Anda di halaman 1dari 4

Sukmaku ditanah Makassar

Karya: Asia Ramli Prapanca

Sukmaku di tanah Makassar


Negeri Bayang-bayang
Negeri timur matahari terbit

Gunung-gunung perkasa
Lembah-lembah menganga
Pohon-pohon purba
Kuburan-kuburan tua

Di dalam kelambu penuh dupa


Berhadap-hadapanlah dengan Dewata
Dengan Berlapis-lapis pakaian sutera
Musik dan tari saling berlaga
Sukmaku di tanah Makassar
Memburu anoadi rimba belantara
Menangkap kupu-kupu di tebing-tebing terjal
Mengejar derai-derai daunan basah
Memanjat pohon-pohon lontar
Dibawah naungannya bertempat gelanggang sabungan ayam
Dibelakang sekian gumam sinrili siap membunuh kekecewaan
Dengan badik dan tukul besi

Sukmaku di tanah Makassar


bersayap angin mammiri bersiul membelai kota dengan nilai-nilai
Menunggang kuda jantan dengan lari kencang
membawa impian ke garis kemenangan
Kerikil-kerikil merah bermukim gemerincing
Pasir putih membentang panjang berkilauan

Sukmaku ditanah Makassar


Bersampan pinisi dengan layar daun lontar
Dengan panji-panji sutera warna-warni
Mengejar debu ombak menjilat lekuk gelombang
Menyelam ke rahang-rahang menyunting kerang
Mentyelam ke dasar tasik memetik mutiara

Sukmaku ditanah Makassar


Ke mana pun aku pergi
Dimanapun aku melambai
Gadis-gadis pakaeran selalu menyanyi, menari di hatiku
Selamat tinggal puncak Lompobattang
Selamat tinggal hulu Jeneberang
Selamat tinggal Kampung Galesong
Selamat tinggal Pantai Barombong
Selamat tinggal Pulau Kodingareng
Selamat Tinggal Karaeng

Sukmaku di tanah Makassar


Mengeja I Buri mengejar juku eja
Mengejar debur ombak menjilat lekuk gelombang

Sukmaku di tanah Makassar


Melengking bersama pui-pui
Merancak bersama parappasa
Mengemuruh bersama pakkanjara

Sukmaku ditanah Makassar


Meski Malino tidak berpohon lagi
Meski Jeneponto tidak berkuda lagi
Meski Losari tidak berair lagi
Meski Somba Opu tidak berpuing lagi

Sukmaku ditanah Makassar


Sukmaku ditanah Makassar

Sungguh Karaeng

Meski kita berpisah beribu gelombang


SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA

Oleh : W.S. Rendra

Matahari terbit pagi ini


mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.


Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina


Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan


tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya :


“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.


Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.


Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari


matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.

Anda mungkin juga menyukai