Anda di halaman 1dari 90

SKENARIO 5

CHOLERA IN INDIA

Water related diseases are the most common cause of deaths. The paucity
of clean water for domestic use had led to the increase in the number of deaths in
both the urban and rural pars of developing economies. And the india is not
different. Thousands of people fall prey to cholera every year in india. Cholera is
a water related disease. And is diarrhoeal in nature. It can ill in hours if left
unattended. Cholera strikes when one ingests water that is infested with the vibrio
cholera bacterium. Symptoms of cholera include watery bowels and fever in
certain cases. Cholera can happen to both children and adults. In india cholera
related deaths are most common in places with shortage of good quality water. In
2010, nearly 140 people died of chlera in Odisha. Deaths due to water related
diseases in india are in the range of nearly 80 percent. Here is a list pf the 5 most
deadly water diseases that occur in india.

STEP 1

1. Cholera : penyakit yang disebabkan oleh vibrio cholera


2. Water related disease : penyakit yang ditularkan langsung melalui air
yang
tercemar oleh kotoran. Penyakit sebagian di air

STEP 2

1. Bagaimana etiologic pada kasus tersebut?


2. Bagaimana penularan pada kasus tersebut?
3. Bagaimana patofisiologi pada kasus tersebut?
4. Bagaimana penegakkan diagnosis kasus tersebut?
5. Bagaimana penatalaksanaan kasus tersebut?
6. Bagaimana pencegahan penyakit tersebut?
7. Bagaimana syarat syarat kualitas air bersih?
STEP 3

1. a. Bakteri vibrio cholera, aerob


b. Bakteri gram negative, ukuran 0,2-0,4 mm – 1,5-4,0 mm
c. bentuk melenkung, batang pendek, berkelompok bersifat motil
d. dibagi 2 serotipe = klasik, eltor
e. bergerak aktif, tidak membentuk spora, memiliki flagel yang halus,
dinding berapsul, tumbuh pada ph 8,5
2. manusia terserang cholera – diare - air – makan, minum mandi – cholera
masuk ke tubuh
manusia terserang cholera – diare – tanah – dimakan lalat – hinggap di
makanan – masuk ke tubuh
- makanan yang terkontaminasi
- terjadi pada anak maupun dewasa.
3. Vibrio cholera masuk- lambung – menembus cairan asam lambung – usus
halus – invasi ke sel epitel usus – membentuk kolonisasi – eksresi toksin
4. a. – diare encer tanpa tenesmus
- berwarna putih keruh
– berbau manis menusuk, muntah
b. pp : tinja diamati di mikroskop lapangan gelap
c pf : tugor ulit menurun tanda dehidrasi
5. antibiotic
- doksisiklin : 4-6 mg/kgBB
- tetrasiklin : 50 mg/ hari
- diberi cairan :
6. pencegahan
- pasien di isolasi
- Perbaikan sanitasi
- Feses di desinfektan
- Memasak makanan sampai matang
- Menyediakan air bersih
- Menutup makanan
- Buang sampah pada tempatnya
- Berhati hati dengan makanan laut
- Buah dikupas lalu di cuci
7. Kriteria air bersih
- Syarat fisik
- Syarat kimia
- Syarat mikrobiologis

STEP 4

1. Etiologi
- V cholera hidup di air
- Reservoir di air
- Dapat melekat di alga
- Toksin v cholera menjadi patogenik di manusia
- V cholera membutuhkan Nacl
- Tidak tahan asam
- Mati dalam suhu 60 derajat
- V cholera bisa memproduksi enterotoksin
- Berbentuk batang dan sedikit pendek
2. Penularan
V cholera dianggap miasma rumah penduduk – ada septitank – bocor –
tinja keluar – mengalir ke sungai – orang mengambil air yang
terkontaminasi v cholera – terjadi penyakit v cholera
3. patofisiogi

Penularan lewat oral

V cholera masuk

tertelan

Terbunuh Asam Jumlahnya 1010


lambung

Masuk dan melalui


asam lambung

Berkembang di usus
halus

Menempel pada
mukosa usus

Sekresi enterotoksin

Subunit B binding
Subunit A aktive

Menembus
membrane sel epitel
Memiliki 5 polopeptida yang
beratnya 1150 dan terikat od
GM 1 reseptor di epitel usus
halus Transfer ADP
dari NAD
GTP NAIK

GTP mengatur
aktivitas adeniat
siklase
CAMP meningkat

Menghambat
absorpsi Nacl

Merangsang
eksresi clorida

Hilangnya air,
Nacl, kalsium

4. a. Anamnesis :
- riwayat kebiasaan bab
- kejang otot : gastrocnemius, bisep, trisep, pectoralis, dan dinding
abdomen
- dehidrasi : perubahan suara

b. pemeriksaan fisik :

- mata cekung, tulang pipi menonjol, bibir pecah

c. pp :

- pemeriksaan mikrosop lapangan gelap berbentuk spiral.

- apusan rectal : positif


- tes aglutinasi spesifik : ditwmukan v cholera menghasilkan koloni
berwarna kuning

5. terapi cairan
- ringan : ORS dosis 50 ml/kgBB maks 750 ml/jam selama 3-4 jam
- sedang : ORS dosis 700 ml/ jam maks 750 ml/Ja, selama 3 jam
- berat : IV ringer laktat dosis 110 ml/kgBB selama 3 jam diguyur
sampai nadi teraba kuat sisanya dibagi dalam 2 jam berikutnya

alternative :
- ciprofloxan : 1000mg peroral
- eritromisin : 250 mg peroral 4*1 dalam 3 hari

anak- anak
- tetrasiklin : 12 mg 3 hari
- doksisiklin : 6 mg peroral single dok

6. Pencegahan
- Pasien di isolasi
- Memberikan sumber ai yang sudah di filter dan desinfektan
Klasifikasi water related
disease

Water related vector


Water borne disease

Water based disease Water washed disease

Cholera,Typoid, disentri, Malaria, filariasis,


hepatitis A DBD, Drakunkuliasis

schistosomiasis Leptospirosis, scabies,


trachoma

- Meningkatkan higiene air


- Mengedukasi masyarakat mengenai higenitas air
7. Syarat air bersih
- Syarat fisik : tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna
- Syarat kimia : kadar besi, maks 1,0 mg/liter, ph normal, kesadahan
maks. 500 mg/ liter
- Syarat mikrobiologis : jumlah total kalsium dalam 100 ml air yang di
periksa maks, 50 untuk air yang berasal dari bukan perpipaan dan 10
untuk air yang berasal dari perpipaan.
MIND MAP

Water related
disease

klasifikasi

Water related vector


Water borne disease

Typoid, disentri, hepatitis A


Water based disease Water washed disease

Malaria, filariasis,
DBD, Drakunkuliasis

schistosomiasis
Leptospirosis, scabies,
cholera
trachoma
patofisiologi

Syarat syarat air bersih

etiologi
Penegakan
diagnosa pencegahan

penularan tatalaksana
STEP 5

1. Water related disease dan klasifikasinya?


2. Etiologi masing masing penyakit?
3. Patofisiologi sehingga menimbulkan manisfestasi klinik?
4. Penegakan diagnosis interpretasi hasil pemeriksaan, anamnesis, pf,pp.
diagnosis banding?
5. Penanganan kompeherensif?
6. Pencegahan dan pengendalian masing masing penyakit?

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7

1. WATER RELATED DISEASE DAN KLASIFIKASINYA


 Water Borne mechanism
Kuman patogen yang berada dalam air dapat menyebabkan penyakit pada
manusia, ditularkan melalui mulut atau sistem pencernaan.
Contoh : kolera, tifoid, hepatitis virus, disentri basiler dan poliomielitis.
 Water washed mechanism
Jenis penyakit water washed mechanism yang berkaitan dengan
kebersihan individu dan umum dapat berupa :
a. Infeksi melalui alat pencernaan, seperti diare pada anak-anak
b. Infeksi melalui kulit dan mata, seperti scabies dan trakoma.
c. Penyakit melalui gigitan binatang pengeat, seperti leptospirosis.
 Water base machenism
Jenis penyakit dengan agen penyakit yang menjalani sebagian siklus
hidupnya di dalam tubuh vector atau sebagai pejamu intermediate yang
hidup di dalam air.
Contoh : skistosomiasis, Dracunculus medinensis.
 Water related insect vector mechanism
Jenis penyakit yang ditularkan melalui gigitan serangga yang berkembang
biak di dalam air.
Contoh : filariasis, dengue, malaria, demam kuning (yellow fever).

Cara pencegahan penularan penyakit melalui media air atau makanan dapat
dilakukan antara lain dengan cara :

a. Penyakit infeksi melalui saluran pencernaan, dapat dilakukan dengan cara


Sanitation Barrier yaitu memutus rantai penularan, seperti menyediakan
air bersih, menutup makanan agar tidak terkontaminasi oleh debu dan
lalat, buang air besar dan membuang sampah tidak sembarang tempat.
b. Penyakit infeksi yang ditularkan melalui kulit dan mata, dapat dicegah
dengan hygiene personal yang baik dan tidak memakai peralatan orang
lain seperti sapu tangan, handuk dan lainnya, secara sembarangan.
c. Penyakit infeksi lain yang berhubungan dengan air melalui vector seperti
malaria dan demam berdarah dengue (DBD) dapat dicegah dengan
pengendalian vektor.

2. WATER BORNE DISEASE:


a. TIFOID
 Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah akteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri
Gram-negatif, tidak berkapsul, mepunyai flagella, dan tidak membentuk spora.
Kuman ini mempunyai 3 antigen yang penting untuk pemeriksaan laboraturium.(1)

 antigen O (somatik)
 antigen H (flagela), dan
 antigen K (selaput)
Gambar 1.1 Salmonella Typhi (1)

Menurut nomenklatur yang baru, Salmonella dibedakan menurut adanya


keterkaitan DNA-nya, sehingga sekarang hanya terdapat dua spesies Salmonella
yaitu Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Salmonella yang menyerang
manusia disebut sebagai strain dalam subspesies I dan S. enterica.(1)

Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya sekitar
200 yang berhasil terdeteksi di Amerika Serikat. Dari sekian banyak strain,
Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) dan Salmonella
enterica serovar Entiritidis (S. Entiritidis) adalah strain yang paling banyak
diketemukan.(1)

 Epidemiologi

Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik.
dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. (2)

Di Indonesia. insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang


berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid. tidak adanya sabun untuk mencuci tangan. menggunakan piring yang sama
untuk makan. dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. (2)
TRIAS EPIDEMIOLOGI

 Agent

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. S.typhi adalah bakteri


gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella, dan tidal membentuk spora.
Bakteri ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboratorium, yaitu :

o Antigen O, antigen somatik ( tidak menyibar )


o Antigen H, terdapat pada flagela dan bersifat termolabil
o Antigen k, selaput yang melindungi tubuh bakteri dan melindungi antigen O.
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57C selama beberapa menit. (1)

 Host

Salmonella typhi banyak ditemukan di negara-negar berkenbang yang


higiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Manusia adalah host
hanya alami dan reservoir. Infeksi ini ditularkan oleh konsumsi makanan atau air
yang terkontaminasi dengan kotoran. S.typhi jega dapat disebarkan oleh serangga
yang kemudian mengkontaminasi makanan dan minuman. (1)

 Environtment
Salmonella typhi banyak ditemukanpada lingkungan yang kotor dengan
sanitasi yang kurrang baik. Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh
bagian dunia. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim.
Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi
kurang diperhatikan.Lingkungan yang kurang sehat dan sanitasi yang kurang
baik.(1)

Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. .(1)

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel


fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. .(1)

Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian


berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah Iagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. .(1)

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan


bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular. .(1)

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia


jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuiuh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sei-sei mononukiear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. .(1)

Endotoksin dapat menempel di reseptor sei endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya. (1)
 Penegakan Diagnosis

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. GejaIa-gejala


klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian. .(1)

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-Iahan terutama pada sore
hingga malam hari. .(1)

Dalam minggu kedua gejaIa-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,


bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), |idah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. (1)

 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Rutin walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap


sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. .(1)

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun


limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.(1)
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada
uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H
(flagela kuman).(1)

Uji IgM Dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan
strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS), S. typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang
dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi
dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Secara semi kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. .(1)

Kultur Darah. Hasil biakan darah yang positif memastikan


demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal seperti berikut: 1). Telah mendapat terapi
antibiotic; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).
Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.; 3). Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa Iampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.;
4). Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.(1)

 Penatalaksanaan
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah
 Istirahat dan perawatan.
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.(1)
 Diet dan terapi penunjang.

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan


penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun sehingga proses penyembuhan akan
menjadi lama.(1)

Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,


kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat
bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
pada pasien demam tifoid. .(1)

 Pemberian antimikroba.

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam


tifoid adalah sebagai berikut:

o Kloramfenikol.

Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.(2)

o Tiamfenikol.

Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6. Kotrimoksazol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1
tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu. (2)

o Ampisilin dan amoksisilin.

Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu. (2)
o Sefalosporin Generasi Ketiga

Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.(2)

 Pencegahan

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan tifoid.


Merebus air munum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu.
Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi berguna untuk
mencegah penyakit. Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid
mencakup hal-hal berikut:

 Penyediaan sumber air minum yang baik


 Penyediaan jamban yang sehat
 Sosialisasi budaya cuci tangan
 Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
 Pemberantasan lalat(1)

Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang


berisiko tinggi), imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program
pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Jenis vaksin yang dapat di
gunakan:

1. Vaksin parenteral utuh

Berasal dari sel S. Typhi utuh yang sudah mati. Setiap


cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-3 tahun
adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,3 cc. Dosis diberikan 2
kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya
yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.(1)

2. Vaksin oral Ty21a

Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. Typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari
selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun.(1)

3. Vaksin parenteral polisakarida

Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan
secara parentral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuscular pada usia mulai 2
tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar
60-7.(1)

b. DISENTRI
 Etiologi

Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non


motil, gram negatif, family enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu
S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari
shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena
kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat
terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan
menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah
103 organisme. Etiologi dari disentri ada 2, yaitu Disentri basiler, disebabkan oleh
Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram negatif, family
enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii
dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya
yang mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat
serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang
berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan
menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme.(1)

Bakteri ini termasuk dalam suku Enterobacteriaceae dan merupakan


bakteri gram negatif yang berbentuk batang/basil. Selain itu bakter ini bersifat
anaerob fakultatif, yang berarti dapat hidup tanpa atau dengan adanya oksigen. (1)

Disentri amoeba, disebabkan Entamoeba hystolitica.E.histolytica merupakan


protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus
besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen
dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus
sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk
trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. (1)

 Patogenesis

a. Disentri Basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear(PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan
lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus
halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.1

Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum


terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel
limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus
bergaung. (1)

S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain


ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik,
dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen
sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan
menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5
cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.
Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum. (1)

b. Disentri Amoeba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat
berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai
saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk
ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di
lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus
di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis. (1)

 Manifestasi Klinis

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan
lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi,
renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul
rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka
menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti
gejala kolera atau keracunan makanan. Kematian biasanya terjadi karena
gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka kematian bergantung
pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan
malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini
selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu
penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya
bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit
darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas
lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti
kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan
yang baik. (1)

 Tatalaksana

Bila tidak ada perbaikan,antibiotika diganti dengan jenis yang lain.


Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dantetrasiklin hampir
universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman Terhadap ampisilin masih peka, maka
masih dapat digunakan dengan dosis4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula
dengan trimetoprim-sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari
selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler
karenatidak efektif. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal
fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata
berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. (1)
Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari
sedangkan azithromisin diberikan 1gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari
selama 5 hari. Pemberian Ciprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap
anak-anak dan wanita hamil.(1)
Disentri basiler Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah
istirahat,mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat
diberikan antibiotika. Cairan dan elektrolit Dehidrasi ringan sampai sedang dapat
dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu
sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini
perlu diberikancairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan
tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau
pemberian air kaldu atau oralit. (1)
 Pencegahan dan Pengendalian

Disentri amoeba Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang


memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat
penting. Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi
dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala
pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin
khusus untuk pencegahan. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan
mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan. (1)

Disentri basiler belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella.


Penularan disentri basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang
tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih.(1)
Dari program-program yang telah dibuat oleh pemerintah, terdapat cara-
cara untuk mencegah terjadinya disentri. Salah satunya dengan melakukan
program PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dari yang paling penting,yaitu
mencuci tangan. Mencuci tangan sering dianggap sebagai hal biasa di masyarakat.
Ada yang tidak mencuci tangan sebelum makan,ada yang mencuci tangan hanya
sekedar dengan air. Padahal mencuci tangan merupakan pencegahan terjadinya
penyakit yang paling penting. Cara mencuci tangan yang paling benar yaitu
dengan cara memakai air bersih dan sabun atau antiseptik. Sabun dan antiseptik
berguna untuk membersihkan kuman atau bakteri yang ada di tangan. Mencuci
tangan hingga steril menggunakan sembilan langkah yang diterapkan dan
dianjurkan oleh rumah sakit adalah cara mencuci tangan yang paling benar.
Mencuci tangan dilakukan setelah buang air besar,sebelum memasak atau
menjamah makanan,sebelum dan sesudah makan.(1)

Langkah selanjutnya yaitu menutup rapat-rapat tempat menyimpan makanan.


Ini bertujuan agar makanan tidak berisi bakteri dan makanan menjadi makanan
yang bersih dan sehat untuk dikonsumsi. Dalam kehidupan sehari-hari,ada
masyarakat yang kurang menjaga kebersihan. Sehingga tidak jarang di dalam
rumah atau ruangan mereka banyak terdapat serangga atau binatang lain yang
dapat menimbulkan penyakit seperti lalat, kecoa, tikus, nyamuk, dan lainnya.
Kebersihan alat-alat rumah tangga yang digunakan untuk membuat makanan juga
harus diperhatikan. Kita juga harus melindungi sumber air agar tetap bersih dan
terhindar dari kontaminasi tinja. Kamar mandi harus bersih dan diusahakan agar
tidak lembab dan ada sinar matahari yang masuk ,karena bakteri dapat hidup di
daerah yang lembab. Tinja dibuang secara saniter dan teratur. Dalam menjalankan
langkah-langkah pencegahan, sebaiknya masyarakat saling bergotong-royong,
sehingga setiap orang akan tahu bahaya dari penyakit ini. Dari pengetahuan
tersebut akan tercipta masyarakat yang harmonis, memiliki perilaku sehat,dan
pola hidup sehat teratur.(1)

c. HEPATITIS A
 Etiologi

Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus RNA,
serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri ikosahedral,
diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai protein terminal
VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang genom HAV: 7500-
8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan dalam famili
picornavirus dan genus hepatovirus.(3)
 Epidemiologi
Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang
dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%. Incidence rate dari hepatitis per 10.000 12
populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa tahun silam.Suatu studi di
Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru
lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada
usia di atas 20 tahun.(2)
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi di 2
desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate sebesar
1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus
hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun
2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota
Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang,
ada 47 kasus hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.(2)

 Patogenesis

HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana pelepasan
virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus menuju usus
dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus didalam feses dan
hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar virus yang di
ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan
menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus
mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini
merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. (1)
Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada
periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan
ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi.(1)
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang
paling berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada
sel hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T
antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin,
seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6), dan
tumor necrosis factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan supresi
replikasi virus. Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien yang 14
terinfeksi HAV, mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah virus yang
terlihat pada pasien mengikuti timbulnya onset gejala klinis. Pemulihan dari
hepatitis A berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel CD4+ virus-specific
dibandingkan dengan sel CD8+.(2)
Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari
penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit mungkin
berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada
individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan
berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan.(2)
Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG antiHAV
dapat terdeteksi.35 Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3
minggu setelah paparan, titer IgM anti-HAV akan terus meningkat selama 4-6
minggu, lalu akan terus turun sampai level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6
bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah
timbulnya gejala. Antibodi IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah
infeksi dan memberikan imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan,
regenerasi sel hepatosit terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih
dalam 8-12 minggu.(2)

 Penegakan diagnosis

Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus Gambaran klinis hepatitis virus


sangat bervariasi mulai dari infeksi asimptomatik tanpa ikterus sampai yang
sangat berat yaitu hepatitis fulminant yang dapat menimbulkan kematian hanya
dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase
inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen
(penyembuhan).(3)
Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya
gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.2 Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata
28-30 hari.(3)
Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan
pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious
ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala
saluran napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan
perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya terjadi pada
hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan
atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolesistitis.(3)
Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.(3)
Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya
ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap
ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan
akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis
17 dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani.(3)

Pemeriksaan fisik
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan,
malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu
dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap,
dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat
beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-
anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan
selama seminggu sampai sebulan.(3)

 Pemeriksaan Penunjang

Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold


standard untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A.7 Virus dan antibody dapat
dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan diatas
digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG).
IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya.
Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut, maka
apabila seseorang terdeteksi IgG antiHAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV,
mengindikasikan adanya 18 infeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari
HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi,
karena dosis profilaksis terletak dibawah level dosis deteksi.(2)

B.1 Rapid Test Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test
menggunakan metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis
komersial yang tersedia.22 Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi
oleh antibodi, yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C”
(Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M”
berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM
anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode
immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM
anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga
97,6%.(3)

Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia


dari fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen,
total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan aspartate
transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total
protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila tes
lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk
menegakan diagnosis.(3)

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari
konsumsi alkohol. (1)
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi,
kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic,
pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat,
penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari
hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset
dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan
gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi
hati. (1)
 Pencegahan
Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang
baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV. (1)
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum
globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan.
Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin
tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis
yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang
yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang
memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah
terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya
makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis
harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut.
Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah
sakit, penjara, dan institusi lainnya. (1)
Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat
baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik,
untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja kesehatan setelah
pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat pekerjaan. (1)
Vaksinasi HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV sebesar
94-100% setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara terpisah,
dengan efek samping yang minimal.(3)

d. KOLERA
 Etiologi

Kolera merupakan salah satu diarrhoeal disease yang di sebabkan oleh infeksi di
intestine oleh bakteri Vibrio cholera, tipe 01 maupun 0139. Anak-anak ataupun
dewaasa dapat terjangkit.(1)

Sekitar 20% dari yang terunfeksi dalam tahap akut yaitu diare berair dan
sekitar 10%-20% dari orang yang terjangkit dalam tahap diare berair dengan
muntah. Jika pasien tidak dirawat secara baik, akan mengalami kehilangan cairan
dan elektrolit yang mengakibatkan dehidrasi parah dalam waktu beberapa jam.
CFR dalam kategori yang tidak dirawat bisa mencapai 30%-50%. Pengobatan
yang tepat (yaitu rehidrasi) dan juka dirawat dengan baik, akan menjaga CFR
dibawah 1%.(5)

Dalam keadaan alami, Vibrio cholerae hanya patogenik pada manusia.


Seseorang dengan keasaman lambung yang normal mungkin harus menelan
hingga 1010 atau lebih. Untuk dapat terinfeksi jika vehikulumnya dalah air, karena
organisme ini sensitif terhadap asam. Setiap obat yang menurunkan asam
lambung, dapat meningkatkan infeksi kolera. (5)

Kolera bukan merupakan infeksi bersifat infvasif. Organisme ini tidak


mencapai aliran darah, tetapi tetap berada di saluran cerna. Organisme ini yang
virulen melekat pada mikrovilus di paras sikat sel-sael epitel. Di tempat tersebut,
mereka memperbanyak diri dan melepaskan toksin. (5)

 Transmisi

Kolera biasanya di transmisikan fekal-oral, melalui air atau makanan yang


terkonaminasi dan tetap sebagai ancaman bagi banyak negara. Wabah baru dapat
terjadi secara sporadic di segala dunia dimana suplai air bersih, sanitasi, keamanan
makanan, dan higienitas yang kurang. Resiko paling besar dapat terjadi di
komunitas yang kelebihan populasi dan pengungsu yang kurang suplai air bersih,
sanitasi, keamanan makanan, dan higienitas dan meningkatkan transmisi manusia
ke manusia. Karena inkubasi sangat cepat (2 jam sampai 5 hari). (5)

 Patofisiologi

Dalam keadaan alami, Vibrio cholerae hanya patogenik pada manusia.


Seseorang dengan keasaman lambung yang normal mungkin harus menelan
hingga 1010 atau lebih. Untuk dapat terinfeksi jika vehikulumnya dalah air, karena
organisme ini sensitif terhadap asam. Setiap obat yang menurunkan asam
lambung, dapat meningkatkan infeksi kolera. (6)

Kolera bukan merupakan infeksi bersifat infvasif. Organisme ini tidak


mencapai aliran darah, tetapi tetap berada di saluran cerna. Organisme ini yang
virulen melekat pada mikrovilus di paras sikat sel-sael epitel. Di tempat tersebut,
mereka memperbanyak diri dan melepaskan toksin. (6)

V. cholerae menghasilkan enterotoksin labil-panas dengan berat molekul


sekitar 84.000, yang terdiri dari subunit A dan B. Gangliosida GM1 berfungsi
sebagai reseptor mukosa sub unit A ke dalam sel. Aktivasi subunit A
menghasilkan peningkatan cAMP intersel yang mengakibatkan sekresi air dan
elektrolit berlebih dan dibutuhkan sebagai perangsang pertumbuhan V. cholerae.
(6)

 Gejala
Gejala yang umum pada kolera yaitu diare hebat, warna tinja seperti air cucian
beras dan berbau amis. Jika berkepanjangan dapat mengakibatkan dehidrasi,
hypovolemia, hipoglikemia, asidosis. (2)

 Pemeriksaan Penunjang

Uji laboratorium dapat dilihat dari specimen kultur terdiri atas bercak lender dari
feses. Gambaran mikroskopis apusan dari sampel feses tidak spesifik.
Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap dapat memperlihatkan vibrio bergerak
cepat. (6)

 Tata Laksana

Penatalaksanaan dapat befokus pada rehidrasi dan memperpendek periode


ekstensi vibrio.

 Dehidrasi berat: NaCl 0,9% atau NaCl 0,9% dengan glukosa 5% I.V,
doksisiklin 400mg single dose atau Amoksilin 400mg 4x1.
 Menengah: ORS setiap 3-4 jam dengan pengawasan.
 Tanpa dehidrasi: ORS setiap 3-4 jam, dapat kembali pulang. (5)

 Pencegahan

Pengendalian bergantung pada edukasi dan perbaikan sanitasi, terutama air dan
makanan. Pasien harus diisolasi, ekskret harus di disinfektan dan orang dengan
kontak dengan pasien harus dipantau. Perbaikan terhadap sanitasi, higienitas dan
sumber air harus dilakukan agar mencegah penularan kembali.(6)

WATER BASED DISEASE

a. SCHISTOSOMIASIS
 Etiologi

Schistosomiasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi


cacing yang tergolong dalam kelas trematoda, genus Schistosoma. Penyakit ini
merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penularan tidak hanya pada
penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi. Penyakit
Schistosomiasis umumnya terjadi di wilayah tropis yang disebabkan cacing pipih
darah (blood flukes) genus Schistosoma. Meskipun penyakit ini tidak fatal, tetapi
dapat melemahkan dan menimbulkan kelesuan yang menyeluruh pada penderita.
Telur cacing pipih keluar bersama feses dan urin manusia penderita, dan jika
mencapai perairan tawar akan berkembang menjadi larva mirasidium yang dapat
menginfeksi siput. Di dalam siput mirasidium berkembang menjadi serkaria,
tahap lanjut perkembangan larva, dan ketika meninggalkan inang mereka
menembus kulit manusia atau hewan mamalia yang mengarungi air. Mereka
matang di dalam aliran darah, menunjukkan kesukaan tertentu di pembuluh portal
yang membawa muatan nutrien darah dari usus ke hati.(4)

Patogenesis

Keadaan patologis yang ditimbulkan oleh schistosomiasis sering berupa


pembentukan granuloma dan gangguan terhadap organ tertentu. Hal ini sangat
berhubungan erat dengan respon imun hospes. Respon imun hospes ini sendiri
dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi, sensitisasi in utero terhadap
antigen schistosoma dan status co-infeksi. (4)

a. Schistosomiasis akut Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai


dengan gejala demam (nokturna), malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen,
batuk non produktif yang dapat terjadi sebelum ditemukannya telur di alam feses
dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8 setelah infeksi. Pada
pemeriksaan penunjang dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada
rontgen foto torak. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan
sering terjadi pada orang yang terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi
berat serkaria. Gejala yang tidak khas sering menyebabkan klinisi mengalami
kesalahan diagnosis terutama pada daerah non endemis. Klinis yang terjadi
berhubungan dengan reaksi alergi terhadap migrasi larva dan antigen telur. (4)

Serkaria mampu menembus kulit karena adanya bantuan enzim proteolitik.


Reaksi kulit terhadap serkaria ini dapat berupa urtikaria dengan ruam
makulopapula yang dkenal dengan istilah “swimmer itch”. Pada saat serkaria
menembus kulit, prostaglandin D2 (PGD2) yang disekresikan oleh permukaan
tubuh serkaria akan menghambat migrasi sel Langerhans menuju limfonodus.
Penghambatan ini akan menyebabkan keterlambatan respon imun spesifik hospes
terhadap schistosoma. Keberadaan serkaria berada di dalam tubuh hospes
kemudian berubah menjadi schistosomula dan akhirnya menjadi dewasa di hepar,
tidak memicu respon imun yang berarti. Respon imun yang kuat akan terjadi pada
cacing dewasa betina mulai berkopulasi dan menghasilkan telur. Pada saat ini
telur yang terdapat dalam aliran darah akan menyebabkan perlukaan pada
vaskuler dan jaringan sekitarnya. Telur yang terjerat di dalam jaringan
menyebabkan terjadinya pseudo abses yang berlanjut dengan pembentukan
pseudo tuberkel dan jaringan ikat. Secara seluler, sel mononuclear di perifer
(Peripheral – blood mononuclear cells = PBMCs) akan memproduksi Tumor
Necrosis Factor (TNF), interleukin-1 (IL1), dan interleukin-6 (IL-6). Ekspresi
sitokin tersebut menunjukkan respon imun yang terpolarisasi ke arah Thelper1
(Th1). Seiring dengan perjalanan alamiah penyakit, antigen yang berasal dari telur
yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa akan menimbulkan respon imun yang
terpolarisasi ke arah Thelper2 (Th2). Polarisasi respon ke arah Th2 ini akan
menghasilkan IL-10 dan menekan produksi sitokin proinflamasi. (4)

Secara molekuler, aktivasi sistem imun akibat antigen telur ini dapat
terjadi akibat urutan proses sebagai berikut: komponen “glycosylated” pada
permukaan telur mengaktivasi makrofag untuk menstimulasi respon Th2 yang
sangat kuat terhadap unrelated antigen, komponen “phosphatydylserine” pada
permukaan telur cacing mengaktivasi Toll Like Receptor2 (TLR2) sel dendrit
untuk memicu proliferasi dan diferensiasi sel Tho mnjadi Treg, dan komponen
glikoprotein pada telur cacing merangsang basofil untuk mengekspresikan IL-4
dan IL-13. Glikoprotein ini nantinya juga akan berikatan dengan reseptor
mannosa dari makrofag sehingga akan menginduksi pembentukan Alternatively
Activated Macrophage untuk mencegah inflamasi yang berlebihan. Peredaman
proses inflamasi ini dapat mencegah terjadinya kerusakan organ. (4)

b. Schistosomiasis kronis Polarisasi respon Th2 (Th2 Polarized) yang


terjadi pada tahap awal schistosomiasis sangat berpotensi untuk menimbulkan
gejala klinis yang berat dan dapat menimbulkan kematian. Apabila respon Th2
polarized ini berkelanjutan akan terjadi fibrosis hati akibat IL-13 yang dihasilkan
oleh Th2. Kemampuan fibrogenesis IL-13 ini merupakan dasar terapi untuk
penyakit fibrotik hepar akibat schistosomiasis. Imunoterapi dengan cara
menghambat IL-13 dan pemberian terapi sitokin berupa IFN-γ, IL-12, TNF) dan
Nitric Oxide (NO) dapat mencegah terjadinya fibrosis. Dari beberapa penelitian
yang dilakukan terhadap penderita schistosmiasis didapatkan kesimpulan bahwa
penderita dengan derajat infeksi yang sama (berdasarkan jumlah telur yang
ditemukan dari pemeriksaan feses) bisa mempunyai klinis yang berbeda.
Penderita yang mengalami respon Th2 polarized cenderung memperlihatkan klinis
yang berat dan sering menimbulkan kematian sedangkan penderita respon Th1
polarized cenderung menimbulkan gejala yang lebih ringan. Penemuan ini
kontradiktif dengan hasil penelitian lain yang mendapatkan bahwa pasien yang
mengalami hepatomegali akibat schistosomiasis mengalami respon Th1 polarized
dan peningkatan konsentrasi TNF reseptor1 (TNFRI) dan TNFRII dalam plasma
sedangkan penderita dengan respon Th2 mengalami gejala yang ringan dengan
konsentrasi TNFR yang rendah dalam plasma. Kajian genetik mengenai fibrosis
hepar akibat schistosomiasis telah dilakukan di Sudan yang merupakan daerah
endemis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang mempunyai gen
SM2 mempunyai tendensi untuk mengalami fibrosis hepar dan hipertensi portal.
Gen SM2 ini mengakibatkan terjadinya mutasi pada IFN- γ reseptor1 (IFN- γR1)
sehingga kehilangan kemampuan untuk menghambat fibrogenesis. (4)

Penegakan diagnosis

Perubahan – perubahan yang terjadi disebabkan oleh tiga stadium cacing


yaitu serkaria, cacing dewasa, dan telur. Yang paling banyak menyebabkan
kelainan adalah telur. Perubahan – perubahan pada sistosomiasis dapat dibagi
dalam tiga stadium yaitu: 1). Masa tunas biologik 2). stadium akut dan 3) stadium
menahun.(4)

Masa Tunas Biologik

Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut


masa tunas biologik (masa prepaten). Disini terjadi respons baik humoral maupun
seluler. Reaksi alergi yang terjadi akibat dari hasil metabolik sistosomula, cacing
dewasa, dan protein asing yang disebabkan adanya cacing yang mati. Manifestasi
klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema angioneurotik, dapat disertai demam
10 hari kemudian. Gejala batuk produktif dan hemoptisis sering ditemukan pada
pasien yang sangat sensitif dan dapat timbul serangan asma. Keadaan toksik dapat
muncul antara minggu kedua sampai minggu kedelapan pasca-infeksi. (4)

Stadium Akut (Demam Katayama)

Demam Katayama dianggap mempunyai kaitan dengan ransangan telur


dan antigen cacing yang diakibatkan oleh terbentuknya kompleks imun, 4-6
minggu setelah terinfeksi yaitu ketika terjadi pelepasan telur. Sindrom sistos
omiasis akut berkaitan dengan reaksi imunologis telur sistosoma yang terjerat di
jaringan. Antigen yang lepas dari telur meransang suatu reaksi granulomatosa
terdiri atas sel T, makrofag. dan eosinofil yang mengakibatkan manifestasi klinis.
Tanda dan gejala tergantung dari banyaknya dan lokasi telur pada jaringan pada
awal terjadinya reaksi inflamasi yang reversibel, mirip "serumsickness” yang
disertai demam, keringat banyak, menggigil dan batuk-batuk, limfadenopati
generalisata, dan hepatosplenomegali. Demam Katayama jarang ditemukan pada
sistosomiasis hematobium. Keluhan ini mulai ringan sampai berat, jarang
menimbulkan kematian.(4)

Sindrom disentri biasanya ditemukan pada infeksi berat, sedangkan pada


infeksi ringan hanya diare Hepatomegali timbul lebih dini disusul denga
splenomegali Hal ini dapat terjadi dalam waktu 6.8 bulan setelah infeksi
Selanjutnya pasien memasuki periode asimtomatis 2-8 minggu, namun demikian
secara umunm gejalanya bersifat ringan. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin
didapatkan leukositosis dan eosinofilia berat Karena hasil pemeriksaan tinja pada
awal infeksi sering hasil nya negatif, maka dianjurkan pemeriksaan diulangi
sedikitnya enan kali, sedangkan pemeriksaan serologis positif beberapa minggu
setelah telur ditemukan dalam tinja. (4)

Stadium Kronik

Stadium ini mulai enam bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Pada
infeksi S. Mansoni dan S. Japonicum ditemukan diare, nyeri perut, berak darah.
Pada stadiumini kebanyakan manifestasi klinis disebabkan oleh penumpukan
telur-telur dalam jaringan. Respons jaringan granulomatosa di sekitar telur berupa
sel-sel yang diatur oleh ada atau tidak adanya suatu kaskade respons sitokin
selular dan humoral. Pembentukan granulomatosa dimulai dengan pengerahan sel-
sel radang sebagai respons atas sekresi antigen oleh organisme hidup dalam telur.
Respons ini dimulai dengan pengerahan sel-sel termasuk fagositosit, sel T spesifik
dan eosinofil.Sel-sel fibroblas, sel-sel raksasa, sel-sel limfosit B akan dominan
kemudian hari. Sekali diaktifkan, sel-sel T akan menghasilkan berbagai sitokin
misalnya tumor necrosis faktor a (TNF-a), interleukin 2 (IL-2), IL-4, dan IL-5,
yang selanjutnya mengaktifkan sel-sel endotel untuk mengeluarkan sekresinya
(kemokin) yang spesifik seperti monosites chemotactic protein 1 (MCP-1). Akibat
rekruitmen elemen sel-sel akan mendorong pembentukan jaringan granulomatosa
di sekitar telur-telur. Lesi ini berlipat-lipat kali besarnya dari telur-telur, dan
menyebabkan organomegali darn obstruksi. Peningkatan atau penurunan respons
kekebalan hospes terhadap telur-telur sistosoma memegang peranan penting
dalam membatasi meluasnya jaringan granulomatosa. Akibat lanjut dari respons
granulomatosa terjadi pembentukan jaringan fibrosis. Hati yang tadinya
membesar (hepatomegali) karena peradangan dan pembentukan lesi
granulomatosis, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis (sirosis hepatis). Pada
sirosis akibat sistosomiasis yang terjadi adalah sirosis periportal yang berakibat
terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan dalam jaringan hati. Tanda
yang timbul berupa splenomegali, edema pada tungkai bawah atau alat kelamin,
asites dan ikterus. Manifestasi klinis sistosomiasis kronis umumnya ringan atau
sedang saja, sehingga tidak perlu dirawat inap, lain halnya dengan sistosomiasis
akut dapat fatal, hal ini tergantung dari spesies sistoma. Mulanya disangka S.
japonicum dapat menimbulkan penyakit yang lebih berat karena dapat
memproduksi telur 10 kali lebih banyak dari pada S. mansoni, namun kenyataan
di lapangan tidak demikian. Pada stadium yang sangat lanjut pada infeksi S
mansoni dan S. japonicum dapat terjadi hematemesis melena karena pecahnya
varises esofagus, dan dapat ditemukan tumor polipoid intestinalis. Beratnya
sistosomiasis intestinalis sering berhubungan dengan beratnya infeksi. Dengan
adanya infeksi tambahan hepatitis B, hepatitis C atau keadaan malnutrisi dapat
mempercepat terjadinya penurunan fungsi hepar. Pada infeksi S. hematobium,
gejala dini dari traktus urinarius berupa disuri, lalu hematruria terminalis dan
proteinuria. Gross hematuri dapat berulang. Sequeledapat berupa polip buli-buli,
sistitis, infeksi salmonela kronis, pielitis, pielonefritis, urolitiasis, hidronefrosis
akibat obstruksi uretra, dan gagal ginjal.(4)

Pemeriksaan Laboratorium

Ditemukannya telur-telur dalam ekskreta (tinja dan urin) atau biopsi


mukosa merupakan suatu diagnosis pasti. Pada S. hematobium lebih sering
ditemukan dalam sedimen urine, kurang dalam tinja. Urin dikumpulkan 24 jam
atau antara jam 09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Telur-telur dapat juga
ditemukan dengan biopsi mukosa buli-buli dan hati. Pada infeksi S. mansoni dan
S. japonicum telur- telur dapat ditemukan dengan pemeriksaan tinja secara
langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan
infeksi berat bila ditemukan telur lebih 400 butir dalam 1 gram tinja. Bila hasilnya
negatif dapat diupayakan dengan biopsi mukosa rektum pada lesi peradangan atau
granulasi atau secara acak pada 2-3 lokasi mukosa normal. (4)

Uji Serologis

Tes-tes imunodiagnosis dapat digunakan bila hasil pemeriksaan urin atau


tinja negatif atau diperkirakan adanya infeksi ektopik. Hasil yang akurat diperoleh
setelah terpajan 6-8 minggu dengan air yang tercemar dengan serkaria. Disini
diperiksa antibodi terhadap cacing dewasa. sistosomula dan serkaria dengan tes-
tes sebagai berikut :

 Enzyme linked immuno sorbent assay (ELISA)


 Radioimmunoassay (RIA)
 Indirect immunofluorescence test (IFAT)
 Gel precipitation techniques (GPT)
 Indirect haemagghttination test (IHA)
 Latex agglutination test (LAT)
 Circumoval precipitin test (COPT)
 Cercarienhullen reactions (CHR)
 Complement fixation test (CFT)
 Tes Western blot untuk kepastian diagnosis
 Fascon assay screening test (FAST)
Hasil tes tidak ada korelasi dengan beratnya infeksi.Tes antigen
dari darah dan urin sensitif dapat membedakan infeksi baru atau lama.
Hilangnya antigen yang beredar 5-10 hari pascaterapi menandakan
kesembuhan. (4)

Tatalaksana

Tabel 1.1: Penatalaksanaan terapi skistosomiasis.(4)_


WATER WASHED DISEASE
a. LEPTOSPIROSIS

Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di airtawar
selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yangmampu
menyebabkan penyakit (patogen) bagi manusia adalah Leptospira interrogans.(7)

 Etiologi

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit)


berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili Leptospiraceae dan ordo
Spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan
berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu
Leptospira interrogans yang merupakan bakteri patogen dan Leptospira blifexa
adalah saprofitik.Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7
spesies patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah
berhasil diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies
mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan
mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini
adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang
berbeda-beda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir)
adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di
seluruh belahan dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus,
hewan buas dan kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan,
misalnya L. pomona dan L. interrogans terdapat pada lembu dan babi, L.
grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L. ballum dan L.
icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L. canicola dikaitkan
dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis,
hebdomidis, dan australis.(7)
 Epidemiologi

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh


akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil
mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami
penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal.

Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-
39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin
usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini. Angka
kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi
saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur
karena tanah lembab dan bersifat alkalis. Angka kejadian penyakit Leptospira
sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus Leptospirosis pada umumnya adalah
underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan
menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis
dan nonfatal. Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150
kasus Leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di
Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah
Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di
derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini.
Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut
seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka kematian akibat leptospirosis
tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan
diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan
penderita mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas
50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita
yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna
kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi Paparan terhadap pekerja
diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah
para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal,
tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau
atau sungai, seperti berenang atau rafting. Penelitian menunjukkan pada penjahit
prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga
kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena
karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada
pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%. Meskipun penyakit ini
sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan sebagai penyakit
saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis
seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air,
berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang
berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah
endemik juga menambahkan resiko.(7)

 Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini:
 Kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar bakteri.
 Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi.
 Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Berdasarkan berbagai data, infeksi yang tersering adalah melaiui cara yang
pertama. Bakteri masuk ke tubuh manusia meialui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penuiaran penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit intak (sehat) terutama biia kontak lama dengan air.
Hewan penular utama pada manusia adalah tikus. Di Amerika Serikat penuiar
terbesar adalah anjing. Di Indonesia, infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir.
Detergen, bahkan dengan konsentrasi rendah sekalipun, terbukti dapat
menghambat perkembangan hidup leptospira.
Faine S. menyatakan bahwa terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu:
a) Penuiaran via kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering
terjadi di peternakan sapi atau babi.
b) Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi yang luas pada
lingkungan, biasanya pada iklim tropis-basah (musim hujan). Paparan pada
manusia secara iebih luas tidak terbatas karena pekerjaan.Penuiaran via infeksi
rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh. (7)

 Gejala dan tanda


Masa inkubasi leptospirosis adalah 712 hari dengan rata rata 10 hari Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan
beredar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan di mana saia
termasuk organ jantung, otak, dan ginjal. Sebagian besar penyakit ini bersifat
subkiinis, 90% penyakit tidak akan menyebabkan ikterik dan hanya tipe yang
berat (10%) yang menyebabkan ikterik (Weil disease).
Manifestasi klinis leptospirosis terbagi meniadi tiga fase:
a. Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, malaise, nyeri otot, ikterus
sakit kepala, dan nyeri perut yang disebabkan oieh gangguan hati, ginjal, dan
meningitis (merupakan salah satu penjelasan mengapa penyakit ini sering
mendiagnosis dengan meningitis dan ensefalitis). Fase ini beriangsung selama 4-9
hari.
b. Fase kedua (imun)
Titer antibodi igM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis
akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu
minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.

Fase ketiga (konvalesen). Fase ini ditandai dengan gejaia kiinis yang sudah
berkurang dapat timbui kembaii dan beriangsung seiama 2-4 minggu. (7)

 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis


terdiri dari: pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi:

1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan
gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil
dari darah atau urin.(1)

2) Kultur

Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada
10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin
pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-
albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer
leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat
0,5-1 cm dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari
setelah inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel,
sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit. (1)

3) Inokulasi hewan

Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi


intraperitoneal pada kelinci muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan
leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari)
ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ. (1)

4) Serologi

Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas


pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan
pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan
gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans
yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) yang menggunakan
organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif
sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4
minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun,
walaupun konsentrasinya kemudian akan menurun. (1)

 Patofisiologi
Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing,
serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling
sering melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke
dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata
dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik
urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.
Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di
kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh
ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab
leptospirosis. Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi,
anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan
leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus. Leptospirosis tidak menular langsung
dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari.
Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan
mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal
akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi
gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena
dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis
sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena disfungsi sel-sel
hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal menyebabkan edema
(bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi mikro
muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat akan menyebabkan kerusakan
endotelium kapiler. Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada
alveolar and vaskular interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga
dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam
beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan berulang. Meskipun
kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering terjadi self
limiting disease dan tidak fatal. (7)

 Pengobatan
Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya adaiah
baik. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain:
1. Penyakit sedang atau berat: penisilin 4 x 1,5 IU atau amoksisilin 4 x 1 gr seiama 7
hari.
2. Penyakit ringan: ampisilin 4 x 500 mg, amoksisilin 4 x 500 mg, atau eritromisin 4
x 500 mg. (7)
 Pencegahan
Sanitasi lingkungan harus diperhatikan terutama di daerah peternakan,
pemotongan hewan, atau di kolam renang. Kampanye rumah yang antitikus (rat
proof) perlu dilakukan. Perilndungan bagi pekerja petemakan yang harus
diberikan adalah sepatu bot, sarung tangan, masker, dan baju pelindung. imunisasi
bagi yang sering berhubungan dengan hewan penular juga perlu dilakukan.(7)

Penyuluhan tentang higiene pribadi dan penuiaran penyakit ini akan membantu
untuk mencegah Kejadian Luar Biasa, Kewaspadaan petugas kesehatan dapat
berupa pengawasan situasi pascabanjir, mengisoiasi hewan sakit dari rumah
penduduk dan daerah wisata sebagai perlindungan dari urin hewan), vaksinasi
hewan peliharaan dengan strain lokal serta mengontrol vektor bila diperiukan
kewaspadaan ini diperlukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran
penyakit.(7)

b. SKABIES
 Etiologi

Sarcoptes scabiei var hominis berkembang biak hanya pada kulit manusia.
Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas Arachnida,
sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Sarcoptes
scabiei merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk bulat agak lonjong,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau betina besarnya 2 kali
daripada yang jantan. Adapun jenis Sarcoptes scabei var. animalis yang kadang-
kadang bisa menulari manusia terutama bagi yang memelihara hewan peliharaan
seperti anjing.(4)

 Patogenesis
Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati, namun
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali
oleh betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk
terowongan pada kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum
granulosum dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur sepanjang
terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai 40-50 butir.
Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian ada yang tetap tinggal dalam
terowongan dan ada yang keluar dari permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari
masuk ke stadium nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4
pasang kaki. Waktu yang diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi
dewasa sekitar 8-12 hari.(4)

Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu juga
tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang berpindah
ke lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang
berperan dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga terjadi aktivitas
makan dan pelekatan telur pada terowongan tersebut. Tungau-tungau ini
memakan jaringan-jaringan yang hancur, namun tidak mencerna darah. Feses
(Scybala) tungau akan ditinggalkan di sepanjang perjalanan tungau menuju ke
epidermis dan membentuk lesi linier sepanjang terowongan.(4)

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infestasi. Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena infeksi scabies
pertama kali. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul,vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.(4)

Apabila terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah akan
gagal dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih
banyak bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada pasien
crusted scabies bisa melebihi 1 juta tungau.(4)
 Manifestasi klinis

Ketika seseorang terinfestasi oleh scabies untuk yang pertama kalinya, gejala
biasanya tidak Nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu) setelah
terinfestasi. Namun bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa
menyebarkan scabies ini kepada orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita
scabies sebelumnya, gejala akan muncul dengan segera (1-4 hari) setelah
terekspos. Seseorang yang terinfestasi scabies juga dapat menularkan
penyakitnya, walaupun mereka tidak memiliki gejala lagi. Hal ini berlaku sampai
scabies pada penderita tersebut diberantas beserta tungau dan telur-telurnya.(4)

Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal


sebagai berikut:

1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah yang
sangat menonjol.(4)

2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah


keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa
(carrier).(4)

3. Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang


berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata
panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika
timbul infeksi sekunder, ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan
lain-lain). Umumnya tempat predileksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis,
seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak
depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah sekitar alat kelamin
pada pria dan daerah periareolar pada wanita . Telapak tangan, telapak kaki,
wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah yang sering terserang tungau pada
bayi dan anak-anak.(4)

 Pemeriksaan penunjang

Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun
yang baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH
10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop.
Diagnosis scabies positif jika ditemukan tungau, nimpa, larva, telur atau kotoran
S. scabiei.(4)

Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara


menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah
tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit,
kemudian tinta diusap/ dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes
dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis zig-zag.(4)

Strategi lain untuk melakukan diagnosis scabies adalah


videodermatoskopi, biopsi kulit dan mikroskopi epiluminesken.
Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem mikroskop video dengan
pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima menit. Umumnya
metode ini masih dikonfirmasi dengan basil kerokan kulit. Pengujian
menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat papilari dermis
superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta mempunyai angka
positif palsu yang rendah. Kendati demikian, metode-metode diagnosis tersebut
kurang diminati karena memerlukan peralatan yang mahal.(4)

 Penatalaksanaan

penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2 bagian :

a. Penatalaksanaan secara umum.


Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara teratur setiap
hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara
teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula dengan anggota
keluarga yang beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga
harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya
kontak langsung. Secara umum meningkatkan kebersihan lingkungan maupun
perorangan dan meningkatkan status gizinya. Beberapa syarat pengobatan yang
harus diperhatikan:

1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan
secara serentak.(1)

2) Higiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila perlu menggunakan


sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang akan dipakai harus
disetrika. (1)

3) Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur,
selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa
jam. (1)

b. Penatalaksanaan secara khusus.

Dengan menggunakan obat-obatan, obat-obat anti skabies yang tersedia dalam


bentuk topikal antara lain:

1) Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-
kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2
tahun. (1)

2) Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan


setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan
kadang-kadang makin gatal setelah dipakai. (1)
3) Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1% dalam
krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium,
mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Pemberiannya cukup sekali, kecuali
jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian. (1)

4) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari
mata, mulut, dan uretra. (1)

5) Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan


gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam.
Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan pada bayi di bawah
umur 12 bulan.(4)

 Pencegahan

Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :

a) Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.


b) Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur
minimal 2 kali dalam seminggu.
c) Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
d) Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
e) Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi tungau skabies.
f) Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.
g) Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.
Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung
dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun
penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak
membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan
sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak
menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
o Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara
merendam di cairan antiseptik.
o Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan
gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau
dicuci kering.
o Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
o Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab. (4)
a. TRAKOMA
 Definisi
Trakoma adalah suatu bentuk dari konjungtivitis folikular kronik yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau C.
Trakoma termasuk jenis infeksi mata yang berlangsung lama yang menyebabkan
inflamasi dan jaringan parut pada konjungtiva dan kelopak mata, serta kebutaan.(8)

 Etiologi
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau
C. Masing-masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda-
beda. Chlamydia ini termasuk bakteri gram negatif. Ordo Chlamydiales, family
Chlamydiacea, dan Genus Chlamydia. Chlamydia trachomatis serotipe A-C
menyebabkan trakoma, sedangkan serotipe D-K menyebabkan konjungtivitis
inklusi dan limfogranuloma venerum disebabkan oleh serotipe L1-L3.(8)

 Patofisiologi
Infeksi menyebabkan terjadinya proses inflamasi, yaitu, didominasi oleh
infiltrat limfosit dan monocytic dengan sel plasma dan makrofag dalam folikel.
Folikel merupakan pusat germinal khas dengan pulau-pulau proliferasi sel-B
yang dikelilingi oleh sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang berulang
menyebabkan peradangan berkepanjangan yang menyebabkan terbentuknya
jaringan parut konjungtiva (Conjungtival scarring). Jaringan parut diasosiasikan
dengan atrofi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan
normal, longgar, stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV
dan tipe V.(8)
Gambar 2.1. Siklus hidup Trakoma.(8)

 Tanda dan Gejala Klinis


Trakoma mulanya adalah suatu konjungtivitis folikular kronik pada masa
kanak-kanak, yang dapat berkembang hingga terbentuknya parut konjungtiva.
Pada kasus berat, pembalikan bulu mata ke arah dalam terjadi pada masa dewasa
muda sebagai akibat parut konjungtiva yang berat. Abrasi terus menerus oleh bulu
mata yang membalik dan defek film air mata menyebabkan parut kornea,
umumnya setalah usia 30 tahun. (8)

Masa inkubasi trakoma rata-rata 7 hari, tapi bervariasi dari 5 sampai 14


hari. Pada bayi atau anak-anak, biasanya timbul diam-diam dan penyakit itu dapat
sembuh dengan sedikit atau tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, timbulnya
sering akut atau subakut, dan komplikasi cepat berkembang. Pada saat timbulnya,
trakoma sering menyerupai konjungtivits bakterial, tanda, dan gejala biasanya
terdiri atas mata berair, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis
konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi papilar, folikel tarsal dan limbal,
keratitis superior, pembentukan pannus, dan sebuah nodus preaurikular kecil yang
nyeri tekan.(8)

Jika terjadi invasi kuman, bakteri maupun virus maka akan terjadi reaksi di
dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose dan pembentukan
jaringan parut. Reaksi ini di dapat juga di konjungtiva dan kornea jika Chlamydia
trachomatis memasuki jaringan ini. Yang penting untuk mendirikan diagnosa
trakoma adalah pemeriksaan:

 Konjungtiva palpebra superior, dimana terlihat prefolikel dan sikatrik


 Konjungtiva forniks superior, dapat terlihat folikel dan sikatrik
 Kornea 1/3 bagian atas, dimana terlihat infiltrat, neovaskularisasi, folikel,
herbet’s pits

Gambar 2.2. Herbert’s Pit.(8)

Trakoma merupakan konjungtivitis menahun, yang disertai dengan


hipertrofi papilar, infiltrasi sel darah putih dalam konjungtiva, yang menyebabkan
timbulnya folikel, prefolikel dengan infiltrat dan neovaskularisasi di kornea.(8)

 Prefolikel (PF) merupakan bercak bulat, kecil menonjol, jernih, di


konjungtiva tarsalis superior dan merupakan kumpulan limfosit dan sel plasma
yang letaknya subepitel. Prefolikel bukan merupakan stadium awal dari folikel.
Prefolikel tidak dapat besar.
 Folikel (F) tampak sebagai tonjolan yang jernih, lebih besar dari
prefolikel, kadang-kadang ada pembuluh darah di atasnya. Ini merupakan
kumpulan sel limfosit dan sel plasma disertai nekrose subepitel. Folikel terdapat
di konjungtiva forniks atau di 1/3 atas limbus kornea. Stroma skera dan kornea
bersambungan. Bagian stroma sklera mungkin ada yang menonjol ke bagian
stroma kornea. Bagian ini dinamakan lonula dari Millet. Pada tempat ini dapat
timbul folikel yang tertutup oleh konjungtiva. Bila kemudian folikel ini diresorpsi,
maka timbul bekas pada tempat ini yang disebut Herbert Periferal Pits.(8)
Tabel 1.2:Perbedaan antara folikel trakoma dan non trakoma.(8)

Folikel Trakoma Folikel Non Trakoma

- mudah pecah - tak mudah pecah

- kalau pecah timbul sikatrik - tak menimbulkan sikatrik

- terutama di dapat di konjungtiva - terutama di konjungtiva fornik inferior

forniks superior - tidak sama besar

- sama besar seperti butiran sagu

 Papil, bukan tanda khas dari trakoma, oleh karena dapat terjadi peradangan
pada konjungtiva lainnya. Bila ada papil, konjungtiva palpebra tampak
seperti beludru dengan titik merah. Hal ini desebabkan karena adanya
hipertrofi epitel, sehingga sel epitel menjadi lebih besar, sampai
permukaan epitel menjadi berkelok-kelok. Di tengah-tengahnya terdapat
bintik merah, oleh karena adanya neovaskularisasi di bawahnya, yang
berjalan tegak lurus, bercabang-cabang di ujujngnya dan sejajar
permukaannya. Di dalamnya terdapat infiltrasi sel limfosit, di bawah
epitel. Dilihat dari atas bentuknya poligonal, dengan pembuluh darah di
tengah-tengahnya bercabang. Di antaranya terdapat kripta, pada tempat
mana berkumpul sisa-sisa metabolisme dari sel epitel. Kemudian atasnya
tertutup, sehingga merupakan pseudokista, ini dapat mengeras dan
terbentuklah litiasis konjungtiva (post trakomatous deposit PTD).(8)
 Sikatrik, berasal dari folikel atau prefolikel. Tampak sebagai garis-garis
yang sejajar dengan margo palpebra, yang disebut garis artle. Kadang
bercabang. Sikatriks ini biadanya halus sehingga sukar dilihat, peeriksaan
harus dilakukan dengan teliti. Kadang garisnya panjang dan lebar, kadang
berupa bintang.(8)
 Panus, berarti tirai. Terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi. Harus diukur
dalam mm. Panus dibedakan menjadi 2 macam:
 Panus aktif: terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi
 Panus non aktif: hanya berdiri dari neovaskularisasi saja, infiltrat di kornea
berupa keratitis pungtata epitel dan sub epitel. Dengan ter fluresin terlihat
hijau pada tempat ini.(8)
Untuk memastikan trakoma endemik di sebuah keluarga atau masyarakat,
sejumlah anak harus menunjukkan sekurang-kurangnya dua tanda berikut:

1. Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal rata yang melapisi palpebra
superior
2. Parut konjungtiva yang khas di konjungtiva tarsal superior
3. Folikel limbus atau sekuelenya (sumur Herbert)
Perluasan pembuluh darah ke atas kornea, paling jelas di limbus atas.(8)

Klasifikasi
Menurut Mc Callan, konjungtivitis trakomatosa berjalan melalui 4 stadium:

 Stadium I, insipien (hiperplasi limfoid): terdapat hipertrofi papil dengan


folikel yang kecil-kecil pada konjungtiva tarsus superior, yang
memperlhatkan penebalan dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva.
Sekret yang sedikit dan jernih bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan
kornea sukar ditemukan tetapi kadang-kadang dapat ditemukan
neovaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.
 Stadium II, established: terdapat hipertrofi papiler dan folikel yang matang
(besar) pada konjungtiva tarsus superior. Pada stadium ini ditemukan
pannus trakoma yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang berat yang
seolah-olah mengalahkan gambaran folikel pada konjungtiva superior.
Pannus adalah pembuluh darah yang terletak di daerah limbus atas dengan
infiltrat.
 Stadium III, parut: terdapat parut pada konjungtiva tarsus superior yang
terlihat sebagai garis putih yang halus sejajar dengan margo palpebra.
Parut folikel pada limbus kornea disebut cekungan Herbert. Gambaran
papil mulai berkurang.
 Stadium IV, sembuh: suatu pembentukan parut yang sempurna pada
konjungtiva tarsus superior hingga menyebabkan entropion dan trikiasis.(8)

Tabel 1.3. Klasifikasi Trakoma menurut Mc Callan.(8)

Stadium Nama Gejala


Stadium I Trakoma insipien Folikel imatur, hipertrofi
papilar minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran
tarsal atas
Stadium II A Dengan Hipertrofi Keratitis, folikel limbal
folikular yang menonjol
Stadium II B Dengan hipertrofi papilar Aktivitas kuat dengan folikel
yang menonjol matur tertimbun di bawah
hipertropi papilar yang hebat
Stadium III Trakoma memarut Parut pada konjungtiva tarsal
(sikatriks) atas, permulaan trikiasis,
entropion
Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada hipertropi
papilar atau folikular, parut
dalam bermacam derajat
variasi

Klasifikasi Menurut WHO

1. Trakoma Inflamasi-Folikuler (TF) : lima atau lebih folikel pada konjungtivatarsal


2. Trakoma Inflamasi – Intense (TI): infiltrasi difus dan hipertrofi
papilarkonjungtiva tarsal superior yang sekurang-kurangnya menutupi 50%
pembuluhprofunda normal
3. Trakoma Sikatriks (TS): parut konjungtiva trakoma
4. Trakoma Trikiasis (TT) : Trikiasis atau entropion (bulu mata terbalik ke dalam)
5. Kekeruhan kornea (CO): kekeruhan kornea

Gambar 2.3 Klasifikasi Trakoma menurut WHO.(8)


Gambar 2.4 Klasifikasi Trakoma menurut WHO .(8)

Adanya TF dan TI menunjukkan suatu trakoma infeksiosa aktif dan dan


harus diobati. TS adalah bukti kerusakan akibat penyakit ini. TF berpotensi
membutakan dan merupakan indikasi untuk tindakan operasi koreksi palpebra.
CO adalah lesi trakoma terakhir, yang membutakan.(8)

 Diagnosis
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan:
 Gejala klinis
Terdapat 2 dari 4 gejala yang khas, sebagai berikut:
1. Adanya prefolikel konjungtiva tarsalis superior
2. Folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3
bagian atas
3. Panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
4. Sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva
palpebra/forniks superior, Herbert’s peripheral pits di limbus
kornea1/3 bagian atas
a. Kerokan konjungtiva
b. Biakan kerokan konjungtiva
c. Tes serologic.(8)

 Diagnosis banding
Diagnosis banding Trakoma, Konjungtivitis Folikularis, dan Konjungtivitis
Vernal

Tabel 1.4 Diagnosis banding Trakoma(8)

Konjungtivitis Konjungtivitis
Trakoma
folikularis Vernal
Gambaran (kasus dini) papula Penonjolan merah Nodul lebar-lebar
lesi krcil atau bercak – muda pucat dengan susunan
merah bertaburan tersusun teratur “cobblestone”
dengan bintik seperti deretan pada konjungtiva
putih-kuning “beads” tarsal atas dan
(folikel trakoma) bawah, diselimuti
pada konjungtva lapisan susu.
tarsal (kasus lanjut)
granula
(menyerupai butir
sago) dan parut,
terutama
konjungtiva tarsal
atas
Ukuran dan Penonjolan besar Penonjolan kecil Penonjolan besar
Lokasi lesi lesi konjungtiva terutama di Tipe tarsus atau
tarsal atas dan konjungtiva tarsa palpebra,
teristimewa lipatan bawah dan forniks konjungtiva
retrotarsal korea- bawah tarsus terlibat,
panus, bawah Tarsus tidak forniks bebas
infilttasi abu-abu terlibat Tipe limbus atau
dan pembuluh. bulbus, limbus
Tarsus terlibat terlibat, forniks
bebas,
konjungtiva
tarsus bebas

Tipe campuran
tarsus tidak
terlibat
Tipe sekresi Kotoran air berbusa Mukoid atau Bergetah, bertali,
atau “frothy” pada purulent seperti susu
stadium lanjut
Pulasan Kerokan epitel dari Kerokan tidak Eosinofil
konjungtiva dan karakteristik karakteristik dan
kornea (Koch-Weeks, konstan pada
memperlihatkan Morax-Axenfeld, sekresi
eksfoliasi, mikrokokus
proliferasi, inklusi kataralis
selular stafilokokus,
pneumokokus
Penyulit Kornea: panus, Ulkus kornea Infiltrasi kornea
atau sekuela kekeruhan kornea, Blefaritis (tipe limbal)
xerosis Ektropion Pseudoptosis
Konjungtiva: (tipe tarsal)
simblefaron
Palpebra:
Ektropion atau
entropion, trikiasis
 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan trakoma adalah untuk mendapatkan konjungtiva dalam
keadaan licin dengan jaringan sikatrik yang minimal. Hal ini dapat dicapai bila
pengobaan diberikan sedini mungkin, sehingga pengobatan terjadi dengan cepat,
dengan demikian mengurangi kesempatan pembentukan jaringan sikatriks.
Memperbaiki keadaan umum pasien juga merupakan suatu hal yang perlu
diperhatikan, karena dapat pula meningkatkan daya tahan tubuhnya.

Kunci untuk pengobatan trakoma dikenal dengan strategi SAFE


yang dikembangkan oleh WHO. ("S") Surgical care ("A") Antibiotic, ("F")
Facial cleanliness, dan ("E") Environmental improvement.(8)

1. Tindakan pembedahan
 Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki entropion dan/atau
trikiasis sangat penting pada penderita dengan trikiasis dan/atau entropion dimana
mereka memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya gangguan penglihatan dan
kebutaan (Trachomatous visual impairment and blindness)(8)
 Rotasi kelopak mata dapat membatasi perkembangan jaringan parut pada
kornea. Dalam beberapa kasus, dapat menghasilkan sedikit perbaikan dalam
ketajaman penglihatan, kemungkinan karena pemulihan permukaan visual dan
penurunan sekresi mata dan blepharospasm.(8)
2. Terapi antibiotik
WHO merekomendasikan 2 antibiotik untuk kontrol trachoma: azitromisin oral
dan salep mata tetrasiklin. Tetes mata azitromisin juga telah terbukti sangat
efektif.

 Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin, tetapi lebih mahal.


 Azitromisin adalah obat pilihan (drug of choice) karena mudah untuk
digunakan sebagai dosis tunggal. Pemberiannya dapat langsung
dipantau. Oleh karena itu, kepatuhan lebih tinggi daripada tetrasiklin dan
benar-benar dapat diukur, sedangkan, dengan pemberian tetrasiklin
dirumah, tingkat kepatuhan tidak diketahui.
 Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan insiden efek sampingnya
rendah. Ketika efek samping terjadi, mereka biasanya ringan; gangguan
pencernaan dan ruam kulit adalah efek samping yang paling umum.
 Infeksi Chlamydia trachomatis terjadi pada nasofaring; Oleh karena itu,
dapat terjadi reinfeksi pada pasien jika hanya antibiotik topikal yang
digunakan.
 Efek sekunder menguntungkan dari azitromisin termasuk dapat
mengobati infeksi genital, pernapasan, dan kulit
 Dosis azitromisin: dewasa 1 gram per oral sehari, anak-anak 20mg/kgBB
per oral sehari
 Selain azitromisin dan tetrasiklin dapat digunakan juga doxycycline dan
erythromycin.
 Perbaikan klinis yang terlihat umumnya dapat dicapai dengan
Tetracycline, 1-1,5 g/hari per oral dalam empat dosis terbagi dalam 3-4
minggu; doxycycline, 100 mg per oral dua kali sehari selama 3 minggu;
atau erythromycin, 1 g/ hari per oral dibagi dalam empat dosis selama 3-4
minggu.
 Salep atau tetes topikal, termasuk pereparat sulfonamide, tetracycline,
erythromycin, dan rifampin, empat kali sehari selama 6 minggu, sama
efektifnya.
 Sejak dimulainya terapi, efek maksimum biasanya belum dicapai selama
10-12 minggu. Karena itu, tetap adanya folikel pada tarsus superior
selama beberapa minggu setelah terapi berjalan jangan dipakai sebagai
bukti kegagalan terapi.
3. Kebersihan wajah
 Pada studi epidemiologi dan uji coba masyarakat secara random telah
menunjukkan bahwa kebersihan wajah pada anak-anak mengurangi baik
risiko dan tingkat keparahan trachoma aktif.
 Untuk menjadi sukses, kegiatan pendidikan dan promosi kesehatan harus
berbasis masyarakat dan memerlukan upaya yang cukup.(8)
4. Perbaikan lingkungan
 Perbaikan umum dalam kebersihan pribadi dan masyarakat yang hampir
secara universal dikaitkan dengan penurunan prevalensi-dan akhirnya
hilangnya-trakoma. Hal ini berlaku tidak hanya di Eropa, Amerika, dan
Australia, tetapi juga di Afrika dan Asia.
 Kegiatan perbaikan lingkungan adalah promosi peningkatan pasokan air
dan perbaikan sanitasi rumah tangga, terutama metode untuk pembuangan
yang aman dari kotoran manusia.
 Kegiatan ini harus diprioritaskan.
 Lalat yang menyebarkan trachoma lebih memilih untuk bertelur di kotoran
manusia yang terdapat di tanah. Mengendalikan populasi lalat dengan
menyemprotkan insektisida cukup sulit. Studi tentang dampak
pengendalian lalat di trachoma memiliki hasil yang bervariasi. Uji coba
telah dilakukan untuk mengevaluasi pemasangan jamban yang baik
menunjukan bahwa prevalensi trakoma berkurang tetapi gagal untuk
menunjukkan dampak yang signifikan secara statistik.(8)
Kriteria kesembuhan berdasarkan pemeriksaan dengan mata telanjang adalah:

1. Folikel (-)
2. Infiltrat kornea (-)
3. Panus aktif (-)
4. Hiperemia (-)
5. Konjungtiva, meskipun ada sikatriks, tampak licin
Selain itu, kriteria kesembuhan yang dapat dilihat pada individu penderita juga
dapat berupa:

 Pada pemeriksaan fluoresein, yang dilihat dengan slit lamp, menunjukkan


tidak ada keratitis epitelial di kornea(8)
 Pada pemeriksaan mikroskopis dan kerokan konjungtiva, tidak
menunjukkan adanya badan inklusi.(8)
 Komplikasi dan Sekuele
1. Xerosis konjungtiva dan epitel kornea
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma dan
dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulis kelenjar
lakrimal. Hal ini mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea
secara drastis, dan komponen mukosanya mungkin berkurang karena hilangnya
sebagian sel goblet. Sehingga di konjungtiva dan kornea timbul epitel “plaques”
yang berwarna abu-abu, di sebelah nasal dan temporal kornea berbentuk segitiga
menyerupai bercak Bitot, pada defiensis vitamin A, tetapi disini tanpa
hemeralopia.(8)

2. Ulkus kornea
Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior berupa
membaliknya bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh lapisan palpebra
(entropion) sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea. Kondisi ini
sering mengakibatkan ulserasi kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut
kornea.(8)

Ulkus kornea, karena adanya destruksi epitel kornea oleh infiltrasi


trakoma. Adanya entropion dan trikiasis menimbulkan kerusaknan kornea yang
dimulai dengan erosi korena dan bila disertai infeksi sekunder, berubah menjadi
ulkus yang dalam. Ulkus korena yang terkena infeksi sekunder kemudian dapat
menimbulkan jaringan parut.(8)

Jadi kebutaan pada trakoma tidak disebabkan oleh trakomanya sendiri


akan tetapi akibat infeksi sekunder yang dapat terjadi pada stadium:

a. Dini : di mana terdapat panus aktif yang merupakan keratitis superfisial


ulseratif, karena terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi, sehingga merupakan
suatu locus minoris resistenciae, dengan adanya infeksi sekunder menimbulkan
ulkus yang dalam dan dapat berakhir dengan kebutaan seperti telah diterangkan di
atas.

b. Lanjut : Entropion dan trikiasis yang juga dapat menimbulkan ulkus


kornea, bila terkena infeksi sekunder dapat berakhir dengan kebutaan.
3. Simblefaron, entropion, trikiasis, litiasis yang dapat menimbulkan sensasi
seolah-olah ada benda asing.(8)

Insiden dan kehebatan gejala sisa dan penyulitnya tergantung dari :

- Kehebatan penyakitnya
- Lamanya sakit
-
Adanya infeksi sekunder yang mengenai konjungtiva dan kornea.(8)
WATER RELATED VECTOR
a. MALARIA
 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium


yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.(7)

 Etiologi

Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species plasmodium


pada manusia adalah :

1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.

2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.

3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana).

4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.(7)


Morfologi Plasmodium

a. Tropozoit Plasmodium falciparum

b. Tropozoit Plasmodium vivax

c. Tropozoit Plasmodium malariae


Nyamuk anopheles betina

 Patofisiologi

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit.


Demam mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan
macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau
limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis
Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan
pusat pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi
perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
parasit. Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa disebabkan
oleh terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktifasinya
sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit
dan sisa eritrsit akibat hemolisis. Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya
eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis
tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas penjamu. Anemia juga
disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang
terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan
hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai
bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria
tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket,
perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada endotel kapiler
karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan
bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia
jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan
cairan bukan perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria
cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus.(7)

 Gejala Klinis

Sindrom klinis yang disebabkan oleh malaria berbeda tergantung apakah


pasien tinggal di daerah dengan penularan malaria endemis yang stabil (terus
menerus) atau penularan stabil (kadang-kadang dan/atau jarang). Di daerah
dengan penularan stabil, penyakit mempengaruhi anak dan orang dewasa dengan
cara yang berbeda. Anak mengalami infeksi kronis dengan parasitemia berulang
yang mengakibatkan anemia berat dan sering kematian. Yang tahan hidup infeksi
berulang ini dapat sebagian kekebalan pada usia lima tahun dan kekebalan ini
tetap tertahan pada masa dewasa. Orang dewasa mengalami infeksi tanpa gejala.
Gejala malaria terjadi dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu
(disebut peroksisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama
sekali dari demam (di sebut periode laten). Gejala yang khas tersebut biasanya
ditemukan pada penderita non imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya
penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa
mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal disebut gejala prodolmal).

Beberapa pasien kadang mengeluh nyeri dada, batuk, nteri perut, nyeri sendi
dan diare. Sakit biasanya berkembang menjadi panas dingin berat dihubungkan
dengan panas hebat disertai takikardi, mual, pusing, orthostatis dan lemas berat.
Dalam beberapa jam mereda, pasien berkeringat dan sangat lelah. Pada anak-anak,
bahkan pada anak-anak non imun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik”
seperti yang ditemukan pada orang dewasa.

Pada penderita anak, kenaikan panas badan cendrung lebih tinggi sering
disertai dengan muntahmuntah dan berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang
mempunyai lebih sedikit kekebalan kadang-kadang juga dapat menderita demam,
nyeri sendi, sakit kepala.oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa
menyerupai penyakit lain yang bisa menyebabkan demam. Begitu pula anemia
yang cendrung menjadi berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya
memberi gejala yang ringan, pada penderitanya anak sering menimbulkan gejala
yang lebih berat. Namun bisanya, malaria falciparum lah yang menyebabkan
keadaan darurat pada penderita anak. Paroksisme demam pada malaria
mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus
aseksual/sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat
dipengaruhi oleh spesiec plasmodium yang menginfeksi. Suatu peroksisme
demam biasanya mempunyai 3 stadium yang berurutan, yaitu :

a. Stadium frigoris (mengigil) stadium ini mulai dengan menggil dan perasaan
sangat dingin. Nadi penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jarijari
pucat kebiruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin dan
pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15
menit 1 jam.
b. Stadium akme (puncak demam) setelah menggigil/merasa dingin, pada
stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi
merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit
kepala bertambah keras, dan sering disertai rasa mual atau muntah-muntah.
Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa santan haus
dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 C. stadium ini berlangsung selama
2-4 jam.
c.
Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun) Pada stadium ini penderita
berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu
badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah
normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa
lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan denagan oliguria, dan anuria dapat
terjadi. Sindrom nefrotik, berkaitan dengan plasmodium malariae apada anak
yang tinggal di daerah endemik malaria, prognosisnya jelek. Black water
fever, sekarang jarang ditemukan, dihibungkan dengan plasmodium
falciparum; hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular berat dan
mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena anemia.
Hipoglikemi dapat dihubungkan dengan malaria falciparum. Pada infeksi
berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran konvulsi dan gangguan
kesadaran.(7)
 Diagnosis

Diagnosis malaria dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium


(mikroskopik, tes diagnostik cepat) dan tanpa pemeksaan laboratorium. Sampai
saat ini diagnosis pasti malaria berdasarkan ditemukanya prasit dalam sendian
darah secara miskrokopik. Kasus malaria yang didiagonis hanya berdasarkan
gejala dan tanda klinis disebut kasus tersangka malaria atau malaria klinis.(7)

 Anamnesis
1 Keluhan Utama : deman ,mengilgil,dan dapat disertai sakit kepala,mual,
2 Muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal
3 Riwayat berkunjung dan bermalam 1~4 minggu yang lalu ke daerah Endemik
malaria
4 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria
5 Riwayat sakit malaria
6 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
7 Riwayat mendapat tranfusi darah
8 Gejala klinis pada anak dapat tidak khas.(7)
 Pemeriksaan Fisik
1. Deman (pengukuran dengan thermometer )
2. Pucat pada kojugtiva palpebra atau telapak tangan .
3. Pembesaran limpa (splenomegali).
4. Pembesaraan hati (hepatomegali).(7)
 Penatalaksanaan

Pengobatan malaria tanpa kombinasi

a. pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi Bila pada pemesiksaan


laboratorium sedian darah ditemukan plasmodium falciparum, maka obat
pilihan yang digunakan adalah :

Tabel 1.5 Penatalaksanaan Malaria falciparum(7)


b. pengobatan malaria vivax/ovale.
Bila pada pemeriksaan laboratorium ditemukan plasmodium vivax/ovale,
diberikan pengobatan sesuai tabel 3 dibawah ini :
Tabel 1.6 Penatalaksanaan Plasmodium vivax/ovale. .(7)

PENCEGAHAN MALARIA
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis maupun yang
ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vektor
a. Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-jentik.
b. Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa
c. Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung DEET (10-35%) atau
picaridin 7%
2. Proteksi personal/Personal Protection
Adalah suatu tindakan yang dapat melindungi orang terhadap infeksi, seperti :
a. Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk mengisap
(petang dan matahari terbenam)
b. Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida sebelumnya,
kawat nyamuk, penolak serangga.
c. Memakai baju yang cocok dan tertutup
d. Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke daerah endemis.
Kemoprofilaksis
Ditujukan bagi orang yang akan pergi ke daerah endemis malaria yang pergi
dalam jangka waktu tertentu. Biasanya diberikan pada infeksi Plasmodium
falciparum karena merupakan spesies dengan virulensi yang tinggi. Obat yang
diberikan adalah Doksisiklin 2 mg/kgBB setiap hari selama tidak lebih dari 4-6
minggu. Doksisiklin tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak usia < 8
tahun

b. FILARIASIS

 Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah
merupakanpenyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
dan ditularkanoleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat
seumur hidupberupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing
filaria hidup disaluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat
menyebabkan gejalaklinis akut dan atau kronik(10)
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.
Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah
maupun lingkungan luar rumah. Faktor lingkungan dalam rumah meliputi
lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, pencahayaan, serta kelembaban, sehingga
mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.(10)
 Jenis Spesies
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori (Gandahusada, 1998).(10)
 Cara Penularan
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang
mengandungmikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung
nyamuk danmelepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung
nyamuk bergerakmenuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria
akan mengalamiperubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran125-250μm x 10-17μm dengan ekor runcing seperti cambuk
setelah 3 hari. Larvatumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300μm x 15-30μm dengan ekor tumpul atau
memendek setelah 6 hari. Pada stadiumII larva menunjukkan adanya gerakan.
Kemudian larva tumbuh menjadi larvastadiumIII (L3) yang berukuran 1400μm x
20μm. Larva stadium L3 tampak panjang danramping disertai dengan gerakan
yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan10-14 hari pada spesies
Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larvainfektif.Apabila
seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebutberisiko tertular
filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larvaL3 akan
keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan
nyamukkemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia
timori akanmenjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan
Wuchereriabancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).(9)

 Patofisiologi filariasis

Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde, yang akan
membentuk limfadema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa
menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga
melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin – sitokin ini akan
menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat
meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi
sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan
dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam.
Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan
menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi kematian
parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa.
Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi,
menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini
menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan
menyebabkan perjalanan yang kronis.(10)

Gambar 2.5 Patofisiologi filariasis(10)


 Penyebab dan Gejala
Filariasis ini disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai
jenis nyamuk. Vektor nyamuk yang umumnya menularkan filariasis yaitu
Anopheles, Culez, Aedes, dan Mansonia.
Gejala penyakit ini dibagi menjadi gejala awal dan gejala lanjut.
1. Gejala awal meliputi:
a. Demam berulang (1-2 kali) selama 3-4 hari.
b. Pembengkakan yang terjadi pada kelenjar getah bening tanpa adanya suatu
luka seperti di daerah sekitar lipatan paha, ketiak dan juga nampak
berwarna seperti kemerahan, panas, serta sakit.
c. Timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak
tanpa adanya luka di badan.
d. Gejala lanjut (kronik) :

Pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat
kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap.(10)
 Diagnosis
Pada pasien penderita penyakit filariasis untuk mendiagnosisnya maka
dilakukan pemeriksaan darah pada jari yang dilakukan pada malam hari. Karena
pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam darah tepi penderita.(10)
 Penatalaksanaan
Jika setelah dilakukan diagnosis dan ternyata pasien positif mengalami
filariasis maka diberikan terapi symptomatik (sesuai gejala) seperti pemberian
paracetamol untuk demam dan antibiotik bila adanya infeksi. Selain itu juga harus
menjaga kebersihan agar nyamuk ini tidak bersarang di daerah rumah kita dan
agar kita tidak terjangkit penyakit ini maka disarankan agar pasien untuk
melakukan pencegahan filariasis.(10)
Untuk pengobatan penyakit ini, maka pasien diberikan obat sebagai
berikut:
a. Pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) 6
mg/kgBB 3 x sehari selama 12 hari.
b. Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6 mg/kgBB dan
albendazol 400mg (+ parasetamol) dosis tunggal, sekali setahun selama 5
tahun. Untuk pengobatan massal ini berarti pengobatan diberikan untuk
tahap pencegahan agar masyarakat tidak terjangkit penyakit ini.
Dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak seperti
kompres dengan air hangat.(10)

 Pencegahan
Tahap-tahap pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjangkit
penyakit filariasis adalah sebagai berikut:
 Penggunaan anti nyamuk seperti obat nyamuk semprot atau bakar, lotion
anti nyamuk, dan lainnya.
 Pembersihan tempat-tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk.
 Penggunaan kelambu pada waktu tidur.
 Penutupan tempat-tempat yang dapat menyebabkan nyamuk seperti
ventilasi.
Pencegahan perkembangan nyamuk dengan menguras bak mandi dan
tempat- tempat berair lainnya.(10)

c. DEMAM BERDARAH DENGUE


 Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus


dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. (1)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-l, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain
seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus. (1)
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada
hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi
dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites. (1)
 Epidemiologi

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan


virus dengue yaitu: 1). vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit.
kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lain; 2). pejamu : terdapatnya penderita di Iingkungan/keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia danjenis kelamin; 3). lingkungan! curah hujan,
suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. (1)
 Patofisiologi

Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:

a). respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE).(1)

b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 .(1)

c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag.(1)

d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.(1)

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. (1)

Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi


T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan
histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh
kompleks virus antibodi yang Juga mengakibatkan terjadi kebocoran plasma. (1)

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1).


Supresi sumsum tulang, 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. (1)

Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya


antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulapati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP. peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit.(1)

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang


menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi me|a|ui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan me|a|ui aktivasi faktor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex)(1)
 Penegakan Diagnosis
Merupakan penyakit demam akut dengan selama 2-7 hari, ditandai dengan gejala
sebagai berikut:

 Nyeri kepala.
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia
 Artralgia.
 Ruam kulit

Terdapat tanda dari manifestasi perdarahan sebagai berikut:

 Uji bendung positif


 Petekie, ekimosis, atau purpura
 Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat Iain.

Hematemesis atau melena.(1)


 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka


demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru. (1)

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG lebih banyak . (1)

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:

 leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya Iimfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
 trombosit umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
 protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT dapat meningkat.
 imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan 196 terhadap dengue.
 1gM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
 IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14. Pada
infeksi sekunderIgG mulai terdeteksi hari ke-2
 Pemeriksaan Radiologis.
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.(1)

 Tatalaksana

Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling


penting dalam penanganan. Asupan cairan harus tetap dijaga, terutama cairan oral.
Jika asupan cairan oral tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna. (1)

Prokotol terbagi dalam lima kategori:

1) Protokol 1. Penanganan DBD dewasa tanpa syok

Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan


pertama DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang menderita
DBD dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit, dan trombosit, bila: (1)
Gambar 2. 6 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa
renjatan di Unit Gawat Darurat. (10)

2) Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di


Ruang Rawat(1)

Pasien DBD tanpa pendarahan spontan dan matif tanpa syok maka di ruang gawat
diberikan cairan infus kristaloid dengan rumus

1500 + {20 x ( BB dalam kg -20)}

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

a) Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah


pemberiaan cairan tetap.
b) Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >
20%.
Gambar 2. 7 Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat. (10)

3) Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa bahwa tubuh mengalami
defisit cairan sebanyak 5%.
Gambar 2.8Penatalaksanaan DBD dengan penigkatan hematokrit > 20%.(1)

4) Protokol 4 . Penatalaksanaan Pendarahan Spontan pada DBD Dewasa

Pendarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah


pendarahan hidung (epistaksis) yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, pendarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), pendarahan saluran kencing (hematuria), pendarahan otak atau
pendarahan tersembunyi dengan jumlah pendarahan sebanyak 4-5 ml/kg BB /Jam.
(gambar 2.9)
Gambar 2. 9 Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa(1)

5) Protokol 5.Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Yang pertama dilakukan pada penderita Sindrom Syok Dengue adalah


renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular
yang hilang harus segera dilakukan.
Gambar 2.10Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa(1)

 Pencegahan

Kegiatan ini meliputi:

 Pembersihan jentik
 Program pemberantasan sarang nyamuk
 Larvasidasi
 Pencegahan gigitan nyamuk
 Menggunakan kelambu
 Menggunakan obat nyamuk
 Tidak melakukan kebiasaan beresiko (tidur siang, menggantung baju)
 Penyemprotan. (1)
d. DRACUNCULIASIS
 Etiologi

Dracunculiasis (Penyakit darah Guinea) yaitu penyakit parasitik yang terbatas


pada desa-desa terpencil di pedesaan di 13 negara sub-Sahara Afrika yang tidak
memiliki akses ke air minum yang aman. Ini adalah salah satu penyakit
berikutnya yang ditargetkan untuk diberantas oleh Orgaisasi Kesehatan Dunia.
Penyakit cacing Guinea ditularkan melalui air minum yang mengandung
copepoda (kutu air) yang terinfeksi dengan larva Dracunculiasis medinensis. (11)

Gambar. 2.11 . Siklus hidup Copepoda (Drakunkuli)(11)


 Patofisiologi

Satu tahun setelah manusia menelan air yang di-infected cacing dewasa
betina muncul, biasanya dari ekstremitas bawah, menghasilkan ulkus yang
menyakitkan yang dapat mengganggu mobilitas hingga beberapa minggu.
Penyakit ini terjadi setiap tahun ketika kegiatan agricul-tural berada di puncaknya.
Proporsi besar individu yang produktif secara ekonomi di suatu desa biasanya
terpengaruh secara bersamaan, yang mengakibatkan penurunan produktivitas
pertanian dan kesulitan ekonomi. Pemberantasan penyakit cacing guinea
tergantung pada pencegahan, karena tidak ada pengobatan atau vaksin yang
efektif. Sejak 1986, ada pengurangan 98% penyakit cacing guinea di seluruh
dunia, yang dicapai terutama melalui program berbasis komunitas. Program-
program ini telah mendidik populasi lokal tentang bagaimana menyaring air
minum untuk menghilangkan parasit dan bagaimana mencegah mereka yang
menderita borok menulari sumber air minum. Pembasmian komplit akan
membutuhkan dukungan politik, keuangan dan masyarakat tingkat tinggi yang
berkelanjutan. (10)

Nematoda D. medinensis termasuk ordo Spirurida, yang merupakan


parasit jaringan yang menghasilkan telur yang mengandung larva atau melepaskan
larva bebas dan yang membutuhkan arthropoda sebagai inang perantara. Contoh
yang paling dikenal dari ordo ini adalah filariae, yang meliputi parasit manusia
yang penting, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi (penyebab elephantiasis),
Onchocerca volvulus (penyebab kebutaan sungai) dan Loa loa (cacing mata).
Cacing guinea betina dewasa adalah salah satu nematoda terpanjang, panjangnya
kurang dari 1 m, tetapi tebalnya hanya 1-2 mm. Tidak ada tempat penyimpanan
hewan yang diketahui (meskipun ini belum dibuktikan secara konklusif), yang
membuat pemusnahan jauh lebih mungkin jika air minum yang aman dapat
dipastikan. (10)

 Gejala

Orang yang terinfeksi tetap asimtomatik selama sekitar 1 tahun setelah


infeksi, pada saat itu cacing betina dewasa mendekati kulit dan membentuk papul
di dermis. Lepuh pada awal muncul disertai dengan kemerahan dan indurasi dan
didahului oleh demam ringan, ruam urtikaria dengan pruritus intens, dan gejala
mual sistemik, muntah, diare dan pusing. Rasa sakit dan gejala sistemik menurun
dengan pecahnya lepuh, dan cacing biasanya secara manual dikeluarkan dengan
menggulungnya ke tongkat selama beberapa minggu. (1)

Saat cacing guinea muncul melalui dermal le-sion, orang yang terkena itu
menariknya perlahan dan hati-hati (untuk meminimalkan peradangan dan rasa
sakit) dengan memutar beberapa sentimeter cacing setiap hari ke sebatang
tongkat. Proses yang menyakitkan ini mungkin memakan waktu beberapa
minggu, karena cacing itu mungkin mencapai 1 m panjang. Rasa sakit dapat
dikurangi dengan kompres basah pada lesi dan penggunaan analgesik oral. Risiko
superinfeksi bakteri dapat dikurangi dengan penggunaan antiseptik topikal atau
salep antibiotik. Dalam satu studi durasi rata-rata kecacatan dari penyakit cacing
guinea adalah 50% lebih pendek di antara pasien yang telah diberi antibiotik serta
instruksi dan persediaan untuk membersihkan. dan ganti luka mereka daripada
yang tidak menerima intervensi apa pun. Tidak ada obat anthelminthic yang
efektif melawan penyakit ini, dan tidak ada vaksin. Chippaux telah menemukan
bahwa pengobatan dengan mebenda-zole dikaitkan dengan migrasi cacing yang
menyimpang, yang lebih mungkin dari biasanya muncul di tempat-tempat selain
anggota tubuh bagian bawah. Pencegahan adalah satu-satunya intervensi yang
efektif untuk mengurangi insiden penyakit cacing guinea.

Kampanye telah mengidentifikasi semua komunitas dengan transmisi


penyakit endemik, mengandung semua kasus aktif (dengan demikian mencegah
kontaminasi sumber air minum) dan mendidik masyarakat tentang metode untuk
menghindari konsumsi air minum yang tercemar. Tujuan-tujuan ini telah dicapai
melalui pelatihan tenaga kesehatan berbasis desa relawan untuk mendidik warga
desa tentang asal-usul penyakit, cara penularannya dan metode pencegahan.
Penduduk desa diajarkan untuk menghindari konsumsi air yang terkontaminasi
dengan menyaring air melalui filter kain.(11)

 Pencegahan

Pengendalian vektor melalui penambahan Abate (a copecide) bulanan ke


sumber air minum yang tidak aman untuk mengontrol populasi copepoda (inang
perantara) juga telah digunakan. Aspek penting lainnya dari program
pengendalian adalah penyediaan laporan bulanan, berdasarkan pengawasan aktif
terhadap kasus-kasus, kepada masyarakat oleh para pekerja kesehatan berbasis
kader desa.

Gambar 2.12 Cacing Guinea (Dracunculus medinensis) betina yang keluar dari
gelembung lepuhan dari drankunkuliasis
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti setiana. Buku ajar penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta: interna
publishing; 2014
2. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasan. Edisi 2. Jakarta : erlangga; 2011

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M and Setiati S. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. 2006 ed. Jakarta: Pusat penerbitan departemen
ilmu penyakit dalam, 2006.
4. Djuanda, adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2007. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. Cholera Outbreak: Assesing The Outbreak Response and Improving
Preparedness [dokumen dari Internet] April 2004 [diunduh 20 Desember
2018].
6. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-25.
Jakarta: EGC; 2014
7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed 4th. Jakarta: FKUI.2012.p.138-41
8. Departemen Kesehatan R.I. (2005). Rencana Strategi Departemen
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
9. Gandahusada, S., Herry D.I,Wita Pribadi, 1998, Parasitologi Kedokteran,
EdisiIII, FKUI, Jakarta
10. Greenway, C. Drancuculiasis (guinea worm disease). JAMC. 17 Februari,
2004; 170(4). 495-500.

Anda mungkin juga menyukai