Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN NUTRISI PADA


KELUARGA DENGAN “ THYPOID ABDOMINALIS” DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAMAJANG
KOTA MAKASSAR

MUSTARI
PO.71.3.201.183.076

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN KEPERAWATAN MAKASSAR
PRODI DIII KEPERAWATAN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat iman, rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga
dapat menyelesaikan penulisan Makalah “Self -Efficacy and Geragogy” sebagai
salah satu tugas pada mata kuliah Konsep dan Teori Keperawatan.
Teriring pula salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW sebagai Uswatun Hasanah beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah
menyempurnakan akhlak manusia di muka bumi ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan,
sehingga penulis sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritikan yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan berharap bahwa apa yang
disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Semoga makalah ini dapat bernilai ibadah di sisi-Nya, Amin. Sekian
dan terimakasih.

Makassar, 19 Maret 2019

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1


B. Tujuan ........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

A. Konsep Self-efficacy ....................................................................... 3


1. Sumber Teori Self Efficacy ....................................................... 3
2. Defenisi ............................................................................... 4
3. Klasifikasi ............................................................................... 5
4. Tahapan Self Efficacy .............................................................. 6
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy ...................... 7
6. Sumber Self Efficacy................................................................. 9
7. Manfaat Self Efficacy ................................................................ 10
8. Proses Self Efficacy................................................................... 12
9. Self Efficacy Training .............................................................. 13
10. Self Eficacy Training Metode Peer .......................................... 15
11. Instrumen untuk menilai tingkat self efficacy ........................... 16
B. Konsep Geragogy ........................................................................... 18
1. Defenisi ............................................................................... 20
2. Ruang Lingkup Geragogy ........................................................ 20
3. Perubahan Fungsi Kognitif pada Lansia .................................. 21
4. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Kognitif Lansia 22
5. Aspek Penilaian Intervensi Geragogy...................................... 24

BAB III. ANALISIS TEORI KEPERAWATAN ........................................ 25

ii
BAB IV. PENUTUP ...................................................................................... 30

A. Kesimpulan .................................................................................... 30
B. Saran …………… ....................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Widagdo (2011) Demam tifoid atau tifoid fever ialah suatu

sindrom sistemik yang terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam

tifoid merupakan jenis terbanyak dari salmonelosis. Jenis lain dari demam

interik adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh Salmonella Paratyphi A,

Salmonella Schottmuelleri (Salmonella Paratyphi B), dan Salmonella

Hirschfeldii (Salmonella Paratyphi C). demam tifoid memperlihatkan gejala

lebih berat dibandingkan demam enteric yang lain (Widagdo, 2011).

Higiene perseorangan merupakan faktor berisiko terjadinya demam

thypoid, kebersihan yang baik merupakan intervensi yang penting bagi banyak

penyakit menular termasuk thypoid. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan

berbagai cara diantaranya mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air

besar dan sebelum makan, (WHO, 2002).

Selain itu dukungan sanitasi yang kurang dan kesadaran masyarakat yang

rendah untuk melakukan pola hidup bersih berperan terhadap kualitas dan

kuantitas sanitasi yang ada di masyarakat. Tingkat kesehatan masyarakat dapat

menurun dan beberapa penyakit dapat terjadi akibat sanitasi yang kurang baik

salah satunya demam thypoid. (Siddiq, 2016)

World Health Organization (WHO) (2017), menyebutkan bahwa penyakit

salmonella thypi dapat ditransmisikan melalui konsumsi makanan yang kurang

1
terjaga kebersihannya atau air yang tercemar. Insidensi tertinggi biasanya terjadi

ketika pasokan air terkontaminasi oleh feses yang dicemari oleh Salmonella

Typhi, diperkirakan 11-20 juta orang sakit karena Tifoid dan antara 128.000

sampai dengan 161.000 orang meninggal dunia setiap tahunnya. Pada bulan

Desember 2017, WHO telah melakukan prakualifikasi vaksin baru yang

memiliki kekebalan pertama untuk Tifoid. Vaksin baru ini memiliki kekebalan

lebih daripada vaksin yang lebih tua, memerlukan lebih sedikit dosis dan dapat

diberikan kepada anak-anak dari usia 6 bulan. Vaksin ini akan diprioritaskan

untuk negara dengan beban penyakit Demam Tifoid tertinggi. Ini akan

membantu mengurangi seringnya penggunaan antibiotik untuk pengobatan

Tifoid yang akan memperlambat peningkatan resistensi antibiotik pada

salmonella thypi (WHO, 2017).

Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki angka kesakitan

thypoid yang tinggi, dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan

sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0-1 tahun),

148,7/100.000 penduduk (2-4 tahun), 180,3/100.000 penduduk (5-15 tahun), dan

51,2/100.000 (≥ 16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak

adalah pada kelompok usia 2-15 tahun (Litbangkes, 2016).

Di Sulawesi Selatan pada tahun 2012, jumlah penderita Thypoid sebanyak

24.998 perderita, sedangkan tahun 2013 sebanyak 31.633 penderita, terlihat

bahwa adanya peningkatan kasus dari tahun 2012 ketahun 2013. Kemudian

terjadi penurunan pada tahun 2014 sebanyak 23.271 penderita, yaitu laki-laki

sebanyak 11.723 dan perempuan sebanyak 11.548. (Dinkes Sulsel,2015).

2
Hasil pengambilan data awal di Puskesmas Mamajang Kota Makassar

didapatkan angka kejadian Demam Tifoid pada tahun 2016 sebanyak 43 orang,

pada tahun 2017 sebanyak 49 orang, dan pada tahun 2018 meningkat sebanyak

55 orang (Angka kejadian pada wanita yaitu sebanyak 38 orang dan laki-laki

sebanyak 17 orang). Sejauh ini belum tercatat angka kematian yang terjadi

akibat Demam Thypoid. Demam Thypoid termasuk urutan ke 5 dari 10 penyakit

di Puskesmas Mamajang. (Puskesmas Mamajang Makassar, 2018)

Pada wilayah Kerja Puskemas Mamajang meliputi 6 Kelurahan,

penyebaran dan kepadatan penduduk tidak merata di masing-masing kelurahan,

disebabkan oleh jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan luas wilayah

kelurahan, hal ini yang menyebabkan masalah kesehatan seperti sanitasi

perumahan, kebersihan lingkungan yang kurang, status kesehatan masyarakat

yang buruk. (Profil Puskesmas Mamajang, 2015).

Kebersihan lingkungan yang kurang dapat menjadi potensial untuk

berkembang biaknya lalat yang merupakan salah satu vector dalam penularan

demam thypoid. Lalat dapat menyebarkan penyakit karena kebiasaan

berkembang biak dan makan di tempat yang kotor, bakteri yang berasal dari

tempat dimana lalat makan akan terjebak di mulut dan bantaan kaki yang pada

akhirnya ke tempat lalat tersebut mendarat.

Didukung dengan proporsi perilaku mencuci tangan yang benar di

Sulawesi Selatan mengalami penurunan pada tahun 2013 yaitu 50,23 % menjadi

3
47 % pada tahun 2018 hal ini menunjukkun bahwa perilaku personal hygiene

pada masyarakat masih kurang diperhatikan. (Data Riskesdes 2018).

Sejalan dengan hal itu menurut hasil survey yang telah di lakukan oleh

peneliti menemukan bahwa 64 % responden memiliki tingkat pendidikan yang

rendah, 72 % responden mempunyai kebiasan mencuci tangan sebelum makan

kurang baik, 80 % responden mempunyai kebiasaan mencuci tangan setelah

BAB kurang baik dan 54 % saluran pembuangan limbah dalam kondisi terbuka

dan banyak genangan air di saluran tersebut.

Hal tersebut diatas dapat menjadi penyebab meningkatnya angka kesakitan

Demam Thypoid di daerah kerja Puskesmas Mamajang dan adapun masalah

keperawatan yang sering muncul pada kasus Demam Thypoid adalah kebutuhan

nutrisi atau cairan elektrolit, gangguan suhu tubuh atau hipertermi, gangguan

rasa aman dan nyeri, resiko terjadinya komplikasi, kurangnya pengetahuan orang

tua terhadap penyakit Demam Thypoid. Berdasarkan latar belakang di atas,

maka penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

“Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Pada Keluarga dengan

Demam Thypoid Abdominalis di Wilayah Kerja Puskesmas Mamajang Kota

Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Memberikan Asuhan Keperawatan Komunitas yang

berkualitas pada pasien dengan Diagnosa Demam Thypoid Abdominalis di

Wilayah Kerja Puskesmas Mamajang?

4
Dengan memperhatikan :

1. Bagaimana melakukan pengkajian yang baik dan benar pada Asuhan


Keperawatan Komunita dengan diagnosa Demam Thypoid?
2. Bagaiamana menetapkan diagnosa keperawatan Komunitas dengan
diagnosa Demam Thypoid?
3. Bagaimana menetapkan Intervensi Keperawatan Komunitas dengan

Demam Thypoid?

4. Bagaimana melakukan Implementasi Keperawatan Komunitas dengan

Demam Thypoid?

5. Bagaimana melakukan Evaluasi Keperawatan Komunitas dengan

Demam Thypoid?

6. Bagaimana melaksanakan Pendokumentasian Keperawatan Komunitas

Dengan Demam Thypoid?

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Dapat memahami Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Demam

Thypoid di Puskesmas Mamajang Kota Makassar

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan Pengkajian dengan Demam Thypoid di Puskesmas

Mamajang Kota Makassar

b. Dapat menetapkan Diagnosa Keperawatan dengan Demam Thypoid

di Puskesmas Mamajang Kota Makassar

c. Dapat menetapkan Intervensi dengan Demam Thypoid di Puskesmas

Mamajang Kota Makassar

5
d. Dapat melakukan Implementasi dengan Demam Thypoid di

Puskesmas Mamajang Kota Makassar

e. Dapat melakukan Evaluasi dengan Demam Thypoid di Puskesmas

Mamajang Kota Makassar

f. Dapat melaksanakan pendokumentasian dengan Demam Thypoid di

Puskesmas Mamajang Kota Makassar

D. Manfaat Studi Kasus

1. Bagi Penulis

Sebagai penambah ilmu dan pengetahuan wawasan serta dapat

mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh

pendidikan di Poltekkes Kemenkes Makassar

Untuk menambah wawasan atau pengetahuan khususnya mengenai

penyakit Demam Thypoid.

Sebagai syarat untuk menyelesaikan pedidikan D III Keperawatan di

Poltekkes Kemenkes Makassar.

2. Untuk Institusi

Untuk menambah informasi dan referensi dan sebagai bahan masukan

untuk mengetahui bagaimana menerapkan pada masyarakat.

3. Manfaat bagi profesi

Sebagai suatu referensi dan sumber pengetahuan bagi tenaga

keperawatan untuk meningkatkan kualitas Asuhan Keperawatan secara

komprehensif, sehingga berimplikasi pada peningkatan kualitas

kesehatan.

6
4. Manfaat bagi Puskesmas

Dapat menjadi bahan masukan bagi pengambilan kebijakan yang ada

di wilayah kerja Puskesmas Mamajang Kota Makassar Provinsi Sulawesi

Selatan untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka

upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan khususnya Asuhan

Keperawatan Komunitas dengan Demam Thypoid.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP SELF-EFFICACY
1. Sumber Teori Self Efficacy
Konsep Albert Bandura tentang self-efficacy dikembangkan
sebagai bagian dari teori yang lebih besar, Teori Pembelajaran Sosial yang
telah berkembang menjadi Teori Kognitif Sosial. Teori Kognitif Sosial
disajikan oleh Bandura dalam menanggapi ketidakpuasannya dengan prinsip-
prinsip behaviorisme dan psikoanalisis; karena peran kognisi dalam motivasi
dan peran situasi diabaikan. Nevid (2009) menyatakan bahwa Teori Kognitif
Sosial menggambarkan bagaimana individu tidak hanya menanggapi
pengaruh lingkungan, tetapi secara aktif mencari dan menafsirkan informasi.
Individu “berfungsi sebagai kontributor terhadap motivasi, perilaku, dan
perkembangan mereka sendiri dalam jaringan pengaruh yang saling
berinteraksi. Meskipun Teori Kognitif Sosial mencakup banyak topik, seperti
penilaian moral dan gairah fisiologis, penelitian terutama difokuskan pada
self-efficacy, keyakinan mengenai kemampuan seseorang untuk berhasil
menyelesaikan tugas atau tujuan (Redmond, 2010).
Teori Kognitif Sosial terdiri dari empat proses realisasi tujuan:
pengamatan diri, evaluasi diri, reaksi diri dan self-efficacy (Redmond, 2010).
Keempat komponen saling terkait dan semua memiliki pengaruh pada
motivasi dan pencapaian tujuan(Redmond, 2010).

8
Pengamatan
diri

Pengamatan
diri Self Efficacy
Evaluasi Diri

Reaksi diri

2. Defenisi
Self-efficacy adalah suatu keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu
untuk melakukan sesuatu dalam situasi tertentu dengan berhasil. Hal ini akan
mengakibatkan bagaimana individu merasa, berfikir dan bertingkah-laku
(keputusan-keputusan yang dipilih,usaha-usaha dan keteguhannya pada saat
menghadapi hambatan), memiliki rasa bahwa individu mampu untuk
mengendalikan lingkungan sosialnya (Warsito, 2009). Self-efficacy berbeda
dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang
sempurna yang seharusnya (dapat dicapai), sedang Self-efficacy
menggambarkan penilaian kemampuan diri. (Alwisol, 2007)
Pendapat lain juga mengungkapkan bahwa Self-efficacy adalah
keyakinan manusia pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran
pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di

9
lingkunganya, dan ia juga yakin kalau Self-efficacy adalah fondasi keagenan
manusia. (Bandura, 2005)
3. Klasifikasi
Secara garis besar, Self-efficacy terbagi atas dua tipe yaitu Self-efficacy
tinggi dan Self-efficacy rendah. (Bandura, 1997)
a. Self-efficacy tinggi
Self-efficacy tinggi adalah seorang mampu mengembangkan minat
yang ada dalam dirinya dan ketertarikan yang mendalam terhadap suatu
aktivitas, mampu mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam
mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka
dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal
dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali Self-
efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1994)
Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki Self-
efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung. Individu
yang memiliki Self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan tugas
tertentu, sekalipun tugas tersebut adalah tugas yang sulit. Mereka tidak
memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari.
(Bandura, 1994)
Individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara
efektif, yakin terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau
rintangan, masalah dipandang sebagai suatu tantangan yang harus
dihadapi bukan untuk dihindari, gigih dalam usahanya menyelesaikan
masalah, percaya pada kemampuan yang dimilikinya, cepat bangkit dari
kegagalan yang dihadapinya, suka mencari situasi yang baru. (Bandura,
1997)
Individu yang memiliki Self-efficacy tinggi menganggap kegagalan
sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan
ketrampilan. Di dalam melaksanakan berbagai tugas, orang yang
mempunyai Self-efficacy tinggi adalah sebagai orang yang berkinerja

10
sangat baik. Mereka yang mempunyai Self-efficacy tinggi dengan senang
hati menyongsong tantangan. (Bandura, 1997)
b. Self-efficacy rendah
Self-efficacy rendah adalah seseorang yang ragu akan kemampuan
mereka. Mereka akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas
tersebut dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti
ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam
mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika
menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan
kekurangan- kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka
hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Dalam
mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki Self-efficacy rendah
cenderung menghindari tugas tersebut
Individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali
Self-efficacynya ketika menghadapi kegagalan, tidak yakin bisa
menghadapi masalahnya, menghindari masalah yang sulit (ancaman
dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari), mengurangi usaha dan
cepat menyerah ketika menghadapi masalah, ragu pada kemampuan diri
yang dimilikinya, tidak suka mencari situasi yang baru, aspirasi dan
komitmen pada tugas lemah.
4. Tahap Perkembangan Self-efficacy
Bandura (1997) menyatakan bahwa Self-efficacy berkembang secara
teratur. Dimulai dari masa bayi, kemudian berkembang hingga masa dewasa
sampai pada masa lanjut usia.
Bayi mulai mengembangkan Self-efficacy sebagai usaha untuk melatih
pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar
mengenai kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan
kecakapan berbahasa yang hampir secara konstan digunakan dan ditujukan
pada lingkunagan. Awal dari pertumbuhan Self-efficacy dipusatkan pada

11
orang tua kemudian dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya, dan
orang dewasa lainya.
Self-efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah
perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan Self-efficacy pada masa lanjut
usia, sulit terbentuk sebab pada masa ini terjadi penurunan mental dan fisik,
pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-Efficacy


Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi Self-efficacy pada diri individu antara lain
a. Budaya
Budaya mempengaruhi Self-efficacy melalui nilai (values),
kepercayaan (beliefs), dalam proses pengaturan diri (self-regulatory
process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian Self-efficacy dan juga
sebagai konsekuensi dari keyakinan akan Self-efficacy.
b. Gender
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap Self-efficacy. Hal ini
dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa
Self-efficacy pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini
dikarenakan wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah
tangga, juga sebagai wanita karir, dibandingkan dengan pria yang
bekerja.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi


Derajat dari kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh
individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap
kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks tugas yang dihadapi oleh
individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai
kemampuanya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang
mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut
menilai kemampuanya.

12
d. Intensif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi Self-efficacy individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat meningkatkan Self-efficacy adalah competent continges
incentive, yaitu insentif yang diberikan orang lain yang merefleksikan
keberhasilan seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh
derajat kontrol yang lebih besar sehingga Self-efficacy yang dimilikinya
juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah
akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga Self-efficacy yang
dimilikinya juga rendah.

f. Informasi tentang kemampuan diri

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh


informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki
Self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif
mengenai dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulakn bahwa faktor-


faktor yang mempengaruhi Self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari
tugas yang dihadapi, intensif eksternal, status dan peran individu dalam
lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.

6. Sumber – sumber Self-efficacy

Menurut Bandura lenz and bagget (2002) ada empat sumber yang dapat
mempengaruhi self-efficacy antara lain Mastery experience (pengalaman-
pengalaman tentang penguasaan), Role modeling (teladan sosial), Verbal
Persuation (persuasi verbal), Physiological arousal (semangat fisiologis).

13
a. Mastery Experience

Salah satu sumber self-efficacy adalah pengalaman yang menjadi


cara yang paling efektif dalam menciptakan keyakinan yang kuat tentang
penguasaan sesuatu (mastery experience), seseorang yang berpengalaman
tentang sesuatu memiliki kepercayaan dan keyakinan diri untuk
melakukan tindakan dan cenderung berpeluang untuk berhasil dalam
melaksanakan sesuatu, begitupun sebaliknya kurangnya pengalaman
dapat menyebabkan kegagalan sehingga bisa menghilangkan keyakinan
yang ada pada dirinya. Setelah seseorang mempunyai keyakinan (self-
eficacy) maka seseorang tersebut tahu apa yang diperlukan agar
keberhasilan tersebut bisa tercapai dengan ketekunan dalam menghadapi
masalah dan cepat bengkit dari keterpurukan.

b. Role Modeling (teladan/panutan)


Role modeling atau menjadikan seseorang sebagai teladan atau
panutan dengan menjadikan keberhasilan orang lain sebagai motivasi
dalam mencapai tujuannya, hal tersebut dapat menjadi upaya
berkelanjutan yang dapat menimbulakan keyakinan diri seseorang
sehingga timbul keyakinan bahwa nantinya ia akan berhasil jika berusaha
secara intensif dan tekun. Mereka mensugesti diri bahwa jika orang lain
dapat melakukan, tentu mereka juga dapat berhasil.

c. Verbal Persuasion

Bandura (1997) Self-efficacy dapat diraih dengan persuasi sosial

14
yaitu dengan memberi dukungan dan keyakinan secara verbal untuk
melakukan tugas kepada orang lain, maka orang yang mendapat
dukungan cenderung lebih percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan
untuk menyelesaikannya. Seseorang diarahkan, dengan memberikan
sugesti dan bujukan, untuk percaya bahwa mereka dapat mengatasi
masalah-masalah di masa depan . Namun harapan efficacy yang tumbuh
melalui cara ini mungkin tidak bertahan lama karena akan hilang jika
mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

d. Physiological arousal

Sumber terakhir yang dapat mempengaruhi kekuatan self efikasi


adalah semangat fisiologis. Kekuatan fisik atau stamina seseorang
menentukan kemampuannya dalam mencapai tujuan, misalnya orang
yang mengeluh lelah cenderung malas dan tidak cukup tenaga untuk
braktifitas. Begitupun dengan mood, kecemasan, rasa takut stress dan
depresi menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan
kemampuan dan keyakinan yang tinggi.

7. Manfaat Self-efficacy

Menurut Bandura (1997) self-eficacy sangat berpengaruh dalam


kehidupan sehari-hari, yaitu diantaranya:

a. Pemilihan Tindakan

Dalam kehidupan sehari-hari individu harus membuat keputusan


setiap saat mengenai apa yang harus dilakukan dan seberapa lama
individu melakukan tindakan tersebut. Keputusan yang dibuat sebagian
dipengaruhi oleh Self-efficacy individu. Individu akan menghindari tugas
atau situasi yang diyakini di luar kemampuan individu, sebaliknya
individu akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk diatasi.

Individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi akan cenderung


memilih tugas yang lebih sukar dan mengandung tantangan dari pada
individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah.

15
b. Usaha dan Ketekunan

Self-efficacy menentukan seberapa banyak usaha yang dilakukan


individu dan seberapa lama individu akan tekun ketika menghadapi
hambatan dan pengalaman yang kurang menyenangkan. Individu yang
memiliki self-efficacy yang kuat lebih giat, bersemangat, dan tekun dalam
usaha yang dilakukannya untuk menguasai tantangan. Individu yang
tidak yakin dengan kemampuannya mengurangi usahanya atau bahkan
menyerah ketika menghadapi hambatan

c. Pola Pikir dan Reaksi Emosional

Bandura (1997) Penilaian individu akan kemampuannya juga


mempengaruhi pola pemikiran dan reaksi emosional. Individu yang
merasa tidak yakin akan kemampuannya mengatasi tuntutan lingkungan
akan mempersepsikan kesukaran lebih hebat daripada yang
sesungguhnya. Individu yang memiliki self-efficacy yang kuat akan
kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan,
sekalipun menghadapi hambatan.

d. Mekanisme Koping

Self-efficacy yang dimiliki individu mempengaruhi bagaimana


coping yang dilakukan individu ketika menghadapi masalah. Individu
dengan tingkat self-efficacy yang tinggi lebih mampu untuk mengatasi
stres dan ketidakpuasan dalam dirinya daripada individu dengan tingkat
self-efficacy yang rendah

8. Proses Self-efficacy

Berikut beberapa penjelasan bagaimana self efficacy sehingga mampu


mempengaruhi seseorang antara lain:
a. Cognitive Processes(proses kognitif)
Pengaruh dari self efficacy pada proses kognitif menurut beberapa
ahli psikologis dapat melalui berbagai cara. Kebanyakan seseorang
diarahkan malalui pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan.

16
Semakin kuat self efficacy yang dimiliki, semakin tinggi tujuan yang
ditetapkan maka semakin baik cara seseorang dalam menghadapi cobaan,
hambatan dan masalah yang terjadi.
b. Motivation Processes (Proses Motivasi)
Motivasi manusia sebagian besar dihasilkan dari proses berfikir
kognitif. Sesorang berusaha memotivasi dirinya dengan menetapkan
keyakinn, merencanakan dan merealisasikan tindakan yang akan
dilakukan, mengantisipasi kemungkinan yang bisa menghambat dari
rencana tindakan. Selanjutnya menetapkan dan merencanakan program
yang telah disiapkan untuk mewujudkan program yang berkelanjutan.
c. Afective Processes (Proses Afeksi)
Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang
timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi
terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan
intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol
kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang
benar untuk mencapai tujuan.
d. Selection Processes (Proses Seleksi)
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat
mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan seseoarang dalam
melakukan seleksi tingkah laku membuat seseoarang tidak percaya diri,
bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi
sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu melaksanakan
aktivitas yang dipilih berdasarkan situasi yang ada.

9. Self efficacy Training

Self efficacy training merupakan suatu kegiatan atau pelatihaan


yang dilakukan oleh seorang trainer (pelatih) kepada seseorang atau
kelompok sehingga seseorang atau kelompok tersebut mampu memiliki
keyakinan (belief) terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan.

17
Self efficacy training telah banyak digunakan oleh berbagai profesi sebagai
bentuk usaha dalam meningkatkan self eficacy dalam mennjalannkan
profesinya.( Salam, 2017)

Pelatihan merupakan suatu konsep pembelajaran yang


memfokuskan pada praktek dan penghayatan. Praktek dan penghayatan
terhadap suatu pembelajaran sangat diperlukan agar seseorang dapat aktif
dan dapat mengulangi materi yang telah diajarkan kepadanya. Praktek dan
penghayatan diharapkan juga mampu untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan seseorang terhadap suatu materi yang disampaikan.

Noe pada tahun 2010 telah mengusulkan suatu pendekatan proses


pembelajaran melalui pengalaman untuk mengubah tingkat laku seseorang
secara sistematis. Pendekatan experimental learning dapat digambarkan
sebagai berikut :

a. Concrete Experience
Adalah suatu proses pemberian kegiatan yang dapat secara
langsung memberikan pengalaman yang nyata kepada peserta pelatihan
untuk merasakan apa ynag terjadi ketika seseorang mengikuti kegiatan
tersebut. Pengalaman dalam hal ini adalah bersifat individual sehingga
dibutuhkan suatu kegiatan yang relevan dengan sasaran pemebelajaran.
b. Reflective Observational

18
Adalah suatu kegiatan yang mengharuskan seseorang untuk
mengamati dan merefleksikan kembali apa yang telah dialami dari proses
sebelumnya. Hal ini dilakukan agar seseorang dapat mengenali dan
memanfaatkan peristiwa penting dalam hidupnya sehingga dapat dijadikan
acuan dalam melakukan sesuatu kedepan.
c. Abstract Conceptualization
Adalah suatu kegiatan yang mengharuskan peserta pelatihan untuk
merumuskan dan menyimpulkan sesuatu tentang dirinya atau tentang
konsep yang relevan dengan sasaran pembelajaran. Hal tersebut dapat
berupa kesimpulan mengenai kelebihan dan kekurangan diri dari sisi
negative dan positif.
d. Active Experintation
Proses mempraktekkan tingkah laku yang merupakan tujuan
pembelajaran. Seseorang diberi kesempatan untuk melakukan hal yang
pernah diajarkan sesuaidengan konsep pemeblajaran dan menghilangkan
sama sekali kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran.

10. Self efficacy training dengan menggunakan metode peer.


Seiring berjalannya waktu pendidikan kesehatan semakin
berkembang, baik secara teoritis maupun tekhnis pembelajaran . dengan
menggunakan metode peer (teman sebaya) dianggap sebagai metode yang
efektif dalam membagi sebuah informasi khusunya informasi kesehatan.
Metode peer terbagi atas dua yaitu Peer Educator atau support
sebaya dan Peer Support Group.
a. Peer Educator
Peer Educator disebut support sebaya adalah bentuk pembelajaran
dengan melakukan bimbingan yang biasanya terjadi antara orang yang
telah memiliki pengalaman tertentu (peer support) dan seseorang yang
belum memiliki pengalaman (peer mentee).
Peer Educator dapat digunakan pula untuk merubah perilaku
kesehatan dan gaya hidup. Dengan kasus penyakit tertentu untuk

19
memulihkan atau melakukan rehabititasi dapat digunakan peer support
yang akan memebrikan pengalaman kepada seseorang yang menderita
penyakit yang sama namun belum mengetahui tentang konsep
keperawatan yang benar. Metode pembelajar peer support memiliki
perang yang lebih banyak dibandingkan peer mentee yang cenderung
untuk menerima materi yang diajarkan oleh peer support. Jadi dalam
metode peer educator, peer support adalah sumber informasi bagi peer
mentee.
b. Peer Support group
Peer Support group adalah tentang memahami diri dari sisi orang
lain melalui pengalaman bersama karena memiliki kondisi dan rasa
emosional yang hampir sama. Dengan adanya hubungan yang
menempatkan posisi diri seperti menjadi orang tersebut sehingga
kelompok tersebut memiliki ikatan yang lebih dekat sehingga merasa
memiliki satu sama lainnya.
Adanya hubungan keterikatan tersebut maka memungkinkan
anggota kelompok sebaya (Peer Support group) untuk mencoba
perilaku baru bersama-sama dan saling memberdayakan.

11. Instrumen untuk menilai tingkat self efficacy


Indonesian Adaptation of the General Self-Efficacy Scale
By Aristi Born, Ralf Schwarzer & Matthias Jerusalem, 1995

1 Pemecahan soal-soal yang sulit selalu berhasil bagi saya, kalau saya
berusaha.
2 Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya akan mencari cara dan
jalan untuk meneruskannya.
3 Saya tidak mempunyai kesulitan untuk melaksanakan niat dan tujuan
saya.
4 Dalam situasi yang tidak terduga saya selalu tahu bagaimana saya harus
bertingkah laku.
5 Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu yang baru, saya tahu

20
bagaimana saya dapat menanggu-langinya.
6 Untuk setiap problem saya mempunyai pemecahan.
7 Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang, karena saya selalu
dapat mengandalkan kemampuan saya.
8 Kalau saya menghadapi kesulitan, biasanya saya mempunyai banyak ide
untuk mengatasinya.
9 Juga dalam kejadian yang tidak terduga saya kira, bahwa saya akan
dapat menanganinya dengan baik.
10 Apapun yang terjadi, saya akan siap menanganinya.

Response Format:

1 = tidak setuju 2 = agak setuju 3 = hampir setuju 4 = sangat sangat

21
B. KONSEP GERAGOGY
1. Defenisi
Geragogy adalah model pembelajaran yang diterapkan untuk lanjut
usia dengan mempertimbangkan berbagai perubahan yang terjadi akibat
proses penuaan dan dapat mempengaruhi proses belajar (Glendening &
Cusack, 2000).
Gerarogi adalah suatu disiplin ilmu integratif yang dikhususkan pada
lansia yang berpotensi ataupun mengalami kecacatan dan merupakan suatu
bagian dasar dari pendidikan Gerontologi. (Maderer & Skiba, 2006).
Dalam proses pendidikan kesehatan model belajar geragogy ini
diaplikasikan dengan mengulang-ulang poin utama, selanjutnya melakukan
evaluasi setelah diskusi tiap poin penting, serta melakukan demonstrasi dan
memprioritaskan praktek perawatan diri yang perlu dikuasai oleh lansia
(Thomas, 2007). Perubahan usia yang dimulai padda saat menginjak dekade
ke dua ini merupakan salah satu factor yang dapat mepengaruhi pemberian
health promotion, olehnya itu perawat harus memahami dan memberikan
intervensi yang sesuai dengan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan oleh
lansia.(Bastable, 2000)
Selain itu, informasi tertulis yang didominasi oleh gambar berukuran
besar dibanding banyak kata-kata, akan lebih mampu membantu lansia
mengingat informasi yang diberikan. Berbicara jelas namun lambat serta
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti bagi lansia juga dapat
membantu lansia memahami informasi kesehatan yang diberikan (Speros,
2009).

22
Pendapat serupa mengemukakan bahwa geragogy dapat dikatakan
sebagai Intervensi pribadi yang berfokus pada pelatihan individu dan tugas
kelompok, pelatihan individu yaitu untuk dapat membedakan antara
berjalan, naik turun tangga, naik sepeda, pelatihan kebugaran, latihan
keseimbangan, menggambar, membuka baju, mencuci diri sendiri, makan,
minum, pelatihan pidato, pijat, dan stimulasi dasar, sedangkan untuk tugas
kelompok yaitu pelatihan memori, sastra, sejarah lokal dll. (Maderer &
Skiba, 2006).

Weinrich & Boyd, (1992) menyimpulkan dari hasil penelitian


sebelumnya bahwa pendidikan pada lansia itu dipengaruhi oleh beberapa
faktor:

a. Kematangan fisik
Seiring bertambahnya usia , terjadi berbagai perubahan fisik pada
tubuh sehingga tubuh tidak lagi berfungsi secara normal. Semakin
tua seseorang maka tubuh akan mengalami perubahan fungsi
fisiologis seperti pada indera penglihatan, pendengaran,
pengecapan, perabaan dan penciuman yang akan berdampak pada
kemampuan belajar. Selain itu perubahan fisiologis lainnya dapat
mempengaruhi fungsi organ yang mengakibatkan penurunan curah
jantung, kinerja paru dan laju metabolisme yang akan
berdampak pada kurang energi yang dihasilkan dan mengurangi
kemampuan mengatasi stress
b. Kognitif
Proses penuaan juga mempengaruhi fikiran ,karena seiring
bertambahnya usia terjadi perubahan seluller permanen di dalam
otak yang dapat mengakibatkan berkurangnya neuron yang tidak
memiliki daya degeneratif. Secara fisiologis
penelitian memperlihatkan bahwa ada dua jenis kemampuan yaitu:
Fluid intellegence dan crystallizedintellegence. Penurunan fluid
Intellegence dapat mengakibatkan perubahan spesifik seperti: waktu

23
proses yang melambat, ketetapan stimulus (kesan), menurunnya
memori jangka pendek, meningkatnya ansietas, mengubah persepsi
waktu
c. Psikososial
Erikson (1963) menyatakan tugas perkembangan psikososial
pada fase dewasa tua sebagai integritas ego versus kepuasan,
karena pada fase ini mencakup bagaimana penanganan terhadap
realitas penuaan yang penerimaan kenyatan bahwa semua makhluk
hidup akan mati. Psikososial berperan untuk merubah gaya hidup
dan status sosial yang terjadi akibat pensiun, penyakit, berpisahnya
anak, cucu, dan teman, pindah ke lingkungan yang baru seperti
panti werda.

Model pembelajaran geragogi Speros (2009) mengemukakan bahwa


lansia lebih sulit memahami konsep yang abstrak, lebih lambat memproses
informasi yang diberikan,dan kemampuannya untuk menyimpan memori
lebih sedikit (Irwan, 2018). Menurut thomas (2007) perlu diperhatikan
beberapa aspek dalam model belajar geragogy yaitu sebagai berikut:

a. Mengulang-ulang poin utama dalam pemberian pendidikan


kesehatan

b. Melakukan evaluasi setelah diskusi tiap poin penting

c. Melakukan demonstrasi

d. Memprioritaskan praktek perawatan diri yang perlu dikuasai


oleh lansia (Irwan, 2018)

2. Ruang Lingkup Geragogy


Intervensi geragogy meliputi empat aspek yaitu (Maderer & Skiba, 2006) :
a. Kemampuan psikologis meliputi kemampuan persepsi, kognitif,
kemampuan orientasi, perhatian dan memori. Adapun juga gangguan
penyerta pada lansia seperti kecemasan, depresi atau lekas marah,
kegelisahan batin, atau kurangnya kontrol diri.

24
b. Kemampuan fisik meliputi fokus pada kekuatan indera, aktifitas motorik,
keseimbangan, sistem otot sebagai gerakan kontrol motorik.
c. Hubungan sosial yang terkait dengan perasaan emosional, hubungan
sosial akan dipengaruhi oleh pengetahuan sejarah terkait banyak orang
dengan beberapa cacat mental dan fisik.
d. Latar belakang biograhapic terkait dengan peristiwa kehidupan yang
dirasakan sebagian besar berbeda setiap orang berbeda–beda dengan
representasi kognitif kedalam peristiwa kehidupan yang mengacu pada
pengembangan psikomotor dan hubungan sosial.
3. Perubahan Fungsi Kognitif pada Lansia.
Pada umumnya setelah individu memasuki usia lanjut maka ia akan
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif
meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dll
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat.
Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang
berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian
lansia. Menurut Padila (2013) Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan
dalam 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
a. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality)
Dimana pada tipe ini lansia tidak banyak mengalami gejolak atau
masalah, lansia yang tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent Personality).
Pada tipe ini ada kecendrungan mengalami post power syndrome,
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe kepribadian tergantung (Dependent Personality).
Pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila
kehidupan keluarga harmonis maka pada masa lansia tidak memiliki

25
banyak beban/ masalah , tetapi jika pasangan hidup meninggal maka
pasangan yang ditinggalkan akan menjadi sangat kehilangan.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility Personality)
Pada tipe ini lansia merasa tidak puas dengan kehidupannya pada saat
memasuki masa lansia, banyak keinginan yang kadang tidak
diperhitungkan dengan baik sehingga menyebabkan kondisi ekonomi
menjadi sulit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate Personality)
Pada tipe ini lansia akan Nampak sensara, karena perilakunya sendiri
yang sulit dibantu oleh orang lain sehingga membuat susah dirinya
sendiri.
4. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Kognitif Lansia.
a. Penurunan kondisi fisik
Setelah memasuki masa lansia pada umumnya akan mengalami
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda misalnya tenaga
berkurang, energy menurun, kulit makin keriput, gigi tanggal, tulang
makin rapuh, dll. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia akan mengalami penurunan secara berlipat
ganda. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya akan menyebabkan
ketergantungan kepada orang lain.

b. Penurunan fungsi dan potensial seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia seringkali
disebabkan karena psikologis yang menyertai lansia seperti kelelahan
atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupan, pasangan
hidup yang telah meninggal dan disfungsi seksual karena perubahan
hormonal atau masalah kesehatan jiwa misalnya depresi, cemas dan
pikun.
c. Perubahan Berkaitan dengan Pekerjaan

26
Pada umumnya perubahan ini diawali etika masa pensiun. Karena
pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan,
jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri.
d. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak
fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional sehingga
sering menimbulkan keterasingan.
e. Perubahan Tingkat Depresi
Tingkat depresi adalah kemampuan lansia dalam menjalani hidup
dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama
keluarga dengan penuh kasih sayang.
f. Perubahan Stabilitas Emosi
Kemampuan seorang lansia untuk menghadapi tekanan atau konflik
akibat perubahan-perubahan fisik, maupun social-psikologis yang
dialami dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan
dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan.

5. Aspek Penilaian Intervensi Geragogy


Terdapat empat aspek yang dapat dinilai untuk melihat keberhasilan suatu
intervensi geragogy yaitu (Maderer & Skiba, 2006)
a. Kompetensi kognitif
Lansia dapat berkonstribusi dalam pengaturan kelompok geragogy
untuk memicu stabilisasi kemampuan kognitif kelompok para lansia.
b. Status Perilaku
Lansia yang mengalami kelemahan dapat ikut berpartisipasi dalam
pengaturan kelompok geragogy dan menunjukkan perkembangan

27
komeptensi yang lebih baik dibandingkan ketika ia masih dirawat di
perawatan bangsal.
c. Interaksi sosial
Yang dimana timbulnya interaksi para lansia serta ikut berpartisipasai
dalam pengaturan kelompok dan terjadinya peningkatan interaksi seperti
mereka dapat saling memandang, saling tersenyum, dan menaruh minat
kerja sama antar satu sama lain.
d. Harapan hidup
Meningkatnya taraf hidup para lansia penghuni panti jompo, serta
mampu ikut berpartisipasi dalam menjalani hidup yang lebih lama
ketimbang para lansia yang kehidupannya berada di luar panti jompo.

BAB III

ANALISIS TEORI KEPERAWATAN

Penerapan Teori Self Efficacy dan Geragogy dalam Proses Keperawatan


1. Kasus
Pasien lansia berjenis kelamin laki-laki berusia 62 tahun dirawat di
rumah sakit dengan keluhan utama sesak, ini dialami sejak tiga hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Pada saat pengkajian pasien merasa
lemas, tidak berdaya dengan tanda-tanda vital TD 150/96 mmHg, nadi
128 kali permenit dengan kualitas kuat angkat irreguler, pernapasan 30
kali pemenit, suhu 36,7oC, batuk berdahak. Didiagnosa Penyakit Jantung

28
Kronik dengan riwayat pemasangan cincin sejak 2 tahun yang lalu, keluar
masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama. Saat pengkajian mengenai
riwayat diet, pasien mengakui bahwa diet yang ia jalankan sesuai dengan
keinginannya dan kebiasaan merokoknya sejak dulu tetap ia lakukan.
Salah satu makanan kesukaannya adalah makan es krim dan coto yang
sangat sulit untuk diintervensi karena ia mengancam untuk tidak
mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan jika keinginan makan es krim
dan makan cotonya tidak dipenuhi. Dari hasil pengkajian tersebut,
didapatkan masalah manajemen pelaksanaan diet jantung.
Pasien ini diketahui memiliki enam orang anak yang sudah
berkeluarga dan semua tinggal jauh dari Kota Makassar sehingga pasien
tinggal sendiri. Sangat jarang dikunjungi oleh anak-anaknya dan hanya
dibantu oleh seorang ajudan kantornya yang sudah bekerja dengan dia
sejak lama. Pasien sudah pensiun sejak enam tahun yang lalu.
Setelah dua hari perawatan diketahui bahwa pasien sangat tau
mengenai terapi yang diberikan termasuk obat-obatan yang dia konsumsi
sampai pada fungsi dari obat-obatan tersebut. Dan pasien mampu
membuat doker penanggung jawabnya memberikan ijin tertulis untuk
keinginan makan makanan kesukaannya yaitu es kriem.

Dari kasus di atas, penulis menyimpulkan bahwa pasien memiliki


self efficacy yang tinggi ditandai dengan pengetahuannya akan terapi
jantung dan obat-obatan yang dikonsumsi semua diketahui dan ini
disukung oleh tingkat pendidikan yang tinggi dilihat dari riwayat
pekerjaan namun, ada satu perilaku yang maladaptive yang sangat dia
pertahankan yaitu kesukaannya dengan es krim.

2. Dalam kasus di atas maka perawat merencanakan melakukan pelatihan


untuk meningkatkan Self Efficacy (Self Efficacy Training) dengan metode
Active Experience dan metode Peer Support
a. Metode Active Experience

29
Dengan metode Active Experience, dimana perawat sebagai pendidik
dalam hal ini membuat rancangan kegiatan dengan melihat proses,
mencoba perilaku baru yang merupakan outcome dari kegiatan. Dalam
metode Active Experience perawat memberikan pengajaran tentang
penatalaksanaan diet jantung menggunakan media visual berupa poster
dan metode demonstrasi. Dalam kasus di atas perawat melakuan
demonstrasi tentang perancangan makanan pada diet jantung.
b. Metode Peer Support
Pasien akan diberikan pendidikan kesehatan dengan mengenalkan
pasien dengan teman lansia yang mengalami penyakit yang sama dan
telah memiliki pengalaman tertentu yang sejauh ini telah berhasil
melakukan diet jantung dan olah raga yang teratur sesuai kemampuan.

3. Proses untuk meningkatkan Self Efficacy


Pendekatan yang digunakan adalah pelatihan untuk meningkatkan Self
Efficacy (Self Efficacy Training) dengan metode Active Experience dan
metode Peer Support yang kelak diharapkan dapat mempengaruhi fungsi
manusia melalui empat proses yang berkesinambungan satu sama lain
meliputi kognitif, motivasional, afektif, dan seleksi. Berikut aplikasi teori
dengan kasus dari masing-masing proses:
a. Proses Kognitif
Pada kasus diatas informasi yang diberikan terkait diet penyakit
jantung yaitu antara lain cukup energy untuk menunjang aktifitas
lansia, protein yang rendah lemak, vitamin, mineral, membatasi garam,
konsumsi serat yang cukup, lemak dianjurkan tapi daalm batas toransi
(20gr) serta menghindari makanan seperti olahan yang banyak
mengandung natrium, teh/kopi, minuman soda dan alcohol dan untuk
bumbu sebisa mungkin menghindari bumbu masak dengan rasa yang
tajam seperti rasaasam dan pedas

30
Setelah dilakukan Self Efficacy Training diharapkan akan merubah
pola fikir dan visualisasi pasien sehingga akan semakin memperkuat
efikasi diri pasien guna mencapai tujuan yang lebih baik (sembuh) dan
akan menjaga berkomitmen untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan
mengembangankan cara-cara positif untuk mengendalikan peristiwa
yang mempengaruhi kesehatan kehidupan pasien.
b. Proses Motivasional
Mengingat sebelumnya pasien adalah seorang dengan efikasi tinggi
maka diharapkan akan menunjukkan outcome expectancies (dalam
teori expectancyvalue), individu dengan efikasi diri tinggi akan merasa
mampu mencapai ekspektasi mereka terhadap suatu outcome yang
sesuai dengan value mereka dengan kemampuan mereka sendiri
sehingga akan lebih termotivasi untuk meningkatkan derajat
kesehatannya. Ditunjang lagi dengan kepercayaan efikasi yang tinggi
akan mempersiapkan diri dengan lebih baik sehingga mampu
menghadapi tantangan yang ada untuk mencapai tujuan (kesembuhan)
c. Proses Afektif
Pendekatan peer support dengan menghadirkan teman masa lalu klien
dengan masalah yang serupa namun telah mampu menjaga kondisi
kesehatannya menjadi lebih baik.
Tidak bisa di pungkiri bahwa ketika status kesehatan seorang lansia
terganggu akan berdampak terhadap kecemasannya, namun seseorang
dengan efikasi tinggi akan mampu mengendalikan stressor dan
ancaman-ancaman yang potensial tidak akan memunculkan pikiran
negatif sehingga tidak akan memunculkan kecemasan dan depresi.
d. Proses seleksi
Keyakinan atas efikasi diri sendiri bisa membentuk jalan hidup
seseorang melalui pengaruh terhadap pilihan aktivitas-aktivitas apa
yang akan mereka lakukan dan lingkungan mana yang akan mereka
masuki. Individu dengan efikasi diri akan menghadapi aktivitas-

31
aktivitas sulit sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, bukan sebagai
ancaman yang harus dihindari.
4. Tujuan asuhan keperawatan
Diharapkan dengan melakukan pendidikan kepercayaan diri pasien dapat
merubah perilaku dengan memutuskan untuk patuh terhadap program
penatalaksanaan diet gizi yang diberikan oleh perawat. Dengan mematuhi
penatalaksaan diet gizi untuk penyakit jantung maka diharapkan terjadi
peningkatan kualtas hidup yang baik.

5. Peran perawat sebagai pendidik diharapkan dapat mengajarkan pasien


mengenai diet jantung dengan mempetimbangkan empat factor pembentuk
self efficacy yaitu: Mastery Experience, Role Modeling, Verbal
Persuasion, Physiological Arousal.
6. Evaluasi tindakan keperawatan
a. Pasien mampu menyebutkan jenis makanan yang ada dalam daftar
program diet jantung.
b. Pasien menunjukkan perubahan perilaku terhadap kepatuhan diet gizi.

32
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Self-eficacy adalah suatu keyakinan seseorang tentang kemampuan untuk
melakukan sesuatu sehingga menghasilkan kinerja yang dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang. Keyakinan ini menentukan bagaimana seseorang merasa,
berpikir, memotivasi diri dan berperilaku sehingga mampu untuk
mengendalikan lingkungan sosialnya.
Geragogy adalah dasar pemahaman dengan sasaran kelompok lanjut usia
dengan memperhatikan berbagai perubahan yang terjadi akibat proses menua
dan hal yang dapat mempengaruhi proses belajar pada lansia.
Teori Self efficacy dan geragogy dapat diaplikasikan dalam konsep
pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan lansia, dengan Self eficacy
yang tinggi akan mudah dalam melakukan intervensi geragogy dan dapat
meningkatkan kemampuan, tujuan dan harapan hidup mereka.
B. Saran
Setelah mengetahui teori Self efficacy dan geragogy diharapkan perawat
dapat meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya
kepada lansia.

33
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2007). Psikologi kepribadian. UMM Press: Malang, hlm, 287.


Bandura, A. (1994). Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of
human behavior (vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic press.
(Reprinted in H. Friedman (Ed), Encyclopedia of mental healt. San
Diego: Academic press, 1998).
Bandura, Albert. (1997). Self-efficacy; The Exercise of Control. New York: W.H.
Freeman and Company.
Bandura, A. (2005) . Theories Of Personality, sixt edition. Social Cognitive
Theory.The Mc Graw-Hill companies. Hlm. 470.
Bastable, S.B (2002), Geragogi 3_qRuNgt (I). Jakarta: EGC

Chesser AK et al. (2015). Health literacy and older adults: a systematic review.
Gerontology and Geriatric Medicine, 2: 1- 13.

Findsen, B & Formosa, M. (2011). Belajar Sepanjang Hayat Di Kemudian Hari:


Sebuah Buku Pegangan Pada Yang Lebih Tua Pembelajaran Lansia.
Amsterdam: Sense.

Glending F, Cusack SA. (2000). Teaching and Learning in later life: Theorical
implication. Vermont, VT: Ashgate Publishing Company.

Gomez RD. (2015). Critical Geragogy and foreign language learning: An


exploratory application. Kobe City University of Foreign Studies, Jepang.
VOL. 42, NO. 2, 136 – 143 DOI: 10,1080 / 03601277.2015.1083388.

34
Maderer, P., & Skiba, A. (2006). Integrative Geragogy: Part 2: Interventions and
legitimizations. Educational Gerontology, 32(2), 147–158.
https://doi.org/10.1080/03601270500388174.

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nuha Medika

Redmond, B. F. (2010). Work Attitude and Job Motivation. Retrieved from


https://wikispaces.psu.edu/pages/viewpage.action?pageId=56871159

Salam, A. Y.(2017). Efek Self Efficacy Training Terhadap Self Efficacy dan
Kepatuhan Diet Diabetes, Retrieved from
http://eprints.undip.ac.id/5546/1/PROPOSAL_TESIS_1.pdf

Speros CI. (2009). More than words: promoting health literacy in older adults.
The online journal of issue in Nursing. , 4 ( 3), Manuscript 5.

Salam,A. Y.(2017) Efek Self Eficacy Training Terhadap Self Eficacy dan
Kepatuhan Diet Diabetes . Retrieved from
http://eprints.undip.ac.id/5546/1/PROPOSAL_TESIS_1.pdf
Thomas CM. Bulletin boards: a teaching strategy for older audiences. J. Gerontol.
Nurs. 2007; 33: 45-52.
Warsito, H.(2009). Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Penyesuaian
Akademik dan Prestasi. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, IX(1, 29-47)

35
36

Anda mungkin juga menyukai