Anda di halaman 1dari 10

Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

HUBUNGAN ANTARA MASKULINITAS DENGAN KEKERASAN DALAM PACARAN


PADA REMAJA LAKI-LAKI

Pingky Wulandari
Program Studi Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Pingkywulandari15@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara maskulinitas dengan kekerasan
dalam pacaran pada remaja laki-laki. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 145 remaja laki-laki.
Metode pengumpulan data menggunakan skala maskulinitas dan skala kekerasan dalam pacaran.
Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment dari Karl Pearson. Berdasarkan
hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar rxy = 0,419 dan p <0,01. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif yang signifikan antara maskulinitas dengan
kekerasan dalam pacaran. Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,175 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel persepsi gaya kepemimpinan
transformasional memiliki kontribusi 17,5 % terhadap kekerasan dalam pacaran dan sisanya 82,5 %
dikontribusikan oleh faktor lain. Dari 9 aspek maskulinitas, aspek kuasa atas perempuan berkontribusi
paling besar dengan r = 0.448 dan p = 0.000 dibandingkan aspek kemenangan, kontrol emosi,
pengambilan resiko, kekerasan, playboy, kemandirian, keutamaan kerja, dan presentasi heteroseksual.
sehingga diharapkan agar remaja laki-laki untuk mengubah cara pandang terhadap maskulinitas bahwa
laki-laki tidak harus dikontruksikan dengan selalu menang, harus mengontrol emosi, melakukan hal-
hal yang beresiko, melakukan kekerasan, playboy, harus mandiri, mengutamakan pekerjaan dan tidak
mempresentasikan diri sebagai heteroseksual.

Kata Kunci: maskulinitas, kekerasan dalam pacaran.

1
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

RELATIONSHIP BETWEEN MASCULINITY AND VIOLENCE IN DATING IN MALE ADOLESCENTS

Pingky Wulandari

Psichology Study Program, Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Pingkywulandari15@gmail.com

Abstract

This study aims to find out the relationship between masculinity and violence in dating in male
adolescents. The subjects in this study are 145 adolescent boys. The method of data collection uses a
scale of masculinity and scale of dating violence. The data analysis technique used is product moment
correlation from Karl Pearson. Based on the results of data analysis, it is obtained the correlation
coefficient (r) of rxy = 0.419 and p <0.01. These results indicate that there is a significant positive
relationship between masculinity and dating violence. The acceptance of the hypothesis in this study
shows the coefficient of determination (R2) of 0.175 so that it can be said that the perception variable of
transformational leadership style contributes 17.5% to dating violence and the remaining 82.5% is
contributed by other factors. From nine aspects of masculinity, aspects of power over women
contributed the most with r = 0.448 and p = 0.000 compared to aspects of victory, emotional control,
risk-taking, violence, playboy, independence, the primacy of work, and heterosexual presentation. So it
is expected that young men need to change their perspective on masculinity that men do not have to be
identified by always have to win, must control their emotions, do things that are risky, commit violence,
playboys, must be independent, prioritize work, and not present themselves as heterosexual.

Keywords: masculinity, dating violence

PENDAHULUAN
Ferlita (2008) masa remaja merupakan masa rentan, karena merupakan masa transisi dari
kanak-kanak menjelang dewasa, yang ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari
aspek fisik, biologis dan sosial. Menurut Monks dkk (2002) masa remaja secara global
berlangsung antara umur 12 hingga 21 tahun yang dibagi menjadi tiga bagian tahap
perkembangan remaja yaitu usia remaja 12-15 tahun merupakan remaja awal, usia 15-18 tahun
merupakan masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Remaja
akan mengalami fase pengenalan lawan jenis yang saling mengikat yang biasanya sering disebut
dengan pacaran. Menurut Pertiwi (2007) pacaran merupakan proses dua manusia lawan jenis
untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan sebagai
persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan
pada saat menikah.
Savitri (2015) fenomena perilaku pacaran di kalangan remaja sudah sangat umum.
hampir sebagian besar remaja telah dan pernah berpacaran. Berpacaran dapat memberikan
kontribusi positif maupun negatif bagi remaja yang berpacaran. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Saadatun Nisa (dalam Linayaningsih, 2008) menunjukan bahwa berpacaran rentan untuk
terpengaruh hal negatif misalnya melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual remaja yang

2
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

beresiko : gaya pacaran yang tidak sesuai norma, seks pranikah, kehamilan tidak dikehendaki,
aborsi, kekerasan dalam berpacaran.
Kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi dan cenderung
korbannya adalah perempuan. Sedikit yang menyadari bahwa hubungan kasih sayang sebelum
menikah sangat rawan terhadap tindak kekerasan, bahkan sebagian menganggap bahwa itulah
konsekuensi dalam pacaran, sehingga walaupun terjadi kekerasan dalam pacaran seseorang tetap
mempertahankan hubungannya (Ferlita, 2008).
Berikut data kekerasan dalam pacaran pada tahun 2012-2018 menurut Catatan Tahunan Komnas
Perempuan :

Tabel 1. Data Kekerasan dalam Pacaran di Indonesia


Tahun Jumlah
2012 1.085
2013 2.507
2014 1.784
2015 2.734
2016 2.017
2017 2.171
2018 1.873

Sumber : Catatan Tahunan Komnas Perempuan


Dari Tabel 1, diketahui bahwa kekerasan dalam pacaran yang terjadi dari tahun 2012-
2018 tetep terus terjadi ditiap tahunnya. Hal ini, menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran
masih menjadi permasalahan yang patut di tangani.
Murray (2007) mengatakan kekerasan berpacaran sebagai tindakan yang disengaja
(intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap
pasangannya. Menurut Ferlita (2008) kekerasan dalam pacaran adalah perilaku atau tindakan
seseorang dalam percintaan bila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti
dengan apa yang telah di lakukan pasangannya. Kekerasan dalam pacaran dapat berbentuk
seperti kekerasan emosional, kekerasan fisik, bahkan bisa dalam bentuk kekerasan seksual.
Murray (2007) menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran ada 3 bentuk yaitu :
a. Kekerasan Verbal dan Emosional
1) Name Calling
2) Intimidating Looks
3) Use of pagers and cell phones
4) Making a boy / girl wait by phone
5) Monopolizing a girl’s / boy’s time
6) Making a girl’s / boy’s feel insecure
7) Blamming
8) Manipulation / making himself look pathetic
9) Making threats

3
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

10) Interrogating .
11) Humiliating her / him in public
12) Breaking treasured items

b. Kekerasan Seksual
1) Perkosaan
2) Sentuhan yang tidak diinginkan
3) Ciuman yang tidak diinginkan

c. Kekerasan Fisik
1) Memukul, mendorong, membenturkan
2) Mengendalikan, menahan
3) Permainan kasar
Murray (2007) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam
pacaran yaitu tekanan dari teman sebaya, tuntutan terhadap peran gender, pengalaman yang sedikit
dalam menjalin hubungan, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, keterbatasan akses ke
layanan kesehatan, legalitas, dan penggunaan obat-obatan.
Oleh karena itu peneliti memilih tuntutan terhadap peran gender sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kekerasan dalam pacaran yang didalamnya terdapat maskulinitas. Sifat maskulinitas
adalah manusia yang sifat kelaki-lakiannya diatas rata-rata dan sifat kewanitaanya dibawah rata-rata.
Laki-laki diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan perempuan diharapkan untuk lebih pasif.
Laki-laki yang menganut maskulinitas yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan
perbuatan kekerasan kepada pasangannya
Kamla Bashin (dalam Hasyim dkk, 2011) menyebutkan maskulintas sebagai definisi
sosial yang diberikan oleh masyarakat kepada laki-laki, atau dengan kata lain maskulinitas
sebagai sebuah konstruksi sosial. Maskulinitas mendefinisikan bagaimana laki-laki harus
berperilaku, berpakaian, berpenampilan serta bagaimana sikap dan kualitas-kualitas yang harus
dimiliki oleh laki-laki.
Menurut Connell (2002) maskulinitas yang dominan diyakini dan dipraktekkan oleh para
laki-laki tersebut bersifat hegemonik (hegemonic masculinity), yaitu dibakukan dan menjadi
standar tunggal identitas kelelakian dan ukuran normal tidaknya seorang laki-laki. Hal ini tanpa
disadari membuat para laki-laki berusaha memenuhi ukuran tunggal maskulinitas agar merasa
menjadi laki-laki ideal dan diterima oleh sesama laki-laki yang lain. Karakteristik maskulinitas
dominan yang hegemonik tersebut cenderung mengagungkan dominasi dan superioritas laki-laki
atas laki-laki lain, terutama terhadap perempuan dan anak (Connell, 2002), kuasa dan kontrol
(McFarlane, 2013), keberanian, kekuatan fisik, agresifitas dan kekerasan (Karp, 2010).
CMNI ( Conformity to Masculine Norms Inventory) adalah skala yang di gunakan untuk
menilai sejauh mana laki-laki sesuai atau tidak sesuai dengan tindakan, pikiran, dan perasaan
yang mencerminkan norma-norma maskulinitas dalam budaya dominan dalam masyarakat
Amerika Serikat. CMNI di kemukakan oleh Hammer (2017) yang menyebutkan ada 9 aspek dari
maskulinitas yaitu : Kemenangan, Emosional kontrol, Pengambilan Resiko, Kekerasan,
Kekuasaan atas Perempuan, Playboy, Kemandirian, Keutamaan kerja, dan Presentasi
Heteroseksual.
Kekerasan dalam pacaran memang merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi dan
cenderung korbannya adalah perempuan. Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh
perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang
dilakukan oleh pasangannya. Akan tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan

4
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi masyarakat membentuk figur laki-laki lebih
mendominasi dalam suatu hubungan (Ferlita,2008).
Kekerasan terhadap pasangan yang dilakukan oleh laki-laki cenderung dianggap sebagai
cara untuk memaksakan keinginan untuk mendominasi dan mengontrol pasangan (Follingsad
dalam Astri & Fauziah, 2013) dianggap sebagai cara untuk memaksakan keinginannya dengan
mengubah keadaan tertentu menjadi keadaan yang sesuai dengan persepsi dan harapannya
(Stordeur dan Still, dalam Astri & Fauziah, 2013)
Ketidakmampuan laki-laki dalam mengontrol diri terutama terhadap amarah serta
keinginan mereka yang kuat untuk mendominasi dan mengontrol pasangan, memilki hubungan
yang kuat dengan kekerasan yang terjadi dalam pacaran (Follingstad, dalam Sitorus 2013).
Kekerasan terhadap pasangan yang dilakukan oleh laki-laki cenderung dianggap sebagai cara
untuk memaksakan keinginannya dengan mengubah keadaan tertentu menjadi keadaan yang
sesuai dengan persepsi dan harapannya (Stordeur & Stille, dalam Sitorus 2013). Menurut Unger
(dalam Sitorus, 2013) laki-laki menganggap tindak kekerasan yang di lakukan merupakan cara
untuk mengontrol pasangannya, bahkan laki-laki muda juga sering beranggapan bahwa
mendominasi perempuan merupakan hal yang wajar.
Menurut Herdiansyah (2016) laki-laki diharapkan lebih dominan ketimbang perempuan.
Dominasi ini menjadikan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam banyak faktor yang
dengan demikian memosisikan perempuan menjadi subordinat. Posisi dominasi ini ternyata
menyebabkan keberadaan laki-laki dan perempuan tidak lagi sejajar. Ketidaksejajaran ini
menyebabkan adanya power lebih bagi yang dominan terhadap yang subordinat.Hal ini
menyebabkan banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Dalam penelitian Pleck, Soenstein, dan Ku (dalam Santrock, 2003) terdapat bukti yang
kuat bahwa perilaku bermasalah pada laki-laki berhubungan dengan sikap mereka terhadap
maskulinitas (Astri & Fauziah 2013).Pelabelan terhadap maskulinitas dan feminitas terus
dikembangkan, dimana ciri maskulin yang dikembangkan pada laki-laki adalah dominan, kuat,
rasional.Sementara feminim pada perempuan adalah sebaliknya. Menurut Subhan (dalam Astri &
Fauziah, 2013). Hal semacam inilah yang menyebabkan perempuan menjadi sasaran kekerasan
dengan berbagai bentuk kekerasan. Banyaknya kasus kekerasan dalam pacaran dimana
korbannya adalah perempuan, merupakan salah satu sosialisasi dalam masyarakat yang
mengutamakan dan menomorsatukan laki-laki.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maskulinitas dapat diasumsikan menjadi salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam pacaran pada remaja. Oleh karena itu,
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : “apakah ada hubungan antara persepsi
maskulinitas dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada remaja laki-laki?”
METODE
Subjek penelitian ini yaitu Remaja Laki-Laki dengan rentang usia 15-21 tahun dan Sedang Atau
Pernah Berpacaan. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak135 orang.
Adapun karakteristik subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Berjenis kelamin laki- laki
Dalam diskusi kekerasan dalam pacaran pada kelompok remaja di Yogyakarta tahun
2002 yang di kutip dalam (Ariestina 2009) sebanyak 70 % remaja putri melaporkan bahwa
pasangan mereka melakukan pelecehan sewaktu pacaran. Sedangkan para remaja putra
mengakui pasangan perempuan mereka melakukan pelecehan (27%)
2. Remaja, berusia 15-21 tahun

5
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

Menurut Monks dkk (2002) masa remaja secara global berlangsung antara umur 12
hingga 21 tahun yang dibagi menjadi tiga bagian tahap perkembangan remaja yaitu usia remaja
12-15 tahun merupakan remaja awal, usia 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan dan
usia 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Berdasarkan hasil penelitian terdapat subjek sebagai
berikut :

Tabel 3. Kategori Usia Subjek Penelitian


No Usia Jumlah
1. 15-18 67 subjek
Tahun
2. 19-21 68 subjek
Tahun
Jumlah 135 subjek

3. Sedang atau pernah berpacaran


Tabel 4. Jumlah Subjek dan lamanya berpacaran
No Lama Jumlah
pacaran
1. 1-11 53 subjek
bulan
2. 1-3 tahun 55 subjek
3. 3-5 tahun 17 subjek
4. ≥ 5 tahun 10 subjek
Jumlah 135 subjek

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa skala yang digunakan sebagai alat
pengumpulan data. Skala merupakan perangkat pertanyaan atau pernyataan yang disusun untuk
mengungkapkan atribut tertentu melalui respon yang diberikan terhadap pertanyaan (Azwar, 2015).
Metode lain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Skala model Likert. Skala Likert
adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau sekelompok
orang. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator tersebut
dijadikan patokan untuk menyusun aitem-aitem instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.
Instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gardasi dari sangat positif sampai dengan sangat
negatif tergantung dari kesesuaian pengalaman subjek (Sugiyono, 2015).
Respon yang diharapkan diberikan oleh subjek adalah taraf kesesuaian dalam variasi sangat
sesuai (SS) yang akan diberikan skor 4 pada aitem favorabel dan skor 1 pada aitem non favorabel, sesuai
(S) akan diberikan skor 3 pada aitem favorabel dan 2 pada non favorabel, tidak sesuai (TS) yang akan
diberikan skor 2 pada aitem favorabel dan skor 3 pada aitem non favorabel, dan sangat tidak sesuai (STS)
yang akan diberikan skor 1 pada aitem favorabel dan 4 pada aitem non favorabel. Jawaban netral tidak
diberikan untuk menghindari kecenderungan subjek memberi jawaban pada posisi tengah (netral).
Dengan kata lain dikhawatirkan respon yang diperoleh tidak cukup bervariasi (Nussbeck dalam Azwar,
2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN

6
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara maskulinitas dengan
kekerasan dalam pacaran dengan rxy = 0,419 dan p <0,01 , berarti terdapat korelasi yang positif
antara maskulinitas dengan kekerasan dalam pacaran, sehingga hipotesis yang diajukan dalam
penelitian diterima. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui koefisien (rxy) ≥ 0,419, maka
dapat disimpulkan bahwa keeratan korelasi pada hipotesis ini sedang (Sugiyono, 2016).
Selanjutnya untuk koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,175 menunjukkan bahwa
variabel Maskulinitas memiliki kontribusi sebesar 17,5 % terhadap variabel Kekerasan Dalam
Pacaran pada remaja laki-laki dan sisanya 82,5 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Fenomena kekerasan dalam pacaran dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut, seperti
budaya partiarkhi dan bias gender yang seringkali menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih
unggul dari perempuan (Hadi, 2002 ; Astuti, 2009). Kurniawan (2017) menyatakan bahwa
dimana terjadi ketimpangan relasi kuasa (Inequality in power), maka disanalah tempat tumbuh
subur terjadinya segala bentuk dominasi, opresi, kesewenang-wenangan, arogansi dan kekerasan.
Hal ini berlaku dalam segala bentuk relasi sosial yang melibatkan hubungan laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan aitem ke-22 “Saya suka ketika pria mampu mengontrol
wanita” terdapat sebanyak 64 subjek yang menyatakan sesuai, ini menunjukan bahwa subjek
merasa sebagai seorang laki-laki harus mampu mengontrol wanita. Hal ini menunjukkan bahwa
ketika laki-laki memiliki maskulinitas tinggi, cenderung akan melakukan kekerasan dalam
pacaran. Sesuai dengan hasil penelitian dari Edwars (2006) bahwa kekerasan berkorelasi dengan
maskulinitas.
Kimmel (2004) menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan melakukan perilaku kekerasan.
Pada subjek yang menilai bahwa terkadang diperlukan aksi kekerasan terdapat 64 orang, maka
hal itu menunjukan bahwa maskulinitas subjek tinggi. Anggapan yang seperti itu akan
mempengaruhi bagaimana subjek memperlakukan pasangannya, sehingga pandangan yang
demikian akan berkorelasi dengan kekerasan dalam pacaran.
Pada subjek dilaporkan sebanyak 48 orang menyatakan sesuai bahwa ketika ingin
bersentuhan fisik tidak perlu meminta persetujuan dari pasangannya.. Hal ini menunjukkan
bahwa kekerasan seksual dapat cenderung tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fiske (1991)
menjelaskan remaja laki-laki seolah-olah diperingatkan untuk berperilaku lebih dewasa dari
usianya untuk dapat menjadi laki-laki. Konstruksi maskulinitas yang dibangun merupakan
gambaran laki-laki dewasa. Persoalan maskulinitas sering dikaitkan dengan perkembangan
seksual yang terjadi pada laki-laki. Seksualitas, bukan hanya persoalan erotisme, namun merujuk
pada seluruh aspek kehidupan dan keberadaan manusia yang bersifat erotis seperti hasrat,
praktik, hubungan dan identitas (Jackson, 2006:106).
Adapun hasil kategorisasi data kekerasan dalam pacaran, diketahui bahwa dari 145
subjek penelitian, terdapat 1 orang (0,7%) yang memiliki kekerasan dalam pacaran pada kategori
tinggi. Sisanya, 24 orang (16,5 %) orang dalam kategori sedang dan 120 orang (82,8%) memiliki
kekerasan dalam pacaran pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas subjek
dalam penelitian ini memiliki kekerasan dalam pacaran dengan kategori sedang.
Selanjutnya hasil kategorisasi data maskulinitas, diketahui bahwa dari 145 subjek
penelitian, terdapat 1 orang (0,7%) yang memiliki maskulinitas pada kategori tinggi. Sisanya,
138 orang (95,2%) dalam kategori sedang dan 6 orang (4,1 %) memiliki maskulinitas pada
kategori rendah.

7
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

Selanjutnya variabel maskulinitas memiliki kontribusi sebesar 0,175 menunjukkan bahwa


variabel maskulinitas memiliki kontribusi sebesar 17,5 % terhadap variabel kekerasan dalam
pacaran pada remaja laki-laki dan sisanya 82,5 % dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu tekanan
teman sebaya, pengalaman yang sedikit dalam menjalin hubungan, jarang berhubungan dengan
pihak yang lebih tua, keterbatasan akases layanan kesehatan, legalitas,dan penggunaan obat-
obatan.

Berdasarkan analisis regresi aspek kontrol emosi, kekerasan, kekuasaan atas perempuan,
playboy, kemandirian, dan keutamaan kerja memiliki hubungan yang positif atau signifikan.
Semakin tinggi aspek kontrol emosi, kekerasan, kekuasaan atas perempuan, playboy,
kemandirian, dan keutamaan kerja maka akan semakin tinggi kekerasan dalam pacaran.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif
antara maskulinitas dengan kekerasan dalam pacaran pada remaja laki-laki. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi maskulinitas cenderung semakin tinggi tingkat kekerasan
dalam pacaran pada remaja laki-laki, sebaliknya semakin rendah maskulinitas maka kekerasan
dalam pacaran pada remaja laki-laki. akan rendah. Kekerasan dalam pacaran tidak mutlak
dipengaruhi oleh maskulinitas karena masih ada variabel lain yang mempengaruhi Kekerasan
dalam pacaran yaitu, tekanan teman sebaya, pengalaman yang sedikit dalam menjalin hubungan,
jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, keterbatasan akases layanan kesehatan,
legalitas,dan penggunaan obat-obatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ariestina, D. (2009). Kekerasan dalam Pacaran pada Siswi SMA di Jakarta. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 3 (4), 161-170

Astri, M., & Fauziah, M. (2013). Hubungan Antara Peran Gender Dengan Intensi Melakukan
Kekerasan Dalam Pacaran Pada Mahasiswa Strata-1 Fakultas Teknik Di Universitas
Diponegoro. Universitas Diponegoro.

Astuti, & Dw, Y . (2009). Kecenderungan Melakukan Kekerasan Dalam Pacaran Ditinjau Dari
Ekspresi Dan Kontrol Kemarahan. Psikoislamika 6 (3), 153-170

Azwar, S. (2016). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka pelajar

Callahan, Michelle R., Tolman, Richard M., & Saunders, G. (2003). Adolescent Dating Violence
Victimition And Psychology Well Being. Journal of adolescent research. 18 (06), 664-
681.

Fraser, H. (2004). Women, love and intimacy “gone wrong” : Fire, wind and ice. Journal of
Affilia. 20 (1), 10-20

8
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

Ferlita, G. (2008). Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran (Penelitian Pada Mahasiswi
Reguler Universitas Esa Unggul Yang Memiliki Pacar). Jurnal Psikologi Universitas
Esa Unggul. 6 (1), 10-24

Guindon, M. H. (2010). Self Esteem Across The Lifespan : Issues And Interventions. New Yorrk
: Routledge, Taylor & Francis Group.

Hadi, M. & Aminah, S. (2002). Kekerasan Di Balik Cinta. Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre

Haes, P., E. (2017). Kekerasan Pada Remaja Perempuan Dalam Masa Pacaran (Dating Violence)
Di Kota Denpasar Dalam Perspektif Analisis Interaksi Simbolik. Jurnal Ilmiah
Dinamika Sosial. 1 (2), 166-176

Hammer, J. H., Heath, P. J., & Vogel, D. L. (2017). Fate of the total score: Dimensionality of the
Conformity to Masculine Role Norms Inventory (CMNI-46). Psychology of Men and
Masculinity.

Hasyim, N., Kurniawan, A. P., & Hayati, E. N 2014. Dadi Wong Lanang,Idealisasi dan
Perolehan Nilai Remaja Laki-Laki di Jawa. Yogyakarta : Rifka Annisa

Hasyim, N., Kurniawan, A. P., & Hayati, E.. 2009. Wajah Kekerasan. Yogyakarta : Rifka Annisa
Women Crisis Center

Hasyim, N., Kurniawan, A. P., & Hayati, E.. 2007. Menjadi Laki-Laki,Pandanga, Laki-Laki
Jawa Tentang Maskulinitas dan Kekersan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Rifka
Annisa

Karp, D. R. (2010). Unlocking Men, Unmasking Masculinities: Doing Men's Work in Prison.
The Journal of Men's Studies. 18(1), 63-83.

Legowo, M., Rohmah, S, (2014). Motif Kekerasan dalam Relasi Pacaran di Kalangan Remaja
Muslim. Paradigma. 2 (1), 1-9

Luhulima, S. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan


Alternatif Pemecahan. Jakarta: PT.Alumni.

Marcus, R., & Swett, B. (2003). Violence in close relationships the role of emotion. Journal
Aggression and Violent Behavior. 8, 313-327

Mas’oed., M., Maksum, M., & Soehadha, M. (2000). Kekerasan Kolektif : Kondisi Dan Pemicu.
Yogyakarta : Pusat Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada.

McFarlane, H. (2013). Masculinity and Criminology: The Social Construction of Criminal Man.
The Howard Journal of Criminal Justice. 52 (3), 321-335.

Monks, F,J. (2002) Psikologi Perkembangan : Penngatar Dalam Berbagai Bagiannya.


Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

9
Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran

Murray, J. (2007). But i love him: Protecting your daughter from controlling, abusive dating
relationship. New York: Harper Collins Publisher.

O‟Keefe, M. (2005). Teen Dating Violence: A Review of Risk Factors and Prevention Efforts.
Harrisburg, PA: VAWnet, a project of the National Resource Center on Domestic
Violence/Pennsylvania Coalition Against Domestic Violence

Poerwandari, E. K., (2008). Penguatan Psikologis untuk Menangulangi Kekerasan Dalam


Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Panduan dalam bentuk tanya jawab. Jakarta :
Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Safitri, W., Ayu & Sama’I. (2013). Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran (The Impact Of
Violence In Dating). UNEJ. 1(1), 1-6

Savitri, A. Anna., Linayaningsih, F., & Sugiarti, L. (2015). Kekerasan Dalam Pacaran Pada
Siswa Sma Ditinjau Dari Konformitas Teman Sebaya Dan Efektivitas Komunikasi
DalamKeluarga. Jurnal Dinamika Sosial Budaya. 2 (1), 41-47

Sitorus, F., H & Sumampouw., N. (2013). Hubungan Antara Kekerasan Dalampacaran Dan
Ketrampilan Sosial Pada Mahasiswa Laki-Laki. Universitas Indonesia.

Subhan, Z. (2001). Kekerasan terhadap perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

10

Anda mungkin juga menyukai