Anda di halaman 1dari 167

MEMOAR OF JEDDAH

How Can I Not Love Jeddah?


Sanksi Pelanggaran Pasal ]2
Undang-Undang Nom or 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan per­


buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 49 Ayat
(1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan danfatau denda paling sedikit Rp1.ooo.ooo,oo (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.ooo.ooo.ooo,oo (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama s (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.ooo.ooo,oo (lima ratus juta rupiah).
MEMOAR OF JEDDAH
How Can I Not Love Jeddah?

Jihan Davincka

Penerbit PT Elex Media Komputindo

� KOMPAS GRAMEDIA
MEMOAROF JEDDAH
How Can I Not Love Jeddah?
Jihan Davincka
© 2013, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Hak cipta clilindungi undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kompas Gramedia, Anggoca IKAPI, Jakarta 2013
-

998131779
ISBN: 978-602-02-2097-0

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, acau memperbanyak sebagian acau

seluruh isi buku ini canpa izin cerculis dari penerbic.

Dicecak oleh Percecakan PT Gramedia, Jakarta


lsi di luar tanggung jawab percecakan
Daftar lsi

Prakata Penulis : Bahagia Meski Mungkin Tak


Sebebas Merpati... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . vii

Chapter 1 : Tak Kenai maka Tak Sayang................ 1


Chapter 2 : Saar Ka'bah Hanya Berjarak Satu Jam. 5
Chapter 3 : Never Judge a Book by Its Cover ........ 11
Chapter 4 : Ngabuburit ala Orang Arab................ 21
Chapter 5 : Bunda of Arabia (Behind the Scene) ... 27
Chapter 6 : Naik Haji via Jeddah .......................... 35
Chapter 7 : Bergaya dengan Abaya........................ 55
Chapter 8 : People We Haven't Met Yet................. 61
Chapter 9 : Perut Terjamin Lahir Batin di Jeddah.. 73
Chapter 10 : Melahirkan di Jeddah ......................... 83
Chapter 1 1 : Berakhir Pekan di Negeri Paman Syam 89
Chapter 12 : Rupa-Rupa Wajah Kota Jeddah .......... 97
Chapter 13 : Yanbu-Badr, dari Pantai
ke Padang Pasir .................................. 107
Chapter 14 : Thaif, Musim Semi di Gurun Saudi.... 119
vi Memoar of Jeddah

Chapter 1 5 : Al Hijr, Warisan Budaya Dunia


di Saudi............................................. 131
Chapter 16 : Berlibur Bersama Anak-anak
di Pantai Thuwal.. .. .. .... .. .. .. . . .. . . . . . . . . . . . . 141
Chapter 17 : Tunjukkan pada Saudi, Indonesia!...... 147
Chapter 1 8 : When One Door Closes,
Another Opens ............. ..................... 153

Daftar Pustaka................................... .. . . . . . ..................... 1 59


Riwayat Penulis. ...................................... . . .. .. .. . . . . . . . . . . . . . . 161
PRAKATA PENULIS:
ia Meski Mungkin
bebasMerp

" ah, rasanya seperti di Travalgar Square ya, Bang," ucap


W saya kepada suami hampir tiga tahun lalu. Ketika
itu kami sedang menuju Masjidil Haram di Mekkah sambil
menggandeng anak sulung saya. Anak kedua saya masih di
dalam kandungan.
Kami dikepung sekawanan burung merpati yang sibuk
menikrnati makanan yang dilemparkan oleh orang-orang
ke atas tanah. Namun, mereka langsung beterbangan begitu
langkah kami makin mendekat.
"Tuuuh! Ngapain jauh-jauh ke Eropa? Di sini juga ada,"
kata suami menggoda. lya, dia sangat tahu saya begitu ngebet
ke Eropa.
Burung merpati bukan ha! langka di Saudi. Mereka
mengepakkan sayap hampir di seluruh penjuru Saudi. Selalu
asyik berputar-putar di udara. Tidak perlu payah-payah
berburu makanan. Hampir tiap saat ada saja orang yang
melemparkan makanan pada mereka. Hidup hanya untuk
terbang dan makan. What a life.
Seminggu pertama di Saudi bosannya minta ampun.
"Jangan lama-lama, dong, di sini," saya merajuk pada
suami. "Aku ini harusnya udah ngambil S2 di kampus. Mau
viii Memoar of Jeddah

ngapain di sini? Serba dilarang. Bete, ah, lama-lama di sini.


Enggak berkembang."
Saat pertama menapakkan kaki, turun dari pesawat, saya
sudah tidak suka dengan perlakuan orang-orang sekitar. Ber­
lagak cuek tapi memandangi saya dari ujung rambut ke ujung
kaki. Sesekali bertanya, "Indonezi? Malayzi?" Saya malas mela­
deninya.
Saya hanya berdua dengan anak sulung ketika pertama kali
mendarat di Jeddah. Suami menjemput setelah bagian imigrasi
terlewati.

***

Saya ingin sekali tinggal di luar negeri. Bermukim, maksudnya.


Kalau untuk liburan, terus terang tidak terlalu ingin. Tempat
liburan terbaik dari pantai hingga gunung hanya ada di
Indonesia. Buat apa berlibur ke luar negeri? Salah satu pantai
terbaik itu ada di Losari, tempat kelahiran saya nun di kota
Makasar sana. Sudah pernah ke sana?
Luar negeri dalam benak saya dulu adalah memandangi
perkasanya Menara Eiffel, berjalan-jalan dan sibuk berfoto saat
bunga bermekaran di Keukenhof, atau sibuk melempar bola
salju dengan anak ketika musirn dingin tiba.
Saudi? Maaf, hanya untuk haji dan umrah. Tidak lebih!
Jadi, ketika tak ada pilihan selain memboyong anak dan
tinggal di Jeddah menyusul suami, saya enggak nyaman banget.

***
Prolcala Penulis ix

Ternyata saya belajar banyak dari kesempatan yang diberikan


Tuhan kepada saya, kesempatan untuk mencicipi kehidupan di
kota Jeddah. Mungkin mustahil bertemu salju di sini. Hujan
pun bisa tak muncul dalam setahun penuh.
Mungkin saya akan menghabiskan waktu dengan meman­
dang iri pada kawanan merpati yang wira-wiri di udara.
Jangan-jangan mereka sedang melihat ke arah saya sembari
mengejek, "Kasihan, deh, lo."
Teman-teman saya pun sering memberondong saya dengan
pertanyaan:
• Enak tidak, sih, pakai baju hitam di bawah teriknya
matahari?
• Gimana lo di sana kalau mau keluar-keluar?
• Eh, ada berita penyiksaan TKW tuh, Say. Bagaimana di
sana? Aman?
• Baju apa yang dijual di sana? Kasihan, ya. Abaya doang,
ya? Kan nggak boleh macam-macam bajunya.
• Gue mah Jee, uang nomor kesekianlah. Yang penting
kebahagiaan. Enggak usah suami sampai mesti kerja ke
Saudi segala.
• Gue nggak bisa ngebayangin dari pagi sampe malam di
rumah terus. Suami kan kerja dari pagi sampai sore.

Apa iya benar seperti itu?


Sesungguhnya, sengitnya mentari dan kakunya kehidupan
tak boleh diberi celah sedikit pun untuk menghalau keinginan
berbahagia. Bahagia itu bisa diciptakan. Tidak tepat jika kita
sibuk mencari akar permasalahan pada sesuatu di luar kuasa
kita. As we've heard, happines... is not given. It is made.
x Memoar of Jeddah

Percaya atau tidak, ada banyak hal lain di sini yang mungkin
tak akan saya jumpai dan alami di belahan bumi mana pun. Ada
banyak alasan untuk tersenyum sembari menjalani kehidupan
di Saudi, khususnya di kota Jeddah.
Seperti kata pepatah lama, "Bila kau tidak mendapatkan
apa yang kau inginkan, mungkin saja itu keberuntunganmu!"

***

Tentu saja, hidup di Jeddah juga banyak tantangannya.


Tapi namanya juga manusia, tempat salah dan lupa. Seringnya
kita terlalu sibuk mencari-cari yang tidak ada. Mengeluh soal
dikekanglah, soal sekolah anaklah, soal jauh dari orangtualah,
keterbatasan soal menyetirlah .... Sama. Saya pun kadang tak
lepas dari pikiran-pikiran seperti itu.
Saya seperti ingin terbang ketika akhirnya ada kesempatan
untuk tinggal di salah satu wilayah yang saya impi-impikan.
Saya berdiri di barisan paling depan buat menyemangati kala
suami saya menunjukkan keraguan untuk pindah dari sini.
Lucunya, ketika beberapa hari lalu suami berkata, "Nih,
tiket tanggal segini. Mulai packing-packing, gih," tanggapan
saya cak lain dan tak bukan adalah ... menangis! Begitulah. You
don't know whatyou'vegot until it's gone.
Siapa bilang bersabar dan bersyukur itu mudah? Namun
untuk rasa syukur yang memang berharga mahal itu, Allah
sudah menjanjikan ganjaran yang tidak sedikit.
"Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan,
'Sesungguhnyajika kamu bery
s ukur, pasti Kami akan menambah
{nikmat} kepadamu, dan jika kamu mengingkari {nikmat-Ku},
Pralcala Penulis xi

maka sesungguhnya azab-Ku sangatpedih. "'(QS. Ibrahim [14]:


7)
Saya persembahkan kumpulan kenangan yang saya ikat
dalam tulisan-tulisan ringan ini. Memoar ofjeddah. Kenangan
tentang sebuah masa yang mengajarkan banyak hal menarik
dalam hidup saya. Tiga puluh bulan yang indah di kota Jeddah.
Semoga bermanfaat pula untuk pembaca sekalian.

***

IRAQ
Amman

a1
J
Buraydah.
Dai
YPT
.Medina *

Yan bu Ri�
SAUDI ARABIA

Mecca
·
Jedd ah raif

SUDAN
Ab ha.

Jizan.

harto�r:n ERITREA Sana'a


• •
Asmara Yf �
"'


g
2 Memoar of Jeddah

A pa kira-kira respons pertama Anda jika suatu hari suami


.r\.berkata, "Bunda, Ayah dapat tawaran kerja di kota Jeddah,
nih! Ayah udah bilang oke. Kita pindah ke Jeddah, ya?"
Saya kaget. "Jeddah? Kok ke sana? Ngeri, ah. .."
.

Seharusnya saya senang. Dari dulu saya pengin banget


ngerasain tinggal di luar negeri. Kalau mendengar kata luar
negeri, yang terlintas di benak saya pastilah kota-kota di negara­
negara maju di Eropa, Arnerika, dan Australia, dan Asia.
Entah kenapa, tidak satu pun kota di Timur Tengah pernah
saya masukkan ke daftar I should live there someday. Kalau
untuk liburan bolehlah. Saya pengin ke Dubai, Abu Dhabi,
dan mungkin Doha. Tapi Saudi? Hanya untuk berhaji dan
umrah. Tidak lebih!
Jeddah? Duh, saya jarang mendengar tentang kota satu
ini. Selain itu, tidak pernah ada alasan untuk menaruh kata
"Jeddah" di kolom pencarian di berbagai mesin pencari yang
ada di internet. Yang saya sering dengar dari teman, saudara,
dan kenalan yang pernah melaksanakan ibadah umrah atau
haji adalah kota Mekkah dan Madinah. Selain pengalaman
religius yang menyentuh kalbu, ada pula beberapa selentingan
seperti, "Ah, Arab itu panas!" atau "Kotor, ah. Jorok banget!"
Dalam beberapa hari, logika saya normal lagi. Saya mulai
menodong si Mbah Google untuk mengeluarkan koleksi
informasinya tentang kota yang membuat saya merinding ini.
Beberapa blog muncul. Ada yang dengan datar mencerita­
kan suasana kota Jeddah yang ternyata dijejali pendatang,
mudahnya mendapatkan makanan Indonesia, dan banyaknya
mal. Terselip juga cerita-cerita tentang penyiksaan terhadap
para TKI/TKW nonformal asal Indonesia. Setelah saya telu-
Tak Kenai Maka Tak Sayang 3

suri, ternyata yang menulis blog itu laki-laki. Wajar saja dia
sering berjalan-jalan karena dia laki-laki.
Saya mempersempit pencarian dengan mengetikkan kali­
mat "kehidupan perempuan Indonesia di kota Jeddah" di
kolom pencari.
Jeng. . . jeeeng...! Muncul beberapa blog lain. Ada kisah
sebuah keluarga yang sedang berlibur tapi membahas pantai
Jeddah yang kotor, jorok, serta minim fasilitas. Ada blog
yang kebanyakan isinya tentang kebiasaan si ibu yang suka
mengotak-atik menu dapur. Lalu, ada blog yang didominasi
kisah-kisah spiritual selama tinggal di Jeddah.
Puncaknya adalah ketika saya menemukan kalimat ini di
salah satu blog tersebut, "Berada di kota ini membuat saya
berada di titik terendah dalam kehidupan saya."
Cukup sudah!
Saya panik dan buru-buru bilang ke suami, "Enggak mau
ke sana. Lihat dong banyak berita penyiksaan TKW asal nega­
ra kita di sana. Tega sekali mau membawa keluarga hidup di
sana.
"

Namun, saya gentar juga ketika suarni mulai berargumen


panjang lebar. Sepertinya, jalan terbaik adalah berangkat
menyusul suami. Saya pun pasrah. "Ya sudah, kita lihat saja
.
nanu, gumarn saya.
"

Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pepatah. Ternyata,


pepatah lama ini benar-benar menunjukkan tajinya, Lebay
benar saya dengan segala pikiran sempit tentang Jeddah, pada­
hal berangkat saja belum.
Ternyata ada banyak ha! menyenangkan di Jeddah yang se­
lama ini tersimpan rapi entah di mana. Banyak ha! seru yang
4 Memoar of Jeddah

gaungnya terlalu lemah karena tertimbun kisah-kisah dengan


nada berbeda tentang kota ini. Namun, tak dimungkiri, ke­
hidupan sehari-hari perempuan di kota Jeddah memang me­
miliki banyak "dinding pembatas" dibandingkan dengan wi­
layah lain di berbagai belahan dunia.
Beberapa informasi yang mungkin belum pernah muncul
akan dikisahkan dalam lembaran-lembaran buku ini.

***

IRAQ
Amman

a1
J
Buraydah.
Dai
YPT
.Medina *

Yan bu Ri�
SAUDI ARABIA

Mecca
·
Jedd ah raif

SUDAN
Ab ha.

Jizan.

harto�r:n ERITREA Sana'a


• •
Asmara Yf §l
"'


g
6 Memoar of Jeddah

alah satu obrolan yang lazim terjadi saat akhir pekan di


S Jeddah adalah seperti ini.
"On call nggak, Bang?"
" Enggak"
.
h, yuk ."
"Umra
"Yuk."
"Abis aku nyuapin dan mandiin anak-anak, kita langsung
berangkat."
"Oke."
Ada berapa tempat di dunia ini yang memungkinkan per­
cakapan tersebut terjadi? Jika Anda bermukim di negara Saudi
pun, Anda belum tentu bisa memutuskan untuk umrah dalam
hitungan detik. Kota Madinah saja berjarak ratusan kilometer
dari Mekkah. lbu kota Saudi, Riyadh, malah berjarak lebih
dari seribu kilometer.
Salah satu tempat "penuh berkah" tersebut adalah kota
Jeddah. Berjarak hanya sekitar 70 kilometer dari Rumah Tuhan.
Dalam tempo satu jam sejak mobil meninggalkan pelataran
parkir apartemen, kami sudah berhadapan langsung dengan
bangunan hitam yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil
Haram itu. Waktu satu jam itu sudah mencakup waktu untuk
mencari tempat parkir dan berjalan kaki dari basement mal ke
dalam masjid.

***

ltu baru soal jarak, belum soal biaya. Berapa biaya yang harus
dikeluarkan jamaah umrah asal tanah air? Minimal belasan
juta. Bahkan ada biro perjalanan yang mematok biaya di atas
Saat Ka'bah Hanya Berjarak Satu Jam 7

20 juta rupiah. Di Jeddah, kami tinggal naik mobil untuk


mencapai Masjidil Haram.
Kalau naik mobil, kan, tetap harus bayar bensin?
Tetap saja jauh lebih murah daripada biaya yang harus di­
keluarkan oleh jamaah yang berangkat dari Indonesia. Di sini
harga bensin hanya Rpl.000 per liter, padahal jenis bensin
yang dijual umum di seluruh penjuru Saudi berlevel pertamax
semua. Betul, level pertamax dengan harga seribu perak per
liter.
Sekarang soal waktu umrah.
Saat umrah dan berkesempatan mengunjungi kami, ibu
saya menyeletuk, "Aduh, penuh juga, ya. Kasihan anak-anak­
mu kalau dibawa umrah."
Selain jarak dan biaya, kami, para pemukim di Jeddah, juga
beruntung soal waktu dan frekuensi melaksanakan umrah.
Kami punya pilihan untuk berziarah ke Tanah Suci pada saat­
saat lengang.
Pemerintah menutup visa umrah setelah Idul Fitri karena
akan bersiap-siap menyambut kedatangan jamaah haji dari
seluruh penjuru dunia.
Pada masa iculah, selama sekitar dua minggu kami dapat
mengunjungi Mekkah dan Madinah yang masih terbilang
sepi. Berapa orang yang diberikan rezeki merasakan tawaf da­
lam 10 menit saja?
Begitu musim haji berlalu, visa umrah kembali dicucup.
Waktu berleha-leha lebih panjang, sekitar dua bulan. Pada saat
inilah biasanya kiswah, kain hitam penutup Ka'bah, diganti.
Biasanya, beberapa tempat di dalam masjid ditutup untuk
renovasi.
8 Memoar of Jeddah

Bagaimana dengan naik haji?


Suatu waktu, saat saya pulang liburan, teman saya mengeluh,
"Gila. Se karang ngantre haji bisa tujuh tahun. Ampun, deh.
Gue masih nabung, nih, buat bayar uang mukanya. Kalau
uang muka sudah lunas, baru bisa masuk antrean."
Saya bertanya, "Berapa uang mukanya?"
"Dua puluh lima jutaan. Kalau berdua suami jadi lima pu­
luh. ltu belum termasuk biaya lain-lain."
"ONH plus saja."
"Lu kira berape? ONH plus yang saudara gue pakai bisa
80 jutaan. ltu pun ternyaca bukan yang mewah-mewah amat.
Kalau berdua 160 juta, dong."
Saya mengangguk-angguk penuh empati. "Ooohhh ...."
"Makanya, lu beruntung. Enggak banyak cing cong tahu­
tahu sudah hajian saja. Selamat ya, Say."
Tepat sekali. Saya malah berhaji dengan rencana agak da­
dakan. Setelah Hari Raya Idul Fitri berlalu pun saya tidak
menyangka akan mendapat kesempatan naik haji. Bukannya
tidak ada keinginan, tetapi pertimbangan saya cukup banyak.
Yang terutama adalah karena anak bungsu saya belurn berusia
dua tahun.
Kami mendaftar sebulan sebelum periode wukuf. Biayanya
hanya belasan juta rupiah. Mendaftar di hamla lokal yang
dikelola orang Arab asal Saudi bisa lebih murah kalau mau.
Namun, karena kami memboyong si kecil, kami berusaha
memilih biro haji yang nyaman clan tidak terlalu mahal.
ltu baru soal biaya. Pada tahun yang sama, ada dua kera­
bat suami yang juga melaksanakan ibadah haji. Keduanya
Saat Ka'bah Hanya Berjarak Satu Jam 9

menggunakan program haji reguler dari tanah air. Miris rasa­


nya ketika mengetahui fasilitas yang mereka dapatkan.
Bayangkan. Mereka hanya mendapat jatah makan dengan
!auk super sederhana. Makanan dibagikan dengan sistem an­
trean. Tidur tanpa alas kasur di tenda Mina. Boro-boro ada
selimut, bantal saja tidak ada. Tendanya cukup sesak sehingga
untuk tidur pun tak mungkin meluruskan kaki. Kamar mandi
sangat terbatas. Tante bahkan mengeluh ada jamaah yang
nekat membuang air di tempat wudhu. Selain itu, perjalanan
untuk melontar jumrah ditempuh dengan berjalan kaki pulang
pergi selama tiga hari penuh-bahkan empat hari untuk yang
mengambil nafar tsani.
Berhaji dengan hamla lokal Arab? Makanan berlimpah
ruah dan diantar ke tenda masing-masing. Jangankan repot
mengantre, keluar tenda saja tidak perlu. Meja panjang di se­
lasar tenda pun tak pernah kosong oleh makanan. Rak-rak
lemari pendingin selalu terisi penuh dengan minuman kaleng.
Makanan kecil diantarkan tiap hari-pagi, siang, dan sore.
Kami tidur menggunakan tempat tidur. Ada kasur, bantal,
lengkap dengan selimut. Satu orang di satu kasur. Di tengah­
tengah tiap tenda ada ruangan cukup luas untuk makan bersa­
ma atau tempat bermain anak-anak.
Kamar mandinya cukup memadai. Bahkan ada petugas
yang membersihkannya dua-tiga kali sehari. Jarang sekali ha­
rus mengantre.
Melontar jumrah? Pulang pergi naik kereta yang ber-AC.
Lokasi tenda hamla kami di Mina sangat dekat dengan stasiun
kereta.
10 Memoar of Jeddah

Masya Allah, rasanya tak akan cukup rasa syukur yang ter­
ucap untuk pengalaman haji via Jeddah ini.

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara Yf i o
::;;
"'


g
12 Memoar of Jeddah

can't find halawa here. Doyou know where I can find one?"
I saya bertanya sesopan mungk.in pada seorang wanita
Arab di sebelah saya. Kami berdua sedang berada di dalam
supermarket. Sibuk berbelanja di rak yang sama.
Dia bengong sebentar, tampaknya tidak mengerti.
Baiklah. Mari berbahasa Arab. Saya gelagapan karena bahasa
Arab saya pas-pasan. "Halawa, halawa. Ummm... sukkar. Fen
halawa? Ma'alish, mafi Arabic. "1
Barulah dia mengangguk-angguk. Dia menjelaskan dengan
bahasa Arab sambil tangannya sibuk mengarahkan. Saya
mengangguk-angguk kecil padahal sebenarnya, "Sumpah, gue
nggak ngerti." Hehehe.
Saya akhirnya memilih pergi saja. Tiba-tiba dia kembali
memanggil, saya menengok.
Dia bertanya penasaran, "Filipino? Malayzi?"
Saya tersenyum, "lndonezi."
Matanya membesar. la menepuk bahu saya. '7ndonezi?
Speak English? Masya Allah!"
Ya, begitulah (mungk.in) pandangan sebagian besar orang
di Jeddah terhadap perempuan Indonesia. Seorang perempuan
Indonesia yang bisa berbahasa lnggris (apalagi tidak bisa ber­
bahasa Arab) akan dianggap sebagai sesuatu yang istimewa.
Setidaknya saya sudah kenyang banget dengan pengalaman,
"You lndonezi? Speak English? May
s a Allah!"
Pengalaman saya tidak terbatas kepada perempuan-perem­
puan Arab yang ternyata banyakjuga yang tidak fasih berbahasa
lnggris. Saya pernah mendapatkan pengalaman yang sama saat

1 "Halawa, halawa. Ummm


.. . manisan. Di mana manisan, ya? Maaf, saya tidak bisa
berbahasa Arab."
Newtr Judge a Book by Its Cover 13

berobac ke bagian unit gawac darurat Rumah Sakic Bugshan,


salah sacu rumah sakit swasta di Jeddah. Dokternya adalah
laki-laki yang sangat ramah dan sopan, berasal dari Mesir. Oh,
ya, katanya sebagian besar dokcer di Saudi memang berasal
dari Mesir.
Kami sudah mengobrol dengan akrab selama hampir se­
tengah jam dalam bahasa lnggris. Mungkin Pak Dokter ber­
usaha mencairkan suasana. Dia pasti melihac kalau saya keca­
kucan dan gemecar, padahal cuma operasi kecil di bagian jari
tangan.
Dia kaget sekali ketika saya bilang saya dari Indonesia.
Sedari tadi dia berpikir saya orang Filipina atau Malaysia. Se­
cara fisik memang cerdapat banyak kemiripan antara kica dan
penduduk kedua negara tetangga tersebut.
Sudah pakemnya di Jeddah, perempuan yang bisa berbahasa
Inggris PASTI dari Filipina atau Malaysia. Perempuan
Indonesia? Harusnya lancar berbahasa Arab dan profesi mereka
pastilah TKW
Diskriminatif? Tidak juga. lni lebih karena kondisi ling­
kungan.

***

Meskipun saya tidak punya data akuratnya, terlihat jelas bahwa


sebagian besar perempuan Indonesia yang datang ke Saudi
berprofesi sebagai TKW Mereka menguasai sektor domestik,
pekerja rumah tangga atau pengasuh anak.
Memangnya yang dari Filipina enggak ada? Malaysia?
Bangladesh? Pakistan?
14 Memoar of Jeddah

Dari Filipina memang ada, banyak juga jumlahnya. Mereka


mendominasi di beberapa sektor formal. Saya nyaris tak
pernah bertemu suster yang berkebangsaan BUKAN Filipina
di rumah sakic besar di Jeddah. Admin-admin rumah sakit pun
sebagian besar berasal dari Filipina. Dari petugas lab, petugas
apotek, hingga customer service. Perempuan Indonesia ada juga
tapi kebanyakan menjadi petugas kebersihan.
Malaysia? Jangan sirik. Tak ada TKW Malaysia di sini.
Ditambah lagi, menurut suami, tenaga kerja laki-laki yang
datang dari Malaysia rata-rata berstatus mohandis/engineer
(insinyur). Jadi, para perempuan asal Malaysia bisa dipascikan
istri mohandis (atau level lain di atas mohandis). Ditambah
lagi mereka rata-rata fasih berbahasa lnggris, bahasa kedua di
negeri jiran tersebut.
Bangladesh konon tidak mengirimkan TKW secara legal.
Pakistan juga. Namun, ada juga perempuan asal negara-negara
tetangga India yang bekerja di sektor domestik. Kemungkinan
cidak legal dan jumlahnya terbatas.
Saya tidak marah kepada para TKW Hormat saya setinggi­
tingginya kepada perempuan-perempuan luar biasa ini. Saya
berdiri di barisan penentang moratorium. Menurut saya pri­
badi, pemerintahlah yang gaga! melindungi mereka di sini. Tak
kuasa menyediakan lapangan kerja di tanah air tapi melarang
mereka mencari rezeki di negeri orang.
Tidak seperti pemerintah Filipina. Negara tetangga sacu ini
mungkin paham betul kekurangan mereka dalam menghidupi
seluruh rakyatnya. Mereka dengan sigap membaca kesempatan
di luar negeri dan mengirimkan warganya. Mereka tak lupa
Newr Judge a Book by Its Cover 15

memberikan jaminan clan perlindungan penuh beserta keter­


ampilan yang mumpuni.
Ketika masa melahirkan, saya menggunakan jasa seorang
asisten rumah tangga asal Madura. Dia pernah foto anaknya
yang mengenakan seragam SMP. "Saya yang ngongkosin dia
bisa sekolah setinggi ini, Ning," ujarnya dengan bangga. Ning
adalah sebutan untuk perempuan dalam bahasa Madura.
Proud ofyou, Mbak.

***

Posisi saya cukup dipersulit oleh penampilan fisik suam1.


Biarpun perawakannya tidak sebesar orang-orang Arab pada
umumnya, tingginya mencapai 180 sentimeter. Hidungnya
mancung, berjanggut, dan berkumis. Pasrah deh, (mungkin)
akan sering disangka, "TKW yang sukses menikahi majikan
Arabnya." Hehehe.
Misalnya di Masjidil Haram. Sebagian besar petugas ke­
bersihan di sana perempuan Indonesia, lho. Mereka semua
bercadar.
Anak sulung saya adalah fotokopi bapaknya. Rambut ke­
cokelatan, kulit kuning langsat cerah, hidung tidak pesek, dan
sangat aktif seperti anak-anak kecil Arab pada umumnya.
Seperti biasa, saya paling senang mengobrol dengan siapa
saja. Jadilah saya sering terlibat percakapan ringan dengan para
petugas kebersihan di Masjidil Haram.
Ketika asyik berbincang, ada yang bertanya pada saya,
"Kamu dapat orang sini, ya?"
16 Memoar of Jeddah

Oh, ya, mereka suka "berkamu-kamu" pada kita. Jangan


tersinggung, ya.
Saya kaget. "Hah?"
"ltu anaknya Arab begitu."
"Bukan, bukan. Suamiku orang Indonesia juga, Mbak."
"O 00hhh .... "
Entahlah apa yang ada di pikirannya waktu melihat suami
saya datang ke arah saya. Otak saya yang suudzon berpikir,
mungkin dalam hati dia kesal, "Dasar tukang bohong. Sua­
minya memang orang Arab. Malu, kali, kecahuan kawin sama
majikannya."

***

Meng-upgrade penampilan mungkin cukup menolong. Manu­


sia memang tak mudah lepas dari stigma sosial. Saya pun
<lulu berpikir perempuan Saudi pasti congkak minta ampun.
Sampai akhirnya saya berobat dan dapat dokter perempuan.
Kata suami, melihat namanya, dia pasti orang Saudi
asli. Mungkin saja. Penampilannya bercadar pula. Biasanya
perempuan Arab berkebangsaan lain (selain Saudi) tidak
banyak yang bercadar.
Masya Allah, dokternya sangat ramah, padahal saya sudah
berburuk sangka ketika dia menanyakan kebangsaan kami.
Saya sudah pasrah, begitu saya bilang orang Indonesia, dia
pasti langsung berubah sikap. Ternyata enggak, lho. Malah
baik banget.
Beliau ini seorang dokter kulit. Dengan sopan dia me­
neliti sela-sela jari saya yang kena semacam kudis. Dia men-
Ntwer Judge a Book by Its Cover 17

jelaskan panjang lebar, mungkin kulit saya sensitif. Dia pun


menyarankan menggunakan sarung tangan.
Saya bertanya, ''ls this contagious?"
Dia menggeleng-geleng ramah. Saya bisa menangkap se­
buah senyuman melalui pandangan matanya.
Saya iseng mengusap-usapkan tangan saya ke suami. Suami
langsung menghindar. Dia memang agak jijik. Kami berdua
cekikikan di hadapan sang dokter. Beliau malah ikut tertawa­
tawa. Mudah-mudahan enggak kapok kedatangan pasangan
suami istri gila ini. Hehehehe.
Saya selalu berprasangka bahwa perempuan Arab asli
Saudi sombong minta ampun. Saya pikir mereka juga kaku.
Apalagi jika menghadapi "kasta rendah'' macam perempuan
Indonesia yang datang membawa penyakit kulit di sela-sela
jari tangannya. Ternyata, pengalaman membuktikan bahwa
tak selamanya asumsi kita benar.

***

Sedihnya, stigma yang sama juga datang dari jamaah haji asal
Indonesia. Mungkin tidak semuanya.
Saya pernah menerbitkan sebuah buku secara indie. Judul­
nya Bunda ofArabia. Proses pencetakannya di Indonesia. Saya
menitipkan buku-buku tersebut pada ibu, sewaktu beliau da­
tang ke Saudi untuk umrah. Sewaktu ibu akhirnya datang
dengan membawa puluhan eksemplar buku tersebut, saya su­
dah siap mental melakukan direct marketing.
Penuh percaya diri saya mengajak suami ke Masjid Apung
di Corniche. Mantap menyambangi jamaah haji asal Indonesia
yang bisa dipastikan akan ke sana tiap ke Jeddah.
18 Memoar of Jeddah

"Permisi, Bu. Mau beli buku Bunda ofArabia? lsinya ten tang
pengalaman ibu-ibu Indonesia yang tinggal di Jeddah."
Sebagian ada yang tertarik dan mendekat. Mereka melihat­
lihat sampul buku itu sambil bertanya, "Kok bisa keluar ru-
"
m ah�.
"Bisa dong, Bu."
"Oooh, dapat libur juga, ya. Baik, ya, majikannya."
Sakit hati juga. Padahal saya sengaja mengenakan kacamata
hitam yang trendi dan abaya saya yang terbaik.
Tidak cuma itu, mereka enggak beli! Sibuk berempati tidak
jelas. Jadi, saya pindah ke grup lainnya dan memulai dengan
kalimat yang sama.
Kali ini dijawab dengan, "lkut suami apa bagaimana,
Mbak?"
Wah, ada harapan, pikir saya. "Ikut suami, Bu."
"Kok bisa, ya, bawa istri? Katanya susah, lho. Kemarin saya
diceritain sopir taksi, katanya susah bawa istri."
Belum sempat saya menjawab, temannya menyambar,
''Ada yang bisa kali. Kan tergantung majikan. Sopir kan juga
"
macarn-macarn.
Aduh, malah makin sakit hati. Cukup sudah. Sekali itu saja
saya nekat ke Masjid Apung. Suami terus sibuk membujuk,
katanya latihan mental.
Di Masjidil Haram, anak saya pernah diberi uang oleh se­
orang jamaah perempuan asal Indonesia. "Belajar yang rajin.
Ingat kerja keras Ibu."
Tapi dapat rezeki tidak boleh sakit hati. Senang malah.
Saya meminta anak saya untuk menerima uang kertas 10 riyal
tersebut dan mengucapkan terima kasih. Syukran.
Newtr Judge a Book by Its Cover 19

Tentu saja, hidup itu intinya belajar. Mengambil hikmah dari


tiap pengalaman. Biarpun marah dan sakit hati, setidaknya
saya belajar kalau diperlakukan seperti itu rasanya tidak
menyenangkan.
Jadi, jangan lakukan hal yang sama pada orang lain!
Saya belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain
hanya gara-gara stereotip yang menempel pada mereka. Misal­
nya asumsi bahwa perempuan Arab biasanya angkuh. Ternyata
ada juga perempuan Arab yang menyenangkan. Ketika me­
laksanakan ibadah haji kemarin, satu tenda di Mina berisi
perempuan Arab, kecuali saya. Rasanya sudah seperti keluarga
saja. Mereka sopan dan ramah.
Perempuan asli Saudi ternyata ada juga yang baik hati, seperti
dokter kulit yang sempat menangani saya. Menggunakan
cadar tapi bisa berbicara dengan bahasa yang jelas. Tadinya
saya sering mengeluh kalau berhadapan dengan perempuan
bercadar yang ngomongnya seperti orang kumur-kumur.
Bukan cadarnya, tetapi cara berbicara tiap orang yang berbeda.
Urusan mengubah penampilan bukan hal yang sulit
buat saya. Kalau mau, berbagai merek papan atas sanggup
saya koleksi. Tidak bermaksud menyombongkan diri, ya.
Penghasilan suami sebagai engineer di Jeddah tidak sedikit.
Penghasilan besar dan tanpa dikenakan pajak pula.
Namun, jangan lupa pepatah salah satu orang terkaya di
dunia, Warren Buffet, bahwa "manusia yang membuat barang".
Jangan sampai kita yang didikte oleh barang. Saya tak pernah
sudi dinilai berdasarkan apa yang menempel di badan saya.
Oleh karena itu, saya pun tak pernah menimbang-nimbang
lawan bicara saya berdasarkan "harga" di sekujur tubuhnya.
20 Memoar of Jeddah

Sebagai muslim, saya percaya bahwa Allah sudah menetap­


kan parameter kesempurnaan tiap insan.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di
sisi Allah adalah yangpaling bertakwa. "(QS. Al-Hujurac [49]:
13)
Lagi pula, sebuah pepacah mengatakan, "Kalau Anda me­
nilai orang lain hanya dari penampilan (atau suku bangsa),
Anda akan kehilangan banyak kesempatan bercemu orang­
orang hebat."

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
22 Memoar of Jeddah

T
ahun 2012 adalah Ramadhan ketiga saya di negeri pa­
dang pasir ini. Tentulah banyak penyesuaian yang perlu
dilakukan.
Saat-saat Ramadhan dan Hari Raya, rasa kangen pada ke­
rabat tercinta di Indonesia pastilah sedang sengit-sengitnya.
Untunglah di sini pun banyak teman baru yang tak kalah seru.
Oulu saya membayangkan seperti apa, ya, orang-orang
Arab menjalani bulan penuh berkah ini? Pastilah lebih ekstrem
daripada kita di tanah air. Saya pikir, mal-mal pasti tutup
penuh saat bulan Ramadhan. Mengenai mal, jangan tanya ada
berapa ma! di salah satu kota besar negara Saudi ini. Banyak
banget dan besar-besar.
Pada tahun pertama merasakan Ramadhan di sini, saya he­
ran melihat tetangga depan apartemen saya-yang juga dari
lndonesia-selalu keluar rumah sekitar pukul sepuluh malam.
Saya tahu itu karena selain jarak pintu apartemen kami cuma
4-5 meter, ketiga anak mereka bawel minta ampun.
lni bukan cuma beberapa kali tetapi hampir tiap hari. Saya
tidak tahu jam berapa mereka pulang. Saya bingung. Ke mana
mereka jam segitu, ya? Saya menyimpan rasa penasaran saya.
Tidak mungkinlah saya menginterogasi mereka.
***

Di Indonesia, saat Ramadhan tiba, toko-toko malah tutup


lebih cepat, bukan? Namun, di Jeddah berbeda. Pagi hari di
bulan Ramadhan Jeddah memang bagaikan kota mati. Nyaris
tidak ada aktivitas apa-apa. Semua anak sekolah pun wajib li­
bur. Hanya orang kantoran yang berlalu lalang di jalan raya.
Toko-toko kelontong tutup semua. Semua gerai dalam mal pun
tutup, kecuali tempat-tempat seperti Hyperpanda, Danube,
Ngabuburit ala Orang Arab 23

dan Bin Dawood. Ketiga tempat itu semacam Carrefour kalau


di Indonesia.
Suasana senyap ini berlangsung hingga waktu Ashar tiba.
Setelah Ashar, barulah beberapa gerai dalam ma! buka. Tempat
makan juga sudah muJai dibuka. Selepas Maghrib, mereka se­
rempak tutup lagi. Sehabis lsya, barulah kehidupan dimulai!
Selama bulan Ramadhan, aktivitas rutin saya tetap seperti
biasa. Saya tetap tidur paling lambat pukul sebelas malam.
Hingga kemudian tiba jadwal belanja bulanan. Suami meng­
ajak keluar selepas lsya saja.
Bukan main suasana jalan raya saat itu. Macet di mana­
mana. Semua orang seolah tumpah ruah di jalan.
Kami parkir seperti biasa, lalu masuk ke ma!. Jeng...jeeeng...!
Ramainya minta ampun! Antrean di kasir supermarket pun
luar biasa. Padahal, saat itu sudah lewat pukul sepuluh malam
dan bukan akhir pekan!
Acara belanja itu baru selesai pukul satu dini hari. Suasana
di dalam ma! masih hiruk pikuk. Bisa dibilang semua gerai
buka, termasukfood court.
Barulah saya mengerti ke mana tetangga saya menghabiskan
waktu malam mereka. Konon, ha! tersebut berlangsung hingga
waktu Subuh tiba. Setelah subuh, semua toko akan tutup se­
perti biasa dan pelan-pelan "pesta" pun berakhir.
lnilah yang dimaksud teman saya dengan "Ramadhan di
Saudi, siang jadi malam, malam jadi siang."
Pantas saja dari pagi hingga sore hari pada bulan Ramadhan
kebanyakan orang Arab malah tidur. Kata suami saya, mereka
ngabuburit sehabis lsya, menunggu sahur. Beda dengan ke­
biasaan di tanah air yang ngabuburit menjelang jadwal berbuka.
24 Memoar of Jeddah

Rasanya aneh juga. Saya tak terbiasa menghabiskan waktu


puasa pada siang hari dengan berdiam diri di rumah. Main ke
rumah teman pun nyaris tak mungkin. Sebagian besar teman
saya sudah mengikuti pola hidup seperti ini jika Ramadhan
tiba. Mau berjalan-jalan pun susah karena tidak ada toko dan
pasar yang buka pada siang hari.
Tapi kan enak bisa melaksanakan umrah Ramadhan?
Duh, jangan tanya ramainya orang-orang mengerumuni
Ka'bah clan Masjidil Haram pada bulan Ramadhan. Ingat,
Ramadhan tidak seperti waktu berhaji. Jika pada musim haji
ada pembatasan jumlah jamaah, untuk umrah Ramadhan
tidak ada batasan sama sekali.
Puncak keramaian terjadi sehabis Ashar hingga waktu
Subuh. Ketika Subuh berakhir, jumlah jamaah berangsur­
angsur berkurang biarpun tak bisa dibilang sepi. Tak banyak
orang memilih melakukan ritual umrah pada siang bolong.

***

Meskipun keadaannya sangat berbeda, lama-kelamaan saya


menik.mati bulan Ramadhan di kota yang berjarak 70 kilometer
dari kota Mekkah ini. Memang, rasa rindu pada keluarga tak
kunjung habis. Saya juga bingung kenapa di sini orang malah
"dugem" saat bulan puasa, ya?
Mau tak mau sesekali kami pun ikut ngabuburit ala mereka,
dugem tengah malam demi anak-anak. Kasihan, kan, mereka
tidak ada hiburan. Di lain waktu, saya janjian dengan teman
agar anak-anak kami bisa main bersama pada siang hari.
Ngabuburit ala Orang Arab 25

Aduh, saya sering merasa beribadah puasa di sini malah ti­


dak k.husyuk. Bagaimana mau menikmati bulan penuh berkah
ini?
Namun, akhirnyasaya menyadari beberapa hal. Ngabuburit­
nya boleh beda, tetapi ibadah puasanya bukan hak kita, sesarna
manusia, untuk rnenilai. Lagi pula, urusan rnenikmati ternyata
"Happiness is not given. It
bisa selesai dengan kalimat sakti ini,
is made. "Kan ada lagunya, tuh. Di sini senang, di sana senang,
di mana-mana hatiku senang.
Berpuasa itu pada intinya adalah beribadah kepada Allah.
Seharusnya kita bisa merasakan kehadiran-Nya di mana saja,
apa pun suasananya. Nik.mat berpuasa ada dalam diri sendiri,
bukan karena suasana lingkungan dan orang-orang sekitar.
Selarnat menjalankan ibadah puasa di mana pun Anda berada.

***
Baghdad.


IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
tg Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto �r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
28 Memoar of Jeddah

�nda of Arabia tadinya adalah judul novel yang ingin


D saya buat. Namun, kala itu saya berpikir saya tak pandai
menulis fiksi. Jadi, judul itu menganggur saja.
Penghujung tahun 2011, setelah sangat aktif menulis di
beberapa blog pribadi, saya menyadari satu hal, "Saya suka
sekali menulis!"
Saya menghitung, ada puluhan postingan saya di sebuah
blog travelling, plus puluhan postingan lain dari penulis lain
yang saya edit. Saya juga menulis belasan postingan tentang
negara lain yang diceritakan teman saya via email. Namun,
saya tetap menuliskan nama teman saya sebagai penulisnya.
Begitu tergila-gilanya saya menulis hingga saya tidak
keberatan menulis atas nama orang lain. Yang penting blognya
ramai dan saya ada alasan menulis. Toh, foto-fotonya dari
teman saya itu.
Saya menuliskan kalimat ini di catatan resolusi 2012 saya:
"Blog Mamasejagat was some kind ofsign to remind me ofhow
much I loved writing when I wasjust a kid. It led me to create
another blog: cerita]eddah. Then I truly realized how I still love
writing until now, and tadaaaaa ... suddenly weget one resolution
for 2012: writing something more serious than a casualpost on my
biogs (a book perhaps?). "
Resolusi iseng saja. Namun, yang iseng-iseng ini justru
mengganggu jadwal tidur selama berhari-hari pada awal bulan
Januari itu. Akhirnya, daripada enggak bisa tidur, why not? Let's
write a book!

***
Bunda of Arabia (Behind the Scene) 29

Dasar sok keren, saya pikir sekadar menerbitkan sebuah buku


kayaknya terlalu biasa. Bagaimana kalau pakai tenggat waktu?
Tenggat waktunya jangan satu tahun. Yang menantang, dong!
Saya pun menantang diri sendiri, "Do it in three months! From
the scratch!"
Jadilah tanggal 1 April 2012 saya tetapkan sebagai tanggal
keramat. Pada tanggal itu nanti buku pertama saya akan terbit,
whatever it takes!
Namanya juga bukan penulis. Ketika googling dan menemu­
kan berbagai artikel mengenai berapa lama biasanya sebuah
buku terbit, saya langsung layu. Rata-rata membutuhkan
waktu minimal 3-6 bulan. ltu pun levelnya sudah termasuk
penulis tenar. Bukan orang macam saya yang tak ada angin tak
ada hujan, tiba-tiba merasa pengin menerbitkan buku.
Anehnya, sifat keras kepala saya malah meluap-luap. "Masa,
sih, tidak ada cara lain?"
Jadilah saya mencoba peruntungan lebih jauh, tetap dengan
mengandalkan Mbah Google. Akhirnya, menemukan banyak
sekali informasi tentang indie publishing. Serasa bertemu jo­
doh, dalam hati saya bersorak, "Eureka! Eureka!"
***

Nah, sekarang mulai menulis. Buku pertama ini mengandung


misi untuk mengenalkan kota Jeddah pada kalangan pro­
fesional. Jadi, saya memilih bentuk antologi yang akan menya­
jikan pengalaman beberapa orang sekaligus. Sejujurnya, ini
tantangan baru lagi. Saya tahu pasti, mengedit tulisan orang
jauh lebih susah daripada menulis sendiri.
30 Memoar of Jeddah

Teman-teman saya di Jeddah tak banyak yang suka menulis.


Mulailah saya bergerilya mencari kontributor clan menceritakan
misi saya. Belum ada yang tertarik. Saya mengarahkan tema
apa saja yang saya mau. Sudah ada yang tertarik tapi mengaku
tak bisa menulis.
Akan tetapi, sekali layar terkembang, pantang surut ke
daratan. Saya terus membujuk orang-orang yang saya incar
kisahnya. Saya bujuk mereka melalui BBM, inbox Facebook,
hingga mendatangi ke apartemen mereka. Saya wawancarai.
Akhirnya, mereka mulai menulis.
Banyak yang menulis untuk pertama kalinya. Saya sudah
memprediksi akan banyak sekali mengedit tulisan mereka.
Nekat, ya? Sementara itu, saya pun belum menggenggam
banyak pengalaman menulis.
Hasil berburu kontributor dengan intensif membuahkan
sebuah naskah dalam tempo tiga minggu. Jangan ditanya
sepetnya mata mengedit tulisan setiap malam. Hey, there's no
such thing cal
le ee lunch!
dfr
Begitu naskah selesai, jalannya masih panjang.

***

Sesungguhnya, rasa gentar itu sudah selalu menghantui dari


awal. Sejak mencanangkan proyek menerbitkan buku tiga
bulan saja, kadang-kadang lutut sudah bergetar.
Saat hampir putus asa mencari kontributor, saya sudah le­
mas. "Ah, sudahlah. Lanjutin kapan-kapan aja, deh. Lagian
kok sinting mau nerbitin buku dalam tiga bulan."
Bunda of Arabia (Behind the Scene) 31

Saat naskah sudah jadi, berburu indiepublishing tidak kalah


melelahkannya. Siapalah saya? Cuma blogger. Informasi yang
saya dapatkan hanya mengandalkan mesin pencari di internet.
Saya pun sempat takut dengan beberapa peristiwa penipuan
yang didalangi penerbit indie. Duh, apa mundur saja, ya?
Setelah menghubungi lima penerbit, akhirnya menemukan
satu yang cocok. lni pun cukup deg-degan. Untung salah satu
teman dekat saya di Jeddah kenal baik dengan pemiliknya.
Akhirnya, saya mengorek isi tabungan pribadi untuk membia­
yai penerbitan buku ini.
Selesai sampai di situ? Ternyata belum. lnilah puncaknya.
Melalui penerbit indie, naskah kita memang tak akan ter­
tolak. Namun, penerbit tidak mengurusi strategi pemasaran
dan penjualannya. Keduanya termasuk tanggung jawab penu­
lis. Mereka hanya membantu proses distribusi.
Sederhana saja ternyata. Jual saja door to door. Ada internet,
pikir saya. Kirim pesan via media sosial saja banyak-banyak.
Saya pun mulai mengirimkan pesan via inbox di berbagai
media sosial. lsi pesannya sama, hanya mengganti beberapa
bagian yang dirasa perlu. As simple as that. Cukup melelahkan
juga ternyata.
Awalnya respons sangat minim. Saya lagi-lagi ciut. Padahal,
800 eksemplar sudah tercetak. Saya pun terus saja menyebar
pesan secara personal. Pokoknya tutup mata dulu dengan basil.
Lakukan saja yang terbaik semampu saya.
Saya terbakar dengan kalimat dari Ustaz Salim A. Fillah
di dalam salah satu tulisan di blog beliau. "Keajaiban kadang
memancar dari sumber yang lain, bukan dari jalan yang kita
susuri atau jejak-jejak yang kita torehkan dalam setiap langkah
32 Memoar of Jeddah

menjalani usaha. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak


terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita."
Jadi, just do your best! Let Allah takes care the rest!
Menjelang buku cerbit, entah kenapa mendadak banyak
yang tertarik. Satu per satu mulai membalas pesan. Tiba-tiba
banyak teman yang menawarkan jadi reseller. Anehnya, saya
tidak pernah menghubungi mereka. Ternyata mereka tahu dari
teman saya yang lain.
See? Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak
dalam ikhtiar-ikhtiar kita.

***

So far, cetakan pertamanya habis dalam tempo 10 hari sejak


terbit. Kebanyakan pembeli memang dari teman-teman dekat
kami saja. Kesembilan penulis dari antologi ini pun ikuc serca
dalam proses pemasaran dan penjualan. Sekarang saya sedang
melanjutkan ikhtiar untuk cetakan keduanya yang memang
tersendat-sendat.
Saya benar-benar belajar banyak hal dari pengalaman ini.
Saya berpikir, setelah menjalani banyak tahapan yang me­
lelahkan, saya akan kapok. Ternyata tidak. Saya malah makin
mencintai dunia menulis. Saya terus berusaha agar makin ma­
hir.
Kesimpulan saya tercantum dalam kalimat yang saya ambil
dari Running Quotesfrom George Sheehan ini, "It's very hard in
the beginning to understand that the whole idea si not to beat the
other runners. Eventuallyyou learn that the competition is against
the little voice insideyou that wantsyou to quit. "
Bunda of Arabia (Behind the Scene) 33

Benar juga. Sebenarnya dalam usaha menggapai setiap


mimpi, dalam setiap langkah kita untuk mendekat padanya,
ada satu musuh dalam diri yang sukar terlihat dan usah di­
taklukkan, '.14 littk voice inside you that wants you to quit. "
Melawan diri sendiri. ltulah intinya. Melawan bisikan­
bisikan yang diembuskan oleh batin sendiri, "Udahlah,
ngapain capek-capek? Berhenti aja. Emang nggak mungkin,
kali. Menyerahlah."
Kemenangan bukan terletak saat bukunya akhirnya ter­
bit, tetapi pada kemenangan-kemenangan kecil dalam tiap
pertarungan untuk menaklukkan bisikan-bisikan tadi. Meng­
usir jauh-jauh keinginan untuk berhenti saat garis finish sudah
di depan mata.
Buku ini bahkan terbit lebih cepat daripada target awal, 1
April. Tanggal 2 5 Maret, buku Bunda ofArabia sudah terbit.
Anggaplah kita sedang berlari. Boleh menurunkan kece­
patan. Tak salah bila langkah melambat. Tak diharamkan bila
sekali-sekali berhenti untuk mengelap keringat dan mengum­
pulkan napas. Yang tidak boleh adalah melepaskan sepatu,
menepi di lintasan lari, dan menunduk putus asa sambil
berbisik, '1'm never gonna make it. " Siapa yang tahu, ketika
Anda menyerah dan berbalik, garis finsh
i tinggal beberapa me­
ter lagi.
Jadi, cari garis start. Pasang sepatu, lalu mulailah berlari.
Jangan mengizinkan ayunan langkah terhenti sebelum meya­
kini bahwa garis finish telah terlewati.

***
L •
IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
� Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
36 Memoar of Jeddah

anggal 7 Dzulhijjah sudah menjelang. Sejak pagi, kami


T sibuk melengkapi barang-barang bawaan. Kami akan
membawa si bungsu, Narda, untuk ikuc berhaji. Cukup sibuk
mengatur bawaan yang didominasi oleh popok sekali pakai,
susu kotak, dan camilan balita.
Tas si sulung, Nabil, juga dibereskan. Nabil tidak dibawa
serca. Alhamdulillah, ada teman yang menawarkan diri men­
jaga Nabil. Sebelum azan Zuhur, kami mengancar Nabil ke
rumah teman yang bersedia menjadi tempat penitipan terse­
but. Hanya sekitar setengah jam kami di sana, kami pun ber­
gegas pulang.
Begitu azan Magrib, kami langsung mandi. Suarni menge­
nakan pakaian ihram, lalu kami shalat bersama. Dengan me­
numpang taksi, kami bertiga berangkat menuju hamla (biro
haji) Al Mahabbah, tempat kami mendafcar haji.
Hamla kami cukup spesial karena memperbolehkan jamaah­
nya membawa anak-anak. Asalkan memiliki iqama (semacam
KTP untuk pemukim Saudi), kita bebas mendaftar di hamla
mana saja di negara Saudi. Biayanya beragam, tergantung
fasilitas yang disediakan.
Ada pula pemukim yang menjadi haji 'koboi'. T idak perlu
mendaftar. Datang saja pada hari wukuf ketika penjagaan di
checkpoint kota Mekkah sudah longgar. Mereka membawa
tenda dan makanan sendiri. Beberapa kenalan saya malah
mengundang orangtua mereka dengan invitation letter biasa
dan membawa mereka ikut serta berhaji. Hati-hati, jangan
gegabah. Bila ketahuan, bisa dipenjara dan dipulangkan paksa
ke negeri asal.
Naik Haji via Jecldah 37

Lokasi hamla dekat sekali dengan gedung apartemen


kami. Hanya butuh lima menit perjalanan. Begitu tiba, kami
langsung disambut pemandangan berupa belasan bus besar
yang siap mengangkut jamaah memasuki kota Mekkah.
Pukul delapan malam, bus mulai berjalan. Kota Mekkah
cuma sekitar 70 km dari Jeddah clan biasanya ditempuh dalam
waktu 45 menit. Pada musim haji seperti ini, tanggal 7 malam
biasanya rombongan Jeddah serentak memasuki Mekkah.
Alhasil, perjalanan pun tersendat-sendat begitu mendekati
checkpoint Mekkah.
Sekitar pukul setengah sebelas malam kami ciba di Kudai,
parkiran raksasa yang dibuat khusus uncuk pengunjung
Masjidil Haram. Kudai ini hanya ramai saat Ramadhan clan
musim haji saja. Pada hari-hari lain, shuttle bus dari clan ke
Masjidil Haram agak sepi sehingga para pemilik kendaraan
enggan memarkirkan mobil di sana.
Kami langsung menuju Masjidil Haram. Tak ada pembim­
bing, semua bergerak sendiri-sendiri. Saar musim haji clan
Ramadhan banyak disediakan bus khusus untuk bolak-balik
Kudai-Haram. Duh, ramainya saat harus berebucan naik bus
Saptco. Kami sudah terbiasa dengan sifat orang-orang Arab
yang pada umumnya memang kurang sabaran. Jadinya pasrah
saja menanti giliran.
Pukul sebelas malam kami tiba di Masjidil Haram, lalu ta­
waf di lancai satu. Keadaannya sudah sesak. Namun, semilir
angin malam di awal musim dingin membantu kami melewati
1,5 jam mengitari Ka'bah selama tujuh putaran di tengah
impitan jamaah lainnya. Sementara itu, anak kami tidur terus.
38 Memoar of Jeddah

Tadinya ingin melanjutkan dengan sa'i, tapi kami takut ter­


tinggal bus. Jadi, kami pun bergegas ke arah bus station dan
melesat kembali ke Kudai.
Tiba di Kudai, ternyata keadaan masih sepi sekali. Jam me­
nunjukkan pukul 2.30 dini hari. Kami langsung menyesal
karena tidak ikut sa'i, padahal masih segar bugar. Kami bertiga
akhirnya duduk-duduk di rumput di samping parkiran bus
sambil menikmati teh hangar yang dibeli suami di baqala
(toko kelontong) di seberang jalan.
Pukul 4.30 subuh barulah bus kembali bergerak menuju
Mina. Macet luar biasa. Butuh sekitar sejam untuk mencapai
tenda di Mina, padahal jaraknya cuma sekitar dua kilometer.
Setiap hamla menyewa satu kompleks tenda tertentu.
lstilahnya compound. Di depan tiap compound terpasang plang
bertuliskan nama hamla penyewanya.
Dalam compound tersebut, tenda perempuan disekat khu­
sus, terpisah dari tenda laki-laki. Tempatnya bersih sekali. Ada
belasan, bahkan mungkin puluhan asisten, yang hampir tiap
waktu membersihkan kamar mandi, lorong-lorong antartenda,
dan ruangan dalam tenda. Anak-anak pun bebas berlarian di
luar tenda.
Nah, tiap tenda terbagi-bagi lagi. Satu tenda bisa ditempati
oleh 10-20 orang. Ada delapan tempat tidur tingkat lengkap
dengan kasur dan selimut untuk tiap orang. Lantainya dialasi
karpet-karpet yang cukup tebal.
Tanggal 8 Dzulhijjah pagi, suasana dalam compound su­
nyi senyap. Sebagian besar jamaah tertidur lelap, mungkin
kelelahan. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk mandi,
Naik Haji via Jeddah 39

mumpung kamar mandi tidak terlalu ramai. Anak saya, Narda,


sudah pulas dari tadi.
Dalam tenda saya, dari 16 orang perempuan dewasa, 15
orang adalah perempuan Arab asal Mesir. Semua tempat tidur
bawah sudah terisi. Jadi, saya kebagian tempat tidur tingkat
atas. Untung juga karena tempat tidur bagian atas tidak
pengap.
Mereka sangat ramah. Pada siang hari, saya leluasa ke ka­
mar mandi atau keluar tenda sebentar jika ada keperluan dan
menitipkan Narda pada salah satu dari mereka.
Di hamla saya ternyata ada beberapa orang Indonesia.
Saya bertemu mereka di tenda Arafah. Kelima orang tersebut
adalah pekerja rurnah tangga. Sebagian takut keluar tenda
dan meminta tolong kepada saya untuk membelikan lndomie
gelas. Di sekitar tenda-tenda memang banyak toko-toko kecil
dan penjual makanan jadi.

***

Sepanjang hari pada tanggal 8 dilewati dengan acara berkenalan.


Malam harinya semua tidur lebih awal, mempersiapkan diri
untuk wukuf di Arafah keesokan paginya.
Tanggal 9 Dzulhijjah pun menjelang. Azan Subuh masih
berkumandang, tapi compound kami sudah hiruk pikuk sejak
sejam sebelumnya. Setelah sarapan roti ala Arab, tepat pukul
tujuh pagi kami berbaris di depan tenda. Ikut mengantre
menuju stasiun kereta yang akan membawa kami ke Padang
Arafah.
40 Memoar of Jeddah

Stasiunnya dekat sekali. Stasiun Mina 1 hanya berjarak se­


kitar 200 meter dari compound kami. Namun, puluhan ribu
jamaah lainnya akan menuju stasiun dan menaiki kereta yang
sama. Kami mengantre sekitar 1,5 jam dari depan tenda hingga
menapakkan kaki di kereta.
Suasana cukup tertib. Masih pagi dan segar. Talbiyah terus
berkumandang tak putus-putusnya. Terus membakar semangat
biarpun kaki lumayan pegal karena berdiri dan berdesakan
cukup lama. Petugas-petugas di stasiun berjumlah ratusan
dan sangat kompak. Pria-pria berseragam biru tua itu tak ada
capeknya mengarahkan puluhan ribu jamaah, dari mengantre
di jalanan, memasuki stasiun, hingga berdiri dengan patuh
menanti di pintu kereta.
Naik kereta dari Stasiun Mina 1 ke Stasiun Arafat 3 cuma
20 menit. Setelah itu, kami berjalan kaki sekitar 1 5 menit me­
nuju compoundyang disewa oleh hamla kami. Sepanjang jalan,
terutama di bawah jembatan, sudah dijejali para 'haji koboi'.
Ada yang cuma bermodal selembar tikar tipis tanpa tenda.
Tanggal 9 Dzulhijjah pagi itu Arafah penuh dengan jutaan
umat. Datang bersama-sama dari segala penjuru dunia untuk
menundukkan diri di hadapan Allah, memuji keagungan-Nya
di momen wukuf, salah satu rukun wajib ibadah haji.
Mahabenar Allah dengan firman-Nya, yang sudah diturun­
kan lebih dari 1.400 tahun lalu, bahwa:
Naik Haji via Jeddah 41

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, nis­


caya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka . . . . " (QS. Al-Hajj (22]: 27-28).
***

Tenda di Arafah juga berbentuk compound. Kamar mandinya


pun khusus. Tidak kalah nyaman dengan tenda Mina.
Ruangan dalam tenda hanya beralas karpet tebal tanpa tem­
pat tidur. Meskipun tidak menginap, tiap jamaah mendapat
sebuah kantong tidur.
Untuk perempuan ada lima tenda besar. Satu tenda ber­
isi 70-80 orang. Tendanya lapang dengan atap yang tinggi.
Pendingin ruangan disediakan di setiap sudut tenda. Dileng­
kapi pula dengan satu kipas angin besar.
Sejam pertama di Arafah diisi dengan drama perebutan AC.
Masing-masing berkeras mengontrol arah angin dari AC besar
tersebut. Duh, ributnya mereka berdebat.
Ketika ibu-ibunya sibuk beradu mulut, anak-anak kecil
meraung-raung. Mungkin kegerahan. Untungnya, Narda
lagi-lagi tidak ikut-ikutan rewel. Dia asyik saja bermain-main
dengan kantong tidur basil pembagian tadi.
"Kerusuhan" itu berakhir saat azan Zuhur berkumandang.
Setelah shalat berjamaah, makan siang pun datang berupa nasi
kabsah yang disajikan dalam bentuk nampan. Sempat bingung
juga. Satu tenda disapu bersih oleh orang Arab. Teman-teman
satu tenda di Mina duduknya sudah tersebar-sebar pula.
Akhirnya, dengan membawa nampan kosong, saya membe­
ranikan diri mendekati tiga orang ibu yang asyik makan senam­
pan, "Can I have a little?"
42 Memoar of Jeddah

Mereka menyambut dengan ramah dan mengisi nampan


saya dengan makanan. Banyak banget, malah. Saya sampai
mesti menolak berkali-kali, "Kha/as, khalas. It's too much. '�
Sehabis makan, sebagian besar ibu-ibu di tenda saya malah
tertidur sedangkan anak-anak mereka ramai berlari-lari. Narda
sedang berada di bawah pengawasan bapaknya. Setelah makan
tadi, saya membawanya ke tempat suami.
Biarpun suasana tenda agak gaduh dengan suara ibu-ibu
yang asyik mengobrol, saya berusaha untuk berkonsentrasi
berdoa. Sesekali saya mengecek ponsel, melihat kembali siapa
saja yang menitip doa via pesan singkat.
Alhamdulillah, kesendirian tidak menghalangi niat ber­
ibadah. Malah ketika terbenam seorang diri dalam tangis, se­
seorang menepuk bahu saya perlahan, menyodorkan tisu dan
air mineral. Masya Allah.

Usai memanjatkan doa, saya bertukar buku dengan suami.


Kami janjian di pintu batas tenda perempuan dan laki-laki,
sekaligus berganti giliran menjaga Narda.
Tiba kembali di tenda perempuan, Narda lagi-lagi tertidur
pulas. Tampaknya ia tahu mamanya butuh konsentrasi untuk
memanfaatkan sedikit kesempatan untuk memohon belas ka­
sihan melalui munajat panjang kepada-Nya di tempat dan
waktu yang paling mustajab itu.
Akhirnya, waktu Magrib tiba. Kami berkemas-kemas. Se­
lanjutnya, berbaris lagi di jalan dan mengantre menuju stasiun
untuk kembali ke Mina dengan menggunakan kereta.

2 Cukup, cukup. lni terlalu banyak.


Naik Haji via Jeddah 43

Para haji 'koboi' telah meninggalkan tempat mereka. Sedih­


nya, mereka juga meninggalkan tumpukan sampah di mana­
mana dan bau pesing yang menyengat. Saya tahu, ibadah ke­
pada Allah itu nomor satu. Namun, bukankah kebersihan pun
sebagian dari irnan?
Dalam buku sejarah Perang Suci karya Karen Armstrong
dituliskan bahwa orang-orang Eropa Barat belajar mandi
dari orang-orang muslim di Jazirah Arab. Mereka belajar ke­
bersihan justru dari kaum muslimin. Kenyataannya kini, tak
banyak negara muslim yang terkenal dengan kedisiplinan me­
reka dalam menjaga kebersihan.

***

Jika paginya suasana mengantre menuju stasiun tertib dan


syahdu oleh lantunan talbiyah, suasana pulang berubah 180
derajat! Kami mengantre hingga tiga jam!
Dalam tiga jam itu, orang-orang berdesakan dan berimpitan,
diselingi suara orang-orang yang berteriak mengamuk. Anak­
anak kecil bergantian meraung. Keringat sudah mengucur dari
atas hingga alas kaki. Entah berapa kali terkena sikut orang
lain.
Anak saya tidak rewel sedikit pun. Sesekali ia malah terti­
dur, padahal badannya sudah basah oleh keringat. Suami
saya pun tenang. Tidak ikut berteriak-teriak atau memasang
wajah emosi. Untuk suami dan anak luar biasa ini, beberapa
kali saya menicikkan air mata sembari berucap dalam
hati,"Bismillahirrahmanirrahim. Fabiayyi alaa irabbikuma
tukazziban. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
44 Memoar of Jeddah

Pengasih dan Maha Penyayang. Maka nikmat Tuhan kamu


yang manakah yang kamu dustakan?"

***

Pukul setengah tujuh meninggalkan tenda Arafah, tiba di tenda


Mina sekitar pukul 10 malam. Saya langsung memandikan
Narda, mengganti bajunya, dan membiarkannya tidur nyaman
di kasur.
Teman sebelah menawarkan diri untuk menjaga Narda dan
mempersilakan saya mandi. Untung juga saat itu kamar mandi
sedang sepi. Mungkin banyak orang yang masih "berjuang"
di jalan dalam perjalanan pulang dari Arafah. Setelah mandi
sekadarnya, saya langsung pulas di sebelah Narda.
Keesokan paginya, subuh-subuh sudah heboh. Orang­
orang berjabac tangan dan berpelukan. Saya sempat bengong
sebentar hingga akhirnya Eyma, salah sacu penghuni tenda
yang sama, menghampiri saya dan berkata, "Happy led, Jihan."
Yaampun! 10 Dzuhijjah, Hari Raya Qurban. Kemeriahannya
berlangsung hingga ke kamar mandi. Tiap orang berpelukan
dan mengucapkan selamat. Rasa lelah karena peristiwa sema­
lam, terkurung antrean selama tiga jam menuju kereta, meng­
uap cak berbekas pagi itu.

***

Sebagian besar penghuni tenda saya melontar jumrah hari


percama pada waktu fajar. Pukul enam pagi mereka sudah
membawa anak masing-masing (dari 16 orang, perempuan
Naik Haji via Jeddah 45

di tenda saya membawa balita). Bersama para suami, mereka


bergegas menuju stasiun kereta.
Sejak hari pertama, untuk melontar jumrah tidak mendapat
bimbingan apa pun dari hamla. Seluruh jamaah berangkat
sendiri-sendiri atau dalam rombongan-rombongan kecil.
Setelah Narda bangun dan sarapan, pukul 8.30 kami bertiga
berjalan menuju stasiun. Ternyata, kereta menuju Jumarat
dihentikan sementara. Katanya, empat jam lagi baru akan
kembali beroperasi. Masa mau balik ke tenda? Jadilah pada
hari pertama itu kami berjalan kaki dari tenda Mina menuju
Jumarat. Jaraknya sekitar 4 km.
Setelah 1,5 jam berjalan kaki, tibalah kami di tempat
melontar jumrah. Kami memilih lantai 4. Suasana cukup
lengang, tidak berdesak-desakan sama sekali. Kami pulang ke
Mina dengan naik kereta. Jarak ke stasiun pun bisa ditempuh
dengan 10 menit berjalan kaki.
Tiba di tenda Mina, tukang cukur sudah ada di mana­
mana. Lantunan talbiyah mulai tenggelam berganti dengan
gema takbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillaahilham. . . .
"

Suami langsung mencukur rambut dengan biaya 10 riyal.


Dalam tempo semenit langsung plontos. Usai sudah masa
berihram. Pulang ke tenda, suami mandi dan mengganti
kostum ihram dengan baju biasa. Karena kelelahan, kami me­
mutuskan untuk melaksanakan tawaf Ifada besok saja.

***
46 Memoar of Jeddah

Malamnya agak santai. Saya bermain-main dengan anak­


anak kecil dalam tenda saya dan berbincang-bincang dengan
ibu-ibu yang lain.
Belajar dari pengalaman tanggal 10 kemarin, pada tanggal
1 1 Dzulhijjah kami bergerak lebih pagi. Pukul enam kami su­
dah siap dan sudah sarapan. Narda yang masih tidur digotong
saJa.
Kami berjalan ke arah Musdalifah untuk mencari angkutan
menuju Mekkah. Cuma lima menit menunggu di tepi ja­
lan, datang deb sebuah mobil omprengan tujuan Mekkah.
Ongkosnya sekitar 30 riyal per orang.
Kota Mekkah masih sunyi sekali pagi itu. Penumpang di­
turunkan di dekat Masjidil Haram. Kami mampir sebentar
uncuk membeli sarapan buac Narda dan dua gelas teh hangar.
Masjidil Haram masih relatif sepi. Tawaf di lantai satu
sudah sangat sesak tapi kami tetap nekat menembus masuk.
Sekicar 30 detik terkurung di impitan orang-orang dan ci­
dak bergerak maju sedikit pun, suami langsung memberi ins­
truksi tegas, "Keluar! Keluar! Kita cawaf di lantai dua saja!"
Keputusan yang sangat tepat untuk tawaf di lantai dua.
Kami pikir, kepadatan pada tanggal 1 1 sudah berkurang. Ter­
nyata masih sangat padat juga.
Lantai dua adem sekali. Full AC dan kipas angin di mana­
mana. Terasa sangat sejuk. Saya agak keder saat mengedarkan
pandangan dan menyadari becapa panjangnya jarak tempuh di
lantai ini.
Tiga putaran pertama relatif nyaman. Memasuki putaran
keempat, bottle neck nya mulai memanjang.
- Mulai, deb, seng­
gol-senggolan, dorong-dorongan, dan saling menghardik.
Naik Haji via Jecldah 47

Tawaf ifada tuntas dalam tempo 2,5 jam nonstop. Boro­


boro, deh, mau mampir beristirahat. Usai putaran ketujuh,
seluruh badan terasa sakit saat berusaha menembus keluar dari
jalur tawaf Di lantai dua, jalur tawafsudah bercampur dengan
rombongan sa'i.
Selesai tawaf masih harus dilanjutkan dengan sa'i. Sebe­
lumnya, harus saalat dua rakaat terlebih dahulu. Pokoknya,
begitu bertemu tempat kosong, langsung shalat saja. Suami
mengantre unruk mengambil air zamzam sebentar. Antreannya
sesak, tapi suami saya gesit juga. Dalam tempo lima menit ia
sudah datang membawa dua botol dan dua gelas air zam-zam.
Kami duduk sebentar di wilayah Safa, sedikit mengatur
napas. Namun, kami tidak berlama-lama duduk karena takut
keburu makin sesak. Kami bergegas melaksanakan sa'i. Untuk
melaksanakan sa'i cuma butuh waktu satu jam. Normalnya,
saat bukan musim haji dan Ramadhan, kami sa'i sekitar 40
menit.
Setelah sa'i, untuk keluar dari Masjidil Haram pun mesti
mengerahkan kekuatan penuh. Saya sempat melihat tempat
sa'i di lantai satu. Subhanallah, penuh luar biasa! Seperti tidak
bergerak sama sekali.
Kaki sudah kebas benar rasanya. Namun, ritual haji di
hari itu belum berakhir karena kami masih harus melontar
jumrah. Mengingat si kecil harus makan siang, kami menuju
Supermarket Bin Dawood lebih dulu. Di Bin Dawood, kami
membeli biskuit, wafer, susu, dan sebagainya.
Setelah itu, kami menuju Kudai dengan menggunakan bus.
Tiba di Kudai, kami berusaha mencari taksi untuk menuju
48 Memoar of Jeddah

Stasiun Musdalifah 3. Tarif taksinya 100 riyal, jauh lebih


mahal daripada hari biasa.
Kami sama sekali tidak perlu mengantre di stasiun. Kereta
pun segera datang. Alhamdulillah. Setelah 25 menit, kami tiba
di stasiun Mina 3 Oumarat). Lagi-lagi kami ke lantai 4. Masih
lancar seperti kemarin. Tempat jumarat memang sudah jauh
berbeda sekarang ini. Selain sudah dibuat empat lantai, semua
tugunya pun diperlebar.
Setelah melontar jumrah, kami langsung kembali ke stasiun
kereta. Tiba di tenda Mina, tidak ada istilah santai-santai. Saya
buru-buru memandikan Narda, ganti baju, dan menitipkan
Narda ke suami sebentar. Biarpun badan sudah rontok, tetap
harus makan dulu sebelum tidur.
Jadwal makan malam orang Arab pukul sembilan malam.
Saya tidak kuat menunggu. Jadi, selesai mandi, saya makan
Indomie gelas dan satu butir telur rebus sisa sarapan. Lumayan.
Setelah itu saya terkapar di kasur berdua Narda.

***

Tanggal 1 1 Dzulhijjah memang yang terberat buat kami.


Alhamdulillah, semua rukun haji selesai pada tanggal itu. Sele­
pas sa'i, secara rukun kami resmi menyandang gelar haji. lnsya
Allah mabrur. Amin.
Pas tidur malamnya, terasa deh betis dan kaki mulai pegal.
Doa saya malam itu, "Ya Allah, berilah saya kekuatan untuk
melakukan tawaf wada besok sore."
Menurut beberapa teman, pemukim Jeddah boleh saja ti­
dak melakukan tawaf wada saat itu juga. Pulang saja dulu ke
Naik Haji via Jeddah 49

Jeddah, nanti balik lagi untuk melakukan tawafwada. Namun,


mumpung semangat masih membara, kami memutuskan
untuk tidak menunda. Toh, bus kami pasti mampir di Mekkah
dulu.
Tanggal 12 Dzulhijjah merupakan hari terakhir di Mina.
Karena mengambil nafar awal, sebelum senja tiba kami sudah
harus meninggalkan Mina.
Paginya, saat di kamar mandi, saya kaget bukan kepalang.
I got my period that morning. Saya sibuk menghitung hari.
Seharusnya masih tiga hari lagi. Kok kali ini cepat sekali, ya?
Jadwal menstruasi saya hampir tidak pernah kecepatan. Kalau
terlambat, sih, pernah.
Saya berpikir positif saja. Mungkin ini jawaban Tuhan atas
doa saya semalam. Saya malah tidak diizinkan untuk ikut ta­
waf wada hari ini. Pasti ada hikmahnya.
Mohon diingac, satu-satunya ritual haji yang "terlarang"
bagi wanita yang sedang haid hanya tawaf Sisanya tetap boleh.
Wukufboleh, melontar jumrah pun boleh. Jadi, menurut saya
sih, pemakaian obat-obatan tertentu untuk mencegah jadwal
menstruasi itu tidak perlu. Tidak baik pula untuk kesehatan,
kan?
Kami melontar jumrah terakhir pada pagi hari. Pukul tujuh
kami sudah menuju stasiun. Kereta masih kosong melompong.
Tempat melontar jumrah di lantai empat pada hari ketiga
itu benar-benar sepi. Kami berjalan dari stasiun menuju
Jurnarat sambil mencari kerikil-kerikil kecil buat melontar.
Karena sepi, cukup aman berjalan sambil sesekali berjongkok
memunguti kerikil.
50 Memoar of Jeddah

Pulang ke tenda, saya membenahi isi tas. Beberapa teman


mulai pamit. Mereka ke Mekkah sendiri lebih awal tanpa
menunggu rombongan. Namun, sebagian besar teman satu
tenda saya mengambil nafar akhir. Mereka baru meninggalkan
Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Terharu juga saat pamit. Satu per satu teman menyalami
saya. "�'regonna mss
i you. Take care. Ma'assalamah. Wadaan. "5

***

Bus tiba di Kudai pada pukul setengah tiga sore. Sopir bus
memberi waktu empat jam. Pukul setengah tujuh sudah harus
kembali ke Jeddah.
Saya ikut ke Masjidil Haram. Begitu tiba, saya sudah mulai
deg-degan. Hampir semua pintu dikepung pria berseragam
cokelat. Sempat terjadi kehebohan di salah satu pintu. Be­
berapa orang mendobrak masuk dan mematahkan barikade
para petugas. Namun, dengan sigap para petugas itu kembali
berdiri cegak dan menghalau orang yang ingin masuk.
Rupanya akses ke lantai satu ditutup rapat. Untunglah
kami berhasil menemukan pintu masuk yang cuma ada tangga
langsung menuju lantai dua. Suami bergegas menuju tempat
tawaf di lantai dua, sedangkan saya dan Narda menunggu di
salah satu sudut masjid yang cukup lengang.
Tadinya saya ingin memanfaatkan waktu dengan kembali
membaca buku-buku doa yang masih tersimpan lengkap da­
lam tas. Apa daya, si kecil sedang ingin bermain-main. Dia
berlarian ke sana kemari. Seorang bocah laki-laki Arab yang

3 Mo'ossolomoh, wodo'on = sampai jumpa lagi.


Naik Haji via Jeddah 51

berusia sekitar tiga tahun tahu-tahu muncul dan mendorong


Narda hingga terjatuh. Dia bangkit, menangis, dan berlari
kembali ke arah saya.
Ak.hirnya, saya menghabiskan waktu dengan mengawasi
Narda yang berlarian ke sana kemari. Dibujuk agar tidur
enggak mempan juga.

***

Nyaris empat jam menunggu, suami muncul dengan langkah


tertatih-tatih.
''Aduh, penuhnya, Dek. Untung saja Adek lagi haid. Nggak
bisa bayangin kalau harus tawaf yang ini sambil menggendong
Narda."
lni rupanya hikmah kenapa jadwal menstruasi saya yang
biasanya sangat teratur (kalaupun tidak pas, biasanya mundur)
tiba-tiba maju tiga hari.
Semula saya sudah rela menggendong Narda balik lagi ke
Kudai. Tapi ternyata. . . suasana di luar masjid sama "horor"nya.
Penuh sesak oleh lautan manusia. Suami yang tadi berjalan
agak pincang mendadak gesit lagi. Sambil menggendong
Narda, tangannya yang satu memegangi saya.
Benar-benar padat. Belum lagi yang tidak sabaran berteriak­
teriak, "Yalla! Yalla! Imsi, imsi. Rouh, rouhf''i
Pasrah, deh, didorong sana-sini di tengah lautan manusia.
Ak.hirnya kami tiba dengan sempoyongan di bus station.
Kami langsung naik bus-yang alhamdulillah belum terlalu
padat-untuk menuju Kudai. Di Kudai kami setengah berlari
4 Ayo! Ayo! Jalan, jalanl Pergi, pergil
52 Memoar of Jeddah

menuju parkiran bus karena jam telah menu nj ukkan pukul


8.30 malam. Kami terlambat dua jam!
Namun, begitu mencapai bus, ternyata kami termasuk ja­
maah pertama yang ciba. Hanya ada sepasang suami istri dan
si sopir yang sudah tampak gelisah .

Baru duduk sebentar di kursi bus, suami tiba-tiba berseru,


"Ya ampun! Makan malam Narda gimana?" Rasa letihnya
mendadak luntur. Ia langsung melesat keluar bus dan berlari
ke seberang jalan untuk mencari baqala. Tak lama kemudian,
ia datang dengan membawa kantong plastik berisi jus kotak,
air mineral, roti, dan kue-kue.
Satu per satu jamaah lain muJai datang Wajah-wajah kele­
.

lahan, langkah terpincang-pincang, dan saling menyambut


dengan ucapan, "Mabruk, mabruk. Hajj Mabruran lnsya
Allah. "5

Hingga pukul 10 malam bus tak kunjung penuh. Menjelang


pukul 1 1 , akhirnya semua penumpang sudah duduk di kursi
masing-masing. Jalanan macet luar biasa. Pukul setengah
dua dini hari barulah kami tiba di pelataran parkir hamla di
Palestine Street, Jeddah.
Untung tempatnya sangat dekat dengan gedung apartemen
kami. Cuma lima menit naik taksi, kami tiba di rumah dengan
selamat.
Semoga menjadi haji yang mabrur. Terima kasih pada Allah
yang sudah memberi kekuacan uncuk melaksanakan semua
ritual haji ini dengan cukup lancar.
5 Selamat, selamat. Semoga mabrur.
Naik Haji via Jeddah 53

Kalau mendengar cerita tante suami yang kebetulan berhaji


juga tahun ini, kami jauh lebih beruntung. Haji reguler dari
Indonesia berjalan kaki pulang pergi selama prosesi lontar jum­
rah, sedangkan kami diberi kemudahan dengan fasilicas kereta.
Kata tante juga, di tenda Mina mereka cuma tidur di atas
karpet. Penghuni tenda cukup padat sehingga agak sulit jika
ingin meluruskan kaki saat tidur. Sementara itu, kami tidur di
tempat tidur yang sudah dilengkapi selimut clan kasur. Kami
juga membayar biaya yang jauh lebih murah (dengan fasilitas
luar biasa) clan durasi waktu yang jauh lebih pendek.
Semoga segala kemudahan yang kami dapackan tidak
mengurangi pahala berhaji ini. Amin.

***
L • IRAQ
Amman

-
-

8 u rayd ah •
Dai
YPT �
� • .Medina *
� Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA
•Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
56 Memoar of Jeddah

ebelum berangkat ke Jeddah, tidak pernah terbayang jika


S harus mengenakan kain hitam ke mana-mana. Saya pernah
melihat pakaian seperti ini kala bermukim di kota Teheran.
Ternyaca, icu bukan abaya yang umum dikenakan di Saudi.
Pakaian hicam-hicam khas ala perempuan Persia tersebuc ber­
nama chador.
Biarpun buca fashion, dalam hal berpakaian saya cukup
picky. Saya lebih suka mengenakan celana panjang, cidak suka
rok sama sekali. Nah, bagaimana ceritanya jika harus tinggal
di cempat yang ke mana-mana harus mengenakan baju hitam
panjang?

***

Berburu abaya di Indonesia ternyaca tidak sulit. Namun, saya


sarankan jangan membeli abaya di canah air. Dengan kualicas
yang sama, Anda bisa mendapatkan abaya yang lebih murah
di )eddah.
Catac <lulu hal yang pertama. Abaya bukan cuma sehelai
kain hitam tanpa bentuk. Abaya juga punya bermacam-macam
model dan warnanya tidak hitam seratus persen.
Rasa nyaman berabaya tidak pernah terpikir sampai akhir­
nya mudik pertama pada tahun 201 1 . Saat suami mengajak
ke mal, saya langsung kagok. Memilih-milih baju, gonta-ganti
celana, mencocokkan dengan jilbab. Suami pun menggerutu,
"Lama amat, sih!"
Saya tak sadar kalau selama tinggal di Jeddah saya tidak
pernah dipusingkan soal berpakaian. Lagi ndusel-ndusel ber­
sama anak-anak di tempat tidur pun kalau diajak keluar tidak
BargQ)'O dengan Aba)'O 57

masalah. Tinggal menyambar satu abaya yang selalu tergantung


di lemari. Ambil jilbab (warna apa saja karena abaya hitam
cocok dengan warna apa pun), uwel-uwel di kepala, beres.
Lima menit sudah cukup.

***

Ketika baru seminggu di Jeddah, saya sudah diajak teman


mengikuti salah satu pengajian ibu-ibu di sini. Wah, soal
komunitas Indonesia di Jeddah, jangan ditanya! Apalagi yang
ibu-ibunya. Saya yang semula sempat khawatir akan lebih
banyak menghabiskan waktu dengan bengong di rumah, ter­
nyata malah kewalahan milih-milih komunitas yang cocok
untuk eksis.
Di pengajian pertama itu saya melihat beberapa orang da­
tang tanpa abaya hitam! Mereka hanya mengenakan gamis
biasa, malah ada yang memakai gamis berwarna biru terang
clan ada yang menggunakan jilbab warna kuning. Nahl
Dari situ, saya langsung mengobrol dengan teman-teman
yang sudah lebih dulu menyambangi kota Jeddah. Ternyata,
menurut mereka, "Tidak mesti hitam, kok. Jeddah ini lebih
santai. Bahkan tidak sedikit perempuan muslim yang tidak
menggunakan cutup kepala ke mana-mana."
Di beberapa acara ibu-ibu selanjutnya, saya melihat be­
gitu banyak model abaya yang keren. Biarpun warna hitam
mendominasi, aksen berwarna bisa muncul di kancing depan
dari atas sampe bawah, clan di lengan baju. Malah ada abaya
yang warna hitamnya terkesan numpang lewat saja.
58 Memoar of Jeddah

Abaya polos yang tidak berwarna hitam pernah menjadi


hits di kalangan ibu-ibu yang berasal dari Indonesia. Warna­
warnanya tergolong berani seperti biru, ungu, cokelat, merah
marun, dan hijau cosca. Saya sendiri cukup nyaman memakai
gamis berbahan jins warna biru dan sebuah gamis lain yang
berwarna merah marun di tempat umum. Perempuan di
mana-mana sama saja. Tidak ada kata mati gaya!
Bagaimana dengan tutup kepala?
Sebenarnya, cara berjilbab perempuan Arab pada umumnya
sangat praktis, lho. Hanya dililit di kepala tanpa menggunakan
peniti sama sekali. Namun, maraknya cara berhijab aneka
rupa yang sedang tren di tanah air juga boleh dipraktikkan di
Jeddah. Silakan saja. Tutup kepala bebas menggunakan warna
apa saja. Modelnya pun tidak dibatasi.
Lalu, apakah tumpukan celana jins clan baju lain yang
non-abaya tak akan tersentuh? Belum tentu. Jangan ragu
memasukkan pakaian non-abaya-yang sudah umum kita
gunakan sehari-hari di tanah air-ke dalam koper saat akan
berangkat ke kota Jeddah. Coba simak penjelasan berikut.
Di kota Jeddah ini, jumlah pendatang dari negara lain tidak
sedikit. Para pendatang itu sudah punya komunitas masing­
masing. Meskipun ada juga yang bergaul lintas budaya,
pada umumnya orang asal Indonesia bergaulnya ya dengan
orang Indonesia juga. Demikian pula dengan pendatang dari
Pakistan, Filipina, Bangladesh, clan bangsa Arab dari negara
tetangga Saudi.
Setiap komunitas pasti memiliki jadwal pertemuan masing­
masing. Dalam acara khusus orang Indonesia, pesertanya
kebanyakan orang Indonesia semua. Kalau pertemuan dilaku-
BergQ)'O clengan Abaya 59

kan dalam ruang privat, peserta tidak harus tampil dengan


abaya. Carat, kewajiban berabaya atau bergamis panjang itu
hanya di ranah publik. Kalau dalam rumah, biarpun ada acara
kumpul-kumpul, abaya tidak wajib. Di sinilah saatnya kita be­
bas mengenakan koleksi pakaian non-abaya
Berburu abaya di kota Jeddah terbilang seru. Banyak rupa,
ragam, model, dan tempacnya. Harga bervariasi. Mau yang
mahal ada, yang murah juga banyak. Ada pula yang memiliki
model cukup fashionable dengan harga terjangkau.
Salah satu tempat favorit saya dan teman-teman adalah
toko-coko penjual abaya di Pasar Balad, tepacnya di sebuah
bangunan mal yang bernama Queen's Building. Kami biasa
berburu abaya di berbagai toko yang berjejer di lantai dua.
Pada umumnya harga-harga abaya standar sekicar 100-150SR.
Bahan abaya itu tergolong adem dan nyaman. Oulu saya
sempat tidak habis pikir, mengapa negara yang dihujani terik
matahari hampir sepanjang tahun tega betul mewajibkan
kaum perempuannya memakai baju hitam-hitam?

***

Ternyata, memakai abaya menjadi hal yang positif buat


saya. Oulu saya suka melepas abaya di acara-acara rumahan.
Sekali-sekali ingin, dong, pamer-pamer jins atau baju baru.
Belakangan sudah jarang. Membuka abaya hanya saya lakukan
kalau kegiatannya kurang nyaman dilakukan bila harus
berabaya.
Oulu saya merasa peraturan ini konyol sekali. Serasa mun­
dur beberapa abad ke belakang. Kampungan.
60 Memoar of Jeddah

Pada kenyataannya, aturan pakaian yang mengharuskan


setiap perempuan dari golongan mana pun untuk berhitam­
hitam ini membuat hidup akan lebih praktis. Untuk apa punya
abaya banyak-banyak?
Masalah abaya juga membuat saya yang memang tergolong
malas beli-beli baju jadi kalang kabut sendiri setiap berlibur ke
tanah air. Berbulan-bulan hidup damai dengan abaya, kalau
mudik sibuk mengisi lemari lagi. Damai di kantong, damai
pula saat harus berhadapan dengan kaca, "Langsingnya aku. . .. "

Pengalaman berabaya semasa hidup di Jeddah mengajarkan


satu lagi hal penting:

, •t · i:-.
� -' � "'
.
., r ,., ... · · · ,,..., ·· �1 • « · · ·
. ·. 1 �-'
. •1c•... ,..
·:.J.,...
·' � ..I"" .,.-' '°':!"'\�._;
• • ·· 1 · · · .,., . ... ·_,._,
.r&--'�� ·. _,.J-u

"Bo/eh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik


bagimu, dan bolehjadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui. "(QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.


L •
IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
� Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
62 Memoar of Jeddah

aya ingat betul ucapan salah satu teman saya, "Waktu baru
S nyampe di Jeddah, pertama kali ke mal, ke Serafi Mall.
Gue takut banget. Pegangan terus sama suami gue. Gue takut
.
dICUl"kl"
I •

Kalimat tersebut tidak berlebihan. Saya juga begitu. Se­


wakcu masih di tanah air, cerita-cerita yang mendominasi
tentang Saudi ya tentang penculikan perempuan, perkosaan
TKw, dan sejenisnya. Sebagian besar teman saya di Jeddah
juga punya kesan pertama yang tidak jauh berbeda.
Sekarang, sih, jangan ditanya! Siang-siang saat suami di
kantor, kami suka kelayapan ke mana-mana. Awal-awalnya
masih suka naik taksi dengan sopir Indonesia. Lama-kelamaan
makin banyak yang berani naik taksi "abal-abal". Taksi apa saja
yang kami setop sendiri di jalan.
Saya pun demikian, padahal saya termasuk penakut. Be­
lum lagi kecerdasan visual saya sangac terbacas. Susah sekali
menghafal jalan. Sampai sekarang saya masih sering bingung
membedakan empat ruas jalan utama yang mengelilingi lokasi
apartemen kami: Madinah Road, Sitten Street, Palestine Street,
dan Tahlia Street.
Saya masih pilih-pilih rute. Kalau cuma ke sekolah anak
atau ke rumah teman yang sering saya datangi, saya berani
naik taksi "abal-abal" sendiri. Ada, lho, teman saya yang tidak
pandang bulu. Ke mana pun berani naik taksi "abal-abal"
sendiri!

***
People We H<Nen't Met Yet 63

Pernah tersiar rumor yang mengatakan bahwa kewajiban me­


nutup aurat bagi wanita di tempat umum malah menjadikan
Saudi sebagai negara yang rawan perkosaan. Datanya dari
mana, ya?
Kejahatan pemerkosaan yang beberapa kali diberitakan di
media nasional pada umumnya terjadi di wilayah domestik.
Kejadiannya di dalam rumah. Di tempat-tempat umum,
hijab antara perempuan dan laki-laki sangat dijaga, kecuali di
tempat-tempat tertentu yang pengunjungnya didominasi oleh
pendatang seperti di pusat perbelanjaan Balad.
Saya cuma berani ke Balad kalau ditemani suami atau
ramai-ramai dengan teman perempuan. Pendatang pada
umumnya tidak terlalu terbiasa dengan aturan berhijab seperti
ini. Kalau ke mal-mal besar, insya Allah aman buat perempuan
yang hanya sendiri atau bersama balita.
Pengalaman tiap orang berbeda-beda. Memoar ini pun
berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri. Mungkin ber­
beda dengan teman-teman lain karena ada juga teman saya
yang empet luar biasa dengan pria Arab yang menurutnya
selalu mencari gara-gara. Alhamdulillah, biarpun ada yang
kurang menyenangkan, bagi saya pribadi lebih banyak yang
meninggalkan kesan baik.

***

Awalnya saya bingung dengan laki-laki yang suka membuang


muka ketika berpapasan dengan saya. Atau kalau saya di lift
bersama suami, laki-laki lain dalam lift tiba-tiba merapat ke
dinding. Kayak gengsi gitu, lho, dekat-dekat saya. Pernah juga
64 Memoar of Jeddah

di rumah sakit saya duduk di ujung sebuah kursi panjang.


Laki-laki yang duduk di ujung satunya langsung berdiri, pada­
hal tempat kosong di antara kami masih bisa ditempati oleb
2-3 orang lagi.
Lain lagi di supermarket. Kalau di kasir, biarpun saya yang
ada dalam posisi mengeluarkan uang dari dompet, kasir laki­
laki pasti memilib berbicara pada suami saya. Padahal saya
juga bisa berbabasa lnggris dan sedikit-sedikit mengerti bahasa
Arab.
Saya mengomel pada suami, "Busyet, deb. Sombong amat
laki-laki di sini. Kenapa, sib, Bang? Aku disangka TKw, ya?
Jijik dekat-dekat orang Indonesia?"
Suami langsung terbahak, lalu menjelaskan, "Jangan salah
sangka dulu. Di tempat umum memang begitu. Laki-laki tidak
boleb dekat-dekat perempuan, apalagi mengajak ngobrol yang
tidak perlu."
Benar juga ternyata. Baru, deb, saya perbatikan betul-betul
sejak saat itu. Ternyata perlakuan seperti itu berlaku untuk pe­
rempuan mana pun.
Jadi, aman kok bagi para perempuan untuk bepergian,
apalagi kalau ada suami. Selain lebih aman, kalau mau belanja­
belanja kan lebih terjamin. Ada ''.ATM colek" dengan saldo
yang tak terbatas.
Apa? Ke mana-mana harus bersama suami? Suami di kantor
dari pagi bingga sore. Masa jalan-jalannya malam doang? Tidak,
kok. Tadi sudah dibahas, menunggu suami pulang kantor dulu
hanya jika akan mengunjungi tempat-tempat tertentu.
Dibandingkan situasi di Jakarta, rasanya memang berbeda.
Di ibu kota tanah air, saban ke mal, biarpun sudah punya
People We Hawin't Met Yet 65

anak, tampang seadanya, dan pakai penutup kepala pula, ada


saja yang suit-suit enggak jelas. Di Saudi, perlakuan seperti itu
jarang terjadi di tempat-tempat umum.

***

Bulan Januari 2011, saya tengah hamil enam bulan. Bumil


kepengin jalan-jalan malam-malam. Jadi, deh, kami ke
Corniche Road, lalu mampir di salah satu kios di pantai untuk
jajan. Semua keluar dari mobil. Pintu dikunci dengan central
lock. Lalu, suami tersadar, "Yaaa . . . kuncinya ketinggalan di
dalam mobil!"
Waktu itu kami masih menggunakan mobil sewaan. Suami
mencoba menghubungi pihak penyewa. Sembari menunggu
mereka membawa kunci cadangan, suami berusaha sendiri.
Saya berdiri di samping kios sambil kedinginan. Angin
bertiup kencang sekali dan Jeddah sedang berada di puncak
musim dingin. Aduh, langsung lemas. Mau duduk, bingung
mau duduk di mana. Sementara itu, Abil, anak sulung saya,
sudah sibuk berlarian sendiri ke sana sini.
Tiba-tiba pemilik kios keluar membawa karpet. Saya
cuekin saja, pura-pura tidak melihat. Mana tahu maksudnya
kurang baik. Eh, pas menoleh lagi, orangnya sudah tidak
ada, menghilang ke dalam kiosnya. Dan... karpet yang tadi
ditentengnya sudah digelar di lantai.
Duh, sudah berburuk sangka. Tidak berapa lama ia keluar
lagi. Kali ini ia membawakan secangkir teh hangat. Tangannya
memberi isyarat harganya 1 riyal. Setelah saya mengambil teh
itu, dia buru-buru pergi lagi.
66 Memoar of Jeddah

Pemilik kios dan seorang temannya juga ikut membantu


suami saya. Namun, hal itu dilakukan sambil melayani pem­
beli. Enggak ada tuh yang mengajak saya mengobrol atau
menggoda tidak jelas.
Tahu-tahu sudah pukul 1 1 malam. Parahnya, tempat penye­
waan mobil tidak menemukan kunci cadangan. Jadi, mereka
sibuk mencari cara lain. Kemudian sebuah mobil mewah
berhenti. Seorang pria Arab berpenampilan necis keluar dari
mobil dan mendekati kami.
Saya deg-degan. Mau apa, ya, dia kira-kira? Saya cuma mem­
perhacikan dari jauh ketika pria Arab itu mengobrol dengan
suami saya. Entah apa yang mereka obrolkan, Namun, setelah
itu dia pun sibuk membantu mengeluarkan kunci mobil.
Sekitar pukul 12 malam, kunci berhasil dikeluarkan. Para
laki-laki itu dan suami saya saling berjabat tangan dengan
senyum merekah. Alhamdulillah, kaki sudah beku menahan
dingin. Herannya, Abil tetap bagai gasing berputar-putar
dengan gembira di pelataran parkir.
Saya membayar jajan kami dan bermaksud memberi uang
lebih untuk karpet.
Pemilik kios menggeleng-geleng sambil berkata, "Mafi
musykilah. '1'
Sewaktu saya tetap memaksa, suami menegur, "Jangan,
Dek. Tersinggung, !ho, nanti."
Ya sudah, kami pun pulang.
Masya Allah pengalaman kami malam itu. Sampai sekarang
kalau ingat bantuan mereka (yang tanpa pamrih sama sekali),
rasa harunya tak pernah berkurang.

6 Tidak ada masalah, tidak apa-apa.


People We H<Nen't Met Yet 67

Pernah pula ban mendadak kempis di daerah Balad. Kami


mudik mendadak. Jadi, dadakan pula berburu oleh-oleh.
Apesnya, pakai acara ban bermasalah pula saat hendak pulang
secelah membeli beberapa barang di coko langganan di Balad.
Saat suami mencoba mengganti ban sendiri, beberapa anak
kecil berkulit hitam tiba-tiba menghampiri dan menawarkan
bantuan. Saya waswas. Barang-barang dari bagasi berserakan
di luar karena suami mengeluarkan ban serep yang ditaruh
di bagasi. Biasanya orang-orang ini terkenal bengal. Konon,
mereka sering melakukan tindakan kriminal. Akhirnya, saya
berdiri di luar mobil, dekat bagasi. Menjaga barang, maksud­
nya.
Kemudian lewat seorang lelaki dewasa berkulic hicam.
Duh, saya makin cemas. Namun, laki-laki itu mengajarkan
cara mengganti ban yang benar. Acara ganti ban berlangsung
lebih lancar setelahnya. Secelah memberi pengarahan singkac,
laki-laki dewasa itu pergi begitu saja.
Saat kami sibuk memasukkan barang ke bagasi, anak-anak
tadi juga ikut pergi. Saya cepat-cepat mengingackan suami,
"Bang, kasih uang, Bang."
Suami saya buru-buru mengejar mereka tapi mereka malah
masuk ke mobil dan bersiap-siap pergi. Suami saya mengecuk
pintu kaca mobil. Akhirnya, dengan wajah malu-malu mereka
menerima pemberian suami. Masya Allah, neverjudge a book
by its cover.

***
68 Memoar of Jeddah

Saat di mal atau di rumah sakit, saya sering kesulitan menjaga


Abil. Apalagi ketika Narda pun sudah bisa diajak main oleh
kakaknya. Mereka berdua menjadi "duet maut" yang kerap
membuat saya sibuk minta maaf kepada orang sekitar.
lni kebiasaan di Indonesia, sih. Di tanah air, rasanya orang­
orang kurang suka dengan tipe anak-anak yang tidak bisa
diam. Mereka suka melempar pandangan, "Duh, ibunya bisa
ngurus anak enggak, sih?"
ltu sebabnya kalau acara pengajian dan kebetulan anak su­
lung saya tidak sekolah, saya memilih tidak mengikuti acara
tersebuc, kecuali jika saya kenal dekat dengan nyonya rumah.
Kalau saya sudah tahu nyonya rumah "kurang nyaman" dengan
kehadiran anak-anak saya, saya memilih enggak dacang.
Lain dengan di Jeddah ini. Kalau saya menegur anak-anak,
saya sering ditegur balik oleh pria Arab. Pernah di rumah sakit
saya menegur Abil yang bolak-balik naik ke kursi, meloncac,
naik lagi, meloncat lagi, dan seterusnya. lbu-ibu Arab yang
melihat ulah Abil hanya tersenyum-senyum.
Saya pikir mereka hanya tersenyum basa-basi seperti ceman­
ceman dari Indonesia. Senyum-senyum di depan, dalam hati
menyimpan jengkel. Jadinya, saya tetap menegur anak saya.
Seorang priaArab malah melotot ke sayasambil menggeleng­
gelengkan kepala. "Shagi.ir, "7 kacanya. Mungkin maksudnya
masih anak kecil, santai saja.
Saya akhirnya membiarkan Abil jadi tontonan orang-orang
di ruang tunggu.
Kejadian yang sama terulang di supermarket. Abil mau
masuk ke croli seorang pria Arab. Tentu saja saya langsung

7 kecil.
People We Hawn't Met Yet 69

menegur. Eh, si pria Arab malah mengomel balik pada saya. Ia


malah memberi permen pada anak saya.

***

Selanjutnya, bagaimana kesan-kesan bekerja dengan orang­


orang Arab? Apa dicambuk kalau bandel? Hahaha. Mari kita
tengok pengalaman suami saya.
Pada hari acara perpisahan yang diadakan divisi tempat
suami bekerja, sepulang dari kantor, wajah suami terlihat
muram. Dia menenteng sebuah kotak hitam besar. Katanya
suvenir dari teman-teman di kantor. Dia memang tidak me­
nyangka akan dibuatkan acara perpisahan secara khusus, leng­
kap dengan tanda mata pula. Kenang-kenangannya pun bukan
barang murah.

"Seumur-umur aku kerja, baru kali ini dapat kenang-ke­


nangan," kata suami.
Sekilas saya melihat matanya sedikit berkaca-kaca.
Kalau di Jeddah, adatnya sedikit berbeda. Yang akan pergi
ditraktir oleh teman-temannya. Di Jakarta, biasanya yang akan
pergi yang ditodong untuk mentraktir teman-teman lain.
Suami saya terharu sekali. Orang Arab memang punya ciri
khas sendiri. Tidak semua jelek, kok. Mereka juga punya sisi
positif Biarpun terkenal bawel dan pemalas, kalau sudah kenal
baik dan kita bisa merebut kepercayaan mereka, mereka bisa
memperlakukan kita dengan istimewa.
Cerewetnya memang tidak ketulungan, sih, menurut sua­
mi saya. Kadang-kadang suka memaksa. Namun, mereka tidak
70 Memoar of Jeddah

pendendam. Kalau sudah mengomel, tidak berapa lama me­


reka akan biasa-biasa lagi.
Seorang teman yang tinggal di Negeri Sakura pernah
mengeluh. Supervisornya baik dan jarang protes tapi tahu­
tahu memberi appraisal atau nilai yang kurang bagus. Padahal
dia sudah mengira hasil kerjanya bagus karena tidak pernah
mendapat kritikan. Saya percaya tidak semua seperti itu. Ke­
biasaan kita sebagai orang Timur memang banyak "enggak
enak
an"nya.
Salah satu teman kerja suami di Jeddah-sama-sama orang
lndonesia-merupakan karyawan kesayangan bos. Kebetulan
bosnya sama dengan bos suami saya. Ketika suami saya akan
pergi, dia langsung meminta CV teman suami. Rupanya dia
sudah jatuh cinta pada orang Indonesia, padahal rate orang
Indonesia konon lebih tinggi daripada rate karyawan asal
Pakistan, Bangladesh, dan India.
Tak terasa akhirnya kami pun harus pindah ke tempat
lain. Tiga puluh bulan di Jeddah memberikan banyak sekali
kenangan manis. Pada hari keberangkatan, sejak pukul dua
dini hari saya sudah tidak bisa tidur. Sibuk mengingat saya
pernah kecewa karena "tak ada salju di kota Jeddah". Saya
sungguh ingin tinggal di negeri yang bersalju.
Saya gagal bertemu salju tapi sukses bersentuhan dengan
hal-hal indah lainnya.
Tak ada penyesalan karena sudah mengambil keputusan
yang tidak mudah ini. lnsya Allah di tempat baru nanti, jika
Tuhan menghendaki, kami akan dipertemukan dengan orang­
orang baik. Sekali lagi . . . insya Allah.
People We Hawn't Met Yet 71

"Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi


orang-orangyangyakin.

. . (.)
.,r..,
·. '
'·�
., )l.;1 •�
t !J
.•

dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak


memperhatikan?

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang


dijanjikan kepadamu.

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh apa yang


dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang dijanjikan itu pasti
teryadi apa yang kamu ucapkan. " (QS. Adz-Dzariyac (51): 20-
23)

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
74 Memoar of Jeddah

etelah menuntaskan kontrak kerja di Jeddah, suami saya


S memutuskan untuk pindah ke Irlandia. Tiga hari menje­
lang keberangkatan menuju kota Athlone, Irlandia, saya sibuk
menjejali koper dengan berbagai bumbu dan rempah khas
tanah air. Ketika sedang heboh dengan acara packing, sesekali
terlintas nostalgia selama di Jeddah.
Selama tinggal di Jeddah, saya dua kali mudik. Acara beres­
beres koper kala liburan usai dan harus kembali ke Jeddah
selalu berlangsung santai. Beberapa hari sebelum berangkat,
saya malah woro-woro ke teman-teman di Jeddah, "Ada yang
mau nitip nggak? Koper gue kosong, nih."
Tinggal di Jeddah, biarpun judulnya luar negeri, tidak
membuat kita jumpalitan membawa segala macam bumbu
dan penganan khas tanah air. Di Jeddah . allyou can eat, Babe!
. .

Selain itu, karena ke mana-mana berabaya, tidak perlu pusing­


pusing memikirkan baju dan teman-temannya.
Teman saya, sesama pemukim Jeddah, punya pengalaman
sama. Dia mudik ke tanah air bersama kakak iparnya. Kebe­
tulan mereka berbarengan membereskan barang bawaan untuk
pulang kembali ke tempat masing-masing.
Kalau kakak iparnya sibuk memasukkan segala macam
bumbu, sampai bawang goreng pun dibawa hingga berkilo­
kilo, teman saya malah bingung, "Duh, bawa makanan apa,
ya?"
Teman saya hendak kembali ke Jeddah, kakak iparnya ke
Dubai. Meskipun Dubai terletak di Uni Emirat, berbatasan
langsung dengan Arab Saudi, urusan makanan bagaikan bumi
dan langit.
Perut Terjamin Lahir Batin di Jeddah 75

Dari sebuah travelling blog, saya jadi punya banyak teman


sesama ibu-ibu yang bermukim di luar negeri. Mereka ke luar
negeri karena bermacam-macam alasan: mengikuti suami,
sekolah, atau bekerja di sana. Keluhan mereka raca-rata sama,
"Kangen masakan Indonesia, euy."
Di beberapa negara, makanan Indonesia tidak susah dite­
mukan tapi terganjal masalah lain. Kalau bukan karena harga­
nya yang mahal, ya katena rasanya yang kurang enak.
Teman saya di belahan dunia lain, yang tadinya buta urusan
dapur, mendadak jadi jagoan di depan kompor. "Tidak ada
pilihan lain, terpaksa jadi jago masak," begicu rata-rata alasan
mereka.
Alhamdulillah, urusan perut terjamin lahir dan batin di
Jeddah. Harganya sangat "cerjangkau" dan rasanya juga enak.
lmpian saya menjadi master chef bila tinggal di luar negeri
pupus sudah.

***

Rumah makan ala Indonesia di Jeddah cukup banyak. Apalagi


jika berada di Distrik Sharafiyah dan Bagdadiyah, dua distrik
yang sarat pemukim asal Indonesia. Levelnya bervariasi. Yang
model warteg juga ada, !ho. Menyediakan nasi rames komplet
dengan rasa yang tak jauh berbeda dengan di canah air.
Rumah makan level menengah ke atas juga ada. Menunya
pun lengkap. Katering rumahan juga menjamur. lnilah salah
satu alasan saya cukup percaya diri menjalani proses hamil
hingga melahirkan anak kedua di kota Jeddah. Saya cetap
percaya diri biarpun ibu dan ibu mertua saya tak dapat datang
uncuk menemani pada masa-masa melahirkan.
76 Memoar of Jeddah

Semasa hamil muda-ketika melihat dapur saja rasanya


sudah muak-kami memutuskan untuk menggunakan jasa
katering. Diantarkan langsung ke pintu apartemen, lho.
Jika senang bertarung di dapur pun tidak perlu khawatir.
Bumbu khas tanah air mudah sekali ditemukan di toko-toko
Indonesia. Harganya pun masuk akal. Dari daun-daunan,
rempah-rempah, hingga tahu tempe selalu tertata rapi di rak­
rak toko. Tak perlu pula susah-susah memboyong bungkus­
bungkus instan dari tanah air. lndomie bukan barang langka
di Saudi.
"Enaknya, di sini lndomie cuma empac ribu perak. Dijual­
nya juga di banyak tempat. Di semua toko Asia ada," begitu
kira-kira isi salah satu status Facebook seorang teman saya yang
sedang bermukim di Sydney.
Saya senyum-senyum sendiri. Hm, empat ribu rupiah?
Anda cahu berapa harga Indomie yang dijual bebas di Jeddah?
1 SR! Hanya sekitar Rp2.500. Kalau membeli di swalayan
besar bahkan bisa senilai 0.95 SR per bungkus.
Bukan cuma harganya yang menyenangkan, tetapi juga
karena mudah didapat. Di toko-toko Indonesia sudah pasti
ada. Di toko kelontong lokal juga selalu ada. Di supermarket
apalagi, menguasai satu rak penuh. Jadi, seperti di Indonesia,
Indomie termasuk makanan "wajib" di Saudi. Bukan
cuma untuk pendatang asal Indonesia, dus-dus bertuliskan
"lndomie" pun bisa ditemukan di troli belanjaan warga asing.
Sewaktu ke Singapura saat hamil anak pertama, saya meng­
eluh karena biarpun Indomie bukan barang asing di sana,
rasanya kok "aneh-aneh" dan nggak cocok di lidah saya. Di
Saudi, lndomie yang umum dipasarkan memiliki rasa yang
Perut Terjamin Lahir Batin di Jeddah 77

sama dengan yang kita kenal di Indonesia. Ada kaldu ayam,


kari ayam, mie goreng, ayam bawang, ayam spesial, dan soto
mie. Ditambah rasa seafood yang sepertinya khusus dijual di
Jazirah Arab.
lndomie rasa Nusantara, misalnya rasa coto Makassar,
juga bisa ditemukan di toko-toko Indonesia yang tersebar di
berbagai distrik di seluruh penjuru Jeddah. Harganya juga
sama, 1 SR saja per bungkus.
Di salah satu ruas jalan tol menuju kota Mekkah, ada
banner raksasa yang memuat iklan lndomie sebagai bukti
betapa makanan satu ini sudah menancapkan kekuasaannya
sebagai salah satu produk makanan yang digemari di Saudi.
lklan-iklan lndomie pun memiliki jam tayang cukup tinggi di
beberapa stasiun televisi lokal Saudi. Sering juga, lho, menjadi
sponsor acara-acara lokal di sini.
lndofood sendiri selaku produsen dan distributor lndomie
punya pabrik dan kantor di Jeddah. Karyawannya lumayan
banyak.
Menurut cerita yang berkembang, lndomie bisa menjadi
hits di Saudi karena dibawa oleh para TKI (termasuk TKW) ke
sini. Katanya, para T K W yang banyak menjadi pengasuh anak
menyodori mi instan ini pada anak-anak majikan mereka.
Anak-anak itu pun menjadi penggemar mi instan hingga
dewasa dan meneruskan kebiasaan menyantap mi instan ini
pada anak-anak mereka.
Para TKI yang mau praktis-karena kebanyakan tidak
membawa istri-memilih lndomie menjadi alternatif utama.
Para T KI/TKW tercinta ini berjasa banger, ya.
78 Memoar of Jeddah

Pagi-pagi pada saat akhir pekan, para istri pun ingin ber­
santai di taman atau pantai. Dapur diliburkan dulu. Kalau tak
sempat memesan katering, datangi saja toko-toko Indonesia
yang terbilang ramai.
Tiap pagi, toko-toko ini tak pernah absen menyediakan
nasi rames kotakan khas tanah air. lsinya nasi, sejumput sayur,
lauk pauk (seperti telur, daging, atau tahu-tempe), dan samba!.
Untuk membawa sekotak nasi rames, harga yang harus dibayar
rata-rata 3-5 riyal! (1 riyal sekitar Rp2.500). Amboi, murahnya.

***

Salah satu makanan siap saji yang menjadi trademark kota


Jeddah adalah Al Baik. Biarpun hanya berupa ayam goreng
tepung, Al Baik ini sangat tersohor di kota Jeddah. Sebelum
saya menginjakkan kaki di kota Jeddah, suami saya sudah
sering banget memuji-muji ayam goreng yang satu ini. Padahal
biasanya suami saya kurang suka dengan segala menu yang
berupa ayam.
Baru dua hari menghirup udara Jeddah, saya diajak
ke Serafi Mal, khusus buat icip-icip si Al Baik ini. Saat di
foodcourt, melihat antreannya yang panjang, saya cukup opti­
mistis membayangkan kelezatan Al Baik ini. Namun, setelah
mencoba sendiri, saya tidak merasa ada yang istimewa.
Mungkin selera saya yang kurang umum.
Al Baik ini adalah sejenis fastfood seperti KFC dan
McDonalds. Tidak semua kota di Saudi menyajikan Al Baik
ini, hanya ada di Mekkah, Jeddah, Madinah, Yanbu, dan Thaif.
Parut Terjamin Lahir Batin di Jeddah 79

Di kota Jeddah ini, saking tenarnya, cabangnya ada sekitar 20.


Tersebar di berbagai mal dan gerai yang berdiri sendiri.
Menunya terdiri dari ayam, udang, dan ikan. Ketiganya
disajikan dalam bentuk hidangan goreng tepung dan nugget.
Menu yang lebih ringan juga ada, misalnya jagung-jagungan
dan es krim.
Apanya yang khas? Rasa memang sedikit berbeda diban­
dingkan ayam goreng tepung lainnya. Lebih kaya bumbu
dengan aroma rempah-rempah yang unik. Selain dinikmaci
dengan saus tomat, hidangan utama Al Baik juga bisa disajikan
bersama saus bawang putih (garlic sauce) yang rasanya juara
banget.
Harga makanan di Al Baik lebih murah dibandingkan
dengan menu yang sama darifastfood lain yang sejenis. Mung­
kin selain rasanya yang khas, harganya ini yang membuat
orang-orang lebih memilih Al Baik.
PorsimakanandiSaudisecaraumumsangatmengenyangkan.
Misalnya paket menu ayam goreng yang reguler berisi empat
potong ayam, sekantong kencang goreng, satu buah roti, dan
sekaleng minuman bersoda. Bagi saya pribadi, ukuran seporsi
cadi cerlalu banyak untuk jatah makan satu orang. Seringnya
kami membeli satu paket lalu membawanya pulang dan me­
nikmacinya bersama-sama anak-anak.
Alasan lain kenapa saya lebih suka makan di rumah adalah
gerai Al Baik tidak menyediakan nasi. Maklumlah, lidah kam­
pung saya ini, makan mesti pakai nasi.

***
80 Memoar of Jeddah

Mumpung tinggal luar negeri, tak ada salahnya mencic1p1


masakan internasional. Konon, di banyak tempat di luar ta­
nah air agak sulit menemukan makanan halal, bahkan di ne­
gara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Nah, ini
kelebihan lain negara Saudi. Pemerintah menjamin kehalalan
semua restoran yang dibuka untuk umum. Saudi menerapkan
aturan ini, entahlah dengan negara Timur Tengah lainnya.
Jadi, jangan takut berwisaca kuliner di restoran publik mana
pun di Saudi. Saya sekeluarga kebetu1an tidak terlalu suka
makan di luar rumah, tetapi kami juga punya restoran favorit.
Namanya Pattaya. Restoran ini menyajikan masakan Thailand
yang segar dengan harga cukup murah. Sebagian teman saya
lebih menyukai restoran lain yang menyediakan menu sejenis.
Restoran Asia namanya. Restoran Asia inilah yang lebih urnum
dikenal oleh jamaah umrah atau haji asal tanah air.
Di ruas Jalan Andalus, berjajar restoran-restoran papan
atas kelas dunia. Dijamin halal. Selama ini saya lebih sering
menumpang lewat saja. Selama 30 bulan tinggal di Jeddah,
tidak pernah tebersit keinginan coba-coba jajan di sana. Suami,
sih, sering ribut ngajakin makan ke sana. Apa hendak dikata,
lidah istrinya ini lidah kampung. Hahaha.
Masakan khas Arab juga patut dicoba. Hidangan Timur
Tengah clan sekitarnya tak sulit ditemukan. Dari aneka kebab
daging segar khas Turki, masakan ayam bakar ala Pakistan­
Afganistan, nasi kari ala India, hingga berbagai menu Lebanon.
Masakan ala oriental juga bertaburan. Misalnya hidangan
khas Cina, Jepang, Thailand, clan Filipina. Jangan ragu-ragu.
Kehalalannya dijamin oleh pemerintah setempat. Tidak perlu
capek-capek memeriksa label halal. Namun, beberapa teman
Parut Tarjamin Lahir Batin di Jecldah 81

saya tetap berkeras, menganggap pemerintah Saudi "tidak


terlalu disiplin" dan label halal mudah dipermainkan. Di masa
kini, apa sih yang tidak bisa dibeli? Jangankan label halal, harga
diri pun mudah tergadai di mana-mana.
Untuk urusan kehalalan makanan di Saudi, prinsip saya,
sih, hidup jangan dibuat susah. Kita berikhtiar semampu
kita. Pemerintah berani menjamin, berarti mereka berani ber­
tanggung jawab. Mari menikmati wisata kuliner tanpa rasa
waswas di Arab Saudi.

***

Di Jeddah, urusan perut memang terbilang memuaskan


bagi para perantau dari tanah air. Biaya hidup secara umum
yang tergolong murah membuat saya sempat enggan pindah.
Kesempatan emas untuk mengatrol angka tabungan seoptimal
mungkin.
Materi memang penting, tetapi tentunya kita sepakat bah­
wa pengalaman adalah hal yang tidak mungkin terbeli oleh
uang. Tiap tempat pasti punya keistimewaan masing-masing.
Rasa galau yang sempat menghampiri kala suami memutus­
kan untuk merantau ke tempat lain sedikit terobati oleh petuah
dari salah satu imam terkenal ini:
"Travel! You willfind a replacementfor whatyou leave behind,
and strive! Because the joy of living is in striving. (Imam al­
"

Shafi'i)

***
L •
IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
� Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
84 Memoar of Jeddah

B
elum lama menjejakkan kaki di kota Jeddah, keluarga
kami diberi rezeki terindah. Saya hamil anak kedua pada
bulan kedua tinggal di Jeddah.
Masa-masa hamil muda saya untuk anak yang kedua ini
sama dengan hamil pertama dulu. Didera morning sickness
berkepanjangan yang sayangnya tidak sesuai namanya. Rasa
mual disertai muntah-muntah muncul tidak pada pagi hari
saja tapi di sepanjang waktu.
Anak pertama masih berusia dua tahun dan belum mandiri
kala itu. Makan masih disuapi dan masih perlu saya mandikan.
Suami masih harus ke kantor tiap hari, kecuali akhir pekan.
Sebenarnya tak sulit mencari asisten rumah tangga di Jeddah.
Namun, kami memutuskan untuk menggunakan jasa katering
saja di masa-masa saya benar-benar bermusuhan dengan dapur.
Jasa asisten rumah tangga belum diperlukan.
lnilah perbedaan Saudi dengan negara-negara maju di luar
tanah air pada umumnya. Kita bisa memanfaatkan jasa para
TKW ilegal yang kebingungan mencari pekerjaan karena sta­
tus mereka. Kita bisa menggunakan tenaga mereka untuk
membantu beberapa pekerjaan rumah tangga. Biasanya jasa
mereka disewa harian atau dibayar per jam. Mereka tidak ikut
menginap di rumah kita.
Soal makanan juga jauh dari repot, bahkan untuk yang
sedang hamil muda sekali pun. Tinggal memilih berbagai jasa
katering rumahan yang bisa didapatkan dengan mudah di kota
Jeddah. Pemilik katering biasanya orang Indonesia juga. Jadi,
cita rasa masakannya benar-benar khas Nusantara. Tak perlu
takut ngidam macam-macam dan tidak keturutan.

***
Melahirian di Jeddah 85

Soal rumah sakit juga sempat membuat saya resah. Saya sudah
terlanjur nyaman dengan dokter yang menangani saya di
Indonesia pada kehamilan sebelumnya. Belum lagi di Jeddah
orang-orang Indonesia sering dipandang sebelah mata. Saya
takut perlakuan para petugas medis akan berbeda pada saya.
Rasanya ingin pulang saja ke tanah air.
Semangat dari suami dan pesan ibu di tanah air selalu
menguatkan saya. "Tempat terbaik untuk seorang perempuan
yang telah menikah adalah di samping suaminya," kata ibu
saya.
Mulailah kami mencari-cari info rumah sakit dari teman­
teman yang telah memiliki pengalaman melahirkan di Jeddah.
Pilihan jatuh pada Rumah Sak.it Bugshan yang terletak cukup
dekat dan strategis dari gedung apartemen kami.
Hal penting lainnya yangsegera harus diurus adalah masalah
asuransi. Tanpa asuransi akan sangat sulit mendapatkan pela­
yanan dari rumah sakit swasta. Bukan hanya harganya yang
sangat mahal, capi biasanya secara administratifpara pendatang
akan dipersulit untuk berobat di sana.
Alhamdulillah, kami bertemu dokter yang cocok. Seorang
dokter perempuan berkebangsaan India yang sangat ramah
bernama Nazeema Anjum. Dokter Nazeema sangat kooperatif
dan tidak pernah membeda-bedakan pasien.
Sayangnya, budaya antre susah diterapkan di berbagai tem­
pat publik di Saudi, termasuk di rumah sakit. Mendaftar di
resepsionis saja sering gaduh. Semua berebutan ingin dilayani
lebih dulu. Petugas pun tak berusaha menertibkan orang­
orang itu.
86 Memoar of Jeddah

Oemikian pula saat harus masuk ke ruang periksa. Ada


saja yang mencoba mengabaikan antrean dan mendesak harus
dilayani terlebih dahulu. Untung saja para perawat cukup
tegas. Dokter pun menolak melayani pasien yang mencoba
menyerobot antrean.
Waiaupun sering dilandakekesalan saat harus memeriksakan
kandungan ke dokter, saya berusaha sabar saja. Anggap saja ini
pengalaman berharga yang harus saya lalui untuk mendapatkan
salah sacu anugerah Tuhan yang cerindah ini.

***

Akhirnya, 37 minggu masa-masa kehamilan berakhir sudah.


Memasuki minggu ke-38, saya mulai merasakan mulas. Rabu
malam, tepat di jadwal kontrol ke dokter, saya meminta suami
untuk langsung ke bagian Gawat Darurat saja. Sudah tidak
ada wakcu uncuk mengantre dan bertemu dokter.
Anak sulung saya titipkan pada tetangga depan apartemen
yang juga berasal dari Indonesia. Hidup merantau jauh dari
sanak keluarga membuat kami mendapatkan banyak saudara
baru walaupun cak ada hubungan darah. Alhamdulillah, untuk
anugerah ceman-teman cerbaik kala bermukim di Jeddah.
Ternyata perlakuan para perawat dan dokter jaga di ruang
persalinan sangat baik dan ramah. Hanya dua jam sejak kami
mendaftar di meja resepsionis Unit Gawat Darurat, lahirlah
dengan selamat putra kedua kami.
Saya sempat takut karena pernah mendengar cerita kalau
melahirkan di Saudi, setelah melahirkan kica harus berjalan
sendiri ke kamar perawatan. Ternyata cerita itu tidak benar.
Melahirian di Jeddah 87

Prosesnya sama dengan sebagian besar rumah sakit di Indonesia,


pasien dipindahkan ke kamar perawatan dengan menggunakan
kursi roda. Di kamar pun sang ibu mendapatkan pelayanan
khusus dari perawat yang bertugas.
Salah satu pengalaman berkesan saat di kamar perawatan
adalah banyaknya kunjungan perawat clan dokter. Mungkin
tiap empat jam, kecuali pada tengah malam hingga dini hari,
ada saja rombongan dokter clan perawat yang masuk ke kamar.
Uniknya, saya sering disangka orang Filipina. Tak banyak
orang Indonesia yang menjadi pelanggan rumah sakit ini.
Yang terlihat sering mondar-mandir adalah orang-orang Arab
dari berbagai negara lain clan warga Filipina Wajar saja jika
saya sering diajak berbicara dengan bahasa Tagalog.
Suatu ketika, seorang perawat yang bertugas mengantarkan
makanan berkata dengan bahasa lnggris dengan terbata-bata,
"This isyour lunch. "
Dari wajah clan gelagatnya, saya bisa menebak perawat
perempuan tersebut adalah orang Indonesia. Saya langsung
membalas, "Orang Indonesia juga, ya, Mbak?"
Dia tampak kaget. "Oh, lbu dari Indonesia? Saya kira dari
Filipina."
Kejutan lainnya adalah saat kami diberitahu bahwa asuransi
hanya menanggung perawatan 1 x 24 jam sejak saya melahirkan.
Perpanjangan rawat inap harus kami bayar sendiri. Harganya
tidak murah.
Saat suami bertanya apakah saya ingin menginap semalam
lagi, saya mantap menjawab, "Enggak, ah. Pulang saja."
Saya menguatkan diri. Hanya 24 jam setelah bertarung di
kamar bersalin, suami membawa saya clan si kecil ke dalam
88 Memoar of Jeddah

mobil dan pulang ke apartemen. Terus terang saya cukup ta­


kut. Tidak ada siapa-siapa yang menunggu di rumah. Un­
tunglah, seminggu sebelum melahirkan kami sudah mulai
menggunakan jasa asisten rumah tangga. Akan tetapi, asisten
ini hanya datang 3 kali seminggu, empat jam per kedatangan.
Ternyata, setelah menghadapi keadaan itu, semua bisa ter­
lewati. Sejak pulang ke rumah, dari hari pertama saya yang
memandikan si kecil. Kadang-kadang saya tetap memasak
untuk anak sulung dan suami. Sesekali beberes rumah karena
asisten tak datang tiap hari.
Apa pun yang terjadi, kita cuma harus menghadapinya.
Walaupun terlihat menakutkan, asalkan bersedia ikhlas dan
tak berhenti berikhtiar dalam menjalaninya, kekuatan akan
datang sendiri.
"Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan
apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia/ah Pelindung
kami, dan hanya kepada Allah orang-orangyang beriman harus
bertawakal. "'(QS. At-Taubah [9]: 51)

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
90 Memoar of Jeddah

PAs-syamsu
aman Syam, bukan Paman Sam. Syam diambil dari kata
yang berarti matahari dalam bahasa Arab. Ka­
rena cahaya matahari melimpah ruah di negara ini, cukup
tepat kalau saya memberi julukan Negeri Paman Syam.
Akhir pekan di negara Saudi Sabtu-Minggu. Menghabiskan
akhir pekan ke mana kita?
Di Saudi tidak ada kastil-kastil unik seperti di Jerman dan
lnggris, yang konon dijuluki Negeri Seribu Kastil. Mustahil
menemukan danau-danau dikelilingi nuansa hijau seperti
Norwegia, Negeri Seribu Danau. Tidak bisa menikmati rum­
put hijau mahaluas seperti di Selandia Baru dan Irlandia yang
terkenal dengan kecantikan pemandangan alam hijaunya.
Namun, harap diingat, (mungkin) tujuan hidup utama
(hampir) seluruh umat muslim di dunia adalah... Mekkah dan
Madinah! Sebagian mungkin perlu menabung, menyiapkan
waktu, mengurus izin, dan lain-lain. Sementara itu, pemukim
Jeddah tinggal mengisi bensin dan memacu mobil dalam ku­
run waktu kurang dari sejam untuk bersimpuh di hadapan
Ka'bah.
Pesona Negeri Gurun ini tidak cuma berpusat di dua Kota
Suci tadi. Banyak tempat untuk menghabiskan akhir pekan
di kota Jeddah. Jangan ragu melebarkan langkah ke luar kota.
Berapa harga bensin di Saudi? Plus, berapa harga mobil di
Saudi? Kondisi jalan to! antarkota? Mahalkah karcis tolnya?
Bensinnya hanya seribu rupiah per liter. Kualitasnya selevel
pertamax semua. Harga mobil di Saudi jauh lebih murah
daripada di Indonesia. Semua to! pun gratis dengan kondisi
jalan yang mulus dan lebar-lebar.

***
Berakhir Pakan di Negeri Paman Syam 91

Jakarta terkenal dengan banyaknya mal megah. Jeddah pun


tidak kalah. Oulu, rasanya sudah encok kalau diajak berputar­
putar di mal-mal besar di Jakarta. Kalau di Jeddah, silakan uji
dengkul di Red Sea Mall yang konon merupakan salah satu
mal terbesar di dunia.
Mal-mal di Jeddah dibangun di atas lahan yang sangat
luas. Rata-rata cuma dua lantai. Tiap mal dilengkapi dengan
lahan parkir yang tidak kalah luasnya. Parkirannya pun tidak
berbayar alias gratis sepanjang waktu. Coba bayangkan sendiri
sebesar apa bangunan mal dan parkirannya jika dilihat dari
luar. Gerai-gerai internasional sekelas Zara, Mango, Guess,
dan Top Shop nyaris ada di mana-mana.
Kalau ke Jeddah, jangan mentok di daerah Balad saja. Main­
mainlah ke Tahlia Street. Di Tahlia ini ada jejeran ma! kelas
atas, misalnya Rubaiyat yang menjual produk-produk sekelas
Gucci, Armani, Burberry, LV, dan merek lain yang sekelas.
Masa ke mal melulu? Ya, jangan. Kalau enggak ada diskon,
mending ke playground saja. Playground di Jeddah tidak kalah
banyaknya. Bisa dikunjungi oleh siapa saja tanpa dipungut
biaya sepeser pun.
Kalau di tanah air sedang ramai-ramainya Saturday Morning
Run, kami di Jeddah punya Thursday Morning Run. Playground
favorit saya dan teman-teman terletak di belakang Hotel
Hilton, Corniche. Tempatnya luas dan nyaman.
Baru-baru ini wilayah North Corniche baru saja meram­
pungkan proses pemugaran. Di sana sudah dibangun banyak
playground yang bagus, luas, bersih, dan lengkap.
Corniche Road yang bersentuhan langsung dengan Laut
Merah tidak cuma dihuni oleh Masjid Apung. Ada King
92 Memoar of Jeddah

Fahd Fountain di sisi Corniche ke arah Balad. Air mancur ini


sanggup memancarkan air hingga ketinggian 320 m di atas
permukaan laut. King Fahd Fountain ini merupakan air man­
cur tertinggi di dunia.
Sekadar berputar-putar di dalam kota pun sudah seru. Kota
Jeddah bertabur monumen-monumen cantik dengan bentuk
yang unik dan artistik. Tak ada patung orang atau makhluk
hidup lainnya. Haram buat mereka.

***

Pesona pesisir barat Negeri Minyak ini tidak kalah cantiknya.


Kalau di dalam kota ada Corniche Road, sedikit keluar kota,
mari mengunjungi Pantai Obhur.
Menuju Obhur cuma perlu sekitar 30 menit. Fasilitas
umumnya kurang bagus menurut saya, tetapi tempatnya cukup
bersih. Saya lumayan terhibur dengan adanya penyewaan pa­
yung besar sehingga bisa nyaman berlindung dari sengatan
terik matahari. Di Obhur, anak-anak boleh berenang di tem­
pat-tempat tertentu.
Selain Obhur, Pantai Dhurrat juga tergolong dekat. Na­
mun, Dhurrat ini termasuk private beach. Tidak gratis, harus
membayar jika ingin masuk ke sana. lstimewanya, di Dhurrat
bebas melepaskan abaya alias tidak wajib berhijab. Konon, di
beberapa tempat bahkan boleh berbikini.
Lebih jauh sedikit, selamat datang di Pantai Thuwal.
Thuwal jauh lebih bagus. Tempatnya bersih, nyaman, kamar
mandinya banyak, dan pasirnya enak untuk bermain-main.
Berakhir Pakan di Negeri Paman Syam 93

Petugas kebersihan wira-wiri di mana-mana. Di Thuwal juga


lebih bebas berkeliaran ke dalam air. Maklum, letaknya bukan
di laut lepas melainkan di daerah tanjung.
Melangkah lebih jauh lagi, ada South Corniche (Laut
Yaman). Sayang sekali, tempat ini kurang terawat. Sampah ber­
serakan di mana-mana. Tidak ada petugas kebersihan khusus
seperti di Obhur atau Thuwal. Pengunjungnya pun lebih sepi.
Namun, tempatnya cukup unik dengan suasana yang berbeda.
Jangan lupa juga ke North Obhur. Saya sendiri cuma num­
pang lewat saat ke sana. Suasananya mirip sekali dengan South
Corniche, tetapi pengunjungnya lebih ramai.
Yang lebih jauh juga ada. Sempatkan berjalan-jalan ke
Pantai Rabigh. Pantai ini terletak di kota Rabigh, salah satu
kota tempat pengilangan minyak milik Petro-Rabigh. Jaraknya
200-an kilometer dan dapat ditempuh dalam waktu dua jam
saja dari Jeddah.
Di Rabigh ada pantai yang terbuka untuk umum, ada pula
yang privat. Kalau punya teman yang tinggal di sana, kita bisa
memasuki wilayah privat tadi. Tempatnya lebih cantik dan
bersih. Namun, menggelar tikar di Corniche Road, Rabigh,
pun sudah cukup memuaskan.
Masih gatal ingin menyetir lebih jauh mumpung harga
bensin hanya seribu rupiah per liter? Jangan ragu-ragu mela­
jukan mobil menuju Yanbu. Kota industri yang jauh lebih be­
sar daripada Rabigh ini terletak di dekat kota Badar. Jadi, bisa
sekalian menyambangi Padang Badar, tuh. Waktu tempuhnya
dari Jeddah sekitar 3,5 jam.
Jangan khawatir, banyak penginapan (jut! service aparte­
men yang berharga murah) dan hotel, dari level melati sam-
94 Memoar of Jeddah

pai bintang lima. Di sepanjang pesisir pantai Yanbu juga ber­


tebaran resort-resort yang lagi-lagi dari level melati sampai level
muahaaalll.
Sebagian wilayah Pantai Yanbu juga tertutup uncuk umum
alias private beach. Perlu merogoh kocek uncuk bisa mengincip
sampai ke dalam.

***

Kangen suasana hijau, segar, dan dingin? Kalau begicu, wajib


berziarah ke Thai£ Thaif ini dekat dari kota Mekkah. Sebelum
mencapai Thaif, kita sudah dibuat takjub oleh highway menuju
ke acas. Sebelum Thaif, ada Al Hada. Mampirlah sebencar un­
tuk mencoba cable car. Kereta gantung ini akan membawa kita
menikmati hamparan bukit batu dari ketinggian.
Thaif masih kurang dingin. Mau lebih seru dengan highway
yang lebih wah? Colek suarni untuk menyecir ke wilayah Al
Baha. Rasakan sensasi melangkah di atas awan Al Baha. Ke­
tinggian tempatnya melewati awan. Sayang sekali, hingga
meninggalkan Saudi, kami belum sempat berjalan-jalan ke
Baha.
Selain Al Baha, ada Abha. Abha ini terletak sekitar 800 km
dari Jeddah. Suami saya sempac ke sana bersama ceman-ceman
prianya. Katanya, tempat itu lebih hijau dan lebih dingin
daripada Thaif.

***

Tempat bersejarahnya banyak acau cidak, ya? Wilayah Saudi


merupakan tempat kelahiran Nabi Muhammad saw. Tentu
Ban:ikhir Palcan di Negeri Paman Syam 95

banyak sekali tempat bersejarah untuk umat muslim di sean­


tero Saudi. Kita bahas yang dekat-dekat Jeddah saja, ya.
Kota Mekkah tentu ada di daftar paling puncak. Kalau
ke Mekkah dan bukan musim haji, kunjungilah Mina dan
Arafah. Sepi sekali. Saya sendiri bercucuran air mata saat ke
sana sebelurn final exit. Soalnya beberapa bulan sebelumnya,
saya baru saja menunaikan ibadah haji.
Suasananya sangat berbeda. Mina dan Arafah seperti sedang
tertidur. Sepi sekali. Sangat jauh berbeda saat mendatanginya
pada musim haji kemarin. Kami bahkan menemukan areal
tenda kami di Mina. Tempatnya ditutup tapi kita bisa berjalan
kaki ke sana. Duh, kalau ingat berhaji, susah sekali untuk tidak
mengalirkan air mata.
Madinah juga sarat dengan tempat bersejarah. Dari masjid­
masjidnya (Nabawi, Kiblatain, Kuba, dan lain-lain), Jabal
Uhud-lokasi perang Khandaq-hingga Ar-Rawdah, makam
Nabi yang terletak dalam areal Masjid Nabawi. Tempat wisata
lain juga ada, misalnya kebun-kebun kurma dan Jabal Magnet.
Sekitar 400 km dari Madinah ada kota Al-Ula. Di kota
inilah terdapat sebuah situs bersejarah warisan dunia yang
bernama Al Hijr, atau lebih terkenal dengan nama Maclain
Saleh.

***

Tempat lain yang kami kunjungi beramai-ramai adalah


Bahrah. Ketika itu, teman-teman mengajak kami menjelajahi
gurun pastr.
96 Memoar of Jeddah

ltulah liburan penutup bersama teman-teman sebelum


kami sekeluarga menyerahkan iqama di imigrasi, pertanda
kami sudah melakukanfinal exit dari Saudi.
Kini, meski raga sudah berbulan-bulan tidak di Saudi
lagi, kenangan tentang negara itu masih utuh di dalam hati.
Seringnya menjelma menjadi air mata pada saat-saat tertentu,
termasuk saat menuliskan memoar ini.
Namun, jangan bersedih terlampau larut. Bersyukur telah
diberi kesempatan indah menikmati tempat-tempat luar biasa
di Negeri Penjaga Kota Suci Islam ini.

···· �"' ,,. U '' .


LJ
"':'��.)� i�4!
·

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dusta­


kan?" (QS. Ar-Rahman, [55]: 77)

''Mahaagung nama Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan


karunia. "(QS. Ar-Rahman [55]: 78)

***

IRAQ
AmmaR

-Buraydah .
Dai
YPT �
� .Medina * ·
<.g Vanbu
RI�
9
SAUDI ARABIA

Mecca
·
Jedd ah raif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
98 Memoar of Jeddah

B
agi sebagian besar jamaah umrah clan haji asal Indonesia,
kota Jeddah hanya merupakan tempat persinggahan se­
malam. Kota Jeddah sering diidentikkan sebagai pusat per­
belanjaan di Balad (Corniche Commercial Center) clan Masjid
Apung saja.
Sebenarnya bukan cuma kedua tempat tersebut yang bisa
disambangi kala mampir ke kota terbesar kedua di Arab Saudi
ini. Ada rupa-rupa sudut kota yang menawarkan daya tarik
berbeda-beda.

Corniche Road

Salah satu julukan yang disematkan untuk kota Jeddah adalah


"Pengantin Laut Merah''. Tidak salah. Kota ini memang ber­
singgungan langsung dengan pesisir Laut Merah. Jalan raya di
tepian pantai tersebut dikenal dengan nama Corniche Road.
Corniche Road ini tidak hanya berupa satu jalan panjang
yang sambung menyambung, tetapi terbagi atas dua bagian.
Jalan ini terletak di Distrik Al Hamra clan Distrik Ar Rawdah.
Yang wajib dikunjungi kala melintasi Corniche Road di
sepanjang Ar Rawdah adalah Masjid Apung. Nama aslinya
adalah Masjid Ar Rahman. Diberi julukan "Masjid Apung"
karena sebagian fondasinya cerletak di dasar laut. Sembari
menunggu waktu shalat tiba, biasanya jamaah asal Indonesia
berfoto di tepi pantai di sisi kanan masjid.
Saya kurang tahu apa yang menyebabkan masjid ini bisa
menjadi tempat wajib buat jamaah asal Indonesia. Ada yang
bilang bahwa dulunya salah satu khatib di masjid ini adalah
seorang imam asal Indonesia. Entah betul atau sekadar rumor.
Rupo-Rupo Wajah Kola Jeddah 99

Jeddah - Masjid Apung

Selain Masjid Apung, ada King Fahd's Fountain yang


menarik untuk disinggahi di Corniche Road di sepanjang
Distrik Al Hamra. Air mancur tertinggi di dunia sanggup
memancarkan air hingga ketinggian 312 1neter di acas per­
mukaan Laut Merah.
Air mancur ini hanya beroperasi saat senja menjelang hingga
wakru subuh. Jadi, pasrikan 1nelewatinya pada 1nalam hari.
Di sepanjang Corniche Road mudah ditemukan hotel
berbintang lima. Selain hotel kelas atas, terdapat pula apar­
ten1en-apartemen mewah. Bermacan1-macan1 theme park
(tempat hiburan buat keluarga) pun ada di kawasan ini.
Saat akhir pekan, hari Kamis dan Jumat, sepanjang tepian
pantai didatangi banyak orang. Pada umumnya n1ereka ke
pantai unruk berpiknik. Orang-orang Arab akan dacang be­
ramai-ramai, menggelar tikar, membawa termos dan penga­
nan, lalu duduk bersantai hingga larut malam.
l 00 Memoar of Jeddah

Corniche Road juga menjadi tempat rutin untuk berburu


objek foto yang menarik. Pehobi forografi sering menjelajahi
area di sepanjang jalan ini untuk merekam jejak alam yang
indah di sekitar pantai.

Corniche Road

Balad, Kenangan Jeddah pada Masa Lampau

Distrik Balad ini mungkin merupakan distrik paling rerkenal


bagi jamaah asal canah air. Di sinilah terdapac Corniche
Commercial Center yang dikenal sebagai Pasar Balad. Tempat
ini hampir selalu menjadi rujuan jamaah Indonesia unruk
berburu oleh-oleh.
Sebenarnya Balad menyimpan banyak kisah tentang)eddah
pada masa lalu. Distrik Balad ini dulu merupakan pusat kota
Jeddah. Konon, kora Jeddah ini tadinya hanya sebuah kora
Rupa-Rupa Wajah Kola Jeddah 101

nelayan kecil yang perlahan-lahan membangun diri menjadi


salah satu kota metropolitan dunia.
Sisa-sisa bangunan tempo dulu yang berusia di atas 100
tahun masih tersebar di Balad. Arsitektur bangunannya khas.
Bentuknya seperti kotak yang dilapisi jendela-jendela kayu
berwarna cokelat. Ada sebuah wilayah khusus yang dipugar
clan dilindungi oleh pemerintah. Wilayah ini bernama Historic
District.
Historic District merupakan sebuah kawasan yang terdiri
dari beberapa bangunan lama yang sudah tidak ditinggali lagi.
Namun, bila kita menyusuri jalan-jalan kecil ke dalam kom­
pleks ini, kita bisa menemukan beberapa tunawisma yang
memanfaatkan bangunan kosong ini sebagai tempat tinggal
mereka.
Beberapa bangunan seperti hotel clan kantor pemerintahan
pun masih mengusung arsitektur khas Arab tempo dulu, mi­
salnya Hotel Radisson di Madinah Road. Hotel ini diberi aksen
jendela-jendela cokelat kayu yang mengelilingi keseluruhan
bangunan.
Di daerah Balad juga terdapat banyak pasar khas Arab.
Jadi, jangan terpaku di Corniche Commercial Center saja. Di
sini ada Bab Shareef, tempat Anda bisa menemukan macam­
macam kaftan clan pashmina yang bisa dibeli secara grosiran.
Harganya tentu lebih murah. Jangan lupa ke Bab Mekkah me­
lihat-lihat karpet clan berburu oleh-oleh khas negeri gurun ini.
Untuk membeli abaya tidak perlu jauh-jauh. Abaya di
Madinah memang terkenal dengan harganya yang murah tapi
bahannya kurang bagus. Mampir saja ke Queen's Building yang
terletak di belakang gedung Corniche Commercial Center.
102 Memoar of Jeddah


--

Bangunan kantor dcngan arsitcktur kuno

Rupa-rupa abaya dengan harga variacif bisa Anda dapackan di


sana.

Kota Super Mal

Tak banyak yang tahu betapa banyaknya mal besar di kota


Jeddah ini. Bukan main pembangunan mal di koca besar yang
berjarak sekicar sejam dari Koca Suci Mekkah ini. Ada belasan
bangunan yang cersebar di berbagai penjuru kota.
Salah sacu yang cerbesar adalah Red Sea Mall. Letaknya agak
jauh, di sebelah ucara koca Jeddah. Bangunannya berlapis kaca
di mana-mana. Wah, saya sampai kepayahan saac mencoba
menjajal habis seluruh sudut mal ini. Ada juga Mall of Arabia
yang cak kalah megahnya. Mal ini cerlecak di Madinah Road
dan pasci akan cerlewaci dalam perjalanan pulang-pergi ancara
Jeddah - Bandara Incernasional King Abdul Aziz.
Rupa-Rvpa Wajah Kola Jeddah 103

Pencinta barang-barang bermerek kelas atas jangan sampai


melewatkan Tahlia Street yang borju. Di sinilah bertebaran
gerai-gerai internasional ternama, baik yang berdiri sendiri
maupun yang terdapat di dalam mal. Ada bangunan Versace
berwarna emas yang khas di salah satu sudut jalan. Kunjungi
pula Rubaiyat, mal yang memamerkan brand kelas atas seperti
Gucci, Saint Laurent, Louis Vuitton, Armani, juga Dolce &
Gabbana.
Beberapa mal mewah berjajar di sepanjang Tahlia Street,
antara lain Nojoud Center, Le Mall, Jeddah Mall, Tahlia
Roshana Center, dan Tahlia Shopping Center.
Harga barang-barang merek ternama ini lebih murah dari­
pada harga barang yang sama di tanah air. Mungkin karena
negara Saudi tidak menerapkan aturan pajak apa pun. Bolehlah
membeli beberapa barang untuk selanjutnya ditawarkan ke­
pada kerabat di tanah air.
Kuliner internasional papan atas juga ikut meramaikan hi­
ruk pikuk di salah satu jalanan utama kota ini. lstimewanya
lagi, kuliner di Saudi ini dijamin kehalalannya oleh pemerintah.
Jadi, silakan sepuasnya bersantai di restoran kelas dunia yang
ada di Tahlia Street.
Mal-ma! lainnya yang cukup terkenal dan terletak di jantung
kota antara lain adalah Andalus Mall, Aziz Mall, Serafi Mega
Mall, Roshan Mall, dan Star Avenue. Bermunculan pula mal­
mal baru dengan ukuran tak kalah besarnya seperti Haifa Mall
dan Central Park.
104 Memoar of Jeddah

Jeddah yang Bertabur Monumen

Sekadar menyusuri jalanan kota Jeddah, mata kita akan di­


manjakan oleh banyaknya monurnen. Sepeda raksasa di Sitten
Street yang terkenal dengan narna "Sepeda Nabi Adam" itu
cuma satu di antara seribu.
Monumen-monumen cantik ini tertata rapi, memenuhi
segala sudut kota. Dari ruas jalan, persirnpangan, sarnbungan
jalan, sampai ke tepi pantai. Ada yang berbentuk kompleks,
tapi banyak juga yang hanya berupa bangunan kecil nan unik,
misalnya jangka raksasa, alat-alat pertukangan (Linggis, palu,
dan lain-lain), benturan mobil warna warni di sebuah dinding,
bola dunia, serta tangan raksasa yang terkepal dengan gagah.
Corniche Road juga merupakan pusatnya monumen-mo­
numen unik. Sembari menikmati suasana pesisir, jangan lupa
mengedarkan pandangan melihat-lihat bangunan-bangunan
seru yang berjejer di jalanan pantai ini.
Favorit saya pribadi adalah The Giant Lantern, empat len­
tera raksasa yang berdiri perkasa di salah satu jalan protokol,
King Abdullah Road. Pada siang hari, monumen ini hanya
berupa lampu-lampu besar penuh debu tanpa warna. Akan
tetapi, cobalah melewatinya pada malarn hari. Lentera raksasa
ini akan berselimutkan cahaya warna-warni laksana lentera
dari negeri dongeng.
Rupa-Rupa Wajah Kola Jeddah 105

Sepeda Nabi Adam

Monumen di Corniche Road


l 06 Memoor of Jeddah

Jalan-Jalan di KotaJeddah?

Sebenarnya tidak perlu waktu lama untuk menyusuri berbagai


tempat tadi karena infrastruktur jalan yang cukup bagus. Jalan
raya di Jeddah lebar clan n1ulus. Ken1aceran juga jarang terjadi.
Kalau Anda adalah jamaah umrah clan haji, mungkin Anda
bisa menghubungi pengawas rombongan. Pengawas biasanya
ada yang memang bermukim di negara Saudi. Para pengawas
ini punya kenalan sopir-sopir yangjuga berasal dari Indonesia.
Mungkin Anda bisa memanfaatkan jasa mereka.

Jalan Raya
Baghdad.


IRAQ
Amman

a1
J
Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
tg Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto �r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
108 Memoar of Jeddah

ermukim dua tahun di kotaJeddah, memperkenalkan saya


B kepada tempat-tempat menarik di Saudi. Ternyata ada
pesona lain dari kota-kota di sekitar Jeddah-selain magnet
dari dua Kora Suci umat muslim, Mekkah dan Madinah. Harga
bensin yang sangat murah seolah ikut memberi dukungan
untuk melancong ke luar kota setiap akhir pekan atau ketika
liburan tiba, seperti ketika Lebaran.
Suasana Lebaran di kota Jeddah jauh berbeda dengan pera­
yaan di tanah air. Sepi sekali suasana kota menjelang dan saat
Hari Raya tiba. Jadilah, liburan Hari Raya Idul Fitri tahun lalu
kami sekeluarga berlibur ke kota Yanbu dan Badar.

Yanbu: Kota lndustri, Kota Pantai

Kota Yanbu terletak sekitar 300 km di sebelah utara kota


Jeddah. Dengan infrastruktur jalan antarkota di Saudi yang
umumnya lebar nan mulus, jarak ini bisa ditempuh dalam
tempo kurang dari tiga jam.
Hati-hati, jangan terbius untuk ngebut. Ada kamera peng­
intai kecepatan yang siap menangkap basah pengemudi nakal
dan menjeratnya dengan denda ratusan riyal.
Di sepanjang perjalanan, gunung-gunung batu yang berdiri
megah, peternakan unta di beberapa sudut gurun, serta ham­
paran padang pasir mahaluas menghiasi kiri kanan jalan.
Memasuki kota Yanbu, dengan menyusuri jalanan utama
King Abdul Azis Road, suguhan pertama adalah kilang-kilang
minyak, diselingi bangunan berbahan seng berbentuk kotak
alias gudang, atau dikenal dengan istilah warehouse.
Yanbu-Badr, dari Panlai ke Padang Pasir 109

Di Yanbu inilah terdapat pengilangan minyak kepunyaan


Saudi Aramco, perusahaan minyak asal negeri Paman Sam.
Sejak tahun 1970-an, sebagian wilayah kota Yanbu ini disulap
menjadi kota industri oleh pemerintah Saudi.
Pemandangan ala daerah industri dari berbagai perusahaan
internasional ini bisa dinikmati sepanjang sekitar 30-40 km.
Setelah itu, berganti dengan taman-taman dengan bunga ber­
warna-warni serta playground yang tertata rapi.
Wah, suasananya berbeda dengan kontur umum di Saudi
sebagai negara tandus. Sepertinya, bagian kota yang ini me­
mang ikut "disulap" menjadi keren untuk kepentingan warga
Yanbu yang menghuni wilayah perumahan di sekitar pabrik­
pabrik tadi. Mereka rata-rata pekerja asing. Mungkin agar
mereka betah tinggal di kota kecil nan sunyi ini.
Kalau berbelok di kiri-kanan jalan utama yang bertaburan
taman tadi, kita akan melihat jajaran compound. Ada yang ma­
sih dalam proses pembangunan, ada pula yang sudah berdiri
kokoh, lengkap dengan pos penjaga beserta satpamnya.
Compound adalah semacam kompleks perumahan yang
biasanya dikelilingi oleh tembok tinggi. Siapa pun yang berada
dalam compound terbebas dari aturan-aturan khas Saudi, mi­
salnya kewajiban berabaya untuk wanita dewasa dan pe­
rempuan tidak boleh menyetir.
Compound merupakan pemukiman yang umum ditemukan
di banyak kota di Saudi. Modelnya bermacam-macam. Dari
yang hanya berupa susunan rumah mungil tanpa lahan untuk
kendaraan, hingga yang berukuran sangat luas, lengkap dengan
berbagai fasilitas olahraga dan supermarket.
1 10 Memoar of Jeddah

Selain barisan compound, ada juga rumah-rumah kecil atau


gedung-gedung apartemen kecil yang tertata apik di sepanjang
jalan. Ada minimarket yang tersebar di beberapa tempat.
Komplet dengan pohon-pohon yang ditanam rapi di pinggiran
jalan. Bersih dan teduh.
Balik lagi ke jalan utama, King Abdul Azis Road, dan terus­
lah mengikuti jalan ke arah utara. Perlahan-lahan kita akan
memasuki bagian kota yang belum tersentuh efek modernisasi.
Bagian kota yang ini jalan-jalannya mulai mengecil. Bangunan­
bangunan apartemennya berukuran kecil dan banyak yang
sudah kusam.
Lama-kelamaan, masih menyusuri King Abdul Azis ini, kita
akan bertemu dengan pesisir pantai Laut Merah. Di sekitar
sini banyak ditemui penginapan berupa hotel dan resort.

Pesisir pantai kota Yanbu tergolong bersih. Dari kejauhan,


warna air laut tampak berkilau kehijauan. Mendekatlah ke
bibir pantai, lalu jejakkan kaki ke dalam airnya hingga teng­
gelam. Bayangan kaki kita akan terlihat jelas karena airnya be­
ning sekali.
Pesisir pantai Yanbu cukup panjang. Kami mencoba menyu­
suri pesisirnya dari satu ujung ke ujung yang lain dengan
menyetir santai. Namun, karena sudah sejam belum tampak
ujungnya, kami pun memutar balik.
Kami berhenti di beberapa tempat untuk mengambiJ foto.
Ada beberapa tempat yang sekilas mirip dengan suasana di
Pantai Anyer dan Pangadaran.
Sebagian wilayah pesisir Yanbu ditutup untuk umum,
disekat dengan pagar tinggi atau tembok semen. lni me­
nunjukkan wilayah tersebut tergolong private beach. Untuk
Yanbu-Badr, dari Pantai ke Padang Pasir 1 1 1

melongok ke dalam, perlu merogoh kantong. Tempat-tempat


seperti ini juga dilengkapi dengan r
esort, dari yang biasa-biasa
saja hingga yang 1nenawarkan fasilicas bintang li1na.
Pada u1nu1nnya, daerah pancai di Saudi ini hanya ramai
bila malam telah menjelang. Pada saat itu, barulah orang­
orang Arab berbondong-bondong 1nenggelar tikar di sepan­
jang pcsisir pancai dan duduk bcrsancai di sana. Tak lupa
memboyong termos minuman hangat dan camilan. Tidak
seperti di Indonesia, di sini jarang ditenu1kan pedagang kaki
li1na yang 1nenjual 1nakanan.
Hari beranjak senja. Ka1ni menepi sebentar unruk menik­
mati pemandangan. Setelah puas menikmati langit yang ber­
warna kuning ken1erahan, ka1ni 111en1utuskan untuk 1nencari
pcnginapan di Yanbu.

Pant;li Yanbu -Air Jernih


1 1 2 Memoar of Jeddah

Akomodasi di Yanbu

Mengenai penginapan, tak perlu khawatir. Ada beberapa hotel


berbintang beserta resort yang berdiri megah di kota ini dan
bisa di-booking secara online. Sebagian besar hotel tersebut
dibangun di sekitar pesisir pantai Yanbu, di antaranya:
• Movenpick Hotel & Resort.
• Tulip Inn Hotel, hanya berjarak ratusan meter dari bi­
bir pantai, tempatnya rindang, clan dilengkapi dengan
playground untuk anak-anak.
• Radisson Blu Hotel.
• Dolphin Beach Resort, salah satu resort yang terletak di
dalam wilayah private beach.

Kami sendiri menginap di sebuahfull service apartmentyang


terletak di tengah kota. Hanya sekitar 15 menit berkendara
dari kawasan bibir pantai.
Penginapan macam ini juga ada, tersebar di beberapa jalan­
an utama kota. Tempatnya bersih, dilengkapi dengan dapur
mini. Harganya l 70SR per malam.
Untuk makanan pun tidak perlu risau. Meskipun tergolong
kota kecil, di Yanbu ada gerai-gerai makanan internasional
seperti Pizza Hut. Ada juga gerai Al Baik, ayam goreng tepung
asal Saudi yang cukup terkenal, bahkan untuk para pendatang.
Di food court yang ada di Dana Mall juga ada beragam
makanan. Dari menu khas Arab, India clan Pakistan, hingga
menu Asia lainnya. Dana Mall ini cukup besar. Mal-mal di
Saudi, walaupun jarang yang bertingkat, rata-rata berukuran
Yanbu-Badr, dari Pantai ke Padang Pasir 1 1 3

Panrai Yanbu -Senja

sangac luas. Gerai-gerai pakaian cernama seperci Zara, Mango,


dan Guess juga ada di sini. Jadi, bisa sekalian window shopping.

Berpetualang ke Padang Badar dan Mengunjungi Makam


Syuhada Badar

Secelah menjelajahi koca Yanbu dan mencicipi senja di pesisir


pancainya, keesokan paginya kami berpecualang ke Badar.
Tujuan utama kami adalah menikmati bukit pasir halus di
Padang Badar.
Badar adalah kota kecil yang berjarak sekitar 90 km dari
Yanbu. Tak susah menemukan jalan menuju koca ini dari
Yanbu karena banyak petunjuk bertebaran di sepanjang jalan.
Namun, cidak ada salahnya meminca bancuan melalui GPS.
Tidak sampai sejam perjalanan, kami sudah memarkir mo­
bil di salah satu sisi bukit pasir yang terhampar di sebagian
1 14 Memoar of Jeddoh

.•
- '!t: •

.
...

.;" .·J . ..

. .. . �
-
.
., .
. .
. . �. ..
.

·�.·

Badar - Hamparan Padang Pasir

besar wilayah kota ini. Pilihlah bukit pasir yang halus tanpa
kerikil.
Saat itu musim dingin sudah menjelang, namun suhu be­
lum terlalu rendah. Suhu gurun pagi itu mencapai 37 derajat
cekius. Konon, pada puncak musim dingin, suhu sore hari di
padang ini bisa berada di bawah 1 0 derajat celcius. Brrrr....
Apabila membawa bayi, sebaiknya berkunjung pada pagi
hari. Biarpun sore hari lebih sejuk, namun anginnya cukup
kencang. Pasirnya beterbangan ke mana-mana.
Anak sulung kami bebas berlarian di padang pasir mahaluas
itu sambil sesekali mendaki. Pasirnya tidak terasa panas di ku­
lit. Tanpa angin, pasirnya hanya berhan1buran bila terinjak
kaki. Hawanya pun tidak gerah. Anak kedua saya yang saat icu
masih berusia lima bulan tidak rewel sama sekali.
Yanbu-Badr, dari Pantai ke Padang Pasir 115

Bermain di Padang l'asir Badr

Setelah mendaki bukit pasir yang agak tinggi, terlihat


hamparan gurun pasir yang sangat luas. Terlihat juga jalan­
jalan raya berliku yang membelah gurun. Datarannya sangat
empuk, seolah akan nlengisap kaki-kaki kita. Benar-benar
tun1pukan pasir membencuk bukic, bukan bukit bacu berlapis
pasir. Lepaskan alas kaki bila tidak ingin langkah memberat
akibac butiran-buciran pasir yang menyusup nlasuk.
Kota Badar merupakan salah satu saksi penting dalam se­
jarah penyebaran agama lsla1n. Di Sadar inilah terjadi pe­
perangan besar pertama umat muslim sejak hijrah ke Madinah.
Pasukan muslim yang berjun1lah jauh lebih sedikic berhasil
n1cn1ukul mundur musuh. Bebcrapa sahabat Nabi gugur
dalam pertempuran ini. Mereka dimakamkan di salah satu
tempat di kota Badar ini. Sayangnya, ketika liburan itu kami
tidak sen1pat berkunjung ke maka1n para syuhada Badar.
1 1 6 Memoar of Jeddah

Namun, beberapa waktu lalu, saat ibu mertua mengunjungi


kami sekaligus beribadah umrah, kami bertandang lagi ke kota
Badar ini. Sekali ini disertai niat berziarah ke makam tersebut.

Badar - Hamparan Padang Pasir

Tempatnya mudah dijangkau. Jangan khawatir, semua


orang mengerti jika kita bertanya. Bilang saja "Makam Badar?"
Orang-orang sudah paham. Makam ini terletak di tengah
kota Badar. Sangat mudah menemukannya. Ada di sisi salah
satu jalan utama di kota ini. Kotanya lebih kecil lagi daripada
Yanbu.
Di jalan tersebut juga dibangun semacam rugu dan monu­
men Perang Sadar. Monumen tersebut memuat nama keempat
belas sahabat Nabi yang mati syahid dalam peperangan itu.
Yanbu-Badr, dari Pantai ke Padang Pasir 1 1 7

lvlonumcn Para Syuhada Badar

***
1 1 8 Memoar of Jeddah

Demikianlah kisah berjalan-jalan kami selama dua hari penuh.


Menikmati suasana kota Yanbu yang berbeda dengan hiruk
pikuk di Jeddah, sekaligus menjajal pesisir pantainya yang
bersih. Tak lupa mampir ke kota Badar, bermain-main di
padang pasirnya clan berziarah ke salah satu tempat bersejarah
di sana.

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
120 Memoar of Jeddah

adinya saya berpikir mustahil bertemu yang hijau-hijau


T di Saudi karena negara ini terletak di daerah gurun.
Meskipun terkesan dengan pantai-pantai cantik dan peman­
dangan khas gurun yang berjejer di pesisir barat negeri Petro
Dolar ini, saya pun rindu menyaksikan suasana alam dengan
dominasi warna hijau yang segar.
Ternyata ada, lho, pemandangan seperti ini di Saudi. Sila­
kan melebarkan langkah menuju kota Thai£ Terletak di lereng
Perbukitan Sarawat, wajar saja jika kota ini memiliki iklim
yang sejuk hampir sepanjang tahun.
Thaif adalah tujuan wisata yang cukup umum bagi pendu­
duk Saudi saat musim panas tiba. Termasuk untuk saya, Jihan
Davincka, yang sekarang ini bermukim di kota Jeddah.
Kota ini pernah punya kisah dalam sejarah perjalanan Nabi
Muhammad menyiarkan agama Islam. Konon, Rasulullah per­
nah dilempari batu oleh penduduk Thaif ketika beliau sedang
berdakwah di tengah kota. Namun, banyak yang meragukan
kebenaran riwayat ini.

Perjalanan Mendaki Bulcit Batu

Kota Thaifberjarak sekitar 100 km di arah tenggara Kota Suci


Mekkah. Dari Jeddah sendiri, kota ini bisa dicapai dalam 90
menit bermobil.
Sebelum mencapai kota Thaif, kita sudah akan terpukau
dengan jalanan yang melewati lereng-lereng pegunungan
batu yang terjal. Jalanan ini merupakan akses utama menuju
Thai£ Jalanan yang panjang, curam, dan meliuk-liuk tersebut
dibangun dengan megah di atas gunung-gunung batu.
Theil, Musim Semi di Gurun Saudi 121

Jabnan di hukir hcrharu

Saya tak bisa membayangkan berapa lan1a pemerintah Saudi


membangun jalanan tersebut 111engingat tiang-tiang penyangga
122 Memoar of Jeddah

jalannya yang kokoh dan panjang. Biarpun medannya terlihat


menakutkan, jalan ini sangat aman dan nyaman untuk dilalui.
Keselamatan pengguna jalan sangat diperhatikan. Di tiap
tikungan yang sangat curam dan belokan tajam dipasang
banyak speed breaker. Dua jalur yang tidak searah disekat
dengan beton panjang. Kita tak akan berpapasan langsung
dengan mobil dari arah yang berlawanan. Di pinggir jalan
yang mengarah ke lembah juga dibangun beton-beton tinggi
dan kokoh. Tiap jalur berukuran cukup lebar.
Selain jalannya yang lebar dan mulus, pemerintah juga
menyediakan tempat-tempat khusus bagi yang ingin menepi.
Biasanya orang-orang menepi untuk bersantai sejenak sambil
menikmati hamparan perbukitan batu dari atas. Banyak juga
yang merekam indahnya jejak alam ini melalui kamera.
Yang cukup berkesan dan unik adalah monyet-monyet
yang terlihat di sisi jalan sepanjang lereng. Di salah satu tempat
menepi, mereka bebas berkeliaran dan mendekat jika ada mo­
bil yang berhenti. Mungkin menanti makanan. Benar saja.
Orang-orang sibuk melemparkan makanan ke arah mereka.
Kami tak sempat mendekat karena anak-anak saya terlihat
takut dan risih. Padahal, monyet ini termasuk hewan favorit
mereka dalam berbagai acara televisi dan buku-buku cerita
bergambar. Mungkin berbeda rasanya ketika melihat mereka
di dunia nyata.

Naik Kereta Gantung di Al Hada

Kota pertama yang akan kita lewati selepas menyusuri jalanan


mendaki tadi adalah Al Hada. Begitu memasuki Al Hada, war-
lhaif, Musim Semi di Gurun Saudi 123

na hijau sudah mulai mendominasi kiri kanan jalan. Hawanya


mulai sejuk.
Jika belum puas menikmati pemandangan dari atas bukit
batu, mampirlah ke Hotel Ramada. Hotel ini berada di puncak
salah satu lereng di perbukitan batu yang terlewati tadi. Persis
di samping Hotel Ramada ini kita bisa naik kereta gantung
{cable car) yang akan melintasi sepanjang areal perbukitan batu
dari atas ke bawah dan sebaliknya.
Kereta gantung menempuh rute menurun, menuju sebuah
waterpark di salah satu lembah di dasar perbukitan batu. Butuh
sekitar setengah jam untuk tiba di kawasan waterpark.
Duh, deg-degan juga ketika berada di tengah-tengah kare­
na pemandangan di luar didominasi oleh batu-batu terjal
berukuran raksasa. Berjajar rapi membentuk perbukitan batu
yang luas dan terjal. Saya tidak berani memandang ke bawah
berlama-lama.
Tarif kereta gantung ini sekitar 90SR (saudi riyal) per
orang. lni sudah termasuk berpiknik dan berenang di kawasan
waterpark serta perjalanan bolak balik dari atas (Hotel Ramada)
ke waterpark dan sebaliknya.
Sayang sekali kami tidak sempat turun dan menghabiskan
waktu di waterpark. Kami cuma melihat-lihat sebentar, lalu
masuk ke kereta, dan kembali ke Hotel Ramada lagi, tempat
kami memarkir mobil.
Konon, lebih seru jika naik kereta gancung ini pada malam
hari. Kita bisa melihat lampu-lampu yang menghiasi kota-kota
besar di sekitar Thaif dari atas.
124 Memoar of Jeddah

Al Hada - Kcrcra Gantung

Bersantai di PlaygroundThaif

Tak sampai setengah jam menyetir dari Hotel Ramada, kami


tiba di tengah-tengah kota Thai£ Kami berputar-putar sebentar
menikmati suasana kota yang terkenal dengan suhu ademnya
1n1.
Thaifkota kecil, jauh lebih sepi daripada kotaJeddah. Kami
hampir tak bisa menemukan petunjuk jalan atau toko dalam
tulisan latin. Hampir semuanya dalam tulisan Arab. Dari jauh
saya clan suami sempat main tebak-tebakan, apakah tempat
yang akan kami lewati di depan adalah toko baju atau rumah
makan. Kami memang belum fasih membaca tulisan Arab.
Taman-taman kota yang hijau clan cukup rimbun terlihat
di mana-mana. Bangunan-bangunan apartemen clan toko di
jalan-jalan berukuran kecil clan tampak kusam. Nyaris tak ada
bangunan baru.
Thaif, Musim Semi di Gurun Saudi 125

Ternyata tak perlu waktu lama untuk menyusuri sudut­


sudut kota. Mungkin setengah jam saja sudah cukup. Setelah
itu, kami bergabung dengan teman-teman lain. lkut menggelar
tikar dan duduk bersantai di salah satu taman kora. Tamannya
cukup hijau, dilengkapi dengan playground yang lumayan
lengkap hingga anak-anak bisa bebas bermain-main.
Para orangtua duduk bersantai di bawah pohon. Anak­
anak kami biarkan berlari-lari di areal taman bermain. Selain
berlarian dan berkejaran, mereka juga memanfaatkan fasilitas
bermain seperti ayunan, jungkat jungkit, dan perosotan.
Semuanya bebas dinikmati tanpa keluar biaya.

Thaif- Playground
126 Memoar of Jeddah

Mampir ke Ash-Shafa

Selepas waktu Ashar, kami beranjak pergi dari taman. Kami


memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Shafa.
Shafa terletak tidak jauh dari Thaif. Hanya sekitar 40 menit
menyetir santai.
Jalanan menuju Shafa juga tergolong mulus. Pemandangan
sepanjang kiri kanan jalan adalah perbukitan hijau dengan
lembah-lembahnya yang landai. Sangat kontras dengan suasa­
na Negeri Gurun yang umumnya didominasi padang pasir
bersemu warna cokelat.
Menurut saya, pemandangan di sini mirip sekali dengan
suasana sebuah padang rumput mahaluas di film trilogi Lord
of The Ring. ltu sebabnya saya memberi julukan sendiri buat
Shafa, middle earth-nya Saudi.
Kami berhenti di salah satu taman di pinggir jalan. Taman­
nya tidak terlalu terawat. Tanaman tumbuh tidak rapi dan
tempatnya agak dekat dengan lembah. Biarpun tidak curam,
para ibu sibuk menjaga balita mereka agar tidak berlarian
menuju bibir lembah.
Sayang sekali, kami tiba di Shafa saat senja sudah mulai
menghampiri. Sudah hampir gelap. Perbukitan hijau yang ber­
baris memanjang tak sempat tertangkap kamera dalam per­
jalanan tadi.
Theil, Musim Semi di Gurun Saudi 127

Ash-Shafa menjelang malam hari

Berburu Oleh-Oleh Buah-Buahan Segar

Gelap sudah 111en1enuhi langit ketika kami beranjak 111ening ­

galkan Shafa. La1npu-la1npu 1nulai dinyalakan di sepanjang


jalan. Perjalanan pulang yang tadinya dikhawacirkan akan
gelap gulita ternyata malah terang benderang .

Dari Shafa, kira bisa langsung 1n enuju Al Hada. Sebelu1n


meninggalkan ka\vasan Thaif dan Al Hada ini, jangan lupa
berbelanja buah buahan segar. Mampirlah ke sebuah Japak
-

penjual buah buahan yang cukup besar dan ra1nai. Te1npatnya


-

pasci cerlewati dala1n rute perjalanan pulang.


Iklim yang sejuk mem ungkinkan perkebunan buah buahan -

tumbuh subur di kawasan ini. Thaif 111erupakan pusatnya


anggur clan ape!.
Harga buah-buahan di sini memang relarif murah daripada
harga buah yang san1a di kota Jeddah terutama buah anggur.
,
128 Memoar of Jeddah

Dengan hanya membayar I 0 SR, kit a bisa mendapatkan 1-2


kilogra111 buah anggur hijau yang dikemas dalan1 sebuah korak
kardus Rasanya pun lebih 111anis. Buah-buahan lain yang
.

rersedia di sini anrara lain jeruk, ape!, kiwi, peach, pisang dan ,

mangga.

Penjm1l bu'1h-bm1han di -n,.;f

Menginap dan Makan di Mana?


Sepertinya tidak ada ru111ah 1nakan khas Indonesia di sepanjang
Al Hada - Thaif - Shafa. Maklu1nlah, kota kccil. Nyaris rnk
ada pendatang asal Indonesia yang bermukim di daerah ini.
Nlungkin ada tapi pasci jumlahnya tak sebanyak di kota-kota
besar seperti Riyadh, Jeddah, Ivfekkah, dan Madinah.
Jangan kha\vatir. lvfakanan khas Timur Tengah seperri ke­
bab dan nasinya yang beraroma khas lumayan cocok, kok, un­
cuk lidah Asia kita. Kebab daging sapi clan ayam rasanya 111irip-
Thaif, Musim Semi di Gurun Saudi 129

mirip dengan sate. Di sepanjang jalan, rumah makan yang


menyajikan kebab clan nasi khas Arab tak sulit ditemukan.
Harga makanan di wilayah ini sedikit lebih mahal diban­
dingkan harga makanan yang sama di kota-kota besar Saudi.
Untuk satu porsi mungkin perlu sekitar 20 - 25 riyal per orang
tapi satu porsi nasinya sangat banyak. Porsi standar orang Arab
memang lebih banyak daripada porsi makanan untuk satu
orang di tanah air.
Bagaimana dengan penginapan? Hotel-hotel berbintang
tersebar di kawasan Al Hada - Thaif, seperti Hotel Ramada
clan Hotel Intercontinental Thaif. Kalau masih kuat menyetir
sekitar 40 menit, lebih baik menginap di kota Mekkah saja.
Kota Mekkah menawarkan lebih banyak penginapan
dengan harga bervariasi. Lokasinya pun mudah ditemukan sa­
king banyaknya hotel clan penginapan di kota Mekkah.
Kami sendiri memutuskan untuk langsung balik ke kota
Jeddah malam itu juga. lnfrastruktur jalan di Saudi ini me­
mang sangat memanjakan para pengemudi. Menurut suami
saya, menyetir di Saudi tidak terasa melelahkan seberapa pun
jauhnya.
Jalan tol penghubung Mekkah clan Jeddah, misalnya, lurus­
lurus saja. Kondisi jalan yang mulus dan lebar, serta dua jalur
berlawanan arah selalu disekat rapi. Makin nyamanlah urusan
menyetir ini. Macet pun hampir tak pernah ditemui.
Tak susah menemukan pompa bensin di sepanjang jalan to!.
Tiap pompa bensin dilengkapi dengan toko-toko kelontong.
Ada juga kedai-kedai kecil yang menjual kebab mini clan
semacamnya. Jadi, bisa mampir kapan saja clan beristirahat
jika lelah mulai menghampiri.
130 Memoar of Jeddah

Bagaimana? Apakah tertarik ikut berpetualang di Negeri


Pengawal Dua Kota Suci Islam ini?

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
132 Memoar of Jeddah

M
agnet negara Saudi tidak terbatas pada dua Kota
Suci, Mekk.ah dan Madinah, saja. Negara Petro Dolar
ini juga memiliki situs menarik yang tidak hanya bercerita
mengenai kisah dari zarnan Nabi Muhammad. Salah satu
tempat bersejarah masa lampau yang masih tertinggal di tanah
Negara Kerajaan ini adalah Al Hijr.

Al Hijr, Nama Lain dari Madain Saleh

Al Hijr berarti Pegunungan Batu. Menggambarkan kemegahan


arsitektur bangunan yang terpahat indah di gunung-gunung
batu yang terhampar di mana-mana.
Al Hijr juga dikenal dengan narna Madain Saleh. Konon,
dulu tempat ini dihuni oleh kaum Tsarnud, kaum yang dilak­
nat Allah pada zaman Nabi Saleh. Madain sendiri berarti
kumpulan kota. Kata madain diambil dari kata Madinah yang
berarti kota (tunggal). Narnun, bangunan yang masih berdiri
di sana sudah tidak menyisakan jejak kaum Tsamud sama
sekali.
Sisa-sisa bangunan kuno di barisan bukit batu di Al Hijr
merupakan peninggalan suku Nabatean, suatu kaum dari
rumpun Arab yang hidup di kawasan Timur Tengah sebelum
masuknya bangsa Romawi. Salah satu peninggalan sejarah
yang juga berasal dari suku ini adalah Petra. Petra merupakan
sebuah situs sejarah di Yordania yang pernah dimasukkan
ke dalam salah satu tempat yang wajib dikunjungi sebelum
meninggal dunia Al Hijr resmi ditetapkan sebagai situs
peninggalan sejarah dunia oleh UNESCO pada tahun 2008.
Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 133

Lokasi Al Hijr
Al Hijr sendiri rerlerak sekitar 20 km di sebelah urara kota Al­
Ula, sekitar 400 km dari kota l\.1adinah. Kami beramai-ramai
1nengunjungi situs bersejarah tersebut pada penghujung tahun
2012. Kami 1nenyecir dari Jeddah clan 1nenginap se1nala1n
di Madinah. Keesokan paginya, pukul delapan pagi, kami
ke1nbali berkonvoi ke Al-Ula.
Infrascrukcur jalan ancarkoca di Saudi sudah sangac 1naju.
Jalan-jalannya rnulus berbahan beron clan dibuat lebar-lebar.
Hati-hati, jangan terlena! Ada kamera Saher yang dicipcakan
untuk "1nenangkap" penge1nudi nakal yang nlelewaci batas
kecepatan maksi1num di jalan col. Perjalanan dari Jvfadinah ke
AJ-Ula memakan waktu sekitar empat jam dengan kecepatan
rata-rata 120 km/jam.

Al Ula

Unuunnya, wilayah Saudi berhiaskan gurun pasir dan bu­


kic bacu kecil yang didominasi warna abu-abu. Nan1un, koca
134 Memoar of Jeddah

Al-Ula menawarkan pemandangan yang tidak biasa. Hampir


di sepanjang jalan yang kami lintasi menuju Al Hijr, kami
terpukau oleh barisan bukit batu berwarna cokelat yang
beraneka bentuk. Batu-batu itu terpahat sendiri oleh alam.
Berada di sana serasa berada di pegunungan Amerika Serikat
bagian selatan, The Grand Canyon.
Ketika kami masih sibuk mengagumi The Grand Canyon
of Arabian ini, tahu-tahu kami sudah berada di depan pintu
gerbang AJ Hijr. Kita tidak perlu membayar biaya apa pun
untuk menjelajahi Al Hijr, tetapi aksesnya tidak terbuka
begitu saja untuk umum. Kita perlu semacam tasrikh, surat
izin resmi, yang diperlihatkan kepada penjaga yang selalu siap
siaga di pintu masuk Al Hijr.
Jangan khawatir, pakai saja pemandu lokal asal sana. Dengan
membayar total 300-500 riyal, urusan tasrikh heres. Kita pun
akan dipandu berpetualang sembari mendengar kisah-kisah
menarik tentang situs antik ini.

Menjelajahi Al Hijr

Tempat pemberhentian pertama setelah melewati pintu ger­


bang AJ Hijr adalah stasiun kereta peninggalan Kekaisaran
Ottoman. Begitu pintu-pintu mobil dibuka, anak-anak lang­
sung berhamburan menyerbu sebuah kereta yang berdiri apik
di atas rel.
Pemandu kami, seorang pria setengah baya, penduduk
asli kota Al-Ula, mulai bercerita. Stasiun ini adalah salah
satu di antara rangkaian stasiun kereta yang dibangun pada
zaman Kekaisaran Ottoman untuk menghubungkan Suriah-
Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 135

Yerussalem dan vrilayah Kota Suci. Tujuan utamanya untuk


mengangkut jamaah haji menuju Mekkah dan Madinah.
Pembangunannya terhenci saac Perang Dunia 1 berkecamuk.
Beberapa bagian dari scasiun yang cerlecak di bagian ucara Al
Hijr tersebut rusak akibat pemberontakan lokal yang terjadi di
daerah cersebut.
Secelah Al Hijr resmi dicecapkan sebagai situs sejarah
nasional oleh Kerajaan Saudi pada tahun 1970-an, renovasi
terhadap scasiun cersebuc mulai dilakukan. Kerangka utama
kerera yang kami lihac itu adalah versi aslinya. Pemerincah
Saudi cuma menambahkan beberapa ornamen pelapis serca
mengecat ulang.

Bangunan di sckitar rd kcrcta api

Beberapa bangunan berwarna cokelat di sekicar rel pun ikut


dipugar. Ada bengkel, peron, dan semacam benceng kecil yang
cerletak agak jauh dari kawasan cersebut.
136 Memoar of Jeddah

Setelah membujuk anak-anak agar mau turun dari kereta


dan masuk lagi ke mobil, kami melanjutkan tur. Setelah menye­
tir santai sekitar lirna menit, kami diminta kembali berhenti.
Kali ini kami berhenti di jejeran bukit batu yang terpahat
unik menjadi bangunan-bangunan yang berusia lebih dari
2.000 tahun. Bangunan-bangunan tersebut adalah peninggalan
suku Nabatean yang diperkirakan menghuni wilayah ini di
sekitar abad pertama Masehi.
Pemandu kami kembali kembali berkisah, bukit batu terse­
but dipahat dengan cara yang tidak lazim, yaitu dari atas ke
bawah. Hanya mengandalkan sebilah kayu untuk memahat dan
air untuk melembutkan permukaan bukit batu. Bayangkan,
hanya dengan bermodalkan metode dan peralatan sederhana,
kaum Nabatean sanggup membangun kuil unik yang masih
kokoh hingga kini.
Bangunan-bangunan di kawasan itu ternyata digunakan se­
bagai kuburan. Jasad yang masih utuh dibiarkan begitu saja
di depan pintu bangunan. Setelah dimangsa elang, barulah
tulang belulang yang tersisa dimasukkan. ltulah sebabnya di
bagian atas pintu tiap bangunan terukir gambar seekor elang.
Kami menghabiskan waktu lebih lama di kompleks peku­
buran tersebut. Anak-anak juga sibuk keluar masuk bangunan
serta bermain pasir di padang yang terhampar luas di hampir
seluruh wilayah Al Hijr.
Akhirnya, puas juga berfoto-foto sebelum pemandu me­
minta kami bergegas kembali ke dalam mobil. Kami digiring
ke suatu tempat. Di sana terdapat sebuah bangunan batu
berukuran besar yang merupakan salah satu rumah tinggal
Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 137

kaum Nabatean. Pintu masuknya ada beberapa. Tak jelas siapa


pemilik bangunan itu, apakah keluarga penguasa atau bukan.
Tak jauh dari situ ada sebuah bangunan unik yang jika di­
lihat dari bawah menyerupai wajah orang. Menurut pemandu
kami, itu bukan ha! yang disengaja. Secara kebetulan, alam
memahat bukit batu tersebut sehingga menyerupai wajah
manusia tampak samping.
Tempat persinggahan terakhir adalah Ad Diwan, sebuah
bangunan yang digunakan sebagai tempat pemujaan oleh
kaum Nabatean. Beberapa batu besar dengan bagian atas
meruncing berdiri berjajar. Tiap batu dipahat membentuk
ruangan lebar di dalamnya.
Sebelum menuju Ad Diwan, pemandu kami sudah pamit.
Sayang juga pemandu yang kelihatan terpelajar dan sangat fa­
sih berbahasa Inggris tersebut pergi lebih awal. Namun, jangan
khawatir. Tiap lokasi dalam Al Hijr sudah dilengkapi dengan
keterangan. Keterangan tesebut ditulis dalam sebuah layar
yang berlapis bahan plastik tebal agar tidak bisa dicorat-coret
dan tidak kotor. Layar-layar tersebut ditempelkan di atas tugu­
tugu batu setinggi pinggang manusia dewasa.
Keterangannya cukup lengkap dan ditulis dalam dua bahasa,
Arab dan Inggris. Namun, tetap saja terasa kurang lengkap bila
tanpa pemandu. Keuntungan memakai pemandu adalah kita
bisa bebas bertanya. Kita pun bisa menemani si kecil bermain
sembari merekam suara si pemandu melalui kamera saku dan
semacamnya.
Masih banyaktempat di dalamAI Hijryang bisa dikunjungi,
namun langit mulai senja. Waktu Ashar telah terlewati. Mobil­
mobil kami beriringan keluar melalui pintu gerbang. Menurut
138 Memoar of Jeddah

. . .
rekan yang pernah ke sana, tempat-tempatnya m1rip-m1rip,
.

cuma fungsi bangunannya yang berbeda-beda.

Komplcks Pcmakaman

L:iyar yang 1nenn1ar kererang:u1 riap ren1par


Al Hijr, Warisan Budaya Dunia di Saudi 139

Akomodasi di Al-Ula
Jika me n jelaj ah i koca-koca besar di Saudi seperci Riyadh,
Jeddah, J\tlekkah, dan .tvladinah, jangan khawatir dengan un1s­
an pen1t. Selain banyak gerai 1nakanan incernasional yang
sudah cak asing di canah air, banyak pula rumah makan khas
I nd o n esia Selain itu, masakan Arab yang urr1umnya berupa
.

beraneka nasi berbu111bu khas dan kebabnya yang 1nirip daging


sace, cuku p bisa diniktnati oleh lidah ranah air.
Jika bepergian ke kora kecil sepe rt i Al-Ula in i , kami biasa­
nya 1ne111bawa bekal sendiri yang sudah di siapka n dari kota
lvfadinah.
Secelah 1nenggelar cikar clan makan bersama-sama di salah
satu sudut kora yang cukup nyan1an, kami rnernuruskan lang ­

sung ke1nbali ke Madinah. Jangan lupa, infrastruktur jalan di


Saudi tak 111elelahkan bi arp un harus di te111p uh berja1n-ja1n.
)<1lanannya mulus, lebar-lebar, dan lurus-lurus saja. Jarang
sekali n1enen1ukan jalan to! yang dibuat berkelok-kelok.

ivlakan siang bersan1a


Baghdad.


IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
tg Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto �r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
142 Memoar of Jeddah

M
asalah yang saya hadapi pada masa awal bermukim
di kota Jeddah bukan cuma penyesuaian dengan
banyaknya ha! baru. Kekhawatiran terhadap lingkungan baru
bagi anak-anak pun turut memusingkan kepala.
Sewaktu masih di Jakarta, saya tinggal di lingkungan kom­
pleks perumahan. Tiap sore anak-anak bebas bermain di luar
rumah. Bercanda dengan teman-teman atau sekadar berlari­
lari sarnbil bermain bola. Naik sepeda beramai-ramai juga
sering.
Di Saudi, suasananya berbeda. Kami tinggal di dalarn ling­
kungan apartemen. Lingkungan sehari-hari cenderung ter­
tutup. Perempuan tidak cerlalu bebas ke mana-mana. Boleh
saja, sih, ke mana-mana sendirian tanpa suami. Narnun, tidak
mungkin tiap sore membawa anak bermain di playground.
Tiap minggu, saya sekeluarga bermain ke pantai atau play­
ground gratisan yang tersebar di berbagai penjuru kota. Tiap
bulan karni piknik bersama-sama keluarga asal Indonesia yang
bermukim di Jeddah. Semacam acara gathering keluarga.
Tempat yang paling sering karni kunjungi adalah pantai.
Jeddah terletak di pesisir barat Saudi clan memiliki beberapa
pantai cantik di luar kota yang seru buat berlibur. Salah satunya
adalah Pantai Thuwal. Pantai ini terlecak di kota Thuwal,
sekicar 80 km di utara Jeddah clan dapat dicapai dalarn waktu
sekitar sejarn dengan menyetir santai.

***

Pantai Thuwal cukup berbeda dengan pantai-pantai lainnya.


Thuwal memiliki fasilitas umum yang cukup lengkap. Karnar
Berlibur Bersomo Anok-onok di Pontoi Thuwol 143

mandinya banyak dan ada banyak petugas yang w1ra-w1n


membersihkan lingkungan sekitar pantai. Nyan1an dan bersih.
Kal i ini saya yang 1nenjadi ketua panicia. Saya 1nengusulkan
agar anak-anak diberi kegiaran khusus selain bermain pasir
dan berenang. Jadilah kami sepakat n1engadakan lomba kecil­
kecilan untuk 111enghibur mereka. Kan1i sudah 1nenyiapkan
hadiah untuk tiap pcscrta 101nba.
Lomba pertarna adalah rnencari harta karun. Lomba ini
kan1i peruntukkan bagi para balita. Dari run1ah, beberapa te-
1nan saya sudah 1nenyiapkan copi khusus buac para bajak laut
kecil ini. Untuk "!urea karun"nya sendiri, kan1i menyebar
bola-bola kecil berwarna-warni yang diselipkan di dalam pasir.

'J huwal lkad1

Tiap bajak lauc dilengkapi dengan sekop kecil untuk meng­


a1nbil bola dan kancong plascik yang digancung di leher sebagai
144 Memoar of Jeddah

wadah "harta karun" tadi. Para balita cukup bersemangat


mengikuti lomba ini.
Usai mencari harta karun, lomba selanjutnya adalah makan
kerupuk. Rata-rata kami sudah bermukim di sini lebih dari
dua tahun. Jadi, anak-anak belum tentu tahu soal kebiasaan
anak kecil sebaya mereka di Indonesia. Lomba makan kerupuk
kami pilih untuk memperkenalkan salah satu lomba khas dari
tanah air ini pada anak-anak.
Pesertanya untuk anak-anak yang lebih tua. Namun, karena
banyak peminat, akhirnya siapa pun boleh berpartisipasi.
Kerupuk, sih, bukan barang langka di Saudi. Hehehe.
Lomba makan kerupuk ini lebih seru daripada lomba men­
cari harta karun. Bapak-bapak sibuk memotret anak-anak.
lbu-ibu heboh memberi semangat sambil bertepuk tangan.
Menjelang senja, kami membiarkan mereka bermain-main
sendiri di bibir pantai. Ada yang sibuk bermain pasir, ada yang
berenang. Sisanya sibuk berkelompok. Para batita juga tidak
ketinggalan menikmati serunya bergulat di pasir.
Ternyata, tidak perlu khawatir berlebihan. Kalau mau, kita
bisa menciptakan kegembiraan buat mereka dalam kondisi apa
pun di wilayah mana pun. Idenya enggak usah yang ribet-ribet.
Modalnya hanya majalah bekas untuk membuat topi bajak
laut-itu sudah membuat mereka senang dan merasa jadi bajak
laut beneran. Kemudian, beli sekantong kerupuk, gantung di
tali, clan biarkan mereka bersusah payah menggigit kerupuk
tanpa bantuan tangan. Acara yang heboh pun tercipta.
Pengalaman ini membuat saya belajar lagi bahwa ''Happiness
is notgt,ven. It si made".
Berlibur Bersama Anak-anak di Pantai Thuwal 145

Lornba bajak laut 1nencarl harta karun

l.omb:J mabn kerupuk

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
148 Memoar of Jeddah

B
ermukim dua tahun lebih di Jeddah dan berpredikat
sebagai "perempuan Indonesia" bukan perkara gampang.
Suka tidak suka, faktanya adalah orang-orang Indonesia me­
nempati salah satu kasca terbawah di golongan para pendatang
asal negara lain di Saudi.
Bukan cuma kepada para pekerja informal. Asal sudah ber­
embel-embel "lndonezi" (cara mereka menyebut Indonesia di
sini), siap-siap saja gigit jari.

***

Suatu hari saya ke UGO salah satu rumah sakit swasca di sini.
Saya harus menjalani operasi kecil kala itu. Hanya bius lokal.
Yang menangani saya adalah dokter laki-laki asal Mesir.
Saya gemetaran, takut setengah mati karena harus berha­
dapan dengan meja operasi. Pak Dokter tampaknya tahu. la
berusaha menenangkan dengan mengajak mengobrol.
Bahasa Arab saya kala itu NOL besar dan saya pastikan Pak
Dokter tak bisa berbahasa Indonesia. Jadi, kami asyik meng­
obrol dengan bahasa Inggris.
Petikan percakapan kami saya terjemahkan sebagian besar
ke bahasa Indonesia, ya.
"Wah, tadi saya kira kamu orang Indonesia, !ho," ujar Pak
Dokter setelah ngobrol agak panjang.
"Saya memang asli Indonesia."
Matanya terbelalak. "Indonezi? You can speak English? Masya
Allah!"
"Sure. Why not?" Karena sudah sering mendapat tanggapan
seperti ini, saya menjawab sambil tertawa kecil.
Tunjukkan pada Saudi, Indonesia! 149

"Kalau bisa bahasa lnggris seperti ini, kamu harusnya cari


pekerjaan lain. Kamu lulusan apa, sih?"
Meski belum bisa menebak arah pembicaraannya, saya te­
tap menjawab, "Saya dari Computer Science. S l ."
Dia makin kaget. "Kenapa mau bekerja sebagai pembantu?"
Saya merespons dengan terbahak. Ya ampun, kalau disangka
seperti ini oleh orang lain yang kebetulan berpapasan, sih,
biasa saja. Tapi kami berbincang sudah sekitar setengah jam.
Masa iya, dia bisa menyangka saya ini TKW-asisten rumah
tangga? Payah, nih, Pak Dokter.
Ya, begitulah umumnya tanggapan orang-orangjikabertemu
dengan perempuan asal Indonesia di Saudi. Kemampuan kita
berbahasa lnggris menjadi hal yang luar biasa di Saudi.
Setelah itu, dia sibuk bertanya ngapain saya tinggal di Saudi.
Dengan siapa saya tinggal di sini. Apa iya di Indonesia banyak
perempuan mendapat kesempatan untuk duduk di perguruan
tinggi? Kok orang Indonesia bisa berbahasa lnggris?
Dengan waktu yang tersisa, saya mencoba sedikit melurus­
kan persepsi dia tentang Indonesia. Operasi keciJ yang tadinya
saya kira menakutkan itu pun berakhir dengan happy ending.
Pak Dokter cukup puas dengan penjelasan singkat saya dan
memberikan sedikit pembelaan atas komentarnya di awal tadi.
"Kamu jangan salahkan saya kalau saya tidak paham banyak
orang Indonesia bisa berbahasa lnggris. Bahwa kota Jakarta
sama kerennya dengan Jeddah. Bahwa pendidikan bukan hal
tabu buat perempuan Indonesia. Masalahnya, hampir semua
perempuan Indonesia yang saya tahu ada di Jeddah ini rata­
rata berprofesi sebagai pekerja rumah tangga."
150 Memoar of Jeddah

Selain membawa pulang jari yang berbalut perban dan rasa


lega karena tangan saya sudah tidak nyut-nyutan lagi, saya
pun cukup senang karena mendapat kesempatan untuk sedikit
membenahi pemikiran umum tentang perempuan Indonesia
di Jeddah.
Saya jadi berpikir, "Oh, jadi benar juga, ya. Tidak 1 OOo/o
orang-orang non-Indonesia yang ada di sini berpikiran sempit.
Mereka berpendapat menurut apa yang mereka temui sehari­
hari."

***

Orang Filipina juga banyak yang bekerja di sini. Masalahnya,


tenaga kerja asal negeri ini (baik laki-laki maupun perempuan)
juga banyak yang berprofesi sebagai suster, sales, penjaga toko,
manajer bank, engineer, konsultan IT/SAP, dan sebagainya.
Profesi mereka lebih variatif. Demikian pula dengan pendatang
lain dari negara-negara seperti Pakistan dan India.
Orang Indonesia? Kalau Anda laki-laki, pasti disangka sopir.
Kalau perempuan, otomatis dianggap pekerja rumah tangga.
Banyak sekali TKI informal asal negara kita di negara ini tidak
seimbang dengan jumlah pekerja profesionalnya. Begitulah
kenyataannya. Jadi, tidak perlu semi, harusnya.

***

Ketika berurusan dengan rumah sakit, masalah kewarganegara­


an juga punya pengaruh. Teman saya punya pengalaman ku­
rang menyenangkan. Pihak administrasi rumah sakit agak
Tunjukkan pada Saudi, Indonesia! 151

enggan melayaninya. Mereka malah sibuk berceramah soal ma­


halnya biaya rumah sakit dan menyarankan teman saya untuk
mencoba di rumah sakit lain yang biayanya lebih terjangkau.
Urusan sekolah sama saja. Ada beberapa sekolah yang
dengan angkuhnya menolak anak-anak teman saya dengan
banyak dalih. Ada yang tes masuknya dijadwal ulang terus.
Ada juga yang menolak sejak awal tanpa alasan jelas. Hunting
sekolah anak pun butuh waktu dan kesabaran lebih.
Saya sering menggoda mereka, "Kalau ke mana-mana, bawa
slip gaji suami, kali, biar mereka mingkem. Bawa iqama suami
sekalian, biar lihat kalau kita ini keluarga mohandis."
Di tiap iqama (resident permit) tercantum status pekerjaan
kita. Mohandis adalah sebutan untuk level engineer.
Kalau kita berpakaian rapi dan sedikit necis, ucapan yang
mendarat adalah, "Malayzi?"
Negeri jiran ini memang punya nama besar di kawasan
Timur Tengah. Malaysia hanya mengirim pekerja formal se­
level mohandis ke atas. Tak ada satu pun TKW asal Malaysia
di negeri gurun ini. Bisa dipastikan, bila bertemu dengan pe­
rempuan asal Malaysia, mereka pastilah istri insinyur atau
manaJer.
Mungkin salah satu alasan utama keengganan TKI formal
asal negeri kita mengadu nasib ke Saudi adalah faktor keaman­
an keluarga, terutama bagi para perempuan. Bukan rahasia
lagi, banyak dinding pembatas untuk para wanita yang hidup
di Saudi ini. Belum lagi merasa sebal karena kerap diremehkan
gara-gara disangka TKW
Pegawai toko pun nyaris tidak ada orang Indonesia. Ke­
banyakan tenaga kerja informal asal Indonesia memilih menjadi
152 Memoar of Jeddah

pekerja domestik rumah tangga (sopir dan pembantu). Bukan


tanpa alasan. Selain profesi informal lainnya membutuhkan
kemampuan berbahasa lnggris, upah sebagai pekerja domestik
memang lebih tinggi. Mereka pun tidak perlu membayar uang
sewa rumah dan makan.

***

Stigma ini akan sulit didobrak selama orang-orang Indonesia


(level engi.neer ke atas) sudah alergi duluan untuk mengadu
nasib ke Saudi. Padahal enak juga, !ho, di Saudi. Gajinya
standar negara maju, tanpa pajak sama sekali, dan didukung
oleh biaya hidup yang murah. Berapa besar devisa yang bisa
kita kirim ke tanah air? Sekadar info, teman saya di Qatar dan
Emirat sering mengeluh soal mahalnya biaya hidup di sana.
Di lain pihak, warga asli Saudi dan pendatang lainnya di
Saudi, tiap tahun disuguhi dengan fakta banyaknya pekerja
informal asal Indonesia. Jadi, ya, tak seratus persen salah me­
reka bila telanjur menyematkan label "bangsa pembantu" ke­
pada kita.
Anda yang pekerja formal dan mengharap upah ribuan
dolar, jangan ragu mencoba peruntungan di sini. Hitung­
hitung mengurangi kepadatan penduduk ibu kota. Tingkat
persaingan di negara ini tidak sesengit usaha menembus ma­
suk ke negara maju. Tunjukkan pada Saudi kalau kita layak
mendapat predikat lebih dari sekadar "negara pembantu".

***

IRAQ
Amman

Buraydah.
Dai
YPT �
� • .Medina *
<.f; Vanbu
Ri�
9
SAUDI ARABIA

Mecca

Jedd ah Taif

SUDAN Ab ha.

Jizan.

harto�r.n ERITREA Sana'a


• •
Asmara YEME
154 Memoar of Jeddah

aya termasuk beruntung. Dalam hitungan hari setelah


S sidang terakhir penentuan kelulusan, saya diterima bekerja.
Bulan April 2002 saya sudah mendapat kepastian diterima
bekerja. Jadi, ketika menghadiri wisuda pada bulan September
di tahun yang sama, saya sudah berstatus sebagai pegawai.
Tempat kerja pertama inilah yang meninggalkan kesan pa­
ling dalam. As they said, "First love never ends. "
Kantor saya itu terletak di Cikini, tepat di depan stasiun
kereta. Hanya membayar abonemen 45 ribu sebulan (bisa naik
kereta sepuasnya), saya tinggal menyeberang jalan dari stasiun
menuju !obi kantor.
Pada penghujung tahun 2005 saya pindah ke perusahaan
lain. Kantornya di Gedung BEJ. Di sana tak lama, cuma se­
kitar enam bulan.
Baru sebulan masuk, saya sudah mendapat telepon dari
sebuah perusahaan besar yang saya impi-impikan. Tiba-tiba
tak ada kabar lagi. Saya pikir saya gagal. Namun, tiga bulan
kemudian, ada telepon lagi. Kali ini tes kesehatan dan interview
terakhir.
Bulan Juni 2006 saya resmi menjadi karyawan di salah
satu perusahaan consumer goods terbesar di Indonesia. Sebuah
perusahaan yang bikin penasaran karena beberapa kali me­
menangkan award sebagai 7he Most Admired Company di
Indonesia. Selama bekerja di sana, saya nyaris tak pernah me­
lamar lagi ke perusahaan lain.
Usai cuti melahirkan anak pertama, saya kembali masuk
kerja dengan rutinitas tambahan: memeras ASL Kalau ibu-ibu
lain mungkin mengeluh karena harus memeras ASI di toilet
kantor, kantor saya menyediakan nursery room yang sangat
When One Door Closes, Another Opens 155

nyaman, luas, dan berfasilitas lengkap. Di salah satu pojok


ruangan diletakkan sebuah kulkas untuk menitipkan ASI
sebelum dibawa pulang.
Namun, sejak punya anak saya memang mendadak galau.
Pada hari-hari terakhir sebelum mengambil keputusan penting,
pekerjaan di kantor sedang padat-padatnya. Hari libur pun
saya kadang masuk.
Setelah berpikir selama berbulan-bulan, saya akhirnya
yakin untuk duduk di hadapan bos sambil menyerahkan surat
pengunduran diri. Untuk saya pribadi, keputusan meng­
undurkan diri adalah yang terbaik kala itu.

***

Tujuan utama saya berhenti bekerja awalnya karena ingin


melanjutkan pendidikan ke jenjang 52. Saat itu saya masih
terombang-ambing karena suami masih berpindah-pindah
kerja. Awalnya di Teheran selama lima bulan, sebelum akhirnya
pindah ke Jeddah.
Hampir setahun di Jeddah, suami saya belum juga berhasil
mendapatkan iqama (KTP untuk pemukim Saudi). Kalau
hanya berbekal visa bisnis, suami cidak percaya diri untuk
membawa serta saya clan anak sulung kami.
Lelah menunggu, saya pun mengikuti tes masuk penerimaan
mahasiswa baru uncuk jenjang 52. Hanya beberapa hari se­
celah saya menerima surat pernyataan bahwa saya lulus clan
diharapkan segera mendaftar ulang, suami membawa berita
lain. Perusahaannya sudah bersedia membuatkan iqama.
156 Memoar of Jeddah

Jujur saja, saya cakut sekali harus ke Saudi. Saya mengemu­


kakan berbagai alasan. lntinya, saya takut tidak bahagia di sana.
Namun, akhirnya, saya dan anak sulung saya naik pesawat ke
Jeddah.

***

Banyak pengalaman menghiasi perjalanan hidup saya di


Jeddah. Saya tak menampik, lebih banyak senangnya daripada
menderitanya. Sangat jauh dari perkiraan awal saya. Tidak
sedikit episode terindah dalam hidup saya terjadi di kota
Jeddah.
Saya menjadi rajin menulis untuk membunuh waktu kala
bermukim di Jeddah. Sebuah hobi yang sudah terkubur lama.
Terakhir saya rutin menulis adalah sewaktu SMP. Sudah lama
sekali saya melupakan hobi satu ini. Di Jeddah, saya menggagas
blog Mama Sejagat. Di blog itu, saya mengajak teman-teman
dari seluruh penjuru dunia untuk menulis tentang pengalaman
hidup sehari-hari kala jauh dari tanah air.
Hobi menulis di blog mengantar saya menerbitkan buku
untuk pertama kalinya, walaupun hanya berani saya terbitkan
secara indie. Dari menulis buku, saya makin tertarik untuk
menulis lebih serius. Mulailah saya gencar mengirimkan nas­
kah ke berbagai media cetak. Alhamdulillah, responsnya sangat
bagus. Sekarang ini saya sangat bergairah untuk terus menulis
dan mengembangkan hasrat menulis saya dari sekadar suka/
hobi menjadi mahir.

***
When One Door Closes, Another Opens 157

Pada hari saya resmi meletakkan karier yang saya bangun


tanpa jeda selama tujuh tahun penuh, saya mengira hidup
akan biasa-biasa saja setelah itu. Saya pasrahkan kesempatan
untuk melanjutkan ke jenjang 52 yang kini mulai padam.
Saya berpikir, "The door has been closed. " Butuh tiga tahun
lamanya untuk membuktikan kebenaran pepatah "When one
door closes, another opens. "
Siapa, sih, yang mengira bahwa setelah memutuskan ber­
henti berkarier, banyak pengalaman baru menanti?
Tak lama setelah mengundurkan diri, tak lagi menunggu­
nunggu tanggal 21 ketika saldo tabungan akan melonjak se­
cara reguler, Allah mengalirkan rezeki-Nya melalui jalan lain.
Obsesi suami selama berbulan-bulan untuk mencari per­
untungan ke luar negeri terkabul setelah saya mengajukan
surat pengunduran diri. Hanya tiga minggu setelah saya me­
lewatkan hari terakhir di kantor, suami berangkat ke luar
negeri untuk pertama kalinya.
Nasib baik terus bergulir hingga akhirnya kami sekeluarga
bermukim di kota Jeddah. Di kota yang saya pikir akan
menjadikan saya sebagai tahanan rumah, saya malah mene­
mukan passion sejati saya. Saya sangat gemar menulis. Saya
bahkan tidak segan-segan menulis di media online yang tidak
menjanjikan penghasilan sepeser pun.

***

Hidup terlalu singkat untuk digunakan menyesali masa yang


sudah lewat. Setahun pertama setelah mengundurkan diri,
kadang terselip rasa menyesal. "Why am I doing this again?"
158 Memoar of Jeddah

Sesekali menyesal, tapi untungnya harapan terus terpelihara.


Selalu meyakini pasti ada sesuatu yang lebih istimewa menanti
di depan sana. Tidak tahu apa, tapi insya Allah ada.
Menulis membangkitkan gairah baru. Energi yang jauh
lebih besar dan tidak pernah terpikirkan bisa dicapai. Meskipun
penghasilan dari menulis belum ada apa-apanya dibandingkan
saat berstatus pegawai swasta, saya mengerjakannya dengan
perasaan senang dan bersemangat, tak ada bosannya. Di blog,
di notes, di wall, dan di mana saja. Akhirnya, terpikir untuk
menulis buku solo.
Make decisions, take some standand set some goals.
Roda kehidupan tak punya alasan untuk berhenti berputar.
Siapa menyangka semua ini bermula dari kota Jeddah yang
kata orang-orang "Enggak banget itu"?
Mana ada tempat yang menjanjikan kesenangan semata.
Mau senang terus? Berbuat kebaikan sebanyak mungkin agar
bisa meraih tiket menuju surga. Di sanalah nanti kita akan me­
nemui kesenangan abadi.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di­
sediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali lmran
[3]: 133)

***
Daftar Pustaka

Keterangan pelengkap mengenai tempat-tempat wisata di­

ambil dari :

A1 Hijr I Madain Saleh http://en.wikipedia.org/wiki/


Madain_saleh

Pantai Thuwal http://en.wikipedia.org/wiki/Thuwal

Jeddah http://en.wikipedia.org/wiki/Jeddah

Yanbu http://en.wikipedia.org/wiki/Yanbu

Sadar http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Badr

Thaif http://en.wikipedia.org/wiki/Taif,_Saudi_Arabia
Riwayat Penulis

ihan Davincka, dilahirkan di kota Makassar pada bulan

J Januari 1980. Menghabiskan belasan tahun di kota pantai


tersebut hingga akhirnya pindah ke ibu kota untuk kuliah di
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia.
Memulai kuliah pada tahun 1998, resmi menggenggam
ijazah pada tahun 2002. Mei 2002 memulai karier sebagai
pekerja IT (programmer) di Manulife Indonesia. Tahun
2005 berpindah dari Manulife Indonesia ke AIU Indonesia
(AIG-Group) sebagai Business Analyst. Pada bulan Juni 2006
menggenggam status sebagai Business ProcessAnalyst di Unilever
Indonesia.
Pada tahun 2009 meletakkan karier dan mengikuti suami
yang berpindah ke kota Teheran, Iran. Hanya dua bulan di
Teheran, pulang kembali ke tanah air. Bulan Juli 2010,
kembali mengikuti suami yang bekerja di kota Jeddah, Arab
Saudi. Sejak Maret 2013 bermukim di kota Athlone, lrlandia.
Selain mengurus kedua buah hatinya, Adnan Nabil dan
Narda Atif, Jihan gemar menulis, baik secara profesional
maupun sebagai blogger biasa.
162 Memoar of Jeddah

Jihan bisa disapa di akun Twitter @davincka atau kunjungi


blognya di www.jihandavincka.wordpress.com

***L

Anda mungkin juga menyukai