Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL PENELITIAN

OPTIMASI PEMUTUSAN IKATAN SULFUR KERATIN PADA BULU AYAM


DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI PAKAN TERNAK

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK IV

RISMAH (1613140009)
DYAH AYUNDA PRATAMA P. (1613141003)
INDAH WAHDA (1613141008)

PROGRAM STUDI KIMIA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi saat ini berjalan seiring
dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, salah satunya kebutuhan terhadap
makanan bergizi. Salah satu sumber makanan bergizi yakni berupa protein
hewani. Adapun sumber protein hewani yang sangat banyak digunakan di
Indonesia adalah ayam Broiler atau ayam potong. Penggunaan ayam Broiler
sangat meningkat diberbagai kalangan mulai dari kebutuhan industri, rumah
makan ataupun kebutuhan rumah tangga. Industri pemotongan ayam merupakan
sumber limbah bulu ayam yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan
gangguan penyakit bagi masyarakat sekitar jika tidak dikelola dengan baik.
Saat ini sering dijumpai berbagai kendala dalam peninggkatan
produktivitas ternak. Salah satunya adalah ketersedian pakan yang berkualitas
rendah. Produktivitas ternak sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan yang
berkualitas tinggi, murah dan tersedia sepanjang tahun. Namun kenyataan yang
ditemui justru sebaliknya yaitu penyediaan pakan ditingkat peternak berkualitas
rendah. Hal ini berkaitan erat dengan ketersediaan sumber hijauan, khususnya
selama musim kemarau (Retnani, 2014).
Sumber protein pakan konvensional seperti bungkil kedelai, tepung
ikan dan tepung daging tulang sebagian besar merupakan bahan pakan yang
diimpor, sehingga menyebabkan harga pakan ternak semakin mahal. Disamping
itu, sebagian bahan sumber protein untuk pakan ternak juga dikonsumsi oleh
manusia. Keadaan ini jelas mengakibatkan kompetisi antara pemenuhan
kebutuhan untuk pakan dan pangan. Bertolak dari keadaan tersebut perlu dicari
kemungkinan pengganti bahan sumber protein pakan konvensional dengan bahan
lain yang penggunaannya tidak berkompetisi dengan kebutuhan untuk manusia,
ketersediaannya banyak dan tersedia sepanjang waktu serta mempunyai nilai
biologis yang baik untuk ternak yang mengkonsumsi. Salah satu contoh bahan
sumber protein tersebut adalah bulu ayam.
Ketersediaan bulu ayam cukup banyak yang bersumber dari rumah
potong ayam, namun penggunaannya secara penuh belum begitu banyak. Limbah
bulu ayam dapat diolah menjadi tepung bulu ayam. Namun rendahnya
penggunaan tepung bulu ayam sebagai bahan pakan sumber protein disebabkan
karena rendahnya kecernaan protein pada bulu ayam yang disebabkan oleh adanya
keratinisasi (Yaman, 2013). Keratin yang terkandung di dalam bulu ayam tidak
dapat diserap langsung oleh tubuh, karena itu dibutuhkan teknik pengolahan
tertentu untuk mempermudah proses penyerapan. Teknik pengolahannya dapat
dilakukan secara fisik, kimia dengan asam, kimia dengan basa, dan mikrobiologi
melalui fermentasi dengan mikroorganisme. Keempat metode pemrosesan
tersebut dapat meningkatkan kecernaan protein maupun kecernaan berat kering
Hidrolisat Bulu Ayam (HBA).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakuan
penelitian optimasi pemutusan ikatan sulfur keratin pada bulu ayam. Pada tahap
selanjutnya bulu ayam akan akan diolah menjadi hidrolisat bulu sebagai bahan
pakan ternak. Pada penelitian ini akan dilakukan optimasi pemutusan ikatan sulfur
keratin pada bulu ayam dengan hidrolisis asam dan uji in vitro.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diperoleh rumusan masalah diantaranya:
1. Bagaimana cara pemerosesan bulu ayam sebagai pakan ternak?
2. Bagaimana membuktikan ikatan sulfur keratin pada bulu ayam telah putus?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk melakukan optimasi pemutusan ikatan sulfur keratin pada bulu ayam.
2. Untuk membuktikan ikatan sulfur keratin pada bulu ayam telah putus.

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi Limbah Bulu Ayam


Populasi ayam broiler di Sulawesi Selatan cenderung stabil dan meningkat
dari tahun ke tahun. Ini terlihat dari data populasi ayam pedaging di Sulawesi
Selatan, dimana pada tahun 2002 populasinya 1527,835 ekor, menurun drastis
populasinya pada tahun 2004 hanya 5.673.758 ekor, kemudian meningkat lagi
cukup tajam di tahun 2005 mencapai 12.765.509 ekor. Tahun-tahun berikutnya,
populasi ayam pedaging terus menigkat (Ditjen Peternakan dan Dinas Peternakan
Propinsi Sulsel, 2011).
Bulu ayam dapat diperoleh dari Rumah Pemotongan Ayam (RPA).
Tepung bulu ayam dapat digunakan untuk menggantikan sebagian tepung ikan
dalam komposisi makanan ikan. Namun, bulu ayam memiliki keratin yang sulit
dicerna dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu penggunaan bulu ayam sebagai
pakan ikan sebaiknya dalam jumlah kurang dari 5% (Murtidjo, 2001).
Bulu ayam merupakan produk samping yang berasal dari pemotongan
ayam. Potensi bulu ayam sebagai salah satu komponen pakan sangat mungkin
mengingat perkembangan industri perunggasan di Indonesia berkembang pesat.
Seberapa banyak jumlah bulu ayam yang dapat diperoleh setiap tahunnya akan
sangat bergantung dari jumlah ternak ayam yang dipotong. Sebagian besar bulu
ayam dibuang di sekitar tempat pemotongan dan sebagai akibatnya menyebabkan
gangguan lingkungan. Sebagian kecil dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat
kemoceng, pengisi jok, pupuk tanaman atau kerajinan tangan/hiasan dan
shuttlecock. Pemanfaatan bulu ayam sebagai sumber protein pada ransum ternak
ruminansia belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan karena protein yang
terkandung di dalamnya sulit dicerna. Protein kasar bulu ayam termasuk dalam
jenis protein serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme
rumen maupun oleh enzim-enzim pencernaan pascarumen (Tilman, 1982).
B. Komponen Nutrisi Bulu Ayam
Bulu ayam merupakan salah satu limbah biologi yang kaya protein. Dari
hasil pemotongan satu ekor ayam dewasa dihasilkan limbah bulu ayam sekitar 5-7
persen dari berat tubuh totalnya Kandungan bulu ayam terdiri dari 91% protein
keratin, 1% lipid dan 8% air. Keratin bulu ayam tersusun atas beberapa asam
amino seperti glisin, alanin, serin, sistein dan valin, serta sedikit lisin, metionin
dan triptofan (Gupta, 2012)
Protein berasal dari bahasa Yunani yaitu protos berarti yang paling utama.
Protein adalah senyawa organik komplek berbobot melekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang di hubungkan satu
sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen,
oksigen dan juga sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan
fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Protein ini adalah salah satu
biomakromolekul yang penting peranannya untuk mahkluk hidup. Fungsi dari
protein secara garis besar dapat di bagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
sebagai bahan struktural dan juga sebagai mesin yang bekerja pada tingkat
molekuler Protein pada bulu ayam berupa protein fibrous. Protein bentuk serabut
(fibrous) ini terdiri atas beberapa rantai peptida berbentuk spiral yang terjalin satu
sama lain sehingga menyerupai batang yang kaku (Setyawati, 2018).
Keratin merupakan protein yang terdapat pada rambut dan kuku
(Suprayitno, 2017). Keratin ini didefinisikan oleh sejumlah besar asam amino
sistein. Dimana sistein ini adalah asam amino yang mengandung sulfur (s) dan
dapat membentuk sulfur-sulfur (s-s). Isi asam amino dari keratin ditandai dengan
konten sistin yang tinggi. Aktivitas kimia dari keratin terhubung dalam derajat
yang signifikan dengan isi sistein. Ikatan disulfida yang terbentuk antara dua
molekul sistein bertanggung jawab atas kekuatan tinggi dari keratin dan ketahanan
terhadap aksi enzim proteolitik. Ikatan silang terbentuk antara asam amino sistin
yang mengandung gugus –SH. Jika dua unit sistim berikatan, maka terbentuklah
sebuah jembatan disulfida –S-S melalui oksidasi-oksidasi gugus -SH. Protein serat
terbentuk sebuah jembatan dari molekul yang rapat dan teratur berupa ikatan
silang antara rantai-rantai asam amino yang berdekatan sehingga molekul air
sukar menerobos struktur ini, oleh karena itu protein serat tidak larut (hidrofobik).
Ikatan sistin disulfida atau Keratin yang merupakan serat protein yang banyak
terdapat pada lapisan pelindung pada manusia atau hewan, seperti pada kulit,
rambut atau bulu (Pearson, 1987)

Gambar 1 Keratin (www.sigmaaldrich.com)


Keratin merupakan protein struktural yang tidak larut dalam air yang
ditemukan pada bulu, rambut, kuku, tanduk dan jaringan epidermal lain yang
mengalami pengerasan. Polipeptidanya diikat padat dengan stabilitas yang kuat
oleh ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik, serta rantai proteinnya dihubungkan
oleh beberapa ikatan disulfida yang memberi stabilitas mekanik tinggi dan tahan
terhadap pendegradasi protein lainnya seperti pepsin, papain, dan tripsin sehingga
sulit didegradasi (Tosik, 2007).

Gambar 2 Struktur Keratin (www.pgbeautygroomingscience.com)


Keratin berbentuk tiga dimensi yang memiliki lilitan α-heliks atau lipatan
β sheet, dan tersusun atas atom karbon yang berikatan dengan gugus fungsional
(gugus amin-NH2 dan gugus karboksil-COOH), atom hidrogen dan gugus R
(sulfur) sesuai pada Gambar 2 Kandungan karbon yang tinggi mengakibatkan
keratin dapat bersifat fleksibel dan hidrofobik. Keratin juga tersusun atas 8%
jembatan sistein (ikatan disulfida) yang merupakan penghambat enzim proteolitik
biasa dalam mendegradasi keratin dan menjadi penentu kekuatan mekanik dari
keratin tersebut (Ketaren, 2008).
Protein keratin mengandung 14% sistin disulfida sebagai jembatan antar
molekul. Protein bulu ayam mempunyai ciri kaya akan asam amino bersulfur,
sistin. Adapun sifat fisik dari keratin adalah tidak larut dalam air. Keratin juga
sulit larut dengan pemanasan alkali dan tidak larut oleh enzim saluran pencernaan,
bahwa ikatan disulfida yang dibentuk antar asam amino sistin menyebabkan
protein ini sulit dicerna oleh enzim proteolitik dalam saluran pencernaan. Selain
ikatan disulfida, masih terdapat ikatan lain yaitu ikatan ester, ionik dan hidrogen.
Sifat-sifat tersebut menjadi faktor penghambat ketersediaan protein bulu ayam
bagi ternak (Aderibigbe, 1973)
Material yang kaya akan protein α-keratin adalah rambut, wool, sayap,
kuku. Cakar, duri, sisik, tanduk, kulit penyu dan lapisan kulit sebelah luar.
Sedangkan material yang kaya dengan protein β-keratin adalah sutera, bulu dan
jaringan laba-laba. Bulu ayam termasuk protein keratin dengan struktur α-helik.
Keratin ini yang terdapat di dalam kandungan bulu ayam yang dapat diekstraksi
untuk digunakan dalam berbagai keperluan (Feughalman, 1997).
Keratin tidak dapat larut dalam air dan senyawa organik. Sifat kimia
keratin adalah asam dan basa lemah. Hal ini ditandai dengan kandungan sistin
dalam urutan asam amino keratin dan dapat dihidrolisis dengan asam, dikurangi
dan dioksidasi. Kekuatan ikatan keratin dipengaruhi oleh dua molekul sistein yang
terikat oleh ikatan disulfida. Fraksi protein keratin digunakan dalam formulasi
krim perawatan anti-kerut, pelurus rambut sulfit, conditioner sampo dan
perawatan pribadi lainnya (Gupta, 2012).
C. Pengolahan Bulu Ayam sebagai Pakan Ternak
Keratin tidak dapat dirombak menjadi protein tercerna dalam saluran
pencernaan. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, bulu ayam harus
diberi perlakuan agar memecah ikatan sulfur dari sistin dalam bulu ayam tersebut.
Pengolahan tepung bulu ayam dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu
perlakuan fisik dengan temperature dan tekanan, perlakuan kimia dengan asam
dan basa, perlakuan biologi dengan enzim dan fermentasi dengan mikroorganisme
(Papadopoulos, 1985). Keempat metode pemrosesan tersebut menghasilkan
kecernaan dan nilai biologis hidrolisat bulu ayam berbeda-beda. Achmad (2001)
menyatakan bahwa HBA mempunyai kecernaan yang beragam, bergantung cara
pemrosesannya.
Adapun pengolahan tepung bulu dapat dilihat sebagai berikut.
a. Pengolahan secara fisik Limbah bulu ayam yang diproses menggunakan
teknik fisik yaitu dengan tekanan dan suhu tinggi pada suhu 105 °C dengan
tekanan 3 atm dan kadar air 40% selama 8 jam. Sampel yang sudah bersih
akan di autoklaf, kemudian dikeringkan dan siap untuk digiling. Pemrosesan
bulu dengan tekanan dan suhu tinggi telah dilakukan pada skala industri.
Pemrosesan ini menghasilkan kadar protein bulu ayam 76% (Adiati, 2004).
b. Pengolahan secara kimia dengan asam
Proses kimiawi dilakukan dengan penambahan HCl 12%, dengan ratio 2:1
pada bulu ayam yang sudah bersih, lalu disimpan dalam wadah tertutup
selama empat hari. Sampel yang telah direndam oleh HCl 12% kemudian
dikeringkan dan siap untuk digiling menjadi tepung. Puastuti (2004) telah
melaporkan bahwa pemrosesan bulu ayam menggunakan asam HCl 12%
dengan lama hidrolisis 4 hari tanpa pemanasan dan tekanan mampu
meningkatkan kecernaan bahan kering in vitro yang cukup tinggi yaitu
sebesar 59,83% dan kecernaan protein in sacco dalam rumen selama 24 jam
sebesar 53,34%.
c. Pengolahan secara enzimatis
Bulu ayam yang diproses dengan teknik enzimatis dilakukan dengan
menambahkan enzim proteolitik 0,4% dan disimpan selama dua jam pada
suhu 52 oC. Bulu ayam kemudian dipanaskan pada suhu 87 oC hingga kering
dan digiling hingga menjadi tepung.
d. Pengolahan secara kimia dengan basa
Pengolahan secara kimia menggunakan basa, dapat dilakukan dengan
menambahkan NaOH 6% disertai pemanasan dan tekanan menggunakan
autoclave. Bulu ayam yang sudah siap kemudian dikeringkan dan digiling.
Pemrosesan kimiawi dan basa menggunakan NaOH 6% dengan pemanasan
dan tekanan meningkatkan kecernaan bahan kering 64,4% (Puastuti, 2007).
e. Pengolahan secara mikrobiologi.
Proses hidrolisis bulu ayam menggunakan agen mikrobiologis, dilakukan
dengan menambahkan Bacillus licheniformis dan diinkubasi selama 72 jam.
Hasil analisis kecernaan terhadap protein bulu hasil pemrosesan dengan
Bacillus licheniformis sebesar 54,20% (Puastuti, 2007).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan dengan
hidrolisis asam dan analisis daya cerna in vitro.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia FMIPA UNM yang
berlangsung mulai bulan April 2019 sampai Mei 2019.
C. Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini adalah bulu ayam.
D. Alat dan Bahan
1. Alat yang Digunakan
Alat utama yang digunakan adalah wadah tertutup, oven, penggilingan,
neraca analitik, spaula, tabung reaksi, gelas ukur, cawan porselin, labu ukur,
inkubator, dan cruicible.
2. Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Bulu ayam, Asam Klorida
(HCl) 12 %, Aquadest (H2O), Pepsin, kertas saring.
3. Prosedur Penelitian
a. Preparasi sampel
Sampel bulu ayam dicuci dengan bersih untuk menghilangkan kotoran
kemudian dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC
selama 15 jam dan dimasukaan dalam wadah steril.
b. Perendaman dengan HCl
Sampel bulu ayam yang telah bersih ditimbang sebanyak 50 g. Setelah itu
ditambahan Asam Klorida (HCl) 12% dengan ratio 2:1, lalu disimpan dalam
wadah tertutup selama empat hari. Bulu ayam kemudian dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Bulu ayam digiling sehingga
menjadi tepung bulu ayam yang siap untuk di uji in vitro.
c. Analisis Daya Cerna In-Vitro
Analisis daya cerna in-vitro dengan metode pepsin. Timbang sampel
sedemikian rupa sehingga beratnya ± 0.5 kg bahan kering dan dimasukkan ke
dalam tabung centrifuge plastik yang volumenya 120 ml. Dalam setiap percobaan
diikutkan setiap 3 sampel yang mudah diketahui daya cerna in-vitronya atau sudah
ditentukan daya cerna in-vitronya beberapa kali dengan menggunakan metode
pepsin. Sampel yang akan diteliti ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke
dalam cawan porselin untuk ditentukan bahan kering dan bahan organik dilakukan
dengan duplikat.
Kemudian tambahkan 25 ml larutan asam-pepsin kedalam setiap tabung
tutup tabung dengan sumbat karet. Lalu inkubasikan sampel selama 72 jam pada
suhu 50 oC, selama inkubasi dilakukan pengocokan halus sebanyak 2 x sehari.
Kemudian isi sampel disaring pada tabung melalui crucible yang sudah
dikeringkan dan ditimbang sebelumnya, crucible yang digunakan adalah crucible
dengan prorocity 2. Keringkan crucible yang sudah mengandung sampel selama
semalam pada temperature 103 oC, kemudian timbang crucible pada sisa sampel
yang sudah dikeringkan.
Persentase daya cerna dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% Bahan Kering Tercerna = B – C × 100% = BK%
A
% Daya Cerna = 100% BK%
Keterangan :
A = Berat sampel bahan kering
B = Berat sintreglass sisa setelah di oven
C = Berat sintreglass kosong
DAFTAR PUSTAKA

Aderibigbe, A.O. And D.C. Church. 1983. Feather and Hair Meal for Ruminant. I.
Effect of Degree of Processing on Utilization of Feather Meal. J. Anim.
Sci. 56: 1198 – 1207.

Adiati, U., W. Puastuti, dan I.W. Mathius. 2004. Peluang pemanfaatan tepung
bulu ayam sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Wartazoa 14 (1):
3944.

Feughelman, Max.1997. Mechanical Properties and Structure of Alpah-Keratin


Fibres. Sydney: University of New South Wales Press.

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemist. USA: The McGraw-Hill


Companies, Inc.

Gandjar, I.G. dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Gupta, Arun., Nuruldiyanah Binti Kamarudin., Chua Yeo Gek Kee and Rosli Bin
Mohd Yunus. 2012. Extraction Of Keratin Protein From chicken Feather.
Journal Chemical Engineering. Vol. 6

Kar, A. 2005. Pharmaceutical Drug Analysis. India: New Age Publications.

Kazakevich, Y. dan LoBrutto, R. 2007. HPLC for Pharmaceutical Scientists. New


Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Ketaren, N. (2008) Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein


Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Medan: Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Murtidjo, Bambang Agus. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta:


Kanisius.

Pearson, Colin. 1987. Conservation Marine Archeological Objects. British:


Butterworth.

Puastuti, W. 2007. Teknologi pemrosesan bulu ayam dan pemanfaatannya sebagai


sumber protein pakan ruminansia. Wartazoa 17 (2) : 53-60.

Retnani, Yuli; I.G Permana; N.R Kumalasari; Taryati. 2014. Teknik Membuat
Biskuit Pakan Ternak dari Limbah Pertanian. Bogor: Penebar Swadaya.
Setyawati,Vilda Ana Veria., Eko Hartini. 2018. Dasar Ilmu Gizi Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta: Deepublish.

Suprayitno, Eddy., Titik Dwi Sulistyati. 2017. Metabolisme Protein. Malang: UB


Press.

Tosik, K. Adamiec, J. (2007). Biocomposites With a Content of Keratin from


Chicken Feathers. Fibres and Textiles. Vol 15 (1)

Yaman, Aman dan M. Agric. 2013. Ayam Kampung Pedaging Unggul. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai