Pertama, hybrid contract yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru,
seperti bai’ istighlal, bai’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’.
Bai’ Tawarruq
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang
menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian
pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan
pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti
mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.1[2]
Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang artinya : simbol atau
karakter dari perak (silver). Kata tawarruq ini di gunakan untuk mengartikan, mencari perak,
sama dengan kata Ta‘allum, yang arti nya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kata
Tawarruq dapat di arti kan dengan lebih luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara
yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lain nya. Secara literatur arti nya adalah
berbagai cara yang di tempuh untuk mendapat kan uang tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini
di perkenal kan oleh Mazhab Hanbali. Mazhab Syafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan
“zarnagah”, yang artinya bertambah atau berkembang.2[3]
Berdasarkan hasil studi kepustakaan ditemukan berbagai penelitian yang membahas
tentang tawarruq. Prof. Dr. Ibrhim Fadhil Dabu dalam jurnalnya yang berjudul Tawarruq, It’s
Reality and Types menyimpulkan bahwa ada dua jenis tawarruq yaitu klasik tawarruq (tawarruq
klasik) dan organized tawarruq. Selain itu juga diungkapkan bahwa sebagian besar ulama klasik
dan ulama komtemporer memperbolehkan tawarruq klasik karena kenyataannya bebas dari riba
dan tidak mengandung transaksi ’inah. Adapun organized tawarruq dilarang oleh sebagian besar
ulama kontemporer karena terdapat riba didalamnya. Salah Al Shalhoob dalam jurnalnya yang
berjudul Organized Tawarruq In Islamic Law menyimpulkan bahwa organized tawarruq yang
dipraktekkan dewasa ini tidak dapat diterima dalam hukum islam. Namun demikian
menurutnya, organized tawarruq masih lebih baik dari pada mempraktekkan riba karena
setidaknya ada beberapa ulama yang tidak sependapat bahwa organized tawarruq dilarang, disisi
lain terdapat konsensus bahwa riba dilarang dalam hukum islam. Dengan demikian, jika
seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan dana untuk sesuatu yang penting, seperti untuk
tempat tinggal, berobat dan sebagainya, terdapat jalan yang membolehkan bagi mereka dalam
memenuhi kebutuhan tersebut.
Selanjutnya, seorang pakar ekonomi syariah asal negeri jiran Malaysia, Dr.Aznan Hasan
mengemukan pendapat yang agak berbeda tentang Organanized tawarruq. Dalam jurnalnya yang
berjudul “Why Tawarruq Needs To Stay; Strengthen the practice, rather than probihiting it”,
Dr.Aznan Hasan mengemukakan pandangan atas keputusan OIC’s International Fiqh Academy
Council yang melarang praktek organized tawarruq dan reverse tawarruq. Menurutnya,
memperbaiki praktek tawarruq lebih baik dari pada melarangnya. Ada beberapa kondisi atas
praktek tawarruq yang tidak sesuai dengan hukum islam dan hal tersebut dapat diperbaiki
sehingga pada akhirnya transaksi tawarruq dapat diterima dan diperbolehkan.
Sementara itu, Dr. Engku Rabiah Adawiah Engku Ali yang juga dari Malayasia, dalam
tulisannya yang berjudul Bay’ Al-‘Inah and Tawarruq; Mechanisms and Solutons yang
terangkum dalam buku berjudul Essential Reading in Islamic Finance (2008), menyimpulkan
bahwa kontroversi seputar kontrak jual beli al-‘Inah dan tawarruq paling utama mengenai
polemik klasik tentang adanya hilah. Sepanjang hilah dianggap sebagai momok bagi agama dan
ajarannya, bay’ al-‘Inah dan tawarruq sebagaimana yang dipraktekkan oleh perbankan dan
lembaga keuangan syariah tidak akan pernah diterima secara positif sebagai alternatif atas
praktek berbasis riba pada perbankan dan lembaga keuangan konvensional. Selanjutnya, jika
hilah dipandang sebagai sebuah mekanisme untuk memecahkan masalah kebutuhan yang
mendesak dari masyarakat, maka ada peluang praktek tersebut dapat diterima sebagai alternatif
sesuai syariah.
Syaikh Utsaimin menyaratkan bolehnya dengan beberapa ketentuan yaitu;
1) Ia butuh melakukan transaksi tersebut dengan kebutuhan yang jelas.
2) Sulit baginya memenuhi keperluannya dengan jalan Al-Qardh (pinjaman) maupun lainnya.
3) Hendaknya barang yang akan ditransaksikan telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.
Memperhatikan ketentuan yang disyaratkan oleh Syaik Utsaimin tersebut diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa dibolehkannya seseorang melakukan transaksi tawarruq harus untuk
kebutuhan yang jelas dan memang tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang tunai serta
terpenuhinya syarat-syarat syahnya jual beli.
Sementara itu, Ulama kontemporer Dr. Rafik Yunus Al-Misri berpendapat bahwa hukum
tawarruq bervariasi tergantung dari kondisi diantaranya;
1) Jika ketiga pihak yang terlibat dalam tawarruq mengetahui bahwa tujuan utama dari pembeli
menggunakan transaksi tawarruq adalah untuk mendapatkan uang tunai, maka semua mereka
berdosa.
2) Jika dua pihak mengetahui bahwa penjual telah menggunakan transaksi tawarruq untung
mendapatkan uang tunai maka mereka berdua berdosa.
3) Namun jika mereka tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari penjual, maka mereka tidak
berdosa.
4) Seseorang diperbolehkan melakukan tawarruq hanya dalam keadaan sangat
membutuhkan/terdesak.
Berdasarkan poin 1 dan 2 diatas, dapat dikatakan bahwa tawarruq diperbolehkan jika
tidak bersifat dikondisikan oleh pihak-pihak yang terlibat. Adapun poin 3 lebih menekankan
bahwa tawarruq diperboleh hanya untuk memenuhi kebutuhan yang benar-benar
dibutuhkan/mendesak seperti untuk membayar hutang atau untuk berobat.
Bai’ Wafa’
Secara etimologi bai’ berarti jual-beli, dan wafa’ berarti pelunasan atau penutupan
hutang. Bai’ wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara
(Bukhara dan Balkh), pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke timur-tengah. Secara
terminologi diartikan sebagai jual-beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang
dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah
tiba.
Artinya jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun,
sehingga apabila waktu setahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari
pembelinya. Misalnya, Ruslan sangat memelukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas
dua hektar kepada riadi seharga Rp. 10.000,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan
bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Ruslan akan membeli sawah itu
kembali seharga penjualan semula, yaitu Rp. 10.000,- kepada Riadi. Disebabkan akad yang
digunakan jual-beli maka tanah sawah boleh dieksploitasi Riadi selama dua tahun itu dan dapat
ia manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan
bagiya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Mustafa Ahmad al-
Zarqa’ mengatakan, bahwa barang yang diperjualbelikan dalam bai’ wafa’ adalah barang tidak
bergerak, seperti tanah perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan sawah.4[5]
Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam.
Banyak diantara orang kaya ketika ia tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang
mereka terima. Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi hutangnya
akibat imabalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan jumlah uang yang mereka
pinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang ini, menurut
ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika
itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.5[6]
Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqh sunahnya menyatakan bahwa bai’ al-wafa’ adalah orang yang
butuh, menjual suatu barang dengan janji. Janji tersebut menyatakan bila pembayaran telah
dipenuhi (dibayar kembali), barang dikembalikan lagi.
Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam pengantar fiqh Muamalahnya
menyatakan bahwa bai’ al-wafa’ adalah akad jual beli dimana salah satu pihak atau penjual
mempunyai hak menarik atau membeli kembali pada barang yang telah dijualnya kepada
pembeli.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa bai’ al-wafa’ ini mempunyai batas tenggang
waktu yang terbatas misalnya satu tahun, dua tahun dan sebagainya tergantung kesepakatan.
Apabila tenggang waktu tersebut telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari
pembelinya.
Dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam, masyarakat
Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan
bai’ al-wafa’. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada
imbalan yang mereka terima. Sementara itu, banyak pula para peminjam uang tidak mampu
melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan. Sementara menurut ulama fikih,
imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang termasuk rib
Nama-nama bai’ wafa
Pada awal perkembangannya di Syiria, bai’ wafa’ disebut juga bai’ itha’ah.
Di Mesir dinamakan Ba’i al-Amanah.
Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad.
Ulama Hanabilah menyebutnya bai’ amanah.
Hanfiyah menyebutnya selain bai’ wafa, juga bai’ jaiz (artinya jual beli dibolehkan karena bersih
dari riba).6[7]
Bai’ Istighlal
Bai Istighlal jual-beli barang dijual secara bai’ wafa, selanjutnya penjual menyewa
kembali barang tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan
menyewakannya kepada penjual sendiri.10[11] Rumusan Definisi Bai’ Istighlal Menurut
Majallah al-Ahkam al-’Adliyah
Pasal 119:
Jual beli istighlal ialah jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali barang
yang dijualnya dari pembeli.
Contoh : Si A menjual rumah kepada si B dengan harga 1 milyar rupiah, kemudian si A
menyewa rumah itu kembali dengan harga Rp 80. Juta untuk jangka waktu satu tahun.
Sukuk dengan konsep Bai’ Istighlal
Berdasarkan rumusan konsep bay istighlal, maka sukuk (obligasi syariah) dapat menggunakan
tersebut dalam penerbitan SBSN.
Konsep sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain adalah Bai’ Istighlal, yaitu bai’ wafa’
yang disertai ijarah di dalamnya.
Sukuk Bai’ Istighlal
Obligasi dengan Bai’ Istighlal (tanpa SPV)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun
mendatang.
2. Sekarang asset menjadi milik Investor. Selanjutnya pemerintah menyewa (ijarah) asset itu
kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan.
3. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tsb.
Para ahli ekonomi saat ini menyebut produk ini dengan Sukuk ijarah. Padahal menurut
konsep fiqh muamalah namanya adalah Bai’ Istighlal.
Bai’ Istighlal (Obligasi Ijarah)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun
mendatang.
2. Dana Investor masuk ke pemerintah.
3. Pemerintah sbg issuer (penerbit sukuk) menyerahkan sukuk kepada investor.
4. Sekarang asset menjadi milik Investor secara syirkah, Dalam masa 10 tahun, pemerintah
menyewa (ijarah) asset tersebut kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan sekali.
5. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.
Musyarakah mutanaqisah
Musyarakah Mutanaqisah adalah bentuk akad kerjasama dua pihak atau lebih dalam kepemilikan suatu aset,
yang mana ketika akad ini telah berlangsung aset salah satu kongsi dari keduanya akan berpindah ke
tangan kongsi yang satunya, dengan perpindahan dilakukan melalui mekanisme pembayaran secara
bertahap. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.
Landasan hukum akad Musyarakah Mutanaqisah terdapat dalam Al-Qur’an (Surat Shad [38], ayat 24 dan
Surat al-Zukhruf [43], ayat 32) , Hadist, Ijma Ulama, dan Fatwa DSN-MUI Nomor73/DSN-
MUI/IX/2008tentang Musyarakah Mutanaqisah.
Ketentuan Hukum
Ketentuan Akad
1. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad Musyarakah/ Syirkah dan Bai’ (jual-
beli)
2. Dalam Musyarakah Mutanaqisah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa
DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya
memiliki hak dan kewajiban, di antaranya:
3. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk
menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib
membelinya.
4. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai kesepakatan.
5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya
(nasabah).
[Ketentuan Khusus]
1. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.
2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa
aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan.
Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan
para syarik.
4. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang
akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.
5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan
kepemilikan menjadi beban pembeli.
Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah
Contoh kasus 1
1. Bank syariah dan nasabah perorangan atau perusahaan melakukan perjanjian pembiayaan
dengan akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) dalam jangka waktu 3 tahun berupa
KPR ib sebagaimana yang disepakati para pihak dengan total modal kemitraan MMQ
senilai misalnya Rp 500 juta di mana porsi Bank sebesar 72% senilai 360 juta dan porsi
nasabah sebesar 28% senilai Rp 140 juta dengan nisbah pembagian keuntungan 60 : 40.
2. Bank menyalurkan dana senilai porsi modalnya (hishshah) dan nasabah menyetorkan
dana senilai porse modalnya (hishsha) sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
kesepakatan para pihak
3. Pembiayaan MMQ digunakan untuk pembelian aset MMQ sebagai modal usaha bersama
antara Bank dan nasabah berupa mobil atau rumah untuk disewakan (ijarah)
4. Penyewa aset/aktiva MMQ sebagai objek usaha bersama yang dapat disewa sendiri oleh
nasabah selaku konsumen penyewa (mu’jir) dengan membayar sewa (ujrah) yang
hasilnya dibagi hasilkan antara Bank dan nasabah sesuai nisabah yang disepakati.
5. Pembayaran uang sewa (ujrah) oleh Nasabah selaku konsumen penyewa (musta’jir)
kepada kemitraan usaha yang dimiliki bersama (Bank dan Nasabah MMQ) selaku sewa
(mujir) sebesar misalnya Rp 10 juta perbulan
6. Pembagian hasil usaha penyewaan rumah atau mobil berupa pendapatan Rp 10 juta/bulan
antara Bank dan nasabah sesuai nisbah bagi hasil, Bank mendapat bagi hasil sebesar Rp 6
juta dan nasabah mendapat bagi hasil sebesar Rp 4 juta.
7. Pembayaran bagi hasil yang wajib disetorkan nasabah kepada Bank sebesar Rp 6
juta/bulan dan pendapatan bagi hasil nasabah selaku nasabah mitra MMQ sebagai salah
satu bagian sumber pembayaran angsuran pokok untuk pengambilalihan porsi modal
(hishshah) Bank oleh nasabah.
8. Disamping membayar bagi hasil, nasabah setiap bulan juga membayar angsuran pokok
sebesara Rp 10 juta untuk pengambilalihan porsi modal (hishshah) bank sampai dengan
berakhirnya masa perjanjian pembiayaan MMQ, dimana seluruh aset MMQ menjadi
milik penuh nasabah.
Contoh Kasus 2
PT. Lancar Jaya Shipyard merupakan suatu perusahaan transportasi kapal membutuhkan modal
kerja untuk operasional usaha sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar Rupiah) dan
mengajukan fasilitas pembiayaan pada BRISyariah Cabang Palembang, berdasarkan surat
permohonan PT. LJS tanggal 28 April 2011, dan bank telah menyetujui pemberian fasilitas
dengan skema Musyarakah dengan plafond Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah)
berdasarkan Surat Persetujuan Pemberian Pembiayaan (SP3) / offering letter tertanggal 05 Mei
2011 dengan analisa pembiayaan sebagai berikut:
1. PT. LJS telah beroperasi penuh selama 5 tahun dan memiliki armada 3 unit kapal mother
vessel (bulk Carrier), 2 unit tug boat dan 3 unit barge dengan analisa keuangan sbb :
1. total asset sebesar Rp. 648.000.000.000,-;
2. Bank Loan sebesar Rp. 34.000.000.000,- (dengan hasil BI Checking positif/lancar
dan tidak masuk dalam DHN)
3. Total sales Rp. 73.000.000.000,-
4. Total equity Rp.64.000.000.000,-
5. Growth pertahun 35%
2. Pendapatan Perusahaan PT. LJS sebagian besar berasal dari shipment batu bara yang
dipesan oleh PT. KII (berdasarkan kontrak dengan PT. PLN dan dalam kurun waktu 1
(satu) tahun perusahaan tersebut dapat membukukan keuntungan sebesar Rp.
35.000.000.000,- (tiga puluh lima milyar rupiah);
3. Untuk biaya operasional kapal pertahun sebesar Rp. 6.000.000.000,- ;
4. PT. LJS telah memperoleh kontrak (Perjanjian Pengangkutan) batubara dari PT. KII
(selaku supplier batu bara ke PT. PLN) selama jangka waktu 1 tahun dengan total kontrak
Rp.8.000.000.000,-
5. Ybs hendak memperoleh fasilitas pembiayaan modal kerja pada BRISyariah dengan
jangka waktu 1 tahun berdasarkan kontrak tersebut dengan porsi 62% untuk BRISyariah
dan 28% porsi PT. ASS ;
Obyek Musyarakah : Pekerjaan dari PT. KII dengan nilai pekerjaan sebesar Rp.
8.000.000.000,- untuk pekerjaan pengangkutan batu bara pesanan PT. PLN.
Porsi Pembiayaan : Bank sebesar Rp. 6.000.000.000,- (75%) : Nasabah sebesar Rp.
2.000.000.000,- (25%)
Dokumen Pengikatan
1. Akad Musyarakah
2. Akta Pembebanan Hipotek
3. Lampiran (Tanda terima Barang, Tanda Terima Uang dan Proyeksi Pendapatan)