Patofisiologi Drowning
Patofisiologi Drowning
Patofisiologi Drowning
Keselamatan seseorang yang tenggelam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
adalah ketahan fisik, kemampuan berenang, keberadaan bantuan alat pelampung,
jarak untuk
mencapai tempat yang aman, suhu air, usia, dan lain-lain.
Serangkaian proses akan terjadi sebagai berikut: pertama terjadi suatu periode
panik
dan usaha yang hebat dengan berhenti bernapas selama 1- 2 menit, selajutnya
terjadi refleks
menelan sejumlah air diikuti laringospasme, hipoksia menyebabkan apnea,
penurunan
kesadaran, lalu relaksasi laring dan air masuk ke dalam paru-paru dalam jumlah
lebih banyak
akhirnya menjadi asfiksia dan kematian. Pada sebagian besar kasus, terjadi aspirasi
air yang
banyak ke dalam paru, tetapi pada lebih kurang 10% korban tetap terjadi
laringospasme, dan
terjadi apa yang disebut
dry drowning
.
Secara teoritis, berdasarkan tonisitas cairan yang masuk ke ruang alveolus, kasus
tenggelam dibedakan menjadi tenggelam di air laut dan di air tawar. Selain itu ada
juga
pembagian kasus tenggelam berdasarkan temperatur airnya.
Luas permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa, dan secara proporsional
memiliki jumlah lemak subkutan yang lebih sedikit. Hal ini akan memudahkan
timbulnya
hipotermia. Beberapa teori menyatakan bahwa pada hipotermia atau pada keadaan
tenggelam
di air dingin akan terjadi refleks “
diving”
pada anak. Refleks tersebut terdiri dari bradikardi,
penurunan atau penghentian laju pernapasan, dan perubahan dramatis
pada sirkulasi,
sehingga terjadi redistribusi darah ke organ-organ seperti jantung, paru dan
otak.Patofisiologi
hampir tenggelam berhubungan erat dengan hipoksemia multiorgan.
Efek terhadap paru
Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air secara besar-
besaran dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini dikarenakan
tekanan
osmotik di dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada tekanan osmotik di
dalam
alveolus. Perpindahan tersebut akan menyebabkan hemodilusi. Air akan memasuki
eritrosit,
sehingga eritrosit mengalami lisis. Eritrosit yang mengalami lisis ini akan
melepaskan ion
kalium ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan peningkatan kadar kalium di
dalam
plasma (hiperkalemi).
Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban sirkulasi yang meningkat
akibat
penyerapan air dari alveolus dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel. Apabila aspirasi
air
cukup banyak, akan timbul hemodilusi yang hebat. Keadaan ini akan menyebabkan
curah
jantung dan aliran balik vena bertambah, sehingga mengakibatkan edema umum
jaringan
termasuk paru.
Aspirasi air tawar hipotonik dapat mengurangi konsentrasi surfaktan sehingga
dapat menyebabkan instabilitas alveolar sehingga terjadi kolaps paru.
Pada inhalasi air laut, tekanan osmotik cairan di dalam alveolus lebih besar daripada
di dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, plasma darah akan tertarik ke dalam
alveolus.
Proses ini dapat mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular,
sehingga terjadi
hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hipovolemia mengakibatkan terjadinya
penurunan
tekanan darah dengan laju nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat
anoksia dan
insufiensi jantung dalam 3 menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga akan
mengurangi
konsentrasi surfaktan. Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli dan
sistem kapiler,
sehingga terjadi penurunan kapasitas residu fungsional dan edema paru.
Akibat lebih lanjut
lagi, dapat terjadi atelektasis karena peningkatan tekanan permukaan alveolar.
Bila korban mengalami aspirasi atau edema paru, dapat terjadi
acute respiratory
distress syndrome (ARDS)
. Saluran respiratorik yang tersumbat oleh debris di dalam air
akan
menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik dan memicu pelepasan
mediator-