Anda di halaman 1dari 66

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Struktur Mitokondria


Mitokondria merupakan salah satu organel besar yang berada di dalam sel.
Setiap mitokondria dapat berukuran seperti bakteri E. coli. Kebanyakan sel eukariot
memiliki banyak mitokondira, secara kolektif dapat mencapai 25% dari volume
sitoplasma. Ukuran mitokondria yang besar tersebut membuatnya mudah dilihat
dapat mikroskop cahaya, namun struktur yang lebih detail harus dilihat menggunakan
mikroskop electron (Lodish, 2008). Gambar 1 struktur internal mitokondria.

Gambar 1. Struktur mitokondria (Lodish, 2008)

2.1.1 Bentuk dan Ukuran Mitokondria


Bentuk dan ukuran mitokondria adalah kaku, memiliki bentuk silinder
memanjang dengan diameter antara 0,5 µm sampai 1 µm. Untuk alasan teknis,
banyak penelitian biokimia yang menggunakan mitokondria dari hati, setiap sel hati
berisi 1000-2000 mitokondria, yang merupakan seperlima volume sel (Albert, 2008).
Ini menunjukkan bahwa setiap sel memiliki banyak mitokondria (Gambar 2).
Gambar 2. Mitokondria merupakan struktur yang sering ditemukan dalam penampang
melintang dari sel hati tikus dan secara tradisional memiliki bentuk oval (Hardin, dkk,
2012)

Mitokondria memiliki kemampuan pergerakan untuk terus berubah bentuk.


Mitokondria memiliki kelenturan yang tinggi sehingga bentuknya dapat berubah-
ubah dari waktu ke waktu terutama mitokondria yang letaknya acak di sitoplasma.
Selain di itu mitokondria juga dapat bergerak (berpindah) dari satu tempat ke tempat
lain yang ada di dalam sel. Gerak selain disebabkan oleh siklosis juga karena aktifitas
memanjang dan memendek dari mitokondria itu sendiri. Mikrosinematografi dari sel
yang masih hidup menunjukkan mitokondria tertandai bergerak dan secara konstan
merubah bentuk mereka (Gambar 3) dan bahkan bergabung dengan satu sama lainnya
kemudian berpisah lagi (Albert, 2008).
Gambar 3 Perubahan bentuk yang terjadi pada mitokondria (Alberts, 2008)

Karp (2010) menyatakan bahwa pemahaman mengenai fisi dan fusi


mitokondria akhir-akhir ini telah meningkat dengan perkembangan assays in vitro
untuk penelitian mereka dan mengidentifikasi protein yang dibutuhkan untuk kedua
proses tersebut. Kesembangan antara fusi dan fisi seperti pembeda untama untuk
jumlah mitokondria, panjang, dan derajat interkoneksi. Ketika fusi terjadi lebih sering
dibandingkan fisi, maka mitokondria cenderung lebih panjang dan terhubung,
sedanangkan jika fisi lebih sering maka jumlah mitokondria meningkat. Beberapa
penyakit inherited nerologic terjadi karena mutasi pada gen yang mengkode
komponen untuk mesin fusi mitokondria.

Gambar 4. Sifat dinamis dari organel-organel yang ada ditangkap dalam bingkai-
bingkai film ini, yang menunjukkan sebagian dari fibroblast tikus yang
mitokondrianya telah dilabeli dengan protein fluorescent. Dalam tiga bingkai
pertama, dua pasang mitokondria (yang telah diwarnai secara artifisial) ada kontak
ujung-ke-ujung dan segera berfusi. Dalam tiga frame terakhir, produsi fusi yang lebih
rendah mengalami fisi, dan mitokondria pun terpisah

2.1.2 Lokasi Mitokondria


Fungsi penting mitokondria menjadikan organiel ini dihubungkan dengan
lokasinya dalam sel. Seringkali, mitokodnria berada dalam daerah yang paling sering
melakukan aktivitas metabolisme dan membutuhkan banyak ATP, contohnya pada
sel otot. Mitokondria dalam sel otot tertata dalam bentuk baris dalam fibril yang
berfungsi untuk kontraksi. Selain itu, mitokondria dapat ditemukan pada flagelata,
silia, dan ekor sperma (Gambar 5) (Hardin, dkk, 2012)

Gambar 5. Mitokonria dalam ekor sperma


(a) gambar skematis sperma (Hardin, dkk, 2012), (b) penambang kepala, midlepiece
dari sperma monyet marmoset dari mikroskop TEM (Albert, 2008)

Mitokondria bebas bergerak dalam sitoplasma. Mitokondria sering dikaitkan


dengan sitoskeleton mikrotubulus (Gambar 6), yang menentukan orientasi dan
distribusi mereka dalam berbagai jenis sel. Dengan demikian, dalam sel-sel yang
sangat terpolarisasi seperti neuron, mitokondria dapat bergerak jarak jauh (hingga
satu meter atau lebih dalam akson diperpanjang neuron), yang didorong di sepanjang
jalur dari sitoskeleton mikrotubular (Albert, 2015).
Gambar 6. Mitokondria dan mikrotubulus
(a) sebuah mikrograf cahaya dari rantai mitokondria memanjang pada kultur sel
mamalia yang masih hidup. Sel diwarnai dengan flurescent dye (rhodamine 123) yang
secara spesifik melabel mitokondria pada sel hidup (b) mikrograf
immunofluorescence dari sel yang telah diwarnai (setelah difiksasi) dengan flurescent
antibodies yang mengikat mitokondria. Terlihat bahwa mitokondria cenderung
berikatan dengan mikrotubulus (Albert, 2015)

Pada sel yang lain mitokondria ada yang posisinya tetap, contohnya pada
flagel sperma dan sel otot jantung. Mitondria tersebut memberikan ATP langsung ke
situs konsumsi ATP yang luar biasa tinggi (Gambar 7) (Albert, 2008). Mitokondria
juga berhubungan dengan sistem membran lain di dalam sel, terutama retikulum
endoplasma (ER) (Gambar 8). Kontak antara mitokondria dan domain yang berbeda
yang dianggap memfasilitasi lipid antara dua sistem membran. Kontak-kontak ini
juga muncul untuk menginduksi fisi mitokondria (Albert, 2015).

Gambar 7. Mitondria dalam sel otot


(a) penampang sel otot jantung kucing menunjukkan asosiasi intim mitokondria
dengan fibril yang bertanggungjawab untuk kontraksi otot dari mikroskop elektrom
TEM (Hardin, dkk, 2012), (b) gambaran skematis sel otot jantung (Albert, 2008)

Gambar 8. Interaksi mitokondria dengan retikulum endoplasma. (a) Mikroskop cahaya


fluoresensi menunjukkan bahwa tubulus ER ( hijau ) membungkus bagian-bagian jaringan
mitokondria ( merah ) dalam sel mamalia.Mitokondria kemudian membaginya di situs
kontak. Setelah kontak terbentuk, fisi terjadi dalam waktu kurang dari satu menit, seperti
yang menunjuk oleh mikroskop time-lapse. (b) Skema gambar tubul ER melilit bagian
retikulum mitokondria. Diperkirakan bahwa kontak ER-mitokondria juga memediasi
pertukaran lipid antara dua sistem membrane (Albert, 2015).

2.1.3 Komponen Mitokondria


Setiap mitokondria memiliki dua membran yang sangat khusus (Gambar 9),
yang memiliki fungsi yang sangat berbeda. Kedua membran tersebut bersama-sama
menciptakan dua kompartemen mitokondria yang terpisah yaitu matriks internal dan
ruang antarmembran (luas ruang antarmembran jauh lebih sempit dari matriks
internal) (Hardin, dkk., 2012). Jika mitokondria dimurnikan dan kemudian
difraksinasi menjadi komponen yang terpisah (Gambar 10), komposisi biokimia dari
masing-masing dua membran dan dari ruang tertutup mitokondria dapat ditentukan.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan mitokondria memiliki bagian berupa
membran luar, membran dalam, matriks, dan ruang antar membrane (Albert, 2008).
Penampang melintang skematis dari mitokondria dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 9. Struktur membran dalam dan membran luar Mitokondria
Ketika membran mitokondria bagian dalam dan luar mengalami freeze-fracture,
masing-masing membran terbagi di sepanjang interior hidrofobiknya, memisahkan
setiap membran menjadi dua bagian (Sumber: Hardin, dkk. 2012)

Gambar 10 Fraksinasi Biokimia dari Mitokondria (Alberts, 2008)


Gambar 11. Penampang melintang skematis dari mitokondria (Hardin, dkk., 2012)
2.1.2.1 Membran Luar
Membran luar mitokondria mengandung banyak molekul porin (Gambar 12),
yaitu sejenis protein transportasi yang membentuk saluran besar melalui bilayer lipid.
Membran luar ini menyerupai saringan yang permeabel untuk semua molekul
berukuran ±5000 dalton, termasuk protein kecil (Hardin, dkk, 2012). Molekul-
molekul tersebut dapat memasuki ruang antarmembran, tapi kebanyakan dari
molekul-molekul tersebut tidak dapat melewati membran dalam (Alberts, 2008).
Membran luar dan membran dalam masing-masing memiliki ketebalan 7 nm
dan dipisahkan dengan ruang antarmemnran selebar 7 nm. Porin merupakan kelas
spesial dari β-barrel-type membran protein yang membuat saluran air yang
memungkinkan molekul hidrofilik kecil terpilih untuk menyeberangi membran.
Batang porin terbentuk dari lembaran β 16-strand, antiparalel digulung menjadi
struktur silinder. Rantai sisi asam amino polar melapisi saluran berair di bagian
dalam, sementara rantai sisi nonpolar keluar dari bagian luar selaras untuk
berinteraksi dengan inti hidrofobik bilayer lipid. Simpul dari rantai polipeptida sering
menonjol ke lumen saluran, mempersempitnya sehingga hanya zat terlarut tertentu
yang dapat lewat. Hal ini mengakibatkan, ruang antarmembran memiliki pH dan
komposisi ion yang sama dengan sitoplasma, dan tidak ditemukan perbedaan gradien
elektrokimia dengan membran luar (Albert, 2015).
Gambar 12. Porin pada mitokondria (Albert, 2015)

2.1.2.2 Membran Dalam


Berbeda dengan membran luar, membran bagian dalam mitokondria
menyajikan barrier / penghalang permeabilitas terhadap sebagian besar zat terlarut,
sehingga mempartisi mitokondria menjadi dua kompartemen terpisah — ruang
intermembran dan bagian dalam organel (matriks mitokondria). Membran dalam dan
luar, ditunjukkan pada Gambar 10, masing-masing sekitar 7 nm ketebalan dan
biasanya dipisahkan oleh ruang intermembran sekitar 7 nm. Namun, di tempat-tempat
tertentu membran-membran bersentuhan, dan di daerah-daerah inilah protein yang
dituju untuk matriks mitokondria melewati dua membran. Pada perimeter
mitokondria, bagian membran dalam yang berdekatan dengan ruang intermembran
dikenal sebagai membran batas bagian dalam.
Membran dalam biasanya sangat berbelit-belit, membentuk serangkaian
infoldings, yang dikenal sebagai krista, sebuah lekukan ke dalam matriks (Gambar
12). Lekukan kedalam ini sangat meningkatkan luas membran dalam. Jumlah krista
tiga kali lebih besar dalam mitokondria sel otot jantung daripada di mitokondria sel
hati, karena sel otot jantung membutuhkan ATP lebih besar. Ada juga perbedaan
substansial dalam enzim mitokondria dari jenis sel yang berbeda.
Gambar 12. Krista pada membran dalam mitokondria (Hardin, dkk., 2012)

Bagian kerja utama dari mitokondria adalah matriks dan membran dalam yang
mengelilinginya. Membran dalam sangat khusus. Bilayer lipid yang mengandung
proporsi yang tinggi dari "ganda" cardiolipin fosfolipid. Cardiolipin adalah lipid yang
tidak biasa dalam membran mitokondria bagian dalam karena memiliki empat asam
lemak dari pada dua dan dapat membantu untuk membuat membran terutama kedap
ion (Gambar 12). Membran ini juga mengandung berbagai protein transportasi yang
membuatnya selektif permeabel untuk molekul-molekul kecil yang dimetabolisme
atau dibutuhkan oleh banyak enzim mitokondria terkonsentrasi dalam matriks. Enzim
matriks termasuk yang memetabolisme piruvat dan asam lemak untuk menghasilkan
asetil CoA dan mereka yang mengoksidasi asetil CoA dalam siklus asam sitrat.
Produk utama akhir oksidasi ini adalah CO2, yang dilepaskan dari sel sebagai
pembuangan, dan NADH, yang merupakan sumber utama elektron untuk transportasi
sepanjang rantai pernapasan/respirasi (nama yang diberikan ke rantai transpor
elektron di mitokondria). Enzim-enzim rantai pernapasan/respirasi yang tertanam
dalam membran mitokondria bagian dalam, dan mereka sangat penting untuk proses
fosforilasi oksidatif, yang menghasilkan sebagian besar ATP pada sel hewan (Alberts,
2008).
Gambar 12 Struktur Cardiolipin (Alberts, 2008)

2.1.2.3 Matriks
Matriks merupakan ruang internal yang besar dan mengandung campuran
sangat terkonsentrasi ratusan enzim, termasuk yang diperlukan untuk oksidasi piruvat
dan asam lemak dan asam sitrat. Matriks juga mengandung beberapa salinan identik
dari genom DNA mitokondria, ribosom mitokondria khusus (ukuran jauh lebih kecil
dari yang ditemukan di sitosol), tRNA, dan berbagai enzim yang dibutuhkan untuk
ekspresi gen mitokondria (Alberts, 2008).

2.1.2.4 Krista
Krista merupakan lipatan dari membran dalam mitokondria. Lipatan krista ini
bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan membran. Pada mitokondria yang
khas misalnya pada sel hati, daerah membran dalam (termasuk krista) sekitar lima
kali lebih besar daripada membran luarnya. Karena luas permukaan yang besar,
membran dalam dapat menampung sejumlah besar kompleks protein yang
dibutuhkan untuk transpor elektron dan sintesis ATP, sehingga meningkatkan
kapasitas generasi ATP pada mitokondria.
Sudah lama dipikirkan bahwa krista adalah struktur lebar, pipih dengan
koneksi luas ke membran batas bagian dalam, sehingga memunculkan model struktur
krista "baffle" yang ditunjukkan pada Gambar 13. Pandangan ini telah ditantang baru-
baru ini karena bukti mikroskopis dari EM (electron microscope) tomography, teknik
mikroskopis, seperti CAT (computer-aided tomography) scan, memberikan
representasi tiga dimensi yang rinci dari struktur seluler dengan menggabungkan
gambar seri berurutan dari tebal ( 1 mm) bagian. Sekarang dipercayai bahwa cristae
di banyak jaringan mungkin merupakan struktur tubular yang bersatu dalam lapisan
untuk membentuk krista pipih dengan ukuran dan bentuk yang tidak beraturan
(Gambar 14). Dalam beberapa hal morfologi mereka mirip dengan tumpukan grana
tilakoid yang menentukan kompartemen dalam kloroplas. Cristae tampaknya hanya
memiliki koneksi terbatas ke membran batas dalam melalui bukaan tubular kecil yang
dikenal sebagai persimpangan krista (crista junction). Ukuran kecil dari bukaan ini
dianggap membatasi difusi bahan antara ruang intracristal dan ruang intermembran,
efektif menciptakan wilayah ketiga, hampir tertutup di mitokondria.

Gambar 13. Stuktur lawas “baffle” kritsa (Hardin, dkk., 2012)

Gambar 14. Krista ditunjukkan sebagai lamela yang berkomunikasi dnegan


ruang antarmembran dengan pembuka tubuler yang kecil. Pada rekonstruksi ini,
membran dalam mitokondria ditunjukkan dengan warna biru pada daerah periferal
dan warna kuning ketika berpenetrasi pada matriks krista (Karp, dkk., 2010)
2.1.2.5 Ruang antar Membran
Ruang antarmembran ini berisi beberapa enzim yang menggunakan ATP
lewat dari matriks untuk memfosforilasi nukleotida lainnya.

2.1.2.6 DNA Mitokondria


DNA mitokondria terkandung dalam matriks. DNA mitokondria melekat pada
membran mitokondria bagian dalam. Struktur DNA mitokondria cenderung
menyerupai bakteri daripada yang di kromatin eukariotik (seperti dalam bakteri DNA
nya tidak memiliki protein histon).
Molekul DNA mitokondria memiliki ukuran yang bervariasi. Gambar 15
menunjukkan variasi ukuran DNA mitokondria. Pada sebagian besar mamalia, genom
mitokondria terdiri dari molekul DNA sirkuler sekitar 15.000–20.000 pasangan basa
yang mengkode RNA ribosom, mentransfer RNA, dan sekitar selusin subunit
polipeptida protein membran dalam (Hardin, dkk., 2012). Ukuran kurang dari 6000
pasang nukleotida ada pada Plasmodium falciparum (parasit malaria manusia) dan
untuk ukuran lebih dari 300.000 pasang nukleotida terdapat pada beberapa tanaman
darat. Pada mamalia, genom mitokondria adalah lingkaran DNA sederhana dari
sekitar 16.500 pasangan basa (kurang dari 0,001% dari ukuran genom inti).

Gambar 15 Berbagai Ukuran Genom Mitokondria (Alberts, 2008)


2.2 Sistem Genetik Mitokondria
2.2.1. Pertumbuhan Organel dan Pembelahan Menentukan Jumlah Mitokondria
dan Plastid dalam Suatu Sel
Pada sel mamalia, DNA mitokondria menempati kurang dari 1% total DNA
seluler. Pada sel lainnya, daun pada tumbuhan tingkat tinggi atau sel telur amfibi
yang berukuran besar, banyak fraksi besar DNA seluler mungkin terdapat di dalam
mitokondria atau kloroplas, dan suatu fraksi besar RNA dan sintesis protein ada di
sana (Gambar 16). Mitokondria dan plastik cukup besar untuk diobservasi dengan
menggunakan mikroskop cahaya pada sel hidup. Sebagai contoh, mitokondria dapat
divisualisasi melalui rekayasa genetika fusi protein mitokondria yang dikaitkan
dengan Green Fluorescent Protien (GFP) dalam sel, atau sel dapat diinkubasikan
dengan pewarna fluoresen yang secara spesifik diserap oleh mitokondria karena
gradien elektrokimia melewati membran mereka (Alberts, 2008).

Gambar 16. Fraksi DNA pada Mitokondria dan Kloroplas (Alberts, 2008)

Beberapa gambar mendemonstrasikan bahwa mitokondria dalam sel hidup


adalah dinamis– seringkali memisah, bergabung dan merubah bentuk. Pemisahan dan
penggabungan dari organel-organel tersebut ditutupi oleh suatu membran ganda dan
mitokondrion harus menata integritas dari kompartemen mitokondria yang memisah
selama proses tersebut. Jumlah dan bentuk mitokondria sangat beragam dalam tipe
sel yang berbeda dan dapat berubah dalam tipe sel yang sama dibawah kondisi
fisiologis yang berbeda, mulai dari multi organel yang berbentuk bulat atau silinder
sampai organel tunggal dengan struktur bercabang (retikulum). Gambar 17
menunjukkan Retikulum mitokondria yang dinamis (Alberts, 2008).

Gambar 17. Sebuah Retikulum Mitokondria yang Dinamis (Alberts, 2008)

Penataan dikontrol oleh laju relatif pemisahan dan fusi mitokondrial (gambar
18), yang diregulasi melalui GTPase yang terdapat di dalam membran mitokondria.
Sebagai tambahan, total masa organel setiap sel dapat diregulasi sesuai dengan
kebutuhan. Sebagai contoh, peningkatan mitokondria (sebanyak 5-10 kali) terjadi
ketika otot rangka yang beristirahat distimulasi secara cepat untuk berkontraksi
selama periode yang panjang. Akan ada banyak copy mitokondria dan genom plastid
dalam ruang yang tertutup oleh setiap membran dalam setiap organel. Tingkat
fragmentasi organel menentukan jumlah genom yang terdapat dalam suatu organel
tunggal; umumnya, suatu kompartemen tunggal mewadahi banyak (Alberts, 2008).
Dalam banyak sel, replikasi DNA organel tidak terbatas pada fase S pada
siklus sel, ketika DNA inti bereplikasi, tetapi terjadi selama siklus sel – diluar fase
dengan pembelahan sel. Molekul DNA organel tampaknya diseleksi secara acak
untuk replikasi, agar supaya dalam suatu siklus sel, replikasi lebih dari sekali dan
lainnya tidak sama sekali. Meskipun demikian, dibawah kondisi konstan, proses ini
diregulasi untuk memastikan bahwa total jumlah molekul DNA organel dalam setiap
siklus sel, karena dibutuhkan jika setiap tipe sel menata jumlah konstan dari DNA
organel. Dalam lingkungan khusus, sel dapat secara tepat mengontrol pemisahan
organel. Dalam beberapa alga yang mengandung hanya satu atau beberapa kloroplas,
sebagai contoh, pemisahan organel sebelum sel membelah, pada permukaan yang
identik dengan permukaan selanjutnya dari pembelahan sel (Alberts, 2008).

Gambar 18. Fusi dan Fisi Mitokondria

2.2.2. Mitokondria dan Kloroplas Mungkin Berevolusi dari Endosimbiosis


Bakteri
Karakteristik prokariot dari sistem genetik organel, khususnya yang paling
menyolok pada kloroplas, menyiratkan bahwa mitokondria dan kloroplas berevolusi
dari bakteri yang mengalami endositosis lebih dari 1 miliar tahun lalu. Sesuai dengan
hipotesis endosimbiosis ini, sel eukariotik dinyatakan sebagai organisme anaerobik
tanpa mitokondria atau kloroplas berkaitan endosimbiotik dengan bakteri, yang
memiliki sistem fosforilasi oksidatif yang dirusak untuk untuk digunakan mereka
sendiri (Gambar 19). Sesuai dengan hipotesis ini, kejadian endositosis yang memicu
perkembangan mitokondria terjadi ketika oksigen memasuki atmosfer dalam jumlah
besar, lebih dari 1.5 x 109 tahun lalu, sebelum hewan dan tumbuhan menyebar.

Gambar 19. Jalur Evolusi Mitokondria (Sumber: Alberts, 2008)


Banyak gen-gen pengkode protein mitokondria dan kloroplas terdapat di
dalam inti sel. Dengan demikian, transfer ekstensif gen-gen dari organel ke DNA inti
harus terjadi selama evolusi eukariot. Keberhasilan transfer tipe ini diperkirakan
sangat jarang terjadi, karena suatu gen bergerak dari DNA organel untuk berubah
menjadi suatu gen fungsional inti; harus beradaptasi dengan transkripsi inti dan
sitoplasmik dan membutuhkan translasi, dan juga mendapatkan suatu urutan signal
sehingga pengkode protein dapat dikirimkan ke organel setelah disintesis dalam
sitosol. Meskipun demikian, ada bukti bahwa beberapa gen ditransfer ke inti untuk
selanjutnya terjadi pada beberapa organisme saat ini (Alberts, 2008).
Transfer gen menjelaskan mengapa banyak gen inti yang mengkode protein
mitokondria dan kloroplas menyerupai gen bakteri. Urutan asam amino enzim
superoksida dismutase mitokondria ayam, sebagai contoh, lebih mirip dengan enzim
bakteri daripada kemiripannya dengan superoksida dismutase yang ditemukan di
dalam sitosol pada sel eukariotik yang sama. Transfer gen tampaknya merupakan
suatu proses gradual. Ketika genom mitokondria yang mengkode sejumlah protein
berbeda dibandingkan, suatu pola urutan reduksi dari fungsi mitokondria yang
dikodekan akan muncul. Yang paling kecil dan kayaknya lebih berkembang genom
mitokondria, sebagai contoh, mengkode hanya beberapa protein membran dalam
terlibat reaksi transport elektron, ditambah RNA ribosomal dan beberapa rRNA.
Genom mitokondria yang tetap kompleks cenderung untuk mengandung bagian yang
sama, ditambah bagian lainnya (Alberts, 2008).
Gambar 20. Perbandingan Genom Mitokondria (Sumber: Alberts, 2008)

Genom yang paling kompleks dikarakterisasi melalui keberadaan banyak gen-gen


ekstra dibandingkan dengan genom mitokondria hewan dan yeast. Banyak dari gen-
gen tersebut mengkonde komponen sistem genetik mitokondria, seperti subunit RNA
polimerase dan protein ribosomal; gen-gen tersebut ditemukan di dalam inti sel
organisme yang telah mereduksi isi DNA mitokondria mereka. Bakteri tipe apakah
yang berkembang di dalam mitokondrion? Dari perbandingan urutan, tampak bahwa
mitokondria telah diturunkan dari tipe khusus bakteri ungu fotosintetik yang
sebelumnya kehilangan kemampuannya untuk melakukan fotosintesis dan hanya
menyisakan rantai respirasi (Alberts, 2008).

2.2.3. Mitokondria Memiliki Suatu Penggunaan Kodon yang kurang dan Dapat
Memiliki Suatu Varian Kode Genetik
Ukuran genom mitokondria manusia yang relatif lebih kecil membuatnya menjadi
target menarik untuk proyek sekuensing DNA, dan pada tahun 1981, peneliti
mempublikasikan urutan lengkap 16.569 nukleotida. Dengan membandingkan urutan
ini dengan urutan mitokondria yang telah diketahui dan dengan urutan asam amino
tertentu yang tersedia untuk mengkonde protein melalui DNA mitokondria, semua
gen mitokondria manusia telah dipetakan pada molekul DNA sirkular (Alberts,
2008).
Dibandingkan dengan inti, kloroplas, dan genom bakteri, genom mitokodria
manusia memiliki sifat yang mengejutkan:
1. Kemasan gen yang padat (dense gene packing). Tidak seperti organisme lain,
hampir setiap nukleotida tampak menjadi bagian dari urutan pengkode, baik
untuk suatu protein atau untuk satu rRNA atau tRNA. Karena urutan pengkode
tersebut berjalan secara langsung satu dengan lainnya, ada ruang yang sangat
kecil untuk pengaturan urutan DNA.
2. Pemakaian Kodon lebih sedikit (relaxed codon usage). Meskipun ada 30 atau
banyak asam amino spesifik tRNA dalam sitosol dan kloroplas, hanya 22 tRNA
yang dibutuhkan untuk sintesis protein mitokondria. Aturan normalpasangan
kodon-antikodon lebih longgar di dalam mitokondria, dengan demikian banyak
molekul tRNA mengenali nukleotida papaun pada posisi ketiga dari empat
nukleotida (Wobble). Dengan demmikian pasangan “2 dari “3 memungkinkan
satu tRNA untuk berpasangan dengan satu dari empat kodon dan mengizinkan
sintesis protein dengan sedikit molekul tRNA.
3. Varian Kode Genetik. Yang mungkin paling mengejutkan, perbandingan urutan
gen mitokondria dan urutan asam amino dari protein yang berhubungan
mengindikasikan bahwa kode genetik adalah berbeda; 4 dari 64 kodon memiliki
arti yang berbeda dari kodon yang sama dalam genom yang lain (Alberts, 2008).

Gambar 21. Organisasi Genom Mitokondria Manusia (Sumber: Alberts, 2008)

Kesamaan yang paling dekat dengan kode genetik dalam semua organisme
memberikan bukti yang kuat bahwa semua sel telah berevolusi dari leluhur bersama.
Bagaimana kita menjelaskan beberapa perbedaan dalam kode genetik dalam banyak
mitokondria? Petunjuk dari temuan bahwa kode genetik mitokondria berbeda pada
organisme yang berbeda. Dalam mitokondria dengan jumlah besar gen, bahwa
protozoa Reclinomonas, kode genetika tidak berubah dari kode genetik standar inti
sel. Tetapi UGA, yang merupakan kodon stop di tempat lain, dibaca sebagai triptofan
dalam mitokondria malaria, fungi, dan invertebrata. Demikian pula, kodon AGG
secara normal mengkode arginin, tetapi ia mengkode stop dalam mitokondria
mamalia dan kode serin dalam mitokondria dari Drosophila. Beberapa variasi
menyiratkan bahwa aliran acak dapat terjadi dalam kode genetik mitokondria.
Agaknya, jumlah kecil protein yang dikode oleh genom mitokondria membuat suatu
perubahan tertentu dalam arti dari kodon yang dapat ditoleransi, sedangkan beberapa
perubahan dalam genom yang lebih besar akan merusak fungsi dari banyak protein
dan disamping merusak sel (Alberts, 2008).

2.2.4. Mitokondria dan kloroplas memiliki sistem genetik sendiri


Mitokondria dan kloroplas membutuhkan sistem genetiknya yang terpisah,
ketika organel lainnya berbagi sitoplasma yang sama, seperti peroksisom dan lisosom
karena penataan suatu sistem genetik yang terpisah adalah sangat mahal; lebih dari 90
protein–termasuk banyak protein ribosom, aminoasil-tRNA sintetase dan RNA
polimerase, dan enzim RNA-processing dan RNA-modifying–harus dikode oleh gen
inti secara khusus untuk tujuan. Urutan asam amino dari banyak protein tersebut
dalam mitokondria dan kloroplas adalah berbeda dari pasangannya dalam inti dan
sitosol, dan ini tampak bahwa organel-organel tersebut relatif lebih sedikit protein
dibuat di dalam mitokondria dan kloroplas seharusnya dibuat disana dibanding di
dalam sitosol (Alberts, 2008).
Subunit protein di dalam berbagai kompleks enzim mitokondria adalah sangat
terkonservasi dalam evolusi, tetapi sisi sintesisnya. Namun demikian, dua gen
pengkode protein, cox1 dan cob, terdapat dalam semua genom mitokondria. Protein
yang dikode oleh gen-gen tersebut mungkin harus masukan secara kontranslasional
ke dalam membran dalam melalui ribosom mitokondria (Alberts, 2008).
Kemungkinan lain, sistem genetik organel dapat dipastikan mengalami akhir
kematian evolusioner. Dalam konteks hipotesis endosimbiosis, hal ini dapat berarti
bahwa proses dimana endosimbiosis proses transfer gen mereka pada inti dihentikan
sebelum proses tersebut berakhir lengkap. Transfer selanjutnya mungkin
dikesampingkan, untuk mitokondria, melalui perubahan dalam kode genetik
mitokondria yang membuat sisa gen mitokondria nonfungsional jika mereka
ditransfer ke nukleus (Alberts, 2008).

Gambar 22. Asal Usul Mitokondria RNA dan Protein (Sumber: Alberts, 2008)

2.3 Mitokondria berperan dalam respirasi aerobik


Mitokondria memainkan peran sentral dalam respirasi aerobik. Kebanyakan
produksi ATP dalam sel eukariotik terjadi di organel ini. Tahapan respirasi aerobik
dapat dilihat pada Gambar 23.
a. Tahap 1: Oksidasi glukosa dan gula lain dimulai di sitosol dengan proses
glikolisis menghasilkan piruvat.
b. Tahap 2: Piruvat diangkut melintasi membran mitokondria bagian dalam
dan teroksidasi dalam matriks menjadi asetil CoA.
c. Tahap 3: asetil CoA dari tahap 2 merupakan substrat utama yang
digunakan dalam siklus asam trikarboksilat (TCA cycle). Asetil CoA juga
dapat dibentuk oleh oksidasi b asam lemak.
d. Tahap 4: Transpor elektron berlangsung pada krista/membran dalam
mitokondria, molekul yang berperan penting dalam reaksi ini adalah
NADH dan FADH2 yang dihasilkan dari tahap 1, 2, dan 3. Transfer
elektron dari koenzim menyediakan energi yang menggerakkan pompa
proton melintasi membran yang berisi operator. Ini menghasilkan proton
gradien elektrokimia melintasi membran.
e. Tahap 5: Energi dari gradien proton digunakan sebagian untuk mendorong
sintesis ATP dari ADP dan fosfat anorganik dalam proses yang dikenal
sebagai fosforilasi oksidatif (Hardin, 2012).

Gambar 23. Peran mitokondria dalam respirasi aerobic (Hardin, dkk. 2012)
2.4 Siklus Tricarboxylic Cycle Acid
2.4.1 Glikolisis
Proses utama untuk mengoksidasi gula adalah proses reaksi secara berurutan
yang dikenal dengan istilah glikolisis. Glikolisis berasal dari kata glukus yang berarti
"manis," dan Itisis yang berarti"pecah”. Dalam reaksi glikolisis akan dihasilkan ATP
tanpa keterlibatan molekul oksigen. Hal ini terjadi dalam sitosol dari kebanyakan sel,
termasuk banyak mikroorganisme anaerob (mahluk hidup yang bisa hidup tanpa
menggunakan oksigen). Selama glikolisis, sebuah molekul glukosa dengan enam
atom karbon diubah menjadi dua molekul piruvat, yang masing-masing berisi tiga
atom karbon. Untuk setiap molekul glukosa, dua molekul ATP yang dihidrolisis
menyediakan energi untuk mendorong langkah-langkah awal, tapi empat molekul
ATP diproduksi dalam langkah-langkah selanjutnya (Hardin, 2012).
Glikolisis melibatkan urutan 10 reaksi terpisah, masing-masing memproduksi
gula yang berbeda dan masing-masing dikatalisis oleh enzim yang berbeda pula.
Seperti kebanyakan enzim yang memiliki nama berakhiran “ase” seperti isomerase
dan dehydrogenase yang dapat menunjukkan jenis reaksi yang mereka katalisa.
Meskipun tidak ada molekul oksigen yang digunakan dalam glikolisis, oksidasi
terjadi, dengan dihilangkan elektron oleh NAD + (memproduksi NADH) dari
beberapa karbon yang berasal dari molekul glukosa. Sifat bertahap dari proses
melepaskan energi yang berasal dari reaksi oksidasi sederhana, sehingga lebih banyak
yang dapat disimpan dalam molekul pembawa daripada yang dibebaskan sebagai
panas. Dengan demikian, beberapa energi yang dilepaskan oleh oksidasi mendorong
sintesis langsung dari molekul ATP dari ADP dan P serta beberapa sisa-sisa elektron
dalam energi tinggi elektron pembawa NADH (Hardin, 2012).
Gambar 24 Katalisis oleh enzim yang berbeda.
(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)

Bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan, glikolisis hanya awal dari tahap akhir dari
pemecahan molekul makanan. Dalam sel-sel ini, piruvat yang dibentuk oleh glikolisis cepat
diangkut ke dalam mitokondria, di mana ia diubah menjadi CO2 ditambah asetil CoA, yang
kemudian benar-benar teroksidasi menjadi CO2 dan H2O.
Ahli biologi menyadari bahwa dengan tidak adanya udara (kondisi anaerob)
sel menghasilkan asam laktat (misalnya, dalam otot) atau etanol (misalnya, dalam
ragi), sementara dengan adanya udara (kondisi aerob) yang mereka konsumsi 02 dan
menghasilkan CO2 dan H2O. Upaya untuk menentukan jalur metabolisme aerobic
(Maribe, 2009). Bagi organisme yang tidak memanfaatkan molekul oksigen
(anaerob), mereka dapat tetap tumbuh karena glikolisis merupakan sumber ATP
mereka. Hal ini juga berlaku untuk jaringan hewan tertentu, seperti otot rangka, yang
dapat terus berfungsi ketika molekul oksigen membatasi. Dalam kondisi anaerob,
piruvat dan elektron NADH tetap berada di sitosol. Piruvat diubah menjadi produk
lain yaitu etanol dan C02. Sedangkan pada ragi yang digunakan dalam pembuatan bir
dan breadmaking, diubah menjadi asam laktat di otot. Dalam proses ini, NADH
memberikan elektron dan diubah kembali menjadi NAD +. Regenerasi NAD +
diperlukan untuk menjaga reaksi glikolisis. Jalur reaksi energi anaerobik seperti ini
disebut fermentasi (Alberts, 2008).
Untuk makhluk hidup aerob, Dengan adanya oksigen, piruvat dioksidasi sepenuhnya
menjadi karbon dioksida, dan energi yang dilepaskan. Dalam proses ini digunakan untuk
mendorong sintesis ATP. Oksidasi piruvat melibatkan jalur siklik yang merupakan ciri utama
metabolisme energi di hampir semua kemotrofi aerobik. Sebelum itu Dalam metabolisme
aerobik, piruvat yang dihasilkan oleh glikolisis dari gula dalam sitosol diangkut ke
dalam mitokondria sel eukariotik. Ada, dengan cepat dekarboksilasi oleh kompleks
raksasa tiga enzim, yang disebut piruvat dehidrogenase kompleks. Produk piruvat
dekarboksilasi adalah molekul CO2 (produk limbah), sebuah molekul NADH, dan
asetil CoA (Alberts, 2008).
2.4.2 Dekarboksilasi Oksidatif
Molekul piruvat, yang relatif kecil, melewati porins di membran luar
mitokondria ke dalam ruang antarmembran. Pada membran mitokondria batin, sebuah
symporter piruvat tertentu mengangkut piruvat melintasi membran ke dalam matriks
bersama dengan proton. Setelah dalam matriks mitokondria, piruvat diubah menjadi
asetil CoA oleh kompleks piruvat dehidrogenase (PDH), yang terdiri dari tiga enzim
yang berbeda, lima Zymes coen, dan dua protein regulasi. Komponen-komponen ini
bekerja sama untuk mengkatalisis dekarboksilasi oksidatif piruvat

Gambar 25 Reaksi dekarboksilasi


(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
Reaksi ini adalah dekarboksilasi karena salah satu atom karbon dari piruvat
(atom karbon 1) yang membebaskan karbon dioksida (shading abu-abu). Akibatnya,
atom karbon 2 dan 3 piruvat menjadi, masing-masing, atom karbon 1 dan 2 asetat.
Selain itu, reaksi ini merupakan oksidasi karena dua elektron (dan proton juga)
dikeluarkan dari substrat dan ditransfer ke koenzim NAD +, mengurangi Ini menjadi
NADH. Elektron dibawa oleh NADH merupakan energi potensial yang disadap
ketika NADH yang Apakah kemudian reoxidized oleh sistem transpor elektron.
Oksidasi piruvat terjadi pada atom karbon 2, yang teroksidasi dari a-keto
untuk kelompok asam karboksilat. oksidasi Hal ini dimungkinkan karena
penghapusan simultan karbon atom saya sebagai karbon dioksida. oksidasi sangat
exergonlc (AG °'= -7,5 kkal / mol), dengan energi bebas yang digunakan untuk
energi, atau mengaktifkan, molekul asetat dengan menghubungkan Ini untuk
kelompok sulfhidril dari koenzim A (CoA), membentuk asetil CoA (Hardin, 2012).
2.4.3 Proses Tricarboxylic Acid Cycle
Perantara yang penting dalam rangkaian reaksi siklus ini adalah sitrat, yang
memiliki tiga gugus asam karboksilat dan oleh karena itu merupakan asam
tricarboxylic. Untuk alasan ini, jalur ini biasanya disebut siklus asam tricarboxylic
(TCA). Hal ini juga biasa disebut sebagai siklus Krebs Untuk menghormati Hans
Krebs, yang hasil laboratoriumnya memiliki peran kunci dalam menguraikan urutan
metabolik ini di tahun 1930an.
Siklus TCA memetabolisme asetil koenzim A (biasanya disingkat sebagai
asetil CoA), yaitu suatu senyawa yang dihasilkan dari dekarboksilasi piruvat. Asetil
CoA terdiri dari kelompok asetat dua karbon dari piruvat terkait dengan pembawa
yang disebut koenzim A. (Koenzim A ditemukan oleh Fritz Lipmann, yang berbagi
Hadiah Nobel dengan Krebs pada tahun 1953 untuk pekerjaan mereka pada respirasi
aerobik). Asetil CoA dihasilkan baik oleh dekarboksilasi oksidatif piruvat atau
dengan pemecahan oksidatif bertahap dari asam lemak. Terlepas dari asal-usulnya,
asetil CoA yang ditransfer oleh kelompok asetat sebagai akseptor empat karbon yang
disebut oxaloasetat, sehingga menghasilkan sitrat. Sitrat kemudian mengalami dua
decarboxylations berturut-turut dan juga mengalami beberapa oksidasi, regenerasi
oksaloasetat yang akan menerima dua karbon lebih dari molekul lain dari asetil CoA
di babak berikutnya dari siklus (Hardin, 2012).

Gambar 26 Gambaran dari siklus TCA


(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
Siklus TCA (Gambar 26) dimulai dengan masuknya asetat dalam bentuk asetil
KoA. Dengan setiap putaran aktivitas siklus TCA, dua atom karbon masuk dalam
bentuk organik (seperti asetat), dan dua atom karbon meninggalkan dalam bentuk
anorganik (seperti karbon dioksida). Pada reaksi pertama (TCA-1), gugus asetat COA
dua karbonat ditambahkan ke senyawa empat karbon oksaloasetat untuk membentuk
sitrat, molekul enam karbon. Kondensasi ini didorong oleh energi bebas dari
hidrolisis ikatan thioester dan dikatalisis oleh enzim sitrat sintase. Perhatikan bahwa
sitrat Merupakan asam tricarboxylic-kelas senyawa yang memberi nama siklus TCA.
(Dua atom karbon Incoming ditunjukkan disorot dalam warna merah muda pada
Gambar 2.16 untuk membantu Anda melacaknya dalam reaksi selanjutnya.) Pada
reaksi berikutnya (TCA-2), sitrat diubah menjadi senyawa Isocltrate yang terkait,
dengan menggunakan enzim aconitase. Isocitrate memiliki gugus hidroksil yang
mudah teroksidasi. Kelompok hidroksil isocitrate ini sekarang menjadi sasaran
oksidasi pertama, atau dehidrogenasi, dari siklus (TCA-3) (Hardin, 2012)..
Gambar 27 Siklus Tricarboxylic Acid (TCA)
(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
(TCA-3) dan atom sulfur molekul terpisah (PDH, TCA-4), menghasilkan
ikatan ganda atau ikatan karbon-su;fur. Oksidasi ikatan karbon-karbon melepaskan
energi lebih sedikit daripada oksidasi dari energi ikatan karbon-oksigen. Dengan
demikian, akseptor elektron untuk dehidrogenasi ini bukan NAD + tapi koenzim yang
lebih rendah-energi yaitu flavin adenin dinukleotida (FAD). Seperti NAD+ dan
koenzim A, FAD mengandung vitamin B sebagai bagian dari struktur-riboflavin,
dalam hal ini (Gambar 2.17). FAD menerima dua proton dan dua elektron, sehingga
membentuk sebagai FADH. Hasil ATP maksimum pada oksidasi koenzim adalah
bukan sekitar tiga NADH tetapi hanya sekitar dua FADH2 (Hardin, 2012).
Gambar 28 Struktur FAD dan Oksidasi.
(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
Pada tahap berikutnya dari siklus ini, ikatan rangkap fumarat terhidrasi,
menghasilkan malat (Reaksi TCA-7, dikatalisis oleh enzim fumarat hidratase. Karena
fumarat adalah molekul simetris, gugus hidroksil air memiliki kesempatan yang sama
untuk menambahkan atom karbon internal. Akibatnya, atom karbon diacak pada
langkah ini. Dalam Reaksi TCA-8, gugus hidroksil malat menjadi target oksidasi
akhir dalam siklus. Karena elektron dilepaskan dari atom karbon dan oksigen yang
berdekatan untuk membentuk ikatan rangkap C = 0, NAD berfungsi sebagai akseptor
elektron, menghasilkan NADH sebagai malat diubah menjadi oksaloasetat.
Tiga dari produk ini-NADH, ATP, dan asetil KoA-adalah efesien alosterik
penting dari satu atau lebih enzim, seperti ditunjukkan pada Gambar 10-10. Selain
itu, NAD \ ADP, dan AMP masing-masing mengaktifkan setidaknya satu dari enzim
pengatur. Dengan cara ini, siklusnya sangat sensitif terhadap redoks dan status energi
sel, seperti yang dinilai oleh rasio NADH / NAD + dan konsentrasi relatif ATP, ADP,
dan AMP.
Peningkatan konsentrasi NADH dalam mitokondria menurunkan aktivitas
dehidrogenase, dan mengarah ke penurunan aktivitas dari siklus TCA. Selain itu,
PDH dihambat oleh ATP, PDH dan dehidrogenase isositrat diaktifkan oleh AMP dan
ADP, yang lebih berlimpah ketika energi dibutuhkan.
Karena mekanisme kontrol ganda ini, generasi asetil KoA sensitif terhadap
rasio [asetil KoA] / [CoA] dan [NADH] / [NAD ~] dalam mitokondria dan status
ATP mitokondria juga. Selain efek pengatur ini terhadap reaksi siklus TCA, kontrol
umpan balik dari siklus ke jalur glikolitik disediakan oleh efek penghambatan sitrat
dan asetil KoA pada masing-masing phosphofructokinase dan piruvat kinase.
Penting untuk memahami peran sentral siklus TCA Dalam semua
metabolisme energi aerobik. Sejauh ini, kita telah menganggap glukosa sebagai
substrat utama untuk respirasi seluler. Selain glukosa (dan karbohidrat lainnya), kita
juga harus memperhatikan peran molekul bahan bakar alternatif dalam metabolisme
energi seluler dan siklus TCA, terutama lemak dan protein, yang merupakan sekitar
setengah dari diet berdasarkan pedoman diet terbaru (karbohidrat). = 50% lemak =
30%, protein = 20%). Jauh dari jalur kecil untuk katabolisme gula tunggal, siklus
TCA merupakan saluran utama metabolisme energi aerobik. Dalam spektrum yang
luas dari Organ-Isma mulai dari mikroba hingga tanaman dan hewan yang lebih
tinggi (Hardin, 2012).

Gambar 2.16 Peraturan Siklus TCA.


(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
Lemak Sebagai Sumber Energi. Peran Lemak dalam penyimpanan energi
yang membebaskan lebih banyak energi per gram pada oksidasi daripada karbohidrat.
Untuk alasan inilah, lemak adalah bentuk penyimpanan energi jangka panjang yang
penting bagi banyak organisme. Cadangan lemak sangat penting bagi hewan yang
berhibernasi dan burung yang bermigrasi. Pada biji tanaman, lemak adalah bentuk
umum dari energi dan penyimpanan karbon.
Sebagian besar lemak disimpan sebagai endapan triasilgliserol, yang
merupakan triester gliserol netral dan asam lemak rantai Panjang. Katabolisme
triasilgliserol dimulai dengan menghidrolisisnya menjadi gliserol dan asam lemak
bebas. Gliserol disalurkan ke jalur glikolitik dengan konversi oksidatif menjadi fosfat
dihydroxyacetone. Asam lemak dihubungkan dengan koenzim A untuk membentuk
asil asil lemak, yang kemudian terdegradasi oleh oksidasi Phospat. Proses katalitik ini
menghasilkan asetil KoA dan koenzim yang dikurangi NADH dan FADH2.
Pada eukariota hal ini terjadi baik di mitokondria dan peroksisom. Pada
tumbuhan dan eukariota lainnya yang tidak tergantung pada asam lemak sebagai
sumber energi, Oksidasi terjadi di Peroksisom dan dapat berfungsi sebagai cara untuk
mendaur ulang asam lemak membran. Oksidasi pada eukariotik terjadi di mitokondria
dengan menggunakan asam lemak jenuh dengan karbon sebagai sumber energi.
Asam lemak terdegradasi dalam serangkaian siklus berulang, yang masing-
masing menghilangkan dua karbon dari asam lemak sampai benar-benar terdegradasi.
Proses katabolisme asam lemak ini menjadi asetil KoA Disebut 3 oksidasi karena
kejadian oksidatif Pada setiap siklus terjadi pada atom karbon di posisi 3 (yaitu
karbon kedua dari gugus asam karboksilat). Setiap siklus Melibatkan empat tahap
yang sama - oksidasi, hidrasi, reoksidasi, dan tiolisis (Gambar lo-l I) - dan
menghasilkan produksi satu molekul masing-masing FADHi, NADH, dan asetil KoA
sebagai asam lemak yang dipersingkat dua karbon di setiap siklus.
Oksidasi asam lemak dimulai dengan pengaktivasian yang memerlukan energi
dalam sitosol. Energi berasal dari hidrolisis ATP dari molekul CoA untuk asam
lemak. kemudian membentuk lemak asil CoA, yang diangkut ke dalam mitokondria
oleh translocase spesifik yang terletak Di membran dalam. Empat langkah enzimatik
selanjutnya diulang Dalam serangkaian siklus sampai asam lemak benar-benar
terdegradasi, kehilangan dua karbon per siklus sebagai asetil CoA.
Protein membran integral bertindak sebagai dehidrogenase yang
mengoksidasi CoA lemak asil, membentuk ikatan ganda. Elektron dan dua proton
dihilangkan selama pembentukan turunan lemak tak jenuh lalu ditransfer ke FAD
membentuk FADH. Pada langkah berikutnya, air ditambahkan di ikatan ganda oleh
hidratase sehingga karbon menerima atom H, dan 3 karbon menerima gugus
hidroksil (FA-3). Kemudian dehidrogenase lain mengoksidasi 3 karbon mengubah
gugus hidroksil untuk kelompok keto (FA-4). Kedua elektron dan satu proton dihapus
dalam oksidasi untuk mengurangi NAD + menjadi NADH. Pada langkah keempat
dari siklus, ikatan antara karbon rusak oleh thtotase, dan fragmen dua karbon
ditransfer ke atom S dari molekul kedua CoA (FA-5).
Sementara glukosa adalah sumber energi yang paling disukai dari kebanyakan
sel, lemak memberi energi saat glukosa Membatasi (seperti selama kelaparan), dalam
kondisi asupan karbohidrat yang sangat rendah, atau mengikuti latihan yang sangat
menuntut (seperti berlari maraton). Pada manusia, kerusakan lemak yang berlebihan
dapat menghabiskan CoA bebas dan menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai
ketosls. Selama ketosls, lemak tidak dapat dioksidasi sepenuhnya sampai C02, dan
produk oksidasi parsial yang dikenal sebagai badan keton (aseton, acetoasetat, dan /
3-hidroksibutirat) terbentuk. Dalam jumlah banyak, mereka dapat menurunkan pH
darah, mengakibatkan ketoasidosis, suatu kondisi yang sering terlihat pada penderita
diabetes yang tidak terkontrol. Sementara tubuh keton bisa menjadi sumber energi
untuk sel jantung dan otak, saat ini ada cukup banyak kontroversi mengenai apakah
ketosls adalah risiko kesehatan atau hanya efek samping dari diet rendah karbohidrat.
Protein Sebagai Sumber Energi dan Asam Amino. Meskipun protein
bertindak sebagai enzim, protein transpor, hormon, dan reseptor. Di dalam sel,
mereka juga dapat dikelompokkan untuk menghasilkan ATP jika diperlukan,
terutama selama kondisi puasa atau kelaparan saat penyimpanan karbohidrat dan lipid
habis. Pada tanaman, katabolisme protein untuk membebaskan asam amino
menyediakan blok bangunan untuk sintesis protein selama perkecambahan benih.
Selain itu, semua sel akhirnya mengalami pergantian protein dan struktur yang
mengandung protein, dan asam amino yang dihasilkan dapat digunakan untuk
mensintesis protein baru atau terdegradasi secara kasar untuk menghasilkan energi.
Katabolisme protein dimulai dengan hidrolisis ikatan peptida yang
menghubungkan asam amino bersama-sama Dalam rantai polipeptida. Prosesnya
disebut proteolisis, dan enzim yang bertanggung jawab untuk itu disebut protease.
Produk pencernaan proteolitik adalah peptida kecil dan asam amino bebas.
Selanjutnya pencernaan peptida dikatalisis oleh peptida, yang dapat menghidrolisis
ikatan peptida internal (endopeptidase) atau menghilangkan asam amino berurutan
dari ujung peptida (exopeptidase).
Asam amino bebas, yang dicerna seperti itu atau diperoleh dengan pencernaan
protein, dapat menghasilkan energi. Umumnya, substrat alternatif ini diubah menjadi
zat antara katabolisme arus utama dalam beberapa langkah. Meskipun jumlah dan
keragaman kimiawi mereka, semua jalur untuk katabolisme asam amino pada
akhirnya mengarah pada piruvat, asetil KoA, atau beberapa zat antara utama dalam
siklus TCA, terutama a-ketoglutarate, oxaloacetate, fumarate, dan succlnyl CoA.
Mitokondria juga berpartisipasi dalam siklus urea. Jalur yang menonjol di mana
kelompok amino berlebih dari asam amino terdegradasi diubah menjadi urea untuk
ekskresi.
Dari 20 asam amino yang ditemukan dalam protein, tiga dari mereka
menimbulkan piruvat atau siklus TCA intermediet langsung: alanin, aspartat, dan
glutamat dapat langsung diubah menjadi piruvat, oksaloasetat, dan a-ketoglutarat,
masing-masing (Gambar 10-12). Semua asam amino lain memerlukan jalur yang
lebih rumit, tapi akhirnya semua dari mereka memiliki produk akhir yang TCA
intermediet siklus (Hardin, 2012).
Gambar 29 β Oksidasi Patway
(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)
Selain peran sentral dalam katabolisme, siklus TCA terlibat dalam berbagai
proses anabolik. Sebagai contoh, tiga reaksi yang ditunjukkan Dalam Gambar 29
mengkonversi keto intermediet dari siklus TCA ke dalam asam amino alanin,
aspartat, dan glutamat. Asam amino adalah penyusun penting dari protein, sehingga
siklus TCA tidak langsung terlibat dalam sintesis protein dengan memberikan
beberapa asam amino yang dibutuhkan untuk proses tersebut. prekursor metabolik
lain yang disediakan oleh siklus TCA yaitu succlnyl CoA dan sitrat. Succlnyl CoA
adalah titik awal untuk biosintesis heme, sedangkan sitrat diangkut keluar dari
mitokondria dan digunakan sebagai sumber asetil CoA untuk sintesis asam lemak
dalam sitosol (Hardin, 2012).
Gambar 30. Interkonversi dari Beberapa Asam Amino dan Asam Keto dalam Siklus TCA.
(Sumber: Hardin, Jeff. et all. 2012)

2.4.4 Siklus glioksilat Mengkonversi Acetyl CoA ke Karbohidrat


Siklus glioksilat memiliki beberapa intermediet Secara umum dengan siklus
TCA tetapi dengan fungsi anabolik khusus seperti beberapa proses perkecambahan
dan pada spora jamur. Siklus ini terjadi dalam Peroksisom yang disebut glyoxysomet.
Pada tanaman yang menyimpan lemak, terlebih dahulu harus mengubah lemak dalam
bentuk sukrosa. Siklus glioksilat memiliki beberapa reaksi yang sama. Perbedaannya
adalah tidak memiliki dua reaksi dekarboksilasi oksidatif C02 yang dilepaskan dalam
siklus TCA. Sebaliknya, dua molekul asetat (yang masuk jalur sebagai asetil CoA)
yang digunakan untuk menghasilkan suksinat, senyawa empat karbon kemudian
dikonversi ke fosfoenol piruvat kemudian disintesis oleh gluconeogenesls (Hardin,
2012).
2.5 Transportasi Elektron: Arus Elektron dari Koenzim ke Oksigen
Metabolisme energi melalui siklus TCA menyumbang sintesis 4 molekul ATP
untuk tiap pemrosesan 1 molekul glukosa, dua dari glikolisis, dan dua dari siklus TCA.
Oksidasi lengkap glukosa menjadi CO2 bisa menghasilkan 686 kkal/mol, tapi yang dapat
digunakan hanya kurang dari 10% dari jumlah total tersebut yaitu hanya sekitar 10 kkal/ mol
dari masing-masing 4 ATP. Energi sisa yang tidak dipergunakan menjadi energi bebas
untuk proses reaksi yang diwakili oleh molekul koenzim tereduksi yakni NADH dan
FADH2. Sejumlah besar energi bebas dilepaskan ketika koenzim teroksidasi melalui
transfer elektron ke molekul oksigen. Sekitar 90% dari energi bebas dalam molekul
glukosa berupa 12 molekul NADH dan FADH2 yang terbentuk ketika sebuah molekul
glukosa dioksidasi menjadi CO2 (Hardin et al., 2012). Sumber elektron dalam transfer
elektron dapat dilihat pada Gambar 2.19.

Gambar 31 Aliran Respirasi yang Menunjukkan Sumber Elektron untuk Proses Transpor
Elektron (Sumber: Nelson & Cox, 2012)
Proses reoksidasi koenzim oleh tranportasi elektron ke oksigen disebut transpor
elektron. Transpor elektron adalah tahap keempat metabolisme respirasi sel. Transpor
elektron dan sintesis ATP tidak terpisahkan. Kedua proses tersebut merupakan bagian
respirasi sel, yang secara fungsional terkait satu sama lain dalam hal gradien proton
elektrokimia yang merupakan hasil dari transpor elektron dan sumber energi yang
mendorong sintesis ATP (Hardin et al., 2012).
Transpor elektron melibatkan proses oksidasi yang sangat eksergonik dari
NADH dan FADH2 dengan O2 sebagai akseptor elektron terminal, sehingga secara
singkat dapat diperlihatkan melalui reaksi kimia berikut.

Berdasarkan reaksi kimia tersebut, transpor elektron tidak hanya untuk reoksidasi
koenzim dan konsumsi oksigen tetapi juga untuk pembentukan air, (yang merupakan
bentuk berkurangnya oksigen) dan CO2 (salah satu dari dua produk akhir
metabolisme energi aerobik) (Hardin et al., 2012).
Aspek yang paling penting dari reaksi transpor elektron adalah sejumlah besar
energi bebas yang dilepaskan pada oksidasi NADH dan FADH2 dengan transportasi
elektron ke oksigen. Oksidasi koenzim adalah proses yang sangat eksergonik, cukup
untuk mensintesis beberapa molekul ATP (Hardin et al., 2012).

2.5.1 Protein Carrier pada Sistem Transfer Elektron


Sistem transfer elektron (ETS) melibatkan serangkaian protein membran
integral yang ditemukan dalam membran dalam mitokondria eukariota (atau
membran plasma bakteri) yang disebut sebagai operator ETS. Hampir semua peristiwa
transpor elektron terjadi dalam membran, sehingga sebagian besar operator adalah molekul
hidrofobik. Operator ETS terdiri dari flavoprotein, protein Fe-S, sitokrom, sitokrom yang
mengandung tembaga, dan kuinon (dikenal sebagai koenzim Q). Flavoprotein dan koenzim Q
mentransportasikan proton bersama dengan elektron. Kecuali untuk koenzim Q, semua
operator adalah protein dengan kelompok prostetik tertentu dapat teroksidasi dan tereduksi
bolak-balik (Hardin et al., 2012).

2.5.1.1. Flavoprotein
Beberapa flavoprotein membrane yang berikatan berpartisipasi dalam transpor
elektron, baik flavin adenin dinukleotida (FAD) atau flavin mononukleotida (FMN) sebagai
kelompok prostetik. FMN dasarnya adalah flavin yang mengandung setengah dari molekul
FAD. Contoh dari flavoprotein adalah NADH dehidrogenase, yang merupakan bagian dari
kompleks protein yang menerima pasangan elektron dari NADH. Karakteristik penting dari
flavoproteins (dan koenzim NADH) adalah bahwa keduanya mentransfer elektron maupun
proton dengan cara teroksidasi dan tereduksi bolak-balik (Hardin et al., 2012). Struktur kimia
FMN dan FMNH2 dapat dilihat pada Gambar 30

Gambar 30 Struktur Kimia FMN yang Teroksidasi kemudian Menerima elektron H + dari
NADH dan Berubah Struktur Menjadi FMNH2 yang Tereduksi Oksidasi (Sumber:
Nelson & Cox, 2012)

2.5.1.2 Protein Fe-S


Protein besi-sulfur adalah protein dengan pusat besi-sulfur (Fe-S) yang terdiri dari
atom besi dan belerang kompleks dengan kelompok sistein dari protein. Atom Fe sebagai
pusat dari gugus protein Fe-S adalah pembawa elektron yang sebenarnya. Setiap atom besi
akan teroksidasi (Fe3+) dan tereduksi (Fe2+) selama transpor elektron, dalam hal ini,
melibatkan transfer hanya satu elektron dan tidak ada proton (Hardin et al., 2012). Gambar
Protein Fe-S sapat dilihat pada Gambar 31.
(a) (b)
Gambar 31 Protein Fe-S (a) 3 Macam Bentuknya; (b) Pusat atom Fe dari protein Fe-S (Sumber:
Nelson & Cox, 2012)

2.5.1.3. Protein Sitokrom


Seperti protein Fe-S, sitokrom juga mengandung zat besi sebagai bagian dari
kelompok prostetik porfirin yang disebut heme (komponen dari hemoglobin). Setidaknya ada
lima jenis yang berbeda dari sitokrom dalam sistem transpor elektron, ditunjuk sebagai
sitokrom b, c, c1, a, dan a3. Atom Fe dari kelompok prostetik heme, seperti itu dari pusat Fe-
S, berfungsi sebagai pembawa elektron untuk sitokrom. Dengan demikian, sitokrom juga
pembawa satu elektron yang tidak mentransfer proton. Sitokrom b, c1, a, dan a3 adalah
protein membran integral, sedangkan sitokrom c adalah protein membran perifer yang
longgar terkait dengan permukaan luar membran. Selain itu, sitokrom c bukan merupakan
bagian dari kompleks besar dan karena itu dapat menyebar jauh lebih cepat dalam
mentransfer elektron antara kompleks protein (Hardin et al., 2012). Struktur heme dapat
dilihat pada Gambar 32
Gambar 32 Struktur Heme (Sumber: Nelson & Cox., 2012)

2.5.1.4. Sitokrom yang Mengandung Tembaga


Selain mereka atom Fe, sitokrom a3 juga mengandung atom tembaga tunggal yag
terikat pada kelompok heme dari sitokrom, di mana ia mengaitkan dengan atom besi untuk
membentuk bimetal besi-tembaga (Fe-Cu) pusat. Seperti atom besi, ion tembaga dapat
reversibel dikonversi dari teroksidasi (Cu2+) untuk reduksi (Cu+) dengan menerima atau
menyumbangkan elektron tunggal. Pusat Fe-Cu memainkan peran penting dalam menjaga
molekul O2 terikat pada oksidase sitokrom kompleks sampai molekul O2 telah mengambil
diperlukan empat elektron dan empat proton, di mana titik atom oksigen dilepaskan sebagai
dua molekul air (Hardin et al., 2012).

2.5.1.5. Koenzim Q
Pembawa elektron sederhana pada rantai respiratori, bukan bagian dari protein
yaitu uquinon (disebut ubiquinon atau coenzim Q). Sebuah quinon merupakan
molekul hidrofobik kecil yang dapat bergerak bebas di dalam bilayer lipid dan
memberi (donor) satu atau 2 elektron. Seperti pada gambar 33
Gambar 33. Pembawa Elektron Quinon (Sumber: Alberts, 2008)

Pada ETS hanya koenzim Q saja yang merupakan komponen nonprotein. Koenzim Q
(coq), sebuah quinon sehingga koenzim Q dikenal juga sebagai ubiquinon. Berbeda dengan
protein dari ETS, sebagian besar koenzim Q secara bebas bergerak nonpolar dari membran
dalam mitokondria (atau membran plasma, dalam kasus bakteri). Molekul coq adalah
pembawa elektron yang paling melimpah di membran dan menempati posisi sentral dalam
ETS, sebagai tempat pengumpulan elektron dari kelompok prostetik dari FMN dan FAD
dehidrogenase yang terikat dalam membran. Meskipun sebagian besar coq dapat bergerak
bebas, penemuan terbaru menunjukkan bahwa sebagian dari coq terikat erat ke kompleks
respirasi tertentu dan dapat berpartisipasi dalam mekanisme pemompaan proton (Hardin et
al., 2012).
Koenzim Q menerima elektron serta proton ketika tereduksi dan melepaskan elektron
dan proton ketika teroksidasi. Hal ini sangat penting untuk peran koenzim Q dalam
transportasi aktif, atau memompa, proton melintasi membran mitokondria bagian dalam.
Ketika coq direduksi menjadi CoQH2, selalu menerima proton dari satu sisi membran
kemudian berdifusi melintasi membran ke permukaan luar, di mana ia teroksidasi menjadi
coq, proton dikeluarkan ke sisi lain dari membran. Proses ini membutuhkan pompa proton
yang terintegrasi dengan transpor elektron, sebagai satu mekanisme yang dilakukan
mitokondria, kloroplas, dan bakteri untuk membangun dan memelihara gradien proton
elektrokimia yang digunakan untuk menyimpan energi transpor elektron (Hardin et al.,
2012). Struktur koenzim Q yang teroksidasi dan tereduksi diperlihatkan pada Gambar 2.23.
Gambar 34 Bentuk Koenzim Q yang Tereduksi dan Teroksidasi (Sumber: Nelson & Cox, 2012)

Besi-sulfur yang terletak dipusat memiliki afinitas elektron yang relatif


rendah. Mereka lebih berperan pada bagian awal dari rantai respiratori, sitokrom lebih
berperan pada pertengahan sampai akhir dari rantai dimana tingginya afinitas elektron
diperlukan (Alberts, 2008).

Gambar 35. Tiga Komplek Enzim Respiratori (Sumber: Alberts, 2008)


2.5.2. Protein Carrier dalam Kompleks Respirasi
Meskipun ada banyak pembawa elektron yang terlibat dalam ETS, sebagian besar
tidak hadir dalam keadaan terpisah, namun disusun dalam kompleks multiprotein. Sebagian
besar pembawa elektron dalam ETS diperkirakan akan terjadi dalam membran mitokondria
bagian dalam pada jenis kompleks respirasi. Setiap kompleks pernapasan terdiri dari ikatan
polipeptida dan kelompok prostetik, dan masing-masing kompleks memiliki peran unik
dalam proses transpor electron (Hardin et al., 2012). Tiap kompleks respirasi mitokondria
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Tiap Kompleks Respirasi Mitokondria

(Sumber: Hardin et al., 2012)

Kompleks I transfer elektron dari NADH ke koenzim Q disebut kompleks NADH-


koenzim Q oksidoreduktase (NADH kompleks dehidrogenase), yang diperlihatkan pada
Gambar 36
Gambar 36. Kompleks I (Sumber: Nelson & Cox, 2012)

Kompleks II transfer ke coq elektron yang berasal dari suksinat dalam Reaksi TCA-
6. Kompleks ini disebut kompleks succinate-koenzim Q oksidoreduktase (suksinat
dehidrogenase), yang diperlihatkan pada Gambar 37

Gambar 37 Kompleks II (Sumber: Nelson & Cox, 2012)

Kompleks III disebut kompleks koenzim Q-sitokrom c oksidoreduktase (kompleks


sitokrom b/cx karena dua sitokrom merupakan komponen yang paling menonjol) karena
menerima elektron dari koenzim Q dan melewati sitokrom c, yang diperlihatkan pada
Gambar 38
(a)

(b)
Gambar 38. Kompleks III (a) Struktur; (b) Siklus Q pada Kompleks III (Sumber: Nelson &
Cox, 2012)

Kompleks transfer IV elektron dari sitokrom c oksigen dan disebut sitokrom c


oksidase, yang dapat dilihat pada Gambar 39 Masing-masing dari kompleks transfer
merupakan salah satu tempat pemompaan proton.
(a)

(b)
Gambar 39 Kompleks IV (a) Struktur Kompleks IV; (b) Proses Transfer Elektron pada
Kompleks IV (Sumber: Nelson & Cox, 2012)

Setiap pasangan elektron diangkut melalui kompleks I, III, dan IV, 10 proton
dipompa dari matriks ke ruang antar membran (Hardin et al., 2012). Kompleks respirasi
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 40
(a)

(b)
Gambar 40 Kompleks Respirasi (a) secara Merinci pada Tiap Kompleks Respirasi; (b) Alur
Trnspor Elektron Model Kemiosmotik (Sumber: Hardin et al., 2012)
2.5.3. Urutan Protein Carrier Elektron Ditentukan oleh Potensi Penurunan
Standar (E0’)
Urutan operator atau macam-macam protein carrier dalam mentransfer elektron
berhubungan dengan potensi penurunan standar (E0'), yang merupakan ukuran, dalam
volt (V), dari afinitas senyawa yang memiliki elektron. Ini menggambarkan betapa
mudahnya senyawa akan mendapatkan elektron dan mengalami redoks. Nilai-nilai
relatif E0' memungkinkan kita untuk membandingkan pasangan redoks dan untuk
memprediksi arah kecenderungan transfer elektron mengalir ketika beberapa pasang
redoks hadir dalam sistem yang sama. Potensi penurunan adalah ukuran afinitas
bahwa bentuk teroksidasi dari sepasang redoks memiliki elektron. Untuk sepasang
redoks untuk memiliki positif E0 berarti bahwa bentuk teroksidasi memiliki afinitas
tinggi untuk elektron dan karena itu merupakan akseptor elektron yang baik.
Perbedaan potensial reduksi antara pasangan redoks NAD+/NADH dan O2/H2O, akan
mendorong ETS dan, seperti yang kita akan segera melihat, menciptakan gradien
proton yang potensial elektrokimia akan mendorong sintesis ATP. Urutan protein
carrier dalam transfer elektron yang ditentukan oleh E0’ dapat dilihat pada Gambar
41
Gambar 41 Urutan Protein Carrier dalam Transfer Elektron yang Ditentukan oleh E0’
(Sumber: Hardin et al., 2012)

2.5.4 Penentuan Jalur Elektron


Pada gambar 42, menunjukkan metode yang digunakan untuk menentukan
jalur elektron di sepanjng rantai transpor elektron. Penanda merah menunjukkan
semakin meningkatnya oksidasi. (A) Dibawah kondisi normal, ketika kondisi oksigen
berlimpah, semua pembawa (carrier) mengalami oksidasi, adanya penambahan
inhibitor yang spesifik menyebabkan pembawa pada bagian downstream mengalami
peningkatan oksidasi, dan pembawa pada upstream menjadi banyak mengalami
reduksi. (B) Ketiadaan oksigen, semua pembawa mengalami reduksi secara optimal
(warna abu-abu). Adanya penambahan oksigen dikonversikan ke tiap-tiap pembawa
menyebakan ke kondisi oksidasi yang paling besar ada pada posisi pembawa down
stream (Alberts, 2008).
Gambar 42. Metode Penentuan Jalur Elektron Sepanjang Rantai Transpor Elektron (Sumber: Alberts,
2008)

Oksigen memiliki afinitas elektron yang tinggi. Oksigen melepaskan sebagian


besar energi bebas ketika direduksi menjadi air. Pada evolusi respirasi seluler, O2
dikonversikan mejadi air, memungkinkan organisme mengendalikan banyak energi
yang dapat diturunkan dari metabolisme anaerobik. Hal ini, menjadi alasan mengapa
semua organisme tingkat tinggi melakuakn respirasi. Toleransi O2 yang dihirup di
udara sangat penting untuk menjadi elektron pertama mengkontrol reaksi inisiasi
katalisi enzim. Tetapi sekali oksigen menjadi satu elektron yang mengandung
superoksida yang bersifat radikal (O2-), hal ini menjadi berbahaya. Sel dapat
menggunakan O2 untuk respirasi jika sitokrom oksidase memegang onto oksigen
pada pusat bimatelik kusus. Dimana diapit diantara sebuah atom besi yang berikatan
dengan heme dan sebuah atom tembaga sampai memiliki 4 elekton, kemudian dua
atom oksigen dari molekul oksigen dilepaskan sebagai 2 molekul air, seperti yang
dapat dilihat pada gambar berikut (Alberts, 2008).
Gambar 43. Reaksi O2 dengan Elektron di Sitokrom Oksidase (Sumber: Alberts, 2008)

Rekasi sitokrom oksidase mengandung sekitar 90% oksigen yang terdapat di


sebagian besar sel. Sianida bersifat toxic karena dapat berikatan secara kuat dengan
sel komoplek sitokrom oksidase yang dapat membuat transpor elektron berhenti,
sehingga mengurangi produksi ATP secara besar-besaran. Struktur molekuler
sitokrom oksidase berupa protein yang berbentuk dimer dari sebuah monomer dengan
13 subunit protein yang berbeda (masa monomer 204.000 dalton). Terdapat warna
yang dikode oleh genom mitokondria, dan mereka membentuk inti dari enzim yang
fungsional. Karena, elektron melwati protein ini, maka akan mengikat molekul
oksigen, mereka menyebabkan protein memompa proton melewati membran sperti
pada gambar diatas. Pada gambar ini, (A) Keseluruhan protein ditunjukkan pada
posisi yang terletak pada membran dalam mitokondria, (B) elektron pembawa terletak
pada sub unit I, dan II (Alberts, 2008).
Gambar 44. Protein pada Membran Mitokondria (Sumber: Alberts, 2008)

Dua komponen yang membawa elektron diantara tiga kompleks enzim dari
rantai respirasi-ubiquinon-cytokrom c- berdifusi dengan cepat pada membran dalam
mitokondria (tiap kompleks penerima dan pemberi sebuah elektron sekitar 5-20
milisekon). Transfer elektron sepanjang rantai respirasi berinteraksi spesifik secara
fungsional diantara komponen rantai: tiap elktron pembawa berinteraksi dengan
pembawa lainnya yang berdekatan dengannya pada sebuah sequen. Elektron
berpindah diantara molekul yang membawa mereka melalui sistem biologi, tidak
hanya bergerak disepanjang ikatan kovalen pada suatu molekul tetapi juga dapat
meloncat melewati celah yang besarnya 2 nm (Alberts, 2008).
Potensial redox, mengubah sepanjang rantai transpor elektron pada
mitokondria, potensial redox meningkat karena elektron mengalir turun pada rantai
respiratory menuju oksigen. Strandart perubahan energi bebas pada transfer dari tiap
dua elektron yang diberi dari NADH (Alberts, 2008).
Gambar 45. Potensial Redoks pada Rantai Transpor Elektron di Mitokondria (Sumber: Alberts, Bruce.
2008)

2.5.5 Pompa H+ terjadi oleh Tiga Mekanisme Komplek Enzim yang Berbeda
Beberapa kompleks enzim pernafasan memompa satu H+ per elektron melintasi
membran dalam mitokondria, sedangkan yang lain memompa dua. Mekanisme rinci
dimana transpor elektron digabungkan ke pemompaan H+ ini berbeda untuk tiga
kompleks enzim yang berbeda. Dalam komplek sitokrom b-c1, quinon memiliki jalur
yang jelas. Seperti disebutkan sebelumnya, quinon yang mengambil sebuah H+ dari
media berair bersamaan dengan setiap elektron itu membawa dan membebaskan
elektron (Alberts, 2008).
Ubiquinone itu bebas bergerak dalam membran ganda lipid, jadi menerima
elektron yang dekat dipermukaan dalam membran dan menyumbangkan elektrom ke
sitokrom bc1 kompleks dekat permukaan luar, sehingga mentransfer satu H+
melewati lapisan ganda untuk setiap elektron yang diangkut. Dua proton dipompa per
elektron dalam sitokrom bc1 kompleks. Serangkaian transfer elektron yang membuat
ini mungkin masih sedang dikerjakan di tingkat atom, dibantu oleh struktur lengkap
dari sitokrom b-c1 kompleks ditentukan oleh kristalografi sinar-X(Alberts, 2008).
Gambar 46. Struktur Atom Cytochrome B-Ci. Protein Ini adalah Suatu Dimer. Monomer
240.000-Dalton terdiri atas 11 Molekul Protein Berbeda di Dalam Binatang Menyusui.
Ketiga Protein Diwarnai Membentuk Inti yang Fungsional Enzim Itu: Cytochrome B
(Hijau), Cytochrome C1 ( Biru), dan Rieske Protein yang Berisi Suatu Iron-Sulfur Pusat
(Warna Ungu). (A) Interaksi Tiga Protein Ini ke Seberang Dua Monomers. (B) Pengangkut
Elektron Mereka, Bersama dengan Pintu Masuk dan Lokasi Jalan Keluar Untuk Elktron.
Elektron pada Awalnya yang Didermakan oleh Ubiquinone Mengikuti Suatu Alur Satuan
Listrik Positif dan Elektron Kompleks Memindahkan Reaksi Melalui/Sampai Protein yang
Kompleks Mempertinggi Reaksi Redoks. Dari Proses Ini di mana Beberapa Elektron
Kembali Ke Quinon Yang Disebut Siklus Q (Sumber: Alberts, 2008)

Transport elektron menyebabkan perubahan alosterik dalam konformasi


protein yang juga dapat memompa H+, seperti H+ dipompa ketika ATP dihidrolisis
oleh ATP sintase berjalan secara terbalik. Untuk kedua kompleks NADH
dehidrogenase dan oksidasi sitokrom kompleks, nampaknya transpor elektron
mendorong perubahan alosterik berurutan dalam konformasi protein dengan
mengubah keadaan redoks dari komponen. Perubahan konformasi pada gilirannya
menyebabkan protein untuk memompa H+ melintasi membran dalam mitokondria.
Jenis pompa H+ memerlukan setidaknya tiga konformasi yang berbeda untuk protein
pompa (Alberts, 2008).
Gambar 47. Suatu Model Umum untuk Pemompaan H+ (Sumber: Alberts, 2008)

Model ini untuk pemompaan H+ oleh suatu transmembrane protein didasarkan


pada mekanisme untuk digunakan oleh NADH dehydrogenase dan cytochrome
oxidase, seperti halnya pompa light-driven procaryotic, bacteriorhodopsin. Protein
dikendalikan melalui suatu tiga siklus: A, B, dan C. Seperti ditandai oleh pengaturan
jarak vertikal, perubahan protein mempunyai energi berbeda. Di dalam perubahan A,
protein mempunyai suatu gaya tarik menarik yang tinggi untuk H+, menyebabkan
pengambilan H+ pada bagian dalam selaput. Di didalam perubahan C, protein
mempunyai gaya tarik menarik yang rendah untuk H+ menyebabkan melepaskan H+
pada bagian luar dari selaput . Transisi dari perubahan B ke perubahan C itu
melepaskan H+ dengan energy menguntungkan, dan itu terjadi hanya karena
dikendalikan allosterically digabungkan untuk suatu reaksi yang menguntungkan
terjadi di tempat lain pada protein ( panah biru). Perubahan lain dari kedua
konformasi AB dan C A menggunakan energy yang sedikit dan prosesnya itu
secapa spontan. Sebab keseluruhan siklus A B C A pelepasan energy bebas, H+
dipompa dari di dalam ( di dalam matrik mitochondria) keluar (ruang intermembran
di dalam mitochondria). Karena NADH dehydrogenase dan cytochrome oxidase,
memerlukan energi untuk transisi B C disajikan oleh transpot elektron, sedangkan
untuk bacteriorhodopsin energi ini disajikan oleh cahaya (Alberts, 2008).
Sejak tahun 1940-an, beberapa zat-seperti 2,4-dinitrophenol-telah dikenal untuk
bertindak sebagai agen yang pelepas transport elektron akibat sinteis ATP.
Penambahan dinitropenol ke dalam sel menyebabkan mitokondria untuk menigkatkan
laju transpor elektron yang menghasilkan peningkatan oksigen untuk diambil
yang merfeleksikan adanya suatu kontrol respirasi. Kontrol ini sebagai
penghambat secara langsung untuk mempengaruhi gradien proton pada laju transpor
elektron. Ketika gradien menurun, maka laju transpor elektron lambat begitu
sebaliknya (Alberts, 2008).

2.6 Kontrol Respirasi


Penambahan uncoupler seperti dinitrophenol ke sel menyebabkan mitokondria
untuk meningkatkan transpor elektron secara substansial, mengakibatkan peningkatan
dalam pengambilan oksigen yang mencerminkan adanya kontrol pernapasan. Kontrol
respirasi, juga bagian dari sistem kontrol umpan balik yang berkoordinasi
dengan laju glikolisis, asam lemak, siklus asam lemak dan transpor elektron.
Contohnya ketika bekerja terlalu berlebihan, maka terjadi peningkatan ADP dan Pi.
Enzim akan segera mengalirkan lebih banyak H+ ke dalam matrix dan terjadilah
gradien proton elektrokimia secara lebih cepat, meningkatkan transpor elektron
(Alberts, 2008).
Pada beberapa sel lemak yang terspesialisasi, respirasi mitokondria, secara
normal dilepas dalam bentuk ATP. Pada beberapa sel seperti sel-sel lemak
berwana coklat, sebagian besar energi dari oksidasi dilepas sebagai panas daripada
dikonversi dalam bentuk ATP. Pada membran dalam mitondrian memiliki sebuag
protein trasnpor kusus, disebut protein yang tidak berpasangan, yang membawa
proton bergerak menuruni gradien proton tanpa melewati sintesis ATP. Protein tidak
berpasangan ini memiliki pergantian fungsi, dengan menggasilkan panas,
menyebabkan sel mengoksidasi lebih cepat penyimpanan lemak mereka. Dan
lebih memproduksi panas daripada ATP. Jaringan ini mengandung lemak coklat
yang membantu hewan untuk melakukan hibernasi dan melindungi diri dari
kondisi sensitif sepertihanlnya perlindungan tubuh bayi yang baru lahir dari dingin
(Alberts, 2008).
Sebagian besar, sel tersusun atas makromolekul, yang secara langsung
digunakan untuk pemulihan kembali umur sel. Ketika sel dan organisme tidak
tumbuh, molekul akan rusak dan harus diperbaiki melalui biosintesis. Pada
penambahan ATP. Biosintesis pada sitosol memerlukan reduksi secara konstan
dari NADPH dan karbon skeleton. Tahap biosintesisi yang membutuhkan karbon
skeleton untuk memecah gula. Sementara NADPH yang di produksi di dalam
sitosol oleh jalur pemecahan gula (jalur pentosa fosfat sebual alternatif dari
glikolisis). Tetapi dalam keadaaan bahan makanan berlebih ATP banyak
didapatkan, mitokondria menghasilkan karbon skleton dan NADPH untuk
pertumbuhan sel. Produksi sitrat di dalam matrix mitokondria oleh siklus asam sitrat
yang akan ditransport menuruni gradien elektrokimia ke sitosol dimana
metabolisme ini akan menghasilkan NADPH dan karbon skeleton untuk
biosintesis. Sebagai contoh, terdapat bagian sel yang merespon signal pertumbuhan,
sebagain besar asetil COA diproduksi di dalam sitosol dari sitrat yang diekpor
dari mitokondria. Kecepatan produksi asam lemak dan strerol yang akan
membangun membran baru (Alberts, 2008).
Mitondria juga sebagai buffer potensial redoks di dalam sitosol. Sel
membutuhkan elektron penerima NAD+ secara konstant, untuk pusat reaksi
glikolisis yang mengkonversi glyseraldehid 3-fosfat menjadi 1,3 bifosfoglisearta.
NAD+ dikonversi menjadi NADH dalam proses tersebut, dan NAD+ dibutuhkan
untuk perbaikan melalui transfer elektron NADH yang berenergi tinggi (Alberts,
2008).

Gambar 48. Molekul ATP sebagai Pembawa Energi dalam Sel (Sumber: Alberts, 2008)

Elektron NADH akan digunakan untuk membantu mengendalikan fosforilasi


oksidasi di dalam mitokondria. Tetapi membran dalam mitokondria bersifat
impermeable terhadap NADH. Sehingga elektron dari NADH menjadi molekul
terkecil di dalam sitosol yang dapat berpindah ke membran dalam mitokondria.
Ketika di dalam matrix, molekul kecil tersebuut mentransfer elektron NAD+
menjadi dalam bentuk NADH pada mitokondria. Dalam keadaan kelaparan,
protein dalam tubuh kita, diubah menjadi asam amino, dan di import ke
mitokondria dan di oksidasi sehingga menghasilkan NADH untuk memproduksi
ATP. Di bawah kondisi yang berbeda dan reaksi yang berbeda, mitokondria memiliki
fungsi penting untuk metabolisme seluler (Alberts, 2008).

Gambar 49. Peran Mitokondria dalam Metabolisme Sel selain Menghasilkan ATP (Sumber: Alberts,
2008)

Bakteri menggunakan sumber energi yang beranekaragam, seperti sel hewan,


yang bersifat aerobik, mereka mensintesis ATP dari gula dan mengoksidasi CO2 dan
H2O dengan glikolisis, siklus asam sitrat dan rantai respiratori di dalam membran
plasma mereka, hal ini sama halnya dengan salah satu yang terjadi pada membran
dalam mitokondria. Anaerobik lainnya menghasilkan energi dari glikolis (dengan
peragian). Karena keberagaman ini, membran plasma dari sebagian besar bakteri
mengandung ATP sintase yang memiliki kesamaan dengan satu mitokondria. Pada
bakteri, yang menggunakan rantai transpor elektron, dapat menghasilkan energi,
rantai transpor elektron memompa H+ keluar dari sel dan memberi kekutan pada
proton melewati membran plasma yang menetukan sintesis ATP untuk menghasilkan
ATP. Pada bakteri lain, sintesis ATP bekerja secara berlawanan, menggunakan ATP
yang diproduksi oleh glikolisis untuk memompa H+ dan sebuah gradian proton dapat
melewati membran plasma. ATP dihasilkan dari proses fermenatsi (Alberts, 2008).
Sebagian besar bakteri, tergolong anaerobik, terutama menggunakan seagai
gradien proton yang mewati membran plasma. Hal ini dikendalikan dengan
menggunakan flagela motor dan ini digunakan untuk memompa Na+ keluar dari
bakterium melalui sebuah antipoter Na+ H+ dan memasukkan Na+ K+. Gradien ini
juga digunakan untuk mengaktifkan transpor nutrin seperti sebagian asam amino dan
banyaknya gula. Tiap nutrin dibawa ke sepanjang sel dengan satu atau lebih proton
melalui sebuah simporter spesifik (Alberts, 2008).

Gambar 50. Transport Pengendali H+ pada Bakteri (Sumber: Alberts, 2008)

Pada sel hewan, sebagian besart transpor melewati membran plasma yang
dikendalikan oleh gradien Na+ (luar mengandung tingginya kadar Na+,bagian dalam
sedikit Na+ yang dibentuk oleh pemompaan Na+ K+. Pada gambar di atas, tentang
pentingnya dilaksanakannya transpor ada bakteri. Sebuah proton memiliki kekuatan
melewati membran plasma memompa nutrin kedalam sel dan mengeluarkan Na+.
(A). Pada bakteri aerobik, sebuah rantai respiratory memproduksi sebuah gradien
elektrokimia proton melewati membran plasma, gradien ini digunakan untk
mentrasnport beberapa nutrin ke dalam sel dan menghasilkan ATP. (B)
Beberapa baketri tumbuh dibawah kondisi anaerobik untuk menghasilkan ATP
dari glikolisis. Sintase ATP kemudian menghidrolisis beberapa ATP untuk
membentuk gradien proton elektrokimia yang akan mengendalikan proses
transpor yang beragnatung pada rantai respiratory (A). Beberapa bakteri melakukan
adaptasi di lingkungan alkalin. Mereka memiliki sitoplasma yang mengandung
PH yang fisiologis. Sel-sel tersebut, mengasilkan gradien H+ secara elektrokimia
yang akan dihalangi oleh besarnya konsentrasi H+ pada arah yang salah (dibagian
dalam memiliki H+ lebih tinggi daripada di bagian luar). Sistem trasnpor dan
flagela motor dikendalikan oleh perubahan Na+ dan Na+ dikendalikan oleh ATP
sintese yang digunakan untuk menghasilkan ATP (Alberts, 2008).

2.7 Sintesis Adenosin Triphosphate


Adenosin Triphosphate atau lebih dikenal dengan ATP yang memiliki
peranan penting dalam jalannya metabolisme sel. Namun ATP tak secara tiba-tiba
berada di dalam sitoplasma. ATP adalah hasil sintesis dari serangkaian sistem yang
cukup rumit. Berikut adalah penjelasan tentang bagaimana dan siapa yang
mensintesis ATP di dalam sel.
2.7.1 Pembentuk ATP
Pada tahun sekitar 1960-an, Humberto Fernandez-Moran, mengisolasi
mitokondria dengan menggunakan teknik staining negative. Fernandez-Moran
menemukan lapisan partikel dan menempel pada inner membran (matriks) dan
dihubungkan dengan struktur semacam batang. Beberapa tahun kemudian, Efraim
Racker mengisolasi inner membran (yang berbentuk seperti bola) dan menyebutnya
sebagai coupling factor 1, atau lebih singkat disebut sebagai F1. Racker menemukan
bahwa partikel F1 yang memiliki aktivitas serupa enzim yang dapat menghidrolisis
ATP. (Karp, 2010).
a. Struktur dari ATP sintase
ATP sintase (F1F0-ATP sintase; F-ATPase) ditemukan di membran energi
transduksi dari bakteri, kloroplas, dan mitokondria yang memanfaatkan energi dari
proton transmembran dan menggunakannya untuk mendorong pembentukan ATP
dari ADP dan fosfat anorganik (Cardel, et al, 2010). Walaupun partikrl F1 memiliki
kemampuan untuk mengkatalis enzim yang dapat menghasilkan ATP di mitokondria,
namun faktanya tak sesederhana itu. Enzim untuk mensintesis ATP disebut sebagai
ATP sintase, adalah protein kompleks yang memiliki bentuk seperti jamur dan
tersusun atas dua komponen, yakni partikel F1 sebagai kepalanya (sengan diameter
sekitar 90Å) dan sebuah bagian basal yang disebut sebagai F0 tertanam pada
membran inner. Keduanya dihubungkan oleh struktur serupa batang (Karp, 2010).
Bagian dari F1 pada bakteri dan mitokondria pada ATP sintase memiliki
lima polipeptida dengan komposisi α3β3δγε. Subunit polipeptida α dan β menyusun
secara berseling dan terlihat seperti jeruk pada bagian kepala dari F1. Bagian dari F0
pada ATP sintase, berada di membran dalam , dan terdiri atas tiga polipeptida yang
berbeda. Perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 51 struktur dari ATP sintase

Gambar kiri adalah diagram skematik dari ATP sintase bakteri. Enzim yang
dihasilkan terdiri atas dua, yaitu F1 dan F0. Kepala yang merupakan F1 terdiri atas
lima subunit dalam rasio 3α : 3β : 1δ : 1γ : 1ε. Subunit α dan β terorganisir dalam
susunan melingkar untuk membentuk kepala dari partikel. Subunit γ berjalan menuju
inti ATP sintase dari F1 turun ke F0 untuk membentuk batang central. Subunit ε
membantu untuk menempelkan subunit γ kepada dasar F0. Dasar dari F0 tertanam
pada membran plasma bakteri dan tersusun atas tiga subunit yang berbeda dengan
rasio 1a : 1b :10—14 c. Subnit c membentuk sebuah putaran cincin di dalam
membran. Subunit b berpasangan pada dasar F0 dan subunit pada kepala F1
membentuk batang yang berfungsi untuk pengikat subunit, dan masing-masing
subunit mengandung channel proton. Gambar kanan merupakan struktur tiga dimensi
dari ATP sintase bakteri. Pada gambar tersebut terlihat bahwa ATP sintase tersusun
atas sebagian struktur yang terdapat pada enzim dari berbagai makhluk hidup (Karp,
2010).
b. Bukti bahwa F1 memiliki aktivitas sintesis ATP
Bukti utama bahwa Patikel F1 berperan dalam sintesis ATP terdapat pada
hasil studi yang dilakukan oleh Racker dan teman-temannya yang menguji prediksi
dari hipotesis kemiosmotik: bersifat sementara (dapat digantikan), proton translokasi
terdapat ATPase yang terdapat pada membran dan memiliki kemampuan untuk
mensintesis ATP. Dimulai dari bagian utuh dari mitokondria dan sedemikian rupa
hingga inner membran membentuk vesikel kecil yang disebut sebagai
submitochondrial particles. Struktur ini memiliki kemampuan untuk membawa
keluar transport elektron dan mensintesis ATP. Dengan menggunakan partikel ini,
agitasi mekanis atau treatment protease dapat digunaka untuk melepaskan struktur
vesikula membran.
Ketika pratikel dan membran vesikula terpisahkan satu sama lain
dikarenakan centrifuge, fraksi dari membran tetap dapat melakukan transport
elektron, namun tak dapat melakukan sintesis ATP. Partikel yang telah diisolasi tidak
dapat melakukan baik transport elektron namun juga tak dapat melakukan sintesis
protein, namun tetap memiliki aktivitas ATPase.
2.7.2 Kompleks F1F0: Translokasi Proton Melalui F0 Mendorong sintesis ATP
oleh F1
Meskipun bagian dari kompleks ATP sintasi tidak secara langsung diikat
oleh membran, namun kompleks ini terikat di membran dalam mitokondria. Telah
diketahui bahwa kompleks tersebut melayani transpor elektron, merupakan
sambungan aliran proton melalui membran dala mitokondria. Fungsi lain adalah
sebagai tempat ATP sintase. Komponen yang dapat membuktikan bahwa F0
menghasilkan energi dari aliran proton melalui membran, dan komponen tersebut
melakukan sintesis ATP yang dijalankan oleh energi yang berasal dari gradien
proton. Gambar berikut menunjukkan komposisi polipeptida dari kompleks milik
bakteri.
Dan berikut adalah ilustrasi dari empat komponen dalam kompleks fungsional. Setiap
kompleks tersusun atas komponen statis yang tetap statis, dan komponen mobile yang
terus berpindah selama translokasi proton.

Komponen penyusun dari kompleks tersebut, secara bersamaan membuat


sebuah keajaiban di dunia molekuler. Sebuah miniatur aliran proton berubah menjadi
gigi penggerak mikroskopis yang menjalankan sintesis ATP. Kompleks yang
tertanam pada membran bakteri terdiri atas 1 a subunit, 2 b subunit, dan 10 c subunit.
a dan b merupakan komponen statis yang tidak bergerak di dalam membran,
sedangkan subunit c yang membentuk cincin dan menjadi miniatur gigi penggerak,
dapat berputar dari subunita a ke b. Subunit a berfungsi sebagai channel proton dan
subunit b membentuk batang yang menghubungkan antara permukaan dengan
kompleks. Kompleks yang menonjol ke sitoplasma bakteri, dan tersusun atas tiga
subunit yang terdiri atas tuga subunit a, tiga subunit b, satu delta, satu gamma, dan
satu subunit epsilon. Sintesis ATP yang di katalisis oleh cincin pada tiga kompleks ab
yang membentuk heksagon sebagai alternatif .

3 Sintesis ATP oleh F1F0 melibatkan rotasi fisik dari subunit gamma
a. Binding Mobile Change Mecanism
Jalur aliran yang dilalui oleh proton menyebabkan cincin berputar secara
menakjubkan pada struktur dan fungsi protein. Setiap subunit 10 c memiliki
residu aspartat yang berkemampuan untuk membentuk ikatan ion dengan residu
arginin pada subunit yang tak bergerak. Hanya satu aspartat pada satu subunit c
dapat berikatan dengan arginin dalam sekali waktu. Setelah proton terambil dari
sisi eksternal membran, ini memprotonasi dan menetralisasi residu aspartat dan
mengganggu ikatan ion. Hal ini menyebabkan perubahan konformasi pada yang
dapat memutar cincin dan menyebabkan residu aspartat pada residu yang
berdekatan kehilangan proton dan membentuk ikatan ion dengan arginin pada
subunit a. 10 proton melewati membran melalui subunit a, dan membuat cincin
melakukan rotasi sempurna.

Anda mungkin juga menyukai