ACARA I
JARING PENGUKURAN HUJAN DAN HUJAN WILAYAH
Oleh:
Nama : Muchammad Septian Dwi Aldiansyah
NIM : 170722637046
Offr : H/2017
Dosen pengampu : Ferryati Masitoh, S.Si, M.Si
Asisten Praktikum : Ilham Diki Pratama
PRODI S1 GEOGRAFI
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2019
ACARA I
JARING PENGUKURAN HUJAN DAN HUJAN WILAYAH
I. TUJUAN
1. Praktikan dapat melakukan perhitungan jumlah optimum stasiun
hujan.
2. Praktikan dapat melakukan perhitungan hujan wilayah menggunakan
Metode Aritmetik, Metode Poligon Thiessen, dan Metode Isohyet.
3. Praktikan dapat melakukan pembuatan peta polygon thiessen dan peta
isohyet.
Keterangan:
N : jumlah stasiun hujan
Cv :koefisien variasi hujan didasarkan pada stasiun hujan yang ada
E : persentase kesalahan yang diijinkan
P : hujan rerata tahunan
: hujan rerata dari n stasiun
n : jumlah stasiun hujan yang ada
σ : standar deviasi
Untuk menghitung curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran sungai
(DAS), Terdapat 3 metode yang dapat digunakan ,yaitu metode rata-rata
aritmatik(aljabar), metode poligon Thiessen dan metode Isohyet (Loebis,
1987)
1. Metode Rata– rata Aritmatik(Arithmetic Mean Method)
Metode rata–rata aritmatik merupakan meode yang paling sederhana.
Tinggirata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata
hitung (arithmetic mean method ) pengukuran hujan di pos penakar-penakar
hujan di dalam arealtersebut. Menurut Soewarno (2000) metode ini hanya
disarankan untuk kondisi DPS dengan topografi pedataran(flat topography)
dengan jumlah pos hujan cukup banyak dan lokasinya tersebar
merata(uniformly distributed) pada lokasi yang terwakili. Apabila
persyaratan itu tidak terpenuhi maka metode ini akan memberikan hasil
perhitungan yang tidak teliti.
Untuk menghitung curah hujan digunakan rumus sebagai berikut:
d= (d1 + d2 + d3+ … + dn) n-1
Dimana :
d = tinggi curah hujan rata-rata (mm)
d1, d2, d3, … dn = tinggi curah hujan pada pos penakar (mm)
n = banyaknya pos penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Poligon Thiessen Curah hujan rerata daerah menggunakan metode
Poligon Thiessen dengan cara memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun
hujan karena setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu
daerah dengan luas tertentu dan memberikan faktor koreksi bagi hujan di
stasiun yang bersangkutan (Harto, 1993, p.64). Perbandingan luas Poligon
untuk setiap stasiun yang besarnya An/A, memberi rumusan sebagai berikut:
Aa.Pa+Aa.Pa+⋯+An.Pn
R= ............................ (1)
A1+A2+⋯+An
dengan:
P = Tinggi hujan daerah rata-rata
Pa…Pn= Tinggi hujan ditiap titik pos curah hujan
Aa…An = Luas daerah Thiessen yang mewakili titik pos curah hujan
N = Jumlah pos curah hujan
Penerapan metode ini tidak mempertimbangkan bentuk topografi
DPS,sehingga tidak disarankan digunakan pada DPS yang berbukit– bukit
atau bergunung–gunung karena adanya pengaruh orografis terjadinya hujan.
Disamping itu jika terjadi penambahan atau pengurangan jumlah pos atau
pemindahan jumlah pos hujan akan mengubah luas jaringan poligon.
3. Metode Isohyet
Ishoyet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang
mempunyai kedalaman hujan pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara
hitungan sama dengan yang digunakan dalam cara Poligon Thiesen,
perbedaannya hanya dalam penetapan besarnya faktor α dan Hi. Hi adalah
hujan rata-rata antara dua ishoyet, sedangkan faktor α adalah perbandingan
luas DAS antara dua ishoyet dan luas total DAS (Sosrodarsono, 1977).
Menurut soewarno (2000), Penggambaran setiap garis isohiet dari suatu DPS
harusmempertimbangkan faktor topografi dan faktor lainnya yang
berpenfaruh terhadap sebaran hujan.
V. HASIL PRAKTIKUM
a. Pengukuran Jaringan Hujan (Terlampir)
b. Perhitungan Metode Rata-rata Aritmetik (Terlampir)
c. Perhitungan Metode Polygon Thiessen (Terlampir)
d. Perhitungan Metode Isohyet (Terlampir)
e. Gambar Peta Metode Poligon Thiessen (Terlampir)
f. Gambar Peta Metode Isohyet (Terlampir)
VI. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini membahas tentang jaring pengukuran hujan
dan hujan wilayah. Praktikum ini menggunakan data curah hujan tahunan
di sebagian SWS Bengawan Solo dengan total stasiun penakar hujan
sebanyak 10 pos, yakni stasiun Jejeruk, stasiun Purwantoro, stasiun
Madiun, stasiun Wonogiri Dam, stasiun Ngrambe, stasiun Wonogiri,
stasiun Ngawi, stasiun Pabelan, stasiun Tawangmangu, dan stasiun
Kalijambe. Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah
hujan tahunan yang diambil selama 24 tahun, dimulai dari tahun 1975
sampai tahun 1999. Untuk melakukan perhitungan jaring pengukuran
hujan dapat dilakukan dengan cara menentukan jumlah stasiun hujan
optimum, sedangkan untuk melakukan perhitungan hujan wilayah dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga metode yakni Metode Rata-Rata
Aritmetik, Metode Poligon Thiessen, dan Metode Isohyet.
Berdasarkan perhitungan jaring pengukuran hujan yang telah
dilakukan, diperoleh hasil jumlah optimum stasiun hujan adalah sebesar
4 dari jumlah factualnya yang ada sebanyak 10 pos. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa jumlah stasiun penakar hujan yang berada di
sebagian SWS Bengawan Solo tersebut sudah optimum, sehingga jumlah
stasiun hujan di daerah tersebut sudah dapat mencakup seluruh wilayah
pada kawasan SWS tersebut. Diperoleh hasil sebesar 4 stasiun tersebut
dikarenakan faktor kesalahan yang diizinkan adalah sebesar 10%,
semakin sedikit faktor kesalahan yang diizinkan maka semakin sedikit
pula jumlah stasiun yang diperoleh dari perhitungan tersebut dan begitu
pula sebaliknya.
Selanjutnya, dalam melakukan perhitungan hujan wilayah
digunakan tiga metode yaitu Metode Aritmetik, Metode Poligon
Thiessen, Metode Isohyet. Metode pertama yakni metode Aritmetik,
metode ini dapat menentukan curah hujan rata-rata DAS dengan cara
menjumlahkan seluruh curah hujan dari semua stasiun kemudian
membaginya dengan banyaknya stasiun penakar hujan. Metode ini cocok
digunakan pada daerah yang relative datar dengan jumlah stasiun
penakar hujan yang cukup banyak dan curah hujan yang merata.
Berdasarkan perhitungan metode aritmetik yang telah dilakukan,
diperoleh hasil perhitungan yakni rata-rata curah hujan tahunan selama
24 tahun pada sebagian SWS Bengawan Solo adalah sebesar 2563,144
mm.
Metode selanjutnya adalah Metode Poligon Thiessen. Rata-
rata curah hujan metode ini diperoleh dari polygon yang terbentuk dari
menghubungkan garis dan titik tengah pada setiap stasiun hujan.
Berdasarkan hasil pemetaan dan perhitungan yang telah dilakukan,
diperoleh hasil perhitungan metode polygon thiessen yakni sebesar
2353,308 mm. Metode ini cocok pada daerah yang memiliki distribusi
pos penakar hujan yang tidak merata dengan mempertimbangkan luas
daerah pengaruh dari tiap stasiun penakar, namun metode ini tidak cocok
apabila daerah tersebut memiliki bentuk topografi yang berbukit– bukit
atau bergunung–gunung karena adanya pengaruh orografis terjadinya
hujan. Selain itu, penambahan atau pengurangan jumlah pos atau
pemindahan jumlah pos hujan akan mengubah luas jaringan poligon.
(Soemarto, 1999). dari pernyataan tersebut, maka metode ini kurang
cocok dengan kondisi geografis yang ada di daerah SWS Bengawan
Solo. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut dilalui oleh relief
gunung lawu dan gunung ngliman yang memiliki bentuk topografi
bergunung-gunung.
Metode yang terakhir adalah Metode Isohyet. metode ini
dilakukan dengan cara menghubungkan tempat-tempat yang memiliki
curah hujan yang sama, dimana pada SWS Sebagian Bengawan Solo
rata-rata curah hujan terendah adalah sebesar 1703mm pada stasiun
Madiun dan curah hujan tertinggi adalah sebesar 3560,92mm pada
stasiun Ngrambe. Rata-rata Curah hujan diperoleh dengan melakukan
perkalian antara total rata-rata curah hujan antar dua garis isohyet pada
setiap interval garis isohyet dengan jumlah luas seluruh cakupan DAS.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan metode Isohyet,
diperoleh hasil rata-rata curah hujan yakni sebesar 2485,89 mm. Metode
ini cocok untuk daerah yang memiliki topografi yang berbukit-bukit dan
pegunungan, sehingga sangat cocok untuk digunakan dalam melakukan
pengukuran hujan wilayah pada daerah SWS sebagian Bengawan Solo
tersebut yang memiliki relief bergunung-gunung.
Berdasarkan hasil perhitungan hujan wilayah yang telah dilakukan,
terdapat perbedaan curah hujan pada setiap metode, yakni pada metode
aritmetik sebesar 2563,144 mm, metode polygon thiessen sebesar
2353,308 mm, dan metode isohyet sebesar 2485,89 mm. perbedaan hasil
tersebut merupakan hasil dari faktor pertimbangan pada setiap metode,
sehingga tiap metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-
masing.
VII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil jaring pengukuran pada perhitungan jumlah
optimum hujan di sebagian SWS Bengawan Solo, diperoleh jumlah
stasiun optimum pada kawasan tersebut sebesar 4 dari jumlah
factualnya yang ada sebanyak 10 pos. sehingga jumlah stasiun hujan
pada daerah tersebut sudah optimum dan dapat mencakup seluruh
kawasan tersebut.
2. Berdasarkan hasil perhitungan hujan wilayah, diperoleh hasil pada
metode aritmetik yakni sebesar 2563,144 mm, metode polygon
thiessen yakni sebesar 2353,308 mm, dan metode isohyet sebesar
2485,89 mm.
3. Pembuatan peta metode polygon thiessen dilakukan dengan
menghubungkan setiap stasiun dengan garis kemudian menarik titik
tengah pada setiap garis tersebut sehingga dapat terbentuk polygon-
poligon yang menunjukkan cakupan tiap stasiun penakar hujan.
Sedangkan pada metode isohyet dilakukan dengan menghubungkan
tempat-tempat yang memiliki curah hujan yang sama, sehingga dapat
terbentuk kontur-kontur dari curah hujan terendah ke yang tertinggi.