Anda di halaman 1dari 90

5

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Analisis Hidrologi


Dalam perencanaan bangunan air tidak dapat lepas dari analisis hidrologi, curah
hujan menjadi salah satu faktor utama dalam pendesainan bangunan air. Sifat dan
karakter hujan yang turun menjadi sangat berpengaruh, berdasarkan karakter hujan yang
turun dalam suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) serta karakteristik DAS itu sendiri
menjadi penting dalam analisis hidrologi.
Hujan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan hal ini sesuai dengan
Surat An-Nahl ayat 65 dan Surat Ar Ruum ayat 48 yang terdapat dalam Al-Qur’an.
 Surat An-Nahl ayat 65:
“Dan Allah menurunkan dari langit, hujan, dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi
sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mendengarkan.”
 Surat Ar Ruum ayat 48:
“Allah, Dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan
Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-
celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-Nya yang dikehendaki-Nya
tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Sesuai dengan ayat diatas, maka sungguh sangat nyatalah arti pentingnya air
hujan bagi kehidupan. Dalam dunia perencanaan bangunan air, hujan atau yang akrab
disebut curah hujan menjadi faktor yang sangat penting. Dalam analisis hidrologi data
curah hujan harian tiap tahun menjadi variabel yang harus ada dalam 3 (tiga)
perhitungan analisis hidrologi yang outputnya adalah curah hujan rancangan dan debit
banjir rancangan, yaitu sebagai berikut:
1. Perhitungan curah hujan harian maksimum daerah.
2. Perhitungan analisa curah hujan rancangan.
3. Perhitungan debit banjir rancangan.
Pengukuran curah hujan dilakukan dengan 2 cara yaitu: penakar hujan biasa
(manual raingauge) dan penakar hujan otomatik (automatic raingauge). Alat penakar
hujan harus dipasang sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh WMO (World
Meteorological Organisation) atau aturan disepakati di suatu negara tersebut. (Harto,
1993:47)
6

2.1 Uji Konsistensi Data Hujan


Perubahan lingkungan tempat dimana penakar hujan dipasang dapat
mengakibatkan penyimpangan data hujan yang diukur. Perubahan ini biasanya terjadi
karena beberapa hal, misalnya: terlindung oleh pohon, terletak berdekatan dengan
gedung yang tinggi, perubahan cara penakaran dan pencatatannya, pemindahan letak
penakar dan sebagainya. Sehingga data hujan menjadi tidak konsisten (Soemarto, 1986:
38).
Uji konsistensi data dilakukan terhadap data curah hujan tahunan dengan tujuan
untuk mengetahui adanya penyimpangan data hujan. Metode yang digunakan adalah
metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) (Buishand,1982). Pengujian
konsistensi dengan menggunakan data dan stasiun itu sendiri yaitu pengujian dengan
komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan akar komulatif rerata
penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya, lebih jelas lagi bisa dilihat pada rumus
dibawah:

Nilai statistik Q dan R

(2-1)

(2-2)

Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan Rb/n. Hasil
yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan R/n syarat, jika lebih kecil
maka data masih dalam batasan konsisten.
7

2.2 Analisa Curah Hujan Rerata Daerah


Pengukuran yang dilakukan oleh alat penakar hujan manual ataupun otomatik
adalah pengukuran hujan hanya pada titik-titik stasiun tertentu saja, sedangkan yang
dibutuhkan dalam perencanaan bangunan air bukan hanya satu stasiun hujan saja sebab
dalam perencaan yang dibutuhkan adalah hujan rata-rata DAS (Daerah Aliran Sungai)
yang merupakan hujan rata-rata dari beberapa stasiun hujan yang mempengaruhi DAS
tersebut. Curah hujan ini disebut curah hujan daerah dan dinyatakan dalam mm. (Harto,
1993:52)
Besaran hujan rata-rata pada prakteknya sulit diperoleh, sebab banyak variabel
hujan yang mempengaruhi seperti variabel ruang maupun waktu. Secara umum hujan
juga terjadi dalam wilayah yang terbatas atau kecil. Hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah benar hujan rata-rata DAS dapat diperoleh seperti pernyataan (Made, 1987).
Namun demikian terlepas dari hal itu, setidaknya ada 6 (enam) metode yang dapat
dianggap mewakili. (Harto, 1993:54)
Dalam perhitungan curah hujan daerah variabel data yang dibutuhkan adalah
data curah hujan harian tiap tahun pada masing-masing stasiun hujan. Pada tiap tahun
dicari hujan yang tertinggi. Dalam buku “Hidrologi Untuk Pengairan” karangan Dr. Ir.
Suyono Sosrodarsono dikemukakan bahwa dalam menghitung curah hujan rata-rata
DAS dapat digunakan metode antara lain sebagai berikut:

1. Metode Rata-rata Aljabar (Aritmatik)


1
P ( P1  P2  ...  Pn ) (2-3)
n
dimana:
P = curah hujan daerah rata-rata
n = jumlah titik-titik (pos-pos) pengamatan
P1, P2, ... ,Pn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
Menurut Cara ini merupakan cara yang cukup sederhana dan bersifat obyektif,
hasil perhitungan dengan cara ini tidak berbeda jauh dengan perhitungan dengan
menggunakan cara-cara lainnya asalkan titik stasiun penakar hujan banyak dan tersebar
secara merata di seluruh DAS yang akan dihitung curah hujan maksimum rata-ratanya
seperti pada gambar 2.1. (Sosrodarsono, 2003:27)
8

Metode ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat penakar
tersebar merata/hampir merata, dan cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau
datar, dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya.

Gambar 2.1 Hujan rerata daerah metode aritmatik


Sumber : Sosrodarsono, (2003:28)
2. Metode Poligon Thiessen
A1 PA  A2 PB  ...  An Pn
P  (2-4)
A1  A2  ...  An

dimana:
P = curah hujan daerah rata-rata
PA, PB, ... ,Pn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
A1, A2, ... ,An = luas daerah pengaruh tiap titik pengamatan (km2)
Jika daerah stasiun pengamatan tidak tersebar merata, maka cara perhitungan
curah hujan dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap stasiun
pengamatan.
Cara membuat poligon Thiessen ini memberikan hasil perhitungan yang lebih
teliti dari rata-rata aljabar. Namun demikian, pemilihan titik pengamatan dan pemilihan
ketinggian akan menentukan ketelitian yang akan didapat. (Sosrodarsono, 2003:28)
Metode ini telah memberikan bobot tertentu kepada masing-masing stasiun
sebagai fungsi jarak stasiun hujan. Metode ini cocok untuk daerah datar dengan luas
500 - 5000 km2.
9

Gambar 2.2 Hujan rerata daerah metode Thiessen


Sumber : Sosrodarsono, (2003:28)
3. Metode Isohiet
 P  PB   P  PC   P  Pm 
A1  A   A2  B   ...  An  n 
 2   2   2  (2-5)
P
A1  A2  ...  An
dimana:
P = curah hujan daerah rata-rata
PA, PB, ... ,Pn = curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, ... ,An (mm)
A1, A2, ... ,An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohiet (km2)
Cara ini merupakan cara rasional yang paling baik, apabila garis-garis kontur
dengan interval 10-20 mm digambar dengan teliti pada peta topografi. Luas daerah
pengaruh pada metode ini dapat diukur dengan Planimeter atau dengan cara sederhana
menghitung luas dengan kertas berskala. Luas daerah pengaruh dibatasi dengan 2 (dua)
garis kontur Isohiet. (Sosrodarsono, 2003:29)
Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar
hujan. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari
5000 km2.
10

Gambar 2.3 Hujan rerata daerah metode Isohiet


Sumber : Sosrodarsono, (2003:29)

2.3 Analisa Curah Hujan Rancangan (Design Rainfall)


Dari perhitungan curah hujan rata-rata daerah tahunan didapatkan data hujan
rerata tiap tahun dari beberapa stasiun yang ada, kemudian data tersebut diurutkan dari
yang terkecil hingga yang terbesar untuk kemudian dihitung curah hujan rancangan
(Design Rainfall) menggunakan analisis frekuensi hujan dengan kala ulang tertentu.
Menurut Sri Harto dalam buku “Analisis Hidrologi” analisis frekuensi hujan
untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Design Rainfall) dapat menggunakan
beberapa metode, yaitu sebagai berikut:
1. Metode Normal
2. Metode Log-Normal
3. Metode Log-Pearson Type III
4. Metode Gumbel Type I
Namun demikian, dalam pemilihan metode analisis frekuensi guna mendapatkan
curah hujan rancangan tidak boleh sembarangan. Dalam memilih metode yang tepat
sebaiknya harus memperhatikan karakteristik setiap metode yang akan digunakan,
sehingga setiap data hidrologi yang akan digunakan harus diuji kesesuaiannya dengan
sifat statistik masing-masing metodenya sehingga kesalahan “Overestimated” dan
“Underestimated” dapat terhindarkan.
Dalam kenyataan analisis frekuensi baik data hujan maupun debit sungai sangat
jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan metode normal, namun lebih sesuai
dengan ketiga metode diatas selain metode normal. Di Pulau Jawa metode Gumbel Type
I dan metode normal terhadap data hidrologi yang diuji hanya sesuai dengan 7% kasus.
11

Sedangkan untuk metode Log-Pearson Type III memiliki kesesuaian hampir 90%.
(Harto, 1993: 244)
2.1.3.1. Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III
Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab 2.1.3 bahwa “Distribusi Frekuensi
Log Pearson Type III” memiliki kesesuaian hingga mencapai 90% di Pulau Jawa. Hal
ini menjadi pertimbangan tersendiri, sehingga dalam perhitungan curah hujan rancangan
sering menggunakan metode ini dengan kala ulang tertentu.
Adapun variabel/parameter yang digunakan dalam peritungan metode
“Distribusi Frekuensi Log Pearson Type III” adalah sebagai berikut:
 Jumlah seluruh data hujan dalam bentuk logaritma
 Standar Deviasi (Sd)
 Koefisien Skewness (Cs)
Langkah-langkah perhitungan curah hujan rancangan berdasarkan Log-Pearson
Type III adalah sebagai berikut (Soemarto, 1987:243):
1. Menjumlah data hujan harian maksimum tahunan sebanyak n tahun diubah dalam
bentuk logaritma (  log X ).
2. Menghitung harga rerata logaritma dengan rumus berikut ini:
n
 Logx i
(2-6)
LogX  i 1
n
3. Menghitung harga standard deviasi dengan rumus berikut ini:
n 2
 ( Log x i  Log X )
i 1 (2-7)
Sd 
n 1

4. Menghitung koefisien kepencengan (Skewness) dengan rumus berikut ini:


n

n.  Log x i  Log X  3

Cs  i 1 (2-8)
 n 1  n  2  S d 3

5. Setelah mendapatkan nilai Cs, maka sesuai dengan kala ulang (Tr) yang
direncanakan didapat nilai faktor frekuensi (K) dan Probabilitas (P dalam %) dengan
menggunakan tabel 2.1.
6. Menghitung logaritma debit dengan waktu balik yang dikehendaki dengan rumus
berikut ini:
Log Q T  Log X  K .Sd (2-9)
12

7. Menghitung antilog dari log QT untuk mendapatkan debit banjir dengan waktu balik
yang dikhendaki QT
Dimana:
Log QT = Logaritma curah hujan rancangan dengan kala ulang T tahun
LogX = Rata-rata logaritma
n = banyaknya tahun pengamatan
Sd = simpagan baku data (Standar Deviasi)
Cs = Koefisien kepencengan (Skewness)
K = Faktor frekuensi

Gambar 2.4 Plotting Distribusi Log-Pearson Type III


13

Tabel 2.1 Faktor Frekuensi (K) dengan fungsi dari nilai Koefisien Skew (Cs) dan
Kala ulang (Tr)

Sumber : Soemarto (1987:153)


14

2.4 Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi


Untuk mengetahui apakah pemilihan distribusi yang digunakan dalam
perhitungan curah hujan rancangan diterima atau ditolak, maka perlu dilakukan uji
kesesuaian distribusi. Uji ini dilakukan secara horisontal dengan menggunakan Metode
Smirnov-Kolmogorof dan vertikal dengan menggunakan Metode Chi-Square.
Pada Metode Smirnov-Kolmogorof menggunakan perhitungan matematis, namun
demikian kesimpulan hanya berdasarkan bagian tertentu yang mempunyai
penyimpangan terbesar. Sedangkan Metode Chi-Square menguji penyimpangan data
pengamatan secara matematis kedekatan antara data pengamatan dengan seluruh bagian
garis persamaan distribusi teoritisnya. Tingkat ketelitian metode Chi-Square lebih tinggi
dibandingkan dengan metode Smirnov-Kolmogorof. (Soewarno, 1995:205)
2.1.4.1. Uji Distribusi Smirnov-Kolmogorov
Metode Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan non parametrik
(non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi
tertentu. (Soewarno, 1995 : 198)
Metode ini sering disebut juga metode pengujian secara horizontal, dengan
membandingkan antara simpangan distribusi maksimal secara teoritis (P max) dengan
simpangan kritis (P cr). Apabila (P max) lebih kecil dari (P cr) maka distribusi
teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, namun
apabila (P max) lebih besar dari (P cr) maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi tidak dapat diterima.
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan dengan menggunakan metode
Smirnov-Kolmogorof adalah sebagai berikut:
1. Mengurutkan data X (hasil perhitungan curah hujan rerata daerah harian
maksimum tahunan) dari kecil ke besar atau sebaliknya.
2. Kemudian menghitung probabilitas empiris (Pe) masing-masing data X
dengan rumus Weibull.

Pe (x) = m (2-10)
n 1

3. Selanjutnya menghitung faktor frekuensi (K) untuk masng-masing data X


dengan rumus berikut ini:

K = Log X  Log X (2-11)


Sd
15

4. Dari tabel 2.1 berdasarkan nilai Cs (Skewness) yang telah dihitung pada
metode distribusi frekuensi dan nilai K (Faktor Koreksi) yang telah dihitung
sesuai rumus diatas, akan didapatkan nilai Pt (Peluang Teoritis).
5. Menghitung probabilitas teoritis Pt (x) masing-masing data X dengan rumus
berikut ini:

Pt (x) = 1- Pt x100% (2-12)


100

6. Kemudian menghitung simpangan (P) untuk masing-masing data X dengan


cara mencari harga mutlak dari selisih antara probabilitas peluang empiris
(Pe(x)) dan peluang teoritis (Pt(x)), dengan rumus sebagai berikut:
ΔP = Pe( X )  Pt ( X ) (2-13)

7. Dari nilai (P) setiap data X, kemudian dicari nilai maksimalnya yaitu
(Pmax).
8. Selanjutnya mencari nilai simpangan kritis (P cr) dari tabel 2.2 dibawah ini
berdasarkan banyak data X dinyatakan dalam (n) dan derajat kepercayaan (α).
9. Yang terakhir adalah menentukan kelayakan atau kesesuaian distribusi
diterima atau ditolak dengan membandingkan nilai ( Pmax) dengan (P cr).
Dengan kemungkinan sebagai berikut:
 Bila (Pmax) < (P cr), maka distribusinya diterima.
 Bila (Pmax) > (P cr), maka distribusinya ditolak.

Tabel 2.2. Nilai kritis ΔPcr untuk Uji Smirnov-Kolmogorov


derajat kepercayaan
N
0,2 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
1,07 1,22 1,36 1,63
N > 50
N 0,5 N 0,5 N 0,5 N 0,5
Sumber : Soewarno (1995:199)
16

2.1.4.2. Uji Distribusi Chi-Square


Uji Chi- Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang
dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter  2 , oleh karena itu
disebut dengan uji Chi- Square. (Soewarno, 1995:194)
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan dengan menggunakan metode Chi-
Square adalah sebagai berikut:
1. Mengurutkan data X (hasil perhitungan curah hujan rerata daerah harian
maksimum tahunan) dari kecil ke besar atau sebaliknya.
2. Kelompokkan data X, tiap-tiap kelompok minimal 4 data pengamatan. Cara
menentukan jumlah kelas (n) adalah dengan rumus berikut ini:
K = 1 + 3,322 Log (n) (2-14)
3. Setelah diketahui jumlah kelompok atau kelas, maka dapat diketahui Interval
probabilitas teoritis masing-masing kelas dengan rumus sebagai berikut:
100%
Interval Kelas = (2-15)
K
4. Menghitung probabilitas teoritis (Pt %) untuk setiap data X yang sudah
diurutkan dari kecil ke besar atau sebaliknya, dengan menggunakan rumus:

Pt (x) = 1- Pt x100% (2-16)


100

5. Menentukan Observasi Frekuensi (Of) dengan cara menjumlahkan banyaknya


probabilitas teoritis (Pt %) yang masuk dalam interval masing-masing kelas.
6. Menentukan frekuensi data yang diharapkan (Ef), dengan rumus:

Ef = n (2-17)
K

O f  Ef 
2

7. Untuk tiap-tiap kelompok dihitung nilai (2-18)


Ef

8. Menentukan nilai (X2)hit , dengan rumus sebagai berikut:


K O  Ef  2


2 f
(X )hit = (2-19)
f l Ef
17

9. Menentukan derajat kebebasan (DK atau ʋ), dengan rumus sebagai berikut:
DK atau ʋ = K-(p+1) (2-20)
dimana:
K = banyaknya kelas atau kelompok.
p = banyaknya keterkaitan atau banyaknya parameter, yang untuk sebaran
Chi- Square adalah sama dengan 2.
10. Menentukan nilai (X2)cr , dari tabel 2.3 berdasarkan derajat kebebasan (DK)
dan derajat kepercayaan (α).
11. Kemudian membandingkan (X2)hit dengan (X2)cr , dengan kemungkinan
sebagai berikut:
 Bila (X2)hit < (X2)cr, maka distribusinya diterima.
 Bila (X2)hit > (X2)cr, maka distribusinya ditolak.
18

Tabel 2.3 Nilai X2cr untuk uji Chi-Square

Sumber: Sutopo (1995:A-7)

2.5 Curah Hujan Harian Rancangan Maksimum Yang Mungkin Terjadi


(Probable Maximum Precipitation, PMP)
Hujan berpeluang maksimun atau PMP didefinisikan sebagai tinggi terbesar
hujan dengan durasi tertentu yang secara meteorologi dimungkinkan bagi suatu
daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun tanpa adanya kelonggaran yang
dibuat untuk trend klimatologis jangka panjang (Soemarto, 1999 : 154).
Dengan mengingat tingkat kepentingan perencanaan pelimpah Bendungan
Tiro, kiranya merupakan hal yang perlu untuk diketaui besarnya nilai PMP
(Probable Maximum Precipitation), yang kemudian dilanjutkan dengan analisa
banjir terbesar yang mungkin terjadi (Probable Maximum Flood, PMF), yang
nantinya dipakai sebagai kontrol terhadap analisa perencanaan kapasitas pelimpah
pada kondisi ekstrem, sehingga tidak terjadi overtopping pada crest bendungan atau
pelimpah. Cara ini efektif bila luas DAS ≤ 1000 km 2 dan terdapat faktor-faktor
pembatas lain, seperti ketersediaan data meteorologi.
19

Adapun langkah-langkah dalam perhitungan nilai PMP (Probable Maximum


Precipitation) adalah sebagai berikut:
1. Mengurutkan data X (hasil perhitungan curah hujan rerata daerah harian maksimum
tahunan) dari kecil ke besar atau sebaliknya.
2. Menjumlah data X keseluruhan tersebut.
3. Setelah menjumlah data X, selanjutnya dihitung reratanya ( X n )
4. Menghitung simpangan baku (S n)
5. Menghitung curah hujan rata-rata tanpa memasukkan data-data hujan yang
maksimum ( X n m )
6. Menghitung simpangan baku tanpa memasukkan data curah hujan yang
maksimum (Sn-m)
7. Membagi nilai X nm dengan Xn

8. Membagi nilai Sn-m dengan Sn


9. Mencari faktor koreksi (Fk1) untuk X n pada gambar 2.5, berdasarkan nilai
X nm / X n dan panjang data dalam tahun (n).
10. Mencari faktor koreksi (Fk1) untuk Sn pada gambar 2.6, berdasarkan nilai Sn-m /
Sn dan panjang data dalam tahun (n).
11. Mencari faktor koreksi (Fk2) untuk Xn dan Sn pada gambar 2.7, berdasarkan

panjang data dalam tahun (n).


12. Menghitung Xn terkoreksi, dengan rumus sebagai berikut:
Xn terkoreksi = Xn . FK1 . FK2 (2-21)
13. Menghitung Sn terkoreksi, dengan rumus sebagai berikut:
Sn terkoreksi = Sn . FK1 . FK2 (2-22)
14. Menentukan nilai Km pada gambar 2.8, berdasarkan nilai Xn sebelum

terkoreksi.

15. Selanjutnya menghitung hujan maksimum yang mungkin terjadi (Xm) dengan
rumus sebagai berikut:
X m  X n  Km . Sn (2-23)
dimana:
Xm = curah hujan harian terbesar yang mungkin terjadi (mm/hari)
Xn = rata-rata series data hujan harian maksimum tahunan (mm/hari)
20

Km = variabel statistik, yang dipengaruhi oleh distribusi frekuensi nilai-nilai


ekstrim
Sn = standart deviasi series data hujan harian maksimum tahunan (mm/hari)
16. Menentukan faktor reduksi (Fred) luasan pada gambar 2.9, berdasarkan luas DAS
dengan durasi hujan 24 jam.
17. Menentukan faktor koreksi pada gambar 2.10, berdasarkan panjang data dalam
tahun (n).
18. Menghitung hujan maksimum terkoreksi (PMP terkoreksi ), dengan rumus sebagai
berikut:
PMP terkoreksi = Xm . Fred . faktor koreksi (2-24)

Gambar 2.5 Grafik hubungan antara faktor penyesuaian X n dengan panjangnya data
hujan dan harga X n  m / X n
Sumber : Soemarto, (1999:156)
21

Gambar 2.6 Grafik hubungan antara faktor penyesuaian S n dengan panjangnya data
hujan dan harga S n  m / S n
Sumber : Soemarto, (1999:156)

 
Gambar 2.7 Faktor penyesuaian untuk harga rata-rata X n dan standart deviasi  S n 
sesuai dengan panjangnya data curah hujan (tahun)
Sumber : Soemarto, (1999:156)
22

Gambar 2.8 Grafik hubungan antara K m dengan fungsi durasi hujan dan hujan
maksimum rata-rata tahunan (mm)
Sumber : Soemarto, (1999:155)

Gambar 2.9 Grafik hubungan prosentasi hujan titik (point rainfall) berpeluang
maksimum dengan durasi hujan dan luas daerah pengaliran
Sumber : Soemarto, (1999:156)
23

Gambar 2.10 Grafik hubungan antara fixed time interval adjustment dengan lamanya
pengukuran data ujan (jam) setiap hari
Sumber : Soemarto, (1999:156)

2.6 Koefisien Pengaliran (run-off coeffisien)


Koefisien Pengaliran (C) adalah perbandingan antara jumlah air yang mengalir
di suatu daerah akibat turunnya hujan dengan jumlah air hujan yang turun di daerah
tersebut. Besarnya koefisien pengaliran tergantung pada daerah pengaliran dan
karakteristik hujan pada suatu daerah yang meliputi: keadaan hujan, luas dan bentuk
daerah pengaliran, kemiringan daerah pengaliran, daya infiltrasi dan perkolasi tanah,
kebasahan tanah, suhu, udara, angin, evaporasi, tata guna lahan.
Jumlah Limpasan
C (2-25)
Jumlah Curah Hujan

Untuk rencana pembangunan suatu bendungan, maka angka koefisien pengaliran


biasanya lebih besar dari 0,8. Beberapa petunjuk untuk mendapatkan angka koefisien
pengaliran dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut:
24

Tabel 2.4 Koefisien limpasan (oleh Mononobe)


Kondisi pengaliran dan sungai Harga dari f
Daerah pengunungan yang curam 0,75-0.90
Daeah pegunungan tersier 0,70-0,80
Tanah bergelombang dan hutan 0,50-0,75
Tanah daratan yang ditanami 0,45-0,60
Persawahan yang diairi 0,70-0,80
Sungai di daerah pegunungan 0,75-0,85
Sungai kecil di dataran 0,45-0,75
Sungai besar yang lebih dari setengah 0,50-0,75
daerah pengalirannya terdiri dari dataran
Sumber : Sosrodarsono (1989 : 38)

Tabel 2.5 Koefisien-koeffisien pengaliran dari buku pedoman yang diterbitkan oleh
Texas Highway Department.

Sumber: Sosrodarsono (1989:39)

2.7 Aliran Dasar (base flow)


Secara umum hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran permukaan,
yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow).Aliran dasar
25

berasal dari air tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat
terhadap hujan. Sedangkan aliran permukaan berasal dari hujan efektif.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari
aliran dasarnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah metode
garis lurus (straight line method), metode panjang dasar tetap (fixed base
method). dan metode kemiringan berbeda (variable slope method). (Harto,
1993:156)

Gambar 2.11 Beberapa metode pemisahan aliran dasar dan aliran langsung

Selain 3 (tiga) metode diatas, apabila debit pengamatan dilokasi tidak diketahui
maka aliran dasar juga dapat diperoleh dengan persamaan debit aliran dasar (QB) denga
variabel luas DAS dan kerapatan jaringan sungai. Dengan rumus sebagai berikut (Harto,
1993:168):
QB = 0,4751 . A0,6444 . D0,9430 (2-26)
dimana:
QB = Aliran dasar (m3/det)
A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan sungai , yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap
satuan luas DAS

2.8 Hidrograf Satuan


Teori klasik hidrograf berasal dari hubungan antara hujan efektif dengan
limpasan langsung. Hubungan tersebut merupakan salah satu komponen model
watershed yang umum. Dalam bentuk definisi yang lebih sederhana hidograf satuan
26

suatu DAS adalah suatu limpasan langsung yang diakibatkan oleh satu satuan hujan
efektif, yang terbagi rata dalam waktu dan ruang (Soemarto, 1999:86).
Ada beberapa macam metode untuk menganalisa hidrograf, antara lain HSS
Nakayasu, HSS Synder, HSS Gamma-1 dan HSS Isochrones. Dalam studi ini dipilih
unit HSS Nakayasu karena diharapkan memberikan hasil yang baik seperti hasil
evaluasi terhadap penerapan yang sudah ada.
Teori hidrograf satuan merupakan penerapan teori sistem linear dalam hidrologi
Daerah Aliran Sungai yang dipandang sebagai proses black box dan sistemnya ditandai
oleh tanggapan (response) debit Q terhadap input tertentu. Inputnya adalah hujan
merata, yaitu hujan dengan intensitas konstan sebesar i dan durasi T yang terbagi rata di
atas DAS (Soemarto, 1999:86).

Gambar 2.12 Hubungan antara hujan efektif dengan limpasan langsung


Sumber: Soemarto (1999:86)

Tujuan dari hidrograf satuan adalah untuk memperkirakan hubungan antara


hujan efektif dan aliran permukaan. Untuk menghitung limpasan akibat hujan yang
lain, maka harus berpedoman bahwa sistem linier dan waktu tidak berubah ( time
invariant). Anggapan liniearitas ini dalam teori klasik terbagi menjadi 3 (tiga) prinsip,
yaitu sebagai berikut (Soemarto, 1999:86):
27

1. Anggapan lebar dasar yang konstan


Dalam suatu DAS, hidrograf satuan dihasilkan oleh hujan-hujan efektif
yang sama durasinya, mempunyai lebar dasar yang sama, tidak memandang
berapa besar intensitas hujannya seperti pada gambar 2.13 dibawah ini.

Gambar 2.13 Prinsip lebar dasar yang konstan.


Sumber: Soemarto (1999:87)

2. Anggapan proporsional antara aliran/hujan efektif


Dalam suatu DAS, besar limpasan langsung berbanding lurus terhadap
tinggi (d) curah hujan efektif (hujan netto), yang berlaku bagi semua hujan
dalam durasi yang sama seperti pada gambar 2.14 dibawah ini.

Gambar 2.14 Prinsip proporsional antara aliran/hujan efektif.


Sumber: Soemarto (1999:87)

3. Anggapan superposisi
28

Dalam suatu DAS, limpasan-limpasan langsung yang terjadi akibat hujan


efektif yang berurutan, besarnya sama dengan jumlah limpasan langsung
yang dihasilkan oleh masing-masing hujan efektif tersebut, dengan
memperhitungkan waktu hujan yang terjadi seperti pada gambar 2.15
dibawah ini.

Gambar 2.15 Prinsip superposisi.


Sumber: Soemarto (1999:87)
2.1.8.1. Hidrograf Satuan Sintetik Snyder
Metode ini memanfaatkan parameter DAS untuk memperoleh hidrograf-
satuan-sintetik dengan pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik
pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem
DAS-nya.
Dalam pengujian untuk beberapa sungai di Pulau Jawa membuktikan bahwa
persamaan Snyder menunjukkan penyimpangan yang cukup besar baik dalam besaran
waktu puncak (time to peak) dan debit puncaknya. Persamaan Snyder pada dasarnya
koefisien empirik pada persamaannya lebih sesuai di daerah Appalachian, Amerika.
Sedangkan persamaan Snyder kurang sesuai di Indonesia khususnya untuk sungai-
sungai di Pulau Jawa yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan di Appalachian,
Amerika. (Soemarto, 1999:162)
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan dengan menggunakan metode
hidrograf satuan sintetik Snyder adalah sebagai berikut (Soemarto, 1999:98):
29

1. Menentukan luas DAS (A) yang akan diuji, panjang sungai utamanya (L) dan
titik berat DAS yang diuji.
2. Menghitung nilai waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak dalam
jam (tp) dengan rumus sebagai berikut:
tp = Ct . (L . Lc)0,3 (2-27)
dimana:
Ct = koefisien waktu puncak (Ct = 0,75-3,00)
L = panjang sungai utama (km)
Lc = jarak titik berat DAS dengan pelepasan (outlet)
3. Selanjutnya menghitung durasi curah hujan efektif (te) dan tr dianggap 1
dengan rumus sebagai berikut:
tp
te  (2-28)
5,5

4. Menghitung waktu yang diperlukan dari awal sampai puncak hidrograf (T p)


dengan rumus sebagai berikut:
- Jika te > tr maka,
tp’ = tp + 0,25 . (te- tr)
Tp = tp’ + 0,5 (2-29)
- Jika te < tr maka,
Tp = tp + 0,5 tr (2-30)
- Jika te = tr maka,
Tp = tp (2-31)
5. Menentukan puncak hidrograf satuan (qp) dengan rumus sebagai berikut:
Cp
qp = 0,278 . (2-32)
Tp

dimana: (CP = antara 0,9 sampai 1,4)


6. Menghitung debit maksimum hidrograf satuan (Q P) dengan rumus sebagai
berikut:
Q P = qp . A (2-33)
30

7. Menghitung waktu dasar hidrograf (Tb) dengan rumus sebagai berikut ini:
72  3.T p
Tb  (2-34)
24

Gambar 2.16 Hidrograf Satuan Sintetik Snyder.


Sumber: Soemarto (1999:98)
2.1.8.2.Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I
Pemakaian hidrograf-satuan ini digunakan untuk memperkirakan banjir untuk
hujan teretentu dengan Intensitas tertentu dan satuan waktu tertentu yang ditetapkan
berdasarkan kedalaman hujan tertentu.
Untuk mengatasi beberapa penyimpangan yang terjadi pada persamaan
Gamma I, maka Sri Harto (1985) menambahkan bebeapa parameter DAS secara
hidrologik mudah dijelaskan dengan bantuan peta topografi denga skala 1:50.000.
Parameter-parameter itu antara lain sebagai berikut (Soemarto, 1999:164):
1. Faktor Sumber (SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai
tingkat I dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.
2. Frekuensi Sumber (SN) adalah perbandingan jumlah pangsa sungai tingkat I
dengan jumlah pangsa sungai semua tingkat.
3. Faktor Lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur di titik
di sungai yang berjarak 0,75L dengan lebar DAS yang diukur di titik di sungai
yang berjarak 0,25L dari stasiun hidrometri, seperti pada gambar 2.17.
4. Luas DAS sebelah hulu (RUA) adalah perbandingan antara luas DAS yang
diukur dari hulu garis yang tegak lurus garis garis hubung antar stasiun
hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melewati
ttik tersebut, seperti pada gambar 2.18.
5. Faktor Simetri (SIM) adalah hasil kali antara (WF) dan (RUA).
31

6. Jumlah pertemuan sungai (JN) adalah jumlah semua pertemuan sungai di


dalam DAS tersebut atau dengan kata lain jumlah pangsa sungai dikurangi 1.
7. Kerapatan Jaringan (D) adalah jumlah panjang sungai semua tingkat tiap
satuan luas DAS.

Gambar 2.17 Sketsa penetapan WF.


Sumber: Harto (1993:167)

Gambar 2.18 Sketsa penetapan RUA.


Sumber: Harto (1993:167)

Dasar-dasar penetapan tingkatan pada sungai menurut Strahler (1964) adalah


sebagai berikut ini:
1. Sungai-sungai paling ujung adalah sungai-sungai tingkat 1
2. Apabila 2 buah sungai dengan tingkatan yang sama bertemu, maka akan
membentuk tingkatan sungai yang lebih tinggi.
3. Apabila suatu tingkatan sungai bertemu dengan tingkatan sungai yang lebih
rendah, maka tingkatan sungai yang lebih tinggi menjadi patokan.
32

Gambar 2.19 Sketsa penetapan tingkatan sungai.


Sumber: Harto (1993:168)

Adapun langkah-langkah dalam perhitungan dengan menggunakan metode


hidrograf satuan sintetik Gamma I adalah sebagai berikut (Harto, 1993:165):
1. Menentukan parameter-parameter sebagai berikut dari peta DAS yang diuji:
- Luas DAS (A)
- Luas DAS bagian hulu (Au)
- Panjang alur sungai utama (L)
- Panjang alur sungai ketitik berat DAS (Lc)
- Kemiringan sungai utama (S)
- Jumlah panjang sungai semua tingkat (LN)
- Jumlah panjang sungai tingkat 1 (L1)
- Jumlah pertemuan sungai (c)
- Jumlah pangsa sungai tingkat 1 (d)
- Jumlah pangsa sungai semua tingkat (e)
- Lebar DAS 1/4 L (WL)
- Lebar DAS 3/4 L (Wu)
- Beda tinggi elevasi sungai bag. Hulu dan hilir rerata (H)
2. Menghitung faktor sumber (SF) dengan rumus sebagai berikut ini:

SF = L1 (2-35)
LN
33

3. Menghitung frekuensi sumber (SN) dengan rumus sebagai berikut ini:

SN = d (2-36)
e

4. Menghitung faktor lebar (WF) dengan rumus sebagai berikut ini:

WF = Wu (2-37)
WL

5. Menghitung luas DAS bagian hulu (RUA) dengan rumus sebagai berikut ini:

RUA = Au (2-38)
A

6. Menghitung faktor simetri (SIM) dengan rumus sebagai berikut ini:


SIM = (2-39)
WF. RUA

7. Menghitung kerapatan jaringan kuras (D) dengan rumus sebagai berikut ini:

D = LN (2-40)
A

8. Menghitung jumlah pangsa sungai (JN) dengan rumus sebagai berikut ini:
JN = d – 1 (2-41)
9. Menghitung besarnya waktu naik hidrograf (TR) dengan rumus sebagai
berikut:
 3

TR = 0,43. 
L
.SF    1,0665.SIM   1,2775 (2-42)
  100  

10. Menghitung besarnya waktu dasar hidrograf (TB) dengan rumus sebagai
berikut:
TB = 27,4132.TR1457 . S 0,0986 . SN 0,7348 . RUA0, 2574  (2-43)

11. Menghitung besarnya debit puncak hidrograf (Q p) dengan rumus sebagai


berikut:
Qp = 0,1836. Ao ,5886 .TR 0, 4008 . JN o , 2381  (2-44)

12. Menghitung koefisien tampungan (K) dengan rumus sebagai berikut ini:
K = 0,5617. A0,1793 . S 0,1446 . SF 1, 0897 . D 0, 0452 

(2-45)
2.1.8.3. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
34

Departemen Pekerjaan Umum RI telah dijadikan hidrograf satuan sintetik


metode DR. Nakayasu menjadi salah satu rujukan untuk perhitungan banjir rancangan
di Indonesia (Dep.PU, 1976) dengan pertimbangan metode ini sudah sering digunakan
di sungai Brantas, Jawa Timur. Sehingga saat ini di Indonesia sering menggunakan
metode ini dalam perhitungan mencari debit limpasan dari curah hujan efektif.
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan dengan menggunakan metode
hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:
1. Menentukan luas DAS (A) yang akan diuji, panjang sungai utamanya (L) dan
parameter hidrograf (α) dengan kriteria sebagai berikut:
=2 => Pada daerah pengaliran biasa
 =1,5 => Pada bagian naik hydrograf lambat, dan turun cepat
=3 => Pada bagian naik hydrograf cepat, turun lambat
2. Menentukan Time leg (tg) atau waktu antara hujan sampai debit puncak banjir
(jam) dengan kriteria sebagai berikut:
- Sungai dengan panjang alur L  15 km
tg = 0,4 + (0,058 . L) (2-46)
- Sungai dengan panjang alur L  15 km
tg = 0,21 . L0,7 (2-47)
3. Menentukan satuan waktu hujan (tr) dengan kisaran sebagai berikut:
tr = 0,5 tg sampai tg (2-48)
4. Menghitung nilai tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir
dalam jam (Tp) dengan rumus sebagai berikut:
Tp = tg + 0,8 tr (2-49)
5. Menghitung nilai Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari puncak
sampai 30% dari debit puncak dalam jam (T0,3) dengan rumus sebagai
berikut:
T0,3 =  tg (2-50)
6. Menghitung nilai (TP+T0,3) dan (TP+T0,3+1,5 T0,3)
7. Menghitung hujan netto atau efektif (R0) dengan rumus sebagai berikut:
Vol UH
R0 = (2-51)
A
8. Menghitung debit puncak hidrograf satuan dalam (m3/det), dengan rumus
sebagai berikut:
35

A.R o
Qp 
3,6 0.3T  T  (2-52)
 p 0,3 
36

9. Menentukan debit waktu kurva naik Q(t) saat (0 < t ≤ T p), dengan rumus
sebagai berikut:
2, 4
 t 
Q( t )    . QP (2-53)
 TP 

dimana:
Q(t) = Debit pada jam ke t (m3/detik)
t = Waktu (jam)
10. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat (TP  t  (TP+T0,3)), dengan
rumus sebagai berikut:
( t  Tp )
T 0 ,3
Q( t )  Qp . 0,3
(2-54)
11. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat ((Tp+T0,3) t (Tp
+T0,3+1,5T0,3)), dengan rumus sebagai berikut:
( t  T p  0,5 T 0 ,3 )
1,5T0 ,3
Q( t )  Qp  0,3
(2-55)
12. Menentukan debit waktu kurva turun Q(t) saat (t > (Tp+T0,3+1,5T0,3)), dengan
rumus sebagai berikut:
( t  T p 1,5T0 ,3 )
2,0T0 ,3
Q( t )  Qp  0,3
(2-56)

i tr

t
0.8 tr tg
O

lengkung naik lengkung turun

Qp
2
0.3 Qp
0.3 Q

Tp To.3 1.5 To.3

Gambar 2.20 Hidrograf Satuan Sintetik Metode Nakayasu.


Sumber: Soemarto (1999:102)
37

2.9 Distribusi Hujan Jam-Jaman Model Mononobe dan Curah Hujan Efektif
Sebelum melakukan perhitungan debit banjir rancangan (Design Flood)
diperlukan perhitungan hujan jam-jaman dan hujan rancangan netto untuk mengetahui
intensitas curah hujan. Analisis intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah
hujan yang telah terjadi di masa lampau. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan
huruf I dengan satuan (mm/jam).
Adapun langkah-langkah dalam perhitungan distribusi hujan jam-jaman model
mononobe dan curah hujan netto adalah sebagai berikut:
1. Mengasumsi hujan rata-rata di Indonesia, semisal t = 5 jam atau 6 jam.
2. Menentukan koefisien pengaliran (C) berdasarkan tabel koefisien
pengaliran.
3. Menghitung Intensitas hujan (I T) untuk setiap jam selama (t), dengan
rumus sebagai berikut:
2
R  t 3 (2-57)
I T  24 . 
t T 

dimana:
IT = intensitas curah hujan dalam T jam (mm/jam)
R24 = curah hujan efektif dalam 1 hari (mm/hari)
T = waktu hujan dari awal sampai jam ke t (jam)
t = waktu konsentrasi hujan (untuk Indonesia rata-rata t = 5-6 jam)
4. Setelah mendapat nilai Intensitas hujan (IT) dalam bentuk (R24), maka
selanjutnya kita dapat menghitung Intensitas hujan rata-rata dalam 1 hari (I t)
selama (t) jam yang diasumsikan dengan rumus sebagai berikut ini:
I t  t . I T   t  1 . I  T 1 (2-58)
dimana :
It = besar curah hujan pada jam ke t (mm)
t = waktu konsentrasi hujan
IT = intensitas curah hujan dalam T jam (mm/jam)
I(T-1) = intensitas curah hujan dari awal hingga jam ke (T-1) (mm)
5. Menghitung hujan efektif rencana (R 24) dari data hujan rancangan atau
Design Rainfall (Xrencana) dan koefisien pengaliran (C) untuk setiap kala ulang
(Tr) sampai PMP, dengan rumus sebagai berikut:
R24 = C . Xrencana (2-59)
38

6. Setelah mendapat (R24), selanjutnya memasukkan nilai (R24) kedalam


persamaan (IT) sesuai kala ulang (T r) masing-masing sampai PMP dengan
jangka waktu (t) jam yang sudah diasumsikan diawal.
2.10 Hidrograf Banjir Rancangan (Design Flood)
Hidrograf debit banjir rancangan dihitung dengan menggunakan prinsip
linieritas perkalian antara ordinat hidrograf satuan dengan hujan netto , kemudian dari
hasil perkalian untuk tiap kejadian hujan dijumlahkan secara superposisi dan hasil
akhirnya ditambah aliran dasar dengan rumus sebagai berikut ini:
n
Qk  Qb  U
i 1
i . Rn  i 1 (2-60)

dimana:
Qk = Debit Banjir pada jam ke - k
Ui = Ordinat hidrograf satuan (i = 1, 2, 3 .. .n)
Rn = Hujan netto (hujan efektif) dalam waktu yang berurutan (n = 1,2,..n)
Qb = Aliran dasar (base flow)

Tabel 2.6 Langkah-langkah peritungan hidrograf banjir

Gambar 2.21 Pemakaian proses konvolusi (superposisi) pada


perhitungan hidrograf banjir
Sumber: Soemarto (1999:96)

2.1. Penelusuran Banjir Melalui Pelimpah (Flood Routing)


39

Sungai merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, hal ini
disebabkan kondisi sungai sangat berpengaruh. Kondisi sungai yang sangat ekstrem,
baik saat kekeringan atau banjir sangat tidak dikehendaki. Untuk itu diperlukan
penanggulangan, bahkan dalam hal ini sangat dibutuhkan peramalan atau pendugaan
terhadap banjir yang sangat besar. Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu dilakukan
analisis hidrologi tentang peramalan atau pendugaan banjir yang mungkin terjadi yang
disebut penelusuran banjir (Flood Routing).
Pada dasarnya penelusuran banjir terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:
penelusuran melalui saluran (sungai) dan penelusuran banjir melalui reservoir. Selain
itu terdapat 2 (dua) cara dalam metode penelusuran banjir yaitu: penelusuran-hidrulik
(hydraulic routing) dan penelusuran-hidrologis (hydrologic routing). (Harto, 1993:179)
Penelusuran banjir lewat reservoir dalam hal ini adalah waduk sangat diperlukan
untuk menentukan tinggi maksimum elevasi banjir di atas ambang pelimpah dan debit
outflow maksimumnya. Hal ini menjadi sangat penting sebab dalam perencanaan
bangunan pelengkap bendungan (Spillway) sangat dibutuhkan dalam perencanaan
hidrolika strukturnya.
Dalam penelusuran banjir yang menjadi variabel terpenting adalah debit inflow
dan outflow. Saat debit banjir (inflow) masuk kedalam tampungan waduk sampai
kapasitas tampungan sementara yaitu sampai elevasi banjir diatas ambang. Elevasi
banjir diatas pelimpah akan semakin naik sampai elevasi maksimum diatas ambang
pelimpah. Kemudian elevasi muka air banjir akan turun sampai debit inflow sama denga
debit outflow. Tampungan yang ada dalam kapasitas tampungan waduk berfungsi
mereduksi banjir. Hidrograf outflow dari waduk akan mempunyai puncak terendah
tergantung pada ukuran waduk dan besarnya kapasitas banjir yang tersedia.

Gambar 2.22 Hidrograf infow dan outflow hasil penelusuran banjir pada waduk

2.2.1. Kapasitas Pelimpah


40

Pelimpah bendungan (spillway) sebagai bangunan pelengkap bendungan


mempunyai fungsi yang sangat penting dalam menjaga keamanan bendungan, dengan
mengalirkan debit-debit banjir besar. Untuk itu dalam perencanaan pelimpah harus
dipertimbangkan masalah kapasitas debit yang aman, sehingga pelimpah dapat
melewatkan banji-banjir besar yang kemungkinan dapat membahayakan tubuh
bendungan dan menjaga agar tidak terjadi overtopping di atas tubuh bendungan
tersebut.
Kapasitas debit pelimpah yang dibutuhkan tergantung pada berapa besar banjir
rancangan yang telah didapatkan dari perhitungan. Penetapan banjir rancangan
berkaitan dengan tingkat keamanan waduk tersebut, yang pada akhirnya tergantung
pada jenis bendungan, letaknya, serta akibat-akibat yang akan terjadi jika bendungan
tersebut jebol atau mengalami keruntuhan.
Bangunan pelimpah yang direncanakan dengan mempertimbangkan suatu
kapasitas pengendalian banjir di dalam waduk (flood storage), biasanya debit
pelimpahan bangunan tersebut akan lebih rendah dari debit banjir maximum-rencana,
karena sebagian air banjir untuk sementara akan tertahan di dalam waduk. Dalam
penentuan kapasitas debit pelimpah terdapat 2 (dua) macam kondisi yang
dipertimbangkan dalam perencanaan hidrolika bangunan pelengkap bendungan ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Saat kondisi banjir normal
Sesuai dengan kriteria perencanaan yang telah direkomendasikan oleh Balai
Kemanan Bendungan Indonesia, kapasitas pelimpah untuk bendungan tipe
urugan dalam kondisi banjir normal direncanakan dengan kala ulang 1000
tahun.
2. Saat kondisi banjir abnormal
Bangunan pelimpah agar mampu pula dilalui oleh debit banjir abnormal, yang
besarnya ± 1,2 kali debit banjir rancangan, dengan memperhitungkan efek
kapasitas penampung banjir waduk, tetapi supaya tidak terjadi limpasan di
atas mercu bendungannya dalam keadaan yang terburuk sekalipun, yang
mungkin dapat terjadi (adanya ombak yang tinggi serta hempasan-hempasan
ombak tersebut di atas perrnukaan lereng udik tubuh bendungan pada kondisi
elevasi tertinggi permukaan air waduk). Untuk bangunan pelimpah tipe tero-
wongan (tunnel type spillway), dan tipe corong (shaft type spillway), biasanya
41

direncanakan dengan kapasitas dua kali lebih besar dari debit banjir rancangan
(Sosrodarsono, 1977:227).
Sesuai dengan kriteria perencanaan yang telah direkomendasikan oleh Balai
Kemanan Bendungan Indonesia, kapasitas pelimpah untuk bendungan tipe
urugan dalam kondisi banjir abnormal direncanakan dengan Q PMF atau ½ Q
PMF , dimana pertimbangan pemilihan Q PMF atau ½ Q PMF.

Elevasi (m)

Gambar 2.23 Penentukan elevasi pelimpah


Sumber: Soemarto (1999:124)

Pada gambar 2.23 menjelaskan bahwa elevasi puncak pelimpah diperoleh dari
grafik lengkung kapasitas waduk dan untuk memperoleh elevasi puncak pelimpah,
jumlah volume tampungan mati dan volume tampungan efektif ditarik garis ke atas
sampai berpotongan dengan garis lengkung kapasitas waduk lalu ditarik garis ke kiri
untuk menentukan elevasinya.
2.2.2. Kurva Kapasitas Tampungan Waduk (storage curve)
Sebelum menentukan penelusuran banjir melalui spillway dan menentukan
tinggi ambang spillway, maka perlu diketahui kapasitas tampungan waduk dengan cara
kurva kapasitas waduk (storage curve). Hal ini sangat penting untuk mengetahui
seberapa besar tampungan yang diakibatkan terbendungnya aliran sungai.
Kurva ini menunjukkan hubungan antara elevasi, volume waduk, serta luas
genangan pada sekitar daerah perencanaan. Dari peta topografi yang berupa garis kontur
dengan interval dua meteran yang kemudian dijabarkan menjadi interval satu meteran
dengan cara interpolasi. Luasan dan volume waduk tiap interval didapatkan dari nilai
42

luasan pada propertis-Auto Cad. Dari masing-masing titik yang didapat diplot pada
skala normal sehingga didapatkan suatu kurva yang digunakan untuk mencari luas
genangan dan volume tampungan sesuai dengan yang ditunjukan pada gambar 2.24 dan
gambar 2.25.
Dengan diketahuinya volume tampungan antar intrval elevasi pada peta kontur
skala 1:50.000 maka dapat diketahui elevasi ambang pelimpah dengan
menginterpretasikan hasil hitungan tampungan efektif dan tampungan mati pada
perhitungan volume tampungan anta interval elevasi kurva kapastas tampungan waduk.

Gambar 2.24 Peta kontur lokasi bendungan – waduk


Adapun langkah-langkah menghitung kapasitas tampungan waduk sebagai
berikut:
1. Menentukan site bendungan pada peta topografi pada gambar 2.24 diatas , hal
ini berfungsi untuk mengetahui tampungan maksimum yang bisa diperoleh
dengan mendapatkan elevasi-elevasi sampai tampungan meksimum waduk.
2. Setelah itu menghitung selisih perbedaan antar interval kontur (elevasi) yang
sudah didapatkan dari peta topografi (Δh).
3. Kemudian menghitung luas kontur (daerah genangan) dengan notasi (A x’)
dengan rumus sebagai berikut:
Ax 1  Ax 1
Ax’ = (2-62)
2
dimana:
Ax’ = luas kontur (daerah genangan) pada elevasi ke-x dalam m2
Ax-1 = luas kontur (daerah genangan) sebelum elevasi ke-x dalam m2
43

Ax+1= luas kontur (daerah genangan) sesudah elevasi ke-x dalam m2


4. Menghitung luas rata-rata kontur (Ax) dengan rumus sebagai berikut:
Ax1 ' Ax 2 '
Ax = (2-63)
2
dimana:
Ax = luas rata-rata kontur pada elevasi ke-x dalam m2
Ax1’= luas kontur (daerah genangan) sebelum elevasi ke-x dalam m2
Ax2’= luas kontur (daerah genangan) saat elevasi ke-x dalam m2
5. Menghitung Volume antar intrval kontur (ΔV) dengan rumus sebagai berikut:
 A  Ax 2 
ΔV =  x1  h (2-64)
 2 
dimana:
ΔV = volume antar interval kontur (m3)
Δh = selisih perbedaan kontur (m)
Ax1 = luas rata-rata kontur pada elevasi ke-x1 dalam (m2)
Ax2 = luas rata-rata kontur pada elevasi ke-x2 dalam (m2)
6. Menghitung volume tampungan waduk (Vw) dengan rumus sebagai berikut:
Vw = ΔV1 + ΔV2 (2-65)
dimana:
Vw = volume tampungan waduk (m3)
ΔV1 = volume antar interval 1 kontur (m3)
ΔV2 = volume antar interval 2 kontur (m3)
Setelah mendapatkan nilai luas genangan dan volume waduk pada tiap interval
elevasi, maka hasil perhitungan dapat direpresentasi dalam bentuk kurva yang disebut
kurva kapasitas waduk seperti gambar 2.25 dibawah ini.
44

Gambar 2.25 Kurva Kapasitas Tampungan Waduk


2.2.3. Kurva Kedalaman Aliran dan Debit (Rating Curve)
Untuk mempelajari karakteristik kejadian banjir sesuai dengan kondisi lapangan,
maka dapat dilakukan perhitungan kedalaman air banjir ini memberikan indikasi yang
wajar sesuai dengan informasi kejadian banjir pada masa lampau dan perhitungan debit
banjir rancangan dapat diterima untuk digunakan sebagai dasar perencanaan yang
disebut.
Adapun langkah-langkah menghitung kurva kedalaman aliran dan debit (rating
curve) sebagai berikut:
1. Mengurutkan data elevasi dari yang terbesar sampai terkecil.
2. Pada peta topografi menentukan jarak (L) antar interval elevasi tampungan
waduk.
3. Menghitung slope antar interval elevasi (S) dengan rumus sebagai berikut:
 E  E2 
S =  1  (2-66)
 L12 
dimana:
L12 = jarak antar interval elevasi ke-1 dan ke-2 (m)
E1 = elevasi ke-1 (m)
E2 = elevasi ke-2 (m)
4. Menghitung perkalian atara jarak (L) dan slope (S) tiap interval elevasi pada
peta kontur.
45

5. Menghitung rerata tertimbang (average) dan rerata aritmatik (mean) 1 section


terakhir yang kemudian nilai slopenya digunakan dalam perhitungan rating
curve.
6. Menentukan interval kedalaman aliran (h) dalam meter.
7. Menentukan luas penampang basah (A) dan keliling basah (P) tiap interval
kedalaman aliran (h)
8. Menghitung radius hidrolik (R) tiap interval kedalaman aliran (h) dengan
rumus sebagai berikut:
A
R= (2-67)
P
9. Menghitung kecepatan aliran (v) dengan rumus manning tiap interval
kedalaman aliran:
1 2 / 3 1/ 2
v= . R .S (2-68)
n
10. Menghitung debit (Q) tiap interval kedalaman aliran:
Q = A.V (2-69)

Setelah mendapatkan nilai debit (Q) tiap interval kedalaman aliran, maka hasil
perhitungan dapat direpresentasi dalam bentuk kurva yang disebut rating curve seperti
gambar 2.26 dibawah ini.

Gambar 2.26 Rating curve


2.2.4. Penentuan Koefisien Debit Pelimpah
Sebelum melakukan perhitungan debit banjir yang akan melimpah diatas
spillway, maka perlu ditentukan terlebih dahulu nilai koefisien debit untuk yang
mengalir di atas pelimpah. Dalam perencanaan ini nilai koefisien debit (Cd) dihitung
46

dengan cara coba-coba, kemudian nilai (Cd) coba-coba dicek dengan nilai (Cd) hitung
dengan persamaan Iwasaki.
Adapun langkah-langkah menghitung koefisien debit limpasan diatas pelimpah
(Cd) sebagai berikut:
1. Menentukan elevasi mercu pelimpah dari perhitungan tampungan efektif
waduk dan menentukan elevasi dasar pelimpah sehingga diperoleh tinggi
pelimpah (P) dengan rumus sebagai berikut:
P = elv.mercu - elv.dasar (2-70)
2. Merencanakan variabel-variabel dibawah ini:
 Lebar pelimpah (L)
 Jumlah pilar (n)
 Koef. Pilar (Kp)
 Koef. Abutmen (Ka)
Koefisien kontraksi pilar ditentukan sebagai berikut:
- pilar dengan bentuk depan persegi 0,02
- pilar dengan bentuk depan bulat 0,01
- pilar dengan bentuk depan runcing 0,01
Koefisien kontraksi tembok tepi sebagai berikut:
- tembok tepi bersudut runcing 0,2
- tembok tepi bersudut bulat/tumpul 0,1

Gambar 2.27 Koeffisien konstraksi pilar


Sumber: Sosrodarsono, 1977: 183
47

Gambar 2.28 Koeffisien konstraksi pilar sesuai dgn bentuk tumpuannya


Sumber: Sosrodarsono, 1977: 184

3. Menghitung lebar efektif pelimpah (Leff) dengan rumus sebagai berikut:


Leff = L – 2.(n . Kp + Ka) . Hd (2-71)
4. Mencoba-coba nilai (Cd) sehingga diperoleh nilai (Hd) yang digunakan untuk
mengecek nilai (Cd) coba-coba dari (Cd) hitung:
3/ 2
Q1000 th = C d . Leff . H d (2-72)
5. Dari nilai (Hd) dari persamaan diatas, kemudian melakukan pengecekan (Cd)
coba-coba sampai sama dengan nilai (Cd) hitung dengan rumus Iwasaki:
0 , 99
H 
Cd = 2,2  0,0416. d  (2-73)
 P 
6. Dari nilai (Cd) hitung dari persamaan diatas, kemudian memasukkan nilai (Cd)
hitung kedalam persamaan berikut ini untuk menentukan nilai (a):
1  2a  h / Hd 
Cd = 1,60 x
1  a  h / Hd 
1  2a  h / Hd 
Cd = 1.60 x
1  a  h / hd 
karena (h = Hd) maka:

Cd = 1,60 x 1  2a (2-74)
1 a
48

7. Setelah mendapat nilai (Cd) hitung, (Hd) dan nilai (a), maka perhitungan nilai
debit (Q) tiap selisih antar interval elevasi (h) dengan memakai persamaan:
1  2a  h / Hd 
Cd = 1.60 x (2-75)
1  a  h / hd 

Gambar 2.29 Koefisien debit pelimpah metode Iwasaki


Sumber: Sosrodarsono, 1977: 182
2.2.5. Persamaan Kontinuitas Aliran Untuk Perhitungan Penelusuran Banjir
Analisis penelusuran banjir berfungsi untuk mendesain bangunan pelimpah agar
tidak membahayakan puncak bendungan jika terjadi banjir yang besar. Perhitungan
dimulai dengan input data Q rancangan yang telah dihitung sebelumnya, dalam
perhitungan ini, digunakan Q1000 th dan PMF sebagai kontrolnya.
Sebelum melakukan perhitungan penelusuran banjir maka perlu mengetahui
fungsi tampungan dengan langkah-langkah sebagai berikut ini:
1. Setelah mendapatkan nilai interval elevasi (h) dari perhitungan koefisien debit
(Cd) diatas, selanjutnya menghitung nilai volume tampungan (V) sesuai elevasi
dengan menginterpolasi antara tampungan dengan elevasi pada tabel storage
curve. Begitu seterusnya hingga interval kontur yang terakhir.
2. Menghitung selisih volume tampungan dengan rumus sebagai berikut:
ΔV = V2 – V1 (2-76)
dimana:
ΔV = selisih volume tampungan waduk (m3)
V1 = volume pada elevasi 1 (m3)
V2 = volume pada elevasi 2 (m3)
49

3. Setelah mendapat nilai debit (Q) yang ada pada tabel perhitungan koefisien
debit (Cd) diatas, maka dilakukan perhitungan Psi (ψ) dengan rumus sebagai
berikut:

Ψ = V  Q (2-77)
t 2

Dengan Δt = 0,5 jam


4. Menghitung Phi (φ) dengan rumus sebagai berikut ini:

φ = V  Q (2-78)
t 2

Dengan Δt = 0,5 jam


Selanjutnya melakukan perhitungan penelusuran banjir. Adapun langkah-
langkah menghitung penelusuran banjir diatas pelimpah dengan menggunakan
persamaan kontinuitas sebagai berikut:
1. Memasukkan data debit inflow (I) dari perhitungan banjir rancangan untuk
kala ulang 1000 tahun.
2. Menghitung inflow rata-rata (Irata-rata) dengan rumus sebagai berikut ini:
I1  I 2
Irata-rata = (2-79)
2

dimana:
I1 = inflow pada elevasi 1 (m3/det)
I2 = inflow pada elevasi 2 (m3/det)
3. Menghitung nilai Psi (ψ) dengan cara menginterpolasi nilai Psi (ψ) terhadap
nilai debit outflow (Q) pada jam sebelumnya dari perhitungan fungsi
tampungan diatas.
4. Menghitung nilai Phi (φ) dengan rumus sebagai berikut ini:
I1  I 2
φ=  (2-80)
2

5. Menghitung debit outflow (Q) dengan cara menginterpolasi nilai debit (Q)
terhadap nilai Phi (φ) dari perhitungan fungsi tampungan diatas. Namun untuk
debit outflow (Q) pada jam ke- 0 nilainya sama dengan nilai debit inflow pada
jam ke- 0 juga.
50

6. Menghitung beda tinggi antara elevasi mercu dengan muka air banjir (H)
dengan cara menginterpolasi nilai selisih interval elevasi (h) terhadap nilai
debit outflow (Q) dari perhitungan fungsi tampungan diatas.
7. Menghitung elevasi muka air banjir dengan rumus sebagai berikut ini:
Elv. Banjir = H + elv. Mercu (2-81)
8. Perhitungan dilakukan seterusnya hingga didapatkan nilai Qoutflow dan H
maksimum.
Dari perhitungan diatas apabila didapatkan nilai H d melebihi dan masih mempunyai
selisih dari nilai Hd sebelumnya. Maka perhitungan diulang kembali dengan
menggunakan Cd dari Hd tadi dengan persamaan koefisien debit seperti yang telah
dijelaskan diatas, kemudian menghitung fungsi tampungan dan penelusuran banjir
kembali dengan nilai Cd yang baru untuk Q1000 th, 1,2Q 1000 th dan Q PMF.
2.3. Pelimpah Bendungan (Spillway)
Bangunan Spillway atau pelimpah adalah bangunan beserta instalasinya yang
melewatkan air banjir yang masuk ke dalam waduk agar tidak membahayakan
keamanan bendungan tersebut. Oleh karena itu, dalam perencanaan hampir setiap
bendungan haruslah dipkirkan cara untuk mengalirkan air ke hilir. (Soedibyo, 2003:321)

Gambar 2.30 Bagian-bagian pada spillway bendungan


Sumber: Soedibyo (2003:322)

Pada dasarnya sebuah spillway atau pelimpah memiliki 4 bagian penting seperti
pada gambar diatas. Adapun bagian-bagian penting yang terdapat pada pelimpah adalah
sebagai berikut (Soedibyo, 2003:321):
1. Ambang pelimpah
Berdasarkan kapasitas debit yang melewati pelimpah, maka sangat
mempengaruhi bentuk ambang. Ambang berbentuk bendung pelimpah
51

(overflow weir) seperti pada gambar 2.31, permukaan bendung berbentuk


lengkung disesuaikan dengan aliran air sehingga air tidak dapat lepas dari
permukaan bendung. Dalam hal ini dapat mencegah kerusakan bendung itu
sendiri. Adapun rumus debit yang digunakan adalah sebagai berikut ini:
Q = C. Lefektif . H01,5 (2-82)
dimana:
Q = debit limpasan (m3/det)
C = koefisien debit pelimpah
Lefektif = panjang ambang (m)
H0 = kedalaman air tertinggi di hulu ambang pelimpah (m)

Gambar 2.31 Ambang bentuk pelimpah (overflow weir)


Sumber: Soedibyo (2003:323)

2. Saluran pengarah dan pengatur aliran (controle structures)


Ada 6 tipe saluran pengarah dan pengatur aliran adalah sebagai berikut:
 Saluran pengarah dan pengatur aliran dengan ambang pelimpah
(overflow type).
 Saluran pengarah dan pengatur aliran yang terletak di antara puncak dan
dasar bendungan (orifice controle structure).
 Saluran pengarah dan pengatur aliran yang terletak di bagian bawah
bendungan (bottom controle structure).
52

 Saluran pengarah dan pengatur aliran yang terletak di bagian atas dan di
antara puncak dengan bawah bendungan.
 Saluran pengarah dan pengatur aliran berbentuk siphon (syphon type).
 Saluran pengarah dan pengatur aliran dengan pintu air.
3. Saluran pengangkut debit (discharge carrier, flood way)
Ada 3 tipe saluran pengarah dan pengatur aliran adalah sebagai berikut:
 Saluran pengangkut debit dengan bentuk peluncur (chute type discharge
carrier).
 Saluran pengangkut debit dengan terowongan (tunnel type discharge
carrier).
 Saluran pengangkut debit dengan sistem permukaan bendungan (dam
surface type).
4. Peredam energi (stilling basin)
Macam-macam tipe pelimpah sangat beragam. Pemilihan tipe pelimpah sangat
memperhatikan banyak faktor yang berpengaruh. Adapun beberapa macam tipe
pelimpah sebagai berikut:
1. Berdasarkan fungsinya terdapat 3 tipe pelimpah, yaitu:
 Pelimpah utama (main spillway)
 Pelimpah pembantu (auxilliary spillway)
 Pelimpah darurat (emergency spillway)
2. Berdasarkan cara operasinya terdapat 2 tipe pelimpah, yaitu:
 Pelimpah dengan pintu air (controlled spillway)
 Pelimpah tanpa alat kontrol (uncontrolled spillway)
3. Berdasarkan bentuknya terdapat 7 tipe pelimpah, yaitu:
 Pelimpah dengan saluran peluncur terletak di sisi bendungan (side overflow
chute spillway)
 Pelimpah dengan berbentuk menara (tower spillway)
 Pelimpah dengan saluran peluncur terletak di sisi bendungan (side overflow
chute spillway)
 Pelimpah dengan ambang di tengah dan saluran pengangkut airnya di
permukaan bendungan (centre overflow dam surface spillway)
 Pelimpah morning glory (morning glory tunnel spillway)
 Pelimpah dengan peredam energi jatuh bebas (free overfall spillway)
53

 Pelimpah dengan pintu air (gated spillway)


 Pelimpah berbentuk siphon (syphon spillway)
2.3.1. Pemlihan Tipe Pelimpah
Dalam pemilihan tipe spillway bendungan harus mempertimbangkan berbagai
aspek yang berpengaruh. Kondisi daerah setempat sangat berpengaruh baik dilihat dari
segi geologi maupun hidrologinya, bahkan tujuan serta manfaat diadakan pembangunan
juga sangat berpengaruh. Secara umum ada 9 (sembilan) faktor penting yang dapat
mempengaruhi pemilihan tipe spillway bendungan, antara lain sebagai berikut
(Soedibyo, 2003:344):
1. Keamanan terhadap stabilitas konstruksi.
2. Tujuan pembangunan dan pola operasinya.
3. Jenis bendungan.
4. Keadaan topografi setempat.
5. Keadaan geologi setempat.
6. Keadaan hidrologi setempat.
7. Keadaan sebelah hlir bendungan.
2.3.2. Perencanaan Profil Ambang Pelimpah
Analisa hidrolika dilaksanakan dengan tujuan untuk menganalisis hasil hitungan
secara empirik yang kemudian digunakan sebagai dasar pemilihan bentuk, tipe dan
perlakuan yang akan direncanakan dan dilaksanakan terhadap bangunan di lapangan.
Pada perhitungan penelusuran banjir telah kita dapatkan nilai koefisien debit
(Cd), kedalaman aliran diatas ambang (Hd), lebar efektif pelimpah (Leff) maka
selanjutnya dilakukan perencanaan profil ambang pelimpah.
Dalam perencanaan profil ambang pelimpah terdapat 2 metode yaitu metode US
ARMY dan metode USBR. tipe profil ambang pelimpah Ogee modifikasi adalah tipe
standar yang biasanya ditetapkan berdasarkan aliran di atas ambang rencana dengan as
ambang pelimpah tepat pada puncak ambang.
Salah satu alasan dalam perencanaan digunakan tipe Ogee adalah karena tanah
disepanjang kolam olak, tanah berada dalam keadaan baik, maka tipe mercu yang cocok
adalah tipe mercu ogee karena memerlukan lantai muka untuk menahan penggerusan,
digunakan tumpukan batu sepanjang kolam olak sehingga dapat lebih hemat. Adapun
macam tipe Ogee adalah sebagai berikut:
1. Tipe I (Tipe Tegak)
54

Bentuk mercu type Ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam
aerasi. Untuk bagian hulu tegak sesuai dengan kemiringan permukaan hilir yang
relatif lebih curam dengan persamaan garis lengkung X1,85 = 2.Hd0,85.Y.
55

Gambar 2.32 Profil ambang tegak


Sumber: Chow, 1985: 361

2. Tipe II (Hulu miring 3 : 1)


Pada tipe Ogee II ini lebih stabil konstruksinya, sehingga mercu ini tidak akan
memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercu sewaktu bendung
mengalirkan air pada debit rencananya. Untuk kemiringan bagian hulu 3 : 1 sesuai
dengan kemiringan permukaan hilir yang relatif lebih landai dengan persamaan
garis lengkung X1,836 = 1,936.Hd0,836.Y.

Gambar 2.33 Profil ambang pelimpah tipe II


Sumber: Chow, 1985: 361

3. Tipe III (Hulu miring 3 : 2)


Pada tipe Ogee III ini didesain dengan kemiringan bagian hulu 3 : 2 sesuai
dengan kemiringan permukaan hilir yang relatif lebih landai dengan persamaan
garis lengkung X1,810 = 1,939.Hd0,810.Y sehingga dapat mempengaruhi kecepatan
yang ada di daerah hilir dan mengurangi gerusan.
56

Gambar 2.34 Profil ambang pelimpah tipe III


Sumber: Chow, 1985: 361

4. Tipe IV (Hulu miring 3 : 3)


Pada tipe Ogee IV ini didesain dengan kemiringan bagian hulu 3 : 3 sesuai
dengan kemiringan permukaan hilir yang relatif sangat landai dibandingkan
dengan tipe-tipe Ogee yang lainya, persamaan garis lengkung
X1,776=1,873.Hd0,776.Y

Gambar 2.35 Profil ambang pelimpah tipe IV


Sumber: Chow, 1985: 361

Berdasarkan metode The United State Army Corps of Engineers telah menyusun
beberapa bentuk baku pelimpah di Waterways Experiment Station (WES), dinyatakan
berdasar lengkung Harrold (Chow 1989: 330):
Xn = K . Hdn-1 . Y (2-83)
dimana:
X, Y = koordinat profil mercu dengan titik awal pada titik tertinggi mercu
Hd = tinggi tekan rancangan tanpa tinggi kecepatan dari aliran yang masuk.
K, n = parameter yang tergantung pada kemiringan muka pelimpah bagian hulu.
57

Tabel 2.7 Nilai K dan n


Kemiringan muka hulu K n
Tegak lurus 2,000 1,850
3:1 1,936 1,836
3:2 1,939 1,810
3:3 1,873 1,776
Sumber: Chow, (1997: 330)

Dari profil lengkung Harrold, bagian hilir pelimpah dirubah profilnya menjadi
garis lurus dengan kemiringan 1 : 1 atau 1 : 0,8 atau berapa saja asal tidak terjadi
banyak pembulatan angka. Pertemuan lengkung Harrold dan garis lurus tersebut harus
merupakan garis singgung sehingga tidak menyebabkan adanya cekungan yang
menyebabkan terjadi rongga udara yang dapat menyebabkan bahaya kavitasi. Untuk
lengkungan di akhir profil ambang pelimpah tidak boleh kurang dari 10 d, d adalah
tinggi muka air tegak lurus terhadap kemiringan saluran di awal lengkungan.
2.3.3. Perencanaan Bentuk Saluran Side Channel
Bentuk saluran samping direncanakan berpenampang trapesium dengan
kemiringan pada dindingnya 1 : 0 atau berdinding tegak. Selain itu, perlu direncanakan
lebar saluran samping dibagian hulu dan hilir serta menentukan panjang saluran
samping tersebut.
Untuk pemilihan kombinasi angka koefisien a dan n digunakan rumus Julian
Hinds. Angka koefisien n divariasikan antara 0,4 – 0,8. Kemiringan dasar saluran
samping direncanakan berdasarkan Qoutflow untuk Q1000 dan QPMF. Untuk menentukan
harga a dan n di atas perlu dicari dalam kombinasi sedemikian rupa sehingga disatu
pihak biaya konstruksi saluran samping cukup ekonomis, sedangkan dilain pihak agar
mempunyai bentuk hidrolis yang menguntungkan.
Adapun langkah-langkah menentukan harga angka koefisien a dan n adalah
sebagai berikut:
1. Menghitung jarak titik tinjau sebagai berikut ini:
c
X1 = c m, diperoleh QX1 = tot. panjangsaluran xQout (2-84)

e
X2 = e m, diperoleh QX2 = tot. panjangsaluran xQout

(2-85)
2. Bentuk penampang saluran samping dengan lebar (b) bervariasi berdasarkan
jarak X serta kemiringan Z1 dan Z2.
3. Memisalkan nilai a dan n.
58

4. Menentukan kecepatan (V) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai


berikut:
v = a . xn (2-86)
5. Menentukan luasan (A) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai
berikut:
Q
A
V
(2-87)
6. Menentukan nilai (d) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai
berikut:

 b  b 2  2( Z1  Z 2 ) A
d= (2-88)
Z1  Z 2

7. Menentukan tinggi tekanan kecepatan aliran (hv) pada jarak X1 dan X2 dengan
persamaan sebagai berikut:
v2
hv  (2-89)
2. g

8. Menentukan perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air


di dalam saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut (y) pada
jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai berikut:
 n 1
y =  hv (2-90)
 n 
9. Menentukan nilai (D) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai
berikut:
D = d+y (2-91)
10. Maka pembiayaan (P) dari kolom penampang dapat dinyatakan sebagai:
P = D1 + 2 D2 (2-92)
11. Selanjutnya perhitungan metode coba banding untuk mendapatkan kombinasi
nilai a dan n yang paling ekonomis.
Pemilihan kombinasi yang sesuai untuk angka koefisien a dan n. Angka “a” dan
“n” pada rumus (2-85) dicari dalam kombinasi sedemikian rupa, sehingga di satu fihak
biaya konstruksi saluran samping ekonomis, sedang di lain fihak agar mempunyai
bentuk hydrolis yang menguntungkan. Kemudian ditabelkan seperti tabel di bawah ini.

Tabel 2.8 Tabel perhitungan untuk menentukan perbandingan dari kombinasi a dan n.
59

Potongan melintang Potongan melintang Harga yg


dari bagian hulu. dari ujung saluran samping tepat
x = 2,5 m x = 2,5 m untuk
Q = 5,0 m3/dt Q = 5,0 m3/dt biaya
n A v A D y D1 v A d y D2 2D konstruks
2 i Catatan
0,4 0,5 0,72 6,90 1,72 0,09 1,81 1,81 27,60 4,73 0,59 5,32 10,64 12,45 b = 3,0 m,
0,4 0,6 0,87 5,75 1,48 0,14 1,62 2,18 22,93 4,17 0,86 5,03 10,06 11,68 z1 = 0.7,
0,4 0,7 1,02 4,90 1,30 0,19 1,49 2,55 19,61 3,74 1,17 4,91 9,82 11,31 z2 = 0,5,
0,4 0,8 1,17 4,27 1,16 0,25 1,41 2,90 17,24 3,42 1,51 4,93 9,86 11,27 v dan y didapat
0,4 0,9 1,30 3,84 1,06 0,31 1,37 3,27 15,29 3,13 1,82 4,95 9,40 11,27
d didapat dari per-
hitungan lain. Pada
0,6 0,3 0,52 9,61 2,22 0,04 2,26 2,07 24,15 4,32 0,58 4,90 9,80 12,06 Contoh ini dengan
0,6 0,4 0,69 7,25 1,78 0,07 1,85 2,76 18,11 3,54 1,04 4,58 9,16 11,01 pertimbangan seluruh
0,6 0,46 0,80 6,25 1,58 0,09 1,57 3,18 15,72 3,19 1,37 4,56 9,12 10,69 biaya konstruksi, dari
0,6 0,5 0,87 5,75 1,48 0,10 1,58 3,47 14,41 3,00 1,62 4,62 9,24 10,82 saluran samping (ditch)
0,6 0,6 1,04 4,81 1,28 0,15 1,43 4,16 12,01 2,63 2,32 4,95 9,90 11,32 didapat dari D1+2D2,
0,6 0,7 1,22 4,10 1,12 0,20 1,32 4,83 13,05 2,35 3,20 5,52 11,10 12,43

Sumber: Sosrodarsono, 1977: 194

2.3.4. Perencanaan Bentuk Dasar Saluran Side Channel


Dengan kombinasi angka koefisien a dan n dari hasil tabel 2.8 diatas kemudian
dilanjutkan dengan perhitungan untuk menentukan bentuk dasar saluran samping.
Kehilangan tinggi akibat gesekan secara kasar dapat dihitung dengan Rumus Manning
dengan mengambil koefisien kekasaran n = 0,015 (beton). Setelah itu didapat harga
D+Hf, yang merupakan kedalaman dasar saluran teoritis dari saluran samping diukur
terhadap elevasi mercu pelimpah.
Elevasi Dasar Teoritis = (El. Mercu) - (D + Hf) (2-93)
Adapun langkah-langkah menentukan perencanaan bentuk dasar saluran side
channel adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jarak antara tepi udik pelimpah dengan suatu titik pada mercu
pelimpah (x).
2. Menentukan kecepatan (v) pada jarak x dengan persamaan sebagai berikut:
v = a . xn (2-94)
3. Menentukan luasan (Q) dengan persamaan sebagai berikut:
Q = q.x (2-95)
4. Menentukan luasan (A) dengan persamaan sebagai berikut:
Q
A (2-96)
V

5. Menentukan nilai (d) dengan persamaan sebagai berikut:


60

 b  b 2  2( Z 1  Z 2 ) A
d=
Z1  Z 2

(2-97)
6. Menentukan nilai keliling basah (P) dengan persamaan sebagai berikut:

P = b  ( (1  Z 1 2 )  2
(1  Z 2 ) ) d

(2-98)
7. Menentukan nilai jari-jari penampang basah (R) dengan persamaan sebagai
berikut:
A
R =
P
(2-99)
8. Menghitung Rrata dengan persamaan sebagai berikut:
Rrata2 = 0,5.(Ri-1 + Ri ) (2-100)
9. Menghitung ∆x = xi - x i-1
10. Menghitung Vrata dengan persamaan sebagai berikut:
Vrata2 = 0,5.(Vi-1 + Vi ) (2-101)
11. Menghitung nilai (Sf) dengan persamaan sebagai berikut:
2
 n . Vrata 2 
Sf =  2/3 
(2-102)
 Rrata 2 
12. Menghitung nilai (hf) dengan persamaan sebagai berikut:
hf = Sf . ∆x (2-103)
13. Menentukan tinggi tekanan kecepatan aliran (hv) dengan persamaan sebagai
berikut:
v2
hv   . (2-104)
2. g

14. Menentukan perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air di
dalam saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut (y) dengan
persamaan sebagai berikut:
 n 1
y =  hv (2-105)
 n 
15. Menentukan nilai (D) pada jarak X1 dan X2 dengan persamaan sebagai berikut:
D = d+y (2-106)
16. Menentukan nilai elevasi dasar teoritis dengan persamaan sebagai berikut:
61

Elevasi dasar teoritis = El. Mercu - ( D + Hf) (2-107)

Karena bentuk penampang memanjang dasar saluran samping sering dijumpai

pada hasil perhitungan (teoritis) seperti dapat dilihat pada Gambar 2.36 adalah berupa

garis lengkung, maka pelaksanaan konstruksinya akan cukup sulit. Untuk menghindari

kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tersebut, maka bentuk penampang memanjang

dasar saluran harus disesuaikan dengan merubahnya menjadi garis lurus. Penyesuaian

ini dilakukan dengan menghubungkan titik akhir garis lengkung dengan titik yang

letaknya 1/3 (sepertiga) sampai dengan 1/10 (sepersepuluh) dari panjang pelimpah, dan

diukur dari ujung garis lengkung.

Gambar 2.36. Bentuk Dasar Saluran Side Channel


2.3.5. Perencanaan Profil Muka Air Diatas Ambang Side Channel
Perhitungan profil muka air diatas pelimpah sangat dibutuhkan dalam
perencanaan desain pelimpah itu sendiri, sehingga debit outflow maksimum yang sudah
direncanakan (Q1000) saat melewati pelimpah dapat diketahui kondisi dan perilaku
alirannya. Selain itu perencanaan profil muka air ini juga diperlukan dalam menentukan
dan merencanakan konstruksi di belakang pelimpah.
Dalam perencanaan pelimpah menggunakan debit outflow maksimum 1,2xQ100
tahun, sedangkan untuk kontrolnya menggunakan debit outflow maksimum PMF. Nilai
debit outflow maksimum 1,2xQ100 tahun dan PMF diperoleh dari perhitungan
penelusuran banjir rancangan. Sebelum perhitungan profil aliran diatas ambang
pelimpah, maka diperlukan beberapa variabel data yang harus sudah diketahui terlebih
dahulu. Yang perlu diketahui terlebih dahulu sebelum perhitungan profil aliran diatas
62

ambang pelimpah adalah debit outflow maksimum 1,2x100 tahun (1,2xQ100) dan PMF
(QPMF) sebagai kontrolnya, lebar efektif ambang pelimpah (Leff), dan kedalaman air
diatas ambang (Hd).
Setelah dasar saluran samping yang direncanakan ditetapkan, maka dilanjutkan
dengan perhitungan tinggi muka air pada saluran samping. Dengan diketahuinya
kedalaman air di titik yang diamati dan kemiringan dasar saluran samping (hasil
perhitungan sebelumnya), maka profil muka air di sepanjang saluran samping dapat
ditentukan dengan sistem coba banding menggunakan persamaan berikut
(Sosrodarsono, 1989:228).
Rumus perbedaan tinggi muka air antara 2 penampang:
Q1 V1  V2   V2 
y   V1  V2    Q1  Q2   (2-108)
g  Q1  Q2   Q1 
Adapun langkah-langkah menghitung profil aliran muka air diatas pelimpah side
channel adalah sebagai berikut:
1. Panjang saluran samping dibagi dalam beberapa pias, jarak antar pias (∆x).
2. Setelah melakukan perhitungan bentuk dasar saluran diatas, maka akan
diperoleh tinggi muka air di hilir saluran samping ytitik x .
3. Menghitung elevasi muka air pada titik tersebut dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Elevasi muka air = Elevasi dasar + y (2-109)
4. Menghitung luas penampang basah (A) pada titik tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
( Z 1  Z 2 ) y  2 .B
A= y (2-110)
2
5. Menghitung debit per satuan lebar (q) dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Q
q= (2-111)
B
6. Menghitung debit (Q1) pada titik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Q1 = q . X (2-112)
63

7. Menghitung kecepatan aliran (V1) pada titik tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Q
V1 = (2-113)
A
8. Untuk titik x-1 (dengan cara coba-coba, sampai diperoleh hasil perhitungan ∆y
menggunakan persamaan Rumus perbedaan tinggi = nilai ∆y yang diambil).
9. Selanjutnya perhitungan di titik x-1 dilanjutkan seperti berikut ini untuk
memperoleh hasil yang disyaratkan di atas dengan nilai β tertentu.
10. Menghitung elevasi muka air pada titik tersebut dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Elevasi muka air di titik x-1 = (Elevasi muka air di titik x) + ∆y (2-114)
11. Menghitung tinggi muka air (y) dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Tinggi muka air (y) = Elevasi muka air – Elevasi dasar (2-115)
12. Menghitung luas penampang basah (A) pada titik x-1 dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
( Z 1  Z 2 ) y  2 .B
A= y (2-116)
2
13. Selanjutnya perhitungan debit (Q2) dan kecepatan (V2).
14. Menghitung Δy dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Q1 V1  V2   V2 
y   V1  V2    Q1  Q2   (2-117)
g  Q1  Q2   Q1 
15. Hasil perhitungan ∆y menggunakan persamaan Rumus perbedaan tinggi =
nilai ∆y yang diambil  OK
2.3.6. Saluran Transisi Pada Spillway Bendungan
Pada dasarnya saluran transisi diartikan sebagai saluran yang mengalami
perubahan dimensi saluran. Terdapat dua kemungkinan pada saluran transisi, yaitu
saluran yang mengalami penyempitan dan saluran yang mengalami perluasan.
Namun, pada pelimpah sering dijumpai penampang saluran yang mengalami
penyempitan.
Hal ini dimaksudkan agar saluran tersebut mengalami perubahan pada
kecepatan alirannya menjadi kritis pada permulaan saluran peluncur setelah saluran
transisi. Saluran transisi pada bangunan pelimpah diperlukan untuk menghubungkan
perubahan penampang dari ukuran dimensi yang lebih besar ke ukuran yang lebih
64

kecil pada ruas hilir profil pelimpah sampai ke suatu potongan sebelum menuju ke
saluran peluncur. Selain itu peranan saluran transisi sangat dibutuhkan dalam
pengaturan aliran pada debit-debit banjir yang yang direncanakan. Selanjutnya
bentuk saluran transisi pada pelimpah bendungan diuji dengan mengalirkan debit
banjir yang abnormal pada model test bendungan.
Untuk bangunan pelimpah yang relatif kecil, biasanya saluran ini dibuat
dengan dinding tegak yang makin menyempit ke hilir dengan inklinasi sebesar
12°30' terhadap sumbu saluran peluncur. Terkadang kondisi topografi yang kurang
menguntungkan memaksakan pembuatan dinding saluran yang melebihi sudut
iklinasi tersebut.

Gambar 2.37 Saluran transisi bangunan spillway


Sumber: Sosrodarsono (1977: 203)

Gambar 2.38 Kondisi aliran kritis di ujung hilir saluran transisi


Sumber: Sosrodarsono (1977: 205)

Dalam kondisi di ujung hulu dan di ujung hilir saluran transisi terjadi aliran
kritis yang mempunyai sifat yang tidak stabil, sehingga debitnya tidak stabil pula
sehingga menimbulkan beban hidrodinamika yang cukup besar terutama pada saluran
trnsisi yang panjang, maka elevasi dasar ambang hilir saluran transisi dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
65

v
2
v
(Elv. HL) + d e  e = (Elv. HR) + d c 2  c1 
2
 2
K v e1  v c 2
2
 h (2-118)
m
2g 2g 2g
dimana:
Elv. HL = Elevasi dasar ambang hulu
Elv. HR = Elevasi dasar ambang hilir
de = kedalaman aliran masuk ke dalam saluran transisi.
ve = kecepatan aliran masuk ke dalam saluran transisi.
dc = kedalam kritis pada ujung hilir saluran transisi.
vc = kecepatan aliran kritis pada ujung hilir saluran transisi.
K = koeffisian kehilangan tinggi tekanan yang disebabkan oleh perubahan
penampang lintang saluran transisi (0,1 - 0,2).
hm = kehilangan total tinggi tekanan yang disebabkan oleh gesekan.
2.3.7. Aliran Silang Pada Saluran Spillway (Cross Flow)
Aliran cross adalah aliran silang pada saluran spillway yang dapat berdampak
buruk pada konstruksi bangunan apabila tidak dikaji lebih dalam pada model test. Aliran
cross atau silang ini sering muncul ketika dimodelkan dalam model test. Secara umum
aliran ini sering dijumpai pada saluran transisi, pelebaran saluran setelah akhir saluran
peluncur, belokan saluran, serta pada akhir peredam energi.
Pada dasarnya aliran cross ini merupakan refleksi dari gelombang positif dan
refleksi gelombang negatif yang saling meniadakan. Refleksi gelombang itu muncul
diakibatkan adanya benturan air pada dinding saluran, hal ini terlihat jelas pada kondisi
aliran pada saluran peluncur saat model test. Selain tu, refleksi gelombang ini dapat
terjadi akibat penyempitan dan pelebaran dasar saluran. Aliran cross kerap kali dijumpai
akibat perbedaan tinggi dasar saluran kiri dan kanan.
2.3.7.1. Cross Flow Pada Penyempitan Saluran
Dasar pemikiran dalam merencanakan panjang saluran transisi penyempitan
ialah untuk meyakinkan bahwa garis gangguan positip ABC' dan A'BC bertemu
dengan dinding pada D dan D' seperti gambar diatas ini. Gangguan positip diperoleh
disebabkan oleh penurunan pada C dan C' meniadakan gangguan negatip yang berasal
dari D dan D' sebagai akibat alami dari dinding cembung. Sehingga, desain yang
demikian menghasilkan saluran hilir yang tenang. (Raju, 1986: 284)
66

Gambar 2.39 Susunan gelombang dalam kontraksi penyempitan dinding lurus


Sumber: Ranga Raju (1986: 285)

Adapun langkah-langkah perhitungan desain penyempitan saluran agar tidak


terjadi refleksi aliran cross adalah sebagai berikut:
1. Setelah diketahui nilai y 1, F1, B1, B3, maka selajutnya menentukan nilai θ

B3
dari grafik dibawah ini berdasarkan nilai .
B1

Gambar 2.40. Variasi nilai θ dalam kontraksi saluran


Sumber: Subramanya (1986: 313)
67

2. Berdasarkan nilai F1 dan nilai θ, kemudian dicari nilai β 1 dari grafik


dibawah ini.

Gambar 2.41 Nilai β terhadap nilai θ


Sumber: Subramanya (1986: 307)

3. Selanjutnya menghitung nilai y 2 dengan menggunakan persamaan dibawah


ini:
y2 tan 1
 (2-119)
y1 tan( 1   )
4. Menghitung bilangan F2 dengan menggunakan persamaan berikut ini:

 y1   2 1  y1   y 2  
2
2   y2
F2   . F1  . .  1.  1  (2-120)
 y 2   2  y 2   y1   y1  

5. Berdasarkan nilai F2 dan nilai θ, kemudian dicari nilai β 2 dari grafik 2.41
diatas.
y3
6. Menentukan nilai dengan menggunakan persamaan berikut ini:
y2
y3 tan  2
 (2-121)
y 2 tan(  2   )
68

7. Menghitung nilai y3 dengan menggunakan persamaan berikut ini:


y3 y 2
y3  . (2-122)
y 2 y1
8. Menghitung bilangan F3 dengan menggunakan persamaan berikut ini:

 y1   2 1  y1   y 3  
2
  y3
2
  
F3   . F1  . .    
 1. 
 1  (2-123)
 y3   2  y3   y1   y1  

Harga F3 >1 (aliran super kritis)


9. Menghitung panjang penyempitan saluran (L) dengan persamaan sebagai
berikut ini:
B1  B3
L (2-124)
2. tan 
10. Untuk melakukan pengecekan nilai F 3 digunakan asumsi debit yang masuk
dan keluar adalah sama pada saluran penyempitan, maka dapat ditulis
sebagai berikut ini:
Q1 = Q 2 (2-125)
B1. h 1. U1 = B3 .h 3. U3 (2-126)
3
B1 h 2 F 3
  3  . (2-127)
B3  h1  F1

2.3.7.2. Cross Flow Pada Pelebaran Saluran (Expansions Channel)


Jarak aliran cross pada pelebaran saluran cenderung lebih pendek dari
penyempitan saluran, hal ini dipengaruhi juga oleh kecepatan aliran (ʋ) lebih kecil
pada pelebaran saluran daripada penyempitan saluran.

Gambar 2.42 Pelebaran saluran


Sumber: Subramanya (1986: 315)
69

Adapun langkah-langkah perhitungan desain penyempitan saluran agar tidak


terjadi refleksi aliran cross adalah sebagai berikut:
1. Menentukan Bilangan F 1 dengan menggunakan persamaan berikut ini:
V1
F1  (2-128)
g. y1

B2 B
2. Menentukan nilai dan 2. B seperti gambar di bawah ini:
B1 1

Gambar 2.43 Lebar expantion saluran


Sumber: Ranga Raju (1986: 286)

B2 B
3. Bedasarkan nilai dan 2. B menentukan jarak panjang aliran cross
B1 1

dengan menggunakan grafik dan tabel di bawah ini.

Gambar 2.44 Profil tanpa dimensi dari ekspansi saluran superkritis


Sumber: Ranga Raju (1986: 286)
70

Tabel 2.9 Coordinat of the Reverse Curves In Supercritical Expansions Values

Sumber: Subramanya (1986: 318)


2.3.7.3. Cross Flow Pada Belokan Saluran
Apabila dalam saluran terdapat belokan, maka harus menggunakan belokan
dengan jari-jari besar (R = 4B). Saluran dengan kecepatan yang sangat tinggi dapat
menimbulkan gelombang benturan yang berupa refleksi aliran cross. Benturan pada
dinding bagian luar menimbulkan gelombang benturan hidrolis positif, sedangkan
benturan pada dinding bagian dalam menimbulkan gelombang benturan hidrolis
negatif.

Gambar 2.45 Penyebaran gelombang positif dan negatif


Sumber: Sosrodarsono (1977: 212)
71

Aliran air dengan kecepatan yang tinggi dan melewati saluran melengkung
menimbulkan kenaikan muka air di dinding luar saluran setinggi dua kali tinggi
kenaikan yang disebabkan oleh gaya sentrifugal pada daerah lengkung. Adapun
persamaan sudut inklinasi permukaan air di dinding lingkaran luar adalah sebagai
berikut:
2.V 2
tan  C  (2-129)
2. R
dimana:
θC = sudut inklinasi (derajat)
V = kecepatan (m/det)
R = jari-jari lengkung saluran (m)
Gelombang benturan atau yang sering disebut sebagai aliran cross pada belokan
dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
1. Dengan cara dasar saluran dibuat miring ke arah dalam dengan persamaan
berikut ini:
2
V1
tan   (2-130)
g.R
2. Dengan cara dasar saluran dibuat beberapa kurva majemuk dengan dimensi
rt=2r
 B 
 t  tan 1 .  (2-131)
  rt  0.5B . tan  0 
dimana:
θt = sudut tengah dari jalur pencegah beraturan hidrolis (derajat)
rt = radius jalur pencegah benturan hidrolis (m)
β0 = susut mach
2.3.8. Saluran Peluncur Pada Spillway Bendungan (chute way)
Saluran peluncur didesain mengalirkan aliran yang super kritis dengan Froude
antara 1 < F < 9. Kemiringan dasar saluran dibuat landai bagian atas dan semakin ke
hilir semakin curam, sehingga kecepatan aliran dipercepat secara berangsur-angsur dan
membentuk garis lengkung sedemikian rupa, sehingga berkas aliran super kritis yang
melintasi saluran tidak terangkat dari bidang dasar. Aliran pada saluran peluncur
didesain superkritis agar saluran peluncur mempunyai volume beton kecil dan bilangan
Froude tidak boleh lebih dari 9, hal ini dikarenakan bila F > 9 akan menyebabkan aliran
super kritis yang melintasi saluran terangkat dari bidang dasar dan menimbulkan bahaya
72

kavitasi yang akan menghancurkan permukaan dasar saluran, sedang getaran-getaran


yang timbul akan memberikan efek negatif bagi stabilitas saluran.
Selain itu dalam mendesain saluran peluncur pelimpah bendungan berbentuk
segi empat dan diusahakan saluran tidak mengalami belokan, bila kondisi topografi
memaksa harus adanya belokan maka belokan direncanakan dengan sudut yang lebar.
Profil muka air pada saluran peluncur gelombang alirannya sudah menurun dan relatif
berkurang dibanding pada bagian saluran transisi. Rumus pengaliran hidrolika pada
saluran peluncur secara teori dapat dihitung dengan pendekatan rumus kekekalan energi
antara dua pias, yaitu dengan pendekatan Hukum Bernoulli yang secara skematik dapat
dijelaskan sebagai berikut dengan y1 = d1 cosdan y2 = d2 cos:

Gambar 2.46 Penampang Memanjang Aliran Pada Saluran Peluncur


Sumber: Chow (1997: 239)

Z1 = So.∆x + y1 + z2 (2-132)

Z2 = y2 +z2 (2-133)

Kehilangan tekanan akibat gesekan adalah:


hf = Sf . ∆x = ½ ( S1 + S2 ) ∆x (2-134)
Karena pembagian kecepatan yang tidak sama pada penampang saluran, tinggi
kecepatan untuk aliran-saluran-terbuka biasanya lebih besar dari harga yang dihitung
berdasarkan rumus v2/2g, dengan v merupakan kecepatan rata-rata. Bila dalil energi
diterapkan, tinggi kecepatan yang sesungguhnya dapat dinyatakan sebagai V2/2g,
dengan  adalah Koefisien energi (energy coefficient) atau Koefisien coriolis seperti
pada tabel 2.10, maka persamaan di atas dapat ditulis:
73

2 2
V1 V2
Z1 + α1. = Z1 + α2. + hf + h e (2-135)
2g 2g

Tabel 2.10 Koefisien coreolis

Sumber: Chow (1985:28)


2.3.9. Kavitasi Pada Dasar Saluran Spillway
Kavitasi secara umum merupakan gejala yang timbul akibat pengaruh tekanan
air, kecepatan aliran dan tekanan uap setempat. Gejala kavitasi diperlihatkan dengan
adanya gelembung-gelembung udara yang muncul akibat keadaan saat tekanan air sama
dengan tekanan uap pada daerah setempat dan bergerak pada dasar saluran peluncur
dengan kecepatan aliran yang sangat tinggi, aliran yang super kritis ini membawa
gelembung-gelembung udara tersebut ke saluran yang bertekanan tinggi shingga
menyebabkan gelembung udara tersebut pecah. Akibat pecahnya gelembung uadara
tersebut pada saluran yang bertekanan tinggi menyebabkan air disekitar pecahnya
gelembung udara mengisi kekosongan udara itu dengan tekanan dorongan yang tinggi,
sehingga dapat membahayakan keamanan konstruksi dasar saluran peluncur spillway.
Untuk menghitung besarnya angka kavitasi, harus diketahui besarnya massa
jenis air dan tekanan uap yang mana kedua hal tersebut dipengaruhi oleh suhu pada saat
penelitian berlangsung. Adapun besarnya nilai massa jenis air dan tekanan uap
berdasarkan suhu dapat dilihat pada tabel 2.11 sebagai berikut:
74

Tabel 2.11. Hubungan temperatur dengan fisik air pada tekanan atmosfer (satuan SI)

Suatu bentuk persamaan untuk memperkirakan kavitasi berupa parameter tak


berdimensi, merupakan hubungan antara gaya pelindung terhadap kavitasi (ambient
pressure) dan penyebab kavitasi (dynamic pressure) disebut indeks kavitasi.
Perhitungan kavitasi dengan persamaan:
Po  Pv

Vo 2 (2-136)
p
2

P  Po
Cp 
Vo 2 (2-137)
P
2
Jika P  Pv , maka  1 = - Cp
 = indeks kavitasi
Po = ambient pressure (kPa)  1 kPa = 1000 N/m2
= Pa + Pg
Pa = tekanan atmosfir (=101 kPa)
Pg = tekanan setempat (kPa) =  . g . h
h = tinggi muka air (m)
Pv = tekanan uap (kPa)
 = massa jenis cairan (kg/m3)
Vo = kecepatan aliran (m/dt)
Cp = koefisien kavitasi
P = tekanan setempat (kPa
75

1 = angka batas kavitasi


Kriteria kavitasi:
  >  1 : tidak terjadi kavitasi
  >  1 : terjadi kavitasi
Salah satu penanganan kavitasi pada pelimpah bendungan adalah dengan cara
menambahkan udara dalam aliran agar kecepatannya dapat berkurang adalah dengan
memberikan ruangan udara (aerator). Aerator telah digunakan di berbagai bendungan di
dunia dan telah berhasil mengurangi kerusakan yang terjadi akibat kavitasi. Menurut
Soedibyo terdapat 4 (empat) cara penambahan uadara dari samping sebagai berikut ini:

Gambar 2.47 Empat cara penambahan udara dari samping


Sumber: Soedibyo (2003: 333)
2.3.10. Peredam Energi
Pada dasarnya pelimpah bendungan atau spillway adalah bagunan pelengkap
yang didesain untuk mengalirkan debit banjir yang apabila tidak dilimpaskan dapat
membahayakan keamanan tubuh bendungan itu sendiri. Pada saat air mengalir pada
saluran peluncur aliran mencapai kecepatan hingga superkritis, hal ini dapat merusak
kondisi alur sungai yang ada. Untuk itu di bagian akhir saluran peluncur perlu dibangun
bangunan yang dapat meredam energi aliran tersebut yang biasa disebut stilling basin
atau peredam energi. Dengan adanya stilling basin ini maka dapat mereduksi energi
aliran superkritis menjadi aliran sub kritis pada hilir saluran peluncur, sehingga pola alur
sungai yang sudah ada ketika debit air banjir yang dikeluarkan dari spillway ke sungai
tidak rusak dan tidak membahayakan daerah setempat. (Sosrodarsono, 1989:213)
Dalam mendesain bangunan peredam energi ini perlu dilakukan pengujian
terhadap debit-debit yang dilewatkan, hal ini debit kecil dan debit besar hingga debit
abnormal. Dalam pengujian debit kecil pada model test meliputi 1/4, 1/2, 3/4 dari debit
76

banjir rencana, sedangkan debit-debit yang lebih tinggi meliputi 1,2 dari debit banjir
rencana bahkan debit-debit abnormal.
Debit kecil juga harus diuji dalam perencanaan, hal ini disebabkan terkadang
debit kecil juga dapat menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan terhadap
kestabilan konstruksi peredam energi. Dalam perencanaan peredam energi
menggunakan Q100 th.
Menurut Suyono Sosrodarsono dalam bukunya “Bendungan Type Urugan”
peredam energi mempunyai berbagai tipe dan khusus untuk bendungan urugan biasanya
digunakan tipe-tipe sebagai berikut:
1) Tipe loncatan (water jump type)
Peredam energi tipe loncatan biasanya dibuat untuk sungai-sungai yang dangkal
(dengan kedalaman yang kecil dibandingkan dengan kedalaman loncatan hidrolis
aliran di ujung udik peredam energi). Akan tetapi tipe ini hanya cocok untuk sungai
dengan dasar yang kokoh. Demikian pula biaya pembuatannya cukup rendah, tetapi
efektivitas kerjanya lebih rendah dari tipe yang lain.
Sudut kemiringan dasar ujung hilir biasanya dibuat sekitar 20° dan cekungan di
udiknya dibuat dengan radius antara 10 dan 15 m, yang disesuaikan dengan jauhnya
loncatan yang diharapkan. Selain itu ujung hilirnya pada titik dimana aliran air
mulai meloncat dibuat membentuk sudut 90° dengan tujuan untuk dapat
meningkatkan kondisi ventilasi pada titik permulaan loncatan tersebut, karena
kondisi ventilasi yang kurang baik akan menimbulkan getaran-getaran tambahan
yang berarti akan menambah beban-beban hydrodinamika yang harus didukung oleh
konstruksi peredam energi tersebut dan disamping itu getaran tersebut akan
mengurangi efektifitas, kerja peredam energi seperti pada gambar 2.48 berikut ini.

Gambar 2.48 Bentuk Lengkungan Peredam Pada Energi loncatan


Sumber: Sosrodarsono, (1989: 215)
Pada rencana teknis detail peredam energi perlu pula diketahui perkiraan jarak
loncatan air serta posisi jatuhnya kembali diatas permukaan air sungai di hilirnya
77

dan bentuk loncatan air yang meninggalkan ujung hilir peredam energi dapat
diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
  sin 2  sin 2  4 cos 2    (2-138)
Dengan:
x
 (2-139)
H1  y 0

y
 (2-140)
H1  y 0

dimana:
H1 = total tinggi tekanan pada titik ujung hilir peredam energi
Φ = sudut kemiringan dasar ujung hilir peredam energi
y0 = perbedaan antara elevasi titik ujung hilir peredam energi dan elevasi
permukaan air sungai
Untuk mendapatkan harga ξ yang besar, maka rumus diatas harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

cot   1  (2-141)
2) Tipe kolam olakan (stilling basin type)
Secara umum tipe peredam energi ini adalah mereduksi energi yang ditimbulkan
oleh kecepatan aliran superkritis di hilir saluran peluncur dengan cara menimbulkan
olakan pada kolam, sehingga akan terjadi gesekan akibat pergeseran molekul-
molekul air pada kolam olakan tersebut.
Secara umum terdapat 3 (tiga) tipe utama kolam olakan, yaitu: kolam olakan
datar, kolam olakan miring ke hilir, kolam olakan miring ke udik. Namun rezim
hidrolika dan kondisi konstruksinya dapat diuraikan menjadi 4 (empat) tipe kolam
olakan yaitu sebagai berikut:
78

 Kolam olakan datar tipe I secara teori cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah ( Pw < 60 m)
2). Debit yang dialirkan kecil ( debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur < 4,50

Gambar 2.49 Kolam olakan datar tipe I


Sumber: Susrodarsono, (1989:217)
 Kolam olakan datar tipe II secara teoritis cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang sangat tinggi ( Pw > 60 m)
2). Debit yang dialirkan besar ( debit spesifik q > 45 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur > 4,50
79

Gambar 2.50 Kolam olakan datar tipe II


Sumber : Susrodarsono, (1989:218)
80

 Kolam olakan datar tipe III secara teoritis cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah ( Pw < 60 m)
2). Debit yang dialirkan kecil ( debit spesifik q < 18,5 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur > 4,50
4). Kecepatan aliran V< 18,0 m/dt

Gambar 2.51 Kolam olakan datar tipe III


Sumber : Susrodarsono, (1989:218)
 Kolam olakan datar tipe IV secara teoritis cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1). Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah ( Pw < 60 m)
2). Debit yang dialirkan relatif besar ( debit spesifik q > 18,5 m3/det/m)
3). Bilangan Froude di akhir saluran peluncur 2,5 s/d 4,50

Gambar 2.52 Kolam olakan datar tipe IV


Sumber : Susrodarsono, (1989:219)
81

Adapun rumus hidrolika struktur yang digunakan dalam perhitungan pada kolam
olakan datar antara lain adalah sebagai berikut:
 Bilangan Froude di akhir saluran peluncur
V1
F1  (2-142)
g . y1

 Kedalaman aliran setelah loncatan (kedalaman konjugasi)


y 2
y 2  1 1  8 F1  1 (2-143)
2

 Panjang loncatan hidrolis pada kolam olakan (Rangga Raju, 1986 : 194)

L = A (y2 – y1) (2-144)

Dimana A bervariasi dari 5,0 sampai 6,9 atau secara empirik dapat dugunakan grafik
pada gambar 2.53 berikut ini (Sosrodarsono, 1977:222).

Gambar 2.53 Panjang loncatan hidrolis pada kolam olakan datar tipe I, II dan III
Sumber: Sosrodarsono, (1977:222)
3) Tipe bak pusaran atau kolam pusaran (roller bucket type)
Secara umum tipe peredaman energi dengan bak pusaran pada prinsipnya sama
dengan kolam olakan datar yaitu dengan sistem hydraulic jump, namun dengan
lantai yang sangat pendek, yang bentuknya mirip dengan sistem peredaman sky
jump. Pada kenyataannya kondisi teknis bak pusaran secara detail masih banyak
yang belum diketahui dengan jelas, seperti efektifitas pereduksiannya, kondisi
alirannya dan aspek-aspek lainnya.
82

Gambar 2.54 Peredam energi tipe Bak pusaran.


Sumber: Sosrodarsono, (1977:226)
2.4. Metode Analisa Stabilitas Konstruksi
Agar bangunan pelimpah dan peredam energi dapat berdiri dengan kokoh, maka
perlu analisa mengenai kestabilan konstruksinya. Secara umum kestabilan konstruksi
banguan pelimpah dan peredam energinya tergantung pada konstruksi bangunan itu
sendiri dan ditentukan juga oleh kekuatan daya dukung tanah pondasi yang harus
menahan beban bangunan tersebut. Kekuatan tanah bergantung pada jenis dan sifat-
sifatnya serta kelakuannya terhadap pengaruh-pengaruh luar. Adapun faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap stabilitas keamanan konstruksi bangunan pelimpah adalah sebagai
berikut:
1. Faktor keamanan konstruksi terhadap guling
2. Faktor keamanan konstruksi terhadap geser
3. Faktor keamanan konstruksi terhadap eksentrisitas
4. Faktor keamanan konstruksi terhadap daya dukung tanah pondasi
5. Faktor keamanan ketebalan lantai saluran terhadap uplift
Dalam perencanaan stabilitas konstrusi bangunan perlu dilakukan anggapan atau
asumsi keadaan normal (tanpa gempa) dan keadaan gempa. Adapun setiap keadaan
diatas tadi masih perlu diadakan tinjauan kondisi saat saluran kosong, banjir Q 1000 th dan
Q PMF . Dengan pertimbangan bentuk penampang konstruksi pelimpah, mulai dari
penampang profil pelimpah sampai peredam energi, maka dalam perhitungan stabilitas
konstruksi akan dipilih bagian saluran yang dianggap dapat mewakili kondisi yang
paling rawan terhadap keruntuhan yaitu bagian tubuh pelimpah (profil pelimpah) dan
bagian peredam energi. Sedangkan untuk perhitungan faktor keamanan ketebalan lantai
saluran terhadap uplift ditinjau pada bagian lantai saluran pengarah dan bagian lantai
83

peredam energi, mengingat pada bagian konstruksi ini menerima beban paling berat
terhadap uplift.
Menurut Suyono Sosrodarsono dalam buku “Pengaturan dan Perbaikan Sungai”
dalam perhitungan stabilitas pelimpah gaya–gaya yang bekerja adalah sebagai berikut:
1. Beban vertikal (gaya berat dari pelimpah sesuai dengan bentuk dan dimensi serta
berat tanah jenuh air diatas bidang konstruksi yang ditinjau)
2. Tekanan air (statis dan dinamis)
3. Tekanan tanah (aktif dan pasif)
4. Tekanan angkat atau gaya angkat air (up lift)
5. Kekuatan gempa (beban seismik) yang diperhitungan secara horisontal, dihitung
dengan mengalikan beban vertikal.

Gambar 2.55. Kondisi pembebanan pelimpah


Sumber: Sosrodarsono, (1994:215)
84

2.4.1 Stabilitas Terhadap Guling


Dalam perhitungan stabilitas terhadap bahaya guling perlu dilakukan anggapan
kondisi bangunan pelimpah dalam keadaan normal dan saat gempa terjadi, sehingga
kerusakan bangunan dapat terhindarkan. Dalam kondisi normal (tanpa gempa) dan
kondisi gempa dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini:
 Kondisi normal (tanpa gempa) menggunakan faktor keamanan sebagi berikut
Mt
SF = Mg
> 1,5 (2-145)

 Kondisi gempa adalah menggunakan faktor keamanan sebagi berikut


Mt
SF = Mg > 1,1 (2-146)

dimana:
SF = angka keamanan (safety factor, SF)
Mt = momen tahan (ton . m)
Mg = momen guling (ton . m)
2.4.2 Stabilitas Terhadap Geser
Kestabilan konstruksi terhadap geser atau gelincir yang disebabkan oleh gaya
horisontal aktif atau gaya geser dihitung dengan rumus:

SF =
 V . tan 
C . A' 
(2-147)
H
dimana:
SF = faktor keamanan
 V = jumlah gaya vertikal (ton)
 H = jumlah gaya horisontal (ton)
C = adhesi antara dasar pondasi dengan tanah pondasi (t/m2)
A’ = luas pembebanan efektif
tan  = sudut geser dalam
Dalam bentuk sederhana persamaan kestabilan konstruksi terhadap geser atau
gelincir adalah sebagai berikut:
f . V
SF = (2-148)
H
Dimana untuk keadaan normal, SF ≥ 1,50 dan untuk keadaan gempa SF ≥ 1,10
85

Gambar 2.56 Diagram gaya geser pada pelimpah


Sumber: Sosrodarsono, (1994:217)

Tabel 2.12 Koefisien geser ( f = tan  )

Sumber : Sosrodarsono, (1984 : 196)


Selanjutnya dalam aplikasi secara praktis koefisien geser antara dasar pondasi
dengan tanah pondasi dapat digunakan pendekatan sebagai berikut:
Tabel 2.13 Sudut geser serta kohesi antara dasar pondasi dengan tanah pondasi
Kondisi Sudut geser (koefisien Kohesi
geser, f = tan  ) CB
Tanah dengan beton B   2
3
CB = 0
Batuan dengan beton tan  B  0,60 CB = 0
Tanah dengan tanah atau B   CB = C
batuan dengan batuan
Sumber : Sosrodarsono, (1980 : 87)
2.4.3 Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah
Kontrol stabilitas terhadap daya dukung ditentukan berdasarkan anggapan
bahwa tanah pondasi merupakan bahan elastis:

e
 Mv   Mh  L
V 2
(2-

149)
86

1. Jika e < L/6, maka:

 max/ min 
V (1
6.e
)  (2-150)
A B
2. Jika e > L/6, maka:
2 V
 max n   (2-151)
LX
b
X 3( e ) (2-152)
2
dimana :
 = besarnya reaksi daya dukung tanah (t/m2)
e = eksentrisitas pembebanan
 = daya dukung tanah ijin
V =jumlah gaya vertikal (ton)
B = lebar pondasi (m)
A = luas dasar pondasi per meter panjang (m2)
X = lebar efektif dari kerja reaksi pondasi
Dalam studi ini, daya dukung ijin ditentukan berdasarkan persamaan:
qu

Fs
(2-153)
q u   c N c    B N    Df N q (2-
154)
dimana:
Qu = daya dukung batas
Fs = faktor keamanan
,  = faktor bentuk pondasi
C = kohesi tanah
Nc , N , Nq = koefisien daya dukung
Df = kedalaman pondasi
2.4.4 Tekanan angkat (up lift)
Tekanan angkat (up lift) terjadi disebabkan oleh perbedaan elevasi muka air hulu
dan hilir yang bekerja pada dasar pondasi. Sedangkan pada tubuh pelimpah digunakan
persamaan sebagai berikut: Sosrodarsono (1994 : 216)
87

Up = h1 – (lp/lo) H + d (2-155)
dimana:
Up = tekanan uplift (ton)
h1 = tinggi air di hulu (m)
h2 = tinggi air di hilir (m)
lp = panjang lintasan air rembesan (m)
lo = panjang total lintasan air rembesan dari titik G ke titik tertentu (m)
H = perbedaan muka air hulu dan hilir pelimpah (m)
d = tebal lantai lindung / kedalaman pondasi (m)
Lane mengusulkan untuk menghitung panjang lintasan air rembesan pada
tanah pondasi pada arah horisontal menggunakan sepertiga lintasan rembesan
horisontal.
2.4.5 Angka keamanan untuk tebal lantai

SF =
V (2-156)
U
dimana:
V = jumlah gaya vertikal (ton)
U = jumlah gaya up-lift (ton)
Dimana untuk keadaan normal, SF ≥ 1,50 dan untuk keadaan gempa SF ≥ 1,10
2.4.6 Dasar perhitungan pembebanan
2.4.6.1 Beban Vertikal
Dalam perhitungan pembebanan ditinjau dari gaya-gaya yang bekerja pada
pelimpah secara vertikal adalah
a. Berat Bangunan
W = bahan . An (2-157)
dimana:
W = berat sendiri (ton)
bahan = berat jenis bahan (t/m3)
b. Tekanan Angkat (Uplift)
Tekanan angkat (up lift) terjadi disebabkan oleh perbedaan elevasi muka air hulu
dan hilir ambang pelimpah yang bekerja pada dasar pondasi. Untuk menghitung tekanan
angkat ini dapat digunakan rumus:
 w .H 1   w .H 2
Up  A (2-158)
2
88

dimana:
Up = tekanan uplift (ton)
H1 & H 2 = tinggi air pada bagian hulu dan hilir pelimpah (m)
A = Luas penampang per meter lebar (m 2 )
c. Berat air
W = V . w (2-159)
dimana:
W = berat air (ton)
V = volume air (m3)
w = berat jenis air (ton/m3)
2.4.6.2 Beban Horizontal
Sedangkan perhitungan pembebanan ditinjau dari gaya-gaya yang bekerja pada
pelimpah secara horizontal yaitu:
a. Tekanan hidrostatis
Tekanan hidrostatis (Pw) merupakan gaya tekanan air yang terbendung

Pw  1  w H 2 (2-160)
2
dimana:
Pw = tekanan air statis (ton)
w = berat jenis air (ton/m3)
H = kedalaman air (m)
b. Tekanan hidrodinamis
7
Pd   w KH . H 2 2 (1  Z 1,5 )
12
(2-161)
  3 1 z
2.5

Y  H 2 . 1    . 
5 1 z
1.5
 
(2-162)
dimana:
Pd= tekanan air statis (ton)
w= berat jenis air (ton/m3)
KH = kedalaman air (m)
H1 = tinggi air diatas crest (m)
H2 = tinggi air dari dasar (m)
89

Z = rasio perbandingan untuk H1/H2


Y = jarak terhadap pusat tekanan (m)
c. Tekanan Tanah Aktif
H
Pa =  Zo
pa dZ

= ½ Ka  ( H 2  Zo 2 )  2C ( Ka ) ( H  Zo ) (2-163)
dimana:
Pa = tekanan tanah aktif (ton)
 = berat jenis tanah (ton/m3)
H = tinggi tanah (m)
Zo = kedalaman dari 2C ( Ka ) (m)

2C
=  Ka
(m)

C = kohesi tanah (ton/m2)


Ka = koefisien tekanan tanah aktif
1  sin 
= 1  sin 

 
= tan 2  45 o  
 2
 = sudut geser dalam tanah ()
d. Tekanan Tanah Pasif
H
Pp =  o
Pp dZ

= ½ Kp  . H 2  2C ( Kp ) H (2-164)
dimana:
Pp = tekanan tanah pasif (ton)
 = berat jenis tanah (ton/m3)
H = tinggi tanah (m)
C = kohesi tanah (ton/m2)
1  sin 
Kp = koefisien tekanan tanah pasif = 1  sin 

 = sudut geser dalam tanah ()


90

2.4.7 Gaya akibat pengaruh gempa


Berat bangunan
We = W . kh (2-165)
dimana:
We = gaya akibat pengaruh gempa (ton)
W = berat sendiri bangunan (gaya vertikal) (ton)
kh = koefisien gempa horisontal (asumsi , kh = 0,15)
2.4.8 Daya dukung ijin tanah (  )
Persamaan yang dipakai adalah rumus Ohsaki (Sosrodarsono, 1983:33):
qu  .C.Nc   . .B.N   .Df .Nq
 =  (2-166)
SF 3
dimana:
 = Daya dukung ijin tanah (ton/m2)
qu = Daya dukung ultimate (ton/m2)
SF = Angka keamanan (safety factor, SF) = 3
 = Faktor bentuk pondasi (Tabel 2.17)
 = Berat isi tanah dalam kondisi jenuh ,  sat (ton/m3)
C = Kohesi tanah (ton/m2)
Df = Kedalaman pondasi (m)
B = Lebar pondasi (m)
Nc , N , Nq = Koefisien daya dukung tanah dari OHSAKI
fungsi dari sudut geser dalam tanah (angle of repose , Ø )
Tabel 2.14 Faktor bentuk pondasi

Sumber : Sosrodarsono (1994 : 33)


91

Tabel 2.15 Koefisien daya dukung tanah dari OHSAKI

Sumber : Sosrodarsono (1994 : 33)

2.5. Perencanaan Desain Konstruksi Pelimpah (Pembetonan Dan Penulangan)


Beton adalah campuran semen, agregat halus, agregat kasar, air, dan terkadang
campuran lainya. Bila baja penguat ditempatkan di dalam suatu acuan dan campuran
beton yang basah dituangkan di sekitar baja hingga massa mengeras menjadi beton
bertulang. Dengan kata lain, beton bertulang merupakan gabungan logis dari dua jenis
bahan yaitu beton polos yang memiliki kekuatan tekan yang tinggi akan tetapi kekuatan
tarik yang rendah, dan batangan-batangan baja yang ditanaman didalam beton dapat
memberikan kekuatan tarik yang diperlukan. (Wang dkk, 1993:1)
Salah satu bahan campuran beton adalah semen. Semen merupakan suatu jenis
bahan yang memiliki sifat adhesif dan kohesif yang memungkinkan melekatnya
fragmen-fragmen mineral menjadi suatu massa yang padat. Dalam suatu pembuatan
beton sekitar 75% isi total beton ditempati oleh agregat. Secara umum, agregat terdiri
dari agregat halus (pasir) dan agregat kasar (kerikil).

Gambar 2.57 Komponen-komponen dari suatu adukan beton


Sumber: Ferguson (1991 : 6)
92

Disamping semen, agregat kasar dan halus, dan air, bahan-bahan lainnya yang
dikenal sebagai campuran (admixture) dapat ditambahkan kepada campuran beton
segera sebelum atau ketika sedang mencampur. Campuran dapat dipakai untuk
merubah sifat dari beton agar dapat berfungsi lebih baik atau agar lebih ekonomis.
Beberapa kegunaan yang penting dari campuran adalah sebagai berikt (Wang dkk,
1993:8):
1. Meninggikan daya tahan terhadap kemunduran mutu akibat siklus dari
pembekuan-pencairan dan dari penggunaan garam pelumer es.
2. Meninggkan kelayanan tanpa menambah atau mengurangi kadar air dengan
kelayanan yang sama (bahan yang ditumbuk halus termasuk pozzolan,
seperti abu lepas).
3. Untuk mempercepat perkembangan kekuatan pada usia dini (calcium
chlorida)
4. Memperlambat perkembangan dan dengan demikian mengurangi evolusi
suhu.
5. Meninggikan kekuatan (campuran pengurang air dan pengendali)
Kekuatan tekan beton ditentukan oleh pengaturan dari perbandingan semen,
agregat kasar dan halus, air dan berbagai jenis campuran. Semakin rendah
perbandingan air-semen, semakin tinggi kekuatan tekan. Air dengan jumlah tertentu
diperlukan untuk memberikan aksi kimiawi di dalam pengerasan beton, sedangkan
kelebihan air meningkatkan kemampuan pengerjaan tetapi menurunkan kekuatan.
Kekuatan tekan beton di lambangkan dengan f’c.
Kekuatan tarik beton merupakan sifat yang penting yang mempengaruhi
perambatan dan ukuran dari retak di dalam struktur. Kekuatan tarik adalah suatau sifat
yang lebih bervariasi dibandingkan dengan kekuatan tekan beton. Besarnya sekitar 10
samapai 15% dari kekuatan tekan. Kekuatan tarik beton di lambangkan dengan fct.
Kekuatan geser beton adalah besar, bervariasi antara 35 sampai 80% dari
kekuatan tekan. Nilai geser hanya berarti dalam keadaan yang tidak biasa, karena
geser biasanya harus dibatasi sampai ke nillai-nilai yang jauh lebih rendah supaya
dapat melindungi beton terhadap tegangan-tegangan tarik diagonal. (Ferguson dkk,
1991:12)
Faktor-faktor pembebanan (load factors) terdiri dari beban hidup (life load)
dan beban mati (dead load). Untuk pembebanan mati dan hidup ditetapkan untuk
93

beban-beban, geseran-geseran, dan momen-momen yang dikalikan faktor didapat dari


beban-beban izin dengan menggunakan hubungan seperti di bawah ini.
U = 1,2D + 1,6L (2-167)
dimana:
U = kekuatan yang diperlukan untuk beban-beban yang dikalikan faktor
D = beban mati yang diizinkan
L = beban hidup yang diizinkan
Apabila beban angin (W) dimasukkan maka pembebanan total mungkin lebih
buruk, tetapi kemungkinan beban maksimum angin yang terjadi suatu beban yang
berkelebihan (overload) baik beban mati maupun beban hidup yang ada adalah lebih
kecil dari kemungkinan adanya beban-beban yang berlebihan sendiri saja. Oleh karena
itu, menggunakan suatu faktor 0,75 terhadap jumlah ketiga beban tersebut.
U = 0,75.(1,2D + 1,6L+1,6W) (2-168)
Dalam perencanaan kekuatan beton (strength desaign method) beban kerja
dinaikkan dengan beberapa faktor untuk mendapatkan beban. Metode perencanaan
kekuatan beton dapat dinyatakan “kekuatan yang tersedia ≥ kekuatan untuk memikul
beban berfaktor”.
2.5.1. Perencanaan Plat Beton Untuk Tubuh, Pondasi, Lantai Pelimpah
Berdasarkan SKSNI T-15-1991-03 bahwa dalam perencanaan plat perlu didesain
pula jumlah dan diameter serta jarak antar tulangannya sehingga plat dapat menahan
beban-beban yang melewatinya, baik beban mati maupun beban hidup pelimpah
tersebut.
Berdasarkan SKSNI T-15-1991-03 adapun langkah-langkah dalam perencanaan
pembetonan pelimpah secara umum sebagai berikut ini:
1. Direncanakan nilai h, b, P, β, MA
2. Menghitung tebal efektif (d) dengan persamaan sebagai berikut:

d = h – p – φbagi – 0,5φutama (2-169)

3. Menghitung (d’) dengan persamaan sebagai berikut:

d’ = p + φbagi + 0,5φutama (2-170)

4. Nilai perbandingan antara d’ dengan d:


5. Menghitung momen tumpuan (K) dengan persamaan sebagai berikut:
MA
K= ρ (2-171)
b.d 2
94

6. Kemudian menghitung luas tulangan total (Astotal), kemudian memilih batang


tulangan pokok dari tabel dengan persamaan sebagai berikut:
Astotal = ρ . b . d (2-172)
7. Kemudian menghitung regangan yang terjadi dalam tulangan baja tarik bila
regangan beton mencapai 0,003:
a = (As . fy) / (0,85 . f’c . b) (2-173)
c = a / β(2-168)
8. Kontrol:
z = (d – (0,425 . c)) (2-174)
fy/Es < εs OK

Anda mungkin juga menyukai