Anda di halaman 1dari 22

BAB V

HIDROLOGI DAN HIDROGEOLOGI

Setiap usaha pertambangan, tentunya membuat perencanaan berdasarkan Good


Mining Practice. Salah satu aspek yang perlu direncankan yaitu adanya kajian
hidrologi dan hidrogeologi untuk menunjang kegiatan penambangan sesuai sistem
penambangan yang ditentukan. Sistem penambangan yang banyak digunakan saat
ini ada tiga, meliputi sistem tambang terbuka, tambang bawah tanah, dan tambang
bawah air. Pemilihan metode penambangan ini didasarkan pada kondisi topografi,
geologi, endapan bahan galian, dan nilai ekonominya. Sistem penambangan yang
digunakan oleh PT Allochem Resources di Dusun Nongkosepet, Desa Sidorejo,
Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta
yaitu sistem tambang terbuka dan metode kuari.

Terdapat indikasi bahwa pada kondisi tertentu kehadiran air tambang kadang-
kadang juga dapat menimbulkan gangguan terhadap kegiatan penambangan, yaitu
pada saat hujan lebat. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kemajuan tambang ke
arah lebih luas, masalah sistem penyaliran tambang seharusnya tetap diperhatikan
dengan baik.

Agar kajian hidrogeologi dapat berjalan lancar dan tepat sasaran, maka diperlukan
kerangka kajian. Kerangka kajian ini sebagai acuan pelaksanaan kajian di
lapangan, terutama cakupan materi, data yang harus diambil, urutan dan kaitan
masing-masing aspek kajian, serta hasil yang diperoleh. Secara ringkas kerangka
kajian tentang sistem penyaliran tambang mencakup :

1. Kajian hidrologi
2. Kajian hidrogeologi
3. Perhitungan air tambang
4. Pengendalian air tambang
5. Layout sistem penyaliran tambang

57
6. Pemanfaatan air tambang

KAJIAN HIDROLOGI DAN HIDROGEOLOGI

CAKUPAN MATERI

KAJIAN HIDROLOGI KAJIAN HIDROGEOLOGI Dusun


Dusun Nongkosepet, meliputi: Nongkosepet, meliputi:
Kondisi Hidrologi daerah Kondisi geologi regional.
penyelidikan Stratigrafi
Analisis data curah hujan Pemodelan air tanah
Kajian kondisi air permukaan Kondisi air tanah.
Kondisi topografi daerah
penyelidikan
Daerah tangkapan hujan

DATA DATA
MASUKAN MASUKAN

RANCANGAN SISTEM PENYALIRAN


TAMBANG

Perhitungan dimensi saluran terbuka


Perhitungan dimensi kolam pengendapan
Kebutuhan alat pembuatan sistem penyaliran tambang
Pemanfaatan air tambang

Gambar 5.1
Kajian Hidrologi dan Hidrogeologi

5.1. Kajian Hidrologi


5.1.1. Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi atau siklus air adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari
atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi,
evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan
kunci proses daur hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air

58
berevaporasi kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan
es, hujan gerimis, atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi, beberapa presipitasi
dapat berevaporasi kembali ke atas, atau langsung jatuh yang kemudian
diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah siklus
hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda diantaranya
sebagai berikut:
a. Evaporasi (transpirasi)
Air yang ada di laut, daratan, sungai, tanaman, dsb. kemudian akan menguap
ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh
uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun
(precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
b. Infiltrasi (perkolasi)
Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan
batuan menuju permukaan air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler
atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan
tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
c. Air permukaan
Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau.
Makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan
semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah
urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama
yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju
laut

(Sumbe
r : Winarno,dkk;2010)
Gambar 5.2

59
Siklus Hidrologi
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk,
rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir
membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi
dalam komponen-komponen daur hidrologi yang membentuk sistem daerah aliran
sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah
adalah wujud dan tempatnya. Tempat akumulasi air terbesar terjadi di laut.

5.1.2. Parameter Curah Hujan


Curah hujan merupakan jumlah air hujan yang jatuh per satuan luas wilayah,
dinyatakan dalam satuan mm yang berarti jumlah air yang jatuh pada satu satuan
luas tertentu. Jadi 1 mm berarti pada luas 1 m 2 jumlah air yang jatuh sebanyak 1
liter atau sedalam air 1 mm pada luas 1 m2. Curah hujan yang relatif tinggi pada
wilayah Indonesia berakibat pentingnya penanganan air hujan yang baik agar
produktifitas tambang tidak menurun.

Pengolahan data curah hujan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data curah
hujan yang siap pakai untuk suatu sistem penyaliran dan besarnya nilai curah
hujan rencana dan intensitas curah hujan di Dususn Nongkosempet. Pengolahan
data ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya adalah metode
Gumbell, yaitu suatu metode yang didasarkan atas distribusi normal (distribusi
harga ekstrim).

5.1.2.1. Curah Hujan Desa Sidorejo


Curah hujan sangat berpengaruh terhadap sistem penyaliran tambang, karena
besar kecilnya curah hujan akan mempengaruhi jumlah air yang harus ditampung
di bukaan tambang. Data curah hujan diperoleh dari situs
www.worldweatheronline.com, dengan data mulai dari tahun 2011 sampai tahun
2020 (lihat Lampiran E.1). Hujan rencana adalah hujan maksimum yang mungkin
terjadi selama umur sarana penyaliran tersebut. Analisis curah hujan dilakukan
untuk mendapatkan curah hujan pada periode ulang hujan tertentu dan intensitas
hujan jangka pendek, dalam hal ini intensitas hujan satu jam. Grafik curah hujan
Desa Sidorejo dapat dilihat pada Gambar 5.3.

60
Grafik Curah Hujan Harian
100
90
80
Curah Hujan (mm)

70
60
50
40
30
20
10
00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun

CH Maksimum CH Rata-rata

Gambar 5.3
Grafik Curah Hujan Desa Sidorejo

Pengolahan data curah hujan menggunakan beberapa rumus sebagai berikut :


1. Perhitungan Curah Hujan Harian Maksimum Rata-Rata

Xi
X=
n

Keterangan :
X = Rata-rata tinggi hujan maksimum (mm/24 jam)
Xi = Jumlah hujan maksimum n data (mm/24 jam)
N = Jumlah data
2. Perhitungan Standar Deviasi

S=
√ Σ( Xi−X )2
(n−1)
Keterangan :
S = Standar deviasi
Xi = Curah hujan maksimum
X = Curah hujan rata-rata
n = Jumlah data

61
3. Perhitungan Reduce Variate
[T −1]
Yt =−ln [−ln ]
T
Keterangan :
Yt = Reduce variate
T = Tahun curah hujan
4. Perhitungan Reduce Mean
[n+1−m]
Yn=−ln [−ln ]
n−1
Rata−rataYn ,
Σ Yn
YN=
n
Keterangan :
Yn = Reduce mean
n = Jumlah data
m = Urutan data
YN= Rata-rata reduce mean
5. Perhitungan koreksi simpangan

√ Σ(Yn−YN )2
Sn=
(n−1)
Keterangan :
Sn = Koreksi simpangan
Yn = Reduce mean
YN= Rata-rata reduce mean
N = jumlah data
6. Penentuan curah hujan rencana dengan menggunakan “Distribusi Gumbell”,
yaitu penentuan curah hujan rencana dengan menggunakan cara partial (partial
series anality). Cara ini dilakukan dengan menentukan ambang batas curah
hujan harian maksimum. Perhitungannya dapat dilakukan dengan persamaan
berikut :
S
CHR=X + (Yt – YN)
Sn

62
Keterangan :
CHR = Hujan harian rencana maksimum (mm/24 jam)
X = Curah hujan rata-rata
S = Standar deviasi
Sn = Koreksi simpangan
Yt = Reduce variate
YN = Rata-rata reduce mean
7. Perhitungan resiko hidrologi
1 TL
PR=1−(1− )
TR
Keterangan :
PR = Resiko hidrologi
TR = Periode ulang
TL = Umur tambang
8. Penentuan periode ulang
Curah hujan akan menunjukkan suatu kecendrungan pengulangan. Hal ini
terlihat data yang analisis mencakup suatu jangka panjang. Sehubungan
dengan hal tersebut dalam analisis curah hujan dikenal istilah periode
kemungkinan ulang (return period), yang berarti kemungkinan/ probabilitas
periode terulangnya suatu tingkatan curah hujan tertentu. Dalam perancangan
bangunan air atau dalam hal ini sarana penyaliran tambang salah satu kriteria
perancangan adalah hujan rencana, yaitu curah hujan dengan periode ulang
tertentu atau kemungkinan akan terjadi sekali dalam suatu jangka waktu
tertentu. Dari perhitungan resiko hidrologi diketahui bahwa nilai probabilitas
resiko hidrologi lebih besar dari 85% dan dengan curah hujan rencana terbesar
terdapat pada tahun ke empat (4).

Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh nilai curah hujan maksimum rencana


74,07 mm/hari (hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran E.2, dengan
Periode Ulang Hujan 4 Tahun.

63
5.1.2.2. Intensitas Curah Hujan di Desa Sidorejo
Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu, yang dinyatakan
dalam mm/jam. Intensitas curah hujan diperoleh dari perhitungan dengan
menggunakan rumus Mononobe. Penentuan intensitas curah hujan dimaksudkan
untuk mendapatkan kurva durasi yang nantinya dapat dipakai sebagai dasar
perhitungan debit air limpasan hujan daerah penelitian. Intensitas curah hujan
maksimum sebesar 25,68 mm/jam (hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran
E.3).

Klasifikasi curah hujan dapat diketahui berdasarkan dari nilai intensitas hujannya.
Menurut Sosrodarsono dan Takaeda (1983), keadaan curah hujan berdasarkan
nilai intensitas hujan sebesar 25,68 mm/jam yaitu hujan sangat lebat. Keadaan
curah hujan berdasarkan intensitas hujan dapat dilihat pada Tabel 5.1. Nilai dari
intensitas curah hujan selanjutnya akan digunakan dalam perhitungan debit air
yang masuk ke dalam bukaan tambang dapat dilihat pada Lampiran E.3

R 24 24 2/ 3
( )
I = 24 t (mm/jam)

Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Waktu (jam)

Tabel 5.1
Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Intensitas Curah
Keadaan Curah Hujan
1 jam 24 jam
Hujan sangat ringan <1 <5
Hujan ringan 1-5 5 - 20
Hujan normal 5 - 10 20 - 50
Hujan lebat 10 - 20 50 - 100
Hujan sangat lebat > 20 > 100

64
5.2.3 Daerah Tangkapan Hujan
Daerah tangkapan hujan adalah daerah yang merupakan batas dimana curah hujan
yang jatuh pada daerah tersebut akan terkumpul di tempat terendah pada daerah
tersebut. Penentuan daerah tangkapan hujan didasarkan pada peta topografi daerah
yang akan diteliti, daerah tangkapan hujan dibatasi oleh punggungan-punggungan
bukit yang memiliki ketinggian paling tinggi diantara daerah sekelilingnya. Air
yang jatuh kepermukaan sebagian meresap kedalam tanah sebagian ditahan oleh
tumbuhan dan sebagian lagi akan mengisi liku-liku permukaan bumi kemudian
mengalir ketempat yang lebih rendah. Semua air yang mengalir dipermukaan
belum tentu menjadi sumber air dari suatu sistem penyaliran. Kondisi ini
tergantung dari daerah tangkapan hujan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain kondisi topografi, rapat tidaknya vegetasi serta keadaan geologi.

Dalam pembagian daerah tangkapan hujan dilakukan dengan pengamatan


langsung di lapangan dan pengamatan pada peta topografi daerah penambangan.
Pengamatan langsung di lapangan bertujuan untuk mengetahui arah aliran
limpasan air dan permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya aliran limpasan,
sehingga nantinya dapat didesain suatu sistem penyaliran yang dapat mengatasi
permasalahan yang ada. Pengamatan pada peta topografi dimaksudkan untuk
menentukan area yang lebih tinggi dan memiliki kemungkinan untuk menampung
air hujan yang akan mengalir ke lokasi tambang. Layout limpasan air hujan dan
daerah tangkapan hujan dapat dilihat di Lampiran E.4

Daerah tangkapan hujan merupakan suatu daerah yang dapat mengakibatkan air
limpasan permukaan mengalir ke suatu tempat (daerah penambangan) yang lebih
rendah. Penentuan luas daerah tangkapan hujan berdasarkan peta topografi daerah
yang akan diteliti. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan terhadap
kemungkinan arah aliran air limpasan dan bentuk permukaan bumi pada lokasi di
peta topografi, maka luasan daerah tangkapan hujan dapat dilihat pada Lampiran
E.5.

5.1.4 Penentuan Nilai Koefisien Air Limpasan di Desa Sidorejo

65
Koefisien limpasan merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan
besarnya limpasan permukaan dengan intensitas curah hujan yang terjadi pada
daerah tangkapan hujan. Koefisien limpasan tiap-tiap daerah berbeda, tergantung
pada sifat fisik batuan, topografi, daerah dan tata guna lahan. Penentuan koefisien
limpasan di daerah penambangan dipengaruhi oleh macam permukaannya,
dimana tiap permukaan mempunyai koefisien limpasan yang berbeda. Manning
membagi nilai koefisien limpasan berdasarkan kemiringan lahan dan kegunaan
lahannya (lihat Tabel 5.3).

Tabel 5.2
Nilai Koefisien Limpasan Bersadarkan Kemiringan Lahan dan Kegunaan Lahan
(Rudy Sayoga,1993)

Nilai koefisien limpasan (C) untuk kajian teknis sistem penyaliran tambang di PT
Allochem Resouces berdasarkan nilai koefisien limpasan pada Tabel 5.3 adalah
0,7 untuk DTH kantor, 0,3 untuk DTH vegetasi dan 0,5 untuk DTH site area
penambangan (lihat Lampiran E.6).

5.2. Kajian Hidrogeologi


5.2.1. Geologi Regional
Daerah Ponjong termasuk kedalam Zona Pegunungan Selatan lebih tepatnya
terdapat pada Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto
dan Hartono, 2001). Secara stratigrafi daerah Ponjong termasuk ke dalam Formasi
Wonosari. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari

66
batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan
adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur. Umur formasi ini adalah
Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal
(zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono, B. Toha, dan Ign.
Sudarno, 1992).

5.2.2. Stratigrafi Daerah Kecamatan Ponjong

Secara geomorfik, daerah telitian merupakan satu satuan bentuk asal, yaitu satuan
bentuk asal kars. Satuan bentuk asal kars terdiri dari 3 satuan geomorfik, yaitu
Satuan geomorfik perbukitan kars (K1), Satuan geomorfik uvala (K2), dan Satuan
dataran terrarosa (K3). Pola pengaliran yang berkembang adalah pola multibasial
(Lampiran E.7). Stratigrafi daerah telitian terdiri dari 3 satuan litostratigrafi tidak
resmi dengan urutan dari tua ke muda: Satuan batugamping terumbu (N17-N18),
Satuan batugamping-berlapis (N17-N19), serta Satuan Terrarosa (Holosen).
Satuan batugamping-terumbu diendapkan secara beda fasies terhadap Satuan
batugamping-berlapis, sedangkan Satuan Terrarosa diendapkan secara tidak
selaras di atas Satuan Satuan batugamping-berlapis. Struktur geologi yang
terdapat di daerah telitian berupa sesar. Terdapat 2 sesar yang ditemukan, yaitu
Sesar Mendatar Ngrawan (Right Slip Fault) dengan bidang sesar N 289 o E/70o,
rake 06o, sedangkan Sesar Turun Ngampel (Right Normal Slip Fault) memiliki
bidang sesar N 10o E/ 62o rake 56o. (Lampiran E.8)

5.2.3. Tipologi Sistem Akuifer


Kondisi dan distribusi sistem akuifer dalam sistem geologi dikontrol oleh faktor
litologi, stratigrafi dan struktur dari endapan-endapan geologi. Litologi adalah
penyusun secara fisik meliputi komposisi mineral, ukuran butir dan kemas dari
endapan-endapan atau batuan yang membentuk sistem geologi. Stratigrafi
menggambarkan kondisi geometri dan hubungan umur antar lapisan atau satuan
batuan dalam sistem geologi. Sedangkan struktur geologi menunjukkan
bentuk/sifat geometri dari sistem geologi yang diakibatkan dari deformasi yang
terjadi setelah batuan terbentuk. Pada sedimen yang belum
terkonsolidasi/kompak, kontrol yang berperan adalah litologi dan stratigrafi.

67
Pengetahuan akan ketiga faktor di atas memberikan arahan kepada pemahaman
karakteristik dan distribusi sistem akifer (Freeze dan Cherry, 1979)

5.2.4. Sistem Akifer Batuan Karbonat atau Batugamping (Akuifer Karstik)


Daerah Kecamatan Ponjong merupakan daerah pegunungan yang batuanya terdiri
dari batugamping dan memperlihatkan morfologi yang khas berupa kumpulan
bukit-bukit membulat serta kehadiran sungai-sungai bawah tanah. Pada dasarnya,
karena merupakan batuan kompak, batugamping bersifat impermeabel. Adanya
sistem rekahan atau rongga-rongga pelarutan di dalamnya, menyebabkan
batugamping dapat bertindak sebagai akuifer yang cukup baik tetapi tinjauan
hidrogeologinya berlainan dengan daerah airtanah pada media porus. Batu
gamping mempunyai sifat yang khas yaitu dapat melarut dalam air sehingga
dengan adanya sifat ini porositas pada batugamping berupa porositas sekunder.
Dengan adanya kondisi ini, penyaluran bawah permukaan umumnya lebih
menonjol dibandingkan penyaluran air permukaan. Maka, jarang sekali ditemukan
sungai yang berair terus sepanjang tahun, karena air lebih banyak mengalir
sebagai aliran bawah permukaan melalui sistem rongga-rongga pelarut yang
bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat sesuai dengan sejarah pelarutan
batugamping yang akhirnya dapat membentuk suatu jaringan sistem aliran sungai
bawah tanah. Kondisi sistem akifer pada batugamping dapat dilihat pada Gambar
5.3 dan tampilan lapisan akuifer pada Gambar 5.4. Proses penambangan suatu
komoditas tambang harus memperhatikan kondisi air tanah, sehingga diperlukan
analisis pemodelan air tanah.

68
Gambar 5.3
Sistem Akifer Media Rekahan pada Batugamping (Puradimaja, 1993)

Gambar 5.4

Lapisan Akuifer

5.2.5. Kondisi Air Tanah dan Pemodelan Air Tanah


Analisis kondisi air tanah di daerah penambangan didasarkan pada pengamatan
langsung dilapangan dan peta hidrogeologi. Secara umum arah dan pola aliran air
tanah didaerah penyelidikan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Arah dan pola aliran air tanah bebas sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi
daerah penyelidikan.
b. Arah dan pola aliran air tanah tertekan lebih ditentukan oleh kondisi tekanan
pisometrik daerah tersebut.
Menurut Kruseman dan deRieder, 1994. Berdasarkan sifat fisik dan
kedudukannya dalam kerak bumi, akifer dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Akifer bebas, yaitu akifer tak tertekan (unconfined aquifer) dan merupakan
airtanah dangkal (umumnya <20 m), umum dijumpai pada daerah endapan
aluvial. Airtanah dangkal adalah airtanah yang paling umum dipergunakan
sebagai sumber air bersih oleh penduduk di sekitarnya.

69
b. Akifer setengah tertekan, disebut juga akifer bocor (leaky aquifer), merupakan
akifer yang ditutupi oleh lapisan akitard (lapisan setengah kedap) di bagian
atasnya, dapat dijumpai pada daerah volkanik (daerah batuan tuf).
c. Akifer tertekan (confined aquifer), yaitu akifer yang terletak di antara lapisan
kedap air (akuiklud), umumnya merupakan airtanah dalam (umumnya > 40 m)
dan terletak di bawah akifer bebas. Airtanah dalam adalah airtanah yang
kualitas dan kuantitasnya lebih baik daripada airtanah dangkal, oleh karenanya
umum dipergunakan oleh kalangan industri termasuk di dalamnya kawasan
pertambangan

(Sumber : Krussman dan Ridder,1970)


Gambar 5.5
Jenis – Jenis Akuifer
Kegiatan pertambangan telah dianggap sebagai suatu kegiatan yang berdampak
pada kerusakan lingkungan. Kerusakan tersebut tidak hanya berupa perubahan
pada bentang alam, tetapi mencakup juga dampak pada komponen lingkungan
lainya. Salah satunya yang cukup signifikan adalah dampak pada kondisi air
tanah, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk mengetahui kondisi air
tanah diperlukan adanya pemodelan air tanah.

Pemodelan airtanah pada suatu tambang merupakan kajian secara menyeluruh


tentang kondisi morfologi, hidrologi, geologi, dan hidrogeologi yang
diaplikasikan secara konseptual dalam sebuah model, dengan tujuan untuk
mengetahui perubahan-perubahan airtanah, seperti pola aliran, head, dan arah
aliran.

Pada pemodelan air tanah, PT Allochem Resources bekerjasama dengan U.S.


Geological Survey untuk melakukan survey lapangan dan menganalisis

70
pemodelan air tanah menggunakan software MODFLOW. Data parameter inputan
untuk dapat melakukan komputasi pada software tersebut yaitu data hidrologi dan
data hidrogeologi. Layout aliran air tanah dapat dilihat pada Lampiran E.9

Kondisi air tanah Dusun Nongkosepet setelah dilakukan pemodelan diketahui


bahwa elevasi terendah pada proses penambangan PT Allochem Resources tidak
lebih dalam dari elevasi air tanah, sehingga keberadaan air tanah tidak
mengganggu kegiatan penambangan. Oleh karenanya dalam perhitungan jumlah
air tambang, air tanah tidak ikut dihitung dan kondisi akuifer pada daerah
penambangan tergolong akuifer bebas. Karena dekat permukaan tanah dan tidak
ada lapisan impermeabel.

5.3. Perhitungan Air Tambang


5.3.1. Perhitungan Debit Air Limpasan
Air limpasan adalah disebut juga air permukaan, yaitu air hujan yang mengalir
diatas permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut. Air limpasan berlangsung
ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah
laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan
tanah. Setelah pengisian air pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat
mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Aliran itu terjadi karena curah
hujan yang mencapai permukaan bumi tidak dapat terinfiltrasi, baik yang
disebabkan karena intensitas curah hujan atau faktor lain misalnya kelerengan,
bentuk dan kekompakan permukaan tanah serta vegetasi debit air limpasan yang
dihasilkan oleh hujan rencana dalam suatu daerah tangkapan hujan, akan masuk
ke sarana penyaliran yang akan dibuat. Perhitungan debit air limpasan dilakukan
dengan menggunakan rumus rasional sebagai berikut.
Q Maks = 0,278 x C x I x A

Keterangan :
Qmaks = Debit air limpasan maksimum (m3/detik)
C = Koefisien air limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah tangkapan hujan (Km2)

71
Bila curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan
permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah
hujan. Banyaknya air limpasan tergantung beberapa faktor, sehingga tidak semua
air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan menjadi sumber air limpasan.
Perhitungan debit air limpasan dapat dilihat di Lampiran E.10. Dari hasil
perhitungan debit limpasan daerah penelitian pada masing-masing Daerah
Tangkapan Hujan, dapat dilihat pada Lampiran E.11

5.4. Pengendalian Air Tambang


Keberadaan air di area penambangan dapat berdampak negative, yaitu dapat
mengganggu kegiatan operasional penambangan. Oleh karena itu diperlukan
adanya pengendalian air yang ada di front penambangan. Sistem penyaliran
tambang adalah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah
masuknya air atau mengeluarkan air yang telah masuk ke front penambangan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencegah terganggunya aktivitas penambangan
akibat adanya air dalam jumlah yang berlebihan terutama pada saat musim
penghujan. Air yang menggenangi suatu daerah penambangan harus segera
dialirkan keluar dari daerah tersebut melalui saluran penyaliran menuju ke luar
daerah penambangan.

5.4.1. Perhitungan Geometri Saluran Penyaliran


Sistem penyaliran itu sendiri terdapat beberapa bentuk penampang penyaliran
yang dapat digunakan. Bentuk penampang penyaliran diantaranya bentuk persegi,
bentuk segi tiga, bentuk setengah lingkaran dan bentuk trapesium. Menurut
asalnya saluran dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : saluran penyaliran alami dan
saluran penyaliran buatan.

(Sumber : Open Channel Hydraulics, Chow,1997)


Gambar 5.6
Bentuk - Bentuk Penampang Saluran

72
Bentuk – bentuk dari saluran penyaliran meliputi, bentuk persegi, bentuk
trapesium, bentuk segitiga dan bentuk setengah lingkaran. Bentuk yang umum
dipakai untuk saluran berdinding tanah yang tidak dilapisi adalah bentuk
trapesium. Dalam menentukan dimensi saluran dengan bentuk trapesium dengan
luas penampang hidrolis maksimum, maka luas penampang basah saluran (A),
jari-jari hidrolis (R), kedalaman aliran (h), lebar dasar saluran (b), panjang sisi
saluran dari dasar ke permukaan (a), lebar permukaan aliran (B), dan kemiringan
dinding saluran (m), mempunyai hubungan yang dapat dinyatakan sebagai
berikut:
1
m=
tg α

A=(b x h)+(m x h 2)

b 0,5
=2[ ( 1+m 2 ) −m ]
d

h
R=
2

h
a=
sin α

(Sumber : Open Channel Hydraulics, Chow,1997)

Gambar 5.7
Penampang Saluran Bentuk Trapesium
Keterangan :
a = panjang sisi saluran dasar ke permukaan air
b = lebar dasar saluran
 = sudut kemiringan saluran
h = kedalaman aliran

73
Bentuk penampang saluran yang digunakan adalah bentuk trapesium, sebab
mudah dalam pembuatannya, murah efisien dan mudah dalam perawatannya, serta
stabilitas kemiringan dindingnya dapat disesuaikan menurut keadaan daerah.
Perhitungan dimensi saluran terbuka terdapat di Lampiran E.12. Penentuan
saluran terbuka yang digunakan PT Allochem Resources didasarkan pada debit
terbesar dari perhitungan debit pada Lampiran E.10. Pemilihan dimensi geometri
saluran terbuka terbesar dikarenakan untuk mengantisipasi debit air limpasan
terbesar. Geometri saluran terbuka dapat dilihat pada Lampiran E.13

5.4.2. Perhitungan Geometri Kolam Pengendapan


Bentuk kolam pengendapan biasanya hanya digambarkan secara sederhana, yaitu
berupa kolam berbentuk empat persegi panjang, tetapi sebenarnya bentuk tersebut
dapat bermacam-macam, disesuaikan dengan keperluan dan keadaan
lapangannya. Walaupun bentuknya dapat bermacam-macam, namun pada setiap
kolam pengendap akan selalu ada 4 zona penting yang terbentuk karena proses
pengendapan material padatan.
Keempat zona yang ditunjukkan pada gambar adalah :
1. Zona masukan
Adalah tempat masuknya aliran air berlumpur kedalam kolam pengendapan
dengan anggapan campuran antara padatan dan cairan terdistribusi secara
merata.
2. Zona Pengendapan
Tempat dimana partikel akan mengendap, material padatan disini akan
mengalami proses pengendapan disepanjang saluran masing-masing check
dam.
3. Zona Endapan Lumpur
Tempat dimana partikel padatan dalam cairan mengalami sedimentasi dan
terkumpul pada bagian bawah saluran pengendap.
4. Zona Keluaran
Tempat keluarnya buangan cairan yangt relative bersih, zona ini terletak pada
akhir saluran.

74
Fungsi dari pembuatan kolam pengendapan yaitu untuk mengurangi atau
meminimalisir adanya kontaminasi dari partikel terlarut yang keluar dari area
tambang yang dapat mengakibatkan pendangkalan pada dasar sungai. Selain
terciptanya pendangkalan sungai apabila keluar dari tambang, nilai TSS dari
aliran air yang keluar apabila terlalu tinggi juga akan berpengaruh pada kelayakan
adari air itu sendiri.

(Sumber : Huisman L.,1977)


Gambar 5.8
Zona-zona pada Kolam Pengendapan

Bentuk Kolam Pengendapan yang memenuhi syarat teknis berdasarkan


perhitungan dan ukuran kolam pengendapan di lapangan, (lihat Lampiran E.14),
Berdarsarkan dimensi kolam pengendapan diatas maka waktu yang dibutuhkan
kolam untuk penuh yaitu 18 hari sekali dengan menggunakan alat mekanis.

5.4.3. Kebutuhan Alat Pembuatan Sistem Penyaliran Tambang


Sistem penyaliran tambang PT Allochem Resources terdiri dari saluran terbuka
dan kolam pengendapan. Pembuatan sistem penyaliran tersebut memerlukan
bantuan alat berat yaitu excavator. Pemilihan excavator berdasarkan lebar bucket
yang mana disesuaikan dengan geometri rancangan sistem penyaliran tambang
(lihat Lampiran E.13)

PT Allochem Resources menggunakan alat excavator tipe Hydraulic CAT 320,


dengan spesifikasi bucket pada Gambar 5.12. Pemilihan alat tersebut dikarenakan
lebar bucket tidak melebihi lebar lantai saluran terbuka.

75
Gambar 5.9
Excavator Hydraulik Cat 320

Gambar 5.10
Spesifikasi Excavator Hydraulik Cat 320

5.5. Layout Sistem Penyaliran Tambang


PT Allochem Resources menempatkan saluran terbuka pada elevasi 325
mdpl di sekeliling area penambangan dan produksi serta di sepanjang sisi
jalan tambang. Panjang total saluran terbuka pada sekeliling area
penambangan dan produksi sepanjaang 2.232 m, sedangkan total panjang
saluran terbuka di sisi jalan tambang sebesar 741 m. Panjang sisa saluran
terbuka di sisi jalan per tahun dapat dilihat pada Tabel 5.13 Penempatan
kolam pengendapan berada pada elevasi 320 mdpl. Layout sistem penyaliran
tambang PT Allochem Resources berada pada Lampiran E.15

76
Tabel 5.13
Panjang Saluran Terbuka Tiap Tahun
Panjang Saluran Terbuka
Tahun
Jalan Sekeliling Kantor Luar site
0 741 1249 983
1 263 1249 983
2 232 1249 983
3 46 1249 983
4 19 1249 983
5 0 1249 983
6 0 1249 983
7 0 1975 983

5.6. Pemanfaatan Air Tambang


PT Allochem Resources mengelola air tambang yang bertujuan untuk
meminimalisir dampak lingkungan. Salah satu penanganan pengolahan air
tambang adalah dengan menggunakan kolam pengendapan. Penggunaan kolam
pengendapan ditujukan untuk mengurangi kontaminasi dari partikel-partikel yang
terlarut dalam aliran air tambang.

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 mensyaratkan bahwa jumlah residu


tersuspensi pada air limbah yaitu maksimum sebesar 50 mg/l untuk kelas 1 dan 2
serta 400 mg/l untuk kelas 3 dan 4 (lihat Gambar 5.13) Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta NO. 7 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah
(lihat Tabel 5.14) telah disebutkan bahwa untuk nilai Total Suspended Solid (TSS)
yaitu maksimal 200 mg/l atau 0,2 kg/m3. Air tambang yang dikeluarkan PT
Allochem Resources memiliki parameter TSS yaitu sebesar 32,4 mg/l. Sehingga
menurut PP No. 82 Tahun 2001 dan Perda DIY No. 7 Tahun 2016 dapat dikatakan
kategori aman.

Pemanfaatan air tambang yang sudah dikelola oleh PT Allochem Resources


nantinya akan digunakan untuk irigasi. Hal ini dikarenakan lokasi PT Allochem
Resources jauh dari perairan bebas seperti sungai dan laut.

77
Gambar 5.13
Klasifikasi Air Limbah

Tabel 5.14
Persyaratan Air Limbah

78

Anda mungkin juga menyukai