BAB II
LANDASAN TEORI
(2-1)
(2-2)
Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan Rb/n. Hasil
yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan R/n syarat, jika lebih kecil
maka data masih dalam batasan konsisten.
7
Metode ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat penakar
tersebar merata/hampir merata, dan cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau
datar, dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya.
dimana:
P = curah hujan daerah rata-rata
PA, PB, ... ,Pn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
A1, A2, ... ,An = luas daerah pengaruh tiap titik pengamatan (km2)
Jika daerah stasiun pengamatan tidak tersebar merata, maka cara perhitungan
curah hujan dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap stasiun
pengamatan.
Cara membuat poligon Thiessen ini memberikan hasil perhitungan yang lebih
teliti dari rata-rata aljabar. Namun demikian, pemilihan titik pengamatan dan pemilihan
ketinggian akan menentukan ketelitian yang akan didapat. (Sosrodarsono, 2003:28)
Metode ini telah memberikan bobot tertentu kepada masing-masing stasiun
sebagai fungsi jarak stasiun hujan. Metode ini cocok untuk daerah datar dengan luas
500 - 5000 km2.
9
Sedangkan untuk metode Log-Pearson Type III memiliki kesesuaian hampir 90%.
(Harto, 1993: 244)
2.1.3.1. Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III
Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab 2.1.3 bahwa “Distribusi Frekuensi
Log Pearson Type III” memiliki kesesuaian hingga mencapai 90% di Pulau Jawa. Hal
ini menjadi pertimbangan tersendiri, sehingga dalam perhitungan curah hujan rancangan
sering menggunakan metode ini dengan kala ulang tertentu.
Adapun variabel/parameter yang digunakan dalam peritungan metode
“Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III” adalah sebagai berikut:
Jumlah seluruh data hujan dalam bentuk logaritma
Standar Deviasi (Sd)
Koefisien Skewness (Cs)
Langkah-langkah perhitungan curah hujan rancangan berdasarkan Log-Pearson
Type III adalah sebagai berikut (Soemarto, 1987:243):
1. Menjumlah data hujan harian maksimum tahunan sebanyak n tahun diubah dalam
bentuk logaritma ( log X ).
2. Menghitung harga rerata logaritma dengan rumus berikut ini:
n
Logx i
(2-6)
LogX i 1
n
3. Menghitung harga standard deviasi dengan rumus berikut ini:
n 2
( Log x i Log X )
i 1 (2-7)
Sd
n 1
Cs i 1 (2-8)
n 1 n 2 S d 3
5. Setelah mendapatkan nilai Cs, maka sesuai dengan kala ulang (Tr) yang
direncanakan didapat nilai faktor frekuensi (K) dan Probabilitas (P dalam %) dengan
menggunakan tabel 2.1.
6. Menghitung logaritma debit dengan waktu balik yang dikehendaki dengan rumus
berikut ini:
Log Q T Log X K .Sd (2-9)
12
7. Menghitung antilog dari log QT untuk mendapatkan debit banjir dengan waktu balik
yang dikhendaki QT
Dimana:
Log QT = Logaritma curah hujan rancangan dengan kala ulang T tahun
LogX = Rata-rata logaritma
n = banyaknya tahun pengamatan
Sd = simpagan baku data (Standar Deviasi)
Cs = Koefisien kepencengan (Skewness)
K = Faktor frekuensi
Tabel 2.1 Faktor Frekuensi (K) dengan fungsi dari nilai Koefisien Skew (Cs) dan
Kala ulang (Tr)
Pe (x) = m (2-10)
n 1
4. Dari tabel 2.1 berdasarkan nilai Cs (Skewness) yang telah dihitung pada
metode distribusi frekuensi dan nilai K (Faktor Koreksi) yang telah dihitung
sesuai rumus diatas, akan didapatkan nilai Pt (Peluang Teoritis).
5. Menghitung probabilitas teoritis Pt (x) masing-masing data X dengan rumus
berikut ini:
7. Dari nilai (P) setiap data X, kemudian dicari nilai maksimalnya yaitu
(Pmax).
8. Selanjutnya mencari nilai simpangan kritis (P cr) dari tabel 2.2 dibawah ini
berdasarkan banyak data X dinyatakan dalam (n) dan derajat kepercayaan (α).
9. Yang terakhir adalah menentukan kelayakan atau kesesuaian distribusi
diterima atau ditolak dengan membandingkan nilai ( Pmax) dengan (P cr).
Dengan kemungkinan sebagai berikut:
Bila (Pmax) < (P cr), maka distribusinya diterima.
Bila (Pmax) > (P cr), maka distribusinya ditolak.
Ef = n (2-17)
K
O f Ef
2
2 f
(X )hit = (2-19)
f l Ef
17
9. Menentukan derajat kebebasan (DK atau ʋ), dengan rumus sebagai berikut:
DK atau ʋ = K-(p+1) (2-20)
dimana:
K = banyaknya kelas atau kelompok.
p = banyaknya keterkaitan atau banyaknya parameter, yang untuk sebaran
Chi- Square adalah sama dengan 2.
10. Menentukan nilai (X2)cr , dari tabel 2.3 berdasarkan derajat kebebasan (DK)
dan derajat kepercayaan (α).
11. Kemudian membandingkan (X2)hit dengan (X2)cr , dengan kemungkinan
sebagai berikut:
Bila (X2)hit < (X2)cr, maka distribusinya diterima.
Bila (X2)hit > (X2)cr, maka distribusinya ditolak.
18
terkoreksi.
15. Selanjutnya menghitung hujan maksimum yang mungkin terjadi (Xm) dengan
rumus sebagai berikut:
X m X n Km . Sn (2-23)
dimana:
Xm = curah hujan harian terbesar yang mungkin terjadi (mm/hari)
Xn = rata-rata series data hujan harian maksimum tahunan (mm/hari)
20
Gambar 2.5 Grafik hubungan antara faktor penyesuaian X n dengan panjangnya data
hujan dan harga X n m / X n
Sumber : Soemarto, (1999:156)
21
Gambar 2.6 Grafik hubungan antara faktor penyesuaian S n dengan panjangnya data
hujan dan harga S n m / S n
Sumber : Soemarto, (1999:156)
Gambar 2.7 Faktor penyesuaian untuk harga rata-rata X n dan standart deviasi S n
sesuai dengan panjangnya data curah hujan (tahun)
Sumber : Soemarto, (1999:156)
22
Gambar 2.8 Grafik hubungan antara K m dengan fungsi durasi hujan dan hujan
maksimum rata-rata tahunan (mm)
Sumber : Soemarto, (1999:155)
Gambar 2.9 Grafik hubungan prosentasi hujan titik (point rainfall) berpeluang
maksimum dengan durasi hujan dan luas daerah pengaliran
Sumber : Soemarto, (1999:156)
23
Gambar 2.10 Grafik hubungan antara fixed time interval adjustment dengan lamanya
pengukuran data ujan (jam) setiap hari
Sumber : Soemarto, (1999:156)
Tabel 2.5 Koefisien-koeffisien pengaliran dari buku pedoman yang diterbitkan oleh
Texas Highway Department.
berasal dari air tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat
terhadap hujan. Sedangkan aliran permukaan berasal dari hujan efektif.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari
aliran dasarnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah metode
garis lurus (straight line method), metode panjang dasar tetap (fixed base
method). dan metode kemiringan berbeda (variable slope method). (Harto,
1993:156)
Gambar 2.11 Beberapa metode pemisahan aliran dasar dan aliran langsung
Selain 3 (tiga) metode diatas, apabila debit pengamatan dilokasi tidak diketahui
maka aliran dasar juga dapat diperoleh dengan persamaan debit aliran dasar (QB) denga
variabel luas DAS dan kerapatan jaringan sungai. Dengan rumus sebagai berikut (Harto,
1993:168):
QB = 0,4751 . A0,6444 . D0,9430 (2-26)
dimana:
QB = Aliran dasar (m3/det)
A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan sungai , yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap
satuan luas DAS
suatu DAS adalah suatu limpasan langsung yang diakibatkan oleh satu satuan hujan
efektif, yang terbagi rata dalam waktu dan ruang (Soemarto, 1999:86).
Ada beberapa macam metode untuk menganalisa hidrograf, antara lain HSS
Nakayasu, HSS Synder, HSS Gamma-1 dan HSS Isochrones. Dalam studi ini dipilih
unit HSS Nakayasu karena diharapkan memberikan hasil yang baik seperti hasil
evaluasi terhadap penerapan yang sudah ada.
Teori hidrograf satuan merupakan penerapan teori sistem linear dalam hidrologi
Daerah Aliran Sungai yang dipandang sebagai proses black box dan sistemnya ditandai
oleh tanggapan (response) debit Q terhadap input tertentu. Inputnya adalah hujan
merata, yaitu hujan dengan intensitas konstan sebesar i dan durasi T yang terbagi rata di
atas DAS (Soemarto, 1999:86).
3. Anggapan superposisi
28
1. Menentukan luas DAS (A) yang akan diuji, panjang sungai utamanya (L) dan
titik berat DAS yang diuji.
2. Menghitung nilai waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak dalam
jam (tp) dengan rumus sebagai berikut:
tp = Ct . (L . Lc)0,3 (2-27)
dimana:
Ct = koefisien waktu puncak (Ct = 0,75-3,00)
L = panjang sungai utama (km)
Lc = jarak titik berat DAS dengan pelepasan (outlet)
3. Selanjutnya menghitung durasi curah hujan efektif (te) dan tr dianggap 1
dengan rumus sebagai berikut:
tp
te (2-28)
5,5
7. Menghitung waktu dasar hidrograf (Tb) dengan rumus sebagai berikut ini:
72 3.T p
Tb (2-34)
24
SF = L1 (2-35)
LN
33
SN = d (2-36)
e
WF = Wu (2-37)
WL
5. Menghitung luas DAS bagian hulu (RUA) dengan rumus sebagai berikut ini:
RUA = Au (2-38)
A
7. Menghitung kerapatan jaringan kuras (D) dengan rumus sebagai berikut ini:
D = LN (2-40)
A
8. Menghitung jumlah pangsa sungai (JN) dengan rumus sebagai berikut ini:
JN = d – 1 (2-41)
9. Menghitung besarnya waktu naik hidrograf (TR) dengan rumus sebagai
berikut:
3
TR = 0,43.
L
.SF 1,0665.SIM 1,2775 (2-42)
100
10. Menghitung besarnya waktu dasar hidrograf (TB) dengan rumus sebagai
berikut:
TB = 27,4132.TR1457 . S 0,0986 . SN 0,7348 . RUA0, 2574 (2-43)
12. Menghitung koefisien tampungan (K) dengan rumus sebagai berikut ini:
K = 0,5617. A0,1793 . S 0,1446 . SF 1, 0897 . D 0, 0452
(2-45)
2.1.8.3. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
34
A.R o
Qp
3,6 0.3T T (2-52)
p 0,3
36
9. Menentukan debit waktu kurva naik Q(t) saat (0 < t ≤ T p), dengan rumus
sebagai berikut:
2, 4
t
Q( t ) . QP (2-53)
TP
dimana:
Q(t) = Debit pada jam ke t (m3/detik)
t = Waktu (jam)
10. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat (TP t (TP+T0,3)), dengan
rumus sebagai berikut:
( t Tp )
T 0 ,3
Q( t ) Qp . 0,3
(2-54)
11. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat ((Tp+T0,3) t (Tp
+T0,3+1,5T0,3)), dengan rumus sebagai berikut:
( t T p 0,5 T 0 ,3 )
1,5T0 ,3
Q( t ) Qp 0,3
(2-55)
12. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat (t > (Tp+T0,3+1,5T0,3)), dengan
rumus sebagai berikut:
( t T p 1,5T0 ,3 )
2,0T0 ,3
Q( t ) Qp 0,3
(2-56)
i tr
t
0.8 tr tg
O
Qp
2
0.3 Qp
0.3 Q
2.9 Distribusi Hujan Jam-Jaman Model Mononobe dan Curah Hujan Efektif
Sebelum melakukan perhitungan debit banjir rancangan (Design Flood)
diperlukan perhitungan hujan jam-jaman dan hujan rancangan netto untuk mengetahui
intensitas curah hujan. Analisis intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah
hujan yang telah terjadi di masa lampau. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan
huruf I dengan satuan (mm/jam).
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan distribusi hujan jam-jaman model
mononobe dan curah hujan netto adalah sebagai berikut:
1. Mengasumsi hujan rata-rata di Indonesia, semisal t = 5 jam atau 6 jam.
2. Menentukan koefisien pengaliran (C) berdasarkan tabel koefisien
pengaliran.
3. Menghitung Intensitas hujan (I T) untuk setiap jam selama (t), dengan
rumus sebagai berikut:
2
R t 3 (2-57)
I T 24 .
t T
dimana:
IT = intensitas curah hujan dalam T jam (mm/jam)
R24 = curah hujan efektif dalam 1 hari (mm/hari)
T = waktu hujan dari awal sampai jam ke t (jam)
t = waktu konsentrasi hujan (untuk Indonesia rata-rata t = 5-6 jam)
4. Setelah mendapat nilai Intensitas hujan (IT) dalam bentuk (R24), maka
selanjutnya kita dapat menghitung Intensitas hujan rata-rata dalam 1 hari (I t)
selama (t) jam yang diasumsikan dengan rumus sebagai berikut ini:
I t t . I T t 1 . I T 1 (2-58)
dimana :
It = besar curah hujan pada jam ke t (mm)
t = waktu konsentrasi hujan
IT = intensitas curah hujan dalam T jam (mm/jam)
I(T-1) = intensitas curah hujan dari awal hingga jam ke (T-1) (mm)
5. Menghitung hujan efektif rencana (R 24) dari data hujan rancangan atau
Design Rainfall (Xrencana) dan koefisien pengaliran (C) untuk setiap kala ulang
(Tr) sampai PMP, dengan rumus sebagai berikut:
R24 = C . Xrencana (2-59)
38
dimana:
Qk = Debit Banjir pada jam ke - k
Ui = Ordinat hidrograf satuan (i = 1, 2, 3 .. .n)
Rn = Hujan netto (hujan efektif) dalam waktu yang berurutan (n = 1,2,..n)
Qb = Aliran dasar (base flow)
Sungai merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, hal ini
disebabkan kondisi sungai sangat berpengaruh. Kondisi sungai yang sangat ekstrem,
baik saat kekeringan atau banjir sangat tidak dikehendaki. Untuk itu diperlukan
penanggulangan, bahkan dalam hal ini sangat dibutuhkan peramalan atau pendugaan
terhadap banjir yang sangat besar. Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu dilakukan
analisis hidrologi tentang peramalan atau pendugaan banjir yang mungkin terjadi yang
disebut penelusuran banjir (Flood Routing).
Pada dasarnya penelusuran banjir terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:
penelusuran melalui saluran (sungai) dan penelusuran banjir melalui reservoir. Selain
itu terdapat 2 (dua) cara dalam metode penelusuran banjir yaitu: penelusuran-hidrulik
(hydraulic routing) dan penelusuran-hidrologis (hydrologic routing). (Harto, 1993:179)
Penelusuran banjir lewat reservoir dalam hal ini adalah waduk sangat diperlukan
untuk menentukan tinggi maksimum elevasi banjir di atas ambang pelimpah dan debit
outflow maksimumnya. Hal ini menjadi sangat penting sebab dalam perencanaan
bangunan pelengkap bendungan (Spillway) sangat dibutuhkan dalam perencanaan
hidrolika strukturnya.
Dalam penelusuran banjir yang menjadi variabel terpenting adalah debit inflow
dan outflow. Saat debit banjir (inflow) masuk kedalam tampungan waduk sampai
kapasitas tampungan sementara yaitu sampai elevasi banjir diatas ambang. Elevasi
banjir diatas pelimpah akan semakin naik sampai elevasi maksimum diatas ambang
pelimpah. Kemudian elevasi muka air banjir akan turun sampai debit inflow sama denga
debit outflow. Tampungan yang ada dalam kapasitas tampungan waduk berfungsi
mereduksi banjir. Hidrograf outflow dari waduk akan mempunyai puncak terendah
tergantung pada ukuran waduk dan besarnya kapasitas banjir yang tersedia.
Gambar 2.22 Hidrograf infow dan outflow hasil penelusuran banjir pada waduk
direncanakan dengan kapasitas dua kali lebih besar dari debit banjir rancangan
(Sosrodarsono, 1977:227).
Sesuai dengan kriteria perencanaan yang telah direkomendasikan oleh Balai
Kemanan Bendungan Indonesia, kapasitas pelimpah untuk bendungan tipe
urugan dalam kondisi banjir abnormal direncanakan dengan Q PMF atau ½ Q
PMF , dimana pertimbangan pemilihan Q PMF atau ½ Q PMF.
Elevasi (m)
Pada gambar 2.23 menjelaskan bahwa elevasi puncak pelimpah diperoleh dari
grafik lengkung kapasitas waduk dan untuk memperoleh elevasi puncak pelimpah,
jumlah volume tampungan mati dan volume tampungan efektif ditarik garis ke atas
sampai berpotongan dengan garis lengkung kapasitas waduk lalu ditarik garis ke kiri
untuk menentukan elevasinya.
2.2.2. Kurva Kapasitas Tampungan Waduk (storage curve)
Sebelum menentukan penelusuran banjir melalui spillway dan menentukan
tinggi ambang spillway, maka perlu diketahui kapasitas tampungan waduk dengan cara
kurva kapasitas waduk (storage curve). Hal ini sangat penting untuk mengetahui
seberapa besar tampungan yang diakibatkan terbendungnya aliran sungai.
Kurva ini menunjukkan hubungan antara elevasi, volume waduk, serta luas
genangan pada sekitar daerah perencanaan. Dari peta topografi yang berupa garis kontur
dengan interval dua meteran yang kemudian dijabarkan menjadi interval satu meteran
dengan cara interpolasi. Luasan dan volume waduk tiap interval didapatkan dari nilai
42
luasan pada propertis-Auto Cad. Dari masing-masing titik yang didapat diplot pada
skala normal sehingga didapatkan suatu kurva yang digunakan untuk mencari luas
genangan dan volume tampungan sesuai dengan yang ditunjukan pada gambar 2.24 dan
gambar 2.25.
Dengan diketahuinya volume tampungan antar intrval elevasi pada peta kontur
skala 1:50.000 maka dapat diketahui elevasi ambang pelimpah dengan
menginterpretasikan hasil hitungan tampungan efektif dan tampungan mati pada
perhitungan volume tampungan anta interval elevasi kurva kapastas tampungan waduk.
Setelah mendapatkan nilai debit (Q) tiap interval kedalaman aliran, maka hasil
perhitungan dapat direpresentasi dalam bentuk kurva yang disebut rating curve seperti
gambar 2.26 dibawah ini.
dengan cara coba-coba, kemudian nilai (Cd) coba-coba dicek dengan nilai (Cd) hitung
dengan persamaan Iwasaki.
Adapun langkah-langkah menghitung koefisien debit limpasan diatas pelimpah
(Cd) sebagai berikut:
1. Menentukan elevasi mercu pelimpah dari perhitungan tampungan efektif
waduk dan menentukan elevasi dasar pelimpah sehingga diperoleh tinggi
pelimpah (P) dengan rumus sebagai berikut:
P = elv.mercu - elv.dasar (2-70)
2. Merencanakan variabel-variabel dibawah ini:
Lebar pelimpah (L)
Jumlah pilar (n)
Koef. Pilar (Kp)
Koef. Abutmen (Ka)
Koefisien kontraksi pilar ditentukan sebagai berikut:
- pilar dengan bentuk depan persegi 0,02
- pilar dengan bentuk depan bulat 0,01
- pilar dengan bentuk depan runcing 0,01
Koefisien kontraksi tembok tepi sebagai berikut:
- tembok tepi bersudut runcing 0,2
- tembok tepi bersudut bulat/tumpul 0,1
Cd = 1,60 x 1 2a (2-74)
1 a
48
7. Setelah mendapat nilai (Cd) hitung, (Hd) dan nilai (a), maka perhitungan nilai
debit (Q) tiap selisih antar interval elevasi (h) dengan memakai persamaan:
1 2a h / Hd
Cd = 1.60 x (2-75)
1 a h / hd
3. Setelah mendapat nilai debit (Q) yang ada pada tabel perhitungan koefisien
debit (Cd) diatas, maka dilakukan perhitungan Psi (ψ) dengan rumus sebagai
berikut:
Ψ = V Q (2-77)
t 2
φ = V Q (2-78)
t 2
dimana:
I1 = inflow pada elevasi 1 (m3/det)
I2 = inflow pada elevasi 2 (m3/det)
3. Menghitung nilai Psi (ψ) dengan cara menginterpolasi nilai Psi (ψ) terhadap
nilai debit outflow (Q) pada jam sebelumnya dari perhitungan fungsi
tampungan diatas.
4. Menghitung nilai Phi (φ) dengan rumus sebagai berikut ini:
I1 I 2
φ= (2-80)
2
5. Menghitung debit outflow (Q) dengan cara menginterpolasi nilai debit (Q)
terhadap nilai Phi (φ) dari perhitungan fungsi tampungan diatas. Namun untuk
debit outflow (Q) pada jam ke- 0 nilainya sama dengan nilai debit inflow pada
jam ke- 0 juga.
50
6. Menghitung beda tinggi antara elevasi mercu dengan muka air banjir (H)
dengan cara menginterpolasi nilai selisih interval elevasi (h) terhadap nilai
debit outflow (Q) dari perhitungan fungsi tampungan diatas.
7. Menghitung elevasi muka air banjir dengan rumus sebagai berikut ini:
Elv. Banjir = H + elv. Mercu (2-81)
8. Perhitungan dilakukan seterusnya hingga didapatkan nilai Qoutflow dan H
maksimum.
Dari perhitungan diatas apabila didapatkan nilai H d melebihi dan masih mempunyai
selisih dari nilai Hd sebelumnya. Maka perhitungan diulang kembali dengan
menggunakan Cd dari Hd tadi dengan persamaan koefisien debit seperti yang telah
dijelaskan diatas, kemudian menghitung fungsi tampungan dan penelusuran banjir
kembali dengan nilai Cd yang baru untuk Q1000 th, 1,2Q 1000 th dan Q PMF.
2.3. Pelimpah Bendungan (Spillway)
Bangunan Spillway atau pelimpah adalah bangunan beserta instalasinya yang
melewatkan air banjir yang masuk ke dalam waduk agar tidak membahayakan
keamanan bendungan tersebut. Oleh karena itu, dalam perencanaan hampir setiap
bendungan haruslah dipkirkan cara untuk mengalirkan air ke hilir. (Soedibyo, 2003:321)
Pada dasarnya sebuah spillway atau pelimpah memiliki 4 bagian penting seperti
pada gambar diatas. Adapun bagian-bagian penting yang terdapat pada pelimpah adalah
sebagai berikut (Soedibyo, 2003:321):
1. Ambang pelimpah
Berdasarkan kapasitas debit yang melewati pelimpah, maka sangat
mempengaruhi bentuk ambang. Ambang berbentuk bendung pelimpah
51
Saluran pengarah dan pengatur aliran yang terletak di bagian atas dan di
antara puncak dengan bawah bendungan.
Saluran pengarah dan pengatur aliran berbentuk siphon (syphon type).
Saluran pengarah dan pengatur aliran dengan pintu air.
3. Saluran pengangkut debit (discharge carrier, flood way)
Ada 3 tipe saluran pengarah dan pengatur aliran adalah sebagai berikut:
Saluran pengangkut debit dengan bentuk peluncur (chute type discharge
carrier).
Saluran pengangkut debit dengan terowongan (tunnel type discharge
carrier).
Saluran pengangkut debit dengan sistem permukaan bendungan (dam
surface type).
4. Peredam energi (stilling basin)
Macam-macam tipe pelimpah sangat beragam. Pemilihan tipe pelimpah sangat
memperhatikan banyak faktor yang berpengaruh. Adapun beberapa macam tipe
pelimpah sebagai berikut:
1. Berdasarkan fungsinya terdapat 3 tipe pelimpah, yaitu:
Pelimpah utama (main spillway)
Pelimpah pembantu (auxilliary spillway)
Pelimpah darurat (emergency spillway)
2. Berdasarkan cara operasinya terdapat 2 tipe pelimpah, yaitu:
Pelimpah dengan pintu air (controlled spillway)
Pelimpah tanpa alat kontrol (uncontrolled spillway)
3. Berdasarkan bentuknya terdapat 7 tipe pelimpah, yaitu:
Pelimpah dengan saluran peluncur terletak di sisi bendungan (side overflow
chute spillway)
Pelimpah dengan berbentuk menara (tower spillway)
Pelimpah dengan saluran peluncur terletak di sisi bendungan (side overflow
chute spillway)
Pelimpah dengan ambang di tengah dan saluran pengangkut airnya di
permukaan bendungan (centre overflow dam surface spillway)
Pelimpah morning glory (morning glory tunnel spillway)
Pelimpah dengan peredam energi jatuh bebas (free overfall spillway)
53
Bentuk mercu type Ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam
aerasi. Untuk bagian hulu tegak sesuai dengan kemiringan permukaan hilir yang
relatif lebih curam dengan persamaan garis lengkung X1,85 = 2.Hd0,85.Y.
55
Berdasarkan metode The United State Army Corps of Engineers telah menyusun
beberapa bentuk baku pelimpah di Waterways Experiment Station (WES), dinyatakan
berdasar lengkung Harrold (Chow 1989: 330):
Xn = K . Hdn-1 . Y (2-83)
dimana:
X, Y = koordinat profil mercu dengan titik awal pada titik tertinggi mercu
Hd = tinggi tekan rancangan tanpa tinggi kecepatan dari aliran yang masuk.
K, n = parameter yang tergantung pada kemiringan muka pelimpah bagian hulu.
57
Dari profil lengkung Harrold, bagian hilir pelimpah dirubah profilnya menjadi
garis lurus dengan kemiringan 1 : 1 atau 1 : 0,8 atau berapa saja asal tidak terjadi
banyak pembulatan angka. Pertemuan lengkung Harrold dan garis lurus tersebut harus
merupakan garis singgung sehingga tidak menyebabkan adanya cekungan yang
menyebabkan terjadi rongga udara yang dapat menyebabkan bahaya kavitasi. Untuk
lengkungan di akhir profil ambang pelimpah tidak boleh kurang dari 10 d, d adalah
tinggi muka air tegak lurus terhadap kemiringan saluran di awal lengkungan.
2.3.3. Perencanaan Bentuk Saluran Side Channel
Bentuk saluran samping direncanakan berpenampang trapesium dengan
kemiringan pada dindingnya 1 : 0 atau berdinding tegak. Selain itu, perlu direncanakan
lebar saluran samping dibagian hulu dan hilir serta menentukan panjang saluran
samping tersebut.
Untuk pemilihan kombinasi angka koefisien a dan n digunakan rumus Julian
Hinds. Angka koefisien n divariasikan antara 0,4 – 0,8. Kemiringan dasar saluran
samping direncanakan berdasarkan Qoutflow untuk Q1000 dan QPMF. Untuk menentukan
harga a dan n di atas perlu dicari dalam kombinasi sedemikian rupa sehingga disatu
pihak biaya konstruksi saluran samping cukup ekonomis, sedangkan dilain pihak agar
mempunyai bentuk hidrolis yang menguntungkan.
Adapun langkah-langkah menentukan harga angka koefisien a dan n adalah
sebagai berikut:
1. Menghitung jarak titik tinjau sebagai berikut ini:
c
X1 = c m, diperoleh QX1 = tot. panjangsaluran xQout (2-84)
e
X2 = e m, diperoleh QX2 = tot. panjangsaluran xQout
(2-85)
2. Bentuk penampang saluran samping dengan lebar (b) bervariasi berdasarkan
jarak X serta kemiringan Z1 dan Z2.
3. Memisalkan nilai a dan n.
58
b b 2 2( Z1 Z 2 ) A
d= (2-88)
Z1 Z 2
7. Menentukan tinggi tekanan kecepatan aliran (hv) pada jarak X1 dan X2 dengan
persamaan sebagai berikut:
v2
hv (2-89)
2. g
Tabel 2.8 Tabel perhitungan untuk menentukan perbandingan dari kombinasi a dan n.
59
b b 2 2( Z 1 Z 2 ) A
d=
Z1 Z 2
(2-97)
6. Menentukan nilai keliling basah (P) dengan persamaan sebagai berikut:
P = b ( (1 Z 1 2 ) 2
(1 Z 2 ) ) d
(2-98)
7. Menentukan nilai jari-jari penampang basah (R) dengan persamaan sebagai
berikut:
A
R =
P
(2-99)
8. Menghitung Rrata dengan persamaan sebagai berikut:
Rrata2 = 0,5.(Ri-1 + Ri ) (2-100)
9. Menghitung ∆x = xi - x i-1
10. Menghitung Vrata dengan persamaan sebagai berikut:
Vrata2 = 0,5.(Vi-1 + Vi ) (2-101)
11. Menghitung nilai (Sf) dengan persamaan sebagai berikut:
2
n . Vrata 2
Sf = 2/3
(2-102)
Rrata 2
12. Menghitung nilai (hf) dengan persamaan sebagai berikut:
hf = Sf . ∆x (2-103)
13. Menentukan tinggi tekanan kecepatan aliran (hv) dengan persamaan sebagai
berikut:
v2
hv . (2-104)
2. g
14. Menentukan perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air di
dalam saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut (y) dengan
persamaan sebagai berikut:
n 1
y = hv (2-105)
n
15. Menentukan nilai (D) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai berikut:
D = d+y (2-106)
16. Menentukan nilai elevasi dasar teoritis dengan persamaan sebagai berikut:
61
pada hasil perhitungan (teoritis) seperti dapat dilihat pada Gambar 2.36 adalah berupa
garis lengkung, maka pelaksanaan konstruksinya akan cukup sulit. Untuk menghindari
dasar saluran harus disesuaikan dengan merubahnya menjadi garis lurus. Penyesuaian
ini dilakukan dengan menghubungkan titik akhir garis lengkung dengan titik yang
letaknya 1/3 (sepertiga) sampai dengan 1/10 (sepersepuluh) dari panjang pelimpah, dan
ambang pelimpah adalah debit outflow maksimum 1,2x100 tahun (1,2xQ100) dan PMF
(QPMF) sebagai kontrolnya, lebar efektif ambang pelimpah (Leff), dan kedalaman air
diatas ambang (Hd).
Setelah dasar saluran samping yang direncanakan ditetapkan, maka dilanjutkan
dengan perhitungan tinggi muka air pada saluran samping. Dengan diketahuinya
kedalaman air di titik yang diamati dan kemiringan dasar saluran samping (hasil
perhitungan sebelumnya), maka profil muka air di sepanjang saluran samping dapat
ditentukan dengan sistem coba banding menggunakan persamaan berikut
(Sosrodarsono, 1989:228).
Rumus perbedaan tinggi muka air antara 2 penampang:
Q1 V1 V2 V2
y V1 V2 Q1 Q2 (2-108)
g Q1 Q2 Q1
Adapun langkah-langkah menghitung profil aliran muka air diatas pelimpah side
channel adalah sebagai berikut:
1. Panjang saluran samping dibagi dalam beberapa pias, jarak antar pias (∆x).
2. Setelah melakukan perhitungan bentuk dasar saluran diatas, maka akan
diperoleh tinggi muka air di hilir saluran samping ytitik x .
3. Menghitung elevasi muka air pada titik tersebut dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Elevasi muka air = Elevasi dasar + y (2-109)
4. Menghitung luas penampang basah (A) pada titik tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
( Z 1 Z 2 ) y 2 .B
A= y (2-110)
2
5. Menghitung debit per satuan lebar (q) dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Q
q= (2-111)
B
6. Menghitung debit (Q1) pada titik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Q1 = q . X (2-112)
63
7. Menghitung kecepatan aliran (V1) pada titik tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Q
V1 = (2-113)
A
8. Untuk titik x-1 (dengan cara coba-coba, sampai diperoleh hasil perhitungan ∆y
menggunakan persamaan Rumus perbedaan tinggi = nilai ∆y yang diambil).
9. Selanjutnya perhitungan di titik x-1 dilanjutkan seperti berikut ini untuk
memperoleh hasil yang disyaratkan di atas dengan nilai β tertentu.
10. Menghitung elevasi muka air pada titik tersebut dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Elevasi muka air di titik x-1 = (Elevasi muka air di titik x) + ∆y (2-114)
11. Menghitung tinggi muka air (y) dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Tinggi muka air (y) = Elevasi muka air – Elevasi dasar (2-115)
12. Menghitung luas penampang basah (A) pada titik x-1 dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
( Z 1 Z 2 ) y 2 .B
A= y (2-116)
2
13. Selanjutnya perhitungan debit (Q2) dan kecepatan (V2).
14. Menghitung Δy dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Q1 V1 V2 V2
y V1 V2 Q1 Q2 (2-117)
g Q1 Q2 Q1
15. Hasil perhitungan ∆y menggunakan persamaan Rumus perbedaan tinggi =
nilai ∆y yang diambil OK
2.3.6. Saluran Transisi Pada Spillway Bendungan
Pada dasarnya saluran transisi diartikan sebagai saluran yang mengalami
perubahan dimensi saluran. Terdapat dua kemungkinan pada saluran transisi, yaitu
saluran yang mengalami penyempitan dan saluran yang mengalami perluasan.
Namun, pada pelimpah sering dijumpai penampang saluran yang mengalami
penyempitan.
Hal ini dimaksudkan agar saluran tersebut mengalami perubahan pada
kecepatan alirannya menjadi kritis pada permulaan saluran peluncur setelah saluran
transisi. Saluran transisi pada bangunan pelimpah diperlukan untuk menghubungkan
perubahan penampang dari ukuran dimensi yang lebih besar ke ukuran yang lebih
64
kecil pada ruas hilir profil pelimpah sampai ke suatu potongan sebelum menuju ke
saluran peluncur. Selain itu peranan saluran transisi sangat dibutuhkan dalam
pengaturan aliran pada debit-debit banjir yang yang direncanakan. Selanjutnya
bentuk saluran transisi pada pelimpah bendungan diuji dengan mengalirkan debit
banjir yang abnormal pada model test bendungan.
Untuk bangunan pelimpah yang relatif kecil, biasanya saluran ini dibuat
dengan dinding tegak yang makin menyempit ke hilir dengan inklinasi sebesar
12°30' terhadap sumbu saluran peluncur. Terkadang kondisi topografi yang kurang
menguntungkan memaksakan pembuatan dinding saluran yang melebihi sudut
iklinasi tersebut.
Dalam kondisi di ujung hulu dan di ujung hilir saluran transisi terjadi aliran
kritis yang mempunyai sifat yang tidak stabil, sehingga debitnya tidak stabil pula
sehingga menimbulkan beban hidrodinamika yang cukup besar terutama pada saluran
trnsisi yang panjang, maka elevasi dasar ambang hilir saluran transisi dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
65
v
2
v
(Elv. HL) + d e e = (Elv. HR) + d c 2 c1
2
2
K v e1 v c 2
2
h (2-118)
m
2g 2g 2g
dimana:
Elv. HL = Elevasi dasar ambang hulu
Elv. HR = Elevasi dasar ambang hilir
de = kedalaman aliran masuk ke dalam saluran transisi.
ve = kecepatan aliran masuk ke dalam saluran transisi.
dc = kedalam kritis pada ujung hilir saluran transisi.
vc = kecepatan aliran kritis pada ujung hilir saluran transisi.
K = koeffisian kehilangan tinggi tekanan yang disebabkan oleh perubahan
penampang lintang saluran transisi (0,1 - 0,2).
hm = kehilangan total tinggi tekanan yang disebabkan oleh gesekan.
2.3.7. Aliran Silang Pada Saluran Spillway (Cross Flow)
Aliran cross adalah aliran silang pada saluran spillway yang dapat berdampak
buruk pada konstruksi bangunan apabila tidak dikaji lebih dalam pada model test. Aliran
cross atau silang ini sering muncul ketika dimodelkan dalam model test. Secara umum
aliran ini sering dijumpai pada saluran transisi, pelebaran saluran setelah akhir saluran
peluncur, belokan saluran, serta pada akhir peredam energi.
Pada dasarnya aliran cross ini merupakan refleksi dari gelombang positif dan
refleksi gelombang negatif yang saling meniadakan. Refleksi gelombang itu muncul
diakibatkan adanya benturan air pada dinding saluran, hal ini terlihat jelas pada kondisi
aliran pada saluran peluncur saat model test. Selain tu, refleksi gelombang ini dapat
terjadi akibat penyempitan dan pelebaran dasar saluran. Aliran cross kerap kali dijumpai
akibat perbedaan tinggi dasar saluran kiri dan kanan.
2.3.7.1. Cross Flow Pada Penyempitan Saluran
Dasar pemikiran dalam merencanakan panjang saluran transisi penyempitan
ialah untuk meyakinkan bahwa garis gangguan positip ABC' dan A'BC bertemu
dengan dinding pada D dan D' seperti gambar diatas ini. Gangguan positip diperoleh
disebabkan oleh penurunan pada C dan C' meniadakan gangguan negatip yang berasal
dari D dan D' sebagai akibat alami dari dinding cembung. Sehingga, desain yang
demikian menghasilkan saluran hilir yang tenang. (Raju, 1986: 284)
66
B3
dari grafik dibawah ini berdasarkan nilai .
B1
y1 2 1 y1 y 2
2
2 y2
F2 . F1 . . 1. 1 (2-120)
y 2 2 y 2 y1 y1
5. Berdasarkan nilai F2 dan nilai θ, kemudian dicari nilai β 2 dari grafik 2.41
diatas.
y3
6. Menentukan nilai dengan menggunakan persamaan berikut ini:
y2
y3 tan 2
(2-121)
y 2 tan( 2 )
68
y1 2 1 y1 y 3
2
y3
2
F3 . F1 . .
1.
1 (2-123)
y3 2 y3 y1 y1
B2 B
2. Menentukan nilai dan 2. B seperti gambar di bawah ini:
B1 1
B2 B
3. Bedasarkan nilai dan 2. B menentukan jarak panjang aliran cross
B1 1
Aliran air dengan kecepatan yang tinggi dan melewati saluran melengkung
menimbulkan kenaikan muka air di dinding luar saluran setinggi dua kali tinggi
kenaikan yang disebabkan oleh gaya sentrifugal pada daerah lengkung. Adapun
persamaan sudut inklinasi permukaan air di dinding lingkaran luar adalah sebagai
berikut:
2.V 2
tan C (2-129)
2. R
dimana:
θC = sudut inklinasi (derajat)
V = kecepatan (m/det)
R = jari-jari lengkung saluran (m)
Gelombang benturan atau yang sering disebut sebagai aliran cross pada belokan
dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
1. Dengan cara dasar saluran dibuat miring ke arah dalam dengan persamaan
berikut ini:
2
V1
tan (2-130)
g.R
2. Dengan cara dasar saluran dibuat beberapa kurva majemuk dengan dimensi
rt=2r
B
t tan 1 . (2-131)
rt 0.5B . tan 0
dimana:
θt = sudut tengah dari jalur pencegah beraturan hidrolis (derajat)
rt = radius jalur pencegah benturan hidrolis (m)
β0 = susut mach
2.3.8. Saluran Peluncur Pada Spillway Bendungan (chute way)
Saluran peluncur didesain mengalirkan aliran yang super kritis dengan Froude
antara 1 < F < 9. Kemiringan dasar saluran dibuat landai bagian atas dan semakin ke
hilir semakin curam, sehingga kecepatan aliran dipercepat secara berangsur-angsur dan
membentuk garis lengkung sedemikian rupa, sehingga berkas aliran super kritis yang
melintasi saluran tidak terangkat dari bidang dasar. Aliran pada saluran peluncur
didesain superkritis agar saluran peluncur mempunyai volume beton kecil dan bilangan
Froude tidak boleh lebih dari 9, hal ini dikarenakan bila F > 9 akan menyebabkan aliran
super kritis yang melintasi saluran terangkat dari bidang dasar dan menimbulkan bahaya
72
Z1 = So.∆x + y1 + z2 (2-132)
Z2 = y2 +z2 (2-133)
2 2
V1 V2
Z1 + α1. = Z1 + α2. + hf + h e (2-135)
2g 2g
Tabel 2.11. Hubungan temperatur dengan fisik air pada tekanan atmosfer (satuan SI)
P Po
Cp
Vo 2 (2-137)
P
2
Jika P Pv , maka 1 = - Cp
= indeks kavitasi
Po = ambient pressure (kPa) 1 kPa = 1000 N/m2
= Pa + Pg
Pa = tekanan atmosfir (=101 kPa)
Pg = tekanan setempat (kPa) = . g . h
h = tinggi muka air (m)
Pv = tekanan uap (kPa)
= massa jenis cairan (kg/m3)
Vo = kecepatan aliran (m/dt)
Cp = koefisien kavitasi
P = tekanan setempat (kPa
75
banjir rencana, sedangkan debit-debit yang lebih tinggi meliputi 1,2 dari debit banjir
rencana bahkan debit-debit abnormal.
Debit kecil juga harus diuji dalam perencanaan, hal ini disebabkan terkadang
debit kecil juga dapat menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan terhadap
kestabilan konstruksi peredam energi. Dalam perencanaan peredam energi
menggunakan Q100 th.
Menurut Suyono Sosrodarsono dalam bukunya “Bendungan Type Urugan”
peredam energi mempunyai berbagai tipe dan khusus untuk bendungan urugan biasanya
digunakan tipe-tipe sebagai berikut:
1) Tipe loncatan (water jump type)
Peredam energi tipe loncatan biasanya dibuat untuk sungai-sungai yang dangkal
(dengan kedalaman yang kecil dibandingkan dengan kedalaman loncatan hidrolis
aliran di ujung udik peredam energi). Akan tetapi tipe ini hanya cocok untuk sungai
dengan dasar yang kokoh. Demikian pula biaya pembuatannya cukup rendah, tetapi
efektivitas kerjanya lebih rendah dari tipe yang lain.
Sudut kemiringan dasar ujung hilir biasanya dibuat sekitar 20° dan cekungan di
udiknya dibuat dengan radius antara 10 dan 15 m, yang disesuaikan dengan jauhnya
loncatan yang diharapkan. Selain itu ujung hilirnya pada titik dimana aliran air
mulai meloncat dibuat membentuk sudut 90° dengan tujuan untuk dapat
meningkatkan kondisi ventilasi pada titik permulaan loncatan tersebut, karena
kondisi ventilasi yang kurang baik akan menimbulkan getaran-getaran tambahan
yang berarti akan menambah beban-beban hydrodinamika yang harus didukung oleh
konstruksi peredam energi tersebut dan disamping itu getaran tersebut akan
mengurangi efektifitas, kerja peredam energi seperti pada gambar 2.48 berikut ini.
dan bentuk loncatan air yang meninggalkan ujung hilir peredam energi dapat
diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
sin 2 sin 2 4 cos 2 (2-138)
Dengan:
x
(2-139)
H1 y 0
y
(2-140)
H1 y 0
dimana:
H1 = total tinggi tekanan pada titik ujung hilir peredam energi
Φ = sudut kemiringan dasar ujung hilir peredam energi
y0 = perbedaan antara elevasi titik ujung hilir peredam energi dan elevasi
permukaan air sungai
Untuk mendapatkan harga ξ yang besar, maka rumus diatas harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
cot 1 (2-141)
2) Tipe kolam olakan (stilling basin type)
Secara umum tipe peredam energi ini adalah mereduksi energi yang ditimbulkan
oleh kecepatan aliran superkritis di hilir saluran peluncur dengan cara menimbulkan
olakan pada kolam, sehingga akan terjadi gesekan akibat pergeseran molekul-
molekul air pada kolam olakan tersebut.
Secara umum terdapat 3 (tiga) tipe utama kolam olakan, yaitu: kolam olakan
datar, kolam olakan miring ke hilir, kolam olakan miring ke udik. Namun rezim
hidrolika dan kondisi konstruksinya dapat diuraikan menjadi 4 (empat) tipe kolam
olakan yaitu sebagai berikut:
78
Kolam olakan datar tipe I secara teori cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah ( Pw < 60 m)
2). Debit yang dialirkan kecil ( debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur < 4,50
Kolam olakan datar tipe III secara teoritis cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah ( Pw < 60 m)
2). Debit yang dialirkan kecil ( debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur > 4,50
4). Kecepatan aliran V< 18,0 m/dt
Adapun rumus hidrolika struktur yang digunakan dalam perhitungan pada kolam
olakan datar antara lain adalah sebagai berikut:
Bilangan Froude di akhir saluran peluncur
V1
F1 (2-142)
g . y1
Panjang loncatan hidrolis pada kolam olakan (Rangga Raju, 1986 : 194)
Dimana A bervariasi dari 5,0 sampai 6,9 atau secara empirik dapat dugunakan grafik
pada gambar 2.53 berikut ini (Sosrodarsono, 1977:222).
Gambar 2.53 Panjang loncatan hidrolis pada kolam olakan datar tipe I, II dan III
Sumber: Sosrodarsono, (1977:222)
3) Tipe bak pusaran atau kolam pusaran (roller bucket type)
Secara umum tipe peredaman energi dengan bak pusaran pada prinsipnya sama
dengan kolam olakan datar yaitu dengan sistem hydraulic jump, namun dengan
lantai yang sangat pendek, yang bentuknya mirip dengan sistem peredaman sky
jump. Pada kenyataannya kondisi teknis bak pusaran secara detail masih banyak
yang belum diketahui dengan jelas, seperti efektifitas pereduksiannya, kondisi
alirannya dan aspek-aspek lainnya.
82
peredam energi, mengingat pada bagian konstruksi ini menerima beban paling berat
terhadap uplift.
Menurut Suyono Sosrodarsono dalam buku “Pengaturan dan Perbaikan Sungai”
dalam perhitungan stabilitas pelimpah gaya–gaya yang bekerja adalah sebagai berikut:
1. Beban vertikal (gaya berat dari pelimpah sesuai dengan bentuk dan dimensi serta
berat tanah jenuh air diatas bidang konstruksi yang ditinjau)
2. Tekanan air (statis dan dinamis)
3. Tekanan tanah (aktif dan pasif)
4. Tekanan angkat atau gaya angkat air (up lift)
5. Kekuatan gempa (beban seismik) yang diperhitungan secara horisontal, dihitung
dengan mengalikan beban vertikal.
dimana:
SF = angka keamanan (safety factor, SF)
Mt = momen tahan (ton . m)
Mg = momen guling (ton . m)
2.4.2 Stabilitas Terhadap Geser
Kestabilan konstruksi terhadap geser atau gelincir yang disebabkan oleh gaya
horisontal aktif atau gaya geser dihitung dengan rumus:
SF =
V . tan
C . A'
(2-147)
H
dimana:
SF = faktor keamanan
V = jumlah gaya vertikal (ton)
H = jumlah gaya horisontal (ton)
C = adhesi antara dasar pondasi dengan tanah pondasi (t/m2)
A’ = luas pembebanan efektif
tan = sudut geser dalam
Dalam bentuk sederhana persamaan kestabilan konstruksi terhadap geser atau
gelincir adalah sebagai berikut:
f . V
SF = (2-148)
H
Dimana untuk keadaan normal, SF ≥ 1,50 dan untuk keadaan gempa SF ≥ 1,10
85
e
Mv Mh L
V 2
(2-
149)
86
max/ min
V (1
6.e
) (2-150)
A B
2. Jika e > L/6, maka:
2 V
max n (2-151)
LX
b
X 3( e ) (2-152)
2
dimana :
= besarnya reaksi daya dukung tanah (t/m2)
e = eksentrisitas pembebanan
= daya dukung tanah ijin
V =jumlah gaya vertikal (ton)
B = lebar pondasi (m)
A = luas dasar pondasi per meter panjang (m2)
X = lebar efektif dari kerja reaksi pondasi
Dalam studi ini, daya dukung ijin ditentukan berdasarkan persamaan:
qu
Fs
(2-153)
q u c N c B N Df N q (2-
154)
dimana:
Qu = daya dukung batas
Fs = faktor keamanan
, = faktor bentuk pondasi
C = kohesi tanah
Nc , N , Nq = koefisien daya dukung
Df = kedalaman pondasi
2.4.4 Tekanan angkat (up lift)
Tekanan angkat (up lift) terjadi disebabkan oleh perbedaan elevasi muka air hulu
dan hilir yang bekerja pada dasar pondasi. Sedangkan pada tubuh pelimpah digunakan
persamaan sebagai berikut: Sosrodarsono (1994 : 216)
87
Up = h1 – (lp/lo) H + d (2-155)
dimana:
Up = tekanan uplift (ton)
h1 = tinggi air di hulu (m)
h2 = tinggi air di hilir (m)
lp = panjang lintasan air rembesan (m)
lo = panjang total lintasan air rembesan dari titik G ke titik tertentu (m)
H = perbedaan muka air hulu dan hilir pelimpah (m)
d = tebal lantai lindung / kedalaman pondasi (m)
Lane mengusulkan untuk menghitung panjang lintasan air rembesan pada
tanah pondasi pada arah horisontal menggunakan sepertiga lintasan rembesan
horisontal.
2.4.5 Angka keamanan untuk tebal lantai
SF =
V (2-156)
U
dimana:
V = jumlah gaya vertikal (ton)
U = jumlah gaya up-lift (ton)
Dimana untuk keadaan normal, SF ≥ 1,50 dan untuk keadaan gempa SF ≥ 1,10
2.4.6 Dasar perhitungan pembebanan
2.4.6.1 Beban Vertikal
Dalam perhitungan pembebanan ditinjau dari gaya-gaya yang bekerja pada
pelimpah secara vertikal adalah
a. Berat Bangunan
W = bahan . An (2-157)
dimana:
W = berat sendiri (ton)
bahan = berat jenis bahan (t/m3)
b. Tekanan Angkat (Uplift)
Tekanan angkat (up lift) terjadi disebabkan oleh perbedaan elevasi muka air hulu
dan hilir ambang pelimpah yang bekerja pada dasar pondasi. Untuk menghitung tekanan
angkat ini dapat digunakan rumus:
w .H 1 w .H 2
Up A (2-158)
2
88
dimana:
Up = tekanan uplift (ton)
H1 & H 2 = tinggi air pada bagian hulu dan hilir pelimpah (m)
A = Luas penampang per meter lebar (m 2 )
c. Berat air
W = V . w (2-159)
dimana:
W = berat air (ton)
V = volume air (m3)
w = berat jenis air (ton/m3)
2.4.6.2 Beban Horizontal
Sedangkan perhitungan pembebanan ditinjau dari gaya-gaya yang bekerja pada
pelimpah secara horizontal yaitu:
a. Tekanan hidrostatis
Tekanan hidrostatis (Pw) merupakan gaya tekanan air yang terbendung
Pw 1 w H 2 (2-160)
2
dimana:
Pw = tekanan air statis (ton)
w = berat jenis air (ton/m3)
H = kedalaman air (m)
b. Tekanan hidrodinamis
7
Pd w KH . H 2 2 (1 Z 1,5 )
12
(2-161)
3 1 z
2.5
Y H 2 . 1 .
5 1 z
1.5
(2-162)
dimana:
Pd= tekanan air statis (ton)
w= berat jenis air (ton/m3)
KH = kedalaman air (m)
H1 = tinggi air diatas crest (m)
H2 = tinggi air dari dasar (m)
89
= ½ Ka ( H 2 Zo 2 ) 2C ( Ka ) ( H Zo ) (2-163)
dimana:
Pa = tekanan tanah aktif (ton)
= berat jenis tanah (ton/m3)
H = tinggi tanah (m)
Zo = kedalaman dari 2C ( Ka ) (m)
2C
= Ka
(m)
= tan 2 45 o
2
= sudut geser dalam tanah ()
d. Tekanan Tanah Pasif
H
Pp = o
Pp dZ
= ½ Kp . H 2 2C ( Kp ) H (2-164)
dimana:
Pp = tekanan tanah pasif (ton)
= berat jenis tanah (ton/m3)
H = tinggi tanah (m)
C = kohesi tanah (ton/m2)
1 sin
Kp = koefisien tekanan tanah pasif = 1 sin
Disamping semen, agregat kasar dan halus, dan air, bahan-bahan lainnya yang
dikenal sebagai campuran (admixture) dapat ditambahkan kepada campuran beton
segera sebelum atau ketika sedang mencampur. Campuran dapat dipakai untuk
merubah sifat dari beton agar dapat berfungsi lebih baik atau agar lebih ekonomis.
Beberapa kegunaan yang penting dari campuran adalah sebagai berikt (Wang dkk,
1993:8):
1. Meninggikan daya tahan terhadap kemunduran mutu akibat siklus dari
pembekuan-pencairan dan dari penggunaan garam pelumer es.
2. Meninggkan kelayanan tanpa menambah atau mengurangi kadar air dengan
kelayanan yang sama (bahan yang ditumbuk halus termasuk pozzolan,
seperti abu lepas).
3. Untuk mempercepat perkembangan kekuatan pada usia dini (calcium
chlorida)
4. Memperlambat perkembangan dan dengan demikian mengurangi evolusi
suhu.
5. Meninggikan kekuatan (campuran pengurang air dan pengendali)
Kekuatan tekan beton ditentukan oleh pengaturan dari perbandingan semen,
agregat kasar dan halus, air dan berbagai jenis campuran. Semakin rendah
perbandingan air-semen, semakin tinggi kekuatan tekan. Air dengan jumlah tertentu
diperlukan untuk memberikan aksi kimiawi di dalam pengerasan beton, sedangkan
kelebihan air meningkatkan kemampuan pengerjaan tetapi menurunkan kekuatan.
Kekuatan tekan beton di lambangkan dengan f’c.
Kekuatan tarik beton merupakan sifat yang penting yang mempengaruhi
perambatan dan ukuran dari retak di dalam struktur. Kekuatan tarik adalah suatau sifat
yang lebih bervariasi dibandingkan dengan kekuatan tekan beton. Besarnya sekitar 10
samapai 15% dari kekuatan tekan. Kekuatan tarik beton di lambangkan dengan fct.
Kekuatan geser beton adalah besar, bervariasi antara 35 sampai 80% dari
kekuatan tekan. Nilai geser hanya berarti dalam keadaan yang tidak biasa, karena
geser biasanya harus dibatasi sampai ke nillai-nilai yang jauh lebih rendah supaya
dapat melindungi beton terhadap tegangan-tegangan tarik diagonal. (Ferguson dkk,
1991:12)
Faktor-faktor pembebanan (load factors) terdiri dari beban hidup (life load)
dan beban mati (dead load). Untuk pembebanan mati dan hidup ditetapkan untuk
93