Oleh:
Pembimbing
dr. Muhammad Iqbal, Sp.Rad
Judul
GAMBARAN RADIOLOGI PADA FOTO SKULL AP LATERAL
Oleh:
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Instalasi Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode 07 Oktober – 23 Oktober 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang
berjudul “Gambaran radiologi pada foto skull AP lateral” sebagai syarat untuk
memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Instalasi Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Muhammad Husein Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dr. Muhammad Iqbal, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan
kasus ini, semoga bermanfaat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epidemiologi
Pada tahun 2017, KPAI menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017
atau menurun dari 4.620 kasus pada 2016. Jumlah pengaduan ke KPAI menurun,
tapi bukan berarti jumlah kasusnya juga menurun. Bahkan kasus kekerasan pada
anak kian kompleks, terutama pada kasus pornografi. Menurut Susanto, Ketua
KPAI, dalam tujuh tahun terakhir korban dan pelaku mencapai jumlah 28 ribu
2
anak. Mayoritas pelaku dan korban kekerasan pada anak dalam kasus pornografi
adalah laki-laki.2
Sepanjang tahun 2017, menurut data KPAI, ada 1.234 anak laki-laki
menjadi pelaku dan korban kekerasan pornografi. Adapun pada kelompok
perempuan (pelaku dan korban) adalah berjumlah 1.064 orang. Dua kasus ini
mencapai 54 persen (laki-laki) dan 46 persen (perempuan) pada kekerasan anak.
Ini menggambarkan perubahan modus yang signifikan.2
Etiologi
3
telah mendapatkan lebih banyak fokus dalam penelitian karena memainkan peran
penting dalam gangguan kontrol impuls, seperti Obsessive Compulsive Disorder
(OCD), yang secara umum telah diindikasikan terlibat dalam pedofilia dan
paraphilia lainnya. Salah satu teori adalah bahwa penurunan aktivitas pada neuron
presinaptik ditambah dengan hipersensitivitas dari reseptor serotonin 2
postsinaptik bertanggung jawab atas kelainan serotenergik ini. Hubungan antara
gangguan kontrol impuls dan pedofilia telah menghasilkan perumusan teori
bahwa pedofilia dapat disebabkan oleh masalah neurodevelopmental.3,4
4
membantu dalam menjamurnya pornografi anak dengan membuatnya mudah
diakses dan memungkinkan untuk mempertahankan tingkat anonimitas tertentu.
Internet juga memungkinkan orang dewasa untuk terlibat dalam kegiatan yang
legal tetapi tidak sesuai dan mungkin berkontribusi terhadap etiologi dan
perkembangan pedofilia. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa ada
perbedaan signifikan antara pedofil yang hanya terlibat dalam menonton
pornografi anak dan individu yang pelecehan seksual anak-anak; yang
sebelumnya cenderung lebih muda, lebih berpendidikan, dan lebih sering
dipekerjakan daripada yang terakhir. Oleh karena itu, meskipun Internet mungkin
memfasilitasi pedofilia, penonton pornografi anak tidak selalu menunjukkan
karakteristik yang sama dengan pelaku pelecehan seks anak.3,4
Klasifikasi
5
2. Pedofilia yang sifatnya regresi
Di lain pihak, orang dengan pedofilia regresi tidak tertarik pada anak lelaki,
biasanya bersifat heteroseks dan lebih suka pada anak perempuan berumur 8
atau 9 tahun. Beberapa di antara mereka mengeluhkan adanya kecemasan
maupun ketegangan dalam perkawinan mereka dan hal ini yang menyebabkan
timbulnya impuls pedofilia. Mereka menganggap anak sebagai pengganti
orang dewasa, dan menjalin hubungan layaknya sesama dewasa, dan awalnya
bersifat tiba-tiba dan tidak direncanakan.
Orang dengan pedofilia jenis ini lebih suka berhubungan seks dengan anak
laki-laki ataupun anak perempuan dibanding orang dewasa. Anak-anak
tersebut berumur antara 10 – 12 tahun. Aktivitas seksnya berupa masturbasi
dengan cara stimulasi oral oleh anak-anak tersebut, dan berhubungan lewat
anus.
5. Pedofilia wanita
Meskipun pedofilia lebih banyak oleh laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh
wanita, meskipun jarang dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
perasaan keibuan pada wanita. Dan anak laki-laki tidak menganggap hal ini
sebagai sesuatu yang sifatnya negatif, karenanya insidennya kurang
dilaporkan. Biasanya melibatkan anak berumur 12 tahun atau lebih muda.
6
Berdasarkan perilaku pedofilia dapat dikatagorikan kedalam :5
1. Immature Pedophiles
2. Regressed Pedophiles
3. Agressive Pedophiles
7
patofisiologi dan mekanisme pasien yang memiliki perilaku pedofilik dengan
gangguan otak dapat menunjukkan sifat pedofilia dan akan mengembangkan
intrusi aktif dan bertarget untuk perilaku mengerikan. Bahkan, perilaku pedofilia
dapat terjadi karena penyakit otak yang mengakibatkan peningkatan tindakan
hiperseksual dan tanpa hambatan pada orang yang memiliki kecenderungan
keinginan seksual terhadap anak-anak. Perilaku seksual yang tidak tepat yang
dihasilkan dari gangguan neurologis menyebabkan mempengaruhi lobus frontal,
amigdala, ganglia basal non-motorik, lobus temporal anterior dan hipotalamus,
atau nukleus septum.6
8
kadar testosteron pada pria memiliki efek yang jelas pada interaksi mata yang
lebih lama. 4,6
Diagnosis
9
gangguan pedofilia. Alasan untuk penambahan penggunaan pornografi anak ke
Kriteria B adalah bahwa "beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
pornografi anak mungkin setidaknya sebaik indikator minat erotis pada anak-
anak sebagai ‘hand-on' pelanggaran." Dengan demikian, dari perspektif
diagnostik, fungsi kriteria ini terkandung sepenuhnya dalam domain kriteria A,
yang mendefinisikan sifat kepentingan erotis individu dan tidak ada hubungannya
dengan menetapkan bahwa individu memiliki gangguan pedofilia terhadap
pedofilia. Memang, penelitian yang dikutip, sebuah studi tahun 2006 di mana
mereka membandingkan hasil tes phallometri dari 100 pelaku pornografi anak
dengan orang-orang dari 178 pelaku kejahatan seks dengan korban anak,
menunjukkan bahwa pelaku pornografi anak menunjukkan gairah signifikan lebih
besar untuk anak-anak daripada pelanggar terhadap anak-anak. Bahwa preferensi
pornografi seseorang mungkin menjadi indikator yang lebih akurat dari
kegemaran seksual yang mendasari nya masuk akal intuitif, mengingat bahwa
"orang memilih untuk pornografi yang sesuai dengan kepentingan seksual
mereka".7
sebagai pengganti.
10
Secara umum, anak-anak yang dilecehkan mengalami kerusakan
psikologis terbesar ketika pelecehan terjadi dari figur ayah (tetangga dekat,
pendeta atau menteri, pelatih) atau melibatkan kekerasan dan / atau kontak genital.
Efek jangka panjang khusus pada anak-anak yang dilecehkan sebagai mereka
tumbuh menjadi dewasa sulit diprediksi. Beberapa individu beradaptasi dan
memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi, sedangkan yang lain berubah secara
mendalam dan negatif. Penelitian telah menemukan bahwa anak-anak yang
dilecehkan oleh pedofil memiliki ukuran trauma, depresi, dan neurosis yang lebih
tinggi pada tes psikometri standar. Orang yang mengalami pelecehan jangka
panjang secara signifikan lebih mungkin memiliki penyakit afektif (misalnya,
depresi), gangguan kecemasan (misalnya, gangguan kecemasan umum, gangguan
stres pasca trauma, serangan panik), gangguan makan (anoreksia pada wanita),
penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian, dan / atau gangguan penyesuaian dan
untuk membuat gerakan bunuh diri atau benar-benar terlibat dalam upaya bunuh
diri yang serius daripada mereka yang tidak lecehkan. Anak-anak ini sering
memiliki masalah dengan keintiman jangka panjang dan perasaan bersalah dan
malu atas peran mereka dalam insiden tersebut. Selain itu, anak-anak yang
mengalami pelecehan seksual memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan
frekuensi yang lebih tinggi dari pengangguran. Sulit untuk menentukan apakah
frekuensi pengangguran yang lebih tinggi adalah karena pelecehan seksual atau
apakah pengangguran adalah penanda anak mudah untuk dilecehkan bagi pedofil.6
Dari 10 orang korban pelecehan seksual oleh pendeta, banyak dari korban
melaporkan awalnya menyukai hubungan dengan pendeta karena perhatian yang
mereka terima dan memiliki hubungan khusus dengan orang yang berkuasa dan
hormat. Pada akhirnya, orang-orang ini melaporkan perasaan ditolak,
ditinggalkan, dan dikhianati. Mereka semua melaporkan beberapa tindakan
seksual. Ciri-ciri umum yang terlihat pada korban yang dilecehkan termasuk rasa
bersalah, kemarahan, dan kebingungan tentang pelecehan tersebut. Delapan laki-
laki yang dilecehkan mengalami depresi yang sulit disembuhkan dengan
pengobatan atau berulang, 7 bercerai setidaknya dua kali, 6 melakukan upaya
bunuh diri yang serius, dan 4 memiliki masalah ketergantungan alkohol atau
11
narkoba. Semua melaporkan ketakutan isolasi dari orang lain, rasa malu, dan rasa
takut akan ketergantungan emosional pada orang lain. Lima melaporkan mereka
gay atau biseksual, sedangkan 3 dari 5 sisanya mengalami kesulitan dengan
keintiman emosional dan fisik dengan pasangan mereka.6
Tata Laksana
Terapi Pembedahan
12
Medroxyprogesterone (MPA) juga merupakan obat antiandrogen. Obat ini
menghambat sekresi gonadotropin dari hipotalamus dan akhirnya mengurangi
produksi testosteron di testis. Ini adalah obat yang diberikan secara oral atau dapat
diberikan melalui injeksi. Efek samping dari obat ini adalah depresi, retensi
cairan, pertambahan berat badan dan penghambatan spermatogenesis. 4,6
13
topiramate. Topiramate telah terbukti bermanfaat dalam mengobati kecanduan
seperti perjudian, kleptomania, pesta makan, dan penggunaan narkoba. Meskipun
tidak ada uji klinis prospektif yang mendokumentasikan efektivitasnya dalam
pedofil, beberapa kasus laporan baru-baru ini menggambarkan efektivitas
topiramate dalam mengurangi atau menghentikan perilaku seksual yang tidak
diinginkan dalam paraphilic dan nonparaphilic (misalnya, pelacur, penonton
kompulsif pornografi umum, pasien dengan masturbasi kompulsif). Dosisnya
berkisar antara 50 hingga 200 mg. Diperlukan dua hingga 6 minggu sebelum
penurunan perilaku seksual yang digerakkan terjadi.88-90 Meskipun tidak ada
mekanisme tindakan yang jelas telah diidentifikasi, teori yang telah diusulkan
untuk menjelaskan mekanisme tindakan topiramate termasuk penurunan
pelepasan dopamin di otak tengah dan efek langsung aktivitas γ-aminobutyric di
nucleus accumbens. 4,6
14
revolusi tentang motifnya sendiri untuk keterlibatan seksual dengan anak-anak
(Tabel 1).
No.
1 Terapi Kelompok Pelaku seks memeriksa kembali motif
tersembunyi mereka
2 Imagery Technique Mengubah perilaku menyimpang oleh
respons seksual dibayangkan
3 Graphic Portrayals Terapi memprovokasi pemikiran untuk
pelaku
4 Cognitive Behaviour Pembelajaran dan peningkatan kognitif
therapy (CBT)
Tabel 1: Terapi Psikologis untuk pengobatan pedofil.
15
Tingkat residivisme dari program pengobatan kognitif dan perilaku
bervariasi antara 3 sampai 31 persen tergantung pada penelitian. Sebuah meta-
analisis menemukan bahwa terapi perilaku kognitif dan terapi antiandrogen secara
signifikan lebih efektif daripada pengobatan perilaku saja. 4,6
16
BAB III
KESIMPULAN
Pada tahun 2017, KPAI menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017
atau menurun dari 4.620 kasus pada 2016. Jumlah pengaduan ke KPAI
menurun, tapi bukan berarti jumlah kasusnya juga menurun. Bahkan kasus
kekerasan pada anak kian kompleks, terutama pada kasus pornografi.
17
perkembangan pedofilia.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Section F65.4: Paedophilia (online access via ICD-10 site map table of
contents)."Pedophilia"ICD10.http://www.who.int/classifications/icd/en/G
RNBOOK.pdf. Diakses pada 12 September 2019
2. “KPAI : Jumlah aduan ke KPAI menurun, tapi kasus kian kompleks”;
https://www.kpai.go.id/berita/jumlah-aduan-ke-kpai-menurun-tapi-kasus-
kian-kompleks
3. Rysn C.W. Hall, MD, dan Richard C.W. Hall, MD, PA . 2007. A Profile
of Pedophilia: Definition, Characteristics of Offenders, Recidivism,
Treatment Outcomes, and Forensic Issues. Mayo Foundation For Medical
Education and Research. April 2007;82(4):457-471.
4. Ariana Olshan. 2014. Examining Pedophilia: Causes, Treatments, and the
Effects of Stigmatization. International Centre for Missing and Exploited
Children. Universitas Washington George.
5. FBI's January 2007 "intelligence bulletin" on "symbols and logos used by
pedophiles to identify sexual preferences." The document (see Pages 2-4),
was prepared and distributed to FBI divisions and field offices in 2007 by
the Cyber Division's Innocent Images National Initiative. Goldstein,
Bonnie (2007-12-03). "The-Pedophile's-Secret-Code".Slate.
http://www.slate.com/id/2179052/entry/2179054/.
19
6. Khalid N dam Yousaf Q. 2018. Clinical Attributes of Pedophilia-A Mental
Illness and Psychopharmacological Approaches to Hit Pedophiles.
Pakistan: Universitas Gujrat.
7. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (5th Edition). Washington DC: American
Psychiatric Publishing.
8. Departemen Kesehatan RI, 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan. Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis
RI. Jakarta.
20