Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL

Kehidupan Sosial pada Masa Demokrasi Liberal


 Antara tahun 1950-1959, bangsa Indonesia menerapkan sistem pemerintah dengan demokrasi
Liberal.
 Pada periode ini di Indonesia dengan menerapkan sistem pemerintahan liberal mengalami
kesulitan-kesulitan, bahkan mengakibatkan korupsi merajalela, persatuan dan kesatuan
bangsa terancam dan banyak harapan revolusi kemerdekaan yang belum bisa terwujud.
 Produksi pangan mengalami peningkatan, tetapi tidak sebanding dengan pertumbuhan
penduduk.
 Disebabkan bangsa Indonesia belum mempunyai pengalaman dan tradisi demokratis.

Kehidupan Sosial pada Demokrasi Liberal


1. Kondisi Sosial Masyarakat
Pada masa ini taraf hidup masyarakat semakin naik daripada di masa revolusi. Indikatornya
adalah jumlah penduduk bertambah, kesejahteraan meningkat, dan kota-kota semakin berkembang.
Adapun kondisi sosial masyarakatnya sebagai berikut.
a) Kondisi Demografi
Salah satu indikator kemajuan pada masa demokrasi liberal adalah pertambahan penduduk.

 Pertumbuhan penduduk nasional :

→Tahun 1950 : 77 juta jiwa

→Tahun 1955 : 85,4 juta jiwa

 Pertumbuhan penduduk perkotaan (Jakarta)

→Tahun 1950 : 1.8 juta jiwa

→Tahun 1960 : 2.9 juta jiwa

 Jumlah buta huruf

→Masa kolonial : 92,6 %

→Tahun 1960 : 24%

b) Antusiasme Rakyat dalam Politik


Sebelum pemilu tahun 1955, pemimpin negara seperti Presiden Soekarno dan Moh. Hatta
sering memberikan pematangan berpolitik kepada masyarakat. Menjelang pemilu, panitia terus
memberikan pengetahuan pada masyarakat bagaimana cara menyalurkan suara kepada
masyarakat. Sosialisasi terus dilancarkan kepada masyarakat baik itu melalui surat kabar dan
mobil-mobil kampanye dan lain sebagainya. Partai politikpun tidak saling menyerang, bahkan
tokoh-tokoh politik bersedia menemui langsung masyarakat. Hingga pada pelaksanaan pemilu
berlangsung secara demokratis karena antusiasme masyarakat menyalurkan hak pilihnya tanpa
intervensi.
2. Kehidupan Pendidikan
a) Sistem Pendidikan
Pada masa demokrasi liberal sistem pendidikan yang dilaksanakan adalah dengan sistem
desentralisasi yang mana SD dan SMP menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi) dengan
supervisi dari pemerintah pusat. Sedangkan untuk SMA ditanggung oleh pemerintah baik
masalah keuangan maupun mata pelajaran. Namun, perhatian terhadap pendidikan dirasa masih
kuang karena anggaran yang diglontorkan dari APBN masih cukup sedikit yaitu 5,1% APBN
pada tahun 1950 dan masih kalah pada masa kolonial Belanda yang mencapai kisaran 9,3%.
b) Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi menjadi fokus utama pemerintah untuk membentuk generasi bangsa yang
kompeten. Atas dasar tersebut menteri pendidikan Abu Hanifah menetapkan bahwa setiap
provinsi memiliki satu universitas negeri. Sehingga pada tanggal 19 Desember 1949 didirikan
universitas Gajah Mada. Selanjutnya berdiri Universitas Indonesia, Universitas Airlangga,
Universitas Padjajaran, Universitas Hassanuddin, dan Universitas Sumatra Utara.
3. Kehidupan Budaya
a) Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia
Pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan gagasan untuk menyemurnakan ejaan Bahasa
Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober-2 November 1954 pemerintah mengadakan Kongres Bahasa
Indonesia di Medan. Hasil keputusannya adalah agar usaha penyelidikan dan penetapan dasar-
dasar ejaan diserahkan kepada suatu badan pemerintah yang bertugas menyusun ejaan praktis
Indonesia. Hingga dibentuklah Panitia Pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia melalui surat
keputusan menteri PP dan K No. 448/S tanggal 19 Juli 1956. Panitia tersebut dipimpin oleh Prof.
Dr. Prijono.
b) Perkembangan Sastra
Pada masa demorasi liberal, mulai muncul beberapa sastrawan lokal seperti Sitor Situmorang
dan Pramoedya Ananta Toer yang memengaruhi perkembangan karya di Indonesia. Peran
mereka mampu menggeser peran sastrawan asing yang digandrungi masyarakat. Para sastrawan
pada saat itu menjalankan fungsinya dengan menangkap berbagai masalah kemanusian dibalik
peristiwa getir akibat perang.
Para sastrawan tidak hanya dipengaruhi oleh gaya eropa tetapi juga gaya melayu seperti Amir
Hamzaah, gaya Sunda seperti Ajip Rosidi, Rusman Sutiasumarga, dan Ramadhan K.H , dan gaya
Jawa antara lain W.S. Rendra, Kirdjomuljo, dan Soeripman.
4. Kehidupan Pers
Pada masa demokrasi liberal Pers tumbuh dengan subur menyuarakan realitas dalam
masyrakat dan pemerintahan. Selain sebagai sumber informasi pers juga berperan sebagai kontrol
sosial.
Selanjutnya bermunculanlah surat kabar-surat kabar hingga ada tahun 1954 di Indonesia
terdapat 105 surat kabar. Selain surat kabar, sarana pers lainnya adalah radio yang tersebar diseluruh
wilayah Indonesia.

Permasalahan Ekonomi

Pada masa demokrasi liberal Indonesia mengalami berbagai permasalahan ekonomi yang diantara
penyebabnya adalah hasil dari Koferensi Meja Bundar. Indonesia memiliki hutang yang sangat tinggi.
Permasalahan ekonomi yang terjadi diantaranya :

 Masalah jangka pendek : pemerintah harus mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi
kenaikan biaya hidup.
 Masalah jangka panjang : pertambahan penduduk tidak terkendali dan kesejahteraan penduduk
rendah.
Indonesia mengalami defisit dalam anggarannya karena pengeluaran yang semakin membengkak akibat
situasi politik yang tidak stabil. Defisit yang dialami pemerintah dipengaruhi oleh :
 Tidak adanya kontinuitas dalam penerimaan karena hanya bergantung pada pajak.
 Penerimaan yang sedang berjalan meningkat akibat perluasan program pemerintah, perluasan
birokrasi, dan pekerjaan yang tidak efisien.
Perkembangan Ekonomi
a. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi Indonesia pada masa liberal sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
berikut.
1. Setelah Pengakuan Kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam
hasil-hasil KMB.
2. Politik keungan pemerintah Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di
Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 milyar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
b. Perbaikan Kehidupan Ekonomi

1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini merupakan pemotongan nilai uang. Caranya dengan memotong uang yang
bernilai Rp2,50 ke atas hingga nilainya menjadi setengah. Kebijakan ini dikeluarkan pada tanggal 20
Maret 1950 oleh Menteri Keuangan saat itu, Syafruddin Prawiranegara.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua bagian, bagian
kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri tetap merupakan alat pembayaran yang sah
dengan nilai separuh dari nilai nominal yang tertera, sedangkan guntingan uang kertas bagian kanan
ditukarkan dengan surat obligasi pemerintah yang dapat dicairkan beberapa tahun kemudian.
Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat dan
menambah kas negara.
2. Gerakan Benteng
Sistem ekonomi gerakan benteng bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi struktur ekonomi nasional. Program ini dicetuskan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo,
seorang ahli ekonomi Indonesia, yang dituangkan dalam program kerja Kabinet Natsir.
Pada dasarnya sistem ekonomi ini bertujuan untuk melindungi para pengusaha dalam negeri
dengan cara memberikan bantuan berupa kredit dan bimbingan konkret. Sekitar 700
pengusaha dalam negeri telah mendapat bantuan kredit dari pemerintah. Namun, program ini tidak
berjalan dengan baik karena kebiasaan konsumtif yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri.
Banyak yang menggunakan dana kredit tersebut untuk memenuhi kepentingan pribadinya.

3. Sistem Ekonomi Ali Baba


Sistem ekonomi Ali Baba diprakarsai oleh Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo menteri ekonomi
pada masa Kabinet Ali I. Kabinet ini fokus pada kebijakan Indonesia dan mengutamakan kaum
pribumi. Kata “Ali” mewakili pengusaha pribumi dan “Baba” mewakili pengusaha Tionghoa.
Program ini berisi pemberian kredit dan lisensi pemerintah untuk pengusaha swasta nasional pribumi
agar dapat bersaing dengan pengusaha nonpribumi. Namun, program ini gagal karena pengusaha
pribumi masih miskin dibandingkan pengusaha nonpribumi.
4. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap dikirim seorang delegasi ke
Jenewa, Swiss untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan
Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung tanggal 7 Januari 1956, adapun
kesepakatan yang pada Finek adalah:
1) hasil KMB dibubarkan.
2) Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
3) Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani sehingga Indonesia mengambil
langkah sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanudin Harahap melakukan
pembubaran Uni-Indonesia dan akhirnya tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani
pembatalan KMB.

5. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)


Ketidakstabilan politik dan ekonomi menyebabkan merosotnya ekonomi, inflasi, dan
lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada awalnya kabinet menekankan pada program
pembangunan ekonomi jangka pendek kemudian dibentuk Badan Perancang Pembangunan Nasional
yang disebut Biro Perancang Negara. Pada bulan Mei 1956 biro ini menyusun RPLT. Kalau di saat
ini, mungkin sebutan yang sering digunakan adalah Renstra (Rencana Strategis).
6. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II terjadi ketegangan antara pusat dan daerah.
Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat
dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Rencana tersebut
tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
1) adanya kesulitan dalam menentukan prioritas.
2) Terjadi ketegangan politik.
3) Timbul pemberontakan PRRI/ Permesta.
7. Nasionalisasi de Javasche Bank
Squad pernah jalan-jalan ke Kota Tua Jakarta lalu pergi ke Museum BI (Bank Indonesia)?
Bangunan tersebut punya sejarah yang panjang sebagai saksi kehidupan ekonomi bangsa. Dulunya
gedung itu milik Belanda, tepatnya milik de Javasche Bank.
Pada tanggal 19 Juni 1951, Kabinet Sukiman membentuk Panitia Nasionalisasi de Javasche
Bank yang berdasarkan pada keputusan Pemerintah RI No. 122 dan 123. Pemerintah
memberhentikan Dr. Houwing sebagai Presiden de Javasche Bank dan mengangkat Mr.
Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden de Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15
Desember 1951 diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de Javasche
Bank menjadi Bank Sentral kemudian pada tanggal 1 Juli 1953, de Javasche Bank berganti menjadi
Bank Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai