Anda di halaman 1dari 16

MATA KULIAH HUKUM KOPERASI-A PARALEL

PENGATURAN TENTANG KOPERASI DAN PERKEMBANGANNYA DI


INDONESIA (REVISI)

KELOMPOK V REGULASI KOPERASI


DHEAMORA DIMITIVA (1706025636)
ADZHANI THARIFAH (1706025592)
NAUFAL ABHI NOVISRO (1706025062)
RANI NUR BENING (1706025762)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


SUBPROGRAM SARJANA KELAS PARALEL
DEPOK
AGUSTUS 2019
A. Hal-hal Pokok Pengaturan dalam Tiap Regulasi Koperasi dan Perbedaannya
Kemunculan koperasi di Indonesia ialah akibat dari kondisi dan situasi ekonomi
masyarakat Hindia Belanda pada masa pendudukan Kolonial Belanda, hal itu memberi
tekanan kepada masyarakat untuk keluar dari kesulitan ekonomi sehingga menimbulkan
tekad pada masyarakat untuk melakukan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
secara mandiri dan mencari jalan keluar dari kesulitan ekonomi secara bersama-sama.
Regulasi pertama yang mengatur tentang koperasi dan berlaku pada masyarakat Hindia
Belanda ialah Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stbl. Nomor 431 Tahun
1915). Berdasarkan asas konkordansi, isi dalam regulasi ini sama dengan peraturan
mengenai koperasi di Belanda yaitu Regeling der Cooperatieve Verenigingen (Stb. 227
Tahun 1876) yang berlaku tidak khusus untuk bangsa Eropa dan Timur Asing saja,
melainkan juga berlaku pada penduduk pribumi. Dalam regulasi ini koperasi didefinisikan
sebagai sebuah perkumpulan orang-orang, dimana orang tersebut diperbolehkan untuk
keluar masuk sebagai anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran para
anggotanya, dengan cara bersama-sama menyelenggarakan suatu sistem penghidupan atau
pekerja (koperasi produksi), atau secara bersama-sama menyediakan alat perlengkapan atau
bahan-bahan untuk keperluan mereka (koperasi konsumsi), atau secara memberikan uang
muka atau kredit (koperasi perkreditan). Sistem yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda ini dilakukan dengan terburu-buru tanpa mempelajari dan mempertimbangkan
situasi dan kondisi asli masyarakat Hindia Belanda. Dengan tidak ada penyesuaian ini maka
menimbulkan kesulitan penduduk golongan III yaitu pribumi.
Selain karena biaya yang dikeluarkan sangat besar, ketentuan-ketentuan tersebut
dianggap sengaja dibuat untuk menghambat pertumbuhan koperasi di Hindia Belanda
karena dikhawatirkan koperasi dijadikan wadah dan alat perjuangan melawan kekuasaan
Pemerintahan Belanda. Sehingga ketentuan pada Verordening op de Cooperatieve
Verenigingen dirasa tidak memberikan manfaat dan ditentang oleh kaum pergerakan
nasional.
Selanjutnya akibat dari pertentangan-pertentangan tersebut dan bertepatan dengan
politik balas budi Belanda, dikeluarkan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen
(Stbl Nomor. 91 Tahun 1927). Peraturan Koperasi yang khusus tunduk pada Hukum Adat
dan bukan pada BW(Hukum Perdata Belanda). Sehingga dalam penerapannya Verordening
op de Cooperatieve Verenigingen menjadi untuk Gol. I dan Gol II (Eropa dan Timur Asing)
sedangkan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen hanya untuk Gol. III (pribumi)
saja. Definisi koperasi dalam peraturan ini tidak berbeda dengan regulasi sebelumnya, hanya
terdapat tambahan pada tata cara pendiriannya.
Lalu dikeluarkanlah Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb Nomor
108 Tahun 1933) yang merupakan perubahan dari Verordening op de Cooperatieve
Verenigingen. Secara umum isi ketentuan yang ada di dalam Algemene Regeling op de
Cooperatieve Verenigingen tidak berbeda dengan Verordening op de Cooperatieve
Verenigingen, sehingga tetap dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat Hindia
Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia regulasi koperasi yang pertama kali dicetuskan ialah
Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. Nomor 179 Tahun 1949). Dalam regulasi ini,
koperasi ini didefinisikan “Sebagai sebuah perkumpulan yang terdiri dari orang-orang
Indonesia yang membebaskan masuk dan berhentinya seorang atau badan hukum menjadi
anggota berdasarkan…” sehingga diketahui bahwa syarat pembentukannya ialah orang atau
badan hukum Indonesia.
Kemudian dikeluarkannya UU No. 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi.
Undang-undang ini mencabut regeling-regeling sebelumnya tentang koperasi, memodifikasi
dengan menyerap prinsip koperasi Rochdale. Definisi Koperasi dalam UU ini disebutkan

1
bahwa koperasi ialah sebuah perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-
badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal dengan ketentuan yang disebutkan
dalam undang-undang.
Selanjutnya, UU No.14 tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian, koperasi
didefinisikan sebagai organisasi ekonomi dan alat revolusi yang berfungsi sebagai tempat
persemaian insan masyarakat serta wahana menuju sosialisme Indonesia berdasarkan
Pancasila. Pendefinisian itu menghilangkan hakikat keberadaan koperasi sebagai organisasi
ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial.
Pada masa Orde Baru, dikeluarkan UU No. 12 tahun 1967 Tentang Pokok-pokok
Perkoperasian. UU ini memurnikan asas koperasi yang sebenarnya dan menyingkirkan
depolitisasi koperasi dan secara tegas mencabut UU No. 14 Tahun 1965 Tentang
Perkoperasian. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi-organisasi rakyat yang
berwatakkan sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang
merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
Selanjutnya dikeluarkan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-
undang ini hadir atas ketidakjelasan aturan main di lapangan mengenai jati diri, tujuan,
kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, permodalan, serta pembinaan koperasi untuk
lebih menjamin terwujudnya kehidupan koperasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Pengaturan koperasi sebagai badan hukum semakin jelas pada definisi koperasi menurut UU
No. 25 Tahun 1992 yakni koperasi sebagai sebuah badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar pada asas kekeluargaan
(Pachta, Bachtiar, dan Benemay, 2007).
Kemudian terdapat UU No. 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian yang telah dicabut
oleh MK dalam PMK No. 28/PUU-XI/2013.

B. Apakah titik berat pengaturan masing-masing legislasi/regulasi tersebut terletak pada


(i) koperasi sebagai badan hukum; atau (ii) peran koperasi dalam perekonomian dan
mengapa?
Jika melihat koperasi dari sisi regulasi, harus ada kebijakan yang mendorong
perkembangan koperasi sebagai salah satu pelaku perekonomian Indonesia (Warta Ekonomi
2019). Berikut penjelasan mengenai berbagai regulasi perkoperasian yang pernah ada di
Indonesia beserta penjelasan titik beratnya.
1. Verordening op de Cooperative Verenigingen (Stb. 431 Tahun 1915)
Pasal 1 ayat (1) koperasi peraturan ini mendefinisikan koperasi sebagai sebuah
perkumpulan-perkumpulan orang-orang, di mana orang tersebut diperbolehkan untuk
keluar masuk sebagai anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran para
anggotanya, dengan cara bersama-sama menyelenggarakan suatu sistem penghidupan
atau pekerja (koperasi produksi), atau secara bersama-sama menyediakan alat
perlengkapan atau bahan-bahan untuk keperluan mereka (koperasi konsumsi), atau
secara memberikan uang muka atau kredit (koperasi perkreditan).
Peraturan ini mengatur mengenai ketentuan-ketentuan untuk mendirikan suatu
perkumpulan koperasi sebagai berikut: (a) Dibuat dalam Akta Notaris, (b) Akta pendirian
dalam bahasa Belanda, (c) Biaya materai 50 gulden, (d) Mendapat Surat Persetujuan
Gubernur Jenderal di Batavia (Jakarta), (e) Akta pendirian dan surat persetujuan
Gubernur Jenderal didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat
kedudukan koperasi, (f) Hak tanah menurut hukum Belanda, bukan hukum adat, (g)
Mengumumkan dalam berita negara, (h) Mengumumkan dalam surat kabar berbahasa
Melayu di daerah kedudukan koperasi, dan (i) Mengumumkan dalam surat kabar

2
Javasche Courant. Selanjutnya, dalam akta pendirian koperasi harus dimuat nama
perkumpulan koperasi, data pribadi pendiri, ketentuan sejauh mana pertanggungjawaban
pribadi para anggota, pengaturan tentang kepengurusan dan kepengawasan, jangka waktu
berdirinya koperasi, tanggal pembukuan, dan syarat keanggotaan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa titik berat dari peraturan
ini adalah koperasi sebagai suatu perkumpulan berbadan hukum yang tunduk pada
KUHPer dan KUHD. Menurut R. Subekti, badan hukum merupakan suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Dalam ketentuan pendirian koperasi, paling pertama harus dibuat dalam akta notaris,
kemudian ada biaya materai, dan pendirian koperasi harus diumumkan pada berita negara
dan surat kabar. Ini sangat menunjukkan bahwa koperasi bukanlah suatu perkumpulan
biasa, melainkan suatu perkumpulan yang berbadan hukum.
Kemudian, Pasal 1655 KUHPer mengatakan para pengurus badan hukum, bila tidak
ditentukan lain dalam akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen,
berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu, untuk mengikatkan
badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya, dan untuk bertindak dalam sidang
pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Isi pasal ini sesuai dengan
ketentuan mengenai hal-hal apa saja yang harus ada pada akta pendirian, khususnya
ketentuan mengenai sejauh mana masing-masing anggota bertanggung jawab secara
pribadi dalam perkumpulan koperasi.
2. Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stb. 91 Tahun 1927)
Peraturan ini khusus berlaku untuk orang asli Hindia Belanda yang mana peraturan
ini tidak tunduk pada KUH Perdata, melainkan tunduk pada hukum adat. Hal-hal penting
dalam peraturan ini terdapat pada tata cara pendiriannya, yaitu: (a) Akta pendirian tidak
harus dengan akta notaris, (b) Akta dibuat dalam bahasa Melayu, (c) Pendaftaran
dilakukan di Kantor Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi, (d) Bea materai
hanya 3 gulden, (e) Hak atas tanah menurut hukum adat, (f) Hak badan hukum menurut
hukum adat (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 53-54).
Kemudian, dalam akta pendirian koperasi harus dimuat: (a) Nama perkumpulan
koperasi, (b) Kedudukan, (c) Data pribadi pendiri, (d) Ketentuan tentang besarnya nilai
dan jangka waktu anggota bertanggung jawab secara pribadi, (e) Keanggotaan, (f)
Kepengurusan, (g) Tanggal tahun buku, (h) SHU, paling sedikit 25%-nya harus
digunakan untuk memupuk dana cadangan, (i) Tujuan penggunaan sisa kekayaan jika
koperasi bubar (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 54).
Jika dilihat dari ketentuan di atas, titik berat dari peraturan ini adalah untuk
menggerakkan perekonomian orang Hindia Belanda yang disebabkan atas pengaruh
Politik Etis di negeri Belanda pada waktu itu.

3. Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 108 Tahun 1933)


Definisi dari koperasi menurut peraturan ini sama dengan definisi koperasi yang ada
di Regeling der Cooperative Verenigingen tahun 1876. Secara umum, ketentuan dalam
peraturan ini tidak berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Stb. No. 431 Tahun 1915
sehingga masih dianggap tidak cocok untuk kepentingan orang asli Hindia Belanda. Pada
waktu itu, terdapat dualisme hukum koperasi dengan masih berlakunya Stb. No. 91
Tahun 1927 khusus untuk orang Hindia Belanda. Dengan demikian, peraturan ini masih
menitikberatkan pada koperasi sebagai badan hukum.

3
4. Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. 179 Tahun 1949)
Pada peraturan ini koperasi didefinisikan sebagai sebuah perkumpulan yang terdiri
dari orang-orang Indonesia atau perkumpulan yang terdiri dari badan-badan hukum
Indonesia yang membebaskan masuk dan berhentinya seorang atau badan hukum
menjadi anggota berdasarkan hak dan persamaan, dan terutama bermaksud untuk
memajukan kepentingan usaha bersama mengurus kebutuhan hidup atau kepentingan
usaha kerajinan bersama, dengan jalan berusaha membeli kebutuhan bersama, dengan
jalan usaha tanggung-menanggung kerugian dan jiwa ataupun memberikan uang panjar
atau kredit, dan tentang pendirian perkumpulan mana harus dibuat akta yang diberi tanda
pengesahan, serta didaftarkan dan diumumkan menurut tata cara sebagaimana ditentukan
pemerintah (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 59).
Peraturan ini juga masih menitikberatkan pada koperasi sebagai badan hukum. Hal ini
dapat dilihat dari definisi koperasi khususnya pada bagian “….perkumpulan yang terdiri
dari badan-badan hukum Indonesia” dan “…pendirian perkumpulan mana harus dibuat
akta yang diberi tanda pengesahan, serta didaftarkan dan diumumkan menurut tata cara
sebagaimana ditentukan pemerintah.”

5. Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi


Peraturan ini mendefinisikan koperasi sebagai sebuah perkumpulan yang
beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi
modal dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (a) Berdasarkan kekeluargaan
(gotong royong), (b) Bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya, (c) Dengan berusaha mewajibkan dan menggiatkan
anggotanya untuk menyimpan secara teratur, mendidik anggotanya kearah kesadaran
berkoperasi, dan menyelenggarakan salah satu atau beberapa usaha lain dalam lapangan
perekonomian, (d) Keanggotaan berdasarkan sukarela, mempunyai kepentingan, hak dan
kewajiban yang sama, dapat diperoleh dan diakhiri setiap waktu menurut kehendak yang
berkepentingan setelah syarat-syarat dalam Anggaran Dasar dipenuhi, (e) Akta pendirian
menurut ketentuan-ketentuan dan didaftarkan sebagaimana ditetapkan dalam undang-
undang ini (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 62).
Peraturan ini sudah mulai menerima dan mengembangkan prinsip-prinsip Rochdale.
Poin C dan D menunjukkan bahwa prinsip Rochdale mulai digunakan dan dikembangkan
serta menunjukan bahwa titik berat dari peraturan ini adalah bagaimana peran koperasi
dalam perekonomian.

6. Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian


Koperasi didefinisikan sebagai organisasi ekonomi dan alat revolusi yang berfungsi
sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju sosialisme Indonesia
berdasarkan Pancasila. Dari definisi tersebut sangatlah jelas bahwa peraturan ini
menitikberatkan pada peran koperasi dalam perekonomian Indonesia. Namun peraturan
ini sangat bersifat politis karena di dalamnya diterapkan prinsip NASAKOM.
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian
Pada pasal 3 peraturan ini koperasi didefinisikan sebagai organisasi-organisasi rakyat
yang berwatakkan sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi
yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Munculnya peraturan ini adalah untuk mengembalikan kedudukan dan
hakikat keberadaan koperasi kepada asas yang sebenar-benarnya dengan mencerminkan
prinsip-prinsip Rochdale kembali pada peraturan ini.

4
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Peraturan ini mendefinsikan koperasi sebagai sebuah badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi serta berdasar pada asas kekeluargaan. Kemudian, Pasal 2 menyebutkan
koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berdasar atas asas
kekeluargaan. Pasal 5 menyebutkan, (1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi
sebagai berikut: keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengelolaan dilakukan secara
demokratis; pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya
jasa usaha masing-masing anggota; pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
kemandirian. (2) Dalam mengembangkan Koperasi, maka Koperasi melaksanakan pula
prinsip koperasi sebagai berikut: pendidikan perkoperasian; dan kerja sama
antarkoperasi.
Dari pasal-pasal di atas dapat dikatakan bahwa peraturan ini menitikberatkan pada
peran koperasi dalam perekonomian. Prinsip-prinsip Rochdale juga terkandung pada
peraturan ini. Melalui peraturan ini, diharapkan koperasi dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan ekonomi dan semakin berperan dalam perekonomian nasional.
9. Undang-Undang No. 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian
Pada peraturan ini koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya
sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan
bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.
Pada bagian frasa “Koperasi adalah Badan Hukum”, sudah jelas bahwa peraturan ini
menitikberatkan koperasi sebagai badan hukum.

C. Latar Sosial-Budaya dan Politik-Ekonomi pada Masa Sebelum dan Sesudah


Diberlakukannya Peraturan Perkoperasian
1. Verordening op de Cooperative Verenigingen (Stb. 431 Tahun 1915)
Kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat Hindia Belanda mendorong mereka
untuk membentuk suatu perkumpulan yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan ekonomi
tersebut. Perkumpulan tersebut menjadi dasar semua kegiatan usaha koperasi yang
kemudian dikembangkan oleh Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Perkembangan koperasi tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda merasa
kekuasaannya terancam. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan
perkoperasian yang konkordan dengan Regeling der Cooperative Verenigingen (Stb. 227
Tahun 1876) di Belanda. Peraturan ini ditujukan bagi golongan Eropa, Timur Asing, dan
pribumi. Sayangnya, peraturan perkoperasian ini kurang sesuai dengan kondisi sosial
budaya dan politik ekonomi di Hindia Belanda pada saat itu di mana pergerakan koperasi
baru mulai bermunculan. Peraturan ini justru mengandung ketentuan-ketentuan yang
mempersulit pendirian koperasi. Maka, masyarakat Hindia Belanda mengecam
keberlakuan peraturan ini. (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 18).

2. Regeling Indlandsche Cooperative Verenigingen (Stb. 91 Tahun 1927)


Adanya kecaman atas peraturan sebelumnya membuat pemerintah Hindia Belanda
membuat Cooperation Commissie yang bertugas untuk mencari tahu kebermanfaatan
koperasi bagi rakyat Hindia Belanda. Berdasarkan hasil penelitian dan didukung dengan
adanya Politik Etis, akhirnya pemerintah menerbitkan peraturan perkoperasian baru
untuk rakyat Hindia Belanda yang merujuk pada Hukum Adat. Namun, peraturan ini
tidak menghapus keberlakuan peraturan perkoperasian sebelumnya. Dalam praktiknya,
koperasi tidak dapat tumbuh dan berkembang pesat dalam era peraturan ini. Hal ini

5
dikarenakan adanya aspek kapitalisme yang memaksa koperasi untuk berkompetisi
dengan badan usaha lainnya dalam sistem ekonomi liberal yang pada saat itu dikuasai
oleh pemerintah Hindia Belanda. (Haris et al 2017, 112-113)

3. Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 108 Tahun 1933)


Peraturan ini dianggap tidak cocok diperuntukkan untuk orang asli Hindia Belanda
(Wulanndari 2012, 45). Pada masa keberlakuannya, perkembangan koperasi tidak
berkembang pesat karena pada tahun yang sama diterbitkan pula Ordonnantie op
Inlandsche Maatschappji op Andeelen Stb. 567 Tahun 1939 (Undang-Undang Maskapai
Andil). Pada masa ini, semangat berkoperasi menurun dengan banyaknya masyarakat
Hindia Belanda yang lebih memilih berusaha melalui Maskapai Andil daripada koperasi
(Haris et al 2017, 113).

4. Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. 179 Tahun 1949)


Pada awal kemerdekaan, koperasi digunakan sebagai solusi pendistribusian barang-
barang keperluan rakyat ke pelosok tanah air akibat blokade ekonomi yang dilakukan
Belanda. Hal tersebut meningkatkan semangat berkoperasi masyarakat hingga beberapa
koperasi dijadikan alat propaganda politik partai (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007,
58). Namun, pada tahun 1948 perkembangan koperasi mengalami kemunduran akibat
adanya agresi Belanda dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini
menyebabkan banyak koperasi merugi dan bangkrut. Oleh karena itu, peraturan ini
diterbitkan pada tahun 1949 dengan tidak mencabut Stb. 108 Tahun 1933. Semangat
koperasi mulai membaik kembali dengan diadakannya Kongres Kedua di Bandung pada
15-17 Juli 1953 dan Kongres Ketiga Koperasi Seluruh Indonesia pada tahun 1956 di
Jakarta, yang menjadi awal terjalinnya hubungan dengan International Cooperative
Alliance (ICA).

5. UU No. 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi


Pada periode ini, peran koperasi disentralkan sebagai alat perjuangan ekonomi yang
bukan merupakan profit undertaking, melainkan service undertaking. Pada masa ini,
lembaga-lembaga pendidikan berperan menyampaikan anjuran-anjuran perkoperasian,
seperti anjuran bagi anggota koperasi untuk menabung di koperasi. (Hadhikusuma dan
Rahardja 2000). Kemudian, berlandaskan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dibuatlah undang-
undang ini sebagai undang-undang koperasi nasional yang pertama. Peraturan ini
dianggap terburu-buru sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan
peraturan perkoperasian. Meski demikian, pada masa ini Indonesia mulai memunculkan
diri dalam pergaulan koperasi internasional.

6. UU No. 14 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian


Pembentukan undang-undang ini tidak didukung dengan kondisi sosial dan politik
yang baik. Pertama, ada pandangan bahwa ideologi koperasi seakan dikebiri dengan
pengambilan keputusan Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) Kedua yang
menyalahi sila keempat Pancasila. Kedua, terdapat pernyataan keluar Kesatuan
Organisasi Koperasi (KOKSI) dari ICA sebagai sikap pemerintah untuk keluar dari
badan-badan internasional dalam Munaskop Kedua (Pachta, Bachtiar, dan Benemay
2007, 63). Undang-undang ini disahkan bersamaan dengan Munaskop Kedua di Jakarta.
Meski dibuat berdasarkan Pancasila, nyatanya isi dan jiwa dari undang-undang ini
bertentangan dengan nilai Pancasila itu sendiri. Pada masa ini, koperasi dijadikan alat
perjuangan politik oleh golongan tertentu dan mengakibatkan hilangnya kemurnian
koperasi sebagai badan ekonomi rakyat yang bersifat demokratis (Wulandari 2012, 48).

6
7. UU No. 12 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian
Dengan dibubarkannya PKI, berbagai pembenahan dilakukan untuk pemurnian dan
depolitisasi perkoperasian tanah air. Upaya pembenahan tersebut meliputi pembubaran
KOKSI, pembentukan Gerakan Koperasi Indonesia (Gerkopin) yang diikuti dengan
Musyawarah Nasional di Jakarta, dan disahkannya undang-undang ini. Dalam waktu
yang singkat, undang-undang ini mampu menghilangkan pengaruh yang mengarahkan
koperasi ke dalam salah satu aliran. Penyusunannya dilandasi oleh kaidah ekonomi yang
menghidupkan kembali prinsip Rochdale yang sempat hilang. Selain itu, hubungan
koperasi dengan ICA juga mulai tumbuh kembali. Terlebih dengan adanya Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I, pertumbuhan koperasi mulai mendapatkan
dukungan pemerintah secara akomodatif. Salah satunya dengan adanya program
Bimbingan Masyarakat (Bimas) (Pachta, Bachtiar, dan Benemay 2007, 68).

8. UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian


Undang-undang ini dibuat untuk mempertegas jati diri dan kedudukan koperasi demi
terwujudnya perkoperasian yang sesuai UUD 1945. Koperasi didefinisikan sebagai
badan usaha atau badan hukum. Terdapat pro dan kontra untuk undang-undang ini.
Golongan pro menganggap undang-undang ini mengatur perkoperasian secara dalam. Di
sisi lain golongan kontra menganggap bahwa undang-undang ini tidak memberikan
kejelasan tentang posisi koperasi sebagai badan usaha atau badan hukum.

9. UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian


Undang-undang ini terbit karena UU No. 25 Tahun 1992 dianggap sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan perkoperasian sehingga perlu diganti. Namun
demikian, undang-undang ini dicabut dengan PMK No. 28/PUU-XI/2013 karena
dianggap bertentangan dengan roh koperasi dan justru “berjiwa korporasi”. Selain itu,
undang-undang ini dirasa telah menghilangkan asas fundamental koperasi berupa
kekeluargaan dan gotong royong (Sahbani, Hukumonline).
Adapun undang-undang ini menyalahi prinsip dasar dari koperasi, yaitu 1 man, 1 vote
yang mana hal ini terlihat saat berlangsungnya rapat anggota dimana setiap orang
mempunyai hak yang sama tidak peduli berapapun kontribusinya terhadap koperasi, dan
prinsip kesukarelaan yaitu kebebasan bagi anggota untuk masuk dan keluar dari koperasi,
tidak boleh ada yang memaksa (Sasmita 2016, 51). Alasan ini didasarkan pada kewajiban
membeli Sertifikat Modal Koperasi bagi setiap anggota.

D. Perbandingan Berbagai Legislasi/Regulasi Koperasi di Indonesia yang Paling Sejalan


dengan gagasan UUD 1945 tentang Penyelenggaraan Perekonomian Nasional
Indonesia
Sistem pengelolaan perekonomian nasional yang diterapkan oleh Indonesia sendiri
adalah sistem perekonomian Pancasila. Maka, secara normatif Pancasila dan UUD 1945
adalah landasan idiil sistem perekonomian di Indonesia yang mengatur jalannya
penyelenggaraan perekonomian di Indonesia. Bahwasanya khususnya dalam UUD 1945,
gagasan tentang penyelenggaraan perekonomian nasional Indonesia diatur dalam UUD
1945 Pasal 33. Dari gagasan tersebut, disimpulkan bahwa nilai-nilai dalam gagasan
perekonomian Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah kerjasama, gotong royong,
kekeluargaan, dan keadilan. Karakteristik sistem ekonomi Indonesia sendiri adalah: (1)
Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan bersama (gotong royong) yang mengedepankan
hubungan kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang bersifat strategis dan merupakan
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Alasan pemerintah menguasai produksi

7
barang-barang strategis baik yang ada di tanah air Indonesia adalah semata-mata untuk
kemakmuran rakyat, (4) Indonesia menggunakan sistem ekonomi campuran disebut juga
sistem ekonomi pancasila.
Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, maka dibentuklah beberapa peraturan yang
kemudian mengatur penyelenggaraan perekonomian nasional dalam pembentukan koperasi.
Berikut penjelasannya:
1. Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 431 Tahun 1915)
Merupakan regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131
IS) yang ada di Indonesia. Peraturan ini timbul karena adanya kekosongan hukum akan
pengaturan koperasi namun peraturan ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak.
Dalam peraturan ini, terdapat ketentuan yang mengatur bahwa yang dianggap
menyulitkan tersebut antara lain ialah pendirian koperasi harus mendapat izin dari
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan akta koperasi harus dibuat dalam bahasa
Belanda dan dibuat oleh notaris.

2. Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stb. 91 Tahun 1927)


Peraturan ini tunduk pada Hukum Adat. Adapun peraturan ini memuat ketentuan-
ketentuan yang memudahkan dibandingkan dari Stb. 431 Tahun 1915. Salah satu
ketentuan yang memudahkan adalah akta yang tidak perlu dengan perantaraan notaris,
tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi.

3. Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 108 Tahun 1933)


Pada masa ini, keberatan-keberatan untuk pembentukan koperasi yang tadinya ada,
sejak Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi. Peraturan ini mengatur bahwa proses pendirian dilakukan dengan
mengirimkan Akta Pendirian kepada panitera Pengadilan Negeri setempat untuk
didaftarkan dalam daftar umum dan diumumkan dalam berita resmi. Peraturan ini juga
mengatur ketentuan mengenai jasa penggunaan Notaris, di mana bila dirasa jasa Notaris
yang digunakan terlalu mahal, maka Hakim Pengadilan Negeri dapat meminta Notaris
yang ditunjuk olehnya tersebut untuk menurunkan jasanya sampai setengah dari uang
jasa yang ditentukan atau paling tinggi 15 (lima belas) Rupiah.

4. Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. 179 Tahun 1949)


Regulasi yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, mengubah
definisi koperasi dengan menambahkan unsur syarat pendiriannya. Hal ini diluncurkan
mengantisipasi Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan sebelum Regeling ini
dibuat. Setelah regulasi ini berlaku, diadakan Kongres Pertama Koperasi yang
menetapkan Hari Koperasi, adanya Bank Koperasi Provinsi, hingga pembekuan Stb.
108 Tahun 1933 oleh Menteri Kehakiman.

5. UU No. 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi


Undang-undang bertujuan mengembangkan kesejahteraan masyarakat dan daerah
bekerjanya pada umumnya. Keanggotaan bersifat sukarela. Beberapa ketentuan pokok
dalam undang-undang ini antara lain; (1) Ruang peranan pemerintah dalam membina
dan membimbing koperasi diperbesar (diatur dalam Pasal 13), (2) Pengadaan Badan
Musyawarah Koperasi (diatur dalam Pasal 2), (3) Pemberian/Pengaturan Pidana bagi
pihak yang menyalahgunakan nama koperasi. (diatur dalam Pasal 4), Sedangkan bentuk
sanksi terdapat di dalam Bab V Pasal 47 ayat (2), (4) Mengakhiri dualisme peraturan
tentang koperasi yang dinyatakan di dalam Bab VI Ketentuan-Ketentuan Peralihan
(Pasal 48-49).

8
6. UU No. 14 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian
Undang-undang ini sebagai pengejawantahan prinsip NASAKOM yang mengebiri
prinsip koperasi yang telah ada di Indonesia. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
ditugaskan dapat mengemban peran dalam bidang dua (2) tahap, yakni tahap nasional
demokratis dan tahap sosialisme Indonesia (pasal 6 UU No 14 Tahun 1965). UU ini
memberlakukan prinsip NASAKOM yang dinyatakan di dalam Pasal 5: Koperasi,
struktur, aktivitas dari alat pembinaan serta alat perlengkapan organisasi koperasi,
mencerminkan kegotongroyongan nasional progresif revolusioner berporoskan
NASAKOM.

7. UU No. 12 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian.


Pada undang-undang ini, perkumpulan koperasi kembali pada hakikat koperasi itu
sendiri. Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang menjadikan
koperasi adalah badan hukum. Landasan dan asas koperasi dalam undang-undang ini
diatur dalam Pasal 2 yaitu landasan idiil koperasi adalah Pancasila, landasan struktural
Koperasi Indonesia adalah (UUD) 1945 dan landasan geraknya adalah Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 beserta penjelasannya, landasan mental Koperasi Indonesia adalah setia
kawan dan kesadaran berpribadi.

8. UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.


Undang-undang ini memperbaiki UU No.12 Tahun 1967 dengan melakukan beberapa
perubahan dan penambahan untuk lebih memaknai koperasi, yaitu (a) Perubahan
koperasi sebagai organisasi ekonomi menjadi badan usaha, (b) Koperasi melandaskan
kegiatan pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu dengan kesukarelaan, demokrasi, terbuka,
adil, (c) Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, yaitu kemandirian koperasi yang
didirikan oleh rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Fungsi koperasi diatur dalam Pasal
4, sedangkan pembentukan/pendirian koperasi diatur didalam Pasal 6, 7 dan 8.

9. UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian


Undang-undang ini dalam penerapannya telah melakukan pemberlakuan pengaturan
yang bersifat berjiwa korporasi serta menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong
royong yang dicerminkan dalam Pasal 1 ayat (1), koperasi hanya didefinisikan sebagai
“Badan Hukum”. Hal ini bertentangan dengan jati diri koperasi sebagai organisasi yang
berasaskan kekeluargaan dan menciptakan suasana “korporatisasi koperasi”. Dalam
Pasal 68 dan Pasal 69, diatur mengenai Sertifikat Modal Koperasi yang diharuskan
untuk dibeli oleh anggota koperasi. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip koperasi
yang bersifat sukarela dan terbuka. Terlebih, adanya Sertifikat Modal Koperasi
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Sertifikat Modal Koperasi
menunjukkan adanya pergeseran sifat usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan ke
arah usaha bersama berlandaskan permodalan

Dari keseluruhan regulasi perkoperasian yang ada, sebetulnya tidak dapat ditentukan
regulasi koperasi mana yang paling ideal diberlakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
faktor kondisi perekonomian yang berbeda dan adanya asas mendasar dalam koperasi yang
tetap harus diikuti. Namun, berdasarkan analisis kelompok kami, peraturan yang cukup
sejalan dengan gagasan mengenai pengelolaan perekonomian nasional Indonesia
berdasarkan UUD 1945 adalah UU No. 25 Tahun 1992. Sebab, undang-undang ini
mendefinisikan koperasi sebagai “badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

9
dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
Pengertian koperasi menurut UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian memberikan
pengertian mengenai (a) Perubahan koperasi sebagai organisasi ekonomi menjadi badan
usaha, hal ini menegaskan bahwa koperasi merupakan badan yang tidak hanya berupa
organisasi sosial namun juga sebagai badan usaha yang nantinya akan memberi keuntungan
pada anggota-anggotanya, (b) Koperasi melandaskan kegiatan pada prinsip-prinsip
koperasi, yaitu dengan kesukarelaan, demokrasi, terbuka, adil, dan prinsip-prinsip lain yang
telah disusun guna berjalannya koperasi sesuai dengan prinsipnya agar tidak melenceng dan
bisa mencapai tujuannya, (c) Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, yaitu kemandirian
koperasi yang didirikan oleh rakyat, untuk rakyat ,dan oleh rakyat. Kegiatan ekonomi yang
dilaksanakan oleh rakyat dalam mencapai tujuan yang diharapkan dan pendapatan yang
sesuai dengan jasa yang mereka lakukan.
UU No. 25 Tahun 1992 dibuat dengan menyesuaikan keadaan koperasi dengan keadaan
perekonomian pada masanya. Tujuan pembuatannya pun adalah untuk mempertegas jati diri
dan kedudukan koperasi agar lebih menjamin terwujudnya perkoperasian sesuai amanat
UUD 1945 (diatur dalam pasal 4). Undang-undang ini juga diterapkan pemberian status
badan hukum, pengesahan perubahan AD, dan pembinaan koperasi termasuk ke dalam
wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Hal ini memberikan penegasan bahwa
Pemerintah tidak mencampuri urusan internal koperasi dan tidak merusak prinsip
kemandirian koperasi. Tidak hanya itu, undang-undang ini membuka kesempatan bagi
koperasi untuk memperkuat aspek permodalannya lewat modal penyertaan untuk
mengembangkan usahanya.

10
Daftar Pustaka
Perundang-Undangan
Verordening op de Cooperatieve Verenigingen Stbl. 1915 no. 431.

Regeling Indlandsche Cooperatieve Verenigingen Stbl. 1927 no. 91.

Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen Stbl. 1933 n. 108.

Regeling Cooperatieve Verenigingen Stbl. 1949 np. 179.

UU No. 79/1958 tentang Perkumpulan Koperasi.

UU No. 14/1965 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian.

UU No. 17/2012 tentang Perkoperasian

Jurnal
Haris, Abdul, Iwan Permadi, Sihabudin, Suhariningsih. “Cooperative Business Enterprise in
Indonesia Based on Law Politics Perspective.” Journal of Law, Policy and
Globalization 64 (2017). Hlm.. 112-113. Dapat diakses di
https://iiste.org/Journals/index.php/JLPG/article/download/39536/40650.

Sasmita, Eyo Asro. “Financial Performance Analysis Of Financial Service Cooperative .”


INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH
volume 5 issues 2 (February 2016). dapat diakses di https://www.ijstr.org/final-
print/feb2016/Financial-Performance-Analysis-Of-Financial-Service-Cooperative.pdf

Buku
Pujiyono. “Hukum Koperasi dalam Potret Sejarah di Indonesia,” CV. Indotama Solo, 2015.

Hadhikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum Koperasi Indonesia. S.l.: Rajawali Pers, 2000.

Sahbani, Agus. “UU Perkoperasian Dibatalkan Karena Berjiwa Korporasi,”


Https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uuperkoperasiandibatalk
ankarenaberjiwa-korporasi/. Diakses pada 17 Juli 2019.

W, Andjar Pachta, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay. Hukum Koperasi
Indonesia: Pemahaman, Regulasi, Pendirian, dan Modal Usaha.(Jakarta:
Prenadamedia Group, 2007.)

Wulanndari, Ida Haiyoe. “Tinjauan Terhadap Pengaturan Badan Hukum Koperasi dalam
Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkoperasian di Indonesia dari Masa ke
Masa.” Skripsi Universitas Indonesia. Depok, 2012.
Internet

11
Ning Rahayu, “Regulasi Perkoperasian Diminta Tidak Mengunci Perkembangan
Koperasi”,https://www.wartaekonomi.co.id/read215422/regulasi-perkoperasian-
diminta-tidak-mengunci-perkembangan-koperasi.html, diakses pada 17 Juli 2019.

12
LEMBAR PERTANYAAN

● Lareta Sekar P - Kelompok 1


Pertanyaan:
Pada UU No. 14/1965 telah dinyatakan bahwa koperasi berfungsi sebagai tempat
masyarakat menuju sosialisme Indonesia, mengingat koperasi hanya ditujukan untuk
sebagian lapisan masyarakat menengah ke bawah (pada umumnya), Mengapa
propaganda sosialis tersebut dimasukkan dalam definisi koperasi pada UU tersebut?
Jawaban :
Karena pada masa itu, koperasi dijadikan sebagai alat perjuangan politik oleh golongan
tertentu dengan cara memasukan doktrin sosialis pada regulasi koperasi dalam definisi
koperasi yang menyatakan koperasi sebagai organisasi ekonomi dan alat revolusi yang
berfungsi sebagai tempat masyarakat menuju sosialisme Indonesia berdasarkan
Pancasila. Walaupun dikatakan berdasarkan pancasila, nyatanya isi di undang-undang
tersebut banyak yang bertentangan dengan nilai pancasila, sehingga hal ini berakibat
koperasi kehilangan kemurniannya sebagai badan ekonomi rakyat yang bersifat
demokratis.

● Medita Febriyana - Kelompok 3


Pertanyaan :
Apa rencana pemerintah kedepannya untuk meregulasi koperasi setelah produk UU
Koperasi yg terakhir dinyatakan tidak berlaku oleh MK?
Jawaban :
Pemerintah bersama dengan DPR RI saat ini telah membentuk tim khusus dan tim
teknis untuk menyelesaikan RUU Koperasi. Namun, sampai saat ini RUU Koperasi
tersebut belum disahkan menjadi undang-undang. Walaupun, sejak tahun 2016,
pemerintah menyatakan UU Koperasi yang baru akan segera terbit.

● Muhammad Haykal - Kelompok 4


Pertanyaan :
Kemarin disebutkan bahwasanya salah satu alasan dibatalkannya UU No. 17 tahun
2012 adalah karena tidak sesuai dengan adanya prinsip Rochdale. Apakah ini berarti
bahwa prinsip Rochdale ini merupakan batu uji selain UUD dalam hal mengenai
pengujian undang-undang khususnya dalam menguji undang-undang yg berkaitan dgn
koperasi?
Jawaban :
Ya, dikarenakan prinsip Rochdale pada dasarnya menerangkan hal-hal yang menjadi
“jiwa” koperasi. Pelanggaran akan prinsipnya berarti suatu peraturan tidak lagi berjiwa
koperasi. Adapun yang dilanggar UU No. 17 Tahun 2017 ialah prinsip keanggotaan
yang bersifat terbuka dan “one man, one vote” di mana UU No. 17 Tahun 2012
mengatur adanya mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Pengurus serta adanya
Sertifikat Modal Koperasi.

13
● Shafira Amalia Z - Kelompok 6
Pertanyaan :
Apa ada kelemahan dari regulasi yang berlaku sekarang yang dapat menghambat
berkembangnya koperasi di Indonesia?
Jawaban:
Menurut kami bukan regulasi yang menghambat berkembangnya koperasi di Indonesia,
tetapi lebih disebabkan faktor internal koperasi itu sendiri, seperti modal usaha dan
lapangan usaha yang terbatas, kurangnya tenaga profesional, daya dukung organisasi
yang sangat lemah, manajemen koperasi yang belum profesional, dan lalu lintas uang
yang beredar terbatas sehingga daya beli anggotanya lemah.

● Farah Bella Nurhadisya - Kelompok 8


Pertanyaan :
Bagaimana contoh konkrit dari penerapan konsep Nasakom pada regulasi koperasi
sebelumnya? dan apa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Jawaban :
Penerapan konsep Nasakom dapat dilihat pada UU No. 14 tahun 1965 tepatnya pada
Pasal 5 yang mengatakan “Koperasi, struktur, aktivitas dari alat pembinaan serta alat
perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotongroyongan nasional progresif
revolusioner berporoskan NASAKOM.”

● Auliya Rahmania - Kelompok 9


Pertanyaan :
Kemarin dijelaskan menurut kelompok kalian UU yang paling cocok ialah UU No. 25
Tahun 1992, namun saat ini sedang ingin dibuat UU baru mengenai perkoperasian
menurut kelompok kalian hal apa saja yang harus diubah dari UU No. 25 Tahun 1992
itu agar lebih cocok lagi untuk diberlakukan?
Jawaban :
Menurut kami tidak ada yang harus diubah dalam UU No. 25 Tahun 1992 karena UU
ini masih sesuai dengan prinsip-prinsip perkoperasian. Namun, kami berpendapat
bahwa UU No. 25 Tahun 1992 perlu disempurnakan dikarenakan menurut Laporan
Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perkoperasian Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Tahun 2015, undang-undang ini belum memuat antara lain:
1. Belum adanya sanksi terkait pelanggaran implementasi undang-undang
tersebut oleh Pengurus/Pengelola Koperasi;
2. Tidak adanya pengawasan dan pemeriksaan, lembaga pengawas Koperasi
Simpan Pinjam dan Lembaga Penjamin Simpanan;
3. Belum ada pengaturan pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran
dasar koperasi oleh notaris padahal koperasi merupakan badan hukum;
4. Belum adanya pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah;
5. Perlu untuk mempertegas peran dan fungsi Pengawas;
6. Pentingnya memperlakukan modal koperasi sebagai ekuitas.

14
● Zaskia Osya Denaya - Kelompok 10
Pertanyaan :
Apa contoh regulasi yang mencerminkan adanya politisasi doktrin nasakom dalam
regulasi koperasi pada 1965?
Jawaban :
Pada UU No. 14 Tahun 1965 definisi koperasi disebutkan bahwa koperasi sebagai
organisasi ekonomi dan Alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat masyarakat
menuju sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila. Walaupun berdasarkan Pancasila,
nyatanya isi dan jiwa dari undang-undang ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
itu sendiri. Pada masa ini, koperasi dijadikan alat perjuangan politik oleh golongan
tertentu dan berakibat koperasi kehilangan kemurniannya sebagai badan ekonomi
rakyat yang bersifat demokratis.

● Mutia Ramadina - Kelompok 11


Pertanyaan :
Apakah regulasi yang ada saat ini masih sesuai dan dapat digunakan dengan
memasukinya era revolusi industri 4.0? Apabila iya, mengapa? Apabila tidak, hal-hal
terkait apa saja saja yang perlu diubah seiring dengan dirumuskannya regulasi yang
baru?
Jawaban :
Menurut kami regulasi koperasi yang ada sekarang masih sesuai dan dapat digunakan
pada era revolusi industri 4.0, hal ini dikarenakan regulasi yang ada sekarang masih
menjunjung prinsip dari koperasi, yaitu one man one vote dan kesukarelaan, sampai
kapanpun prinsip ini harus ada dalam koperasi. Hanya saja regulasi yang ada sekarang
masih bisa disempurnakan lagi dalam rangka menghadapi era revolusi industri 4.0.
Penyempurnaan regulasi koperasi harus mampu membuat koperasi mudah beradaptasi
dan bertransformasi secara dinamis, regulasi yang ada juga harus mendukung koperasi
untuk bisa kreatif dan berinovatif dalam menjalankan bisnisnya, seperti
mengembangkan aplikasi online untuk pelayanan anggota, pelaksanaan rapat anggota
secara online, pemasaran produk melalui e-commerce, dsb.

● Ade surya kelana - kelompok 12


Pertanyaan :
Pada UU No. 14 Tahun 1965 dikatakan bahwa koperasi adalah alat revolusi. Mengapa
demikian?
Jawaban :
Karena di dalam UU No. 14 Tahun 1965 disebutkan bahwa koperasi secara definisi
adalah organisasi ekonomi dan alat revolusi yang berdasarkan Pancasila. Revolusi yang
dimaksud ini ialah sebagai perubahan perekonomian rakyat Indonesia dari jeratan
kesulitan dengan saran koperasi yang akan membantu rakyat mencari jalan keluar
dalam kesulitan ekonomi yang dialami. Namun pada kenyataannya walaupun undang-
undang ini berdasarkan Pancasila, isi dan jiwa dari undang-undang ini bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dapat dilihat dari penggunaan koperasi yang
dijadikan alat perjuangan politik oleh golongan tertentu.

15

Anda mungkin juga menyukai