PENDAHULUAN
1
Selain itu, uji untuk mutagenisitas pada tahun-tahun belakangan ini telah lebih
banyak dipergunakan karena nilainya sebagai suatu penyaring cepat untuk karsinogenitas.
Perkembangan ini terutama muncul dari fakta bahwa sebagian besar mutagen terbukti
bersifat karsinogen. Selain itu, uji ini, dengan berbagai jenis titik akhirnya, berguna untuk
mempelajari lebih lanjut cara kerja karsinogen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Selain itu, mutagen dapat masuk ke dalam molekul DNA; hal ini dapat juga
menyebabkan kesalahan dalam pemasangan basa. Berbagai perubahan dalam molekul
DNA ini dapat menyebabkan penggantian suatu asam amino baru dalam molekul protein
yang disandi, atau menghasilkan urutan asam amino yang berbeda dalam protein yang
disintesis. Lebih lanjut, mungkin terbentuk suatu kodon penutup/pemutus sintesis protein,
sehingga dihasilkan protein yang lebih pendek. Perubahan yang pertama dapat berakibat
perubahan sifat biologi mlekul protein maupun tidak, tetapi dua perubahan yang terakhir
ini hamper selalu menyebabkan perubahan sifat biologi.
4
Gambar. Mutasi pergeseran kerangka akibat delesi atau insersi basa nukleotid. Serangkaian kodon
baru dibentuk pada bagian distal dari tempat delesi atau insersi, sehingga terbentuklah asam amino
baru dalam protein (Dari Brusick, 1987)
5
Strain E. coli yang mengalami berbagai tingkat defisiensi mekanisme
perbaikan DNA juga digunakan dalam uji mutagenesis. E. coli jenis liar lebih
mampu mengatasi efek mutagen pada DNA lewat mekanisme perbaikan yang
normal, sementara mutannya tidak dapat. Meskipun kebanyakan sistem mikroba
dirancang untuk mendeteksi mutasi balik, E. coli strain Mohn dapat mendeteksi
mutasi maju, misalnya resistensi terhadap 5-metiltriptofan (Mohn dkk., 1974).
6
dengan 2-asetilaminofluoren, yang menghasilkan hasil negatif pada asai
perantaraan inang yang biasa (Durston dan Ames, 1974).
Serangga
Sistem yang biasa digunakan adalah sel limfoma mencit (Clive dan Spector,
1975), limfoblast manusia (Sato dkk., 1972), dan sel dari paru-paru, indung
telur, dan jaringan lain tupai Cina (Chu, 1971). Sel ini biasanya mempunyai
jumlah kromosom yang hampir diploid, tumbuh dengan aktif, dan mempunyai
efisiensi klon tinnggi. Baik mutasi balik maupun mutasi maju dapat terjadi, dan
mutan bereaksi secara selektif terhadap manipulasi gizi, biokimia, serologi, dan
obat menghambat pertumbuhan.
7
atau tak ada toksikan, baik dalam perbenihan yang mengandung BrdU maupupn
dalam perbenihan normal.
Jajaran sel ini biasanya kekurangan enzim metabilosme. Karena itu, sering
ditambahkan sistem enzim itu (perantaraan-mikrosom). Pilihan lainnya ialah
membiakkan sel ini bersama dengan sel lain yang memiliki kemampuan lebih
besar dalam membiotransformasi toksikan. Sistem perantaraan-sel seperti itu
pertama kali diuraikan oleh Huberman dan Sachs (1974). Pendekatan baru yang
disarankan oleh Williams (1979) melibatkan penggunaan hepatosit yang baru
saja diisolasikan sebagai sistem pemberi makan. Keuntungan tambahannya
adalah kemampuan mengkonjugasikan disamping menghancurkan toksikan.
Dalam uji perantaraan-pejamu, sel sasaran disuntikkan ke dalam hewan yang
menerima zat kimia yang akan diuji (Fischer dkk., 1974).
8
telinga, dam ciri-ciri lain. Beberapa mutan merupakan mosaik dan
bukan hewan lengkap. Mutasi dapat juga dideteksi oleh penolakan atau
penerimaan cangkokan kulit yang dilakukan antara keturunan generasi
pertama. Mutasi ini dapat lebih jauh digolongkan secara imunogenetik
Bailey dan Kohn, 1965).
9
Serangga
Drosophila melanogaster mempunyai keuntungan karena beberapa selnya
memiliki kromosom yang bentuk dan ukurannya besar. Selain itu, berbagai efek
kromosom yang dapat dengan mudah dipastikan secara genetik, misalnya
letalitas terangkai-seks resesif. Efek kromosom ini antara lain berupa hilangnya
kromosom X dan Y, dan translokasi fragmen antara kromosom kedua dan ketiga.
Efek pada kromosom seks dapat juga dideteksi oleh perubahan fenotipe,
misalnya warna badan dan warna serta bentuk mata (National Research Council,
1983).
10
Uji In Vivo
Sel mamalia yang digunakan dalam penelitian efek kromosom in vivo
antara lain adalah sel germinal dan jaringan somatik. Bahan kimia yang
akan diuji diberikan kepada hewan utuh, misalnya hewan pengerat (mencit,
tikus, tupai) dan manusia. Jaringan somatik yang biasa digunakan adalah
sumsum tulang dan limfosit perifer. Protokol klasik yang menggunakan
sumsum tulang mencit, tukus atau tupai telah disediakan oleh Komite Ad
Hoc dari Environmental Mutagen Society dan Institute for Medical
Research (1972). Cara pemberian skor sama dengan cara dalam uji in vitro.
Suatu prosedur in vivo yang agak lebih sederhana adalah uji
mikronukleus. Ini dilakukan dengan menggunakan sel stem eritrosit
polikromatik dari mencit CD-1. Enam jam setelah dua kali pemberian zat
kimia yang diuji, dengan selang waktu 24 jam, hewan dibunuh dan sumsum
tulang dikumpulkan dari kedua femur. Peningkatan jumlah sel yang
bermikronukleus dibandingkan kontrol (sekitar 0,5%) dianggap positif
(Schmid, 1976). Mikronukleus ini mewakili fragmen kromosom dan
kromatid akibat gangguan fungsi spindel/sentromer.
Untuk uji pada sel germinal, biasanya digunakan hewan jantan. Untuk
memungkinkan terpajannya sel dengan berbagai tahap spermatogenesis
yang berbeda, zat kimia diberikan setiap hari selama 5 hari dan hewan
dikorbankan 1, 3, dan 5 minggu setelah dosis terakhir. Sperma dikumpulkan
dengan membedah caudae epididimis. Setelah direkatkan dan diwarnai,
dihitung insidens sperma dengan kepala yang abnormal, dan ini
dibandingkan dengan kontrol negatif dan positif (Wyrobek dan Bruce.
1975).
Uji ini dirancang untuk menunjukkan efek toksik pada sel germinal
pada hewan jantan utuh, biasanya mencit atau tikus. Efeknya dapat muncul
pada hewan betina yang dikawini dalam bentuk matinya implantasi
dan/atau hilangnya praimplantasi (beda antara jumlah korpus luteum dan
jumlah implantasi). Efek ini biasanya disebabkan oleh kerusakan
11
kromosom, yang mengakibatkan kesalahan perkembangan yang fatal bagi
zigot. Namun, efek sitotoksik lain dapat juga menyebabkan kematian dini
janin. Protokol khusus telah disediakan dalam sejumlah makalah (Ehling
dkk., 1978).
2.4 Pengujian
Sejumlah uji yang berkaitan untuk menentukan karsinogenitas antara lain:
a. Transformasi Sel Mamalia In Vitro
Dalam uji ini biasanya digunakan sel mencit BALB/3T3. Sel lainnya adalah sel
embrio tupai Suriah, sel mencil 10T1/2, dan sel manusia. Biasanya sel-sel ini
akan tumbuh dalam perbenihan biakan membentuk suat lapisan tunggal.
Meskipun demikian, sel yang diberi karsinogen akan berbiak tanpa melekat pada
permukaan yang padat dan tumbuh diatas lapisan tunggal itu. Koloni yang
memiliki banyak lapisan itu menunjukkan transformasi ganas. Titik akhir ini
dapat dipastikan dengan menginjeksikan sel ini ke dalam hewan singenik.
Umumnya, jika sel telah menjalanitransformasi, tumor ganas akan muncul
(Kakunaga, 1973). Karena itu, hasil positif pada uji ini sangat bermakna.
12
b. Uji Pembesaran Inti
Sel HeLa ditanam dalam perbenihan biakan dan diberi zat kimia yang diuji
dengan kadar yang berbeda-beda. Setelah selang waktu tertentu, sel dipanen dan
dihitung. Sel-sel ini kemudian dibuang zat sitoplasmanya dan ukuran intinya
ditentukan dengan penghitung partikel. Membesarnya ukuran inti menunjukan
karsinogenitas zat kimia itu (Finch dkk,. 1980).
13
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bahaya mutagenesis tidak diragukan lagi. Seperti disebutkan
sebelumnya,banyak penyakit hewan diduga berkaitan dengan aberasi kromosom serta
mutasi gen dominan dan resesif. Selain itu, mutagenesis dapat berguna pada penelitian
etiologi penyakit biasa, misalnya diabetes mellitus, epilepsi, skizofrenia, hipertensi
esensial, katarak, penuaan, penyakit jantung, dan kanker tertentu. Akhirnya, harus
diingan adanya hubungan erat antara mutagen dan karsinogen.
Dengan demikian, ada tantangan besar bagi ahli toksikologi untuk
mengudentifikasi mutagen yang mengenai manusia dan menghitung resikonya. Sejauh
ini, keberhasilan dalam daerah ini masih terbatas. Sistem uji baru masih dikembangkan,
dan kesahihan serta keterbatasan uji yang ada masih dipelajari. Namun, pengetahuan
dalam bidang ini kini memberikan suatu dasar untuk pendekatan rasional dalam
menyaring toksikan dari segi potensi mutagen/karsinogennya.
14