Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS SPASIAL DAN TEMPORAL DEMAM BERDARAH DENGUE

DI KOTA TANJUNGPINANG TAHUN 2016

*Nur Fitriana Arifin1, M. Sakundarno Adi2, Suhartono3, Martini4, Ari Suwondo5


1
Mahasiswi Magister Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2Kepala Program
Studi Magister Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, 3Dosen Magister Sekolah
Pascasarjana Universitas Diponegoro, 4,5Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah dalam kesehatan
masyarakat, dengan kecenderungan berdasarkan moilitas dan kepadatan penduduk yang mengikuti pola
siklus kasus. Pada tahun 2016, terdapat 306 kasus DHF dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 0,32%.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis spasial kejadian Demam Berdarah Dengue berdasarkan
faktor-faktor klimatis (suhu, curah hujan, dan kelembaban), demografi (kepadatan populasi, jumlah
bangunan), program pengendalian DBD (larva-free number), dan peruntukkan lahan. Ini adalah
penelitian survey analitis deskriptif yang menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross-
sectional), dimana variabel penelitian diperiksa pada waktu yang sama dari keseluruhan populasi.
Pendekatan temporal spasial digunakan untuk menganalisa distribusi kasus-kasus dan untuk mengamati
perubahan iklim secara retrospektif yang mempengaruhi bentuk dari kejadian Dengue dan pola analisis.
Dengan menggunakan Global Positioning System (GPS), data dikumpulkan untuk menentukan koordinat
dari lokasi pasien. Hasil-hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi pasien DHF tertinggi di
Kota Tanjungpinang pada tahun 2016 adalah di Kecamatan Tanjungpinang Timur, yakni sebanyak 117
kasus dengan Incidence Rate sebesar 40,5 per 100.000 penduduk, sementara kasus DBD terendah ada di
Kecamatan Tanjungpinang Barat, yakni 19 kasus dengan Incidence Rate sebesar 9,2 per 100.000
penduduk. Sebagian besar kasus (34,2%) terjadi pada anak usia 5 sampai 9 tahun. Dalam hubungannya
dengan penggunaan lahan di Kota Tanjungpinang, sebagian besar area tempat tinggal terletak di
Kecamatan Tanjungpinang Timur. Pola-pola spasial yang beragam dalam aksesibilitas populasi juga
menyebabkan distribusi kasus DHF yang beragam, mengikuti mobilitas dari kegiatan manusia. Pola-pola
distribusi dari kasus DHF sangatlah dipengaruhi oleh pola-pola mobilitas populasi yang saat ini sangat
sulit untuk diprediksi dengan indikator yang tidak terencana (jumlah gedung, kepadatan populasi,
penggunaan lahan pemukiman). Kasus DHF sangat dipengaruhi oleh peubahan-perubahan dalam
lingkungan fisik, demografis dan topografi.

Kata Kunci: Demam Berdarah Dengue, Distribusi Spasial, Sistem Informasi Geografis, Kota
Tangjungpinang

PENDAHULUAN tinggi. Umumnya, pasien DBD mengalami


gejala demam tinggi mendadak selama 2-7 hari,
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang diikuti fase kritis. Pada fase kritis, pasien
merupakan penyakit menular yang disebabkan sudah tidak mengalami demam, namun ini
oleh virus dengue. Penyakit DBD tidak merupakan tanda awal terjadinya syok apabila
ditularkan secara langsung dari orang ke orang, terlambat dalam melakukan penanganan.
tetapi ditularkan kepada manusia melalui gigitan Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue
nyamuk Aedes aegypti yang menimbulkan menunjukkan kecenderungan meningkat baik
beberapa gejala, salah satunya gejala demam dalam jumlah, maupun luas wilayah yang

1
terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi penelitian terdahulu mengenai analisis spasial
Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun. menghasilkan informasi tentang pola
Meningkatnya penyebaran dan jumlah kasus penyebaran DBD cenderung berkelompok dan
demam berdarah dengue dapat disebabkan oleh dapat digunakan untuk upaya pengendalian
beberapa faktor yaitu kepadatan penduduk, berdasarkan wilayah sebaran.
meningkatnya urbanisasi dan mobilitas
penduduk serta kurangnya perilaku masyarakat MATERI DAN METODE
terhadap pembersihan sarang nyamuk.
Disamping itu nyamuk penular Demam Jenis penelitian ini adalah adalah studi
Berdarah Dengue hingga saat ini masih tersebar cross sectional dengan memanfaatkan data
luas hampir diseluruh pelosok Indonesia sekunder. Dalam studi ini, semua individu yang
sehingga penularan Demam Berdarah Dengue terkena penyakit Demam Berdarah Dengue
dapat terjadi di semua tempat/wilayah yang menjadi unit yang akan diteliti. Data mengenai
terdapat nyamuk penular tersebut. faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara dan
Kejadian penyakit pada hakikatnya curah hujan), data demografi penduduk
dipengaruhi oleh variabel kependudukan dan (kepadatan penduduk dan jumlah bangunan),
variabel lingkungan. Faktor kependudukan dan luas penggunaan lahan adalah data agregat
seperti kepadatan penduduk mempengaruhi yang selanjutnya akan dianalisis secara statistik
proses penularan atau pemindahan penyakit dari dan spasial untuk melihat kejadian kasus
satu orang ke orang lain. Faktor lingkungan Demam Berdarah Dengue di wilayah Kota
dalam kasus infeksi dengue terbagi menjadi Tanjungpinang.
faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak. Analisis spasial dilakukan dengan
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain bantuan software ArcGis untuk mengetahui ada
ketinggian wilayah, suhu permukaan, curah tidaknya korelasi antara faktor lingkungan fisik
hujan dan kelembaban. Sedangkan faktor yang dengan sebaran kasus Demam Berdarah Dengue
dapat dimodifikasi adalah perilaku (knowledge, berdasarkan unit analisis secara keseluruhan dan
attitude, practice). spatiotemporal. Setelah memperoleh peta
Adanya penyajian informasi dalam distribusi kasus, akan dilanjutkan dengan
bentuk pemetaan penyebaran penyakit dapat overlay peta penggunaan lahan wilayah
membantu dalam mendapatkan data secara cepat pemukiman untuk melihat pola sebaran serta ada
dan akurat mengenai persebaran penyakit yang tidaknya clustering kasus Demam Berdarah
terdapat di suatu daerah. Dalam bidang medis, Dengue pada suatu wilayah tertentu dengan
keberadaan sebuah peta sangat dibutuhkan. ArcGis.
Salah satunya yaitu peta persebaran penyakit di
suatu wilayah. Keberadaan suatu sistem HASIL DAN PEMBAHASAN
informasi mengenai pemetaan penyebaran
penyakit, merupakan solusi yang tepat untuk Hasil penelitian dapat dilihat bahwa
membantu menanggulangi permasalahan tentang pada tahun 2016 kejadian kasus DBD dengan
penyakit disuatu daerah. Selain itu, dengan jumlah tertinggi pada Kecamatan
menggunakan data-data melalui pemetaan Tanjungpinang timur sebanyak 117 kasus dan
dengan aplikasi berbasis Sistem Informasi 19 kasus di Kecamatan Tanjungpinang Barat.
Geografis akan dapat memberikan kemudahan Ada kecenderungan dari trend kasus diatas
dalam pengambilan keputusan dan penanganan bahwa jika suhu udara meningkat kasus DBD
penyebaran penyakit. menurun sedangkan jika suhu udara menurun
Penyelesaian masalah DBD dapat yaitu pada Bulan Juni kasus DBD cenderung
dilakukan dengan tekhnik analisis manajemen naik. Kelembaban Bulan Maret kelembaban 82
penyakit berbasis wilayah dengan analisis dengan jumlah kasus 30 dan terjadi kenaikan
spasial. Pemanfaatan analisis spasial kejadian kelembaban pada Bulan April 84 dan penurunan
DBD diharapkan dapat memberikan manfaat kasus menjadi 27 kasus.
untuk mengetahui pola penyebaran penyakit
DBD sehingga dapat menyelesaikan masalah
DBD berdasarkan luas wilayah. Salah satu

2
Curah Hujan dengan Kasus DBD di Kota
Tanjungpinang Tahun 2016
700 582,6
600
435,1
500 393,5 388,2
BESARAN

400 294,9 299,6


252 257,8
300 217,2 190,1
141,3
200 95,5
Kasus DBD
100 83 75 30 27 22 28 5 6 8 9 7 4
0 Curah Hujan (mm)
Mei
Maret

Agustus
Januari

Desember
September
April

Juni

Oktober
Nopember
Februari

Juli

BULAN

Untuk puncak curah hujan terjadi pada Bulan Januari yaitu 83 kasus dengan curah hujan 252
Nopember yaitu 582,6 mm dengan jumlah kasus mm.
sebanyak 3 dan puncak kasus pada Bulan

Kecamatan dengan hampir seluruh mempengaruhi terjadinya peningkatan


wilayah kelurahannya tergolong tinggi kasus DBD. Hal ini disebabkan
tingkat kepadatan penduduknya adalah banyaknya jumlah bangunan akan
Kecamatan Tanjungpinang Barat dengan meningkatkan jumlah tempat
luas daratan terkecil dibanding penampungan air seperti bak mandi,
kecamatan lainnya. Secara spasial dapat cekungan, talang atap dan tempat-tempat
diartikan bahwa jumlah bangunan lain yang memungkinkan sebagai tempat

3
perindukan nyamuk bila jarang Tanjungpinang, wilayah pemukiman
dibersihkan. Disamping itu bangunan yang ditandai dengan warna kuning
yang kosong dan bangunan yang sering muda terdapat disebagian besar wilayah
ditinggal oleh pemiliknya dan terdapat Kecamatan Tanjungpinang Timur.
genangan air dapat menjadi faktor risiko
penularan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD). Penggunaan lahan di
Kota

4
Penyakit Demam Berdarah Dengue disebagian besar wilayah Kecamatan
masih merupakan masalah besar dalam Tanjungpinang Timur.
kesehatan masyarakat dan menimbulkan
dampak sosial maupun ekonomi. Hal ini KESIMPULAN
disebabkan karena Demam Berdarah Dengue
adalah penyakit yang angka kesakitan dan 1. Sebaran kasus DBD
kematiannya masih tinggi. Studi ini Kasus DBD menyebar hampir di semua
menganalisa distribusi spatial dan temporal kelurahan yang ada di 4 wilayah
kasus DBD di Kota Tanjungpinang pada bulan Kecamatan Kota Tanjungpinang
Januari – Desember 2016 mendapatkan (Kecamatan Bukit Bestari, Kecamatan
gambaran spasial dan temporal kasus Demam Tanjungpinang Timur, Kecamatan
Berdarah Dengue yang dapat mendeskripsikan Tanjungpinang Kota dan Kecamatan
demografi, dan geografi terhadap penyebaran Tanjungpinang Barat) dengan CFR (Case
DBD sehingga dapat memberi petunjuk Fatality Rate) tahun 2016 sebesar 0,65%
dimana intervensi kesehatan masyarakat yang dan IR (Incidence Rate) 148,48 per 100.000
efektif harus diterapkan dalam tindakan penduduk
pencegahan penyakit DBD. 2. Berdasarkan waktu
Siklus kehidupan nyamuk tergantung Sebaran kasus DBD di Kota Tanjungpinang
pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat tahun 2016 tertinggi terjadi bulan Januari
mengatur suhu tubuhnya sendiri, suhu rata-rata yaitu sebesar (27,3%) dan hanya 1,3% pada
untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 25oC Bulan Desember. Terjadi trend penurunan
– 27oC. Nyamuk juga dapat bertahan hidup dan fenomena pergeseran waktu.
pada suhu rendah tetapi proses 3. Berdasarkan tempat
metabolismenya menurun bahkan berhenti bila Sebaran kasus di Kota Tanjungpinang
suhu turun sampai dibawah suhu kritis dan tahun 2016 tertinggi di Kecamatan
pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami Tanjungpinang Timur yaitu sebesar 117
perubahan proses fisiologinya. kasus. IR (Incidence Rate) 40,5 per
Curah hujan akan menambah 100.000 penduduk dan terendah di
genangan air yang dapat digunakan sebagai Kecamatan Tanjungpinang Barat yaitu 19
tempat perindukan nyamuk dan menambah kasus dengan IR (Incidence Rate) 9,2 per
kelembaban udara. Suhu udara dan 100.000 penduduk.
kelembaban udara selama musim hujan sangat 4. Berdasarkan golongan Umur
kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk Sebaran kasus kejadian DBD di Kota
dan terinfeksi. Setelah musim hujan akan Tanjungpinang tahun 2016 sebagian besar
menimbulan genangan air pada tempat (34,2% ) terjadi pada usia 5-9 tahun.
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti 5. Berdasarkan jenis kelamin
yang pada musim kemarau tidak terisi air, Sebaran kasus DBD lebih dominan pada
mulai tergenang dan telur yang tadinya belum jenis kelamin perempuan tahun 2016
sempat menetas akan menetas. proporsi pada perempuan sebesar 50,3%
Tingkat kepadatan penduduk di Kota dan tidak berbeda jauh dengan proporsi
Tanjungpinang yang terus bertambah dan pada laki-laki yaitu 49,7%.
transportasi yang semakin baik semakin rawan 6. Berdasarkan tingkat kepadatan penduduk
dengan penularan DBD apabila tidak disertai Kecamatan paling padat penduduknya
dengan pencegahan berkembangnya nyamuk tahun 2016 adalah Kecamatan
Aedes aegypti. Jarak antar rumah, Tanjungpinang Barat (tingkat kepadatan
pencahayaan, bentuk bangunan dan kualitas penduduk 10.035 per Km2 dengan IR (9,2
perumahan akan mempengaruhi penularan. per 100.000 penduduk) dan teredah di
Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya Kecamatan Tanjungpinang Kota (tingkat
maka akan menularkan penyakit pada orang kepadatan penduduk 442 per Km2) dengan
lain yang tinggal di rumah tersebut atau rumah IR (39,67 per 100.000 penduduk).
disekitarnya yang berada dalam jarak terbang 2. Berdasarkan Angka Bebas Jentik
nyamuk dan orang-orang yang berkunjung di a. Kecamatan yang memiliki nilai angka
rumah itu. Penggunaan lahan di Kota bebas jentik paling rendah sebesar
Tanjungpinang, wilayah pemukiman yang 82,88% adalah Kecamatan
ditandai dengan warna kuning muda terdapat Tanjungpinang Kota, sedangkan

5
Kecamatan yang memiliki nilai angka Kecamatan Tanjungpinang Timur dengan
bebas jentik paling tinggi sebesar pola sebaran yang cenderung mengelompok
86,23% adalah Kecamatan di beberapa kelurahan. Ada kecenderungan
Tanjungpinang Timur. semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk
b. Berdasarkan Jumlah Bangunan dan kepadatan rumah akan semakin tinggi
Persebaran jumlah bangunan di Kota kejadian DBD. Adanya analisis spasial
Tanjungpinang untuk setiap Kecamatan. dapat digunakan untuk melihat pola
Kecamatan yang jumlah bangunan penularan DBD di berbagai desa di setiap
paling rendah sebanyak 3.856 adalah kecamatan, sehingga peta tersebut dapat
Kecamatan Tanjungpinang Kota, dijadikan bahan untuk pengambilan
sedangkan Kecamatan yang memiliki keputusan dan kebijakan dalam
jumlah bangunan paling tinggi sebanyak penanggulangan penyakit DBD.
20.334 adalah Kecamatan
Tanjungpinang Timur. SARAN
3. Berdasarkan Luas penggunaan lahan
Penggunaan lahan di Kota Tanjungpinang, 1. Bagi Institusi Kesehatan Kota
wilayah pemukiman yang ditandai dengan Tanjungpinang
warna kuning muda terdapat disebagian a. Tenaga kesehatan di Kota
besar wilayah Kecamatan Tanjungpinang Tanjungpinang terutama Program P2
Timur. Wilayah pemukiman yang terfokus DBD melakukan analisis perubahan
pada wilayah tertentu ini dikarenakan karakteristik kewilayahan (analisis
persentase perumahan di Kota spasial) secara temporal, sehingga
Tanjungpinang lebih besar dibandingkan pengelola Program P2 DBD perlu
dengan luas penggunaan lahan lainnya diberikan pelatihan dalam meingkatkan
misalnya hutan lindung, hutan produksi, keterampilan dan profsionalisme dalam
hutan produksi konversi, hutan produksi pengembangan ilmu dan pengetahuan
terbatas, pertambangan, industri, pertanian, dan teknologi (IPTEK) spasial.
waduk dan lain-lain. b. Progam surveilans DBD pada Dinas
4. Kondisi Klimatologis Kota Tanjungpinang dapat
a. Curah hujan menggunakan salah satu alternatif
Curah hujan tertinggi terjadi di Kota analisis spasial dalam tatakelola
Tanjungpinang pada Bulan Juni 2016 penyakit DBD.
yaitu sebesar 435,1 mm dengan IR (13,6 c. Diperlukan sistem pencatatan data
per 100.000 penduduk) dan terendah penderita DBD yang lebih baik agar
pada Bulan Maret yaitu 95,5 dengan IR memudahkan surveilen dan intervensi
(14,6 per 100.000 penduduk), dengan untuk penelitian lebih lanjut, serta
jumlah hari hujan yang fluktuatif. implementasi dari hasil penelitian.
b. Suhu udara d. Diharapkan adanya peningkatan health
Rata – rata suhu udara Kota promotion seperti penyuluhan yang
Tanjungpinang tahun 2016 tertinggi berkaitan dengan penyakit DBD kepada
terjadi pada bulan April dan Mei yaitu masyarakat oleh instansi terkait agar
Oktober 28,2 0C dan terendah terjadi dapat mencegah peningkatan dan
pada bulan Februari dan Desember yaitu penyebaran kasus DBD di Kota
27,3 0C dan rata-rata pertahun sebesar Tanjungpinang.
27,6 0C. e. Melaksanakan pemantauan jentik secara
c. Kelembaban udara rutin terhadap penampungan air hujan
Rata – rata kelembaban udara Kota dan tempat breeding places lainnya
Tanjungpinang tahun 2016 tertinggi serta menjalin kemitraan dengan
terjadi pada bulan November yaitu institusi, lembaga swadaya masyarakat
sebesar 88 % Januari dan terendah dan usaha guna mewujudkan daerah
terjadi pada bulan Maret dan Agustus tersebut bebas dari penyakit Demam
yaitu sebesar 82% dan ratarata pertahun Berdarah Dengue (DBD).
sebesar 85%. 2. Bagi Masyarakat
5. Analisis spasial menunjukkan bahwa a. Membersihkan tempat penampungan air
sebaran kasus DBD terbanyak terjadi di bersih yang selalu terbuka seperti bak

6
mandi secara berkesinambungan atau Indonesia. 2010.
memasukkan ikan cupang untuk
menghentikan jentik Aedes aegypti atau 5. Dom, N. C. Distribution pattern of a
menaburkan bubuk pembunuh jentik dengue fever outbreak using GIS.
Aedes aegypti. Journal Environmental Health
b. Menutup semua tempat penampungan Research. 2009;9(2).
air hujan sebelum dan sesudah
digunakan. 6. Hau V Pham, Huong TM Doan, Thao
c. Peningkatan peran serta aktif TT Phan and Nguyen N Tran Minh.
masyarakat dalam pencegahan dan Ecological factors associated with
penanggulangan penyakit Demam dengue in a central highlands province,
Berdarah Dengue dengan melakukan Vietnam. BMC Infectious Disease.
3M plus (Menguras, menutup dan 2011;11:172.
mengubur serta mendaur uang barang- 7. Siti Yusnia W N. Analisis
barang bekas, serta plus terdiri dari: spasiotemporal kasus DBD di
Menaburkan bubuk larvasida pada Kecamatan Tembalang Bulan Januari -
tempat penampungan air yang sulit Juni 2009. 2009.
dibersihkan, Menggunakan obat
nyamuk/anti nyamuk, Menggunakan 8. Yudianto, Didik Budijanto, Boga
kelambu saat tidur, Memelihara ikan Hardhana, Titi Aryati Soenardi. Profil
pemangsa jentik nyamuk, Menanam Kesehatan Indonesia Tahun 2014.
tanaman pengusir nyamuk, Mengatur Kementerian Kesehatan Republik
cahaya dalam ventilasi rumah dan Indonesia. 2015.
Menghindari kebiasaan menggantung 9. Badan Pusat Statistik Kota
pakaian di dalam rumah yang bisa Tanjungpinang. Tanjungpinang
menjadi tempat peristiarahatan nyamuk. municipality in figures. BPS. 2016.
Peningkatan peran serta masyarakat
dilakukan dengan penyuluhan melalui 10. Yudianto, Didik Budijanto, Boga
media massa dengan berbagai acara Hardhana, Titi Aryati Soenardi. Profil
serta kegiatan sosial lainnya). Kesehatan Indonesia Tahun 2014.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2014.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Dengue 11. World Health Organization. The


guidelines for diagnosis, treatment, dengue strategic plan for The Asia
prevention and control. (WHO Library Pacific Region 2008 - 2015. WHO.
Cataloguing-in-Publication Data).2009 2008.

2. Aryu Chandra. Dengue hemmorhagic 12. Paul Elliot, D. W. Spatial


fever: Epidemiology, pathogenesis and epidemiology: Current approaches and
its transmission risk factor. Aspirator future challanges. Environmental
2. 2010;110–119. Health Perspectives. 2004:112(9):998-
1006.
3. UF, Achmadi. Manajemen demam
berdarah berbasis wilayah buletin 13. Departemen Kesehatan RI. Panduan
jendela epidemiologi. Pusat data dan peningkatan peran serta masyarakat
surveilance Epidemiologi. Kementerian dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk
Kesehatan Republik Demam Berdarah Dengue (PSN DBD).
Indonesia.2013;2:15–20. Ditjen P2PL: Jakarta. 2003.

4. Admiral. Analisis spasial area makam 14. Masrizal. Analisis epidemiologi


dan faktor risiko lainnya penyakit penyakit Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) di melalui pendekatan spasial temporal
Kota Administrasi Jakarta Selatan dan hubungannya dengan faktor iklim
Tahu 2007 - 2009. Tesis. Universitas di Kota Padang Tahun 2008 - 2010.

7
2010. Dengue & Demam Berdarah Dengue.
2004.
15. Farahiyah, M. Analisis spasial faktor
lingkungan dan demografi penduduk 25. Sa’adah, M. Faktor risiko host definitif
dengan kejadian Demam Berdarah dan environment terhadap kejadian
Dengue (DBD) di Kabupaten Demak. Demam Berdarah Dengue (DBD) pada
Tesis. Universitas Diponegoro. 2013. orang dewasa. Tesis. Universitas
Diponegoro: Semarang. 2013.
16. Hasyim, H. Analisis spasial Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi 26. Sembel D T. Entomologi. 2009.
Sumatera Selatan. 2009.
27. Widoyono. Penyakit tropis:
17. Boewono, Damar Tri, Widiarti, Epidemiologi, penularan, pencegahan
Ristianto Analisis spasial dstribusi dan pemberantasannya. Erlangga:
Demam Berdarah Dengue (DBD) Kota Jakarta. 2008.
Bontang Provinsi Kalimantan Timur.
Buletin Penelitian Kesehatan. 28. P2PL, Dirjen. Pemberantasan nyamuk
2012;40(3):100–108. penular Demam Berdarah Dengue.
2005.
18. Yuli Peristiowati, Lingga, H. Evaluasi
pemberantasan Demam Berdarah 29. Sudariyanto. Analisis spasial
Dengue dengan metode spasial karakteristik wilayah dengan kejadian
Geographic Information System (GIS) DBD di Kabupaten Pekalongan.
dan identifikasi Tipe Virus Dengue di Universitas Diponegoro: Semarang.
Kota Kediri. Jurnal Kedokteran 2016.
Brawijaya. 2014; 28(2).
30. Iswono. Analisis karakteristik wilayah
19. Salam, Ilham. Analisis pola spasial dan analisis faktor risiko Demam
penyakit Demam Berdarah Dengue Berdarah Dengue di Kota Pontianak
menggunakan Sistem Informasi Tahun 2008. Universitas Diponegoro:
Geografis di Kota Makassar Tahun Semarang. 2011.
2013. Universitas Hasanuddin. 2013.
31. Muhammad Rizki Febrianto. Analisis
20. World Health Organization. Dengue spasiotemporal kasus Demam
haemorrhagic fever: Diagnosis, Berdarah Dengue di Kecamatan
treatment, prevention and control. in Ngaliyan Bulan Januari - Mei 2002.
Second Edition. WHO. 1997. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro: Semarang. 2012.
21. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Modul pengendalian 32. Kemenristek Indonesia. Modul 3
Demam Berdarah Dengue. Direktorat Analisis Spasial. Jakarta. 2007.
Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. 33. Astuti, H. D. Perancangan Sistem
Informasi Geografis DBD di wilayah
22. S, Juwono. Pengendalian nyamuk Kota Depok dengan menggunakan
vektor peyakit dengan perhatian khusus Arcview.Universitas Gunadarma:
pada vektor DBD. Bagian Parasitologi Jakarta.
Fakultas Kedokteran. Universitas
Gajah Mada: Yogyakarta. 2004. 34. Setyawan, Dodiet Aditya. Pengantas
Sistem Informasi Geografis (Manfaat
23. Kementerian Kesehatan Republik SIG dalam Kesehatan Masyarakat).
Indonesia. Pedoman pengendalain Politeknik Kesehatan Surakarta. 2014.
Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. 2013. 35. Yusnia, Siti. Analisis spasiotemporal
kasus DBD di Kecamatan Tembalang
24. World Health Organization. Panduan Bulan Januari - Juni 2009. Universitas
legkap: Pencegahan dan pengendalian Diponegoro: Semarang. 2009.

8
36. G N, Malavige, S Fernando, D J Lingkungan dan Kejadian DBD di
Fernando. Dengue Viral Infections. Kabupaten Demak. Buletin Penelitian
BMJ. 2016. Kesehatan. 2014; 42(1):25–26.

37. Badan Pusat Statistik Kota 48. Wiwik Setyaningsih, Dodiet Aditya.
Tanjungpinang. Kota Tanjungpinang Pemodelan Sistem informasi Geografis
Dalam Angka Tahun 2017. BPS: (SIG) Pada Distribusi Penyakit Demam
Tanjungpinang. 2017. Berdarah Dengue Di Kecamatan
Karangmalang Kabupaten Sragen.
38. Badan Pusat Statistik Kota Jurnal Terpadu Ilmu
Tanjungpinang. Kota Tanjungpinang Kesehatan.3(2):106–214.
Dalam Angka Tahun 2016. BPS:
Tanjungpiang. 2016. 49. Muliansyah, Tri Baskoro. Analisis Pola
Sebaran Demam Berdarah Dengue
39. Departemen Kesehatan RI. Ekologi dan Terhadap Penggunaan Lahan Dengan
Aspek Perilaku Vektor. Direktorat Pendekatan Spasial Di Kabupaten
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Banggai Provinsi Sulawesi Tengah
Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Tahun 2011-2013. Journal of
2007. Information Systems for Public Health.
2013;1(1).
40. Sitorus, J. Hubungan Iklim dengan
Kasus Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kotamadya Jakarta Timur
tahun 1998-2002. Universitas
Indonesia: Jakarta. 2003.

41. S, Sungkar. Bionomik Aedes aegypti


Vektor Demam Berdarah Dengue.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2005;
55(4).

42. Solihin, G. Ekologi Vektor Demam


Berdarah Dengue. Warta Kesehatan
TNI-AL. 2004;12(1).

43. Chandra. Studi Epidemiologi Kejadian


Demem Berdarah Dengue dengan
Pendekatan Spasial Sistem Informasi
Geografis di Kecamatan Palu Selatan
Kota Palu. 2008.

44. Sintorini. Pengaruh Iklim Terhadap


Kasus Demam Bedarah Dengue. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional.
2007;2(1).

45. EHP. Dengue Reborn Widespread


Resurgence of A Resilient Vector.
Environmental Health Perspective.
2008; 9: 116.

46. Achmadi. Manajemen Penyakit


Berbasis Wilayah. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2009;3(4).

47. Farahiyah, Musyarifatun, Nurjazuli,


Onnie Setiyani. Analisis Spasial Faktor

Anda mungkin juga menyukai