MANAJEMEN INVENTORI
Inventori sangat penting bagi industri. Pengelolaan inventori yang efektif dapat
mengurangi biaya pada seluruh rantai nilai barang dan jasa secara keseluruhan. Biaya logistic
umumnya memliputi biaya distribusi dan inventori. Di Amerika sendiri, biaya inventori dari tahun
ke tahun terus meningkat, sedangkan rasio biaya inventory dan penjualan (sales) di industry-
industri Amerika, berkisar antara 1.56 (tahun 1992), dan dengan perbaikan pada manajemen
inventori, dapat berkurang menjadi 1.25 (2006). Rasio ini adalah perbandingan biaya inventory
terhadap sales. Angka 1.25 menunjukkan bahwa biaya inventory sekitar 1.25 kali biaya sales.
Sebagai contoh betapa pentingnya inventory ini, misalnya pada industry General Motor
(GM), terdapat jaringan produksi dan distribusi raksasa sebagai berikut :
• 20.000 pabrik supplier
• 133 pabrik part
• 31 pabrik assembly
• 11.000 dealer (penyalur).
Biaya transportasi pengangkutan produk sekitar $4.1 M (60 % diantaranya untuk
pengiriman material). Nilai inventori di GM sekitar $7.4 M (70% terdiri atas WIP – work in
progress-, dan sisanya berupa produk yang sudah jadi). Untuk mengatasi hal tersebut, pada GM
diterapkan sistem pendukung keputusan untuk mengurangi kombinasi biaya inventori dan
transportasi tingkat korporasi (semua elemen dalam perusahaan). Penerapan sistem ini berhasil
mengurangi biaya tahunan sekitar 26% dengan cara melakukan penyesuaian pada ukuran
pengiriman produk (kebijakan inventory) dan pengaturan ulang rute pengiriman (kebijakan
transportasi).
Dari kasus GM di atas, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya
inventory dan transportasi yaitu menerapkan kebijakan inventory (menyusun strategi tertentu
bagi inventory) dan kebijakan transportasi.
Meskipun inventory memakan biaya yang sangat mahal, tetapi perusahaan tidak dapat
mengabaikan inventory. Inventory diperlukan karena :
a. Permintaan konsumen tidak menentu (uncertainty demand) sebagai akibat siklus hidup
produk (product lifecycle) yang lebih cepat dan tingginya persaingan produk
b. Ketidakpastian pada pasokan (uncertainty in supplies) yang mencakup variable kualitas,
kuantitas, biaya, dan waktu pengiriman (delivery times)
c. Waktu tunggu (lead time) pengiriman produk, dan adanya kecenderungan untuk
memberikan insentif (kemudahan dan biaya yang lebih murah) jika melakukan pengiriman
dalam jumlah besar
Kebijakan Inventory
Permasalahan yang dihadapi dalam manajemen inventori adalah bagaimana perusahaan
dapat menjaga ketersediaan produk dalam jumlah yang tepat pada waktu yang tepat. Sebagai
contoh kasus akibat tidak tersedianya produk di perusahaan, yang dapat menimbulkan kerugian
sebagai berikut :
Tahun 1993, Dell mengalami kerugian yang cukup besar akibat salah memprediksi
kebutuhan konsumen, sebagai akibatnya saham perusahaan ini merosot tajam.
• Liz Claiborne (perusahaan ritel busana wanita) salah mengantisipasi inventory sehingga
kelebihan inventory dan mengurangi pemasukan
• IBM kekurangan persediaan jenis laptop ThinkPad dikarenakan manajemen inventory yang
tidak efektif
• Cisco, pada tahun 2001 mengalami beban inventory sebesar $2.25 M, akibat menurunnya
penjualan.
Oleh karena tidak menentunya permintaan konsumen (demand), maka prediksi
(forecasting) pada inventory sangat penting untuk mendukung keputusan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Apa yang harus dibeli
b. Kapan harus membeli
c. Berapa banyak jumlah produk yang harus dibeli agar optimal?
Penyelesaian masalah diatas dapat menggunakan beberapa pendekatan, salah satunya
adalah sekumpulan teknik yang disebut sebagai kebijakan inventory
I.1. Kebijakan Inventory Tunggal
Penyusunan kebijakan inventory melibatkan banyak factor dan komponen pada rantai
pasok (supply chain), misalnya:
a. Bagaimana memperkirakan permintaan konsumen
b. Bagaimana memprediksi lead time1
c. Pertimbangan berapa banyak jumlah produk yang berbeda-beda, yang harus dibeli
d. Rentang waktu perencanaan inventory
e. Biaya, yang meliputi :
a. Biaya Order, meliputi : biaya produksi dan biaya transportasi
b. Biaya penyimpanan di inventory (holding cost) atau biaya selama produk berada
di inventory (carrying cost2) yang meliputi:
1. Pajak daerah, pajak property, dan asuransi atas inventori
2. Biaya pemeliharaan
3. Biaya obsolescence (produk sudah kadaluwarsa, tidak dapat digunakan)
1
Lead time : waktu tunggu produk, sejak dipesan hingga produk tiba
2
Inventory carrying cost atau carrying cost adalah biaya yang harus dikeluarkan selama produk tersebut
disimpan atau berada di inventory, dihitung sejak produk datang dari supplier hingga produk disalurkan
konsumen.
4. Biaya opportunity3
f. Kebutuhan tingkat layanan (service level requirement)4
3
Opportunity cost : kerugian akibat perusahaan kehilangan peluang, misalnya seharusnya dapat
melayani order, namun karena inventory tidak tersedia, maka order tersebut tidak dapat dilayani.
4
Service level requirement : menunjukkan sejauh mana perusahaan dapat melayani order, misalnya
ditentukan service level 95%, artinya hanya ada 5% peluang order tidak dapat dilayani, atau 95% dari order
dapat dilayani.
5
Single-stage mengacu pada proses produksi yang hanya terjadi di satu lokasi pabrik dan
menggunakan satu unit mesin atau sekelompok mesin pada satu lokasi, tidak ada proses yang dilakukan di
lokasi terpisah.
6
Inventory level : tingkat ketersediaan produk di inventory. Nilai inventory level tinggi menunjukkan
produk banyak tersedia di gudang.
Model EOQ dapat diterapkan dengan asumsi sebagai berikut:
a. Kebutuhan sudah diketahui dan dianggap konstan sepanjang waktu
b. Tidak ada shortages7
c. Lead time untuk menerima order dianggap konstan
d. Quantity atau jumlah order diterima sekaligus dalam satu waktu.
Perhitungan EOQ sebagai berikut:
7
Shortages : kondisi dimana supplier tidak dapat menyediakan produk yang dipesan
Dikarenakan titik optimum jumlah order dicapai saat biaya order sama dengan biaya
inventory carrying, maka dapat diturunkan rumus sebagai berikut :
Contoh :
Toko Karpet XXX menyimpan sejumlah karpet di gudangnya. Toko ini ingin mengetahui
berapa jumlah order optimal dan total biaya inventory untuk satu merk karpet jika diketahui
permintaan tahunan sekitar 10.000 karpet, dan biaya inventory carrying tahunan adalah $0.75 per
karpet, biaya order adalah $150. Toko ingin mengetahui berapa jumlah order dalam setahun dan
waktu antar order (order cycle).
Cc = $ 0.75 per karpet
Co = $150
D = 10.000 karpet
Jumlah order yang diperlukan dalam satu tahun dapat dihitung sebagai berikut:
Sensitivity Analysis
Total biaya inventory relative tidak sensitive terhadap kuantitas order. Misalnya :
Jumlah order actual : Q
Q didapat dengan mengalikan b dengan jumlah order optimal Qopt. Untuk nilai b
tertentu, didapat jumlah order actual Q = b.Qopt
Pengaruh pada total 25% 2.5% 0.5% 0 .4% 1.6% 8.9% 25%
biaya inventory
1.1.2. Permintaan Tak Menentu
Faktor ini menyatakan bahwa permintaan yang tak menentu seringkali menyebabkan
prediksi terhadap persediaan menjadi keliru. Makin lama periode prediksi (misalnya kita
memprediksi permintaan untuk 1 – 2 tahun ke depan), maka hasil prediksi akan semakin buruk.
Prediksi permintaan untuk setiap unit produk lebih sulit, dan lebih mudah melakukan prediksi
permintaan untuk sekelompok produk yang mungkin terdiri atas beberapa jenis unit produk.
1.1.3. Model Periode Tunggal
Model ini dapat diterapkan pada produk dengan siklus hidup pendek8, dengan peluang
order hanya satu kali dan jumlah order ditentukan setelah terjadi permintaan.
• Jika jumlah order > permintaan harus membuang sisa inventory
• Jika jumlah order < permintaan kehilangan peluang mendapatkan keuntungan.
Prediksi jumlah order pada jenis produk ini dapat dilakukan dengan pendekatan-
pendekatan sebagai berikut:
a. Menggunakan data historis permintaan sebelumnya, untuk mengidentifikasi variasi
scenario permintaan dan mengidentifikasi peluang setiap scenario akan terjadi.
b. Menerapkan kebijakan inventory tertentu, dengan mengidentifikasi skema keuntungan
untuk setiap scenario, atau menerapkan jumlah order tertentu, dengan cara :
a. Menghitung bobot setiap skema keuntungan dengan menentukan peluang
terjadinya scenario tersebut.
b. Menghitung rata-rata, atau keuntungan yang diharapkan (expected), dari jumlah
order tertentu.
c. Melakukan order dengan jumlah tertentu yang berpeluang memperbesar keuntungan.
Contoh :
Data peluang penjualan pakaian renang
8
Short lifecycle product : produk dengan siklus hidup singkat, dari dibuat hingga digunakan, karena
ada masa expire, misalnya produk makanan, obat-obatan, yang jika tidak terjual dalam jangka waktu
tertentu, produk tersebut tidak dapat dijual lagi.
Biaya tetap produksi : $100.000
Biaya variable produksi per unit : $80
Selama musim panas, harga jual per unit adalah $125
Nilai obral : jika barang tidak terjual selama musim panas, maka akan dijual obral seharga $20
Skenario 1:
Pabrik memproduksi 10.000 unit dengan permintaan sekitar 12.000 unit (permintaan lebih
besar dari persediaan)
Keuntungan :
= 125(10.000) – 80 (10.000) – 100.000 = $350.000
125 harga jual 1 unit, asumsi terjual semua selama musim panas, karena permintaan 12.000
tapi persediaan hanya 10.000
80 biaya variable produksi untuk satu unit
100.000 fixed cost, tidak bergantung jumlah
Skenario 2:
Pabrik memproduksi 10.000, permintaan sekitar 8000 unit (permintaan kurang dari
persediaan)
Keuntungan :
=125(8,000) + 20(2,000) - 80(10,000) - 100,000 = $140,000
Peluang lihat data grafik peluang.
Peluang dengan produksi 10.000 unit
Peluang permintaan sekitar 8000 unit adalah 11%, maka peluang untung $140.000 adalah 11%
Peluang permintaan sekitar 12000 unit adalah 27%, maka peluang untung $350.000 adalah 27%.
Dengan cara yang sama, kita dapat menghitung profit yang akan dihasilkan jika memproduksi
10.000 baju renang. Melalui cara ini, kita dapat menghitung (rata-rata) profit yang diharapkan
jika memproduksi 10.000 unit. Profit yang diharapkan ini (expected profit) adalah total profit dari
semua scenario dikalikan beban (weighted) peluang yang terjadi di setiap scenario.
Kita juga ingin mengetahui jumlah order yang akan menghasilkan rata-rata profit tertinggi.
Gambar berikut menampilkan rata-rata profit sebagai fungsi dari jumlah produksi. Pada gambar
terlihat bahwa profit maksimal dihasilkan jika memproduksi kuantitas optimal sejumlah 12.000
unit.
Dari kurva di atas terlihat bahwa jumlah order yang dapat memaksimal keuntungan yang
diharapkan, tidak sama persis dengan rata-rata permintaan. Rata-rata permintaan adalah 13.000
sedangkan jumlah order yang dapat menghasilkan keuntungan maksimal sekitar 12.000 unit.
Melalui analisis dan skema produksi serta prediksi keuntungan, kita dapat
membandingkan margin profit penjualan per unit dengan margin cost dari barang yang tidak
habis terjual.
Margin profit/unit = Selling Price - Variable Ordering (or, Production) Cost
Marginal cost/unit = Variable Ordering (or, Production) Cost - Salvage Value
Jika margin profit > margin cost maka Qopt > Q rata-rata demand
Jika margin profit < margin cost maka Qopt < Q rata-rata demand
Karena margin profit < margin cost maka Q opt < Q rata-rata demand. Sehingga, jumlah
optimal produksi harus kurang dari rata-rata permintaan.
Analisis Resiko
Dari perhitungan sebelumnya diketahui bahwa jumlah optimal produksi untuk keuntungan
maksimal adalah 12.000 unit. Dari kurva prediksi keuntungan terlihat bahwa jika pabrik
memproduksi 9000 unit akan menghasilkan keuntungan yang sama dengan memproduksi
sebanyak 16.000 unit, yaitu sebesar $290.000. Jika kita harus memilih jumlah yang akan diproduksi,
apakah 9000 unit atau 16.000 unit, bagaimanakah cara menentukannya?
Untuk itu, kita harus melihat kurva histogram frekuensi keuntungan seperti pada gambar berikut.
Jika tidak terjadi produksi baru, untuk jumlah 5000, dari gambar terlihat bahwa (kurva garis
tidak terputus), keuntungan rata-rata adalah $225.000, maka keuntungan yang dapat diperoleh
adalah:
225.000 + 5.000 x 80 = 625.000
80 adalah biaya produksi, 5000 adalah stok awal yang tersedia.
Jika pabrik memutuskan akan memproduksi barang hingga mencapai 12.000 (berarti
memproduksi sebanyak 7000 unit), maka rata-rata keuntungan (kurva dengan garis terputus
untuk jumlah produksi 7000) adalah 371.000 (??). Rata-rata keuntungan adalah:
371,000 (dari garis terputus-putus) + 5,000 • 80 = 771,000
Jika pabrik sudah memiliki inventory awal sebanyak 10.000 unit:
Tidak memproduksi apa-apa. : 400.000 + 10.000 x 80 = 1.200.000
Memproduksi 2000 unit = xxx + 800.000 = kurang dari 1.200.000 (xxx nilainya < 100.000)
Maka rata-rata keuntungan tidak memproduksi > kekuntungan jika memproduksi peningkatan
inventory mencapai 12.000 unit (memproduksi 2000 unit tambahan)
Dari analisis di atas, jika kita terpaksa memproduksi unit tambahan, maka keuntungan maksimal
adalah $375.000. Keuntungan ini sama dengan kondisi jika kita memproduksi unit tambahan
sebanyak 8500 unit. Oleh karena itu, jika inventori awal kurang dari 8500, maka kita akan
memproduksi unit tambahan hingga mencapai 12.000 unit. Tetapi jika inventori awal lebih dari
8500 unit, kita tidak akan memproduksi unit tambahan untuk menaikkan inventory.
Kasus di atas menunjukkan pentingnya kebijakan inventory, yang dapat dirumuskan dengan
formula:
(s, S) policy or (min, max) policy
Yaitu, jika inventori di bawah jumlah tertentu, maka kita harus memproduksi atau membeli produk
hingga inventori mencapai batas S. Hal ini disebut sebagai min-max policy, yang dapat
dirumuskan sebagai: s adalah reorder point atau inventory minimum, dan S adalah titik inventori
maksimum.
1.1.4. Model Multiple Order
Model multiple order menyatakan bahwa untuk menjaga tingkat inventory kita harus
melakukan order berkali-kali dalam satu kurun waktu. Alasan melakukan multiple order adalah:
a. Untuk menyeimbangkan antara inventory holding cost dengan biaya fixed order9
b. Untuk memenuhi permintaan sepanjang waktu lead time10
c. Untuk melindungi inventori dari permintaan yang tidak menentu.
Kebijakan multiple order ini terdiri dari dua tipe yaitu:
a. Continuos Review Policy yaitu:
9
Annual fixed cost order adalah biaya order barang yang bersifat tetap dalam satu tahun, tidak bergantung
pada jumlah produk yang dipesan.
10
Permintaan yang terjadi saat barang sedang dipesan dan belum tiba, sementara persediaan di inventory
kurang memadai.
Inventory dikaji secara kontinyu, tidak bergantung waktu. Ketika inventory mencapai tingkat
tertentu (reorder point) maka akan dilakukan pemesanan, tanpa menunggu periode-periode
tertentu. Inventori terus-menerus dimonitor menggunakan sistem terkomputerisasi.
b. Periodic Review policy
Inventori dikaji/dimonitor secara periodic dalam interval waktu tertentu. Order dilakukan
dalam jumlah tertentu setiap selesai memonitor quantity. Pada model ini, tidak mungkin
melakukan monitoring inventory dan melakukan order sesering seperti pada continuous
review policy.
Continuous Review Policy
Dasar pertimbangan kebijakan ini adalah:
1. Permintaan harian bersifat acak dan mengikuti distribusi normal
2. Setiap kali distributor melakukan order dari pabrik, distributor harus membayar biaya fixed
cost sebesar K, dan biaya sejumlah barang yang dipesan.
3. Inventory holding cost dihitung per unit item dan per unit waktu
4. Inventory level dimonitor secara kontinyu, dan jika dilakukan order, order akan tiba setelah
lead time tertentu
5. Jika ada order dari konsumen, ketika tidak ada inventory (misalnya ketika Gudang kosong)
maka order tersebut hilang
6. Distributor menetapkan kebijakan service level tertentu.
Continuous Review Policiy menjawab 2 hal yaitu Q dan R dimana:
• Q adalah berapa jumlah yang harus dipesan jika produk di inventory sudah mencapai
jumlah R, yaitu reoder level atau order point.
• Rata-rata permintaan selama lead time = L x avg
Dengan L adalah lead time dan avg adalah rata-rata permintaan pada kurun waktu
tertentu
Service Level 90% 91% 92% 93% 94% 95% 96% 97% 98% 99% 99.9%
z 1.29 1.34 1.41 1.48 1.56 1.65 1.75 1.88 2.05 2.33 3.08
Posisi jumlah produk di inventory (inventory level) pada model continuous review policy seperti
pada kurva berikut:
Inventory level setelah order tiba = Q z STD L (Q adalah jumlah barang yang dipesan)
Q
z STD L
Rata-rata inventory level = 2
Contoh :
Distributor TV harus merencanakan persediaan dengan data-data sebagai berikut:
Fixed ordering cost = $4,500
Biaya produksi 1 unit TV = $250
Annual inventory holding cost = 18% of product cost
Replenishment lead time = 2 weeks
Expected service level = 97%
Month Sept Oct Nov. Dec. Jan. Feb. Mar. Apr. May June July Aug
Sales 200 152 100 221 287 176 151 198 246 309 98 156
2 K AVG
Q
h
Q = ((2 x 4.500 x 44.46)/0.87) = 678.18 678
Rata-rata inventory level = 678/2 + 85.31 424
Jika lead time bervariasi, maka untuk perhitungan rumus-rumus di atas, lead time diganti dengan
rata-rata lead time (avgL), dan perlu dihitung standard deviasi lead time yaitu stdL. Reorder Level
dapat dihitung dengan persamaan:
2 K AVG
Q
h
Kebijakan (s,S)
Kebijakan (s,S) sama seperti kebijakan pada continuous review policy. Pada kebijakan ini dilakukan:
Perhitungan Q dan R
Menentukan s sama dengan R
Menentukan S sama dengan R + Q
Kebijakan Base-stock Level
Pada kebijakan ini, akan ditentukan target inventory level yang ingin dicapai dan base-stock level.
Setiap periode review, akan dilihat posisi inventory apakah berada di bawah base-stock level. Jika
dibawah base-stock level, akan dilakukan order hingga mencapai base-stock level.
Misalkan :
r = jangka waktu review inventory
L = lead time
AVG = rata-rata permintaan
STD = standard deviation rata-rata permintaan
Rata-rata permintaan selama interval r + L = (r + L ) x AVG
Safety stock = z x STD x (r + L)
Pola inventory level pada model kebijakan ini seperti pada gambar berikut:
Contoh :
Misalnya distributor memesan order setiap 3 minggu, dengan lead time 2 minggu. Base-stock
level yang diperlukan adalah bagaimana memenuhi permintaan untuk 5 minggu (bagaimana
menyediakan stock barang agar cukup untuk memenuhi permintaan selama 5 minggu)
Rata-rata permintaan adalah = 44.46 x 5 = 222.3
Safety stock = z x STD x (r + L) = 1.88 x 32.08 x (3 + 2 ) = 134.85
Base-stock level = rata-rata permintaan + safety stock = 223 + 135 = 348
Q
z STD L
Rata-rata inventory level = 2 = 44.46 x 3/2 + (1.88 x 32.08 x 5) = 201.58
Distributor harus menjaga supply untuk 5 minggu , berarti = 201.58/44.46 = 4.55 5 minggu
1.1.5. Optimasi Service Level
Metode ini berusaha menentukan service level yang tepat agar dapat dipenuhi oleh
kebijakan inventory tertentu.
Penentuan service level dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satunya
dengan cara melihat alur pemesanan dari customer, yaitu dari customer ke retailer, dan dari
retailer ke distributor. Supplier akan mengikuti target yang ditetapkan oleh retailer untuk
mengelola inventory. Setiap unit penyedia produk (fasilitas) dapat menentukan service level yang
sesuai dengan kondisi masing-masing.
Pada penentuan service level, akan terdapat pertimbangan trade-off (plus minus) sebagai
berikut:
a. Makin tinggi service level akan menuntut tinginya inventory level.
b. Untuk inventory level yang sama, makin lama lead time, makin rendah service level yang
disediakan oleh fasilitas tersebut (supplier atau distributor)
c. Makin rendah inventory level, makin besar dampak satu unit inventory terhadap service level,
dan akan mempengaruhi keuntungan yang diharapkan (expected profit)
Strategi yang diterapkan pengecer produk (retailer) untuk mengoptimalkan service level
tergantung dari target service level yang diterapkan untuk setiap unit produk sehingga dapat
mencapai keuntungan maksimal. Untuk kondisi yang sama, service level pada suatu produk akan
meningkat jika:
1. High profit margin (menjual produk dengan keuntungan paling tinggi)
2. High volume (menjual produk dengan jumlah yang banyak)
3. Low variability (menjual produk dengan varian kecil)
4. Short lead time (menjual produk dengan lead time pendek)
Misalkan target inventory level adalah 95% untuk semua produk, maka service level > 99% untuk
produk yang memiliki profit margin tinggi, volume banyak dan varian kecil. Sedangkan untuk
produk yang memiliki keuntungan rendah, volume sedikit dan varian tinggi service level akan
mencapai < 95%
I.3. Risk Pooling
Variabilitas permintaan dapat dikurangi jika kita dapat menghitung permintaan yang direkap
untuk satu area tertentu. Biasanya, permintaan yang tinggi terhadap suatu produk akan terkait
dengan rendahnya permintaan terhadap produk yang lain. Pengurangan variabilitas produk ini
dapat mengurangi safety stock sehingga dapat mengurangi inventory rata-rata.
Standard deviasi dapat digunakan untuk mengukur seberapa jauh variansi permintaan produk,
sedangkan koefisien variansi adalah perbandingan antara standard deviasi dengan rata-rata
permintaan.
Contoh kasus:
Misalkan ada perusahan pembuat produk elektronik yang memiliki 2 gudang untuk distribusi di
New York dan New Jersey. Customer (toko-toko penjual atau retailer) menerima barang dari
Gudang sesuai dengan lokasi masing-masing (satu toko hanya menerima barang dari satu
Gudang). Gudang menerima barang dari Chicago. Saat ini service level adalah 97%, artinya setiap
Gudang akan menetapkan target untuk memenuhi 97% permintaan.
Biaya pemesanan produk adalah $60 untuk setiap kali pesan untuk kedua gudang, dan biaya
handling inventory sebesar $0.27 per unit per minggu.
Kemudian ada ide untuk mengganti 2 gudang tersebut menjadi 1 gudang di lokasi tertentu, dan
ingin menetapkan target service level seperti semula yaitu 97%. Sebagai akibatnya, waktu
pengiriman akan meningkat, namun biaya investasi inventory total kemungkinan dapat dikurangi.
Data historis untuk kebutuhan produk sebagai berikut:
PRODUCT A
Week 1 2 3 4 5 6 7 8
Massachusetts 33 45 37 38 55 30 18 58
New Jersey 46 35 41 40 26 48 18 55
Total 79 80 78 78 81 78 36 113
PRODUCT B
Week 1 2 3 4 5 6 7 8
Massachusetts 0 3 3 0 0 1 3 0
New Jersey 2 4 3 0 3 1 0 0
Total 2 6 3 0 3 2 3 0
Ringkasan statistic dan perhitungan tingkat inventory untuk data di atas adalah:
Standard average
coefficient
Average Deviation demand safety Reorder Average
Product of Q
Demand of during stock point invetory
variation
Demand lead time
Massachusetts A 39,25 13,18 0,34 39,25 24,77 64,02 132,08 90,81
Massachusetts B 1,25 1,49 1,19 1,25 2,80 4,05 23,57 14,58
New Jersey A 38,63 12,05 0,31 38,63 22,65 61,27 131,02 88,16
New Jersey B 1,63 1,60 0,98 1,63 3,00 4,63 26,87 16,44
Total A 77,88 20,71 0,27 77,88 38,94 116,81 186,04 131,96
Total B 2,38 1,92 0,81 2,38 3,61 5,99 32,49 19,86
Cara perhitungan
Average demand = average dari data berikut
Massachusetts 33 45 37 38 55 30 18 58
= average (33+45+37+38+55+30+18+58) = 39.25
Standard deviation of demand = stdev dari data berikut
Massachusetts 33 45 37 38 55 30 18 58
Reorder Point = L AVG z STD L = 1 x avg + safety stock = avg + safety stock
Reorder point = 39.25 + 24.77 =64.02
Jumlah Order Optimal:
2 K AVG
Q
h
Dengan K = $60, h = $0.27/unit/minggu
Maka Q = (2 x 60 ) x 39.25 / 0.27 = 17,444.44 = 132.077
Q
z STD L
Rata-rata inventory level = 2 = (Q/2) + safety stock
Maka rata-rata inventory level untuk produk A di Massachusetts adalah:
= (132.077 / 2 ) + 24.77 = 66.03 + 24. 77 = 90.808 atau mendekati 91
Langkah perhitungan yang sama dilakukan untuk produk A di New Jersey, Produk B di
Massachusetts dan di New Jersey, serta total kebutuhan masing-masing produk.
Dari perhitungan dapat dilihat bahwa untuk produk A:
Inventory Level di Massachusetts = 90.81
Inventory Level di New Jersey = 88.16
Total Inventory Level jika gudang terpisah = 178.97 179
Inventory level jika gudang dijadikan satu (dari data Total untuk produk A) =131.96 132
Perbandingan level inventory = 179 / 132 = 1.356
Dapat dikatakan bahwa jika gudang dipisah, maka perusaan harus menyediakan barang sebanyak
1.36 x daripada jika gudang disatukan, atau dengan kata lain, penyatuan dua gudang sudah dapat
menghemat sebesar 36% penyediaan barang.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan tiga hal penting terkait risk pooling yaitu:
Inventory terpusat dapat mengurangi safety stock dan rata-rata inventory pada sistem, karena
pada sistem inventory terpusat, jika permintaan pada satu area meningkat dibandingkan area
yang lain, item yang seharusnya untuk area lain dapat dialokasikan ke area yang lebih tinggi
permintaannya. Proses alokasi ini tidak mungkin pada sistem gudang terpisah, karena setiap
gudang harus melayani area pemasaran tertentu.
Makin besar koefisien variasi, makin besar manfaat dari sistem inventori tersentralisasi, atau risk
pooling. Rata-rata inventory terdiri atas dua komponen yaitu permintaan mingguan (Q) dan
standar deviasi permintaan (safety stock), karena pengurangan rata-rata inventory dapat
diperoleh dengan cara mengurangi safety stock, maka makin besar koefisien variasi, makin besar
dampak safety stock pada pengurangan inventory.
Manfaat risk pooling sangat bergantung pada perilaku demand di suatu area market relative
terhadap area lainnya. Demand di satu market dikatakan berkorelasi dengan demand di area
market yang lain, jika kenaikan permintaan pada suatu area akan meningkatkan demand di area
lainnya.
Sistem Tersentralisir Vs Desentralisir
Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut
Centralized Decentralized
Contoh:
Misalnya ada rantai pasok sebanyak 4 tahap yaitu :
Manufaktur pengedar/supplier distributor retailer ☺ {konsumen}
Diketahui data sebagai berikut:
Rata-rata permintaan yang terdapat di retailer adalah 45 unit per minggu
Standard deviasi permintaan adalah 32
11
Inventory on hand : inventory atau jumlah produk yang disimpan oleh unit tersebut
Pada setiap tahap, manajemen berusaha menjaga service level pada tingkat 97% (z=1.88).
Lead time pada setiap tahap dan antara pabrik dan supplier adalah 1 minggu.
Data biaya order, biaya inventory carrying, demand dan quantity order optimal di setiap tahap
sebagai berikut:
K D H Q
2 K AVG
Q
Q dihitung dengan rumus sebagai berikut: h
Maka, untuk retailer : Q = (2 x K x D / H) = (2 x 250 x 45/1.2) = (18750) = 136.93 137
Jika pada setiap tahap terdapat lebih dari satu lokasi fasilitas (supplier, distributor, retailer atau
manufaktur), maka perhitungan Reorder point dapat dilakukan dengan cara yang sama yaitu:
1. Inventory eselon pada warehouse adalah inventory pada warehouse tersebut ditambah
dengan semua inventory yang masih transit menuju warehouse dan inventory yang berada
pada stok di semua retailer.
2. Posisi inventory eselon pada warehouse adalah inventory eselen pada warehouse
ditambah dengan semua unit yang sedang dipesan oleh warehouse tetapi belum tiba
dikurangi semua unit backorder (yang dipesan customer tetapi tidak dapat dipenuhi atau
customer harus menunggu karena produknya tidak tersedia).
Ilustrasi banyak fasilitas di suatu tahap dapat dilihat pada gambar berikut. Pada gambar terlihat
misalnya untuk tahapan ke retailer, ternyata ada 4 retailer.
Berdasarkan prinsip-prinsip manajemen inventory sebelumnya dapat disimpulkan bahwa focus
penyusunan kebijakan inventori bukan pada mengurangi biaya, tetapi bagaimana mengurangi
inventory level. Banyak usaha yang sudah dilakukan oleh kalangan industri untuk meningkatkan
inventory turnover, yaitu:
Inventory turnover ratio = annual_sales / average_inventory_level
Artinya, membandingkan penjualan tahunan dengan rata-rata inventory. Industri dengan
inventory turnover ratio tinggi berarti annual sales jauh lebih besar dibandingkan dengan
average_inventory level, artinya produknya banyak terjual (laku) dan tidak banyak yang disimpan
di Gudang.
Inventory turnover ratio ini berbeda-beda untuk setiap karakteristik industri. Berikut ini data
inventory turnover untuk beberapa jenis industri.
Forecasting dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk para manajer untuk mengambil
berbagai keputusan, meskipun sulit untuk mendapatkan hasil yang pasti. Namun, terdapat
banyak teknik dan metode untuk melakukan prediksi sehingga hasilnya cukup dapat diandalkan.
Beberapa teknik pada prediksi/forecasting misalnya:
1. Judgment methods: menggunakan keputusan yang didasari dari kesepakatan, diskusi dan
musyawarah misalnya:
• Sales-force composite: berdasarkan masukan para penjual
• Expert-panel: pendapat para ahli yang sudah berpengalaman
• Delphi method: meminta pendapat dan survey secara berulang
2. Survey/Riset pasar
3. Prediksi deret waktu menggunakan:
• Moving averages
• Exponential smooting
4. Trends, menggunakan
• Regresi
• Holt’s Method
5. Seasonal pattern – seasonal decomposition
6. Trend + seasonality - Winter’s method
7. Causal Methods
Di antara berbagai metode tersebut tidak ada metode yang dianggap paling tepat untuk semua
kondisi. Pemilihan metode yang tepat harus mempertimbangkan:
a. Tujuan prediksi/peramalan
b. Bagaimana hasil prediksi akan digunakan
c. Dinamika sistem yang akan dibuatkan prediksinya
d. Seberapa tepat dan akurat data history yang digunakan untuk memprediksi masa yang akan
dating.
II. PERENCANAAN JARINGAN
Perencanaan jaringan adalah kegiatan merancang spesifikasi dan kebijakan inventory pada
fasilitas yang terdapat dalam satu jaringan perusahaan. Tujuan perencanaan jaringan ini adalah:
a. Mencari keseimbangan antara biaya inventory, transportasi dan biaya manufaktur.
b. Menyesuaikan antara supply dan demand dalam kondisi tak tentu (uncertainty) dengan
cara mengelola dan mengatur posisi inventory secara efektif.
c. Memanfaatkan sumber daya secara efektif dengan mengalokasikan produk pada fasilitas
manufaktur yang paling tepat.
Perancangan jaringan dilakukan melalui 3 tahap yaitu:
1. Perancangan jaringan, meliputi penentuan jumlah, lokasi, ukuran pabrik dan Gudang,
menentukan retail mana untuk Gudang tertentu, dan keputusan penentuan sumber-sumber
produksi. Umumnya perencanaan ini berlangsung untuk beberapa tahun.
2. Posisi inventory, meliputi identifikasi titik stok (stocking point), memilih fasilitas yang akan
memproduksi untuk stok (produce to stock12) dan menjaga ketersediaan inventory, memilih
fasilitas yang akan memproduksi sesuai order (produce to order13) sehingga tidak perlu ada
inventory, dan terkait juga dengan strategi manajemen inventory.
3. Alokasi sumber daya, meliputi penentuan apakah produksi dan pengemasan produksi
(packaging) dari produk yang berbeda sudah dilakukan di fasilitas yang tepat, bagaimana
strategi unit produksi (plant/pabrik) mendapatkan sumber kebutuhannya (sourcing), dan
berapa banyak kapasitas di setiap unit produksi (plant/pabrik) agar dapat memenuhi
permintaan musiman.
Tahap awal dalam merencanakan jaringan adalah melakukan evaluasi ulang terhadap
infrastruktur, sebagai dampak dari adanya perubahan pada:
a. Pola permintaan
b. Variasi produk
c. Proses produksi
12
Produce to stock atau make to stock (MTS): yaitu ketika pabrik membuat barang tanpa perlu adanya
pesanan. Produksi dilakukan semata-mata untuk menjaga agar barang selalu tersedia.
13
Produce to order atau make to order (MTO): yaitu pabrik yang membuat barang hanya jika ada pesanan,
sehingga tidak ada inventory atau produk barang yang disediakan, kecuali jika sudah ada pemesan.
d. Strategi pengadaan sumber (sourcing)
e. Biaya operasional fasilitas
Seringkali adanya proses merger dan akuisisi antar perusahaan, mengakibatkan keharusan
integrasi dari berbagai jaringan logistic yang awalnya berbeda.
Tujuan kegiatan perancangan jaringan adalah: merancang dan konfigurasi ulang jaringan logistic
agar dapat meminimalisasi biaya tahunan di seluruh jaringan sebagai akibat dari variasi pada
service level requirement
Perancangan jaringan yang baik memerlukan data-data pendukung. Beberapa data yang
diperlukan yaitu:
1. Lokasi customer, retailer, Gudang yang ada saat ini dan pusat distribusi, fasilitas pabrik
dan supplier
2. Semua informasi terkait produk termasuk volume dan kebutuhan transportasi khusus
(misalnya perlu diangkut dalam mesin pendingin).
3. Permintaan tahunan untuk setiap produk berdasarkan lokasi konsumen.
4. Biaya transportasi berdasarkan moda transportasi (darat, laut, udara).
5. Biaya penyimpanan di Gudang (warehousing) termasuk tenaga kerja, biaya inventory
carrying, dan biaya operasi fixed.
14
Setup cost adalah biaya persiapan sebelum fasilitas dapat dipergunakan, termasuk pada biaya ini seperti
administrasi, penyiapan lingkungan, sarana prasarana dan lain-lain.
6. Ukuran dan frekuensi pengiriman untuk customer
7. Biaya pemrosesan order
8. Kebutuhan dan goal layanan konsumen
9. Biaya produksi dan sourcing dan kapasitasnya.
Selanjutnya, data-data tersebut perlu dikelompokkan dan dianalisis dengan cara diagregasi
berdasarkan:
Wilayah konsumen:
• Diagregasi melalui grid network atau teknik klustering lainnya
• Setelah diperoleh data hasil agregasi, semua konsumen diganti dengan satu klister dengan
satu konsumen berada di tengah-tengah klaster.
• Klastering dapat dilakukan berdasarkan kode pos dengan tingkat kedetilan hingga 5 digit
atau 3 digit.
Setelah data diagregasi, selanjutnya detil data asli akan diganti dengan data hasil agregasi.
Meskipun sudah banyak teknologi yang dapat membantu permasalahan perancangan
menggunakan data asli, namun data hasil agregasi tetap bermanfaat karena prediksi atau
peramalan permintaan biasanya lebih akurat pada tingkatan agregasi. Agregasi data konsumen
menjadi 150-200 zona biasanya menghasilkan kesalahan kurang dari 1% pada estimasi total biaya
transportasi.
Agregasi Konsumen
Total Cost:$5,796,000 Total Cost:$5,793,000
Total Customers: 18,000 Total Customers: 800
Agregasi Produk
Total Cost:$104,564,000 Total Cost:$104,599,000
Total Products: 46 Total Products: 4
o Less-than-Truckload, LTL:
Class rates, yaitu biaya standar untuk semua produk atau komoditi yang
dikirimkan. Sistem klasifikasi tarif ini memeirkan rating atau class untuk setiap
shipment. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: kepadatan proudk,
kemudahan/kesulitan penanganan dan transportasi, dan kehandalan terhadap
kerusakan.
Setelah rating ditetapkan, selanjutnya rate diidentifikasi berbasis angka yang
berupa perkiraan jarak antara sumber barang ke tujuan pengiriman. Dari dua hal
tesebut, kemudian ditentukan rate spesifik per serratus pound (hundred weight
atau cwt) untuk tabel tarif carrier (yaitu tabel rate freight15)
Pada kasus-kasus tertentu ditetapkan rate yang lebih rendah. Comodity rate adalah
rate khusus untuk komoditas tertentu.
Contoh :
Biaya transportasi untuk pengiriman sebanyak 4000 LBS.
15
Pengangkutan
Menentukan Lon dan Lat, yaitu longitude dan latitude titik A dan B.
Jarak antara A dan B dapat dihitung dengan :
Jarak pendek :
Circuit factor, ρ
Persamaan di atas tidak memperhitungkan jarak jalan sebenarnya, untuk itu, perhitungan jarak di
atas perlu dikalikan dengan ρ, yaitu circuit factor. Nilai ρ adalah 1.3 di area perkotaan besar
(metropolitan) dan 1.14 di area lainnya di Amerika Serikat.
Nilai ini kemudian dikalikan lagi dengan faktor untuk memperhitungkan akses dan penanganan
barang, Lorong/gang (jarak antar barang), fasilitas picking, sorting dan processing, AGVs (?).
Umumnya faktor ini adalah 3.
Contoh:
Annual flow = 1,000 units
Inventory turnover ratio = 10.0
Average inventory level = 100 units
Assume each unit takes 10 sqft. of space
Required space for products = 2,000 sqft. (didapat dari 10 sqft x 100 unit x 2)
Total space required for the warehouse is about 6,000 square feet
Jumlah Gudang
$90
$80
$70
Cost (millions $)
$60
Total Cost
$50 Transportation Cost
$40 Fixed Cost
Inventory Cost
$30
$20
$10
$-
0 2 4 6 8 10
Number of Warehouses
16
Net present value: NPV, adalah cara mengestimasi nilai suatu harga setelah beberapa tahun, yang
tentunya akan berubah nilainya akibat inflasi dan perubahan kondisi. Misalnya, nilai Rp. 1 jt saat ini tentunya
akan lebih kecil setelah 5 tahun mendatang, mungkin Rp. 1 jt saat ini akan setara dengan Rp 700rb setelah
5 tahun.
Pada industry farmasi dengan tipe produk high margin (keuntungan tinggi), service tidak penting
(mudah dalam proses pengiriman), biaya inventory mahal terlatif terhadap transportasi, rata-rata
memiliki 3 gudang. Sedangkan pada perusahaan kimia, servis sangat penting dan biaya
transportasi dari Gudang ke konsumen relative mahal, rata-rata memiliki Gudang yang jauh lebih
banyak.
Setelah dibangun model matematis untuk mensimulasikan jaringan distribusi, kita perlu
melakukan validasi terhadap model tersebut dengan cara:
1. Merekonstruksi konfigurasi network yang sudah ada menggunakan model tersebut, dan
mengumpulkan data operasional
2. Membandingkan output data operasional dengan model
3. Membandingkan data akunting perusahaan, biasanya ini merupakan cara terbaik untuk
mengidentifikasi kesalahan pada data, kesalahan asumsi, dan kekeliruan pada model.
4. Membuat perubahan kecil atau skala local pada konfigurasi network untuk melihat
bagaimana perubahaan tersebut dapat memberikan dampak terhadap biaya dan tingkat
layanan, untuk menjawab beberapa pertanyaan what-if.
5. Menjawab pertanyaan sebagai berikut:
• Apakah model tersebut masuk akal secara logis
• Apakah data-data konsisten
• Apakah hasil dari pemodelan tersebut dapat dijelaskan sepenuhnya
• Apakah analis melakukan sensitivity analysis17?
Pembangunan model distribusi jaringan dapat dikerjakan dengan solusi matematis dengan cara:
• Menerapkan teknik optimasi matematis dengan cara : algoritma pencarian solusi optimal (the
best), atau pendekatan heuristic (good enough) untuk mencari solusi, tidak harus selalu
optimal.
• Model simulasi, menyediakan mekanisme untuk mengevaluasi berbagai alternative
perancangan yang dibuat oleh analis.
Contoh
Misalkan ada perusahaan, membuat 1 produk dengan dua pabrik p1 dan p2. P2 memiliki
kapasitas tahunan 60.000 unit. Dua pabrik tersebut memiliki biaya produksi yang sama.
Perusahaan ini memiliki 2 gudang yaitu W1 dan W2, dengan biaya handling inventory yang sama.
Perusahan ini memiliki 3 area pemasaran yaitu c1, c2, dan c3, dengan permintaan masing-masing
50.000, 100.000 dan 50.000.
17
Sensitivity analysis : melakukan analisis variable mana yang jika berubah sedikit saja, akan sangat besar
pengaruhnya terhadap variable lain, misalnya, apakah harga minyak goreng sangat sensitive terhadap harga
gorengan?
Biaya distribusi per unit
Facility warehouse p1 p2 c1 c2 c3
w1 0 4 3 4 5
w2 5 2 2 1 2
Solusi I
Heuristic#1:
Memilih Gudang dengan harga termurah sebagai sumber untuk memenuhi permintaan.
Heuristic#2:
Memilih Gudang dengan biaya delivery dari dank e Gudang lebih rendah (mempertimbangkan
biaya inbound dan outbound).
Model optimasi
Masalah pada studi kasus sebelumnya, sebenarnya dapat diselesaikan dengan model
pemrograman linier, sebagai berikut
x(p1,w1), x(p1,w2), x(p2,w1) and x(p2,w2) be the flows from the plants to the warehouses.
x(w1,c1), x(w1,c2), x(w1,c3) be the flows from the warehouse w1 to customer zones c1, c2 and c3.
x(w2,c1), x(w2,c2), x(w2,c3) be the flows from warehouse w2 to customer zones c1, c2 and c3
w2 0 60,000 0 60,000 0
Model simulasi cocok digunakan untuk merancang dan melakukan analisis tingkat mikro,
misalnya:
Menganalisis pola order individu
Menganalisis kebijakan inventory tertentu
Pergerakan inventory di dalam Gudang
Model simulasi ini bukan model optimasi, dan hanya dapat dipertimbangkan sebagai model
alternative.
Sistem 2 tahap
Reducing committed service time from facility 2 to facility 1 impacts required inventory at both
facilities
Inventory at facility 1 is reduced
Inventory at facility 2 is increased
Overall objective is to choose:
the committed service time at each facility
the location and amount of inventory
minimize total or system wide safety stock cost.
Notasi
Trade-off
If Montgomery facility reduces committed lead time to 13 days
assembly facility does not need any inventory of finished goods
Any customer order will trigger an order for parts 2 and 3.
Part 2 will be available immediately, since it is held in inventory
Part 3 will be available in 15 days
13 days committed response time by the manufacturing facility
2 days transportation lead time.
Another 15 days to process the order at the assembly facility
Order is delivered within the committed service time.
Assembly facility produces to order, i.e., a Pull based strategy
Montgomery facility keeps inventory and hence is managed with a Push or Make-to-Stock
strategy.
Current safety stock location