Anda di halaman 1dari 24

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI PADA FOTO SKULL AP


LATERAL

Oleh:

Ria Anindita Novarani, S.Ked 04084821820037

Pembimbing
dr. Muhammad Iqbal, Sp.Rad

BAGIAN INSTALASI RADIOLOGI


RSUP MUHAMMAD HUSEIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul
GAMBARAN RADIOLOGI PADA FOTO SKULL AP LATERAL
Oleh:

Ria Anindita Novarani, S.Ked 04084821820037

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Instalasi Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode 07 Oktober – 23 Oktober 2019

Palembang, Oktober 2019

dr. Muhammad Iqbal, Sp.Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah referat yang
berjudul “Gambaran radiologi pada foto skull AP lateral” sebagai syarat untuk
memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Instalasi Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Muhammad Husein Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dr. Muhammad Iqbal, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan
kasus ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................2
BAB III. KESIMPULAN ....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Secara etimologi, istilah pedofilia berasal dari Bahasa Yunani, yakni


paedo (anak) dan philia (cinta). Sarjana Inggris menulis paedophilia, sedangkan
sarjana Amerika menulis dengan pedophilia dan psikiater Indonesia menulis
dengan pedofilia.1

Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls


seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya
harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13
tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia jika seseorang
memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan
seks tersebut mengganggu si anak.1

Epidemiologi

Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, bahwa


sejak Tahun 2007, jenis kejahatan anak tertinggi adalah kasus sodomi terhadap
anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke KPAI Tahun itu, sebanyak
1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak. Bahkan KPAI menerima
laporan kasus kekerasan seksual yang selalu meningkat setiap tahunnya. Sejak
tahun 2011 sampai tahun 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. “Tahun 2011
terjadi 2178 kasus kekerasan, tahun 2012 ada 3512 kasus, tahun 2013 ada 4311
kasus, dan tahun 2014 ada 5066 kasus,” Dari laporan kasus tersebut, 1366 kasus
diantaranya adalah pornografi dan 1032 kasus cybercrime.2

Pada tahun 2017, KPAI menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017
atau menurun dari 4.620 kasus pada 2016. Jumlah pengaduan ke KPAI menurun,
tapi bukan berarti jumlah kasusnya juga menurun. Bahkan kasus kekerasan pada
anak kian kompleks, terutama pada kasus pornografi. Menurut Susanto, Ketua
KPAI, dalam tujuh tahun terakhir korban dan pelaku mencapai jumlah 28 ribu

2
anak. Mayoritas pelaku dan korban kekerasan pada anak dalam kasus pornografi
adalah laki-laki.2

Sepanjang tahun 2017, menurut data KPAI, ada 1.234 anak laki-laki
menjadi pelaku dan korban kekerasan pornografi. Adapun pada kelompok
perempuan (pelaku dan korban) adalah berjumlah 1.064 orang. Dua kasus ini
mencapai 54 persen (laki-laki) dan 46 persen (perempuan) pada kekerasan anak.
Ini menggambarkan perubahan modus yang signifikan.2

Etiologi

Penyebab yang mendasari pedofilia sebagian besar masih belum diketahui,


namun beberapa faktor yang berbeda telah diidentifikasi sebagai kontributor
potensial dan / atau indikator kecenderungan pedofilik. Faktor biologis,
psikologis, dan sosial telah diindikasikan dalam fondasi dan perkembangan
pedofilia. Penggunaan teknologi pencitraan medis, seperti fungsional MRI
(fMRI), prosedur neuroimaging, menunjukkan bahwa anatomi otak mungkin
memainkan peran dalam preferensi seksual untuk kelompok usia yang berbeda.
Perbedaan struktural spesifik menunjukkan penurunan gray matter di daerah
termasuk korteks striatum orbitofrontal bilateral ventral dan penurunan volume
white matter dalam dua ikatan serat saraf (fronto-oksipital superior dan arcuate
fascicule) bertanggung jawab untuk pengenalan isyarat seksual sebagai dua faktor
yang meningkatkan risiko daya tarik pedofilik. Wilayah otak lain yang telah
menarik perhatian penelitian adalah amigdala, terbukti menunjukkan profil
aktivasi abnormal pada pedofil, menunjukkan bahwa aktivasi otak pada stimulasi
visual mungkin berbeda secara signifikan pada pedofil.3,4

Pedofilia juga dikaitkan dengan kadar hormon dan neurotransmitter yang


tidak biasa. Peningkatan aktivitas sistem katekolaminergik dan peningkatan kadar
testosteron, yang terlibat dalam meningkatkan gairah dan orientasi dalam
menanggapi rangsangan yang mengancam, telah diindikasikan sebagai penyebab
potensial yang mendasari pedofilia. Peningkatan kadar testosteron telah
menyebabkan penggunaan terapi antiandrogen untuk pedofil. Sistem serotonin

3
telah mendapatkan lebih banyak fokus dalam penelitian karena memainkan peran
penting dalam gangguan kontrol impuls, seperti Obsessive Compulsive Disorder
(OCD), yang secara umum telah diindikasikan terlibat dalam pedofilia dan
paraphilia lainnya. Salah satu teori adalah bahwa penurunan aktivitas pada neuron
presinaptik ditambah dengan hipersensitivitas dari reseptor serotonin 2
postsinaptik bertanggung jawab atas kelainan serotenergik ini. Hubungan antara
gangguan kontrol impuls dan pedofilia telah menghasilkan perumusan teori
bahwa pedofilia dapat disebabkan oleh masalah neurodevelopmental.3,4

Sistem serotenergik terlibat dalam banyak gangguan kognitif yang telah


diidentifikasi sebagai diagnosis komorbiditas psikiatris seperti depresi dan
gangguan kecemasan. Gangguan komorbid lain termasuk gangguan
penyalahgunaan zat, gangguan bipolar, gangguan kepribadian antisosial, dan
gangguan paraphil lainnya. Temuan ini mendukung penelitian yang menunjukkan
bahwa hingga 93% pedofil memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan aksis I
lainnya, gangguan komorbiditas gangguan mood dan kecemasan menjadi paling
lazim. Komorbiditas yang konsisten dengan aksis II Gangguan Kepribadian juga
telah diidentifikasi. Ada korelasi antara pedofilia dan harga diri yang rendah,
ketidakdewasaan emosional, disforia internal, dan sentimen isolasi atau kesepian,
yang juga dapat berkontribusi atau menjadi indikasi gangguan psikologis lainnya.
Kesamaan antara pedofilia dan gangguan kognitif lainnya telah memainkan peran
penting dalam aspek psikologis pengobatan pedofil, tetapi secara bersamaan
bertindak sebagai penghalang terhadap pengakuan pedofilia sebagai kondisinya
sendiri yang membutuhkan metode perawatan yang sesuai dan unik.3,4

Faktor-faktor sosial seperti kekerasan pada masa kanak-kanak, serta akses


mudah ke platform sosial, termasuk pornografi yang berkembang biak di internet,
juga telah diidentifikasi sebagai faktor potensial yang berkontribusi dan / atau
faktor-faktor pengidentifikasi untuk pedofilia dan pelecehan seks. Penelitian telah
menunjukkan korelasi antara menonton pornografi anak dan terlibat dalam CSA
(child sexual abuse), meskipun penting untuk mengakui bahwa tidak semua
individu yang melihat pornografi anak terlibat dalam CSA. Internet telah

4
membantu dalam menjamurnya pornografi anak dengan membuatnya mudah
diakses dan memungkinkan untuk mempertahankan tingkat anonimitas tertentu.
Internet juga memungkinkan orang dewasa untuk terlibat dalam kegiatan yang
legal tetapi tidak sesuai dan mungkin berkontribusi terhadap etiologi dan
perkembangan pedofilia. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa ada
perbedaan signifikan antara pedofil yang hanya terlibat dalam menonton
pornografi anak dan individu yang pelecehan seksual anak-anak; yang
sebelumnya cenderung lebih muda, lebih berpendidikan, dan lebih sering
dipekerjakan daripada yang terakhir. Oleh karena itu, meskipun Internet mungkin
memfasilitasi pedofilia, penonton pornografi anak tidak selalu menunjukkan
karakteristik yang sama dengan pelaku pelecehan seks anak.3,4

Memprediksi pelanggaran seks, seperti pedofilia, bukanlah ilmu konkret


dan seperti yang ditunjukkan sebelumnya, banyak data yang tersedia terbatas pada
analisis pelanggar seks yang dihukum. Dengan demikian, indikator pedofil atau
pelanggar seks yang teridentifikasi mungkin tidak berhasil diperluas ke pelanggar
yang tidak dikenal. Analisis terpidana pelanggar seks, biasanya dilakukan dalam
upaya mengurangi residivisme, mengidentifikasi penyimpangan seksual dan
orientasi antisosial sebagai prediktor kuat residivisme seksual. Potential coping
mechanism untuk stres dan kontrol diri yang rendah, dua faktor yang juga
berkontribusi signifikan terhadap gangguan kognitif yang sering komorbiditas
dengan pedofilia.3,4

Klasifikasi

Pedofilia dapat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe, yaitu :5

1. Pedofilia yang menetap

Orang dengan pedofilia tipe ini, menganggap dirinya terjebak pada


lingkungan anak. Mereka jarang bergaul dengan sesama usianya, dan memiliki
hubungan yang lebih baik terhadap anak. Mereka digambarkan sebagai lelaki
dewasa yang tertarik pada anak laki-laki dan menjalin hubungan layaknya
sesama anak laki-laki.

5
2. Pedofilia yang sifatnya regresi

Di lain pihak, orang dengan pedofilia regresi tidak tertarik pada anak lelaki,
biasanya bersifat heteroseks dan lebih suka pada anak perempuan berumur 8
atau 9 tahun. Beberapa di antara mereka mengeluhkan adanya kecemasan
maupun ketegangan dalam perkawinan mereka dan hal ini yang menyebabkan
timbulnya impuls pedofilia. Mereka menganggap anak sebagai pengganti
orang dewasa, dan menjalin hubungan layaknya sesama dewasa, dan awalnya
bersifat tiba-tiba dan tidak direncanakan.

3. Pedofilia seks lawan jenis

Pria dengan pedofilia yang melibatkan anak perempuan, secara tipik


didiagnosa sebagai pedofilia regresi. Pedofilia lawan jenis umumnya mereka
menjadi teman anak perempuan tersebut, dan kemudian secara bertahap
melibatkan anak tersebut dalam hubungan seksual, dan sifatnya tidak
memaksa. Seringkali mereka mencumbu si anak atau meminta anak
mencumbunya, dan mungkin melakukan stimulasi oral, jarang bersetubuh.

4. Pedofilia sesama jenis.

Orang dengan pedofilia jenis ini lebih suka berhubungan seks dengan anak
laki-laki ataupun anak perempuan dibanding orang dewasa. Anak-anak
tersebut berumur antara 10 – 12 tahun. Aktivitas seksnya berupa masturbasi
dengan cara stimulasi oral oleh anak-anak tersebut, dan berhubungan lewat
anus.

5. Pedofilia wanita

Meskipun pedofilia lebih banyak oleh laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh
wanita, meskipun jarang dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
perasaan keibuan pada wanita. Dan anak laki-laki tidak menganggap hal ini
sebagai sesuatu yang sifatnya negatif, karenanya insidennya kurang
dilaporkan. Biasanya melibatkan anak berumur 12 tahun atau lebih muda.

6
Berdasarkan perilaku pedofilia dapat dikatagorikan kedalam :5

1. Immature Pedophiles

Pelaku cenderung melakukan pendekatan kepada targetnya yang masih


anak-anak di bawah umur. Misalnya dengan cara mengiming-imingi korban
dengan hal-hal menyenangkan seperti permen, uang jajan atau permainan.

2. Regressed Pedophiles

Pelaku umumnya memiliki istri sebagai topeng penyimpangan orientasi


seksualnya. Pelaku dalam aksinya memiliki tipe yang bersifat memaksa
korbannya, tanpa ada iming-iming tertentu.

3. Agressive Pedophiles

Pelaku jenis ini lebih agresif dan memiliki perilaku anti-sosial di


lingkungannya. Tipe ini biasanya memiliki keinginan untuk menyerang
korbannya, bahkan tidak jarang berpotensi membunuh korbannya setelah
dinikmati.

Gangguan Jiwa pada Pedofil

Studi menunjukkan bahwa pedofil memiliki disfungsi perilaku, kelainan


frontal dan defek fungsi kognitif. Gairah perilaku seksual manusia adalah
fenomena psikologis dan fisiologis. Teknik pencitraan yang berbeda seperti
magnetic resonance imaging (MRI) dan Positron emission tomography (PET)
menunjukkan bahwa pedofil memiliki lobus frontal yang rusak, hippocampus
yang mengontrol perubahan perilaku, amigdala dan ganglia. Karena hal ini pedofil
ini menunjukkan perilaku kekerasan, antisosial dan psikopat.6

Meskipun, perilaku seksual abnormal biasanya terlihat pada gangguan


otak seperti demensia dan lainnya, tetapi para peneliti dan dokter tidak dapat
mengenali bagaimana pasien-pasien ini menunjukkan perilaku seksual yang tidak
pantas terhadap anak-anak. Studi tentang neurobiologi pedofilia dan orang yang
memiliki perilaku pedofilia tanpa gangguan pedofilia masih sedikit. Studi

7
patofisiologi dan mekanisme pasien yang memiliki perilaku pedofilik dengan
gangguan otak dapat menunjukkan sifat pedofilia dan akan mengembangkan
intrusi aktif dan bertarget untuk perilaku mengerikan. Bahkan, perilaku pedofilia
dapat terjadi karena penyakit otak yang mengakibatkan peningkatan tindakan
hiperseksual dan tanpa hambatan pada orang yang memiliki kecenderungan
keinginan seksual terhadap anak-anak. Perilaku seksual yang tidak tepat yang
dihasilkan dari gangguan neurologis menyebabkan mempengaruhi lobus frontal,
amigdala, ganglia basal non-motorik, lobus temporal anterior dan hipotalamus,
atau nukleus septum.6

Perubahan Perilaku dan Gerakan Mata Pedofil

Perilaku pedofil dapat dikaitkan dengan berkurangnya kecemasan atau


ketakutan akan sifat perilaku mereka, preokupasi seksual, perilaku tanpa
hambatan, dan kontrol impuls yang buruk dengan hiperseksualitas sejati.
Timbulnya perilaku paedophilic mungkin karena gangguan anterior temporal-
amigdala kanan dan korteks orbitofrontal kanan tetapi hiperseksualitas dari
disfungsi subkortikal juga dapat melepaskan minat seksual pedofilik pada mereka
yang cenderung pada orientasi paraphilic ini. Penelitian di masa depan tentang
mekanisme otak dari perilaku pedofilik dapat menggunakan pengembangan
neuroid-aging dan teknik neurofisiologis untuk lebih mengisolasi mekanisme otak
yang mendasarinya.4,6

Gerakan mata diperlukan untuk menarik perhatian dan perhatian ini


memainkan peran penting dalam gairah seksual. Eye tracking adalah kemampuan
untuk menangkap adegan yang kompleks. Biasanya, untuk persepsi adegan gerak
mata manusia terbagi menjadi dua kategori: fiksasi dan saccades. Fiksasi adalah
waktu di mana mata tidak bergerak dan menarik perhatian sementara saccades
adalah gerakan mata sukarela dan dengan cara ini perolehan informasi tidak
terjadi di saccades. Fiksasi adalah cara untuk mendapatkan perhatian dan menarik
seseorang. Pada pedofil, kehilangan kesehatan mental menyebabkan lebih banyak
fiksasi daripada saccades karena hal ini pedofil secara visual menarik anak-anak
dan rangsangan seksual lebih banyak di dalamnya. Pengaruh hormon terutama

8
kadar testosteron pada pria memiliki efek yang jelas pada interaksi mata yang
lebih lama. 4,6

Tingkat Testosteron Pedofil

Studi menunjukkan bahwa gairah seksual, motivasi dan perubahan


perilaku tergantung pada hormon testosteron pada pria. Dilaporkan bahwa jika
antagonis GnRH diberikan, level testosteron pria akan berkurang dengan hasrat
seksual yang lebih sedikit. Sebagian besar, Pedofil ditandai oleh peningkatan
kadar testosteron yang menyebabkan fantasi seksual dan lebih banyak ketertarikan
pada anak-anak. Gonadotropin Releasing Hormone adalah pelepasan oleh
hipotalamus yang bekerja pada kelenjar hipofisis anterior yang menyebabkan
pelepasan LH dan FSH. Kedua hormon ini bekerja pada testis pada pria dan
menyebabkan spermatogenesis dan fantasi seksual. Tingkat hormon ini tidak
normal pada pedofil. 4,6

Diagnosis

APA mengeluarkan kriteria diagnosa untuk gangguan pedofilik dalam DSM-V


dengan kriteria diagnosa:7

 Fantasi gairah seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan


aktifitas seksual terhadap anak praremaja atau anak-anak (umumnya berusia
13 tahun atau kurang) secara intens dan berulang selama periode setidaknnya
6 bulan
 Individu tersebut telah bertindak atas dorongan seksual tesebut atau dorongan
seksual dari fantasi telah menyebabkan tekanan yang bermakna atau kesulitan
inter personal.
 Individu tersebut setidaknya berusia 16 tahun dan 5 tahun lebih tua daripada
anak pada kriteria A.

Berbagai diskusi dan perdebatan dilakukan ketika membahas kriteria ini,


beberapa pendapat muncul untuk memasukan “Penggunaan pornografi anak
sebagai kriteria B dalam melakukan diagnosis gangguan parafilia khususnya

9
gangguan pedofilia. Alasan untuk penambahan penggunaan pornografi anak ke
Kriteria B adalah bahwa "beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
pornografi anak mungkin setidaknya sebaik indikator minat erotis pada anak-
anak sebagai ‘hand-on' pelanggaran." Dengan demikian, dari perspektif
diagnostik, fungsi kriteria ini terkandung sepenuhnya dalam domain kriteria A,
yang mendefinisikan sifat kepentingan erotis individu dan tidak ada hubungannya
dengan menetapkan bahwa individu memiliki gangguan pedofilia terhadap
pedofilia. Memang, penelitian yang dikutip, sebuah studi tahun 2006 di mana
mereka membandingkan hasil tes phallometri dari 100 pelaku pornografi anak
dengan orang-orang dari 178 pelaku kejahatan seks dengan korban anak,
menunjukkan bahwa pelaku pornografi anak menunjukkan gairah signifikan lebih
besar untuk anak-anak daripada pelanggar terhadap anak-anak. Bahwa preferensi
pornografi seseorang mungkin menjadi indikator yang lebih akurat dari
kegemaran seksual yang mendasari nya masuk akal intuitif, mengingat bahwa
"orang memilih untuk pornografi yang sesuai dengan kepentingan seksual
mereka".7

Kriteria diagnostic Pedofilia menurut PPDGJ-III :8


1. Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas atau awal masa

pubertas, baik laki-laki maupun perempuan.

2. Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan.

3. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.

4. Termasuk: laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual

dewasa, tetapi karena mengalami frustasi yang khronis untuk mencapai

hubungan seksual yang diharapkan, maka kebiasaan beralih kepada anak

sebagai pengganti.

Efek Pedofilia terhadap Anak

10
Secara umum, anak-anak yang dilecehkan mengalami kerusakan
psikologis terbesar ketika pelecehan terjadi dari figur ayah (tetangga dekat,
pendeta atau menteri, pelatih) atau melibatkan kekerasan dan / atau kontak genital.
Efek jangka panjang khusus pada anak-anak yang dilecehkan sebagai mereka
tumbuh menjadi dewasa sulit diprediksi. Beberapa individu beradaptasi dan
memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi, sedangkan yang lain berubah secara
mendalam dan negatif. Penelitian telah menemukan bahwa anak-anak yang
dilecehkan oleh pedofil memiliki ukuran trauma, depresi, dan neurosis yang lebih
tinggi pada tes psikometri standar. Orang yang mengalami pelecehan jangka
panjang secara signifikan lebih mungkin memiliki penyakit afektif (misalnya,
depresi), gangguan kecemasan (misalnya, gangguan kecemasan umum, gangguan
stres pasca trauma, serangan panik), gangguan makan (anoreksia pada wanita),
penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian, dan / atau gangguan penyesuaian dan
untuk membuat gerakan bunuh diri atau benar-benar terlibat dalam upaya bunuh
diri yang serius daripada mereka yang tidak lecehkan. Anak-anak ini sering
memiliki masalah dengan keintiman jangka panjang dan perasaan bersalah dan
malu atas peran mereka dalam insiden tersebut. Selain itu, anak-anak yang
mengalami pelecehan seksual memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan
frekuensi yang lebih tinggi dari pengangguran. Sulit untuk menentukan apakah
frekuensi pengangguran yang lebih tinggi adalah karena pelecehan seksual atau
apakah pengangguran adalah penanda anak mudah untuk dilecehkan bagi pedofil.6

Dari 10 orang korban pelecehan seksual oleh pendeta, banyak dari korban
melaporkan awalnya menyukai hubungan dengan pendeta karena perhatian yang
mereka terima dan memiliki hubungan khusus dengan orang yang berkuasa dan
hormat. Pada akhirnya, orang-orang ini melaporkan perasaan ditolak,
ditinggalkan, dan dikhianati. Mereka semua melaporkan beberapa tindakan
seksual. Ciri-ciri umum yang terlihat pada korban yang dilecehkan termasuk rasa
bersalah, kemarahan, dan kebingungan tentang pelecehan tersebut. Delapan laki-
laki yang dilecehkan mengalami depresi yang sulit disembuhkan dengan
pengobatan atau berulang, 7 bercerai setidaknya dua kali, 6 melakukan upaya
bunuh diri yang serius, dan 4 memiliki masalah ketergantungan alkohol atau

11
narkoba. Semua melaporkan ketakutan isolasi dari orang lain, rasa malu, dan rasa
takut akan ketergantungan emosional pada orang lain. Lima melaporkan mereka
gay atau biseksual, sedangkan 3 dari 5 sisanya mengalami kesulitan dengan
keintiman emosional dan fisik dengan pasangan mereka.6

Tata Laksana

Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan berupa kebiri. Namun, pilihan pengobatan yang


populer adalah penekanan testosteron dengan cara farmakologis (misalnya, terapi
antiandrogenik atau pengebirian kimia). Meskipun pengebirian fisik tampaknya
definitif dalam mencegah pelanggaran seksual berulang, beberapa pedofil yang
dikebiri secara fisik telah memulihkan potensi mereka dengan mengambil
testosteron eksogen dan kemudian melecehkan lagi. Pengebirian kimia memiliki
banyak keunggulan dibandingkan pengebirian fisik. Diperlukan kunjungan tindak
lanjut, pemantauan terus-menerus, dan evaluasi ulang psikiatrik untuk
melanjutkan pengobatan dan dapat dibalikkan karena alasan kesehatan.4,6

Terapi Farmakologis untuk Pedofil

Terapi antihormonal selalu dimulai ketika psikoterapi untuk pedofil tidak


menunjukkan perbaikan. Dua kategori obat yang digunakan untuk pengobatan
pedofil, antagonis GnRH dan antiandrogen. Antiandrogen termasuk cyproterone
acetate (CPA) dan medroxyprogesterone (MPA). Antiandrogen dan agonis GnRH
menurunkan fantasi seksual pada pedofil. Obat CPA mengurangi gairah seksual
dengan dua cara: Di satu sisi, obat ini bertindak sebagai antiandrogen dan
berikatan dengan reseptor testosteron. Di sisi lain, CPA mengurangi sekresi
GnRH dari hipotalamus sebagai akibatnya, sintesis LH dan pelepaskan dari
kelenjar Pituitary anterior dan pada akhirnya tingkat testosteron menurun pada
pedofil. Dilaporkan bahwa 80% pasien menunjukkan lebih sedikit perilaku
seksual dan fantasi seksual dalam satu bulan dengan menggunakan obat ini. Efek
samping dari obat ini adalah toksisitas hati, suasana hati depresi dan
penghambatan spermatogenesis. 4,6

12
Medroxyprogesterone (MPA) juga merupakan obat antiandrogen. Obat ini
menghambat sekresi gonadotropin dari hipotalamus dan akhirnya mengurangi
produksi testosteron di testis. Ini adalah obat yang diberikan secara oral atau dapat
diberikan melalui injeksi. Efek samping dari obat ini adalah depresi, retensi
cairan, pertambahan berat badan dan penghambatan spermatogenesis. 4,6

Agen seperti medroxyprogesterone acetate, leuprolide acetate, cyproterone


acetate, hormon pelepas hormon luteinizing, dan hormon pelepas hormon
gonadotropin memiliki semua agonis telah dipelajari sebagai bentuk pengobatan
dan semua pekerjaan dengan menekan kadar testosteron. Bergantung pada
mekanisme aksi agen yang digunakan, dibutuhkan 3 hingga 10 bulan sebelum
seseorang memperlihatkan penurunan hasrat seksual. Medroxyprogesterone
acetate, leuprolide acetate, dan agon hormon pelepas gonadotropin terbukti
mengurangi dorongan dan perilaku seksual pada individu paraphil. Agonis
hormon pelepas gonadotropin menjadi standar pengobatan karena mereka
memiliki lebih sedikit efek samping dan peningkatan kemanjuran dibandingkan
dengan pengobatan yang lebih lama seperti medroksiprogesteron asetat.
Mengurangi libido juga tampaknya membuat beberapa pelaku lebih responsif
terhadap psikoterapi. 4,6

SSRI merupakan pengobatan nonhormonal yang telah disarankan untuk


paraphilias secara umum dan khusus untuk pedofilia. Obat-obat ini dapat
memberikan tambahan yang bermanfaat untuk pengawasan terstruktur yang
diatur, psikoterapi, dan terapi hormon. Bagian dari dasar penggunaan SSRI adalah
data neuropsikiatrik yang menunjukkan kelainan serotonin dan masalah kontrol
impuls pada beberapa pedofil. Temuan ini mirip dengan yang ditemukan pada
pasien dengan OCD, yang menanggapi SSRI. SSRI tampaknya mengurangi
ruminasi seksual dan dorongan seksual yang meningkat yang dilaporkan oleh
pedofil terkait dengan stres situasional dan perselisihan internal. Dorongan
seksual yang berkurang yang dihasilkan oleh SSRI, yang biasanya dianggap
sebagai efek samping dari obat, mungkin bermanfaat bagi para pedofil. Obat-
obatan yang dapat digunakan di masa depan untuk mengobati pedofil termasuk

13
topiramate. Topiramate telah terbukti bermanfaat dalam mengobati kecanduan
seperti perjudian, kleptomania, pesta makan, dan penggunaan narkoba. Meskipun
tidak ada uji klinis prospektif yang mendokumentasikan efektivitasnya dalam
pedofil, beberapa kasus laporan baru-baru ini menggambarkan efektivitas
topiramate dalam mengurangi atau menghentikan perilaku seksual yang tidak
diinginkan dalam paraphilic dan nonparaphilic (misalnya, pelacur, penonton
kompulsif pornografi umum, pasien dengan masturbasi kompulsif). Dosisnya
berkisar antara 50 hingga 200 mg. Diperlukan dua hingga 6 minggu sebelum
penurunan perilaku seksual yang digerakkan terjadi.88-90 Meskipun tidak ada
mekanisme tindakan yang jelas telah diidentifikasi, teori yang telah diusulkan
untuk menjelaskan mekanisme tindakan topiramate termasuk penurunan
pelepasan dopamin di otak tengah dan efek langsung aktivitas γ-aminobutyric di
nucleus accumbens. 4,6

Terapi Psikologis untuk Pedofil

Psikoterapi adalah aspek penting dari tatalaksana, meskipun ada


perdebatan mengenai efektivitas keseluruhannya untuk pencegahan jangka
panjang dari kejadian yang baru. Psikoterapi dapat bersifat individual, berbasis
kelompok, atau paling umum kombinasi keduanya. Strategi umum menuju
psikoterapi dengan pedofil adalah pendekatan perilaku kognitif (CBT) (mengatasi
distorsi dan penolakan mereka) dikombinasikan dengan pelatihan empati,
pelatihan kontrol impuls seksual, pencegahan kambuh, dan biofeedback. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa hasil terbaik dalam mencegah kejadian berulang
terhadap anak-anak terjadi ketika agen farmakologis dan psikoterapi digunakan
bersama-sama. 4,6

Terapi psikologis terbukti efektif untuk pengobatan pedofil. Terapi ini


memotivasi pelanggar seks untuk mengubah diri mereka sendiri. Studi
menunjukkan bahwa tujuan psikoterapi ini adalah: menggerakkan para pedofil
untuk mengakui preferensi seksualnya dengan anak-anak. Untuk membantu para
pedofil melihat anak-anak sebagai korbannya bukan pasangan dan mengatasi

14
revolusi tentang motifnya sendiri untuk keterlibatan seksual dengan anak-anak
(Tabel 1).

No. Terapi Tindakan Terapi

No.
1 Terapi Kelompok Pelaku seks memeriksa kembali motif
tersembunyi mereka
2 Imagery Technique Mengubah perilaku menyimpang oleh
respons seksual dibayangkan
3 Graphic Portrayals Terapi memprovokasi pemikiran untuk
pelaku
4 Cognitive Behaviour Pembelajaran dan peningkatan kognitif
therapy (CBT)
Tabel 1: Terapi Psikologis untuk pengobatan pedofil.

Alasan untuk pelaksanaan teknik perilaku untuk mengontrol gairah seksual


didasarkan pada pengamatan klinis yang fantasi seksual yang kasar terkait dengan
perilaku seksual yang kasar. Faktor yang paling konsisten membedakan pelaku
seks laki-laki dari laki-laki lain adalah profil gangguan gairah seksual yang diukur
dengan penilaian phallometri. Modifikasi perilaku individu dicapai dengan
mengubah reaksi individu terhadap rangsangan melalui bantuan positif dan
negatif. Bantuan kondisi individu ini memperkuat perilaku positif dan
pemadamkan perilaku negatif. 4,6

15
Tingkat residivisme dari program pengobatan kognitif dan perilaku
bervariasi antara 3 sampai 31 persen tergantung pada penelitian. Sebuah meta-
analisis menemukan bahwa terapi perilaku kognitif dan terapi antiandrogen secara
signifikan lebih efektif daripada pengobatan perilaku saja. 4,6

Tatalaksana untuk Korban Pelecehan Seksual

Tatalaksana individu yang mengalami pelecehan seksual bervariasi berdasarkan


jenis pelecehan yang dialami, durasi pelecehan, tingkat dukungan interpersonal
yang tersedia, kepribadian individu, dan kondisi kejiwaan yang muncul. Sebagian
besar dari kondisi ini merespon dengan baik terhadap pengobatan farmakologis
dengan obat-obatan seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), terapi
individu (berorientasi pada wawasan, perilaku kognitif, atau psikoterapi suportif),
dan terapi kelompok atau keluarga. Penting bagi korban pelecehan pada usia
berapa pun (anak-anak atau orang dewasa) yang menunjukkan tanda-tanda
memiliki masalah kejiwaan yang serius seperti kecemasan, serangan panik,
depresi, kehilangan atau ketakutan akan hasrat seksual orang dewasa yang normal,
ide bunuh diri, lekas marah kronis, mudah marah, demoralisasi, menghindari
perilaku keintiman, atau keterlambatan sosial atau masalah dirujuk untuk bantuan
psikiatris.4,6

16
BAB III

KESIMPULAN

 Secara etimologi, istilah pedofilia berasal dari Bahasa Yunani, yakni


paedo (anak) dan philia (cinta). Sarjana Inggris menulis paedophilia,
sedangkan sarjana Amerika menulis dengan pedophilia dan psikiater
Indonesia menulis dengan pedofilia. Pedofilia adalah kelainan seksual
berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di
bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun,
sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih
muda (anak pre-pubertas).

 Pada tahun 2017, KPAI menerima pengaduan 3.849 kasus selama 2017
atau menurun dari 4.620 kasus pada 2016. Jumlah pengaduan ke KPAI
menurun, tapi bukan berarti jumlah kasusnya juga menurun. Bahkan kasus
kekerasan pada anak kian kompleks, terutama pada kasus pornografi.

 Penyebab yang mendasari pedofilia sebagian besar masih belum diketahui,


namun beberapa faktor yang berbeda telah diidentifikasi sebagai
kontributor potensial dan / atau indikator kecenderungan pedofilik. Faktor
biologis, psikologis, dan sosial telah diindikasikan dalam fondasi dan

17
perkembangan pedofilia.

 Pedofilia dapat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe, yaitu pedofilia yang


menetap, pedofilia regresi, pedofilia seks lawan jenis, pedofilia sesama
jenis, dan pedofilia wanita.

 Kriteria diagnosis menggunakan DSM V atau PPDGJ III, yaitu; fantasi


gairah seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan aktifitas
seksual terhadap anak praremaja atau anak-anak (umumnya berusia 13
tahun atau kurang) secara intens dan berulang selama periode setidaknnya
6 bulan, individu tersebut telah bertindak atas dorongan seksual tesebut
atau dorongan seksual dari fantasi telah menyebabkan tekanan yang
bermakna atau kesulitan inter personal, dan individu tersebut setidaknya
berusia 16 tahun dan 5 tahun lebih tua daripada anak.

 Tatalaksana berupa terapi pembedahan (kebiri), terapi farmakologis dan


psikoterapi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Section F65.4: Paedophilia (online access via ICD-10 site map table of
contents)."Pedophilia"ICD10.http://www.who.int/classifications/icd/en/G
RNBOOK.pdf. Diakses pada 12 September 2019
2. “KPAI : Jumlah aduan ke KPAI menurun, tapi kasus kian kompleks”;
https://www.kpai.go.id/berita/jumlah-aduan-ke-kpai-menurun-tapi-kasus-
kian-kompleks
3. Rysn C.W. Hall, MD, dan Richard C.W. Hall, MD, PA . 2007. A Profile
of Pedophilia: Definition, Characteristics of Offenders, Recidivism,
Treatment Outcomes, and Forensic Issues. Mayo Foundation For Medical
Education and Research. April 2007;82(4):457-471.
4. Ariana Olshan. 2014. Examining Pedophilia: Causes, Treatments, and the
Effects of Stigmatization. International Centre for Missing and Exploited
Children. Universitas Washington George.
5. FBI's January 2007 "intelligence bulletin" on "symbols and logos used by
pedophiles to identify sexual preferences." The document (see Pages 2-4),
was prepared and distributed to FBI divisions and field offices in 2007 by
the Cyber Division's Innocent Images National Initiative. Goldstein,
Bonnie (2007-12-03). "The-Pedophile's-Secret-Code".Slate.
http://www.slate.com/id/2179052/entry/2179054/.

19
6. Khalid N dam Yousaf Q. 2018. Clinical Attributes of Pedophilia-A Mental
Illness and Psychopharmacological Approaches to Hit Pedophiles.
Pakistan: Universitas Gujrat.
7. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (5th Edition). Washington DC: American
Psychiatric Publishing.
8. Departemen Kesehatan RI, 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan. Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis
RI. Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai