Anda di halaman 1dari 9

PENGALAMAN HIDUP YANG TAK TERLUPAKAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu:

Miftahul Huda, S.S., M.A.

Disusun Oleh:

Musyafa Ahmad Arfani

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR
SARANG REMBANG

2017
Perkenalkan, nama saya Musyafa Ahmad Arfani. Saya berasal dari Kota
Bandar Lampung , Provinsi Lampung. Saya ingin menceritakan tentang diri saya,
dan bagaimana saya bisa kuliah di STAI Al-Anwar yang tercinta ini.
Saya lahir disebuah desa, yang bernama Sojokerto,Kecamatan Leksono,
Kabupaten Wonosobo, pada tanggal 29 September 1998, bertepatan pada hari
Selasa. Bagaimana saya bisa tinggal di Lampung itu berawal dari keinginan orang
tua untuk mencari lahan pekerjaan yang kondusif. Akhirnya keluarga dari Bapak,
saya semuanya boyongan ke Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Lampung.
Rumah saya beralamat di Jl. Banten Kp. Slirit Kel. Bakung Kec. Teluk Betung
Barat Kota Bandar Lampung Prov. Lampung.
Lampung merupakan sebuah provinsi di Indonesia. Terdapat 2 kota dan 13
kabupaten. Memiliki luas 35.376,50 km², terletak terletak di antara 105°45'-
103°48' BT dan 3°45'-6°45' LS. Provinsi ini, di sebelah barat berbatasan dengan
Samudera Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan
dengan provinsi Sumatera Selatan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat
Sunda.
Menurut saya, Provinsi Lampung merupakan daerah yang mempunyai
berbagai macam suku, karena faktor transmigrasi dari berbagai daerah di
Indonesia. Suku yang mendominasi disana adalah budaya dari Jawa, kemudian di
susul oleh Lampung, Sunda, Minangkabau, Batak dan Bali. Jadi, jangan heran,
kalau disana banyak orang yang memakai bahasa Jawa dan Sunda. Namun saya
pribadi, terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang sudah banyak berubah,
alias bahasa Indonesia gaul daerah Lampung mempunyai kekhasan tersendiri.
Masa kecil dihabiskan di sekolah MIN 1 Teluk Betung Utara, yang
beralamat di Jl. Drs. Warsito No. 50 Teluk Betung Utara, Bandar Lampung.
Sebuah sekolah yang dekat dengan kantor DPRD Lampung tersebut, mempunyai
daya tarik tersendiri bagi warga masyarakat sekitar. Terutama, karena program
dana BOS yang diterapkan pemerintah saat itu. Dan juga Pendidikan Keagamaan
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.
Dari kelas 1 sampai kelas 6, saya bersekolah disana, tidak dikenakan
biaya sama sekali. Suatu hal yang baru saya sadari sekarang, bahwa biaya untuk
bersekolah tidaklah murah. Saya bersyukur bisa bersekolah disana, banyak hal
yang saya dapatkan, berupa ilmu, pengalaman, teman-teman yang bermacam-
macam sifatnya.
Guru-guru yang mengajar di sana, mempunyai cara mengajar masing-
masing, seperti Pak Guru Bahasa Arab yang tegas sekali dalam menghukum
muridnya, Pak Guru IPA yang mengasyikkan sekali cara mengajarnya, Pak Guru
PKn, di sela-sela beliau mengajar, beliau bercanda dengan murid-muridnya hal-
hal yang jorok (maaf : mesum) dan Bu Guru Matematika yang sangat galak dalam
mengajar, juga tidak luput dari ingatan.
Setelah bersekolah disana, saya memutuskan untuk mondok. Tetapi saya
belum mendapatkan gambaran, akan kemana saya akan pergi. Akhirnya Paman
saya menyarankan Orang Tuaku untuk memondokkan saya di Ponpes Darul Falah
Amtsilatī. Satu minggu saya menganggur di rumah, menunggu keputusan dari
Orang Tua. Banyak pilihan pondok pesantren saat itu yang ditawarkan kepadaku,
tetapi orang tua saya akhirnya memilih untuk memondokkan saya di sana, Ponpes
Darul Falah Amtsilatī.
Pondok Pesantren Darul Falah, merupakan pondok pesantren yang
mempunyai suatu metode cepat mempelajari kitab kuning, bernama Amtsilatī.
Diresmikan pada tahun 21 Mei 2002. Beralamat di Jl. Kenanga II, RT.03 /
RW.12, Dk. Sidorejo, Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Secara geografis,
pondok ini terletak di sebelah utara jalur utama transportasi, yaitu Jalan Raya
Jepara-Pati. Jalan ini terletak disamping sungai yang menjadi perbatasan pondok.
Di sebelah selatan pondok terdapat persawahan. Pondok ini terbangun di daerah
dataran yang miring, membuat pembangunan di sana harus beradaptasi dengan
lingkungan.
Santrinya berasal dari berbagai daerah di penjuru tanah air : Bali, Madura,
Jawa Timur, Bawean, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi. Sampai sekarang telah tercatat lebih dari ribuan santri lulusan Darul
Falah yang hanya nyantri 3 bulan sampai 6 bulan. Dengan adanya Madīn sekarang
santri berjumlah kurang lebih 3000 santri putra-putri.
“Amtsilatī” berasal dari kata amṣilah, artinya beberapa contoh.
Mengunakan akhiran “ti”, karena terinspirasi dari salah satu metode membaca
Alquran, yaitu metode Qirāa’ti. Metode Qirāa’ti, merupakan metode mempelajari
cara membaca al-Qura’n atau huruf Arab yang ada harakatnya. Maka Beliau
berkeinginan menciptakan metode yang bisa digunakan untuk membaca huruf
Arab, yang tidak ada harakatnya.
Amtsilatī terdiri dari lima jilid. Setiap jilid diajarkan dalam waktu kurang
lebih satu minggu. Seminggu enam kali pertemuan dan satu hari cukup satu kali
pertemuan saja dengan durasi waktu 60 menit. 15 menit pertama untuk mengulang
rumus qa'idah, 30 menit penambahan materi secara klasikal, 15 menit terakhir
setoran hafalan rumus Qā’idah berikut Khulaṣah Alfiyyah Ibn al-Mālik secara
individual (sorogan).
Bagiku, Pondok Pesantren Darul Falah merupakan pondok yang
menerapkan pendidikan agama, dengan kurikulum berbasiskan kompetisi dan
kompetensi. Di pondok ini, murid-murid berlomba lomba untuk menguasai
pelajaran yang diberikan oleh guru. Murid yang pandai akan bersaing dengan
murid pandai lainnya dengan persaingan yang sehat. Sedangkan murid yang
kurang pandai akan matang dengan sendirinya,karena harus terus mengulangi
pelajaran sampai mampu. Jadi, sistem kurikulum ini sangat bagus untuk
membangkitkan kesemangatan belajar siswa.
Darul Falah, terdiri atas dua pondok, yakni pondok putra dan putri.
Pondok putra, terdapat banyak asrama. Saat ini, ada enam asrama. Hampir nama
semua asrama di Darul Falah menggunakan nama-nama Surga. Asrama an-
Na’īm, asrama al-Ma’wa, asrama Darussalam, asrama Illiyyin, asrama Takhaṣuṣ
dan asrama Taṣawwuf. Asrama an-Na’īm dan al-Ma’wa merupakan asrama yang
menampung para santri tingkat dasar. Kurikulum tingkatan dasar mempelajari
kitab Amtsilatī. Perbedaan antara kedua asrama tersebut adalah, an-Na’īm untuk
santri anak-anak, yang minimal lulusan MI atau sederajat. Sedangkan asrama al-
Ma’wa, khusus dihuni oleh santri usia dewasa, yang minimal lulusan SMP atau
sederajat.
Asrama Darussalam, ditempati oleh santri-santri yang sudah lulus
program Amtsilatī. Di asrama ini, anak-anak mempelajari program Bahasa Inggris
dan Arab. Lama waktu mempelajari masing-masing bahasa, kurang lebih tiga
bulan. Di asrama ini, diwajibkan berbahasa Arab dan Inggris. Setelah lulus dari
program bahasa, para santri kemudian mempelajari progam Madīn Amtsilatī.
Mereka menempati asrama Illiyyin, yang dijuluki sebagai asrama tertinggi di
Darul Falah.
Madīn Amtsilatī, merupakan program lanjutan dari program Amtsilatī.
Program ini, bertujuan untuk menerapkan teori metode Amtsilatī yang telah
dipelajari sebelumnya. Penamaan kelas tidak seperti kelas pada umumnya, akan
tetapi penamaan menggunakan nama bab pada kitab-kitab fikih, seperti Ṭāharah,
‘Ubūdiyyah, Taṣawwuf, Mu‘āmalah, Munākaḥah, Jināyah dan yang paling
terakhir, Tafsīr.
Masing-masing kelas mempunyai pelajaran yang sama dengan nama kelas.
Masa belajar yang ditentukan di setiap kelas berbeda-beda. Setiap tiga bulan, ada
ujian kenaikan kelas. Kelas yang memiliki waktu belajar enam bulan adalah
Ṭāharah, Taṣawwuf, Munākaḥah, Jināyah dan Tafsīr. Yang memiliki waktu
belajar satu tahun adalah ‘Ubūdiyyah dan Mu‘āmalah. Jadi, total waktu yang
dibutuhkan untuk menamatkan program ini, adalah empat tahun enam bulan.
Terdapat pula asrama Takhaṣuṣ. Asrama ini, merupakan asrama yang baru
dirintis. Sesuai namanya, asrama ini mempunyai kekhususan, yaitu asrama ini
dikhususkan untuk santri a’l-Ma’wa, dengan program baru yang bernama Madīn
Amtsilatī Kilatan. Program ini adalah ringkasan dari program Madīn Amtsilatī.
Masa belajar santri diringkas menjadi kurang lebih dua tahun. Bangunan asrama
ini, masih berupa gubuk yang semi permanen. Saat saya masih berada disana,
bangunan ini masih berupa tripleks, beratapkan seng putih.
Disana juga, terdapat MI Tahfīẓ al-Quran, dihuni oleh anak-anak yang
dikhususkan untuk menghafal Alquran. Selain itu juga, ada asrama menghafal
Alquran khusus yang sudah lulus Madīn Amtsilatī, yang bernama asrama
Mubarok. Metode yang digunakan dalam menghafal Alquran dikedua asrama ini
adalah metode yang disusun oleh putra KH. Taufiqul Hakim, Rizqi Al Mubarok.
Metode menghafalkan dengan pengulangan hafalan disetiap harinya. Dengan
pengulangan, maka hafalan akan menjadi kuat.
Akhirnya saya mondok di Darul Falah. Saya masuk di asrama an-Na’īm,
yang saat itu bernama Banī Taufīq. Pada waktu itu, lokasi Banī Taufīq masih
terletak di daerah samping asrama putri, yang saat ini sudah dikuasai oleh santri
putri, karena saat ini, pondok putri membutuhkan tambahan tempat untuk
menampung santri-santri baru.
Saya diantar oleh orang tua ke sana. Kemudian, orang tuaku
meninggalkanku. Rasa sedih saat itu, yang aku rasakan. Pada waktu itu, saya
masih belum mengetahui, apa itu mondok. Suasana yang benar-benar asing berada
di sana. Orang baru, wajah baru, dengan kegiatan-kegiatan yang menyibukkan.
Berikut adalah jadwal kegiatan yang saya lakukan sehari-hari, ketika
masih menjadi santri. Sebelum subuh dibangunkan untuk salat Tahajud, Witir,
Hajat. Setelah salat Subuh berjemaah, membaca surat Yāsīn dan Wāqi‘ah,
dilanjutkan pengajian umum. Kemudian dilanjutkan KBM (Amtsilatī, Madīn
Amtsilatī) pada jam 06:00, jam 06:45 – 07:30 salat Duha, jam 07:30 – 08:30
istirahat, jam 08:30 – 11:00 KBM (Amtsilatī, Madīn Amtsilatī), jam 11:00 – 13:00
istirahat, jam 13:00 salat Zuhur berjemaah, jam 13:30 – 16:60 KBM (Amtsilatī,
Madīn Amtsilatī), jam 16:30 – 17:30 istirahat, jam 17:30 – 21:00 salat Magrib,
pengajian umum, salat Isya dan KBM setoran (Amtsilatī, Madīn Amtsilatī), jam
21:00 – 22:00 istirahat, jam 22:00 – 03:00 wajib di asrama.
Mempelajari Amtsilatī, bagi saya, membutuhkan waktu yang sangat lama.
Mengapa bisa? Ini semua dikarenakan faktor kebodohan saya, yang sulit
memahami hal-hal baru, seperti nahwu dan ṣaraf. Saya mempelajarinya dalam
waktu kurang lebih satu setengah tahun. Bisa jadi, karena saya masih belajar
beradaptasi di lingkungan pondok pesantren, yang notabene lingkungan
pendidikan agama.
Lulus Amtsilatī, saya masih berniat untuk melanjutkan belajar di sana.
Saya pindah ke asrama Darussalam. Asrama ini lebih mementingkan berbahasa
dengan berbicara, bukan untuk menulis. Di asrama ini, terbagi menjadi dua
asrama lagi, yakni Markas Arab dan Markas Inggris. Di Asrama ini, terdapat
mata-mata bahasa yang bernama Qismullughoh. Qismullughoh ini, bertugas untuk
memata-matai santri-santri, yang tidak berbahasa Arab dan Inggris. Bagi santri
yang tidak berbahasa Arab dan Inggris, akan dihukum pada hari Senin dan Kamis.
Biasanya, hukuman yang diberikan olehnya, adalah denda.
Mempelajari bahasa Inggris, bagiku sangat mudah. Tetapi pada waktu itu,
saya lemah dalam mempelajari tenses atau rumus-rumusnya, dikarenakan belum
mengetahui faedah dari masing masing tenses. Saat ini, saya sudah mengetahui
perbedaan faedah dari masing-masing tenses, karena sudah dipelajari di kampus
ini. Mempelajari bahasa Inggris, harus dimulai dengan menghafalkan kosakata-
kosakata terlebih dahulu, agar mudah dalam membedakan masing-masing kata
dalam kalimat. Setelah itu, baru diajarkan berbagai rumus atau tenses.
Kelemahan saya juga – pada waktu itu -, mempelajari bahasa Arab. Entah
kenapa, saya lemah dalam mempelajari bahasa Arab, terutama menghafal
peribahasa-peribahasa Arab. Ternyata sekarang, saya mengetahui kenapa saat itu,
saya kesulitan dalam menghafal atau mempelajari bahasa Arab. Saya menemukan
dalam kitab Ta‘limul Muta‘alim, ada sebuah syair Arab yang berarti “Aku pernah
mengadukan kepada (Guru) Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu Beliau
menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku
bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada
ahli maksiat.”. Dengan kelemahan saya pada waktu itu, segala dengan izin Allah
Subḥānahu wa Ta‘ālā, saya bisa lulus dari test di Markas Arab dan Inggris.
Setelah lulus dari Markas Inggris dan Arab, saya melanjutkan pendidikan
di Madīn Amtsilatī. Secara otomatis, saya masuk ke asrama Illiyyin, yang saat itu
bernama Pacsa Amtsilatī. Saya bangga bisa masuk ke asrama ini, karena termasuk
perjuangan yang lama untuk bisa belajar di Madīn Amtsilatī. Dan, banyak orang-
orang hebat yang saya jumpai di asrama ini. Ada Habā’ib, ada pula anak-anak
Kiai, yang biasa dipanggil Gus.
Kitab-kitab yang diajarkan di kelas-kelas Madīn Amtsilatī bertingkat-
tingat kesulitannya, dari yang mudah seperti kitab sejarah atau adab hingga yang
sulit seperti ilmu Tafsir. Kitab-kitab pokok yang diajarkan dari kelas Ṭāharah
hingga kelas Jināyah adalah kitab Fatḥulqarīb, Fatḥulmu‘in dan Fatḥulwahhāb .
Masing-masing kelas diajarkan bab fikih yang sesuai dengan nama kelas.
Sedangkan, kelas Tafsīr, kitab pokoknya adalah kitab Tafsīr Jalālain.
Singkat cerita, setelah saya lulus dari Madīn Amtsilatī, saya mengabdi di
Kantor Pusat Amtsilati selama enam bulan. Kemudian saya pindah ke Yayasan
Madrasah Ibtidaiyah Tahfidul Quran Amtsilati. Di sinilah cerita saya bermula,
bagaimana saya bisa sampai di STAI Al Anwar.
MI Tahfidul Quran Amtsilati, sebagian orang menyebutnya asrama
Firdaus, merupakan sebuah gedung berlantai dua, yang menampung kurang lebih
100 santri MI. Lantai pertama digunakan sebagai tempat sekolah anak-anak.
Selain itu, juga digunakan untuk berbagai keperluan belajar mengajar atau yang
lainnya. Di lantai dua terdapat kantor MI, musala, dan kamar mandi. Di sini juga
terdapat asrama yang menjadi tempat tinggal anak-anak. Di sini, terdapat pula tiga
buah kamar, untuk tempat tidur, lemari baju dan kitab, dan bilik pengurus.
Pondok ini terletak di sebelah sebuah gerbang, yang mana gerbang itu
menjadi akses keluar masuk para santri. Gerbang ini berupa lorong yang menurun
ke bawah, menuju ke asrama an-Naīm, kantin, dapur pondok, bagian belakang
gedung Pesanggrahan (Sebuah gedung serbaguna yang menjadi rumah Abah Yai,
yang biasa disebut dalem. Biasanya digunakan untuk KBM, baik sekolah,
Amtsilatī, maupun Madīn Amtsilatī.), asrama Surga Firdaus, gubuk abdi dalem,
dan kamar mandi. Di bagian barat gedung ini, terdapat Kantor Pusat Amtsilati
yang menjadi pusat segala yang ada di pondok ini.
Saya mengabdi sebagai pengurus santri-santri MI, yang notabene anak-
anak kecil. saya diberi amanat, menjadi seksi Perlengkapan, yang bertugas untuk
memenuhi kebutuhan alat-alat dan barang-barang yang dibutuhkan pondok ini.
Setelah datang tahun ajaran baru, diadakan sebuah perombakan kepengurusan
yang disusun oleh Pengasuh Pondok MI, Gus Rizky Almubarok.
Saya ditempatkan di bagian pendidikan. Saya dipaksa untuk menjadi
pengurus Pendidikan, karena saat itu, anggota pengurus MI masih sangat minim,
hanya ada dua puluh orang. Karena saya tidak bisa menjalankan tugas
kependidikan dengan baik, akhirnya saya dipindahkan ke pengurus Kebersihan,
berdasarkan hasil pengamatan ketua pondok dan musyawarah yang diadakan
setiap minggu oleh pengasuh pondok.
Sebenarnya, saya ingin menyelesaikan masa pengabdianku di MI, yang
tinggal enam bulan lagi. Tetapi Orang Tuaku mempunyai keinginan yang berbeda.
Yang dikhawatirkan Ayahku, saya tidak segera mendaftar kuliah, dimanapun itu.
Kekhawatiran itu, membuat orang tuaku menghubungiku untuk segera mencari
kampus yang kira-kira sesuai untukku.
Selang seminggu setelah orang tuaku menelponku, bertepatan dengan
tahun ajaran baru perkuliahan, saya langsung di datangi oleh Ayahku secara
mendadak, tanpa diketahui oleh diriku. Hal ini mengagetkan saya. Saya sangat
bingung pada waktu itu. Walhasil, saya meminta saran kepada Senior Pondok MI,
yang bernama Ustaz Azizil. Beliau mengatakan agar saya berkuliah di Jepara saja
sambil mengurusi anak-anak. Namun, apa daya orang tuaku sudah berangkat
menuju ke Jepara.
Akhirnya, tibalah Ayahku ke Darul Falah, untuk menjemput saya pulang
ke rumah. Ayahku tiba pada jam 11:00 malam, menginap di Raudhah al-Jannah.
Raudhah al-Jannah, adalah tempat untuk menginap tamu-tamu santri yang datang
ke pondok ini. Letak bangunannya berada di sebelah utara dalemnya Gus Rizky.
Bangunan ini mempunyai tiga tingkat, yang berisikan kamar-kamar yang
dibedakan dengan nomor-nomor, seperti halnya hotel.
Di pagi hari, Ayahku langsung mengunjungiku ke asrama MI. Kesan
pertama yang saya lihat dari Ayahku, adalah rasa rindu setelah sekian lama tak
bertemu. Langsung saya menyalami tangan Ayahku, yang sudah keriput itu.
Ditangannya, guratan kerja kerasnya dalam bekerja, terasa dalam genggaman
tanganku. Ayahku menanyakan kabarku, terlihat rasa khawatir di wajahnya akan
keadaanku di sini. ku hanya menjawab biasa saja. Aku menjawab pertanyaan
Ayahku dengan jujur, dan tidak berusaha untuk menutupi diri sendiri dengan
kebohongan.
Aku memang termasuk pengurus yang paling malas di MI. Ini membuat
Ketua Pondok MI, yang bernama Ustaz Ali dan beberapa Pengurus Senior, gerah
melihat kemalasan saya yang sudah mendarah daging. Mereka selalu
mengingatkanku agar selalu melaksanakan amanah yang sudah diberikan oleh
Abah Yai. Tetapi, apa dayalah aku, yang saat itu hatiku seperti tertutup rapat. Ini
saya tuturkan kepada Ayahku, apa adanya saja. Ternyata, Ustaz Azizil pun,
mengatakan pada Ayaku, hal yang sama, ketika sedang mengobrol-ngobrol di
bilik pengurus.
Akhirnya aku meminta izin untuk pulang untuk selamanya, alias boyong,
kepada Pak Ketua Pondok dan Para Senior. Mereka memperbolehkan saya untuk
boyong dari pondok, dengan syarat, ada calon pengganti saya ketika saya
meninggalkan pondok. Dengan pertolongan Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā, saya
dicarikan calon pengurus yang baru oleh Ketua Pondok Amtsilati, Ustaz Arinal
Haq Zakiyyat, yang siap menggantikan saya dan temanku, yang bernama Ismail
Fahmi. Dia juga ingin melanjutkan pendidikan di luar. Dia sudah mengabdi di MI
selama dua tahun.
Aku meminta surat boyong ke Pengurus Kantor Pusat, yang bernama
Ustaz Luqman Farazdaq. Beliau memberi instruksi kepadaku, untuk mengisi surat
pernyataan boyong. Meminta tanda tangan ke Ketua Pondok, Keamanan, yang
saat itu diketuai oleh teman saya,Ustaz Mukhlisul Jihad, Ketua Daerah Asrama
(kalau saya memintanya kepada Ketua Pondok MI, karena status saya sudah
pengurus), Ketua Yayasan Pendidikan Amtsilati, Ustaz Sahal Mahfudz dan yang
terakhir tanda tangan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, KH. Taufiqul
Hakim.
Saya kemudian keliling pondok, untuk meminta tanda tangan. Sambil
menyelam minum air, saya sekaligus berpamitan kepada semua pengurus yang
ada di kantor pada waktu itu.
Esok harinya, saya sudah pamit, berangkat untuk mendaftar di STAI Al
Anwar. Saya berangkat pada pagi hari, dari Jepara menuju Pati, memakai bus
beroda dobel. Memakan waktu yang cukup lama, karena supir bus menyetir bus
dengan santai. Tiba di Pati sekitar jam 11:00 siang. Saya langsung mencari bus
jurusan Surabaya. Di perjalanan menuju STAI Al Anwar Sebuah perjalanan yang
menakjubkan menurutku, pertama kali melihat pantai utara dari pinggir jalan raya.
Tibalah aku di Pondok STAI Al Anwar. Dengan penuh perasaan yang
benar-benar lain dari biasanya, saya masuk ke pondok ini. Kemudian ayahku
mendaftarkanku, ke Kantor TU. Saya disuruh mengerjakan test tulis yang berupa
berbagai mata pelajaran, yang sudah pernah dipelajari dahulu. Saya mengerjakan
test dari sekitar salat duhur sampai asar. Lumayan lama saya mengerjakan soal-
soal ini, saya berusaha mengerjakannya dengan teliti.
Ketika saya diwawancara, saya menemukan kesalahan dalam jawaban esai
yang saya kerjakan. Beliau yang mewawancara saya, adalah Ustaz Sunoko. Saya
disuruh membaca surat al-Kāfirūn,yang saya tulis di lembar jawaban. Ternyata,
terdapat kesalahan, tidak sesuai dengan yang saya ingat. Padahal, saya sudah
mengerjakannya dengan teliti. Mungkin saya gagal fokus ketika mengerjakan soal
(ada calon santri putri, yang mengerjakan soal di hadapan saya. Mungkin, radius
10 meter). 
Kemudian, Beliau menyuruh saya untuk membaca surat al-Ikhlāṣ.
Kemudian menanyai saya pertanyaan nahwu dan sharaf. Saya terpaku, tidak bisa
menjawab pertanyaan Beliau. Setelah sekian lama terpaku, akhirnya Beliau
memberi tahu yang hal yang benar. Setelah itu Saya diwawancara, saya ditanyai
mengenai alasan kenapa saya memilih STAI Al Anwar, apa motivasi saya
berkuliah, dari siapa mengetahui pondok STAI Al Anwar, dan masih banyak lagi.
Setelah saya mendaftar, saya menunggu pengumuman selama satu bulan.
Saya menghabiskan sebagian waktu di rumah. Sebagian lagi, saya mengikuti
program Ballāgh Ramaḍan. Setelah lima belas hari, saya mengaji, Saya diberi
tahu oleh kakak saya, –yang saya panggil Mas Anwar- (ternyata kakakku adalah
teman akrab Ustaz Sunoko) bahwa saya dinyatakan lulus dengan nilai yang pas-
pasan, yakni 74 di urutan 43.
Demikianlah karya karangan saya yang berjudul “Pengalaman Hidup yang
Tak Terlupakan”
Terima Kasih
Musyafa Ahmad Arfani 

Anda mungkin juga menyukai