Anda di halaman 1dari 22

KORELASI FUNGSIONAL ANTARA BIAH DAN GHOYAH DALAM TADAYYUN

NADHARY
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah
Mata Kuliah: Islam Ilmu Terapan
Dosen Pengampu: Bapak. Abdullah, M.Ag.

Disusun oleh:
Muhammad Ja’farun (1950210050)
Noor Efi (1950210056)
Himmatus Zahroh (1950210066)
Zalfa Amalia (1950210068)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2019

23
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mempermudah dalam
pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu. Selain itu, kami juga
mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, serta teman-teman yang sudah
mendukung hingga titik terakhir ini.

Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Korelasi fungsional
antara biah dan ghoyah dalam tadayyun nadhary”. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang lain.
Kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon dengan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dimasa depan.

Kudus, 14 Oktober 2019

Penulis

23
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................................................1

A. Latar Belakang ..................................................................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................................2
C. Tujuan ...............................................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................................3

A. Islam dalam keberagaman umat........................................................................................3


B. Ruang lingkup keberagamaan ...........................................................................................3
C. Perilaku Dan Tujuan Beragama ........................................................................................9

BAB III .......................................................................................................................................12

A. Kesimpulan .....................................................................................................................12
B. Saran ...............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................13

23
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Setelah kita mempelajari tentang tadayyun nadhary dalam generasi tabi’in dan
tabi’it tabi’in yang telah disampaikan oleh kelompok sebelumnya. Dalam makalah ini
kita akan membahas tentang korelasi fungsional antara biah dan ghoyah dalam tadayyun
nadhary. Biah sendiri berarti objek kajian atau ruang lingkup kajian dalam hal agama,
sementara ghoyah adalah tujuannya. Tadayyun nadhary berarti keberagaman orang yang
beriman setelah Rasulullah wafat dan tidak pernah menyaksikan Rasulullah secara
langsung dalam menyampaikan ajaran agama sehingga mereka belajar agama dari para
sahabat Rasulullah.
Dalam makalah ini juga menjelaskan tentang peilaku dalam beragama. Laporan
sejarah telah menyampaikan kenyataan empiris yang tidak perlu diragukan, bahkan jika
dilakukan kritik sejarah, baik yang bersifat intern atau ekstern. Setiap satuan perilaku
beragama berpeluang terdiri dari banyak unsur. Pertanyaan yang sering muncul adalah
apakah unsur tersebut bergabung secara acak atau memiliki keterkaitan satu sama lain
sehingga membentuk suatu kesatuan. Tugas untuk menjawab pertanyaan ini adalah beban
bagi ilmu dalam Islam.

b. Rumusan Masalah
a. Apa itu keberagaman dalam umat?
b. Bagaiman ruang lingkup kebergamaan agama?
c. Apa tujuan dan perilaku keberagamaan ?

c. Tujuan
a. Untuk mengetahui tentang perilaku beragama
b. Lebih mengetahui tentang paradigm ilmu keberagaman
c. Untuk mengetahui tentang keberagamaan agama

23
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Dalam Keberagamaan Umat

Analisis tentang kehadiran iman dalam diri seseorang atau kehidupan masyarakat. Agama
memang didefinisikan sebagai pranata ketuhanan (Wad’un Ilahiyyun) oleh Syeikh Mahmud
Shalthut. Artinya menerima pranata ini berarti mengakui atau meyakini adanya tuhan secara
mendasar. Sama dengan rumusan Joachim Wach tentang pengalaman beragama. 1 Menurut
pendapatnya, pengalaman seperti ini adalah respon terhadap sesuatu yang diyakini sebagai
realitas mutlak, kemudian diungkapkan dalam bentuk pemikiran,perbuatan, dan komunitas
kelompok. Dengan demikian, agama atau beragama baru hadir dalam diri manusia jika sudah
terjalin hubungan antara dua pihak manusia yang memberi respond an pranata yang diyakini dari
Tuhan.

Sebagai suatu repon terhadap realitas mutlak yang bersifat suprainsani dan
transcendental, iman memang bersentuhan dengan zat yang berada diluar jangkauan manusia.
Mohammad Iqbal dalam karyanya yang terkenal yaitu The Reconstruction of Religious Thought
in Islam menyatakan bahwa inti agama adalah iman, dan iman itu seperti halnya burung,
“Melihat garis perjalanan yang tak berbekas” itu tidak diperhatikan oleh akal, yang sebagai kata
seorangc penyair sufi Islam: “Hanya mengintai saja”.2 sesungguhnya tidaklah dapat dipungkiri
bahwa iman itu adalah llebih dari hanya perasaan semmata”. Ia mempunyai suatu isi pengertian
dan adanya persaingan anatara kaum skolastik dan mistik, dalam sejarah agama menunjukkan
kepada kita bahwa akal adalah unsur yang sangat penting dalam agama. Dari laporan Rasul
Allah S.W.T., meskipun dengan kesadaran penuh akan perlunya takhrij diriwayatkan bahwa
beliau pernah

1
Syekh Mahmud shalthut, islam al-‘aqidah wa al-syariah, dar al-syuruq,kairo, I ,hal.14.
2
Muhammad iqbal, The contructions Of Religius Thought in Islam, Idarat Adabia-I, Lahore, hal.20-30.

23
bersabda: “Agama adalah akal dan tidak beragama bagi mereka yang tidak berakal”.
Pengertian yang dapat diperoleh dari analisis ini adalah penyimpulan, bahwa dalam iman
terdapat unsur perlunya memahami isi dari wahyu yang disampaikan oleh Tuhan.

Dalam islam, memahami isi wahyu berarti memahami Al-Quran dan Sunnah. Dalam
salah satu ayatnya, surat Al-Baqarah ayat 2, yaitu:

َ ‫َٰذَلِكَ ْال ِكتَابُ ََل َري‬


‫ْب ۛفِي ِه ۛ ُهدًى ِل ْل ُمت َّ ِقين‬

Artinya: Kitab al-qur’an ini tdak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.

Dinyatakan bahwa Al-Quran adalah petunjuk bagi orang Islam dan orang orang yang
bertaqwa tanpa perlu ada keraguan. Ayat Al-Quran itu pula menyatakan bahwa apa yang
disampaikan Rasulullah adalah wahyu. Oleh karena itu, rumusan Muhammad Abu Zahwi benar
sekali ketika menyatakan bahwa Sunnah adalah bagian integral dari agama dalam Islam. 3 Jika
mislanya dibanding dengan Al-Quran dalam berhujjah maka kedudukannya adalah setelah kitab
suci seperti dikemukakan oleh Wahbah Al-Zuhaily.4 Dalam hal ini, Imam Al-Syafi’i dalam
kitabnya menyatakan bahwa peran Sunnah ada kalanya menguatkan ketentuan hokum yang
tercantum dalam Al-Quran, atau menjelaskannya, sebagai pijakan dalam nasikh-mansukh atau
merumuskan hukum yang tidak disinggung dalam wahyu.

Jika Al-Quran dan Sunnah ditatap sebagai suatu keutuhan maka analisis agama manapun
akan dapat dengan mudah menangkap struktur dasar keberagamaan yang dicontohkan agar
menjadi panutan bagi pengikutnya, baik dimasa Rasulullah atau generasi sesudah sahabat.
Tujuan dari semua petunjuk ini

3
Muhammad Abu Zahwi, al-hadist,Al-muhaditsun,Dar-al-fikr al-kuttab,Al a’arabbiy, Beirut,hal.11
4
Wahhab al-zuhaily,usul al-fiqh al-islamy, Dar al-fikr al-mu’ashir,Beirut,1972,hal.196.

23
sudah sangat jelas, baik dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107 dinyatakan dengan tegas untuk
mewujudkan Rahmatan lil ‘alamin

Al-Raghib Al-Isfahany menjelaskan, bahwa pengertian kosakata “Rahmah” ini adalah


kelemah lembutan yang membuahkan kebaikan bagi penerimanya. Kandungan rumusan
pengertian ini sejalan dengan pendpat Imam Mahmud Hidjazy yang menyatakan bahwa tujuan
risalah para Rasulullah untuk meletakkan dasar dan prinsip keadilan, pemerataan, kesejahteraan,
dan kemakmuran serta keteraturan social. Ahmad Musthafa Al-Maraghy lebih menekankan pada
peluang orang beriman untuk memperoleh kemakmuran dunia dan akhirat untuk menggapai
wujud kehidupan umat manusia yang dicita citakan. Rasulullah telah memberikan contoh
pelaksanaan wahyu Allah dalam kehidupan praktis, bersama dengan sahabat sahabat dimasa
hidupnya. Cakupan aktualisasi ajaran ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Dzariyat
ayat 56 sebagai berikut:

ِ ‫س ِإ ََّل ِل َي ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬

Yang menyatakan bahwa : Dia melainkan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepadaku.

Untuk menentukan metode penelitian yang tepat bagi fenomena seperti ini, diperlukan
telaah metodolagisnyang cukup mendalam. Sifatnya sebagai wujud respon terhadap petunjuk
yang diturunkan oleh Allah SWT, atau sebagai pelaksanaan ajaran normatif yang sudah
diperoleh melalui proses memahami kandungan wahyu, menumbuhkan konsekuensi metodologis
bahwa al-qur’an dan sunnah berada pada posisi sumber, baik bagi aspek normatif maupun
empiris dari gejala gejala itu. Disini terdapat proposisi yang kebenarannya, meminjam pemikiran
Karl R.Popper, adalah untestable. Artinya, kebenaran proposisi dalam sumber ajaran Islam itu
dipandang tidak perlu di uji atas dasar iman yang sudah menjadi pijakan pertama ketika
seseorang menerima ajaran Islam. Menerima unsur ini berarti menerima kehadiran unsur
metafisik dalam metode penelitian. Akan tetapi, hal ini tidak merupakan kekurangannya, karena
bahkan dalam metode induktif David Hume. juga terdapat unsur metafisik. Pada sisi lain, unsur
ini hanyalah wujud penerimaan unsur doktrin dalam metode sintesa yang dikemukakan oleh
A.Mukti Ali yaitu scientific cum-doktrin.

23
Mendahulukan al qur’an dan sunnah sebagai sumber proposisi untestable berarti
membuka peluang bagi kegiatan penelitian untuk memperoleh apa yang dapat disebut grand
concepts atau grand theory. Artinya, dari telaah kedua sumber itu dapat diperoleh konsep besar
atau teori besar mengenai seluruh cabang kehidupan umat manusia yang dilakukan sebagai
bentuk keberagaman. Bentuk dan macam konsep dan teori ini dapat beragam bergantung pada
sifat masalah dan tujuan penelitian yang direncanakan. Bukan tidak mungkin, temuan kajian ini
akan sampai pada paradigm, asumsi, postulat atau bahkan teori, di samping sisi normatif perilaku
itu sendiri. Oleh karena itu, jika diukur dari temuan ini, kegiatan penelitian tidak lain adalah
telaah untuk menemukan sifat dasar gejala, atau kaitan dua atau lebih gejala, sebagai
transformasi nilai yang sifatnya empiris.5

Transformasi merupakan proses keberagamaan, ketika manusia memberi respons kepada


wahyu yang diturunkan oleh Tuhan. Wujud perbuatan dan perilaku ini harus merupakan realisasi
dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber nilai keagamaan.

Sebagai perilaku manusia yang merupakan makhluk sosial, tampilan empiris perilaku ini
sudah pasti sangat dipengaruhi oleh perbedaan kejiwaan, lingkungan sosial,perbedaan adat
istiadat dan budaya yang dimilikinya. Maka, disini ditemukan sifat kaitan yang berbeda antara
perbuatan dan perilaku di satu pihak dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta empiris di pihak lain.

Kaitan dengan sumber ajaran harus tetap berada dalam kesatuan asas atau koherensi agar
tidak menyeleweng dari kehendak Allah SWT yang menurunkannya. Penyimpangan yang terjadi
akan mengakibatkan penyelewengan dari kebenaran nilai keagamaannya. Koherensi ini dapat
diperoleh dari dimensi esensi perbuatan atau perilakunya.

Pada ujung lain, tampilan empiris atas dasar tabiatnya, yang merupakan produk sosial
memiliki peluang untuk berbeda karena sifatnya sebagai produk kehidupan masyarakat. Maka
pada dimensi ini, wujud perbuatan dan perilaku manusia beragama memilikiperbedaan antara
kelompok satu dengan lainnya, bahakan anatara kepribadian satu dengan lainnya.

Transformasi yang berlangsung antara koherensi esensi menjadi keberagaman atau


keterbukaan tampilan empiris inilah yang menjadi bidang kajian kegiatan penelitian. Meminjam

5
Muslim A.kadir,mengagas paradigma amali dalam agama islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2003),I,hal.46-47

23
metode A. Mukti Ali, koherensi esensi diterima atas dasar doktrin, dan perubahannya menjadi
keberagaman tampilan empiris yang dapat diteliti dengan metode ilmiah.6

B. Ruang Lingkup Keberagamaan

Lingkup keberagaman dalam islam, yang menjangkau seluruh segi kehidupan manusia,
memungkinkan pemanfaatan metode penelitian yang sangat beragam, sesuai dengan sifat
masalah, desai penelitian yang disiapkan dan tujuan yang akan dicapai untuk menjawab masalah
itu. Sebagai metode ilmiah, maka kegiatan penelitian, sebagai tahap metode Ilmu Islam Amali,
membuka peluang bagi teknik penelitian yang telah dikembangkan oleh Barat, jika adopsi
sistemik dalam metologi yang mendasarinya dapat dipakai. Karena harus melewati proses
adopso sistemik, maka pemakaian teknik penelitian yang selama ini dipakai oleh Barat,
memerlukan penghalusan dan penyesuaian terapan teknik tersebut, agar sejalan dengan metologi
Islam Amali yang mendasarinya

Metodologi penelitian, dengan pendekatan Realisme Metafisik yang dikembangkan oleh


Karl R. Popper.7 dan kemudian diperkenalkan oleh Neong Muhadjir adalah struktur penelitian
yang paling dekat dengan metode islam Amali. Realisme metafisik secara reflektif berupaya
untuk menemukan grand-theory untuk selanjutnya diuji secara empirik. Pengujian ini dalam
metodologinya tidak hanya menggunakan uji verifikasi melainkan dengan uji falsifikasi. Adopsi
sistematik untuk menyesuaikan dengan metodologi Islam Amali dilakukan dengan menata ulang
kedudukan grand theory (teori besar).

Jika Popper memandangnya sebagai kebenaran obyektif dan berada pada dataran rasional,
maka dalam kedudukan baru ditempatkan sebagai kebenaran transedendal yang dapat diperoleh
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, kebenaran ini juga dapat disajikan dalam

6
Muslim A.kadir,mengagas paradigma amali dalam agama islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2003),I,hal.52-53

7
R.Ppoper,objective knowledge,the clarrendom press,oxford,1972,hal.42-45

23
proposisi yang sifatnya tidak perlu diuji. Hasil penelitian dalam pendekatan Realisme Metafisik
ini merupakan penajaman teori besar yang sifatnya empiris sehingga memiliki sisi praktis yang
berada dalam kenyataan. Dekat dengan ini adalah pendekatan rasionalisme karena juga berangkat
dari teori besar. Di sini, teori besar berfungsi untuk menguji kebermaknaan relevansi antar
sejumlah variabel, dan masih banyak variabel relevan yang tidak diuji. Pendekatan ini
memerlukan sifat holistic, obyek diteliti tanpa dilepaskan dari konteks, atau paling jauh diteliti
dalam focus tetapi konteksnya tidak dikesampingkan,

Sebagai suatu kenyataan empiris, keberagamaan adalah perbuatan dan perilaku yang
terikat dengan nilai atau valuaebound menurut istilah Egon G.Guba, sehingga dapat
memanfaatkan pendekatan fenomenologi. Model model desain penelitian yang tergabung dalam
kelompok ini berupaya untuk menenemukan teori berdasar data empiris atau sering pula disebut
grounded theory. Pedoman untuk melahirkan suatu teori antara lain adalah: penggunaan logika
yang konsisten,kejelasan masalah,efisiensi,integrasi, ruang lingkup,teknik analisisyang bersifat
komparatif konstan seperti yang ditawarkan oleh Glaser.

Bahwa agama bagi mereka bukanlah pengertian semata melainkan juga ekspresi dalam
perbuatan praksis. Ahmad syalbi memperkuat dengan informasi bahwa dalam keseharianya,
kabilah Quraisy jika hendak mengerjakan sesuatu yang berarti, seperti bepergian, kawin, perang,
atau yang lainya, Pergi ke ka’bah untuk bertenung dan melihat pendapat berhala-berhala itu.
Berbeda dengan pendapat Hegel, agama bukanlah sumber keterangan manusia dari dunia ini.
Bagian kabilah Quraisy, agama justru sarana untuk menyatukan kegiatan keseharian mereka
dengan pencipta.

Ketika islam datang, ajaran pertama yang disampaikan oleh Rasul Allah setelah
fungsinya sebagai utusanya adalah ajaran tauhid yang mengesakan Tuhan. Oleh karena itu, setiap
kali seseorang menyatakan nersedia beriman, maka ia akan selalu mengucapkan kesaksian
bahwa Tuhan yang benar disembah adalah Allah SWT dan Muhammad utusan Allah. Di sini
mulai tumbuh kosa kata Tauhid sebagai simbol kesadaran baru warga masyarakat mekkah
tentang diri dan lingkungan yang berbeda sama sekali dengan kesadaran lama. Kehidupan sosial
dan budaya warga masyarakat tidak dapat dimengerti jika tidak diletakkan dalam dimensi
simbolnya.

23
Ketika Khatijah binti Khuailid, Abu Bakar Ashiddiq, Bilal ibnu Rabbah Al habsyi dan
setiap orang beriman menyatakan keyakinannya pada ajaran rasul Allah maka telah terjadi
pergeseran kesadaran dari agama lama menjadi seorang pribadi yang mengesakan Allah SWT.
Laporan sejarah ternyata menyimpan catatan tentang kekuatan luat biasa dari pergeseran ini
seperti dapat disaksikan dari ketahanan Bilal, keberanian Ali ibnu Thallib untuk mengantikan
Rasulullah ditempat tidur agar dapat keluar dari Makkah dengan selamat dari kepungan Qurays
ketika hijrah, kerelaan sahabat untuk hijrah ke Etiopia dan Madinah, dan banyak peristiwa yang
lain. Kekuatan lain yang sama besarnya adalah keberanian para sahabat ini untuk meninggalkan
cra hidup lama yang selama ini menjadi pola hidup mereka. Kekuatan inilh yang mendorongnya
untuk tidak menyembah berhala, Mengerjakan sholat di cela bukit kota Makkah, dan
Menggabungkan diri dengan pengikut Rasulullah.

Betapa besar kekuatan ini, namun masi bersifat perorangan dan perubahan terjadi ketika
peristiwa hijrah ke Madinah sudah berlangsung. Di tempat yang baru ini, proses sosial sahabat
Rasulullah dapat berkembang dengan baik. Jika do kota Makkah proses tumbuhnya perasaan
bersama sebagai pengikut ajaran islam terhambat oleh kekuasaan kelompok Quraisy yang
menyembah berhala, maka ditempat ini kesadaran bersama tumbuh dengan lebih efektif. Oleh
karena itu, segera setelah tiba di Madinah, Rasulullah mengadakan perjanjian antara orang-orang
beriman dengan pengikut agama Yahudi yang kemudian lazim disebut Piagam Madinah.

Untuk seterusnya, masyarakat Madinah tumbuh atas butir-butir penjanjian yang


mendudukkan Rasulullah sebagai pembimbing dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, seperti
telah duraikan di muka, ajaran yang disampaikan memang menjangkau seluruh segi kehidupan.
Sampai pada tahap ini, kebersamaan yang telah tumbuh sebelumnya dapat dikembangkan lebih
efektif sehingga dapat berubah menjadi jatidiri bersama semangat orang beriman.

Sebagai pranata sosial, maka bentuk-bentuk perilaku yang selalu dilakukan oleh orang
beriman dalam kehidupan sosial adalah dikerjakan sebagai wujud respon terhadap ajaran Tuhan.
Meminjam teori Joachim Wach, bentuk-bentuk perilaku ini adalah pengalaman keberagamaan
mereka. Dengan demikian, pengalaman agama warga kota Madinah ini dapat ditemuka dalam
seluruh segi kehidupan manusia sesuai dengan cangkupan dari ajaran islam. Agama disini, bukan
semata sebagai simbol, melainkan juga sebagai sistem faktor yang mempengaruhi terbentuknya
perilaku manusia seperti dikonsepkan oleh Max Weber. Akan tetapi berbeda dengan teori sarjana

23
Barat ini,, Gejala keberagamaan yang ditunjukkan oleh islam di periode Madinah ini adalah
peluang tumbuhnya kekuatan yang hanya tumbuh oleh satu faktor semata yaitu Tauhid.
Kenyataan soaial yang mendukung pemahaman ini adalah perilaku kaum muhajirin diperang
badar yang hanya dengan peralatan perang yang terbatas, dengan jumlah pasukan sedikit, namun
memberanikan diri mengahadapi pasukan quraisy dalam jumlah dan peralatan perang yang jauh
lebih lengkap. Bentuk-bentuk perilaku ini kemudian menjadi pola perilaku merekan sampai
dengan Rasulullah wafat dan tugasnya menyampaikan wahyu selesai.

Menjelang wafatnya, beliau telah memberikan petunjuk pada para pengikut tentang cara
untuk melestarikan kelompok sosial yang telah dibangun ini. Petunjuk berisi ketentuan agar
berpegang pada Alqur’an dan sunnah yang ditinggalkanya. Kenyataan yang harus
dipertimbangkan adalah wujud sumber ajaran yang sekarang bukan lagi dalam bentuk norma,
melainkan sudah dalam bentuk praktek kehidupan sosial yaitu masyarakat Madinah.

Proses alih sosial dari masyarakat Madinah, sebagai produk keberagaman generasi
pertama pengikut islam yang terdiri dari sahabat Rasulullah ini, berarti proses sosial untuk
membentuk masyrakat baru dalam kondisi yang berbeda dengan waktu itu. Perbedaanini
menyangk aspek individu yang menjadi warga masyarakat, situasi dan kondisi sosiokultural,
serta aspek-aspek lainya. Meskipun memiliki perbedaan ruang waktu, tetapi kualitas proses alih
sosial ini harus memiliki keberagamaan atas dasar Alqur’an dan sunnah yang sama dengan
sebelumnya.

Periode al Khulafa’ al Rasyidin berhasil mempertahankan model masyarakat Madinah


masa Rasulullah, karena proses alih sosial ini memiliki beberapa kelebuhan. Pertama adalah
peluang yang diperoleh sebagai sahabat Rasulullah sehingga menghayati konteks dan hakikat
permasalahan ketika petunjuk tuhan tersebut diturunkan. Kedua adalah prosedur interaksi
mereka dengan Rasulullah secara langsung sehingga mereka memiliki kesempatan untuk
menangkap secara utuh makna dibalik bimbingan yang diberikan beliau. Ketiga, peluang untuk
menginternalisasikan dan menyerap keseluruhan ajaran secara utuh sehingga jika muncul situasi
lan akan menghadapinya dengan hasil serapan itu.

Generasi penerus yang mengikuti masa sahabat Rasulullah ini tidak memiliki peluang ini,
namum memperoleh peran yang sama yaitu mewujudkan masyarakat yang penuh rahmah bagi
alam semesta. Oleh karena itu. Proses alih sosial ini memerlukan metode yang benar-benar valid

23
dan memiliki efektivitas yang tinggi jika diukur kandungan alqur’an dan sunnah. Telaah
Metodologis tentang peran ini menyampaikan kesimpulan bahwa umat islam melangsungkan
proses alih sosial ini bukan atas dasar telaah tentang sumber ajaran yang membuahkan cabang-
cabang ilmu dalam islam. Sebagai pijakan proses sosial, maka sebarapa jauh kulaitas disiplin
ilmu keislaman ini mampu memotret keberagaman masa Rasulullah akan sangat menentuakn
potensi generasi tersebut untuk mewujudkan masyarakat Madinah di masanya sendiri.

Jika penataan ulang kerangka metodologis displin ilmu keislaman ini dilakukan, maka
yang menjadi acuan adalah kerangka keberagaman itu sendiri. Dan jika cara pikir ini dapat
diterima, maka telaah pertama harus diarahkan pada ilmu tentang iman yang merupakan pintu
pertama dan utama dalam proses keberagaman orang beriman. Sebenarnya sejarah telah
melaporkan upaya ini melalui sejarah tumbuhnya ilmu-ilmu kalam.

Pengertian yang dapat diperoleh dari telaah tentang nama-nama ilmu ini menyampaikan
pada penyimpulan bahwa pokok bahasanya sangat diwarnai oleh pemahaman dan atas dasar
telaah filosofis. Data pendukung lain dapat diperhatikan tema atau sub tema yang tercantum
didalam kitab-kitab ilmu ini. Corak pemahaman bahkan sudah tampak dalam kitab-kitab
tersebut. Ulama salaf yang menentang falsafah Yunani menulis kitab-kitab tenatang iman, akan
tetapi sifatnya sebagai pemahaman masih sangat kuat.Jenis ini dapat dijimpai dalama karya
Imam ibn Taimiyah dengan judul Al-aqidah al-Washithiyah atau yang ditulis oleh Muhammad
ibn Abdul Wahab.

Jalan kebenaran dalam islam pernah menjadi bahan renungan serius seorang ulama besar
yaitu Imam Ghazali, sebagai titik awal menemukan pengetahuan akan hakekat segala sesuatu.
Oleh karena itu, ia berusaha memperoleh pengertian tentang “Tahu”. Dalam hal ini arti “ Tahu”
atau “Ilmu” itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi peluang untuk
ragu-ragu. Tidak mungkin salah atau keliru, dan hati merasa damai seklai dalam keadaan ini,
sehingga merasa aman memperoleh kebenaran.

Disini, Imam Ghazali memperkenalkan ragam jalan kebenaran yang disusun gradual
dengan lapisan bawah adalah jalan indrawi. Menurut renunganya, jalan ini tidak
menyampaikanya kepada kebenaran yang dicari. Akan tetapi, harus dicatat tebal bahwa
kebenaran yang hendak ditemukan olehnya adalah kebenaran tentang jalan menuju Tuhan yang
awalnya adalah mengosongkan hati dengan dzikir dan akhirnya adalah fana sehingga dapat

23
mukasyafah dan musyahadah. Jika tujuan kebenaran yang dicari adalah pengalaman seperti ini
maka jalan indrawi, akal dan pemikiran filsafat memang tidak akan memenuhi harapan.
Persoalanya kemudian terletak pada tujuan yang perlu diupayakan oleh masing-masing orang
beriman.

Tujuan risalah memiliki cangkupan mewujudkan rahmah bagi alam semsta. Lingkup
cangkuo ini, dengan meminjam teori fenomenologi, meliputi realitas indrawi, rasional,
pengalaman sufi dan transedental. Artinya, tujuan risalah perlu diwujudkan pada masing-masing
kenyataan dunia ini. Untuk menghadapi dunia indra, maka manusia dilengkapi dengan alat indra
sebagai jalan memperoleh kebenaran. Sudah barang pasti, ini adalah kebenaran indrawi.
Selanjutnya, untuk menghadapi dunia rasio, maka umat manusia juga dilengkapi dengan rasio.
Sedang bagi dunia lain, Maka manusia diberi kelengkapan pengalaman sufi yang mampu
menangkap pengalam dimana alat indra dan akal berhenti.

Dunia indra, rasio,pengalaman sufi dan dunia transedental adalah merupakan satu
kesatuan karena keesaan Tuhan memiliki konsekuensi kesatuan alam manusia. Cakupan
keberagamaan seperti ini juga diuraikan didalam Alqur’an. Oleh karena itu, jika manusia
bermaksud mewujudkan tujuan risalah dalam dunia dengan lapisan seperti ini, maka sumber
kebenaran dasar adalah dunia transedental yang dapat diperoleh dengan menerima atas dasar
otoritas kenabian yang disebut iman sebagai bagian dari logika realitas. Akan tetapi, perlu segera
ditegaskan bahwa keberagamaan dalam islam seperti telah diuraikan sebelumnya adalah sampai
pada wujud soalnya. Artinya, keberagaman ini merupakan kesatuan utuh antara dunia indra,
rasio dan pengalaman sufi atas dasar kebenaran transedental itu.

Umat manusia masa kini, dengan latar belakang ruang dan waktu di era modern memang
menerima fungsi yang sama dengan generasi sahabat dalam hal mewujudkan tujuan risalah.
Akan tetapi, warisan intelektual, khususnya sosok metodologis ilmu tentang iman yang hanya
menekankan pada aspek pemahaman, berharap dari mereka untuk melakukan penataan ulang
proses alih sosial masyarakat Madinah dimasa Rasulullah. Penataan ulang ini menyarankan
perkunya rumusan ulang warisan intelektual diatas, Sehingga didalam aspek metodologi sesuai
dengan alur logka realitas, dan dalam proses alih sosialnya berhasil mengungkapkan seluruh
aspek ketuhanan masyarakat Rasulullah meskipun diabad Modern.

23
Penataan ulang logika relitas dalam kewarganegaraan berarti seluruh proses alih sosial
masyarakat Madinah berdasarkan pada sumber kebenaran dalam kebenaran transedental, yaitu
alqur’an dan sunnah. Kemudian dalam memenuhi proses lapisan realitas dibawahnya, sifat dan
kodrat lapisan masing-masing diperhatikan sehingga tidak bertentangan dengan kenyataan.
Disisni diperlukan metode pemahaman dan pelaksanaan yang utuh namun tetap dengan
membuka peluang bagi kekhususan lapisan agar wujud sosial seperti diharapkan dapat dipenuhi.
Sejauh mana peluang keterbukaan ini akan menjadi bahasan dalam bab-bab mendatang.

Paradigma ilmu tauhid. Jika cangkupan keberagamaan dalam islam meliputi seluruh segi
kehidupan manusia maka terdapat kesejajaran antara jalan kebenaran dalam islam dengan
struktur keberagamaanya. Artinya, keberagamaan ini akan menjadi utuh jika sudah dapat
diwujudkan dalam seluruh segi kehidupan manusia, dengan lapisan realitas yang memiliki aturan
berpikir. Jika kebenaran itu pada akhirnya bersumber pada realitas transedental yang
mengandung alqur’an dan sunnah, dan ungkapan keberagamaan dengan pijakan pembenaran hati
dalam realitas rasional sampai pada kenyataan indrawi, maka dapat disimpulkan bahwa
cangkupan keberagamaan dalam islam berlangsung atas dasar logika realitas.

Pada masa Rasulullah masih hidup, bentuk-bentuk keberagamaan seperti ini sudah
pernah diwujudkan. Kesatuan utuh antara pembenaran dalam hati dengan perwujudan dalam
perbuatan konkreat dapat disaksikan dalam keteguhan iman al-sabiqun al awwalun, seperti Bilal
ibn Rabah al-Habsy, Ammar ibn Yasir, dan orang-orang lemah lainya, ketika disiksa dan
diancam kaum quraisy karena tetap mempertahankan imanya terhadap Rasulullah. Kualitas
pembenaran mereka terhadap wahyu yang disampaikan beliau mencapai titik puncak, jika
dipertimbangkan besarnya tantangan dan hambatan yang dihadapi. Selain siksaan terhadap kaum
lemah, sahabat yang lain terpaksa hijrah ke thiopia, semata-mata untuk mempetahankan iman
dari tekanan orang kafir itu. Cangkupan keberagamaan mereka. Demikian utuh cakupan ini
sehingga ketika Raulullah wafat, islam bukan sekedar agama, tetapi juga pranata sosial, bahkan
sistem negara.

Setelah Rasulullah wafat, persoalan yang sebenarnya berada dihadapan para sahabat
adalah proses alih sosial bentuk keberagamaan, sehingga berhasil dipertahankan bahkan juga
diteruskan pada generasi berikutnya. Tugas ini adalah proses sosial, akan tetapi unsur yang
merupakan dasarnya adalah wahyu dari Allah SWT.

23
Makna dari firman ini adalah jangkauan ruang dan waktu misi Rasulullah memang
merupakan bagian inhern dalam keberagamaan para sahabatnya. Unsur lain dalam proses alih
sosial keberaman ini adalah mengalihkan wujud keberagamaan islam yang sudah dalam bentu
kehidupan bermasyarakat, bahkan juga bernegara ini, kepada masyarakat diluar Arab, kemudian
kepada generasi-generasi selanjutnya. Disini terdapat persoalan filosofis yang langsung
menyentuh hakikat wujud sosial mereka, dan metodologi pemahaman atau ilmu tentang
keberadaan mereka ini.

Sejarah perkembangan pemikiran dalam islam, dengan demikian, merupakan bahan


kajian yang sangat menentukan jawab terhadap pertanyaan ini. Pada masa Khulafaur Rasyidin,
pemikiran tentang proses alih keberagaman dalam islam belum berkembang sepenuhnya. Jika
diperhatikan dari sisi metode, peluang mereka sebagai generasi yang mehayati setiap ajaran yang
disampaikan oleh beliau sudah merupakan faktor yang memenuhi keperluan. Artinya, untuk
beragama, para sahabat langsung sebagai pengamal dibawah bimbingan Rasulullah.

Generasi tabi’in dan semua generasi pemeluk islam lainya tidak memiliki kesempatan
seperti ini. Oleh karena itu, mereka harus melakukan pemahaman atau proses pemikiran tentang
alih keberagamaan dari generasi sahabat kepada dirinya. Gejala ini dapat diperhatikan di akhir
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, khususnya ketika terjadi perang shiffin.

Urwah ibn Udayyah dan orang-orang yang sepaham, yang dikemudian diklarifikasi
sebagai aliran khawarij, berhadapan dengan struktur keberagamaan atau perilaku iman. Kasus
praktisnya adalah pembunuhan atau dosa besar menurut tema yang menjadi polemik pada masa
itu. Bagaimana posisi orang beriman tetapi melakukan dosa besar. Pendirian pengikut al
Khawarij sudah tegas yaitu bahwa orang beriman yang melakukan dosa besar menjadi kafir.
Keutuhan mutlak yang dituntut oleh khawarij, antara iman dalam hati dengan perilaku praktis,
sudah barang pasti, membawa pada konsekuensi bahwa pembunuh adalah orang yang tidak
memiliki iman dalam hati atau dengan kata lain adalah kafir. Kesan sebagai kelompok ekstrim
segera muncul, karena mereka kemudian terbawa pada praktek bahwa setiap orang beriman
dapat menetapkan penilaian dan mengenaik sanksi.

Kecenderungan anarkis yang tumbuh dalam alur pikir dan praktek diatas mengandung
reaksi dari umat islam lainya. Kelompok moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal didalam neraka, tetapi akan dikenakan hukuman sesuai dengan

23
dosanya, meskipun ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuninya dan oleh karena itu
tidak masuk neraka sama sekali.

Dalam kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan Al-murjiah ini termasuk al
Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah dan beberapa Ahli Hadits. Jadi, bagian kelompok ini
orang islam yang berdosa besar masih tetap beriman. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah memberi
definisi iman sebagai berikut : Iman adalah pengakuan dan pengetahuan tentang tuhan, Rasul-
rasulnya dan tentang semua apa yang datang dari tuhan, dalam keseluruhan dan tidak dalam
rincian. Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara
manusia dalam hal iman.

Definisi yang diberikan Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau
dengan kata lain, iman semua irang islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang islam
yang berdosa besar dengan mereka yang sepenuhnya pada perintah Allah. Kesimpulanya bahwa
Abu Hanifah juga berpendapat perbuatan kurang penting jika dibandingkan dengan iman. Akan
tetapi, Bagi imam besar sepertinya tidak dapat diterima jika penyimpulan itu memang
merupakan pemyimpulan pribadi.

Polemik antara aliran Khawarij dengan Murjiah seperti tercermin diatas menjadi cermin
bagaimana mereka melewati proses alih keberagamaan dari bentuk generasi sahabat menjadi
wujud kehidupan dalam masyarakatnya. Kesadaran awal identifikasi masalah sebenarnya masih
berada dalam bingkai pola keberagamaan yang diwujudkan oleh Rasulullah. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, proses alih keberagamaan ini kemudian mengalami reduksi sehingga
keutuhan unsur dan pola keberagamaan menjadi semakin tidak utuh. Gejala ini dapat
diperhatikan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam, setelah umat berknalan dengan falsafah
yunani. Pusat-pusat kegiatan budaya dan falsafat yunani pada masa itu terdapat di kota Harran.

Seberapa jauh pengaruh filsafat Yunani ini dapat diamati dari ajaran Mu’tazilah. Imam
al-Asya’ari dalam bukunya Maqalat Islamiyyin mengutip tafsir mereka tentang keesaan Tuhan.
Menurut aliran ini, Tuhan adalah Esa, tidak sesuatupun yang menyamainya, bukan jisim, pribadi,
jauhar, atau aradh.

Rumusan keesaan Tuhan seperti tampak dalam pemikiran Mu’tazilah ini memang sudah
menggambarkan betapa jauhnya pemikiran ilmu kalam dipengaruhi filsafat Yunani.

23
Kecenderungan seperti inilah yang kemudian mendorong tumbuhnya persepsi bahwa aliran
tersebut adalah rasionalisme dalam islam. Reaksi terhadap perkembangan ini memang telah
muncul khususnya dari kalangan ulama yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahlussunnah
Waljamaah. Tokoh aliran ini adalah Iman Abu Al Hasan Al Asari, Dan Imam Abu Manshur Al
Maturidi yang berhasil membendung pengaruh akal dalam ilmu kalam khususnya dan pengaruh
ilmu Yunani pada umumnya.

Akan tetapi baik Imam Al Asari ataupun Imam Al Maturidi, mskipun berhasil
menegakkan pendirian aliran Ahlussunah Waljamaah, namun belum sepenunya selesai
mewariskan proses alih keberagaman yang menjadi tugas pokok setiap generasi pemeluk islam.
Beberapa hal yang dapat dicatat dalam masalah ini adalah telaah tentang masalah-masalah
pokok, yang menjadi bidang kajian mutakallimin pada masa itu. Jika seluruh perkembangan
pemikiran tentang masalah aqidah khususnya, dan keagamaan pada umumnya, dicermati dapat
disimpulkan bahwa tedapat perbedaan mendasar diantara ulama.

C. Perilaku Dan Tujuan Beragama

Laporan sejarah telah menyampaikan pernyataan secara empiris yang tidak perlu
diraguakan, bahkan dilakukan kritik sejarah, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Kesaksian ini tidak hanya diberikan kesaksiaan oleh sejarawan timur, seperti ibnu khaldun,
althabary semata, melainkaaan juga sejarawan barat, seperti Philip K. Hitti, dan
Grunebaung.sejajar dengan ini pula adalah pertanyaan apakah ada manusia yang menyakini
ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW. Kenyataan menunjukan, bahkan sampai
di abad modern ini, bahwa jutaan pengikut ajarannya diberbagai masyarakat banyak dijumpai
sangat mudah.

Urgensi jauh lebih tinggi baik yang belum menyakini ajran tersebut atau oleh pemeluk
yang justru mengamalkannya yang dipertanyakan kenyataan empiris yang disebut dunia islam.
Dalam hal ini dapt diberikan dalam 4 Dimensi. Pertama adalah unsur yang membentuk gejala.
Kedua menyangkut susunan atau struktur tipologi dari keseluruhan unsur. Dimensi ketiga
berkaitan dengan proses atau prosedur untuk mewujudkan pernyataan tersebut. Dan dimensi ke
empat adalah menyelenggarakan prosedur yang diperlukan untuk mewujudkannya.

23
Keterbatasaan, atau mungkin malah kedangkalan, analisis tentang gejala tersebut
menyebabkan dua hal. Pertama, Dunia Islam sebagai gejala kehidupan empiris tidak dapat
dipahami dengan tepat. Kedua, dengan implikasi yang lebih serius, adalah kesulitan bagi
pemeluk untuk mengulangi prestasi serupa, dalam perbedaan ruang dan waktunya masing-
masing. Ini adalah kondisi yang tidak dikehendaki, justru, oleh muatan ajaran itu sendiri. Allah
SWT dengan eksplisit menyatakan bahwa risalah rasul allah adalah untuk membangun suatu
“rahmat bagi alam semesta”. Hakikat ini, barangkali, adalah yang sedang melilit bangsa
Indonesia, khususnya pemeluk islam, sehingga di satu sisi, mereka sulit menyelesaiakn masalah
nasional dengan memberdayakan agama, dan di sisi lain, sarjana agama islam mengalami
kesulitan memperoleh lapangan kerja yang memadai. Harus ada jalan keluar dari kondisi ini
karea firman allah swt telah memberi jaminan, amin.

Analisis tentang muatan al-quran dan, dengan tegas, menyatakan bahwa rasul allah tidak
hanta memberi idea tetapi juga fakta. Beliau tidak hanya memberi ajaran tetapi juga kenyataan.
Bahkan misalnya telah membatasi pada kajian tentang jaran atau ide dalam sumber ajaran, maka
penyimpulan yang akan diperoleh tidak mudah berhenti pada satu aspek keberagaman semata.

Kesatuan antara idea dengan fakta, atau antara ajaran dengan kenyataan, akan memberi
legalitas analisis tentang anatomi keberagaman yang lebih utuh. Jika masing-masing satuan
keberagamaan diurai, maka dimensinya pasti tiba pada aspek praktis dari tindak keberagamaan
itu dendiri. Akan tetapi, unsur-unsurnya dapat diurai menjadi lapis gejala kejiwaan, perilaku
perorangan dan potensinya untuk membentuk kehidupan kelompok. Unsur dasar ini, selanjutnya,
dapat pula dikembangakan sehingga dalam setiap satuan perilaku beberagamaan dapat
ditemukan dimensi lain seperti, ekonomi, politik, social, budaya, seni intelektual dan dimensi
lain yang dapat diidentifikasi, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan kemanusiaan.
Sudah barang pasti,keberagamaan dalam islam terdiri dari sekian banyak, mungkin ratusan
bahkan mungkin ribuan atau jutaan, satuan-satuan perilaku beragama dalam seluruh konteks
ruang dan waktu.

Dengan demikian, setiap satuan perilaku beragama berpeluang terdiri dari sekian banyak
unsur. Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah unsur-unsur ini bergabung secara acak
ataukah antara satu dengan lainnya memiliki keterkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan.
Bagaimana tipologi susunan itu, dan apakah keterkaitan itu berlagsung secara otomatis ataukah

23
melalui suatu prose yang dapat diusahakan. Masih ada lagi pertanyaan lain, siapa pelaku dan
sasaran kegiatan, serta bagaimana pula cara yang harus ditempuh untuk tiba pada tujuan.

Tugas untuk menjawab semua pertanyaan ini adalah beban bagi ilmu dalam islam.
Kualitas ilmu yang diperlukan oleh kualifikasi seperti dituntut dalam pertanyaan ini akan
menentukan keberhasilan tujuan risalah. Disini, perbedaan tajam antara ilmu dnegan
pengerahuan benar-benar diperlukan.

Tujuanya dalam perilaku keberagamaan nya yaitu : Dalam hal ini menurut kami tujuan
keberagamaan adalah untuk mengetahui tingkah laku yang berhubungan dengan kesadaran diri
untuk melakukan aktivitas seperti, aktivitas keagamaan seperti ibadah sholat, zakat, puasa, dan
sebagainya. Nilai keagamaan itu dominan dari kepribadian seseorang yang ikut serta dalam
menentukan perilaku. Adapun bentuk-bentuk dari perilaku keagamaan meliputi :

1. Sholat

Menurut istilah adalah semua ucapan dan perbuatan khusus yang dimulai dengan takbir
dan ditutup dengan salam.

2. Puasa

Adalah ibadah yang dapat menanamkan rasa kebersamaan dengan orang-orang fakir
dalam menahan lapar dan kebutuhan pada makanan, didalam Alqur’an sudah dijelaskan manusia
taqwa yang dihasilkan melalui ibadah puasa adalah menjalanan segala perintah dan menjauhi
larangannya.

3. Zakat

Zakat adalah kewajiban harta sebagai bantuan kemasyarakatan dan hasilnya dibagi
kepada fakir miskin yang hasil keringat mereka tidak dapat memberikan kehidupan yang layak.

4. Membaca Alqur’an

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang tertulis. Membaca Alqur’an adalah fardhu kifayah.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan materi tersebut adalah membangun persatuan ditengah keberagaman
dalam perspektif Islam memerlukan tindakan konkrit yang nyata. Ajaran dalam Islam
mengajarkan umatnya untuk hidup dalam toleransi. Untuk menjaga persatuan ini maka
umat harus menjaga tali silaturrahmi antar manusia dan juga menjunjung tinggi toleransi.
Allah telah menyebutkan dalam Al-Quran untuk hidup dengan damai sekalipun
berada diantara perbedaan. Jalinan silaturrahmi dengan mengedepankan toleransi tidak
hanya saat berhubungan dengan antar umat beragama saja, namun bagaimana sesama
muslim dapat hidup damai, rukun, saling menghormati antar golongan keislaman yang
berbeda mazhab.
Islam mengakui keberagaman yang ada, termasuk dalam agama. Dalam Islam
orang muslim dilarang memaksa orang lain untuk meninggalkan agamanya dan masuk
Islam dengan terpaksa, karena Allah berfirman:
‫َلاكراه في الدين‬
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memaski) agama (Islam)” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
Maka sudah seharusnya kita mampu menyikapi perbedaan dari sudut pandang
yang berbeda, saling menghargai adanya keberagaman maka akan terjadi keharmonisan
dalam hubungan masyarakat, sehingga kedamaian akan terus berjalan perpecahan tidak
akan terjadi.
B. Saran
Kami menyarankan kepada para pembaca agar mencari informasi tentang materi
ini lebih banyak lagi supaya menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam
tentang materi tersebut.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kadir, A muslim. 2003.Menggagas paradigm amali dalam agama islam.Yogyakarta :


pustaka pelajar.

23

Anda mungkin juga menyukai