Anda di halaman 1dari 115

2009

LAPORAN
PENELITIAN
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH 
DALAM PENGELOLAAN KAWASAN 
PERBATASAN DI ERA OTONOMI DAERAH 
(STUDI KASUS DI KALIMANTAN BARAT) 
ABSTRAK
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, pengaturan tentang pengembangan kawasan perbatasan secara
hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah. Kewenangan
pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang
meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan
pertahanan (CIQS). Meskipun demikian, pemerintah daerah masih
menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek sosial-
ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa hambatan tersebut diantaranya,
masih adanya paradigma pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga
kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai “halaman belakang”,
sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pengembangan
wilayah perbatasan yang belum sempurna, keterbatasan anggaran, dan
tarik-menarik kepentingan pusat-daerah yang terkait dengan kewenangan.
Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis formal
dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi
daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting.
Ada empat hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1)
Untuk mengetahui situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) untuk
mengetahui berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah
saat ini, dan (3) untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah pusat yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan
telah mampu mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan (4) untuk
mengetahui apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di
daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Kawasan perbatasan
Indonesia khususnya di perbatasan Kalimantan Barat dengan Negara Bagian
Serawak Malaysia masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi perbatasan di
sepanjang wilayah negara tetangga, Malaysia, sungguh sangat kontras
perbedaannya; (2) kebijakan pengembangan kawasan perbatasan oleh
pemerintah pusat dan daerah masih relatif lambat. Hal ini dikarenakan belum
adanya payung hukum yang jelas sebagai tindak lanjut (penjabaran teknis)
dari Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 serta belum adanya lembaga
khusus di tingkat pusat yang memiliki otoritas penuh dalam pengembangan
kawasan perbatasan; (3) dukungan regulasi dan peraturan tentang
pengelolaan kawasan perbatasan belum memenuhi aspirasi daerah
sehingga kreativitas dan inisiatif pengembangan kawasan oleh pemerintah
daerah terhambat; dan (4) hingga saat ini, belum ada pembagian
kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi
dan kabupaten dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan di kawasan
perbatasan, maka penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Percepatan pembangunan kawasan perbatasan harus segera
dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi apalagi ketergantungan
masyarakat perbatasan sangat tinggi terhadap produk dari Malaysia
sehingga dikhawatirkan akan makin melunturkan semangat nasionalisme
dan patriotisme penduduk Indonesia di perbatasan; (2) pembentukan
lembaga khusus yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan secara
penuh harus segera dilakukan sehingga koordinasi antar antar departemen
atau instansi pada level pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan
daerah berjalan baik dan sinergis; (3) regulasi tentang pengelolaan kawasan
perbatasan harus segera disusun dan diterbitkan khususnya terkait
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah; dan (4)
kewenangan pemerintah daerah harus diberikan secara jelas dan
proporsional khususnya dalam pembangunan ekonomi yang selama ini
sangat didominasi oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak
bisa banyak berbuat.
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

KATA PENGANTAR

Kawasan perbatasan dengan negara tetangga merupakan wilayah


yang secara khusus perlu diperhatikan. Pemerintah bermaksud mendorong
perbaikan kawasan perbatasan sehingga menjadi “beranda depan” negara,
termasuk kawasan perbatasan Kalimantan (Barat dan Timur) dengan
Sarawak dan Sabah (KASABA). Dengan spesifikasi dan nilai strategis
kawasan perbatasan, Pemerintah Daerah memerlukan kewenangan yang
besar untuk dapat mengembangkan kawasan perbatasan menjadi kawasan
pertumbuhan ekonomi baru di era otonomi daerah saat ini. Namun demikian,
dalam pelaksanaannya walaupun sudah ada UU nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 43 tahun 2008 tentang
Wilayah Negara, Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan yang jelas.

Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis


formal dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi
daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting. Ada empat
hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1) Untuk mengetahui
situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di
wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) Untuk mengetahui berbagai
kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan
pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan (3)
Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat
yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu
mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan (4) Untuk mengetahui
apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di
daerah.

Penelitian ini merupakan kegiatan kerjasama antara DPD RI dengan


Universitas Tanjungpura, yang diharapkan bermanfaat sebagai kerangka
dasar perencanaan pembangunan kawasan perbatasan Provinsi Kalimantan
Barat di masa yang akan datang.

Pontianak, Juli 2009

Ketua Peneliti

Prof. Dr. H. Chairil Effendy, MS

  LAPORAN PENELITIAN i
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

DAFTAR ISI

ABSTRAK
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….. I-1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. I-1
1.2. Kerangka Analitik ……………………………………………… I-7
1.3. Metodologi Penelitian………………………………………….. I-18
1.4. Tim Peneliti ……………………………………..………………. I-18
1.5. Waktu Penelitian ……………………………………………….. I-19
1.6. Sistematika Penulisan Laporan ……………………………… I-20

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI


MASYARAKAT KAWASAN PERBATASAN ……..….….. II-1
2.1. Gambaran Umum Kawasan Perbatasan ..........……………... II-1
2.2. Permasalahan Masyarakat Kawasan Perbatasan ….....……. II-6
2.3. Harapan Masyarakat Perbatasan …………………………….. II-16

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN


KAWASAN PERBATASAN .............................................. III-1
3.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi, dan Perdagangan .................. III-2
3.2. Bidang Ketenagakerjaan, Keimigrasian, dan SDM/
Kependudukan ....................................................................... III-5
3.3. Bidang Kehutanan ….............................................................. III-7
3.4. Bidang Energi ………………….....................................……… III-14
3.5. Infrastruktur Transportasi ……………………………….....…… III-15
3.6 Bidang Ipoleksosbud Hankam ............................................... III-18

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT TENTANG


PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN .................. IV-1
4.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi dan Perdagangan ................... IV-1
4.2. Bidang Pertambangan dan Energi ......................................... IV-2
4.3. Bidang Transportasi dan Infrastruktur ………………………… IV-3
4.4. Bidang Ipoleksosbud .............................................................. IV-4
4.5. Bidang Hankam ...................................................................... IV-7

BAB V KEWENANGAN, FUNGSI DAN PERAN BADAN


PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DAN
KERJASAMA (BPKPK) PROVINSI KALIMANTAN
BARA ................................................................................ V-1
5.1. Arti Penting Keberadaan BPKPK............................................ V-1
5.2. BPKPK Provinsi Kalimantan Barat ........................................ V-5
5.3. Kewenangan BPKPK ............................................................. V-9
5.4. Program Kerja ........................................................................ V-12

  LAPORAN PENELITIAN ii
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB VI PENUTUP ........................................................................ VI-1


5.1. Kesimpulan .......................................................................... VI-1
5.2. Saran ................................................................................... VI-1

DAFTAR PUSAKA ......................................................................... L-1

  LAPORAN PENELITIAN iii


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang
mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2,
2
serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km . Dua pertiga dari
wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat
dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan
dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand,
Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini.
Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga
negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis
perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Luasnya wilayah
perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan
sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu
ditingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi minimnya infrastruktur di
kawasan perbatasan telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki
sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Selama ini, tanggung
jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar
lembaga pemerintah departemen dan non departemen, tanpa ada sebuah
lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab melakukan
manajemen perbatasan dari tingkat pusat hingga daerah. Selama beberapa
puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat
perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan
pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih
mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah,
dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah
terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum
diprioritaskan.

LAPORAN PENELITIAN I-1


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Luasnya kawasan perbatasan Indonesia seharusnya mencerminkan


adanya sebuah kebijakan pengelolaan perbatasan yang efektif dan
akuntabel baik itu dari aspek sosial-ekonomi dan keamanan. Namun, kondisi
di lapangan menunjukkan bahwa sistem manajemen perbatasan Indonesia
selama ini berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Meningkatnya tindak
kejahatan di perbatasan (border crime) seperti penyelundupan kayu, barang,
dan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, terorisme, serta penetrasi
ideologi asing telah mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di
perbatasan negara. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya
dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara, oleh karena itu
pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan hanya pada
pendekatan keamanan (security approach). Padahal, di beberapa negara
tetangga, misalnya Malaysia, telah menggunakan pendekatan kesejahteraan
(prosperity) dan keamanan secara berdampingan pada pengembangan
wilayah perbatasannya. Dengan kondisi yang demikian sehingga Pada level
lokal permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada dikawasan
perbatasan adalah: Keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya
harga barang dan jasa , keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan
publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan
penyebaran penduduk yang tidak merata.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah


Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di
kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah
daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu
perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian,
karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS). Meskipun demikian,
pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam
mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa
hambatan tersebut diantaranya, masih adanya paradigma pembangunan
wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap
sebagai “halaman belakang”, sosialisasi peraturan perundang-undangan

LAPORAN PENELITIAN I-2


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

mengenai pengembangan wilayah perbatasan yang belum sempurna,


keterbatasan anggaran, dan tarik-menarik kepentingan pusat-daerah yang
terkait dengan kewenangan.
Secara yuridus formal, dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebenarnya juga
dijelaskan, bahwa program prioritas pengembangan daerah perbatasan
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta
memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan
negara lain, maka pembangunan perbatasan perlu mendapatkan perhatian
khusus dan menjadi prioritas utama. Program prioritas ini dijabarkan lagi
dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun
dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda
depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah
perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang
perbatasan. Rencana pembangunan tahunan wilayah perbatasan tahun
2004 misalnya dijabarkan dalam 3 (tiga) kelompok kegiatan, yaitu kelompok
kegiatan penetapan garis batas internasional, kelompok kegiatan
pengamanan wilayah perbatasan dan kelompok kegiatan pengembangan
wilayah perbatasan. Kemudian, berdasarkan RPJMN 2004-2009 disebutkan
bahwa pembangunan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara.
Program ini ditujukan untuk: (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui
penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional, (2)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi
ekonomi, sosial dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis yang sangat
strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.
Dari berbagai kebijakan pemerintah tentang pembangunan kawasan
perbatasan tersebut, dalam implementasi pengelolaannya selama ini belum
dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait.
Dan bahkan, elemen di pemerintah daerah terkesan kurang dilibatkan secara
signifikan dalam formulasi kebijakan pembangunan kawasan perbatasan

LAPORAN PENELITIAN I-3


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

dengan alasan bahwa masalah perbatasan merupakan kewenangan


pemerintah pusat. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan
perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial
serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui
beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang
optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang
ada saat ini di kawasan Kalimantan adalah General Border Comitee (GBC)
RI – Malaysia.
Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat mendesak
untuk dilakukan, karena tidak hanya menyangkut kesejahteraan masyarakat,
tapi juga terkait dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya
pengelolaan dan penanganan masalah perbatasan saat ini adalah, belum
adanya suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek
pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara
diharapkan menjadi payung hukum pemerintah pusat dan daerah untuk
betul-betul punya komitmen yang tinggi dalam upaya akselerasi
pembangunan kawasan perbatasan. Di dalam pasal 9 UU tersebut
ditegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Kemudian di pasal 10 (ayat 3) ditegaskan bahwa dalam rangka menjalankan
kewenangannya, Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk
menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam implementasinya di dalam
UU ini dalam pasal 14 diamanatkan bahwa untuk mengelola Batas Wilayah
Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah,
Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional
dan Badan Pengelola daerah. Berdasarkan pasal 15 bahwa Badan
Pengelola ini bertugas: (a) menetapkan kebijakan program pembangunan
perbatasan, (b) menetapkan rencana kebutuhan anggaran, (c)

LAPORAN PENELITIAN I-4


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

mengoordinasikan pelaksanaan, dan (d) melaksanakan evaluasi dan


pengawasan.
Sebagai salah satu wilayah yang memiliki perbatasan langsung
dengan Malaysia Timur, Provinsi Kalimantan Barat tentunya sangat
berkepentingan untuk membangun dan mengelola kawasan perbatasan
tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa ada lima Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Barat yang memiliki perbatasan langsung dengan Malaysia
Timur yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan
Kapuas Hulu. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan
umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Dan
kecendrungan menunjukkan bahwa Kucing (Sarawak, Malaysia) dapat
menjadi daerah growth industri center, sementara daerah perbatasan Kalbar
hanya sebagai hinterland Malaysia yang kurang menguntungkan bagi kita.
Kondisi tersebut menjadikan kawasan ini tidak hanya spesifik, tapi juga
memiliki nilai strategis, karena kegiatan yang berlangsung di kawasan ini
pada dasarnya: (a) Mempunyai potensi sumberdaya yang berdampak
ekonomi dan pemanfaatan ruang wilayah secara signifikan, (b) sebagai
pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di
dalam ataupun di luar wilayah, (c) mempunyai keterkaitan kuat dengan
kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional
maupun regional dan, (d) mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan
keamanan nasional (ini juga terkait bagaimana membangun
NASIONALISME).
Dengan spesifikasi dan nilai strategis kawasan perbatasan tersebut,
Pemerintah Daerah memerlukan kewenangan yang besar untuk dapat
mengembangkan kawasan perbatasan menjadi kawasan pertumbuhan
ekonomi baru die rah otonomi daerah saat ini. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya walaupun sudah ada UU nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan yang besar. Hal ini
dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas
pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat

LAPORAN PENELITIAN I-5


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

penangannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas


sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara
hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan dan
perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3)
Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih adanya
tarik menarik kewenangan pusat-daerah.
Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis
formal dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi
daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting. Adanya
Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dan UU nomor 43 tahun 2008 seakan
masih belum memberikan harapan yang baik dalam pengelolaan kawasan
perbatasan.

1.1.1 Rumusan Masalah


Untuk membahas masalah Kewenangan Pemerintah Daerah dalam
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus di
Kalimantan Barat ini, analisis penulisan penelitian ini diarahkan untuk
menjawab beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana situasi dan kondisi kehidupan masyarakat yang ada di
wilayah perbatasan Kalimantan Barat?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
mengelola kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini?
3. Sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat mampu
mengakomodasi harapan masyarakat di daerah dalam hal pengelolaan
kawasan perbatasan?
4. Apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di
daerah?

LAPORAN PENELITIAN I-6


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.1.2 Tujuan Penelitian


Mengingat fokus penelitian ini mengangkat masalah kewenangan
pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan, maka
pemahaman yang mendalam atas masalah-masalah yang lebih spesifik
terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi serta kewenangan yang dimiliki
oleh daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan menjadi sesuatu
keharusan bagi kita. Masalah ini tidak hanya menyangkut persoalan berbagai
keterbatasan di daerah, akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai policy
yang dibuat oleh pemerintah pusat. Ada empat hal mendasar yang ingin
dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1) Untuk mengetahui situasi dan kondisi
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah perbatasan
Kalimantan Barat, (2) Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan
perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan (3) Untuk mengetahui sejauh
mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan
pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu mengakomodasi harapan
masyarakat di daerah, dan (4) Untuk mengetahui apa kewenangan, peran,
dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah.

1.2 Kerangka Analitik

1.2.1 Desentralisasi, Otonomi dan Wewenang Dalam Negara Kesatuan

Dalam negara kesatuan, penyelenggaraan desentralisasi dilakukan


oleh Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan mengandung arti penetapan
strategi, kebijaksanaan dan program, termasuk pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Daerah Otonom beserta penyerahan
wewenangnya serta pengembangannya. Perwujudan desentralisasi di tingkat
daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi, desentralisasi sering
disebut pemberian otonomi. Dengan kata lain desentralisasi merupakan

LAPORAN PENELITIAN I-7


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat


dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu
merujuk pada pendapat Maryanov (1958). Menurut pakar ini, desentralisasi
dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang:
"Decentralization is the focus of the conflict between those who argue from
the "top-down" in terms of government organization and the needs for
leadership, and those who argue from the "bottom-up" in terms of popular
demand and regional agitation. From the former point of view, the problem is
"decentralization", from the latter it is "regional autonomy".

Desentralisasi dapat mengandung dua pengertian. Pertama,


desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan
wewenang tertentu kepadanya oleh Pemerintah Pusat. Desentralisasi dapat
pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang
telah dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Hal itu terefleksi juga data uraian
Meddick (1966) bahwa pada hakekatnya, desentralisasi merupakan
"pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan yang spesifik
maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan
dekonsentrasi merupakan pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi
khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya. Namun
demikian, pembagian kekuasaan atau wewenang itu tidak akan terjadi
sekiranya tidak didahului atau disertai pembentukan daerah otonom selaku
pihak yang akan diserahi wewenang pemerintahan. Karena itu dalam
desentralisasi terkait proses pembentukan daerah otonom dan proses
penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom tersebut. Dengan
demikian, pengertian desentralisasi yang hanya terpusat pada proses
penyerahan wewenang rnerupakan pengertian yang tidak lengkap. Secara
lengkap, pengertian desentralisasi harus mencakup pembentukan daerah
otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh
Pemerintah Pusat.

LAPORAN PENELITIAN I-8


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Konsep desentralisasi dikenal berrnacam-macam jenis yang diberikan


oleh para pakar dan rumusan menurut UU No.32 Tahun 2004, yaitu ada
desentralisasi politik, fungsional, dan kebudayaan. Ada juga yang membagi
desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan.
Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua yaitu; desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial dikenal dua bentuk yaitu,
"otonom" dan "medebewind" atau "zelfbestuur". Sedangkan yang dimaksud
otonomi daerah atau secara singkat otonomi adalah pemerintahan oleh, dari
dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-
lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat.

Otonomi merupakan inti desentralisasi, dalam teori, terdapat tiga


sistem otonomi atau rumah tangga daerah, yaitu sistem otonomi formal,
materil, dan riil atau nyata. Sistem otonomi merupakan tatanan yang
berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.
Ketiga sistem otonomi tersebut mempunyai bobot yang berbeda dalam hal
pelaksanaan prinsip permusyawaratan dalam pemerintahan daerah. Para
founding fathers negara kesatuan republik Indonesia sejak awal telah
menentukan pilihan dan prinsip pembagian kekuasaan (desentralisasi) dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Pentingnya fungsi pemerintah di
daerah ini, terbuktinya dengan dicantumkannya dalam ketiga Undang-
Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia. Pemerintah Daerah bukan
saja sekedar untuk mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan secara
efektif dan efisien, tetapi erat sekali dengan usaha mewujudkan sistem
pemerintahan yang demokratis.

Adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan


negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan
kekuasaan terhadap Pemerintah Pusat. Adanya pembatasan itu merupakan
salah satu ciri negara hukum. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar
bukanlah kekuasaan yang dapat diterima di negara demokrasi, melainkan

LAPORAN PENELITIAN I-9


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

merupakan model kekuasaan yang di negara-negara dengan sistem politik


yang absolut atau otoriter. Desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan
memencarkan kekuasaan atau kewertangan dari suatu organisasi, jabatan,
atau pejabat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan otonom, desentralisasi
hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi, penyeralian
urusan pemerintah kepada daerah pada dasarnya menjadi kewenangan dan
tanggung jawab daerah sepenuhnya. Daerah yang menentukan
kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut
segalai pembiayaan. Demikian juga perangkat pelaksanaannya adalah
perangkat daerah. Mekanisme penyerahan kewenangan kepada daerah
dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Penyerahan penuh, artinya baik tentang
asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan
kewajibannya (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada
daerah (hak otonomi). 2) Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya
mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya (asas-
asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri.

Dalam konsep otonomi daerah dikenal beberapa sistem untuk


menetapkan bidang mana yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana
yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Sistem-sistem itu antara
lain:

a. Sistem Residu

Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-
tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya
menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sistem ini umumnya dianut oleh
negara-negara di daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, Belanda dan
sebagainya. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya
keperluan-keperluan baru, Pemerintah Daerah dapat dengan cepat
mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa
menunggu perintah dari Pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula
menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan Daerah yang satu

LAPORAN PENELITIAN I - 10
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

berbeda dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau
bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini
dapat menjadi terlalu sempit bagi Daerah yang kapasitasnya besar atau
sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas.

b. Sistem Material

Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu


secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan,
merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut
oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika
Serikat. Cara ini kurang begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas
dan wewenang Daerah baik yang bersifat pengurangan maupun
penambahan, harus dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit-
belit. Hal ini tentunya akan menghambat kemajuan bagi Daerah yang
mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus menunggu
penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu
urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh Pemerintah Pusat dan
tidak pula oleh Pemerintah Daerah.Sistem ini pernah diatur oleh Negara
Republik Indonesia pada saat berlakunya Undang-Undang no. 22 tahun
1948 dan Staatblad Indonesia Timur no. 44 tahun 1950.

c. Sistem Formal

Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga
Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan Undang-
Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi Daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Jadi, urusan yang telah diatur dan
diurus oleh Pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur
dan diurus lagi oleh Daerah. Dengan perkataan lain, urusan rumah

LAPORAN PENELITIAN I - 11
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih


tinggi tingkatnya (hierarchische taakafbakening).

d. Sistem Riil

Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan


kepada Daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari Daerah maupun
Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini
didasarkan pada keadaan yang riil didalam masyarakat maka
kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas/urusan
yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan
kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan
keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri, sebaliknya tugas
bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada
Pemerintah Pusat atau ditarik kembali dari Daerah. Sistem ini dianut
oleh Negara Republik Indonesia semasa berlakunya Undang-Undang
no. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden no. 6 tahun 1956
(disempurnakan) dan penpres no. 5 1960 (disempurnakan), dan
Undang-Undang no. 18 tahun 1965.

Setelah mengetahui berbagai teori tentang penetapan kewenangan


antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dapat diketahui bahwa dalam konteks
UU No.32 Tahun 2004 model penetapan kewenangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah menggunakan sistem formil. Di lain pihak, dengan adanya
pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang didasarkan pada
UUD 1945 dalam empat asas pokok sebagai patokan hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara
Pusat dan Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut
serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan pemerintaban daerah, sesuai
dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam sistem

LAPORAN PENELITIAN I - 12
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

tingkat Pemerintah Daerah. Kedua, bentuk hubungan antara Pusat dan


Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif
atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap
punting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah
dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai
dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Keempat, bentuk hubungan
antara Pusat dan Daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial di daerah.

Untuk menjalankan pola hubungan Pusat dan Daerah yang efektif


diperlukan adanya penerapan asas-asas pemerintahan daerah. Asas-asas
pemerintahan daerah yang, dikenal dalam UU Nomor 32 tahun 2004 adalah
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan
(medebewind) atau penyelenggaraan kepentingan atau urusan tersebut
sebenarnya oleh Pemerintah Pusat tetapi daerah otonomi diikutsertakan.

Untuk mendekati alur penyerahan kewenangan, dapat menggunakan


ajaran tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan yang diperoleh
secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentukan Undang-undang
orisinil. Pemberi dan penerima wewenang dapat menciptakan wewenang
baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Tanggung jawab intern
dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada
pada penerima wewenang. Pada konsep delegasi tidak ada penciptaan
wewenang, yang ada hanya penyerahan wewenang dari pejabat yang satu
kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan administrasi negara yang satu
kepada badan administrasi negara lainnya. Penyerahan wewenang barus
dilakukan dengan bentuk peraturan hukum tertentu. Pihak yang
menyerahkan wewenang disebut delegans, sedangkan penerima wewenang
disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenangnya kepada
delegataris, maka tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang sepenuhnya berada pada delegataris.

LAPORAN PENELITIAN I - 13
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.2.2 Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah


suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam
penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam,
menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara
dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan
internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula
penentuan batas wilayah.

Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan


bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai
nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal
tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :

a. Mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara.


b. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat sekitarnya.
c. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan
yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah
maupun antar negara.
d. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik
skala regional maupun nasional.

Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara


sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan
nasional dalam kerangka NKRI. Keamanan wilayah perbatasan mulai
menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan
langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah
perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus
kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah
perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini
menjadi isu strategis karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan

LAPORAN PENELITIAN I - 14
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di


suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighbourhood
countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan
bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu
kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan (Sabarno, 2001) .

Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara


proporsional. Kondisi ini terbukti dari kurangnya sarana prasarana
pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini
telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan
batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans
nasional (transnational crimes). Kondisi umum daerah perbatasan dapat
dilihat dari aspek Pancagatra yaitu:

1. Aspek Ideologi.
Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan
perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti
paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pada saat
ini penghayatan dan peng-amalan Pancasila sebagai ideologi negara dan
falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi,
karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara
negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi
Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang
paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.
2. Aspek Politik.
Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya
dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi
untuk mengundang ke-rawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi
masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama
apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai

LAPORAN PENELITIAN I - 15
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun


selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat
menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di
negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan
akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan.
3. Aspek Ekonomi.
Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang)
disebabkan antara lain; Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan
tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan
kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa
tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan
masyarakat di daerah perbatasan (blank spot). Kesenjangan sosial ekonomi
masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga
mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak
negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka
tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit
pelaku kejahatan dan teroris.
4. Aspek Sosial Budaya.
Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet,
dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak
yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan
nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan
cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan
intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat
tergantung dengan negara tetangga.
5. Aspek Pertahanan dan Keamanan.
Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan
pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan

LAPORAN PENELITIAN I - 16
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit


dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau
aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik
akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di
tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak
langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK,
penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu
adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam
penanganannya.

Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat dilakukan


secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik
kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun
vertikal. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah
perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan
masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat. Kenyataan
di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung
dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi
yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih
lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana
hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi
terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah
daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan
perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti
yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan
Kalimantan.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,


komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih
tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi
yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi
kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Dengan

LAPORAN PENELITIAN I - 17
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan


perbatasan di Kalimantan Barat dapat berjalan sesuai dengan harapan
masyarakat di perbatasan. Konsepsi pengelolaan perbatasan negara
merupakan “titik temu” dari tiga hal penting yang harus saling bersinergi,
yaitu: Politik Pemerintahan Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah, dan
Politik luar negeri yang bebas-aktif. Oleh sebab itu dalam formulasi
kebijakannya harus selalu memperhatikan dan berdasarkan tiga hal tersebut
di atas.

1.3 Metodologi Penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
data primer. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah
terkait, antara lain: Kantor BPS Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Badan
Pengelola KAPET, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),
dan Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, lima orang Bupati yang
daerahnya memiliki perbatasan langsung dengan Malaysia Timur.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode indepth interview
dengan panduan daftar pertanyaan yang mencakup informasi-informasi
sebagai berikut: (1) Situasi dan kondisi kehidupan masyarakat dan
pembangunan yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) Terkait
dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dalam mengelola kawasan perbatasan di era
otonomi daerah saat ini, (3) Terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah pusat tentang kawasan perbatasn apakah sudah mampu
mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, (4) Terkait dengan
kewenangan, peran dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Koordinasi
Pengelolaan Kawasan Perbatasan (BKPKP) yang ada di daerah. Analisis
yang digunakan adalah metode descriptive analysis.

1.4 Tim Peneliti


Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Tanjungpura
Pontianak yang berjumlah 12 (dua belas) orang, yaitu:

LAPORAN PENELITIAN I - 18
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Ketua : Prof. Dr. H. Chairil Effendy, MS


Wakil Ketua : Dr. H. Eddy Suratman, MA
Sekretaris : Nurfitri Nugrahaningsih, S.Ip, M.Si
Anggota : Jumadi, S.Sos, M.Si
Rosyadi, SE, M.Si
Ir. H. M. Iqbal Arsyad, MT
Turiman Fachturahman Nur, SH, M.Hum
Ir. Danial, MT
Dr. H. A. Oramahi, S.TP, MP
Tenaga Pendukung : Richard, ST
Thomas Tony Irawan, SE
Agus Setiadi

1.5 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan dalam waktu 4 (empat) bulan atau 16 (enam
belas) minggu, dengan rincian sebagai berikut:

MINGGU
NO KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1 Persiapan

2 Penyusunan Drat Poposal

3 Perumusan Kuisioner

4 Pengumpulan Data Sekunder

5 Pengambilan Data Primer

6 Pengolahan Data

7 Pembahasan dan Analisis Data

8 Penyusunan Laporan Akhir

LAPORAN PENELITIAN I - 19
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.6 Sistematika Penulisan Laporan


Laporan hasil penelitian ini terdiri dari enam bab, yang secara garis
besar menampilkan temuan penelitian sebagai berikut: Bab kesatu adalah
pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kerangka analitik dan metodologi penelitian. Bab kedua,
menyajikan gambaran umum kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
dikawasan perbatasan. Bab ketiga, menyajikan berbagai kebijakan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan
kawasan perbatasan selama kurun waktu 10 tahun penyelenggaraan
otonomi daerah. Bab keempat, menyajikan kebijakan-kebijakan pemerintah
pusat yang mengakomodasi harapan pemerintah daerah dalam pengelolaan
dan pembangunan kawasan perbatasan. Bab kelima, menyajikan
kewenangan, peran dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah. Terakhir
Bab keenam, yang merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan
dan rekomendasi.

LAPORAN PENELITIAN I - 20
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat

LAPORAN PENELITIAN I - 21
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB II
GAMBARAN UMUM KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI
MASYARAKAT KAWASAN PERBATASAN

2.1 Gambaran Umum Kawasan Perbatasan

2.1.1. Letak dan Potensi Kawasan

Secara geografis kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan


Sarawak berada pada bagian paling utara wilayah Provinsi Kalimantan Barat,
yang membentang dari barat ke timur sepanjang sekitar 966 km yang
meliputi kabupaten Sambas sampai kabupaten Kapuas Hulu. Kondisi wilayah
perbatasan digambarkan secara topografis relatif bergelombang dan
merupakan hulu dari banyak sungai di Kalimantan Barat maupun Serawak.
Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka
erosi.

Potensi sumber daya alam sementara ini yang terdeteksi adalah :

• Tambang : Batubara terdapat di Senaning kabupaten Sintang dan


Emas (tanah aluvial-sungai) tersebar hampir di seluruh aliran sungai
di sepanjang kawasan perbatasan.

• Hutan : potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas


80.000 Ha. Selain itu di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa
taman nasional (TN) Gunung Niut, TN Danau Sentarum, dan TN
bentuang karimun. TN-TN ini berpotensi dikembangkan sebagai
obyek wisata alam.

• Perkebunan berupa : coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain


yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak.

• Potensi perikanan air tawar cukup besar dan memiliki spesies ikan
yang relatif lengkap dan hanya terdapat di beberapa negara di dunia.

  LAPORAN PENELITIAN II - 1
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2.1.2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi, kawasan perbatasan meliputi 5 kabupaten, yaitu


kabupaten: Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu (lihat
tabel 2.1). Jika diasumsikan kawasan perbatasan merupakan kawasan yang
berjarak 20 km dari garis batas sepanjang 966 km, terhitung dari tanjung
Dato, kabupaten Sambas yang berada diujung paling barat sampai ke
kabupaten Kapuas Hulu yang berada diujung paling timur, maka luas
kawasan perbatasan meliputi 19.320 Km 2 , atau 1.932.000 Ha.

Tabel 2.1
Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak,
Tahun 2006
NO KABUPATEN KECAMATAN JML DESA Luas (Ha) IBUKOTA
1 SAMBAS Paloh 8 114.884 Liku
Sajingan Besar 5 139.120 Sajingan
2 BENKAYANG Jagoi Babang 6 65.500 Jagoi Babang
Siding 8 56.330 Siding
3 SANGGAU Sekayam 10 84.101 Balai Karangan
Entikong 5 50.689 Entikong
4 SINTANG Ketungau Hulu 9 213.820 Senaning
Ketungau Tengah 13 218.240 Nanga Merakai
5 KAPUAS HULU Empanang 6 35.725 Nanga Kantuk
Putussibau 7 412.200 Putussibau
Badau 7 70.000 Nanga Badau
Batang Lupar 10 133.290 Lanjak
Embaloh Hulu 7 345.760 Benua Martinus
Kedamin 5 535.230 Kedamin
Puring Kencana 6 44.855 Puring Keancana
JUMLAH 112 2.519.744
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

2.1.3. Kependudukan

Jumlah penduduk kawasan perbatasan tahun 2007 sebanyak 185.034


orang dengan kepadatan penduduk rata-rata 15 orang per Km 2 (lihat tabel
2.2). Sebagian besar penduduknya bersuku Dayak. Secara sosiologis, suku

  LAPORAN PENELITIAN II - 2
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

dayak perbatasan memiliki keterikatan sangat tinggi dengan suku dayak


yang berada di perbatasan Negara Bagian Serawak (Malaysia).

Tabel 2.2
Perkembangan Penduduk Kawasan Perbatasan
Tahun 2004 – 2007

KEPADATAN
KABUPATEN / PENDUDUK (jiwa) LUAS
NO (Orang / Km
KECAMATAN (KM2)
2004 2007 2004 2007
1 KAB. SAMBAS
a. Kec. Paloh 23.165 23.071 1.149 20 21
b. Kec.Sajingan
8.112 7.587 1.391 6 6
Besar
2 KAB.BENGKAYANG
a. Kec.Jagoi Babang 8.240 7.258 655 13 11
b. Kec.Siding 5.323 6.732 563 9 12
3 KAB.SANGGAU
a. Kec. Sekayarn 26.530 26.966 841 32 32
b. Entikong 12.828 13.083 507 25 26
4 KAB. SINTANG
a. Kec.Ketungau
18.228 19.427 2.138 9 9
Hulu
b. Kec. Ketungau
25.572 27.253 2.182 12 12
Tengah
5 KAB.KAPUAS HULU
a. Kec. Empanang 2.563 2.538 357 7 7
b. Kec. Badau 5.656 5.895 700 8 8
c. Kec. Batang Lupar 5.530 5.797 1.333 4 4
d. Kec.Embaloh Hulu 5.029 5.107 3.457 1 1
e. Putussibau 16.922 17.338 4.122 4 4
f. Kedamin 16.22 5.352 3
16.982 3
8
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

2.1.4. Perekonomian

Secara makro, ekonomi perbatasan masih didominasi sektor


pertanian (menyumbang sekitar 36% - 47% PDRB kabupaten), khususnya
tanaman pangan dan perkebunan rakyat (lihat tabel 2.3). Kabupaten Sambas
relatif maju dalam sub sektor tanaman pangan, perkebunan rakyat,

  LAPORAN PENELITIAN II - 3
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

peternakan dan perikanan. Kabupaten Sanggau: perkebunan rakyat besar


dan tanaman pangan. Kabupaten Sintang : kehutanan, perikanan, dan
tanaman pangan. Selain sektor pertanian, wilayah kabupaten perbatasan
didorong oleh sektor perdagangan yang memiliki rata-rata diatas 20% kecuali
Kabupaten Sanggau dan Kapuas Hulu, share terhadap PDRB masih cukup
dominan.

Tabel 2.3
Persentasi PDRB Kalimantan Barat Tahun 2004 – 2007 Menurut
Kabupaten Perbatasan dan Sektor Atas Dasar Harga Konstan 2000

BENGKAYA KAPUAS
SEKTOR/ SAMBAS SANGGAU SINTANG
N NG HULU
O 200
SUBSEKTOR 2004 2004 2007 2004 2007 2004 2007 2004 2007
7
1 Pertanian 46,79 47,4 43,38 45 36,78 36,03 41,15 39,23 47,37 43,8
Pertambangan/pengg
2 0,18 0,17 1,68 1,6 1,54 1,1 3,53 3,4 0,98 1,27
alian
3 Industri 9,84 9,46 5,4 5,1 27,92 29,08 9,55 10,09 5,35 3,61

4 Listrik/ air minum 0,24 0,26 0,11 0,1 0,23 0,27 0,27 0,25 0,29 0,32

5 Bangunan 2,41 2,34 6,51 6,26 3,95 3,95 6,43 6,76 11,01 14,32
6 Perdangangan 27,31 27,41 28,33 27,51 15,81 15,86 22,74 23,35 16,08 18,24
Pengangkutan/
7 3,81 3,64 2,64 2,68 2,26 2,35 3,05 2,89 4,39 3,63
komunikasi
Bank/ lembaga
8 4,71 4,47 4,99 4,67 3,07 2,91 3,65 3,61 5,09 5,03
keuangan
9 Jasa-jasa 4,71 4,85 6,96 7,08 8,44 8,45 9,46 10,22 9,44 9,78
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

Penduduk setempat hanya dengan menggunakan pas lintas batas


dapat saling mengunjungi untuk keperluan sehari-hari dengan jumlah
pengeluaran belanja maksimum sebesar 600 ringgit per orang per bulan.
Dari lima kabupaten di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, hingga tahun
2007 baru terdapat satu pintu perbatasan resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau
(Entikong) dengan fasilitas Custom, Immigration, Quarantine, and Security
(CIQS) yang sudah cukup baik. Sedangkan wilayah perbatasan lainnya
seperti di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, Sambas, dan Kapuas
Hulu masih belum memiliki pos lintas batas yang resmi. Sesuai dengan

  LAPORAN PENELITIAN II - 4
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo,


sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara
bertahap di beberapa kawasan, yaitu Nanga Badau (Kapuas Hulu) – Lubuk
antu (Sri Aman) yang disepakati pada tahun 1998, dan Aruk Sambas-Biawak
yang disepakati pada tahun 2005. Sedangkan kawasan lain di Kabupaten
Sintang dan Bengkayang masih terus diusulkan dalam pembahasan forum
Sosek Malindo.

2.1.5. Tingkat Kesejahteraan

Meskipun kawasan perbatasan kaya dengan sumberdaya alam dan


letaknya mempunyai akses ke pasar (serawak), tapi terdapat sekitar 45%
desa miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%.

Perbandingan tingkat kesejahteraan penduduk juga dapat di ukur dengan


Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana indicator tessebut di ukur dari
indek pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Bila dilihat dari IPM per
kabupaten hanya Kabupaten Sambas yang memiliki IPM terendah dari 5
kabupaten perbatasan.

Tebel 2.4
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/ Kota
Provinsi Kalimantan Barat, tahun 2005

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Barat

  LAPORAN PENELITIAN II - 5
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2.1.6. Sarana dan Prasarana

Jenis prasarana transportasi yang tersedia laut, sungai dan darat.


Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh (kabupaten Sambas)
dengan Lundu (Serawak), untuk fasilitas sungai masih ada namun sudah
tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di Kalimantan Barat berbentuk vertikal
sehingga pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km
dengan rincian : 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan aspal.
Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63% jalan kabupaten, 31% jalan
propinsi, dan 6% jalan nasional.

Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada


dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100 % teraliri oleh
listrik hanya operasionalnya hanya 12 jam saja. Hal ini menunjukkan
besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan
Barat dengan masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya
telah mendapatkan pelayanan listrik. Pada saat ini di kawasan perbatasan
Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari bendungan
Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan bendungan Bakun
yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW.

Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang hanya
mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan Kalimantan Barat.
Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di Serawak telah terpenuhi 100
persen fasilitas air bersih.

2.2. Permasalahan Masyarakat Kawasan Perbatasan


Sehubungan dengan gambaran umum kawasan perbatasan seperti
diuraikan di atas, pada sub bab ini akan diuraikan beberapa permasalahan
yang dihadapi masyarakat perbatasan. Permasalahan tersebut
sesungguhnya sudah sering diuraikan oleh berbagai pihak sesuai dengan
latar belakang dan kepentingannya masing-masing. Namun demikian harus

  LAPORAN PENELITIAN II - 6
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

diakui bahwa langkah-langkah penyelesaiannya berjalan relatif lambat.


Secara umum permasalahan kawasan perbatasan adalah sebagai berikut:

1. Kawasan Perbatasan Sebagai Daerah Tertinggal


Kawasan perbatasan antar negara di Provinsi Kalimantan Barat masuk
dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan ini terjadi karena
kurangnya perhatian pemerintah, dimana kebijakan pembangunan
selama ini lebih mengarah kepada kawasan yang padat penduduk dan
mudah dijangkau. Sementara kawasan perbatasan cenderung
difungsikan hanya sebagai sabuk keamanan (security Belt).

Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar desa di sepanjang


perbatasan sulit dijangkau (terisolir) dan secara umum menikmati
infrastruktur dasar yang sangat terbatas. Akibatnya, investor swasta
tidak tertarik untuk masuk ke kawasan ini, sehingga sumberdaya alam
yang demikian potensial belum dapat dikelola secara optimal.

  LAPORAN PENELITIAN II - 7
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Ketertinggalan Pembangunan di Perbatasan

2. Kendala Geografis
Secara geografis kawasan perbatasan merupakan daerah yang sangat
luas. Di Kalimantan Barat saja panjang garis perbatasan sekitar 966
Km. Apabila diasumsikan lebar perbatasan sejauh 20 Km dari titik
batas, maka luas kawasan perbatasan di Kalimantan Barat sekitar
19.320 Km2 atau sekitar 1,9 juta Ha. Tentu saja dengan luas yang
demikian cukup menyulitkan dalam penanganan terutama ditinjau dari
aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, dan kebutuhan
aparatur. Keadaan ini semakin diperparah lagi oleh kondisi infrastruktur
jalan yang vertikal dan relatif sangat terbatas baik kuantitas maupun
kualitasnya. Akibatnya sebagian besar kawasan perbatasan merupakan
daerah yang tidak dapat dijangkau oleh kenderaan.

  LAPORAN PENELITIAN II - 8
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Perbatasan sulit dijangkau kenderaan

3. Inkonsistensi Antara Perencanaan dengan Pelaksanaan


Selama ini kawasan perbatasan belum mendapat perhatian dari
pemerintah. Meskipun RPJMN 2004-2009 telah mengamanatkan arah
kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu “menjadikan
kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI, dengan tujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat,
meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan
memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan”. Namun

  LAPORAN PENELITIAN II - 9
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

pada tataran implementasi ternyata tidak demikian, karena terbukti


selama periode 2004-2009 tidak terjadi peningkatan kegiatan
pembangunan yang berarti di kawasan perbatasan.

Dalam hal ini jelas sekali terlihat adanya inkonsistensi antara arah
pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan dengan
kenyataan yang terjadi pada saat pelaksanaan program pembangunan.
Pada saat ini, setelah hampir lima tahun pemerintahan kabinet
Indonesia Bersatu bekerja mengimplementasikan RPJM Nasional 2004-
2009, juga belum terlihat kesungguhannya untuk menjadikan kawasan
perbatasan sebagai beranda depan. Hal ini tampak terutama dari status
hukum kawasan yang masih belum jelas serta besaran alokasi
anggaran yang relatif rendah baik dalam APBN maupun APBD. Tentu
saja hal ini berdampak terhadap kepercayaan dan semangat
pemerintah kabupaten dan masyarakat dalam mengelola perbatasan.
Masyarakat perbatasan mulai apatis dan kurang bersemangat
mendengar rencana pengembangan kawasan perbatasan. Ada
semacam keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan di kawasan tersebut.

4. Ketidakjelasan Wewenang dan Koordinasi


Penanganan masalah di kawasan perbatasan membutuhkan landasan
hukum yang tegas, komprehensif dan mampu mengikat semua pihak.
Salah satu landasan hukum yang paling mendasar adalah kejelasan
wewenang dan jalur koordinasi dalam pengelolaan kawasan
perbatasan. Hingga saat ini belum ada kejelasan soal siapa yang
memiliki kewenangan mengelola kawasan perbatasan, apakah
pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah memberikan


sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Berbagai kewenangan yang selama ini dilakukan pusat telah
diserahkan ke pemerintah daerah, seiring dengan diberlakukannya

  LAPORAN PENELITIAN II - 10
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan pusat dan daerah. Namun dalam pembangunan kawasan
perbatasan kewenangan pelaksanaannya masih berada pada
pemerintah pusat, dengan alasan untuk mengintegrasikan berbagai
kegiatan sosial ekonomi yang bersifat lintas administrasi wilayah
pemerintahan sehingga diperlukan koordinasi dari institusi yang secara
hirarkis lebih tinggi. Akan tetapi karena jarak yang begitu jauh dari
Jakarta ke perbatasan, maka kewenangan ini belum dapat dijalankan
oleh pemerintah pusat dengan baik. Kondisi ini makin diperparah oleh
tidak adanya suatu lembaga yang secara khusus ditunjuk oleh pusat
untuk mengelola keseluruhan aspek pembangunan di kawasan
perbatasan.

Dalam konteks ini, tidak jarang masing-masing level pemerintahan


berebut pengaruh di perbatasan ketika ada potensi penerimaan dan
sebaliknya seolah lepas tanggungjawab pada saat timbul masalah.
Akibatnya, perbatasan menjadi kawasan “remang-remang” yang
dinikmati oleh segelintir oknum, berasal dari kedua negara, untuk
menumbuh-suburkan kegiatan ilegal. Sebagian dari oknum tersebut
memiliki status sebagai aparatur pemerintah baik sipil maupun militer.
Mereka ini merupakan kelompok yang sebagian besar justru bukan
berasal dari masyarakat perbatasan serta cenderung tidak
menginginkan adanya kejelasan kewenangan dan jalur kordinasi dalam
penanganan kawasan perbatasan.

5. Kemiskinan
Kemiskinan menjadi topik yang menarik dibahas ketika diskusi tentang
kawasan perbatasan karena penduduk miskin merupakan sesuatu yang
mudah dijumpai ketika berkunjung ke kawasan ini. Saat ini meskipun
kawasan perbatasan kaya dengan sumberdaya alam dan letaknya
mempunyai akses ke pasar (serawak), tapi terdapat sekitar 45% desa

  LAPORAN PENELITIAN II - 11
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%. Jika dibandingkan


dengan penduduk Malaysia tampak adanya ketimpangan pendapatan
yang luar biasa besarnya (sekitar 1:10). Akibatnya penduduk kita tidak
memiliki posisi tawar yang sebanding dalam kegiatan ekonomi di
perbatasan. Bahkan besaran harga terhadap produksi hasil pertanian
kita-pun ditentukan oleh penduduk Malaysia.

Akibat lain dari kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan


mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi illegal guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataan ini selain melanggar hukum
dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat
merugikan negara. Kegiatan illegal ini umumnya terorganisir dengan
baik sehingga perlu kordinasi dan kerjasama bilateral untuk
menuntaskannya.

6. Keterbatasan Infrastruktur
Di kawasan perbatasan terdapat Jenis prasarana transportasi laut,
sungai dan darat. Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh
(kabupaten Sambas) dengan Lundu (Serawak), sedang fasilitas sungai
masih ada namun sudah tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di
kawasan perbatasan Kalimantan Barat berbentuk vertikal sehingga
pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km
dengan rincian: 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan
aspal. Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63% jalan kabupaten,
31% jalan propinsi, dan 6% jalan nasional.

Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada


dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100% yang
mendapat pelayanan, namun tidak memcapai maksimum karena hanya
12 jam operasional. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan
kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dengan
masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah
mendapatkan pelayanan listrik. Pada saat ini di kawasan perbatasan

  LAPORAN PENELITIAN II - 12
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari


bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan
bendungan Bakun yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW.

Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang
hanya mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan perbatasan
Kalimantan Barat. Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di
Serawak 100 persen telah terpenuhi fasilitas air bersih.

Keterbatasan infrastruktur turut menjadi salah satu faktor penyebabkan


rendahnya investasi ke kawasan perbatasan. Hal ini merupakan dilema
tersendiri karena dana yang dimiliki pemerintah bagi penyediaan dan
peningkatan infrastruktur guna mendukung kegiatan investasi di
perbatasan sangat terbatas. Akibatnya kawasan ini menjadi daerah
yang relatif tertinggal, dimana sebagian besar penduduknya hidup
dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Jalan di Perbatasan Malaysia Jalan di Perbatasan Kalimantan Barat

7. Lemahnya Penegakan Hukum


Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk
pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Masalah ini
memerlukan penanganan dan antisipasi yang seksama dan sungguh-
sungguh. Luasnya wilayah yang harus ditangani serta minimnya

  LAPORAN PENELITIAN II - 13
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

prasarana dan sarana telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan


dan kepolisian sejauh ini belum dapat dilakukan secara optimal.

Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana, dan sumberdaya


manusia dibidang pertahanan dan keamanan, telah menyebabkan
lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan. Akibatnya
adalah sering terjadi pelanggaran batas negara oleh masyarakat kedua
negara, serta berbagai bentuk pelanggaran hukum seperti aktivitas
pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan penjualan
manusia (trafficking person).

Kegiatan Ilegal Loging

  LAPORAN PENELITIAN II - 14
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

8. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Belum Optimal


Potensi sumberdaya alam yang berada di kawasan perbatasan cukup
besar namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara
optimal. Potensi sumberdaya alam sementara ini yang terdeteksi
adalah:

• Tambang : Emas (tanah aluvial-sungai) tersebar hampir di seluruh


aliran sungai di sepanjang kawasan perbatasan.
• Hutan : potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas
80.000 Ha. Selain itu di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa
taman nasional yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek
wisata alam.
• Perkebunan berupa : coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain
yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak.
• Potensi perikanan air tawar cukup besar dan memiliki spesies ikan
yang relatif lengkap dan hanya terdapat di beberapa negara di
dunia.

Mengembangkan potensi sumberdaya alam perbatasan melalui


pengembangan produk unggulan, dari sektor-sektor : pertanian, kehutanan,
perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, pertambangan.

Namun demikian di beberapa kawasan perbatasan sudah lama terjadi


eksploitasi sumberdaya alam secara tidak bijaksana sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan
hidup, seperti penebangan hutan dan penambangan emas secara liar

  LAPORAN PENELITIAN II - 15
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

dan besar-besaran. Kegiatan ini bahkan sebagian besar bersifat illegal


yang cukup sulit ditangani karena keterbatasan sumberdaya aparatur
dan infrastruktur untuk pengawasan.

9. Hubungan dengan Penduduk Malaysia


Kesamaan budaya, adat, dan keturunan di kawasan perbatasan telah
melahirkan kegiatan lintas batas tradisional, yang sebagian diantaranya
bersifat ilegal dan sulit dicegah. Kegiatan lintas batas tradisional ini
telah berlangsung lama dan pada awalnya didorong oleh kebutuhan
dan manfaat bersama bagi penduduk kedua negara di perbatasan.
Kegiatan ini bahkan telah diatur melalui perjanjian perdagangan lintas
batas Indonesia – Malaysia pada tanggal 11 Mei 1967, yang
mengizinkan penduduk melakukan transaksi maksimum 600 RM per
bulan.

Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, kegiatan lintas batas


tradisional tersebut mulai dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dari
kedua negara untuk melakukan kegiatan ilegal, yaitu berupa transaksi
dagang yang melebihi ketentuan atau bahkan berupa penyelundupan.
Kegiatan ilegal ini khususnya dilakukan untuk jenis komoditi yang
memiliki selisih harga relatif tinggi diantara kedua negara. Ironisnya,
pelaku kegiatan ilegal ini sebagian besar justru penduduk yang barasal
dari luar perbatasan. Kalaupun ada penduduk asli perbatasan terlibat
umumnya karena kepolosan dan ketidaktahuan, dan mereka
memperoleh peran serta bagian keuntungan yang kecil.

2.3. Harapan Masyarakat Perbatasan


Secara umum, pengembangan kawasan perbatasan memerlukan
suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh (holistic), meliputi
berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta kordinasi dan kerjasama
yang efektif, yang dapat dimulai dari pemerintah pusat sampai ke tingkat
provinsi dan kabupaten. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui

  LAPORAN PENELITIAN II - 16
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan disusun
berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun
vertikal dengan pemerintah daerah terutama dengan masyarakat
perbatasan.

Bagian paling penting dari proses yang partisipatif itu adalah


mendengarkan apa saja yang menjadi harapan masyarakat. Rumitnya
permasalahan kawasan perbatasan disatu sisi dan adanya rencana
pemerintah menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI
di sisi lain, telah memunculkan harapan baru bagi masyarakat perbatasan.
Meskipun seringkali harapan baru ini mereka rajut dengan perasaan
ketidakpastian (Uncertainty). Beberapa diantara harapan masyarakat
perbatasan tersebut adalah:

1. Realisasikan Kawasan Perbatasan Sebagai “Beranda Depan”.


Selama ini kawasan perbatasan lebih banyak dipandang sebagai
kawasan “belakang” yang harus dijaga dari ancaman pemberontak,
penyelundup, dan gerombolan lain yang dianggap sebagai pengacau
keamanan. Karena itu, kawasan perbatasan menjadi kawasan yang
terlupakan, tertinggal dan terpencil, tempat yang baik bagi perdagangan
ilegal dan tidak tersentuh oleh kegiatan pembangunan.

Oleh karena itu, masyarakat berharap keinginan menjadikan kawasan


perbatasan menjadi beranda depan jangan hanya sebagai wacana dan
sekedar memberi kesenangan sesaat bagi masyarakat perbatasan.
Akan tetapi harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dimulai dari
penyusunan penataan ruang kawasan perbatasan, membangun
prasarana dan sarana yang diperlukan, memelihara lingkungannya, dan
diupayakan sedemikian rupa sehingga menarik bagi pihak-pihak
(investor) yang berniat mengembangkannya sebagai kawasan ekonomi
dan perdagangan antar kedua negara. Kebijakan demikian
sesungguhnya sejalan dengan kebijakan yang sedang dan akan terus
dijalankan oleh negara tetangga (Negara Bagian Serawak di Malaysia).

  LAPORAN PENELITIAN II - 17
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2. Pendekatan Kesejahteraan Dan Keamanan Secara Serasi


Membangun kawasan perbatasan pada masa kini dimana kondisi
keamanan regional relatif stabil dan ancaman pemberontak relatif
berkurang, maka perlu dipertimbangkan aspek-aspek lain selain
keamanan seperti aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Pada masa lalu
pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada aspek keamanan,
sesuai dengan kondisi dan paradigma yang digunakan saat itu. Namun
saat ini dimana negara tetangga telah mengembangkan kawasan
perbatasan sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, maka
masyarakat berharap pendekatan kesejahteraan yang diyakini dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara, perlu
dijadikan sebagai landasan bagi penyusunan perencanaan berbagai
kegiatan.

Meskipun demikian, masyarakat juga berharap pembangunan pos-pos


keamanan disepanjang perbatasan dapat ditingkatkan mengingat
semakin banyaknya pelanggaran berupa kegiatan ilegal. Selain itu,
pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana utama dalam
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pertahanan dan keamanan di
perbatasan perlu disediakan.

3. Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia


Kualitas sumberdaya manusia di kawasan perbatasan pada umumnya
masih relatif rendah jika dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal ini
disebabkan terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan,
serta komunikasi dan perhubungan yang dapat dinikmati oleh
masyarakat di kawasan perbatasan. Pada beberapa kampung di
kawasan perbatasan, sebagian kecil masyarakat dapat memanfaatkan
pelayanan kesehatan, pendidikan, perhubungan, dan komunikasi yang
tersedia di negara tetangga, namun sebagian besar lainnya tidak

  LAPORAN PENELITIAN II - 18
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

menikmati pelayanan kesehatan, pendidikan, perhubungan, dan


komunikasi yang memadai.

Masyarakat berharap pembangunan sarana dan prasarana sosial,


seperti sekolah pusat kesehatan, fasilitas perhubungan dan komunikasi
dapat segera dilakukan, dengan kualitas yang setara dengan yang ada
di negara tetangga. Jika tidak dikhawatirkan jumlah masyarakat
perbatasan yang sekolah dan berobat di negara tetangga akan terus
meningkat. Hal ini dapat mengganggu kedaulatan negara dari perspektif
ekonomi dan politik.

4. Mengembangkan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi


Masyarakat berharap, kecamatan-kecamatan di kawasan perbatasan
yang memiliki potensi ekonomi dapat dikembangkan sebagai pusat
pertumbuhan bagi kawasan disekitarnya, termasuk wilayah bagian
dalam (hinterland) dari kawasan perbatasan. Pusat pertumbuhan
ekonomi tersebut dikembangkan secara bertahap dengan
memperhatikan perencanaan yang sama dari negara tetangga.
Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi ini merupakan salah satu
upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemerintah melalui
kegiatan kerjasama perdagangan yang selama ini lebih banyak
dilakukan secara ilegal.

5. Memperjelas Status Kawasan dan Lembaga Pengelola.


Untuk mengefektifkan dan mempercepat pembangunan di kawasan
perbatasan, maka harapan masyarakat sebaiknya di sepanjang
kawasan diberlakukan sebagai kawasan khusus yang ditetapkan
dengan keputusan Presiden. Agar kawasan khusus tersebut terkelola
dengan baik serta dalam rangka mendorong percepatan pertumbuhan
ekonomi, maka pemerintah pusat perlu segera menyerahkan beberapa
kewenangan kepada daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan

  LAPORAN PENELITIAN II - 19
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

yang mudah dan cepat, seperti kebijakan pertanahan, perumahan,


perizinan investasi asing, prosedur ekspor-impor dan lain-lain.

Tidak seperti saat ini, kawasan perbatasan Entikong berkembang


lambat karena Pemerintah kabupaten Sanggau tidak memperoleh
kewenangan dan sumber dana yang cukup dari pemerintah pusat.
Demikian halnya dengan kawasan perbatasan Paloh dan Sajingan di
Kabupaten sambas, meskipun sudah memiliki master plan yang baik
dan didukung oleh lembaga Badan Pengelola Palsa, juga belum dapat
berkembang karena ketidakjelasan status, wewenang, dan pendanaan.

Namun sambil menunggu kejelasan status kawasan ini, kondisi


kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat perbatasan perlu
ditingkatkan. Untuk itu, penguatan kelembagaan (institutional building)
melalui program peningkatan dan pengembangan kelembagaan
pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk lembaga adat sangat
membantu proses pembangunan yang partisipatif ini. Dalam kaitan itu,
perhatian terhadap dewan adat dan temenggung perlu ditingkatkan
termasuk melibatkan mereka dalam forum pengambilan keputusan
seperti Musrenbang desa dan kecamatan.

Dari aspek pembiayaan, masyarakat berharap dialokasikannya dana


khusus untuk pembangunan kawasan perbatasan. Pertimbangannya
adalah bahwa daerah khusus perbatasan menyangkut kepentingan
daerah dan nasional yang seyogyanya disediakan dalam bentuk Dana
Alokasi Khusus (DAK) kepada daerah.

6. Melindungi Sumberdaya Alam dan Mengembangkannya bagi


Kesejahteraan Masyarakat Lokal.
Kawasan perbatasan memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya
akan keanekaragaman hayati. Hampir seluruh kawasan perbatasan
terdiri atas hutan tropis dan kawasan konservasi. Potensi sumberdaya
alam berupa hutan tropis dan kawasan konservasi ini diharapkan

  LAPORAN PENELITIAN II - 20
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

masyarakat dapat dilindungi kelestariannya selain dibudidayakan bagi


kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Selama ini harus diakui bahwa kesulitan ekonomi telah memaksa


penduduk untuk terlibat dalam kegiatan ilegal logging, sehingga langkah
pemberantasan menjadi semakin rumit. Disamping itu, ketimpangan
kondisi infrastruktur, pemahaman hukum yang berbeda, dan
ketimpangan ekonomi antara Malaysia dengan Indonesia juga turut
menyebabkan kayu-kayu yang melewati garis batas sulit ditangkap oleh
aparat keamanan Indonesia.

7. Meningkatkan Kerjasama Pembangunan dengan Negara Tetangga.


Masyarakat perbatasan berharap terjadi peningkatan hubungan dengan
negara tetangga dibidang sosial, ekonomi, dan keamanan. Peningkatan
hubungan ini mereka yakini akan berdampak pada peningkatan
kesejahteraan Masyarakat perbatasan. Salah satu bentuk kerjasama
dalam bidang keamanan yang perlu diprioritaskan untuk segera
dilaksanakan adalah penetapan batas antar negara yang sampai saat
ini belum jelas di beberapa titik kawasan perbatasan. Ketidakjelasan ini
memunculkan kekhawatiran dan keragu-raguan bagi masyarakat dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam berusaha seperti
ketika membuka lahan perkebunan dan pertanian serta dalam
bepergian.

Bentuk kerjasama lainnya adalah dalam bidang ekonomi, seperti


perubahan terhadap nilai maksimum perdagangan lintas batas yang
saat ini disepakati sebesar 600 RM per bulan. Masyarakat berharap
segera dilakukan perubahan karena nilai 600 RM tersebut pada saat ini
dirasakan terlalu kecil. Disamping itu, jenis komoditi yang dapat
diperdagangkan perlu diperjelas karena seringkali pada satu saat suatu
komoditi dapat diperdagangkan, tapi pada saat lain tidak. Hal ini terjadi
hanya karena interpretasi yang berbeda dari aparatur pemerintah yang
menjalankan tugas.

  LAPORAN PENELITIAN II - 21
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur.


Masyarakat perbatasan berharap hasil kesepakatan bilateral dengan
Malaysia segera ditindaklanjuti dengan pembangunan pos lintas batas
yang bersifat tradisional bagi penduduk di kawasan perbatasan, untuk
selanjutnya dapat ditingkatkan statusnya menjadi tempat pemeriksaan
imigrasi. Sarana dan prasarana perbatasan yang telah ada tetapi masih
bersifat darurat, perlu dilakukan standarisasi dan dipercepat
peningkatan kualitasnya. Jenis infrastruktur lain yang diharapkan
masyarakat dipercepat penyediaannya adalah di bidang kelistrikan,
komunikasi dan informasi melalui pembangunan stasion relay atau
pemancar radio dan telivisi, pemukiman beserta sarana lingkungannya,
serta pembangunan jalan/jembatan dari ibukota provinsi ke kecamatan
dan dari kecamatan menuju desa-desa di sepanjang perbatasan. Akibat
kualitas jalan yang jelek masyarakat perbatasan terpaksa
mengeluarkan ongkos angkut yang relatif besar jika bepergian ke
ibukota kabupaten.

Disamping itu, khusus masyarakat Paloh dan Sajingan berharap


dibangunnya pasar yang mampu menarik minat penduduk Malaysia
untuk berbelanja. Sementara masyarakat Entikong dan Sekayam
menginginkan pemindahan pasar tradisional ke posisi yang lebih
strategis karena posisi sekarang membuat penduduk Malaysia malas
berbelanja, sehingga kondisi ini sangat merugikan pedagang kita.
Secara umum, transaksi yang terjadi selama ini antara penduduk kita
dengan Malaysia seringkali merugikan kita karena harga lebih banyak
ditentukan oleh Malaysia. Bahkan jika diperiksa dengan teliti, maka
sering ditemui barang-barang hasil industri Malaysia yang
diperdagangkan di kawasan perbatasan banyak yang hampir dan telah
kadaluarsa.

  LAPORAN PENELITIAN II - 22
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

9. Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan.


Masyarakat perbatasan berharap adanya pemberdayaan masyarakat di
sepanjang perbatasan dalam rangka menanggulangi kemiskinan.
Program yang dapat dilakukan antara lain melalui penyediaan tempat
usaha dan teknologi tepat guna sesuai dengan sumberdaya alam yang
potensial dilingkungannya. Program ini diharapkan akan memberikan
nilai tambah berupa pendapatan yang lebih tinggi kepada masyarakat
dari kegiatan produksinya.

Bantuan lain yang diharapkan masyarakat adalah terpenuhinya secara


rutin pasokan kebutuhan pokok seperti sembako, bahan makanan
pokok lainnya dan keperluan sehari-hari melalui kerjasama dengan
aparat keamanan. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga kestabilan
harga, sehingga masyarakat tidak dihadapkan pada tingkat harga
kebutuhan pokok yang relatif tinggi.

10. Terwujudnya Penegakan Hukum.


Salah faktor yang menyebabkan investor kurang tertarik menanamkan
modalnya di kawasan perbatasan adalah tidak adanya kepastian hukum
dan atau lemahnya penegakan hukum. Hal ini terjadi akibat banyak
faktor, seperti ketidakjelasan status kawasan, ketidakjelasan
wewenang, sulitnya kordinasi, minimnya aparatur, terbatasnya
infrastruktur, rendahnya kualitas Sumberdaya manusia, dan lain-lain.

Masyarakat perbatasan berharap faktor-faktor penyebab tersebut dapat


segera diatasi sehingga penegakan hukum di kawasan perbatasan
dapat terwujud. Dengan demikian semua kegiatan ilegal yang selama
ini marak terjadi akan berkurang baik kuantitas maupun kualitasnya.
Sejalan dengan itu, masyarakat juga berharap adanya penyuluhan
hukum secara rutin untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang
hukum, karena keterlibatan mereka dalam kegiatan ilegal selama ini
lebih banyak disebabkan ketidakpamahaman soal hukum.

  LAPORAN PENELITIAN II - 23
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

11. Alokasi Anggaran yang Jelas Melalui APBN dan APBD.


Selama ini masyarakat hanya mendengar isu saja bahwa PALSA di
Sambas dan Entikong di Sanggau akan dikembangkan. Masyarakat
juga mendengar bahwa pemerintah provinsi telah membentuk sebuah
Badan Persiapan Pengembangan Kawasan Perbatasan (BP2KP).
Disamping itu, masyarakat perbatasan semakin sering menerima
kunjungan pejabat pusat, provinsi dan kabupaten. Akan tetapi dalam
kenyataan sehari-hari mereka belum merasakan adanya kemajuan
yang berarti, terutama jika dilihat dari alokasi anggaran baik untuk
pembangunan fisik maupun nonfisik.

Masyarakat berharap pembangunan kawasan perbatasan sebagai


beranda depan NKRI bukan sekedar wacana atau isu, tetapi benar-
benar diwujudkan pemerintah. Salah satu bukti nyata dari perwujudan
itu adalah adanya alokasi anggaran yang jelas ke kawasan perbatasan
baik yang bersumber dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi, maupun
dari APBN. Dengan demikian dalam satu tahun anggaran dapat
diketahui dengan pasti besarnya anggaran dari APBD Kabupaten,
APBD Provinsi, dan APBN yang dialokasikan ke kawasan perbatasan.

12. Keterlibatan Masyarakat Dalam Pembangunan.


Masyarakat perbatasan berharap mereka dilibatkan dalam proses
pembangunan mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan
hingga pada tahap evaluasi. Masih ada beberapa kegiatan
pembangunan di kawasan perbatasan yang masyarakat sama sekali
tidak tahu-menahu, tiba-tiba saja sudah pada tahap pelaksanaan.
Mereka tidak pernah dilibatkan sebelumnya dalam proses perencanaan.

Musrenbang desa dan Musrenbang kecamatan merupakan forum yang


sering mereka ikuti. Akan tetapi mereka sangat kecewa karena
seringkali usulan yang disampaikan lewat forum itu menghilang pada
saat Musrenbang Kabupaten. Menurut mereka, “percuma saja ikut

  LAPORAN PENELITIAN II - 24
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Musrenbang karena begitu naik ke kabupaten akan dihapus dan diganti


dengan kehendak kabupaten”. Disamping itu, mereka juga
menyampaikan kekecewaan soal ketidaksesuaian antara perencanaan
dengan pelaksanaan. Mereka berharap forum Musrenbang desa dan
kecamatan memiliki kekuatan dan pemerintah kabupaten memiliki
komitmen serta konsitensi untuk melaksanakan semua agenda yang
tertuang dalam dokumen perencanaan.

13. Mencegah berkembangnya Penyakit Sosial Masyarakat


Meskipun pengembangan kawasan perbatasan masih relatif lamban
namun jumlah orang yang berkunjung terus mengalami peningkatan,
baik untuk tujuan rekreasi, transit, penjajakan investasi, kedinasan,
maupun untuk tujuan penelitian. Di perbatasan Entikong hal ini tentu
lebih terasa karena sudah merupakan pintu resmi berupa PPLB (Pos
Pemeriksaan Lintas Batas).

Tidak bisa dipungkiri bahwa peningkatan jumlah orang yang berkunjung


ini disamping memberi dampak positif juga membawa dampak negatif.
Dampak negatif yang mulai terlihat adalah berkembangnya penyakit
sosial masyarakat seperti maraknya peredaran minuman keras dan
obat-obatan terlarang, prostitusi, dan perjudian. Masyarakat di
perbatasan Sanggau dan Sambas yang sempat kami wawancarai
mengaku bahwa pada awalnya penyakit sosial ini dibawa oleh
pendatang, tetapi sekarang sudah mulai diikuti oleh penduduk asli
perbatasan.

Masyarakat berharap pemerintah dapat segera mencegah


perkembangan penyakit sosial ini, baik melalui penyuluhan dan
pengawasan, maupun melalui penegakan hukum yang memberi efek
jera. Disamping itu, pendataan terhadap pendatang terutama tujuan
kunjungannya perlu terus dilakukan secara aktif dengan tetap
mengindahkan sopan santun dan tata kerama, agar tidak justru
menimbulkan persoalan baru.

  LAPORAN PENELITIAN II - 25
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN
KAWASAN PERBATASAN

Lambatnya perkembangan kawasan perbatasan Indonesia dengan


beberapa negara tetangga yang kita rasakan saat ini, tidak terlepas dari
masih tertanamnya paradigma lama dalam memandang perbatasan.
Perbatasan beberapa waktu lalu dipandang sebagai suatu kawasan
penyangga sabuk keamanan, sarang perampok, dan pemberontak. Dengan
konotasi seperti itu, kawasan perbatasan menjadi tidak menarik bagi para
investor untuk menanamkan modalnya yang sangat mengutamakan rasa
aman atas investasinya.

Oleh karena itu, hingga saat ini kita masih harus meluruskan berbagai
kesalahan pemahaman tersebut. Selain itu, persoalan mendasar lainnya
adalah keterbatasan akses dan jauhnya jarak kawasan perbatasan tersebut
dengan pusat kota. Di sisi lain, pembahasan dan penanganan masalah
perbatasan hingga saat ini masih parsial dan bersifat ad hoc, sehingga
penanganan perbatasan sebagai suatu kawasan mengalami kesulitan dalam
membuat keputusan yang komprehensif dan intergrasi.

Sesungguhnya telah banyak kebijakan yang ditetapkan secara implisit


untuk membangun dan mengembangkan kawasan perbatasan, antara lain
sebagaimana diamanatkan dalam GBHN Tahun 1999 – 2004 (TAP MPR No.
IV/MPR/1999) memberikan landasan dan arah kebijakan pembangunan
daerah yang lebih memprioritaskan pembangunan kawasan perbatasan
dengan menganut prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, sebagaimana
termaktub dalam Bab IV butir G. Pembangunan Daerah, 1.h. ”Meningkatkan
pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesia,
daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada
prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

  LAPORAN PENELITIAN III - 1


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Untuk melaksanakan TAP MPR No. IV/MPR/1999 dalam rangka


mendukung keberadaan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI,
maka diperlukan political will Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
secara simultan saling mengisi dan melengkapi, sehingga mampu
menciptakan akselerasi pembangunan dan pengembangan kawasan
perbatasan sebagaimana yang diinginkan oleh semua pihak, yaitu
terciptanya daya tahan sosial ekonomi masyarakat, meningkatnya peluang
dan daya saing ekonomi masyarakat dan terakhir terciptanya ketertiban dan
keamanan di kawasan perbatasan. Adapun kebijakan pusat dan daerah
tentang pengembangan kawasan perbatasan, antara lain sebagai berikut :

3.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi, dan Perdagangan.


a. Bidang Ekonomi
Kebijakan pusat di bidang ekonomi untuk mendukung keberadaan
kawasan perbatasan, antara lain :
- Dikembangkannya berbagai kegiatan kerjasama sub-regional,
regional, bilateral dan multilateral. Untuk beberapa kerjasama
khusus perbatasan yang berada di Pulau Kalimantan dan
sekitarnya, adalah kerjasama BIMP-EAGA (Brunai Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Philipina – East Asean Growth Area) yang
didalamnya secara spesifik bertujuan untuk mendorong kerjasama
pertumbuhan ekonomi antara negara di Kawasan Timur Asean.
Beberapa bentuk kerjasama lain untuk tujuan yang sama namun
berlaku di beberapa sub regional antara lain kerjasama AFTA,
IMS_GT, IMT-GT dan AIDA.
- Dibangunnya fasilitas pasar dan pertokoan oleh Deperindag Pusat
untuk menunjang aktivitas dan transaksi ekonomi masyarakat di
perbatasan.
- Berlakunya transaksi ekonomi di kawasan perbatasan
menggunakan dua mata uang (RP dan RM) oleh masyarakat,
- Dikembangkannya Kawasan Andalan Ekonomi Terpadu (KAPET),
di wilayah Entikong oleh Pemerintah Pusat, yang diharapkan

  LAPORAN PENELITIAN III - 2


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

mampu menjadi akselerator perkembangan dan pertumbuhan


ekonomi di kawasan perbatasan.
- Dialokasikannya anggaran dalam APBD Provinsi Kalimantan Barat
maupun APBD di kabupaten yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga guna mendukung pembangunan beberapa
sarana dan prasarana penunjang yang sangat diperlukan di
kawasan perbatasan, seperti pembangunan sarana prasarana
pasar, terminal, perbankan yang berkaitan langsung dengan
kegiatan di bidang ekonomi.
- Berlakunya kebijakan ekonomi lokal yang membenarkan
masyarakat di kawasan perbatasan untuk bepergian dengan
hanya menggunakan SPLB dalam bekerja dan melakukan
transaksi ekonomi skala rumah tangga yang dibebaskan dari cukai
dengan total tolerasi transaksi sebesar Rp 55.000,- perhari atau
setara dengan RM 20 perhari.
- Ditetapkannya beberapa daerah di kawasan perbatasan sebagai
daerah pertumbuhan baru yang sengaja dirancang untuk
dikembangkan menjadi zona baru pertumbuhan ekonomi di
kawasan perbatasan baik di sekitar perbatasan Entikong
Kabupaten Sanggau, Badau Kabupaten Kapuas Hulu, Jagoi
Babang Kabupaten Bengkayang dan perbatasan Aruk Kabupaten
Sambas.
- Selain itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah
mengakomodasi rencana pengembangan kawasan perbatasan
dalam RPJPD Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2005-2025 dan
RPJMD Provinsi Kalimantan Barat 2008-2012 yang merupakan
wujud dan apresiasi serta political will Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat terhadap kawasan perbatasan.

b. Bidang Transportasi
Kebijakan pusat yang mendukung keberadaan dan percepatan
pengembangan masyarakat di perbatasan, yaitu :

  LAPORAN PENELITIAN III - 3


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

- Masyarakat di kawasan perbatasan dapat mengoperasikan kendaraan


berplat nomor negara tetangga dalam menunjang kegiatan ekonomi
dan perdagangan di kawasan perbatasan, sehingga mampu
menunjang aktivitas transaksi perdagangan antara kedua negara.
- Dioperasikannya jalur bus antara negara yang berfungsi untuk
memobiliasi penduduk antara kedua negara secara reguler, dari
terminal keberangkatan Pontianak menuju Kuching atau sebaliknya.
Bahkan kini telah menambah jalur transportasi hingga ke Negara
Brunai Darussalam.
- Diizinkan dan adanya kemudahan masuk dan keluar kendaraan asing
dan kendaraan Indonesia ke negara tetangga, dengan mengunakan
form exit permit kendaraan antara negara.
- Masyarakat di kawasan perbatasan hingga saat ini masih diberikan
keleluasaan untuk menggunakan kendaraan berplat nomor negara
tetangga untuk beroperasi di sepanjang kawasan perbatasan dalam
rangka menunjang aktivitas sosial ekonomi masyarakat di kawasan
tersebut.
- Pemerintah daerah bersama sektor swasta di daerah terus melakukan
pembenahan dan penambahan jumlah armada angkutan darat yang
melayani rute melawati batas negara Indonesia – Malaysia – Brunai
Darussalam, yang saat ini telah ada 6 perusahaan, yaitu :
1. SJS, Tujuan Malaysia dan Brunai Darussalam
2. Adau Tranportation, Tujuan Malaysia
3. Damri, Tujuan Malaysia dan Brunai Darussalam
4. Tabakang, Malaysia - Indonesia
5. Shaphire, Malaysia – Indonesia dan beberapa perusahaan lainnya

c. Bidang Perdagangan
Pada bidang perdagangan, kebijakan pusat yang secara khusus
berkaitan dengan pengelolaan kawasan perbatasan yakni dibukanya Border
Entikong sebagai salah satu border yang dapat dilalui oleh kendaraan niaga
oleh pedagang baik dari Indonesia untuk tujuan Malaysia atau sebaliknya,

  LAPORAN PENELITIAN III - 4


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

guna membawa berbagai barang dagangan yang secara resmi dapat


diperdagangkan antar kedua negara, seperti berbagai jenis makanan ringan
dan makanan olahan serta barang-barang jadi. Sedangkan berbagai jenis
barang dagangan yang berasal dari Indonesia untuk tujuan pasar Malaysia,
umunya berupa barang-barang primer seperti ikan laut, ikan sungai, karet,
biji kakao kering, lada, rotan dan hanya sedikit barang-barang olahan seperti
tikar lampit.

3.2. Bidang Ketenagakerjaan, Keimigrasian, dan SDM/ Kependudukan


a. Bidang Ketenagakerjaan
Pada bidang ketenagakerjaan, kebijakan yang dirasakan oleh
masyarakat Kalimantan Barat, khususnya masyarakat di kawasan
perbatasan yaitu kebijakan Pemerintah Pusat menjadikan Border Entikong
sebagai pintu gerbang resmi arus masuk dan keluar tenaga kerja Indonesia
untuk bekerja, khususnya untuk negara tujuan Malaysia dan Brunai
Darussalam.

Kebijakan ini telah memberikan dampak baik positif maupun negatif.


Dampak positif kebijakan tersebut telah mendorong besarnya arus keluar
masuk orang baik dari Indonesia tujuan Malaysia atau sebaliknya yang
berdampak pada kegiatan tranportasi antara negara dan tranportasi di
sekitar kawasan perbatasan, bahkan telah meningkatkan accopancy rate
penginapan di sekitar kawasan perbatasan.

Disamping apa yang telah dijelaskan di atas, kebijakan dibidang SDM


dan Kependudukan berkenaan dengan kawasan perbatasan adalah
didirikannya sebuah BLK (Balai Latihan Kerja) di Kecamatan Entikong
Kabupaten Sanggau sebagai sebuah upaya untuk melakukan peningkatan
kemampuan skill dan behaviour dari para pencari kerja yang akan bekerja di
LN, khususnya di Malaysia. Pendirian BLK di kawasan ini merupakan bentuk
konkrit keberpihakan pemerintah pusat.

  LAPORAN PENELITIAN III - 5


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

b. Bidang Keimigrasian
Berkenaan dengan bidang keimigrasian, kebijakan pengelolaan
kawasan perbatasan yang bersifat sentralistik sangat terkait erat dengan
bidang ini. Kebijakan khusus bidang keimigrasian yang selama ini telah
berlaku di kawasan perbatasan yakni adanya kemudahan bagi masyarakat di
sekitar kawasan perbatasan untuk keluar dan masuk ke wilayah terdekat
negara bagian Kuching Malaysia, seperti Tebedu di Entikong di Kabupaten
Sanggau, Serikin di Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang, Lubuk Antu di
Kabupaten Kapuas Hulu, Biawak di Kabupaten Sambas hanya dengan
menggunakan Surat Keterangan Lintas Batas (SKLB) yang sangat terbatas
wilayah cakupannya dan terbatas penggunanya.

Selain itu, kebijakan khusus tentang pengeloaan kawasan perbatasan


yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada masyarakat Provinsi
Kalimantan Barat berkaitan dengan bidang keimigrasian ini adalah adanya
kebijakan bebas Fiskal bagi Para Pemegang Paspor yang dikeluarkan oleh
Kantor Imigrasi Kalimantan Barat. Kebijakan bebas fiskal ini telah berlaku
sejak lama, sehingga memberikan kemudahan bagi masyarakat Kalimantan
Barat untuk bepergian guna melakukan kegiatan transasksi perdagangan,
kegiatan pendidikan, kegiatan kunjungan wisata, kegiatan pemeriksaan
medis dan kegiatan lainnya yang secara signifikan dipengaruhi oleh adanya
kemudahan-kemudahan tersebut.

c. Bidang SDM/Kependudukan
Untuk bidang kependudukan dan SDM, secara khusus keberpihakan
kebijakan Pemerintah Pusat belum banyak dilakukan, akan tetapi secara
bertahap perhatian untuk peningkatan mutu SDM dan kependudukan yang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan perbatasan sudah mulai ada
peningkatan.

Beberapa kebijakan pemerintah pusat berkaitan dengan peningkatan


SDM dan kependudukan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan
kawasan perbatasan yakni adanya political will pemerintah untuk

  LAPORAN PENELITIAN III - 6


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

memberikan insentif tambahan yang diberikan kepada para guru dan


petugas kesehatan yang melaksanakan tugasnya di kawasan perbatasan,
sehingga dengan perannya tersebut akan membantu proses jangka panjang
peningkatan kualitas SDM dan kependudukan di wilayah perbatasan.

3.3. Bidang Kehutanan


a. Pengelolaan Hutan
Azas dan tujuan penyelenggaraan kehutanan seperti dirumuskan
dalam pasal 3 dan 4 undang-undang No. 41/1999 tentang kehutanan bahwa
semua hutan di wilayah RI termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Namun niat luhur tersebut sulit dilaksanakan karena adanya
beberapa permasalahan antara lain: kawasan hutan belum mantap, benturan
kepentingan/konflik pemanfaatan, rendahnya penilaian terhadap sumber
daya hutan, kesenjangan bahan baku industri kehutanan, penebangan dan
perdagangan kayu illegal, laju deforestasi yang tinggi, rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, dan lemahnya penegakan
hukum.

Keterkaitan dan ketergantungan setiap komponen yang menentukan


kinerja pengelolaan hutan adalah sebagai berikut (1) sasaran utama dalam
pengelolaan hutan adalah terwujudnya kinerja yang dinilai dengan standar
yang telah ditetapkan berdasarkan situasi dan sistem nilai masyarakat, (2)
kondisi pengelolaan hutan pada dasarnya ditentukan oleh perilaku
masyarakat yang mempengaruhinya, (3) perilaku masyarakat, di satu pihak
dipengaruhi oleh karakteristik sumberdaya alam, sosial budaya, maupun
teknologi yang digunakan. Sedangkan di pihak lain, perilaku masyarakat
merupakan respon dari implementasi peraturan perundangan yang
ditetapkan, (4) sumberdaya hutan pada umumnya memiliki karakteristik yang
biasa disebut sebagai biaya transaksi tinggi, dan (5) Implementasi peraturan
perundangan (termasuk penetapan standar pengelolaan hutan) sangat
tergantung peran instansi pemerintah (Kartodihardjo).

  LAPORAN PENELITIAN III - 7


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

b. Potensi Sumber Daya Alam


Potensi sumber kekayaan alam yang terkandung di wilayah
perbatasan sangat besar artinya bagi bangsa Indonesia. Kondisi tanah di
wilayah perbatasan didukung oleh iklim yang sangat menguntungkan bagi
tumbuhnya beberapa jenis tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan
serta keragaman aneka hayati yang tidak ternilai. Penerapan inovasi
teknologi untuk mengelola kawasan hutan baik hutan produksi dan hutan
konservasi maupun kawasan lindung, belum secara maksimal dilaksanakan
karena terbatasnya sarana dan prasarana.

Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di desa-desa perbatasan,


tingkat kesejahteraannya relatif rendah yang disebabkan oleh kendala
eksternal yaitu karena ketidakberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan
potensi sumberdaya alam karena kurang atau tidak adanya sarana
transportasi untuk pemasaran di wilayah Indonesia. Hal ini dapat
menimbulkan maraknya pencurian kayu di kawasan perbatasan yang
dilakukan masyarakat setempat tertentu yang hasilnya dijual ke Malaysia,
mengingat transportasi ke Malaysia lebih mudah.

Kendala internal berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia di


kawasan karena minimnya fasilitas pendidikan dan pelatihan yang tersedia,
akan mengakibatkan kreativitas masyarakat menggali potensi-potensi
ekonomi sangat terbatas selanjutnya pertumbuhan ekonomi, tingkat
kesejahteraan, kondisi keseharian, dan produktivitas masyarakat menjadi
rendah.

c. Kebijakan Pemerintah Bidang Kehutanan


Wilayah perbatasan pada awalnya masih dianggap sebagai halaman
belakang, namun saat ini telah dipandang sebagai halaman depan.
Perubahan pandangan tersebut juga menuntut adanya perubahan dalam
sikap, cara pikir dan penanganan terhadap wilayah perbatasan. Komitmen
pemerintah dalam penanganan wilayah perbatasan telah tertuang dalam

  LAPORAN PENELITIAN III - 8


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

RPJMN 2004-2009 yang arah kebijakannya meliputi : (1) meningkatkan taraf


hidup dan kesejahteraan masyarakat, (2) meningkatkan kapasitas
pengelolaan potensi wilayah perbatasan, (3) memantapkan ketertiban dan
keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain.

Posisi wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, sangat


strategis baik ditinjau dari aspek kerjasama ekonomi dan perdagangan
maupun sosial, termasuk didalamnya aspek geografis, budaya, politik serta
pertahanan dan keamanan negara. Pembangunan wilayah perbatasan pada
saat ini relatif lambat, dibandingkan dengan perkembangan wilayah lainnya,
sehingga apabila pengembangan wilayah perbatasan ini dibiarkan tanpa
arah pembangunan yang jelas, maka dalam jangka panjang dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, dan keamanan
yang lebih kompleks.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak dan setelah berjalan selama


lebih dari 30 tahun, kondisi sumberdaya hutan di wilayah perbatasan menjadi
bertambah rusak. Selain itu, misi meningkatkan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat tidak terlaksana sebagaimana mestinya dan bahkan
cenderung mengalami penurunan dan diperparah lagi dengan terdapatnya
kerawanan keamanan yang dibuktikan dengan maraknya pencurian
sumberdaya hutan, penyelundupan dan perambahan terhadap batas negara,
baik yang dilakukan oleh oknum aparat maupun oleh masyarakat.

Dengan mengacu pada UU 32/2004 dan PP 25/2000, maka


kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan telah
terdistribusikan. Pada Tabel 1 disajikan distribusi kewenangan tersebut,
namun hanya terbatas pada apa yang tertuang dalam kewenangan bidang
kehutanan saja, tanpa memperhatikan adanya fungsi-fungsi lain yang
berkaitan dengan bidang pengelolaan hutan.

  LAPORAN PENELITIAN III - 9


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Implementasi kebijakan pemerintah bidang pengelolaan hutan


menghadapi beberapa kondisi sebagai berikut :
1. Masih berlakunya pengusahaan hutan yang perizinannya melalui
pemerintah pusat, sedangkan sebagian besar kewenangan untuk
menyelenggarakan pengelolaan hutan, kecuali pada hutan
konservasi, ada pada daerah otonom (kabupaten),
2. Kapasitas penyelenggaraan pemerintahan yang berupa sumberdaya
manusia, informasi, maupun teknologi sebagai kebutuhan dasar
pengelolaan hutan masih terdistribusi di pusat, sementara itu
penanganan berbagai permasalahan kehutanan yang cukup
kompleks sudah menjadi tanggungjawab daerah otonom,
3. Lokasi pengusahaan hutan yang ada tidak senantiasa terdapat
dalam yurisdiksi wilayah otonom tertentu, sedangkan mekanisme
kerjasama antar daerah otonom dalam pengelolaan sumberdaya

  LAPORAN PENELITIAN III - 10


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

alam pada umumnya dan sumberdaya hutan khususnya belum


tersedia,
4. Pengelolaan hutan yang selama ini bersifat sentralistik pada
dasarnya belum mampu menyelesaikan prakondisi dicapainya
pelestarian hutan, seperti pengukuhan hutan, inventarisasi dan
penilaian hutan, dll.

Berdasarkan kondisi di atas, permasalahan yang mengemuka dan


dihadapi (spesifik menurut wilayah) dalam penyelenggaraan pengelolaan
hutan selama masa transisi adalah :
1. Terhambatnya pengelolaan hutan karena mungkin terjadi kevakuman
kelembagaan pengelolaan hutan selama masa transisi. Artinya,
kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembaga pengelola hutan
menurun, relatif terhadap banyaknya permasalahan yang
seharusnya dapat ditangani;
2. Kurangnya biaya untuk menjalankan pengelolaan hutan sebagai
konsekuensi peningkatan intensitas pengelolaan hutan akibat
otonomi daerah;
3. Terhambatnya pelaksanaan kegiatan akibat belum tersedianya
peraturan daerah maupun kerjasama antar daerah otonom dalam
pengelolaan hutan;

d. Tata Guna Hutan


Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-
tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan
tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu.
Berdasarkan sifat-sifat dari sumberdaya hutan, maka berdasarkan fungsi dari
hutan tersebut, hutan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Hutan Lindung : kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya
diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana
banjir, dan erosi serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah

  LAPORAN PENELITIAN III - 11


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2. Hutan Produksi : kawasan hutan yang diperuntukkan guna


memproduksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
Hutan produksi dapat dibagi menjadi :
- Hutan produksi dengan penebangan terbatas, yaitu hutan
produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih
- Hutan produksi dengan penebangan bebas yang diartikan
sebagai hutan produksi yang dapat dieksploitasi baik dengan
cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis disertai
dengan pembibitan alam atau dengan pembibitan buatan.
3. Hutan Suaka Alam : kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas
diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati
lainnya antara lain dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis :
- Hutan suaka alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya
yang khas, termasuk alam hewani dan alam nabati yang perlu
dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
dan sebagainya, disebut juga dengan Cagar Alam
- Hutan suaka alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup
margasatwa
- yang mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta
- merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional yang dan
sebagainya, disebut juga dengan Suaka Margasatwa
4. Hutan Wisata : kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus
untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau
perburuan, yaitu :
- Hutan wisata yang memiliki keindahan alam baik keindahan
nabati, keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri
memiliki corak yang khas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
rekreasi dan kebudayaan dan sebagainya, disebut juga dengan
Taman Wisata

  LAPORAN PENELITIAN III - 12


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

- Hutan wisata yang di dalamnya terdapat satwa buru yang


memungkinkan
- diselenggarakannya perburuan yang teratur bagi kepentingan
rekreasi, dan
- sebagainya, disebut juga dengan Taman Buru.
- Berdasarkan pengelompokkan hutan tersebut, sumberdaya
hutan yang terdapat di Kalimantan Barat adalah berfungsi
sebagai hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, hutan
produksi, hutan produksi terbatas, produksi bebas dan
penggunaan lainnya.
e. Keanekaragaman Hayati
Kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia ini memiliki kenakeragaman
hayati yang berlimpah. Penelitian-penelitian yang berusaha menggali potensi
keanekaragaman hayati terus berlangsung. Pada tahun 1997 telah dilakukan
Borneo Biodiversity Expedition to the Trans-Boundary Conservation Area of
Betung-Kerihun National Park (West Kalimantan, Indonesia) and Lanjak-
Kentimau Wildlife Sanctuary (sarawak, Malaysia) disponsori oleh ITTO dan
melibatkan sejumlah ilmuwan dan kelembagaan dari kedua negara dengan
beberapa temuan antara lain :
- Pada kedua kawasan lindung tersebut ditemukan sejumlah jenis
tumbuhan yaitu genera Laxocarpus, Ardisia, Lepisanthes,
Microtopis dan Jarandersonia.
- Tumbuhan langka Cyrtranda mirabilis di TN Betung-Kerihun.
- Diidentifikasi 62 jenis palem-paleman dimana 2 diantaranya jenis
baru.
- Kedua kawasan kaya akan jenis Dipterocarpaceae, terutama di
Sarawak.
- Tercatat 125 jenis ikan dari 12 famili (91 jenis ikan di Kalbar dan
61 jenis di Sarawak). Dua jenis ikan dari genus Glaniopsis dan
sejenis ikan Gastromyzon ditemukan pertama kali di Kalimantan.
- Ditemukan 291 jenis burung dari 39 famili termasuk di dalamnya
20 jenis endemik dan 17 jenis burung migran yang secara

  LAPORAN PENELITIAN III - 13


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

keseluruhan mewakili 70% avifauna hutan daratan rendah


Kalimantan.
- Tercatat 41 jenis tumbuhan obat-obatan, 144 jenis tumbuhan
menghasilkan bahan makanan, 38 jenis tumbuhan untuk
upacara, 30 jenis tumbuhan untuk bahan bangunan dan 60 jenis
tumbuhan untuk berbagai macam bahan bangunan
- Ditemukan tumbuhan Hornstedtia spp yang digunakan sebagai
indikator untuk menunjukkan bahwa lahan perladangan
berpindah sudah dapat ditanami kembali.

3.4. Bidang Energi


Wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak--Malaysia di
lima kabupaten, mencakup 17 kecamatan yang melingkupi 116 desa. Dari
desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia itu, sejumlah 67
desa atau sekitar 58 persennya belum teraliri listrik PLN.

“Hanya ada 49 desa yang sudah ada jaringan listrik dari PLN, itu pun
belum mencakup semua keluarga di sana,” kata Kepala Badan Persiapan
Pengelolaan Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) Kalimantan Barat,
Nyoman Sudana. Nyoman memerinci, dari 36.612 keluarga yang menghuni
49 desa tersebut, hanya ada 14.757 keluarga yang menikmati listrik dari PLN
dan 1.831 keluarga yang mengusahakan sendiri listrik dengan menggunakan
genset atau memanfaatkan bantuan pembangkit listrik tenaga surya.

“Warga di desa perbatasan yang sudah menikmati listrik PLN itu


sebagian besar hanya bisa memanfaatkan listrik pada malam hari. Pada pagi
hingga sore hari, listrik PLN di desa perbatasan itu padam,” katanya.
Dampak dari minimnya fasilitas listrik di daerah perbatasan, menurut
Nyoman, kemajuan sosial maupun perekonomian warga di sana menjadi
terhambat (KOMPAS.com, Selasa, 22 Juli 2008).

Untuk melistriki wilayah Kalimantan Barat, akhir-akhir ini telah


dilakukan perjanjian jual beli tenaga listrik dari Sarawak Energy Berhad
(SEB). Energi listrik tersebut diperuntukkan bagi elektrifikasi daerah

  LAPORAN PENELITIAN III - 14


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

perbatasan Aruk (PPLB Aruk) dan masyarakat sekitarnya. Besar daya listrik
yang dibeli dari SEB adalah 200 kVA dan dijual kepada masyarakat dengan
harga yang relatif murah, yaitu sebesar Rp 500 per kWh. Selain dari energi
yang dibeli dari SEB, di daerah Sajingan juga telah tersedia PLTD PLN
dengan kapasitas sebesar 180 kVA (kapasitas mampu sebesar 140 kVA),
dan PLTMH Sajingan dengan kapasitas 100 kVA (kapasitas mampu sebesar
80 kVA). Dengan tersedianya tenaga listrik yang cukup memadai ini
diharapkan kondisi sosial ekonomi masyarakat perbatasan akan tumbuh ke
arah positip.

3.5. Infrastruktur Transportasi


Arah kebijakan bidang Prasarana dan Sarana dalam pembangunan
infrastruktur ke-PU-an di Kalimantan Barat, secara umum diperuntukkan bagi
pembangunan seluruh wilayah secara bertahap, maka menetapkan arah
kebijakannya sebagai berikut :
1. Memaksimalkan perencanaan yang telah dibuat untuk dapat di
realisasikan dalam bentuk fisik sehingga pembangunan sarana dan
prasarana dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
2. Meningkatkan kualitas jalan Nasional dan jalan Provinsi dalam upaya
mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat.
3. Meningkatkan pelayanan air bersih yang andal dan berkualitas untuk
masyarakat agar dapat dinikmati secara merata bagi masyarakat di
semua kabupaten dan kota.
4. Mengoptimalkan alokasi anggaran bidang pembangunan infrastruktur
guna mendorong pencapaian akselerasi pembangunan daerah
mengingat besarnya anggaran yang diperlukan dalam bidang
infrastruktur.
5. Melakukan upaya konkrit untuk mengatasi permasalahan wilayah yang
sangat luas sehingga dampak pembangunan dapat dirasakan oleh
semua masyarakat.
6. Melakukan upaya-upaya percepatan terhadap program-program

  LAPORAN PENELITIAN III - 15


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

infrastruktur yang belum terealisir maupun program yang sedang


dilaksanakan (on going).
7. Memaksimalkan upaya-upaya penanggulangan dan pengendalian banjir
serta pengamanan pantai.
8. Memperhatikan luasnya jangkauan wilayah Provinsi Kalimantan Barat,
maka memberikan dorongan pemerataan pembangunan infrastruktur
menjadi bagian utama yang harus diperhatikan, yakni sebagai langkah
upaya dalam rangka mengurangi ketimpangan wilayah sehingga hasil
pembangunan bisa dirasakan maksimal oleh semua lapisan masyarakat.
9. Merealisasikan tercapainya pola pengelolaan sumber daya air terpadu
dan berkelanjutan.
10. Memaksimalkan pencapaian hasil realisasi program dalam agenda
pengurangan ketimpangan wilayah, program pengembangan
perbatasan, program pengembangan daerah terpencil dan pulau-pulau
kecil.

Dari berbagai isu-isu permasalahan yang dihadapi Pusat dan


khususnya Daerah Kalimantan Barat bagi pembangunan Wilayah
Perbatasan sampai dengan saat ini, dapat disimpulkan, bahwa
permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di Wilayah
Perbatasan, adalah akibat dari Arah Kebijakan Pembangunan Kewilayahan
yang selama ini dilakukan cenderung berorientasi “inward looking,” sehingga
seolah-olah Wilayah Perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari
pembangunan Negara dan pembangunan Daerah.

Dengan demikian pembangunan infrastruktur dasar ke-PU-an akan


memberikan dukungan kepada zona pengembangan dan pembangunan
sebagaimana di bawah ini:
1. Wilayah Perbatasan Antar Negara di Kalimantan Barat, yang mencakup :
1) Pembangunan di 5 (lima) BDC ;
2) Pengembangan Wilayah Penunjang;
3) Pembangunan Jalan Akses yang menuju ke 5 PPLB
4) Pembangunan Jalan Paralel, dan

  LAPORAN PENELITIAN III - 16


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

5) Pengembangan Kegiatan Ekonomi di Koridor Jalan Akses dan Paralel


Perbatasan.
2. Penyediaan Aksesibilitas (jalan dan jembatan) yang menjangkau wilayah
kawasan perbatasan.
3. Penyediaan Prasarana Permukiman dan Perkotaan, meliputi penyiapan
ketersediaan air baku, air bersih dan air minum, jalan lingkungan,
drainase, air limbah dan persampahan.
4. Penyediaan Prasarana Irigasi, Normalisasi Sungai serta Penanggulangan
Banjir.
Panjang jalan di Wilayah Kalimantan Barat sampai tahun 2004
tercatat 6147,93 km yang terdiri dari; jalan negara 1.575,32 km (9,17%),
jalan Provinsi 1.517,93 km (16,30%), dan jalan kabupaten/kota sepanjang
4.630 km (69,11%).

Pembangunan jalan akses ke perbatasan yang dimulai dari Kota


Pontianak ke masing-masing titik perbatasan adalah sebagai beruikut :
• Pontianak – Entikong – Batas Serawak: Jalan Nasional 262 km
• Pontianak – Nanga Badau – Batas Serawak: Jalan Nasional782 km
• Pontianak – Aruk – Batas Serawak: Jalan Nasional 154 km, Jalan
Propinsi 90 km, Jalan Kabupaten 21 km, Jalan Non Status 54 km.
• Pontianak – Jagoi Babang – Batas Serawak: Jalan Nasional 69 km, Jalan
Propinsi 192 km.
• Pontianak – Jasa – Batas Serawak: Jalan Nasional 339 km, Jalan Non
Status 217 km.

Rute bus antar negara dari Pontianak (Kalbar) menuju Kuching


(Sarawak) dan sebaliknya setiap hari dilayani 15 unit dari masing-masing
kota tujuan. Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi (Dishubtel) Kalimantan
Barat mengatakan dua perusahaan transportasi menyatakan berminat
melayani rute bus antarnegara. Angkutan lintas negara itu akan melewati tiga
negara yakni Indonesia, yaitu Kalimantan Barat, Sarawak (Malaysia Timur),
dan Bandar Sri Begawan (Brunei Darussalam). Penambahan rute dan kota

  LAPORAN PENELITIAN III - 17


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

tujuan setelah ada kesepakatan dari pemerintah masing-masing dalam


pertemuan BIMP-EAGA atau Kawasan Pembangunan ASEAN Timur tahun
lalu. Rute tersebut memiliki jarak tempuh yang panjang, sekitar 24 jam
perjalanan, karena mengitari hampir separuh Pulau Kalimantan melalui jalur
utara mulai dari Pontianak hingga Bandar Sri Begawan.

3.6. Bidang Ipoleksosbud Hankam


Kawasan Perbatasan merupakan beranda depan NKRI yang bersifat
strategis vital bagi eksistensi kedaulatan negara, perekonomian, penegakan
hukum, pertahanan keamanan dan keutuhan negara kesatuan Republik
Indonesia. Sejak Tahun 2000 hingga sekarang (2009) sudah dibuat berbagai
rencana program dan kegiatan pembangunan kawasan perbatasan
Kalimantan Barat dalam bentuk kebijakan baik oleh Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Propinsi dan Kabupaten yang berbatasan langsung
dengan wilayah perbatasan, namun implementasinya masih mengalami
berbagai kendala secara teknis, kewenangan, pendanaan dan “payung
hukum”. Sehingga secara Ipoleksusbud Hankam kondisinya masih sangat
tertinggal dibandingkan dengan hasil pembangunan yang telah dicapai oleh
negara tetangga terutama negara bagian Serawak (Malaysia Timur) yang
berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat.

Berbagai Kebijakan Pemerintah (Pusat) yang terumuskan dalam


dokumen perencanaan, sebagai berikut :
1. Propenas 2000-2004: “meningkatkan pembangunan di seluruh daerah,
terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah
tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan
otonomi daerah”.
2. RPJM 2004-2009: “arah kebijakan mengembangkan wilayah-wilayah
perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang
selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward
looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu
gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.”

  LAPORAN PENELITIAN III - 18


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

3. Kebijakan Pemerintah yang disampaikan pada Pidato Presiden RI pada


sidang DPD tanggal 23 Agustus 2006: a. percepatan pembangunan di
daerah perbatasan bukan saja didasarkan atas kenyataan bahwa daerah
itu memang tertinggal, namun juga mempunyai arti sangat penting
dalam menjaga keutuhan NKRI. Kita ingin mengurangi perbedaan yang
mencolok antara daerah perbatasan dengan negara tetangga. b.
institusi pemerintah daerah di daerah perbatasan perlu kita perkuat agar
memberikan pelayanan yang optimal. Demikian pula segi-segi ketertiban
dan keamanannya. Pemerintah kini sedang menyusun Rencana Tata
Ruang pada 10 kawasan perbatasan, yang nantinya akan dituangkan
dalam bentuk Perpres.
4. RKP Tahun 2006 : berbagai kebijakan pusat terdiri : a Penyusunan
Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Kalimantan dan Rencana Induk
Pengelolaan Perbatasan Antaranegara. b. Penyusunan RUU tentang
batas wilayah kedaulatan NKRI.c. Pembukaan dan Peningkatan
pelayanan imigrasi, bea cukai, dan karantina di perbatasan.d
pembangunan tugu batas, dermaga suar, dan sarana komunikasi di
pulau kecil terluar. e . Inisiasi penyusunan kebijakan insentif dana untuk
pengembangan wilayah perbatasan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK)
serta mensosialisasikannya kepada seluruh sektor terkait. f. Penetapan
Rencana Tata Ruang Perbatasan Kalimantan Sabah (KASABA). g .
Inisiasi Penetapan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Perbatasan.
h. inisiasi penyusunan kelembagaan perbatasan. i. identifikasi kabupaten
tertinggal yang ada di daerah perbatasan yang memiliki produk unggulan
dengan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan
peningkatan daya saingnya.
5. RKP Tahun 2007.
a. Penguatan pemerintah daerah mempercepat peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui ;
1) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana social dan
ekonomi.
2) peningkatan kapasitas SDM;

  LAPORAN PENELITIAN III - 19


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

3) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan,


4) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan.
b . Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan
pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan
prasarana ekomomi melalui penerapan berbagai skema pembiayaan
seperti pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), public
service obligation (PSO) dan keperintisan untuk transportasi,
penerapan universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi,
prgram listrik masuk desa.
c. Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar
negara dengan tanda-tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh
hukum internasional.
d. Peningkatan kerja sama masyarakat dalam memelihara lingkungan
(hutan) dan mencegah penyeludupan barang, termasuk hasil hutan
(llegal loging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun
demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan
orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas
kepabeanan, keimgrisian, karantina, serta keamanan dan
pertahanan.
e. Peningkatan kemampuan kerja sama kegiatan ekonomi antar
kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam
rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang
lintas negara, Selain dari pada itu, perlu dilakukan pengembangan
wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis
sumber daya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor
unggulan.
f. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan
supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap
setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.
6. RKP Tahun 2008 Kebijakan Kawasan Perbatasan difokuskan pada lima
fokus ;

  LAPORAN PENELITIAN III - 20


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

a. Penegasan dan Penataan batas negara di darat dan dilaut


termasuk di sekitar pulau-pulau kecil terdepan.
b. Peningkatan kerjasama bilateral dibidang politik, hukum dan
keamanan dengan negara tetangga.
c. Penataan Ruang dan Pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil
terdepan.
d. Pemihakan kebijakan pembangunan untuk percepatan
pembangunan wilayah terisolir.
e. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah terisolir.
Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan sosial dasar didaerah
terisolir.
7. Selanjutnya berkaitan dengan Kebijakan kawasan perbatasan
berdasarkan dokumen BAPPEDA Kalimantan Barat, 2006 s/d 2008 :
a. Menjadikan Kawasan Perbatasan sebagai beranda atau halaman
depan negara.
b. Menjaga kutuhan wilayah NKRI. Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal.
c. Memperkuat struktur ekonomi kawasan perbatasan dengan cara
meningkatkan produksi disektor hulu dan mengembangkan komoditi
unggulan.
d. Membangun infrastruktur dasar (transportasi, listrik, air bersih,
telekomunikasi) dengan mengikutsertkan peran swasta dan
masyarakat.
e. Membangun pusat-pusat pertumbuhan (border development center)
BDC) di 5 lokasi.
f. Meningkatkan sarana/prasarana kesehatan dan pendidikan serta
pusat pelatihan ketenagakerjaan.
g. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat perbatasan dan aparat
pemerintahan di perbatasan.
h. Melindungi kelestarian hutan secara berkelanjutan.

  LAPORAN PENELITIAN III - 21


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

i. Menetapkan batas wilayah secara tegas dan jelas melalui


penetapan kembali patok-patok batas.
J. Meningkatan kesadaran hukum dan melakukan pengawasan dan
keamanan.
k. Pembangunan jalan Paralel sepanjang perbatasan (Temajok, Aruk,
Jagoi Babang-Entikong, Balai Karangan- Senaning, Nanga Badau-
Putusibau sepanjang 748 Km.
l. Pembangunan Ekonomi melalui pengembangan produk unggulan
dari sektor pertanian, kehutanan,perkebunan, perikanan,
pertenakan, pariwisata, pertambangan diwilayah perbatasan.
m. Mempercepat ”payung hukum” sebagai dasar hukum pengelolaan
kawasan perbatasan.

Adapun konsep kebijakan pembangunan pertahanan dan keamanan


negara di wilayah perbatasan dibagi menjadi lima Zona :
a) Zona terdepan setelah border line sejauh kedalaman 4 km
diperuntukan bagi kelestarian lingkungan hidup dalam bentuk hutan
lindung sepanjang perbatasan Malindo.
b) Diantara Zona hutan lindung dengan zone line 1 terdapat jalur jalan
sabuk perbatasan lebar 30 meter.
c) Zone Line I sejauh kedalam 10 km (wilayah) Kecamatan perbatasan
diperuntukan bagi berbagai jenis perkebunan(karet, sawit, kakau,
lada,kopi, jarak dan lain-lain sesuai kecocokan jenis tanaman dan
tingkat keasaman).
d) Zone line II sejauh 10 km (wilayah Kecamatan Penyangga)
diperuntukan bagi jenis usaha industri pengelolahan bahan baku
menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Dari Zona A s/d D
dihubungkan dengan jalur penghubung hingga ibukota Kabupaten
disepanjang perbatasan wilayah Prov Kal-Bar.

Berdasarkan konsep Zona tersebut di atas, Kebijakan dibidang Hankam


difokuskan sebagai berikut :

  LAPORAN PENELITIAN III - 22


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

a) menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah


Negara dan Kawasan Perbatasan;
b) mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan
Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional;
c) membangun atau membuat tanda Batas Wilayah Negara;
d) melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan
serta unsur geografis lainnya;
e) memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi
wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan;
f) memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk
melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
g) melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan
untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan
perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau
saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial;
h) menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan
internasional untuk pertahanan dan keamanan;
i) membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan
menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-
kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan
j) menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara
serta Kawasan Perbatasan.

  LAPORAN PENELITIAN III - 23


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB IV
KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT
TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

4.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi dan Perdagangan


a. Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Kebijakan spesfik Pemerintah Pusat bidang ekonomi yang
mengakomodasi kepentingan daerah tentang pengelolaan kawasan
perbatasan meliputi :
- Peningkatan intensitas diskusi, pertemuan, dialog bilateral dalam
karangka kerjasama Sosekmalindo, dengan penakanan di
bidang ekonomi, investasi antar penguasa di kedua wilayah.
- Meningkatkan Fungsi dan Kinerja kerjasama BIMP-EAGA,
- Mendorong kegiatan kerjasama promosi perdagangan antara
negara di kawasan perbatasan secara bergiliran.
b. Bidang Tranportasi
- Pemerintah Pusat melalui Departemen Perhubungan Up.
Direktorat Jendarat Perhubungan Darat telah memberikan izin
untuk beroperasinya jalur tranportasi darat antar negara
menggunakan BUS Eksekutif, yang melayani masyarakat umum.
- Pemerintah Pusat melalui Departemen Perhubungan Up.
Direktorat Jendarat Perhubungan Darat telah memberikan izin
untuk beroperasinya kendaraan niaga melalui jalur tranportasi
darat antar negara untuk mengangkut barang-barang yang
diperdagangankan oleh kedua warga negara melalui pintu
gerbang masuk Entikong menggunakan truking dan kontainer.
- Pemerintah Pusat melalui Departemen Perhubungan up.
Direktorat Jendral Perhubungan Darat telah memberikan izin
masuk dan keluarnya kendaraan pribadi baik dari Indonesia
untuk tujuan Malaysia - Brunai Darussalam atau sebaliknya,
sehingga mempermudah akses masyarakat di kedua negara

LAPORAN PENELITIAN IV - 1
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

untuk bepergian, untuk tujuan wisata, studi, bisnis, berobat dan


mengunjuni keluarga.
c. Bidang Ketenagakerjajan/SDM
- Pemerintah pusat telah menetapkan sebuah kebijakan untuk
mengalokasikan anggaran untuk pembangunan BLK yang
bertujuan untuk memberikan bekal, pengetahunan, skill kepada
calon tenaga kerja yang akan dikirimkan ke LN melalui Lembaga
Pelatihan ini.
- Pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan pemberian
incentif kepada tenaga pelaksana pendidik (guru dan staff
administarsi sekolah di kawasan perbatasan) dan tenaga
kesehatan (dokter, perawat, bidan, materi dan admintrasi) yang
bertugas di daerah perbatasan, dengan tambahan penghasilan
yang cukup memadai sebagai suatu penghargaan bagi mereka
yang bersedia mengabdikan diri untuk menjalankan tugas di
daerah perbatasan.

4.2. Bidang Pertambangan dan Energi


Kebijakan Pemerintah di bidang pertambangan dan energi,
sebagaimana telah dituangkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan beserta peraturan pelaksanaan ketentuan UU tersebut,
telah mampu mengakomodasi kebutuhan daerah. Kerjasama antara PLN
dan SEB dalam pembelian energi listrik untuk kawasan perbatasan (PPLB
Aruk dan Badau) telah terlaksana dengan baik dan sekarang telah
operasional.

Namun untuk pembangunan kawasan perbatasan masih diperlukan


payung hukum yang lebih tegas dan terarah langsung dalam rencana
program dan kegiatan pembangunan kawasan perbatasan Kalimantan Barat
– Serawak, meliputi :
1. Perlu adanya payung hukum yang kuat dalam pelaksanaan

LAPORAN PENELITIAN IV - 2
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

pembangunan kawasan perbatasan (undang-undang).


2. Perlu adanya badan pengelola dalam pelaksanaan pembangunan
kawasan perbatasan.
3. Perlu adanya kerja sama antar Kabupaten perbatasan dalam
pengelolaan pembangunan kawasan perbatasan.
4. Perlu penyusunan program dan pendanaan pembangunan kawasan
perbatasan yang integral dan partisipatif.
5. Perlu adanya peningkatan kemampuan SDM dari berbagai tingkatan.
6. Perlu peningkatan infrastruktur dan peningkatan pengelolaan SDA.
7. Perlu adanya penetapan wilayah secara jelas dan pengamanan batas
wilayah
8. Perlu pengembangan dan jaminan kepastian hukum bagi investor dalam
pengelolaan kawasan perbatasan

4.3. Bidang Transportasi dan Infrastruktur


Salah satu permasalahan dalam pembangunan daerah perbatasan
Kalimantan Barat – Serawak adalah luas dan jauhnya wilayah dari pusat
pemerintahan sehingga menyulitkan dalam pengawasan dan pengamanan,
ditambah lagi dengan keterbatasan aksessibilitas, khususnya prasarana
jalan. Untuk itu strategi yang dikembangkan dalam pembangunan daerah
perbatasan adalah membangun infrastruktur dasar (transportasi, listrik, air
bersih, telekomunikasi) dengan mengikutsertakan peran swasta dan
masyarakat. Sedangkan program prioritas pembangunan wilayah perbatasan
adalah pembangunan jalan paralel sepanjang perbatasan (Temajok – Aruk –
Jagoi Babang – Entikong – Balai Karangan – Senaning – Nanga Badau –
Putussibau) sepanjang ±748 km dan pembangunan jalan akses ke
perbatasan.

Pembangunan prasarana wilayah ini juga dalam rangka program


pembangunan ekonomi melalui produk unggulan dari sektor-sektor
pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, dan
pertambangan. Semua program yang terkait dengan bidang transportasi dan

LAPORAN PENELITIAN IV - 3
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

infrastruktur memang memerlukan dana yang besar dan untuk itu perlu
adanya optimalisasi koordinasi antar instansi (pusat dan daerah, yaitu:
Dephub dan Depkimpraswil serta Pemda) dalam penanganan wilayah
perbatasan.

4.4. Bidang Ipoleksosbud


a. RPJMN 2010-2014
Kebijakan Pemerintah Pusat yang mengakomodasi harapan
masyarakat dipetakan berdasarkan Rapat Persiapan Penyusunan
RPJMN 2010‐2014 Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
pada Notulen Rapat RJPM 2010-2014 di Jakarta, 27 November
2008 telah pula menempatkan pembangunan wilayah perbatasan
sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas
pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara lain :
Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah
perbatasan, pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i)
pengarusutamaan DAK untuk wilayah perbatasan, terkait dengan
pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi, dan
transportasi, (ii) penerapan skim kewajiban layanan publik dan
keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk
telekomunikasi serta listrik pedesaan; Pengembangan ekonomi di
wilayah Perbatasan Negara. Peningkatan keamanan dan kelancaran
lalu lintas orang dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan:
(i) penetapan garis batas negara dan garis batas administratif, (ii)
peningkatan penyediaan fasilitas kapabeanan, keimigrasian,
karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di wilayah
Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah yang secara administratif terletak di wilayah
Perbatasan Negara dan terobosan pembangunan desa terpadu
yang berada di kawasan perbatasan dan penempatan purnawirawan
ABRI di sepanjang garis tapal batas perbatasan darat di Kalimantan.

LAPORAN PENELITIAN IV - 4
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

b. Notulen Rapat Terbatas Menteri Terkait Tentang Kawasan


Perbatasan
Kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Pemerintah Pusat untuk
kawasan Perbatasan dihadapan Rapat Terbatas Menteri terkait,
tanggal 13 Juni 2009 berkaitan dengan kawasan perbatasan
Presiden menyatakan: “Keamanan negara merupakan bagian dari
tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, dimana pemerintah
menjadi titik central dalam mengendalikannya. Saya sangat
mengkhawatirkan kondisi pembangunan di wilayah perbatasan
terutama di wilayah perbatasan Kalimantan. Pemerintah sudah
saatnya memusatkan perhatian pada daerah perbatasan ini.
Penempatan dan pembangunan pangkalan militer di wilayah
perbatasan sudah saatnya dipertimbangkan. Peranan KODAM
(Komando Daerah Militer) sudah saatnya kembali di-efektif-kan
tentunya dengan format baru yang di era reformasi. Dimana lebih
mengutamakan penegakan hukum internasional di wilayah
perbatasan”.
c. Kebijakan Prioritas Mikro dan Makro
Kebijakan Ipoleksosbudhankamnas, kebijakan yang
mengakomodasi masyarakat, yaitu: Pertama, Skala Mikro, Kedua,
Skala Makro sebagai percerpatan pembagunan kawasan
perbatasan Indonesia dan Negara Tetangga ( Kal-Bar dan Serawak
Malaysia Timur.
c.1. Kebijakan Skala Prioritas Mikro :
1. Peningkatan prasarana dan sarana SOSEKBUD wilayah
Kecamatan dan desa-desa yang langsung diwilayah
perbatasan dengan negara tetangga, (Kal-Bar 15 Kecamatan
dan 55 Desa) : Jalan, irgasi, listrik, air minum, gedung
sekolah, rumah guru, rumah sakit, puskesmas, olah raga,
kesenian, industri rumah tangga, pelatihan tenaga kerja, dan
telekomunikasi.

LAPORAN PENELITIAN IV - 5
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2. Peningkatan prasarana dan sarana Penegakan Hukum &


Kamtibmas: Pos-Pos Polisi, Koramil, Babinsa, Perumahan
Dinas Personil dan Perangkat Penegak Hukum yang
mencukupi untuk dapat menangkal segala bentuk kejahatan
konvensional dan transnasional.
c.2. Kebijakan Skala Prioritas Makro:
1. Menyelesaikan masalah Tata Batas wilayah darat dan laut
yang belum disepakati tuntas dan atau penggantian Patok
Batas yang sudah hilang atau bergeser posisinya dilapangan
sesuai kesepakatan antar negara (hukum Internasional)
dengan prioritas Perbatasan RI Malaysia. (Kal-Bar- Serawak).
2. Merancang tata ruang wilayah kawasan perbatasan
berdimensi hutan lindung dan budidaya yang sesuai kondisi
daerah setempat dan secara konkret diwujudkan serta
dipertahankan secara berkelanjutan.
3. Membangun infra struktur dan supra struktur kawasan
perbatasan untuk menopang pembangunan kawasan
pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, industri,
perdagangan, pariwisata dan pertahanan keamanan.
4. Meningkatkan eksisten PLB-PLB tidak resmi menjadi PPLB
resmi agar mampu meningkatkan pendapatan negara, daerah
dan masyarakat perbatasan, termasuk peningkatan layanan
kepabeanan, keimgrisaian, karantina dan keamanan (CIQS)
dengan prioritas wilayah perbatasan Kalimantan (Kal-Bar –
Serawak).
5. Memantabkan sistem pengelolaan PPLB yang sudah eksis
(layanan Kepabeanan, keimgrasian, karantina dan
keamanan) dengan prioritas berbagai barang selundupan,
berupa, makan, minuman, daging, gula,TKI ilegal, dan mobil-
mobil yang diselundupkan dan negeri tetangga.
6. Mengembangkan sistem kepolisian masyarakat (Comunity
policing) yang setiap saat mampu melayani, mengayomi.

LAPORAN PENELITIAN IV - 6
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Menjaga kamtibmas dan penegakan hukum berskala lokal,


nasional maupun internasional (terorisme)
7. Membangun area-area pertahanan negara diwilayah darat,
laut dan udara yang signifikan mampu menangkal segala
bentuk ancaman terhadap integritas dan kedaulatan wilayah
negara Kesatuan Republik Indonesia
8. Pembantukan PERDA sebagai tindak lanjut pelaksanaan
Undang-Undang No 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara
berdasarkan Pasal 18 ayat (2) .
9. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Kawasan
Khusus sebagai diamanahkan Pasal 9 UU No 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
10. Pengalokasian anggaran Pembangunan Daerah Perbatasan
5 % dari APBN untuk mempercepat 15 Kecamatan dan 55
Desa di Kawasan Perbatasan, sesuai dengan pengertian
kawasan perbatasan pada UU No 43 Tahun 2008: Pada
pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan :
“Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara
yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah
Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah
Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan”.

4.5. Bidang Hankam.


a. Kebijakan Hankam yang mengakomodasi harapan masyarakat
1. Penegasan status hukum segmen-segmen batas darat dan laut
(Zona Ekonomi Eksklusif), Batas Laut, Teritorial dan Batas
Landas Kontinen yang belum jelas dan belum disepakati melalui
diplomasi perundingan.
2. Penataan tanda-tanda fisik dan patok perbatasan di wilayah
perbetasan dengan prioritas wilayah pada titik kordinat RI
Malaysia di Kal-Bar yang belum disepakati.

LAPORAN PENELITIAN IV - 7
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

3. Peningkatan kerjasama bilateral bidang politik, ekonomi, sosial


budaya, hukum dan keamanan melalui forum GBC Indonesia
Malaysia.
4. Menyediakan pos lintas batas (PLB) baru pada jalur-jalur lintas
batas tradisional dan peningkatan kualitas PLB yang telah ada
diwilayah kawasan perbatasan.
5. Pembangunan fasilitas pos-pos permanen pengaman
perbatasan dengan prioritas di kawasan perbatasan Kecamatan.
6. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah
Perbatasan berbasiskan kehutanan (hutan lindung).
7. Peningkatan dan penyediaan berbagai sarana perhubungan
jalan, jembatan, pelabuhan, darmaga, terminal antar negara.
8. Penerapan skim layanan listrik perdesaan di kawasan
perbatasan.
9. Pengikutsertaan forum masyarakat perbatasan dalam kebijakan
pembangunan kawasan perbatasan, khususnya penyedian
sarana pendidikan dan kesehatan serta infra struktur desa-desa
di kecamatan perbatasan.
10. Penempatan para purnawirawan ABRI di tapal batas perbatasan
sebagai jaringan intelejen nasional.

b. Kebijakan Pemerintah Pusat bidang Pertahanan dan Keamanan


yang mengakomodasi harapan masyarakat dari sisi pengaturan
hukum
1. UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 19 menyatakan :
Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau
kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
khusus bagi kepentingan nasional
2. Pernyataan bagian wilayah dalam Provinsi memberikan indikasi
tentang suatu wilayah yang spesifik, seperti kawasan
perbatasan, hanya pada pasal 1 angka 3 ada pernyataan

LAPORAN PENELITIAN IV - 8
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

normatif: “ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan


fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional” Berdasarkan pernyataan itu, maka harus
ada penetapan (Beshiking) pemerintah, bahwa kawasan
perbatasan adalah kawasan khusus, hanya yang perlu
dinormatifkan adalah kawasan khusus apa, ini harus menjadi
kesepakatan lebih dahulu oleh pemerintah pusat, apakah
kawasan ekonomi, kawasan budaya, kawasan keamanan.
3. UU No 32 Tahun 2004 lebih lanjut BAB II PEMBENTUKAN
DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS Bagian Kedua Kawasan
Khusus, Pasal 19 ayat (1) Untuk menyelengarakan fungsi
pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan
nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam
wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.(2)Fungsi
pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan
dengan undang-undang. (3)Fungsi pemerintahan tertentu selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (4)Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah
mengikutsertakan daerah yang bersangkutan. (5) Daerah dapat
mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah. (6)Tata cara
penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
4. Berdasarkan Pasal 19 tersebut secara normatif ada tahapan
khusus untuk menentukan kawasan perbatasan menjadi
kawasan khusus, pertama, Pemerintah (pusat) menetapkan
dahulu, bahwa kawasan perbatasan sebagai kawasan khusus
dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu.,
kedua, Fungsi pemerintahan tertentu harus ditetapkan apakah

LAPORAN PENELITIAN IV - 9
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

sebagai kawasan untuk perdagangan bebas atau pelabuhan


bebas atau lainnya dengan undang-undang. Ketiga, Untuk
menentukan fungsi pemerintahan tertentu pemerintah mengatur
dengan Peraturan Pemerintah, keempat, Untuk menentukan
kawasan perbatasan sebagai kawasan khusus, maka pemerintah
mengikut serta daerah yang memiliki kawasan perbatasan
tersebut, kelima, Daerah secara inisiatif dapat mengusulkan
pembentukan kawasan khusus kepada pemerintah pusat,
ketujuh tata cara penetapan kawasan khusus diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5. Jika kita mengacu secara sinkronisasi horizontal dengan UU No
43 Tahun 2008, maka pada konsideran huruf b menyatakan :
“bahwa pengaturan mengenai wilayah negara meliputi wilayah
daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial beserta dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta ruang
udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya, kemudian pada konsideran hurub c
menyatakan : bahwa pengaturan wilayah negara sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah
negara; Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008
menyatakan : “Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah
Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah
Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara
di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
6. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 secara normative menyatakan
secara juridis, bahwa kawasan perbatasan adalah wilayah
negara pada sisi sepanjang batas wilayah Indonesia dengan
negara lain dan berkaitan dengan batas wilayah darat, maka
kawasan perbatasan berada pada di Kecamatan, dengan
demikian pemberdayaan kebijakan pembangunan perbatasan
harus ada juga terpaparkan di Pemerintahan Desa yang berada

LAPORAN PENELITIAN IV - 10
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

di wilayah administrasi Kecamatan dan ini dibutuhkan


tranparansi kebijakan dari Provinsi dan Kabupaten terhadap
kecamatan yang berada pada kawasan perbatasan.
7. Jika kita menggunakan UU No 32 Tahun 2004 BAB XI
DESA Bagian Pertama Umum Pasal 206 Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan desa mencakup: a. urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c.
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi,
dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d urusan pemerintahan
lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan
kepada desa.
8. Berdasarkan Pasal 206 UU No 32 Tahun 2004, maka desa
hanya mendapat kewenangan yang bersifat delegasi dari
Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi dalam bentuk
tugas pembantuan, hal ini berarti “prinsip Top Down Planing”
atau menunggu kebijakan dari pemerintahan Provinsi atau
Kabupaten hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan
pembangunan kawasan perbatasan bagi desa-desa yang berada
di wilayah perbatasan darat dengan mengacu pada UU no 43
Tahun 2008 yang menyatakan: “dalam hal Batas Wilayah
Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan
(Pasal 1 angka 6).
9. Bagaimana Pemerintah menjalankan tugas pembantuan tersebut
di wilayah desa, apabila mengacu UU no 32 tahun 2004 pada
Pasal 207 menyatakan: “Tugas pembantuan dari Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota
kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia. Hanya bagaimana jika
desa –desa yang dijadikan kebijakan pembangunan kawasan
perbatasan” dan berdasarkan Pasal 214 (1) Desa dapat

LAPORAN PENELITIAN IV - 11
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur


dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada
Bupati/Walikota melalui camat.(2)Kerja sama antar desa dan
desa dengan pihak ketiga, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan sesuai dengan kewenangannya.(3) Kerja sama desa
dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sesuai dengan peraturan perunndang-undangan. (4)
Untuk pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat, (2), dan ayat (3) dapat dibentuk badan kerja sama.
Tetapi dengan tujuan yang sudah ditetapkan dalam UU No 32
Tahun 2004, yaitu sebagai diatur pada Pasal 215 ayat (1)
Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh
kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan
pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. (2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Perda, dengan memperhatikan: a. kepentingan
masyarakat desa; b. kewenangan desa;c. kelancaran
pelaksanaan investasi; d. kelestarian lingkungan hidup; d.
keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.
Pertanyaaan apakah desa berhak terhadap pengeloan keuangan
daerah dari provinsi atau pemerintah Kabupaten, pada Pasal 212
UU No 32 Tahun 2004 ayat (3) menyatakan : Sumber
pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas: a. pendapatan asli desa; b. bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah kabupaten/kota; c. bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten/kota; d. bantuan dari Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; e. hibah dan
sumbangan dari pihak ketiga.
10. Jika kawasan Perbatasan Kalimantan Barat akan menjadi
kawasan khusus dengan nomenklaturnya salah satunya sebagai
kawasan pertahanan keamanan, maka acuan hukumnya adalah

LAPORAN PENELITIAN IV - 12
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

merujuk pada Undang Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI di


Pasal 7 ayat 1 yang sangat jelas dinyatakan, bahwa tugas pokok
TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan negara. Sebagai penegas, di ayat 2 pasal tersebut
dinyatakan, tugas pokok sebagaimana dimaksud yakni dengan
melakukan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain
perang.
11. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 ada acuan normatif yaitu operasi
militer selain perang, hal ini bisa menjadi “Stressing Pemerintah
Daerah baik Provinsi atau Kabupaten untuk melakukan loby
kebijakan pembangunan kawasan perbatasan kepada Mabes
ABRI untuk melakukan program terobosan ke wilayah
perbatasan dengan program operasi militer selain perang, yaitu
membangun wilayah desa-desa di kawasan perbatasan yang
berada pada Kecamatan yang memiliki kawasan Perbatasan,
misalnya penempatan para purnawirawan ABRI di desa-desa
sepanjang garis perbatasan, tentu melalui fasilisasi negara.
12. Berdasarkan UU No 43 Tahun 2008 BAB V KEWENANGAN
pada Pasal 9 meyatakan Pemerintah dan pemerintah daerah
berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan. Kewenangan dimaksud
dinyatakan secara tegas pada Pasal 10 (1) Dalam pengelolaan
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah
berwenang antara lain : a. menetapkan kebijakan pengelolaan
dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; b.
mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai
penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; dan j.
menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara

LAPORAN PENELITIAN IV - 13
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

serta Kawasan Perbatasan. (2) Dalam rangka melaksanakan


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan
Perbatasan. (3) Dalam rangka menjalankan kewenangannya,
Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk
menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
13. Kemudian hal apa yang menjadi kewenangan provinsi terhadap
Kawasan Perbatasan, apabila mengacu pada Pasal 11 UU No
43 Tahun 2008 menyatakan: ayat (1) Dalam pengelolaan
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Provinsi
berwenang: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan
menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan
tugas pembantuan; b. melakukan koordinasi pembangunan di
Kawasan Perbatasan; c. melakukan pembangunan Kawasan
Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah
daerah dengan pihak ketiga; dan d. melakukan pengawasan
pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan yang
dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota. ayat (2) Dalam
rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan biaya
pembangunan Kawasan Perbatasan.
14. Sedangkan kewenangan Kabupaten pada Pasal 12 ayat (1)
Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan,
Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang: a. melaksanakan
kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam
rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan; b. menjaga dan
memelihara tanda batas; c. melakukan koordinasi dalam rangka
pelaksanaan tugas pembangunan di Kawasan Perbatasan di
wilayahnya; dan d. melakukan pembangunan Kawasan
Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah
daerah dengan pihak ketiga. (2) Dalam rangka melaksanakan

LAPORAN PENELITIAN IV - 14
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah


Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan biaya pembangunan
Kawasan Perbatasan.
15. Secara kelembagaan Pemerintah Daerah diberikan kewenangan
untuk membentuk institusi yang menangani kawasan
perbatasan, diatur pada Pasal 13 UU no 43 Tahun 2008:
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Kemudian pada BAB VI KELEMBAGAAN Pasal 14
ayat (1) Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola
Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah
dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional
dan Badan Pengelola daerah. ayat (2) Badan Pengelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau
kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. ayat (3)
Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah
dan pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah
Negara. Pasal 15 ayat (1) Badan Pengelola bertugas: a.
menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan; b.
menetapkan rencana kebutuhan anggaran; c. mengoordinasikan
pelaksanaan; dan d. melaksanakan evaluasi dan pengawasan.
ayat (2) Pelaksana teknis pembangunan dilakukan oleh instansi
teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pasal 16
Hubungan kerja antara Badan Pengelola nasional dan Badan
Pengelola daerah merupakan hubungan koordinatif. Pasal 17
Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh
sekretariat tetap yang berkedudukan di kementerian yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pemerintahan dalam negeri.
Pasal 18 ayat (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan,
tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan
Pengelola dan sekretariat tetap di tingkat pusat diatur dengan

LAPORAN PENELITIAN IV - 15
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Peraturan Presiden. ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai


kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata
kerja Badan Pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan
daerah.
16. Berdasarkan konstruksi legal formal di atas, maka secara
struktural, ”payung hukum” kawasan Perbatasan memiliki dasar
hukum yang kuat baik di UU No 32 Tahun 2004 maupun pada
UU No 43 Tahun 2008, hanya secara yuridis formal tetap
terbentur dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu: penentuan
kawasan Perbatasan, sebagai kawasan khusus harus
ditetapkan dengan UU, dan UU No 43 Tahun 2008 bisa menjadi
dasar hukum pada masa transisi, hanya masalah tetap
menunggu Peraturan Pemerintah yang memberikan acuan
pelaksanaan kedua UU tersebut khususnya berkaitan dengan
Kawasan Perbatasan sebagai Kawasan Khusus, walaupun pada
sisi lain Pemerintah daerah bisa mengusulkan Kawasan
Perbatasan menjadi kawasan khusus, tetapi hal itu mekanisme
tetap diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang bisa dilakukan
saat ini adalah membentuk adalah membentuk Badan Pengelola
Kawasan Perbatasan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan
susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola di tingkat
daerah diatur dengan peraturan daerah, hal inipun harus ada
yang menstressing percepatan perancangan Perda dan harus
juga diperhatikan harus mengacu kepada Peraturan Presiden
yang mengatur Badan Pengelola Nasional terhadap kawasan
perbatasan.

Jika menunggu adanya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden


dan PERDA jelas prosesnya terlalu lama dan membutuhkan birokrasi
panjang, maka solusi kebijakan mempercepat pembangunan kawasan
perbatasan adalah pemerintah pusat memberikan melalui berbagaikan
kebijakan dalam bentuk special treatment (kebijakan khusus perbidang

LAPORAN PENELITIAN IV - 16
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

pembangunan di kawasan perbatasan) dan kebijakan khsusus ini akan


memberikan multiplayer efek pada bidang pertahanan dan keamanan serta
dapat mengakomodasi harapan masyarakat perbatasan saat ini.

LAPORAN PENELITIAN IV - 17
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB V
KEWENANGAN , FUNGSI DAN PERAN BADAN PENGELOLAAN
KAWASAN PERBATASAN DAN KERJASAMA (BPKPK)
PROVINSI KALIMANTAN BARAT

5.1 Arti Penting Keberadaan BPKPK

Wilayah perbatasan secara umum biasanya tidak pernah lepas dari


berbagai persoalan. Kaisiepo dalam hal ini telah menggambarkannya
dengan cukup jelas ketika ia melihat 5(lima) isu pokok yang merupakan
problem yang dihadapi oleh hampir semua daerah yang berada di garis
batas. Pertama, kurangnya infrastruktur yang berakibat lemahnya
komunikasi keluar warga dan tertutupnya kesempatan untuk pengembangan
dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kedua, kemiskinan yang banyak
mewarnai kehidupan masyarakat. Ketiga, Lemahnya sistem pengawasan
dan buruknya mental birokrat telah menyuburkan praktek-praktek
penyeludupan. Keempat, terdapat kesenjangan sosial dan ekonomi antara
penduduk perbatasan negara tetangga dan masyarakat di perbatasan
Indonesia. Kelima, Terbatasnya teknologi untuk pengelolaan sumber daya
alam, sehingga nilai barang begitu rendah. Sering pula potensi di daerah
perbatasan dicuri oleh pengusaha negara tetangga.

Kompleksitas permasalahan di perbatasan di gambarkan pula oleh


Haba dan Siberian yang mengklasifikasikan persoalan di perbatasan menjadi
tiga hal pokok yakni posisi garis batas yang membelah dua teritori dengan
dua entitas berbeda, sumber daya alam yang tersedia seperti hutan,
pertambangan dan sumber daya alam lainnya yang paling banyak menjadi
sumber konflik dan faktor wilayah yang bertalian dengan otoritas dan
kedaulatan atas wilayah setiap negara.

Menyangkut isu perbatasan, dari perbatasan Indonesia dengan


India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua
Nugini, Timor Leste dan Australia, maka perbatasan dengan Malaysia di

  LAPORAN PENELITIAN V-1


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

wilayah Ambalat dan perbatasan darat di pulau Kalimantan, serta


perbatasan dengan Timor Leste dan Papua Nugini menjadi fokus dalam
penyelenggaraan pertahanan negara. Isu-isu perbatasan yang perlu
mendapat perhatian adalah aktivitas pelintas batas yang illegal,
penyelundupan, pembalakan hutan secara liar dan penggeseran batas
wilayah yang dimanfaatkan untuk pencurian kekayaan alam Indonesia. Akibat
kegiatan-kegiatan tersebut Indonesia mengalami kerugian Iebih dari 20 triliun
rupiah setiap tahun, belum lagi kerugian immateri yang tidak ternilai
harganya (Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2008
tentang Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara ) .

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia menunjukkan


perhatian yang cukup besar terhadap penanganan daerah perbatasan.
Perhatian dan prioritas tersebut juga telah mengalami reorientasi yaitu
orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi kesejahteraan atau
pembangunan (prosperity/development approach). Perhatian yang cukup
besar diberikan dengan tidak hanya menganggap perbatasan negara
sebagai security belt saja, namun juga kepada fungsi-fungsi sosial ekonomi
yang dimiliki perbatasan tersebut. Sebagaimana House mengatakan bahwa :
"Defence and security are no longer the major concern along most
boundaries in the contemporary world; a vast majority of international
boundaries are uncontested and mostly have economic and social functions"
Ditegaskan kembali oleh Suharsono yang melihat hubungan luar negeri perlu
dilakukan dalam pendekatan politis ekonomis tanpa mengabaikan stabilitas
keamanan, sosial dan budaya bangsa untuk menunjang pembangunan
nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan wilayah perbatasan antar negara mencakup dimensi


yang luas dan mencakup beberapa tahapan yang memiliki saling
ketergantungan (interdependensi) satu sama lain. Dimensi-dimensi tersebut
meliputi:

  LAPORAN PENELITIAN V-2


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

a. Penetapan dan pemeliharaan garis batas;


b. Pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan;
c. Kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan;
d. Pengembangan ekonomi dan sosial wilayah perbatasan;
e. Pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola;
f. Hubungan luar negeri;
g. Manajemen Pos Lintas Batas: exit-entry points

Masih sejalan dengan pemikiran di atas, agaknya perlu dipahami


bahwa isu perbatasan tidak hanya meliputi satu aspek. saja. Sebagaimana
disampaikan Emmanuel Brunet-Jailly, perbatasan tidak semata menyangkut
aspek fisik yaitu the boundaries of sovereign and territorially demarcated
state, tetapi jauh lebih kompleks karena memiliki keterkaitan yang sangat
erat antara aspek fisik dan masyarakat yang menempati wilayah tersebut
serta dengan negara, kegiatan ekonomi, dan budaya setempat. Pandangan
ini menandai perdebatan tentang fungsi dari perbatasan itu sendiri yang lebih
memberikan bobot lebih pada aspek sosial, tidak semata pada aspek politik

Pemerintah kita saat ini juga telah meredefinikan arti penting wilayah
perbatasan. Jika wilayah ini dahulu dianggap sebagai beranda belakang
sekarang dianggap menjadi beranda depan negara. Perkembangan ini patut
disambut baik oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat setempat yang
secara geografis berbatasan langsung dengan negara lain. Bagi pemerintah
di daerah , ini harus dijadikan sebuah peluang, tentunya melalui upaya-
upaya menyusun rencana strategis pengembangan kawasan perbatasan
yang sinergis dengan upaya pemerintah pusat dalam memfasilitasi
pemerintah daerah mengembangkan wilayah ini.

Mengingat berbagai persoalan di perbatasan Kalbar dan peluang yang


cukup besar untuk pengembangan wilayah perbatasan Kalbar, paling tidak
dapat menjadi alasan perlunya suatu wadah/lembaga yang secara khusus
menangani wilayah perbatasan secara menyeluruh.

  LAPORAN PENELITIAN V-3


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

5.1.1 Landasan Hukum Berdirinya BP-KPK Propinsi


Keinginan masyarakat agar pemerintah lebih memperhatikan wilayah
perbatasan yang sejak dulu di anggap beranda belakang, kurang terurus dan
miskin, agaknya telah dijawab oleh pemerintah dengan lahirnya UU tentang
Wilayah Negara No 43 tahun 2008. Dari aturan itu tampak keinginan
pemerintah untuk pengembangan wilayah perbatasan sebagai suatu prioritas
nasional. Jika selama ini pengelolaan perbatasan masih bersifat parsial,
dengan UU Wilayah negara hal tersebut berusaha dieliminir. Beberapa
kebijakan substansial dalam undang-undang ini adalah :

• Memberikan definisi perbatasan sebagai bagian dari wilayah


Indonesia yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah
Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas negara di darat,
kawaan perbatasan berada di kecamatan.
• Kawasan perbatasan mempunyai fungsi yang strategis sebagai
daerah terdepan negara.
• Pengaturan wilayah negara antara lain bertujuan untuk (1). menjamin
keutuhan wilayah negara, kedaulatan negara, serta perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat.(2). Mengatur kedaulatan, hak-hak
berdaulat, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan
kawasan perbatasan.
• Batas wilayah negara ditentukan atas dasar perjanjian bilateral atau
trilateral dibidang batas darat, laut dan udara serta berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan hukum intemasional.
• Peran pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sangat penting
terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai
dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan
Kawasan Perbatasan.
• Pelibatan peran serta masyarakat dalam pembangunan, pengelolaan
dan pengawasan kawasan perbatasan.
• Penanganan dan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan selama ini belum berjalan dengan baik dan terdapat tarik-

  LAPORAN PENELITIAN V-4


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

menarik serta tumpang-tindih antar instansi terkait. Karena itu, telah


disepakati untuk membentuk badan khusus yang mampu
mengkoordinasikan instansi terkait dalam menyelesaikan
permasalahan di kawasan perbatasan.
• Untuk mengelola batas wilayah negara dan mengelola kawasan
perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah membentuk Badan Pengelola Nasional dan
Badan Pengelola Daerah.
• Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan
Pemerintah Daerah yang terkait dengan perbatasan wilayah negara.
Adapun tugas Badan Pengelola ini adalah menetapkan kebijakan
pembangunan kawasan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan
anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan
evaluasi serta pengawasan. Hubungan kerja antara Badan Pengelola
di tingkat pusat dan daerah merupakan hubungan koordinatif.

Atas landasan hukum tersebut , maka dibentuklah Badan Pengelolaan


Kawasan perbatasan dan kerjasama (BP-KPK) Propinsi.

5.2 BPKPK Propinsi Kalimantan Barat


Saat ini di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah
terbentuk Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang baru yaitu BPKPK
Provinsi Kalimantan Barat. Cikal bakal keberadaan Badan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) Provinsi Kalimantan Barat
sesungguhnya telah dirintis sejak tahun 2004. Wacana pembentukan badan
yang khusus menangani urusan kerjasama itu kemudian dikukuhkan dengan
pembentukan Badan Persiapan Pengembangan Kawasan Khusus
Perbatasan (BP2KKP) Provinsi Kalimantan Barat dengan Peraturan
Gubernur Kalimantan Barat Nomor 161 Tahun 2005 tentang Pembentukan
Badan Persiapan Pengembangan Kawasan Khusus Perbatasan Provinsi
Kalimantan Barat. Dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 161
Tahun 2005 tersebut BP2KKP dibentuk dalam format lembaga Pemerintah

  LAPORAN PENELITIAN V-5


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Daerah ekstrastruktural. Belum genap satu tahun setelah pembentukan


lembaga tersebut, kemudian diadakan beberapa perubahan dengan
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 254 Tahun 2005 tentang
Perubahan Pertama atas Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 161
Tahun 2005 tentang Pembentukan Badan Persiapan Pengembangan
Kawasan Khusus Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat.

Paralel dengan gagasan pembentukan lembaga yang khusus


menangani urusan perbatasan, ada pula gagasan lain untuk membentuk
badan yang khusus menangani urusan kerjasama, baik kerjasama antar
negara, kerjasama antara Pemerintah Kabupaten/Kota dalam wilayah
Provinsi Kalimantan Barat, kerjsama antar Provinsi, maupun kerjasama
dengan para pelaku usaha. Gasaran tersebut muncul setelah melihat
intentistas tugas-tugas seperti:
1. Di bidang Kerjasama Luar Negeri: Kalimantan Barat aktif dalam berbagai
aktivitas kegiatan Sosek Malindo, BIMP-EAGA, AIDA dan IMS-GT.
2. Di bidang Kerjasama Dalam Negeri: Kalimantan Barat aktif dalam
berbagai aktivitas kerjasama Forum Gubernur se-Kalimantan, MoU
Gubernur dengan Pemerintah Provinsi lain, serta MoU dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota se-Kalimantan Barat dalam berbagai proyek
pembangunan. Selain itu, kerjasama sharing pembiayaan pembangunan
juga semakin intensif di berbagai Departemen maupun Lembaga
Pemerintah Non Departemen. Tidak ketinggalan pula kerjasama
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dengan pihak swasta atau pelaku
usaha dalam berbagai kegiatan.
Atas dasar pemikiran itu, dibentuklah unit kerja yang menangani
urusan kerjasama yang bernaung di bawah institusi Badan Koperasi & UKM,
Kerjasama, Promosi dan Investasi (Bakomapin) Provinsi Kalimantan Barat
dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 2 Tahun 2005
tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Barat.
Peraturan Daerah tersebut ditindaklanjuti lagi dengan Peraturan Gubernur
Kalimantan Barat Nomor 128 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi,

  LAPORAN PENELITIAN V-6


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Koperasi & UKM, Kerjasama,
Promosi dan Investasi Provinsi Kalimantan Barat dengan Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan ketentuan tersebut, penanganan
urusan kerjasama ditangani oleh Bidang Kerjasama yang dipimpin oleh
seorang Kepala Bidang yang membawahi 2 (dua) Kepala Sub Bidang, yaitu
masing-masing Sub Bidang Kerjasama Dalam Negeri dan Sub Bidang
Kerjasama Luar Negeri.

Saat ini kedua institusi ekstrastruktural yang bernama Badan


Persiapan Pengembangan Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) Provinsi
Kalimantan Barat dan institusi struktural Bidang Kerjasama pada Badan
Koperasi & UKM, Kerjasama, Promosi dan Investasi Provinsi Kalimantan
Barat telah secara formal dibentuk menjadi salah satu Lembaga Teknis
Daerah (LTD) yang berbentuk Badan dengan nama lengkap Badan
Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BP-KPK) Provinsi
Kalimantan Barat.

Landasan hukum pembentukan Badan Pengelolaan Kawasan


Perbatasan dan Kerjasama (BP-KPK) Provinsi Kalimantan Barat adalah
dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2008
tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Barat
(Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Nomor
8). Sedangkan uraian tugas pokok dan fungsi institusi ini diatur dengan
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 65 Tahun 2008 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan
Kerjasama (BP-KPK) Provinsi Kalimantan Barat (Berita Daerah Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2008 Nomor 65).

Sesuai Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 65 Tahun 2008


tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan dan Kerjasama Provinsi Kalimantan Barat ditegaskan secara
yuridis formal bahwa Bidang Kerjasama mempunyai tugas menyiapakan
bahan dan merumuskan kebijakan teknis di bidang kerjasama antar daerah
dan kerjasama sub regional.

  LAPORAN PENELITIAN V-7


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang


Kerjasama pada Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai tugas:
1. Penyusunan program kerja Bidang Kerjasama;
2. Penyiapan bahan dan perumusan kebijakan teknis di bidang
kerjasama antar daerah;
3. Penyiapan bahan dan perumusan kebijakan teknis di bidang
kerjasama Sub Regional;
4. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Bidang
Kerjasama;
5. Pengkoordinasian dan fasilitasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
di Bidang Kerjasama;
6. Pemberian dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang kerjasama sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
7. Pembinaan dan pengawasan di bidang kerjasama pada Kabupaten/
Kota;
8. Pemberian saran dan pertimbangan kepada Kepala Badan berkenaan
dengan tugas dan fungsi Bidang Kerjasama;
9. Penyelenggaraan monitoring, evaluasi dan pelaporan terhadap
pelaksanaan tugas dan fungsi di Bidang Kerjasama;
10. Pelaksanaan tugas lain di bidang kerjasama yang diserahkan oleh
Kepala Badan.
Guna menunjang tugas dan fungsi di atas, maka telah disusun
struktur organisasi Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama
Provinsi Kalimantan Barat yang terdiri dari:
1. Kepala Badan
2. Sekretariat, yang membawahi:
a. Sub Bagian Rencana Kerja dan Monitoring Evaluasi
b. Sub Bagian Umum dan Aparatur
c. Sub Bagian Keuangan dan Asset

  LAPORAN PENELITIAN V-8


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

3. Bidang Penataan Kawasan dan Pengembangan Fisik dan Prasarana


Perbatasan, yang membawahi:
a. Sub Bidang Pemetaan Kawasan Perbatasan
b. Sub Bidang Pengembangan Fisik dan Prasarana Kawasan
Perbatasan
4. Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat Perbatasan,
yang membawahi:
a. Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Perbatasan
b. Sub Bidang Pengembangan Sosial Ekonomi dan Budaya Kawasan
Perbatasan
5. Bidang Kerjasama, yang membawahi:
a. Sub Bidang Kerjasama Antar Daerah
b. Sub Bidang Kerjasama Sub Regional

5.3 Kewenangan BPKBP


Selain menjalan tugas pokok yang tertera seperti diatas, Badan
Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) juga menjalankan
tugas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik
di bidang pengelolaan kawasan perbatasan dan kerjasama, menjalankan
tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diserahkan oleh Gubernur
Kalbar dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Aspek penting dalam pelaksanaan kewenagan tersebut Badan


Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK), memiliki program
– program yang dimaksudkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan
teknis dalam bentuk program kerja per bidang.

Sesuai dengan Perturan Gubernur Kalimantan Barat nomor 65 Tahun


2008, kewenangnan yang dimiliki oleh Badan Pengelola Kawasan
Perbatasan dan Kerja Sama adalah:

1. Melakukan kebijakan pembangunan di kawasan perbatasan secara fisik


atau pembanguanan prasarana yang diperlukan untuk menunjang
pengelolaan kawasan perbatasan.

  LAPORAN PENELITIAN V-9


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan fasilitasi penataan kawasan dan


pengembangan infrastruktur perbarasan, pemberdayaan, dan
pengembangan masyarakat perbatasan dan kerjasama.
3. Melakukan kerjasama dengan bidang perbatasan dengan ketentuan
perundang – undangan yang berlaku.

Dari kewenangan tersebut terlihat jelas bahwa dalam pelaksanaan


pengembangan dan pengelolan kawasan perbatasan yang dikelolala oleh
Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama mempunya alur
kersa seperti:
1. Penyusunan rencana kerja atau program kerja
2. Memonitoring, evalusi, dan fasilitasi program kerja,
3. Melakukan kerjasama dengan dan koordinasi bersama pihak lain dalam
pengembangan dan pengeloalan kawasan perbatasan.

Penerapan Otonomi Daerah tidak berarti menghilangkan peranan


kewilayahan termasuk didalamnya pembinaan wilayah, dalam arti bahwa
tugas-tugas Pemerintah Pusat dilaksanakan pula oleh Daerah Otonom.
Jelasnya Pemerintah Pusat mendelegasikan aspek pembinaan wilayah
kepada Daerah Otonom dan dilaksanakan oleh perangkat otonom.
Walaupun pada prinsipnya tugas pembinaan wilayah adalah untuk
kesejahteraan daerah itu sendiri, namun sebagai suatu negara kesatuan,
Pemerintah wajib mengontrol Daerah sebagai sub sistem nasional, sehingga
entitas kebangsaan tidak mengalami pembiasan dalam wilayah daerah itu
sendiri. Terkait dengan pemeberdayaan masyarakat yang lebih diutamakan
adalah peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari
pendidikan, kesehatan, serta pendapatan masyarakat, Badan Pengelola
Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) memiliki kewenagan untuk
melakukan kebijakan pemberdayaan tersebut dengan mengkoordinasikan
kepada instansi terkait atau pemerintah daerah (kab/ kota).

Secara umum otonomi daerah mengupayakan agar 3 (tiga) asas


penyelenggaraan pemerintahan, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan dapat diselenggarakan secara serasi, selaras dan

  LAPORAN PENELITIAN V - 10
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

seimbang dan sekaligus untuk mewujudkan sistem penyelenggaraan


pemerintahan daerah secara optimal dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan


diselenggarakan atas dasar bahwa tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan asas desentralisasi. Disamping itu,
sebagai konsekuensi dari negara kesatuan tentu saja tidak dimungkinkan
semua wewenang pemerintah di desentralisasikan kepada daerah otonom.

Upaya memantapkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang


menganut tiga asas tersebut, dilakukan guna mewujudkan sinergitas
hubungan pusat dan daerah dalam upaya meningkatkan dan mewujudkan
pembinaan wilayah, pembangunan daerah, ketentraman, ketertiban umum,
persatuan dan kesatuan bangsa, yang secara akumulatif untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan
Kerjasama Kalimantan Barat yang secara khusus bertugas mengelola
kawasan perbatsan di wilayah administrative Provinsi Kalimantan Barat
memiliki bidang yang menagani aspek pemberdayaan masyaraikat yaitu
bidang Pembardayaan dan Pengembangan Masyarakat perbatasan. Bidang
ini mempunyai fungsi untuk menyiapkan bahan dan perumusan kebijakan di
bidang pemberdayaan masyarakat kawasan perbatasan, serta
pengembangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat perbatasan.

Untuk pelayan di setiap daerah perbatasan (Kab/ Kota) Badan


Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) Provinsi
Kalimantan Barat mempunyai kewenangan membentuk Unit Pelaksanaan
Teknis Badan yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis
operasional dan kegiatan teknis penunjang yang teletak disatu atau lebih
daerah (kab/ kota). Fungsi dari Unit Pelaksanaan Teknis Badan ini
dimaksudkan untuk melakukan koordinasi antar daerah (kab/ kota) yang
mempunyai tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk
pengembangan kawasan perbatasan tersebut.

  LAPORAN PENELITIAN V - 11
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

5.4 Program Kerja


Badan Pengelola Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK)
Provinsi Kalimantan Barat dibentuk berdasarkan peraturan Gubernur
Kalimantan Barat nomor 65 Tahun 2008 tertanggal 10 November 2008, yang
berarti kebijakan yang telah dilakukan baru mencapai 1 (satu) semester,
yang merupakan perpanjangan program kerja dari Badan Persiapan
Pengembangan Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) Provinsi
Kalimantan Barat yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor
161 tahun 2005.

Sesuai dengan konsep Rencana Tata Ruang Kawasan (RTR)


Kawasan Perbatasan Kalimantan – Sarawak – Sabah (Kasaba) maka
dikawasan perbatasan Kalimantan Barata ditetapkan 5 (lima) pusat
pertumbuhan ekonomi atau PKSN yang oleh Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat disebut Border Development Center (BDC), .yaitu: BDC
Entikong, BDC Nanga Badau, BDC Aruk – Sajingan Besar, BDC Jagoi
Babang, dan BDC Jasa – Ketungau Hulu. Di BDC – BDC tersebut sekaligus
menjadi Gate Antar Negara atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) atau
Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Melalui kerjasama Sosek Malindo
secara bertahap disepakati pembukaan gate – gate tersebut. Entikong –
Tebedu telah dioperasikan sejak 25 februari 1991, yang merupakan satu –
satunya border resmi di Provinsi Kalimantan Barat. Kemudian menyusul
dirancang dan dibangun border Nanga Badau – Lubuk Antu tertanggal 17
desember 1998, serta rancangan Border Aruk – Biawak tertanggal 12 mei
2005.

Kegiatan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan Barat


yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah
Provinsi/Kabupaten diarahkan kepada BDC – BDC tersebut. Hal ini terlihat
pada tahun anggaran 2006 dari total anggaran Rp 298.228.305,00 sekitar
61,56 % teralokasikan pada 5 (lima) kecamatan BDC, sedangkan pada tahun
anggaran 2007 sebesar 50,86 % dari total anggaran Rp 224.183.131.000,00.

  LAPORAN PENELITIAN V - 12
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Adapun program yang telah dilakukan mencakup pembangunan


bidang pekerjaan umum, bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang
pertanian, dan peternakan, bidang perkebunan dan kehutanan, bidang
perikanan dan kelautan, bidang telekomunikasi dan perhubungan, bidang
kebudayaan dan pariwisata, bidang perdagangan, serta bidang hankam.

a. Kabupaten Sambas
1. Program Pekerjaan Umum/Sarana dan Prasarana, antara lain meliputi
pemeliharaan periodik pembangunan dan pembangunan peningkatan
jalan kabupaten, pembangunan jalan Tanjung Harapan, pemeliharaan
pengairan, perbaikan perumahan dan permukiman perkotaan dan
pedesaan, Peningkatan Air Bersih/Pipanisasi, Pengerukan Sungai,
Pengadaan Tanah untuk Run Way Bandar Biduk, Pembangunan
Dermaga Sumpit, Pembanguanan Pos Jaga PLB Aruk, Pembangunan
Sarana dan Prasanana Fisik PPLB Aruk, Pengembangan dan
Rehabilitasi Bangunan kantor dan rumah dinas
2. Program Pendidikan, antara lain meliputi Kegiatan Rehap Gedung
Sekolah, Pembangunan Rumah Dinas Guru, Pengadaan Peralatan
Belajar serta Pembangunan UPT Pendidikan.
3. Program Kesehatan dan KB, meliputi Pembangunan Pustu Dusun
Sasak, Rehap Ruamh Dinas Dokter Puskesmas, Pengadaan Meubler
Rumah Dokter dan Paramedis, Pengadaan Radio Komunikasi Daerah
Sulit dan Keluarga Berencana.
4. Program Pertanian dan Peternakan, meliputi Kegiatan Peningkatan
Produksi, Produktivitas dan Mutu Produk, Pembangunan Lumbung
Pangan Desa, Penyediaan Saprodi Pertanian, Pengadaan Bibit Sapi
dan Kambing, serta Diversifikasi Pangan dan Gizi.
5. Program kehutan dan Perkebunan, antara lain meliputi Kegiatan
Pembangunan Sumberdaya Kehutanan, Penanaman Karet, Kelapa
Dalam, Kakao, Kopi dan Tebu, Pemeliharaan Tanaman Reboisasi
Hutan Lindung, Pemeliharaan Hutan Rakyat Desa, Pemeliharaana

  LAPORAN PENELITIAN V - 13
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Kebun Karet dan Kebun Entrys Karet, Sosislisasi dan Evaluasi GN-
RHL serta Pengawasan, Pembinaan dan Pengendalian Hutan.
6. Program Kelautan dan Perikanan, meliputi Kegiatan Pengembangan
Budidaya Perikanan, Pengadaan Sarana Tangkap dan Sarana
Pengolahan Ikan, Pembangunan Tempat Pelelangan Ikan dan
Steihger, Pengadaan PLTS untuk Nelayan Pesisir serta Bantuan
Mesisn Goolbox Pengencer dan Vacum Packing.
7. Program Perhubungan Telekomunikasi, meliputi Pembangunan
Dermaga Sasak, Pembangunan dan Peningkatan Pengelolaan
Helipad di Sajingan Besar, Pembinaan dan Pengawasan Tugas –
Tugas Pelabuhan dan Kesyahbandaran, Lalulintas Angkutan,
Pembangunan Dermaga Rakyat di Temajok dan Dermaga Pelabuhan
laut Paloh, Pembinaan Kelompok Informasi serta Pembangunan
Kelompok Informasi Perbatasan (KIMTAS) serta Pembangunan
Pemancar Radio.
8. Program Tenaga Kerja dan Transmigrasi berupa Pelatihan Non
Institusioanal untuk Kegiatan SDM.
b. Kabupaten Bengkayang
1. Progaram Pekerjaan Umum/ Sarana dan Prasarana, antaralain
Pembanguanan/ Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten serta
Pemeliharaan secara Periodik, Pembangunan Jalan Sui Take –
Merendang – Sebujit 12 Km, Pembangunan dan Rehabilitasi Jaringan
Air Bersih Desa Siding, Pengembangan prasarana dan sarana
Permukiman Kawasan Pernatasan serta Pembangunan Kantor Bantu
dan Rumah Dinas.
2. Program Pendidikan, meliputi Rehap Gedung Sekolah Dasar dan
Pembangunan SMP Negeri Siding, Pembangunan Asrama Siswa
SMAN 1 Jagoi Babang.
3. Program kesehatan dan KB, meliputi Peningkatan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Jagoi Babang, Pembangunan Puskesmas
Siding.

  LAPORAN PENELITIAN V - 14
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

4. Program Kehutanan dan Perkebunan, meliputi Kegiatan


Pengembangan Prasarana dan Sarana Air Baku Dari Sumber Mata
Air dan Sungai, serta Penyaluran Bibit Lengkeng untuk Kawasan
Perbatasaan.
5. Program Pertanian dan Peternakan, berupa Penyaluran Bibit Dan
Ternak Kambing.
6. Program Perhubungan dan Telekomunikasi, berupa Pembinaan dan
Pengembangan Kelompok Informasi Perbatasan (KIMTAS)
7. Program Kebudayaan dan Pariwisata berupa Rehap Rumah Adat
Bidayuh Kecamatan Jagoi Babang.
8. Program Politik, Hukum, dan Hankamtibmas, berupa Rehab Pos
Imigrasi Jagoi Babang serta Pengadaan Sarana Mobiliotas –
Kendaraan Roda Dua.
c. Kabupaten Sanggau
1. Program Pekerjaan Umum/ Sarana dan Prasarana, meliputi
Pemeliharaan Periodik, Rehab dan Pembangunan/ Peningkatan Jalan
dan Jembatan Penyediaan, Pengelolan Air Bersih/Pipanisasi (PPAB)
Pedesaan,Pemeliharaan Irigasi, Pemasangan Lampu Jalan dan
Pengembangan Kawasan, Pembebasan Lahan untuk Perumahan
Transmigrasi IKM, Jalan Poros BDC,Gedung PPLB Baru, Rumah
Sakit Intermediate, Terminal, Pembangunan Laboratorium Balai
BPOM Karantina, Rusunawa Entikong, Jalan Poros Entikong, serta
Peningkatan Insfrastuktur kawasan PPLB Entikong Tahap II.
2. Program Pendidikan, meliputi Pembanguanan dan Rehab Gedung
SD, Peningkatan Fasilitas dan Prasarana SMKN Uggulan, USB SMPN
3 Entikong, dan Pembangunan Kantor Cabang Dinas Pendidikan.
3. Program Kesehatan dan KB, Pembangunan dan Rehab Puskesmas
Entikong dan Balai Karangan, Pembangunan Pustu, Polindes dan KB.
4. Program Pertanian dan Peternakan, meliputi Pemberian Bibit Ternak
dan Tanaman Pangan, Pemeliharaan Jaringan Irigasi dan
Pembanguanan jalan Usaha Tani, serta Rehab BPP.

  LAPORAN PENELITIAN V - 15
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

5. Program Perhubungan dan Telekomunikasi, berupa Pembangunan


Gedung Pos dan Giro, Peningkatan Pelataran Parkir Kota Balai
Karangan, Serta Pembanguanan Radio, Pembinanaan dan
Pengembangan Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan
(KIMTAS).
6. Bidang Perindustrian dan Perdagangan, meliputi Rehab Kios dan
Pasar Inpres Entikong, Pembangunan Pasar Tendanisasi PPLB
Entikong dan Pembangunan Pasar Perbatsan.
7. Program Tenaga Kerja dan Transmigrasi, berupa Pelatihan
Keterampilan Tenaga Kerja dan Peralatan Kantor.
8. Program Kebudayaan dan Pariwisata meliputi Sosialisasi UU no 5
tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
9. Program Energi dan Sumberdaya Mineral, berupa Listrik Pedesaan,
Pembangauanan Jaringan Distribusi Desa dan Pembanguanan Listrik
Tenaga Surya (PLTS)
d. Kabupaten Sintang
1. Program Pekerjaan Umum/ Sarana dan Prasarana, antara lain
meliputi Pemeliharaana Berkala dan Pembangunan/ Peningkatan
Jalan dan Jembatan, Pembanguanan Jalan dan Drainase Lingkunagn
Permukiman, Rehab Rumah Dinas Camat, Pembanguanan Sarana
Air Bersih/Pipanisasi,
2. Program Pendidikan, Kegiatan Pembanguanan dibidang pendidikan
meliputi Pembanguanan Sekolah, Rehab Sekolah, Pembangunan dan
Rahab Rumah Dinas Guru, dan Pengadaan Meublier.
3. Program Kesehatan dan KB, meliputi Pembangunan dan Rehab
Puskesmas, Pustu, Plindes dan Rumah Paramedis, serta
Pembangaunan Laboratorium dan Oxygen Concentrat dan KB.
4. Program Kehutanan dan Perkebunan, meliputi penyaluran Bibit Karet
Unggulan, Pembinaan dan Peningkatan Rehabilitasi Hutan.
5. Progaram Kelautan dan Perikanan, berupa Pembanguanan dan
Peningkatan Perikanan Rakyat, Pengembangan Sarana dan

  LAPORAN PENELITIAN V - 16
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Prasarana Perikanan, Pengembangan Keramba Ikan, Pembangunan


Kolam Ikan dan Kolam Pendederan.
6. Program Energi dan Sumberdaya Mineral, seperti Pemasangan
Penerangan Jalan Umum (PJU) di Nanga Merakai dan Ng. Merakai
Ketungau Tengah.
e. Kabupaten Kapuas Hulu
1. Program Pekerjaan Umum/ Sarana dan Prasarana, antara lain
Pembanguanan dan Pemeliharaan Jalan dan Jembatan secara
berkala, Pembanguanan Rabat Beton, Pemasangan Barau Sungai
Nyamuk, Pembanguana Irigasi, Peningkatan Sapras Aparatur Negara
berupa Pembanguanan gedung Pos Bantu, Pagar Gedung, dan
Rumah Negara Type 50.
2. Program Pendidikan, meliputi Pembangunan dan Rehab Gedung
Sekolah serta Rumah Guru, Pengadaan Meubler
3. Program Kesehatan dan KB, meliputi Pemnagunan, Pemeliharaan,
dan Rehab Puskesmas, Pustu, dan Polindes, serta Peningkatan
Polindes menjadi Puskasdes dan KB.
4. Program Pertanian dan Peternakan, meliputi Pemberian Bibit karet
dan Penataan Lahan Persawahaan, Pembangunan jalan Usaha Tani
Desa, serta Pembanguanan Saluran Pasangan, Saluran Tanah dan
Pembuatan Box Tersier.
5. Program Kelautan dan Perikanan, meliputi Pembuatan Jaring Apung
Percontohan, pembuatan Kolam Ikan Percobaan.
6. Program Kehutanan dan Perkebunan, meliputi sosialisasi
penananman Sungkai di Kecamatan Perbatasan, Penyusunan
Rencana Detai Pengembangan Agribisnis KTP2D Sempadan hingga
tahu 2007.
7. Program Kebudayaan dan Pariwisata, meliputi Pengembangan Objek
Wisata Unggulan Danau Sentarum berupa Objek Wisata Desa
Kedungkan dan Pulau Melayau, Penyusunan Rencana Induk
Pariwisata Danau Sentarum, serta Pemeliharaan Situs Bersejarah
Rumah Betang.

  LAPORAN PENELITIAN V - 17
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

8. Program Politik, Hukum, dan Hankamtibmas, berupa Rehab Pos


Lintas Batas.

  LAPORAN PENELITIAN V - 18
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan

a) Kawasan perbatasan Indonesia khususnya di perbatasan Kalimantan


Barat dengan Negara Bagian Serawak Malaysia masih tertinggal
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Apalagi jika
dibandingkan dengan kondisi perbatasan di sepanjang wilayah negara
tetangga, Malaysia, sungguh sangat kontras perbedaannya.

b) Kebijakan pengembangan kawasan perbatasan baik oleh pemerintah


pusat dan daerah masih relatif lambat. Hal ini dikarenakan belum
adanya payung hukum yang jelas sebagai tindak lanjut (penjabaran
teknis) dari Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 serta belum adanya
lembaga khusus di tingkat pusat yang memiliki otoritas penuh dalam
pengembangan kawasan perbatasan.

c) Dukungan regulasi dan peraturan tentang pengelolaan kawasan


perbatasan belum memenuhi aspirasi daerah sehingga kreativitas
dan inisiatif pengembangan kawasan oleh pemerintah daerah
terhambat.

d) Hingga saat ini, belum ada pembagian kewenangan yang jelas antara
pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dalam
pengelolaan kawasan perbatasan.

6.2. Saran

a) Percepatan pembangunan kawasan perbatasan harus segera


dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi apalagi
ketergantungan masyarakat perbatasan sangat tinggi terhadap produk
dari Malaysia sehingga dikhawatirkan akan makin melunturkan

LAPORAN PENELITIAN VI - 1
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

semangat nasionalisme dan patriotisme penduduk Indonesia di


perbatasan.

b) Pembentukan lembaga khusus yang menangani pengelolaan


kawasan perbatasan secara penuh harus segera dilakukan sehingga
koordinasi antar antar departemen atau instansi pada level
pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan daerah berjalan
baik dan sinergis.

c) Regulasi tentang pengelolaan kawasan perbatasan harus segera


disusun dan diterbitkan khususnya terkait pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah.

d) Kewenangan pemerintah daerah harus diberikan secara jelas dan


proporsional khususnya dalam pembangunan ekonomi yang selama
ini sangat didominasi oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah
daerah tidak bisa banyak berbuat.

  LAPORAN PENELITIAN VI - 2
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

DAFTAR PUSTAKA

Andjioe, Mickael. 2001. Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau


Provinsi Kalimantan Barat, http: //www. perbatasan. Com

Badan Pusat Statistik, 2008. Kalimantan Barat Dalam Angka 2007.


Pontianak: BPS Propinsi Kalimantan Barat.

Badan Pusat Statistik, 2007. Kalimantan Barat Dalam Angka 2006.


Pontianak: BPS Propinsi Kalimantan Barat.

Badan Pusat Statistik, 2006. Kalimantan Barat Dalam Angka 2005.


Pontianak: BPS Propinsi Kalimantan Barat.

BP2KP, 2008. Evalusai Pelaksanaan Pembangunan Kawasan Perbatasan Di


Kalimantan Barat 2007. Pontianak: BP2KP Kalbar

Depkimpraswil, 2002, Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan


Perbatasan Negara. Jakarta.

Effendy, Yansen Akun, 2005. Seminar Nasional, Percepatan Pembangunan


Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, 15-16 Juni 2005,
oleh ISEI Cabang Pontianak.
Gunawan Sumodiningrat, 1997, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan
Masyarakat, Jakarta, PT.Bina Rena Parawira, Edisi Kedua.
Hamid, Sri Handoyo Mukti, dan Tien Widianto, 2001. Kawasan Perbatasan
Kalimantan: Permasalahan dan Konsep Pembangunan, Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Edisi Pertama.

Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah:


Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Daerah. LIPI, Partneship dan AIPI. Jakarta.

Irewati, Awani (editor). 2006. Hubungan Indonesia-Malaysia: Konflik


Perbatasan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Jatmika, Sidik, 2001, Otonomi Daerah, Perspektif Hubungan International,


Bigraf Publising, Yogyakarta.

  LAPORAN PENELITIAN L-1


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Jafar, H.Usman, 2005. Seminar Nasional, Percepatan Pembangunan


Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, 15-16 Juni 2005,
oleh ISEI Cabang Pontianak.

Maryanov, S. Gerald. 1958. Decentralization in Indonesia: As Political


Problem, Cornell Universitv Press, Ithaca, New York.

Maddich, Henry. 1966. Democracy, Decentralization and Development. Re-


printed London, Asia Publishing, 1966.

Muslimin, Amrah. 1982. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Alumni.


Bandung

Muhammad Abud Musa’ad, Muhammad. 2002. Penguatan Otonomi Daerah


Di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi, Penerbit ITB.
Mariana, Dede dan Paskarina, Caroline. 2007. Demokrasi dan Politik
Desentralisasi. Bandung. Graha Ilmu.

Mawardi I., 1997, Daya Saing Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu, Prisma 08, hal.51-61.
Mubyarto, L.Sutrisno, P.Sudiro, S.A.Awang, Sulistiyo, A.S.Dewanta,
N.S.Rejeki dan E.Pratiwi, 1991, Kajian Sosial Ekonomi desa-desa
Perbatasan di Kalimantan Timur, Yogyakarta: Aditya Media.
Mukti, Sri handoyo, 2003, Skenario Nunukan Masa Depan, dalam Model dan
Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan Kabupaten Nunukan,
Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Edisi Pertama.
Riwu Kaho, Riwu Josef. 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan Entikong, 2003. Rencana
Kawasan Pusat Niaga Terpadu dan Industri Pengolahan Entikong,
Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat.

Syaukani HR, Gaffar, Affan, dan Rasyid, Ryaas. 2002. Otonomi Daerah
Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  LAPORAN PENELITIAN L-2


Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah
Studi Kasus Di Kalimantan Barat
 

Siburian, Robert, Dinamika Sosial budaya di Daerah Perbatasan Indonesia-


Malaysia: Pengalaman Masa Lalu, Kini, dan Prospek Masa Depan,
Berita Penelitian LIPI.
Sugesti, N. 1999, Profil Pedagang Lintas Batas (Pasar Kaget). Skripsi
Sarjana tidak diterbitkan, Pontianak: Fakultas Ekonomi Universitas
Tanjungpura.
-------------------, Blue Print Palsa, Pemerintah Kabupaten Sambas, 2004.
-------------------, Platform Penanganan Permasalahan Perbatasan
Antarnegara, Departeman Dalam Negeri Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum, Direktorat Wilayah Administrasi dan
Perbatasan, 2004.

Peraturan Perundang-Undangan:

Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007, Tentang: Pembagian


Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Peratuaran Gubernur Nomor Nomor 161 Tahun 2005, Tentang:


Pembentukan Badan Persiapan Pengembangan Kawasan Khusus
Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2008,


Tentang: Susunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan
Barat.

Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 65 Tahun 2008, Tentang:


Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan dan Kerjasama Provinsi Kalimantan Barat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang: Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang nomor 43 Tahun 2008, Tentang: Wilayah Negara.

  LAPORAN PENELITIAN L-3

Anda mungkin juga menyukai