Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Siklus Hidrologi
Air di bumi mengalami suatu perputaran melalui serangkaian peristiwa yang
berlangsung secara terus-menerus dan membentuk suatu siklus yang dikenal dengan
siklus hidrologi (Hydrological cycle). Siklus hidrologi secara alamiah dapat ditunjukan
seperti pada gambar 2.1 yaitu menujukan gerakan air permukaan bumi. Selama
berlangsung siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfir
kemudian ke permukaan tanah dan kemali lagi ke laut yang tidak pernah habis tersebut,
air akan tertahan sementara di sungai, waduk/ danau, dalam tanah sehingga dapat
dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lainya.

Gambar 1. Siklus Hidrologi

B. Sistem Penyaliran Tambang

Sistem penyaliran tambang adalah suatu sistem yang dilakukan untuk mencegah
masuknya aliran air ke dalam lubang bukaan tambang atau mengeluarkan air yang telah
masuk ke dalam lubang bukaan tambang (pit). Sistem penyaliran tambang yang baik
adalah suatu sistem pengaliran air tambang yang dapat mengarahkan aliran air tersebut
agar tidak mengganggu kegiatan penambangan. Air dalam jumlah yang besar merupakan
permasalahan besar dalam pekerjaan penambangan, baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap produktivitas. Sumber air yang masuk ke lokasi
penambangan, dapat berasal dari air permukaan tanah maupun air bawah tanah.
(Nauli F.,2014)
Air tambang yang tidak ditanggulangi dengan baik, dapat mengganggu operasi
penambangan. Salah satu kegiatan tambahan pada usaha penambangan adalah penyaliran
yang berfungsi untuk mencegah masuknya air (Mine Drainage) dan mengeluarkan air
yang telah masuk daerah penambangan (Mine Dewatering).
Kemajuan tambang menyebabkan sistem penyaliran ikut berubah dan debit air yang
harus ditanggulangi semakin besar, sehingga jumlah pompa yang harus dioperasikan
menjadi bertambah. Minimalisasi jumlah pompa dapat dilakukan dengan
memaksimalkan upaya pencegahan terhadap air tambang yang berasal dari air permukaan
tanah. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penambahan pembuatan saluran
terbuka (Prayuditha, M.F., 2013).
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam merancang sistem penyaliran pada
tambang terbuka adalah :
1. Curah hujan
Curah hujan adalah jumlah atau volume air hujan yang jatuh pada satu satuan luas

tertentu, dinyatakan dalam satuan mm. 1 mm berarti pada luasan 1 m 2 jumlah air hujan
yang jatuh sebanyak 1 Liter. Sumber utama air permukaan pada suatu tambang terbuka
adalah air hujan (Putri Y.E., 2014)
Komponen hujan pada daerah penambangan merupakan komponen masukan paling
penting yang mempengaruhi kondisi hidrologi tambang. Untuk mendapatkan besar curah
hujan maka dilakukan pengukuran dengan alat ukur curah hujan, dalam hal ini adalah
alat penakar hujan. Alat penakar hujan dapat dibedakan menjadi :

a) Alat penakar hujan manual yang mempunyai luas bukaan sebesar 200 cm2 dan di
letakkan kurang lebih 1 meter dari permukaan tanah.
b) Alat penakar hujan otomatis.

Dengan alat penakar hujan manual umumnya pengukuran dilakukan sekali dalam
sehari, biasanya pada jam 07.00, dengan demikan akan didapat curah hujan harian.
Sedangkan alat penakar hujan otomatis pengukuran dilakukan secara berkesinambungan,
sehingga dihasilkan data curah hujan yang akurat (Amin M.,2002)
a. Curah Hujan Rata-rata
Perhitungan curah hujan rata-rata dimaksudkan untuk mendapatkan nilai
curah hujan rata-rata Daerah Tangkapan Air (DTA), yang merupakan hasil
penggabungan nilai curah hujan yang diperoleh dari stasiun-stasiun
pengamatan curah hujan dengan metode tertentu (Hilaludin dan Joko, 2011). Adapun
metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata ada beberapa cara
(Sosrodarsono dan Takeda, 2003) :
1. Metode Rata-Rata Aljabar (Metode
Arithmatic)
Metode metode rata-rata aljabar dapat menghasilkan data yang baik bila
daerah pengamatannya datar, penempatan alat ukur tersebar merata, dan besarnya
curah hujan tidak bervariasi. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana,
yaitu dengan menjumlahkan curah hujan dari semua tempat pengukuran selama
satu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya
stasiun pengukuran curah hujan. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan :

= = (1)
….

Keterangan : p = curah hujan rata rata(mm)

p1…..pn = besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun( mm)

n= banyaknya sta siun hujan

2. Metode Poligon Thiessen

Metode Poligon Thiessen memiliki ketelitian yang cukup, sehingga sangat baik
jika digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata DTA yang masing-masing
dipengaruhi oleh lokasi stasiun pengamatan curah hujan berdasarkan lokasi stasiun
pengamatan (Hilaludin dan Joko, 2011).
Syarat-syarat penggunaan Metode Thiessen, yaitu :

a) Stasiun hujan minimal 3 buah dan letak stasiun dapat tidak merata b)
Daerah yang terlibat dibagi menjadi poligon-poligon, dengan stasiun
pengamat hujan sebagai pusatnya.

∑ …
= = (2)

∑… …

Dimana : P=curah hujan rata-rata

P1….Pn = curah hujan pada setiap stasiun

A1….An = luas yang dibtasi tiap poligon


3. Metode Isohyet
Prinsip dari metode ini yaitu curah hujan pada suatu wilayah di antara dua
Isohyet sama dengan rata-rata curah hujan dari garis-garis Isohyet tersebut. Syarat-
syarat penggunaan Metode Isohyet, yaitu:
a) Digunakan di daerah datar/ pegunungan.

b) Stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata

c) Perlu ketelitian tinggi dan diperlukan analis yang berpengalaman.


Peta Isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10
sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan didalam
dan di sekitar daerah yang dimaksud. Untuk memperkirakan curah hujan daerah,
titik-titik yang curah hujannya sama dihubungkan agar membentuk Isohyet dari
berbagai harga. Luas bidang diantara 2 Isohyet yang berurutan diukur dengan
planimeter dan rata-rata curah hujan pada wilayah di antara 2 Isohyet tersebut
dianggap terjadi pada wilayah tertutup.

b. Data Curah Hujan yang Hilang

Pencatatan data curah hujan yang dilakukan pada suatu daerah dilakukan di
beberapa titik stasiun pencatat curah hujan untuk mengetahui sebaran hujan yang
turun pada suatu daerah apakah merata atau tidak. Diperlukan data curah hujan
bertahun-tahun untuk mendapatkan perhitungan perencanaan yang akurat, semakin
banyak data curah hujan yang ada maka semakin akurat perhitungan yang akan
dilakukan.
Namun terkadang di beberapa titik stasiun pencatat curah hujan terdapat data
yang hilang. Hilangnya data tersebut dapat disebabkan oleh kelalaian dari petugas
pencatat curah hujan atau rusaknya alat pencatat curah hujan karena kurangnya
perawatan. Untuk memperbaiki atau memperkirakan data curah hujan yang tidak
lengkap atau hilang, maka dapat dilakukan perhitungan dengan menggunakan salah
satu metode yaitu metode normal ratio (Fanny, dkk, 2016).
Metode Normal Ratio adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari
data yang hilang. Metode perhitungan yang digunakan cukup sederhana yakni
dengan memperhitungkan data curah hujan di stasiun hujan yang berdekatan untuk
mencari data curah hujan yang hilang di stasiun tersebut (Wei and McGuiness, 1973
dalam Fanny, dkk, 2016). Pada metode normal ratio, syarat untuk menggunakan
metode ini adalah rata-rata curah hujan tahunan stasiun yang datanya hilang harus
diketahui, disamping dibantu dengan data curah hujan rata-rata tahunan dan data pada
stasiun pengamatan sekitarnya. Rumus Metode Normal Ratio untuk mencari data
curah hujan yang hilang sebagai berikut :
= d
(3)

c. Periode Ulang Hujan

Curah hujan biasanya terjadi menurut pola tertentu dimana curah hujan biasanya
akan berulang pada suatu periode tertentu, yang dikenal dengan Periode Ulang Hujan.
Periode ulang hujan adalah periode (tahun) dimana suatu hujan dengan tinggi
intensitas yang sama kemungkinan bisa terjadi lagi. Kemungkinan terjadinya adalah
satu kali dalam batas periode (tahun) ulang yang ditetapkan. Penetapan periode ulang
hujan sebenarnya lebih ditekankan pada masalah kebijakan dan resiko yang perlu
diambil sesuai dengan perencanaan (Putri Y.E., 2014). Acuan untuk menentukan
periode ulang hujan (PUH) dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1. Acuan untuk Menentukan Periode Ulang Hujan Rencana

Keterangan Pe riode Ulang

Daerah terbuka Hujan


Sarana tambang 5
Lereng-lereng 0,5 10
tambang dan
Sumuran utama 10 – 25
Penyaliran keliling tambang
Pemindahan aliran sungai 25

Sumber : Dasar-dasar Klimatologi dalam Putri Y.E., 2014


d. Hujan Rencana

Pengolahan data curah hujan dimaksudkan untuk mendapatkan data curah


hujan yang siap pakai untuk suatu perencanaan penyaliran. Pengolahan data ini
dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya adalah metode
gumbel, yaitu suatu metode yang didasarkan atas distribusi normal (distribusi harga
ekstrim) (Putri Y.E., 2014). Metode Gumbel tersebut adalah
= +

Y −
Y
= S
T = −In

(4)

= curah hujan rencana dalam periode ulang T tahun (mm/hari)


= curah hujan rata-rata hasil pengamatan (mm/hari)
= reduced variable, parameter gumbel untuk periode tahun
= reduced mean, merupakan fungsi dari banyak data (n)
= reduced standar deviasi
Sd = simpangan baku

Tabel 2. Reduced Mean (Yn)

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,507 0,510 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,522
0 0 0
20 0,5236 0,5252 0,5268 0,528 0,529 0,5300 0,5820 0,5882 0,5343 0,535
3 6 3
30 0,5363 0,5371 0,5380 0,538 0,539 0,5400 0,5410 0,5418 0,5424 0,543
40 0,5463 0,5442 0,5448 0,545 0,545 0,5468 0,5468 0,5473 0,5477 0,548
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,549 0,550 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,551
7 1 8
60 0,5521 0,5524 0,5527 0,553 0,553 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,554
70 0,5548 0,5550 0,5552 0,555 0,555 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,556
80 0,5569 0,5570 0,5572 0,557 0,557 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,558
4 6 5
90 0,5586 0,5587 0,559 0,559 0,5593 0,5595 0,5596 0,559
1 2 9
100 0,5600
Sumber : CD Soemarto, 1999 dalam Hilaludin dan Joko, 2011

Nilai Y adalah nilai dari faktor reduksi Gumbel yang merupakan


fungsi dari besarnya peluang atau periode ulang. Untuk menghitung reduced
variate dapat mengacu pada tabel 3 atau dengan menggunakan persamaan berikut
(Endriantho dan Ramli, 2013):

= −In −In (5)


Tabel 3. Nilai Variabel Reduksi Gumbel
T (Tahun) Y
1 -1,930
2 0,36
5 61,51
0
10 2,25
20 2,97
50 3,90
100 4,60
200 5,29
500 06,21
0
100 6,90
Sumber : Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data dalam

Putri Y.E., 2014

Nilai Standar deviasi variansi reduksi dapat ditentukan dengan


mengacu pada tabel 4 atau menggunakan rumus sebagai berikut :

∑( )
=

tabel 4. Reduced Standard Deviation (Sn)

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,949 0,967 0,983 0,997 1,009 1,0206 1,031 1,0411 1,049 1,056
20 1,062 1,069 1,075 1,081 1,086 1,0915 1,096 1,1004 1,104 1,108
8 6 4 1 4 1 7 0
30 1,112 1,115 1,119 1,122 1,125 1,1285 1,131 1,1339 1,136 1,138
40 1,141 1,143 1,145 1,148 1,149 1,1519 1,153 1,1557 1,157 1,159
3 6 8 0 9 8 4 0
50 1,160 1,162 1,163 1,165 1,166 1,1681 1,169 1,1708 1,172 1,173
7 3 8 8 7 6 1 4
60 1,174 1,175 1,177 1,178 1,179 1,1803 1,181 1,1824 1,183 1,184
70 1,185 1,186 1,187 1,188 1,189 1,189 1,190 1,191 1,192 1,193
4 3 3 1 0 8 6 5 3 0
80 1,193 1,194 1,195 1,195 1,196 1,1973 1,198 1,1987 1,199 1,200
90 1,200 1,201 1,202 1,203 1,203 1,2044 1,204 1,2049 1,205 1,206
100 1,2065
e. Intensitas curah hujan

Intensitas curah hujan menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka


pendek yang memberikan gambaran deras hujan perjam. Untuk mengolah data
curah hujan menjadi intensitas curah hujan digunakan cara statistik dari data
pengamatan durasi hujan yang terjadi (Agustianto, D.A., 2014).
Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu yang relatif
singkat, dinyatakan dalam mm/jam, mm/menit, mm/detik. Intensitas curah hujan
biasanya dinotasikan dengan huruf ”I” dengan satuan mm/jam, yang artinya
tinggi atau kedalaman yang terjadi dalam waktu satu jam adalah sekian mm.
Intensitas curah hujan ditentukan berdasarkan rumus mononobe.

= 2/3
(7) Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

R24 = Curah hujan maksimun dalam 24 jam (mm)

t = Durasi hujan (jam)

Dari kondisi lingkungan sekitar pada saat hujan turun maka derajat hujan
dapat dibagi menjadi 5 bagian. Pada tabel 3 berikut ini dapat dilihat hubungan
antara derajat hujan dengan intensitas hujan dan kondisi lingkungan saat
terjadinya hujan.
Tabel 5. Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan

Derajat Hujan Intensitas Kondisi Hujan


urah
C
Hujan
Hujan sangat lemah ( Tanah agak basah
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah
Hujan normal – 0,25 Bunyi curah hujan terdengar
Hujan deras 0,02 – 1,0 Air tergenang di seluruh
0, 05 permukaan tanah dan
terdengar
Hujan seperti
Hujan sangat deras >1,0
ditumpahkan, saluran

Sumber : Dasar-dasar Klimatologi dalam Putri Y.E., 2014

10
10
d. Daerah Tangkapan Hujan (Cathment Area)

Daerah tangkapan hujan adalah luas permukaan yang apabila terjadi


hujan, maka air hujan tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju ke
titik pengaliran (Endriantho dan Ramli, 2013)
Daerah tangkapan hujan adalah suatu daerah dimana air hujan yang turun akan
tertampung dan menuju ke suatu titik konsentrasi yang sama. Luas catchment area
dapat ditentukan dengan peta topografi untuk daerah yang masih alami, sedangkan
untuk daerah-daerah yang sudah terganggu digunakan peta situasi. Dari hasil
pengamatan langsung di lapangan terhadap kemungkinan arah aliran air limpasan dan
bentuk permukaan bumi pada lokasi di peta topografi (Putri Y.E., 2014).
Semakin luas muka kerja suatu area penambangan, maka semakin luas pula area
yang terganggu dan luasan daerah tangkapan hujan (DTH) menjadi semakin
besar. Hal ini akan menyebabkan jumlah air yang perlu ditanggulangi oleh suatu
sistem penyliran cenderung semakin besar (Suhendra Y.K.,2015)

2. Air limpasan
Limpasan (runoff) adalah semua air yang mengalir akibat dari hujan yang
bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, tanpa memperhatikan
asal atau jalan yang ditempuh oleh air tersebut (Putri Y.E., 2014).
Limpasan permukaan adalah kelebihan air dari kecepatan infiltrasi dan
tampungan permukaan. Volume air ini yaitu aliran langsung (direct runoff). Besarnya
volume aliran ini tergantung pada intensitas hujan yang berlangsung, Semakin besar
intensitas hujan maka akan semakin besar pula volume aliran pada suatu saluran
(Agustianto, D.A., 2014).
Debit air limpasan dapat dihitung dengan persamaan rasional yaitu (Praja,
S.A.,2013):

Q = 0,278 x C x I x A (8)

Keterangan :

Q = Debit air limpasan maksimum (m3/detik) C =


Koefisien limpasan
11
11
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

A = Luas daerah tangkapan hujan (km2)

Menurut (Putri Y.E., 2014) dalam penggunaan persamaan di atas ada beberapa
asumsi yaitu:

a) Frekuensi hujan sama dengan frekuensi limpasan

b) Hujan terdistribusi secara merata ke seluruh daerah catchment area

c) Debit maksimal merupakan fungsi intensitas hujan dan tercatat pada akhir
waktu konsentrasi.

Koefisien limpasan permukaan atau sering disingkat C adalah bilangan yang


menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan terhadap besarnya
curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10 artinya 10 persen dari total curah
hujan akan menjadi limpasan permukaan. Secara matematis, koefisien limpasan
permukaan dapat dijabarkan sebagai berikut (Sudarto, dkk., 2015):

= (9)
( )
( )

Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi
limpasan permukaan. Hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya
air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya
adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan yang menjadi limpasan permukaan,
maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Angka C berkisar
antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi
air intersepsi dan terutama infiltrasi. Sedang angka C = 1 menunjukkan bahwa semua air
hujan mengalir sebagai limpasan permukaan (Sudarto, dkk., 2015).
Menurut Wicaksono, 2010 dalam Sudarto, dkk., 2015 di lapangan, angka
koefisien limpasan permukaan biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1.
Putri Y.E., 2014 mengungkapkan bahwa dalam penentuan koefisien limpasan,
beberapa faktor yang harus diperhatikan adalah :

12
12
1) Kerapatan Vegetasi
Daerah dengan vegetasi yang rapat, akan memberikan nilai C yang kecil,
karena air hujan yang masuk tidak dapat langsung mengenan tanah, melainkan akan
tertahan oleh tumbuh-tumbuhan, sedangkan tanah yang gundul akan memberi nilai
C yang besar.
2) Tata Guna Lahan
Lahan persawahan atau rawa-rawa akan memberikan nilai C yang kecil
daripada daerah hutan atau perkebunan, karena pada daerah persawahan
misalnya padi, air hujan yang jatuh akan tertahan pada petak-petak sawah, sebelum
akhirnya menjadi limpasan permukaan.
3) Kemiringan Tanah

Daerah dengan kemiringan yang kecil (<3%), akan memberikan nilai C


yang kecil, daripada daerah dengan kemiringan tanah yang sedang sampai curam
untuk keadaan yang sama.

Tabel 6. Beberapa Harga Koefisien Limpasan

Kemiringan Kegunaan Lahan Nilai C

- Persawahan, Rawa-rawa 0.2


< 3% - Hutan, Perkebunan 0.3
- Perumahan 0.4
- Hutan, Perkebunan 0.4
- Perumahan 0.5
3% - 15%
- Vegetasi ringan 0.6
- Tanpa tumbuhan, daerah penimbunan 0.7
- Hutan, Perkebunan 0.6
- Perumahan 0.7
> 15%
- Vegetasi ringan 0.8
- Tanpa tumbuhan, daerah penimbunan 0.9
Sumber : Gautama R.S. 1999 dalam Purwaningsih D.A, dan Suhariyanto, 2015

13
13
C. Saluran Terbuka (Drainase)
Saluran (drainase) berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air ke tempat
pengumpulan (kolam penampungan) atau tempat lain. Bentuk penampang saluran
umumnya dipilih berdasarkan debit air, tipe material serta kemudahan dalam
pembuatannya. Dalam merancang bentuk saluran penyaliran beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain: dapat mengalirkan debit air yang direncanakan, mudah dalam
penggalian saluran serta tidak lepas dari penyesuaian dengan bentuk topografi dan jenis
tanah. Bentuk dan dimensi saluran juga harus memperhitungkan efektifitas dan
ekonomisnya (Putri Y.E., 2014).
Rancangan saluran terbuka dibuat berdasarkan pada topografi daerah
penambangan dengan memperhatikan perbedaan ketinggian supaya aliran air bisa terjadi
secara alamiah. Dimensi saluran disesuaikan dengan debit air limpasan, semakin
besar debit limpasan maka dimensinya makin besar (Wibawa, F.S.,, 2015)
Saluran terbuka berfungsi sebagai wadah untuk mengalirkan fluida atau air
limpasan yang jatuh ke permukaan tanah menuju ke suatu tempat tertentu (Subiakto,
dkk., 2016). Dalam sistem penyaliran itu sendiri terdapat beberapa bentuk penampang
saluran yang dapat digunakan. Bentuk penampang saluran diantaranya bentuk segi
empat, bentuk segi tiga, dan bentuk trapesium.

Gambar 2. Geometrik Penampang Saluran (Ven Te Chow, 1959)

14
14
Kapasitas debit saluran terbuka dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Manning yaitu: (Subiakto, dkk., 2016)

Q = 1/n x R2/3 x S1/2 x A

Keterangan :

Q = Debit (m3/detik)

R = Jari-jari hidrolik (m)

S = Kemiringan saluran (%)

A = Luas penampang basah (m2) n =


Koefisien kekasaran manning
D. Kolam Pengendap

Kolam pengendap merupakan suatu tempat yang digunakan untuk menampung


atau menyimpan sementara air yang berasal dari saluran sebelum disalurkan kembali
ke sungai atau digunakan untuk kebutuhan perusahaan, air yang ditampung harus
didiamkan sampai nilai baku mutu dari air sudah mendekati netral sehingga tidak
berbahaya bila digunakan oleh mahluk hidup. Ukuran dari kolam pengendap harus
disesuaikan dengan jumlah air yang akan ditampung sehingga air yang berasal dari pit
penambangan dapat teratasi (Jafar, N., dkk., 2016)
Pembuatan kolam pengendapan bertujuan untuk menampung air dari tambang
yang mengandung material (lumpur) sebelum di alirkan ke perairan umum (sungai).
Hal ini dilakukan agar patikel- partikel material halus yang tersuspensi di dalam air
diendapkan terlebih dahulu sebelum dialirkan ke perairan umum, sehingga nantinya
tercipta suatu penambangan yang berwawasan lingkungan (Subiakto, dkk., 2016).
Kolam pengendap biasanya ditempatkan pada awal dalam rangkaian penanganan
air, tetapi dapat juga digunakan sebagai kolam terakhir dalam sebuah sistem
penyaliran. Rancangan kolam pengendap diharapkan dapat membantu pengontrolan
sedimen sebelum dilepaskan di anak sungai (McNaughton, N.,dkk, 2011).

15
15
Dalam merancang kolam pengendapan harus mempertimbangkan dimensi dan
bentuk dari kolam tersebut. Besarnya dimensi kolam pengendapan ditentukan
berdasarkan debit air yang masuk dan kecepatan pengendapan material padatannya
(Nauli F. 2014).
Walaupun bentuk kolam pengendap bermacam-macam, namun pada setiap
kolam pengendap akan selalu ada 4 zona penting yang terbentuk karena proses
pengendapan material padatan (Putri Y.E., 2014). Keempat zona yang ditunjukkan
pada gambar 3 adalah :
a) Zona Masukan merupakan tempat masuknya aliran air berlumpur kedalam kolam
pengendapan dengan anggapan campuran antara padatan dan cairan terdistribusi
secara merata.
b) Zona Pengendapan, merupakan tempat dimana partikel akan mengendap, material
padatan disini akan mengalami proses pengendapan disepanjang saluran masing-
masing check dam.
c) Zona Endapan Lumpur, merupakan tempat dimana partikel padatan dalam cairan
mengalami sedimentasi dan terkumpul pada bagian bawah saluran pengendap.
d) Zona Keluaran, merupakan tempat keluarnya buangan cairan yang relative bersih,
zona ini terletak pada akhir saluran.

16
16
17
17
18
18

Anda mungkin juga menyukai