Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.


Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.1
Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling
sering, hematoma subdural tidak hanya terjadi pada cidera kepala berat tetapi juga
dapat terjadi pada orang dengan cidera kepala yang tidak terlalu berat seperti
pasien tua atau yang menerima terapi antikoagulan. Hematoma subdural mungkin
juga terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur diagnostik seperti
fungsi lumbal. Secara umum, hematoma subdural diklasifikasikan menjadi fase
akut (terjadi dalam kurang 48 jam), fase subakut (terjadi antara 2 sampai 14 hari),
dan fase kronik (berkembang selama berminggu-minggu dan lesi hipodens).
Presentasi dari hematoma subdural akut bervariasi sangat luas, beberapa pasien
datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma. Sebanyak 50% pasien trauma
kepala memerlukan operasi bedah saraf yang diklasifikasikan berdasarkan berat
atau ringannya trauma kepala (berdasarkan skor GCS). Dan beberapa dari pasien
mengalami lesi intrakranial.2
Estimasi insiden hematoma subdural kronik sebesar 13,1 per 100.000
pertahun, dengan insiden 3,1 per 100.000 pertahun pada pasien usia kurang dari
65 tahun dan 58,1% per 100.000 per tahun pada pasien yang lebih tua. Insiden
pada pasien trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan 200 per 100.000
orang. Studi dari universitas California, Los Angeles pada tahun 2006
mengevaluasi pasien trauma tumpul yang menjalani CT-Scan cranial, 8,7%

1
didapati memiliki trauma otak akut yang signifikan. Studi sebelumnya
menyatakan insiden trauma kepala tertinggi pada usia 10-29 tahun.3
Pada pasien yang mengalami hematoma intracranial memerlukan
dekompresi emergensi. Hematoma subdural akut paling banyak dihubungkan
dengan trauma otak yang luas, 82% pada pasien koma dengan hematoma subdural
terdapat kontusio parenkim. Tingkat keparahan dari pada keterlibatan parenkim
sangat berhubungan dengan prognosis pasien nantinya. Hematoma subdural akut
merupakan tipe trauma intracranial yang paling banyak, terjadi pada 24% pasien
dengan keadaan koma. Hematoma subdural juga berhubungan kuat dengan
kerusakan otak. Trauma yang signifikan tidak hanya menyebabkan hematoma
subdural. Hematoma subdural kronik dapat terjadi pada pasien tua setelah
mengalami trauma kepala yang tidak signifikan. Hematoma subdural kronik
merupakan penyebab terbanyak dimensia, dan sebagia kecil hematoma subdural
kronik disebabkan oleh hematoma subdural akut yang terapinya tidak adekuat.1,2,4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.1

Gambar 2.1. Hematoma Subdural

2.2 Anatomi
2.2.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galeaaponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
danpericranium.5

3
Gambar 2.2. Anatomi Lapisan Pembungkus Otak

2.2.2 Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis,
namun di sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :

4
fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagianbawah batang otak dan serebelum.6
2.2.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3lapisan yaitu:

1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinussagitalis superior
di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
darikranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang palingsering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.

5
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. 3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia mater.6

2.2.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi koordinasi
dan keseimbangan.

Gambar 2.3. Lobus Otak

2.2.5 Cairan serebrospinalis


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus

6
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.

2.2.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
2.2.7 Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

2.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:1
• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin,
hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau
metastase dural.
• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural
spinal, lumboperitoneal shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome

7
• Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :


• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral
atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan
alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi
antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi,
arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.

Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan


pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid
lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia
dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan
hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma subdural
kronik dalam terapi aspirin.1

2.4 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena
otak yang diselimuti cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada
trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut
menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala
akut menyerupai hematoma epidural.7,8,9
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik
serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan
subdural akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh
ruptur vena - vena yang berjalan diantara hemisfer bagian medial dan falks; juga
pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena

8
cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala
klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan
subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).7,8,9
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
terbentuk jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial yang
meningkat secara perlahan-lahan.

Gambar 2.4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.


Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak
mengecil, sehingga walaupun hanya mengalami trauma ringan dapat
menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga
berlangsung lebih lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering
terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya

9
menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik pada bagian dalam dan
bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di
dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume
dari perdarahan subdural kronik. 7,8,9
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.
Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada
hematoma subdural kronik, didapatkan juga bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.7,8,9
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa terjadi perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik. Faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau

10
kapsula dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik. 7,8,9
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan secara
bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang bersamaan,
darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut adalah
terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang menempel pada dura.
Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga mengakibatkan
skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan
subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan reparasi tubuh
setiap individu sendiri. 7,8,9

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari
48 jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat
sehingga dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta
baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.8,10,11
2.5.2 Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar
2 sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak
sadar, kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap.
Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita akan memperlihatkan
tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan
tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya
dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran
CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens ini

11
diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin. 8,10,11
2.5.3 Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah
trauma atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak
jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan perdarahan
subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, hematoma atau
perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-
lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat
yang terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang lebih baru,
kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam ukuran yang
masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus
dinding ini dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
meningkatnya volume hematoma. 8,10,11
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens. 8,10,11

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus
yang menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.
Penderita dengan hematoma subdural yang lebih ringan akan sadar kembali pada

12
derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat
terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh
kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran
setelah terjadinya trauma.9,11
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat
cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit
motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik
hematoma atau lesi parenkim otak umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil
yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi, gambaran
pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan indikator yang mutlak dalam
menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak sesuai bila
kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat
terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma.
Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai indikator letak hematoma
subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat
yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran
pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer,
kecuali apabila terdapat efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan merupakan manisfestasi dari peningkatan tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan N.
III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya. 9,11
a) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya

13
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah. 9,12,13
b) Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun dalam jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan
oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 9,12,13
c) Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya
selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma. 9,12,13
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada

14
kedua keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis seperti: 9,12,13
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari
jatuh, kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan
terhadap terjadinya subdural hematom akut muncul kapapun ketika pasien
mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran
klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi
tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah
kejadian. Beberapa pasien dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam
masa perburukan yang muncul perlahan seiring perluasan hematoma.
Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut dibanding
pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan
rerata umur pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura
hematoma akut adalah 26 tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami
subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu pasien usia tua
menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom akut
setelah cedera kepala.14 Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien tua
memiliki otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan yang

15
lebih mudah terjadi pada bridging vein segera setelah cedera kepala
terjadi.14
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul
antara 4 hingga 21 hari setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik
ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari atau lebih setelah
cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.15
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada
tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak
penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma
kepala.11,16
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut.
Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita,
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh
alkohol.11,16
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan
nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat
untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan

16
tekanan darah untuk memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan Cushing respon yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.17,18 Pemeriksaan neurologis yang meliputkankesadaran
penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter kedua
pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran
dengan Skala GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan
fungsi ARAS, batang otak dan kortes).18 Pemeriksaan diameter kedua
pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi
herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang
kortex menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan
pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil.
Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan
hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila terjadi trauma langsung
pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 2.1 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural23


Gejala Umum (sering) Gejala Ringan (sering) Gejala Akut/Berat (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi
Tampak lelah Gangguan gaya jalan Afasia
Mual/Muntah Penurunan keadaan Kejang
mental
Vertigo Kesulitan berbicara Koma
Kelemahan anggota
gerak
Inkontinensia

2.8 Diagnosis Banding17


a. Stroke
b. Encephalitis
c. Abses otak

17
d. Adverse drugs reactions
e. Tumor otak
f. Perdarahan subarachnoid
g. Hydrocephalus

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh
sebelumnya,cedera kepala minor, onset dan perjalanan gejala klinis, penyakit
kardiovaskular, gangguan pendarahan, pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-
obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan darah; imaging otak perlu
dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-scan (Computed Tomography
scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk evaluasi awal cSDH.19,20
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury,
kontusio pada otak disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke
dalam ruang subdural dari ruang subarachnoid pada korban cedera kepala sedang,
sedangkan robekan arachnoid disekitar bridging vein menyebabkan akumulasi
sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan cedera kepala ringan pada
subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau densitas yang
bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak
melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH terjadi
pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat juga muncul antara
hemisphere atau lapisan diatas tentorium.Densitas hematoma bervariasi
tergantung dari stadium evolusi hematoma. Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran
hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga sekitar 3 minggu menjadi SDH
subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos), dan akhirnya
menjadi SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos)
(Gambar 2.5)21
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat
gambaran SDH akut, subakut, dan kronis(Gambar 2.6). Perhatian khusus pada
gambaran isoden dari SDH subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian.
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki tingkat keakuratan lebih baik
daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara tepatsehingga
gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali. Pada hampir

18
semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27%
dapat ditemukanpada CT scan.20
Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam
menegakkan diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di akses,
dan lebih cepat. Ketika menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk
menggambarkan batas SDH kronis dan menentukkan struktur yang terdapat
didalam hematoma.20

Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.


Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH more
than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 2.6. CT scan Kepala pada Pasien dengan Progresif Hemiplegi Kiri dan
Penurunan Kesadaran.
Demonstratingan acute-on-chronic subdural hematoma. History revealed that the patient sustained
a fall 4 weeks before presentation. Arrowheads outline the hematoma. The acute component is
slightly denser and is seen as the hyperdense area in the dependent portion.

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Operasi
Indikasi :

19
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan
terjadi terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH
kronis dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat
gejala neurologis masih merupakan hal yang controversial.

Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa
melihat GCS pasien. (surgical guideline)

Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari
9) harus dilakukan monitor tekanan intracranial.

Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm
dan midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot
jika skor GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang
anisokor dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.22

Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan
evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:

Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat
dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan
untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan
kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang
kontinyu dan memberikan brain expansion setelah operasi.23TDC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 10mm pada
tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana hematoma sudah
menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.24

Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling
sering digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk
mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC
dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada
tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma

20
yang biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma
cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai
volume hematoma lebih dari 200 ml.18

Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga
memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi
yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling invasif,
karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang keluar,
dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter
bedah sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika
terdapat rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau
terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang
subdural, atau terdapat membran yang tebal.25,26 Pada craniostomy
dibuat sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan
mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat juga
dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang dianagkat akan
ditanam pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada
otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke lokasi asalnya.26

Subtemporal decompressive craniectomy

Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural
grafting.

Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian,keterampilan,


dan elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi
tertentu.21

2.10.2 Terapi Konservatif


Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien
yang asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi. 25 Meskipun metoda
drainase operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis
tetapi beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.25

21
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan
menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala
klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan,
dan ada tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial
seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis
untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu
pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga
secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:27
 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan
cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:



Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan
koagulopati dan memerlukan suatu penyesuaian kembali profil
koagulasinya.28 Perbaikan terhadap faal hemostasis sangatlah penting
pada semua psien dengan subdural hematoma. Semua pasien yang
sedang dalam pengobatan antikoagulasi harus menghentikan
penggunaan antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien
harus dilakukan pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT
(partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.

Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi
faktor penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti :
Tissue plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor
inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.25

Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh
tulang yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat
dijelaskan menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan
hubungan antara volume otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran
darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.29

22
Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume
tersebut meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya
tekanan intrakranial akan segera meningkat. Peningkatan tekanan
intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro Vascular Resistant)
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion
pressure dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan
Cushing response.29

CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial


Pressure) - ICP (Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha


mempertahankan tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP,
sehingga tekanan darah akan meningkat disetai dengan bradikardia,
dan bradipnea. Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah ke
otak yang adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi
otak bernilai sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial
<20mmHg.30Beberapa upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah
dan mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dengan:30
o
Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg
jika terdapat intsabilitas spinal
o
Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat
dimonitor dengan analisis gas darah serial)31
o
Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB,
untuk membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga
beban cairan akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular.
Sebelum memilih menggunakan manitol perlu untuk mengetahui
fungsi ginjal pasien.
o
Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau
analgesia akanmengurangi kecemasan , ketakutan dan respon
terhadap nyeri berupa postural spontan yang merupakan factor

23
yang mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini
dapat ditangani dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam
dan vecuronium 10 mg/jam
o
Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.32
o
Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan
phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.33
o
Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk
menururnkan TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy (burr
hole).

2.11 Prognostik
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa
kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan
kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada
beberapa kasusyang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi
otak.Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan
prognosisyang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh
total.23Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.Pada
penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter < 1cm),
prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari
penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)
mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. 16,23
Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka
mortalitas lebih kurang 20%.Perdarahan subdural akut yang kompleks
(complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau
laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak.
Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan
volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang
paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio
parenkim otak.Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang
luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi
lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian.
Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian

24
tidaklah selalu berakhir dengan kematian.Pada kebanyakan kasus SDH akut,
keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan
prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra axial di ruang
subdural. Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-
satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome) penderita SDH akut.14
Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan
penderita SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas
40% - 65%. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan
mortalitas yang sangat tinggi. Pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks
okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya
mempunyai functional survival sebesar 10%.23

25
BAB III
RINGKASAN

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.


Dalam bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.Hematoma
subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang paling sering, hematoma
subdural tidak hanya terjadi pada trauma kepala berat tetapi juga dapat terjadi
pada orang dengan trauma kepala yang tidak terlalu berat seperti pasien tua atau
yang menerima terapi antikoagulan.Perdarahan terjadi antara duramater dan
arachnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’
(menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater)
atau karena robeknya arachnoid.Secara umum, hematoma subdural
diklasifikasikan menjadi fase akut (terjadi dalam kurang 48 jam), fase subakut
(terjadi antara 2 sampai 14 hari), dan fase kronik (berkembang selama berminggu-
minggu dan lesi hipodens).Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya
cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan
volume hematoma.Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo,
papil edema, diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan
defisit neurologis lainnya. Diagnosis SDH dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan juga dari pemeriksaan penunjang. CT-scan (Computed
Tomography scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk evaluasi awal
SDH. Penangan SDH terbagi menjadi tindakan operatif yang dikerjakan
berdasarkan indikasi; serta terapi konservatif guna memperbaiki hemostasis
pasien, pemberian kortikosteroid, dan pengendalian peningkatan tekanan
intracranial.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Meagher RJ et al. Subdural Hematoma. Last Updated 8 January 2015.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
[diakses tanggal: 6 November 2015]
2. Campellone JV. Subdural Hematoma. Last Updated 27 July 2014.
Available from:
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000713.htm [diakses
tanggal: 6 November 2015]
3. BMJ Publishing Group. Subdural Hematoma. Last Updated 26 Augustus
2015. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/416/basics/epidemiology.html [diakses tanggal: 6
November 2015]
4. Adhiyaman A, Asghar M, Bowmick BK. Chronic Subdural Hematoma in
The Elderly. Department of Geriatric Medicine, Glan Clwyd District
General Hospital. UK. 2001:71-74
5. Japardi I. Anatmi Tulang Tengkorak. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara. USU Digital Library. 2003:1-7.
6. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT
Gramedia.2008.
7. Charles, F. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United
State of America: The McGraw-Hill.
8. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven,
halaman 837-843.
9. David CA, Arle JE. Trauma to the Brain dalam: Jones HR, Srinivasan J,
Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology 2nd edition. 2012;13(59)
halaman 552-561.
10. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.
11. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan
Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman
297- 306. FK USU: Medan.
12. Suman S, Meenakshisundaram S, Woodhouse P. Bilateral chronic subdural
haematoma: a reversible cause of parkinsonism. J R Soc Med. 2006.
99(2):91-2.

27
13. Giray S, Sarica FB, Sen O, Kizilkilic O. Parkinsonian syndrome associated
with subacute subdural haematoma and its effective surgical treatment: a
case report. Neurol Neurochir Pol. 2009. 43(3):289-92.
14. Kotwica Z, Brzezinski J. Acute subdural haematoma in adults: an analysis
of outcome in comatose patients. Acta Neurochir (Wien). 1993. 121(3-
4):95-9
15. Morinaga K, Matsumoto Y, Hayashi S, Omiya N, Mikami J, Sato H, et al.
[Subacute subdural hematoma: findings in CT, MRI and operations and
review of onset mechanism]. No Shinkei Geka. 1995 Mar. 23(3):213-6.
16. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical
Encyclopedia, 2012.
17. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma , Medscape Reference, 2011.
18. Kaye, A. 2006. Textbook of Surgery Third edition hal 417-425. USA:
Blackwell Publishing.
19. Markwalder TM. Chronic subdural hematomas: a review. J Neurosurg.
1981 May; 54(5):637-45.
20. Senturk S, Guzel A, Bilici A, Takmaz I, Guzel E, Aluclu MU, et al. CT and
MR imaging of chronic subdural hematomas: a comparative study. Swiss
Med Wkly. 2010 Jun 12;140(23-24):335-40.
21. Bullock MR,Chesnut R, Ghajar J, Gordon D,et al. Surgical management of
TBI author group vol.58 number 3,Neurosurgery. 2006.pg :s2-1 - s2-66.
22. Osborn AG BS, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo N,
Heldlund GL, Illner A, Harnsberger HR, Cooper JA, Jones BV, Hamilton
BE editor. Diagnostic Imaging Brain. 1st ed. Salt Lake City, Utha, USA:
Amirsys; 2004.
23. Soleman J,Taussky P,Fandino J, Muroi C.2014. Evidence-based treatment
of chronic subdural hematoma. INTECH pg.250-271.USA.
24. Ducruet AF, Grobelny BT, Zacharia BE, Hickman ZL, DeRosa PL,
Anderson K, et al. The surgical management of chronic subdural
hematoma. Neurosurg Rev. 2012 Apr; 35(2):155-69; discussion 69.
25. Santarius T, Kirkpatrick PJ, Kolias AG, Hutchinson PJ. Working toward
rational and evidence-based treatment of chronic subdural hematoma. Clin
Neurosurg. 2010;57:112-22.
26. Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Outcome of contemporary surgery for
chronic subdural haematoma: evidence based review. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003 Jul;74(7):937-43.

28
27. Lee KS,Bae HG,Yun Gyu. Small-sized Acute subdural hematoma: operate
or not.Journal of Korean Medical Science.1992.52-57.
28. Sambavian M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience
with 2300 urgical cases. Surg Neurol. 1997(47):418-22.
29. Ngoerah, I Gst Ng Gd. Dasar – dasar ilmu penyakit saraf.Airlangga
University Press:Surabaya.1991.
30. Rosner MJ, Rosner SD, Johnson AH. Cerebral perfusion pressure:
management protocol and clinical results. J Neurosurg. 1995;83:949-962.
31. Oertel M, Kelly DF, Lee JH, et al. Efficacy of hyperventilation, blood
pressure elevation, and metabolic suppression therapy in controlling
intracranial pressure after head injury. J Neurosurg. 2002;97:1045-1053
32. Tokutomi T, Morimoto K, Miyagi T, et al. Optimal temperature for the
management of severe traumatic brain injury: effect of hypothermia on
intracranial pressure, systemic and intracranial hemodynamics, and
metabolism. Neurosurgery. 2003;52:102-111.
33. Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al. High-dose barbiturate
control of elevated intracranial pressure in patients with severe head injury.
J Neurosurg. 1988;69:15-23.

29

Anda mungkin juga menyukai