ACARA II
HUJAN WILAYAH DAN PENENTUAN JARINGAN STASIUN HUJAN
I. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menghitung hujan wilayah dengan beberapa cara.
2. Mahasiswa dapat menentukan jaringan stasiun hujan dengan beberapa
cara.
Rumus
dengan :
P = Curah hujan daerah (mm)
n = Jumlah titik-titik (stasiun-stasiun) pengamat hujan
P1, P2,, Pn = Curah hujan di tiap titik pengamatan
A1 P1 A2 P2 .... An Pn
P
A1 A2 ..... An
Rumus
dengan :
P = Rata rata curah hujan wilayah (mm)
P1,P2,...Pn = curah hujan masing masing stasiun (mm)
A1,A2,...An = luas pengaruh masing masing stasiun(km2)
rata dari kedua garis Isohyet tersebut. Metode Isohyet merupakan cara paling
teliti untuk menghitung kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada
metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata, metode Isohyet
membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibanding dua
metode lainnya. (Triatmodjo, 2008).
Rumus
P1+ P2
2
P1+ P2
2
Pn+ P
+ ..+ An (
2
n+ 1
)
1
A
P=
dengan :
P = Rata rata curah hujan wilayah (mm)
P1,2,3,n = Curah hujan masing masing isohiet(mm)
A1,2,3n = Luas wilayah antara 2 isohiet (km2)
Jumlah Stasiun Hujan Yang Diperlukan Untuk Ukuran DAS Dengan Luas
Tertentu
Pt = P1 + P2 + + Pn
Keterangan :
P1 = curah hujan di stasiun ke-1
P2 = curah hujan di stasiun ke-2
Pn = curah huajn di stasiun ke-n
Menghitung hujan rata-rata DAS (Pm)
Keterangan :
n = banyaknya stasiun hujan
Dimana :
Y : persentase perbedaan / penyimpangan relatif (%)
XI : harga rata-rata curah hujan dari stasiun yang ada (mm)
XII : harga rata-rata curah hujan tahunan dari stasiun hujan hasil
pemilihan (mm)
I. HASIL PRAKTIKUM
A. Hujan Wilayah
1. Metode Rerata Aljabar
Perhitungan rerata aljabar (terlampir)
2. Metode Polygon Thiessen
Tabel 2.1 Metode Polygon Thiessen
Rerata Luas Luas % Luas Hujan
No Stasiun
Hujan Stasiun Rasio Rasio Wilayah
1 Lumbir 2295.3 15.16 0.073 7.3 167.557
2 Kranji 2218.35 9.88 0.047 4.7 104.262
3 Bojongsari 1938.55 12.1 0.058 5.8 112.436
4 Ajibarang 2448.25 25.32 0.122 12.2 297.87
5 Kalibagor 2053.15 7.52 0.036 3.6 73.913
6 Wangon 3607.85 3.39 0.016 1.6 58.77
7 Cilongok 2730 16.74 0.08 8 219.596
8 Jatilawang 2784.85 15.59 0.075 7.5 208.864
9 Purwokerto 2824.8 2.12 0.01 1 28.248
10 Banyumas 2326.1 10.11 0.048 4.8 111.653
11 Sokaraja 1925.07 16.5 0.079 7.9 152.08
12 Sumpiuh 2464.9 33.17 0.159 15.9 392.873
13 Baturraden 2286.405 40.51 0.195 79.5 445.849
Jumlah 2373.971
3. Metode Isohyet
Tabel 2.2 Metode Isohyet
Rata-rata
% Luas Hujan
No Interval CH Luas Luas Rasio Interval
Rasio Wilayah
CH
1 1938.55-2000 17.27 0.089 8.9 1938.55 172.531
2 2000-2100 12.88 0.067 6.7 2050 136.546
3 2100-2200 15.6 0.081 8.1 2150 173.45
4 2200-2300 50.45 0.261 26.1 2250 587.022
5 2300-2400 27.89 0.144 14.4 2350 338.944
6 2400-2500 12.84 0.066 6.6 2450 161.7
3. Metode Varshney
Perhitungan metode Varshney (terlampir)
4. Metode Garg S.K
Perhitungan metode Garg S.K (terlampir)
V. PEMBAHASAN
Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam
perancangan bangunan-bangunan hidraulik. Data hidrologi adalah kumpulan
keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (Soewarno 1995). Salah
satu data hidrologi yang penting dalam analisis hidrologi adalah data curah
hujan. Data curah hujan didapat dari pengukuran pada stasiun hujan. Karena
intensitas, penyebaran, serta kedalaman hujan berbeda dan tidak merata disetiap
wilayah, maka pola penempatan dan penyebaran stasiun pencatatan curah hujan
harus tepat sehingga diharapkan dapat memberikan data yang mewakili lokasi
dimana stasiun tersebut berada.
Praktikum kali ini dalam pengerjaannya dibagi kedalam dua poin
penentuan. Pertama, pengujian stasiun hujan dilakukan dengan menggunakan
metode rerata aljabar, metode polygon thiessen dan metode garis isohyet.
Kemudian yang kedua adalah penentuan jaringan stasiun hujan yang dilakukan
dengan menggunakan metode Wilson E. M (1974), metode Sofyan Dt. Majo
Kayo (1988), metode Varshney (1974) dan metode Garg SK (1982).
Metode rerata aljabar berdasarkan perhitungannya terhadap 13 stasiun
hujan yang ada diperoleh hasil hujan wilayah sebesar 2454.121154 mm/tahun.
Metode ini hanya disarankan untuk kondisi DPS dengan topografi pedataran
(flat topography) dengan jumlah pos hujan cukup banyak dan lokasinya tersebar
merata (uniformly distributed) pada lokasi yang terwakili. Apabila persyaratan
itu tidak terpenuhi maka metode ini akan memberikan hasil perhitungan yang
tidak teliti. Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos
penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran
masing- masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh
pos di seluruh areal.
Perhitungan hujan wilayah selanjutnya menggunakan metode Polygon
Thiessen. Contoh perhitungan sesuai data terlampir adalah pencarian rasio
Stasiun Ajibarang dengan diketahui luas dari kotak Stasiun Wangon adalah
25.32 cm lalu diperoleh luas rasio stasiun sebesar 0.121666426 yang kemudian
perolehan data tersebut digunakan untuk mencari luas rasio sehingga diperoleh
hasil hujan wilayah sebesar 2373.971 mm/tahun. Penerapan metode ini tidak
mempertimbangkan bentuk topografi DPS, sehingga tidak disarankan digunakan
pada DPS yang berbukit bukit atau bergunung gunung karena adanya
pengaruh orografis terjadinya hujan. Disamping itu jika terjadi penambahan atau
pengurangan jumlah pos atau pemindahan jumlah pos hujan akan mengubah
luas jaringan poligon. Salah satu pos hujan tidak terukur datanya karena
misalnya rusak atau datanya meragukan maka jaringan poligon juga akan
berubah. Meskipun demikian metode ini dianggap lebih baik daripada metode
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum Hidrologi Lingkungan mengenai hujan
wilayah dan penentuan jatingan stasiun hujan, dapat disimpulkan beberapa hal,
yaitu:
1) Metode Polygon Thiessen dianggap paling akurat karena telah
mempertimbangkan luas daerah yang dianggap mewakili, sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E, Budiman, dan Mimin Karmini. 2011. Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim di Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Kedeputian Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika: Jakarta.