Anda di halaman 1dari 7

BAB 3 TAUHIDULLAH, MA’RIFATULLAH & RASUL SERTA

KONSEP TAQDIR

A. Tauhidullah
1. Pengertian Tauhidullah
Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam rububiyah, ikhlas beribadah
kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan
demikian, tauhid ada tiga macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah serta tauhid asma’
wa sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus
dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.
2. Jenis-jenis Tauhidullah
A.) Tauhid Rububiyah
yaitu mengesakan Allah  dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa
Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah berfirman:

ُ ِ‫هَّللا ُ خَال‬
َ ِّ‫ق ُكل‬
‫ش‬

“Allah menciptakan segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk
lainnya.

Allah berfirman:

ِ ْ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي اَأْلر‬


‫ض ِإاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُهَا‬

“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi
rizkinya.”(QS. Hud : 6)

Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang
mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas
segala sesuatu.Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang
mematikan. Allah berfirman:

‫ك َعلَى‬ َ َّ‫ك ِم َّم ْن تَ َشا ُء َوتُ ِع ُّز َم ْن تَ َشا ُء َوتُ ِذلُّ َم ْن تَ َشا ُء بِيَ ِدكَ ْالخَ ْي ُر ِإن‬
َ ‫ع ْال ُم ْل‬
ُ ‫ك تُْؤ تِي ْال ُم ْلكَ َم ْن تَ َشا ُء َوتَ ْن ِز‬
ِ ‫ك ْال ُم ْل‬
َ ِ‫قُ ِل اللَّهُ َّم َمال‬
‫ت َوتُ ْخ ِر ُج ْال َميِّتَ ِمنَ ْال َح ِّي‬ ِ ِّ‫ي ِمنَ ْال َمي‬ َّ ‫ار َوتُولِ ُج النَّهَا َر فِي اللَّي ِْل َوتُ ْخ ِر ُج ْال َح‬ ِ َ‫) تُولِ ُج اللَّ ْي َل فِي النَّه‬26( ‫ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
7 )27( ‫ب‬ ٍ ‫ق َم ْن تَ َشا ُء بِ َغي ِْر ِح َسا‬ ُ
ُ ‫َوتَرْ ز‬

“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan


kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki.Di tangan Engkaulah segala ke-
bajikan.Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.Engkau masukkan
malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam.Engkau keluarkan
yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup.Dan
Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).”

(QS. Ali Imran: 26-27) 

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang
menyangkalnya. Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun.
Namun demikian di hatinya masih tetap meyakini-Nya. Sebagaimana perkataan Musa
kepadanya:

‫صاِئ َر َوِإنِّي َأَلظُنُّكَ يَا فِرْ عَوْ نُ َم ْثبُورًا‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬


َ َ‫ض ب‬ ِ ‫ال لَقَ ْد َعلِ ْمتَ َما َأ ْنزَ َل هَُؤاَل ِء ِإاَّل َربُّ ال َّس َما َوا‬
َ َ‫ق‬

“Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang


menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi
sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun,
seorang yang akan binasa”. (QS. Al-Isra’: 102)

Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:

‫َو َج َحدُوا بِهَا َوا ْستَ ْيقَنَ ْتهَا َأ ْنفُ ُسهُ ْم ظُ ْل ًما َو ُعلُ ًّوا‬

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal


hati mereka meyakini (kebenaran)nya.”(QS. An-Naml: 14)

B.) Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan


niat taqarrub (mendekatkan diri) yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’
(pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah
(kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang
pertama hingga yang terakhir. Allah berfirman:

َ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل ُأ َّم ٍة َر ُسواًل َأ ِن ا ْعبُدُوا هَّللا َ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.”(QS. An-Nahl: 36)
Juga firman Allah, artinya, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya’:
25)

Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana
yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain, artinya, “Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selain-Nya.” (QS. Al-
A’raf: 59, 65, 73, 85)

“Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah
dan bertakwalah kepada-Nya’.” (QS. Al-Ankabut: 16)

Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad:

ُ ْ‫قُلْ ِإنِّي ُأ ِمر‬


َ‫ت َأ ْن َأ ْعبُ َد هَّللا َ ُم ْخلِصًا لَهُ ال ِّدين‬

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama’.”(QS. Az-Zumar: 11)

Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat
dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan
diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik.
Sedangkan Allah berfirman, artinya, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya
akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.
Az-Zumar: 65)

Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah berfirman,
artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak “ (QS. An-Nisa’: 36)

C. Tauhid Asma’ Wa Sifat

Yaitu beriman kepada nama-nama Allaha dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang


diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya menurut apa yang pantas bagi
Allah, tanpa ta’wil dan ta’thil (menghilangkan makna atau sifat Allah), tanpa takyif
(mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya, “bagaimana”), dan
tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya), berdasarkan firman Allah:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.”(QS. Asy-Syura : 11)

Allah  menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia menetapkan


bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan
disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya dan dengan nama dan
sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya.

Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak
seorang pun yang lebih mengetahui Allah a daripada Allah sendiri, dan tidak ada -
sesudah Allah – orang yang lebih mengetahui Allah daripada Rasul-Nya. Maka
barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah  dan sifat-sifat-Nya atau menamakan
Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya, atau men-
ta’wil-kan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu
dan berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:

ْ ‫فَ َم ْن َأ‬
‫ظلَ ُم ِم َّم ِن ا ْفت ََرى َعلَى هَّللا ِ َك ِذبًا‬

“Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan


terhadap Allah?”(QS. Al-Kahfi: 15)

B. Ma’rifatullah
Ma'rifatullah adalah asas perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Orang yang
mengenal Allah subhanahu wata'ala akan merasakan hidupnya lapang, tenang, dan dia
hidup dalam rentangan panjang antara sabar dan syukur.

Puncak ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wata'ala. Seorang dikatakan sukses
dalam belajar atau menuntut ilmu apabila diantaranya semakin mengenal dan semakin
dekat kepada Allah subhanahu wata'ala. Sehingga sekolah tinggi, segudang gelar
prestisius, harta melimpah dan jabatan yang tinggi, seharusnya dijadikan oleh seorang
hamba sebagai sarana yang membuatnya semakin dekat, semakin kenal, dan semakin
taat kepada Allah subhanahu wata'ala. 

Ma'rifatullah adalah nikmat yang sangat besar. Mengenal Allah subhanahu wata'ala
akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah subhanahu
wata'ala kita akan merasa ditatap, didengar dan diperhatikan oleh Allah subhanahu
wata’ala, sehingga langkah dan gerak kita terarah pada jalan yang dikehendaki Allah
subhanahu wata'ala. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya.
C. Takdir
1. Pengertian Takdir
a.) Secara bahasa
Dalam kamus bahasa arab karya Mahmud Yunus kata takdir berasal dari kata
qadara yang artinya ketentuan, sesungguhnya Allah Swt telah menentukan suatu perkara
atas kehendaknya. Sedangkan kata qaddara dengan tambahan tasydid diartikan dengan
Allah Swt telah menjadikan seseorang itu berkuasa melakukan sesuatu dengan kadarnya
atau kemampuannya. Taqdīr dengan tambahan huruf ta dan ya mempunyai arti Allah
Swt telah menakdirkan sesuatu atau Allah Swt telah menentukan sesuatu. 2 Sedangkan
kata takdir dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah ketentuan atau ketetapan Allah
Swt yang sudah ditetapkan sejak zaman azali. Akan tetapi manusia diwajibkan untuk
tetap berikhtiar dan bertawakkal, selebihnya tetap diserahkan kepada dzat yang
menentukan takdir yakni Allah Swt.
Takdir adalah kata benda yang terdiri dari tiga huruf q-d-r yang mempunyai arti
mengukur. Takdir juga memiliki dua makna, yang pertama takdir ilmiah, yaitu
mengukur sesuatu. Dan yang kedua takdir material, yaitu menentukan ukuran suatu
benda.
Di dalam Al-Qur’an kata taqdir mempunyai banyak makna sesuai dengan variasi
katanya. Seperti takdir bisa diartikan dengan Allah maha kuasa, istilah kuasa bisa
dipahami dengan dua makna yaitu kuasa dalam artian wewenang dan kuasa dalam artian
kemampuan. Seperti dalam surat Ali Imran: 26, yakni Allah Swt berwenang dan
berkuasa untuk menetapkan atau mencabutnya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh
manusia dalam masyarakat, Allah Swt juga berwenang untuk menetapkan kedudukan
yang mulia ataupun hina. Dalam surat Al-Hadid: 2, menyatakan bahwa Allah Swt
sangat mampu untuk menciptakan langit dan bumi, makhluk hidup dan mengatur proses
–proses kejadian mereka.
b.) Secara Istilah
Takdir adalah segala yang terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi, telah
ditentukan oleh Allah Swt, baik sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. Segala
sesuatu yang terjadi atas rencananya yang pasti dan tentu, yang mana terjadinya atas
kehendak –Nya. Namun, manusia diberi hak untuk berusaha sekuat tenaga, Allah Swt
lah yang menentukan.
Takdir merupakan sebuah ketetapan Allah Swt yang meliputi segala kejadian
yang terjadi di alam ini baik itu mengenai kadar dan ukurannya, tempat maupun
waktunya. Hal ini menunujukkan Takdir sebagai tanda dari kekuasaan Allah Swt yang
harus kita yakini.
2. Kaitan Takdir dengan Sunnatullah dan Hidayah
Takdir merupakan ketentuan Allah swt yang mutlak, menurut Jan Ahmad Wassil dalam
bukunya “memahami isi kandungan Al-Qur’an” makna takdir selalu dikaitkan dengan
istilah sunnatullah dan hidayah. Di bawah ini akan menjelaskan mengenai sunnatullah
dan hidayah.
a.) Sunnatullah
Di dalam Al-Qur’an takdir selalu dikaitkan dengan sunnatullah, ungkapan
sunnatullah sudah tidak asing lagi dan sudah lazim dipergunakan untuk hukumhukum
Allah Swt. Sunnatullah itu mencakup hukum-hukum alam syahadat mengenai benda-
benda mati, seperti kejadian alam semesta dan sunnatullah swt yang mencakup
kejadian-kejadian yang berkenaan dengan alam ghaib, seperti kejadian yang berkaitan
dengan roh.
Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia istilah sunnah sebagai bentuk tunggal yang
berarti perilaku, cara, metode, perikehidupan, peraturan, hukum. Ungkapan sunnatullah
juga bisa diartikan hukum alam yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt yang mencakup
alam syahadat maupun alam ghaib. Secara umum sunnah adalah ketetapan atau hukum
dari Allah Swt.
Sebagai seorang muslim, kita diwajibkan untuk menuntut ilmu. Ketika kita
memperoleh ilmu pengetahuan hendaknya kita selalu selaraskan dengan keterangan
dalam ayat Al-Qur’an. Dengan begitu, ilmu yang kita dapat akan menambah keimanan
dan ketakwaan kita kepada Allah Swt.
b.) Hidayah
Hidayah adalah sebuah petunjuk dari Allah Swt kepada orang yang Allah Swt
kehendaki, hidayah ini tidak bisa kita cerna dengan akal kita karena hidayah itu sama
saja dengan roh manusia yang bersifat ghaib dan kemampuan kita sangatlah terbatas
akan hal itu. Sebenarnya kita bisa mengetahui hidayah itu dengan mempelajari ilmu
tentang jiwa, psikologi, yakni ilmu mempelajari perilaku manusia. Akan tetapi ilmu ini
amat minim untuk mengungkapkan peristiwa seseorang mendapat hidayah. Karena
hidayah itu berbeda dengan takdir, kalau takdir untuk alam syahadat dan hidayah untuk
alam ghaib.
Penentuan hidayah berdasarkan keadaan akhir yang akan dituju, setelah itu baru
memperhatikan keadaan awal. Karena sesungguhnya hidayah itu disampaikan oleh
malaikat kepada orang yang dikehendaki Allah Swt melalui hati nurani. Karena hati
nurani tempat yang bisa menerima ajakan malaikat dan menolak bisikan syetan, yang
berfungsi membantu orang tersebut mencari jalan kebenaran.
3. Macam-macam takdir
a.) Takdir Mubram
Pengertian dari takdir mubram adalah takdir yang sudah ditetapkan dan tidak dapat
diubah lagi meskipun dengan menggunakan segala cara. Pasalnya, takdir mubram
merupakan ketentuan mutlak yang berasal dari Allah SWT. Artinya, manusia tidak bisa
menolak atau mengganti terhadap terciptanya takdir mubram ini. Beberapa contoh yang
termasuk dalam golongan takdir mubram di antaranya adalah proses kelahiran manusia
dari orang tuanya. Seorang anak tidak dapat menentukan tentang bapak atau ibunya
karena hal tersebut sudah merupakan ketetapan dari Allah. Selain itu, waktu kelahiran
juga tidak bisa dipilih karena merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa. Demikian
pula mengenai kematian manusia. Umat manusia tidak bisa mengetahui tentang waktu
saat mengalami proses kematian karena hal tersebut merupakan ketetapan Allah SWT.
b.) Takdir Muallaq
Takdir Muallaq adalah takdir atau ketetapan dari Allah SWT yang dapat diubah oleh
umat manusia dengan wujud adanya ikhtiar atau semacam usaha. Artinya, manusia
masih diberikan peran dalam mengganti atau merubah terhadap adanya takdir tersebut.
Salah satu hal yang dapat dipakai sebagai contoh semisal masalah kemiskinan. Ketika
seorang manusia ditakdirkan menjadi miskin, maka ia masih bisa merubah takdir yang
sedang dialami tersebut. Yakni dengan jalan bekerja keras agar tidak menjadi miskin
seperti sebelumnya. Contoh lainnya adalah sakit. Sakit datangnya dari Allah SWT.
Sebagai Maha Pencipta, Allah pasti yang menciptakan adanya penyakit tersebut.
Tatkala manusia ditakdirkan kedapatan sakit atau mengalami sebuah musibah dengan
adanya penyakit tersebut, maka masih ada kesempatan untuk menghindar dari rasa sakit
alias sembuh, caranya yaitu dengan berobat.

Anda mungkin juga menyukai