CHOLERA IN INDIA
Water related diseases are the most common cause of deaths. The paucity
of clean water for domestic use had led to the increase in the number of deaths in
both the urban and rural pars of developing economies. And the india is not
different. Thousands of people fall prey to cholera every year in india. Cholera is
a water related disease. And is diarrhoeal in nature. It can ill in hours if left
unattended. Cholera strikes when one ingests water that is infested with the vibrio
cholera bacterium. Symptoms of cholera include watery bowels and fever in
certain cases. Cholera can happen to both children and adults. In india cholera
related deaths are most common in places with shortage of good quality water. In
2010, nearly 140 people died of chlera in Odisha. Deaths due to water related
diseases in india are in the range of nearly 80 percent. Here is a list pf the 5 most
deadly water diseases that occur in india.
STEP 1
STEP 2
STEP 4
1. Etiologi
- V cholera hidup di air
- Reservoir di air
- Dapat melekat di alga
- Toksin v cholera menjadi patogenik di manusia
- V cholera membutuhkan Nacl
- Tidak tahan asam
- Mati dalam suhu 60 derajat
- V cholera bisa memproduksi enterotoksin
- Berbentuk batang dan sedikit pendek
2. Penularan
V cholera dianggap miasma rumah penduduk – ada septitank – bocor –
tinja keluar – mengalir ke sungai – orang mengambil air yang
terkontaminasi v cholera – terjadi penyakit v cholera
3. patofisiogi
V cholera masuk
tertelan
Berkembang di usus
halus
Menempel pada
mukosa usus
Sekresi enterotoksin
Subunit B binding
Subunit A aktive
Menembus
membrane sel epitel
Memiliki 5 polopeptida yang
beratnya 1150 dan terikat od
GM 1 reseptor di epitel usus
halus Transfer ADP
dari NAD
GTP NAIK
GTP mengatur
aktivitas adeniat
siklase
CAMP meningkat
Menghambat
absorpsi Nacl
Merangsang
eksresi clorida
Hilangnya air,
Nacl, kalsium
4. a. Anamnesis :
- riwayat kebiasaan bab
- kejang otot : gastrocnemius, bisep, trisep, pectoralis, dan dinding
abdomen
- dehidrasi : perubahan suara
b. pemeriksaan fisik :
c. pp :
5. terapi cairan
- ringan : ORS dosis 50 ml/kgBB maks 750 ml/jam selama 3-4 jam
- sedang : ORS dosis 700 ml/ jam maks 750 ml/Ja, selama 3 jam
- berat : IV ringer laktat dosis 110 ml/kgBB selama 3 jam diguyur
sampai nadi teraba kuat sisanya dibagi dalam 2 jam berikutnya
alternative :
- ciprofloxan : 1000mg peroral
- eritromisin : 250 mg peroral 4*1 dalam 3 hari
anak- anak
- tetrasiklin : 12 mg 3 hari
- doksisiklin : 6 mg peroral single dok
6. Pencegahan
- Pasien di isolasi
- Memberikan sumber ai yang sudah di filter dan desinfektan
Klasifikasi water related
disease
Water related
disease
klasifikasi
Malaria, filariasis,
DBD, Drakunkuliasis
schistosomiasis
Leptospirosis, scabies,
cholera
trachoma
patofisiologi
etiologi
Penegakan
diagnosa pencegahan
penularan tatalaksana
STEP 5
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7
Cara pencegahan penularan penyakit melalui media air atau makanan dapat
dilakukan antara lain dengan cara :
Penyebab demam tifoid adalah akteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri
Gram-negatif, tidak berkapsul, mepunyai flagella, dan tidak membentuk spora.
Kuman ini mempunyai 3 antigen yang penting untuk pemeriksaan laboraturium.(1)
antigen O (somatik)
antigen H (flagela), dan
antigen K (selaput)
Gambar 1.1 Salmonella Typhi (1)
Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya sekitar
200 yang berhasil terdeteksi di Amerika Serikat. Dari sekian banyak strain,
Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) dan Salmonella
enterica serovar Entiritidis (S. Entiritidis) adalah strain yang paling banyak
diketemukan.(1)
Epidemiologi
Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik.
dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. (2)
Agent
Host
Environtment
Salmonella typhi banyak ditemukanpada lingkungan yang kotor dengan
sanitasi yang kurrang baik. Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh
bagian dunia. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim.
Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi
kurang diperhatikan.Lingkungan yang kurang sehat dan sanitasi yang kurang
baik.(1)
Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. .(1)
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-Iahan terutama pada sore
hingga malam hari. .(1)
Pemeriksaan laboratorium
Uji IgM Dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan
strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS), S. typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang
dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Secara semi kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. .(1)
Penatalaksanaan
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah
Istirahat dan perawatan.
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.(1)
Diet dan terapi penunjang.
Pemberian antimikroba.
o Kloramfenikol.
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.(2)
o Tiamfenikol.
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6. Kotrimoksazol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1
tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu. (2)
Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu. (2)
o Sefalosporin Generasi Ketiga
Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.(2)
Pencegahan
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. Typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari
selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun.(1)
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan
secara parentral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuscular pada usia mulai 2
tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar
60-7.(1)
b. DISENTRI
Etiologi
Patogenesis
a. Disentri Basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear(PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan
lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus
halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.1
b. Disentri Amoeba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat
berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai
saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk
ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di
lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus
di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis. (1)
Manifestasi Klinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan
lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi,
renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul
rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka
menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti
gejala kolera atau keracunan makanan. Kematian biasanya terjadi karena
gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka kematian bergantung
pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan
malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu
penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya
bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit
darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas
lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti
kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan
yang baik. (1)
Tatalaksana
c. HEPATITIS A
Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus RNA,
serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri ikosahedral,
diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai protein terminal
VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang genom HAV: 7500-
8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan dalam famili
picornavirus dan genus hepatovirus.(3)
Epidemiologi
Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang
dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%. Incidence rate dari hepatitis per 10.000 12
populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam.Suatu studi di
Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru
lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada
usia di atas 20 tahun.(2)
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi di 2
desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate sebesar
1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus
hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun
2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota
Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang,
ada 47 kasus hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.(2)
Patogenesis
HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana pelepasan
virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus menuju usus
dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus didalam feses dan
hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar virus yang di
ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan
menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus
mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini
merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. (1)
Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada
periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan
ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi.(1)
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang
paling berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada
sel hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T
antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin,
seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6), dan
tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan supresi
replikasi virus. Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien yang 14
terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah virus yang
terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset gejala klinis. Pemulihan dari
hepatitis A berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel CD4+ virus-specific
dibandingkan dengan sel CD8+.(2)
Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari
penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit mungkin
berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada
individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan
berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan.(2)
Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV
dapat terdeteksi.35 Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3
minggu setelah paparan, titer IgM anti-HAV akan terus meningkat selama 4-6
minggu, lalu akan terus turun sampai level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6
bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah
timbulnya gejala. Antibodi IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah
infeksi dan memberikan imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan,
regenerasi sel hepatosit terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih
dalam 8-12 minggu.(2)
Penegakan diagnosis
Pemeriksaan fisik
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan,
malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu
dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap,
dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat
beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-
anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.(3)
Pemeriksaan Penunjang
B.1 Rapid Test Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test
menggunakan metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis
komersial yang tersedia.22 Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi
oleh antibodi, yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C”
(Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M”
berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM
anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode
immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM
anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga
97,6%.(3)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari
konsumsi alkohol. (1)
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic,
pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat,
penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari
hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset
dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan
gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi
hati. (1)
Pencegahan
Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang
baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV. (1)
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum
globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan.
Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin
tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis
yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang
yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang
memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah
terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya
makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis
harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut.
Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah
sakit, penjara, dan institusi lainnya. (1)
Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat
baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik,
untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah
pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan. (1)
Vaksinasi HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar
94-100% setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah,
dengan efek samping yang minimal.(3)
d. KOLERA
Etiologi
Kolera merupakan salah satu diarrhoeal disease yang di sebabkan oleh infeksi di
intestine oleh bakteri Vibrio cholera, tipe 01 maupun 0139. Anak-anak ataupun
dewaasa dapat terjangkit.(1)
Sekitar 20% dari yang terunfeksi dalam tahap akut yaitu diare berair dan
sekitar 10%-20% dari orang yang terjangkit dalam tahap diare berair dengan
muntah. Jika pasien tidak dirawat secara baik, akan mengalami kehilangan cairan
dan elektrolit yang mengakibatkan dehidrasi parah dalam waktu beberapa jam.
CFR dalam kategori yang tidak dirawat bisa mencapai 30%-50%. Pengobatan
yang tepat (yaitu rehidrasi) dan juka dirawat dengan baik, akan menjaga CFR
dibawah 1%.(5)
Transmisi
Patofisiologi
Gejala
Gejala yang umum pada kolera yaitu diare hebat, warna tinja seperti air cucian
beras dan berbau amis. Jika berkepanjangan dapat mengakibatkan dehidrasi,
hypovolemia, hipoglikemia, asidosis. (2)
Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium dapat dilihat dari specimen kultur terdiri atas bercak lender dari
feses. Gambaran mikroskopis apusan dari sampel feses tidak spesifik.
Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap dapat memperlihatkan vibrio bergerak
cepat. (6)
Tata Laksana
Dehidrasi berat: NaCl 0,9% atau NaCl 0,9% dengan glukosa 5% I.V,
doksisiklin 400mg single dose atau Amoksilin 400mg 4x1.
Menengah: ORS setiap 3-4 jam dengan pengawasan.
Tanpa dehidrasi: ORS setiap 3-4 jam, dapat kembali pulang. (5)
Pencegahan
Pengendalian bergantung pada edukasi dan perbaikan sanitasi, terutama air dan
makanan. Pasien harus diisolasi, ekskret harus di disinfektan dan orang dengan
kontak dengan pasien harus dipantau. Perbaikan terhadap sanitasi, higienitas dan
sumber air harus dilakukan agar mencegah penularan kembali.(6)
a. SCHISTOSOMIASIS
Etiologi
Patogenesis
Secara molekuler, aktivasi sistem imun akibat antigen telur ini dapat
terjadi akibat urutan proses sebagai berikut: komponen “glycosylated” pada
permukaan telur mengaktivasi makrofag untuk menstimulasi respon Th2 yang
sangat kuat terhadap unrelated antigen, komponen “phosphatydylserine” pada
permukaan telur cacing mengaktivasi Toll Like Receptor2 (TLR2) sel dendrit
untuk memicu proliferasi dan diferensiasi sel Tho mnjadi Treg, dan komponen
glikoprotein pada telur cacing merangsang basofil untuk mengekspresikan IL-4
dan IL-13. Glikoprotein ini nantinya juga akan berikatan dengan reseptor
mannosa dari makrofag sehingga akan menginduksi pembentukan Alternatively
Activated Macrophage untuk mencegah inflamasi yang berlebihan. Peredaman
proses inflamasi ini dapat mencegah terjadinya kerusakan organ. (4)
Penegakan diagnosis
Stadium Kronik
Stadium ini mulai enam bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Pada
infeksi S. Mansoni dan S. Japonicum ditemukan diare, nyeri perut, berak darah.
Pada stadiumini kebanyakan manifestasi klinis disebabkan oleh penumpukan
telur-telur dalam jaringan. Respons jaringan granulomatosa di sekitar telur berupa
sel-sel yang diatur oleh ada atau tidak adanya suatu kaskade respons sitokin
selular dan humoral. Pembentukan granulomatosa dimulai dengan pengerahan sel-
sel radang sebagai respons atas sekresi antigen oleh organisme hidup dalam telur.
Respons ini dimulai dengan pengerahan sel-sel termasuk fagositosit, sel T spesifik
dan eosinofil.Sel-sel fibroblas, sel-sel raksasa, sel-sel limfosit B akan dominan
kemudian hari. Sekali diaktifkan, sel-sel T akan menghasilkan berbagai sitokin
misalnya tumor necrosis faktor a (TNF-a), interleukin 2 (IL-2), IL-4, dan IL-5,
yang selanjutnya mengaktifkan sel-sel endotel untuk mengeluarkan sekresinya
(kemokin) yang spesifik seperti monosites chemotactic protein 1 (MCP-1). Akibat
rekruitmen elemen sel-sel akan mendorong pembentukan jaringan granulomatosa
di sekitar telur-telur. Lesi ini berlipat-lipat kali besarnya dari telur-telur, dan
menyebabkan organomegali darn obstruksi. Peningkatan atau penurunan respons
kekebalan hospes terhadap telur-telur sistosoma memegang peranan penting
dalam membatasi meluasnya jaringan granulomatosa. Akibat lanjut dari respons
granulomatosa terjadi pembentukan jaringan fibrosis. Hati yang tadinya
membesar (hepatomegali) karena peradangan dan pembentukan lesi
granulomatosis, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis (sirosis hepatis). Pada
sirosis akibat sistosomiasis yang terjadi adalah sirosis periportal yang berakibat
terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan dalam jaringan hati. Tanda
yang timbul berupa splenomegali, edema pada tungkai bawah atau alat kelamin,
asites dan ikterus. Manifestasi klinis sistosomiasis kronis umumnya ringan atau
sedang saja, sehingga tidak perlu dirawat inap, lain halnya dengan sistosomiasis
akut dapat fatal, hal ini tergantung dari spesies sistoma. Mulanya disangka S.
japonicum dapat menimbulkan penyakit yang lebih berat karena dapat
memproduksi telur 10 kali lebih banyak dari pada S. mansoni, namun kenyataan
di lapangan tidak demikian. Pada stadium yang sangat lanjut pada infeksi S
mansoni dan S. japonicum dapat terjadi hematemesis melena karena pecahnya
varises esofagus, dan dapat ditemukan tumor polipoid intestinalis. Beratnya
sistosomiasis intestinalis sering berhubungan dengan beratnya infeksi. Dengan
adanya infeksi tambahan hepatitis B, hepatitis C atau keadaan malnutrisi dapat
mempercepat terjadinya penurunan fungsi hepar. Pada infeksi S. hematobium,
gejala dini dari traktus urinarius berupa disuri, lalu hematruria terminalis dan
proteinuria. Gross hematuri dapat berulang. Sequeledapat berupa polip buli-buli,
sistitis, infeksi salmonela kronis, pielitis, pielonefritis, urolitiasis, hidronefrosis
akibat obstruksi uretra, dan gagal ginjal.(4)
Pemeriksaan Laboratorium
Uji Serologis
Tatalaksana
Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di airtawar
selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yangmampu
menyebabkan penyakit (patogen) bagi manusia adalah Leptospira interrogans.(7)
Etiologi
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-
39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin
usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini. Angka
kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi
saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur
karena tanah lembab dan bersifat alkalis. Angka kejadian penyakit Leptospira
sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus Leptospirosis pada umumnya adalah
underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan
menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis
dan nonfatal. Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150
kasus Leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di
Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah
Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di
derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini.
Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut
seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka kematian akibat leptospirosis
tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan
diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan
penderita mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas
50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita
yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna
kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi Paparan terhadap pekerja
diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah
para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal,
tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau
atau sungai, seperti berenang atau rafting. Penelitian menunjukkan pada penjahit
prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga
kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena
karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada
pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%. Meskipun penyakit ini
sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan sebagai penyakit
saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis
seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air,
berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang
berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah
endemik juga menambahkan resiko.(7)
Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini:
Kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar bakteri.
Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi.
Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Berdasarkan berbagai data, infeksi yang tersering adalah melaiui cara yang
pertama. Bakteri masuk ke tubuh manusia meialui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penuiaran penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit intak (sehat) terutama biia kontak lama dengan air.
Hewan penular utama pada manusia adalah tikus. Di Amerika Serikat penuiar
terbesar adalah anjing. Di Indonesia, infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir.
Detergen, bahkan dengan konsentrasi rendah sekalipun, terbukti dapat
menghambat perkembangan hidup leptospira.
Faine S. menyatakan bahwa terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu:
a) Penuiaran via kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering
terjadi di peternakan sapi atau babi.
b) Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi yang luas pada
lingkungan, biasanya pada iklim tropis-basah (musim hujan). Paparan pada
manusia secara iebih luas tidak terbatas karena pekerjaan.Penuiaran via infeksi
rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh. (7)
Fase ketiga (konvalesen). Fase ini ditandai dengan gejaia kiinis yang sudah
berkurang dapat timbui kembaii dan beriangsung seiama 2-4 minggu. (7)
Diagnosis
1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan
gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil
dari darah atau urin.(1)
2) Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada
10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin
pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-
albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer
leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat
0,5-1 cm dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari
setelah inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel,
sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit. (1)
3) Inokulasi hewan
4) Serologi
Patofisiologi
Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing,
serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling
sering melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke
dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata
dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik
urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.
Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di
kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh
ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab
leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi,
anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan
leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus. Leptospirosis tidak menular langsung
dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari.
Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan
mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal
akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi
gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena
dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis
sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi sel-sel
hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema
(bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi mikro
muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat akan menyebabkan kerusakan
endotelium kapiler. Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada
alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga
dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam
beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang. Meskipun
kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self
limiting disease dan tidak fatal. (7)
Pengobatan
Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya adaiah
baik. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain:
1. Penyakit sedang atau berat: penisilin 4 x 1,5 IU atau amoksisilin 4 x 1 gr seiama 7
hari.
2. Penyakit ringan: ampisilin 4 x 500 mg, amoksisilin 4 x 500 mg, atau eritromisin 4
x 500 mg. (7)
Pencegahan
Sanitasi lingkungan harus diperhatikan terutama di daerah peternakan,
pemotongan hewan, atau di kolam renang. Kampanye rumah yang antitikus (rat
proof) perlu dilakukan. Perilndungan bagi pekerja petemakan yang harus
diberikan adalah sepatu bot, sarung tangan, masker, dan baju pelindung. imunisasi
bagi yang sering berhubungan dengan hewan penular juga perlu dilakukan.(7)
Penyuluhan tentang higiene pribadi dan penuiaran penyakit ini akan membantu
untuk mencegah Kejadian Luar Biasa, Kewaspadaan petugas kesehatan dapat
berupa pengawasan situasi pascabanjir, mengisoiasi hewan sakit dari rumah
penduduk dan daerah wisata sebagai perlindungan dari urin hewan), vaksinasi
hewan peliharaan dengan strain lokal serta mengontrol vektor bila diperiukan
kewaspadaan ini diperlukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran
penyakit.(7)
b. SKABIES
Etiologi
Sarcoptes scabiei var hominis berkembang biak hanya pada kulit manusia.
Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas Arachnida,
sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Sarcoptes
scabiei merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk bulat agak lonjong,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau betina besarnya 2 kali
daripada yang jantan. Adapun jenis Sarcoptes scabei var. animalis yang kadang-
kadang bisa menulari manusia terutama bagi yang memelihara hewan peliharaan
seperti anjing.(4)
Patogenesis
Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati, namun
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali
oleh betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk
terowongan pada kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum
granulosum dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur sepanjang
terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai 40-50 butir.
Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian ada yang tetap tinggal dalam
terowongan dan ada yang keluar dari permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari
masuk ke stadium nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4
pasang kaki. Waktu yang diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi
dewasa sekitar 8-12 hari.(4)
Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu juga
tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang berpindah
ke lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang
berperan dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga terjadi aktivitas
makan dan pelekatan telur pada terowongan tersebut. Tungau-tungau ini
memakan jaringan-jaringan yang hancur, namun tidak mencerna darah. Feses
(Scybala) tungau akan ditinggalkan di sepanjang perjalanan tungau menuju ke
epidermis dan membentuk lesi linier sepanjang terowongan.(4)
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infestasi. Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena infeksi scabies
pertama kali. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul,vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.(4)
Apabila terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah akan
gagal dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih
banyak bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada pasien
crusted scabies bisa melebihi 1 juta tungau.(4)
Manifestasi klinis
Ketika seseorang terinfestasi oleh scabies untuk yang pertama kalinya, gejala
biasanya tidak Nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu) setelah
terinfestasi. Namun bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa
menyebarkan scabies ini kepada orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita
scabies sebelumnya, gejala akan muncul dengan segera (1-4 hari) setelah
terekspos. Seseorang yang terinfestasi scabies juga dapat menularkan
penyakitnya, walaupun mereka tidak memiliki gejala lagi. Hal ini berlaku sampai
scabies pada penderita tersebut diberantas beserta tungau dan telur-telurnya.(4)
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah yang
sangat menonjol.(4)
Pemeriksaan penunjang
Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun
yang baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH
10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop.
Diagnosis scabies positif jika ditemukan tungau, nimpa, larva, telur atau kotoran
S. scabiei.(4)
Penatalaksanaan
1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan
secara serentak.(1)
3) Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur,
selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa
jam. (1)
1) Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-
kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2
tahun. (1)
4) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari
mata, mulut, dan uretra. (1)
Pencegahan
Etiologi
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau
C. Masing-masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda-
beda. Chlamydia ini termasuk bakteri gram negatif. Ordo Chlamydiales, family
Chlamydiacea, dan Genus Chlamydia. Chlamydia trachomatis serotipe A-C
menyebabkan trakoma, sedangkan serotipe D-K menyebabkan konjungtivitis
inklusi dan limfogranuloma venerum disebabkan oleh serotipe L1-L3.(8)
Patofisiologi
Infeksi menyebabkan terjadinya proses inflamasi, yaitu, didominasi oleh
infiltrat limfosit dan monocytic dengan sel plasma dan makrofag dalam folikel.
Folikel merupakan pusat germinal khas dengan pulau-pulau proliferasi sel-B
yang dikelilingi oleh sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang berulang
menyebabkan peradangan berkepanjangan yang menyebabkan terbentuknya
jaringan parut konjungtiva (Conjungtival scarring). Jaringan parut diasosiasikan
dengan atrofi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan
normal, longgar, stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV
dan tipe V.(8)
Gambar 2.1. Siklus hidup Trakoma.(8)
Jika terjadi invasi kuman, bakteri maupun virus maka akan terjadi reaksi di
dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose dan pembentukan
jaringan parut. Reaksi ini di dapat juga di konjungtiva dan kornea jika Chlamydia
trachomatis memasuki jaringan ini. Yang penting untuk mendirikan diagnosa
trakoma adalah pemeriksaan:
Papil, bukan tanda khas dari trakoma, oleh karena dapat terjadi peradangan
pada konjungtiva lainnya. Bila ada papil, konjungtiva palpebra tampak
seperti beludru dengan titik merah. Hal ini desebabkan karena adanya
hipertrofi epitel, sehingga sel epitel menjadi lebih besar, sampai
permukaan epitel menjadi berkelok-kelok. Di tengah-tengahnya terdapat
bintik merah, oleh karena adanya neovaskularisasi di bawahnya, yang
berjalan tegak lurus, bercabang-cabang di ujujngnya dan sejajar
permukaannya. Di dalamnya terdapat infiltrasi sel limfosit, di bawah
epitel. Dilihat dari atas bentuknya poligonal, dengan pembuluh darah di
tengah-tengahnya bercabang. Di antaranya terdapat kripta, pada tempat
mana berkumpul sisa-sisa metabolisme dari sel epitel. Kemudian atasnya
tertutup, sehingga merupakan pseudokista, ini dapat mengeras dan
terbentuklah litiasis konjungtiva (post trakomatous deposit PTD).(8)
Sikatrik, berasal dari folikel atau prefolikel. Tampak sebagai garis-garis
yang sejajar dengan margo palpebra, yang disebut garis artle. Kadang
bercabang. Sikatriks ini biadanya halus sehingga sukar dilihat, peeriksaan
harus dilakukan dengan teliti. Kadang garisnya panjang dan lebar, kadang
berupa bintang.(8)
Panus, berarti tirai. Terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi. Harus diukur
dalam mm. Panus dibedakan menjadi 2 macam:
Panus aktif: terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi
Panus non aktif: hanya berdiri dari neovaskularisasi saja, infiltrat di kornea
berupa keratitis pungtata epitel dan sub epitel. Dengan ter fluresin terlihat
hijau pada tempat ini.(8)
Untuk memastikan trakoma endemik di sebuah keluarga atau masyarakat,
sejumlah anak harus menunjukkan sekurang-kurangnya dua tanda berikut:
1. Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal rata yang melapisi palpebra
superior
2. Parut konjungtiva yang khas di konjungtiva tarsal superior
3. Folikel limbus atau sekuelenya (sumur Herbert)
Perluasan pembuluh darah ke atas kornea, paling jelas di limbus atas.(8)
Klasifikasi
Menurut Mc Callan, konjungtivitis trakomatosa berjalan melalui 4 stadium:
Diagnosis
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan:
Gejala klinis
Terdapat 2 dari 4 gejala yang khas, sebagai berikut:
1. Adanya prefolikel konjungtiva tarsalis superior
2. Folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3
bagian atas
3. Panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
4. Sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva
palpebra/forniks superior, Herbert’s peripheral pits di limbus
kornea1/3 bagian atas
a. Kerokan konjungtiva
b. Biakan kerokan konjungtiva
c. Tes serologic.(8)
Diagnosis banding
Diagnosis banding Trakoma, Konjungtivitis Folikularis, dan Konjungtivitis
Vernal
Konjungtivitis Konjungtivitis
Trakoma
folikularis Vernal
Gambaran (kasus dini) papula Penonjolan merah Nodul lebar-lebar
lesi krcil atau bercak – muda pucat dengan susunan
merah bertaburan tersusun teratur “cobblestone”
dengan bintik seperti deretan pada konjungtiva
putih-kuning “beads” tarsal atas dan
(folikel trakoma) bawah, diselimuti
pada konjungtva lapisan susu.
tarsal (kasus lanjut)
granula
(menyerupai butir
sago) dan parut,
terutama
konjungtiva tarsal
atas
Ukuran dan Penonjolan besar Penonjolan kecil Penonjolan besar
Lokasi lesi lesi konjungtiva terutama di Tipe tarsus atau
tarsal atas dan konjungtiva tarsa palpebra,
teristimewa lipatan bawah dan forniks konjungtiva
retrotarsal korea- bawah tarsus terlibat,
panus, bawah Tarsus tidak forniks bebas
infilttasi abu-abu terlibat Tipe limbus atau
dan pembuluh. bulbus, limbus
Tarsus terlibat terlibat, forniks
bebas,
konjungtiva
tarsus bebas
Tipe campuran
tarsus tidak
terlibat
Tipe sekresi Kotoran air berbusa Mukoid atau Bergetah, bertali,
atau “frothy” pada purulent seperti susu
stadium lanjut
Pulasan Kerokan epitel dari Kerokan tidak Eosinofil
konjungtiva dan karakteristik karakteristik dan
kornea (Koch-Weeks, konstan pada
memperlihatkan Morax-Axenfeld, sekresi
eksfoliasi, mikrokokus
proliferasi, inklusi kataralis
selular stafilokokus,
pneumokokus
Penyulit Kornea: panus, Ulkus kornea Infiltrasi kornea
atau sekuela kekeruhan kornea, Blefaritis (tipe limbal)
xerosis Ektropion Pseudoptosis
Konjungtiva: (tipe tarsal)
simblefaron
Palpebra:
Ektropion atau
entropion, trikiasis
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan trakoma adalah untuk mendapatkan konjungtiva dalam
keadaan licin dengan jaringan sikatrik yang minimal. Hal ini dapat dicapai bila
pengobaan diberikan sedini mungkin, sehingga pengobatan terjadi dengan cepat,
dengan demikian mengurangi kesempatan pembentukan jaringan sikatriks.
Memperbaiki keadaan umum pasien juga merupakan suatu hal yang perlu
diperhatikan, karena dapat pula meningkatkan daya tahan tubuhnya.
1. Tindakan pembedahan
Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki entropion dan/atau
trikiasis sangat penting pada penderita dengan trikiasis dan/atau entropion dimana
mereka memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya gangguan penglihatan dan
kebutaan (Trachomatous visual impairment and blindness)(8)
Rotasi kelopak mata dapat membatasi perkembangan jaringan parut pada
kornea. Dalam beberapa kasus, dapat menghasilkan sedikit perbaikan dalam
ketajaman penglihatan, kemungkinan karena pemulihan permukaan visual dan
penurunan sekresi mata dan blepharospasm.(8)
2. Terapi antibiotik
WHO merekomendasikan 2 antibiotik untuk kontrol trachoma: azitromisin oral
dan salep mata tetrasiklin. Tetes mata azitromisin juga telah terbukti sangat
efektif.
1. Folikel (-)
2. Infiltrat kornea (-)
3. Panus aktif (-)
4. Hiperemia (-)
5. Konjungtiva, meskipun ada sikatriks, tampak licin
Selain itu, kriteria kesembuhan yang dapat dilihat pada individu penderita juga
dapat berupa:
2. Ulkus kornea
Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior berupa
membaliknya bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh lapisan palpebra
(entropion) sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea. Kondisi ini
sering mengakibatkan ulserasi kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut
kornea.(8)
- Kehebatan penyakitnya
- Lamanya sakit
-
Adanya infeksi sekunder yang mengenai konjungtiva dan kornea.(8)
WATER RELATED VECTOR
a. MALARIA
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
Gejala Klinis
Beberapa pasien kadang mengeluh nyeri dada, batuk, nteri perut, nyeri sendi
dan diare. Sakit biasanya berkembang menjadi panas dingin berat dihubungkan
dengan panas hebat disertai takikardi, mual, pusing, orthostatis dan lemas berat.
Dalam beberapa jam mereda, pasien berkeringat dan sangat lelah. Pada anak-anak,
bahkan pada anak-anak non imun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik”
seperti yang ditemukan pada orang dewasa.
Pada penderita anak, kenaikan panas badan cendrung lebih tinggi sering
disertai dengan muntahmuntah dan berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang
mempunyai lebih sedikit kekebalan kadang-kadang juga dapat menderita demam,
nyeri sendi, sakit kepala.oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa
menyerupai penyakit lain yang bisa menyebabkan demam. Begitu pula anemia
yang cendrung menjadi berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya
memberi gejala yang ringan, pada penderitanya anak sering menimbulkan gejala
yang lebih berat. Namun bisanya, malaria falciparum lah yang menyebabkan
keadaan darurat pada penderita anak. Paroksisme demam pada malaria
mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus
aseksual/sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat
dipengaruhi oleh spesiec plasmodium yang menginfeksi. Suatu peroksisme
demam biasanya mempunyai 3 stadium yang berurutan, yaitu :
a. Stadium frigoris (mengigil) stadium ini mulai dengan menggil dan perasaan
sangat dingin. Nadi penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jarijari
pucat kebiruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin dan
pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15
menit 1 jam.
b. Stadium akme (puncak demam) setelah menggigil/merasa dingin, pada
stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi
merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit
kepala bertambah keras, dan sering disertai rasa mual atau muntah-muntah.
Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa santan haus
dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 C. stadium ini berlangsung selama
2-4 jam.
c.
Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun) Pada stadium ini penderita
berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu
badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah
normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa
lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan denagan oliguria, dan anuria dapat
terjadi. Sindrom nefrotik, berkaitan dengan plasmodium malariae apada anak
yang tinggal di daerah endemik malaria, prognosisnya jelek. Black water
fever, sekarang jarang ditemukan, dihibungkan dengan plasmodium
falciparum; hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular berat dan
mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena anemia.
Hipoglikemi dapat dihubungkan dengan malaria falciparum. Pada infeksi
berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran konvulsi dan gangguan
kesadaran.(7)
Diagnosis
Anamnesis
1 Keluhan Utama : deman ,mengilgil,dan dapat disertai sakit kepala,mual,
2 Muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal
3 Riwayat berkunjung dan bermalam 1~4 minggu yang lalu ke daerah Endemik
malaria
4 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria
5 Riwayat sakit malaria
6 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
7 Riwayat mendapat tranfusi darah
8 Gejala klinis pada anak dapat tidak khas.(7)
Pemeriksaan Fisik
1. Deman (pengukuran dengan thermometer )
2. Pucat pada kojugtiva palpebra atau telapak tangan .
3. Pembesaran limpa (splenomegali).
4. Pembesaraan hati (hepatomegali).(7)
Penatalaksanaan
PENCEGAHAN MALARIA
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis maupun yang
ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vektor
a. Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-jentik.
b. Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa
c. Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung DEET (10-35%) atau
picaridin 7%
2. Proteksi personal/Personal Protection
Adalah suatu tindakan yang dapat melindungi orang terhadap infeksi, seperti :
a. Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk mengisap
(petang dan matahari terbenam)
b. Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida sebelumnya,
kawat nyamuk, penolak serangga.
c. Memakai baju yang cocok dan tertutup
d. Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke daerah endemis.
Kemoprofilaksis
Ditujukan bagi orang yang akan pergi ke daerah endemis malaria yang pergi
dalam jangka waktu tertentu. Biasanya diberikan pada infeksi Plasmodium
falciparum karena merupakan spesies dengan virulensi yang tinggi. Obat yang
diberikan adalah Doksisiklin 2 mg/kgBB setiap hari selama tidak lebih dari 4-6
minggu. Doksisiklin tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak usia < 8
tahun
b. FILARIASIS
Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah
merupakanpenyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
dan ditularkanoleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat
seumur hidupberupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing
filaria hidup disaluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat
menyebabkan gejalaklinis akut dan atau kronik(10)
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.
Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah
maupun lingkungan luar rumah. Faktor lingkungan dalam rumah meliputi
lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, pencahayaan, serta kelembaban, sehingga
mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.(10)
Jenis Spesies
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori (Gandahusada, 1998).(10)
Cara Penularan
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang
mengandungmikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung
nyamuk danmelepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung
nyamuk bergerakmenuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria
akan mengalamiperubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran125-250μm x 10-17μm dengan ekor runcing seperti cambuk
setelah 3 hari. Larvatumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300μm x 15-30μm dengan ekor tumpul atau
memendek setelah 6 hari. Pada stadiumII larva menunjukkan adanya gerakan.
Kemudian larva tumbuh menjadi larvastadiumIII (L3) yang berukuran 1400μm x
20μm. Larva stadium L3 tampak panjang danramping disertai dengan gerakan
yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan10-14 hari pada spesies
Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larvainfektif.Apabila
seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebutberisiko tertular
filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larvaL3 akan
keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan
nyamukkemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia
timori akanmenjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan
Wuchereriabancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).(9)
Patofisiologi filariasis
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde, yang akan
membentuk limfadema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa
menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga
melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin – sitokin ini akan
menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat
meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi
sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan
dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam.
Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan
menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi kematian
parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa.
Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi,
menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini
menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan
menyebabkan perjalanan yang kronis.(10)
Pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat
kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap.(10)
Diagnosis
Pada pasien penderita penyakit filariasis untuk mendiagnosisnya maka
dilakukan pemeriksaan darah pada jari yang dilakukan pada malam hari. Karena
pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam darah tepi penderita.(10)
Penatalaksanaan
Jika setelah dilakukan diagnosis dan ternyata pasien positif mengalami
filariasis maka diberikan terapi symptomatik (sesuai gejala) seperti pemberian
paracetamol untuk demam dan antibiotik bila adanya infeksi. Selain itu juga harus
menjaga kebersihan agar nyamuk ini tidak bersarang di daerah rumah kita dan
agar kita tidak terjangkit penyakit ini maka disarankan agar pasien untuk
melakukan pencegahan filariasis.(10)
Untuk pengobatan penyakit ini, maka pasien diberikan obat sebagai
berikut:
a. Pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) 6
mg/kgBB 3 x sehari selama 12 hari.
b. Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6 mg/kgBB dan
albendazol 400mg (+ parasetamol) dosis tunggal, sekali setahun selama 5
tahun. Untuk pengobatan massal ini berarti pengobatan diberikan untuk
tahap pencegahan agar masyarakat tidak terjangkit penyakit ini.
Dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak seperti
kompres dengan air hangat.(10)
Pencegahan
Tahap-tahap pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjangkit
penyakit filariasis adalah sebagai berikut:
Penggunaan anti nyamuk seperti obat nyamuk semprot atau bakar, lotion
anti nyamuk, dan lainnya.
Pembersihan tempat-tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk.
Penggunaan kelambu pada waktu tidur.
Penutupan tempat-tempat yang dapat menyebabkan nyamuk seperti
ventilasi.
Pencegahan perkembangan nyamuk dengan menguras bak mandi dan
tempat- tempat berair lainnya.(10)
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya).
a). respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE).(1)
b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 .(1)
c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag.(1)
d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.(1)
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. (1)
Nyeri kepala.
Nyeri retro-orbital
Mialgia
Artralgia.
Ruam kulit
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG lebih banyak . (1)
leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya Iimfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
trombosit umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT dapat meningkat.
imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan 196 terhadap dengue.
1gM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14. Pada
infeksi sekunderIgG mulai terdeteksi hari ke-2
Pemeriksaan Radiologis.
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.(1)
Tatalaksana
Pasien DBD tanpa pendarahan spontan dan matif tanpa syok maka di ruang gawat
diberikan cairan infus kristaloid dengan rumus
Pencegahan
Pembersihan jentik
Program pemberantasan sarang nyamuk
Larvasidasi
Pencegahan gigitan nyamuk
Menggunakan kelambu
Menggunakan obat nyamuk
Tidak melakukan kebiasaan beresiko (tidur siang, menggantung baju)
Penyemprotan. (1)
d. DRACUNCULIASIS
Etiologi
Satu tahun setelah manusia menelan air yang di-infected cacing dewasa
betina muncul, biasanya dari ekstremitas bawah, menghasilkan ulkus yang
menyakitkan yang dapat mengganggu mobilitas hingga beberapa minggu.
Penyakit ini terjadi setiap tahun ketika kegiatan agricul-tural berada di puncaknya.
Proporsi besar individu yang produktif secara ekonomi di suatu desa biasanya
terpengaruh secara bersamaan, yang mengakibatkan penurunan produktivitas
pertanian dan kesulitan ekonomi. Pemberantasan penyakit cacing guinea
tergantung pada pencegahan, karena tidak ada pengobatan atau vaksin yang
efektif. Sejak 1986, ada pengurangan 98% penyakit cacing guinea di seluruh
dunia, yang dicapai terutama melalui program berbasis komunitas. Program-
program ini telah mendidik populasi lokal tentang bagaimana menyaring air
minum untuk menghilangkan parasit dan bagaimana mencegah mereka yang
menderita borok menulari sumber air minum. Pembasmian komplit akan
membutuhkan dukungan politik, keuangan dan masyarakat tingkat tinggi yang
berkelanjutan. (10)
Gejala
Saat cacing guinea muncul melalui dermal le-sion, orang yang terkena itu
menariknya perlahan dan hati-hati (untuk meminimalkan peradangan dan rasa
sakit) dengan memutar beberapa sentimeter cacing setiap hari ke sebatang
tongkat. Proses yang menyakitkan ini mungkin memakan waktu beberapa
minggu, karena cacing itu mungkin mencapai 1 m panjang. Rasa sakit dapat
dikurangi dengan kompres basah pada lesi dan penggunaan analgesik oral. Risiko
superinfeksi bakteri dapat dikurangi dengan penggunaan antiseptik topikal atau
salep antibiotik. Dalam satu studi durasi rata-rata kecacatan dari penyakit cacing
guinea adalah 50% lebih pendek di antara pasien yang telah diberi antibiotik serta
instruksi dan persediaan untuk membersihkan. dan ganti luka mereka daripada
yang tidak menerima intervensi apa pun. Tidak ada obat anthelminthic yang
efektif melawan penyakit ini, dan tidak ada vaksin. Chippaux telah menemukan
bahwa pengobatan dengan mebenda-zole dikaitkan dengan migrasi cacing yang
menyimpang, yang lebih mungkin dari biasanya muncul di tempat-tempat selain
anggota tubuh bagian bawah. Pencegahan adalah satu-satunya intervensi yang
efektif untuk mengurangi insiden penyakit cacing guinea.
Pencegahan
Gambar 2.12 Cacing Guinea (Dracunculus medinensis) betina yang keluar dari
gelembung lepuhan dari drankunkuliasis
DAFTAR PUSTAKA
1. Siti setiana. Buku ajar penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta: interna
publishing; 2014
2. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasan. Edisi 2. Jakarta : erlangga; 2011