02 kV and 17.73 kV bus RRI. Release channel from PLTD Poasia to
PLTD Wua-Wua (Contingency 4) then the system will perform a total outage or blackout. Contingency 3 has a
shift angle greater than that of other contingency. Total losses were greater when the contingency is 3 with total
losses of 2.3 MW and 20.9 MVAR.

Keywords: Realibility, Power Flow, Contingency Analysis.

I. PENDAHULUAN

Peran utama dari suatu sistem tenaga listrik adalah menyediakan dan menyalurkan energi
listrik secara andal dan terus menerus terhadap pelanggan. Secara umum keandalan sistem
tenaga listrik dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan sistem untuk memberikan suatu
pasokan tenaga listrik yang cukup dengan kualitas yang memuaskan. Keandalan sistem tenaga
listrik ditentukan oleh penilaian kecukupan (adequacy assesment) dan penilaian keamanan
(security assesment). Hal itu berarti keandalan suatu sistem tenaga listrik ditentukan oleh
kemampuan sistem untuk memasok energi listrik yang cukup ke pelanggan yang memenuhi
persyaratan dengan cara yang memuaskan dan kemampuan sistem untuk tetap mampu
bertahan akibat adanya gangguan yang mendadak seperti hubung singkat atau hilangnya
elemen sistem yang tak dapat diantisipasi (Yeu, 2005).

Pada saat ini, kebanyakan sistem tenaga listrik sudah merupakan sistem interkoneksi
antara satu pusat pembangkit dengan pembangkit lainnya dengan harapan apabila salah satu

588
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dari pusat pembangkit atau saluran transmisi mengalami gangguan maka pasokan tenaga
listrik tetap dapat berjalan. Di sisi lain, interkoneksi sistem tenaga listrik juga mempunyai
beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah apabila terjadi gangguan pada salah
satu sistem, karena adanya beban lebih dan ketidakstabilan tegangan, akan berpengaruh ke
sistem yang lain.

Pada kenyataannya, gangguan yang berupa lepasnya elemen sistem (outage) dalam sistem
tenaga listrik adalah sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya dihindarkan. Lepasnya elemen
sistem dapat terjadi karena gangguan (force outage) atau karena pemeliharaan (planned
outage). Forced outage adalah lepasnya elemen sistem yang disebabkan oleh adanya
gangguan (fault) misalnya saluran transmisi yang terkena sambaran petir, terkena badai,
kerusakan pada transformator atau generator, sedangkan planned outage adalah lepasnya
elemen sistem karena adanya pemeliharaan peralatan pada sistem tersebut. Pemeliharaan
peralatan dari sistem tenaga listrik sebagian besar memerlukan pembebasan tegangan yang
berarti bahwa peralatan yang dipelihara harus dikeluarkan dari operasi (Marsudi, 2006).

Untuk memberikan pelayanan yang andal, sistem tenaga listrik harus tetap utuh dan mampu
mengatasi berbagai macam gangguan yang mungkin terjadi. Dengan demikian merupakan
suatu hal yang sangat penting bahwa sistem harus direncanakan dan dioperasikan agar dalam
keadaan kontingensi atau terlepasnya suatu elemen sistem baik itu generator atau saluran
transmisi tidak akan mengalami kehilangan beban. Disamping itu, agar kemungkinan keadaan
kontingensi yang paling merugikan tidak menyebabkan pemutusan daya yang tidak terkontrol
dan meluas yang mengakibatkan pelepasan yang bertingkat dan pemadaman total.

Dengan demikian perlu dilakukan studi tentang keandalan dan keamanan sistem tenaga
listrik terhadap sejumlah kasus-kasus kontingensi. Tujuan dari penelitian ini adalah digunakan
untuk mengidentifikasi elemen-elemen sistem yang lemah. Elemen-elemen sistem yang lemah
dapat berupa bus yang tegangannya melanggar batasan operasi dan saluran yang mengalami
pembebanan kritis atau mengalami beban lebih.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Keandalan Sistem Tenaga Listrik

Keandalan suatu sistem secara umum dapat didefenisikan sebagai probabilitas suatu alat
atau sistem untuk menyelenggarakan tujuannya secara cukup untuk periode waktu tertentu
dan kondisi operasi tertentu. Ketercukupan sistem berhubungan dengan keberadaan fasilitas-
fasilitas pembangkit, transmisi dan distribusi yang cukup dalam sistem untuk mencukupi

589
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

permintaan beban pelanggan. Pada sisi lain, keamanan sistem, berhubungan dengan
kemampuan sistem untuk bereaksi terhadap gangguan-gangguan yang timbul di dalam sistem.

Pada penelitian ini mempunyai kaitan dengan keamanan sistem saat mengalami gangguan
maupun setelah gangguan dilepaskan. Gangguan yang dimaksud adalah gangguan-gangguan
yang berat (Stevenson, 1984, hal.409), antara lain :

1. Bertambah atau berkurangnya daya yang disuplai ke dalam sistem dengan jumlah yang
besar dan terjadi secara tiba-tiba, misalnya terputusnya generator yang berkapasitas besar
dari pusat pembangkit.
2. Bertambah atau berkurangnya daya yang diambil dari sistem dengan jumlah yang besar
dan terjadi secara mendadak, misalnya terputus atau terhubungnya suatu beban industri
yang besar.
3. Perubahan aliran daya pada saluran transmisi yang terjadi dalam waktu singkat, misalnya
terjadinya hubung singkat yang diikuti dengan pemutusan saklar (switching) pada saluran.
2.2. Sistem Tenaga Listrik

Jaringan suatu sistem tenaga listrik adalah rangkaian yang menghubungkan antara pusat-
pusat pembangkit dengan pusat-pusat beban yang ada dalam sistem sehingga menyerupai jala.
Untuk melakukan analisis berkenaan dengan kondisi operasi sistem yang mantap (steady
state), maka diasumsikan bahwa operasi sistem 3 (tiga) fasa berada dalam keadaan seimbang
(simetris). Komponen-komponen sistem seperti pembangkit, transformator, busbar, saluran
transmisi ataupun beban dapat dinyatakan dalam bentuk rangkaian satu garis, seperti
ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1. Rangkaian satu garis sistem tenaga listrik

Pada single line gambar 2.1, di mana menggambarkan suatu sistem tenaga listrik yang
disuplai oleh tiga buah pembangkit yang menyalurkan dayanya ke sistem. Jika sistem
mengalami gangguan maka akan mengalami perubahan aliran daya yang dianalisis dengan
metode kontingensi.

590
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2.3. Metode Kontingensi

Metode kontingensi pada dasarnya adalah suatu cara untuk analisis keadaan aliran
daya dalam sistem pada saat sistem mengalami kondisi yang tidak diharapkan yang cenderung
memperburuk kualitas, keandalan dan kontinuitas pelayanan serta keamanan peralatan sistem
itu sendiri. Kondisi yang tidak diharapkan yang dimaksud adalah lepasnya generator atau
saluran transmisi (Anderson 1978). Sementara waktu spesifik pada awal kejadian yang
disebabkan oleh kegagalan peralatan tidak dapat diramalkan, sehingga sistem harus beroperasi
pada semua waktu (real time) sekalipun kondisinya berbahaya (Rao, 1978).

Kemudian menurut (Tambi,2012) bahwa pengamanan sistem erat hubungannya


dengan analisis kontingensi, karena dari hasil analisis kontingensi dapat ditentukan langkah-
langkah antisipatif atau pengamanan terhadap sistem yang mengalami gangguan, sehingga
tetap diharapkan beroperasi dalam keadaan aman, kontinu dan terhindar dari kondisi yang
tidak diharapkan.

2.4. Applikasi Power World Simulator Pada Analisis Kontingensi Sistem Tenaga Listrik.

Referensi [7] menyatakan bahwa pelepasan pembangkit akan menyebabkan sistem


kekurangan pembangkitan. Apabila bus referensi memiliki pembangkitan yang cukup,
kekurangan tersebut dapat diatasi, namun hal ini akan menyebabkan aliran daya di sistem
berubah. Beberapa saluran mungkin mengalami overload, sehingga akan dilepaskan dari
sistem oleh alat proteksi. Apabila terjadi 2 pelepasan secara bersamaan, maka pada beberapa
kasus bukan hanya terjadi overload pada saluran, tetapi bahkan terjadi blackout, sehingga
perlu langkah-langkah antisipatif dalam merancang maupun tindakan perbaikan dalam
pengamanan terhadap sistem, agar sistem tetap dapat beroperasi secara kontinyu dalam
keadaan stabil dan terkendali serta terhindar dari kondisi yang tidak diharapkan.

2.5. Konsep Aliran Daya


Studi aliran daya yang biasa disebut dengan aliran beban merupakan konsep dasar dalam
menganalisis dan mendesain sistem tenaga listrik. Aliran daya diperlukan dalam perencanaan,
operasional sistem, penjadwalan ekonomis dan perpindahan daya antar pembangkit. Analisis
aliran daya mutlak diperlukan untuk berbagai analisis sistem yang lain seperti stabilitas
transien dan studi kontingensi (Saadat Hadi, 1999). Sistem tenaga konsep daya lebih popular
dari pada arus, sehingga persamaan-persamaan lebih sering dinyatakan dalam terminologi

591
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

daya yang dikenal dengan persamaan aliran daya dan merupakan persamaan nonlinier dan
harus diselesaikan dengan teknik iterasi (Kundur, 1994). Bentuk Umum Studi Aliran Daya

Untuk dapat menyelesaikan aliran daya dalam sistem tenaga listrik, maka sebuah model
matematika yang menggambarkan arah aliran arus harus ditentukan (James A. Momoh, 2001,
hal : 68). Model ini dikenal dengan Power Flow Equation (PFE). Pada kasus umum, anggap
sebuah bus i yang ditunjukkan pada gambar 2.2 Pembangkit dan bebannya diasumsikan sama
dengan SGi dan SDi. Daya bus diberikan oleh persamaan :

SGi = SGi – SDi = PGi – PDi + j(QGi – QDi) (2.1)

Gambar 2.2 Bus dengan pembangkitan, beban dan jariingan keluar

2.6. Persamaan Jaring Sistem

Hubungan antara tegangan (V) dan arus (I) di bus, secara umum dapat dinyatakan
dalam bentuk impedansi bus ( atau dengan admitansi bus (sepeerti pada persamaan
(2.11) dengan persamaan sebagai berikut :

(2.2)

Persamaan (2.11) lebih umum digunakan dalam studi aliran daya, mengingat jarring
dalam sistem yang terhubung pada bus berbentuk paralel. Besar arus merupakan variabel
kompleks, dengan referens tegangan adalah tanah dan referens sudut fasa dipilih dari salah
satu sudut fasa tegangan bus. Untuk arus yang menuju diberi tanda positif dan yang
meninggalkan bus diberi tanda negatif, sehingga total arus pada bus dalam sistem merupakan
total arus yang menuju bus dan yang meninggalkan bus.

Sedangkan untuk vektor arus bus (Ibus) dan tagangan bus (Vbus) sebanyak n buah seperti
persamaan berikut :

; (2.3)

592
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dengan matriks admitansi dan impedansi busnya adalah :

; (2.4)

Bila suatu sistem mempunyai bus sebanyak dan , maka persamaan arus pada bus
yaitu dengan dapat dirumuskan seperti persamaan :

Keterangan :

adalah admitansi bersama antara bus k dan p

Total kapasitansi shunt pada bus k

Tegangan pada bus p dan k

Persamaan (2.5) dapat ditulis dalam bentuk matriks menjadi :

(2.6)

Matriks pada persamaan (2.6) merupakan matriks persegi, yaitu sebuah matriks yang
mempunyai jumlah baris dan kolom yang sama besar dan mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :

 Matriks bujur sangkar dengan orde n x n


 Merupakan matriks simetriks dengan elemen
 Mengandung variabel kompleks
 Merupakan matriks jarang (sparse)

2.7. Persamaan Pembebanan Sistem


Daya aktif dan reaktif pada bus k dalam sistem listrik didefinisikan sebagai berikut :
(2.7)
maka persamaan arus pada bus k ( didefinisikan sebagai :

(2.8)

Di mana :

593
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= Daya semu pada bus k

= Daya nyata pada bus k

= Daya reaktif pada bus k

= Arus pada bus k

= Tegangan pada bus k

* = Konyugate

Bila persamaan (2.8) disubtitusikan ke dalam persamaan (2.5), maka diperoleh rumusan daya
kompleks secara umum sebagai berikut :

dan untuk , persamaan (2.9) dirumuskan sebagai berikut :

dengan dirumuskan sebagai :

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian studi literatur dan simulasi model. Simulasi model
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada pemodelan sistem dan permasalahan yang ada
dengan program Powerworld.

Studi literatur dilakukan untuk mencari data sekunder yang akan mendukung data
penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai kemana ilmu yang berhubungan dengan
penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degenaralisasi yang
pernah dibuat, sehingga situasi yang diperlukan dapat diperoleh.

594
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

3.2. Langkah-langkah Penelitian


Langkah-langkah untuk untuk menganalisa dinamika stabilitas akibat gangguan tiga fasa
seimbang ketanah dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Melakukan studi aliran daya untuk mengetahui tegangan dan daya setiap saluran.
2. Memberikan simulasi gangguan tiga fasa seimbang ketanah pada bus-bus penyulang dan
bus-bus beban.
3. Menganalisa respon setiap pembangkit.

3.3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan evaluasi terhadap jaringan sistem tenaga listrik 70 kV PLN
Kota Kendari dan mengetahui keandalan dengan mensimulasikan pengaruh gangguan
kontingensi terhadap perubahan arus saluran cabang dan tegangan bus pada sistem dengan
metode aliran daya gauss siedel.

Aturan yang digunakan untuk menentukan batas tegangan operasi adalah sesuai
dengan batas yang ditetapkan dalam aturan penyambungan yaitu : Tegangan 500 kV adalah ±
5% sedangkan Tegangan 150 kV, 70 kV, 20 kV adalah +5 % dan -10%.

Rancangan dan kerangka penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai
berikut :

1. Melakukan survei dan mencari data operasi dan gambar diagram satu garis sistem tenaga
listrik PLN Kota Kendari.
2. Membuat model sistem tenaga listrik 70 kV PLN Kota Kendari.
3. Melakukan input data: generator, beban, bus dan parameter-parameter saluran.
4. Melakukan analisis aliran daya pada sistem tenaga listrik PLN Kota Kendari pada keadaan
normal dengan program PowerWorld Simulator 18.
5. Memilih jenis kontingensi
6. Melakukan analisis aliran daya pada sistem tenaga listrik PLN Kota Kendari pada keadaan
kontingensi dengan program PowerWorld Simulator 18.
7. Mengidentifikasi elemen-elemen sistem tenaga listrik yang lemah dari hasil analisis aliran
daya saat keadaan normal dan keadaan kontingensi.
Teknik analisa data dapat dilihat secara lengkap dengan alur penelitian (flowchart) sebagai
berikut.

595
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Single Line Diagram Sistem Kota Kendari menggunakan Power world Simulator 18

Analisis kontingensi membutuhkan data aliran daya pada setiap saluran sebelum terjadi
pelepasan pembangkit atau saluran. Dengan demikian, walaupun penelitian ini tidak bertujuan
untuk mengetahui aliran daya normal, namun analisis aliran daya tetap dilakukan.

Pemodelan system dari single line diagram system Kendari yang terdiri dari 6 Bus, untuk
Bus 70 kV adalah Bus Tanasa dan Bus Puwatu sedangkan untuk Bus 20 kV adalah Bus L.
Meto, Bus RRI, Bus PLTD Wua-Wua dan Bus PLTD Poasia. Bus PLTD Poasia ditentukan
sebagai slack bus. Sistem 70 kV Kendari terdiri dari dua saluran transmisi dan tiga Tie Line
dan terdiri dari 20 beban feeder dengan total loads 54.5 MW.

Gambar di bawah merupakan icon tools yang terdapat pada Power World Simulator yang
berfungsi untuk analisa kontingensi.

596
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.1 Single Line Diagram Sistem Kota Kendari Menggunakan PowerWorld Simulator
Gambar 4.1. merupakan pemodelan system dari single line diagram system Kendari yang
terdiri dari 6 Bus, untuk Bus 70 kV adalah Bus Tanasa dan Bus Puwatu sedangkan untuk Bus
20 kV adalah Bus L. Meto, Bus RRI, Bus PLTD Wua-Wua dan Bus PLTD Poasia. Bus
PLTD Poasia ditentukan sebagai slack bus. Sistem 70 kV Kendari terdiri dari dua saluran
transmisi dan tiga Tie Line dan terdiri dari 20 loads feeder dengan total loads 54.5 MW

Gambar di bawah merupakan icon tools yang terdapat pada Power World Simulator yang
berfungsi untuk analisa kontingensi.

Gambar 4.2. Tools Contingency Analysis

597
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.3. Tab Contingency Analysis

4.2. Kondisi Sistem dalam Keadaan Normal

Tegangan Bus Sistem

Tinjauan aliran daya pada saat sistem normal adalah pada saat beban puncak 54,5
MW. Besarnya tegangan bus sistem pada saat tidak ada gangguan (normal) paling kecil
sebesar 19.67 kV di bus RRI dan tegangan paling besar adalah 69.72 kV di bus Tanasa.
Dengan

demikian pada saat tidak ada gangguan (normal) tegangan pada setiap bus pada sistem tidak
ada yang melewati batas tegangan operasi yang telah ditentukan. Profil tegangan bus sistem
pada keadaan normal adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Tegangan bus, sudut beban dan total losses system dalam keadaan normal

Sudut Total Losses


Tegangan Tegangan Beban
No. Nama Bus
(p.u) (kV) degre ( )
MW MVar

1 GI NII Tanasa 0.99 69.72 87.73

2 L.Meto 0.99 19.92 87.68

3 GI Puuwatu 0.98 68.81 79.73 1.3 11.3

4 RRI 0.98 19.67 78.80

5 PLTD Wua-Wua 1 20 70.11

6 PLTD Poasia 0.99 19.85 86.05

4.3. Kondisi Sistem dalam Keadaan Kontingensi Tunggal

Kontingensi tunggal adalah keadaan sistem saat terjadi gangguan pada salah satu saluran yang
mengakibatkan lepasnya satu saluran. Pada saat terjadi

gangguan akan mempengaruhi terjadinya perubahan tegangan bus.

Kontingensi 1 adalah terlepasnya saluran transmisi dari Bus Puwatu menuju Bus Tanasa.
Hasil simulasi dapat dilihat oleh table di bawah ini:

598
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 4.3. Perbandingan tegangan normal dengan kontingensi 1

Teg. Perubaha Teg.


Element Teg. Normal Total Losses
Lepas Kontingensi n Teg. Bus
Sistem thp
Saluran teg. MVa
(bus) Pu kV Pu kV kV MW
sistem r

GI Tanasa 0.99 69.72 0.96 67.14 2.58 95.96


%
L.Meto 0.99 19.92 0.96 19.18 0.74
95.9%
GI Puuwatu 0.98 68.81 0.96 67.28 1.53 1.5 14.1
96.11
3-1 RRI 0.98 19.67 0.96 19.26 0.41 %
PLTD Wua” 1 20 1 20 0 96.3%
PLTD Poasia 0.99 19.85 0.98 19.63 0.22 100%

98.15
%

Dari tabel 4.3. terlihat bahwa dengan terlepasnya saluran dari Bus Puwatu ke Bus Tanasa dari
sistem maka beberapa bus mengalami penurunan tegangan namun masih dalam batas toleransi
tegangan yang ditetapkan. Tegangan terendah untuk bus 70 kV adalah pada bus Tanasa 67.14
kV dan tegangan terendah untuk bus 20 kV adalah bus L.Meto 19.18 kV.

Perubahan sudut fasa setelah kontingensi 1 dapat dilihat pada tabel disamping

Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa pergeseran sudut terbesar pada saat kontingensi 1 yaitu
berada pada Bus Tanasa dan Bus L.Meto yakni masing-masing 10,53 Deg. Sudut pada Bus
Tanasa dalam keadaan normal 87,73 deg. namun setelah kontingensi sudut fasa naik menjadi
98,27 deg. Sudut pada Bus L.Meto 87,68 deg. namun setelah kontingensi 1sudut naik menjadi
98,21 deg, sedangkan pada bus PLTD Wua-Wua tidak ada pergeseran sudut karena bus
tersebut merupakan slack bus.

Tabel 4.4. Sudut fasa saat keadaan normal dan setelah

kontingensi 1

Sudut Setelah Pergsrn sudut


Lepas Element Sistem Sudut Normal
kontingensi

599
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Saluran (bus) Deg. Deg. Deg.

GI NII Tanasa 87.73 98.27 10.53

L.Meto 87.68 98.21 10.53

GI Puuwatu 78.80 78.99 0.19

3-1 RRI 78.29 78.46 0.17

PLTD Wua-Wua 70.11 70.11 0

PLTD Poasia

86.05 86.35 0.3

4.4. Grafik hasil kontingensi tunggal

Perubahan Tegangan

Berikut adalah grafik perbandingan nilai tegangan saat keadaan normal dengan
perubahan nilai tegangan saat keadaan kontingensi

Gambar 4.4. Perbandingan nilai tegangan normal dan saat kontingensi

Gambar diatas menunjukan perbandingan tegangan tiap Bus pada keadaan normal dengan saat
terjadi kontingensi tunggal berdasarkan lepasnya salah satu saluran. Saat kontingensi 1 yakni
pelepasan saluran dari Bus Puwatu ke Bus Tanasa terjadi penurunan tegangan pada beberapa
bus namun tidak ada bus yang tegangannya melanggar batas operasi yang ditetapkan SPLN
(+5% dan -10%) . Kontingensi 2 yakni pelepasan saluran dari Bus RRI ke Bus PLTD Poasia
terlihat bahwa beberapa Bus mengalami peningkatan tegangan seperti pada Bus Tanasa, Bus
L.Meto, Bus Puwatu dan Bus RRI. Hanya Bus PLTD Poasia yang mengalami penurunan
tegangan namun tidak ada bus yang tegangannya melewati batas operasi yang ditetapkan.

600
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Kontingensi 3 yakni pelepasan saluran dari Bus RRI ke Bus PLTD Wua-Wua terlihat bahwa
hampir semua Bus mengalami penurunan tegangan, bahkan tegangan beberapa Bus melewati
batas toleransi tegangan yang ditetapkan sehingga diidentifikasikan sebagai Bus yang lemah
yaitu Bus Tanasa, Bus L.Meto, Bus Puwatu dan Bus RRI. Kontingensi 4 yakni pelepasan
saluran dari PLTD Poasia ke PLTD Wua-wua, apabila saluran tersebut dilepas maka system
akan melakukan pemadaman total atau blackout.

Perubahan Sudut

Gambar 4.5. Perbandingan perubahan sudut saat keadaan normal dan saat kontingensi
tunggal.
Dari Gambar 4.5 Kontingensi 3 memiliki pergeseran sudut yang lebih besar dibanding
kontingensi yang lainnya. Pada Bus Tanasa 25,21 deg., Bus L.Meto 25,19 deg deg., Bus
Puwatu 23,13 deg., Bus RRI 23,31 deg. dan Bus PLTD Poasia 13,29 deg.

4.2.2.1.3. Total Losses

Grafik 4.3. Total Losses pada kondisi normal dan saat kontingensi tunggal.

601
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa total losses yang besar adalah pada saat kontingensi 3
yakni lepasnya elemen system berupa saluran dari Bus RRI ke Bus PLTD wua-wua dengan
total losses sebesar 2,3 MW dan 20,9 MVar. Besarnya total losses pada system saat
kontingensi 3 diakibatkan besarnya drop tegangan pada bus-bus yang tegangannya melawati
batas operasi yang telah ditetapkan.

4.5. Grafik Hasil Multi Kontingensi

Perubahan Tegangan

Gambar 4.5. Perbandingan nilai tegangan saat normal dan saat multi kontingensi.

Dari gambar diatas terlihat bahwa drop tegangan yang melewati batas toleransi tegangan pada
bus (+5% dan -10%) terjadi pada saat multi kontingensi 1 yakni pelepasan saluran dari bus
PLTD Poasia ke Bus PLTD Wua-Wua dan pelepasan generator Goltens#2 yakni Bus Tanasa
62.58 kV, Bus L.Meto 17.88 kV, Bus Puwatu 61.79 kV, Bus RRI 17.67 kV dan Bus PLTD
Poasia 17.34 kV.

4.2.3.1.1. Perubahan Sudut

602
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Gambar 4.6. Perbandingan perubahan sudut saat keadaan normal dan saat multi kontingensi

Dari Gambar 4.6. dapat dilihat bahwa pergeseran sudut terbesar terjadi pada keadaan
multi kontingensi 1 yakni pelepasan saluran dari bus PLTD Poasia ke Bus PLTD wua-wua
dan pelepasan generator Goltens#2. Pada Bus Tanasa 87,73 deg. menjadi 98,85 deg.
(Pergeseran sudut 11,12 deg.), Bus L.Meto 87,68 deg. menjadi 98,78 deg. (11,1 deg.), Bus
Puwatu 78,80 deg. menjadi 87,75 deg. (8,95 deg.), Bus RRI 78,29 deg. menjadi 87,11 deg.
(8,82 deg.) dan Bus PLTD Poasia 86,05 deg menjadi 107,37 deg. (21,32 deg.).

KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapatkan dari analisa kontingensi sistem tenaga listrik kota kendari
Sulawesi Tenggara menggunakan Power World 18 adalah:

1. Akibat keadaan kontingensi berpengaruh terhadap tegangan bus, meskipun tidak semua
bus mengalami perubahan.
2. Kontingensi 3 yakni terlepasnya saluran dari Bus RRI ke Bus PLTD Wua-Wua dari sistem
maka beberapa bus mengalami beberapa bus mengalami penurunan tegangan hingga
melewati batas toleransi tegangan yang ditetapkan SPLN (+5% dan -10%). Bus-bus
tersebut antara lain: Bus Tanasa 69,72 kV menjadi 62,82 kV, Bus L.Meto 19,92 kV
menjadi 17,95 kV, Bus Puwatu 68,81 kV menjadi 62,02 kV dan Bus RRI 19,67 kV
menjadi 17,73 kV. Pelepasan saluran dari PLTD Poasia ke PLTD Wua-wua (Kontingensi
4) maka system akan melakukan pemadaman total atau blackout.
3. Kontingensi 3 memiliki pergeseran sudut yang lebih besar dibanding kontingensi yang
lainnya. Pada Bus Tanasa 25,21 deg., Bus L.Meto 25,19 deg deg., Bus Puwatu 23,13 deg.,
Bus RRI 23,31 deg. dan Bus PLTD Poasia 13,29 deg.

603
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Paul M. 1978. Analysis of faulted power system. Iowa: The Iowa State University
Press.

Brown, Ryan. (ed). 2004. Reliability Enhancement of The Avista Electric Power System.
Gonzaga University, Spokane.

Cekmas Cekdin. 2004. Teori dan contoh soal teknik elektro menggunakan bahasa
pemrograman MATLAB. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Harun, Nadjamuddin. 2010. Analisis Sekuriti Sistem Tenaga Listrik Pada Kondisi Terbatas
(Kasus Sistem Sulawesi Selatan). Jurnal media elektrik. Vol. 5, No.1. Makassar:
Jurusan Teknik Elektro. FT. UNHAS.

Marsudi, Djiteng.2006. Operasi Sistem Tenaga Listrik.Yogyakarta: Graha Ilmu

Syamsurijal.2008. Aplikasi Power World Simulator Pada Analisis Kontingensi Sistem Tenaga
Listrik. Jurnal media elektrik. Vol. 3, No. 2. Hal.105-114. Makassar: Jurusan Teknik
Elektro. FT. UNM

Tambi. (2012), “Analisis StabilitasTransien Sistem Tenaga Listrik Berdasarkan Critical


Clearing Time (CCT),” Volume 3 No: 1 November 2011, Dinamika ISSN:2085-8817,
Unhalu Kendar

604
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Yeu, Rodney. 2005. Post-Contingency Equilibrium Analysis. IEEE Toronto Centennial


Forum on Reliable Power Grids in Canada.

605
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PENERAPAN MODEL INTERLOCK DALAM PENGEMBANGAN PEMBUATAN


BATAKO DI KOTA PALU
Andi Jiba Rifai1, Rifai2, Akraman3.
1
Fakultas Teknik, Universitas Tadulako

Abstract
Usaha mikro pembuatan batako banyak berkembang dan tersebar di 8 kecamatan di Kota Palu. seiring
dengan peningkatan permintaan pasar sebagai akibat dari pembangunan yang semakin meningkat di kota palu
saat ini. Batako merupakan salah satu bahan bangunan yang terkenal lebih ekonomis dan mudah dibuat dengan
bahan mudah didapatkan dibandingkan dengan batu bata. Namun kekuatan struktur batako yang dijual di
pasaran masih jauh dibawah batu bata. Karena isyu ekonomis, maka perbandingan campuran semen dan pasir
pada batako lebih besar dari ketentuan dan desain batako tersebut belum mempertimbangkan kemampuan
bahan terhadap getaran gempa bumi terhadap struktur, Kota Palu merupakan kota yang rawan terhadap
gempa. Terdapat 2 patahan besar dan tiga patahan kecil yang menyambung bagian selatan dan utara pulau
Sulawesi. Hal tersebut menyebabkan aktifitas lapisan bumi pada patahan ini cenderung aktif yang
mengakibatkan frekuensi terjadinya gempa bumi tergolong tinggidi kota Palu. Untuk mengantisipasi kerusakan
berat pada dinding bangunan yang menggunakan batako, maka kualitas batako harus ditingkatkan tanpa
menghilangkan isyu ekonomis dari produk tersebut. Batako interlock dapat digunakan menjadi solusi dari
permasalahan ini. Beberapa keunggulan dalam penggunaan batako interlock adalah menghilangkan
penggunaan semen sebagai perekat batako. Selain itu desain batako ini bersifat saling mengait dan mengunci
sehingga dinding menjadi lebih solid dan memiliki perilaku yang homogen sehingga reaksi terhadap gaya geser
menyerupai perilaku gaya saat terjadi gempa. Dengan demikian mutu dan kekuatan batako dapat ditingkatkan.

Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membina dan mendampingi UKM mitra dalam
mengembangkan produk batako yang mereka produksi menjadi produk batako interlock yang memiliki mutu
yang sesuai dengan standar namun tetap ekonomis. Adapun target khusus yang ingin dicapai adalah penerapan
teknologi interlock pada batako yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan mutu batako sekaligus
meningkatkan kuantitas penjualan dan memperluas pasar batako bukan hanya untuk produksi bangunan bagi
kalangan ekonomi menengah ke bawah, melainkan untuk produksi bangunan menengah ke atas. Untuk
mencapai tujuan pengabdian dan mencapai target yang telah ditetapkan, terdapat beberapa metode yang akan
digunakan yaitu: penyuluhan/ceramah mengenai teknologi batako interlock serta bagaimana menghasilkan
batako interlock yang memiliki mutu yang sesuai dengan standar. Peragaan model dengan menggunakan
sampel batako, kemudian dilanjutkan dengan pembinaan/pendampingan dalam pembuatan produk batako
interlock dan kemungkinan pengembangannya menjadi berbagai bentuk. Promosi produk yang dihasilkan
ditempuh dengan cara pengembangan katalog produk dalam bentuk brosur.

Keywords: Bahan bangunan, Batako Interlock, Ekonomis

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pembangunan kota palu yang cukup pesat dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir, utamanya sektor perumahan massal.Perkembangan tersebut mengakibatkan
peningkatan permintaan berupa bahan-bahan bangunan, seiring dengan fenomena tersebut,
sektor usaha mikro yang bergerak di bidang pengolahan batako ikut menjamur di 8
kecamatan di Kota Palu. Berdasarkan survey awal, diketahui pada setiap kecamatan
memiliki setidaknya 15-20 usaha mikro yang bergerak di bidang ini. Usaha produksi batako

606
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

dilakukan di tempat berupa bengkel kerja / workshop baik yang lengkap maupun pada
workshop yang hanya memiliki peralatan minimal.

Berdasarkan karakteristik kota Palu yang sering mengalami gempa, sebaiknya dalam
perencanaan dan perancangan rumah tinggal maupun bangunan lainnya perlu
memperhatikan struktur (baik kekuatan maupun berat) pada bangunan agar kuat dan tahan
terhadap gempa. Batako merupakan salah satu material yang digunakan untuk dinding
bangunan dimana dinding memilik beberapa fungsi diantaranya: pemikul beban diatasnya,
pembatas ruang, dan pelindung terhadap gangguan dari luar. Seebagai pemikul beban
dinding harus mampu bertahan terhadap beban sendiri, beban vertikal maupun horizontal
(Tanggoro dkk, 2004:23).

Menjawab kekurangan dari batako yang ada di pasaran, telah di temukan inovasi bata
sistem interlock dengan berbagai varian-variannya. Berbeda dengan batako biasa, dinding
yang menggunakan batako interlock bersifat lebih homogen karena sistem sambungan yang
saling mengait dan mengunci satu sama lainnya sehingga pada saat terjadi gempa / gaya
geser, perilaku batako akan bekerja secara bersamaan pada bidang dinding sehingga bersifat
lebih solid dan rigid. Di beberapa negara maju seperti Amerika dan Kanada sudah banyak
diperkenalkan material dinding yang terbuat dari batako interlock. Sementara di Indonesia
terdapat beberapa produk batako interlock, diantaranya durablock yang didesain
menggunakan sedikit mortar, dan kiblock yang di desain tidak menggunakan mortar.
Beberapa mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengembangkan jenis
batako interlock yang dikenal dengan H-Brick. Batako interlock ini dirancang agar mampu
menahan gaya gempa dari dua arah, tegak lurus dinding dan sejajar dinding terdiri dari tiga
lapis yang saling overlap. Desain batako interlock yang telah dikembangkan sebelumnya
oleh mahasiswa UNS dapat diterapkan pada produk batako mitra sasaran sebagai tambahan
inovasi terhadap produk yang dihasilkan, sehingga produk yang dihasilkan lebih ekonomis
dan dapat mereduksi efek gempa pada dinding bangunan.

B. Permasalahan Mitra
Pengembangan batako interlock sebagai usulan inovasi bagi UKM mitra diharapkan
dapat meningkatkan penjualan produksi batako dan selaras dengan itu, produksi batako
dengan inovasi desain sistem interlock dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan dan
tenaga kerja hingga kedua faktor tersebut dapat meningkatkan pendapatan perekonomian
mitra. Permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan pengetahuan dan teknologi
pengolahan produk yang memiliki inovasi batako interlock, adalah alat-alat yang digunakan
masih konvensional (batako standar) sangat sederhana. Masalah yang lain juga keterbatasan

607
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

modal produksi baik secara finansial dalam pengadaan alat pencetak batako maupun tenaga
yang memiliki skill yang mencukupi dalam produksi batako tersebut.

1. Bagaimana cara mengolah produk batako interlock dan desain cetakan batako interlock
tersebut sehingga memiliki nilai yang ekonomis namun tetap berkualitas dan dapat di
produksi secara missal.
2. Bagaimana meningkatkan pangsa pasar dalam bentuk promosi pada masyarakat dengan
menyediakan katalog / brosur produk.
3. Bagaimana meningkatkan pangsa pasar dalam bentuk promosi pada masyarakat dengan
menyediakan katalog / brosur produk.

C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam program pengabdian ini adalah untuk membina dan
mendampingi UKM mitra dalam mengembangkan produk batako yang mereka produksi
menjadi produk batako interlock yang memiliki mutu yang sesuai dengan standar namun tetap
ekonomis. Adapun target khusus yang ingin dicapai dalam kegiatan pengabdian ini adalah
penerapan teknologi interlock pada batako yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan mutu
batako sekaligu meningkatkan kuantitas penjualan dan memperluas pasar batako bukan hanya
untuk produksi bangunan bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, melainkan untuk
produksi bangunan menengah ke atas. Kelebihan dari batako ini adalah durablock yang
didesain menggunakan sedikit mortar dan kiblock yang dapat didesain tidak menggunakan
mortar. Kebanyakan sistem interlock untuk menahan gaya yang tegak lurus dengan dinding.
Hanya sedikit yang dirancang untuk mampu menahan gaya gempa dari dua arah, yaitu gaya
tegak lurus dinding dan sejajar dengan dinding.

KAJIAN LITERATUR
A. Dinding Batako Interlocking
Pada struktur bangunan tahan gempa, kekakuan bangunan untuk menahan gaya gempa
diperoleh dari sambungan balok-kolom yang baik serta dinding yang kaku. Selama ini batl!
bala ataupun batako hanya difungsikan sebagai pengisi rongga struktur dan sekat antar ruang.
Optimalisasi fungsi dinding sebagai penahan gaya gempa hanya diterapkan pada bangunan
tinggi (high rise building) dalam bentuk dinding geser (shearvvall maupun core wall) dengan
perhitungan yang rumit dan biaya yang mahal. Oleh karena itu, untuk bangunan rumah
tinggal, penerapan dinding geser tidak mungkin dilakukan (Pembuatan Bata Interlocking
Untuk MendukungPembangunan Rumah Sederhana Tahan Gempa, 2010).

608
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Di beberapa negara sudah banyak diperkenalkan material dinding yang diklaim dapal
menahan gaya gempa yang sering disebut dengan interlock bluck. Interlock blocktelah
dikembangkan dan banyak digunakan di luar negeri. Di Amerika dan Kanada dikenal
beberapa jenis interlock block. diantaranya CMUs, Haener Block yang dirancang sebagai
mortarless interlock block. Kemudian Verot Oaks Building Blocks, Inc. (VOBB), interlock
block bebebentuk segi empat berukuran enam kali enam inchi yang disusun membentuk grid
(Pembuatan Bata Interlocking Untuk MendukungPembangunan Rumah Sederhana Tahan
Gempa).
Kunci untuk menciptakan bangunan yang kaku terletak pada detail sambungan
balokkolom dan dinding. Balok dan kolom pada struktur bangunan berfungsi sebagai penahan
beban gravitasi untuk disalurkan ke tanah. Dinding difungsikan sebagai penahan gaya
horisontal baik gaya akibat angin maupun gempa. Untuk itu pada struktur bangunan tahan
gempa, dinding tidak diperbolehkan mengalami perubahan bentuk. Apabila dinding tidak
mampu menahan gaya lateral, maka akan terjadi pergeseran yang akan mengakibatkan
gangguan pada balok maupun kolom. Gangguan ini kemudian bisa berakibat pada kegagalan
struktur jika balok maupun kolom pada bangunan berkualitas jelek. Bata kait(Interlock block)
adalah material untuk mengunci pergerakan akibat penyusun gaya.dindinginterlockyang
blockmempunyal merupakanpengembangan dari batako dengan menambahkan lips pada sisi-
sisi tertentu sebagai pengunci (Majalah Techno Konstruksi edisi Maret 2010).

B. Interlock block di Indonesia


Di Indonesia, interlock block atau bata interlocking ini belum popular, hanya industri
besar seperti DURABLOCK yang membuat prod uk tersebut. Hal ini disebabkan karena biaya
investasi yang besar dan segmen pasar yang masih keci!. Untuk itu perlunya Pemerintah ikut
mendukung usaha kecil dan menengah untuk dapat memproduksi, memasarkan dan
mempopulerkan produk bat a interlocking. Bila Bata Interlocking ini sudah populer
diharapkan mampu mengurangi kerusakan lingkungan akibat produksi batu bata tradisional
dan masyarakat dapat membuat rumah tahan gempa dengan harga yang terjangkau.

609
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sosialisasi, penyuluhan, pelatihan, dan
pendampingan yang disesuaikan dengan jenis kegiatan pengabdian Ipteks bagi masyarakat,
maka tahapan kerja yang dilakukankan adalah :
1. Pembuatan model awal
2. Penentuan Model ideal
3. Sosialisasi model batako interlock yang disepakati
4. Persiapan Produksi dan Pemasaran

Batako interlock telah dikenal di beberapa daerah di Indonesia, namun belum


familiar bagi para pengrajin batako di kota Palu. Dengan demikian rencana kegiatan
pengabdian yang akan dilakukan secara garis besar berupa pembinaan dan pelatihan
terhadap mitra dalam meningkatkan inovasi bagi produk batako interlock. Adapun
prosedur kerja yang akan dilakukan mengikuti pola sebagai berikut:
A. Penyuluhan / Ceramah

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini yakni pengenalan produk batako interlock
yang telah diterapkan di beberapa daerah dan Negara dengan mengadakan ceramah
dan dialog langsung kepada para pengrajin batako baik pada level pimpinan hingga
pekerja kasar.
B. PeragaandanVisualisasi
Peragaan dan Visualisasi dalam kegiatan pengabdian Ipteks bagi masyarakat yaitu:

 Pembuatan alternatif model dan penentuan model ideal terpilih.


Mitra diajak untuk membuat beberapa alternatif model dari Batako interlock. Setelah itu
semua batako interlock yang dihasilkan di uji di Laboratorium Struktur Fakultas Teknik
Universitas Tadulako. Model yang paling ideal akan dijadikan sampel produk yang akan
diproduksi mitra secara massal.

 Tahap Peragaan Sambungan batako Interlock


Pada tahap ini diproduksi sample dari batako interlock yang terpilih sebanyak 50-100 buah.
kemudian memperagakan cara/teknik menyambung batako interlock menjadi sebuah dinding,
sehingga mitra dapat menjelaskan kepada para konsumen cara penyambungan batako tanpa
menggunakan mortar.

C. Tahapan Akhir Promosi Produk.

610
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sampel dinding yang telah dibuat pada tahap sebelumnya dipajang pada lokasi mitra mitra
sebagai contoh kepada konsumen. Selain itu dibuat pula desain katalog yangdan dibuatkan
brosur untuk promosi berisi model-model batako yang diproduksi, data teknis dan penerapan
batako interlock.

Setelah keseluruhan prosedur selesai dilaksanakan dan produk batako interlock telah
selesai dikerjakan sesuai dengan kesepakatan dan target waktu yang telah disepakati, maka
selesailah program pengabdian yang dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


pengabdian ini telah mencapai pada tahapan/langkah ke 3 (tiga), yakni tahapan
sosialisasi, tahapan peragaan dan penyuluhan, dan tahapan praktek dan penyuluhan
menggunakan metode pendampingan.

1. Tahapan Sosialisasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini yakni sosialisasi dengan mengadakan dialog
atau perkenalan langsung kepada pada pengrajin / mitra batako sasaran.

Gambar 1. Pemasangan Spanduk kegiatan

Gambar 2. Sosialisasi kegiatan pada mitra

2. Tahapan Peragaan dan penyuluhan.

611
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Setelah melalui tahapan sosialisasi, dilanjutkan dengan pemberian pengetahuan dan


wawasan tentang prodak batako Ringan yang menambahkan penggunaan material buangan
seperti tongko jagung, maka pada tahapan ini dijelaskan tentang cara atau teknik pengerjaan
dan pemasangan sesuai dengan gambar yang telah diberikan serta membuat alat peraga
berupa sampel batako ringan, agar dapat dengan mudah memahami sekaligus
mempraktekkannya.

Gambar 2. Praktek PembuatanBatako Interlock.

3. Tahapan Praktek Pembuatan


Pada tahapan ini pengrajin binaan mengerjakan prodak, mula-mula menyediakan material
batako (pasir, semen, tongkol jagung, Agregat foam egent), kemudian di aduk mengunakan
alat pengaduk, selanjutnya cetak/dibentuk, dan dikeringkan dengan cara disusun dalam
jumlah tertentu agar dapat menghemat tempat dan aman

612
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

4. Tahapan Pendampingan
Pada tahapan ini pengrajin dan tim melakukan uji coba pemasangan batako pada dinding
bangunan dengan mengunakan dua teknik yang berbeda. Teknik pertama mengunakan teknik
mengunakan campuran seperti pada sistem pemasangan batako pada umumnya, teknik kedua
adalah sistem pemasangan batako pada dinding bangunan yang menggunakan teknik
penguncian atau interlock, dimana dapat mengasilkan dinding yang lebih kompak dan
ekonomis dari segi biaya, walaupun memiliki teknik pemasangan yang lebih rumit.

4. KESIMPULAN
Diharapkan dari kegiatan ini dapat memberi dampak positif pada pemilik UKMUKM,
seperti peningkatan mutu prodak, memproduksi batako yang lebi bervariasi, peningkatan
pemasaran, dan kuantitas produk dengan cara sebagai berikut :

1. Program IbM, akan dapat memberikan nuansa baru pada mitra dalam hal memproduksi
batako jenis baru yaitu batako interlock di kota Palu, diharapakan dapat berdampak pada
meningkatnya permintaan pasar.
2. Hasil program IbM ini diharapkan akan memberikan nilai tambah berupa pengetahuan
baru bagi masyarakat kota Palu dalam hal pembuatan prodak batako interlock yang
menghasilakn dinding yang lebih kompak sehingga dapat mengasilkan dinding yang lebuh
kuat, mengurangi retakan pada dinding dan lebih tahan terhadap getaran tanah atau gempa
dibanding batako pada umumnya.

613
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

REFERENSI
__________“Inovasi dan Rekayasa Teknologi Sanitasi” Materi Dasar Pelatihan Tepat

Guna Kesehatan, Lingkungan

http://bapelkescikarang.or.id.bapelkescikarang/ images/stories/KurmodTTG/materidasar/md-
2modulinovasirekayasateknologi. pdf(Diakses tanggal 3/11/2012)

Laporan Kegiatan Program Insentif Krt Tahun 2010. (Pembuatan Bata Interlocking Untuk
Mendukung Pembangunan Rumah Sederhana Tahan Gempa) (KP 76)

Manullang, 1991. “Pengantar Ekonomi Perusahaan”. Edisi Keenam, Yogyakarta : Penerbit


BKLM.

Pengembangan H-Brick Sebagai Smart Material Dalam Sistem Bangunan


Tahan Gempa(Tulisan ini dimuat dalam Majalah Techno Konstruksi edisi MAret
2010).https://sipil2006.wordpress.com/2010/03/22/pengembangan-h-brick-sebagai-smart-
material-dalam-sistem-bangunan-tahan-gempa/.

614
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

ANALISIS SETTING RELAY PENGAMAN ARUS LEBIH PADA SISTEM


TERISOLASI PLTD LANGARA IWAWO

Doni Irifan, Hasmina Tari Mokui, St.Nawal Jaya


Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Halu Oleo
Jl. H.E.A Mokodompit, Kendari 93232
E-mail: doni.irifan@gmail.com

Abstrak
Relay arus lebih merupakan peralatan yang berfungsi untuk melindungi peralatan utama pada sistem
tenaga listrik seperti transformator, generator, dan mesin. Penelitian ini menyajikan analisis terhadap setting
relay proteksi arus lebih pada sistem terisolasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Langara, Pulau
Wawonii, agar dapat bekerja dengan baik. Sistem proteksi PLTD langara saat ini belum memenuhi standard
proteksi IEEE, dimana setting operasi relay penyulang dan relay generator tidak dapat berkoordinasi dengan
baik serta waktu pemutusan masih terlalu lama. Dua syarat utama yang harus dipenuhi dalam setting relay
proteksi adalah sensitifitas dan selektifitas. Dengan setting arus pick up relay arus lebih (Over Current Relay)
sebesar 1,1 kali arus nominal peralatan dan setting interval waktu kerja antara relay penyulang dan relay
generator lebih besar dari 0,3 detik, maka sensitifitas dan selektifitas relay proteksi saat terjadi gangguan
hubung singkat dapat berfungsi secara optimal, sehingga dapat meningkatkan keandalan sistem dan
meminimalisir dampak kerusakan peralatan yang diakibatkan oleh gangguan arus lebih.

Kata Kunci— Gangguan, Proteksi, Relay Arus Lebih, Sensitifitas, Selektifitas.

PENDAHULUAN

Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan daerah pemekaran baru di


Provinsi Sulawesi Tenggara yang disahkah dengan Undang Undang No.13 Tahun 2013.
Sebagai daerah pemekaran baru dimana perkembangan insfrastruktur dan sosial masyarakat
kian cepat, maka kebutuhan tenaga listrik pun juga ikut meningkat dan kontinuitas pelayanan
listrik menjadi hal yang sangat penting.
Dalam pelaksanaan operasi sistem ketenagalistrikan di Wawonii, tidak lepas dari gangguan
yang sewaktu - waktu terjadi pada sistem, gangguan –gangguan ini bisa disebabkan faktor
internal maupun faktor eksternal.
Salah satu jenis gangguan yang kerap terjadi pada sistem kelistrikan adalah gangguan arus
lebih, gangguan ini terjadi apabila arus pada sistem melebihi arus nominal atau arus rating
dari peralatan listrik seperti mesin, trafo maupun kabel/kawat penghantar.
Dalam sistem distribusi saluran udara, gangguan arus lebih biasa disebabkan oleh pohon
tumbang, kontak langsung antara konduktor dengan pohon atau ranting saat angin kencang

615
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

atau hujan, dan terkadang pula gangguan terjadi karena kegagalan isolasi seperti isolator
retak/pecah. Beberapa jenis gangguan arus lebih dan perkiraan persentase kemunculannya
adalah
sebagai berikut[1]:
- Gangguan 1 fasa ke tanah : 80% - 70%

- Gangguan 2 fasa ke tanah : 17% - 10%


- Gangguan fasa ke fasa : 10% - 8%
- Gangguan 3 fasa : 3% - 2%

Pada Sistem Wawonii yang merupakan sistem kelistrikan terisolasi yang melayani
kebutuhan energi listrik untuk Pulau Wawonii, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
Langara merupakan satu-satunya pemasok listrik pada sistem tersebut.
Dengan kondisi geografis yang sebagian besar masih berupa hutan dan perkebunan,
gangguan listrik yang diakibatkan pohon tumbang & ranting yang mengenai Jaringan
Tegangan Menengah (JTM) merupakan salah satu penyebab utama kerusakan peralatan listrik
PLTD seperti Mesin, Generator, dan Trafo. Kerusakan-kerusakan peralatan yang disebabkan
oleh gangguan arus lebih akan semakin parah apabila sistem proteksi tidak bekerja dengan
baik.
Untuk itu diperlukan sistem proteksi yang optimal guna meminimalisir kerusakan peralatan
tersebut. Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan sistem proteksi arus lebih adalah
penyetelan atau setting pada peralatan yang proteksi arus lebih yang berupa relay arus
lebih/Over Current Relay (OCR).

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)


Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) adalah pembangkit listrik yang menggunakan
mesin diesel sebagai penggerak pemula (Prime Mover). Prime mover merupakan alat yang
mempunyai fungsi menghasilkan energi mekanis yang diperlukan untuk memutar generator.
PLTD merupakan suatu instalasi pembangkit listrik yang terdiri dari Satuan Pembangkit
Diesel (SPD) dan sarana pembangkitan. Mesin Diesel adalah penggerak utama untuk
mendapatkan energi listrik yang kemudian dikeluarkan oleh Generator[2].

2.2 Relay Proteksi


Relay proteksi[3] adalah sebuah peralatan yang dirancang untuk mendeteksi bila terjadi
gangguan atau sistem tenaga listrik tidak normal. Relay proteksi dalam fungsinya sebagai

616
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

pengaman memiliki syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Kepekaan (sensitivity)
2. Keandalan (reliability)
3. Selektifitas (selectivity)
4. Kecepatan kerja (Speed Of Operation)
5. Sederhana (Simplicity)
6. Ekonomis (Economical)

2.3 Perhitungan Arus Hubung Singkat

Dalam perhitungan arus hubung singkat harus terlebih dahulu diketahui nilai impedansi
total pada sistem tersebut.

Beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan impedansi gangguan antara
lain[4]:

1. Menghitung Impedansi Sumber


Impedansi sumber dapat dihitung menggunakan rumus:

Dimana :

Zs : Impedansi sumber

VLL : Tegangan Nominal Fasa-Fasa (kV)

SSC : Daya Short Circuit Sistem (MVA)

XG : Reaktansi Sumber

Besar reaktansi generator dapat dilihat pada Name Plate atau buku referensi dari
manufaktur.

2. Menghitung Impedansi Pada Transformator Tenaga


Untuk menghitung besar impedansi trafo, dapat menggunakan rumus :

Z1T = Z2T = . XT

Dimana :

Z1T : Impedansi urutan positif transformator (Ω)

617
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Z2T : Impedansi urutan negatif transformator (Ω)

XT : Reaktansi Trafo (%)

VT : Tegangan nominal fasa-fasa

ST : Daya Trafo (MVA)

Untuk impedansi urutan nol (Z0T) perlu diperhatikan ada tidaknya belitan delta dengan
syarat sebagai berikut :

- Jika kapasitas Δ sama dengan kapasitas Y, maka berlaku nilai Z0T = Z1T
- Jika pada transformator mempunyai hubungan Y-∆ maka terdapat belitan ∆ dengan
kapasitas 3x kapasitas primer (sekunder), sehingga Z0T = 3 x Z1T
- Jika pada transformator mempunyai hubungan Y-Y tanpa belitan ∆ didalamnya
sehingga Z0T = 10 x Z1T

3. Menghitung impedansi penyulang (feeder)


Secara umum impedansi penyulang (ZL)pada penyulang dapat dihitung dengan rumus :

ZL = Panjang saluran x Z per km

Data impedansi biasanya terdapat juga di buku referensi dari vendor atau pabrikan kawat
penghantar.

a) Gangguan Hubung Singkat 3 Fasa/Simetris

Arus hubung singkat 3 fasa dapat dihitung dengan rumus:

Isc3 =

Dimana :

VLN : Tegangan Fasa – Netral

Z1 : Impedansi urutan positif ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

b) GangguanHubung Singkat 2 Fasa

Arus hubung singkat 2 fasa dapat dihitung dengan rumus:

Isc2 =

Dimana :

VLL : Tegangan Fasa – Fasa

618
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Z1 : Impedansi urutan positif ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

Z2 : Impedansi urutan negatif ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

c) Gangguan Hubung Singkat 1 Fasa – Tanah

Arus hubung singkat 1 fasa ke tanah dapat dihitung dengan rumus:

Isc1 =

Dimana :

VLN : Tegangan Fasa – Netral

Z1 : Impedansi urutan positif ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

Z2 : Impedansi urutan negatif ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

Z0 : Impedansi urutan nol ekivalen dari sumber sampai titik gangguan

2.4 Proteksi Arus Lebih

Gangguan yang diamankan oleh proteksi arus lebih dapat dibedakan menjadi 2, yaitu[5]:

a. Gangguan Beban Lebih (Overload)

b. Gangguan hubung singkat antar fasa dan fasa ke tanah

Berdasarkan Standard IEC 60225 karakteristik kerja arus – waktu relay arus lebih dibagi
atas beberapa jenis, yaitu :

a) Relay Arus Lebih Seketika ( Moment, Instant )


Karakteristik relay ini bekerja tanpa adanya penundaan waktu. Jangka waktu mulai relay
pick up sampai kerja relay sangat singkat ( 20 ms – 50 ms ).

b) Relay Arus Lebih Waktu tertentu ( Definit Time )


Karakteristik relay ini bekerja dengan settingan waktu. Jangka waktu mulai relay pick up
sampai kerja relay diperpanjang dengan harga tertentu tidak tergantung besarnya arus

c) Relay Arus Lebih Waktu Terbalik ( Inverse Time )


Karakteristik relay ini bekerja berkebalikan dengan waktu. Jangka waktu mulai relay pick
up sampai kerja relay berbanding terbalik dengan besarnya arus yang mengerjakannya.
Karakteristik relay inverse dibedakan menjadi 3 jenis yaitu Standard Inverse (SI), Very
Inverse (VI) dan Extremly inverse (EI).

2.4.1 Setting Relay Arus Lebih (OCR)

619
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ada 2 parameter yang digunakan pada setting untuk kerja sebuah relay, yaitu setting arus
yang nilainya didasarkan pada jenis gangguan dan peralatan yang diamankan dan setting
waktu yang merupakan parameter penting dalam koordinasi antar relay[6].

a) Setting Arus
Seperti diketahui bahwa relay arus lebih digunakan untuk mengamankan peralatan dari
gangguan arus lebih antara lain yang disebabkan oleh beban lebih (overload) atau arus
hubung singkat baik fasa ketanah maupun antar fasa.

Oleh karena itu arus kerja dari relay/arus pick up (Ipp) harus memenuhi beberapa
persyaratan sesuai jenis gangguannya. Untuk gangguan beban lebih nilai arus pick up berkisar
antara 110% - 120% dari arus nominal peralatan. Sedangkan untuk gangguan antar fasa atau
simetri yang menjadi parameter setting adalah arus beban penuh dan arus hubung singkat
minimum dimana arus pick up harus memenuhi syarat :

Ifl < Ipp < Ihs,min

Dimana :

Ifl : Arus beban penuh (full load)

Ipp : Arus pick up sisi primer CT

Ihs,min : Arus hubung singkat 2 minimum

Batas setting minimum setting relay dinyatakan:

Dimana:

Iset : Setting arus

Kfk : Faktor keamanan, mempunyai nilai antara 1,1 – 1,2

Kd : Faktor arus kembaIi, Id antara 0,7 - 0,9 untuk relay

Definite, IP=1,0 untuk relay inverse

Imaks : Arus maksimum yang di ijinkan, dimana pada

umumnya diambil nilai arus nominal peralatan.

620
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Batas maksimum setting arus pick up didasarkan pada bahwa setting ini harus dapat
mengamankan gangguan arus minimum pada sisi hilir. Dinyatakan dengan persamaan :

Dimana :

Iset : Setting arus

Ihs,min : Arus hubung singkat minimum.

Ks : Faktor sensitifitas

Berdasarkan parameter – parameter diatas, Ipp digunakan untuk setting high-set dan low-set
OCR yang secara umum biasanya diambil :

1,25 In < Ipp < 0,8 Ihs,min

Dimana :

In : Arus Nominal

Ipp : Arus pick up primer

Ihs,min : Arus hubung singkat minimum.

b) Setting Waktu
Untuk mendapatkan pengamanan yang selektif, maka setting waktunya dibuat secara
bertingkat. Selain hal itu persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah bahwa pengamanan
sistem secara keseluruhan harus bekerja secepat mungkin, akan tetapi masih seIektif.

Yang juga perlu diketahui adalah waktu operasi dari rangkaian pengaman, yaitu waktu
yang diperlukan untuk relay mulai pick-up sampai kontak PMT terbuka. Berdasar IEEE 242 :

Waktu terbuka Circuit beaker : 0,04 – 0,1 detik (2-5 Cycle)

Overtravel dari relay : 0,1 detik

Faktor Keamanan : 0,12 – 0,22 detik

Untuk relay static dan relay digital berbasis microprosesor overtravel time dari relay dapat
diabaikan. Sehingga total waktu = 0,2 - 0,4 detik. Interval waktu ini sangat berguna untuk
digunakan sebagai pertimbangan dalam koordinasi waktu antar relay.

621
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

III. METODOLOGI PENELITIAN


Proses pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah pengumpulan data – data primer
yang dibutuhkan, data ini diperoleh dari pengamatan langsung di PLTD maupun studi literatur
terhadap dokumen teknis peralatan.
Selanjutnya adalah analisa dan perhitungan terhadap data-data primer yang diperoleh untuk
mendapatkan data-data sekunder seperti nilai arus nominal peralatan dan nilai arus gangguan
hubung singkat sistem.
Setelah data primer dan data sekunder didapat, selanjutnya dilakukan analisa lebih lanjut
untuk menentukan nilai setting arus lebih dan koordinasi relay arus lebih (OCR).
Setelah nilai setting dan koordinasi didapat, selanjutnya dilakukan simulasi terhadap
setting dan koordinasi tersebut apakah sudah sesuai dan memenuhi persyaratan sistem
proteksi yang baik seperti, sensitifitas dan selektifitas sesuai standard baku seperti IEEE atau
IEC.
IV. PEMBAHASAN

PLTD Langara merupakan Pembangkit listrik yang berada di Pulau Wawonii, Kabupaten
Konawe Kepulauan, dan satu-satunya pembangkit yang menyuplai kebutuhan listrik di pulau
tersebut. Sistem ini memiliki 2 penyulang jaringan tegangan menengah , yaitu Penyulang
Timur sepanjang 70 kms untuk men-supply kebutuhan listrik dibagian utara, timur laut, dan
timur Pulau Wawonii. Sedangkan untuk Wawoni bagian barat dan tengah di supply oleh
Penyulang Lampeapi sepanjang 18 kms.
Untuk memenuhi kebutuhan daya listrik, pada PLTD Langara terdapat 8 Satuan
Pembangkit Diesel (SPD), dengan rincian 6 buah SPD kapasitas 100 kW, 1 buah SPD 250
kW serta 1 buah SPD 500 kW.

Gambar 4.1 Single Line Diagram PLTD Langara

622
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 4.1

Data Satuan Pembangkit Diesel (PT.PLN Persero KP Wawonii)

Tabel 4.2

Data Trafo Step Up Unit PLTD Langara (PT.PLN Persero KP Wawonii)

Tabel 4.3

Data Parameter Jaringan Tegangan Menengah (SPLN 64:1985)

4.1 Perhitungan Arus Nominal


Untuk menghitung arus nominal pada peralatan sistem 3 fasa digunakan rumus:

(4.1)

Dimana :

In : Arus Nominal (A)

Sn : Daya (VA)

Vn : Tegangan Kerja Fasa-fasa (V)

Dari data – data peralatan yang terdapat pada sub bab sebelumnya, maka hasil perhitungan
arus nominalnya di dapatkan seperti tabel dibawah ini berikut nilai rasio CT yang terpasang di
masing-masing peralatan:

623
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 4.4

Arus Nominal Peralatan dan Data CT Terpasang

4.2 Perhitungan Arus Hubung Singkat Minimum


Perhitungan arus hubung singkat minimum sangat penting dalam analisis proteksi karena
arus minimum merupakan batas atas (maksimal) dari setting pick up relay yang di ijinkan.
Dalam perhitungan arus hubung singkat minimum beberapa hal harus diperhitungkan antara
lain :

a. Perhitungan menggunakan jenis gangguan fasa-fasa.


b. Lokasi gangguan berada di titik paling unjung dari jaringan.
c. Perhitungan dilakukan pada konfigurasi sumber (pembangkit) minimum.

4.2.1 Penyulang Timur


Untuk men-supply penyulang timur yang menggunakan Trafo 1 berkapasitas 630 kVA ,
minimal harus digunakan 5 buah SPD dengan daya masing-masing 100 kW (125 kVA),
berikut adalah konfigurasi pembangkitan minimum penyulang timur.

Gambar 4.2 Konfigurasi Pembangkitan Minimum Penyulang Timur

1. Menghitung Impedansi Generator (Sumber)

624
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Stotal = 5 x 125 kVA = 625 kVA


Vnominal = 380 V.

Dengan memparalel ke 5 generator, diperoleh rektansi ekivalen sebagai berikut:

X’d,eq = 12,18% , X2,eq = 8,72%, X0,eq = 0,7%

Nilai impedansi sumber dapat dihitung dengan rumus:

(4.2)

(4.3)

(4.4)

2. Menghitung Impedansi Trafo 1

S = 630 kVA
Vnominal = 380 V
XT = 4%

Nilai Impedansi trafo dapat dihitung dengan rumus:

(4.5)

Z2T = Z1T = j 0,0092 Ω (4.6)

Z0T = Z1T + 3ZNetral (4.7)

Karena pentanahan netral trafo adalah solid grounding maka ZNetral = 0, sehingga:

Z0T = Z1T = j 0,0092 Ω

3.Menghitung Impedansi Jaringan Tegangan Menengah (JTM)

Untuk menghitung nilai impedansi jaringan digunakan rumus:

Z1L = ( )2 x Panjang Saluran x Z1/km (4.8)

= 0,023 + j 0,010 Ω

Z2L = Z1L (4.9)

625
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= 0,023 + j 0,010 Ω

Z0L = ( )2 x Panjang Saluran x Z0/km (4.10)

= 0,027 + j 0,042 Ω

Setelah semua parameter impedansi diketahui, selanjutnya untuk menghitung besar


arus gangguan minimum digunakan rumus:

a. Gangguan 3 fasa / Simetris

Isc3 = (4.15)

≈ 4.150 A

b. Gangguan 2 fasa

Isc2 = (4.16)

≈ 3.875 A

c. Gangguan 1 fasa - tanah

Isc1 = (4.17)

≈ 4.205 A

4.2.2 Penyulang Lampeapi

Sedangkan untuk men-supply penyulang Lampeapi yang menggunakan trafo 1


berkapasitas 400 kVA , minimal harus digunakan 4 buah SPD dengan daya masing-masing
100 kW (125 kVA), berikut adalah konfigurasi pembangkitan minimum penyulang Lampeapi.

Gambar 4.3 Konfigurasi Pembangkitan Minimum Penyulang Lampeapi

626
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Menghitung Impedansi Generator (Sumber)

Stotal = 4 x 125 kVA = 500 kVA


Vnominal = 380 V
X’d = 13,2%

Nilai impedansi sumber dapat dihitung dengan rumus:

(4.18)

(4.19)

(4.20)

2. Menghitung Impedansi Trafo 2

S = 400 kVA
Vnominal = 380 V
XT = 5%

Nilai Impedansi trafo dapat dihitung dengan rumus:

(4.21)

Z2T = Z1T = j 0,0144 Ω (4.22)

Z0T = Z1T + 3ZNetral (4.23)

Karena pentanahan netral trafo adalah solid grounding maka ZNetral = 0, sehingga:

Z0T = Z1T = j 0,0144 Ω

3. Menghitung Impedansi Jaringan Tegangan Menengah (JTM)


Untuk menghitung nilai impedansi jaringan digunakan rumus:

Z1L,primer = ( )2 x Panjang Saluran x Z1/km (4.24)

= 0,004 + j 0,0016 Ω

Z2L,primer = Z1L,primer (4.25)


= 0,004 + j 0,0016 Ω

627
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Z0L,primer = ( )2 x Panjang Saluran x Z0/km (4.26)

= 0,0046 + j 0,0072 Ω

Setelah semua parameter diketahui, selanjutnya untuk menghitung besar arus gangguan
minimum digunakan rumus:

a. Gangguan 3 fasa / Simetris

Isc3 = (4.27)

≈ 4.074 A

b. Gangguan 2 fasa

Isc2 = (4.28)

≈ 3.958 A
c. Gangguan 1 fasa - tanah

Isc1 = (4.29)

≈ 5.500 A

4.3 Setting Over Current Relay

a) Setting OCR Penyulang

1. Relay Penyulang Timur (R-F1)

1,1 In,trafo < Iset < 0,8 Isc2,minimum (4.30)


1.053 < Iset < 3.100
Di pilih Iset = 1080 A
Tap setting = (4.31)

= 0,9

Time dial setting dipilih berdasarkan arus inrush trafo yaitu arus kejut ketika trafo pertama
kali di energize, atau sudah terlalu lama tidak operasi. Besarnya arus inrush bisa mencapai 8x
arus nominal (~7657 A) dan berlangsung selama 0,1 detik, untuk itu setting waktu relay harus
diatas 0,1 detik. Dipilih waktu kerja relay (td) = 0,15 s

(4.32)

628
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= 0,043

≈ 0,05

Dipilih Time Dial = 0,05

Sedangkan untuk setting instantanous trip dipilih :

Iinst,trip = 10 x Iinrush (4.33)

≈ 9600 A

Tap setting = (4.34)

=8

Time delay = 0,05 s

2. Relay Penyulang Lampeapi (R-F2)

1,1 In,trafo < Iset < 0,8 Isc2,minimum (4.35)


669 < Iset < 3.166
Dipilih Iset = 700 A

Tap setting = (4.36)

= 0,7

Time dial disetting pada arus inrush trafo yaitu 8 x I nominal = 4.862 A, diharapkan td =
0,15, sehingga :

(4.37)

= 0,042

≈ 0,05
Dipilih Time Dial = 0,05

629
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Sedangkan untuk setting instantanous trip dipilih :

Iinst,trip = 10 x Inominal (4.38)


= 6.000

Tap setting = (4.39)

=
=6

Time delay = 0,05 s

b) Setting OCR Generator

1. Generator 100 kW

1,05 In,gen < Iset < 0,8 Isc2,minimum (4.40)


200 < Iset < 3.100
Di pilih Iset = 200 A
Untuk unit 1,3 & 6

Tap setting = (4.41)

=1

Untuk unit 2,4 & 7

Tap setting = (4.42)

= 0,8

Setting relay untuk generator harus dikoordinasikan dengan setting disisi hilir yaitu
relay penyulang, oleh karena itu setting arus harus sedikit diatas setting arus gangguan
minimum pada penyulang timur dan time dial harus memenuhi time interval sebesar 0,3 s
(∆td= 0,3 s).

Sehingga untuk time dial dipilih pada 0,8 x arus gangguan minimum penyulang timur
(~3.100 A), diharapkan relay trip dalam waktu td, gen = td,feeder + ∆td, perlu di ingat bahwa pada
konfigurasi pembangkitan minimum terdapat 5 buah generator 100 kW, sehingga pada arus
instantanous trip diatas, tiap generator berkontribusi sebesar ≈ 600 A dan dengan
menggunakan rumus standard inverse dapat dipilih time dial yang sesuai.

(4.43)

630
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

= 0,33

Sehingga,

td, gen = td,feeder + ∆td (4.44)

= 0,33 + 0,3

= 0,63 s

= 0,1

Sedangkan untuk setting instantanous trip dipilih :

Iinst,trip = 600 A

Untuk unit 1,3 & 6


Tap setting = (4.45)

=3

Untuk unit 2,4 & 7

Tap setting = (4.46)

=
= 2,4

Time delay = 0,65 s

2. Generator 250 kW

Untuk generator unit 5 dengan kapasitas 250 kW atau 2,5 x unit 100 kW, nilai pick up
relay dapat disetting pada:

631
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Iset = 2,5 x Iset,gen 100 kW (4.47)

= 2,5 x 200

= 500 A

Tap setting = (4.48)

= 0,833

Dipilih Tap setting = 0,9

Time dial sama dengan setting pada generator 100 kW

T = 0,1

Untuk setting instantanous dipilih

Iinst,trip = 2,5 x Iinst,trip gen 100 kW (4.49)

= 2,5 x 600

= 1500 A

Tap setting =

= 2,5

Dipilih tap setting = 2,5

Dengan time delay sama dengan generator 100 kW

Time delay = 0,65

3. Generator 500 kW

Untuk generator unit 8 dengan kapasitas 500 kW atau 5 x unit 100 kW, nilai pick up relay
dapat disetting pada:

Iset = 5 x Iset,gen 100 kW (4.50)

= 5 x 200

=1000 A

632
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tap setting = (4.51)

= 0,833

Dipilih tap setting = 0,9

Time dial sama dengan setting pada generator 100 kW

T = 0,1

Untuk setting instantanous dipilih

Iinst,trip = 5 x Iinst,trip gen 100 kW (4.52)

= 3000 A

Tap setting =

=5

Dipilih tap setting = 5

Dengan time delay sama dengan generator 100 kW

Time delay = 0,65

4.4 Kurva Koordinasi

Untuk mempermudah pengecekan apakah setting relay sudah sesuai dapat dengan
menggunakan kurva waktu arus, (time-current curve), dimana setting dan karakteristik tiap
relay di plot pada kurva sehingga memudahkan analisa koordinasi secara visual, berikut
adalah hasil plot kurva koordinasi dari setting relay pada diatas:

Gambar 4.4 Kurva Koordinasi Setting Relay Proteksi

4.5 Simulasi Koordinasi Kerja Relay Proteksi

633
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pada simulasi berikut, digunakan parameter arus gangguan pada 0% , 25% ,50%,75% .dan
100% x panjang jaringan, baik gangguan 3 fasa , 2 fasa, maupun 1 fasa ke tanah pada
pembangkitan minimum maupun maksimum.

a) Simulasi Pembangkitan Minimum

Hasil simulasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.5

Arus Gangguan dan Waktu Kerja Relay Penyulang Timur

Pada Pembangkitan Minimum

Tabel 4.6

Arus Gangguan dan Waktu Kerja Relay Penyulang Lampeapi Pada Pembangkitan Minimum

634
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 diatas ditunjukkan besar arus gangguan minimum di
sepanjang jaringan dan waktu kerja relay proteksinya, baik relay penyulang (R-F) maupun
relay generator (R-G), kolom ∆Td menunjukkan selisih waktu kerja relay generator terhadap
relay penyulang. Berdasarkan strandard IEEE 242 selisih waktu kerja antar relay minimal
adalah 0,2-0,4 detik. Pada penelitian ini selisih waktu minimal yang dipilih adalah 0,3 detik.
Pada kolom ∆Td diatas semua selisih waktu bernilai lebih besar dari 0,3 detik, hal ini berarti
setting dan koordinasi antara relay penyulang dan relay generator telah memenuhi syarat
sistem proteksi yang baik.

a) Simulasi Pembangkitan Maksimum

Pada pembangkitan maksimum, semua unit SPD bekerja paralel pada sistem,
sehingga menghasilkan arus gangguan yang lebih besar disisi penyulang.

Karena semua unit SPD bekerja paralel, maka parameter impedansi total
generator/sumber mengalami perubahan, dari data pada Tabel 4.1 setelah semua unit SPD
diparalel menghasilkan impedansi ekivalen sebagai berikut:

X’d,eq = 13,3%

X2,eq = 9,9%

X0,eq = 0,7%

Sehingga nilai impedansi ekivalen generator adalah sebagai berikut:

Ω
Ω

Setelah dilakukan perhitungan hubung singkat dan waktu kerja relay standard inverse,
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4.8 dibawah ini.

Tabel 4.7

Arus Gangguan Dan Waktu Kerja Relay Penyulang Timur

635
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pada Pembangkitan Maksimum

Tabel 4.8

Arus Gangguan Dan Waktu Kerja Relay Penyulang Lampeapi

Pada Pembangkitan Maksimum

Tabel 4.7 dan Tabel 4.8 diatas menunjukkan besar arus gangguan maksimum di sepanjang
jaringan dan waktu kerja relay proteksinya, sama halnya dengan tabel pembangkitan
minimum, kolom ∆Td yang merupakan nilai interval waktu kerja antara relay penyulang dan
relay generator harus lebih besar dari 0,3 detik. Pada tabel di atas semua nilai ∆Td pada arus
gangguan maksimum disepanjang jaringan memiliki nilai lebih besar dari 0,3 detik. Hal
tersebut menunjukkan bahwa setting dan koordinasi relay proteksi sudah memenuhi standard
sistem proteksi yang baik.

636
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi dan analisis setting relay pengaman arus lebih pada sistem
terisolasi PLTD Langara dapat diambil kesimpulan sebagain berikut:

1. Sistem proteksi pada PLTD Langara memiliki 2 daerah proteksi yaitu proteksi pada
sisi generator dan proteksi pada sisi penyulang.

2. Proteksi relay arus lebih menggunakan Over Current Relay (OCR).

3. Arus pick up relay proteksi di setting pada 1,1 kali arus nominal peralatan, dengan
karakteristik standard inverse, dan untuk instantanous trip di setting pada 0,8 kali arus
gangguan hubung singkat minimum. Khusus untuk relay penyulang, karena
mempertimbangkan arus inrush trafo, maka instantanous trip disetting pada 10 kali
arus nominal.

4. Setting waktu time dial relay untuk karakteristik standard inverse adalah 0,05 untuk
relay penyulang, dan 0,1 untuk relay generator. Sedangkan setting delay waktu
instantanous trip adalah 0,05 detik untuk relay penyulang dan 0,65 detik untuk relay
genarator.

5.2 Saran

Agar sistem proteksi di PLTD Langara menjadi lebih baik, beberapa hal berikut disarankan
untuk diterapkan, yaitu :

1. Untuk proteksi di sisi penyulang sebaiknya dipasang circuit breaker di sisi sekunder
(HV) atau setelah trafo step up, agar pengamanan lebih handal.
2. Pentanahan netral trafo sebaiknya menggunakan Neutral Ground Resistance (NGR),
agar saat terjadi gangguan ketanah arus yang mengalir tidak terlalu besar.
3. Pada penyulang yang panjang seperti penyulang timur, sebaiknya dipasang recloser
atau sectionalizer untuk meminimalisir dampak pemadaman terutama jika titik
gangguan berada di ujung jaringan. Dan juga untuk memudahkan petugas teknik untuk
penyisiran lokasi gangguan.

DAFTAR PUSTAKA

J. Lewis Blackburn, Thomas J. Domin, Protective Relaying Principles and Applications:Third


Edition, New York: CRC Press, 2006.

637
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Almukmin Umar, Makalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), almukmin-


umar.blogspot.com, 20 Oktober 2015.
Hamid Dini, Analisa Perbandingan Rele Gangguan Tanah (GFR) Pada Gardu Induk Talang
Ratu, Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Listrik Politeknik Negeri Sriwijaya,
Palembang, 2014
Juan M. Gers, Edward J. Holmes, Protection of Electricity Distribution Networks - 2nd
Edition, London: The Institution of Electrical Engineers, 2004.
Tim HAR Meter dan Relay, Trip Rele Incoming Akibat Keterlambatan Sistem Proteksi Pada
Penyulang, Surabaya: PT.PLN (Persero) Area Pengatur Distribusi Surabaya, 2010.
L.G. Hewitson, Mark Brown, Ramesh Balakrishnan, Practical Power Systems Protection,
London: Elsevier, 2004.

638
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

AN OPTICAL MEASUREMENT ANALYSIS OF SPRAY FORMATION FROM


LOCAL-CONTACT MICROWAVE-HEATING INJECTOR (LMI)

Lukas Kano Mangalla 1) Hiroshi Enomoto 2) Yuni Aryani Koedoes 3)


1) and 3)
Engineering Faculty of Halu Oleo University, Indonesia
2),
College of Natural Science and Technology, Kanazawa University, Japan

(E-mail: lk_mangala@gmail.com)

ABSTRACT
Injection strategies on the application of bio-ethanol fuel in internal combustion engine are expected to
meet the increasingly stringent on emission regulation. Heating fuel can offering a potential solution due to the
capability of improving atomization and vaporization of fuel. The influence of microwave heating system from
LMI injector on spray characteristics of ethanol fuel is the main focus on this study. Ethanol fuel flow was
heated inside heating area of LMI and the injected in to the room temperature. An optical measurement of fuel
injection from LMI system was conducted using high speed camera. The stability of injected fuel was first
observed in order to easily recognize the spray formation and the images captured were captured and analyzed.
Analysis of spray characteristic such us droplet size, droplet velocity and droplet quality was processed using
images processing software. Results show the indication of finer droplets size and faster droplet movement of
heated fuel injected from LMI system. These characteristics can improve atomization and vaporization of
ethanol fuel spray.

KEY WORDS: Spray characteristics, droplet size, heating fuel, microwave heating, and LMI system.

INTRODUCTION

Fuel spray characteristics plays an important role in the performance and emission
reduction of internal combustion (IC) engine. Poor performances and high exhaust emission
of the engine are the major problems related to the lack spray atomization and vaporization of
fuel This phenomena is more critical particularly when uses bio-component fuel for IC
engine. The fuel has been widely recognized as an alternative for gasoline due to the higher
octane number, an oxygenated fuel and high latent heat of vaporization that can possibly run
the engine with higher power output, better thermal efficiency and lower emissions [1], [2].
However, some properties of the fuel such as lower volumetric energy density, higher latent
heat of vaporization and boiling point as well as high viscosity could be the main source
problem specially for the cold start condition [3]. The vaporization of fuel must be good

639
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

enough to ignite and burning faster in the combustion chamber for higher thermal efficiency
and clean emissions of combustion engine.

Atomization, evaporation and combustion of the ethanol fuel are still remaining
challenging for using its in engine applications. According to Anand et.al, [4] atomization
process is complex and involves formation of multiple liquid jets especially in the low
operating pressure spray. Injection strategies are necessary for ethanol fuel that has lower
volumetric energy density 33% than in gasoline fuel [5]. Zhang, et.al., [6] investigated spray
characteristics of gasoline, methanol and ethanol fuel using Mie scattering and Laser Induced
Fluorescence. They analyzed effect of ambient pressure and fuel temperature on the
distribution of liquid spray and found that high temperature of the fuel can improve spray
atomization and distribution. However, atomization process of ethanol was a slightly slower
due to the higher viscosity and lower vapor pressure. The raid vapor pressure of ethanol is
17kPa, whereas gasoline is 53.7kPa as in [2]. Therefore, the injection scheme should be
improved to optimize the spray atomization and evaporation process.

Heating fuel flow inside the fuel injection system is one of the possible solution to
improve the spray characteristics under engine cold-start conditions [7]. The temperature of
the fuel or surrounding gas of the fuel sprayed should be increased to accelerate fuel
distribution and vaporization. Pre-heating of fuel can reduce emission from internal
combustion engine [8-9]. Several studies have been performed technical solution to improve
vaporization and atomization of fuel. Zajdel and Skorek [10] conducted experiment on
heating the cylinder block engine to improve atomization of sprayed fuel and found the
significant reduced of fuel consumption of the engine. Same principal experiment conducted
by Gumus [9] to reduce cold-start emissions engines, however, it was found that the physical
challenging of heating the block engine due to losses heating to several component and the
efficiency was become lower. Another challenging way is directly heating fuel flow inside
injector. Electrical heating was the popular heating way that aim to increase the temperature
of injected fuel [11-12]. Aleiferis and Van-Romunde, [7] conducted experiment to investigate
the spray characteristic of several bio-component fuels by heating fuel in injector and found
that spray formation was sensitive to the fuel temperature.

640
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

More recently study, Enomoto and Iida [13] developed new model of heating fuel flow,
mainly ethanol or ethanol-gasoline blended, inside injector. An in-house injector development
was used to heat fuel flow using electromagnetic heating. The main aim of this system is to
add some energy equivalent to the fluid flow inside injector and this called Local-contact
Microwave-heating Injector (LMI) system. Heating area was created inside head injector of
LMI and connected to magnetron of microwave heating. Microwave energy can penetrate into
material and produces volumetrically heat distribution due to molecular friction [14].
Polarization of electromagnetic wave in this system can increase fuel temperature rapidly and
lead to reduce SMD of droplet sprayed even in the early injection starting [15]. This
advantageous can offer the potential used
of bio-ethanol fuel for cold start problem
engine.

The sensitivity of fuel temperature on


the pray characteristic of fuel injection
such as spray cone angle, droplet size,
and spray tip penetration is the important
Fig. 1 Schematic of LMI system. phenomena and become main analysis in
this study. Many researches have
discussed the fuel temperature effect on
the atomization characteristic of fuel
sprayed, however, there is no information
so far regarding the spray analysis of fuel
sprayed from LMI system. Spray
characteristics of ethanol heated from
LMI system was investigated and we
focused on the effects of fuel temperature
on the sprays structure and droplet
Fig. 2 Detail view of LMI injector head.
behavior during injection. The effect of
heating fuel on the spray characteristic is supposed to be significant influencing the
atomization and evaporation of ethanol fuel. It needs to be more accurate analysis and
understanding about this phenomena between heated spray fuel and droplet distribution and
dispersion.

In this study, sprayed of ethanol fuel from LMI system was visualized by using high speed
camera and analyzed using post-processing images. High-magnification of images was

641
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

produced with proper illuminating of incident light background from Halide Lamp. The
productions of visualization images were captured during injection interval. The structure of
sprayed fuel is expected to be visualized to describe clearly the spray atomization and
distribution during injection.

2. Experimental Study

Spray of ethanol fuel was injected using single hole pressure nozzle of LMI injector with
orifice diameter 0.3mm. The solid view of this injector can be seen in Fig.1. This injector, an
in-house injector designed for special purposes, was operated at constant pressure 0.3MPa, a
typical operating pressure for port fuel injection system. Fuel flow inside the injector was
subjected to the microwave heating in the heating zone before injected into the room
temperature. The imaging system was made using high speed camera with high quality of
illumination lamp. Experimental study was conducted in a state of the art of measurement
devices. Injector was mounted vertical to magnetron of the microwave generator and the
schematic of this arrangement devices with imaging system and droplet size measurement can
be seen in Fig.3 and Fig. 4.

2.1. Fuel

The commercial grade of anhydrous ethanol (99.5% Ethanol) was used as the liquid fuel
for the current study.

Tabel 1. Properties of ethanol compare with gasoline fuel

Ethanol Gasoline

Density (kg/m3) 789 739

LHV (MJ/kg) 26.8 43.1

Stoichiometric Air/Fuel 9 14.7


ratio

Latent heat vaporization 904 380-500


(kJ/kg)

Boiling temperature (oC) 78.4 25-215

642
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

RON 129 91

Source: Matsumoto et.al., 2010 , SAE


international [4].

Temperature of the fuel was around 293K,


thermal condition of fuel during
experiment. Table 1 shows the typical
properties of ethanol fuel compare with
gasoline fuel. Composition of 100%
ethanol was used in this study.

Fig. 3 Direct observation with high speed camera.

2.2. Injector and heating zone geometries

A single hole of injector was developed


for special purposes of studying the effect
of microwave heating system on the
vaporization of fuel. Schematic system of
LMI system can be seen in Fig.1. The
Fig. 4 Droplet size (SMD) measurement system. injector has orifice diameter D = 0.3mm
and the heating zone has diameter around
4mm and 4mm in length. Heating created
inside the tip injector aims to generated
heating of fuel flow by using microwave
heating scheme. This area is connected to
the magnetron via coaxial cable as the
passage of the electromagnetic wave.
Fig.5. Input signal controlling for injection and heating Cover of heating zone consists of metallic
process.
material that function as insulator for
Table 2 Experimental condition
Conditions Description electromagnetic wave. Fuel flow inside
Fluid (Material) Ethanol
Injection Pressure 0.3MPa the system experiences heating that
Fuel temperature 293K
Injection interval 5ms over 200ms
(as 600rpm in engine speed)
Heating duration 20ms over 40ms
Power Input 60Watt
643
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

generated by polarization of electromagnetic wave in ethanol fuel.

2.3. Experimental conditions.

The injector was designed special to operate at lower injection pressure (0.3MPa), the
typical injection pressure for port fuel injection (PFI) engine. Electric power of 60Watt was
imposing into the microwave heating generator that operated at constant frequency of
2.45GHz. By this frequency the electromagnetic wave can generate heating for ethanol flow.
Control of heating and injection system was formulated in function generator to provide the
proper temperature distribution of fuel flow inside heating area. The schematic of control
system can be seen in Fig. 5. The injection control system was arranged based on the engine
rotation of 600rpm at the normal operation. Heating control was adjusted for obtaining the
proper temperature of the fuel generated inside heating area.

2.4. An imaging procedure and droplet sizing mechanism

In this paper, the results of spray distribution from both of measurement devices and
images analysis were explored. Droplet size distribution of the sprayed fuel can be one of
important characteristic between heated and non-heated fuel. Figure 6 shows the photograph
of fuel sprayed at different view angle. Imaging system was assembled to show the spray
characteristic of fuel under different heating scheme: heated spray and non-heated spray.
Droplet distribution was measured using Laser Diffraction of Spray Analyzer (LDSA) at each
injection duration. Laser scattering from He-Ne was used as an illuminating system for high
quality images purposes. The centerline of measurement position was placed at 20mm from
the tip of injector (Fig. 4). The device can measure the SMD and droplet size distribution of
sprayed fuel. Droplet size is one of the most important characteristic of the spray [16].

644
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fig. 7 Imaging analysis process steps

Optical system of fuel spray was


carried out using high speed camera
(PHOTORON FASTCAM SA5). For the

Fig. 6 Angle of view of the imaging system of fuel spray; a) is


appropriate analyzing system, the high
the front view of sprayed fuel and b) is the side view of spray,
90 degree from the front view.
speed camera and a source light were
synchronized at 1/30000 fps to produce
imaging quality at 512x512 pixels. In order to optimize the imaging system the source light
from metal halide lamp is coupled with the camera. The images captured in this system were
analyzed in image processing software such as Image-J, Memrecam HXLink and Photoshop.

For the purposes of determining spray angle and droplet size analyzed, the threshold value
was adjusted to distinguish between background noise and fuel spray. Two angle view of
imaging recorded, front and side view, were taken in to account. The different spray angle on
the different view is due to the small deformation of injector orifice during injection.
Binarization of droplet sprayed was performed in Image-J to define area of circularity edges
of the images thresholded. Droplet size of the spray was analyze base on the basic concept of
Sauter Mean Diameter (SMD).

3. Result and analysis.

Spray characteristics of LMI Injector were investigated in order to understand the effect
of fuel temperature on the spray structure. Direct measurement and images analysis results are
presented in this paper. During injection of fuel, particle size and distribution formation of
droplet sprayed was measured by LDSA. Spray characteristics were analyzed from the images
captured with the high speed camera.

645
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

In the preview study [15] on this device, the droplet size of spray, expressed as SMD, was
reduced significantly in the heating fuel. The reduction of SMD in the early injection is due to
the rapid increasing of fuel temperature after applying microwave heating into the fuel flow
and this phenomena is expected to enhance vaporization rate of injected fuel into combustion
chamber.

Instead of direct measurement analysis, the image analysis of fuel sprayed was also
performed. Figure 7 show the description of binarization steps, an image processing,
performed in the post image processing. Background noise of the images can be eliminated by
subtracted the background and later the threshold value would be adjusted based on the mean
of background pixels to leave a binary image. Subtracted background also makes the distance
of background pixel become plate, thus, it can easily perform binarization of spray photos.
Adjusting threshold number is critical for the droplet size analysis since it is related to the
spatial area and diameter of droplets in the spray images.

Figure 8 compares the number of droplets and number of pixel in the black area of the
three different threshold number. Black images of the thresholded pictures can show the
liquid area where the droplets supposed to be existed. The differences in the spray formation
between heating and non-heating fuel were quantified from the calculation of droplet number
and droplet diameter (SMD). In all threshold adjustment it seems that heated spray of the
fuel has significantly affected by temperature of fuel. However, it is not clear between
injection timing and temperature effect. The images of spray cannot compare the spray pattern
as same timing injection. The penetration of the sprays is totally different between heating and
non-heating spray.

SMD is the common parameter for expressing the fineness of spray in terms of surface
area of the spray [17]. The sizing information is presented in form of Sauter mean diameters
(SMD) and calculated using expression [17-18]:
n

 d i
3

(1)
SMD  0
n


0
d i
2

Where is the droplet diameter of fuel sprayed, n is the number of particle inside the spray.
Figure 9 shows the distribution of SMD of injected fuel of the two different views. In the
heating fuel spray, the frequency of smaller size droplets is higher than that in the non-heating
spray. This indicates the finer droplet size can be produced by heating the fuel sprayed. High
temperature fuel will reduce the surface tension and viscosity and leads to reduce the droplets
size of the spray [19]. The quantitative measurement of liquid spray is based on the edge

646
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

detection on the images. The size of edges detection in this analysis was later convert to the
droplet size of the spray.
On this experimental study, the images was captured with high speed camera, however the
quality of images produced still remain the unclear droplets structure due to the high speed
moving of droplet. As the result, the edges of each droplet in the picture are unclear and the
SMD of droplet became bigger Fig. 10. Further analysis on the imaging process is necessary.
In image processing of injection, watersheld can help to divide areas of droplet spray.
Watershed on the image processing is a way of automatically separation or cut the particles
that are touched. This step is important to convert object overlapping in the images.

In order to deeply understand the watershelf effect on the images analysis, the waterseld
steps on the images of several sprays was considered. Figure 11 can show the effect of
watersheld process on the image structure of fuel spray. Fig. 12 shows the characteristic of
this treatment in terms of SMD distributions. The bigger size of droplet in the image can be
separated by waterseld into small droplet size and leads to reduce SMD of the spray.

Figure 13. and Fig. 14 show a series of zooming (puffing) photograph in the tip of ethanol
fuel spray. This analysis is proposed to evaluate the liquid component in the spray dispersed
into the small droplets. Thresholded images spray provide clear information of spray structure
between heated and non-heated fuel during injection. In the heated spray, the liquid spray
changes into the finer droplet in the short time which means the surface volume area became
dispersion in to several parts. The liquid fuel of heated spray at the specific location was
completely changed into small droplets component in around 0.5msec. Different characteristic
of spray structure is showed in non-heated fuel. In the histogram analysis of droplets size in
Fig.13, it clearly shows the trend of droplets distribution between heating and non-heating
fuel. In the 0.5msec the number of droplets in the heating spray become higher than non-
heating spray.

Spray characteristics of the fuel injection can also be affected by the jet inertia force,
viscous force, air drag force and surface tension force [20]. Reynolds number and Weber
number are the non-dimensional parameter that usually influence the spray structure.
Changing of temperature of fuel sprayed can influence the Reynold and Weber number
parameters. Correlation between the fluid properties and velocity distribution of the spray is
also considered in this study. This analysis aim to differentiate between droplet velocity of the
heating and non-heating fuel flow. Figure 15 describes the droplet position in each time
exposure of droplets spray. In this analysis the speed of droplets can be calculated from the

647
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

images capture based on the frame information of the photos. Velocity of droplet was
calculated using formula:

(Y2  Y1 ) 2 dis tan ce


V pfs (2)
( X 2  X 1 ) 2 pixel

The images of spray consists of 512 pixel size and the pfs is frame size of imaging system
(1/30.000). Real distance of photos frame during experimental is 45 mm. In each image spray
analyzed, we were chosen 100 droplets to be considered and analyzed. The same process
analysis was performed in the two different views, front and side view.

Figure 16 shows the velocity distribution between heating and non- heating fuel at two
different view of spray. The averages velocity of droplets indicate the different droplet
velocity under heated and non-heated fuel. In the front view the average speed of non-heating
droplets is 8.7m/sec whereas in the heating fuel is 11.5m/sec. Same trend appears in the side
view where the velocity of heating fuel is higher than that of non-heating fuel. In heating fuel
the average velocity is 14.6m/sec whereas in non-heating fuel, the average velocity is
13.1m/sec. This trends can explain the effect of temperature fuel on the droplet velocity. In
the heated fuel the properties such as density and viscosity become changing and lead to
change droplet velocity. The bigger the density the faster the droplets moves.

Fuel heating process is sensitive to the droplets position and size distributions [21]. Strong
correlation between heated fuel and number of droplets in the spray images are observed,
which describe the important of heating effect on the atomization and vaporization of injected
fuel. For all images analyzed, it can be showed the effect of heating fuel on the spray
structure. An increasing of fuel temperature can increase the droplets number in the spray.
The increasing temperature is also influence the droplets movement that is expected to
improve vaporization of fuel during injected into combustion chamber.

648
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fig. 8 Difference view of droplet images in the different threshold number.

Fig. 9 Droplet sise analysis of heating and non-heating spray.

649
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fig. 10. Puffing of the overlapping droplets in the images and the effect on the droplets size and distribution.

Fig. 11 Watersheld effect on the images structure of spray

650
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fig. 12 Watersheld effect on the droplet size of fuel spray

Fig. 13 Characteristic of sprayed droplets during the time of injection.

Fig. 14 Two different view of droplet structure in different time

651
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Fig. 15 Spatial and temporal of droplet position in the images.

Fig. 16 Velocity analysis of droplets.

652
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

4. Conclusion

An optical analysis on the images of fuel sprayed from injector of LMI system was
investigated. Heating effect on the droplet characteristics such as droplets size distribution
and droplet velocity is the main focus in this study. According to the analysis results the
following conclusion can be obtained:

- Heating system on LMI influenced the spray structure of bio-ethanol. The histogram of
droplet size shows the effect of fuel heated on the size of droplet. Finer droplets was found
in heated fuel sprayed which is expected related to the improvement on the properties of
fuel.
- The average velocity of fuel droplets was also affected by the temperature of the fuel.
Heated droplets fuel move faster than non-heated droplets. This implies the important of
heating system on the droplet dispersion and velocity in order to improve vaporization of
the fuel injected.

References

Zervas, E., Montagne, X. and Lahaye, J., The Influence of Gasoline Formulation on Specific
Pollutant Emissions, Journal of the Air Management Association, 49:11, 1999, pp.1304-1314.
Chen, R.H., Chiang, L.B., Chen, C.N., and Lin, T.H., Cold-start Emissions of An SI Engine
Using Ethanol-Gasoline Blended Fuel, Applied Thermal Engineering, 31, 2011, pp. 1463-
1467.
Aleiferis, P.G., Pereira, J.S., van Romunde, Z., Caine, J., and Wirth, M., Mechanisms of
spray formation and combustion from a multi-hole injector with E-85 and Gasoline,
Combustion Flame, 157, 2010, pp.735-756.
Anand, T.N.C., Mohan, A.M., Ravikhrisna, R.V., Spray Characteristic of Gasoline-Ethanol
Blends from a Multihole Port Fuel Injector, Fuel, 102, 2012, pp. 613-623.
Matsumoto, A., Moore, W.R., Lai, M., Sheng, Y., Foster, M., Xie, X, Yen, D., Confer, K.,
and Hopkins, E., Spray Characterization of Ethanol Gasoline Blends and Comparison to a
CFD Model for a Gasoline Direct Injector, SAE International 2010-01-0601.
Zhang, M., Xu, M., Zeng, W., Zhang, G., Zhang, Y., Cleary, D.J., Characterization of
Methanol and Ethanol Sprays Using Mie-Scattering and Laser Induced Fluorescence Under

653
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Engine Cold-start Conditions, The 13th Annual Conference on Liquid Atomization and Spray
System-Asia, 2009.
Aleiferis, P.G., and van Romunde, Z.R.,: An Analysis of Spray Development with Iso-octane,
n-pentane, Gasoline, Ethanol and n-butanol from a Multi-hole Injector under Hot Fuel
Conditions, Fuel ,105, 2013, pp. 143-168.
Vasiliev, L.L., Burak, V.S., Kulakov, A.G., Mishkinis, D.A. and Bohan, P.V., Heat Storage
Device for Pre-heating Internal Combustion Engines at Start-up, International Journal of
Thermal Science, 38, 1999, pp. 98–104.
Gumus, M., Reducing Cold-Start Emission from Internal Combustion Engines by Means of
Thermal Energy Storage System, Applied Thermal Engineering, 29, 2000, pp. 652-660.
Zajdel. A., and Skorek, J., Evaluation of The Influence of Liquid Fuel Atomization on Fuel
Consumption During Heating of Solids in A Furnace, Energy, 26, 2001, pp. 1135-1144.
Kabasin, D. , Hoyer, K., Kazour, J., Lamers, R. and Hurter, T., Heated Injector for Ethanol
Cold Starts, SAE International, 2009-01-0615.
Aleiferis, P.G., Pereira, J.S., Augoye, A., Davies, T.J., Cracknell R.F. and Richardson, D.,
Effect of fuel Temperature on In-nozzle Cavitation and Spray Formation of Liquid
Hydrocarbons and Alcohols from a Real-size Optical Injector for Direct Injection Spark
Ignition Engine, Int. Journal of Heat and Mass Transfer, 53, 2010, pp.4588-4608.
Enomoto H. and Iida T., Effect of Microwave Heating on the Spray Droplet Size Distribution
by Using Local -contact Microwave-hating Injectors, JSAE Paper 40, 3, 2009, pp.769 – 774.
Oliveira M.E. and Franca A.S., Microwave Heating of Food Stuffs, Journal of Food
Engineering, 53, 2002. pp.347–359.
Mangalla, L.K. and Enomoto, H., Spray Characteristics of Local-contact Microwave-heating
Injector Fuelled with Ethanol,” SAE International Paper 2013-32-9126.
Padala, S., Le, M.K., Kook S., and Hawkes, E.R., Imaging Diagnostics of Ethanol Port Fuel
Injection Sprays for Automobile Engine Applications, Applied Thermal Engineering, 52,
2013, pp. 24-37.
Li, G., Cao, J., Li M., Quan, Y. and Chen, Z., Experimental Study on The Size Distribution
Characteristics of Spray Droplets of DME/Diesel Blended Fuel, Fuel Processing Tech., 104,
2012, pp. 352-355.
Mishra, Y.N., Kristensson E. and Berrocal, E., Reliable LIF/Mie Droplet Sizing in Spray
Using Structure Laser Illumination Planar Imaging, Journal of Optics Express, 22: 4, 2014,
pp.4480-4492.

654
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Vicente, J. Pinto, J., Menezes J. and Gaspar, F., Fundamental Analysis of Particle Formation
in Spray Drying, Powder Technology, 247, 2013, pp.1-7.
Zeng, W., Xu, M., Zhang, M., Zhang, Y., and Cleary, D.J., Macroscopic Characteristics for
Direct-Injection Multi-hole Sprays Using Dimensionless Analysis, Experimental Thermal
and Fluid Science, 40, 2012, pp. 81-92.
Sazhin, S.S., Kristyadi, T., Abdelghaffa, W.A. and Heikal, M.R., Models for Fuel Droplet
Heating and Evaporation: Comparative Analysis, Fuel, 85, 2006, pp.1613–30.

655
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

PERAMALAN IHSG, KURS DAN SBI MENGGUNAKAN METODE VECTOR


AUTOREGRESSIVE (VAR)
(Studi Kasus: Data BEI dan BSI Januari 2010 sampai Desember 2013)

Ruslan1, Lilis Laome2, Ade Rahayu P3


1,2,3)
Jurusan Matematika FMIPA UHO
Email: rushlan_a@yahoo.com

ABSTRAK
Teknik peramalan merupakan salah satu komponen terpenting dalam pengambilan keputusan
karena bertujuan memperkirakan nilai dari sebuah data di masa datang.. Dalam penelitian ini,
dibahas salah satu metode peramalan yang digunakan untuk meramalkan data dengan jumlah
variabel lebih dari satu, yaitu Vector Autoregressive (VAR). Metode VAR merupakan metode lebih
lanjut sebuah system persamaan simultan, jika dalam persamaan simultan terdapat variabel endogen
dan eksogen maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris. Tahapan-tahapan dalam metode
VAR yaitu uji stasioner pada data, kemudian uji lag optimum, lalu dilakukan estimasi parameter,
kemudian dilakukan peramalan berdasarkan model yang diperoleh. Hasil peramalan pada IHSG
cenderung menurun dari data sebelumnya, sedangkan Kurs meningkat dan SBI juga meningkat.
Namun nilai evaluasi peramalan tetap berada pada interval tertentu yakni dibawah 20% sehingga
model ini baik untuk meramalkan data.

Kata kunci: Peramalan, Multivariat, VAR

1. Latar Belakang
Kehidupan manusia sehari-hari tidak pernah lepas dari pengamatan. Ketika seseorang
melihat atau mengamati suatu kejadian dalam suatu waktu sering timbul pertanyaan apa yang
akan terjadi pada waktu yang akan datang dan bagaimana kejadian pada waktu sebelumnya.
Pertanyaan menyangkut waktu tersebut mendasari munculnya suatu kajian runtun waktu (time
series analysis). Analisis data runtun waktu pada dasarnya digunakan untuk melakukan
analisis data yang mempertimbangkan pengaruh waktu. Data yang dikumpulkan secara
periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Pada
analisis data runtun waktu dapat dilakukan peramalan data beberapa periode ke depan yang
sangat membantu dalam menyusun perencanaan ke depan (Makridakis, 1993).
Model ARIMA yang dikembangkan oleh Box-Jenkins merupakan salah satu teknik
peramalan data deret waktu yang hanya berdasarkan perilaku data yang diamati. Didalam
model ini, tidak ada asumsi khusus tentang data historis dari deret waktu, tetapi menggunakan
proses iteratif untuk menentukan model yang terbaik. Pada pemodelan Box-Jenkins untuk
data stasioner, dikenal proses Autoregressive (AR), proses Moving Average (MA), dan proses
Autoregressive Moving Average (ARMA). Untuk deret waktu yang tidak stasioner, dikenal
Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Keduanya digunakan untuk data deret
waktu univariat.

656
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Untuk data runtun waktu yang memiliki dua variabel terikat atau lebih tentu akan kurang
tepat jika dilakukan analisis menggunakan model ARIMA karena tidak menutup
kemungkinan terdapat hubungan saling mempengaruhi antar satu data dengan data lainnya.
Oleh karena itu diperlukan model-model multivariat. Model-model yang masuk dalam
kelompok multivariat analisisnya lebih rumit dibandingkan model univariat. Model-model
multivariat diantaranya, model fungsi transfer dan vector time series model (Makridakis,
1993).
Metode Vector Autoregressive (VAR) merupakan salah satu vector time series model
yang sangat efektif dalam meramalkan data multivariat. Model VAR dibangun dengan
pendekatan yang meminimalkan teori dengan menganggap bahwa semua variabel saling
tergantung dengan yang lain. Model ini dapat menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel.
Dalam implementasinya, metode VAR banyak digunakan untuk meramalkan data
makroekonomi. Di Indonesia, data mengenai makroekonomi seperti, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Kurs), dan Suku Bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dapat diperoleh dari Bank Indonesia dan Bursa Efek
Indonesia. Dengan adanya informasi tentang data-data SBI, Kurs dan IHSG maka dapat
dilakukan peramalan untuk bulan berikutnya. Adapun tujuan penulisan ini yaitu, mendapatkan
model dan hasil peramalan dari IHSG, Kurs dan SBI pada periode berikutnya dengan
menggunakan metode VAR.
2. Tinjauan Pustaka
Peramalan adalah perkiraan atau penggambaran dari nilai atau kondisi masa depan.
Asumsi yang umum dipakai dalam peramalan adalah pola masa lampau akan berlanjut ke
masa depan (Makridakis, 1991). Peramalan bertujuan mendapatkan ramalan yang dapat
meminimumkan kesalahan meramal yang dapat diukur dengan Mean Absolute Percentage
Error (MAPE), Mean Absolute Deviation (MAD) dan sebagainya. Peramalan pada umumnya
digunakan untuk memprediksi sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi misalnya kondisi
permintaan, banyaknya curah hujan, kondisi ekonomi, dan lain-lain. Langkah dalam metode
peramalan secara umum adalah mengumpulkan data, menyeleksi dan memilih data, memilih
model peramalan, menggunakan model terpilih untuk melakukan peramalan, dan evaluasi
hasil akhir (Awal, 1990).
Runtun waktu adalah suatu rangkaian atau seri dari nilai-nilai suatu variabel atau hasil
observasi, yang dicatat dalam jangka waktu yang berurutan. Metode runtun waktu adalah
metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel waktu. Peramalan suatu data runtun waktu perlu memperhatikan

657
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

tipe atau pola data. Secara umum terdapat empat macam pola data time series, yaitu
horizontal, trend, musiman, dan siklis waktu (Hanke & Winchern, 2005).
Pola horizontal merupakan kejadian yang tidak terduga dan bersifat acak, tetapi
kemunculannya dapat memepengaruhi fluktuasi data time series. Pola trend merupakan
kecenderungan arah data dalam jangka panjang, dapat berupa kenaikan maupun penurunan.
Pola musiman merupakan fluktuasi dari data yang terjadi secara periodik dalam kurun waktu
satu tahun, seperti tahunan, triwulan, bulanan, mingguan, atau harian. Sedangkan pola siklis
merupakan fluktuasi dari data untuk waktu yang lebih dari satu tahun.
Pola-pola tersebut dapat dimodelkan dengan berbagai metode peramalan. Beberapa
klasifikasi dari metode peramalan, yakni:
 Metode peramalan univariat, menggunakan data masa lampau untuk meramalkan masa
depan. Metode ini memodelkan fungsinya berdasarkan fungsi deret waktu itu sendiri
tanpa variabel luar. Adapun metode yang termasuk peramalan univariat antara lain,
pemulusan eksponensial, dekomposisi dan ARIMA. Tujuan metode tersebut adalah
memodelkan nilai-nilai masa lampau untuk memproyeksikannya ke nilai-nilai masa
depan.
 Metode peramalan multivariat, yakni membuat proyeksi untuk masa depan dengan
memodelkan hubungan antara sebuah deret dengan deret-deret lainnya. Metode yang
termasuk antara lain, fungsi transfer dan Vector time series.
Vector Autoregressive (VAR)
Metode VAR merupakan metode lebih lanjut sebuah sistem persamaan simultan yang
bercirikan pada pemanfaatan beberapa variabel ke dalam model secara bersama-sama. Jika
dalam persamaan simultan terdapat variabel endogen dan eksogen maka dalam VAR setiap
variabel dianggap simetris (Sims,2002). Model VAR merupakan gabungan dari beberapa
model Autoregressive (AR) pada model tuntun waktu univariat, dimana model-model ini
membentuk sebuah vektor yang antara variabel-variabelnya saling mempengaruhi (Neumaier,
2001).
Model VAR (1) adalah model Vector Autoregressive berorde 1, artinya variabel bebas
dari model tersebut hanyalah satu nilai lag dari variabel tak bebasnya.
Misalkan diberikan tiga persamaan model Autoregressive (AR) dengan order 1 atau AR (1)
dengan tiga variabel:

658
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Persamaan dapat dituliskan menjadi:

(2.4)

Jika

, ,

Diperoleh model VAR (1):

Model Vector Autoregressive order atau VAR ( ) yang dibangkitkan dari model AR ( )
dengan variabel adalah

dengan:
= data yang diamati pada waktu dengan ukuran (1 × )

= vektor intersep berukuran (1 × )


= matriks koefisien autoregresi ke- berukuran ( × )

= vektor error pada saat berukuran (1 × )


Karena peubah-peubah endogen dalam persamaan (2.6) hanya terdiri dari selang semua
peubah eksogen pendugaan Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil
menjadi efisien karena seluruh persamaan memiliki regresor uang identik (Eviews, 2002)
VAR biasanya digunakan untuk peramalan suatu sistem yang paling terkait secara
runtun waktu dan untuk menganalisis dampak dinamik variabel random error dalam sistem
variabel serta untuk melakukan uji kausalitas. Hal ini mengartikan bahwa Var tidak
mementingkan estimasi persamaan structural. Pendekatan VAR merupakan pemodelan setiap
variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi dari lag semua variabel endogen dalam sistem.
Pyndick dan Rubinfield (1998) menyatakan bahwa dalam melakukan pemodelan VAR
hanya diperlukan dua hal yang perlu dispesifikasikan, yaitu:

659
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

1. Variabel endogen (dan eksogen) yang diyakini berinteraksi dalam suatu sistem
sehingga dimasukkan sebagai bagian dari sistem yang ingin dimodelkan.
2. Jumlah Lag optimum yang diperlukan untuk menangkap pengaruh-pengaruh yang
dimiliki masing-masing variabel terhadap variabel lainnya.
Stasioneritas Data
Stasioneritas berarti bahwa tidak terjadinya pertumbuhan dan penurunan data. Suatu
data dapat dikatakan stasioner, apabila pola data tersebut berada pada kesetimbangan di
sekitar nilai rata-rata yang konstan dan variansi di sekitar rata-rata tersebut konstan selama
waktu tertentu (Makridakis, 1999). Stasioneritas data dilihat dengan menggunakan uji formal,
yakni Uji Akar Unit yang diperkenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller, dengan tujuan
untuk mengetahui apakah data time series stasioner atau tidak, mengingat studi terhadap data
yang tidak stasioner hanya dapat dilakukan pada waktu yang bersangkutan saja
Menurut Enders,1995 kestasioneran dapat diuji dengan uji Augmented Dickey Fuller
melalui model pembedaan sebagai berikut:

Hipotesis yang diuji adalah:


(data tidak stasioner)
(data stasioner)
Statistik ujinya yaitu

Dengan nilai dugaan


simpangan baku dari

Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak adalah dengan cara
membandingkan nilai statistik ADF test dengan nilai kritis distribusi statistik MacKinnon,
dimana nilai statistik ADF test ditunjukkan oleh nilai . Jika nilai absolut statistik ADF test
lebih besar dari nilai kritis distribusi statistik MacKinnon maka H0 ditolak, dalam arti data
time series yang diamati telah stationer.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi yang
dikembangkan oleh Johansen. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan formula berikut :

660
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Uji Johansen menggunakan analisis trace statistic dan nilai kritis pada tingkat
kepercayaan = 5 %. Hipotesis nolnya apabila nilai trace statistic lebih besar dari nilai kritis
pada tingkat kepercayaan = 5 % atau nilai probabilitas (nilai-p) lebih kecil dari =5%
maka terindikasi kointegrasi.
Uji Kausalitas Granger
Uji kausalitas dimaksudkan untuk menentukan variabel mana yang terjadi lebih dahulu,
atau dengan kata lain uji ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa dari dua variabel yang
berhubungan, maka variabel mana yang menyebabkan variabel lain berubah. Di antara
beberapa uji yang ada, uji kausalitas Granger merupakan metode yang paling populer
(Kuncoro, 2003). Dalam konsep kausalitas Granger, dua perangkat data time series yang linier
berkaitan dengan variabel X danY diformulasikan dalam dua bentuk model regresi.

Hipotesis pada uji kausalitas ini adalah:


suatu variabel tidak mempengaruhi variabel lainnya
suatu variabel mempengaruhi satu variabel lainnya
Dengan statistik uji:

Ada atau tidaknya kausalitas diuji melalui uji F atau dapat dilihat dari probabilitasnya
(Widaryono, 2009).
Pengujian Lag Optimum
Menurut Enders,1995 kriteria uji alternative untuk menentukan lag atau ordo yang
sesuai adalah dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC) atau Schwartz
Information Criterion (SIC). Pada penelitian ini menggunakan SIC.

Dimana: jumlah observasi


parameter yang diestimasi

661
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Uji Diagnostik Model


Salah satu diagnostik terhadap sisaan yang dapat dilakukan adalah memeriksa adanya
korelasi serial antara sisaan pada beberapa beda lag. Uji Partmanteau menghasilkan statistic
yang dapat digunakan untuk hal tersebut, yaitu statistic Q. statistic Q untuk model VAR
mengikuti sebaran Chi-Square dengan derajat bebas , dengan merupakan banyak
peubah dalam VAR, adalah ordo VAR serta adalah lag (Eviews, 2002). Sedangkan
hipotesis yang diuji adalah
tidak ada autokorelasi sisaan sampai lag ke-h
ada autokorelasi sisaan sampai lag ke-h
Dengan statistik uji:

Jika maka terima atau tidak ada komponen autokorelasi yang signifikan
hingga lag ke-h.
Uji diagnostik residual lainnya yaitu uji normalitas. Normalitas sebuah data dapat dilihat
pada nilai Jarquer-Bera. Pengujian menggunakan Jarquer-Bera menggunakan hipotesis:
residual berdistribusi normal
residual tidak berdistribusi normal
Dengan statistik uji:

Jika probabilitas Jarquer-Bera, , tolak , maka residual tidak berdistribusi

normal.
Fungsi Respon Impuls
Fungsi impulse response didapat melalui model VAR yang diubah menjadi vektor rata-
rata bergerak (vector moving average) dimana koefisien merupakan respon terhadap adanya
inovasi (Enders, 1995).
Variance Decomposition (VD)
Analisis Variance Decomposition (VD) atau dikenal sebagai forecast error variance
decomposition merupakan alat analisis pada model VAR yang akan memberikan informasi
mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada satu variabel terhadap variabel
lainnya pada saat ini dan periode ke depannya.
Mean Absolute Percentage Error (MAPE)

662
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Metode ini melakukan perhitungan perbedaan antara data asli dan data hasil peramalan.

Suatu model mempunyai kinerja sangat bagus jika nilai MAPE berada di bawah 10%,
dan mempunyai kinerja bagus jika nilai MAPE berada di antara 10% dan 20% (Zainun dan
Majid, 2003).
3. Metodologi Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
Bursa Efek Indonesia dan Bank Indonesia dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2013.
Variabel nya sebagai berikut:
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika (Kurs)
Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Langkah-langkah melakukan peramalan dengan metode Vector Autoregressive (VAR),
yakni:
1. Mendeskripsikan data dengan membuat plot masing-masing variabel.
2. Uji stasioneritas data dengan uji akar unit yaitu uji Augmented Dickey Fuller melalui
model pembedaan sesuai dengan persamaan (2.7). Jika tidak stasioner maka perlu
dilakukan transformasi melalui proses differencing, sehingga data stasioner pada tingkat
first difference nya.
3. Uji kointegrasi dengan uji kointegrasi Johansen
4. Menguji hubungan kausalitas antar variabel dengan uji kausalitas granger, dengan
membandingkan nilai Fhit dan Ftabel pada
5. Melakukan pengujian lag optimum model VAR berdasarkan Schwartz Information
Criterion (SIC) dengan melihat nilai SIC terendah pada lag keberapa , sehingga
diketahui lag optimumnya.
6. Mengestimasi parameter sesuai dengan model yang diperoleh pada pengujian lag
optimum dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.
7. Menganalisis fungsi respon impuls untuk mengetahui respon variabel terhadap inovasi
variabel dalam VAR akibat adanya shock
8. Menganalisis Variance Decomposition untuk mengetahui proporsi pergerakan variabel
shock tersebut.
9. Mengevaluasi model peramalan, dengan menghitung MAPE menggunakan persamaan
(2.18).

663
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

10. Melakukan peramalan sesuai model VAR yang diketahui untuk data IHSG, KURS, dan
SBI
Hasil dan Pembahasan
Eksplorasi data dari masing-masing peubah untuk melihat pola data secara umum

Gambar 1. Plot Data IHSG


Berdasarkan Gambar 1, pola deret waktu pada indeks harga saham gabungan
menunjukkan bahwa nilai IHSG cenderung naik tiap tahun nya, ini berarti data mengandung
tren dan tidak stasioner.

Gambar 2. Plot Data Kurs


Gambar 2 menunjukkan bahwa pola deret waktu pergerakan kurs rupiah terhadap dollar
Amerika, terjadi peningkatan nilai rupiah dimulai pada tahun 2011, cenderung naik hingga
2012 dan 2013. Hingga sampai sekarang rupiah sangat melemah terhadap dollar Amerika.
Data ini cenderung tren yang berarti tidak stasioner.

Gambar 3. Plot Data SBI

664
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Berdasarkan Gambar 3, pola deret waktu pergerakan suku bunga sertifikat bank
Indonesia menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada tahun 2011 dan 2012, dan cenderung
naik pada tahun 2013. Data tersebut juga belum stasioner.
Untuk tahap analisis, menggunakan bantuan software E-views 8, yaitu uji akar unit, uji
kausalitas Granger dan pembentukan model VAR.
Pemodelan Vector Autoregressive (VAR)
Uji Stasioneritas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi VAR adalah kestasioneran data. Uji
stasioneritas merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data time series untuk
melihat ada tidaknya akar unit denganAugmented Dickey-Fuller Test (ADF Test) pada tingkat
level.
Tabel 4.1 Uji Akar-akar Unit
Variabel Nilai ADF Critical Value 5%
SBI -1,698592 -3,513075
KURS -0,213202 -3,513075
IHSG -2,125752 -3,508508

Dari hasil uji ADF ketiga variabel menunjukkan perilaku tidak stasioner. Dengan
membandingkan nilai ADF pada data dengan nilai kritis MacKinnon pada tingkat signifikansi
5% menjelaskan bahwa nilai ADF ketiga variabel lebih besar dari nilai kritis nya, yang artinya
menerima H0 dengan kata lain tidak stasioner. Oleh karena itu, pengujian unit root terhadap
seluruh variabel dilanjutkan dengan melakukan unit root test pada tingkat first difference.
Setelah dilakukan pembedaan satu kali pada semua peubah berdasarkan Tabel 4.2
diperoleh bahwa semua variabel memiliki nilai ADF yang lebih kecil yang berarti menerima
H0, hal ini berarti bahwa seluruh variabel ekonomi tersebut stasioner pada first difference
sehingga variabel dapat dikatakan terintegrasi pada derajat 1 atau I(1).
Tabel 4.2 Uji Akar-akar Unit pada first difference
Variabel Nilai ADF Critical Value 5%
SBI -4,437639 -3,510740
KURS -5,018210 -3,513075
IHSG -7,529870 -3,510740

Uji Kointegrasi
Uji Kointegrasi ditujukan untuk melihat hubungan jangka panjang dari
Tabel 3 Uji Kointegrasi
Trace Statistic 0.05
Critical Value

665
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

21.90666 29.79707
7.783588 15.49471
0.422118 3.841466
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai Trace Statistic lebih kecil dari nilai Critical Value
pada signifikansi 5%., ini berarti variabel IHSG, Kurs, dan SBI tidak memiliki hubungan
jangka panjang dalam kurun waktu penelitian.
Uji Kausalitas Granger
Uji kausalitas dapat dilakukan dengan uji kausalitas granger untuk melihat hubungan
antar variabel yang saling mempengaruhi.
Tabel 4 Hasil Uji Kausalitas Granger antara IHSG dan Kurs
H0 Fstat Prob
Kurs does not Granger Cause IHSG 0.65141 0.5266
IHSG does not Granger Cause Kurs 9.14005 0.0005

Berdasarkan Tabel 4, antara variabel IHSG dan kurs, dengan H0 IHSG tidak
mempengaruhi Kurs memiliki nilai Fstat Ftabel, ini berarti H0 ditolak sehingga IHSG
mempengaruhi Kurs. Sedangkan untuk H0 Kurs tidak mempengaruhi IHSG memiliki Fstat
Ftabel, yang berarti H0 diterima, sehingga Kurs tidak mempengaruhi IHSG. Maka antara IHSG
dan Kurs memiliki hubungan Kausalitas yaitu satu arah.
Tabel 5 Hasil Uji Kausalitas Granger antara Kurs dan SBI
H0 Fstat Prob
SBI does not Granger Cause KURS 1,42777 0,2515
KURS does not Granger Cause SBI 1,75284 0.1860

Berdasarkan Tabel 5, antara variabel Kurs dan SBI, dengan H 0 Kurs tidak
mempengaruhi SBI memiliki nilai Fstat Ftabel, ini berarti H0 diterima sehingga Kurs tidak
mempengaruhi SBI. Sedangkan untuk H0 SBI tidak mempengaruhi Kurs memiliki Fstat Ftabel,
yang berarti H0 juga diterima, sehingga SBI tidak mempengaruhi Kurs. Karena H0 masing-
masing diterima maka antara Kurs dan SBI tidak memiliki hubungan Kausalitas.
Tabel 6 Hasil Uji Kausalitas Granger antara IHSG dan SBI
H0 Fstat Prob
SBI does not Granger Cause IHSG 1,03503 0,3643
IHSG does not Granger Cause SBI 0,88865 0,4190

Berdasarkan Tabel 6, antara variabel IHSG dan SBI, dengan H0 IHSG tidak
mempengaruhi SBI memiliki nilai Fstat Ftabel, ini berarti H0 diterima sehingga IHSG tidak
mempengaruhi SBI. Sedangkan untuk H0 SBI tidak mempengaruhi IHSG memiliki Fstat

666
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Ftabel, yang berarti H0 juga diterima, sehingga SBI tidak mempengaruhi IHSG. Karena H0
masing-masing diterima maka antara IHSG dan SBI tidak memiliki hubungan Kausalitas.
4.2.3 Pemilihan Panjang Lag
Penentuan panjang lag ditentukan dengan melihat nilai Schwarz information Criterion
yang paling kecil. Ordo model VAR tidak lain adalah pada lag berapa masih terdapat
pengaruh signifikan dari salah satu variabel (series) terhadap series lainnya.
Tabel 7 Nilai SIC pada Lag
Lag SIC
0 34,12820
1 27,28166
2 27,21292
3 27,61912
4 27,99870
5 28,44686
Berdasarkan Tabel 7, lag yang menunjukkan nilai SC terkecil yaitu 27,21292 berada
pada lag ke 2, sehingga lag optimal untuk ketiga variabel adalah lag 2.
Estimasi Parameter
Karena lag optimal ada pada lag 2, maka model VAR yang digunakan adalah VAR (2).
Sehingga diperoleh model taksiran

Hasil estimasi parameter untuk yakni IHSG memiliki keragaman sebesar 90,81%.
Dari persamaan IHSG, parameter IHSG pada lag 1 saja yang siginifikan sedangkan parameter
lag lainnya tidak signifikan. Hasil estimasi parameter untuk variabel yakni Kurs memiliki
keragaman sebesar 97,44%. Dari persamaan Kurs, pengaruh IHSG pada lag 1 dan 2 signifikan
dan kurs pada lag 1 juga signifikan. Sedangkan untuk variabel yakni SBI memiliki
keragaman sebesar 94,65%. Pengaruh IHSG pada lag 1 dan 2 signifikan terhadap SBI,
sementara pengaruh kurs terhadap SBI, signifikan pada lag 2 saja. Sehingga diperoleh model
yang signifikan yaitu:

667
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Dari model yang signifikan tersebut untuk nilai duga IHSG pada waktu hanya dipengaruhi
oleh IHSG itu sendiri pada waktu . Sedangkan untuk Kurs pada waktu dipengaruhi
variabel IHSG pada saat dan saat , serta variabel Kurs itu sendiri saat . Dan
untuk hasil duga pada SBI pada saat dipengaruhi oleh variabel IHSG saat dan ,
variabel Kurs saat , dan variabel SBI itu sendiri saat dan .
Analisis Fungsi Respon Impuls
Model VAR pada umumnya cukup sulit untuk diinterpretasikan sehingga akan lebih
mudah melakukan analisis dengan melihat output Impuls Response Function (IRF) model
VAR yang diajukan..
R e sp o n se t o C h o l e sky O n e S . D . I n n o v a t i o n s

R e s p o n s e o f D I H S G to D I H S G R e s p o n s e o f D IH S G to D K U R S R e s p o n s e o f D I H S G to D S B I

200 200 200

150 150 150

100 100 100

50 50 50

0 0 0

-50 -50 -50

-100 -100 -100


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

R e s p o n s e o f D K U R S to D IH S G R e s p o n s e o f D K U R S to D K U R S R e s p o n s e o f D K U R S to D S B I

300 300 300

200 200 200

100 100 100

0 0 0

-100 -100 -100

-200 -200 -200


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

R e s p o n s e o f D S B I to D I H S G R e s p o n s e o f D S B I to D K U R S R es pons e of D S B I to D S B I

.4 .4 .4

.2 .2 .2

.0 .0 .0

-.2 -.2 -.2

-.4 -.4 -.4


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4. Respon impuls IHSG, Kurs dan SBI


Berdasarkan grafik diatas, respon IHSG terhadap Kurs sejak terjadinya shock yaitu
dimulai dengan respon yang positif, lalu mulai menurun hingga pada periode ke 7 menjadi
respon negatif. Sedangkan respon Kurs terhadap IHSG adalah respon negatif, dari awal
hingga akhir periode. Respon IHSG terhadap SBI, dimulai dengan respon positif pada due
periode awal, namun setelahnya menunjukkan respon negative. Sedangkan respon SBI
terhadap IHSG menunjukkan respon negatif sejak awal terjadinya shock. Respon Kurs
terhadap SBI, sejak awal menunjukkan yang positif, namun pada periode ke 7 menurun dan
menjadi negatif. Sedangkan respon SBI terhadap Kurs sejak awal terjadinya shock, respon
yang diberikan positif hingga akhir periode.
Analisis Variance Decomposition (VD)
Analisis Variance Decomposition dapat dilihat pada tabel berikut:

668
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Tabel 8 Hasil VD dari IHG, Kurs dan SBI


Periode S.E. IHSG Kurs SBI Berdas
1 187.4748 100.0000 0.000000 0.000000 arkan Tabel 8
2 252.7037 98.76720 1.078706 0.154089
3 282.3624 98.39784 1.450143 0.152015 hasil VD di
atas,

46 8768.916 1.932097 96.84697 1.220934 kontribursi


47 9713.849 1.795047 97.06074 1.144217 terbesar
48 10757.89 1.676634 97.24638 1.076988 variabel
ekonomi pada variabel IHSG itu sendiri, kontribusi ini terus menurun hingga akhir periode
namun tetap merupakan yang dominan. Kontribusi varians sampai dengan akhir periode
adalah 1,67%.
Pengaruh kontribusi terbesar kedua pada variabel ekonomi, yaitu variabel Kurs. Varians
variabel ini terus mengalami peningkatan sampai dengan akhir periode. Kontribusi pengaruh
varians variabel kurs hingga pada akhir periode adalah 97,24%.
Sedangkan kontribusi varians pada variabel Sertifikat SBI dalam mempengaruhi
ekonomi, cenderung meningkat dan menurun namun presentasinya lebih kecil dibanding
IHSG dan Kurs. Varians tebesar terjadi pada periode ke 17, dan seterus nya menurun, hingga
pada periode ke 48 menjadi 1,07%.
Sedangkan hasil MAPE ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 9. Nilai MAPE
Variabel MAPE (%)

IHSG 5.58
KURS 2.69
SBI 8.16

Berdasarkan Tabel 9 pada variabel IHSG, Kurs dan SBI menghasilkan nilai MAPE yang
relative kecil yang berada dibawah 10%, ini berarti model VAR (2) sangat baik digunakan
untuk peramalan. Dan teknik peramalan dengan model VAR sangat tepat digunakan untuk
variabel tersebut.
Hasil peramalan dihitung dari model VAR(2), hasil peramalan ketiga variabel
ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 10. Hasil peramalan tahun 2014
Waktu SBI Kurs IHSG
2014
1 7,99 12072,4 4170,7

669
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

2 8,76 12423,5 4134,0


Berdasarkan Tabel 10 hasil peramalan untuk tahun 2014 selama 2 bulan untuk variabel
SBI dan Kurs cenderung meningkat dari data aktualya, sedangkan IHSG menurun dari data
aktualnya.
Kesimpulan
Model VAR taksiranyang signifakan untuk variabel IHSG, Kurs, dan SBI adalah:

Dengan hasil peramalan untuk tahun 2014 bulan januari yaitu IHSG sebesar Rp 4.170,7,
Kurs sebesar Rp 12.072,4 serta SBI sebesar 7,99%. Sedangkan hasil peramalan pada bulan
februari yaitu IHSG sebesar Rp 4.134,0, Kurs sebesar Rp 12.423,5 serta SBI sebesar 8,76%.
Nilai evaluasi dalam meramalkan relativ kecil, yakni dibawah 10% yang berarti model ini
sangat baik dalam meramalkan data.
DAFTAR PUSTAKA

Awal. 1990. Metode Peramalan Kuantitatif. Liberty: Yogyakarta.


Bank Danamon, 2011. Modul Treasury Certification. Jakarta: Danamon Corporate
University.
Bank Indonesia Official Site, http://www.bi.go.id
Bursa Efek Indonesia Official Site, http://www.idx.co.id
D. Mphil Nachrowi dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan.
Enders, W. 1995. Applie Econometric Time Series. New York: Wiley and Sons, Inc.
Eviews. 2002. Eviews user guide 4.0. United States of America: Quantitative Micro Softwere,
LLC,.
Frechtling, Douglas D. 2001. Forecasting Tourism Demand: Methods and Strategies. Oxford:
Elsevier.
Hanke, john E & Wichren, D. W. 2005. Business Forecasting. Princeton, New Jersey:
Princeton University Press
Indeks Harga Saham Gabungan, Kurs IDR To USD, Official Site
http://finance.yahoo.com/historicalprices
Juanda, Bambang., dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bandung: PT Penerbit IPB
Press
Makridakis, S., Wheelwright, S.C., V.E. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Manurung, J.J., Manurung, A.H., Saragih, F.D. 2005. Ekonometrika, Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Mudrajad, Kuncoro. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga.
Neumaier , A., Schneider, T. 2001. Estimation of Parameters and Eigenmodes of Multivariate
Autoregressive Models. ACM Transactio on Mathematical Software

670
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia 2016

Pyndick, R.S. and D.L, Rubinfield. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. 4th
edition. McGraw-Hill Int’l Edition
Sims, C.A. 2002. Macroeconomics and Reality. Econometrica . Vol. 48, pp. 1-48.
Sucahyo, Deni. 2008. Dampak Inisiasi Dividen Terhadap Harga Saham dan Volume
Perdagangan Saham. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol.5. Semarang: Fakultas Ekonomi
UNISSULA,.
Wei, W.W.S. 1989. Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods. Canada:
Addison Weslry Publishing Company
Zainun, M.Y dan Majid, M.Z A. 2003. Low Cost House Demand Predictor. Malaysia:
Universitas Teknologi

671
Program Pendidikan Vokasi
Universitas Halu Oleo

Anda mungkin juga menyukai