Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu laju mutasi
(mutation rate) dan frekuensi mutasi (mutation frequency). Laju mutasi
menggambarkan peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari
waktu, sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi
tertentu pada pada suatu macam populasi sel atau populasi individu.
Pengukuran laju mutasi spontan pada bakteri dan fag relatif mudah dibanding
pengukuran paa kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan kaena kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup itu tergolong
monoploid; demikian pada pengukuran atau pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan atas sejumlah besar populasi.
Pada tahun 1927 J.Muller merancang suatu cara cepat dan mudah untuk mempelajari
mutasi. Cara kajian mutasi itu sudah diterapkan untuk memeriksa mutasi letal yang
terpaut kromosom kelamin pada sperma Drosophila. Untuk keperluan kajian itu
dirakit kromosom kelamin X yang disebut kromosom X Muller-5 atau Muller-5 X
chromosome. Dalam hal ini kromosom X diberi penanda mutan Bar (B) yang
semidominan dan mutan aprikot (Wa) yang resesif.
Teknik Muller-5 untuk pengukuran laju mutasi juga bermanfaat untuk mendeteksi
agen-agen penyebab mutasi. Melalui teknik ini sudah dibuktikan bahwa radiasi sinar
X sangat meningkatkan laju mutasi.
H.J. Muller melakukan pengamatan mutan-mutan pada tururnan dari individu jantan
Drosophila yang sebelumnya telah diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini setelah
diradiasi individu jantan itu disilangkan dengan individu betina Mulller-5 ini
memperlihatkan bahwa pada umumnya frekuensi mutasi berbanding langsung dengan
dosis sinar X yang dinyatakan dalam unit rontgen.
DETEKSI MUTASI
Deteksi Mutasi Pada Bakteri Dan Jamur
Deteksi mutasi pada makhluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat
efisien. Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu system seleksi yang
mudah memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum
deteksi mutasi pada bakteri dan jamur berbeda.. Neurospora crasa adalah jamur yang
bersifat monoploid (diploid) pada fase vegetatif.oleh karena itu deteksi mutasi pada
fase itu sangat mutah dilakukan dibanding pada fase generatif atau dibanding pada
makhlik hidup yang lainnya.
Induksi, isolasi, dan karakterisasi mutan auksorofik pada N. Crassa.
Pada (a) konidia 1 terkena mutasi tetapi konidia 2 terkena mutasi.
Pada (b) mutasi yang sudah terjadi dikaji (diperiksa) dan diketahui bahwa mutasi
tcrsebut mempengaruhi biosintesis tirosin (Klug dan Cummings, 1994).
Gambar 3.4
Teknik kromosom X berlekatan untuk deteksi mutasi morfologi yang diinduksi
pada Drosophila (Klug dan Cummings, 1994)
Gambaran silsilah katarak itu memperlihatkan pola pewarisan dominan yang terpaut
otosom sekalipun belum terbukti. Sekalipun demikian frekuensi penderita katarak
yang tinggi di generasi IV seperti tersebut memperkuat kesimpulan tadi. Dalam
hubungan ini adanva turunan perempuan (generasi IV) yang tidak menderita katarak
juga semakin mernperkuat kesimpulan termaksud karena sudah pasti gen mutan
dominan itu tidak terpaut kromosom kelamin X (jika gen rnutan dominan tersebut
terpaut kromosom kelamin X, maka semua turunan perempuan di generasi IV itu pasti
merupakan penderita katarak).
Uji Arnes
Dikembangkan oleh Bruce Arnes pada awal 1970-an. Uji arnes menggunakan bakteri
Sallmonella tryphimurium sebagai organisme uji. Yang digunakan adalah 2 strain S.
typhimirium kedua strain itu sama-sama tergolong auksotrofik untuk histidin. Seperti
diketahui strain yang bersifat auksotrofik untuk histidin adalah yang membutuhkan
tambahan histidin dalam medium pertumbuhan agar dapat hidup (tumbuh). Dari
kedua strain itu, pada salah satu strain mutan his dapat ddikembangkan menjadi his+
oleh suatu mutasi pergantian basa, sedangkan pada strain lain mutasi his dapat
dikembalikan menjadi his + oleh suatu mutasi pengubah rangka. Kedua strain itu juga
memiliki mutan-mutan lain yang memungkinkan semakin tepat digunakan untuk
memanipulasi eksperimental. Mutan-mutai lain misalnya yang menyababkan semakin
sensitive terhadap mutagenesis akibat aktivasi system perbaikan, serta yang
menyebabkan sel semakin permiabel terhadap molekul organic asing.
1. Bagaimana teknik Muller dapat digunakan untuk mendeteksi agen penyebab mutasi?
Melalui teknik Muller ini, H. J. Muller telah membuktika bahwa radiasi sinar X sangat
meningkatkan laju mutasi. Muller mengamati mutan-mutan pada turunan dari individu jantan.
Drosophila yang sebelumnya telah diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini setelah diradiasi
individu jantan itu disilangkan dengan individu betinan Muller-5 yang homozigot. Hasi
deteksi dengan teknik Muller-5 ini menunjukkan bahwa pada umumnya frekuensi mutasi
berbanding langsung dengan dosis sinar X yang dinyatakan dalam unit rontgen