Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS POLICY CAPACITY TERHADAP PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI

PENUH DI PROVINSI JAMBI (UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2008)

Muhamad Haykal (2210841023)

Administrasi Publik, Universitas Andalas

Email : muhamadhaykal18@gmail.com

Abstrak

Kota Sungai Penuh merupakan salah satu daerah yang terletak pada Provinsi Jambi. Kota
Sungai Penuh berdiri pada tahun 2008 dari pemekaran wilayah Kabupaten Kerinci.
Pembentukan Kota Sungai Penuh telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh. tulisan ini bertujuan untuk menganilis
kapasitas kebijakan atau policy capacity pembentukan Kota Sungai Penuh menggunakan teori
policy capacity oleh X Wu, M Ramesh dan M Howlett. Menurut teori Howlett dkk, ada
sembilan elemen yang harus dipenuhi untuk menilai suatu kapasitas kebijakan, yaitu
kapasitas analitis individu, kapasitas analitis organisasi, kapasitas analitis sistemik, kapasitas
operasional individu, kapasitas operasional organisasi, kapasitas operasional sistemik,
kapasitas politik individu, kapasitas politik organisasi, dan kapasitas politik sistemik . Hasil
tulisan ini menjelaskan bahwa pembentukan Kota Sungai Penuh adalah kebijakan yang tepat
dilakukan oleh pemerintah. Namun masih terdapat permasalahan yang muncul pasca
pembentukan Kota Sungai Penuh yaitu penyerahan aset pemerintah Kabupaten Kerinci ke
pemerintah Kota Sungai Penuh yang telah melewati batas waktunya..

Kata Kunci : Kapasitas Kebijakan, Kota Sungai Penuh, Pemekaran Wilayah, Otonomi
Daerah

PENDAHULUAN

Kota Sungai Penuh merupakan sebuah Kota otonom baru hasil dari pemekaran
Kabupaten Kerinci berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2008 Tentang
Pembentukan Kota Sungai Penuh Di Provinsi Jambi, yang sebelumnya bergabung dan
menjadi Ibu Kota Kabupaten Kerinci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
berjalannya pemekaran dari tahun 2004 hingga diresmikan pada tahun 2008. Kota Sungai
Penuh berada di Provinsi Jambi. Berdasarkan pada Surat Keputusan Bupati Kerinci Nomor
21 Tahun 2005 dan memperhatikan/memenuhi tuntutan dari masyarakat, maka disetujui
untuk pelaksanaan pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi Kota Sungai Penuh yang
kemudian disetujui oleh DPRD Kabupaten Kerinci dengan dikeluarkannya Keputusan Nomor
09 Tahun 2006 tentang peretujuan pembentukan Kota Sungai Penuh. Pada bulan Oktober
2009, Kota Sungai Penuh diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan melantik Walikota
Sungai Penuh sebagai tanda dimulainya pemerintahan Kota Sungai Penuh. Artinya , Kota
Sungai Penuh telah resmi menjadi daerah otonom yang terpisah dari Induknya dan memiliki
kewenangan untu mengatur segala hal berkaitan dengan daerahnya tanpa intervensi dari
daerah Induknya yaitu Kabupaten Kerinci. Hal ini menyatakan bahwa segala hal yang
berkaitan dengan pembentukan daerah baru sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh termasuk Pengalihan dan Pemanfaatan
Aset dari Kabupaten Kerinci ke Kota Sungai Penuh sudah harus dilakukan.

Reformasi 1998 merupakan era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di


Indonesia. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu penyelenggaraan pemerintahan dari
sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dianggap sebagai undang-undang pemerintahan
daerah peralihan sistem dari sentralisasi menuju desentralisasi. Sentralisasi dan desentralisasi
merupakan sebuah kontium. Sentralisasi merupakan pemusatan seluruh wewenang kepada
sejumlah kecil manajer yang berada di level top level atau posisi puncak dalam struktur
organisasi atau daerah. Sedangkan desentralisasi merupakan pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Tuntutan masyarakat agar pemerintah memberikan pelayanan masyarakat secara lebih


cepat telah mengarah pada penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konsep
desentralisasi. Selain itu, sangat penting menumbuhkan kondisi yang diperlukan bagi
masyarakat lokal untuk mewujudkan potensi mereka sendiri untuk kesejahteraan dalam
konteks pemerataan dan pertumbuhan daerah (Halik et al., 2022). Desentralisasi ini terjadi
karena untuk menghindari terjadinya ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Sumber daya alam yang tidak merata juga menjadi faktor untuk melakukan
desentralisasi untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi sumber
pendapatan daerah dan pendapatan nasional (Trisnawati, 2015). Untuk mengatasi masalah
ketidakadilan tersebut pemerintah pusat membuat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah junto UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah (Polkitang, 2013). Undang-undang ini pada intinya menjelaskan
tentang pemekaran daerah. Pemekaran daerah atau pembentukan otonomi baru ini memiliki
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik. Pemekaran
daerah merupakan pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk meningkatkan pelayanan bagi
masyarakat dan memperpendek jarak kendali antara warga dengan pusat-pusat pemerintahan
serta memberi peluang besar bagi pemerintah daerah untuk menjelajahi, mengelola, dan
menggali segala potensi dan sumber daya yang ada di daerah tersebut.

Berlakunya Undang-Undang 1945 Pasal 18 UUD 1945 mempertegas bahwa


Indonesia dibagi meliputi daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, dan perubahan sistem yang
sebelumnya sentralistik menjadi desentralisasi dimana pemerintah memberikan kewenangan
kepada daerah untuk menyelenggarakan daerahnya. Prosedur tentang pembentukan daerah
otonom baru telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mendefinisikan bahwa “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan untuk menata sistem pemerintahan daerah dalam
kerangka negara dan mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan kreativitasm
peningkatan partisipasi masyarakat dan mengembangkan fungsi DPRD. Penyelenggaraan ini
dilakukan dengan memberikan kewenangan yang berupa otonomi kepada daearah untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah berupa kabupaten dan kota yang bertanggung jawab
kepada pemerintah daerah secara proporsional. Hal ini diikuti dengan pengaturan pembagian,
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 4
menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat dilakukan dengan penggabungan atau
pemekaran satu daerah menjadi lebih dari satu daerah. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2008 Pembentukan Kota Sungai Penuh Di Provinsi Jambi merupakan
contoh kasus pemekaran daerah yang pernah dilakukan oleh pemerintah.

Dalam melakukan pemekaran daerah diperlukan aspek-aspek pertimbangan yang


harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Menurut Undang Undang Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 syarat administratif yang harus dipenuhi dalam membangun daerah otonomi
baru yaitu :
1. Syarat administratif

Syarat Administratif berupa persetujuan dari DPRD masing-masing daerah,


walikota/bupati terkait, DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari menteri dalam
negeri.

2. Syarat teknis

Syarat teknis berupa potensi daerah, kemampuan ekonomi, sosial budaya, politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, dan keamanan.

3. Syarat fisik

Syarat fisik berupa setidaknya kabupaten atau kota tersebut memiliki paling sedikit
lima kecamatan untuk kabupaten dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon
ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Menurut Cahayadin (2006), Ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam
proses pemekaran daerah. Yaitu sebagai berikut :

1. Pertimbangan fungsi wilayah

Pertimbangan ini diperlukan dalam mengklasifikasi tingkat keseimbangan antara


pusat-pusat pelayanan dengan distribusi penduduk di setiap masing-masing kecamatan pada
daerah administratif kota/kabupaten

2. Pertimbangan kriteria fisik

Pertimbangan ini digunakan untuk menilai potensi lahan yang tersedia untuk
pembangunan dan juga sumber daya alam yang ada untuk perkembangan daerah yang
dimekarkan.

3. Pertimbangan kriteria ekonomi

Pertimbangan ini digunakan untuk mengetahui potensi ekonomi pada daerah yang
dimekarkan. Hal ini bertujuan agar daerah otonom baru dapat memiliki pemasukannya agar
masyarakat pada daerah tersebut dapat tersejahterakan.
4. Pertimbangan kriteria sosial

Pertimbangan ini digunakan untuk mengetahui aktivitas budaya atau kebiasaan


masyarakat di daerah yang dimekarkan.

.Pembentukan Kota Sungai Penuh merupakan salah satu bentuk pemekaran wilayah
dari Kabupaten Kerinci yang diundang-undangkan dalam Pasal 25 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi. Jika dilihat dari pelaksanaan pemekaran
daerah Kota Sungai Penuh, Pembentukan otonomi daerah ini telah dipertimbangkan dari
berbagai aspek dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

1. Pertimbangan fungsi wilayah

Fungsi wilayah memperhatikan stabilitas antara distribusi penduduk dan pusat-pusat


pelayanan yang ada di daerah tersebut. Jumlah kecamatan yang terdapat di wilayah
pemekaran harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu memiliki
setidaknya memiliki minimal 4 kecamatan untuk kota.

Tabel 1 Pembagian kecamatan wilayah Kota Sungai Penuh pada awal pemekaran

No Kecamatan Desa Keluarahan Luas Wilayah %


1 Kec. Tanah Kampung 13 - 1,200 2.84
2 Kec. Sungai Penuh 15 4 20,625 52.45
3 Kec. Hamparan Rawang 13 - 1,235 3,15
4 Kec. Pesisir Bukit 15 - 2,120 5.49
5 Kec. Kumun Debai 9 - 14,300 36,37
Jumlah 65 4 39,150 100.00
Sumber: BPS Kota Sungai Penuh (2008)

2. Pertimbangan fisik

Pertimbangan fisik memperhatikan kriteria ketersedian lahan untuk proses


pembangunan. Ketersediaan lahan di Kota Sungai Penuh digunakan untuk pembangunan
kawasan perkotaan dan kawasan pertanian.

Tabel 2 Penggunaan Lahan Kota Sungai Penuh dalam (Ha)

Penggunaan Kec. Kec. Kumun Kec. Pesisir Kec. Sungai Kec. Tanah
lahan Hamparan Debai Bukit Penuh Kampung
Rawang
Hutan Primer - 11,032 379 11,767 -
Hutan - 666 837 6,384 -
Sekunder
Kebun - 1,218 - 695 38
Campuran
Pemukiman 150 128 144 346 147
Pertanian 287 3 - 53 51
Lahan Basah
Pertanian - 70 394 576 3
Lahan
Kering
Rawa 127 - - - 3
Sawah 651 505 350 619 858
Semak - 568 5 83 -
Belukar
Tanah - 9 1 2 -
Terbuka
Luas 1,215 14,200 2,110 20,525 1,100
Sumber : Bappeda Kota Sungai Penuh (2008)

3. Pertimbangan ekonomi

Potensi ekonomi di Kota Sungai Penuh dinilai cukup baik karena mengalami
peningkatan dari tahun dasar yaitu dari tahun 2010 hingga data terbaru yaitu tahun 2022.
Secara total, PRDB Kota Sungai penuh atas dasar harga berlaku di tahun 2022 mengalami
peningkatan sebesar 9%. Sedangkan atas harga konstan mengalami kenaikan sebesar 4.45%.
Pada periode tahun 2019 - 2023 PDRB Kota Sungai Penuh atas dasar harga Berlaku
meningkat cukup signifikan, yakni sebesar 7.479.424,37 juta Rupiah (2019); 7.562.248,32
juta Rupiah (2020); 7.980.858,72 juta Rupiah (2021); 8,679,092.10 juta rupiah (2022); dan
9,475,138.69 juta rupiah (2023). Peningkatan ini dipengaruhi baik oleh perubahan harga
maupun perubahan volume. Peningkatan PDRB sisi produksi diikuti oleh peningkatan PDRB
dari sisi permintaan akhir atau PDRB pengeluaran.

4. Pertimbangan sosial budaya

Pertimbangan ini dilihat dari aspek interaksi dan keadaan sosial masyarakat dalam
pelaksanaan pemekaran wilayah. Pertimbangan sosial masyarakat dalam pemekaran daerah
Kota Sungai Penuh dari Kabupaten kerinci digagaskan oleh Bupati Kerinci pada saat itu yaitu
Fauzi Siin. Yang didukung oleh masyarakat Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci
dengan menandatangani surat persetujuan pemekaran.

Pembentukan Kota Sungai Penuh ada karena tuntutan dari masyarakat. Aspirasi
masyarakat untuk membentuk Kota Sungai Penuh sudah ada sejak tahun 1970-an dengan
rasionalitas daerah Sungai Penuh tidak efektif jika hanya dikelola oleh pemerintah
Kecamtaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota
Sungai Penuh, Kota Sungai Penuh resmi disahkan menjadi daerah otonom yang dimekarkan
dari Kabupaten Kerinci. Kota Sungai Penuh mulai mengalami perkembangan dalam berbagai
bidang seperti pendidikan, budaya, ekonomi, dan pariwisata. Namun terdapat suatu
permasalahan pembentukan Kota Sungai Penuh, yaitu mengenai pemindahan aset dari
pemerintah Kabupaten Kerinci untuk Pemerintah Kota Sungai Penuh yang tidak lancar. Hal
ini menyebabkan tata kelola pemekaran wilayah menjadi kurang maksimal, sehingga menjadi
pertanyaan bagaimana kapasitas kebijakan pemerintah dalam melakukan pemekaran wilayah
Kota Sungai Penuh.

Policy capacity atau kapasitas kebijakan merupakan acuan kompetensi dan kapabilitas
dalam pembuatan kebijakan. Kompetensi ini dikategorikan menjadi tiga jenis keterampilan
umum yang harus diperhatikan dalam menentukan tingkat keberhasilan kebijakan, yang
pertama adalah tingkat analitis yang digunakan untuk memastikan bahwa tindakan kebijakan
memiliki rasionalitas, yang kedua adalah tingkat operasional yang memperhitungkan
keselerasan tindakan kebijakan yang dilaksanakan dengan sumber daya yang ada sehingga
kebijakan tersebut dapat dilaksanakan, yang terakhir adalah tingkat politik yang digunakan
untuk mempertahankan dan mendukung tindakan kebijakan melalui politik (Wu, Ramesh dan
Howlett, 2018:5). Teknik mengukur policy capacity (kapasitas kebijan) Menurut Wu,
Ramesh dan Howlett dikenal dengan istilah policy capacity through governance indices
(kapasitas kebijakan melalui indeks tata kelola). Menurut teori dari dari Wu, Ramesh dan
Howlett, terdapat tiga jenis kategori keterampilan policy capacity yaitu analitis, operasional,
dan organisasi. Policy capacity dinilai pada tingkat sumber daya individu, organisasi, dan
sistemik. Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa policy capacity memiliki sembilan
aspek yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut :

1. Kapasitas analitis individu

Michael Howlett menegaskan bahwa di dalam pemerintahan dibutuhkan aparatur


pemerintah dengan kapasitas analitis sebagai kemampuan untuk mengakses dan
mengimplementasikan pengetahuan teknis dan ilmiah serta teknik analitis. Tujuannya agar
pemerintah mampu merancang dan mengimplementasikan kebijakan dengan cara yang
efektif dan efisien biaya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan untuk mendapat bukti dan
fakta dalam pembuatan kebijakan yang memiliki basis data terhadap pejabat yang terlibat
dalam agenda kebijakan agar memiliki kemampuan menyerap dan memproses informasi
dalam segala aspek perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Analisis tingkat individu melibatkan tugas

2. Kapasitas analitis organisasi

Kapasitas analitis organisasi berupa kelengkapan mesin dan alat untuk


mengklasifikasi dan menganalisis data, serta komitmen organisasi dalam membuat kebijakan
yang berbasis bukti ilmiah, sehingga menjadi lebih efektif. Fokus dari kapasitas analitis
organisasi ini adalah kemampuan yang diperlukan oleh pemerintah dalam membangun dan
meningkatkan kemampuan evaluasi dengan tujuan mencapai analitis organisasi mereka.
Kapasitas analitis mengacu pada kemampuan memperoleh dan memproses informasi yang
diperlukan dengan tujuan untuk melaksanakan fungsi kebijakan (Cohen dan Levinthal
1990:113). Sistem informasi yang efektif berperan penting dalam mendukung perumusan dan
pelaksanaan kebijakan yang efektif. Hal ini juga menyediakan untuk penggunaan ulang
informasi yang tersedia tanpa duplikasi, seperti perpustakaan, database dan situs web (Wu,
Ramesh dan Howlett 2018-9).

3. Kapasitas analitis sistematik

Kapasitas analistik sistemik merupakan gambaran keadaan umum dimana sistem


pemerintahan dan stakeholder berada pada lingkungan ilmuah, statistik, dan ketersediaan
fasilitas pendidikan di masyarakat yang memungkinkan pembuat kebijakan dan pelaksana
kebijakan untuk mengakses kualitas informasi yang baik untuk menjalankan fungsi analitis
dan manajerial mereka. Menurut Howlett dan Ramesh (dalam Chamid, 2020:215) kebijakan
publik dibuat oleh pemerintah, namun dalam penyusunannya melibatkan interaksi yang
kompleks dari aktor dan institusi lain baik itu swasta, kelompok masyarakat, bisnis, dan
institusi lainnya. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang berpatokan pada pengetahuan
dapat memudahkan pemerintah untuk menjalankan suatu kebijakan, karena memiliki
landasan analisis yang tepat.

Pada tingkat sistem, kemampuan analitis bisa jadi diukur berdasarkan cakupan dan
kualitas pengumpulan data di seluruh sistem, misalnya seperti kegunaan, kecepatan dan
kenyamanan akses umum di antara berbagai keterlibatan pemangku kepentingan proses
kebijakan dan tingkat persaingan keragaman produksi pengetahuan kebijakan. Selain itu,
aksesibilitas data atau informasi yang disediakan oleh lsm dan organisasi sektor swasta
mempunyai peran yang perlu dimainkan peran kunci dalam menentukan kemampuan analisis
tingkat sistem. (wu, ramesh dan howlett 2018: 12)

4. Kapasitas operasional individu

Kapasitas operasional individu merupakan penentu yang paling penting dari kapasitas
kebijakan pemerintah secara keseluruhan dalam melakukan manajerial. Namun terdapat
kontradiksi antara penekanan pada kepemimpinan dalam sektor reformasi manajerial yang
berfokus pada efisiensi dan keterampilan teknis. Tingkat kemampuan operasional

Terkait individu dan kemampuan seseorang yang melakukan fungsi manajemen,


sering digambarkan sebagai kepemimpinan. Penguraian lebih praktis dan mudah digunakan
konsep kepemimpinan tidak jelas di antara fungsi-fungsi utama yang dilakukan manajer
kebijakan, yaitu perencana, penempatan staf, penganggaran, delegasi, bimbingan dan
koordinasi. Kapasitas relevan secara operasional bagi semua orang tahapan dalam proses
pengembangan kebijakan. (wu, ramesh dan howlett 2018:7-8)

5. Kapasitas operasional organisasi

Kapasitas operasional organisasi berhubungan dengan seberapa baik kinerja pengatur


kebijakan dan pelaksana kebijakan yang sangat bergantung pada organisasi internal badan
publik dan lingkungan institusi politik di tempat mereka bekerja. Hubungan antara lembaga
dan aktor legislatif dengan eksekutif serta ketersediaan pelatihan dan aspirasi pegawai negeri
menjadi penentu yang paling penting dari kapasitas dan efektivitas mereka. Tingkat
kemampuan operasional

Kapasitas operasional organisasi berpusat pada efektivitas organisasi dalam hal


memobilisasi dan mengerahkan sumber daya kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan
tugas kebijakan. Kemampuan operasional anda dapat menggunakan level tersebut terlebih
dahulu untuk mengukur dengan mengoordinasikan proses internal dan eksternal sistem
manajemen organisasi. Intern, organisasi harus mengkomunikasikan tujuannya, rencana
operasional dan prosedur operasi mereka memberikannya kepada karyawannya. Melewati
secara eksternal, mereka harus berkomunikasi danberkolaborasi dengan instansi lain
danpemangku kepentingan masyarakat. (wu,ramesh dan howlett 2018: 10).
6. Kapasitas operasional sistemik

Kapasitas operasional sistemik membaha tentang koordinasi upaya lembaga


pemerintah dan lembaga non-pemerintahan untuk mengatasi masalah secara kolektif.
Kebijakan dirumuskan sebagai upaya dalam mengeksplorasi aktor-aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan, sistematis pencapaian dan kesepakatan kebijakan, dan cara komunikasi
aktor-aktor yang terlibat. Secara khusus, kapasitas operasional sistemik mengacu pada peran
kepemimpinan, visi bersama dan pembangunan konstituen (Buse et al, Chamid 2020:220).
Tingkat kemampuan operasional.

Tingkat kemampuan operasional organisasi berpusat pada efektivitas organisasi dalam


hal memobilisasi dan mengerahkan sumber daya pada tingkat sistem, kapasitas operasi
mengacu pada sistem kontrol atas badan sektor publik dan hubungannya mereka memelihara
kontak dengan mitra sosial mereka. Pertama, kemampuan operasional ditentukan oleh tingkat
koordinasi antar pemerintah dan antar lembaga. Kedua, koherensi dan partisipasi dalam
jaringan kebijakan dan partisipasi sosial dalam proses kebijakan. Ini adalah kunci
kemampuan operasional. Ketiga, kemampuan bisnis tingkat tinggi tingkat sistem memerlukan
peran yang jelas dan tanggung jawab masing-masing organisasi berpartisipasi dalam proses
pengembangan kebijakan. (wu, ramesh dan howlett 2018: 12-13)

7. Kapasistas politik individu

Kapasitas politik individu menekankan pada keterampilan dan kemampuan


pengetahuan dan pengalaman politik atau ketajakaman politik yang dimiliki para pelaku
pembuatan kebijakan. Wu, Ramesh, dkk (dalam Chamid, 2020:220) menjelaskan bahwa para
elit memiliki persepktif dimana sekat antara kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah
akan sangat terlihat dan cenderung terjadi perdebatan mengenai sebuah kebijakanm selain iut
proses ini juga menekankan komunikasi aktor politik antar lembaga pemerintah, media, dan
kelompok yangterlibat dalam masalah yang terpusat.

8. Kapasitas politik organisasi

Kapasitas politik organisasi berada pada pengembangan terhadap hubungan antara


pemerintah dengan mitra dan publik. Para elit memiliki peran yang dominan dalam
penyusunan kebijakan pembangunan tanpa melibatkan peran aktif masyarakat dalam
keseluruhan tahapan proses penyusunan kebijakan pembangunan akan mengakibatkan
kebijakan yang dibaut menjadi tidak berpihak pada masyarakat (Simonet, Chamid 2020
2020:212-213).

9. Kapasitas politik sistemik

Kapasitas politik sistemik merupakan elemen yang paling luas yang mencakupi
kesembilan jenis dan elemen utama yang dimiliki potensi untuk membentuk semua kapasitas
lainnya. Perumus kebijakan menelaah dalam setia kebijakan yang mereka hasilkan
dimanapun. Permasalahan publik selalu unik dan abnormal. Perumus kebijakan selalu
mendapatkan pelajaran dari pengalamannya dan mitra-mitranya dari wilayah lain baik itu
pada tingkat kota, regional dan nasional terkait permaslahaan yang setara dan membantu
mereka untuk mengatasi isu yang mereka hadapi langsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan Kota Sungai Penuh menimbulkan konflik terutama pada alokasi aset
daerah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Penghapusan Dan Penggabungan Daerah. Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai
Penuh tentunya telah berupaya menyeselaikan permasalahan ini melalui konsensus.
Dikarenakan Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh memiliki kewenangan yang sama
rata dalam mengurus otonomi daerahnya masing-masing menyebabkan permasalahan ini
menjadi berkepanjangan. Permasalahan ini mempertanyakan kita apakah pembuatan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2008 merupakan langkah yang tepat atau tidak. Permasalahan ini
dapat dianalisis menggunakan teori policy capacity melalui indeks tata kelola oleh Wu,
Rames, dan Howlett dengan menggunakan sembilan aspek yaitu kapasitas analitis individu,
kapasitas analitis organisasi, kapasitas analitis sistemik, kapasitas operasional individu,
kapasitas operasional organisasi, kapasitas operasional sistemik, kapasitas politik indvidu,
kapasitas organisasi, dan kapasistas politik sistemik.

1. Kapasitas analitis individu

Elemen ini merupakan kemampuan menerapkan pengetahuan teknis dan ilmiah serta
teknik analitis. Elemen ini mengacu pada aparatur pemerintahan yang terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan ini. Pada awal pembentukan Kota Sungai Penuh, keputusan ini
mendapat banyak dukungan dari masyarakat Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci
melalui penandatanganan surat persetujuan. Persetujuan ini melibatkan keputusan
Musyawarah Desa yang terdiri dari wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Dapat disimpulkan bahwa aparatur pemerintah memiliki kapasitas analitis individu. Pasca
pembentukan Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci melakukan studi banding sebagai
referensi perbandingan ke daerah yang telah melakukan pemekaran yaitu Kota Tangerang
Selatan, Kota Bekasi, Kota Tasik Malaya dan Kabupaten Bandung. Ini menandakan aparatur
pemerintah yang terlibat memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh. Namun
terdapat permaalahan pasca Pembentukan Kota Sungai Penuh yaitu ketidaksanggupan
aparatur pemerintah daerah dan provinsi dalam penyerahan aset.

2. Kapasitas analitis organisasi

Kapasitas ini meliputi ketersediaan alat dalam mengumpulkan data. Kapasitas analitis
organisasi pada pembentuka Kota Sungai Penuh dinilai sudah baik karena sebelum
pembentukan Kota Sungai Penuh, data-data telah terkumpul dengan baik seperti distribusi
penduduk, pertumbuhan ekonomi, luas wilayah, dan lain-lain.

3. Kapasitas analitis sistemik

Kapasitas analitis sistematik mengacu pada keadaan umum sistem pemerintahan yang
melibatkan interaksi sistem pemerintahan dengan pemangku kepentingan di suatu
lingkungan. Kapasistas analitis sistematik pembentukan Kota Sungai Penuh dinilai sudah
baik karena melibatkan banyak pihak. Pembentukan Kota Sungai Penuh mendapatkan
persetujuan dari pemangku kepentingan yang dikenal dengan istilah orang empat jenis dalam
masyarakat adat Kerinci, yang terdiri dari adat, cendikiawan, ulama dan pemuda.
Pembentukan Kota Sungai Penuh juga mendapat dukungan penuh dari masyarakat Kota
Sungai Penuh dan masyarakat Kabupaten Kerinci yang menandakan masyarakat memiliki
keterlibatan dalam pembentukan Kota Sungai Penuh. Pemekaran daerah Kota Sungai Penuh
juga membuka peluang usaha bagi masyarakat sekirat terutama yang tinggal di area
perkantoran yang dapat membuka lapangan pekerjaan baik itu di bidang perdagangan, buruh,
dan jasa.

4. Kapasitas operasional individu

Dalam pembentukan Kota Sungai Penuh, aparatur pemerintah telah dibekali


pemhaman tentang administrasi otonomi daerah. Tetapi, gurbernur Jambi pada saat itu
cenderung besikap kurang serius pada masalah penyerahan aset pasca pemekaran wilayah
Kota Sungai Penuh karena terdapat masa peralihan jabatan dan yang menjabat pada saat itu
merupakan PJS Gurbernur Jambi. Pemerintah Provinsi Jambi telah menyatakan
ketidaksanggupan dalam penyelesaian masalah ini, sebagamana hasil wawancara bersama
Penasehat Hukum Kabupaten Kerinci (26 September 2023).

“Pemerintah provinsi jambi selaku pihak terkait yang berwewenang untuk menfasilitasi
penyelesain masalah pemerintah Provinsi Jambi beberapa kali telah memfasilitasi dengan
mengundang OMBUDSMAN Republik Indonesia, (BPK), dan (BPKP) perwakilan Provinsi
Jambi, namun pada akhirnya tetap tidak menghasilkan hasil yang saling menguntungkan bagi
kami dan akhirnya, Pemerintah Provinsi Jambi menyatakan tidak sanggup lagi untuk
menyelesaikan masalah perbedaan tafsir tersebut sehingga diserahkan kepada kemendagri.”

5. Kapasitas operasional organisasi

Kapasitas operasional organisasi dinilai cukup baik karena mampu membentuk daerah
otonomi baru dengan aspek pertimbangan yang ada karena dilaksanakan dengan lancar dan
sedikit hambatan. Hal ini didukung juga karena Kota Sungai Penuh telah memenuhi
persyaratan pembentukan daerah otonomi baru. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat
kekurangan yaitu ketidakmampuan dalam penyerahan aset wilayah.

6. Kapasitas operasional sistemik

Kapasistas operasional sistemik melibatkan koordinasi antara pemerintah dan non-


pemerintah. koordinasi antara pemerintah dengan non-pemerintah dalam pembentukan Kota
Sungai Penuh dinilai cukup baik karena tidak adanya konflik antara lembaga pemerintah dan
lembaga non-pemerintah. hal ini dibuktikan dengan persetujuan pemangku adat Kerinci yaitu
orang empat jenis dan persetujuan dan dukungan dari masyarakat Kota Sungai Penuh dan
masyarakt Kabupaten Kerinci.

7. Kapasitas politik individu

Kapasitas politik individu dilihat dari bagaimana dua kelompok saling beradu
argumen dalam pembuatan kebijakan. Kapasitas politik dalam pembentukan Kota Sungai
Penuh sangat terasa karena pihak yang terlibat memiliki pengalaman politik yang mumpuni
sehingga Pembuatan Kota Sungai Penuh dapat berjalan dengan sedikit kontra. Namun pada
penyerahan aset wilayah kapasitas indvidu dinilai kurang baik karena masalah ini sulit
diselesikan dan pernyataan ketidakanggupan pemerintah Provinsi Jambi dalam
menyelesaikan masalah ini sehingga permasalahan ini diserahkan ke kementerian dalam
negeri.

8. Kapasitas politik organisasi

Kapasitas politik organisasi mengacu pada pengembangan hubungan antara


pemerintah dengan mitra dan publik. Kapasitas politik organisasi pada pembentukan Kota
Sungai Penuh dinilai sudah baik karena mendapat dukungan penuh dari publik yaitu
masyarakat Kota Sungai Penuh dan masyarakat Kabupaten Kerinci. Sedangkan peran
kemitraan dengan sektor swasta sangat minim pada kebijakan ini. Karena secara aturan,
lembaga swasta tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan ini karena hal ini
menyangkut kesejahteraan publik/masyarakat.

9. Kapasitas politik sistematik

Secara sistematis, kapasitas politik diharapkan dapat menjalankan komunikasi dua


arah dimana masyarakat dapat memantau kegiatan pemerintah, berdialog mengenai isu-isu
yang ada. Pembentukan Kota Sungai Penuh mendapat respon postif dari masyarakat Kota
Sungai Penuh dan masyarakat Kabupaten Kerinci yang menandakan kapasitas pembentukan
politik sistematik Pembentukan Kota Sungai Penuh sudah baik. pembentukan Kota Sungai
Penuh juga termasuk ke dalam tuntutan masyarakat.

Pembentukan Kota Sungai Penuh memiliki persiapan yang baik dan telah memenuhi
persyaratan administratif Menurut Undang Undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pada tahun 2008, Pemerintah Kota Sungai Penuh dan Pemerintah Kabupaten Kerinci sepakat
untuk melakukan penyerahan kewenangan dan aset secara bertahap sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh.
Namun hal ini menjadi permasalahan serius karena penyerahan aset ini masih belum selesai
sepenuhnya hingga 13 tahun pasca diresmikannya Kota Sungai Penuh.

PENUTUP

Pemekaran wilayah merupakan membagi satu daerah menjadi dua atau lebih dari satu
daerah. Hal ini telah diatur dalam undang-undang nomor 32 pasal 4 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Salah satu contoh kasus pemekaran wilayah di Indonesia adalah
Pemekaran Kota Sungai Penuh dari Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi yang disahkan dalam
undang-undang nomor 25 tahun 2008 tentang pembentukan Kota Sungai Penuh Provinsi
Jambi. Pembuatan kebijakan ini tentunya lahir dari beberapa rasionalitas dan memiliki
kemanfaatan untuk masyarakat. Dalam konteks pemekaran Kota Sungai Penuh dari
Kabupaten Kerinci, pembentukan Kota Sungai Penuh didukung oleh masyarakat Kota Sungai
Penuh dan Kabupaten Kerinci melalui penandatanganan surat persetujuan. Persetujuan ini
melibatkan Keputusan Musyawarah Desa yang menjadi cakupan wilayah Daerah
Kabupaten/Kota, persetujuan bersama DPRD Kabupaten/Kota dengan bupati/wali kota
Daerah Induk, serta persetujuan bersama DPRD Provinsi dengan gubernur dari Daerah
Provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dengan
dukungan masyarakat dan persetujuan lembaga masyarakat yang terwakili, pembentukan
Kota Sungai Penuh menjadi sebuah ide yang didukung. Dalam masyarakat adat Kerinci,
terdapat konsep Orang Empat Jenis yang menjadi panutan atau figur penting dalam proses
persetujuan pembentukan Kota Sungai Penuh. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh dibentuk karena wilayah kabupaten Kerinci
memiliki luas yang besar sehingga sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan,
sehingga dimekarkan menjadi Kota Sungai Penuh untuk mempermudah masyarakat Kota
Sungai Penuh dalam mengakses sarana dan prasarana dari pemerintah daerah. Pembentukan
Kota Sungai Penuh telah mempertimbangkan beberapa pertimbangan seperti pertimbangan
fungsi daerah, pertimbangan fisik, dan pertimbangan sosial budaya.

Secara keseluruhan policy capacity pembentukan Kota Sungai Penuh sudah baik
karena telah memenuhi sembilan elemen kapasitas kebijakan menurut Wu, Ramesh dan
Ramlett yaitu yaitu kapasitas analitis individu, kapasitas analitis organisasi, kapasitas analitis
sistemik, kapasitas operasional individu, kapasitas operasional organisasi, kapasitas
operasional sistemik, kapasitas politik indvidu, kapasitas organisasi, dan kapasistas politik
sistemik. Pembentukan Kota Sungai Penuh melalui pemekaran Kabupaten Kerinci
merupakan langkah yang paling tepat yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kekurangan
dimana terdapat kendala mengenai pemindahan aset wilayah. Pemindahan aset ini dinilai
telah melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungai
Penuh karena melampaui batas waktu yang seharusnya diberikan paling lambat lima tahun
sejak diresmikannya daerah otonomi baru Kota Sungai Penuh.
DAFTAR PUSTAKA

Adryan, A., Erwin, E., & Jafrinur, J. (2018). Pelaksanaan Pemekaran Daerah Kota Sungai
Penuh dari Kabupaten Kerinci dan Dampaknya terhadap Wilayah Pinggiran Kota
Sungai Penuh. Journal of Regional and Rural Development Planning, 2(3), 269-282.

Afghani, G. N., Meigawati, D., & Basori, Y. F. (2022). Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penetapan Kawasan tanpa Rokok di Kota Sukabumi. Jurnal Inovasi
Penelitian, 2(11), 3627-3640.

Akbar, S. (2019). Analisa Masalah-Masalah Yang Muncul Dalam Pemekaran Wilayah


Baru Pada Penyelengaraan Otonomi Daerah. JIAGANIS, 3(1).

Arianti, N. N. (2016). Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kesenjangan


Ekonomi Antar Daerah Pesisir di Provinsi Bengkulu. Jurnal Agrisep, 16 (1), 30-31

Badan Pusat Statistik Kota Sungai Penuh. (2023). Produk Domestik Regional Bruto Kota
Sungai Penuh Menurut Pengeluaran 2018-2022. Diakses pada 1 Mei 2024, dari Badan
Pusat Statistik Kota Sungai Penuh (bps.go.id)

Badan Pusat Statistik Kota Sungai Penuh. (2024). Produk Domestik Regional Bruto Kota
Sungai Penuh Menurut Pengeluaran 2019-2023. Diakses pada 2 Mei 2024, dari Badan
Pusat Statistik Kota Sungai Penuh (bps.go.id)

Desrinelti, Desrinelti, dkk. (2021). Berita Acara Serah Terima Aset Milik Pemerintah
Kabupaten Kerinci Kepada Pemerintahan Kota Sungai Penuh Tahap Pertama. Nomor
Surat No. 130/124/Adpum/2013 dan No.130/104/ Tapem/2013

Kebijakan publik: konsep pelaksanaan. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia) Vol. 6,
No. 1, 2021, pp. 83-88.

Endah, K. (2016). Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Moderat: Jurnal Ilmiah


Ilmu Pemerintahan, 2(2), 797-804.

Firdian, I. (2022). PROSES PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI KOTA SUNGAI


PENUH TAHUN 2004-2016 (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS JAMBI).
Hartley, K., & Zhang, J. (2018). Measuring policy capacity through governance
indices. Policy capacity and governance: Assessing governmental competences and
capabilities in theory and practice, 67-97.

Hermansyah, R. N. (2014). Dampak Pemekaran Kecamatan Sungai Penuh Menjadi Kota


Sungai Penuh Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Aur
Duri (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Padang).

Ihwanul, I. (2024). ALIENASI KEBIJAKAN PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI PENUH


(STUDI: PENYERAHAN ASET PEMERINTAH KABUPATEN KERINCI KE
PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH) (Doctoral dissertation, Universitas
Andalas).

Kambuno, H. (2017). Pemekaran Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Doctoral dissertation, Tadulako University).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2020). Penyerahan Aset Kabupaten Kerinci


ke Kota Sungai Penuh Telah Dilakukan Secara Bertahap. Diakses pada 2 Mei 2024,
dari https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16560

La Suhu, B. (2011). PEMEKARAN DAERAH: PRO-KONTRA DAN KONSPIRASI (Studi


Tentang Konfigurasi Elit dalam Pemekaran Kabupaten Kepulauan Obi Halmahera
Selatan-Maluku Utara) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Maulana, A. (2019). Faktor-Faktor Pembentukan Daerah Otonomi Baru Dan Dampaknya


Terhadap Keuangan Negara. Ekuitas: Jurnal Pendidikan Ekonomi, 7(2), 53-67.

Muharman, A., Syamsir, S., Frinaldi, A., & Anisa, F. V. (2023). IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENYERAHAN ASET BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI
PENUH. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 10(2), 200-208.

Mumek, G. E. (2020). Tinjauan Yuridis Tentang Pembentukan Daerah Otonomi Baru


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Lex
Administratum, 8(4).
Muqoyyidin, A. W. (2014). Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Pasca Reformasi di
Indonesia Konsep Fakta Empiris dan Rekomendasi ke Depan. Jurnal Konstitusi, 10
(2), 288-289.

Nugroho, Riant. (2020). Public Policy. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Nuradhawati, R. (2019). Dinamika sentralisasi dan desentralisasi di Indonesia. Academia


Praja: Jurnal Ilmu Politik, Pemerintahan, dan Administrasi Publik, 2(01), 152-170.

Peters, B. G. (2015). Policy capacity in public administration. Policy and Society, 34(3-
4), 219-228.

Prihastuti, D. (2022). Tinjauan Yuridis Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Proses
Pemerintahan Dikaitkan Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah. Jurnal Legislasi Indonesia, 19(1), 29-41.

RAHMAN, T. A. (2023). ANALISIS POLICY CAPACITY TERHADAP QANUN


ACEH NOMOR 11 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 8(2).

Ramadan, I. A. (2022). SEJARAH SUNGAI PENUH 1958-2020 (Doctoral dissertation,


UNIVERSITAS JAMBI).

Suaib, R. (2020). Urgensi Pemekaran Daerah Di Indonesia. Jurnal Government Of


Archipelago-Jgoa, 1(1), 34-44.

Trisnawati, D. (2015). Pemekaran Daerah Di Kabupaten Bintan. Tesis. Umrah Tanjung


Pinang.

Vornika, M. (2018). Administrasi Pemerintahan Daerah: Kota Sungai Penuh Pada Masa
Otonomi Daerah. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 2(1), 85-91.

X. Wu, M. Ramesh & M. Howlett. (2017). Policy capacity: A conceptual framework for
understanding policy competences and capabilities. Policy and Society, 34:3-4, 165-
171

Yandra, A. (2016). Pembentukan Daerah Otonomi Baru Problematik dan Tantangannya


di Indonesia. Jurnal Niara, 8(2), 38-49.

Anda mungkin juga menyukai