Anda di halaman 1dari 73

1

PENERAPAN E-GOVERNMENT DALAM PENINGKATAN


AKUNTABILITAS PENGELOLAAN ANGGARAN DAERAH
PEMERINTAHAN KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL

Oleh
Rahmatullah Muhajir Putra
NIM 170920101010

MAGISTER ILMU ADMINISTRASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019
2

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 13
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 14
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................... 14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 15
2.1 Konsep Pelayanan Publik....................................................................
2.1.1 Unsur-Unsur Pelayanan Publik ...................................................
2.1.2 Azas, Bentuk, dan Prinsip Pelayanan Publik...............................
2.1.3 E-Government : Akuntabilitas Pelayanan Publik.........................
2.2 Konsep Good Governance....................................................................
2.2.1 Prinsip-prinsip Good Governance...............................................
2.3 Konsep Anggaran Daerah...................................................................
2.4 Kapasitas..............................................................................................
2.5 Konsep E-Governance..........................................................................
2.6 Konsep Akuntabilitas ..........................................................................
2.7 Kerangka Berpikir ..............................................................................
BAB 3 METODE PENELITIAN.............................................................
3.1 Pendekatan Penelitian.........................................................................
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................
3.3 Desain Penelitian atau Rancangan Penelitian Kualitatif.................
3.3.1 Fokus Penelitian...........................................................................
3.3.2 Penentuan Informan Penelitian ...................................................
3.3.3 Data dan Sumber Data ................................................................
3

3.4 Teknin dan Alat Perolehan Data.........................................................


3.5 Teknik Menguji Keabsahan Data.......................................................
3.5.1 Perpanjangan Keikutsertaan.........................................................
3.5.2 Ketekunan Pengamat ..................................................................
3.5.3 Triangulasi...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

BAB 1. PENDAHULUAN
4

1.1 Latar Belakang


Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penerapan E-government
dalam peningkatan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah pemerintahan
Kabupaten Jember. Penerapan e-government merupakan upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan keterbukaan informasi publik agar masyarakat dapat dengan
mudah mengakses segala informasi berkenaan dengan seluruh kegiatan
pemerintahan yang dilakukan, khususnya dalam hal pegelolaan anggaran publik.
Menurut Turner and Hulme dalam Mardiasmo (2009:21), dalam konteks
organisasi pemerintah, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan disclosure
atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah,
harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak
publik. Maka itu, substansi dalam penelitian ini berkenaan dengan penerapan e-
government dan akuntabilitas pemerintah kabupaten jember dalam pengelolaan
anggaran daerah melalui keterbukaan informasi yang dilansir pada website
pemerintahan Kabupaten Jember.
Fakta empiris menunjukan ketidakpuasan terhadap berjalannya proses
keterbukaan informasi terhadap pengelolaan anggaran publik di Pemerintahan
Kabupaten Jember. Penulis menemukan masalah terkait penerapan e-government
dalam peningkatan akuntabilitas pengelolaan anggaran di pemerintahan
Kabupaten Jember melalui berita media elektronik maupun observasi langsung
penulis terhadap website pemerintahan Kabupten Jember.

Keterbukaan informasi publik di pemerintahan Kabupaten Jember belum


dijalankan secara maksimal. Disampaikan oleh Ketua Informasi Jawa Timur,
Ketty Tri Setyorini, yang dilansir oleh timesjatim.com, diakses pada 07/10/2018
pukul 21:10 bahwa Kabupaten Jember masih jauh dibawah nilai minimum yang
ditetapkan oleh Komisi Informasi. Dibandingkan dua tahun lalu, saat ini
Kabupaten Jember telah mempunyai Dinas Komunikasi dan Informasi. Harusnya,
5

Kabupaten Jember dapat berbenah dalam hal keterbukaan informasi publik yang
kian sulit diakses oleh masyarakat Kabupaten Jember.
Rendahnya keterbukaan informasi publik di Pemerintahan Kabupaten
Jember dipicu oleh beberapa hal, utamanya berkenaan dengan sulitnya akses
publik terhadap website resmi pemerintahan Kabupaten Jember. Minimnya
informasi yang diberikan, memberi suatu isyarat bahwa masyarakat tidak dapat
mengontrol berjalannya pemerintahan. Berdasarkan berita yang di post oleh Janu
Arta pada laman www.prosalinaradio.com-diakses pada 13/10/2018 pukul 14:03,
menyebutkan bahwa informasi penting yang tidak disajikan dalam website
Kabupaten Jember diantaranya, yaitu: perencanaan anggaran, dokumen
pelaksanaan anggaran, laporan kinerja, realisasi anggaran, dan profil pejabat
setiap organisasi perangkat daerah serta struktur organisasi Pemkab Jember.
Melihat kekurangan tersebut, Kabupaten Jember menempati peringkat ke-35 dari
38 kabupaten-kota di Jawa Timur. Artinya, minimnya informasi publik yang
dimunculkan oleh website Pemerintahan Kabupaten Jember memberi peluang
untuk menutup pintu keterbukaan informasi publik bagi warga masyarakat
Kabupaten Jember. Tertutupnya keterbukaan informasi menunjukan minimnya
tanggungjawab, dan akan ada kekhawatiran dalam penyelewengan pengelolaan
keuangan daerah yang dijalankan oleh Pemerintahan Kabupaten Jember.
Penilaian yang dilakukan Komisi Informasi dilihat dari sejumlah indikator,
diantaranya meja pelayanan di setiap organisasi perangkat daerah dan website
pemerintah daerah. Website daerah, seharusnya menyajikan informasi menyeluruh
kepada masyarakat termasuk penganggaran, profil, dan program kerja. Namun
kenyataannya, informasi tersebut tidak dapat diakses melalui website Kabupaten
Jember. Observasi yang dilakukan penulis menunjukan bahwa konten menu-menu
pada website www.Jember.go.id belum menunjukan substansi dari informasi yang
harusnya di dapat oleh masyarakat, khususnya terkait pengelolaan anggaran
daerah. Observasi dilakukan secara berkala setiap satu bulan sekali sejak bulan
Juli 2017. Namun, tidak terdapat perkembangan sedikit pun sampai tulisan ini
dirangkai. Menu-menu konten yang harusnya memuat informasi penting bagi
masyarakat tentang transparansi pengelolaan anggran daerah, struktur organisasi
6

pemerintah, program kerja, maupun penganggaran, tidak dimuat dengan


maksimal.
Tahun ke tahun, Kabupaten Jember belum berbenah terkait keterbukaan
pengelolaan anggaran daerah. Padahal, pelayanan publik berbasis e-government
merupakan solusi bagi pemerintah daerah untuk mengatasi masalah-masalah
seperti adanya kelambanan dalam pelayanan publik akibat adanya hirarki yang
panjang dan prosedur yang komplek dalam memperoleh informasi. Disamping itu,
harusnya pemerintah Kabupaten Jember dapat memanfaatkan e-government
sebagai upaya untuk membangun trust masyarakat terhadap pemerintah
Kabupaten Jember dan meningkatkan tanggungjawab sebagai pemegang amanah
rakyat (Sumber: Hasil wawancara dengan Mahbub Junaidi selaku komisioner
Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur pada hari Sabtu, 16 Maret 2019, pukul
20:09 WIB).

Asimetris informasi berpotensi menumbuhsuburkan praktik korupsi.


Kondisi informasi publik yang tertutup akan menguntungkan pihak pengguna
anggaran karena menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi maupun
golongan. Melalui laman https://radarjember.jawapos.com-diakses pada
02/11/2018, pukul 10:45, dosen Administrasi Negara FISIP Unej, Hermanto
Rohman menuturkan bahwa Undang-Undang keterbukaan informasi publik
seharusnya menjadi senjata pamungkas sekaligus mencegah praktik korupsi.
Namun, untuk Kabupaten Jember masih belum efektif berjalan. Karena itu,
Komisi Informasi diharapkan banyak melakukan sosialisasi agar masyarakat kritis
terhadap transparansi informasi kebijakan pemerintah, khususnya penggunaan
anggaran. Hal ini dapat dipahami bahwa minimnya informasi publik yang
dimunculkan oleh Pemerintahan Kabupaten Jember menunjukan bahwa
Kabupaten Jember kedap akan informasi. Artinya, dapat menumbuhkan sikap anti
kritik.
Keterbukaan Informasi publik berkaitan erat dengan akuntabilitas
pemerintah daerah dalam melaporkan segala tindakan yang dilakukan terkait
anggaran, program maupun kinerja aparatur negara. Disamping itu, keterbukaan
informasi publik juga berkait erat dengan kepentingan partisipasi politik rakyat
7

untuk menjamin berlangsungnya pengendalian secara efektif oleh masyarakat.


Tanpa fungsi kontrol dan akuntabilitas politik sebagaimana dimaksud,
memudahkan peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Baik berupa
perilaku yang tidak sesuai, menyimpang, melampaui batas-batas wewenang, dan
kebijakan publik yang dihasilkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang
berlaku yang dapat berakibat merugikan kepentingan masyarakat.
Meneliti dan mendeskripsikan penerapan e-government dalam
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah pemerintahan
Kabupaten Jember merupakan urusan strategis yang perlu dilakukan. Penelitian
mengenai penerapan e-government dalam peningkatan akuntabilitas pemerintahan
Kabupaten Jember bertujuan untuk memantau keseriusan pemerintahan
Kabupaten Jember dalam memberikan hak publik untuk mendapatkan informasi
di lingkungan pemerintahan Kabupaten Jember dan sebagai tanggungjawab
pemerintah daerah dalam melaporkan segala aktivitas terkait kebijakan publik,
program, dan kinerja aparatur pemerintah daerah. Oleh karena itu, sebelum
mengetahui penerapan e-government dalam peningkatan akuntabilitas pengelolaan
anggaran daerah, perlu diketahui terlebih dahulu pejabat pelaksana yang memiliki
tugas dan fungsi dalam memberikan informasi kepada publik di lingkungan
pemerintahan Kabupaten Jember.

Merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2016 tentang


Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Jember, pejabat pengelola informasi
publik (PPID) merupakan pejabat yang bertanggungjawab atas penerapan
kegiatan pengelolaan dan pelayanan infromasi publik. Pada perda tersebut juga di
jelaskan berkenaan dengan fungsi dan kewajiban pejabat pengelola informasi
publik (PPID). Kewajiban yang dimaksud adalah mengelola informasi publik,
menyediakan informasi publik sesuai ketentuan perundang-undangan,
menerbitkan informasi publik dan melakukan pelayanan atas permohonan
informasi publik.
Sebagaimana tertuang pada pasal 23 perda nomor 8 tahun 2016 bahwa
Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) memiliki kewajiban untuk
mengumumkan informasi publik. Tugas PPID, yaitu bertugas untuk
8

mengkoordinasikan pengumuman informasi publik melalui media yang secara


efektif dapat menjangkau seluruh pemangku kepentingan, penyampaian informasi
Publik dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, mudah dipahami serta
mempertimbangkan penggunaan bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat.
Artinya, terdapat transfer informasi yang diberikan pemerintah daerah kepada
publik maupun pemangku kepentingan sebagai upaya kemudahan akses publik
terhadap seluruh informasi terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah. Begitu
pula sebaliknya.
Menurut Betti Wahyu N.S. (2012:107) PPID dan pejabat kehumasan
memiliki tugas yang berbeda. Perbedaan yang pokok adalah pejabat kehumasan
merupakan juru bicara bagi instansinya, sedangkan PPID bertanggungjawab atas
pengelolaan informasi dan dokumentasi sesuai dengan klasifikasi jenis-jenis
informasi. Selain itu, pejabat kehumasan adalah kepala unit kerja yang
melaksanakan urusan wajib bidang komunikasi dan informasi serta tugas-tugas
kehumasan. Sementara, PPID melekat pada pejabat structural yang membidangi
tugas dan pelayanan informasi. Dengan kata lain, PPID tidak harus melaksanakan
urusan wajib bidang komunikasi dan infromasi. Maka itu, PPID dan pejabat
kehumasan akan saling memperkuat pelaksanaan tugas dan kewajiban masing-
masing dalam rangka membangun citra positif pemerintah.
Perwujudan tata pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbukaan,
keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan, tata kelola anggaran khususnya dalam penggunaan berbagai sumber
daya yang berkaitan secara langsung dengan kepentingan publik. Merujuk pada
Bhatta dalam Mihradi (2011:42) yang mengungkapkan bahwa terdapat empat
unsur mendasar dari good governance, yaitu: 1) akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of
law). Maka, sangat penting untuk menelaah unsur-unsur tersebut sebagai indikator
mengukur kualitas penerapan good governance. Kaitannya dengan jaminan
kebebasan memperoleh informasi publik dan keterbukaan informasi melalui
sistem e-government, maka indikator akuntabilitas menjadi unsur yang dapat
digunakan untuk melihat penerapan good governance dalam suatu pemerintahan.
9

Pada perkembangan selanjutnya, akuntabilitas merupakan salah satu prinsip


dari delapan prinsip good govenance. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan akuntabilitas sebagai perihal bertanggung jawab; keadaan dapat
dimintai pertanggungjawaban. Lebih lanjut, menurut (Mardiasmo, 2009:20)
akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan
segala aktivitas kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi
amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban
tersebut. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa akuntabilitas merupakan
cara untuk menunjukan bahwa pemerintah sedang bekerja. Perkerjaan ini dinilai
berdasarkan pada pencapaiannya dalam menjalankan kewajiban dan pencapain
misi. Disamping itu, agar masyarakat tahu tentang kinerja pemerintah maka
pemerintah selaku pemegang amanah, wajib melaporkan segala aktivitas kegiatan
kepada masyarakat. Berkaitan dengan penelitian ini maka upaya penerapan e-
government merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam
melaporkan kinerja yang telah di capai. Hal ini adalah untuk memudahkan akses
masyarakat untuk mengetahui aktivitas pemerintah daerah.
Pemerintah daerah yang kedap akan informasi, cenderung memiliki nilai
akuntabilitas yang rendah. Karena itu menurut Sulistiyani (2004: 43) akuntabilitas
terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala kegiatan
terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi.
Artinya, akuntabilitas dapat dilakukan dengan memberikan akses kepada semua
pihak yang berkepentingan, bertanya atau menggunggat petanggungjawaban para
pengambil keputusan dan pelaksanaan baik ditingkat program, daerah dan
masyarakat. Adanya e government diharapkan adanya kemudahan dalam akses
publik untuk memantau dan mengevaluasi pertanggungjawaban pemerintah
daerah terhadap pencapaian tujuan.
Bagi Amal dan Armawi (1999:28), tanpa adanya keterbukaan, segala
sesuatunya ada di belakang tabir, serba tidak jelas. Dalam keadaan serba kabur,
terbuka peluang terjadinya penyimpangan dari norma, peraturan, dan prosedur
yang berlaku. Disamping itu juga akan mendorong terjadinya perbuatan tidak
10

bertanggung jawab, dan berbagai penyimpangan lainnya. Keterbukan informasi


memungkinkan fungsi kontrol masyarakat untuk mencegah kehancuran
kepercayaan dan kewibawaan pemerintah yang diakibatkan oleh suasana korup,
kebijakan yang lemah, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Akuntabilitas merupakan suatu konsep. Prinsip dasar pengelolan anggaran
daerah, salah satunya harus menerapkan prinsip akuntabilitas. Menurut Ulum
(2008:47) akuntabiltas adalah suatu pertanggungjawaban oleh pihak-pihak yang
diberi kepercayaan oleh masyarakat/individu dimana nantinya terdapat
keberhasilan atau kegagalan di dalam pelaksanaan tugasnya tersebut dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pertanggungjawaban tersebut berkaitan
langsung dengan aktivitas birokrasi dalam memberikan pelayanan sebagai kontra
prestasi hak-hak yang telah dipungut langsung maupun tidak langsung dari
masyarakat. Artinya, informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara
langsung dapat diminta pertanggungjawabannya kepada pemerintah daerah oleh
masyarakat yang membutuhkan.
Daerah sebagai sebuah entitas membutuhkan anggaran sebagai alat untuk
mencapai tujuan pemerintahan. Anggaran menurut Sugijanto dalam Halim
(2014:47) adalah rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finasial,
meliputi usulan pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode tertentu, serta
usulan cara-cara memenuhi pengeluaran tersebut. Kemudian dalam buku yang
sama pengertian anggaran juga diberikan oleh Bastian bahwa anggaran
merupakan paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang
diharapkan akan terjadi dalam satu atau dalam periode mendatang. Dari dua
pengertian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dua pengertian
tersebut bahwa anggaran adalah untuk suatu periode tertentu di masa yang akan
datang. Sedangkan perbedaan diantara kedua pengertian tersebut terletak pada
ruang lingkup dari isi anggaran. Pendapat pertama mengkhususkan isi anggaran
hanya pada usulan pengeluaran saja. Sedangkan pendapat kedua memahami
bahwa anggaran tidak hanya berisi perkiraan pengeluaran saja melainkan berisi
perkiraan penerimaan pula.
11

Transparansi anggaran menurut Vera Jasini Putri dalam Adisasmita


(2011:29) berarti keterbukaan dalam setiap proses penganggaran mulai dari
perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Sehingga
masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses
penganggaran daerah karena menyangkut kepentingan, aspirasi, dan upaya
pemecahan permasalahan yang mereka hadapi untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa transparansi merupakan langkah
yang penting untuk mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah kepada
masyarakat. Lain dari pada itu, transparansi anggaran merupakan upaya
pemerintah daerah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah daerah selaku pemegang amanah. Transparansi anggaran merupakan
salah satu langkah konkrit yang dapat dinilai apakah suatu pemerintahan
akuntabel atau tidak. Maka itu, transparansi anggaran merupakan bagian penting
dalam menilai akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah pemerintahan
Kabupaten Jember.
Menurut Nurul Rofikoh dalam jurnal yang berjudul “Mewujudkan Good
Local Governance melalui transparansi dan akuntabilitas anggaran publik”
menyebutkan bahwa sebagai instrument fiscal, anggaran dapat digunakan untuk
mengatur alokasi belanja pengadaan barang-barang dan jasa publik. Berdasarkan
skala prioritas, pemerintah bisa mengalokasikan nilai tertentu untuk belanja
tertentu. Fungsi fiscal kedua adalah distribusi. Melaui anggaran, pemerintah bisa
membuat kebijakan yang bertujuan menciptakan pemerataan dan mengurangi
kesenjangan antar wilayah, kelas sosial, maupun sektoral. Ketiga, fungsi
stabilisasi. Jika terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem, misalnya harga
kebutuhan pokok yang sangat tinggi atau sangat rendah sehigga berpotensi
merugikan satu lapisan masyarakat, pemerintah bisa melakukan intervensi melalui
anggaran.
Melihat fungsi anggaran tersebut maka anggaran pubik harus dilihat
sebagai hubungan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan rakyat sendiri. Maka
itu, masyarakat harus terus memantau bahkan mengevaluasi arah dari prioritas
kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang dinyatakan dalam
12

bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah melihat


apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan masyarakat atau tidak.

Pada mulanya, fungsi anggaran pubik adalah sebagai pedoman bagi


pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu periode di
masa yang akan datang. Namun, karena sebelum anggaran publik dijalankan harus
mendapat persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran publik
berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang
dipilih oleh pemerintah. Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik
harus dipertangungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah lembaga
perwakilan rakyat, maka anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas
bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan
yang telah dipilihnya (Suparmoko, 1987). Adanya e-government, memudahkan
pemerintah daerah dalam melaporkan atau mempertangungjawabkan
produktivitas kinerjanya kepada masyarakat dan masyarakat sebagai pemberi
amanah, mendapat kemudahan akses dalam melakukan pemantauan pengelolaan
anggaran daerah. Masyarakat dapat mengakses dimana pun dan kapan pun selagi
terkoneksi internet. Website merupakan salah satu media yang memudahkan
masyarakat untuk melihat segala informasi tentang pengelolaan anggaran daerah.

Adanya tekanan publik yang menghendaki agar birokrasi publik harus


menjunjung tinggi prinsip transparansi guna menciptakan pemerintahan yang
akuntabel dan demokratis, pemerintah akhirnya merespon dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pablik
sebagai landasan legal formal dari prinsip transparansi. Pasal 9 (c) Undang-
Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
menyebutkan bahwa sesungguhnya informasi mengenai laporan keuangan adalah
salah satu dari empat informasi publik yang wajib (tanpa perlu diminta)
diumumkan secara berkala kepada publik.
Pada konteks ini, informasi yang wajib dipublikasikan dan merupakan
tanggungjawab pemerintah daerah untuk diterapkan melalui website dengan menu
“Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah” (TPAD) berdasarkan instruksi
13

Kemendagri Nomor 188.52/1797/SC/2012 tentang Transparansi Pengelolaan


Anggaran Daerah (TPAD), yaitu a) ringkasan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah dan Ringkasan Rencana Kerja dan Anggaran Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah; b) rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang disampaikan Kepala
Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c) peraturan Daerah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Peraturan Daerah tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; d) ringkasan Dokumen
Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Dokumen Pelaksanaan
Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah; e) laporan Realisasi Anggaran
seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah;
f) laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang sudah diaudit dan opini atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

Beberapa perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah, mulai dari


pembenahan keberadaan website agar dapat diakses dengan baik hingga penyajian
menu dan kelengkapan penyajian informasi. Peningkatan kualitas penyajian
informasi anggaran diharapkan dapat dikembangkan dalam bentuk visual yang
mudah dipahami masyarakat luas. Instruksi Presiden No. 6 tahun 2001 merupakan
langkah awal pengembangan penggunaan website oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota di Indonesia. Instruksi tersebut membahas Pengembangan dan
Pendayagunaan telematika di Indonesia. Memperjelas tentang penyajian informasi
dan pengembangan serta pendayagunaan telematika di Indonesia maka
dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 3 tahun 2003 (Inpres No. 3/2003) tentang
kebijakan dan strategi nasional pengembangan E-government.
Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional
pengembangan e-government merupakan manifestasi keseriusan pemerintah
dalam penyelenggaran fungsi pemerintahan dengan memanfaatakan infrastruktur
teknologi informasi. Inpres tersebut menjabarkan dengan jelas tahapan di bagian
strategi Pengembangan E-government. Salah satu strategi yang terkait dengan
14

penggunaan website tercantum dalam butir 18 yang mendeskripsikan strategi


keenam, yaitu: 1) Pembuatan situs di setiap Lembaga; 2) Penyiapan SDM; 3)
Penyiapan sarana akses yang mudah; 4) Sosialisasi situs untuk internal maupun
untuk publik; 5) Pembuatan situs informasi publik interaktif; 6) Pembuatan antar
muka keterhubungan dengan Lembaga lain; dan 7) Pengembangan aplikasi untuk
pelayanan yang bersifat G2G, G2B, G2C yang terintegrasi. Dari strategi
pengembangan e-government tersebut, pada intinya, e-government adalah
penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara
pemerintah dan pihak-pihak lain.
Sejak diluncurkannya Instruksi Presiden Nomor 03 tahun 2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional pengembangan e- Government, implementasi e-
government di Indonesia mulai terdengar gaungnya. Setidaknya, penerapan e-
government telah memiliki pijakan dan sekaligus lebih terarah. Sebab dalam
Inpres tersebut, para pejabat diminta mengambil langkah-langkah yang diperlukan
sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing guna terlaksananya
pengembangan e-government secara nasional.
Menurut Indrajit (2002:36) E-government merupakan suatu mekanisme
interaksi baru antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang
berkepentingan, dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama
internet) dengan tujuan memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan. E-government
adalah penyelenggaraan kepemerintahan berbasiskan elektronik untuk
meningkatkan kualitas layanan publik secara efisien, efektif dan interaktif. Pada
intinya, E-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat
meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain (penduduk,
pengusaha, maupun instansi lain).

Pendapat lain tentang e-government yang memperjelas arti dari e-


government diungkapkan oleh Kasemin. Menurut Kasemin (2015:183) e-
government merupakan suatu bentuk penerapan teknologi elektronik untuk
berbagai kegiatan pemerintah dalam cakupan internal dan eksternal (pelayanan
umum) untuk pencapaian kinerja yang efektif, efisien, cepat, dan transparan.
Teknologi elektronik yang digunakan untuk keperluan ini adalah teknologi
15

computer dengan berbasis jejaring internet. Suatu teknologi informasi yang dapat
meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain. Secara
sederhana, e-government dapat dipahami sebagai suatu perangkat (aplikasi) yang
memudahkan interaksi pemerintah dengan pihak yang memiliki kepentingan.
Perangkat tersebut dikemas kedalam bentuk komputerisasi yang di dukung oleh
jaringan internet sehingga akses publik terjadap informasi pemerintahan dapat di
ketahui di manapaun dan kapanpun.
Kehadiran e-government dalam sistem tata pemerintahan dalam berbagai
tingkat, pada dasaranya adalah solusi bagi penyelesaian masalah-masalah
pemerintahan. Tujuan e-government berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2001
tentang pengembangan dan Pendayagunaan Telematika, yaitu: a) terciptanya
hubungan secara elektronik antara pemerintah dengan masyarakatnya, sehingga
dapat mengakses berbagai informasi dari pemerintah; b) melaksanakn perbaikan
dan peningkatan pelayanan masyarakat kearah yang lebih baik dari apa yang telah
berjalan pada saat ini; c) menunjang good governance dan keterbukaan; d)
meningkatkan pendapatan daerah.
Tulisan ini hendak mencoba memaparkan bahwa akuntabilitas anggaran
melalui e-government memang suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan
di berbagai daerah. Dokumen pengelolaan anggaran daerah Kabupaten Jember
bukanlah suatu rahasia daerah yang harus di tutup-tutupi, melainkan setiap
masyarakat berhak untuk mendapatkan kemudahan akses dan meminta
pertanggungjawaban atas kinerja yang dicapai pemerintah. Adanya akuntabilitas
dalam bentuk e-goverment, masyarakat selaku pemegang saham dapat
mencermati, mengkritisi, bahkan melakukan penilaian terhadap pemerintah
sebagai bentuk partisipasi publik untuk terciptanya Good governance.
Serangkaian fakta empiris dan uraian yang disampaikan diatas merupakan
permasalahan yang menarik untuk diteliti. Berangkat dari masalah-masalah
penelitian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti “Penerapan E-
government dalam Peningkatan Akuntabilitas Pengelolaan Anggaran Daerah
Pemerintahan Kabupaten Jember”.
16

1.2 Rumusan Masalah


Seluruh Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah memiliki
kewajiban dalam menyampaikan informasi data muktahir secara berkala. Instruksi
Mendagri Nomor 188.52/1797/SC/2012 tentang Transparansi Pengelolaan
Anggaran Daerah (TPAD) memandatkan kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota untuk menyiapkan menu konten dengan nama Transparansi
Pengelolaan Anggaran Daerah dalam website resmi pemerintah dan
mempublikasikan data mutakhir pada menu konten tersebut. Kabupaten Jember
telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Keterbukaan
Informasi Publik di Kabupaten Jember. Peraturan daerah tersebut sebagai langkah
untuk mendorong tata pemerintahan yang lebih baik (good governance). Namun,
dalam pelaksanaannya, keterbukaan informasi publik di Pemerintahan Kabupaten
Jember sangatlah minim. Menu konten Transparansi Pengelolaan Anggaran
Daerah (TPAD) belum dicantumkan pada website resmi Pemerintah Kabupaten
Jember.
Maka, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan e-government di pemerintahan Kabupaten
Jember dilihat dari dimansi support, capacity, dan value ?
2. Bagaimana akuntabilitas keuangan pemerintahan Kabupaten
Jember ?
3. Bagaimana model relasi antara e-government dan akuntabilitas
keuangan daerah di pemerintahan Kabupaten Jember ?

1.3 Tujuan Penelitian


Terdapat tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Menggambarkan pelaksanaan penerapan e-government dalam
keterbukaan informasi publik di pemerintahan Kabupaten Jember;
b. Mengkaji pemanfaatan web resmi dalam peningkatan keterbukaan
pengelolaan anggaran daerah di Kabupaten Jember;
c. Mengkaji kapasitas pejabat pengelola informasi publik dalam
menjalankan fungsi dan kewajibannya;
d. Menggambarkan relasi antara e-government dan akuntabilitas
keuangan daerah pemerintahan Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat Penelitian


17

a. Masukan bagi Pemerintah Kabupaten Jember mengenai


penyelenggraan keterbukaan informasi publik di Pemerintahan
Kabupaten Jember khususnya penerapan website resmi Kabupaten
dalam peningkatan akuntabilitas keterbukaan pengelolaan anggaran
daerah pemerintahan Kabupaten Jember;
b. Masukan bagi para pengambil kebijakan di lingkungan Kabupaten
Jember dalam menentukan alternatif maupun langkah untuk
mejalankan keterbukaan infromasi di Pemerintahan Kabupaten
Jember;
c. Bahan referansi bagi peneliti selanjutnya yang akan membahas
tentang penyelenggraan keterbukaan informasi publik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Keberadaan kerangka berfikir adalah untuk memudahkan perumusaan


permasalahan di dalam penelitian. Dalam membangun kerangka berfikir
diperlukan landasan teori yang relevan untuk membangun argumentasi yang logis
dan sistematis. Marx dan Goodson yang dikutip oleh Sugiyono (2006:57)
mengungkapkan bahwa teori ialah aturan yang menjelaskan proposisi atau
seperangkat proposisi yang berkaitan dengan fenomena alamiah yang terdiri atas
18

representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara


kejadian-kejadian (yang dapat diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga
mendasari hubungan-hubungan demikian, dan (3) hubungan-hubungan yang
disimpulkan serta manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung. Dari
beberapa definisi tersebut di atas bisa diambil kesimpulan bahwa teori merupakan
sekumpulan konsep-konsep yang saling berhubungan dan sistematis.
Konsep menurut Singarimbun dan Effendi (1995:33) adalah istilah dan
definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan,
kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, melalui konsep
peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan
menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan antara
yang satu dengan yang lain. Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena
yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian,
keadaan kelompok atau individu tertentu.
Tujuan dari konsepsi dasar adalah untuk menyederhanakan pemikiran dan
memberi landasan pokok kerangka berpikir untuk membahas dan mengkasi
masalah yang menjadi inti penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa konsep diantaranya adalah.
1. Konsep Pelayanan Publik
2. Konsep Good governance
3. Konsep Keuangan Daerah
4. Konsep Kapasitas
5. Konsep E-government
6. Konsep Akuntabilitas

2.1 Konsep Pelayanan Publik


Pelayanan publik merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat maupun di
daerah (Sutikno, Pelayanan Publik:www.publikservice.com/nono/mrp/html
diakses 21 Desember 2018, 14:07 WIB). Gie (1993:105) mendefinisikan
pelayanan sebagai suatu kegiatan dalam organisasi atau instansi yang dilakukan
untuk mengamalkan dan mengabdikan diri kepada masyarakat.
19

Komitmen terhadap pelayanan publik di motivasi oleh kesadaran bahwa


pemerintah demokratis ada untuk melayani warganya. Maka itu, dalam pelayanan
publik, peningkatan mutu layanan publik menjadi garda depan dari citra sebuah
bangsa. Karena merupakan tugas pokok pemerintah, tidak terkecuali pemerintah
daerah di era desentralisasi untuk menyelenggarakan, menyediakan atau
memberikan layanan publik berkualitas kepada masyarakat. Membangun
kepercayaan publik atas layanan publik yang dilakukan penyelengara layanan
publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring harapan dan tuntutan
seluruh warga negara tentang peningkatan pelayanan publik.
Maka itu, sejalan dengan peningkatan mutu layanan publik Moenir
mengungkapkan bahwa pemerintah merupakan pelayan masyarakat yang
didasarkan pada kebutuhan pengguna. Moenir A.S.(2002:26-27) mendefinisikan
pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh
orang yang melayani atau dilayani, tergantung pada kemampuan penyedia jasa
dalam memenuhi harapan pengguna. Dari pemahaman Moenir dapat dipahami
bahwa konsep pelayanan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah atau
penyedia pelayanan dalam memberikan kepuasan bagi konstituennya atau
pelanggan.
Sama halnya dengan Moenir, menurut Kurniawan (dalam Sinambela:
2008:5) yang mengartikan pelayanan sebagai pemberi pelayanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan. Pada pandangan ini,
Kurniawan lebih menekankan pada aturan pokok yang menjadi pedoman dasar
dalam melayani. Artinya, pelayanan yang baik tercipta dari pembangunan sistem
pelayanan yang baik pula.
Berbeda halnya dengan pendapat Boediono (2003:60). Boediono
berpendapat bahwa pelayanan merupakan suatu proses bantuan kepada orang lain
dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal
agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Pada pendapat ini, lebih menekankan
20

pada aspek kemampuan interpersonal untuk peka kepada orang lain agar
terciptanya kepuasan.
Pelayanan publik menurut Sinambela (2008:5) adalah sebagai setiap
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumah manusia yang
memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terlihat pada suatu
produk secara fisik. Dari pendapat tersebut menekankan bahwa pemerintah
sebagai penyedia pelayanan publik memiliki tugas dalam memberikan kepuasan
di setiap kegiatan yang dilakukan. Hal ini merujuk pada filosofi hadirnya sebuah
negara adalah untuk melayani rakyatnya.
Merujuk pada perundang-undangan, yaitu tepatnya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 mengartikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau
rangkain kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan adaministratif yang diselenggarakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Berdasarkan pada beberapa pendapat diatas dapat dipahami bahwa
pelayanan publik merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus
oleh Lembaga publik maupun non-publik untuk memberikan kemudahan dan
kepuasan pada pelanggan, dalam hal ini yaitu warga negara sebagai pemafaat
penyedia layanan publik. Penulis dalam hal ini lebih memperhatikan pelayanan
publik yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Pemerintahan Kabupaten
Jember dalam penye lenggaraan keterbukaan informasi publik melalui website
resmi pemerintahan Kabupaten Jember.
2.1.1 Unsur-Unsur Pelayanan Publik
Terdapat beberapa faktor atau unsur yang mendukung jalannya kegiatan
pelayanan publik. Menurut Moenir (1995:8), unsur-unsur tersebut, yaitu:
a. Sistem, Prosedur, dan Metode
Di dalam pelayanan publik, perlu adanya sistem informasi, prosedur, dan
metode yang mendukung kelancaran dalam memberikan pelayanan.
b. Personil
21

Personil ditekankan pada perilaku aparatur. Dalam pelayanan publik,


aparatur pemerintah harus professional, disiplin, dan terbuka terhadap
kritik dari masyarakat.
c. Sarana dan prasarana
Diperlukan peralatan dan ruang kerja serta fasilits pelayanan publik.
Misalnya, parkiran, ruang tunggu, ruanganan yang nyaman bagi
masyarakat.
d. Dalam pelayanan publik masyarakat sebagai pelanggan sangatlah
heterogen, baik tingkat Pendidikan maupun perilakunya.
2.1.2 Azas, Bentuk, dan Prinsip Pelayanan Publik
Asas-asas pelayanan publik menurut Lijan Poltak Sinambela (2008:6) ada
enam asas, yaitu:
a) Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh
semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta
mudah dimengerti.
b) Akuntabilitas;
c) Kondisional, yaitu sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi
dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektivitas.
d) Partisipasi, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaran pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan, dan harapan msyarakat.
e) Kesamaan Hak, artinya tidak diskriminatif, yaitu tidak membeda-
bedakan berdasarkan suku, agama, ras, golongan , gender, dan status
ekonomi.
f) Keseimbangan Hak dan Kewajiban, artinya pemberi dan penerima
layanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dari keenam asas tersebut, pelayanan publik melekat di dalamnya.
Disamping asas-asas tersebut, bentuk pelayanan juga penting untuk di perhatikan.
Menurut Moenir, terdapat tiga bentuk pelayanan, yaitu
1) Pelayanan dengan lisan
Dilakukan oleh petugas-petugas bidang hubungan masyarakat yang tugasnya
memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai berbagai fasilitas
layanan yang tersedia
2) Pelayanan melalui tulisan
22

Layanan yang diberikan dapat berupa pemberian penjelasan kepada


masyarakat dengan penerangannya berupa tulisan suatu informasi mengenai
hal atau masalah yang sering terjadi. Pelayanan melalui tulisan ini berkaitan
dengan focus dan lokus penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu,
bagaimana penyelenggaraan keterbukan informasi publik dalam pemanfaatan
web resmi pemerintah Kabupaten Jember untuk meningkatkan keterbukaan
pengelolaan anggaran. Maka itu, Pememrintah Jember sebagai pelayan
masyarakat, wajib memberikan semua informasi yang berkenaan dengan
pengelolaan angaran yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jember
3) Pelayanan berbentuk perbuatan
Pelayanan yang diberikan dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar
kesanggupan dan penjelasan secara lisan.
Prinsip pelayanan publik menurut keputusan MENPAN No.63/ KEP/
M.PAN/ 7/ 2003 antara lain sebagai berikut.
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-brlit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan
b. Kejelasan
Persyarakat teknis dan administrative; unit kerja atau pejabat yang
memiliki wewenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan dan penyelesaian persoalan dan sengketa dalam
pelaksanaan pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.
f. Tanggung Jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelangkapan sarana dan prasarana
23

Tersedianya sarana dan prasarana kerja dan pendukung lainnya yang


memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan
informatika.

h. Kemudahan akses
Tempat, lokasi, dan sarana pelayanan yang memadai,mudah dijangkau
oelh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi
dan informastika.
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah
serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan
Lingkungan pelayanan publik harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat
serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti, parkir,
toilet, tempat ibadah dll.
Azas, bentuk, dan prinsip pelayana publik diatsa merupakan pedoman
dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi
pemerintah dan juga berfungsi sebagai indicator penilaian serta
evaluasi kinerja bagi penyelenggara publik. Dalam hal ini berkaitan
dengan penyelenggaraan keterbukaan infromasi melalui website
Pemerintahan Kabupaten Jember. Adanya standart dalam kegiatan
pelayanan publik ini, diharapkan masyarakat dapat mendapakan
pelayanan yang sesuai dan antif dalam mengontol berjalannya
pelayanan publik oleh pemerintah.
2.1.3 E-government : Akuntabilitas Pelayanan Publik

Dalam era demokrasi ada tuntutan agar birokrasi menjadi lebih akuntabel.
Akuntabilitas merupakan upaya dari pemerintah daerah unutk memberi pelayanan
proma kepada masyarakat terkait keluhan, kemudahan akses, dan pelaporan
pertanggungjawaban pemerintah selaku pemegang amanah rakyat. Akuntabilitas
pada konteks pelayanan publik berkaitan dengan kemudahan akses terkait
kegiatan, opini, dan tindakan administrasi publik. Oleh karna itu, akuntabilitas
berarti bahwa birokrasi publik wajib untuk memberi segala informasi kepada
24

publik terkait dengan tindakan-tindakan administrasi yang mereka lakukan atau


tidak lakukan.

Lebih lanjut menurut Clark dalam Silalahi & Syafri (2015:124)


mengungkapkan bahwa dalam iklim demokrasi, warga memiliki hak akses atas
informasi khususnya mengenani rencana dan kebijakan pemerintah terutama bagi
mereka yang terkena secara langsung, sementara birokrat wajib
memberitahukannya. Maka itu, hak publik untuk mendapatkan informasi tersebut
merupakan kewajiban pemerintah untuk menampilkan atau menunjukkan
informasi yang diinginkan publik. Informasi tersebut berkenaan dengan dengan
kinerja, program, pengelolaan anggaran, hingga pelaporan secara langsung dapat
diakses oleh warga yang berminat dengannya dan informasi tersebut disediakan
untuk memahami dan memonitor tindakan dan keputusan birokrat publik.

Lalu, apa kaitannya antara akuntabilitas pelayanan publik dengan e-


government ?. Menjawab pertanyaan tersebut, perlu untuk di pahami terlebih
dahulu tujuan dasar dari pelayanan publik. Menurut Hayat (2017:52) aspek yang
menjadi dasar dalam pelayanan publik adalah melayani masyarakat dengan
sebaik-baiknya dalam rangka membangun terkait dengan urusan administrasi
kepemerintahan dan/atau kebutuhan barang atau jasa publik. Menyikapi pendapat
tersebut dapat dimengerti bahwa pemerintah dari rakyat yaitu upaya yang perlu
dilakukan untuk memberi palayanan prima kepada masyarakat, apapun caranya.

Namun, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi


yang semakin cepat, pelayanan publik mengalami berbagai kendala dan tantangan.
Menurut Sofyan dalam Hayat (2017:53) mengemukakan terdapat 4 kendala yang
dihadapi oleh Indonesia dalam pembangunan pelayanan publik, yaitu: Pertama,
politik. Bentuk koalisi dalam perpolitikan menimbulkan ketidakstabilan dalam
ruang-ruang publik Hal tersebut mengakibatkan proses pelayanan publik
terkendala dengan banyaknya kepentingan. Kedua, penggunaan teknologi.
Teknologi dalam pelayanan publik menjadi kebutuhan utama sebagai bagian dari
meningkatkan efektifitas dan efisiensi. Ketiga, rekrutmen pegawai. Ketidak
efektifan rekrutmen pegawai menjadikan berbagai aspek pelayanan terkendala.
25

Pelayanan publik harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki kompeteni yang
tinggi, terampil, dan sikap yang baik. Keempat, reward and punishment.
Pemerintah masih dinilai kurang dalam memberikan perhatian secara penuh
kepada aparatur yang berprestasi. Pemberian reward merupakan bentuk motivasi
bagi aparatur untuk memacu semangat dalam bekerja.

Melihat beberapa kendala diatas, kaitannya dengan e-government,


pelayanan publik mampu meningkatkan pelayanan yang efektif melalui layanan
yang berbasis teknologi informasi. Seperti namanya, electronic government
menjelma dalam suatu bentuk aplikasi sederhana yang memudahkan setiap
pengguna untuk mengakses ataupun mendapatkan informasi mengenai suatu
informasi. Website merupakan salah satu contoh bentuk e-government. Dengan
mengakses website publik dapat secara langsung mengakses situs selagi
terkoneksi jaringan internet. pelayanan publik berbasis e-government merupakan
solusi bagi pemerintah daerah untuk mengatasi masalah-masalah seperti adanya
kelambanan dalam pelayanan publik akibat adanya hirarki yang panjang dan
prosedur yang komplek dalam memperoleh sesuatu. Karena itu, tanggungjawab
pemerintah dalam melayani masyarakat dapat dengan mudah dilakukan
pengembangan e-government untuk memudahkan akses masyarakat dalam
mendapatkan informasi dan pelayanan publik yang lebih efektif.

Menurut Silalahi dan Syafri (2015:2019), untuk memenuhi kebutuhan


informasi layanan kepada warga, setiap unit layanan instansi pemerintah wajib
mempublikasikan prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standart, akta/janji,motto
layanan, lokasi serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
sebagaimana diuraikan diatas. Publikasi dan atau sosialisasi tersebut dapat melalui
media cetak (brosur, leaflet, booklet), media elektronik (Website, Home Page,
situs internet, radio, dan TV), media gambar dana atau penyuluhan secara
langsung kepada warga.

Instruksi Presiden Nomor 03 tahun 2003 merupakan pedoman yang patut


menjadi rujukan. Inpres Nomor 3 Tahun 2003 menjabarkan dengan jelas tahapan
di bagian strategi Pengembangan E-government. Salah satu strategi yang terkait
26

dengan penggunaan website tercantum dalam butir 18 yang mendeskripsikan


strategi keenam, yaitu: 1) Pembuatan situs di setiap Lembaga; 2) Penyiapan SDM;
3) Penyiapan sarana akses yang mudah; 4) Sosialisasi situs untuk internal maupun
untuk publik; 5) Pembuatan situs informasi publik interaktif; 6) Pembuatan antar
muka keterhubungan dengan Lembaga lain; dan 7) Pengembangan aplikasi untuk
pelayanan yang bersifat G2G, G2B, G2C yang terintegrasi.

Berbagai manfaat dapat di panen dari adanya penerapan e-government


pada pelayanan publik. Indrajit (2002:5) mengungkapkan bahwa terdapat 6
manfaat yang dapat ditimbulkan dari diterapkannya konsep e-government, antara
lain:

1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para


stakeholder (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam
hal kinerja efektifitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan
bernegara;
2. Meningkatkan transparansi, kontrol, akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintah dalam rangka penerapan konsep Good governance;
3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan
interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya untuk
keperluan aktivitas sehari-hari;
4. Memberikan peluang kepada pemerintah untuk mendapatkan
sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-
pihak yang berkepantingan;
5. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang secara tepat
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan
berbagai perubahan global dan tren yang ada;
6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra
pemerintah dalam proses pengambilan keputusan berbagai kebijakan
publik secara mermata dan demokratis.

Pada intinya, Pelayanan publik yang memudahkan akses bagi pengguna


serta akuntabilitas dalam pengelolaannya merupakan keinginan yang diharapkan
oleh publik selaku warga yang memiliki hak untuk dilayani dan memperoleh
27

informasi. E-government merupakan jembatan yang memudahkan publik untuk


lebih mudah mengakses pelayanan publik yang diberikan oleh birokrat publik.
Adanya e-government, merupakan harapan agar lembaga publik lebih prima
dalam melayani masyarakat. Karena itu, publik ingin penyelenggaraan pelayanan
publik diselenggaran dengan akses yang mudah dan akuntabel dalam waktu yang
singkat.

2.2 Konsep Good governance


Pada awal tahun 1900-an, diadakan pertemuan negara-negara donor yang
dipromotori oleh Bank Dunia. Pertemuan ini dikenal sebagai, “Konsensus
Washington”. Dalam pertemuan ini terungkap, banyak bantuan asing “bocor”
akibat praktik bad governance (pemerintahan yang tidak akuntabel, tidak
transparan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi). Oleh karena itu, kemudian
disepakati bahwa penerimaan bantuan harus diberi persyaratan, yaitu kesediaan
untuk mempraktekkan good governance (keterbukaan, demokrasi, serta check and
balance). Maka, sejak pertengahan 1900-an, bantuan asing disertai konsolidasi
untuk mengurangi kebocoran bantuan asing dan efektivitas pemerintahan negara
berkembang (Santosa, 2009:130).
Menurut Ambar & Matheus Dalam Buku Berjudul “Memahami Good
governance” (2004:70) mengungkapkan bahwa konsep good governance
mempunyai indikator-indikator yang dimaksudkan untuk menjamin keterbukaan,
accountability, dan kontrol dalam ekonomi dan politik. Konsep ini banyak
dikembangkan oleh badan internasional. Hanya persoalannya, indikator-indikator
yang dikembangkan lebih banyak berbicara mekanisme. Meskipun konsep ini
menganggap bahwa peran masyarakat dalam good governance amat penting,
indikator-indikator ini tidak berbicara mengenai kompetensi yang dibutuhkan
masyarakat agar mereka dapat berperan.
Menurut Koiman (2009:273), governance merupakan serangkaian proses
interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai
bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah
28

atas kepentingan-kepentingan tersebut. Governance merupakan mekanisme-


mekanisme, proses-proses dan institusi-institusi melalui warga Negara
mengartikulasi kepentingan-kepentingan mereka, memediasi perbedaan-
perbedaan mereka serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka.
Governance merupakan proses lembaga-lembaga pelayanan , mengelola sumber
daya publik dan menjamin realita hak azas manusia. Dalam konteks ini good
governance memiliki hakikat yang sesuai yaitu bebas dari penyalahgunaan
wewenang dan korupsi serta dengan pengakuan hak yang berlandaskan pada
pemerintahan hukum.
Menurut Rochman (2009:276) Governance adalah mekanisme pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan non
negara dalam satu usaha kolektif. Menurut dokumen United Nation Development
Program (UNDP: 2004), tata kelola pemerintahan yang baik adalah “Penggunaan
wewenang ekonomi politik dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan
negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk
mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial
dalam masyarakat“.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Good governance
merupakan tata pemerintahan dalam penggunaan wewenang ekonomi, politik, dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan Negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan tersebut mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-
lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
2.2.1 Prinsip-Prinsip Good governance
Kunci utama untuk memahami kepemerintahan yang baik (good
governance) adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya.
Selain itu, penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bertanggungjawab
baru akan tercapai apabila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi, dan
administrasi ketiga komponen good governance tersebut memiliki jaringan dan
interaksi yang setara. Interaksi dan kemitraan seperti ini biasanya baru dapat
29

berkembang subur apabila prinsip-prinsip good governance telah diterapkan


dengan baik. Menurut United Nation Development Program (UNDP) prinsip-
prinsip yang dikembangkan dalam Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good
governance) adalah sebagai berikut :
1) Partisipasi;
Prinsip partisipasi mendorong setiap warga untuk memperguankan hak
dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan Bersama, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
2) Kepastian Hukum (Rule Of Law);
Penegakan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan
konsisten tanpa memandang subjek dari hukum tersebut. Adanya
penegakan hukum diharapkan dapat adil dalam menjunjung HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
3) Transparansi;
Menurut Jeff dan Shah dalam Rosidi dan Fijriani (2013:20), indicator
yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi, yaitu bertambahnya
wawasan masyarakat terhadap penyelenggraan pemerintah,
meningkatnaya kepercayaan masyarakat terhadap pemeritah,dan
meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan daerahnya.
4) Daya Tanggap (Responsiveness);
Para penyelenggara pelayanan publik harus memiliki daya tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat yang dapat ditujukan dalam bentuk
kebijakan publik, program, hingga kegiatan.
5) Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation);
Tata pemerintahan yang baik dapat menjadi jembatan bagi berbagai
kepantingan yang berbeda demi terbangunnya suatu consensus
menyeluruh tentang berbagai hal yang terbaik bagi kelompok-kelompok
di masyarakat.
6) Berkeadilan (Equity);
Prinsip keadilan mencuptakan kepercayaan timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudjahan di dalam memperoleh informasi.
7) Efektifitas dan Efisiensi;
30

Prinsip menjamin bahwa dapat mengelola sumber daya secara optimal


dan bertanggungjawab. Efisiensi dapat dilihat dari berkurangnya
penyimpangan pembelanjaan, berkurangnya biaya operasional
palayanan. Efektifitas dapat ditunjukan dengan meningktnya masukan
dari masyarakat terhadap penyimpangan.
8) Akuntabilitas;
Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami
kebijakan yang diambil dan harus bertanggungjawab kepada
masyarakat.
9) Visi Strategis (Strategic Vision).
Para pemimpin memiliki perspektif yang luas atas tata pemerintahan
yang baik serta memiliki pandangan yang Panjang terhadap
pembangunan manusia.
Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang
baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar
lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-
prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas (Sedarmayanti, 2009:289). Berbeda halnya dengan pendapat
Sedarmayanti yang mengungkapkan bahwa prinsip dasar yang melandasi good
governance terdapat tiga prinsip utama seperti disebutkan di atas. Menurut Bhatta
dalam Mihradi (2014:42) merumuskan bahwa terdapat empat unsur mendasar dari
good governance, yakni akuntabilitas (accountability), transparansi
(Transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law). Maka
sangat penting untuk menelaah setiap unsur untuk dijadikan indicator kualitas
penerapan good governance.
Pertama akuntabilitas, merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur
apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan dimana dana publik
tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara illegal. Kedua, transparansi lebih
mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan,
program dan proyek yang dibuat dan dilaksanakan pememrintah, rakyat secara
pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang menutupi mengenai
proses perumusan kebijakan publik dan implementasinya. Ketiga, keterbukaan
31

menyangkut kepada terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan


tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang terbuka dan transparan dalam
memberikan data dan informasi yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan
untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Sedangkan kerangka
hukum dapat diartikan bahwa good governance mempunyai karakteristik berupa
jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan
publik yang dibuat dan dilaksanakan. Karena itu, setiap kebijakan publik dan
peraturan perundangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan
berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat
umum serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasi.
Kaitannya dengan kewajiban pemerintah daerah untuk menjaminan
kebebasan publik dalam memperoleh informasi publik, maka indicator good
governance berupa akuntabilitas diatas mengakomodasi hak tersebut. Pemerintah
selalu dituntut terbuka dan menjamin akses stakeholder terhadap informasi
mengenai proses kebijakan publik, alokasi anggaran untuk melaksanakan
kebijakan, pemantauan serta evaluasi dalam pelaksanaan kegaitan. Akuntabilitas
adalah esensi untuk pembuatan keputusan yang demokratis. Melalui akuntabilitas
maka proses pembuatan keputusan publik oleh birokasi tidak lagi terlalu gelap
bagi sebagian orang untuk memahami yang terjadi. Warga harus memiliki akses
ke informasi sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
Akuntabilitas yang dijalankan dengan baik oleh pemerintah, diharapkan mampu
memberi peluang untuk meningkatkan partisipasi politik publik untuk
membangun bangsa yang lebih baik.
Menurut Institute on Governance (1996), sebagaimana dikutip Nisjar
(1997) dalam Santosa (2009:132), untuk menciptakan good governance perlu
diciptakan hal-hal sebagai berikut:
1. Kerangka kerja tim antar organisasi, departemen, dan wilayah;
2. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam
masyarakat negara yang bersangkutan;
32

3. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya


tangungjawab Bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta
sinergisme dalam pencapaian tujuan;
4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk
mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung
resiko dan berinisiatif;
5. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi pada
masyarakat, mudah dijangkau masyarakat dan bersahabat. Berdasarkan
pada asas pemerataan dan keadilan dalam setiap tindakan dan
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada
kepentingan masyarakat, bersikap professional, dan tidak memihak
(non partisan).
Pada sector publik, negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan
pelayanan. Warga negara harus memperoleh jaminan atas hak-haknya. Dengan
demikian, penataan manajemen kelembagaan pelayanan bukanlah suatu yang
sederhana. Keterbukaan infromasi publik merupakan wadah bagai warga negara
untuk turut terlibat dalam menjalankan dan mengontrol pemerintahan.

2.3 Konsep Anggaran Daerah


Anggaran menurut Halim (2007) merupakan penghubung antara perencanaan
dan pengendalian. Anggaran merupakan perwujudan komitmen untuk
mengimplementagsikan berbagai perencanaan jangka pendek dan jangka
menengah yang secara jelas memuat apa yang harus dikerjakan dan alokasi
sumber daya yang diperlukan selama satu tahun. Dari pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa anggaran merupakan alat untuk mencaai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Karena di dalamnya menyangkut perencaan, sasaran, tujuan, hingga
pengendalian (evaluasi).
Menurut Sukadarto dalam Adisasmita (2011:27), anggaran adalah suatu
daftar atau pernyataan terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran dalam
jangka waktu tertentu yaitu biasanya satu tahun anggaran. Sedangkan pengertian
anggaran daerah menurut Mardiasmo dalam buku yang sama mengungkapkan
bahwa anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk
33

uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Artinya, anggaran daerah
dalam hal ini berbentuk uang yang digunakan untuk kegiatan satu tahun yang
mencangkup penerimaan dan pengeluaran pada satu tahun anggaran.
Pengangaran menurut Haryanto, dkk dalam Rakhmat (2018:167) merupakan
aktivitas mengalokasikan sumber daya keuangan yang terbatas untuk pembiayaan
belanja organisasi yang cenderung tidak terbatas. Maka itu, anggaran daerah
digunakan sebagai alat untuk menentukan besaran pendapatan dan pengeluaran,
membantu dalam pengembilan keputusan dan perencanaan pembangunan.
Anggaran juga dapat digunakan untuk memotivasi pegawai dan sebagai alat
koordinasi terhadap seluruh aktivitas dan kegiatan berbagai unit kerja perangkat
daerah.
Menurut Prajudi dalam Adisasmita (2011:21) mengungkapkan bahwa
pengelolaan adalah pengendalian dan pemanfaatan semua faktor sumberdaya yang
menurut suatu perencanaan diperlukan untuk penyelesaian suatu tujuan.
Pengertian tersebut menggambarkan secara umum bahwa konsep pengelolaan
merupakan sebuah kegiatan pengendalalian sumberdaya. Sedangkan menurut
Balderton dalam buku yang sama mengungkpkan bahwa istilah pengelolaan sama
dengan manajemen yaitu menggerakkan, mengorganisasikan, dan mengarahkan
usaha manusia untuk memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk
mencapai suatu tujuan.
Memahami kedua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istilah
pengelolaan memiliki pengertian yang sama dengan manajemen dan pengelolaan
tidak hanya di pandang sebagai adanya kegiatan semata tetapi suatu rangkaian
yang meliputi fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pelaksanaa, dan
pengendalian. Menurut Adisasmita (2011:22) terdapat kegiatan-kegiatan yang
mencangkup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan:
a) Perencanaan
Perencanaan dalam arti luas adalahg suatu proses mempersiapkan secara
sistematis kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Lembaga Administrasi Negara, merumuskan pengertian
perencanaan sebagai berikut:
34

1.
Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak alin adalah suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
2.
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan, dan
penentuan aparat pelaksana kegiatan untuk mencapai tujuan.
3. Perencanaan adalah usaha yang diorganisir berdasarkan
perhitungan-perhitungan untuk memajukan perkembangan tertentu.
Pengertian perencanaan diatas, menujukan bahwa inti dari sebuah
perencanaan adalah menentukan sebuah tujuan. Adanya tujuan tersebut kemudian
ditetaqpkan pula serangkain kegaitan/tindakan. Agar perencanaan dapat
menghasilkan produk rencana yang baik maka langkah-langkah penting yang
harus diperhatikan adalah.
1. Tujuan harus dibuat secara lengkap dan jelas.
2.
Rumusan kebijakan atau pedoman yang mengarahkan dan sekaligus
tindakan yang akan dilakukan.
3. Analisis dan penetapan cara dan sasaran untuk mencapai tujuan
dalam kerangka kebijakan yang telah dirumuskan.
b) Pelaksanaan
Sumber daya pelaksanaan bermutu dalam arti yang sebenarnya
dikaitkan dengan pekerjaan yang dikerjakan akan menghasilkan sesuatu
yang dikehendaki dari pekerjaan tersebut. Bermutu bukan hanya pandai,
tetapi memenuhi semua syarat kuantitatif yang dikehendaki antara lain
kecakapan keterampilan, kepribadian, sikap, dan perilaku.
c) Pengawasan
Istilah pengendalian kiranya lebih menarik untuk dilihat karena ia
sekaligus melalui proses monitoring hingga evaluasi. Dalam buku yang
sama, Kontz dan O’Donnel mengemukakan bahwa fungsi pengawasan
meliputi aktivitas-aktifitas dan tindakan untuk mengamankan rencana dan
keputusan yang telah dibuat dan seang dilaksanakan serta diselenggarakan.
Sedangkan menurut Firman B. Aji dan Martin Sirait mengemukakan
35

bahwa pentingnya pelaporan sebagai bagian dari siklu manajemen, karena


dalam laporan terdapat segala atau gambaran tentang rencana yang telah
dilaksanakan hingga dapat dilaksanakan dan berhasil dilaksanakannya.
Dapat dipahami bahwa proses pengawasan merupakan upaya pengendalian
untuk memastikan bahwa setiap kegiatan dari proses perencanaan hingga
evalusi dapat dijalankan sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan.
Dan, pengawasan merupakan cara untuk menilai sejauh mana rencana
dapat tercapai.
Tujuan pembangunan adalah mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
yang lebih tinggi. Campur tangan pemerintah dalam mencapai kesejahteraan bagi
masyarakatnya sangat penting. Maka, pengelolaan anggaran merupakan langkah
strategis yang harus benar-benar diperhatikan. Menurut Adisasmita (2011:33),
anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan
dan pengeluaran daerah yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Tujuan
pengelolaan anggaran meliputi:
a) Kesejahteraan masyarakat; dengan pengelolaan anggaran yang baik
maka akan mendorong kearah perbaikan ekonomi, distribusi pendapatan
yang tepat sasaran sehingga akan menciptakan kondisi yang stabil dan
mengarah kepada pencapaian kesejahteraan masyarakat.
b) Membuka kesempatan kerja; alokasi anggaran yang tepat terhaap
objek-objek vital akan menarik tenaga kerja, membuka kesempatan kerja
karena adanya lapangan kerja sehingga ada distribusi anggaran kepada
para pekerja sehingga daya beli masyarakat menjadi tinggi dan
meningkatan kesejahteraan rakyat.
c) Mengurangi pengangguran; Efektivitas dan efisiensi anggaran dan
perubahan alokasi anggaran kepada optimalisasi angkatan kerja.
d) Palayanan masyarakat; Indikator keberhasilan sebuah
pemerintahan adalah bagaimana masyarakat merasa terlayani dengan baik.
Keempat tujuan pengelolaan anggaran tersebut menunjukan adanya
kepentingan publik yang menjadi dasar pengelolaan anggaran, yaitu berdasar pada
masalah publik. Jadi dapat dipastikan bahwa penyelenggaraan pemerintah dapat
36

berjalan baik bila ditopang dengan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan
ekonomis.
Dalam perekonomian daerah, hal ini biasa disebut sebagai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dibahas oleh pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tetapkan dalam peraturan
daerah. Dalam APBD tergambar alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah.
Keuangan daerah dikelola menggunakan empat prinsip (Adisasmita,
2011:34), yaitu:
a) Prinsip kemandirian; Mengarahkan pengelolaan anggaran dengan
mengurangi ketergantungan terhadap sumber keuangan yang sifatnya
pragmatis dating dari atas, tanpa harus mencoba melakukan sebuah
inovasi dan penemuan sumber-sumber penerimaan yang baru,
optimalisasi terhadap sumber daya yang dimiliki, peningkatan kualitas
sumber daya yang ada sehingga mendorong perbaikan produktivitas
menuju kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
b) Prioritas; penggunaan skala prioritas dalam menentukan objek
dalam perjalanan penyelelnggaraan pemerintah dan pembangunan
c) Efisiensi, efektivitas, dan ekonomis; Efisien dalah input yang
digunakan dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai
output yang menggunakan biaya terendah. Efektif adalah pencapaian
tujuan atau sasaran yang telah ditetgapkan sebelumnya. Seadngkan
ekonomis adalah penghematan input untuk mendapatkan output yang
baik, semua input yang digunakan dibiayai dengan harga termurah.
d) Disiplin anggaran; Pengguanaan anggaran sesuai dengan alokasi
anggaran yang telah ditentukan sebelumnya.
Arah pengelolaan anggaran menurut Pramono Hariadi, dkk (2010:12),
didasarkan pada struktur dari APBD yang terdiri atas:
1) Pengelolaan Pendapatan Daerah;
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening
kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancer, serta
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu
dibayar kembali oleh daerah.
2) Pengelolaan Belanja Daerah;
37

Belanja daerah mencangkup semua pengeluaran uang dari rekening


kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancer dan merupakan
kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan di
peroleh pembanyarannya kembali oleh daerah.
3) Pengelolaan Pembiayaan Daerah.
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan uang yang perlu
dibayar kembali dan pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya.
Menurut Adisamita (2011:39), keuangan daerah harus dikelaola secara:
1) Efisien: Keluaran yang maksimum dengan masukan
tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai
keluaran dengan biaya terendah.
2) Ekonomis: perolehan masukan dengan kualitas dan
kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
3) Efektif: perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas
sesuai sasaran yang telah ditetapkan.
4) Transparan: prinsip keterbukaan yang memungkinkan
masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang keuangan daerah.
5) Bertanggungjawab: Kewajiban seseorang atau satuan kerja
untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
6) Keadilan: Merupakan keseimbangan distribusi kewenangan
dan pendanaannya.
7) Kepatutan: suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan
proposional.
Dari ke-tujuh pilar utama dari pengelolaan anggaran tersebut, menyangkut
pilar akuntabilitas merupakan hal yang krusial perlu dilakukan. Karena
pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan
dan pengendalian sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan yang diamanahkan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan. Kaitannya dengan
penelitian ini, penyajian akuntabilitas melalui metode e-government dapat
38

memudahkan masyarakat untuk memonitor berkenaan dengan kebijakan dan


program yang diambil dan dapat secara langsung untuk mendapatkan informasi
pengelolaan anggaran (APBD).
Menurut Mardiasmo (2001:105), ada tiga prinsip yang mendasari dalam
pengelolaan keuangan daerah, yaitu:

1. Prinsip transparansi atau Keterbukaan


Transparansi disini memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak
dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut
aspirasi dan keinginan masyarakat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan
hidup masyarakat banyak.
2. Prinsip akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa
proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan
harus benar–benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada
DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk
mengetahui anggaran tersebut tapi juga berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban atas rencana atau pelaksanaan anggaran tersebut.
3. Prinsip value for money
Prinsip ini berarti diterapkannya tiga pokok dalam proses penganggaran yaitu
ekonomis, efisien, dan efektif. Ekonomis yaitu pemilihan dan penggunaan
sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang murah.
Efisien adalah penggunaan dana masyarakat tersebut dapat menghasilkan
sesuatu yang maksimal atau memiliki daya guna. Efektif dapat diartikan
bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target atau tujuan
kepentingan masyarakat.

Akuntabilitas pengelolaan anggaran tidak dapat terlepas dari upaya


transparansi pengelolaan anggaran. Ketika transparansi berjalan, maka
akuntabilitas turut mengiringi. Vera Jasini mengungkapkan pentingnya
transparansi dalam pengelolaan anggaran. Menurut Vera Jasini Putri dalam
Adisasmita (2011:29), transparansi anggaran berarti keterbukaan dalam setiap
proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran
39

daerah sehingga masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui
proses penganggaran daerah karena menyangkut kepentingan, aspirasi, dan upaya
pencegahan permasalahan yang mereka hadapi untuk memenuhi kebutuhannya.
Maka itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait
pertangungjawaban pemerintah dalam pengelolaan anggaran daerah
pemermintahan Kabupaten Jember. Pertangungjawaban tersebut dapat dilihat dari
transparansi dalam pengelolaan anggaran daerah. Hal ini di dasarkan pada prinsip
pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran menurut Vera Jasini bahwa
keterbukaan informasi publik merupakan hak bagi masyarakat daerah untuk dapat
mengakses secara mudah segala inforamsi tentang penganggaran di pemerintahan
Kabupaten Jember. Hal ini karena menyangkut aspirasi, kepentingan, dan upaya
kontrol masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan. Disamping itu,
transparansi pengelolaan anggaran merupakan bentuk pertangungjawaban
pemerintah daerah dalam menjalankan amanah masyarakat.
2.4 Kapasitas
Sebuah sepeda motor juga mengembangkan kapasitas agar ia mampu
melaju kencang. Mesin dan segala perlengkapannya akan aus karena terjasi
gesekan yang keras selama beberapa tahun, atau bahkan hanya beberapa bulan.
Untuk itu, si pengendara harus berkala dalam service kendaraan motor mereka.
Menjaga performa agar tetap berlaju kencang dan kuat, sperepart yang sudah aus
atau tidak layak pakai harus segera diganti atau di perbaiki. Beberapa tahun
setelah teknologi berkembang pesat, Si perusahaan C tidak mungkin hanya
memproduksi sepeda motor tipe X. Hal ini untuk menjaga kualitas dan eksistensi
perusahaan tersebut. Disamping itu, publik juga menginginkan sesuatu yang lebih
dan memiliki daya saing. Dikeluarkanlah tipe sepeda motor D dengan performa
yang berbeda. Begitu seterusnya. Sama halnya dengan sebuah lembaga, ia harus
tumbuh dan berkembang agar tidak mati. Pengembangan dan penguatan kapasitas
sangat dibutuhkan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan, regenerasi, dan
tetap eksis.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata kapasitas diartikan sebagai
kemampuan menghasilkan produksi. Menurut Milen dalam Haryanto (2014:14),
40

kapasistas diartikan sebagai kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk


menjalankan fungsi sebagaimana mestinya secara efisien, efektif, dan terus-
menerus. Pengertian ini sama dengan apa yang diaungkap oleh GTZ dan USAID
dalam Rozaki (2005:213), bahwa kapasitas adalah kemampuan seorang atau
individu suatu organisasi atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsinya
atau kewenangannya untuk mencapai tujuan-tujuan secara efektif dan efisien. Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kapsitas bekerja pada level yang saling
terkait. Pertama, level individu, yaitu tingkat keterampilan dan kualitas individu
berupa tingkat pekerjaan, memotivasi, dan sikap kerja. Kedua, level kelembagaan
atau organisasi, yaitu tingkat kemampuan Lembaga dengan struktur organisasi
tertentu, proses kerja, dan budaya kerja. Ketiga, level sistem yang menetapkan
kondisi-kondisi kerangka yang memungkinkan dan membatasi bagi pemerintah,
dan berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain.
Maka itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian kapasitas terdiri dari tiga
komponen yang saling terkait, yaitu: individu merupakan tingkat keterampilan
dan kualifikasi individu berupa pekerjaan, motivasi, dan sikap kerja. Lalu
Lembaga merupakan tingkat kemampuan Lembaga meliputi proses kerja, dan
budaya kerja. Kemudian, sistem merupakan kondisi kerangka yang
memungkinkan dan membatsi bagi pemerintah, dan berbagai komponen kapasitas
tersebut berfungsi untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsinya secara
efektif dan efisien.
Terdapat beberapa pendekatan kapasitas menurut Eade (1997:110), antara
lain sebagai berikut.
a. Structure (Struktur Organisasi)
Menurut Hasibuan (2004:128), struktur organisasi yaitu menggaambarkan
tipe organisasi, pendepartemenan organisasi, kedudukan dan jenis,
wewenang pejabat, bidang dan hubungan pekerjaan, garis perintah dan
tanggungjawab, rentang kendali, dan sistem pimpinan organisasi. Berbeda
halnya dengan yang dikemukakan oleh Robbin (1995:6), yang
mengungkapkan bahwa struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas
41

akan dibagi, siapa melapor pada siapa, mekanisme koordinasi yang formal
serta pola interaksi yang akan diikuti.
Menurut Robbin dalam Istianto (2009:56), struktur organisasi meliputi tiga
komponen dasar, yaitu:
1) Kompleksitas
Kompleksitas adalah perlunya mempertimbangan tingkat deferernsiasi
yang terdapat dalam tugas organisasi termasuk didalamnya tingkat
pembagian kerja, jumlah tingkat didalam hirarki organisasi serta sejauh
mana unit-unit terbesar secara geografis.
2) Formalisasi
Formalisasi merujuk pada tingkat sejauh manapekerjaan di dalam
organisasi itu distandarisasikan. Semakin rendah tingkat
formalisasidalam organisasi, naka perilaku organisasi tersebut relative
tidak terprogram sehingga memberi kebebasan bagi anggota untuk
mengambil kebijakan sendiri dalam pekerjaannya. Formalisasi dapat
berbentuk peraturan tidak tertulis dan peraturan tertulis seperti
peraturan-peraturan, prosedur, interaksi dan komunikasi organisasi
dibakukan dalam bentuk tulisan.
3) Sentralisasi
Sentralisasi merujuk pada tingkat dimana pengambilan keputusan
dikonsentrssikan pada suatu titik tunggal dalam organisasi. Konsentrasi
yang tingi menyatakan adanya sentrslisasi yang tinggi, dan sebaliknya.
b. Physical Resources (Sumberdaya fisik: sarana dan prasarana)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sarana adalah
segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud
dan tujuan. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, bangunan,
proyek). Maka dapat dipahami bahwa sarana lebih ditujukan kepada
benda-benda yang bergerak seperti mesin, computer, dan transportasi.
Sedangkan prasarana ditujukan kepada benda-benda yang tidak bergerak
seperti bangunan Gedung.
c. Sistem (sistem kerja/ mekanisme kerja/prosedur kerja)
Menurut Pamoedji (1996:39), prosedur kerja adalah rangkaian dari
suatu tata kerja yang beruntut. Tahap demi tahap menunjukan jalan atau
arus yang harus ditempuh dari mana pekerjaan berasal, kemana diteruskan,
42

dan kapan selesainya, dalam rangka penyelesaian suatu bidang pekerja


atau petugas. Prosedur kerja adalah perincian langkah-langkah dari
serangkaian fungsi yang diarahkan untuk mencapai hasil yang
dikehendaki. Maka dapat dipahami bahwa proedur kerja merupakan
rincian dinamikan mekanisme yang ada dalam suatu organisasi.
Tery dalam Syamsi (1994:16), memberikan batsan prosedur kerja
sebagai serangkaian tugas-tugas yang berhubungan satu sama lain serta
merupakan urutan kronologis dan cara yang telah digariskan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan. Sebuah prosedur, tercantum cara
bagaimana setiap tugas akan dilakukan, untuk mengerjakan suatu tugas
administrasi tertentu didalam organisasi atau perusahaan yang
bersangkutan. Prosedur biasanya digunakan terhadap pekerjaan yang
berulang. Sebaliknya untuk menempatkan limit-limit waktu, untuk setiap
tindakan dalam sebuah prosedur.
Lebih lanjut menurut Siagian (2001:177), mengungkapkan bahwa
pentingnya kejelasan prosedur berkaitan erat dengan pengelolaan suatu
organisasi dengan pendekatan kesisteman yang berlaku. Dikatakan
demikian karena ketiga alasan yaitu sebagai berikut.
1. Prosedur kerja merupakan “peraturan main” yang harus ditaati
dalam penyelesaian tugas lintas sectoral dan multidimensional. Karena
itu menyangkut interaksi, interdepensi, dan koordinasi antar instansi
disamping berlaku secara internal dalam lingkungan satu kesatuan
kerja.
2. Kebenaran pandangan ini juga terlihat dalam teori organisasi yang
mengatakan bahwa dalam manjalankan roda suatu organisasi harus
terjawab pertanyaan-pertanyaan: (a) siapa yang melakukan kegiatan
apa; (b) siapa bertanggungjawab kepad siapa; (c) siapa berinteraksi
kepada siapa; (d) jaringan informasi apa yang terdapat dalam
organisasi; (e) saluran komunikasi yang tersedia bagi siapa dan untuk
kepentingan apa.
3. Kejelasan prosedur kerja berkaiatan erat dengan transparansi dan
keterbukaan pemerintah dalam penyelengaraan fungsi dan kegiatannya,
termasuk dalam hal penegakan hukum dan peraturan perundangan yang
43

berlaku, perumusan dan peraturan kebijakan, penegakan disiplin


masyarakat dalam pemungutan dana dari masyarakat serta
penggunaannya dan dalam meemberikan pelayanan umum kepada
masyarakat luas.
d. Human Resources (sumberdaya manusia)
Sumberdaya manusia adalah unsur yang paling dominan dalam
suatu organisasi. Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan dalam organisasi
akan sangat ditentukan oleh manusia yang terlibat di dalamnya.
Sumberdaya manusia memiliki peran yang strategis dalam memberikan
nilai tambahan bagi organisasi dalam untuk mencapai keunggulan yang
kompetitif. Menurut Mathis dan Jackson (2006:3) Sumberdaya manusia
adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk
memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna
mencapai tujuan organisasi.
Selanjutnya, menurut Hasibuan (2003:244) Bahwa Sumberdaya
manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang
dimiliki individu. Peiaku dan sifatnya dilakukan oleh keturunan dan
lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan
untuk memenuhi kepuasanya. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa sumberdaya manusia terdiri dari daya fikir dan daya fisik setiap
manusia. Tegasnya kemampuan setiap manusia ditentukan oleh daya fikir
dan daya fisiknya. Sumberdaya manusia menjadi unsur utama dalam setiap
aktivitas yang dilakukan. Peralatan yang canggih tanpa peran aktif dari
sumberdaya manusia tidak berarti apa-apa.
Dalam kegiatan pemungutan pajak Bumi dan Bangunan guna
mendapatkan basil yang baik dalam penerimaannya, diperlukan petugas
pemungut yang memahami bagiamana cara menagih pajak terhadap
masyarakat. Para petugas pajak tidak hanya memahami bagaiaman cara
menagih pajak kepada masyarakat tetapi harus mengerti dan dapat
menganalisa suatu permasalahan serta mampu memberikan pemahaman
kepada masyarakat terhadap prosedur dan sistem pembayaran pajak.
Unmk itu pantingnya sumberdaya manusia yang dimiliki petugas
44

pemungut pajak dapat berpengaruh terhdap pendapatan pajak yang akan


diterima.

e. Financial Resources (Sumber daya Keuangan)


Sumberdaya merupakan unsur yang penting dalam organisasi,
Sumberdaya merupakan suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi
atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya dapat berubah, baik
menjadi semakin besar maupun hilang. Semua sumber baik mauusia,
materi, maupun energi yang secara nyata dan potensial dapat digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut semberdaya. Menurut
Dubrin (1990:13) financial resources merupakan uang yang digunakan
manajer dan organisasi untuk membiayai pekerjaan guna mencapai tujuan
organiasasi.
f. Culture (Budaya Kerja)
Budaya kerja merupakan sekumpulan perilaku yang melekat secara
keseluruhan pada diri individu dalam sebuah organisasi. Menurut Nawawi
(2003:65) budaya kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang
oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaran terhadap kebiasaan ini
memang tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral
telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang
harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk pencapaian
tujuan. Kemudian, Triguno (2001:13) juga mendefinisikan budaya kerja
adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-
nilai yang didasari oleh sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong
membudaya dalam kehidupan sutau kelompok masyarakat atau organisasi
tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang telwujud sebagai kerja atau bekerja. Dari penjelasan diatas
dapat dismpulkan bahwa budaya kerja merupakan falsafah sebagian nilai-
nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekeuatan pendorong yang dimiliki
bersama oleh setiap individu dalam lingkungan kerja suatu organisasi.
g. Leadership (Kepemimpinan)
Kepemimpinan merupukan suatu ilmu yang, mengkaji secara
komprehensif tentang bagaimana mengarahkan, mempegaruhi dam
45

mengawasi orang lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan perimah


yang telah direncanakan. Menurut Robbins (dalam Fahmi 2013:68)
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok
ke arah tercapainya tujuan. Selanjutnya, definisi kepemimpinan George R.
Terry (dalam Sutarto, 2012:16) kepemimpinan adalah hubungan yang ada
dalam diri orang seorang atau pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain
untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan
yang diinginkan pemimpin. Dalam kepemimpinan terdapat tiga gaya
kepemimpinan, menurut Ronald Lippit dan Ralph K. (dalam Sutarto,
2012:67) yaitu sebagai berikut:
1) Authoritarian (otoriter), autocratic (otokratis), dicktatorial
(diktaktor) Kepemimpinan gaya otoriter, otokratis, atau diktaktor
adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja
sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala
kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pemimpin semata-mata.
Kepemimpinan gaya otoriter berciri:
a) Wewenang mutlak kepada pimpinan;
b) Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan;
c) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan;
d) Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada
bawahan;
e) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, pcrbuatan atau
kegiatan;
f) kepada bawahannya dilakukan secara ketat;
g) Prakarsa harus selalu datang dari pimpinan;
h) Tiada kesempatan untuk bawahan memberikan saran,
pertimbangan atau pendapat 9. Tugas-tugas pada bawahan
diberikan secara instruktif;
i) Lebih banyak kritik dari pada pujian;
j) Pemimpin menunutut prestasi sempurna dari bawahan
tanpa syarat;
k) Pimpinan menunutut kesetaan mutlak tanpa syarat;
l) Cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuma;
m) Kasar dalam brtindak;
n) Kaku dalam bersikap;
46

o) Tanggungjawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh


pimpinan.

2) Democratic (Demokratis)
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan
mempenguruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai
tujuan yang telah di tetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan
dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Kepemimpimm gaya demokmtisantura lain berciri:
a) Wewenang pimpinan tidak mutlak;
b) Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang
kepada bawahan
c) Keputusan di buat bersama antara pimpinan dan bawahan;
d) Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan
bawahan;
e) Komunikasi berlangsung timbal-balik, baik yang terjadi
antara pimpinan dan bawaham maupun antara semua bawahan;
f) Pengawasan terhadap setap, tingkah laku, perbuatan, atau
kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar;
g) Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan;
h) Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan
saran, pertimbangan, atau pendapat;
i) Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih
bersifat permintaan dari pada instruktif;
j) Pujian dan kritik seimbang;
k) Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahnn
dalam batas kemampuan masing-masing;
l) Pimpinan meminta kesetiaan para bawahan secara wajar;
m) Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan
bertindak;
n) Terdanat susunan saling percaya, saling menghorman dan
saling menghargai;
o) Tauggungjawab keberhasilan organisasi dipikul bersama
pimpinan dan bawahan.
47

3) Laissez (kebabasan), fee-rein (bebas kendali), libertarian


(kebebasan)
Kepemimpinan gaya kebebasan atau gaya liberal adalah
kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan
yang dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan.
Kepemimpinan liberal antara lain berciri:
a) Pemimpin menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada
bawahan;
b) Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan;
c) Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh bawahan;
d) Pemimpin berkomunukasi apabila diperlukan oleh
bawalmnnya;
e) Hampir tiada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku,
perbuatan atau kegiatan yang dilakukan para bawahan;
f) Prakarsa selalu datang dari bawahan;
g) Hampir tiada pengarahan dari pemimpin;
h) Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok;
i) Kepentingan pribadi lebih uatama dari pada kepentingan
kelompok;
j) Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh
perorang
Dalam hal ini, kepemimpinan yang dimaksud adalah Bupati
Kabupaten Jember Bupati Jember sebagai pemimpin tertinggi di
Pemerintahan Kabupaten Jember harus memiliki kemampuan yang
sesuai dengan bidangnya. Dalam hal keterbukaan informasi publik,
Bupati Jember harus berperan aktif dalam melaporkan segala kegiatan
dan penggunaan anggaran sebagai bentuk tangungjawab penyelenggara
pemerintahan kepada rakyat.

2.5 Konsep E-government


E-government adalah salah satu bentuk atau model sistem pemerintahan
yang berlandaskan pada kekuatan teknologi digital, di mana semua pekerjaan
administrasi, pelayanan terhadap masyarakat, pengawasan dan pengendalian
sumber daya milik organisasi yang bersangkutan, keuangan, pajak, retribusi,
48

karyawan dan sebagainya dikendalikan dalam satu sistem. E-government


merupakan perkembangan baru dalam rangka peningkatan layanan publik yang
berbasis pada pemnfaatan teknologi informasi dan komunikasi sehingga layanan
publik menjadi lebih transparan, akuntabel, efektif dan efisien.

Lebih lanjut, menurut Van Dijk (2006) dalam Dunan (2015:77)


mendefinisikan e-government sebgai suatu proses pengolahan informasi,
komunikasi, dan transaksi yang berkaitan dengan tugas-tugas pemerintah
(administrasi politik dan publik) dan yang direalisasikan oleh apliksi teknologi
komuikasi dan informatika tertentu.

Menurut Indrajit (2002:36) E-government merupakan suatu mekanisme


interaksi baru antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang
berkepentingan, dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama
internet) dengan tujuan memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan. E-government
adalah penyelenggaraan kepemerintahan berbasiskan elektronik untuk
meningkatkan kualitas layanan publik secara efisien, efektif dan interaktif.
Dimana pada intinya E-government adalah penggunaan teknologi informasi yang
dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain (penduduk,
pengusaha, maupun instansi lain).

World Bank dalam Zaidan Nawawi (2013:197) mengungkapkan bahwa e-


government merupakan pengguanaan teknologi informasi oleh pemerintah seperti
wide area network, computer mobile, dan internet yang mempunyai kemampuan
mentransformasikan hubungan dengan rakyat, kelompok bisnis, aparatur
pemerintah. Sedangkan menurut UNDP dalam buku yang sama mengemukakan
bahwa e-government merupakan aplikasi teknologi infromasi dan komunikasi
oleh pemerintah. Secara sederhana dapat dipahami bahwa dengan adanya e-
government merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
Ketiga pemahaman terhadap pengertian e-goverment menujukan perihal
yang sama, yaitu tentang pemanfaatan teknologi informasi. Disamping itu,
pengertian e-government diatas juga memiliki perbedaan mendasar. Pertama, e-
49

government dipandang sebagai tugas-tugas pemerintahan yang direalisasikan


kedalam bentuk sebuah aplikasi teknologi komunikasi dan informasi. Kedua,
memandang e-government sebagai upaya dalam peningkatan kualitas pelayanan
publik, yaitu agar pelayanan publik lebih efisien, efektif, dan interaktif. Ketiga, e-
government diartikan sebagai penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah
seperti website dan internet.
Pengertian ketiga tentang e-government berkaitan dengan topic yang
penulis angkat yaitu pemanfaatan e-government dalam meningkatkan
akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah Kabupaten Jember. E - government
dalam penelitian ini merujuk pada website pemerintahan Kabupaten jember yang
di duga minim dalam keterbukaan informasi, khususnya pengelolaan anggaran
daerah.
Sementara itu, menurut hasil kajian riset dari Harvard JFK School of
Government, untuk menerapkan konsep-konsep digitalisasi pada sector publik,
ada tiga elemen sukses yang harus dimiliki dan diperhatikan sugguh-sungguh.
Masing-masing elemen sukses tersebut adalah support, capacity, dan value
(Indrajit, 2003:15).
1) Support.
Tanpa adanya unsur political will ini, mustahil berbagai inisiatif
pembangunan dan pengembangan e-government dapat berjalan mulus.
Karena budaya birokrasi cenderung bekerja berdasarkan model
manajemen top-down, maka jelas dukungan implementasi e-
government yang efektif harus dimulai dari para pemimpin
pemerintahan yang ada pada level tertinggi. Yang dimaksud dengan
dukungan di sini juga bukanlah hanya pada omongan semata, namun
lebih jauh lagi dukungan yang diharapkan adalah dalam bentuk hal-hal
sebagai berikut:
a. Disepakatinya kerangka e-government sebagai salah satu
kunci sukses Negara atau pemda dalam mencapai visi dan misi
bangsa atau daerahnya sehingga harus diperhatikan prioritas tinggi
sebagaimana kunci-kunci sukses lain diperlukan.
50

b. Dialoksikannya sejumlah sumberdaya (manusia, financial,


tenaga, waktu, informasi) di setiap tataran pemerintahan untuk
membangun konsep ini dengan semangat lintas sector.
c. Dibangunnya barbagai infrastruktur dan suprastruktur
pendukung pencipta lingkungan kondusif untuk megembangkan e-
government (sepertii adanya regulasi yang jelas).
d. Disosialisasikannya konsep e-government secara merata,
kontinyu, konsisten, dan menyeluruh kepada semua kalangan
birokrat secara khusu dan masyarakat secara umum melalui
berbagai cara kampanye yang simpatik.
2) Capacity.
Adanya unsur kemampuan atau keberdayaan dari pemerintah setempat
dalam mewujudkan impian e-govermnment terkait dengan menjadi
kenyataan. Ada tiga hal minimum yang paling tidak harus dimiliki oleh
pemerintah sehubungan dengan elemen ini, yaitu:
a. Ketersediaan sumberdaya yang cukup untuk melaksanakan
berbagai inisiatif e-government, terutama yang berkaitan dengan
sumberdaya finansial.
b. Ketersediaan infrastruktur teknologi informasi yang
memadai karena fasilits ini merupakan 50% dari kunci
keberhasilan penerapan e-government.
c. Ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki
kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan agar penerapan e-
government dapat sesuai dengan asas manfaat yang diharapkan.
3)Value
Elemen pertama dan kedua merupakan dua buah aspek yang dilihat
dari sisi pemerintah selaku pihak pemberi jasa (supply side). Berbagai
inisiatif e-government tidak ada gunanya jika tidak ada pihak yang
merasa diuntungkan dengan implementasi konsep tersebut; dan dalam
hal ini, yang menentukan besar tidaknya manfaat yang diperoleh
dengan adanya e-government bukanlah kalangan pemerintah sendiri,
melainkan masyarakat dan mereka yang berkepentingan. Untuk itulah
maka pemerintah harus benar-benar teliti dalam memilih prioritas jenis
aplikasi e-government apa saja yang harus didahulukan
51

pembangunannya agar benar-benar memberikan manfaat (value) yang


secara signifikan dirasakan oleh masyarakat. Salah dalam mengerti
yang dibutuhkan masyarakat justru akan mendatangkan boomerang
bagi pemerintah yang akan mempersulit meneruskan usaha
mengembangkan e-government.

Perpaduan ketiga elemen terpenting diata akan membuat sebuah nexus


atau pusat saraf jaringan e-government yang akan merupakan kunci sukses utama
penjamin keberhasilan. Maka, Ketiga konsep tersebut merupakan panduan penulis
untuk menilai sejauh mana pemanfaatan e-govermnet dalam peningkatan
transparansi pengelolaan anggaran di pemerintahan Kabupaten Jember. Penilaian
terhadap ketiga konsep tersebut sangat penting karena menyangkut pemanfaatan
e-government di pemerintahan Kabupaten Jember.

2.6 Konsep Akuntabilitas


Salah satu prinsip utama dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik
adalah akuntabilitas. Menurut Widodo dalam Rakhmat (2018:135) organisasi
pemerintahan dibuat oleh publik dan untuk kepentingan publik, karena itu perlu
mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya kepada publik, hal ini
dalam studi administrasi negara disebut dengan akuntabilitas. Menurut Lembaga
Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI
(2000:12), akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang/pimpinan suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas adalah hal yang
penting untuk menjamin nilai-nilai seperti efisiensi, efektifitas, reliabilitas dan
prediktibilitas. Suatu akuntabilitas tidak abstrak tapi kongkrit dan harusditentukan
oleh hukum melalui seperangkat prosedur yang sangat spesifik mengenai masalah
apa saja yang harus dipertanggungjawabkan.
Pendapat lain seperti Wahyudi (2005:3) berpendapat bahwa akuntabilitas
adalah ukuran yang menunjukan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang
dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi
52

kebutuhan rakyat yang sesuangguhnya. Dari pendapat tersebut dapat dipahami


bahwa akuntabilitas merupakan perbandingan antara aktivitas pelayanan yang
dilakukan birokrasi terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diukur
berdasarkan kebutuhan rakyat.
Kemudian lebih lanjut menurut Krina dalam Rakhmat (2018:141)
mengungkakan bahwa akuntabilitas merupakan prinsip yang menjamin setiap
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka oleh pelaku kepada pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.
Pada buku yang sama, Tjahjulin mengungkapkan berpadangan bahwa
akuntabilitas adalah kewajiban bagi pengelola keuangan daerah untuk bertindak
selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan
kebijaksanaan yang ditetapkannya. Mahmudi dalam Rakhmat (2018:143)
mengatakan bahwa akuntabilitas berarti kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan atau akuntabilitas berfungsi
menyajikan informasi mengenai keputusan – keputusan dan tindakan – tindakan
yang diambil selama beroperasinya suatu entitas (satuan usaha), memungkinkan
pihak luar (misalnya legislasi, auditor, dan masyarakat luas) untuk me-review
informasi tersebut dan mengambil tindakan korektif jika dibutuhkan.
Keempat pendapat diatas memiliki pandangan berbeda - beda terkait
pemahaman tentang akuntabilitas, tetapi keempat pendapat diatas miliki garis
merah yang sama yaitu sama-sama melihat pada tangungjawab penyelenggara
pemerintahab dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya dan
mempertanggungjawabkannya kepada publik. Pendapat ketiga menurut Tjahjulin
dalam Rakhmat (2018:141) lebih menekankan pada tanggung jawa pemerintah
daerah dalam pengelolaan keuang daerah. Sedangkan dirinci kembali oleh
Mahmudi bahwa akuntabilitas memiliki fungsi menyajikan informasi mengenai
keputusan dan tindakan yang diambil selama beroperasinya suatu entitas, pihak
luar, dan masyarakat luas. Hal ini sejalan dengan topik yang penulis usung yaitu
berkenaan dengan penerapan e government dalam peningkatkan akuntabilitas
pengelolaan anggaran daerah. E Government dibuat sebagai pertanggungjawaban
pemerintah dalam menjamin kemudahan akses bagi masyarakat untuk melihat
53

segala kegiatan dan keputusan yang pemerintah ambil, yaitu dengan menyajikan
pada sebuah website pemeritah daerah.
Menurut Turner and Hulme dalam Mardiasmo (2009:21), dalam konteks
organisasi pemerintah, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan disclosure
atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah,
harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak
publik. Akuntabilitas (accountability) merupakan konsep yang lebih luas dari
stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas aktivitas secara
ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan
accountability mengacu pada pertanggungjawaban oleh seseorang steward kepada
pemberi tanggung jawab. Akuntabilitas merupakan konsep yang kompleks yang
lebih sulid mewujudkan dari pada memberantas korupsi.. Terwujudnya
akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sector publik. Tuntutan
akuntabilitas mengharuskan lembaga-lembaga sector publik untuk lebih
menekankan pada pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability)
bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability), tuntutan yang
kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat
menggambarkan kinerja lembaga sektor publik.
Akuntabilitas yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri
atas beberapa dimensi. Ellwood dalam Mardiasmo (2009:21-22) menjelaskan
terdapat empat dimensi akuntabilitas publik yang harus dipenuhi oleh organisasi
sector publik, yaitu:

1. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (accountability for


probity and legality)

Akuntabilitas kejujuran (accountability for probity) terkait dengan


penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan
akuntabilitas hukum (legal accountability) terkait dengan jaminan adanya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyarakkan dalam
penggunaan sumber daya publik.
54

2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi
akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi.
Akuntabilitas proses termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik
yang cepat, responsive, dan murah biaya. Pengawasan dan pemeriksaan
terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan misalnya dengan
memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain diluar yang
ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang
menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam
pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait
dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakannya proyek-
proyek publik. Harus dicermati dalam pemberian kontrak tender adalah
apakah proses tender telah dilakukan secara fair melalui Compulsory
Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan melalui pola Korupsi,
Kolusi, Nepotisme (KKN).

3. Akuntabilitas Kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap kebijakan-kebijakn yang
diambil pemerintah sebagai eksekutif terhadap DPR/DPRD sebagai legislatif
masyarakat luas. Dalam era reformasi dewasa ini, audit kebijakan (policy
audit) juga telah menjadi tuntutan masyarakat. hal tersebut terkait dengan
adanya tuntutan dilakukannya transparansi kebijakan oleh pemerintah
sehingga masyarakat dapat melakukan penilaian dan pengawasan serta
terlibat dalam pengambilan keputusan.

4. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal.
2.7 Kerangka Berfikir
55

Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang


Keterbukaan Informasi Publik

Kewajiban Pemerintah Daerah untuk Mencantumkan Konten Transparansi Anggaran:


Instruksi Mendagri Nomor 188.52/1797/SC/2012 tentang Transparansi Pengelolaan
Anggaran Daerah (TPAD)

Rendahnya keterbukaan informasi di Pemerintahan Kebupaten


Jember

Peninjauan berdasarkan penerapan Analisis berdasarkan


E-Government (Website). Riset Akuntabilitas
dari Harvard JFK School of (Mahmud)
Government
Keakuratan

Support
Transparansi

Capacity
Ketepatan waktu

Value
Relevansi

Keandalan
Informasi

BAB 3. METODE PENELITIAN


56

Metode penelitian merupakan bagian krusial dalam sebuah penelitian.


Karena ia tidak hanya menentukan rencana-rencana apa saja yang harus dilakukan
dalam melaksanakan penelitian untuk menjawab rumusan masalah yang di
munculkan. Tetapi metode penelitian berusaha menyajikan perlengkapan untuk
mendapatkan fakta empiris yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penulis berusaha mencari gambaran secara holistic
dari penelitian yang penulis lakukan. Menurut tata cara penulisan Karya Tulis
Ilmiah Universitas Jember (2016:52). Untuk penelitian kualitatif, komponen yang
diperlukan antara lain adalah.
1. Pendekatan penelitian
2. Tempat dan waktu penelitian
3. Desain penelitian atau rancangan penelitian kualitatif
4. Teknik dan alat perolehan data
5. Teknik penyajian data

3.1 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian merupakan sudut pandang yang digunakan penulis
untuk melihat masalah penelitian ketika di lapangan dan cara yang ditempuh
untuk menemukan kebenaran ilmiah. Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong
(2008:14) mengistilahkannya dengan “paradigma”. Paradigma menurut Bogdan
dan Biklen adalah kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dianut
bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan cara
penelitian. Melihat masalah penelitian di lapangan diperlukan alat-alat yang
mendukung untuk menangkap gejala-gejala sosial yang ada. Dan dengan
pendekatan penelitian, akan menentukan bagaimana langkah-langkah peneliti
dalam menjalankan penelitian di lapangan. Berdasarkan pedoman Karya Tulis
Ilmiah Universitas Jember (2016:52) bahwa pendekatan penelitian dapat
menggunakan perspektif fenomenologis. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.
Menurut Moleong (2006:50) ada macam-macam paradigma, tetapi yang
mendominasi ilmu pengetahuan adalah paradigma ilmiah dan paradigma alamiah.
57

Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme. Sedangkan paradigma


alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis. Menurut Patton (2006:13)
rancangan kualitatif itu bersifat naturalistik (alamiah). Lebih lanjut, Moleong
(2006:6) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Penelitian deskriptif menurut Sugiyono (2011:11) adalah penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih
(independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel
satu dengan variabel lainnya. Sedangkan, tujuan dari penelitian deskriptif menurut
Bungin (2001:48) adalah untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi,
berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi
objek penelitian itu.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat dan waktu penelitian merupakan dua hal penting untuk di
perhatikan, karena tempat dan waktu penelitian akan mempengaruhi proses serta
hasil penelitian. Pedoman Karya Tulis Ilmiah Universitas Jember (2016:52)
menjelaskan bahwa tempat dan lokasi penelitian mencakup lokasi atau daerah
sasaran dan kapan (kurun waktu) penelitian dilakukan beserta pertimbangan yang
logis dalam penentuan lokasi yang menggambarkan konteks peristiwa penelitian.
Penulis memilih Pemerintahan Kabupaten Jember sebagai lokasi
penelitian, khususnya PPID sebagai satuan penanggungjawab keterbukaan
informasi publik. Disamping itu, penulis juga melakukan penelitian pada
pengguna informasi, yaitu: 1) masyarakat (LSM); 2) Instansi Pers di Kabupaten
Jember ( Jember 1 Tv, Rosalina, Radar Jember). Terdapat berbagai alasan dalam
pemilihan lokasi penelitian tersebut, diantaranya: a) Website Pemerintahan
Kabupaten Jember yang masuk kategori sangat rendah dalam keterbukaan
informasi publik; b) Pemerintah Kabupaten Jember berada pada urutan ke-35 dari
58

38 kabupaten/kota se-jawa timur dengan keterbukaan informasi yang sangat


rendah.
Waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu pada bulan Juli-
Agustus tahun 2019. Sedangkan, peneliti melakukan penelitian yang berkenaan
penerapan e-government dalam peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan
pemerintahan Kabupaten Jember.

3.3 Desain penelitian atau rancangan penelitian kualitatif


Pedoman Karya Tulis Ilmiah Universitas Jember (2016:52) menjelaskan,
desain penelitian menetapkan peneliti sebagai human instrument. Artinya, peneliti
dalam melakukan sebuah penelitian harus turut andil dan masuk dalam dunia yang
diteliti. Karena hal tersebut akan memperkaya hasil dari penelitian yang
dilakukan.
Echols dan Hasan shadily (1976) dalam Moleong (2008:384) berpendapat
bahwa design ialah rencana, namun apabila dikaji lebih lanjut, kata itu dapat
berarti pula pola, potongan, bentuk, model, tujuan, dan maksud. Lebih lanjut,
rancangan pada dasarnya merencanakan sesuatu kegiatan sebelum dilaksanakan.
Kegiatan merencanakan itu mencangkup komponen-komponen penelitian yang
diperlukan (Moleong, 2008:385). Rancangan penelitian kualitatif berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih infoman sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan
membuat kesimpulan atas temuannya.
Penelitian ini menggunakan metode (design) studi kasus. Menurut
Creswell (2015:135) penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang
penelitinya mengeksplorasi kehidupan-nyata, sistem terbatas kontemporer (kasus)
atau beragam sistem berbatas (berbagai kasus), melalui pengumpulan data yang
detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi, misalnya
wawancara, pengamatan, bahan audiovisual, dukomen dan berbagai laporan serta
melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus. Satuan analisis dalam studi kasus
bisa berupa kasus majemuk (studi multi-situs) atau kasus tunggal (studi dalam-
situs).
59

Menurut Craswell (2015:139) studi kasus dapat dibedakan dalam hal


tujuan dari analisis kasusnya. Terdapat tiga variasi dalam hal tujuan, yaitu: studi
kasus instrumental tunggal, studi kasus kolektif atau majemuk, dan studi kasus
intrinsik. Dalam studi kasus instrument tunggal, peneliti memfokuskan pada isu
atau persoalan, kemudian memilih satu kasus terbatas untuk mengilustrasikan
persoalan ini. Untuk studi kasus kolektif, satu isu atau persoalan dipilih, tetapi
peneliti memilih beragam studi kasus untuk mengilustrasikan isu atau persoalan
tersebut. Peneliti juga dapat mempelajari satu program dari beberapa tempat riset
atau beragam program di satu tempat tertentu. Sedangkan, studi kasus intrinsik
memiliki fokus pada kasus itu sendiri, misal: mengevaluasi program atau
mempelajari seorang siswa yang memiliki kesulitan.
Pada penelitian studi kasus ini, kasus yang diungkap penulis adalah tipe
studi kasus instrumen tunggal, yaitu peneliti memfokuskan pada permasalahan
kemudian memilih satu kasus terbatas untuk mengilustrasikan persoalan tersebut.
Studi kasus ini tidak bisa dipandang sebagai studi kasus intrinsik karena
permasalahan dalam penelitian ini sudah pernah terjadi pada beberapa tempat.

3.3.1 Fokus penelitian


Fokus penelitian dalam penelitian ini memiliki fungsi sebagai pembatasan
masalah yang diteliti. Sehingga dalam mengkaji suatu penelitian hanya dalam
lingkup fokus yang ditentukan. Fokus penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Gambaran pelaksanaan penyelengaraan keterbukaan informasi
melalui penerapan e-government dalam peningkatkan akuntabilitas
pengelolaan anggaran di Pemerintahan Kabupaten Jember. Mengacu pada
kegiatan nyata di lapangan dan ketentuan-ketentuan yang menjadi kegiatan
tersebut, yaitu dengan melihat apakah yang sudah menjadi ketentuan
sudah dilaksanakan dengan apa yang seharusnya.
b. Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah
Kabupaten Jember. Penilaian dilakukan melalui lima dimensi, yaitu
Keakuratan, transparansi, ketepatan waktu, relevansi, dan keandalan
informasi.
60

c. Kapasitas Pejabat Pengelola Informasi Publik Daerah dalam


menjalankan fungsi dan kewajibannya dalam memberikan informasi dan
kemudahan akses informasi di Pemerintahan Kabupaten Jember.

3.3.2 Penentuan informan penelitian


Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Ia harus mempunyai banyak
pengalaman tentang latar penelitian, ia juga berkewajiban secara sukarela menjadi
anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal (Moleong, 2008:132).
Lebih lanjut, pemanfaatan informan bagi peneliti ialah agar dalam waktu yang
relatif singkat banyak informasi yang terjaring (Moleong, 2008:132).
Penelitian ini menggunakan informan yang ditentukam dengan teknik
purposive sampling dan snowball sampling. Menurut Sugiyono (2011:85) teknik
purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel yang didasari atas
pertimbangan tertentu. Penentuan dan pengambilan sampel dalam teknik
purposive sampling didasarkan pada pertimbangan informan yang benar-benar
mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan.
Teknik snowball sampling menurut Silalahi (2012:272) merupakan
prosedur pemilihan sampel secara bertahap. Pertama, menentukan orang yang
dianggap mampu memberikan infomasi terkait masalah yang dikaji dan
menjadikan orang tersebut sebagai key Informant yang mampu memberikan
gambaran siapa saja yang layak menjadi informan selanjutnya. Kedua, teknik
sampling ini digunakan dalam penelitian kualitatif karena tujuan penentuan
sampel atau informan dalam penelitian kualitatif adalah untuk menggali informasi
yang sedalam-dalamnya terkait masalah yang diteliti.
Maka, dalam penelitian ini terdapat setidaknya 15 informan yang penulis
pilih melalui teknik Purposive sampling yang mengetahui situasi dan kondisi
terkait penyelenggaraan keterbukaan informasi melalui pemanfaata web resmi
kabupaten jember dalam meningkatkan keterbukaan informasi pengelolaan
anggaran di pemerintahan Kabupaten Jember. Berikut informan dalam penelitian
ini.
1) Kepala PPID Kabupten Jember;
61

2) Kepala Bidang pengelolaan Website Kabupaten Jember;


3) Anggota PPID 1;
4) Anggota PPID 2;
5) Humas Pemkab Jember;
6) Komisi/Anggota DPRD Komisi Telekomunikasi dan Informasi.
7) Wartawan Jember 1 TV;
8) Wartawan Prosalina;
9) Wartawan FM Radio;
10) LSM 1
11) LSM 2

3.3.3 Data dan Sumber Data


Data merupakan elemen terpenting dalam sebuah penelitian. Kumpulan
data yang telah melalui proses reduksi, penyajian, hingga penarikan kesimpulan
akan menjadi sebuah informasi. Informasi tersebut akan menjelaskan komponen-
komponen peristiwa di lapangan. Berbeda halnya antara data kuantitatif dan
kualitatif. Data kuantitatif menyajikan informasi berupa angka-angka, grafik,
dengan rincian tertentu serta memakai alat statistic. Data kualitatif berisi tetang
pendalaman suatu fenomena lapangan yang diungkapkan dalam bentuk kalimat
atau uraian-uraian untuk mempertajam analisis. Menurut Bungin (2001:124) Data
kualitatif diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian, bahkan dapat
berupa cerita pendek.
Berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah Universitas
Jember (2012:23) data adalah himpunan fakta dan informasi yang dapat berbentuk
angka maupun deskripsi yang berasal dari sumber data. Untuk itu, data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu data kualitatif. Menurut Lofland dan
Lofland (1984) dalam Moleong (2008:157) sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Dari pengertian tersebut dapat disederhanakan bahwa
sumber penelitian dapat dijadikan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder.
Menurut Bungin (2001:129) sumber data primer adalah sumber pertama
dimana sebuah data dihasilkan. Sedangkan, sumber data sekunder menurut
Silalahi (2012:289) dijelaskan sebagai objek atau data yang diperoleh dari tangan
62

kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian
dilakukan. Maka, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu.
a. Data primer
Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau
sumber pertama di lapangan. Dalam penelitian ini berkenaan dengan data
hasil wawancara dengan informan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan keterbukaan informasi melalui pemanfaatan web resmi
Kabupaten Jember dalam meningkatkan keterbukaan pengelolaan
anggaran Pemerintahan Kebupaten Jember. Sumber data primer akan
banyak digali oleh wartawan dan LSM sebagai pihak yang mengetahui
permasalahan
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
sekunder. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini
mencangkup studi literatur, dokumen yang harus ada untuk di tampilkan
di website resmi Kabupaten Jember, pengelolaan anggaran, keluhan
masyarakat, laporan serta sengketa yang pernah terjadi di Kabupaten
Jember dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

3.4 Teknik dan alat perolehan data


Berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (2016:53)
terdapat empat macam teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara,
dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. Sedangkan alat perolehan data dapat
berupa alat perekam, kuisioner, pedoman wawancara, alat ukur proses, foto, dan
catatan lapangan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini akan
disesuaikan dengan jenis penelitian, tujuan penelitian, dan masalah peneltian.
Adapun penulis dalam hal ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut.
a. Observasi/pengamatan
Menurut Bungin (2001:142) observasi adalah kegiatan keseharian manusia
dengan menggunakan pencaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain
pancaindra lainnya, seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit.
63

Menurut Moleong (2008:174) terdapat beberapa ruang lingkup dalam proses


observasi/pengamatan, yaitu:
1) Alasan pemanfaatan pengamatan
Pengamatan ini didasarkan pada pengalaman secara langsung, lalu dapat
memungkinkan melihat dan mengamati sendiri (mencatat perilaku dan
kejadian), ketidakpercayaan pada data yang cenderung bias, mampu
memahami situasi-situasi yang rumit.
2) Macam-macam pengamatan dan derajat peranan pengamat
Terdapat berbagai peran peneliti dalam melakukan pengamatan, diantaranya:
peneliti dapat berperanserta secara penuh yaitu dengan mengikuti secara penuh
semua kegiatan, pemeran serta sebagai pengamat, yaitu tidak sepenuhnya
sebagai pemeranserta tetapi melakukan fungsi pengamatan, pengamatan
sebagai peranserta, pengamat penuh, yaitu biasnya dilakukan pada pengamatan
eksperimen di laboratorium. Dalam penelitian ini, penulis memposisikan diri
sebagai peneliti yang tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta tetapi larut dalam
pengamatan di lapangan.
3) Pengamatan dan pencatatan data
Peneliti dalam hal ini melakukan kegiatan mulai dari membuat catatan
lapangan, buku harian lapangan, catatan kronologis, peta konteks, jadwal, dan
alat elektronika yang disembunyikan.
4) Pengamatan yang diamati
Terdapat dua kemungkinan: pertama, peranan pengamat pasif, diam, hanya
mencatat, dan tidak memperhatikan ekspresi muka apa-apa. Peranan pasif tidak
akan efektif dalam penjaringan data. Kedua, bertindak aktif tidak hanya
mengamati, tetapi dalam keadaan tertentu berbicara, berkelakar, dan
sebagainya. Hal ini perlu didasari dengan sikap yang baik, karena dengan sikap
yang baik akan mudah mendapatkan data yang diperlukan.
Dalam penelitian ini, observasi yang peneliti lakukan yaitu dengan tidak
sepenuhnya sebagai pemeranserta tetapi melakukan fungsi pengamatan. Dalam
penelitian ini pula, peneliti berusaha bertindak wajar dan tidak berlebihan.
Bersikap seadanya dan tetap menjaga berlangsungnya sebuah peristiwa yang
sedang diamati.

b. Wawancara
64

Menurut Patton (2006:182) melakukan wawancara menjadi sebuah seni


dan ilmu yang membutuhkan kecakapan, kepekaan, konsentrasi, pemahaman
interpersonal, wawasan, ketajaman mental, dan disiplin. Jadi, dari pemahaman
tersebut dapat dimengerti bahwa dalam melakukan wawancara, seni dalam
menangkap dan memahami fenomena/peristiwa baik dalam pembicaraan maupun
lingkungan saat wawancara merupakan hal yang sangat penting, karena kedua-
duanya saling merangkai informasi yang dibutuhkan dalam proses penelitian.
Menurut Moleong (2008:186) wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan
terwawancara. Artinya, peneliti memiliki objek untuk di wawncarai, dalam hal ini
informan penelitian.
Patton (2006:185) mengungkapkan tiga pendekatan dalam melakukan
wawancara secara kualitatif, yaitu: 1) wawancara percakapan informal; 2)
pendekatan pedoman wawancara umum; 3) wawancara terbuka yang dibakukan.
Pertama, selama wawancara percakapan informal, orang yang bercakap-cakap
dengan penelitibahkan mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang di
wawancarai. Hubungan pewawancara dengan terwawancara adalah dalam suasana
yang tenang, biasa saja, wajar bahkan seperti berbicara sehari-hari.
Kedua, pedoman wawancara adalah daftar pertanyaaan atau soal yang
dicari selama berjalannya wawancara. Pedoman wawancara menyajikan topik atau
wilayah subjek dimana pewawancara bebas untuk menguaknya, mendalami, dan
mengajukan pertanyaanyang akan menguraikan dan menjelaskan subjek tertentu.
Hal ini bermanfaat untuk membantu dalam melakukan wawancara dengan orang
yang berbeda agar lebih sistematisdan menyeluruh.
Ketiga, wawancara terbuka yang dibakukan yaitu penyusunan kata-kata
dan urutan pertanyaan yang persis ditentukan di muka. Semua orang
diwawancarai dengan pertanyaan dasar yang sama dalam aturan yang sama.
Tujuannya yaitu untuk memperkecil efek pewawancara ketika menanyakan
pertanyaan yang sama untuk setiap responden.
Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara yang
dikemukakan oleh Patton, yaitu dengan melakukan percakapan informal yaitu
percakapan antara penulis dengan informan yang berlangsung bebas namun tetap
65

dalam kerangka yang telah disusun peneliti yang berkaitan dengan topik
penelitian. Sedangkan sebelum melakukan wawancara, peneliti juga membuat
pedoman wawancara sebagai garis besar dalam melakukan wawancara.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan sekumpulan informasi-informasi yang berkenaan
dengan suatu kegiatan yang telah atau tengah dikerjakan. Menurut Moleong
(2008:217) dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
karena dalam banyak hal, dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk
menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan. Lebih lanjut, Patton (2006:150)
menjelaskan bahwa dokumentasi ialah informasi tentang kegiatan dan proses
program dan dapat memberikan peneliti ide tentang pertanyaan penting
selanjutnya melalui pengamatan dan wawancara yang lebih langsung.
Penelitian ini membutuhkan beberapa dokumentasi yang berkenaan dengan
kegiatan Penyelenggaraan Keterbukan Informasi di Pemerintahan Kabupaten
Jember terkait keterbukaan informasi pengelolaan anggaran Pemerintah Daerah
melalui website resmi Pemerintahan Kabupaten Jember, yaitu dokumen
pengelolaan anggaran tiga tahun terakhir, keluhan masyarakat (badan/lembaga
publik, individu, dan kelompok), data dari Komisi Informasi, foto-foto yang
berkenaan dengan aktivitas penyelenggaraan keterbukaan informasi terkait
pengelolaan anggaran, dan catatan harian, yang nantinya juga turut mendukung
penelitin ini.

3.5 Teknik menguji keabsahan data


Moleong (2008:324) membagi menjadi beberapa teknik dalam
pemeriksaan data. teknik pemeriksaan keabsahan data akan dikemukakan dalam
tabel 3.1 berikut ini.
Tabel 3.1 Teknik menguji keabsahan data

Kriteria Teknik Pemeriksaan

Kredibilitas (derajat kepercayaan) 1. Perpanjangan


keikutsertaan
2. Ketekunan pengamat

3. Triangulasi
66

4. Pengecekan sejawat

5. Kecukupan referansial

6. Kajian kasus negative

7. Pengecekan anggota

Kepastian 8. Uraian kunci

Kebergantungan 9. Audit kebergantungan

Kepastian 10. Audit kepastian

Kebergantungan 1. Audit kebergantungan

Kepastian 2. Audit kepastian

Sumber: Moleong (2008:324)


Berdasarkan sepuluh teknik pemeriksaan keabsahan data seperti
disebutkan diatas. Maka dalam penelitian ini, penulis memilih beberapa teknik
pemeriksaan keabsahan data, yaitu: Perpanjangan keikutsertaan, ketekunan
pengamat, dan triangulasi data.
3.5.1 Perpanjangan Keikutsertaan
Patton (2006:18) mengungkapkan bahwa kerja lapangan adalah aktivitas
sentral dari metode kualitatif. Masuk ke lapangan berarti melakukan kontak
langsung dengan orang dalam suatu program di lingkungan mereka. Dari
pendapat tersebut dapat dipahami bahwa perpanjangan keikutsertaan peneliti
dalam proses pengumpulan data merupakan langkah yang penting dalam menguji
keabsahan data. Oleh karena itu, peneliti tidak hanya dua atau tiga kali untuk
terjun ke lapangan, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan. Menurut
Moleong (2014:327) perpanjangan keikutsertaan peneliti akan meningkatkan
derajat kepercayaan data yang dikumpulkan karena perpanjangan keikutsertaan
dapat mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin merusak data,
memastikan pemahaman konteks dan membangun kepercayaan subjek.
3.5.2 Ketekunan Pengamat
Moleong (2008:330) menekankan peneliti agar melakukan pengamatan
dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang
menonjol. Kemudian, hasil dari pengamatan tersebut dianalisi secara rinci
sehingga hasilnya dapat dipahami. Menurut Patton (2006:119), tujuan data
67

evaluasi pengamatan adalah menggambarkan program secara menyeluruh dan


hati-hati. Termasuk menggambarkan kegiatan yang berlangsung dalam program,
orang yang berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan itu, dan makna bagi orang-orang
mengenai apa yang telah diamati.
Secara garis besar, menurut pemahaman Patton bahwa Peneliti harus tekun
dalam merinci setiap kegiatan program, menceritakan orang-orang yang
berpartisipasi pada program (penerima manfaat maupun pihak-pihak
kepentingan), dan menggambarkan pula bagaimana pendapat mereka mengenai
program. Hal ini perlu di catat untuk dapat di jadikan sebuah informasi dalam
menyusun laporan penelitian. Peneliti harus tekun dalam pengumpulan data dan
analisis data sehingga peneliti dapat menjelaskan secara rinci terkait data yang
diperoleh sekaligus analisisnya agar hasil yang diperoleh dapat dipahami.
3.5.3 Triangulasi
Menurut Moleong (2008:330) triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu, untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi
data juga berguna untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi
kenyataan yang ada dalam proses pengumpulan data. Moleong (2008:332)
menyatakan bahwa peneliti dapat melakukan triangulasi dengan tiga cara, yaitu
mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan, mengeceknya dengan berbagai
sumber data, memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data
dapat dilakukan.

3.6 Teknik penyajian dan analisis data


Moleong (2008:247) mengemukakan bahwa proses analisis data dimulai
dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari
wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen
pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya. Kemudian data tersebut
dipelajari dan di telaah agar dapat dilakukan proses reduksi data. Menurut Miles
dan Huberman dalam Silalahi (2012:339) kegiatan analisis data kualitatif terdiri
dari tiga kegiatan yang membentuk siklus dan dilaksanakan secara bersamaan,
68

yaitu terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi.
Reduksi data dapat diartikan sebagai analisis data dengan cara menyederhanakan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data
sedemikian rupa untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan atas data yang
direduksi tersebut (Silalahi, 2012:340).
Tahap selanjutnya adalah penyajian data. Menurut Silalahi (2012:340)
penyajian data merupakan kegiatan dalam proses analisis data yang ditempuh
untuk memahami data-data yang disajikan sehingga peneliti dapat mengambil
tindakan atau melakukan penarikan kesimpulan atas data yang di sajikan tersebut.
Sebelum data disajikan, terlebih dahulu melakukan proses pengkodean (coding).
Menurut Craswell (2015:257), proses koding dimulai dengan mengelompokkan
data teks dan visual menjadi kategori informasi yang lebih kecil. Secara tidak
langsung, proses penyajian data ini memudahkan peneliti dalam melihat secara
gambaran keseluruhan dari data-data yang dikumpulkan. Kemudian, penyajian
data dapat dilakukan dengan menggunakan grafik, teks naratif, jaringan, bagan,
dan sebagainya.

Tahap terakhir yakni penarikan kesimpulan atau verikfikasi. Menurut


Silalahi (2012:341) verifikasi merupakan proses pengujian kebenaran, kekukuhan,
dan kecocokan makna-makna yang muncul dari data sehingga terbukti validitas
data tersebut. Verifikasi atas kesimpulan yang diambil peneliti dilakukan setelah
data terkumpul dan terjaring dengan melakukan proses reduksi data yang
kemudian disajikan kedalam bentuk grafik, bagan, matrik, dan sebagainya.
Kesimpulan harus menjawab asumsi awal yang dibangun peneliti terkait masalah
yang diteliti.
69

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Suparmoko, 1987. Keuangan Negara dalam Tgeori dan Praktek, BPFE
UGM,Yogyakarta

Rakhmat, 2018. Administrasi dan Alkuntabilitas Publik.Yogyakarta: ANDI

Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governence melalui Pelayanan Publik.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Fajriani & Rosidi, 2013. Reinventing Government: Yogyakarta. C.V ANDI


AFFSET
70

Syafri & Silalahi, 2015. Desentralisasi dan Demokrasi Pelayanan Publik:


Sumedang. IPDN PRESS

Hayat. 2017. Manajemen Pelayanan Publik: Depok. PT Raja Grafindo

Hariadi Pramono, dkk. 2010. Pengelolaan Keuangan Daerah: Jakarta. Salemba


Empat

Pohan, M. 2000. Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good
governance) dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta: Sekayu

Abadi, T.W., Ainur R., dan Arsiyah. 2010. Informasi Publik Berbasis E
Government. Sidoarjo: Umsida Press
Abadi, T.W. 2010. "Layanan Informasi Publik Berbasis e-
Govemment di Jawa Timur." dalam Iptek-Kom. Jurnal Penelitian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi. Volume 12, Nomor 1,
Juni 2010. Hal: 51 - 78. Terakreditasi B, No.l33/Akred/LIPI/P2MBI
Abadi,T.W. 2011. "Urgenitas Informasi Publik Berbasis E-government". Dalam
Farida Nurul Rahmawati (eds). Publik Service for Good
governance. Surabaya: Luftansah Mediatama. Hal: 43-55
Agustine Eva. 2005. Konsep E-government: tantangan peningkatan Pelayanan
Pada Masyarakat. SNATI: Yogyakarta
Boediono. B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta
Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University

Press

Creswell, John. 2015. Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Yogyakarta.

PUSTAKA PELAJAR

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan good governance melalui pelayanan


publik.Yogyakarta. Badan Penerbit dan Publikasi Universitas Gajah
Mada
71

Ganie Rochman. 2000. Good governance, Prinsip, Komponen, dan Penerapan


Dalam Hak asasi Manusia ( Penyelenggaraan Negara Yang Baik):
Jakarta. Penerbit Komnas HAM
Gayatri, Gati. 2015. Membangun Layanan Publik melalui Peningkatan Kualitas
Pengelolaan E-government di Lembaga Publik. Jakarta: Cakrawala
Lintas Media
Gie, The Liang. 1993. Ensiklopedia Administrsi. Jakarta: Gunung Agung
Halim, Abdul. 2007. Akutansi dan pengendalian pengelolaan keuangan daerah.
UPP STIM YKPN. Yogyakarta
Indrajit, Richardus Eko. 2006. Electronic Government. Konsep Pelayanan Publik
Berbasis Internet dan Teknologi Informasi. Yogyakarta: APTIKOM
Jan Kooiman, 2003, Governing as Governance, SAGE
Mihradi R. Muhammad. 2011. Kebebasan Infromasi Publik versus Rahasia
Negara. Bogor: Ghalia Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT REMAJA
PUSDAKARYA
Moenir. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Moenir. 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Patton. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Rozaki, dkk. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: Diva
Press
Silalahi, Ulber. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama
Santosa, Pandji. 2009. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good governance.
Bandung: PT Refika Aditama
Sulistiyani Ambar T.2004. Memahami Good governance dalam Perspektif
Sumber Daya Manusia.Yogyakarta: Gava Media
Sedarmayanti. 2012. Good governance " Kepemerintahan Yang Baik". Mandar
Maju
Sinambela, Litjen p. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara
72

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung:

Alfabeta

Buku Unknown

Mahmudi. 2007. Analisis laporan keuangan pemerintah daerah. Yogyakarta: UPP


STIM YKPM

E-Book

Sutikno, Pelayanan Publik:www.publikservice.com/nono/mrp/html diakses 21


Desember 2018, 14:07 WIB

Artikel
Dunan Amri. 2015. Transparansi dan Kepercayaan Pada Kualitas Website
sumselprov.go.id dalam Isu Kebakaran Hutan dan Lahan Perkebunan di
Sumatra Selatan:Jakarta. Cakrawala Lintas Media (Judul Buku: Membangun
Layanan Publik melalui Peningkatan Kualitas Pengelolaan E-government di
Lembaga Publik)

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UUD 1945
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Keterbukaan Informasi di
Kabupaten Jember
Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2012.
Instruksi Mendagri No. 188.52/1797/SC/2012 tentang Transparansi Pengelolaan
Anggaran Daerah (TPAD)
Instruksi Presiden No. 3 tahun 2003 (Inpres No. 3/2003) tentang kebijakan dan
strategi nasional pengembangan E-government
KEPMENPAN No.63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik
Berita
https://radarjember.jawapos.com
73

http://www.prosalinaradio.com/2017/12/20/jember-peringkat-4-terbawah-se-
jatim-terkait-keterbukaan-informasi-publik/

https://www.timesjatim.com/berita/51305/keterbukaan-informasi-publik-di-
jember-masih-buruk

Anda mungkin juga menyukai