Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mutasigenesis dapat terjadi akibat interaksi antara zat mutagen dan zat genetik
organisme. Meskipun mutasi spontan dan seleksi alam merupakan cara evolusi utama,
dalam dasawarsa akhir-akhir ini sejumlah toksikan terbukti bersifat mutagen bagi berbagai
jenis organisme.

1.2 Bahaya Bagi Kesehatan


Pada saat ini efek akhir panjang manusia terhadap berbagai zat mutagen ini belum
dapat diramalkan. Namun, sebagian aborsi spontan, kelahiran mati, dan penyakit turunan
telah terbukti berkaitan dengan perubahan dalam molekul-molekul DNA dan dengan
aberasi kromosom. Ada sekitar 1000 mutasi gen dominan yang bertanggung jawab untuk
berbagai penyakit, termasuk neoplasma turunan, misalnya retinoblastoma bilateral; jumlah
kelainan gen resesif, misalnya anemia sel-sabil, fibrosis kistik, dan penyakit Tay-Sachs,
kurang lebih sama. Selain itu, aberasi kromosom berhubungan dengan penyakit, misalnya
sindroma Down, sindroma Klinefelter, dan sindroma Turner. Diperkirakan penyakit-
penyakit itu akan muncul dengan insiden 0,5% diantara kelahiran hidup di Amerika
Serikat. Di lingkungan, efek mutagen apapun hanya dapat nyata setelah selang waktu
beberapa generasi. Karena masalah ini merupakan persoalan yang serius, diperlukan
penyelidikan luas dalam berbagai bidang mutagenesis.
Sejumlah penyakit manusia merupakan akibat cacatnya system perbaikan DNA.
Contohnya, pasien dengan xeroderma pigmentosa kekurangan perbaikan eksisi dalam
kulit; mereka rentan terhadap cahaya ultraviolet dan banyak karsinogen kimia; karenanya
tumor kulit mudah berkembang pada mereka. Pasien dengan ataxia telangiectasia
mempunyai defisiensi semacam itu dalam sistem limfoidnya dan diketahui rentan terhadap
sinar-X dan karsinogen metil nitronitrosoguanidin. Anemia fanconi berhubungan dengan
cacatnya perbaikan DNA dalam darah dan tulang rangka. Orang yang menderitanya rentan
terhadap mitomisin-C dan psoralen. Penyakit ini dan beberapa penyakit lain yang
berhubungan telah dibahas oleh Cleaver (1980).

1
Selain itu, uji untuk mutagenisitas pada tahun-tahun belakangan ini telah lebih
banyak dipergunakan karena nilainya sebagai suatu penyaring cepat untuk karsinogenitas.
Perkembangan ini terutama muncul dari fakta bahwa sebagian besar mutagen terbukti
bersifat karsinogen. Selain itu, uji ini, dengan berbagai jenis titik akhirnya, berguna untuk
mempelajari lebih lanjut cara kerja karsinogen.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mutasi Gen


Mutasi gen terjadi karena penambahan atau penghilangan (deletions) pasangan basa,
atau penggantian pasangan basa yang keliru dalam molekul DNA.
Penggantian terdiri atas transisi dan transversi. Transisi melibatkan penggantian
suatu purin (adenine, guanin) oleh purin lain atau suatu primidin (sitosin, timin) oleh
primidin lain. Dalam transversi, purin digantikan oleh primidin, atau sebaliknya.
Bila jumlah pasangan basa yang ditambahkan atau dihapuskan tidak merupakan
suatu perkalian tiga, urutan asam amino dari protein yang disandi di bagian distal adisi
atau delesi itu akan berubah. Fenomena ini disebut mutasi pergeseran-rangka (frame-shift
mutation) dan mungkin akan mempengaruhi sifat biologi protein itu.

Gambar efek delesi dan adisi dari suatu basa nukleotid.

3
Selain itu, mutagen dapat masuk ke dalam molekul DNA; hal ini dapat juga
menyebabkan kesalahan dalam pemasangan basa. Berbagai perubahan dalam molekul
DNA ini dapat menyebabkan penggantian suatu asam amino baru dalam molekul protein
yang disandi, atau menghasilkan urutan asam amino yang berbeda dalam protein yang
disintesis. Lebih lanjut, mungkin terbentuk suatu kodon penutup/pemutus sintesis protein,
sehingga dihasilkan protein yang lebih pendek. Perubahan yang pertama dapat berakibat
perubahan sifat biologi mlekul protein maupun tidak, tetapi dua perubahan yang terakhir
ini hamper selalu menyebabkan perubahan sifat biologi.

2.2 Uji Mutasi Gen


a. Uji mikroba In Vitro
Uji ini melibatkan mikroorganisme prokariotik dan eukariotik.

4
Gambar. Mutasi pergeseran kerangka akibat delesi atau insersi basa nukleotid. Serangkaian kodon
baru dibentuk pada bagian distal dari tempat delesi atau insersi, sehingga terbentuklah asam amino
baru dalam protein (Dari Brusick, 1987)

Mikroorganisme prokariotik terdiri atas strain bakteri. Untuk mendeteksi


adanya mutasi titik, bakteri yang biasa digunakan adalah Salmonella typhimurium
dan Escherchia coli. Sebagian besar sistem bakteri dimaksudkan untuk
mendeteksi mutasi balik. Contohnya, uji Ames (Ames, 1971) mengukur reversi
mutan S. typhimurium yang bergantung-histidin menjadi jenis liar yang tidak
bergantung pada histidin. Mutan diinkubasi dalam suatu perbenihan yang tidak
cukup mengandung histidin sehingga pertumbuhan tidak kelihatan. Kalua
toksikan yang ditambahkan pada perbenihan itu mampu menginduksi mutasi
balik, maka bakteri itu dapat menjadi tidak tergantung-histidin dan dapat tumbuh
dalam perbenihan yang kekurangan histidin itu.

Biasanya digunakan beberapa strain karena spesifisitas. Mutasi ini terjadi


akibat pergeseran rangka (frame-shift) atau substitusi pasangan basa; mutagen
yang berbada dapat mempengaruhi satu strain tetapi tidak mempengaruhi strain
lain.

Sejumlah strain S. typhimurium dibuat menjadi lebih peka terhadap efek


mutagen melalui perubahan permeabilitas dinding selnya (yang kekurangan
lipopolisakarid), perubahan kemampuan memperbaiki pemotongan DNA
(melalui delesi khusus dalam molekul DNA), dan faktor resistensi-ampisilin
(Ames dkk., 1975; McCann dkk., 1975).

Karena banyak mutagen bersifat non-aktif sebelum bioaktivasi, maka


pengujian itu mungkin memerlukan suatu sistem bioaktivasi. Sistem bioaktivasi
itu biasanya terdiri atas fraksi mikrosom (mengandung sistem mixed-function
oxidase) dari hati tikus atau hewan lain, meskipun hati manusia juga digunakan
untuk tujuan khusus. Aktivitas enzim mikrosom biasanya meningkat bila hewan
diberi pra-perlakuan dengan zat penginduksi, misalnya 3-metilkol-antren,
fenobarbital, atau binefil poliklorin (PCB). Kofaktor yang tepat juga ditambahkan
ke dalam campuran sebelum inkubasi.

5
Strain E. coli yang mengalami berbagai tingkat defisiensi mekanisme
perbaikan DNA juga digunakan dalam uji mutagenesis. E. coli jenis liar lebih
mampu mengatasi efek mutagen pada DNA lewat mekanisme perbaikan yang
normal, sementara mutannya tidak dapat. Meskipun kebanyakan sistem mikroba
dirancang untuk mendeteksi mutasi balik, E. coli strain Mohn dapat mendeteksi
mutasi maju, misalnya resistensi terhadap 5-metiltriptofan (Mohn dkk., 1974).

Mikroorganisme Eukariotik terdiri atas beberapa strain tertentu seperti


Saccharomyces, Schizosaccharomyces, Neurospora, dan Aspergilus telah
dikembangkan untuk terutama mendeteksi mutasi balik dan pada tingkat terbatas,
mutasi maju. Seperti system bakteri, umumnya system ini juga melibatkan enzim
bioaktivasi dan kofaktor. Contohnya, suatu jenis mutan Saccharomices cerevisiae
membutuhkan adenin dan menghasilkan koloni berpigmen-merah, sementara
mikroorganisme jenis liar tidak tergantung pada adenin dan memproduksi koloni
putih. Dengan demikian mutasi balik dapat ditentukan oleh prevalensi koloni
putih (Brusick dan Mayer, 1973).

b. Uji Mikroba In Vivo (Host-Mediated Assay)


Dalam uji jenis ini, mikroorganisme disuntikkan ke dalam rongga
peritoneum mamalia pejamu (biasanya mencit). Mikroorganisme itu dapat juga
disuntikkan ke dalam system peredaran atau testes, toksikan disuntikan ke dalam
pejamu, biasanya sebelum penyuntikan mukroba. Setelah beberapa jam, pejamu
dibunuh. Mikroba dipanen kemudian diperiksa ada tidaknya mutasi. Keuntungan
pengujian ini ialah menyertakan biotransformasi toksikan dalam mamalia
pejamu tetapi kekurangannya ialah bahwa mikroorganisme hanya dapat bertahan
dalam pejamu untuk jangka waktu yang relatif pendek. Selain mikroba, sel
hewan multisel dapat juga digunakan dalam asai perantaraan pejamu (host
mediated assay) (Gabridge dan Legator, 1969). Meskipun secara teoritis
menguntungkan, prosedur ini terbukti tak peka terhadap karsinogen jenis tertentu
dan karennya tak cocok untuk prosedur penyaring rutin (Simmons, 1979).
Suatu modifikasi dilakukan dengan memberi toksikan kepada pejamu
sebelumnya, mengumpulkan urin pejamu yang mungkin telah mengandung
metabolit toksikan dalam kadar tinggi, dan menginjeksikan kembali urin itu ke
pejamu. Prosedur yang telah dimodifikasi ini menunjukkan mutagenitas positif

6
dengan 2-asetilaminofluoren, yang menghasilkan hasil negatif pada asai
perantaraan inang yang biasa (Durston dan Ames, 1974).

Serangga

Lalat buah Drosophila melanogaster adalah serangga yang paling sering


digunakan. Serangga ini telah diketahui sifat-sifat genetiknya. Keuntungannya
dibandingkan dengan mikroorganisme ialah hewan ini memetabolisme toksikan
dengan cara yang mirip dengan mamalia. Selain itu, serangga ini lebih baik
daripada mamalia dalam dua segi, yakni waktu generasinya hanya 12-14 hari dan
dapat diuji dalam jumlah yang mencukupi dengan biaya yang jauh lebih murah.
Uji letal terangkai-seks resesif mengukur efek letal pada F2 jantan setelah
memanjakan pejantan dari generasi induk. Ini merupakan prosedur yang dipilih
karena kromosom-X mewakili sekitar 20% dari genom keseluruhan; karenanya
prosedur ini dapat menanggapi bebbagai jenis efek genetik, termasuk mutasi titik
dan delesi pendek (Abrahamson dan Lewis, 1971).

Sel Mamalia dalam Biakan

Sistem yang biasa digunakan adalah sel limfoma mencit (Clive dan Spector,
1975), limfoblast manusia (Sato dkk., 1972), dan sel dari paru-paru, indung
telur, dan jaringan lain tupai Cina (Chu, 1971). Sel ini biasanya mempunyai
jumlah kromosom yang hampir diploid, tumbuh dengan aktif, dan mempunyai
efisiensi klon tinnggi. Baik mutasi balik maupun mutasi maju dapat terjadi, dan
mutan bereaksi secara selektif terhadap manipulasi gizi, biokimia, serologi, dan
obat menghambat pertumbuhan.

Contohnya, sel limfoma mencit yang heterozigot di tempat timidin kinase


(TK +/-) akibat pengaruh suatu mutagen, dapat menjalani mutasi maju, menjadi
TK -/-. Baik genotipe TK +/- maupun TK -/- dapat tumbuh dalam perbenihan
normal, tetapi TK -/- dapat juga tumbuh dalam perbenihan yang mengandung
5-bromo-2’-deoksiuridin (BrdU). Jadi mutagenisitas suatu toksikan dapat
ditentukan dengan membandingkan pertumbuhan sel limfoma bila ada toksikan

7
atau tak ada toksikan, baik dalam perbenihan yang mengandung BrdU maupupn
dalam perbenihan normal.

Pada hamster Cina, seperti halnya pada manusia, penggunaan hipoxantin


dan guanin yang telah dibentuk sebelumnya dikontrol oleh gen terangkai-X. sel
mutan di lokus ini kekurangan enzim hipoxantin-guanin fosforibosil
transferarse dan dapat dikenali oleh daya tahan mereka terhadap analog purin
yang toksik, misalnya 8-azaguanin atau 6-tioguanin yang membunuh sel yang
menggunakan analog ini.

Jajaran sel ini biasanya kekurangan enzim metabilosme. Karena itu, sering
ditambahkan sistem enzim itu (perantaraan-mikrosom). Pilihan lainnya ialah
membiakkan sel ini bersama dengan sel lain yang memiliki kemampuan lebih
besar dalam membiotransformasi toksikan. Sistem perantaraan-sel seperti itu
pertama kali diuraikan oleh Huberman dan Sachs (1974). Pendekatan baru yang
disarankan oleh Williams (1979) melibatkan penggunaan hepatosit yang baru
saja diisolasikan sebagai sistem pemberi makan. Keuntungan tambahannya
adalah kemampuan mengkonjugasikan disamping menghancurkan toksikan.
Dalam uji perantaraan-pejamu, sel sasaran disuntikkan ke dalam hewan yang
menerima zat kimia yang akan diuji (Fischer dkk., 1974).

Uji Mutasi Gen Mencit

a. Uji Lokus Khusus

Uji lokus khusus dikembangkan oleh Rusell (1951) untuk


menentukan mutagenitas radiasi ion pada sel germinal. Prosedur ini
kemudian diadaptasikan untuk menilai mutagenitas zat kimia (Searle,
1975). Kelebihan uji ini adalah mendeteksi secara langsung pada
mamalia utuh efek mutagen toksikan pada sel germinal, tetapi biasanya
dibutuhkan hewan yang sangat banyak.

Uji ini dilakukan dengan memajankan mencit non mutan terhadap


zat kimia dan sesudah itu mengawinkannnya dengan hewan yang
resesif-ganda. Keturunannya akan berubah fenotipenya yang
ditunjukan oleh warna rambut, struktur rambut, watna mata, panjang

8
telinga, dam ciri-ciri lain. Beberapa mutan merupakan mosaik dan
bukan hewan lengkap. Mutasi dapat juga dideteksi oleh penolakan atau
penerimaan cangkokan kulit yang dilakukan antara keturunan generasi
pertama. Mutasi ini dapat lebih jauh digolongkan secara imunogenetik
Bailey dan Kohn, 1965).

b. Uji Bercak Mencit


Pengujian ini dirancang untuk mendeteksi mutasi gen pada sel
somatik. Pada dasarnya uji ini dilakukan dengan memberi perlakuan
mencit hamil yang embrionya heterozigot pada lokus untuk warna kulit
khusus, dan kemudian memeriksa bayinya yang baru lahir untuk
melihat ada tidaknya bercak-bercak mosaik pada bulunya. Bercak
seperti itu menunjukkan pembentukan klon sel mutan yang bertanggung
jawab terhadap warna bulu. Uji ini relatif tidak mahal dan hanya
memakan waktu beberapa minggu. Meskipun dapat memberikan hasil
positif palsu, uji ini belum pernah memberi hasil negatif palsu. Karena
uji bercak itu merupakan alat pra-saring yang berguna untuk mendeteksi
mutasi germinal turunan pada mamalia (Russell, 1978).

2.3 Perubahan Kromosom


Efek suatu toksikan pada kromosom dapat muncul sebagai abrasi struktural atau
sebagai perubahan dalam jumlahnya. Efek yang pertama mencakup delesi, duplikasi, dan
translokasi. Efek yang belakangan melibatkan pengurangan atau peningkatan jumlah
kromosom. Beberapa efek itu diwariskan.
Cara kerja yang mendasari efek ini dapat melibatkan tautan silang (cross linkage)
molekul yang dapat menyebabkan terhambatnya sintesis DNA, sehingga menyebabkan
terbentuknya celah pada kromosom. Perbaikan yang tidak sempurna terhadap kerusakan
DNA dapat juga merupakan penyebabnya. Nondisjunksi (gagalnya pemisahan sepasang
kromosom selama pembelahan mitosis) dapat mengakibatkan mosaikisme. Suatu
nondisjunksi selama gametogenesis (nondisjunksi meiosis) menyebabkan sel anak berisi
satu kromosom ekstra atau berkurang satu kromosom dibandingkan keadaan normal. Yang
pertama dikenal sebagai trisomi dan yang belakangan monosomi. Sejumlah sistem uji telah
dikembangkan untuk menentukan efek kromosom. Berikut ini adalah sistem-sistem yang
utama.

9
Serangga
Drosophila melanogaster mempunyai keuntungan karena beberapa selnya
memiliki kromosom yang bentuk dan ukurannya besar. Selain itu, berbagai efek
kromosom yang dapat dengan mudah dipastikan secara genetik, misalnya
letalitas terangkai-seks resesif. Efek kromosom ini antara lain berupa hilangnya
kromosom X dan Y, dan translokasi fragmen antara kromosom kedua dan ketiga.
Efek pada kromosom seks dapat juga dideteksi oleh perubahan fenotipe,
misalnya warna badan dan warna serta bentuk mata (National Research Council,
1983).

Penelitian Sitogenetik dengan sel Mamalia


Uji In Vitro
Untuk uji sitogenik, sel yang biasa digunakan diperoleh dari limfoma
mencit, ovarium tupai Cina, dan limfosit manusia. Sel-sel ini dibiakkan dalam
perbenihan yang sesuai. Sel-sel itu kemidian dikenai zat kimia yang diuji dengan
kadar yang berbeda-beda dengan atau tanpa sistem bioaktivator (biasanya fraksi
mikrosom dari homogenat hati tikus). Uji biasanya dilakukan dengan dua
mutagen kontrol positif, yaitu etilmetan sulfonat yang bekerja langsung, dan
dimetilnitrosamin yang membutuhkan bioaktivasi. Setelah suatu masa inkubasi
yang sesuai, pembelahan sel dihambat oleh penambahan kolsikin. Sel kemudian
diambil, diwarnai, dan diberi skor (Cohen dan Hirshhom, 1971).
Contoh cara memberi skor pada aberasi adalah sebagai berikut: celah
kromatid, patahan kromatid, celah kromosom, delesi kromatid, fragmen,
fragmen asentrik, translokasi, triradial, kuadriradial, satu kromosom hancur,
banyak kromosom hancur, sel hancur, kromosom melingkar, kromosom
disentrik, kromosom kecil, lwbih besar dari 10 aberasi, polipoid, dan hiperploid.
Mengenai definis dari berbagai istilah ini, lihat Brusick (1987).

10
Uji In Vivo
Sel mamalia yang digunakan dalam penelitian efek kromosom in vivo
antara lain adalah sel germinal dan jaringan somatik. Bahan kimia yang
akan diuji diberikan kepada hewan utuh, misalnya hewan pengerat (mencit,
tikus, tupai) dan manusia. Jaringan somatik yang biasa digunakan adalah
sumsum tulang dan limfosit perifer. Protokol klasik yang menggunakan
sumsum tulang mencit, tukus atau tupai telah disediakan oleh Komite Ad
Hoc dari Environmental Mutagen Society dan Institute for Medical
Research (1972). Cara pemberian skor sama dengan cara dalam uji in vitro.
Suatu prosedur in vivo yang agak lebih sederhana adalah uji
mikronukleus. Ini dilakukan dengan menggunakan sel stem eritrosit
polikromatik dari mencit CD-1. Enam jam setelah dua kali pemberian zat
kimia yang diuji, dengan selang waktu 24 jam, hewan dibunuh dan sumsum
tulang dikumpulkan dari kedua femur. Peningkatan jumlah sel yang
bermikronukleus dibandingkan kontrol (sekitar 0,5%) dianggap positif
(Schmid, 1976). Mikronukleus ini mewakili fragmen kromosom dan
kromatid akibat gangguan fungsi spindel/sentromer.
Untuk uji pada sel germinal, biasanya digunakan hewan jantan. Untuk
memungkinkan terpajannya sel dengan berbagai tahap spermatogenesis
yang berbeda, zat kimia diberikan setiap hari selama 5 hari dan hewan
dikorbankan 1, 3, dan 5 minggu setelah dosis terakhir. Sperma dikumpulkan
dengan membedah caudae epididimis. Setelah direkatkan dan diwarnai,
dihitung insidens sperma dengan kepala yang abnormal, dan ini
dibandingkan dengan kontrol negatif dan positif (Wyrobek dan Bruce.
1975).

Uji Letal Dominan pada Hewan Pengerat

Uji ini dirancang untuk menunjukkan efek toksik pada sel germinal
pada hewan jantan utuh, biasanya mencit atau tikus. Efeknya dapat muncul
pada hewan betina yang dikawini dalam bentuk matinya implantasi
dan/atau hilangnya praimplantasi (beda antara jumlah korpus luteum dan
jumlah implantasi). Efek ini biasanya disebabkan oleh kerusakan

11
kromosom, yang mengakibatkan kesalahan perkembangan yang fatal bagi
zigot. Namun, efek sitotoksik lain dapat juga menyebabkan kematian dini
janin. Protokol khusus telah disediakan dalam sejumlah makalah (Ehling
dkk., 1978).

Uji Translokasi Turunan pada Mencit

Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi kemampuan mewariskan


kerusakan kromosom. Kerusakan yang terdiri atas translokasi timbal-balik
dalam sel-sel germinal mencit jantan yang mendapat perlakuan, diteruskan
kepada keturunan, dengan mengawinkan keturunan jantan F1 dengan mencit
betina yang tidak diberi perlakuan, efek kromosom terungkap dengan
berkurangnya janin yang dapat hidup. Adanya translokasi timbal-balik ini
dapat dibuktikan dengan kehadiran gambar translokasi diantara tetrad
ganda selama meiosis (Adler, 1980).

2.4 Pengujian
Sejumlah uji yang berkaitan untuk menentukan karsinogenitas antara lain:
a. Transformasi Sel Mamalia In Vitro
Dalam uji ini biasanya digunakan sel mencit BALB/3T3. Sel lainnya adalah sel
embrio tupai Suriah, sel mencil 10T1/2, dan sel manusia. Biasanya sel-sel ini
akan tumbuh dalam perbenihan biakan membentuk suat lapisan tunggal.
Meskipun demikian, sel yang diberi karsinogen akan berbiak tanpa melekat pada
permukaan yang padat dan tumbuh diatas lapisan tunggal itu. Koloni yang
memiliki banyak lapisan itu menunjukkan transformasi ganas. Titik akhir ini
dapat dipastikan dengan menginjeksikan sel ini ke dalam hewan singenik.
Umumnya, jika sel telah menjalanitransformasi, tumor ganas akan muncul
(Kakunaga, 1973). Karena itu, hasil positif pada uji ini sangat bermakna.

12
b. Uji Pembesaran Inti
Sel HeLa ditanam dalam perbenihan biakan dan diberi zat kimia yang diuji
dengan kadar yang berbeda-beda. Setelah selang waktu tertentu, sel dipanen dan
dihitung. Sel-sel ini kemudian dibuang zat sitoplasmanya dan ukuran intinya
ditentukan dengan penghitung partikel. Membesarnya ukuran inti menunjukan
karsinogenitas zat kimia itu (Finch dkk,. 1980).

13
BAB III

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bahaya mutagenesis tidak diragukan lagi. Seperti disebutkan
sebelumnya,banyak penyakit hewan diduga berkaitan dengan aberasi kromosom serta
mutasi gen dominan dan resesif. Selain itu, mutagenesis dapat berguna pada penelitian
etiologi penyakit biasa, misalnya diabetes mellitus, epilepsi, skizofrenia, hipertensi
esensial, katarak, penuaan, penyakit jantung, dan kanker tertentu. Akhirnya, harus
diingan adanya hubungan erat antara mutagen dan karsinogen.
Dengan demikian, ada tantangan besar bagi ahli toksikologi untuk
mengudentifikasi mutagen yang mengenai manusia dan menghitung resikonya. Sejauh
ini, keberhasilan dalam daerah ini masih terbatas. Sistem uji baru masih dikembangkan,
dan kesahihan serta keterbatasan uji yang ada masih dipelajari. Namun, pengetahuan
dalam bidang ini kini memberikan suatu dasar untuk pendekatan rasional dalam
menyaring toksikan dari segi potensi mutagen/karsinogennya.

14

Anda mungkin juga menyukai