Review 21 September 2012
Review 21 September 2012
1
Hak cipta © pada Penulis dan dilindungi Undang-undang.
Hak Penerbitan pada Pusat Penerbitan Universitas terbuka
Departemen Pendidikan Nasional
Kotak Pos 6666 – Jakarta 10001
Dilarang mengutip sebagian ataupun seluruh buku ini dalam bentuk apapun tanpa
izin dari penerbit.
Edisi 1
Cetakan pertama 2012
Penulis :
Penelaah Materi :
Pengembang Desain Instruksional :
Desain Cover dan Ilustrator :
Lay-outer :
Copy editor :
2
DAFTAR ISI
Kegiatan Belajar 4 :
Public Domain and Purposes (Wilayah dan Tujuan Pelayanan Publik) ........
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman .................................................................................................
Tes Formatif 4 ..............................................................................................
3
Modul 02 Manajemen Strategi dalam Pelayanan Publik
Kegiatan Belajar 1 .......................................................................................
Pemikiran dan Prinsip Manajemen Publik ....................................................
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman .................................................................................................
Tes Formatif 1 ..............................................................................................
4
Manajemen Kualitas Pelayanan Publik ........................................................
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman .................................................................................................
Tes Formatif 1 ..............................................................................................
Kegiatan Belajar 02
Minimum Standard of Services (Standar Pelayanan Minimal-SPM) ............
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman ................................................................................................
Tes Formatif .................................................................................................
5
Kegiatan Belajar 02:
Privatization of Public Services (Privatisasi dalam Pelayanan Publik) .........
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman .................................................................................................
Tes Formatif .................................................................................................
6
Citizen and Stakeholders Engagement ( ? ) ................................................
Latihan .........................................................................................................
Rangkuman .................................................................................................
Tes Formatif 2 ..............................................................................................
7
Tinjauan Mata Kuliah
8
MODUL 01
PELAYANAN PUBLIK DAN SEKTOR PUBLIK
9
KEGIATAN BELAJAR 01
KONSEP PELAYANAN PUBLIK
10
atau pelayanan administratif yang di8sediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.” (UU No 25 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (1))
11
pelayanan perjalanan atau traveling, pelanggan terlibat dalam memilih
tujuan, biaya,dan design perjalanan.
12
Dalam pelayanan, fokusnya adalah bagaimana mempertemukan kapabilitas
organisasi (organization’s capabilities) dengan kebutuhan pelanggan (the needs of
customers). Kebutuhan manusia adalah suatu keadaan yang dirasakan ingin
diperoleh seseorang. Suatu keadaan dimana seseorang membutuhkan sesuatu
dalam dirinya. Pola kebutuhan manusia dibentuk oleh kebudayaan dan individualitas
seseorang, misalnya orang jawa yang lapar membutuhkan dan menginginkan nasi,
sedangkan orang amerika membutuhkan dan menginginkan roti. Kebutuhan dan
keinginan yang didukung oleh daya beli merupakan permintaan. Perusahaan atau
organisasi akan memproduksi barang-jasa berdasarkan permintaan pasar atau
masyarakat/konsumen. Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan pada suatu
pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk digunakan, dan untuk dikonsumsi, agar
bisa memuaskan keinginan dan kebutuhan.
Kapabilitas organisasi pada kenyataannya men dapat dukungan dan hambatan
dari lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia. Semua ini dipengaruhi
oleh faktor lingkungan yang positif dan negatif. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
kapabilitas organisasi yang akhirnya dapat membuat kapabilitas organisasi bertemu
dengan kebutuhan pelanggan apabila mendapat dukungan lingkungan yang positif
atau sebaliknya jika mendapat hambatan dari lingkungan yang negatif.
13
dibiayai oleh negara (Chapman dan Cowdell, 1998:2-3). Demikian pula proses
tersebut dilakukan untuk kepentingan negara dan masyarakatnya.
“These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and,
through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically
determined by the state. Their budgets are sourced from taxation, both
nationally and locally. Funding is determined by allocation, rather than by use,
and they are controlled, or at least regulated, by state. The state is responsible
for the legal obligation given to such institutions and for the legal controls over
what they do”. (Chapman dan Cowdell, 1998:2-3)
14
kewajibannya sebagai warga negara dalam hidupbermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan, dan
aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat juga semakin kritis dan semakin berani
untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, dan adaptif serta sekaligus dapat
membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam
Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan
kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk
mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Berdasarkan atas penjelasan di atas, maka dibutuhkan adanya pelayanan
publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya
akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) kepada
penerima layanan (masyarakat). Adapun ciri-ciri dari pelayanan publik yang
professional, yaitu:
1. efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran;
2. sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;
3. kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan
kepastian mengenai:
a. prosedur/tata cara pelayanan;
b. persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan
administratif;
c. unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan;
d. rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e. jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
15
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan
wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;
5. efisiensi, mengandung arti :
a. persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang
berkaitan;
b. dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam hal proses
pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya
kelengkapan persyaratan darisatuan kerja/instansi pemerintah lain yang
terkait.
6. ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
7. responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8. adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan
dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh
kembang.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis diatas, birokrasi
publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah
menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan,
berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan
dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik
pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik
(terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan
profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang
diberikan kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh
pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat
(public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi
perlindungan (protection function). Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh
16
mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan
barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada
seluruh masyarakat yangmembutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk
menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Hal ini berarti
pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan
diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua
warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Zeithaml, Valarie A., (et.al) (1990) mengatakan bahwa ada 4 (empat) jurang
pemisah yang menjadi kendala dalampelayanan publik, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat;
2. Pemberian ukuran yang salah dalam pelayanan masyarakat;
3. Keliru penampilan diri dalam pelayanan publik itu sendiri;
4. Ketika membuat perjanjian terlalu berlebihan atau pengobralan.
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut:
17
1. Sebutkan definisi pelayanan publik dan berikan contohnya!
2. Bagaimana karakteristik pelayanan?
3. Bandingkan pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah!
4. Bagaimana hakikat fungsi pemerintah?
Rangkuman
Pelayanan merupakan proses maupun aktifitas yang selalu terikait dengan
proses kehidupan manusia setiap hari, dalam memahami pelayanan publik,
setiap ahli memiliki beberapa definisi pelayanan publik yang berbeda. Dari
berbagai definisi di atas maka dapat dipahami bahwa pelayanan publik
melibatkan adanya interaksi dan transfer elayanan berupa barang dan jasa
dari pemerintah bauj oemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pelayanan memiliki beberapa karakteristik yaitu intangible, inseparable, co
productive, variable (for heterogeneous), dan pherisbale.
Seiring perkembangan jaman, pelayanan publik dituntut untuk terus
berkembang dan dinamis.
Tes Formatif 1
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
Cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif 1 yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan
Belajar 1.
Arti penguasaan:
90-10% = baik sekali
80-89% = baik
70-9% = cukup
<70% = kurang
18
KEGIATAN BELAJAR 02
PERKEMBANGAN PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK DAN PELAYANAN
PUBLIK
19
1. Paradigma Administrasi Publik Tradisional (Old Public Administration) &
Peran Negara sebagai Welfare State
Jika dilihat dari perkembangannya, maka administrasi publik tradisional dalam
teori dan praktiknya dipengaruhi secara kuat oleh sejumlah teori yang berkembang
pada masa kemunculannya sebagai administrasi publik modern. Teori-teori yang
sangat penting mempengaruhi administrasi publik tradisional adalah teori birokrasi
Marx Weber (1864 -1920), teori scientific management dari Frederick Taylor (1911)
dan teori human relations dari Elton Mayo (1930).
Teori birokrasi Weber merupakan teori yang paling besar pengaruhnya
terhadap administrasi publik di negara-negara modern setelah runtuhnya berbagai
monarki di dunia. Weber mengutarakan tiga jenis otoritas yang terdiri atas
charismatic authority, yaitu munculnya seorang pemimpin yang luar biasa
(extraordinary leader); traditional authority, yaitu otoritas yang terdapat pada
masyarakat suku terasing; dan rational-legal authority, yaitu otoritas yang rasional
dan legal berdasarkan hukum yang berlaku. Jenis otoritas yang ketigalah yang
menjadi dasar teori birokrasi.
Berikut ini adalah interpretasi Owen terhadap teori birokrasi Weber, yaitu
(Hughes, 1998:29 ; Harmon dan Mayer, 1986:69-71):
(a) The principle of fixed and official jurisdictional areas, which are generally
ordered by rules, that is by laws or administrative regulations.
(b) The principles of office hierarchy and of levels of graded. Authority mean
a firmly ordered system of super- and sub-ordination in which there is a
supervision of the lower offices by the higher ones.
(c) the management of the modern office is based upon written documents
(‘the files’) which are preserved. The body of the officials actively
engaged in ‘public’ office, a long with the respective apparatus of material
implements and the files, make up a ‘bureau’. In general, bureaucracy
segregates official activity as something distinct from the sphere of private
life. Public monies and equipment are divorced from the private property
of the official.
(d) Office management, at least all specialised office management – and
such management is distinctly modern – usually presupposes thorough
and expert training.
(e) When the office is fully developed, official activity demands the full
working capacity of the official. Formerly, in all cases, the normal state of
affairs was reversed: official business was discharged as secondary
activity.
(f) The management of the office follows general rules, which are more or
less stable, more or less exhaustive, and which can be learned.
Knowledge of these rules represents a special technical learning which
20
the officials possess. It involves jurisprudence, or administrative or
business management.
Prinsip pertama adalah otoritas hanya dapat bersumber dari hukum formal.
Prinsip kedua adalah birokrasi dibangun dengan struktur hirarki. Prinsip ketiga
berkaitan dengan konsistensi dalam menerapkan peraturan dan bersifat impersonal.
Prinsip keempat berkaitan dengan profesionalisme. Prinsip kelima berkaitan dengan
prinsip full time job sebagai pekerja dalam birokrasi. Prinsip keenam atau terakhir
adalah office management merupakan kegiatan yang dapat dipelajari karena segala
sesuatunya dicatat dan diatur dengan peraturan perundangan. Keenam prinsip di
atas dianggap oleh Weber sebagai tipe ideal dari suatu birokrasi dan dapat
mengemban prinsip efisiensi.
Birokrasi dalam konsep Weber meliputi elemen struktur, elemen prosedur,
dan elemen perilaku. Elemen struktural bersifat spesialisasi, hirarki, berdasarkan
karier, permanen dan merupakan organisasi yang besar. Elemen prosedur bersifat
impersonal, formal, berdasarkan aturan dan secara ketat dibatasi oleh aturan main,
dan otoritas yang terstruktur. Elemen perilaku bersifat sangat efisien, sangat
berkuasa, dan terus berkembang. Rosenbloom dan Goldman menyimpulkan
birokrasi yang dikemukakan oleh Weber bersifat impersonal atau dehumanizing,
formalistic, rule-bound dan highly disciplined (Rosenbloom dan Goldman, :130–132).
Teori kedua yang berpengaruh terhadap keberadaan administrasi publik
adalah the scientific management movement dengan tokohnya Frederick Taylor.
Scientific management terkenal dengan dua hal, yaitu pertama, time and motion
studies yang kelak dipakai sebagai penentu standar bekerja dan kedua, sistem
insentif gaji. Teori Taylor ini berpendapat bahwa pekerjaan harus dilakukan secara
sistematis, sangat cocok dengan prinsip birokrasi Weber, dan sangat penting dalam
perkembangan administrasi publik (Hughes, 199:37).
Teori ketiga adalah human relation oleh Elton Mayo. Teori ini sangat
bertentangan dengan scientific management dari Taylor. Fokus teori Mayo ada pada
konteks sosial dari pekerjaan. Mayo mengatakan bahwa pekerja tidak semata-mata
bereaksi terhadap insentif uang yang diberikan kepadanya. Hal ini dikarenakan
hubungan sosial antar pekerja memegang peran penting dalam tingkat
produktivitasnya. Teori human relation mengakar pada teori psikologi sosial.
21
Signifikansi teori human relation dalam administrasi publik ataupun
administrasi bisnis bahwa hubungan informal di dalam ataupun di luar organisasi
cukup penting. Bukan hal-hal yang bersifat formal saja yang perlu mendapat
perhatian seperti hubungan antara atasan dan bawahan, distribusi kekuasaan dan
cara bekerja sistem di atas kertas. Perasaan, nilai, kelompok informal, latar belakang
sosial pegawai juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
Terjadi perdebatan antara pendekatan scientific management dan
pendekatan human relation. Dalam perjalanan administrasi publik tradisional, ajaran
scientific management dianggap lebih cocok dan mendapat tempat lebih baik
dibandingkan dengan ajaran human relation. Hal ini diperkuat dengan munculnya
POSDCORB (Planning, Organising, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting,
Budgeting) yang dihasilkan oleh studi Gulick dan Urwick pada tahun 1937 yang
dianggap bertentangan dengan ajaran human relation (Hughes, 1998:41). Namun,
pada dekade delapan puluhan dan sembilan puluhan pendekatan human relation
yang berkembang dengan sangat pesat pada sektor bisnis mulai diterapkan di
sektor publik. Konsep Reinventing Government memperlihatkan hal tersebut secara
eksplisit dalam konsep management empowering dan team work-nya.
Administrasi publik yang didasarkan oleh teori birokrasi Weber, Taylor dan
Wilson berkembang menjadi paradigma besar yang berkaitan dengan fungsi atau
keberadaan sektor publik itu sendiri. Hughes mengatakan bahwa dalam administrasi
publik modern pertama-tama dikenal paradigama yang dikenal dengan the traditional
model of public administration. Lebih jauh Hughes mengatakan karateristik dari
administrasi publik model tradisional adalah:
“an administration under the formal control of the political leadership,
based on a strictly hierarchical model of bureaucracy, staffed by permanent,
neutral and anonymous officials, motivated only by the public interest,
serving any governing party equally, and contributing to policy but
merely administering those policies decided by the politicians.” (Hughes,
1998:23)
22
posisi yang akan diduduki secara umum kurang relevan; orientasi kariernya adalah
life time in general position; sumber legitimasinya adalah hukum; kekuasaan adalah
kedudukan, orientasi waktunya adalah masa kini, kriteria pilihan adalah efisiensi;
tujuannya adalah administrasi tanpa memandang manusia atau orangnya
(administration without regard to persons); kemampuan untuk berubah rendah.
Sedangkan jenis kedua kurang mementingkan hirarki dan berderajat rendah; otoritas
sering bersifat formal namun jarang bersifat substansial; komunikasi formal yang
bersifat sentralistis tidak terlalu penting; pre-entry education sebelum menduduki
suatu posisi sangat relevan; orientasi kariernya adalah life time in profession;
sumber legitimasinya adalah knowledge; kekuasaan adalah keahlian; orientasi
waktunya adalah masa depan; kriteria pilihan adalah produktivitas, efektivitas dan
efisiensi; tujuannya adalah maximum output of goods and services; dan kemampuan
untuk berubahnya tinggi.
Konstruksi mental dari Weber di atas berkembang pesat di berbagai negara di
dunia, terutama Eropa Barat yang setelah perang dunia pertama mengalami ‘the
great depression’ sehingga secara cepat lalu menganut pemikiran Keynes. Keadaan
ini berkembang terus sampai periode tahun 1980 yang dikenal dengan ‘the growing
Influence of Keynesianism’ (Tanzi dan Schuknecht, 2000:10-11). Pemikiran Keynes
didukung oleh ekonom terkenal lainnya seperti Galbraith dengan bukunya yang
terkenal End of Laissez-Faire. Pada hakekatnya, kedua tokoh tersebut
mengemukakan bahwa terjadi market failure dalam mensuplai sejumlah barang dan
jasa terutama yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan (public poverty),
mengembangkan pendidikan dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Musgrave juga mengatakan bahwa dalam era modern, pemerintah justru harus
menjalankan fungsi alokasi (allocative functions), fungsi redistribusi (redistributive
functions), dan fungsi stabilisasi (stabilize functions) (Tanzi dan Schuknecht,
2000:10-11). Pendapatnya ini dikemukakan pasca perang dunia kedua dimana
negara-negara Eropa menghadapi berbagai masalah ekonomi dan kesejahteraan
masyarakatnya. Pemikiran Keynes, Galbraith dan Musgrave ini berkembang menjadi
pendekatan yang penting dalam proses pembangunan di negara-negara
berkembang. Dalam World Development Report 1988, Bank Dunia menyatakan
sebagai berikut:
“Since World War II the growing importance of public sector has been seen
by many development economist and policy makers as a natural and even
23
necessary ingredient of development. In what can be called the ‘public
interest’ view, the government must intervene to foster development: the
unmodified interaction of private agents will not achieve the goals of
economic efficiency, growth, macroeconomic stability, and poverty
alleviation.“ (World Bank, 1988:48-49)
24
Jepang (Nye, 1997:1-18). Turunnya kepercayaan ini antara lain karena sangat
besarnya birokrasi yang mengakibatkan turunnya produktivitas, lamban, tidak efisien
dan tidak efektif.
25
dikembangkannya adalah berdasarkan pemikiran ekonomi dari Adam Smith. Downs
mengemukakan tiga hipotesa yaitu (Downs, 1966:2):
a. Bureaucratic officials (and all other social agents) seek to attain their goals
rationally. Hence all agents in our theory are utility maximizers;
b. Bureaucratic officials in general have a complex set of goals Including
power, income, prestige, security, convenience, loyalty, pride in excellent
work, and desire to serve the public interest. But regardless of the
particular goals involve, every official is significantly motivated by his own
self-interest even when acting in a purely official capacity;
c. Every organization’s social functions strongly influence its Internal structure
and behavior, and vise versa.
26
Pada tahun 1971 muncul teori public choice lainnya tentang perilaku
birokrat yang ditulis oleh Niskanen dalam bukunya yang berjudul Bureaucracy and
Representative Government. Dengan menggunakan asumsi yang sama dengan
Downs, yaitu asumsi yang diambil dari teori ekonomi mikro klasiknya Adam Smith,
Niskanen membuat teori perilaku birokrat yang disebutnya sebagai budget
maximizer (Lean, 1987:81-102 dan Dunleavy, 1991:154-161). Niskanen
mengembangkan teorinya dari teori supply dan demand pada ekonomi mikro, dan
berkesimpulan bahwa para birokrat dalam mensuplai barang jasa ke masyarakat
melalui anggaran pemerintah cenderung untuk melampaui permintaan ‘pasar’ yang
sesungguhnya. Terdapat unsur mark-up dalam pengertian jumlah barang atau jasa
yang disuplainya. Teori Niskanen dikenal pula dengan the new right model of
bureaucracy.
Inti pemikiran yang dikemukakan oleh teori public choice yang berkenaan
dengan birokrasi dan birokrat adalah, pertama, bahwa birokrasi bukanlah
mekanisme alokasi sumber daya yang efisien dan efektif. Kedua, birokrat
mempunyai sifat-sifat negatif yang yang memperburuk birokrasi sebagai mekanisme
mengalokasikan barang dan jasa ke dalam masyarakat. Oleh karena itu, baik
birokrat ataupun birokrasi tidak dapat dipercaya.
Dalam perjalanan sejarah, studi ilmu administrasi publik mengalami
perkembangan paradigma yang luar biasa yang dimulai pada dekade 80an.
Perkembangan ini memunculkan paradigma the new public management
(Mascarenhas, 1994; Hughes, 1998:58-57 ; dan Peters, 2001), suatu paradigma
dalam ilmu administrasi publik yang berkembang dari paradigma public choice yang
ada dalam ilmu ekonomi politik (Walsh, 1995:15-28; Hughes, 1998:77). Pada intinya,
ide-ide dan prinsip-prinsip reformasi yang dicakup dalam hampir semua reformasi di
tingkat nasional ataupun subnasional selama dua dekade terakhir dapat
dikategorikan ke dalam paham manajerial (managerialism). Paham manajerial ini di
dasarkan pada teknik dan praktik sektor swasta dan digunakan lalu dipopulerkan
oleh teori public choice dan teori pasar.
Peningkatan efisiensi merupakan tujuan utama dari proses reformasi dalam
managerialism, sedangkan desentralisasi dan swastanisasi merupakan sejumlah
strategi yang dipakainya. Lebih lanjut, Ingraham mengatakan bahwa pada
pemerintahan yang dipengaruhi oleh sistem Westminster (sistem Inggris atau
Commonwealth Countries) dilakukan pemisahan antara unit yang membuat
27
kebijakan dan unit yang mengimplementasikan kebijakan. Hampir pada semua
kasus target reformasi adalah pada pegawai negeri tingkat senior, penerapan sistem
kontrak kinerja dengan kombinasi otonomi dan diskresi yang lebih besar pada
masalah penganggaran dan kepegawaian.
Managerialism yang bercirikan fleksibilitas dan berorientasi pasar merupakan
paradigma yang muncul sebagai respons dari ketidakpuasan terhadap paradigma
lama yang sering disebut sebagai traditional bureaucratic paradigm yang bersifat
rigid, hirarkis dan birokratis yang merupakan fenomena yang mendominasi abad ke
20 (Hughes, 1998:1; Lane, 1995:53-60), dan dikenal sebagai produk dari post-
Keynesian welfare state (Mascarenhas, 1993:319). Secara makro, pendekatan
The New Public Management berorientasi pada slimming the state antara lain
melalui swastanisasi dan contracting out, sedangkan secara mikro dapat dilihat
adanya penerapan manajemen stratejik, perencanaan stratejik, manajemen kinerja
(performance management), anggaran kinerja (performance based budgeting) serta
penerapan sistem kompetisi pada proses penyediaan pelayanan publik (Hughes,
1998:68-69).
Selain karena tuntutan efisiensi, NPM juga muncul sebagai respons untuk
memperbaiki kualitas pelayanan publik. Seperti dikemukakan dibagian terdahulu
welfare state telah membuat birokrasi menjadi sangat besar, lamban (tidak
responsif), dan mahal. Oleh karena itu, NPM beranggapan bahwa masyarakat
penerima pelayanan publik harus diperlakukan sama seperti customer yang
berhubungan dengan institusi pasar (swasta). Dengan melakukan hal ini maka
pelayanan publik akan dipacu sebaik yang disediakan oleh swasta. Alasan ketiga
munculnya NPM adalah alasan ideologi neo-liberlisme, yang mempertajam
ideologi ekonomi neo-klasik, yang percaya bahwa mekanisme pasar jauh lebih
baik dibandingkan dengan mekanisme politik dalam mengalokasikan barang dan
jasa (pelayanan publik) dalam masyarakat (Minogue, 1998:19-20).
Dalam perjalanannya NPM dapat dibedakan menjadi beberapa model
masing-masing dengan penekanan yang berbeda pula. Berikut ini dideskripsikan
secara singkat empat model dari NPM. New Public Management model pertama
didorong oleh tujuan untuk melakukan efisiensi (the efficiency drive). Model pertama
merupakan model yang muncul paling awal. Asumsi yang dipakai adalah birokrasi
bersifat wasteful, overbureaucratic dan underperforming. Usaha-usaha yang
dilakukan adalah menjadikan birokrasi menjadi lebih business-like yang didorong
28
oleh nilai ‘efisiensi’. Praktik-praktik yang muncul antara lain kontrol keuangan yang
semakin ketat, marjinalisasi serikat buruh, melakukan empowerment terbatas dan
menekankan entrepreunerial management, tetapi tetap dengan pertanggungjawaban
secara hirarki yang ketat. Pada model pertama sifat hirarki dan rigid untuk
mengontrol efisiensi terasa sangat kental. Kritik terhadap model pertama ini bahwa
model ini tetap mengacu pada paradigma Taylor, sehingga Pollitt menamakannya
sebagai neo-Taylorian approach (Ferlie,et al. 1996:10-11).
New Public Management model kedua adalah downsizing dan
decentralization. Hal yang dituju adalah keluwesan dalam organisasi dan juga
efisiensi dengan melakukan organizational unbundling dan downsizing. Langkah
tersebut untuk memerangi vertical integrated organizations yang masif dalam
birokrasi, mengurangi high degree of standardization, meningkatkan desentralisasi
terhadap tanggungjawab yang bersifat strategis dan terhadap pengelolaan
anggaran, meningkatkan contracting-out, serta memisahkan bagian kecil yang
bersifat strategis (pembuatan kebijakan) dan bagian lainnya yang lebih besar dan
bersifat operasional. Model kedua ini dikenal pula sebagai tindakan meninggalkan
management by hierarchy menuju management by contract (Ferlie, 1996:11-12).
New Public Management model ketiga adalah In search of Excellence. NPM
model ketiga sangat berkaitan dengan gelombang the excellence yang muncul pada
dekade 80an. Model ini memperlihatkan bagaimana penerapan human relations
school, yang sangat menekankan kultur/budaya organisasi pada pelayanan publik.
Model ketiga ini menolak dengan tegas model pertama dengan pendekatan yang
sangat rasional. Sebaliknya model ketiga sangat menekankan peranan nilai dan
budaya dalam organisasi. Terdapat kepedulian yang tinggi bagaimana organisasi
menata perubahan dan inovasi (how organisation manage change and innovation)
(Ferlie, 1996:13-14).
New Public Management model keempat adalah public service orientation.
Model ini memunculkan kembali total quality management dalam sektor publik dan
kepedulian yang tinggi kepada pemakai pelayanan publik. Lebih lanjut model
terakhir ini menginginkan kembalinya kekuasaan dari appointed pada elected local
bodies, serta bersikap skeptis terhadap peran pasar dalam penyediaan pelayanan
publik (Ferlie, 1996:14-15).
NPM merupakan paradigma pelayanan publik yang memiliki ide dan praktik
menggunakan pendekatan sektor privat dan bisnis. Praktik NPM yang cukup
29
terkenal yaitu praktik yang dilakansakan oleh Amerika Serikat yang dapat dipelajari
dari buku Ted Gaebler dan David Osborne, Reinventing Government (1992).
Berdasarkan best practise osborne dan gaebler (1992) menyusun beberapa prinsip
dalam NPM yaitu:
a. Pemerintahan Katalis (Catalytic Government, Steering Rather than
Rowing)
Prinsip ini merupakan gambaran peran pemerintah yang hanya
mengarahkan kayuhan atau bisa diartikan memberikan regulasi atas suatu
pelayanan publik. Sementara pelayanan publik sendiri dilaksankan oleh pihak
lain. E. S Savas mengatakan bahwa kata pemerintahan berasal dari sebuah
kata Yunani yang berarti mengarahkan. Tugas pemerintah adalah
mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan diartikan
sebagai mengayuh perahu, dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh
perahu.
Di Amerika, prinsip ini dapat dibuktikan dengan berhasilnya beberapa
kota dalam mengembangkan daerahnya, misalnya upaya Walikota George
Latimer dan deputinya Broeker yang mengupayakan kerjasama dengan
swasta dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dengan terus menerus
mempercepat solusi di luar sektor pemerintah, Latimer mampu meningkatkan
kontribusi pemerintah dengan memangkas 12% stafnya. Hal ini diupayakan
agar anggaran dan pertumbuhan pajak kekayaan tetap di bawah tingkat
inflasi serta mengurangi hutang kota tanpa perlu PHK besar-besaran dengan
memakmurkan kehidupan pegawai negeri dan mengabulkan keinginan
pemilik modal maka Latimer mewujudkan suatu pemerintahan yang lebih
banyak berbuat dengan menghabiskan (dana) lebih sedikit.
Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan oleh Latimer dan contoh
lainnya, secara tidak langsung muncul definisi baru atas peran pemerintah
yaitu antara sebagai fasilitator atau katalisator. Pemerintah (kota) akan lebih
sering mendefinisikan berbagai masalah kemudian menyusun berbagai
sumber daya untuk digunakan oleh yang lain dalam menghadapi masalah
tersebut.
30
Prinsip ini berupaya memberikan sebuah peran aktif bagi masyarakat
untuk turut serta mendukung berhasilnya sebuah pelayanan publik. George
Latimer, Mantan Walikota St. Paul mengatakan bahwa:
“Semakin tua saya semakin yakin bahwa agar benar-benar berjalan,
semua program harus dimiliki oleh masyarakat yang akan dilayani. Ini
bukan sekadar retorika melainkan kenyataan, jadi harus ada
kepemilikan”.
31
pelanggannya, menghargai inovasi karena tanpa inovasi monopoli akan
melumpuhkannya, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan
semangat juang pegawai negeri. Dalam perkembangannya, Amerika telah
mengembangkan beberapa metode yang hampir tidak terbatas, misalnya
kompetisi publik melawan swasta, kompetisi sawsta melawan swasta, dan
kompetisi publik melawan publik.
32
para manajer yang diperlukan untuk merespon setiap kondisi lingkungan yang
berubah, anggaran yang digerakkan oleh misi menciptakan lingkungan yang
dapat diramalkan, anggaran yang digerakkan oleh misi sangat
menyederhanakan proses anggaran, anggaran yang digerakkan oleh misi
menghemat jutaan dolar untuk auditor dan pegawai anggaran, serta
membebaskan anggota legislatif untuk memfokuskan pada isu-isu penting.
33
akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh
unit kerja tersebut (Irani dan Aswanto, 2010).
34
Prinsip ini mengurai sistem pemerintahan yang cenderung sentralisasi
sehingga menyebabkan production dan distribution cost yang tinggi.
Penyelenggara pelayanan publik melakukan pendistribusi pelayanan di
tingkat yang lebih terdesentralisasi sehingga mendekatkan pelayanan publik
kepada pelanggan. Beberapa dekade lalu, pemerintahan yang sentralistis dan
hirarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari
pusat, mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling
berhubungan dengan masyarakat dan bisnis. Pada masa itu, sistem
tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih
sangat primitif, komunikasi antar lokasi masih lamban, dan aparatur
pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk langsung.
Pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan
teknologi sudah sangat maju dan keinginan masyarakat sudah semakin
kompleks, sehingga pengambilan keputusan harus digeser ke tangan
masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya
masyarakat.
35
Paradigma NPM yang sangat populer sekarang ini bukannya tanpa kritik.
Hughes mengemukakan tujuh kritik terhadap NPM (Hughes, 1998:77-84). Pertama,
teori ekonomi dianggap sebagai dasar yang lemah bagi paham manajerial. Terlebih
lagi bagi penerapan paham manajerial dalam sektor publik. Kedua, sektor publik
tidak identik dengan sektor bisnis. Oleh karena itu, penerapan paham manajerial di
sektor publik adalah suatu yang tidak relevan. Ketiga, pada hakekatnya NPM
merupakan Neo-Taylorism yang juga telah menuai banyak kritik. Keempat,
penerapan NPM sampai batas-batas tertentu merupakan politisasi birokrasi. Kelima,
penerapan NPM mengurangi akuntabilitas karena diperkenalkannya konsep
konsumerisme. Keenam, definisi NPM tidak jelas.
Schick menambahkan pula keterbatasan dari NPM, khususnya NPM model
Westminster. Schick mengatakan bahwa model Westminster hanya dapat
diterapkan di negara-negara maju dimana tidak terdapat ‘sektor informal’, pasar
sudah berjalan dengan baik, dan rule of law mudah diterapkan. Schick lebih jauh
memperingatkan negara-negara berkembang untuk tidak mengikuti model
Westminster khususnya yang diterapkan New Zealand (Schick, 1998).
36
dalam pelayanan publik yaitu berkembangnya demokrasi. New Public Service
mengajak pemerintah untuk melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan
pelanggan; memenuhi kepentingan publik; mengutamakan warganegara di atas
kewirausahaan; berpikir strategis dan bertindak demokratis yang artinya pemerintah
harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan dialog dalam
menyelesaikan persoalan publik; menyadari komplekstitas akuntabilitas dimana
pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus
dilakukan dengan metode yang tepat; melayani bukan mengarahkan karena fungsi
utama pemerintah adalah melayani warga negara bukan mengarahkan; serta
mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas (Denhardt, 2003).
Denhardt & Denhardt (2007) menyatakan bahwa dengan munculnya
paradigma new public service diharapkan dapat membuat kata seperti “democracy’,
‘citizen’, dan ‘pride’ lebih lazim digunakan daripada terminologi ‘market’,
‘competition’, dan ‘customer’. Pemikiran ini dilatarbelakang adanya perubahan
paradigma bahwa pelayanan publik tidak seharusnya dijalankan layaknya bisnis
tetapi seharusnya dijalankan layaknya demokrasi.
Paradigma new public service ini meletakkan dasar pergerakannya dari
kepentingan publik, ide pemerintahan demokrasi, dan kegiatan sebagai hak warga
negara yang diperbaharui. Dasar ini ditunjukkan dalam interaksi dengan pimpinan
partai politik, pelibatan masyarakat, dan mekanisme dalam membawa perubahan
positif dalam organisasi dan komunitas.
Public servants do not deliver customer service; they deliver democracy. (Denhardt &
Denhardt, 2007)
Menurut Denhardt dan Denhardt terdapat beberapa prinsip dari new public
service, yaitu:
a. Melayani Warga Negara, bukan melayani pelanggan (Serve Citizens, Not
Customers)
Dalam prinsip ini, New Public Service memandang publik sebagai
‘citizen’ atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang
sama. Citizen adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang
disediakan pemerintah dan sekaligus juga subyek dari berbagai kewajiban
publik seperti mematuhi peraturan perundang-undangan, membayar pajak ,
membela negara, dan sebagainya. Oleh karena itu, abdi negara tidak hanya
37
responsif terhadap ‘customer’ (pelanggan), tetapi juga fokus pada
pemenuhan hak-hak publik serta upaya membangun hubungan kepercayaan
(trust) dan kolaborasi dengan warga negara.
38
seperti fungsi pengaturan atau regulasi, pemberian layanan, menetapkan
aturan dan insentif. Kehidupan masyarakat modern yang makin kompleks
menuntut peran pemerintah bergeser dari fungsi controlling ke agenda
setting, fasilitasi, negosiasi atau “brokering” solusi untuk memecahkan
masalah publik. Oleh karena itu, administrator publik tidak hanya menguasai
keahlian kontrol manajemen tapi juga keahlian bernegosiasi dan resolusi
konflik.
39
kebijakan publik akan ditanggung semua warga masyarakat. Oleh karena itu,
akuntabilitas administrasi publik bersifat komplek seperti pertanggungjawaban
profesional, legal, politis dan demokratis.
40
Berdasarkan atas penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Denhardt &
Denhardt ingin memunculkan ide-ide yang melawan model arus utama dalam teori
administrasi publik yang sangat pro-pasar karena bagaimanapun organisasi publik
mempunyai alasan yang jelas berbeda dengan organisasi bisnis, sehingga tidak bisa
dikendalikan seolah-olah lembaga bisnis. Ada nilai yang lebih penting dibandingkan
sekadar nilai ekonomi yang harus diwujudkan organisasi publik, yaitu sifat dan misi
publik yang melayani masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban publik sama terlepas dari identitas dan kapasitas sosial, politik maupun
ekonomi yang dimiliki warga negara tersebut.
41
paradigma ini mengatakan bahwa isu seperti akuntabilitas, transparansi, partisipasi
dan cepat tanggap merupakan isu yang sama pentingnya dengan isu the three Es
(efisiensi, ekonomi dan efektifitas).
Akhir-akhir ini, good governance sudah menjadi konsep yang biasa dipakai
dalam ilmu politik, administrasi publik dan secara khusus dalam pengembangan
manajemen. Konsep good governance seringkali muncul bersama dengan konsep
demokrasi, civil society, populer participation, human rights serta pembangunan
sosial yang berkesinambungan. Dalam dekade terakhir good governance seringkali
dikaitkan dengan public sector reform (Agere, 2000:1).
Oleh karena itu, dalam paradigma ini elemen-elemen utamanya adalah
partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan tanggap (responsive). Dengan demikian,
pengertian dari good governance itu sendiri adalah suatu sistem kepemerintahan
yang transparan, akuntabel, mengandung kebenaran, adil, demokratis, partisipatif
dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat (Agere, 2000:7-8 dan Loffler,
2003:165). Untuk melihat secara lebih rinci bagaimana prinsip-prinsip good
governance diterapkan dalam pelayanan publik yang dikemukakan oleh The
Independent Commission for Good Governance in Public Service lihat lampiran 1
(The Independent Commission, 2004:5).
Ketiga paradigma yang telah dibahas muncul sebagai konsekuensi dari
adanya proses reformasi administrasi.
Latihan
Untuk memperdsalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah
latihan berikut!
Rangkuman
Tes Formatif 1
Tes Formatif 1
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
Cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif 1 yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan
Belajar 1.
42
Tingkat Penguasaan : Jumlah Jawaban Benar X 100%
Jumlah Soal
Arti penguasaan:
90-10% = baik sekali
80-89% = baik
70-9% = cukup
<70% = kurang
43
Kegiatan Belajar 3
The Public Domain: Purposes and Conditions
44
Dalam hal ini, Chapman dan Cowdell (1998:2-3) mempertegas karakteristik
sektor publik sebagai berikut:
“These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and,
through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically
determined by the state. Their budgets are sourced from taxation, both
nationally and locally. Funding is determined by allocation, rather than by use,
and they are controlled, or at least regulated, by state. The state is responsible
for the legal obligation given to such institutions and for the legal controls over
what they do. Indeed it is one of characteristics of public sector organizations
that they are bounded by and operate within extensive legislation which creates
an often creaking bureaucracy, much of which is concerned with the ‘proper’
use of public money”
“Public sector institutions are usually understood in the sense of the first
category. They are generally organizations, the purpose of which is to benefit
society in some way. They are concerned with satisfying social wants and
needs – that is, with meeting demands for services or support which benefit
society as a whole. They may therefore be said to be ‘altruistic’, with concern
for others as a guiding principle. As a result, they are generally non-profit-
making organizations”. (Chapman & Cowdell, 1998)
Untuk membedakan organisasi privat dan publik, Farnham dan Horton (1993:28)
menyatakan bahwa:
“Private organizations are those created by individuals or groups for market or
welfare purposes. There are ultimately accountable to their owners or members.
Private organizations take the forms of unincorporated associations, companies,
partnerships, and voluntary bodies”.
“Public Organizations are created by government for primarily collectivistor
political purposes. They ultimately accountable to political representatives and
the law. Their criteria for succsess are less easy to define than are those of
private organizations. Public organizations cover a wide range of activities and
encompass all those public bodies which are involved in making, implementing
and applying public policy.”
45
Organisasi prifat adalah organisasi yang dibentuk individu untuk pasar atau
tujuan kesejahteraan. Sementara organisasi publik dibentuk oleh pemerintah untuk
tujuan politik kolektif atas dasar kepentingan umum.
Lane (1995) mendefinisikan sektor publik dalam beberapa konsep. Pertama,
sektor publik merupakan kegiatan pemerintah dan konsekuensinya. Konsep pertama
ini mengindikasikan keterlibatan pendekatan tradisional terhadap sektor publik
sebagai administrasi publik atau kewenangan publik. Kedua, aktifitas pemerintah
dan segala konsekuensinya tersebut membawa implikasi aktifitas sektor publik tidak
hanya berupa output kebijakan maupun aturan semata, melainkan juga barang dan
jasa. Ketiga, pada kenyataannya output sektor publik tidak sebatas pada barang-
jasa public goods (government transfer of social payment), melainkan juga private
goods. Keempat, hal ini jelas menggambarkan bahwa sektor publik melakukan
aktifitas pengalokasian anggaran dan sumber-sumber lain untuk private goods
(government consumtion and investment). Kelima,untuk memenuhi permintaan
barang-jasa publik maupun private, sektor publik dapat bertindak sebagai produser
yakni memproduksi sendiri barang-jasa tersebut (government production). Keenam,
dengan alasan tertentu pemerintah dapat bertindak sebagai penyedia barang-jasa
bagi masyarakat, sedangkan produsernya adalah swasta (government provision).
Tomkins (dalam Farnham dan Horton, 1993: 29) menyampaikan suatu
spektrum untuk mengelompokkan tipe organisasi dari yang sepenuhnya private (fully
private) hingga sepenuhnya publik tanpa kompetisi (public without competition).
Konsep sektor publik tidak terlepas dari sejarah perkembangan teori ekonomi,
dimana peran dan kontribusi bapak ekonomi klasik Adam Smith (1776) sedemikian
besar didalamnya. Melalui pekerjaan monumental dalam bukunya yang sangat
46
dikenal “The Wealth of Nations” mengulas tentang 3 (tiga) peran dasar suatu
negara.
Adanya sektor publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena hakikat
manusia yang memiliki demand. Manusia memiliki kebutuhan tertentu baik berupa
barang publik atau campuran (mix goods) dalam hidupnya yang tidak dapat dipenuhi
sendiri. Untuk itu diperlukan pelayanan publik. Pelayanan publik ini dapat dipenuhi
melalui penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah maupun pasar. Dalam hal ini,
peran pemerintah dapat dilakukan melalui mekanisme birokrasi dan politik. Terdapat
peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik karena dalam waktu
tertentu pasar dalam mengalami kegagalan pasar (market failure).
47
tingka feasible hingga infeasible. Kemudian dari degree of consumption kita dapat
melihat suatu barang atau jasa dari sisi jointness hingga individual.
Degree of Exclusion
Feasible Infeasible
Degree of Consumption
Jointness Individual
Dari kategorisasi tersebut, terdapat empat jenis barang dan jasa yaitu private
goods, tool goods,collective goods, dan common pool goods.
1. Private Goods yakni barang dan jasa yang dikonsumsi secara individual dan
ditunjukkan dengan pembayaran/harga.karakteristik lain : non-joint
consumption dan rivalry, contoh : mobil pribadi, coca cola, dsb. Private goods
48
tidak memiliki masalah supply, mekanisme pasar adalah sangat cocok untuk
penyediaan private goods. Private goods kadang-kadang juga di supply oleh
pemerintah.
2. Common Pool-Goods yakni barang –jasa publik yang dapat dikonsumsi
secara individual dan sulit untuk menjagakonsumsinya dari pihak atau orang
lain. Contoh : ikan di laut, air laut, udara segar, dan sebagainya. Terdapat
masalah supply, di mana mekanisme pasar tidak cocok untuk mengaturnya
satu-satunyanya cara adalah melalui ‘collective action’ yakni berupa kontrol
pemerintah atau regulasi transformasi menjadi barang private dapat
dilakukan dengan melalui penciptaan ‘property rights’ (misal hak mengambil
hasil laut/ikan, hasil hutan/hph, dan sebagainya).
3. Toll-Goods yakni barang-jasa publik yang dikonsumsi secara bersama-sama,
tetapi para penggunanya harus membayar, siapa yang tidak membayar dapat
dikecualikan dari penggunaan barang-jasa tersebut. contoh : listrik rumah
tangga, air-pam, iuran tv, telephone, dan sebagainya. Dapat disupply oleh
pasar, sebab pengecualiannya sangat mungkin dilakukan (dengan harga dan
iuran) di beberapa negara toll goods disupply oleh negara.
4. Collective Goods yakni barang-jasa publik yang dikonsumsi secara bersama-
sama, dan tidak mungkin konsumsinya dikecualikan dari pihak lain. contoh :
jalan raya/umum, listrik di jalan raya, taman-taman umum, keamanan yang
disediakan pemerintah, dan sebagainya. Karakteristik lain : joint consumption
dan non-rivalry. Pasar tidak akan mampu mesupply jenis barang-jasa ini,
sebab karena sifatnya, barang – jasa ini adalah memenuhi hajad hidup orang
banyak dan tidak mungkin untuk dibuat pengecualian konsumsinya. Oleh
karena itu satu-satunya yang dapat mengatur adalah negara.
49
(Friedman, 1973), bahkan bagi seorang teoris misalnya Nozick (1974) menerima
peran pemerintah dalam level minimal.
Peran pemerintah diperlukan karena diakui bahwa kegagalan pasar dapat
terjadi. Terdapat beberapa set kondisi yang dapat menyebabkan kegagalan pasar
antara lain:
a. Pasar privat tidak akan menyediakan barang publik dengan cukup. Barang
publik yaitu barang yang tidak dapat dipisahkan ketersediaannya untuk
semua orang dimana penggunaan satu orang tidak menghalangi
ketersediaanya untuk orang lain.
b. Pasar akan gagal ketika terdapat kenaikan return to scale, yaitu kondisi
yang menyebabkan adanya penurunan nilai dari unit cost karena produksi
yang meningkat.
c. Eksternalitas yaitu dampak yang diakibatkan oleh adanya suatu kondisi
tertentu baik positif maupun negatif.
d. Pemerintah perlu memberikan jaminan atas merit goods. Karena pasar
tidak mampu memberikan jaminan bahwa pelayanan atas merit goods akan
dapat diterima oleh semua warga negara. Merit goods yaitu sebuah
pelayanan yang perlu dijamin ketersediaannya agar semua orang bisa
mengaksesnya, misalnya kesehatan dan pendidikan. Dalam hal ini ada juga
demerit goods yaitu barang yang tidak seharusnya tersebar luas tanpa
pengawasan misalnya obat-obatan terlarang dan minuman keras.
e. Informasi asimetris yaitu informasi yang tidak merata.
Sementara itu Aronson (1985) menilai terdapat beberapa peran negara yang
lain yaitu:
1).Melindungi rakyat dari segala bentuk penjajahan dan penindasan bangsa lain,
dimana manifestasi tugas ini terlihat pada kekuatan militer yang diciptakan oleh
negara.
2). Melindungi masyarakat dari aspek hukum dan ketidakadilan, wujud dari tugas ini
terlihat pada diciptakannya berbagai peraturan dan perangkat lembaga peradilan
dan hukum untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan.
3). Menegakkan serta memelihara lembaga-lembaga publik untuk melakukan tugas-
tugas perlindungan terhadap rakyat. Bentuk aktivitasnya adalah berupa
pelayanan publik. (Aronson, 1985:14)
50
Walsh (1995) menyatakan bahwa pemerintah perlu menciptakan kerangka
institusional dan struktur hukum yang dapat menjamin kehidupan sosial warga
negara bisa berjalan bersandingan dengan kegiatan pasar. Terdapat beberapa
argumentasi yang melatarbelakangi diperlukannya peran pemerintah dalam
mengatasi kegagalan pasar antara lain:
1. Pemerintah memiliki peran dalam memberikan kewenangan dan
perencaaan politik
Peran pemerintah diperlukan meskipun dalam level minimal hingga
maksimal untuk memberikan intervensi dalam proses produksi maupun
distribusi. Dalam hal produksi, peran pemerintah dalam dilakukan karena
pasar memiliki keterbatasan dalam memproduksi dalam jumlah output yang
optimum. Sementara dalam bidang produksi, peran pemerintah diperlukan
untuk menentukan keputusan yang harus diambil atau tidak diambil terkait
dengan distribusi sumber daya pasar. Kondisi ini diperlukan karena dalam
bidang tersebut, peran pemerintah diperlukan terkait dengan kewenangan
dan perencanaan politik untuk menentukan apa yang seharusnya diproduksi
dan didistribusikan.
2. Signifikansi Moral dan Hak Asasi Manusia
Terdapat beberapa aktifitas yang secara moral tepat untuk dilaksanakan
oleh pemerintah daripada diserahkan kepada pasar. Meskipun pasar bisa
menyelenggarakan peran tersebut, tetapi secara moral, pemerintah lebih
tepat menyediakan pelayanan publik tersebut. Dalam hal ini, pemerintah
tidak hanya memiliki peran dalam mengoordinasikan proses produksi dan
distribusi tetapi cenderung memberikan pelayanan yang efektif atas barang
kolektif. Sehubungan dengan hal ini, Walzer (1983) sependapat karena
berpandangan bahwa dalam pelayanan publik yang berbeda harus
didistribusikan melalui prinsip yang berbeda. Sehingga dalam beberapa
pelayanan publik tertentu, peran pasar tidak bisa diterima misalnya dalam
bidang pendidikan dan kesehatan.
Dalam beberapa kondisi, peran pemerintah diperlukan dalam menyediakan
pelayanan publik tertentu karena sifat pelayanan tersebut merupakan hak
asasi bagi setiap individu. Apabila pelayanan publik tersebut dilakukan oleh
pasar, seperti halnya pemikiran Walsh (1995), dikhawatirkan tujuan pasar
51
akan mengganggu hak asasi setiap manusia, misalnya produksi dan
distribusi tranfusi darah.
3. Pemerintah sebagai Pengambil Keputusan
Pemerintah tidak hanya memiliki peran dalam menyelenggarakan
pelayanan publik secara langsung tetapi juga dalam membuat peraturan
yang melindungi warga negara. Keputusan dari pemerintah hendaknya
dapat mengatur, melindungi, dan mempertegas penyelenggaraan
pelayanan publik.
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut:
1. Identifikasi pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah, swasta
penuh, dan masuk kategori pihak kedua lainnya?
2. Bagaimana latar belakang adanya sektor publik?
3. Jelaskan penyebab market failure!
4. Jelaskan jenis barang berdasarkan degree of consumption dan degree of
exclusion
Rangkuman
Tes Formatif 3
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
Cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif 1 yang terdapat di
bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan
Belajar 1.
52
Arti penguasaan:
90-10% = baik sekali
80-89% = baik
70-9% = cukup
<70% = kurang
DAFTAR PUSTAKA
Bovaird, Tony dan Elke Loffer. 2003. “Understanding Public Management and
Governance”, dalam Tony Bovaird dan Elke Loffler, ed, Public Management
and Governance. London: Routledge.
Chapman, david dan Theo Cowdell. 1998. New Public Sector Marketing. Great
Britain : Financial Times Pitman Publishing.
Denhardt, Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving,
not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Service
Rather than Steering”. Public Administration Review 60 (6).
53
Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An
Approach to Reform”. International Review of Public Administration 8 (1).
Downs, Anthony. 1966. Inside Bureaucracy. Boston: Little Brown and Company.
Farnham, D. dan S. Horton. 1993. “The Political Economy of Public Sector Change”,
dalam D. Farham dan S. Horton, ed, Managing The New Public Services.
London: THE MACMILLAN PRESS LTD.
Ferlie, Ewan, et.al. 1996. The New Public Management in Action. Oxford: Oxford
University Press.
Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayer. 1986. Organization Theory For Public
Administration. London: Scott, Foresman and Company.
Henkoff, Ronald. 1994. Delivering The Goods. Fortune, November 28, 1994.
54
Kotler. Philip. (1994). Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation
And Control, Prentice Hall Int, Millenium edition,Englewood Clifss, New Jersey.
Lane, Jan-Erik. 1995. The Public Sector: Concepts, Models and Approaches.
London: SAGE Publications.
Lane, Jan-Erik. 1997. “Public Sector Reform: Only Deregulation, Privatization and
Marketization?”, dalam Jan-Erik Lane, ed, Public Sector Reform: Rationale,
Trends and Problems. London: SAGE Publications Ltd.
Lean, Iain Mc. 1987. Public Choice An Introduction. Oxford: Basil BlacwellInc.
Minogue, Martin. 1998. “Changing The State: Concepts and Practice in the Reform
of Public Sector,” dalam Martin Minogue, et.al., Beyond The New Public
55
Management: Changing Ideas and Practices in Governance. Cheltenham:
Edward Elgar Publishing Ltd.
Parsons, Wayne. 1995. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis. Aldershot: Edward Elgar.
Schick , Allen. 1998. “Why Most Developing Countries Should Not Try New Zealand
Reforms,” dalam The World Bank Research Observer, Jurnal, Vol. 13, No. 1,
Februari 1998.
Tanzi, Vito Tanzi dan Ludger Schuknecht. 2000. Public Spending in The 20th
Century: A Global Perspective. Cambridge: Cambridge University Press.
56
Walsh, Kieron. 1995. Public service and market mechanisms: Competition,
contracting and the new public management. New York: St. Martin's Press.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi pada era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: CV
Cutra Media.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi pada era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: CV
Cutra Media.
World Bank. 1988. World Development Report 1988. Washington D.C.: Oxford
University Press.
Zeithmal, Valerie A. 2004. Service Marketing. New York : Prentice-Hall.
57
MODUL 2
MANAJEMEN STRATEGI DALAM PELAYANAN PUBLIK
58
Kegiatan Belajar 01
Pemikiran dan Prinsip Manajemen Publik
Kegiatan Belajar 02
Manajemen Startegi dalam Pelayanan Publik
59
MODUL 3
PEMBIAYAAN PELAYANAN PUBLIK
60
Kegiatan Belajar 1
Model Klasik
61
c. Barang Campuran (mix goods) dibiayai dari tarif yang dikenakan kepada
pelanggan dikurangi dengan nilai subsidi yang disediakan oleh pemerintah
untuk barang tersebut.
Latihan
62
Rangkuman
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 02
Model Pembiayaan dalam Berbagai Jenis Kewenangan
63
MODUL 04
MANAJEMEN KUALITAS
PELAYANAN PUBLIK
64
Kegiatan Belajar 01
ManajemenKualitas Pelayanan Publik
65
perkembangan model yang dapat membantu memahami bagaimana gap persepsi
muncul dan bagaimana manajer dapat mengurangi efeknya (Brogowicz et al., 1990;
Grönroos, 1990; Gummesson and Grönroos, 1987; Parasuraman et al., 1985).
Perdebatan keempat, yaitu tentang definisi dan penggunaan zona toleransi. Berry
dan Parasuraman (1991) menyarankan bahwa zona toleransi adalah wilayah kinerja
pelayanan yang dianggap dari kepuasan pelanggan. Menjadi penting dari konsep ini
yaitu pelanggan dapat berbeda-beda dalam menerima tingkat kepuasan dari
pelayanan, dan peningkatan kualitas pelayanan dalam wilayah ini hanya akan
memberikan efek marjinal dari persepsi (Strandvik, 1994). Tetapi apabila pelanggan
meninggalkan pelayanan yang diberikan maka akan memberikan dampak langsung
terhadap kualitas pelayanan yang dipersepsikan. (Johnston, 1995; Liljander and
Strandvik, 1993). Perdebatan kelima yaitu wilayah kepentingan yang dibutuhkan
untuk mengidentifikasi penentu kualitas pelayanan.
Kualitas Pelayanan
Brumbrach (1988, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16) menilai kinerja
sebagai berikut:
“Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from
the performer and transform performance from abstraction to action. Not just
the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right –
the product of mental and physical effort applied to task – and can be judged
apart from results” .
Sementara arti kualitas menurut pandangan Buzzel dan Gale (1987), sebagaimana
dikutip oleh Gronroos (1990:36) : “…..quality is whatever the customer say it is, and
the quality of a particular product or service is whatever the customer perceives it to
be” serta ‘what counts is quality as it is perceived by the customers’
Bates dan Holton (1995, dalam Armstrong dan Baron,1998:15), menilai kinerja
bahwa: “Performance is a multi-dimensional construct, the measurement of which
varies, depending on a variety of factors. They also state that it is important to
determine whether the measurement objectives is to assess performance outcomes
or behaviour”. Kane (1996, ibid:15) yang secara tegas mengemukakan bahwa:
”There are of course different views on what performance is. It can be ragarded as
simply the record of outcomes achieved. On an individual basis, it is a record of a
66
person’s accomplishments”. Institute of Personnel Management pada tahun 1993
(dalam Armstrong dan Baron, 1998: 44).
“A strategy which relates to every activity of the organization set in the context
of its human resources policies, culture, style, communications systems. The nature
of strategy depend on the organizational context and can vary from organization to
organization”.
Selanjutnya perhatian manajemen kinerja mencakup seluruh aspek dalam
organisasi. Dalam salah satu aspek yakni proses produksi, perhatian manajemen
kinerja meliputi sisi input, proses, output, dan outcome. Pada sisi input, kinerja
dapat diukur dari kualitas masukan atau input baik berupa sumber-sumber material,
pembelajaran, dan kapabilitas sumber daya manusia (knowledge, skill, dan
competence). Pada sisi output kinerja dapat diukur dari aspek hasil yang dapat
dicapai oleh suatu organisasi, yang kelak hasil ini membawa pengaruh terhadap
kinerja outcome.(Armstrong dan Baron, 1998:9).
Benang merah dari ragam batasan kinerja yang dikemukakan para ahli
tersebut adalah, bahwa kinerja dapat diukur baik secara individual, yakni melalui
hasil perilaku individu dalam organisasi, maupun secara organisasional, yakni
melalui hasil yang dapat dicapai oleh organisasi. Dengan demikian juga dapat
dikatakan bahwa kinerja individu adalah bagian dari kinerja organisasi. Penekanan
individual disini dimaksudkan mengacu pada kinerja para pegawai, atau ‘the
workers’ di dalam organisasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kinerja
pegawai sesungguhnya menjadi dasar atau fondasi keberhasilan organisasi, hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Rosen (1993:42) yang menggarisbawahi pentingnya
kinerja pegawai sebab : “At the foundation of the organizational triangle are the
workers who actually produce and deliver public services”
“Performance is not only about what is achieved but also about how it is
achieved”.
67
4. Berkaitan dengan pengembangan (performance development) dan
5. Berkaitan dengan perbaikan kinerja (performance improvement) .
68
3. Pengukuran keuangan dari kinerja merupakan mekanisme untuk
motivasi dan kontrol organisasi. Informasi keuangan akan
memberikan jendela untuk organisasi melalui operasi spesifik yang
diatur menggunakan input dan output sesuai dengan kaidah
keuangan.
b. Perspektif Pemasaran (The Marketing Perspective)
Terdapat banyak organisasi yang mencari pertumbuhan bagus dalam laba
melalui penjualan. Perspektif pemasaran meningkatkan perhatian terhadap
pengukuran kinerja dalam bidang non-keuangan. Dari studi awal pada 1970-
an, perkembangan pengukuran kinerja melalui pemasaran dilihat sebagai
produktifitas pemasaran. Upaya ini dilihat dalam mengukur output per unit
dari input sebagai kontribusi pemasaran terhadap suksesnya organsasi. Dari
perspektif pemasaran, terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
1. The market orientation perspective
Pendekatan ini menyarankan bahwa pemasaran yang baik
melibatkan aktifitas yang mengembangkan dan menggunakan
kecerdasan atau pengetahuan tentang pasar. Pengetahuan tentang
pasar seharusnya menjadi aset yang penting untuk usaha pemasaran
di masa yang akan datang.
2. Customer satisfaction
Pelanggan merupakan aset yang penting dalam pemasaran karena
pemasaran kepada pelanggan seharusnya mengarahkan mereka
untuk meningkatkan kesetiaan yang akan menghasilkan pendapatan
meningkat dan biaya pemasaran menurun.
3. Customer loyalty
Pelanggan yang setia dapat mengurangi biaya akusisi untuk
pelanggan baru melalui word of mouth yang positif.
69
kinerja tidak dapat diatur. Maka dari itu, terdapat beberapa pengukuran
kinerja yang semuanya diasumsikan menjadi bagian yang penting. Bagian
spesifik yang akan diukur tergantung dari perspektif fungsional.
70
ada. Sedangkan akuntabilitas administratif memiliki arti yang lebih luas,
Peters (1984:241) menekankan pada kontrol birokrasi, termasuk
diantaranya adalah tugas dan peran para pegawai pelayanan publik yang
mengacu pada tanggung jawab administratif.
d) Akuntabilitas Konsumen : Mengacu pada konteks pertanggungjawaban
terhadap para pengguna pelayanan publik termasuk dalam hal ini
pelaksanaan dari pada berbagai prosedur penggunaan komplain, praktik-
praktik maladministration, dan ombudsman. Dengan kata lain bahwa
responsiveness dari pelayanan publik terhadap masyarakat adalah
menjadi ukuran akuntabilitas pelayanan publik. (Lawton dan Rose,
1991:21)
e) Akuntabilitas Profesional : Pertanggungjawaban pelayanan publik secara
profesional, mencakup profesionalisme para pegawainya, profesionalisme
pelayanan, dan penanganan klaim. Dalam arti bahwa karakteristik
profesionalisme dalam pelayanan publik harus terdapat didalam ukuran
kinerja akuntabilitas profesional. Karakteristik profesional tersebut oleh
Metcalfe dan Richard (1990 :124) mencakup antara lain, kepemilikan
suatu ‘badan’ yang mencerminkan kekhususan yang terstandarisasi,
terlihat pada pelatihan yang bersertifikasi, otonomi dalam bidang
keahlian, kontrol terhadap pengantaran pelayanan, kode etik dan
standard aturan yang jelas, dan menekankan pada kompetensi dan etik
perilaku
71
pengawasan tinggi yang menekankan pada aturan, prosedur, dan standard
operasional yang rigid.
Akuntabilitas legal, kombinasi dari sumber pengawasan berasal dari eksternal
(auditor, atau lembaga peradilan) dan tingkatan pengawasan yang tinggi
melalui monitoring secara berkala dan menekankan pada rule and law.
Akuntabilitas profesional, yang dicirikan oleh tingkatan pengawasan yang
rendah dengan penekanan pada konsep keahlian, profesionalism yang telah
diatur dalam suatu kode etik, serta sumber pengawasan dari internal.
Akuntabilitas politik, yakni bercirikan sumber pengawasan eksternal (pemilih,
voter, constituent,) dan tingkatan pengawasan yang rendah karena lebih
memberlakukan nilai-nilai responsiveness
72
pegawainya akan menemui kegagalan dalam pencapaian kinerja SDM yang
diharapkannya.
Masalah manajemen kinerja yang dihadapi oleh sektor publik, adalah masalah
pengukuran. Sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku
sebagaimana dalam sektor prifat. Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad
hoc dan jauh dari sistematik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hughes
(1994:205) sebagai berikut :
“By any standard, performance management in the tradisional model of public
administration was inadequate, and this applies to either the performance of
individuals or organization. Measures which did exist were ad hoc and far
from systematic”.
Hughes (ibid:206) mengakui bahwa memang benar sangat sulit mengukur
kinerja di sektor publik sebab disana tidak ada ide tentang apa yang diproduksi,
bagaimana memproduksinya, apakah pekerja bekerja dengan baik, bagaimana
mengukur produktifitas mereka, apakah pelanggan puas, jika tidak siapa yang harus
menghadapi keluhan pelanggan, dan seterusnya. Bahkan dibanyak kasus, seorang
administrator tidak perlu bersusah payah memikirkan kinerja anak buahnya, menurut
mereka pengukuran kinerja hanya menimbulkan masalah.
Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan
oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu
pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeithaml (1990)
mengemukakan dalam mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang
harus diperhatikan dalam melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu:
1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi;
2. Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat;
3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan;
4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yang
baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;
5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan
konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat;
73
7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya
dan resiko;
8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
9. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara,
keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi barukepada masyarakat;
10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untukmengetahui
kebutuhan pelanggan.
Sementara dari determinan kualitas pelayanan tersebut jika kita rujuk pendapat
Gaspersz (dalam Lukman, 1998:8) yang mendefinisikan dimensi kualitas pelayanan
meliputi:
1) Ketepatan waktu pelayanan;
2) Akurasi pelayanan;
3) Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan;
4) Tanggung jawab;
5) Kelengkapan;
6) Kemudahan mendapatkan pelayanan;
7) Variasi model pelayanan;
8) Pelayanan pribadi;
9) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan; dan
10) Atribut pendukung pelayanan lainnya.
74
Tangible adalah aspek fisik yang tampak dalam mendukung pelayanan
jasa (ruang yang nyaman, tempat atau sarana bertanya, atau
memperoleh informasi secara cepat, dll).
Dimensi ini melihat atas tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan, dan
sarana komunikasi serta yang lainnya yang dapat dan harus ada dalam
proses jasa. Adapun atribut-atribut yang ada dalam dimensi ini adalah
(Parasuraman, 2005 ):
Peralatan yang modern
Fasilitas yang menarik
b. Empathy
Empati adalah kepedulian petugas secara tulus pada pelanggan (ramah,
tersenyum dalam melayani, care dan siap membantu, tidak mengeluh)
Empati ini meliputi sikap kontak personel maupun perusahan untuk
memahami kebutuhan maupun kesulitan konsumen, komunikasi yang
baik, perhatian pribadi, kemudahan dalam melakukan komunikasi atau
hubungan. Atribut-atribut yang ada dalam dimensi ini adalah
(Parasuraman, 2005):
Memberikan perhatian individu kepada konsumen
Karyawan yang mengerti keinginan dari para konsumennya
c. Responsibility
Responsibility adalah tanggung jawab dan tanggap terhadap kebutuhan
dan keinginan pelanggan (bersedia menerima komplain, kritikan,
masukan tanpa menunda-nunda waktu untuk menindaklanjutinya). Daya
tanggap yaitu kemauan atau keinginan para karyawan untuk membantu
dan memberikan jasa yang dibutuhkan konsumen. Membiarkan
konsumen menunggu, terutama tanpa alasan yang jelas, akan
menimbulkan kesan negative yang tidak seharusnya terjadi. Kecuali jika
kesalahan ini ditanggapi dengan cepat, maka bisa menjadi suatu yang
berkesan dan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Atribut-atribut
yang ada dalam dimensi ini adalah (Parasuraman, 2005):
Memberikan pelayanan yang cepat
Kerelaan untuk membantu / menolong konsumen
75
Siap dan tanggap untuk menangani respon permintaan dari
para konsumen
d. Reliability
Reliability adalah adanya petugas yang dapat dihandalkan dari aspek
kompetensi, profesionalisme, dan kecekatan dalam melayani
(profesional dibidangnya, menguasai pekerjaannya, bekerja dengan
cepat, tepat dan akurat). Reliability atau kehandalan yaitu kemampuan
untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat (accurately)
dan kemampuan untuk dipercaya (dependably), terutama memberikan
jasa secara tepat waktu (ontime), dengan cara yang sama sesuai
dengan jadual yang telah dijanjikan dan tanpa melakukan kesalahan
setiap kali. Adapun atribut-atribut yang berada dalam dimensi ini antara
lain adalah (Parasuraman, 2005):
Memberikan pelayanan sesuai janji
Pertanggung jawaban tentang penanganan konsumen akan
masalah pelayanan
Memberi pelayanan yang baik saat kesan pertama kepada
konsumen
Memberikan pelayanan tepat waktu
Memberikan informasi kepada konsumen tentang kapan
pelayanan yang dijanjikan akan direlisasikan
e. Assurance
Assurance adalah keterjaminan terhadap mutu pelayanan yang terkait
dengan keamanan, keadilan, ketepatan waktu, kerusakan/kecacatan
dan kesesuaian prosedur dan harga (keamanan gangguan calo, tidak
membeda-bedakan antar pelanggan, kesempurnaan pelayanan dari
aspek prosedur yang benar tidak berlebihan, dan harga yang sesuai
sebagaimana telah ditetapkan).
Assurance dapat diartikan jaminan, jaminan ini meliputi pengetahuan,
kemampuan, keramahan, sopan, dan sifat dapat dipercaya dari kontak
personel untuk menghilangkan sifat keragu-raguan konsumen dan
76
merasa terbebas dari bahaya dan resiko. Atribut-atribut yang ada dalam
dimensi ini adalah (Parasuraman, 2005):
Karyawan yang memberi jaminan berupa kepercayaan diri
kepada konsumen
Membuat konsumen merasa aman saat menggunakan jasa
pelayanan perusahaan
Karyawan yang sopan
Karyawan yang memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat
menjawab pertanyaan dari konsumen
2. Balanced Scorecard
Balance Scorecard yaitu penilaian yang menggambarkan
keseimbangan diantara beberapa elemen penting dari kinerja. Hasil dari
scorecard dapat dilihat tidak hanya sebagai hasil yang dicapai. Hal yang
sama pentingnya dari score ini yaitu dapat untuk melihat hasil yang
diharapkan.
Kaplan dan Norton (1992), yaitu seorang peneliti dan konsultan yang
telah bekerja dengan banyak orang untuk mengembangkan metode dalam
mengukur kinerja menyatakan bahwa balance scorecard sebagai sebua
siklus proses.
77
Clarifying &
Translating
Vision and
Strategy
Startegic Communicat
Feedback & BS ing and
Learning Linking
Planning
and Target
STrategy
78
scorecard. Penggunaan balanced scorecard yang dikombinasikan dengan
metode system dinamik akan menghasilkan cara berpikir sistemik dalam
melihat hubungan variabel-variabel kinerja secara tidak terpisah, namun
melihat sebagai hubungan kausalitas. Parameter generik dari balanced
scorecard tidak rumit, mudah untuk diimplementasikan, dan jumlah indikator
yang dianjurkan tidak lebih dari 5 (kecuali diperlukan)
Perspektif
Pelanggan
Visi Misi
Perspektif Perspektif
Keuangan
dan Proses Internal
Strategi
Perspektif
Pembelajaran
Pertumbuhan
79
pembelajaran pertumbuhan yaitu sudut pandang yang berfokus pada
pegawai /sumber daya manusia, pendidikan-pelatihan, pengembangan
karier, reward dan punishment, budaya kerja/organisasi, dan capacity
building, misalnya melalui survei pegawai atau SDM. Perspektif keuangan
melihat sehat tidaknya suatu perusahaan dapat dinilai dari aspek ‘lrs’
keuangannya. Efisiensi diberbagai resources (termasuk sumber daya
manusia), contohnya adalah audit keuangan.
Pengalaman pengukuran kinerja menggunakan BS untuk sektor publik
sebenarnya serupa dengan konsep yang dipakai untuk sektor bisnis.
Bagaimanapun juga, terdapat beberapa perubahan yang dperlukan untuk
mengadaptasikan scorecard untuk persyaratan operasional sektor publik.
1. Logik dari konsep balance scorecard didominasi oleh notion yang
berbeda-beda yang menyeimbangkan perspektif dan pengukuran yang
berbeda yang seharusnya mempromosikan long-term survive dan
profitability. Untuk negara kota, atau agen pemerintah pusat, tujuan
berbeda. Sehingga perlu ada penyesuaian dalam perspektif finansial.
2. Proses pengambilan keputusan yang dinilai re;evansinya berbeda dri
rational choice startegy.
80
Yesterday
Performance
Focus
Activity Tommorow
Focus
Dalam sektor publik, sama halnya dengan sektor privat, dibagi dalam
beberapa perspektif yaitu yesterday-today-tomorrow.
Latihan
Untuk memperdalam materi, kerjakan latihan berikut!
Rangkuman
Referensi
Tes Formatif
81
Kegiatan Belajar No. 02
Minimum Standard of Services (Standar Pelayanan Minimal-SPM)
82
menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi
dari executive order tersebut adalah sebagai berikut “Identify customer who are, or
should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and
quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post
service standards and measure result against the best bussiness, provide the
customers with choice in both sources of services, and complaint system easily
accesible, and provide means to adress customer complaints” (S,Yogi & M. Ikhsan,
2006).
Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi
pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk
menentukan jenis dan kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk
menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan,
termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik,
menyediakan berbagai pilihan sumber-sumber pelayanan kepada pelanggan dan
sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk
menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.
Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme,
yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi
pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut
adalah (S,Yogi & M. Ikhsan, 2006) :
a. Menentukan standar pelayanan;
b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;
c. Berkonsultasi dan terlibat;
d. Mendorong akses dan pilihan;
e. Memperlakukan semua secara adil;
f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;
h. Inovatif dan memperbaiki; dan
i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
Standar pelayanan minimal sendiri menurut Istyadi Insani (2009)
sebenarnya terkait dengan konsep manajemen kinerja. Mengutip tulisan Hodge,
Istyadi Insani menuliskan pengertian manajemen kinerja sebagai “the systematic
assessment of how well services are being delivered to community both efficiently
and how effectively”. Sedangkan dalam buku Sistem Manajemen Kinerja Otonomi
83
Daerah, LAN (2004:8) menyatakan bahwa sebagai sebuah sistem yang terintegrasi,
manajemen kinerja diyakini dapat digunakan untuk mendukung pengambilan
keputusan, peningkatan kualitas pelayanan dan pelaporan.
Terkait dengan pengertian manajemen kinerja tersebut, maka dalam
pencapaian standar pelayanan minimal untuk jangka waktu tertentu ditentukan
berdasarkan batas awal pelayanan (minimum service baselines) dan target
pelayanan yang akan dicapai (minimum service target). Minimum service baselines
adalah spesifikasi kinerja pada tingkatan awaal berdasarkan data indikator standar
pelayanan minimal yang terakhir. Sedangkan minimum service target adalah
spesifikasi peningkatan kinerja pelayanan yang harus dicapai dalam periode waktu
tertentu dalam siklus perencanaan multi tahun untuk mencapai atau melebihi
standar pelayanan minimal. Dengan demikian maka standar pelayanan minimal
bersifat dinamis dan akan terus mengikuti perubahan yang terjadi pada masyarakat
dan perubahan target pelayanan yang ingin dicapai secara kualitas dan kuantitas
kerja yang diperlukan (Istyadi Insani, 2009.)
Manfaat dari keberadaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah (S,Yogi
& M. Ikhsan, 2006):
a. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
b. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang
sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran
yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
c. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang
lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
d. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan
membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih
berimbang.
e. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara
lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam
menilai kinerja pemerintah daerah.
f. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah
daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat
keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat
disediakan pemerintah daerah.
84
g. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan
pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan
masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip, yakni:
a. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan
untuk urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
b. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh
daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia.
c. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu
yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan urusan wajibnya.
d. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan
perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara
merata.
e. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk
pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata
kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.
f. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah,
pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai
Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas
daerah.
85
yang ditetapkan oleh pemerintah”. Peraturan Pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti
dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002, tertanggal
8 Juli 2012 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota se-Indonesia
mengenai Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Kebijakan SPM tersebut terus dilanjutkan meski UU No. 22/1999 telah
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Tindaklanjut tersebut tidak hanya berhenti
sampai di situ saja, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2005 serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (Istyadi Insani
2009).
Standar pelayanan minimal, apabila mengacu pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan
Penetapan Standar Pelayanan Minimal, adalah ketentuan tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga secara minimal. SPM sendiri berisi mengenai berbagai indikator atau biasa
disebut indikator SPM. Indikator SPM adalah tolak ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian SPM, berupa masukan, proses, keluaran, hasil dan/atau
manfaat pelayanan dasar.
Penyusunan SPM sendiri, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dan Penetapan
Standar Pelayanan Minimal pasal 12, dilakukan oleh masing-masing
Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri
Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi dengan
melibatkan Menteri/Pimpinan LPND. Hasil konsultasi tersebut disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Otonomi Daerah kepada Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah melalui Sekretariat DPOD untuk mendapatkan
rekomendasi. Kemudian berdasarkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah, usulan SPM tersebut disampaikan oleh Tim Konsultasi Penyusunan SPM
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen untuk ditetapkan
oleh Menteri terkait sebagai SPM jenis pelayanan dasar yang bersangkutan.
Sebelum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 dikeluarkan,
pembuatan SPM didasarkan pada PP No. 65 Tahun 2005. Ketika PP No. 65 Tahun
2005 juga belum muncul maka untuk mengatasi kelangkaan peraturan perundangan
86
mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan, dikeluarkan Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri
tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan
Minimal (S,Yogi & M. Ikhsan, 2006). Pedoman tersebut digunakan untuk
menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi
operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data,
target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan.
Standar pelayanan minimal sendiri sebenarnya tidak bisa diterapkan ke
dalam semua jenis pelayanan. Terdapat beberapa kriteria tertentu bagi senuah
pelayanan untuk memiliki SPM sebagai pedoman pelaksanaannya, yaitu (S,Yogi &
M. Ikhsan, 2006):
a. Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM merupakan bagian dari
pelaksanaan urusan wajib daerah
b. Pelayanan dasar yang di-SPM-kan merupakan pelayanan yang sangat
mendasar yang berhak diperoleh setiap warga Negara secara minimal
sehingga dijamin ketersediannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang
nasional dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi tanpa
memandang latar belakang pendapatan, sodial, ekonomi dan politik warga
c. Penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut didukung dengan data dan
informasi terbaru yang lengkap secara nasional serta latar belakang
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
pelayanan dasar dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi
kelembagaan dan pembiayaannya
d. Pelayanan dasar yang di-SPM-kan terutama yang tidak menghasilkan
keuntungan materi
Hingga saat ini berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Istyadi Insani
(2009), dinyatakan bahwa terdapat dua puluh enam bidang pelayanan yang wajib di-
SPM-kan, yaitu perencanaan pembangunan; penataan ruang; kesatuan dan politik
dalam negeri; pekerjaan umum; perhubungan; perumahan; komunikasi dan
informatika; kesehatan; pendidikan; kebudayaan; kepemudaan dan olah raga; sosial;
ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
ketenagakerjaan; koperasi dan usaha kecil dan menengah; lingkungan hidup;
pertanahan; kependudukan dan catatan sipil; keluarga berencana dan keluarga
87
sejahtera; otonomi daerah, pemerintahan umu, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; penanaman modal; statistik;
kearsipan; perpustakaan.
Selanjutnya untuk menentukan indikator SPM seyogyanya dapat menggambarkan
kondisi (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007):
a. Tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan, seperti sarana dan
prasarana, dana dan personil
b. Tahapan yang digunakan, termasuk upaya pengukurannya, seperti program
atau kegiatan yang dilakukan, mencakup waktu, lokasi, pembiayaan,
penetapan, pengelolaan dan keluaran, hasil dan dampak
c. Wujud pencapaian kinerja, meliputi pelayanan yang diberikan, persepsi dan
perubahan perilaku masyarakat
d. Tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah, termasuk kualitas
hidup, kepuasan konsumen atau masyarakat, dunia usaha, pemerintah dan
pemerintahan daerah
e. Keterkaitannya dengan keberadaan system informasi, pelaporan dan evaluasi
penyelenggaraan pemerintah daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat
dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan
Selanjutnya ada pula yang disebut batas waktu pencapaian SPM yaitu kurun
waktu yang ditentukan untuk mecapai SPM secara nasional. Dalam penentuan
batas waktu pencapaian SPM, harus dipertimbangkan (S,Yogi & M. Ikhsan, 2006):
a. Status jenis pelayanan dasar yang bersangkutan pada saat ditetapkan
b. Sasaran dan tingkat pelayanan dasar yang hendak dicapai
c. Variasi factor komunikasi, demografi dan geografi daerah
d. Kemampuan, potensi serta prioritas nasional dan daerah
Dalam SPM terdapat pula proses monitoring serta evaluasi. Kegiatan ini
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan bekerja sama dengan
Menteri/Pimpinan LPND serta Tim Konsultasi Penyusunan (Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor Nomor 6 Tahun 2007).
Keberadaan standar pelayanan minimal ini seharusnya dapat memberikan
jaminan bagi masyarakat akan adanya pelayanan dengan kualitas yang baik serta
merata di tiap daerah. Tapi keadaan yang terjadi adalah jangankan pelayanan publik
yang baik, standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu
dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra
88
atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada
kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata
dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada
saat masyarakat mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte
Kelahiran, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
sertifikat tanahdan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari
masyarakat. Melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan
Kebijakan dan Masyarakat pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4
(empat) sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor
perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan. Dalam
sektor-sektor tersebut, antara 56–70 persen pegawainya dituding menerima suap
oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya
berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak
ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum pelakunya (S,Yogi & M. Ikhsan,
2006).
Selain adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap standar pelayanan minimal
yang telah dibuat, terdapat pula kasus dimana penerapan sebuah SPM berbeda di
tiap daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah menginterpretasikannya secara
berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai
kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala
tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan
mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain
adalah sebagai berikut (S,Yogi & M. Ikhsan, 2006):
a. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada,
bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.
b. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan
baik.
c. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang
dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia
0-14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk
usia 7-16 tahun.
d. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan
mengelolola data secara sistematis.
89
e. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan
perencanaan strategis.
f. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya
yang terjadi di daerah/desa; dan
g. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak
menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan
evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda
maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan
teknikal yang rendah.
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif
Daftar Pustaka
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2010. Kajian Strategi Penerapan Standar
Pelayanan Minimal di Indonesia.
<http://www.pkkod.lan.go.id/index.php?mod=6&d=9> diunduh 5 Agustus 2012
S,Yogi&M.Ikhsan.2006. Standar Pelayanan Publik di Daerah.
http://www.pkai.lan.go.id/pdf/standar%20pelayanan%20publik.pdf> diunduh 5
Agustus 2012 Sistem Manajemen Kinerja Otonomi Daerah, LAN (2004:8),
Jakarta : Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Petunjuk Teknis Penyusunan
Dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002 mengenai
Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
90
MODUL 05
INOVASI PELAYANAN PUBLIK
91
Kegiatan Belajar No 01
Inovasi
Konsep Inovasi
Startegi Inovasi
Transformasi Manajemen Publik
Best Practises
92
Kegiatan Belajar 02
E-Services
93
konsep e-Governance, seiring dengan itu pula konsep e-Government dan e-
Governance menjadi tumpang tindih. E-governance seringkali didefinisikan sangat
sederhana mirip dengan e-Government yaitu bagaimana pemerintah menggunakan
ICTs untuk meningkatkan efisien terutama pada pelayanan publik. Kebanyakan
penelitian e-Governance terkonsentrasi pada sektor publik, padahal konsep
governance sesungguhnya yaitu terdiri dari banyak sektor yang saling berhubungan
dalam berbagai level/tingkat governance. Belakangan konsep e-Government terus
berkembang, dengan menambahkan makna meningkatkan proses demokrasi,
sehingga pendefinsian eGovernment menjadi tumpang tindih pula dengan konsep e-
Demokrasi (Nurhadryani, 2009).
Pengembangan media elektronik untuk pelayanan publik sudah berkembang di
berbagai negara termasuk Indonesia. Misalnya E-Russia sebagai sistem eletronik
terpadu yang mengakomodir proses penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat
pemerintah federal hingga negara bagian. Demikian juga di beberapa negara lainnya
yang sebagian besar sudah mengembangkan sistem pemerintahan elektronik.
Indonesia juga mulai mengembangkan pemerintahan elektronik semenjak
adanya Inpres No.6 Tahun 2001. Namun diakui pengembangan pemerintahan
elektronik di Indonesia masih menjumpai banyak masalah yang secara umum
berpangkal dari kesalahan pandangan atau paradigma tentang pemerintah
elektronik (Istiyanto & Sutanta, ). Faktor teknis dan non teknis juga ditemukan
sebagai penghambat dalam beberapa kajian.
Pada dasarnya, pemerintahan elektronik adalah penggunaan teknologi
informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak
lain. Di dalamnya melibatkan otomisasi dan komputerisasi pada prosedur paper-
based yang akan mendorong cara baru dalam mendengarkan warga dan komunitas,
serta cara baru dalam mengorganisasi dan menyampaikan informasi (Pascual,
2003). Kemudian Ahmadjayadi (2006) mengartikan pemerintahan elektronik sebagai
kegiatan yang terkait dengan upaya seluruh lembaga pemerintah dalam bekerja
bersama-sama memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sehingga dapat
menyediakan jasa elektronik dan informasi yang akurat kepada individu masyarakat
dan dunia usaha. Seementara The World Bank Group (2001) mendefinisikan e-
government sebagai penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah yang
dapat digunakan untuk membangun hubungan dengan masyarakat, dunia usaha,
dan instansi pemerintah lainnya.
94
E-Government merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi yang dimaksud untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas,
transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik.
Paradigma Birokratis Paradigma E-Government
Orientasi Efisiensi biaya produksi Fleksibel, pengawasan dan
kepuasaan penguna
(customer)
Proses Merasionalisasi peranan, Hirarki horisontal, jaringan
organisasi pembagian tugas dan organisasi dan tukar informasi
pengawasan hirarki
vertikal
Prinsip Manajemen berdasarkan Manajemen bersifat fleksibel,
manajemen peraturan dan mandat team work, antar departemen
(perintah) dengan koordinasi pusat
Gaya Memerintah dan Fasilitator, koordinatif, dan
kepemimpinan mengawasi entrepreneuship, inovatif
Komunikasi Hirarki (berperingkat) dan Jaringan banyak tujuan
internal top down dengan koordinasi pusat dan
komunikasi langsung
Komunikasi Terpusat, formal, dan Formal dan infomral, umpan
eksternal saluran terbatas balik langsung, cepar dan
banyak saluran
Cara Dokumen dan interaksi Pertukaran elektronik dan
penyampaian antar personal inetraksi non face to face
pelayanan
Prinsip-prinsip Terstandarkan, keadilan Penyeragaman bagi semua
penyampaian dan sikap adil pengguna an bersifat personal
pelayanan
95
(such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that have the
ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of
government. Definisi dari referensi lain mengatakan: E-Government refers to the
use of information technology to free movement of information to overcome the
physical bounds of traditional paper and physical based system in government
services to benefit citizens, business partner and employees (Lapan, 2010). Dalam
hal ini Bhatnagar(2009,1-3) menyatakan bahwa E-Government adalah terminologi
yang digunakan untuk untuk mendeskripsikan legalitas penggunaan komuniksi dan
informasi dalam sektor publik.
Pada intinya E-Government adalah penggunaan TIK pada berbagai platform
pelayanan yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak
lain. E-gov mengacu pada penggunaan TIK dalam mekanisme penyampaian
kebebasan informasi untuk menanggulangi batas pelayanan pemerintah yang masih
menggunakan kertas dan sistem tradisional agar lebih bermanfaat bagi masyarakat,
bisnis dan antar pemerintah sendiri.
Adapun tujuan dari dibangunnya E-Government itu adalah pembentukan
jaringan dan transaksi layanan publik yang tidak dibatasi sekat waktu dan lokasi,
serta dengan biaya yang terjangkau masyarakat. Beberapa manfaat dari E-
Government,diantaranya sebagai berikut:
Memberikan layanan yang lebih baik pada masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui informasi yang mudah
diperoleh.
Adanya E-Government diharapkan pelaksaan pemerintah akan berjalan
lebih efisien karena koordinasi pemerintah dapat dilakukan melalui
pemanfaatan teknologi informasi.
Dalam E-government dikenal empat jenis klasifikasi yaitu G-to-C, G-to-B, G-to-
G(Indrajit,2002:41)
a. Government to Citizen(G-to-C)
Tipe ini merupakan aplikasi e-government yang paling umum dimana
pemerintah membangun dan menerapokan berbagai portofolio teknologi
informasi dengan tujuan utama untuk memperbaiki hubungan interaksi
dengan masyarakat. dengan kata lain tujuan utama aplikasi G-toC ini adalah
96
untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya melalui kanal-0kanal akses
yang beragam agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau
pemerintahnya untuk pemenuhan berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari.
b. Government to Business(G-to-B)
Tipe ini terkait dengan tugas pemerintah untuk membentuk sebuah
lingkungan bisnis yang kondusif agar roda perekonomian sebuah negara
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam melakukan aktifitas sehari-
harinya, entiti bisnis semacam perusahaan swasta membutuhkan banyak
sekali data dan informasi yang dimiliki pemerintah. Diperlukannya hubungan
yang baik antara pemerintah dan kalangan bisnis disamping bertujuan untuk
memperlancara para praktisis bisnis dalam memperlancar roda
perusahaannya, namun juga banyak hal yang dapat menguntungkan
pemerintah apabila tercipta hubungan interaksi yang baik dan efektif dengan
industri swasta.
c. Government to Government
Di era globalisasi ini terdapat kebutuhan bagi negara-negara untuk saling
berkomunikasi secara lebih intens dari hari ke hari. Kebutuhan untuk
berinteraksi antar satu sama lain tidak hanya berkisar pada hal-hal yang
berakitan dengan masalah diplomatis semata, namun lebih jauh lagi untuk
memperlancar kerjasama antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti
negara(masyarakat, industri, perusahaan, dll) dalam melakukan hal-hal yang
berkaitan dengan perdagangan, mekanisme hubungan sosial budaya, proses-
proses politik, dan lain-lain).
97
3. Penggunaan e-government dapat mendorong dan sekaligus didorong atas
kebutuhan pemerintah unt7uk mengurangi biaya dan meningkatkan
efisiensi, bertemu dengan ekspektasi masyarakar dan meningkatkan
hubungan dengan masyarakat serta mendukung pembangunan ekonomi.
Latihan
Sebutkan dan jelaskan contoh pelayanan publik di tingkat pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang dilakukan berdasarkan konsep e-government!
Rangkuman
Tes Formatif
98
Daftar Pustaka
Bhatnagar, Subhash, 2009, Unlocking E-Government Potential: Concepts, Cases
and Practical Insights, New Delhi, SAGE Publication India
Holmes, Douglas. 2001. E-Gov: E0Business Startegies for Government. London:
Nicholas Braley Publishing
MODUL 06
PRIVATISASI DAN MANAJEMEN PUBLIK
99
Kegiatan Belajar No 01
Teori Manajemen Publik
100
Kegiatan Belajar 02
Privatization of Public Services
101
Privatization is the act of reducing the role of government increasing the role
of private sector the ownership of assets of public denationalization (Savas,
1987).
Privatisasi bertujuan untuk memberikan efek positif pada kinerja keuangan dan
proses operasional dengan mengacu pada kerangka kerja institutional dan legal
serta mengacu pada struktur pemerintahan yang eksis. Tujuan spesifik adalah
perbaikan kinerja bumn, dan pada umumnya ditangani dengan metode privatisasi
secara kasus per kasus.
102
Negara berkembang maupun Negara maju. Oleh karena itu, privatisasi menjadi satu
pilihan yang memberikan keuntungan dan beralasan untuk tetap melaksanakan
tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan publik tetapi tetap cost effective.
Privatisasi dinilai oleh secara pragmatis merupakan pendekatan startegis untuk
meningkatkan produktifitas dari instansi pemerintah sehingga memberikan
masyarakat lebih keuntungan.
Tekanan ideologis memiliki landasan dasar bahwa peran pemerintah berbeda
di lingkungan yang berbeda. Batasan antara peran pemerintah dan peran privat di
berbagai Negara akan berbeda. Perbedaan ini ditentukan berdasarkan ideolog
masing-masing Negara misalnya Uni Soviet peran pemerintah hampir di semua
sektor, kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat. Perbedaan ini menunjukkan
bahwa latar belakang ideolog menentukan apakah suatu tanggung jawab
pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah secara penuh atau memberikan
kesemapatan bagi pihak swasta.
Tekanan ketiga atas privatisasi yaitu kepentingan komersial. Pemerintah
menghabiskan angagran yang besar, sebagian besar pengeluaran ini untuk gaji
pegawai. Tekanan komersial berpikiran bahwa penyelenggaraan pelayanan publik
melalui sector swasta akan dapat memperbaiki beberapa isu misalnya manajemen
yang salah, dan underutilized asset. Privatisasi juga merupakan sebuah kesempatan
bisnis dalam proyek pemerintah yang memiliki jumlah model yang besar bagi pelaku
bisnis. Alas an komersial inilah yang mendorong adanya privatisasi pelayanan
publik.
Dukungan yang terakhir yaitu dari tekanan populis. Tekanan populis
menentang adanya peran pemerintah maupun peran swasta yang besar. Populis
menilai perlu adanya peran institusi local yang lebih banyak dan pemberdayaan
masyarakat. Tekanan ini menilai bahwa masyarakat seharusnya memiliki pilihan
yang lebih baik dalam pelayanan publik daripada yang sekarang ada dan mereka
seharusnya diberdayakan untuk mendefisinikan kebutuhan umum mereka dan
mengatasinya tanpa struktur yang birokratis.
Disamping tekanan tersebut, fakta saat ini menunjukkan adanya tren bahwa
pemerintah terus berkembang menjadi besar baik di Negara demokratis maupun
totaliter, di Negara kapitalis maupun sosialis. Pertumbuhan Negara terjadi mulai dari
jumlah, pengeluaran, level pajak, dan pegawai.
103
Jumlah institusi pemerintah semakin tumbuh dan bertambah dari tahun ke
tahun. Beberapa orang menilai bahwa pemerintah merupakan sebuah pemerintah
raksasa, tetapi ada pula yang menilai fakta saat ini pemerintah merupakan terdiri
dari banyak institusi pemerintahan. Tren di sejumlah Negara menunjukkan semakin
hari jumlah pemerintah local makin bertambah.
Di sisi lain, pengeluaran pemerintah juga makin bertambah dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan ini tidak segaram dari pemerintahan federal maupun republik.
Pertumbuhan pengeluaran pemerintah ini karena peningkatan peran pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pengeluaran ini juga diakibatkan oleh
pertumbuhan jumlah pegawai.
Pertumbuhan pemerintah ini disebabkan oleh tiga faktor pendudukung yaitu:
1. Permintaan pelayanan publik yang meningkat, oleh masyarakat sebagai
penerima layanan.
2. Keinginan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih banyak, oleh
pemerintah sebagai produser pelayanan.
3. Peningkatan inefisiensi yang menghasilkan pengeluaran pemerintah yang
meningkat untuk menghasilkan
104
Perusahaan umum yang selanjutnya disebut perum, adalah bumn yang
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang-jasa yang bermutu
tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan
Di indonesia, privatisasi masih dalam kondisi pro dan kontra. Pihak proponent
privatisasi mencatat beberapa manfaat privatisasi, yakni :
1. menciptakan persaingan
2. masyarakat memiliki pilihan
3. efisiensi
4. diyakini dapat meningkatkan atau memperbaiki kinerja
5. perbaikan perekonomian negara (mengurangi beban negara)
105
• Menghilangkan lapangan kerja
Syarat keberhasilan privatisasi:
1. Kerangka kerja hukum, institusi, dan keuangan yang jelas
2. Implementasi yang transparan
3. Kemampuan implementasi privatisasi
4. Komitmen politik
5. Arah kebijakan yang jelas
6. Strategi yang jelas
7. Dukungan masyarakat.
8. Metode privatisasi yang diterapkan sesuai dengan setting negara ybs
106
publik kepada konsumen. Sementara consumer membayar kepada producer atas
barang dan jasa yang diterima.
107
konsumen. Pada model ini tidak
terdapat peran prifat (PF). Contoh:
bensin, gas, batubara.
f. Model
Government Franchises
Pemerintah (g) menunjuk private firm
(pf) untuk mengantar langsung barang-
108
jasa publik pada konsumen (c), yang dibayar langsung oleh konsumen (c )
Contoh: jalan tol yang pengerjaannya oleh private, dan sebagainya.
Latihan
Rangkuman
Referensi
Tes Formatif
109
MODUL 7
MANAJEMEN PUBLIK KOLABORATIF
110
Kegiatan Belajar No 01
Konsep Collaborative Public Management
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 02
Kriteria Keberhasilan CPM
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 2
111
MODUL 08
PARTISIPASI PUBLIK
112
Kegiatan Belajar No 01
Public Participation In Public Services (Partisipasi dalam Pelayanan Publik)
113
Partisipasi masyarakat sebagai pemberdayaan diri memerlukan mobilisasi
dan kontrol publik. Demikian pula, Clapper (1993:14) mendefinisikan partisipasi
masyarakat sebagai upaya semua orang termasuk dalam "publik" untuk
mempengaruhi kegiatan pemerintah, apakah mereka menikmati hak dan kewajiban
kewarganegaraan atau tidak. Partisipasi masyarakat juga mengacu pada partisipasi
formal dari kelompok di lembaga pemerintah.
Partisipasi publik memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip partisipasi publik
antara lain sebagai berikut:
involvement
transparency and traceability
joint responcibility
room for manoevre
balance and equal opportunities
mutual respect
fairness
information
clear languange
deadlines
organization
decision and feedback
legal scope
114
c. Partisipasi Konsultatif
Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan.
Hasil jawaban dianalisis pihak luar untuk identifikasi masalah dan cara
pengatasan masalah tanpa memasukkan pandangan masyarakat.
d. Partisipasi dengan Insentif Material
Masyarakat menyumbangkan tenaganya untuk mendapatkan makanan, uang
atau imbalan lainnya. Masyarakat menyediakan sumber daya, namun tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga mereka tidak memiliki
keterikatan untuk meneruskan partisipasinya ketika masa pemberian insentif
selesai.
e. Partisipasi Fungsional
Masyarakat berpartisipasi karena adanya permintaan dari lembaga eksternal
untuk memenuhi tujuan. Mungkin ada keputusan bersama tetapi biasanya
terjadi setelah keputusan besar diambil.
f. Partisipasi Interaktif
Masyarakat berpartisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana
kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat mencapai
tujuan, prosesnya melibatkan metodologi dalam mencari perspektif yang
berbeda dan serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena
masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan maka mereka akan
mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan institusi lokal yang
ada di masyarakat juga menjadi kuat.
g. Pengorganisasian Diri
Masyarakat berpartisipasi dengan merencanakan aksi secara mandiri.
Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga eksternal untuk sumber
daya dan saran-saran teknis yang dibutuhkan, tetapi kontrol bagaimana
sumber daya tersebut digunakan berada di tangan masyarakat sepenuhnya.
Secara ideal partisipasi semestinya berwujud partisipasi interaktif ataupun
pengorganisasian diri, tetapi tentunya hal tersebut menuntut kapabilitas
sumber daya manusia yang optimal. Di negara dunia ketiga yang umumnya
berpemerintahan totaliter menggunakan model partisipasi simbolis, pasif
ataupun konsultatif.
115
Sementara, menurut Sherry Arnstein (1969) pada makalahnya yang termuat
di Journal of the American Institute of Planners dengan judul “A Ladder of Citizen
Participation”, bahwa terdapat 8 tangga tingkat partisipasi berdasarkan kadar
kekuatan masyarakat dalam memberikan pengaruh perencanaan.
1. Manipulation (manipulasi)
Tingkat partisipasi ini adalah yang paling rendah, yang memposisikan masyarakat
hanya dipakai sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalam berbagai
badan penasehat. Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang
sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi
116
dari pihak penguasa. Masukan masyarakat hanya digunakan untuk memajukan
agenda yang ada.
2. Theraphy (terapi/penyembuhan)
Dengan berkedok melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, para
ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan
pasiendalam terapi. Rakyat berpartisipasi dengan diberitahu apa yang telah
diputuskan atau telah terjadi. Ini melibatkan pengumuman sepihak oleh
administrator tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat. Contoh terapi dapat
dilihat dalam program perumahan publik di mana kelompok penyewa digunakan
sebagai kendaraan untuk mempromosikan kampanye pembersihan. Para
penyewa dibawa untuk membantu "menyesuaikan nilai-nilai dan sikap untuk
orang-orang dari masyarakat yang memiliki kekuasaan lebih besar."
3. Informing (informasi)
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka,
tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang sangat
penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Meskipun yang sering terjadi
adalah pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kekuasaan kepada
masyarakat, tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau
kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama
informasi diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk mempengaruhi rencana. Alat yang paling sering digunakan
untuk berkomunikasi (satu arah) adalah media berita, pamphlet, poster, dan
tanggapan pertanyaan.
4. Consultation (konsultasi)
Masyarakat diberikan informasi tentang proyek atau masalah dan diminta untuk
memberikan komentar atau masukan. Tangga partisipasi ini masih palsu karena
tidak memberikan jaminan bahwa keprihatinan warga dan idenya akan
diperhitungkan. Tetapi pihak powerholders membatasi masukan dari warga
negara semata-mata untuk membuat sekana-akan ada partisipasi. Orang-orang
hanya dianggap sebagai abstraksi statistic dan partisipasi diukur dengan berapa
banyak datang ke pertemuan, membawa pulang brosur, atau menjawab
kuesioner. Capaian dalam tangga ke-4 ini adalah bahwa mereka telah ikut serta
dalam partisipasi. sementara itu yang dicapai powerholders adalah bukti bahwa
117
publik telah terlibat dalam partisipasi. Metode yang sering digunakan adalah
survei, pertemuan lokal, dan dengar pendapat dengan masyarakat.
5. Placation (penentraman/perujukan)
Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun
beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan.
Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat dianggap mampu
dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerjasama pengembangan
kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya merupakan wakil dari berbagai
instansi pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai
dengan kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak didengar karena
kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding anggota
dari instansi pemerintah. hak-hak dan tanggungjawab berbagai elemen struktur
tersebut tidak didefinisikan dan ambigu. Ambiguitas tersebut kemungkinan akan
menyebabkan konflik yang cukup besar pada akhir proses perencanaan tahunan.
Dalam hal ini masyarakat sudah berpartisipasi luas tetapi belum mendapat
keuntungan yang besar dari powerholder.
6. Partnership (kerjasama)
Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal
dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal
ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan
dan pembuatan keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Telah ada
kesamaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat.
7. Delegated Power (pelimpahan kekuasaan)
Dalam hal ini pemerintah melakukan proses pengambilan keputusan dan
pendanaan. Di sisi lain masyarakat diberikan beberapa delegasi kekuasaan untuk
membuat keputusan. Publik akan berpartisipasi dalam analisis bersama,
pengembangan rencana aksi dan pembentukan atau penguatan lembaga lokal.
Proses ini melibatkan metodologi interdisipliner yang mencari berbagai perspektif
dan membuat penggunaan proses belajar sistemik dan terstruktur. Sebagai
kelompok mengambil keputusan-keputusan daerah dan menentukan bagaimana
sumber daya yang tersedia yang akan digunakan, sehingga mereka memiliki
kepentingan dalam mempertahankan struktur atau praktek dalam melaksanakan
program pemerintah.
8. Citizen Control (kontrol masyarakat)
118
Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau
kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai
kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang
hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga dapat
langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapat bantuan
atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki kekuasaan
untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang dibuatnya.
Pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat yang bukan partisipasi atau
non participation. Tingkat 3, 4, dan 5 disebut tingkatan penghargaan/tokenisme atau
Degree of Tokenism. Dan tingkat 6, 7, 8 disebut tingkatan kekuatan masyarakat atau
Degree of Citizen Power.
Sedangkan menurut Goethert (1998) dalam Imparato dan Ruster (2003:22-
23) membagi 5 tingkat partisipasi yaitu:
1. None, artinya outsider semata-mata bertanggung jawab pada semua pihak,
dengan tanpa keterlibatan masyarakat
2. Information or Indirect, sama dengan tidak ada partisipasi tetapi informasi
merupakan sesuatu yang spesifik.
3. Consultation, outsider mendasarkan atas informasi dengan tidak langsung
diperoleh dari masyarakat.
4. Shared Control, masyarakat dan outsider berinteraksi sejauh mungkin secara
bersamaan.
5. Full Control, masyarakat mendominasi dan outsider membantu ketika
diperlukan.
119
Public To provide the public To obtain public To work directly with the To partner with the
participati with balanced and feedback on analysis, public throughout the public in each aspect
on goal objective information alternatives and/or process to ensure that of the decision
to assist them in decisions public concerns and including the
understanding the aspiration are consistently development of
problem, alternatives, understood and alternatives and the
opportunities and/or considered identification of the
solution preferred solution
Promise We will keep you We will keep you We will work with you to We will look to your
to the informed informed, listen to ensure that your concerns advice and innovation
public and aknowledge and aspiration are directly in formulating solutions
concerns and reflected in the and incorporate your
aspiration and alternatives developed advice and
provide feedback on and provide feedback on recommendations into
how public input how public input the decisions to the
influenced the influenced the decision maximum extent
decision possible
Example fact sheet public workshops citizen
technique web site comment deliberatives advisory
open house focus group polling committees
surveys consensus-
public building
meeting participatory
decision
making
120
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh penting
dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan dasar pandang demikian, maka
pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,
pembudayaan, dan pengamalan demokrasi (Kartasasmita, 1996:145). Menurut
Siahaan (2002:4), partisipasi masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik,
planning dan keuntungan lainnya, yaitu:
Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan
populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan
dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara
simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerjasama dan
keterlibatan.
Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding
demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi
dari setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga
akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya
untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan
dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh,
dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani
secara tepat.
Dari segi planning, partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar
gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta
diterimanya proposal-proposal perencanaan.
Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya
hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota dan
menggantikan perilaku they/we menjadi perilaku us.
Sementara itu menurut Sanoff (2000:9), tujuan utama partisipasi adalah: (1)
untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan desain keputusan; (2) untuk
melengkapi masyarakat dengan suatu suara dalam membuat desain keputusan
untuk memperbaiki rencana; dan (3) untuk mempromosikan masyarakat dengan
membawanya bersama sebagai bagian dari tujuan umum. Dengan partisipasi,
121
masyarakat secara aktif bergabung dalam proses pembangunan, lingkungan fisik
yang lebih baik, semangat publik yang lebih besar, dan lebih puas hati. Partisipasi
mengandung pengertian lebih dari sekedar peran serta. Partisipasi memiliki peran
yang lebih aktif dan mengandung unsur kesetaraan dan kedaulatan dari para pelaku
partisipasi. Sedangkan peran serta bisa diartikan sebagai
pelengkap dan tidak harus kesetaraan.
Menurut Abe (2005:91), suatu perencanaan yang berbasis prakarsa
masyarakat adalah perencanaan yang sepenuhnya mencerminkan kebutuhan
konkrit masyarakat dan dalam proses penyusunannya benar-benar melibatkan
masyarakat. Melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses perencanaan
akan membawa dampak penting yaitu: (1) terhindar dari peluang terjadinya
manipulasi, dan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat; (2)
memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak
jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik; (3) meningkatkan kesadaran dan
ketrampilan politik masyarakat.
Schubeller (1996:3) menyatakan, bahwa partisipasi tidak dapat dipisahkan
dari pemberdayaan dan menurutnya ada 4 pendekatan strategi partisipasi yaitu:
1. Community –Based Strategies
Merupakan bentuk paling dasar dari pembangunan partisipatif.
2. Area-Based Strategies
Merupakan bentuk umum dari program-program pemerintah.
3. Functionally-Based Strategies
Merupakan struktur fungsional dari sistem infrastruktur sebagai kerangka
referensi.
4. Process-Based Strategies
Dimana memerlukan seluruh proses manajemen infrastruktur sebagai
kerangka referensi.
Salah satu hal yang pantas untuk tetap dikaji adalah signifikansi partisipasi publik
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini perlu untuk tetap ditingkatkan
karena partisipasi publik menyentuh elemen penting dalam pelayanan, yaitu
penerima pelayanan publik.
Latihan
122
Rangkuman
Tes Formatif
Daftar Pustaka
Kegiatan Belajar No 02
Citizen and Stakeholders Engagement
123
MODUL 09
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
124
Kegiatan Belajar 01
Etika dan Manajemen Publik
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 01
125
Kegiatan Belajar 02
Reformasi Pelayanan Publik
Ada banyak ahli yang menulis tentang reformasi administrasi publik dan masing-
masing memberikan definisi dan pengertiannya sendiri-sendiri. Definisi yang
dikemukakanpun bervariasi dilihat dari kesederhanaan atau kekompleksan yang
dikemukakan. Berikut ini akan di bahas beberapa pengertian dan contoh substansi tentang
reformasi administrasi publik. Schacter mendefinisikannya secara sangat sederhana. Ia
mengatakan sebagai berikut :
126
“Public sector reform is about strengthening the way that the public sector is
managed. The public sector may be overextended - attempting to do too
much with too few resources. It may be poorly organized; its decision-making
process may be irrational; staff may be mismanaged;accountability may be
weak; public programs may be poorlydesigned and public services poorly
delivered. Public Sector Reform is the attempt to fix these problems.” 2
2Mark Schacter, Public Sector Reform in Developing Countries: Issues, Lessons and Future Directions, Makalah
yang dipersiapkan bagi Policy Branch, CIDA, December 2000, Otawa, Canada.
3United Nations, Development Administration: Current Approaches And Trends In Public Administration For
National Development, (New York: United Nations Publication, 1975), hal 32.
127
pembangunan yang dikemukakan oleh UN dapat dikatakan sebagai definisi yang lemah
untuk dipakai sebagai definisi reformasi administrasi dalam buku ini.
Berikut ini adalah pendapat Caiden tentang reformasi administrasi publik. Caiden
mengatakan administrative reform sebagai the artificial inducement of administrative
transformation against resistance.4 Definisi Caiden tersebut sekilas nampak lebih sederhana
namun, mengandung makna atau pengertian yang lebih dalam dari definisi yang
dikemukakan oleh Schacter. Makna pertama yang sangat penting dari definisi Caiden
adalah bahwa secara tegas Caiden menyatakan reformasi administrasi sebagai suatu yang
dibuat secara sengaja (merupakan hasil rekayasa) dan tidak bersifat alamiah. Hal ini juga
berarti bahwa perubahan atau transformasi dalam reformasi administrasi merupakan suatu
kegiatan yang disengaja, karena itu direncanakan. Makna lain yang penting adalah bahwa
reformasi administrasi merupakan transformasi administrasi, yakni suatu perubahan yang
bersifat mendasar atau fundamental.
Secara tegas pula Caiden membedakan reformasi administrasi (administrative
reform) dengan perubahan administrasi (administrative change).5 Administrative change
merupakan perubahan administrasi sebagai penyesuaian organisasi (self-adjusting
organisational response) terhadap kondisi yang berubah-ubah dan bersifat alami.
Munculnya administrative reform disebabkan terjadi malfunctioning dari administrative
6
change yang bersifat alami. Buku ini tidak bermaksud untuk membahas perbedaan
administrative reform dari administrative change secara panjang lebar, namun perlu
kejelasan terhadap perbedaan dari kedua konsep yang dapat terlihat sama tersebut.
Menurut Robbins ada dua jenis organizational change. Jenis yang pertama adalah first-
order-change, yaitu perubahan organisasi yang bersifat linier dan terus menerus dan tidak
terdapat perubahan yang bersifat fundamental. Sebaliknya adalah second-order change,
yaitu perubahan organisasi secara fundamental, multi-dimensional, multi-level,
discontinuous dan radikal.7 Berdasarkan pendapat Robbins di atas tentulah kesimpulan
sementara yang dapat dibuat bahwa reformasi administrasi merupakan second-order
change dalam perubahan organisasi. Sedangkan Leemans yang mengutip pendapat
Caiden tentang administrative reform berpendapat bahwa administrative reform sebagai
salah satu spesies (bagian) dari administrative (organisational) change.8
Pendapat Caiden tentang pengertian administrative reform dapat dibandingkan
dengan pendapat Dror yang mendefinisikannya sebagai directed change of main features of
7Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2001), Edisi ke IX, hal. 542
8 Leemans (b), op.cit.
128
an administrative system. Dengan demikian ada kesamaan atau penekanan yang sama
dalam definisi dari kedua ahli tersebut yaitu perubahan yang direncanakan. Namun Dror-pun
membedakan antara administrative improvement dengan administrative reform.9 Di sini
terlihat bahwa keduanya ingin membedakan perubahan yang sifatnya tidak fundamental,
bersifat otomatis dan natural dengan perubahan yang bersifat fundamental, sulit dan
direncanakan. Namun terdapat pula ahli lainnya seperti Considine dan Painter10 yang
dalam menjelaskan administrative reform di Australia lebih banyak menggunakan
terminologi organisational change untuk menggambarkan transformasi yang bersifat
revolusioner, yang berkaitan dengan perubahan prinsip dan ideologi.
Kesimpulan sementara yang dapat dibuat adalah bahwa reformasi administrasi jelas
merupakan suatu proses rekayasa sosial yang bersifat fundamental, multi-dimensional dan
multi-tingkat. Lebih jauh Caiden mengatakan:11
129
Keempat, urgensi reformasi didorong oleh adanya kebutuhan untuk mengatasi
ketidakpastian dan perubahan yang cepat pada lingkungan organisasi.13
Sekali lagi reformasi administrasi diperlihatkan sebagai suatu proses politik yang
dirancang dengan sengaja, yang menyangkut birokrasi itu sendiri atau hubungan antara
birokrasi dengan masyarakat, serta adanya kebutuhan yang datangnya dari faktor
lingkungan yang terus berubah dan terdapat ketidakpastian. Namun dapat terlihat bahwa
definisi yang dikemukakan oleh Caiden tidak menyinggung cakupan organisasi atau luasan
organisasi yang terkena reformasi administrasi itu sendiri.
Pada dekade 1980an sampai saat ini (dekade 2000an) muncul terminologi baru
yang berkaitan dengan administrative reform yakni public (sector) management reform.
Namun ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian public management. Menurut
Perry dan Kraemer, public management is a merger of the normative orientation of
traditional public administration and the instrumental orientation of general management.14
Dapat dikatakan manajemen publik merupakan hasil penyatuan dari administrasi publik
tradisional yang bersifat normatif atau legalistik dengan manajemen yang lebih
berorientasi pada fungsi. Lebih jauh Pollitt mengatakan bahwa studi tentang
manajemen biasanya studi tentang bagaimana menyelesaikan pekerjaan secepat
mungkin, semurah mungkin, seefektif mungkin. Sedangkan studi tentang administrasi publik
selain berorientasi pada efektifitas, secara kontras berorientasi pada nilai-nilai sektor publik
seperti demokrasi, akuntabilitas, dan keadilan. Kembali pada pendapat Perry dan Kraemer,
maka manajemen publik tetap mempertahankan nilai-nilai demokratis, akuntabilitas, dan
keadilan. Namun pada sisi lain diberi karakter tambahan seperti fleksibilitas, memakai
ukuran kinerja dan berorientasi pada hasil. Hal di atas terjadi karena pesatnya
perkembangan ilmu manajemen dan praktek administrasi bisnis di sektor swasta yang
secara menonjol meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi. Yang menarik adalah
pendapat Pollitt yang mengatakan bahwa manajemen publik dianggap sebagai simptom
modernisasi dan sebuah kekuatan dinamis bagi perubahan.15
Uraian di atas memberikan cukup dasar untuk menyimpulkan manajemen publik
sebagai konsep yang menggambarkan administrasi publik yang berorientasi pada fungsi
dan bersifat fleksibel dan dinamis. Oleh Pollitt, negara dengan manajemen publik seperti di
atas dikategorikan sebagai berkultur public interest atau mission driven. Hal ini tidak perlu
dipertentangkan dengan administrasi publik tradisional karena yang terakhir lebih
menggambarkan kondisi kultur administrasi publik di negara-negara tertentu yang oleh Pollitt
13Mark Turner dan David Hulme, Governance, Administration and Development, (London: MACMILLAN PRESS
LTD, 1997), hal 106.
14 Pollitt dan Bouckaert, op.cit., hal 8.
15 Pollitt dan Bouckaert, op.cit., hal. 15.
130
dikategorikan sebagai rechtsstaat.16 Oleh karena itu, pengertian administrative reform dan
public management reform merupakan konsep yang dapat dipakai secara inter-changeable
namun mengacu pada kultur administrasi publik yang berbeda.
Kembali pada pembahasan terhadap definisi reformasi administrasi pada sektor
publik sejauh ini lebih bersifat abstrak. Berikut ini dikemukakan definisi reformasi
manajemen publik dari Pollitt dan Bouckaert yang bersifat lebih operasional, karena
dipengaruhi oleh konsep manajemen yang dipakainya. Kedua ahli di atas berpendapat
bahwa:17
Definisi Pollitt dan Bouckaert sudah lebih operasional dan secara spesifik menyebut
dua kategori penting dalam organisasi yaitu struktur dan proses dalam kelembagaan.
Keduanya merinci dan memberi contoh apa yang dimaksud dengan definisi di atas sebagai
berikut:18
“Structural change may include merging or splitting public sector
organizations (creating a smaller number of big departments to improve co-
ordination or a larger number of smaller departments to sharpen focus and
encourage specialization). Process change may include the redesign of the
systems by which applications for licences or grants or passports are
handled, the setting of quality standards for health care or educational
services to citizens or the introduction of new budgeting procedures which
encourage public servants to be more cost conscious and/or to monitor more
closely the results their expenditures generate.
Management reform frequently also embraces changes to the systems by
which public servants themselves are recruited, trained, appraised,
promoted, disciplined and declared redundant- these would be another kind
of process change.”
131
Pollitt dan Bouckaert menambahkan dalam definisinya perubahan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya manusia yang ada dalam organisasi sektor publik. Hal
tersebut biasanya disebut pula dengan civil service reform.19 Terlihat bahwa definisi Caiden
dan definisi Pollitt serta Bouckaert berbeda pada tingkat abstraksinya, namun keduanya
mempunyai pengertian yang sama. Kedua definisi tersebut sama pentingnya dalam konteks
buku ini.
Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
reformasi administrasi publik adalah:
LATIHAN
RANGKUMAN
TES FORMATIF 02
19Patricia W. Ingraham,“The Reform Game”, dalam Patricia W. Ingraham dan David H. Rosenbloom, ed, The
Promise and Paradox of Civil Service Reform, (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press), hal 8.
132
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Hugh dan Stuart Wilks-Heeg, 2000. Local Government from Thatcher to Blair: The
Politics of Creative Autonomy. Cambridge: Polity Press.
Burns, John P., “Public Sector Reform And The State: The Case Of China”, Public
Administration Quarterly, Vol. 24, No.4, Winter 2001.
Campo, Salvatore Schiavo dan Pachampet Sundaram, ed. 2000. To Serve and To Preserve:
Improving Public Administration in a Competitive World. Manila: Asian Development
Bank.
Clarke, Thomas dan Stewart Clegg, 1998. Changing Paradigms: The Transformation of
Management Knowledge for the 21st Century. London: Harper Collins Publisher.
Considine, Mark, dan Martin Painter. 1997. “Introduction,” dalam Mark Considine Dan Martin
Painter, ed, Managerialism: The Great Debate. Carlton South: Melbourne University
Press.
Cooper, Phillip J., et.al., 1998. Public Administration For The Twenty First Century.
Philadelphia: Harcourt Brace College Publishers.
Dror, Yehezkel, 1976. “Strategies For Administrative Reform,” dalam A.F. Leemans, ed, The
Management Of Change In Government. The Hague: Martinus Nijhoff.
Farazmand, Ali. 1991. Handbook of Comparative and Development Public Administration.
Madison Avenue, New York : Marcel Dekker,Inc.
French, Wendell L., et. Al.. 2005. Organization Development and Transformation Managing
Effective Change. New York: McGraw-Hill. Edisi ke-6.
Hwang, Yunwon. 2005. ”Administrative Reform of Bureaucracy: Korean Experience on IMF
Financial Crisis”. Makalah dibawakan dalam seminar ‘Reformasi Administrasi Publik
Indonesia, Jakarta 17 Maret 2005.
Ingraham, Patricia W. “The Reform Game”, dalam Patricia W. Ingraham dan David H.
Rosenbloom, eds. The Promise and Paradox of Civil Service Reform. Pitsburg:
University of Pittburgh Press.
Kettl, Donald F., 2000. The Global Public Management Revolution: A Report On The
Transformation Of Governance. Washington D.C.: The Brookings Institution.
133
Leemans, A.F ed. 1976. ”Overview,” dalam A.F. Leemans, ed, The Management
Of Change In Government. The Hague: Martinus Nijhoff.
Minztberg, et.al., 2003. The Strategy Process: Concepts Contexts and Cases New Jersey:
Prentice Hall, Edisi ke IV.
Nelissen, Nico. “The Administrative Capacity of New Types of Governance”, Public
Organization Review. Jurnal, Vol. 2, No. 1, Maret 2002.
Peter, Guy B , 2001. The Future of Governing. Kansas: University Press of Kansas.
Pollitt, Christopher, dan Geert Bouckaert, 2000. Public Management Reform: A
Comparative Analysis, Oxford: Oxford University Press.
Riggs, Fred W.,1964. Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic
Society. Boston: Houghton Mifflin Company.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behaviour ,New Jersey: Prentice Hall,
Inc., Edisi ke IX.
Savas, E.S., 1987, Privatization: The Key To Better Government. New York: Chatham
House Publishers.
Schecter. Mark. 2000. “Public Sector Reform in Developing Countries: Issues, Lessons
and Future Directions”. Makalah dipersiapkan bagi Policy Branch, CIDA, December
2000, Ottawa Canada.
Schick, Allen. 1998. A Contemporary Approach to Public Expenditure Management.
Washington D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development.
Syafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tandjung, dan Supardan Modeong. 1999. Ilmu
Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tong, C. H. “Civil Service Reform in the Peoples’s Republic of China: Case Studies of
Early Implementation”, Public Administration & Development, Jurnal, Vol. 19, No.2, Mei
1999.
Turner, Mark dan David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development:
Making the State Work. London: MACMILAN Press Ltd.UNDP. Administrative
Reform: A Synthesis of Countries Profiles. www.org.undp.id.
United Nations, 1975. Development Administration: Current Approaches And Trends In
Public Administration For National Development. New York: United Nations
Publication.
Work, Robertson. 2000. “The Role of Participation and Partnership in Decentralized
Governance: A Brief Synthesis of Policy Lessons and Recommendations of Nine
Country Studies on Service Delivery for the Poor “, Paper. New York: UNDP.
134
135